Selasa, 17 November 2009

To Liong To1

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe
___________________________________________________________________________
jilid 1
MUSIM semi gembira-ria,
Setiap peringatan Han-sit,
Bunga Lee-hoa mekar semua.
Sutera putih licin,
Bau harum bertebaran,
Pohon2 bagaikan giok,
Tertutup salju berhamburan.
Malam yang sunyi,
Sinar yang mengambang,
Cahaya, yang dingin.
Diantara bumi dan langit,
Sinar perak menyelimuti semesta a1am.
Ah, dia bagaikan Dewi dari gunung Kouwsia,
Bakatnya cerdas dan suci,
Wataknya agung dan murni.
Laksaan sari bunga besar kecil tak ketentuan,
Tapi siapa berani mengatakan, dia tak
berendeng dengan bunga2 kenamaan?
Jiwanya gagah,
Kepintarannya berlimpah2,
Sesudah rontok, semua sama.
Maka itu, dia pulang kekeraton langit'
Guna melihat keindahan nan ABADI.
Sajak diatas sajak "Boe siok liam" (Cita2 hidup bebas dari segala keduniawian), adalah buah
kalam seorang ahli silat ternama dijaman Lan-song (kerajaan Song Selatan). Orang itu she
Khoe bernama Cie Kie (Kee) bergelar Tiang coen coe, salah seorang dari Coan cin Cin Cit
coe (Tujah Coe dari agama Coan cin kauw)
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 2
Dalam sajak itu Khoe Cie Kie bicara tentang bunga Leehoa. Tapi sebenarnya, dalam
melukiskan keagangan bunga Leehoa, is ingin memberi pujian kepada seorang wanita cantik
yang mengenakan pakaian serba putih. la membandingkan wanita itu seperti "Dewi dari
gunung Kouw sia, bakatnya cerdas dan suci, wataknya agung dan murni." Ia memujinya
sebagai manusia yang "jiwanya gagah kepintarannya ber-limpah2."
Siapakah wanita yang mendapat pujian sedemikian tinggi dari seorang, beribadat yang
berilmu itu ?
Ia adalah Siauw Liong Lie, seorang jago betina parte Kouw bok pay (parte Kuburan tua). Ia
suka mengenakan pakaian serba putih, sehingga se-olah2 pohon giok yang tertutup salju
Dengan sifat2nya yang bersih dingin is se-akan2 sinar rembulan yang menyelimuti semesta
alam dengan sinarnya yg teduh dan dingin.
Waktu masih berdiam di Ciong Lan Sam Siauw Liong Lie pernah jadi tetangga Kho Cie Kie
dan sesudah melihat gadis itu yang elok luar biasa. Cie Kie segera menulis sajak "Boe siokliam"
untuk memujinya.
Tapi sekarang Kho Cie Kie sudah lama meninggal dunia, sedang Siauw Liong Lie pun sudah
menikah dengan Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Akan tetapi, pada suatu hari, dijalanan gunung Siauw sit san, di propinsi Holam, terlihat
seorang gadis remaja yang sedang berjalan sambil menundukkan kepada dan menghafal sajak
"Boe siokliam."
Gadis itu, yang berusia kira-kira delapan belas tahun dam mengenakan pakaian warna kuning
menunggang seekor keledai kurus. Perlahan-lahan binatang itu mendaki jalanan gunung yang
sempit. Sambil termenung2 diatas tunggangannya, sinona berkata dalam hatinya. "Ya !
Memang juga, hanyalah seorang seperti Liong Cie-cie yang pantas menjadi isteri dia."
"Dia" adalah Sintiauw Tayhiap Yo Ko.
Keledai berjalan terus, perlahan-lahan.
Si nona menghela papas dan berkata dengan suara perlahan. "Berkumpul gembira, berpisahan
menderita......"
Gadis tersebut, yang berpakaian sederhana dan yang pada pinggangnya tergantung sebatang
pedang pendek, berjalan dengan paras muka tenang, sehingga dengan muka sekelebatan saja,
orang bisa menebak, bahwa ia adalah seorang yang sadah biasa berkelana dalam dunia Kangouw.
Ia berada dalam usia remaja, usia riang gembira. Menurut akuran biasa, dalam usia
belasan, pemuda atau pemudi tak mengenal apa yang dinamakan penderitaan atau kedukaan.
Akan tetapi, nona itu berada di luar dari ukuran biasa. Pada paras mukanya yang cantik
bagaikan sekuntum bunga mawar, terlihat sinar yang guram. Alisnya berkerut, seolah-olah
serupa pikiran berat sedang menindih hati iya.
Nona itu she Kwee bernama siang, puteri ke dua dari Tayhiap Kwee Ceng dan Liehiap Oey
Yong. Dalam dunia Rimba Persilatan, ia di juluki sebagai "Siauw-tong-sia" (si Sesat kecil dari
Timur). Dengan seekor keledai dan sebatang pedang, ia berkelana untuk menghilangkan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 3
kedukaan. Tapi diluar dugaan semakin jauh ia berkelana mendaki gunung2 yang indah dan
sunyi semakin besar kedukaannya.
Jalan kecil itu, dibuat atas perintah Kaizar Kocong dari kerajaan Tong, untuk memudahkan
lalu lintas kekuil Siau-lim-sie.
Sesudah berjalan beberapa lama, Kwee Siang melihat lima buah air terjun digunung seberang
dan dibelakang sebuah tikungan, apat2 terlihat tembok dap genteng dari se buah kuil yang
besar luar biasa.
Sambil mengawasi bangunan2 yang berderet, si nona berkata dalam hatinya. "Semenjak dulu
Siauw lim sie dikenal sebagai pusat pelajaran ilmu silat. Tapi mengapa, selama dua kali
diadakan pertandingan di puncak gunung Hwa-san, diantara lima jago utama tidak terdapat
orang yang berkepandaian Cukup tinggi? Atau apakah, karena sudah memiliki ilmu yang
sangat tinggi, mereka sung kan mencampuri segala pergaulan didalam dunia?"
Sambil berpikir, ia mendekati kuil itu.
Ia turun dari tunggangannya dan menuju ke pintu kelenteng. Ia melewati pohon2 itu yang
berdiri sejumlah pay batu yang sebagian besar sudah rusak, sehingga hurup2nya tak dapat
dibaca lagi.
Si nona menghela napas. "Ah ! Huruf2 yang terpahat di pay batu sudah hampir tak terbaca
karena lamanya tempo, tapi mengapa, huruf2 yang terukir dalam hatiku, semakin lama jadi
semakin tegas ?" katanya didalam hati.
Dalam saat, ia berpapasan dengan sebuah pay batu yang sangat besar dengan hurufnya yang
masih dapat di baca. Pay itu ternyata hadiah Kaizar Tong-thay-tong sebagai pujian untuk jasajasanya
para pendeta Siauw-lim-Sie
Menurut catatan sejarah, pada waktu masih jadi Raja muda Cin-ong, Tong-thay-cong pernah
membawa tentara untuk menghukum Ong Sie Oen. Dalam peperangan itu, bajak pendeta
siauw-lim-sie memberi bantuan dan yang paling terkenal berjumlah tiga belas orang. Antara
mereka itu, hanya seorang she Tham yang suka menerima pangkat jenderal sedang yang
lainnya, sesudan peperangan selesai, lantas meminta diri. Tong-thay-cong tak dapat menahan
mereka dan sebagai pernyataan terima kasih kepada setiap orang, ia menghadiahkan satu
jubah pertapaan yang sangat indah.
"Pada jaman antara kerajaan Soe dan Tong ilmu silat Siau Lim sie sudah tersohor dikolong
langit," kata Kwee Siang didalam hati.
"Selama beberapa ratus tahun, ilmu silat itu tentu sudah memperoleh banyak kemajuan. tahu
berapa banyak orang yang berilmu bersembunyi dalam kuil yang besar ini?"
Selagi dia melamun dibelakang pohon, tiba2 terdengar suara berkerincingnya rantai besi,
disusul dengan suara seseorang yang sedang menghafal Hoed keng (Kitab Suci agama
Budha). Antara perkataan2 yang di hafal ia menangkap kata2 seperti berikut.
"... Dari cinta timbul ke jengkelan, dari cinta timbul ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan
diri dari cinta, ia terbebas dari kejengkelan dan ketakutan."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 4
Jantung si nona memukul keras. Ia bengong mengulangi kata2 itu. "Dari cinta timbul ke
jengkelan dan ketakutan. Jika seseorang menyingkirkan diri dari cinta, ia terbebas dari
kejengkelan dan ketakutan."
Dilain saat, suara kerincingan rantai besi dan suara pembacaan Kitab Suci sudah jadi semakin
jauh.
"Aku mesti tanya dia," kata si nona dalam hati. "Aku mesti tanya, bagaimana seseorang bisa
menyingkir dari cinta, bisa terbebas dari kejengkelan dan ketakutan". Buru2 ia mengikat tali
les keledai disatu pohon dan lalu mengubar kearah suara itu.
Ternyata, dibelakang pohon2 terdapat satu jalan kecil yang menanjak keatas dari seorang
pendeta yang memikul dua tahang besar sedang naik ditanjakan itu.
Dengan cepat Kwee Siang mengudak dan waktu berada dalam jarak belasan tombak dari si
pendeta, tiba2 terkesiap. la mendapat kenyataan, bahwa yang dipikulnya sepasang tabang besi
yang tiga kali lipat lebih besar dari tahang biasa. Yang mengejutkan ialah, dileher, di tangan
dan dikaki sipendeta dilibatikan rantai besi yang besar, sehingga menimbulkan suara
berkerincingan. Berat kedua tahang besi itu ratusan kati dan ditambah dengan air dapat
dibayangkan betapa beratnya.
".. Toah hweeshio (pendeta besar) "teriak si nona. "Berhenti dulu ! Aku ingin bertanya."
Si pendeta menengok, mereka saling memandang. Pendeta itu ternyata Kak-wan yang pada
tiga tahun berselang pernah bertemu Kwee Siang di puncak ganung Hwa-san.
Si Nona tahu, biarpun pendeta itu agak tolol, ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi, yang
tak kalah dari siapapun juga. "Ah! Kukira siapa," katanya. "Tak tahunya Kak kwan Taysoe.
Mengapa kau jadi begini ?"
Kak kwan manggut kan kepalanya sambil tersenyum dan merangkapkan kedua tangannya,
tapi ia tak menjawab pertanyaan si nona. Lalu ia memutar badan dan berjalan pula
"Kak Wan Taysoe !" teriak Kwee Siang. "Apakah tidak mengenal aku ? Aku Kwee Siang!"
Kak wan kembali menengok, ia tertawa dan memanggut2kan kepala, tapi kakinya bertindak
terus.
"Siapa yang mengikat kau dengan rantai?" tanya sinona. "Siapa yang menghina kau?"
Sambil berjalan terus Kak wan menggoyang2 tangan kirinya dibelakang kepala, sebagai
isyarat supaya sinona jangan terlalu melit.
Kwee Siang jadi semakin heran. Mana ia bisa puas dengan begitu saja? Ia segera mengudak
untuk mencegat pendeta yang aneh itu, tapi diluar dugaan, sesudah mengubar beberapa lama,
Kak wan yang dilibat rantai dan memikul tahang, masih tetap berada disebelah depan. sinona
jadi jengkel. Ia mengempos semangat dan mengudak dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan. Bagaikan seekor walet tubuhnya yang langsing melesat kedepan dan
satu tangannya coba menjambret sebuah tahang.
Menurut perhitungan, jambretan itu tak akan melesat. Tapi diluar dugaan, tangan Kwee Siang
jatuh ditempat kosong, hanya kacek dua dim dari tahang itu.
"Toahweeshio ! Lihay benar kau !" teriaknya. "Lihatlah! Biar bagaimanapun juga aku akan
menyandak kau."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 5
Jalanan semakin menanjak,kebelakang gunung. Dengan tenang Kak Wan percepat
tindakannya, sehingga berkerincingnya rantai jadi semakin ramai. Si ubar dengan sekuat
tenaga, nafasnya tersengal2, tapi ia terpisah kurang lebih setombak dari pendeta ltu. Ia kagumi
bukan main dan berkata dalam hatinya : "Diatas gunung Hwa-san, ayah dan ibu pernah
mengatakan, bahwa hweeshio ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Waktu itu aka
masih percaya. Sekarang baru terbukti, perkataan ayah dan ibu adalah benar."
Tak lama kemudian merekapun tiba didepan sebuah rumah kecil dan Kak Waa sagera pergi
kebelakang dam menuang air kedua tahang itu kedalam sumur. Kwee siang jadi lebih heran.
"Toa hweeshio, apa kau sudah gila? " tanyanya. "Mengapa kau menuang air kedalam sumur?"
Paras muka sipendeta tetap tenang. Ia hanya tersenyum.
Mendadak Kwee siang tertawa nyaring. " Ah! Kutahu sekarang," katanya. "Kau sedang
melatih ilmu silat bukan ?"
Kak Wan kembali meng-geleng2kan kepala.
Sinona jadi mendongkol. "Kau seorang gagu, barusan aku mendengar kau menghafal Kitab
Suci." katanya. "Mengapa kau tak mau menjawab pertanyaanku ?"
Si pendeta merangkap kedua tangannya, Sedang dilihat dari paras mukanya, ia seperti ingin
meminta maaf. Tapi ia tetap membungkam dan sesudah mengangkat kedua tahangnya, ia lalu
turun di jalanan tadi.
Kwee siang melongok sumur itu. Ia hanya melihat air yang bening dan merasakan hawa yang
dingin. Tiada apapun yang luar biasa.
Ia berdiri bengong dan hati bimbang mengawasi bayangan Kak wan yang semakin lama jadi
semakin jauh. Sesudah menguber mati matian, ia merasa letih dan lalu duduk dipinggir sumur
sambii memandang keadaan diseputarnya. Ia berada ditempat yang lebih tinggi dari pada kuil
Siauw liem sie. Di pandang dari jauh kuil itu, angker dan indah. Ia mendongak dan
memandang puncak. yang menjulang kelangit dan berderet2 bagaikan sekosol, sedang di
bawah puncak2 itu terdapat awan putih yang mengambang kian kemari. Di lain saat, sayu
sayu kupingnya mendengar suara lonceng di kuil yang dibawa keatas olen tiupan angin.
Dalam keadaan begitu, ia merasa berada di suatu tempat suci yang jauh dari keduniawian.
"Kemana perginya murid si pendeta itu?" tanyanya didalam hati. "Kalau dia sendiri tak mau
bicara, biar kucari itu." Perlahan lahan ia turun gunung untuk mencari Thio Koen Po, murid
Kak wan.
Sesudah berjalan beberapa lama, ia kembali mendengar suara berkerincingnya rantai besi dan
jauh-jauh Kak wan kelihatan mendatangi sambil memikul dua tahang besinya. Kwee siang
baru baru melompat dan menyembunyikan diri di belakang pohon. "Biarlah aku intip
padanya." pikirnya, "Permainan gila apa yang tengah dilakukannya?"
Tak lama kemudian, Kak wan sudah tiba di tempat bersembunyinya. Kwee Siang yg
mendapat kenyataan, bahwa sambil berjalan pendeta itu membaca sejilid buku dengan penuh
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 6
perhatian. Mendadak ia melompat dan berteriak. " Toah wee shio, buku apa yang di baca
olehmu ?"
"Aduh ! Kaget benar aku !" teriak sipendeta tanpa merasa. "Nakal sungguh kau!"
Si nona tertawa geli. "Toa hwee shio, mengapa tadi kau berlagak gagu ?" tanyanya dengan
dada mangejek,
Muka pendeta itu lantas saja berubah pucat, seperti orang ketakutan. Ia menegok ke Kiri
kanan dan menggoyang-goyangkan tangannya.
"Apa yang di takuti olehmu ?" tanya pula Kwee Siang dengan perasaan heran.
Sebelum Kak wan keburu menjawab, dari dalam hutan mendadak muncul dua orang pendeta
yang mengenakan jubah kuning. "Kak wan!" bentak sipendeta yang jalan didepan. "Hm! Kau
berani bicara dan melanggar larangan kami ? Hm! Kau berani bicara dengan seorang luar.
Apa pula demang seorang wanita. Sekarang kau harus menghadap pada tetua Kayloet tong
(dewan per udang-undangan dari kalangan Buddha)."
Kak wan kelihatan berduka. Ia menunduk dan mengguk, akan kemudian berjalan mengikuti
dibelakang kedua pendeta itu.
Kwee Siang lantas saja naik darahnya "Hai ! Dikolong langit mama ada aturan tak boleh
bicara ?" bentaknya. "Aku bicara dengan Tay soe itu, karena aku mengenalnya. Ada sangkut
paut apakan dengan kau berdua ?"
Pendeta yang bertubuh jangkung melotot matanya. "Semenjak ribuan tahun, seorang wanita
belum pernah dipermisikan masuk kedalam daerah Siauw lim sie."
katanya. "Lebih baik nona cepat-capat turun gunung supaya tidak menghadapi kesukaran."
Sinona jadi semakin gusar. "Eh, kalau wanita masuk disini, mau apa kau?" bentaknya." Apa
perempuan tak sama dengan lelaki? Mengapa kamu menyusahkan Kak wan Taysoe? Sesudah
mengikatnya dengan rantai besi, kau mengeluarkan larangan gila-gila."
Si jangkung mengeluarkan suara dihidung "Kaizar sendiri tak pernah mencampuri urusan
dalam kuil kami," katanya dengan suara tawar.
"Nona tak usah banyak bicara."
Kwee Siang berjingkrak. "Kutahu Kak wan Taysoe seorang baik dan karena ia seorang baik,
kau berani menghinanya," katanya. "Huh-huh! Dimana adanya Thian beng Siansoe, Boe sek
Hweeshio dan Boe Siang Hweeshio? Panggil mereka? Aku mau menanyakan urusan gila ini!"
Kedua pendeta itu terkejut. Harus diketahui, bahwa Thian beng Siansoe adalah Hongthio atau
kepala dari kuil Siauw lim sie, sedang Boe sek Siansoe pemimpin Lo-han-tong Pan Boe siang
Siansoe pemimpin Tak mo tong dengan kedudukan yang sangat tinggi, mereke dihormat oleh
segenap pendeta yang belum pernah berani menyebutkan Hoat nia (nama sesudah jadi
pendeta) mereka dan biasa menggunakan panggilan "Loo hong thio" "Lo han tong Co-soe"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 7
atau "Tat mo tong Cocoa. " Maka itu, tidaklah heran jika mereka kaget tercampur gusar waktu
mendengar sinona menyebut nama ketiga, pemimpin dengan suara kasar.
Hoat mia pendeta yang bertubuh jangkung itu, adalah Hong bang, muria kepala Co coe
(pemimpin) Kay Loet tang. Atas perintah coe coe, bersama Hong yan, adik seperguruannya ia
menilik gerak-gerik Kak kwan. "Lie sie cue (nona) !" bentaknya sambil menahan amarah.
"Jika kau terus berlaku kurang sopan ditempat yang suci ini, Siauwceng tak akan berlaku
sangkan lagi."
"Kau kira aku takut ?" Kwee Siang balas membentak. "Lekas buka rantai yang meli- bat Kak
wan Taysoe. Jika tidak, aku akan cari Thian beng Loo hwaeshio untuk berurusan lebih jauh."
Bagaimana siauw tong sia Kwee Siang bisa berada digunung Siaw sit san ?
Sesudah berpisah dengan Yo Ko dan Siauw Liong Lie dipuncak Hwa san, tiga tahun lamanya
ia tak pernah menerima warta tentang kedua sahabat itu. Karena berkuatir, ia segera minta
permisi dari kedua orang tuanya untuk pesiar keberbagai tempat, dengan tujuan mendengar
berita tentang Yo Ko. la bukan terlalu ingin bertemu muka dengan kedua suami isteri itu. Ia
sudah merasa puas jika bisa mendengar warta tentang sepak terjang mereka. Tapi semenjak
berpisah, Yo Ko dan Siauw Liong Lie tak pernah muncul dalam dunia Kangouw. Tiada orang
tahu dimana mereka menyembunyikan diri. Sesudah berkelana disebagian besar wilayah
Tiong go an, dari utara keselatan, dari timur kebarat, belum pernah Kwee Siang nendengar
disebut-sebutnya, nama "Sintiauw Tayhiap Yo Ko."
"Waktu tiba dipropinsi Holam, dia ingat dulu Yo Ko pernah mengatakan bahwa ia kenal
Hong thio dari, kuil Siauw Lim sie. Mengingat begitu dalam hatinya muncul harapan, kalau
Thian beng SianSoe mengetahui segala sesuatu mengenai Yo Ko. la lalu mendaki Siauw sit
san, tapi tak dinyana, begita tiba ia bertemu dengan kejadian mengheran kan.
Melihat dipinggang Kwee Siang tergantung sebatang pedang pendek, Hong beng dan Hoang
yan jadi semakin gusar. "Tinggal kan pedangmu disini dan lekas pergi dari gunung!" bentak
Hoang yang dengan mata melotot.
Mendengar perintah itu, kegusaran sinona jadi bertambah2. Ia membuka ikatan tali pedang
dari pinggangnya dan sambil menggusarkannya dengan kedua tangan ia berkata seraya
tertawa dingin.
"Baiklah, aku menurut perintah!"
Semenjak kecil Hongyan sudah mencucikan diri dikuil Siauw Lim sie. Selama belasan tahun,
ia selalu mendengar bahwa Siauw lim sie adalah pusat dari ilmu silat dan siapapun juga,
biarpun ahli silat yang berkepandaian paling tinggi, tak akan berani melewati pintu kuil
dengan membawa senjata. Sekarang walaupun Kwee Siang masih belum masuk dipintu, tapi
ia sudah berada dalam lingkungan Siauw lim. Dengan usianya yang masih begitu muda, apa
pula ia hanya seorang wanita, dapat dimengerti jika Hong Yang tidak mempandang sebelah
mata kepada Kwee Siang. Begitu ia mengangsurkan senjatanya, si pendata menafsirkan,
bahwa nona itu sudah menyerah dengan ketakutan. Dengan paras muka ber seri2 sambil
mengebas tangan-jubah yang menutupi kedua tangannya; ia segera menelonjorkan tangan
untuk menjemput pedang Si nona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar