Selasa, 17 November 2009

Melihat begitu lain lain bendera dari Beng kauw segera membantu. Ang soei kioe
menyemburkan air beracun dan Houw tauw kiee melepaskan pasir beracun. Tangannya kedua
bendera menghancurkan pasukan Goan. Dengan dekat beberapa ratus orang menyerang terus
tapi dengan tidak berapa sukar mereka dibasmi oleh pasukan Swe kim kie dan Kie bok kie.
Sekonyong konyong di kaki gunung terdengar suara tambur yang sangat hebat. Dalam saat
lima ribu tentara musuh seperti kipas dengan membawa tameng tameng besar. Dengan adanya
tameng tameng itu, air dan pasir beracun tidak bisa berbuat banyak.
Kie bok kie turun tangan dengan melontarkan balok balok besar. Tapi usaha itupun hanya
membuat beberapa lubang pada barisan musuh yang lekas dapat menutupnya kembali.
Melihat keadaan itu, Kong boen segera berkata, “Thio Kauwcoe, harap kau dan yang lain-lain
lekas mundur untuk melindungi tenaga inti dari rimba persilatan kita. Biarpun hari ini kita
menderita kekalahan, di kemudian hari kita akan bisa bergerak lagi.”
Boe Kie tidak menyahut. Dengan rasa kuatir ia mengawasi pasukan tengah dari pasukan
musuh. Tiba-tiba ia lihat di bawah sehelai bendera terdapat seorang panglima yang
menunggang seekor kuda tinggi besar dan mengenakan pakaian perang kuning berkilauan,
seperti emas. Panglima ini kelihatannya sangat angker, tapi sebab teraling topi, mukanya tak
kelihatan tegas. Boe Kie menengok kepada Gouw Kin Co dan berkata, “Gouw Kinsoe, kau
serang panglima itu.”
“Baik!” jawabnya sambil mengibaskan bendera putih dan menerjang ke bawah. Seratus
batang tombak menyambar, seratus anggota Swie kie mengikuti ke arah perwira dan dan
serdadu yang berada di seputar jenderal itu.
“Wie Hok Ong,” kata pula Boe Kie. “Mari kita bekuk panglima itu. Yo Cosoe dan Hoan
Yosoe, kalian berdua harus melindungi kami.”
Ketiga pemimpin Beng kauw itu girang, mereka kagum akan tindakan sang Kauwcoe yang
berani dan tepat itu.
Boe Kie dan Wie It siauw adalah jago ilmu ringan tubuh yang sukar dicari tandingannya pada
jaman itu. Dengan berbareng mereka dan bagaikan berkrecepnya dua sinar kilat, tahu-tahu
mereka sudah berada di barisan tameng. Dengan mudah ia memukul jatuh semua anak panah
dan kemudian dengan sekali menotol tameng musuh dengan ujung kaki mereka tameng
tameng yang membentang seolah olah sebuah dinding besi. Tentara Goan kaget dan gusar.
Sambil berteriak teriak ia coba mengepung ketua penyerang itu. Tapi Boe Kie dan Wie It
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1427
Siauw bukan jago biasa. Dengan gerakan luar biasa dan ketabahan luar biasa pula, mereka
melewati rimba golok dan tombak. Dalam sekejap mereka sudah menghampiri panglima itu.
jenderal itu menikam dengan tombaknya. Boe Kie berkelit menangkap gagang tombak dan
menarik sehingga panglima perang itu terhuyung ke depan. Wie It Siauw melompat dan
mencengkeram batang lehernya. Panglima itu juga bukan sembarang orang. Dengan tangan
kiri ia menghunus pedang dan membabat. Boe Kie mengegos menangkap pergelangan tangan
musuh yang memegang pedang dan kemudian menariknya dari atas kuda. Pasukan pengawal
mengeluarkan teriakan tertahan dan mati-matian mereka coba menolong, tapi mereka ditahan
oleh Yo Siauw dan Hoan Yauw.
“Berangkat!” kata Boe Kie dengan suara girang.
Wie It Siauw segera menotok jalan darah tawanannya, menggendongnya dan lalu kabur ke
atas gunung, ke tempat yang sepi. Melihat jenderal mereka tertawan, sambil berteriak teriak
tentara Goan menguber. Tapi mereka tentu saja bukan tandingan Wie Hok ong yang berlari
lari seperti kera di antara batu batu cadas dan di tempat yang tak mungkin dilewati oleh
manusia biasa. Melihat kawan itu sudah berhasil, Boe Kie segera mengajak Yo Siauw dan
Hoan Yauw kembali ke atas gunung.
Sesudah berada di tempat aman, Wie It Siauw sengaja memperlihatkan kepandaiannya.
Sambil lari ia melemparkan tubuh panglima itu. Tentara Goan berteriak karena menduga
pemimpin mereka bakal jatuh dengan tubuh hancur luluh. Tapi selagi tubuh itu melayang ke
bawah, Wie Hok ong sudah menyusul menyangganya dengan kedua tangan. Setelah
mengulangi permainan berbahaya itu beberapa kali, ia tiba di puncak. “Yo Cosoe!” teriaknya.
“Jual beli datang!” seraya berteriak begitu, ia melontarkan tubuh si panglima ke arah Yo
Siauw yang lalu menyambuti dalam satu gerakan yang sangat indah.l
Yo Siauw membuka topi tawanannya. Panglima yang berparas tampan mengawasi dengan
mata mendelik dan alis berdiri.
Mendadak Tio Beng berteriak. “Koko!”
Ia menubruk dan memeluk jenderal itu yang ternyata bukan lain daripada Ong Po po, kakak si
nona.
Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka.
Alis Boe Kie berkerut. Ia menghampiri dan ia mendukung Ong Po po yang berkata, “Maaf.”
Sesudah itu lalu diserahkan kepada Kong boen dan Kong tie. “Taysoe, dengan menggunakan
dia sebagai tanggungan, Siauw Lim sie bisa diselamatkan,” bisiknya. “Tapi dia mempunyai
hubungan dengan aku dan kuharap Jiewie Taysoe jangan mencelakakannya.”
Kedua pendeta itu girang dan lalu mengambil dua batang golok yang kemudian ditandalkan di
leher Ong Po po.
“Tentara Mongol, dengarlah!” teriak Yo Siauw. “Siauw ong ya kamu sudah jatuh ke dalam
tangan kami. Mundurlah, supaya kamu tidak mencelakai jiwanya.”
Ban hon thio yang memimpin selaksa tentara itu kaget bercampur bingung. Kalau panglima
itu benar benar binasa, Jie lam ong akan marah besar dan mungkin sekali seluruh pasukan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1428
akan mendapat hukuman mati. Maka itu sesudah memikir beberapa saat, ia segera
mengeluarkan titah untuk menarik pulang semua tentara.
Selagi para enghiong bersorak sorai dengan penuh kegirangan, di kaki gunung sekonyongkonyong
terdengar suara tambur yang bergemuruh dan sejumlah anak panah api menyambar
ke tengah udara. Hampir berbareng di empat penjuru terdengar teriakan teriakan yang seolah
olah menggetarkan seluruh Siauw sit san.
“Kauwcoe, bala bantuan datang!” kata Yo Siauw dengan girang.
Boe Kie mengangguk. “Bala bantuan datang,” teriaknya. “Terjang musuh!”
Perintah itu disambut dengan tempik sorak. “Para enghiong, dengarlah!” teriak pula Boe Kie.
“Lebih dahulu binasakan perwira kemudian baru serdadu.”
Karena tahu datangnya bala bantuan Siauw Lim sie, tentara Goan yang baru dapat perintah
mundur, lantas saja merosot semangatnya. Maka itu begitu diterjang oleh para enghiong,
mereka lantas menjadi kalut dan lari ke bawah gunung dengan kalang kabut.
Setibanya di lereng Boe Kie lihat bendera bendera Beng kauw. Di sebelah selatan terdapat
sehelai bendera besar dengan huruf “Cie” sedang di sebelah utara lain bendera dengan huruf
“Siang”. Ia tahu bahwa yang datang menolong adalah Cie Tat dan Siang Gie Coen. Kedua
panglima itu yang semula berada di daerah Hwayho secara kebetulan datang di Holam
selatan. Begitu mendapat warta dari Po tay hweeshio, mereka segera menggerakkan seluruh
tentara dan menyusul siang malam, sehingga dalam waktu dua hari saja mereka sudah tiba di
Siauw sit san. Pasukan Cie tat dan Siang Gie Cioe terdiri dari orang orang yang
berpengalaman dan gagah berani. Sebab jumlah mereka banyak lebih besar, maka sesudah
bertempur beberapa gebrakan mereka berhasil memberi pukulan hebat kepada selaksa tentara
Goan yang menjaga di kaki gunung dan lantas saja lari lintang pukang ke jurusan barat.
Sebagaimana diketahui Boe Kie sendiri sudah menetapkan satu siasat. Dengan menggunakan
orang-orang yang mahir dalam ilmu ringan tubuh, ia ingin memancing tentara musuh ke
dalam selat gunung yang terletak di sebelah barat Siauw sit san. Tiga penjuru selat itu tertutup
pada lereng gunung yang seperti dinding terjal. Jie Lian Coe dan kawan kawaannya berhasil
memancing musuh ke selat itu, Ban hoe Tio yang memimpin selaksa tentara itu juga tahu
berbahayanya saat tersebut. Tapi sebab musuh berjumlah sangat kecil hanya beberapa ratus
orang, maka menurut pendapatnya biarpun diserang pasukan yang sembunyi ia bisa melayani.
Maka itu tanpa bersangsi ia segera memerintahkan tentaranya mengejar terus.
Setibanya di lereng, Jie Lian Coe dan kawan-kawannya segera memanjat ke atas dengan
menggunakan tambang-tambang yang sudah disediakan dan tergantung di lereng itu. Tapi
mereka adalah ahli-ahli silat jempolan, sehingga tanpa menemui banyak kesukaran mereka
bisa merayap terus ke atas. Dalam pihak tentara Goan yang mengenakan pakaian perang yang
sangat berat tentu saja tidak bisa berbuat begitu.
Begitu masuk di selat dan lihat gerakan musuh, Ban hoe thio dan tentara Goan lantas insyaf
bahwa ia sudah terjebak. Cepat-cepat ia memerintakan tentaranya supaya mundur. Tapi sudah
kasep! Api, pasir beracun dan anak panah lantas saja menyambar-nyambar. Hampir berbareng
pasukan Kie bok kie melontarkan balok-balok besar ke mulut selat yang lantas saja tertutup
rapat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1429
Tak lama kemudian barisan Goan kedua yang juga terdiri dari selaksa orang dan dikejar oleh
pasukan Cie Tat serta Siang Gie Coen tiba di situ. Sebab mulut selat sudah tertutup mereka
kabur ke empat penjuru.
“Sungguh sayang!” kata Boe Kie kepada Cie Tat. Kalau sudah diatur terlebih dahulu barisan
Goan yang kedua itu tentu bisa dipancing masuk ke dalam selat dan seantero barisan yang
terdiri dari dua laksa jiwa akan dapat dimusnahkan sekaligus. Tapi Boe Kie sudah boleh
merasa puas dengan hasil yang diperoleh. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa bala
bantuan bisa datang begitu cepat. Waktu mengatur siasat tujuannya hanyalah menyelamatkan
kuil Siauw Lim sie.
Sementara itu Cie Tat segera memerintahkan tentara memperkuat tutupan selat dengan batu2
besar dan menitahkan sepasukan anak panah memanjat ke atas lereng untuk memanah musuh
dari atas ke bawah. Tentara Goan yang sudah tak bisa membela diri lagi jadi makin kalang
kabut. Sambil sesambat dan berteriak teriak, mereka lari seperti gila, mencari cari
perlindungan di antara batu batu dan pohon pohon.
Tak lama kemudian Siang Gie Cen dan tentaranya tiba. Pertemuannya dengan Boe Kie
menimbulkan kegirangan besar. Ia seorang yang beradat berangasan. Begitu tahu musuh
terkepung di dalam selat ia berteriak. “Singkirkan semua balok dan batu! Biar kuhajar semua
Tat Coe!”
“Perlu apa kau menggunakan tenaga?” kata Cie Tat sambil tertawa. “Di dalam selat tiada air
dan tiada makanan. Dalam tiga empat hari mereka akan mati sendiri.”
Siang Gie Coen tersenyum dan tak berkata apa apa lagi.
Apa yang dapat dilakukan Cie Tat dan Siang Gie Coen ialah memerintahkan tentaranya
membasmi bagian musuh yang kedua, yang lari berpencaran ke bawah gunung.
Sesudah musuh kabur semua, atas permintaan Tio Beng, Boe Kie melepaskan Ong Po po dan
memerintahkan Gouw Kin Co serta sejumlah anggota Swie kim kie mengantarnya sampai
lima puluh lie. Sesudah lima puluh lie, Tio Beng sendiri mengantar lagi sepuluh lie dan
berulang ulang mohon maaf. Tapi Ong Po po tak meladeni adiknya itu, sehingga si nona
kembali ke Siauw sit san dengan rada berduka dan masgul. Malam itu di kaki Siauw sit san
diadakan pesta besar sebagai tanda girang berhubung dengan kemenangan besar. Para
enghiong yang sudah berhari hari hanya makan makanan ciacay malam itu makan minum
sepuas hati.
Selagi bersantap Cie Tat menuang secawan arak dan mempersembahkannya kepada Boe Kie.
“Kauwcoe, aku memberi selamat dengan secawan arak ini!” katanya.
Boe Kie menyambuti dan menceguk isinya.
“Kauwcoe, semula aku hanya merasa takluk akan pribudi dan ilmu silatmu yang sangat
tinggi,” kata pula Cie Tat. “Di luar dugaan, Kauwcoe pun mahir dalam ilmu perang dan dapat
menggunakan siasat perang seperti malaikat. Inilah rejeki agama kita dan keberuntungan
untuk segenap rakyat.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1430
Boe Kie tertawa terbahak bahak. “Cie Toako,” katanya, “Jangan kau memuji aku.
Kemenangan hari ini didapat berkat kedatangan jiewie Toako yang sangat cepat dan juga
peninggalan Gak Boe bok. Dalam peperangan ini, siauwtee tak punya pahala suatu apa.”
“Peninggalan Gak Boe bok?” menegas Cie Tat. “Bolehkah Kauwcoe memberi penjelasan?”
Boe Kie merogoh saku dan mengeluarkan Boe Bok Ie soe. Ia membalik lembarannya sampai
pada bagian terkepung di Goe tauw san, dan lalu menyerahkannya kepada Cie Tat.
Sesudah membaca, Cie Tat kaget tercampur girang. Ia menghela nafas dan berkata,
“Perhitungan Boe Bok takkan dapat ditandingi oleh manusia manapun juga di jaman ini.
Apabila sekarang Gak Boe Bok masih hidup dan memimpin kita, Tat coe pasti akan bisa
diusir balik ke padang pasir.” Sehabis berkata begitu, dengan sikap hormat ia mengembalikan
kitab itu kepada sang kauwcoe.
Tapi Boe Kie tidak menyambuti. “Hari ini baru aku tahu apa artinya ‘bo lim cie coen, po to
liong, hauw leng thian hee, bo kam poet ciong,’” katanya. “Apa yang dikatakan ‘bo lim cie
coen (yang termulia dalam Rimba Persilatan) bukan To liong to. Yang termulia dalam Rimba
Persilatan adalah kitab perang Gak Boe bok yang disembunyikan dalam golok itu. Dengan
kitab itu seseorang yang bisa mengalahkan musuh, sehingga akhirnya ia bisa ‘hauw leng thian
hee, boh kam poet ciong’. Cie toako, aku telah mengambil keputusan untuk menghadiahkan
kitab ini kepadamu dengan pengharapan supaya kau bisa mewujudkan cita cita ‘hoan ngo ho
san’ dari Gak Boe Bok.” (Hoan ngo ho san adalah cita-cita yang termasyur dari Gak Hoei,
hoan ngo ho san berarti kembalikan sungai dan gunungku).
Cie Tat terkejut. “Orang sebawahanmu sama sekali tak punya kebajikan dan kepandaian,
sehingga mana berani menerima hadiah Kauwcoe yang begitu besar?” katanya sambil
membungkuk.
“Cie Toako jangan menolak. Demi kepentingan umat manusia di kolong langit, aku
menyerahkan kitab ini kepadamu.”
Cie Tat tak bisa mengucapkan sepatah kata. Kedua tangannya yang memegang Boe Bok Ie
soe kelihatan gemetar.
“Dalam kata kata yang terkenal itu masih terdapat dua baris terakhir yang berbunyi, ‘Ie thian
poet coet, swee ie ceng hiong’,” kata pula Boe Kie. “Sekarang Ie thian kiam patah dua, tapi
kupercaya di kemudian hari pedang itu akan tersambung pula. Di dalam pedang tersebut
disembunyikan sejilid kitab ilmu silat yang sangat lihay. Aku mengerti maksudnya. Kitab
perang Gak Boe Bok adalah untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Sesudah Tat Coe diusir
pergi, seorang lain akan berkuasa di negara kita. Apabila Kaisar itu ternyata seorang penjahat
yang sewenang wenang sehingga rakyat menderita, maka seorang enghiong akan tampil ke
muka dan membinasakan kaisar durjana itu dengan Ie Thian Po Kiam. Biarpun dia berkuasa,
belum tentu dia bisa menangkis tekanan Ie Thian kiam. Cie Toako, kuharap kau ingat
perkataanku ini.”
Bulu roma Cie Tat bangun semua dan keringat membasahi pakaiannya. Ia tidak berani
menolak lagi dan berkata sambil menjura, “Orang sebawahanmu tidak bisa berbuat lain
daripada menerima perintah Kauwcoe.” Ia menaruh kitab itu di meja, berlutut empat kali dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1431
kemudian berlutut di hadapan Boe Kie sebagai pernyataan terima kasih. Mulai waktu itu, Boe
bok Ie Soe menjadi milik Cie Tat. Di kemudian hari benar saja dialah yang bisa mengalahkan
tentara Goan dan mengusirnya sampai di daerah Tiongkok, sehingga nama besarnya
menggetarkan di seluruh wilayah di sebelah utara padang pasir.
* * * * *
Semenjak perang Siauw sit san, segenap orang gagah di daerah Tiong goan mempersatukan
diri dengan Beng kauw. Setiap perintah Boe Kie ditaati oleh semua orang. Selama ratusan
tahun, Beng kauw dianggap sebagai agama iblis. Di luar dugaan sekarang Beng kauw menjadi
pemimpin dari para orang gagah di seluruh Tiongkok dalam usaha merebut pulang negara dari
tangan bangsa lain. Di belakang hari Coe Goan Ciang bercabang hatinya dan dengan tipu
muslihat ia naik ke atas tahta kaisar. Tapi adalah sebuah kenyataan, bahwa yang membantu
dia merebut Tiongkok adalah orang orang Beng kauw dan mungkin itulah sebabnya mengapa
ia menggunakan perkataan dan ”Beng” (terang) untuk nama kerajaannya. Duaratus tujuh
puluh tahun kerajaan Beng berkuasa di Tiongkok dan asal mula berdirinya dari kerajaan
tersebut adalah usaha Beng kauw.
* * * * *
Malam itu semua orang makan minum sepuas hati. Pada keesokan harinya, mereka meminta
diri dari Kong Boen dan Kong tie.
Melihat keadaan Go bie pay yang rusak dan tak punya pemimpin dan mengingat pula keadaan
Song Ceng Soe yang terus di dalam tandu, Boe Kie tak sampai hati. Ia menghampiri
rombongan partai dan berkata kepada Ceng Hoe, “Bolehkah aku menengok keadaan Song
Toako?”
“Kau tak usah berlagak baik hati!” jawabnya dengan ketus.
Si sembrono Cioe Tian naik darahnya. “Kurang ajar!” cacinya. “Dengan mengingat kecintaan
dulu Kauwcoe kami sudah mengobati lukanya. Sebenarnya manusia yang mengkhianati orang
tua yang gagah itu boleh dibinasakan oleh siapapun juga.”
Ceng Hoe menjebikan bibir. Ia ingin balas mencaci, tapi sebab kuatir dihajar, sebisa bisa ia
menahan nafsu amarahnya. “Semenjak dulu Ciangboenjin Go bie pay adalah gadis yang putih
bersih seperti es dan batu Giok,” katanya dengan suara dingin. “Kalau Cioe Ciang boen bukan
seorang gadis, cara bagaimana ia rasa menjadi pemimpin partai kami? Hmm!... beradanya
manusia seperti Song Ceng Soe dan partai kami benar-benar sudah menodai nama baiknya
Cioe Ciang boen. Lie soetit, Liong soetit, pulangkan saja manusia itu kepada Boe tong pay!”
Dua pemikul tandu lantas saja mengiakan, memikul tandu yang berisi Song Ceng Soe,
menaruhnya di hadapan Jie Lian Cioe dan lalu menyingkir.
Semua orang kaget. “Apa…?” tanya Jie Jiehiap. “Bukankah ia suami Ciangboenjin mu?”
“Hi!” bentak Ceng Hoei dengan nada mendongkol. “Manusia semacam dia mana dipandang
mata oleh pemimpin kami? Sebab perbuatan si bocah Thio Boe Kie, barulah Cioe ciangboen
memancing bocah she Song itu yang rela menyamar sebagai suami. Siapa duga… siapa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1432
duga… huuh huh…! Kalau tahu bakal terjadi kejadian ini, perlu apa Cioe ciangboen menodai
namanya sendiri…?”
Boe Kie tak bisa bersabar lagi. “Kalau begitu dia bukan Song Hoejin?” tanyanya.
Ceng Hoei menengok dan membentak. “Aku tidak bicara denganmu!”
Sesaat itu Song Ceng Soe yang rebah di tandu bergerak dan berkata dengan suara di
tenggorokan. “Apa Thio Boe Kie sudah… dibunuh…?”
“Jangan mimpi!” ejek Ceng Hoei. “Maut sudah berada di atas kepalamu dan kau masih
membayang bayangkan paras cantik.”
Melihat Ceng Hoei sukar diajak bicara, In Lie Heng segera menanya seorang murid Go bie
pay lain. “Lie Soemoay, bagaimanakah kejadian yang sebenarnya?”
Yang ditanya seorang setengah tua, Lie Beng Hee namanya, sahabat mendiang Kioe Siauw
Hoe. Mendengar pertanyaan itu, ia lalu berkata, “Ceng Hoei Sioecie, In Liok Hiap bukan
orang luar, bolehkah Siauwmoay menceritakan apa yang terjadi?”
“Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan orang luar atau bukan orang luar dan lebih lebih
harus menjelaskannya kepada orang luar. Cioe Ciang boen wanita suci, putih bersih yang tak
punya hubungan apapun juga dengan pengkhianat she Song itu. Bukankah dengan mata
sendiri kita semua sudah lihat Sioe kiong sie di lengan Cioe Ciang boen? Kenyataan ini harus
diumumkan kepada kawan kawan Rimba Persilatan demi nama baik Cioe Ciang boen, demi
Go bie pay…”
Mendengar perkataan Ceng Hoei yang bicara tanpa juntrungan itu, In Lie heng segera berkata
kepada Lie Beng Hee, “Lie Soemoay, kalau begitu kuharap kau suka lantas bicara bagaimana
Song soetit masuk ke dalam partai kalian dan hubungan apa terdapat antara dia dan Cioe
ciangboen? Hal ini aku akan melaporkan kepada guruku. Hal ini kuanggap penting untuk
kedua partai kita. Kita harus menjaga dan memelihara keakuran antara Go bie dan Boe tong
pay!”
Lie Beng Hee menghela nafas. “Orang seperti Song siauwhiap memang sukar dicari,” katanya
dengan suara perlahan. “Hanya sayang karena gara-gara mabuk cinta, dia terjerumus ke dalam
jurang kehinaan. Mungkin sekali Cioe ciang boen telah menjanjikan bahwa sesudah Thio Boe
Kie dibunuh mati, yaitu sesudah membalas dendam sebab si bocah she Thio kabur dalam
upacara pernikahan, ia akan suka menikah dengan Song siauwhiap. Itulah sebabnya mengapa
Song siauwhiap rela masuk ke dalam partai kami dan meminta ilmu silat istimewa dari
pemimpin kami. Dalam enghiong Tayhwee tiba-tiba Cioe Ciang boen mengakui dirinya
sebagai Song hoejin, sebagai isteri Song siauwhiap.
Ketika itu semua murid Go bie kaget dan heran. Sebagaimana kalian tahu, hari itu Cioe ciang
boen berhasil merobohkan semua orang gagah…”
“Jangan sembarangan!” menggerutu Cioe Tian. “Dia menang sebab Thio Kauwcoe
mengalah.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1433
Lie Beng hee tidak meladeni dan bicara terus. “Kemenangan itu menggirangkan sangat kami
semua, tapi di dalam hati kami merasa kurang puas, sebab perkataan “Song hoejin” itu!
Malamnya kami menanyakan Cioe ciangboen maksud dari sikapnya. Cioe ciangboen
menggulung lengan baju kirinya dan memperlihatkan lengannya. “Semua kemari,” katanya
dengan suara menyeramkan. Kami semua menghampiri dan dengan mata sendiri kami lihat
sebutir Sioe kioe see pada lengannya masih tetap merah seperti sedia kala. Itulah bukti, bahwa
ia masih seorang gadis suci dan bersih. “Aku mengakui diri sebagai Song Hoejin untuk
menjalankan tipuku,” katanya. Aku ingin membangkitkan kedongkolan si bocah she Thio,
supaya dia tidak bisa memusatkan seantero semangatnya dan aku bisa menjatuhkan dia dalam
Pieboe. Bocah itu kepandaiannya tinggi dan aku sebenarnya tak akan bisa menang. Demi
kepentingan partai kita, namaku tidak ada artinya. Itulah perkataan yang diucapkan oleh Cioe
ciangboen.” Dalam memberi penjelasan Lie Beng Hee bicara keras keras supaya bisa
didengar oleh banyak orang.
Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula, “Murid-murid partai kami, baik wanita maupun
pria kecuali yang menjadi pendeta sebenarnya tidak dilarang untuk menikah, untuk berumah
tangga.
Tapi semenjak jaman Kwee Couw, ilmu silat yang tertinggi hanya diturunkan kepada seorang
gadis yang masih suci. Pada waktu mengangkat guru, lengan murid wanita dimasukkan Sioe
kiong see oleh mendiang soehoe periksa lengan semua murid wanita yang dimasukkan Sioe
kiong see. Tahun itu, lengan Kie soe Cie juga diperiksa…!” Ia tidak bisa meneruskan
perkataannya dan mukanya bersemu dadu. Ia berusia lanjut, tapi ia masih merasa jengah
untuk menyebutkan perhubungan antara Yo Siauw dan Kie Hoe mengakibatkan terhapusnya
Sioe Kiong See. Sebagaimana diketahui, In Lie heng sudah menikah dengan Yo Poet Hwie
(putri Yo Siauw dan Kie Siauw Hoe) dan pernikahan itu sangat beruntung. Tapi mendengar
penutuuran Lie Beng Hee, In Liok hiap lantas saja ingat nasib mendiang tunangannya itu dan
tanpa merasa, dengan air mata berlinang-linang ia menengok ke arah Yo Siauw. Begitu
menengok, begitu ia melegos, sebab ia lihat air mata yang turun dengan perlahan di kedua
pipi mertua itu. Sioe kiong see, semacam papir yang dimasukkan ke lengan seorang gadis
merupakan tanda dari kesucian gadis itu. Begitu menikah, titik Sioe kiong yang berwarna
merah terang lantas hilang.
“In Liok hiap,” Lie Beng Hee berkata lagi, “demikianlah, sebab Ciang boen jin kami ingin
membangkitkan kedongkolan Thio Kauwcoe dan Siong siauwhiap mabuk cinta, maka
terjadilah peristiwa yang kita sangat inginkan. Aku hanya mengharap agar Song siauwhiap
bisa sembuh kembali. Kumohon In Liok hiap suka bicara baik di hadapannya Thio Cinjin dan
Song tayhiap agar kerukunan antara kita tidak dirugikan.
“Aku memang harus berbuat begitu,” kata In Lie Heng. Tapi soetitku itu seorang berdosa
yang pantas dihukum mati. Perbuatannya memalukan partai kami. Aku harap dia mati sendiri
terlebih cepat.” Pada hakekatnya In Lie Heng seorang mulia yang berhati lemas. Tapi
mengingat perbuatan Song Ceng Soe di dalam mencelakakan Boh Seng Kok darahnya
meluap.
Selagi beromong omong di sebelah kejauhan mendadak teriakan ketakutan yang nyaring dan
tajam. Itulah teriakan Cie Jiak. Bahaya apa yang ditemuinya, teriakannya itu sangat
menyeramkan dan membangunkan bulu roma.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1434
Semua orang terkesiap hampir berbareng mereka berpaling ke arah teriakan itu. Boe Kie,
Ceng Hoe, Lie Beng Hee dan sejumlah orang lantas saja berlari lari ke jurusan teriakan itu.
Sebab kuatir Cie Jiak bertemu musuh tangguh atau binatang buas, Boe Kie mengempos
semangatnya dan dalam sekejap ia sudah melewati hutan. Satu bayangan hijau mendatangi
dan bayangan itu adalah Cie Jiak. Boe Kie menyambuti dan bertanya, “Cie Jiak, ada apa?”
“Setan… setan uber aku!” jawabnya sambil menubruk dan memeluk Boe Kie. Ia menggigil
dan giginya berbicara.
Sebab kasihan, Boe Kie membiarkan dirinya dipeluk. Ia menepuk nepuk pundak Cie Jiak dan
menenteramkannya. “Jangan takut, mana ada setan? Apa yang dilihat olehmu?”
Muka dan kedua lengan Cie Jiak belepotan darah sebab tergores duri, sedang pakaiannya
robek di sana sini. Separuh tangan kirinya terobek putus sehingga lengannya yang putih
terbukan dan pada lengan itu terlihat satu titik merah yang terang bagaikan giok. Itulah titik
Sioe kiong sie, tanda dari seorang gadis yang masih suci. Boe Kie sekarang mendapat
kepastian apa yang dikatakan Lie Beng Hee adalah sebuah kebenaran. Sesaat itu dalam
otaknya berkelebat macam macam pikiran. Dia pernah mengatakan kepadaku bahwa waktu di
penjara oleh Kaypang kesuciannya telah dinodai oleh Song Ceng Soe dan dia sudah hamil,
pikirnya. Waktu aku periksa nadinya, aku tak dapat tanda tanda kehamilannya. Ketika itu aku
sangsikan ketepatan pemeriksaanku, ternyata ia menipu aku. Semua pengakuannya dusta
belaka. Di lain saat ia berkata pada dirinya sendiri, “Thio Boe Kie oh Thio Boe Kie! Cioe
kauwnio adalah musuh yang sudah membinasakan piauwmoay mu. Dia masih gadis atau
sudah menikah, ada hubungannya dengan dirimu?”
Ia menggigit bibir dan mengeraskan hati. Tapi sebab si nona menggigil, ia tak tega untuk
menolaknya.
Sementara itu sesudah bersandar di dada Boe Kie beberapa lama, Cie Jiak jadi lebih tenang.
“Boe Kie koko, apa benar kau?” tanyanya dengan suara parau.
“Benar aku, apa yang dilihat olehmu? Mengapa kau begitu ketakutan?”
Mendengar pertanyaan Boe Kie, nona Cioe bergemetaran lagi dan “uah…!” ia menangis
keras.
Beberapa saat kemudian Yo Siauw, Wie It Siauw, Ceng Hoei, In Lie Heng dan yang lain lain
tiba disitu. Melihat Cie Jiak sedang menangis dan memeluk Boe Kie, mereka saling memberi
isyarat lalu menyingkir. Orang orang Beng Kauw, Boe tong dan Go bie pay sangat mengharap
Cie Jiak dan Boe Kie bisa akur kembali dan terangkap menjadi suami isteri. Mereka
mengharap begitu sebab Tio Beng pernah menyakiti hati mereka dan juga sebab nona itu
adalah puteri seorang Mongol. Mereka kuatir pernikahan antara Boe Kie dan Tio Beng akan
merugikan usaha besar.
Sesudah menangis beberapa lama, Cie Jiak bertanya, “Boe Kie koko, apa ada yang
mengubar?”
“Tak ada! Siapa yang mengejar kau? Hian beng Jie loo kah?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1435
“Bukan… bukan… lihatlah yang terang. Apa benar tak ada manusia. Bukan… bukan
manusia… apa tak ada sesuatu yang mengudak kemari…”
Boe Kie tertawa, “Di siang hari bolong kalau ada yang mengubar masakan tak kulihat?”
katanya dengan suara lemah lembut. “Cie Jiak, selama beberapa hari kau terlalu letih.
Mungkin sekali matamu kabur dan kau salah lihat!”
“Tak mungkin, tiga kali kulihat dia,” jawabnya.
“Apa yang kau lihat sampai tiga kali?” tanya Boe Kie.
Sambil memegang kedua lengan Boe Kie erat erat dan sesudah mengumpulkan seantero
keberaniannya, Cie Jiak menengok ke belakang akan kemudian baru-baru memutar kepalanya
lagi ke arah Boe Kie. Melihat muka pemuda itu yang penuh kekuatiran, tiba-tiba rasa terharu
yang tiada taranya bergelombang dalam hati si nona. Tenaganya habis dan ia roboh ke tanah.
“Boe Kie koko…” katanya dengan nada sesambat yang diliputi penyesalan hebat. “Aku… aku
telah menipu kau habis habisan. Akulah yang curi Ie thian kiam dan To Liong to. In… In
Kouwnio dibunuh olehku. Jalan darahnya Cia tayhiap ditotok olehku. Aku tak pernah
menikah dengan Song Ceng Soe. Dalam hatiku hanya… hanya terdapat… kau seorang…”
“Aku sudah tahu itu semua. Tapi mengapa kau berbuat begitu?”
“Kau tidak tahu apa yang dikatakan oleh mendiang guruku di atas menara di Ban hoat sie. Ia
memberitahukan rahasia Ie thian kiam dan To liong to kepadaku. Ia paksa aku bersumpah,
bahwa sesudah berhasil mencuri pedang dan golok mustika itu, aku harus angkat derajat Go
bie pay. Ia paksa aku bersumpah, bahwa aku akan berlagak baik terhadapmu, tapi tidak boleh
mencintai kau dengan sesungguhnya…”
Dengan rasa kasihan Boe Kie mengusap usap tangan si nona. Di depan matanya lantas saja
terbayang cara bagaimana Biat Coet Soethay membinasakan Kie Siauw Hoe dengan
tangannya sendiri. Cara bagaimana di padang pasir niekouw tua itu bersumpah untuk
memusnahkan Beng kauw, cara bagaimana dia membunuh anggota anggota Swie kiem kie
dengan Ie thian kiam dan cara bagaimana di Bin hoat sie, nenek itu lebih suka binasa daripada
menerima pertolongannya. Peristiwa peristiwa itu membuktikan bahwa kebencian Biat coat
Soe thay terhadap Beng kauw adalah kebencian yang sangat mendalam.
Cioe Cie Jiak adalah ahli waris si nenek dan telah menerima pesan terakhir. Maka itu ia
percaya, bahwa perbuatan Cioe Cie Jiak yang berdosa telah dilakukan atas anjuran Biat coat.
Boe Kie adalah seorang yang mudah memaafkan dan tidak bisa menaruh dendam. Ia ingat
pula, bahwa dalam pertempuran di Kong beng teng melawan suami isteri Ho Thay Ciong dan
dua tetua Hwa san pay kalau tidak dapat pertolongan si nona, mungkin sekali ia sudah binasa.
Sebagai seorang yang berhati mulia, pertolongan itu menonjol ke depan dan segala kedosaan
nona Cioe jadi terlebih kecil. Rasa kasihannya lantas saja bertambah besar. “Cie Jiak,”
katanya dengan suara halus, “bilanglah apa yang dilihat olehmu? Mengapa kau begitu
ketakutan?”
Tiba-tiba si nona melompat bangun. “Tidak! Aku tak akan beritahukan kepadamu,” katanya
dengan nafas memburu. “Aku dikejar setan penasaran… aku berdosa dan pantas mendapat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1436
pembalasan. Hari ini aku sudah mengakui semua di hadapanmu. Aku… aku tak akan bisa
hidup lama di dalam dunia…” Sehabis berkata begitu, ia lari ke bawah gunung.
Boe Kie mengawasi dengan mulut ternganga. “Setan penasaran?” tanyanya di dalam hati.
“Apa perbuatan orang Kay pang yang coba membalas sakit hati dengan menyamar sebagai
setan?”
Nona Cioe lari ke rombongan Go bie pay. Lie Beng Hee buru buru mengambil baju dan
menyerahkannya kepada sang pemimpin. Sesudah memakai baju itu diluar baju yang
rombeng, Cie Jiak segera bicara kepada murid Go bie dengan suara perlahan dan mereka
menjawab dengan manggut-manggutkan kepala.
Jilid 79_________________
“Kita berangkat sekarang,” kata Boe Kie. Mendadak ia lihat Cie Jiak menghampiri Kong boen
dan bicara bisik-bisik. Paras muka pendeta itu tiba-tiba berubah, ia kelihatannya kaget dan
menggeleng-gelengkan kepala seperti orang tidak percaya akan sesuatu. Sesudah bicara lagi
beberapa patah, se-konyong2 nona Cioe berlutut dan merangkap kedua tangannya, sedang
bibirnya bergerak-gerak seperti orang berdosa atau meminta sesuatu. Dilain pihak dengan
paras muka angker Kong boen pun mengucap sesuatu.
"Heran! ..." kata Cioe Tian. "Kauwcoe kau harus mencegah."
"Mencegah apa?” tanya Boe Kie.
"Cioe Kauwnio kelihatannya mau jadi hweeshio,” jawabnya, "Kalau kau masuk dipintu
kosong runyamlah untuk Kauwcoe." (Masuk dipintu kosong berarti pendeta ).
Yo Siauw tertawa geli. "Andaikata benar Cioe Kauwnio, jadi niekouw," katanya "Mana bisa
ia mengangkat hweeshio Siauw lim sebagai guru?" (Hweeshio pendeta lelaki. Niekouw
pendeta perempuan).
Si sembrono menabok mulutnya sendiri. "Benar ! Kau benar! Aku yang tolol," katanya. "Tapi
apa yang diminta Cioe Kauwnio dari Kong-boen? Yang satu Ciangboen Siauw lim pay, yang
lain Ciangboen Go bie pay. Mereka sederajat dan setingkat, Cioe Kauwnio tak perlu berlutut."
Dilain saat Cie Jiak sudah bangun berdiri. Paras mukanya kelihatan tenang seperti orang yang
baru dihibur hatinya.
“Sudahlah," kata Boe Kie. “Jangan urus urusan orang lain." Ia menengok kebelakang dan
berkata pula. "Beng moay, mari kita berangkat." Tiba-tiba saja ia terkejut sebab Tio beng tak
berada di sampingnya, sedang biasanya nona Tio tak pernah berada jauh dari dirinya,
"Mana Tio Kauwnio?" tanyanya. Mendadak keringat dingin keluar dari dahinya. "Celaka!" ia
mengeluh. "Mungkin Beng-moay kabur sebab lihat Cie Jiak memeluk aku." Tergesa-gesa ia
memerintahkan sejumlah orang pergi mecari Tio Beng.
Selagi orang repot, Hee Yam, Cangkie soe Liat hwee kie datang dan berkata. "Melaporkan
kepada Kauwcoe, aku lihat Tio Kauwnio turun gunung!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1437
Boe Kie sangat berduka. "Tanpa memperdulikan segala apa Beng-moay telah mengikuti aku,“
katanya. "Dalam mengikuti aku ia telah merasakan banyak penderitaan. Mana bisa aku
menyia-nyiakan dia?“ Ia berpaling pada Yo Siauw dan berkata pula, "Yo-heng segala urusan
aku serahkan kepadamu. Aku mau meninggalkan kalian untuk sementara waktu.“
Sesudah meminta diri dari Kong Boen dan lain-lain ia berkata kepada Cie Jiak. "Cie Jiak,
baik-baik menjaga diri. Di hari kemudian kita akan bertemu pula." Si nona tak menjawab. Ia
menunduk dan manggut-maaggutkan kepalanya, sedang air matanya jatuh menetes di tanah.
Dengan ilmu mengentengkan tubuh Boe Kie turun gunung, Disepanjang jalan ia melewati
para enghiong yang mau pulang.
Diantara mereka tak terdapat Tio beng. Sesudah mengejar tiga puluh li lebih, siang mulai
berganti malam dan jalan mulai sepi. Tiba-tiba ia berkata pada dirinya sendiri, "Beng-moay
seorang cerdik. Tak mungkin ia mengambil jalan besar. Apabila ia menggunakan jalanan ini,
aku tentu sudah menyandak. Apa dia masih bersembunyi di gunung?"
Memikir begitu ia segera kembali ke atas dan lari berputar-putar, dengan kadang-kadang naik
ke pohon tinggi. Tapi yang terlihat hanyalah gunung, lorong dan kawanan gagak yang pulang
ke sarang.
Ia pergi ke belakang gunung, tapi yang dicari tetap tak kelihatan bayangannya. "Beng-moay,"
katanya didalam hati, "biarpun aku harus mengitari bumi dan menjelajahi samudera, aku akan
mencari kau.” Sesudah mengambil keputusan begitu, hatinya jadi lebih tenang. Ia memanjat
pohon dan merebahkan diri di salah satu cabang yang melintang. Sesudah bercapai lelah
sehari suntuk, tak lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam kupingnya yang tajam tiba-tiba menangkap suara tindakan yang
sangat enteng. Ia lantas saja tersadar dan membuka matanya. Bulan sisir sudah menyondong
ke barat dan memancarkan sinarnya yang remang-remang. Ia lihat seorang yang sedang
berjalan ditanjakan ke jurusan selatan. Dilihat pakaiannya, dia seorang wanita yang bertubuh
kurus kecil dan langsing. Boe Kie girang, hampir-hampir ia berteriak, "Beng moay!" Tapi
belum memanggil ia sudah lihat perbedaan antara wanita itu dan Tio beng. Dia bertubuh lebih
jangkung dari nona Tio dan ilmu pengenteng badannya juga berbeda. Boe Kie heran dan
menanya diri sendiri. "Siapa dia? Perlu apa ia malam-malam jalan sendirian?" Sebenarnya ia
tak ingin mencampuri urusan orang lain. Tapi dilain saat ia ingat bahwa mungkin sekali dari
wanita itu ia bisa mencari keterangan mengenai nona Tio.
"Apabila ia ternyata tidak mempunyai sangkut paut dengan Beng moay, akupun bisa
menyingkir tanpa diketahui,” pikirnya. Memikir begitu ia segera turun dari pohon. Dengan
hati-hati ia menguntit dari jauh.
Memang kurang pantas menguntit wanita yang tidak dikenal ditengah malam buta. Ia menjaga
jangan sampai diketahui. Wanita itu yang mengenakan baju hitam ternyata menuju kearah
Siauw lim sie.
"Apa maunya dia?" tanya Boe Kie didalam hati. "Aku telah diangkat sebagai Boe lim
Bengcoe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1438
Kalau ia meugandung maksud kurang baik terhadap Siauw lim, aku tak bisa tidak
mencampuri." Ia berhenti sejenak dan memasang kuping. Keadaan diseputarnya sunyi senyap.
Wanita itu tak punya kawan dan ia merasa lega.
Selama kurang lebih satu jam, si baju hitam tak pernah menengok kebelakang. Dengan
melihat punggungnya dan gerak-geriknya, Boe Kie merasa bahwa ia pernah bertemu dengan
wanita itu. "Apa Boe Beng Eng Kouwnio ? Apa Teng Bin Koen ?" ia menduga-duga.
Tak lama kemudian kuil Siauw lim sie sudah berada didepan mata. Sesudah mendaki kuil
dengan tindakan lebih perlahan. Ia berlaku sangat hati-hati.
Sekonyong-konyong dari dalam terdengar suara yang bergemuruh yang keluar dari
tenggorokan ratusan manusia. "Eh...“ kata Boe Kie didalam hati. "Mengapa di tengah malam
buta begitu banyak pendeta membaca kitab suci? Ada apa ?"
Mendengar suara berdoa itu, wanita tersebut berjalan makin perlahan. Sesudah maju beberapa
tombak lagi, ia tiba disamping Tayhiong Po thian. Mendadak terdengar suara tindakan yang
sangat enteng dan ia mendekam diantara rumput-rumput tinggi. Beberapa saat kemudian
empat pendeta bersenjata golok dan sianthung keluar meronda. Siauw lim sie ternyata tetap
waspada.
Sesudah keempat pendeta itu lewat, wanita itu melompat keluar dari tempat sembunyinya dan
menghampiri jendela, Lompatan dan gerakannya mengunjuk bahwa dia memiliki ilmu ringan
badan kelas satu,
"Ia tidak membekal senjata, mungkin ia tidak mengandung maksud jelek," pikir Boe Kie.
Sebab ingin melihat muka wanita itu, kalau-kalau benar ia mengenalinya, Boe Kie lalu
mengambil jalan memutar dan kemudian menempatkan diri di sudut barat laut Tay hiong Po
thian. Ia mengerti bahwa kedudukannya sangat tak enak. Kalau hanya diketahui oleh pendeta
Siauw lim ia akan hilang muka sebab seorang yang berkedudukan tinggi seperti dirinya
memang tak pantas mengintip-ngintip ditengah malam buta. Maka itulah ia bergerak dengan
sangat hati-hati.
Dari sela jendela ia mengawasi kedalam. Diruangan itu terdapat ratusan pendeta yang sebaris
demi sebaris bersila diatas tikar. Diantara mereka ada yang memegang alat sembahyang, ada
pula yang berdoa sambil merangkap kedua tangan. Mereka rupa-rupanya sedang mengadakan
sembahyang untuk roh dari orang2 yang baru meninggal dunia.
"Benar," kata Boe Kie didalam hati. "Dalam Eng hiong Tay hwee banyak orang binasa,
sedang dalam peperangan melawan tentara Goan juga banyak yang mengorbankan jiwa.
Berdasarkan welas asih mereka mengadakan sembahyang besar untuk menuntun roh-roh ke
sorga".
Sembahyang itu dipimpin oleh Kong boen Taysoe sendiri, Disamping Kongboen terdapat
seorang wanita muda. Begitu melihat wajahnya, Boe Kie terkejut sebab dia bukan lain
daripada Cioe Cie Jiak.
Boe Kie menghela napas. "Sembahyang ini tentu diadakan atas permintaan Cie Jiak pada tadi
siang," pikirnya. "Ia merasa berdosa dan menyesal, banyak orang yang tidak berdosa binasa
dalam tangannya." Dengan matanya yang tajam, ia mengawasi leng pay (papan dengan tulisan
nama orang yang disembahyangi ) di atas meja. Tiba-tiba saja air matanya mengucur sebab di
lengpay itu tertulis huruf-huruf ini: "Tempat yang suci dari pendekar wanita In Lee“.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1439
Diantara ketukan bok hie Cie Jiak berlutut di depan meja sembahyang dan berkata dengan
suara perlahan. Sayup-sayup Boe Kie menangkap perkataan begini, "In Kouwnio ... kau yang
sudah berada dilangit .... mengasolah dengan tenang ... jangan ganggu aku ...."
Jantung Boe Kie mengetuk lebih keras.
Piauw moay yang telah dibinasakan Cie Jiak bernasib malang," katanya didalam hati. "Tapi
penderitaan Cie Jiak mungkin lebih hebat dari pada piauw moay sendiri." Tiba-tiba ia ingat
doa yang diucapkan oleh para anggauta Beng-kauw waktu mereka menghadapi bencana di
Kong beng teng.
“Hidup apa senangnya, mati apa susahnya? Kasian manusia dalam dunia banyak yang
menderita. Kasian manusia di dunia banyak yang menderita!"
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri, tubuhnya agak miring dan mukanya menghadap ke
arah timur. Mendadak paras mukanya berubah dan ia menjerit. "Kau ... kau lagi!" Jeritan itu
nyaring dan tajam menindih suara lonceng diruangan sembahyang.
Boe Kie terkesiap dan menengok ke jurusan itu. Ia lihat kertas jendela berlubang dan pada
lubang itu terdapat muka seorang wanita yang penuh dengan tanda bekas luka, goresangoresan
senjata yang panjang. Ia menggigil dan mengeluarkan teriakan tertahan. Muka itu
bukan lain daripada In Lee yang sudah mati!
Boe Kie ingin menghampiri tapi kedua lututnya lemas dan ia berdiri terpaku. Dilain saat muka
itu menghilang dan Cie Jiak roboh terjengkang.
Sekarang Boe Kie tidak perduli lagi segala apa. "Coe Jie Coe Jie! Apa benar kau?" teriaknya.
Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah tapi tak ada yang menjawab. Sesudah
menenteramkan hatinya ia menguber dengan menggunakan jalanan yang tadi dilewati wanita
itu Tapi apa yang dilihatnya hanya bulan sisir dan bayangan pohon. Ia tidak percaya setan.
Tapi dalam keadaan begitu, keringat dingin mengucur dan bulu romanya bangun semua.
"Benar, benar dia," katanya didalam hati. "Tak heran, waktu kulihat punggung dan gerak
geriknya, aku merasa seperti sudah mengenalnya. Apa benar, sebab mati penasaran rohnya
tidak berpulang kealam baka? Apa benar rohnya tahu, bahwa di Siauw lim sie sedang
diadakan sembahyang? dan dia datang untuk menerima doa-doa?"
Sementara itu sejumlah pendeta sudah keluar untuk menyelidiki. Melihat Boe Kie mereka
kaget tercampur heran. Seorang pendeta tua memberi hormat dan berkata. "Sebab tak tahu
Kauwcoe datang berkunjung, kami tidak keburu menyambut. Mohon Kauwcoe sudi
maafkan".
Boe Kie membalas hormat dan lalu masuk kedalam ruangan sembahyang. Cie Jiak belum
tersadar dari pingsannya. Ia memburu dan memijit bibir dan mengurut punggung si nona.
Beberapa saat kemudian Cie Jiak mendusin. Ia melompat dan memeluk Boe kie seraya
berteriak. "Setan! ..."
"Aku pun heran," kata Boe Kie. "Tapi kau tak usah takut. Disini terdapat banyak pendeta suci
dan mereka pasti bisa menyingkirkan segala setan penasaran".
Atas dorongan rasa takut yang luar biasa nona Cioe jadi kalap dan memeluk Boe Kie di
hadapan orang banyak. Sesudah Boe Kie bicara ia tersadar dan mukanya lantas bersemu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1440
merah. Ia melepaskan pelukannya tapi tubuhnya masih terus bergemetaran dan mencekal
kedua tangan Boe Kie sekeras-kerasnya.
Sesudah memberi hormat kepada Kong boen Boe Kie memberitahukan adanya muka yang
penuh tanda di jendela timur. Kong boen dan yang lain tidak melihatnya.
"Boe Kie .... Thio Kauwcoe," kata Cie Jiak, "yang kulihat adalah dia."
Boe Kie lantas menyahut. "Aku - - - - akupun melihat dia," katanya akhirnya.
Si nona menggigil. "Kau .... kau juga lihat?" ia menegas.
Boe Kie mengangguk.
"Siapa yang dilihat olehmu?"
"In Kouwnio, Coe Jie, Piauw moayku."
Nona Cioe mengeluarkan seruan, tubuhnya bergoyang-goyang, kedua matanya meram dan ia
pingsan lagi.
Boe Kie segera mencekal tangannya, sehingga ia tidak sampai roboh. Sesaat kemudian ia
tersadar pula, "Yang kulihat adalah Coe Jie,” kata Boe Kie. Tapi dia bukan setan .... dia
manusia biasa."
"Bukan setan ? Apa benar?"
"Aku telah menguntit dia sampai disini. Tindakannya tindakan manusia biasa, bukan setan,"
Boe Kie berkata begitu terutama untuk menghibur Cie Jiak. Didalam hati, ia sendiri tidak
percaya apa yang dikatakannya.
"Apa sungguh-sungguh dia bukan setan?" si nona menanya lagi.
Boe Kie menengok kearah Kong boen dan berkata, "Hong-thio, ada sesuatu yang aku kurang
mengerti. Aku mohon petunjuk Hong thio. Sesudah manusia mati, apa benar ada roh atau
setannya?"
Sesudah berpikir beberapa saat, Kong boen menjawab, "Soal yang mengenai alam baka
sangat sukar dijelaskan. Segala apa dalam dunia ini merupakan kekosongan. Apalagi roh atau
setan?"
"Tapi mengapa Taysoe mengadakan sembahyang besar ini? Bukankah untuk
menyembahyangi roh?"
"Siancay! Roh sebenarnya tak usah diseberangi. Sembahyang dilakukan kami bertujuan
menenteramkan hati manusia. Yang harus diseberangi adalah manusia hidup.
Boe Kie tersadar. Ia menyoja dan berkata sambil membungkuk, "Terima kasih atas petunjuk
Taysoe. Ditengah malam buta aku mengganggu kalian. Kumohon Taysoe suka memaafkan."
"Kauwcoe adalah Toa in jin (penolong besar) kami. Beberapa kali kauwcoe sudah
membebaskan Siauw lim sie dari bencana. Kauwcoe tak usah berlaku sungkan."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1441
Sesudah berpamitan dengan Kong boen dan para pendeta, Boe Kie berkata kepada Cie Jiak.
Mari kita jalan."
Si-nona kelihatan bersangsi!
"Kalau begitu kita berpisahan disini saja, " kata pula Boe Kie yang lalu bertindak keluar.
Cie Jiak mengawasi tindakan pemuda itu. Ia tahu, bahwa kalau sekarang mereka berpisahan,
belum tentu mereka akan bisa bertemu lagi. Mendadak ia berseru, "Boe Kie Koko .... aku
ikut." Ia mengudak dan meninggalkan kuil Siauwlimsie berendeng pundak dengan Boe Kie.
Sesudah terpisah dari kuil beberapa puluh tombak, si nona memegang tangan Boe Kie.
Pemuda itu tahu bahwa dia masih ketakutan. Tapi sebagai manusia biasa, memegang tangan
seorang wanita cantik dia mengendus bau harum menimbulkan perasaan yang sukar
dilukiskan. Mereka berjalan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sesudah melalui beberapa li, si nona menghela napas. "Boe Kie Koko," katanya, "hari itu
waktu kita pertama bertemu di sungai Han soei, jiwaku ditolong oleh Thio Cinjin. Kalau tahu
aku harus mengalami begini banyak penderitaan, alangkah baiknya jika aku mati dihari itu."
Boe Kie tidak menyahut. Tiba-tiba ia ingat pula doa Beng kauw. Tanpa merasa ia berkata
dengan suara perlahan. "Hidup apa senangnya mati apa susahnya? Kasihan manusia dalam
dunia, banyak yang menderita. Kasihan manusia dalam dunia, banyak yang menderita!"
Tangan Cie Jiak bergemetaran. "Kutahu, dalam mengirim aku ke Go bie, Thio Cin jin
bermaksud baik," katanya. "Tapi andaikata ia menerima aku sebagai murid Boe tong, keadaan
sekarang tentu lain sekali Hai--! Insoe (guruku yang besar budinya) pun sangat baik
terhadapku. Tapi . . . ia paksa aku bersumpah berat, ia paksa aku membenci Beng kauw,
membenci kau tapi didalam hatiku . . . "
Boe Kie merasa sangat terharu. Ia mengerti bahwa segala penderitaan si nona dan segala
perbuatannya yang berdosa sebagian besar karena gara-gara Biat coat Soethay. Mengingat itu,
rasa kasihannya bertambah pula."
Angin malam yang bersilir dengan perlahan mengirim harumnya bunga ke hidung dua orang
muda itu. Waktu itu adalah permulaan musim panas. Langit bertabur bintang dan diantara
keindahan dan keharuman sang malam, Boe Kie mendengar pengakuan rasa cinta dari
seorang wanita cantik. Jantungnya mengetuk lebih keras.
"Boe Kie Koko," kata pula Cie Jiak. "Pada waktu kita mau menjalankan upacara pernikahan
di Hauwcoe, begitu lihat Tio Kauwcoe kau lantas kabur. Apa sungguh kau sangat mencintai
dia?"
"Inilah justru keterangan yang sudah lama ku mau berikan kepadamu," jawabnya. Sesaat itu
mereka sudah tiba didekat tenda-tenda Bengkauw, Boe Kie menuntun Cie Jiak kesebuah batu
besar dipinggir jalan dan mereka lalu berduduk dengan berendeng pundak.
Boe Kie lantas saja menceritakan sebab musabab dari kaburnya itu. Ia kabur bukan sematamata
sebab kecantikan Tio beng, tapi sebab lihat rambut Cia Soen yang dipegang nona Tio.
Sesudah Boe Kie selesai menutur, Cie Jiak tidak mengatakan apa-apa juga.
“Cie Jiak apa kau marah terhadapku?” tanya Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1442
Si nona menangis. “Aku banyak lakukan perbuatan berdosa, aku hanya boleh
mempersalahkan diriku sendiri," jawabnya. "Mana boleh aku marah terhadapmu ?"
Tiba-tiba ia mendongak. "Boe Kie Koko," katanya. "Aku ingin ajukan satu pertanyaan dan
kuharap kau akan menjawabnya dengan setulus hati."
"Katakanlah!“
"Kutahu dalam dunia terdapat wanita yang mencintai kau dengan segenap jiwa dan raganya.
Yang satu Siauw Ciauw. Dia sudah ke Persia. Yang satu lagi Tio Kouwnio. Yang ketiga
dia - - - - " Ia tak menyatakan In Kouwnio tapi perkataanmu tidak bisa keluar dari mulutnya.
Sesudah berdiam sejenak ia berkata pula. "Kecuali Siauw Ciauw. kami bertiga pernah berbuat
sesuatu yang tidak baik terhadapmu. Tapi andaikata kami berempat berada disini siapa yang
benar-benar dicinta olehmu?"
Boe Kie tertegun, beberapa saat kemudian barulah ia bisa membuka mulut. "Aku... aku...:"
Waktu mengarungi lautan bersama-sama Cie Jiak, Tio Beng, In Lee, dan Siauw Ciauw,
pertanyaan itu sudah sering muncul dalam hatinya.
Ia sendiri tidak bisa menjawabnya. Untuk mengelakkan soal itu, ia sering berkata pada dirinya
sendiri, bahwa sebelum orang Mongol di usir dari tahta kerajaan, tidaklah pantas ia memikir
soal kawin. Tapi ada juga katanya, didalam hati kecilnya ia membayangkan bahwa alangkah
beruntungnya apabila ia bisa menikah dengan keempat gadis itu sekaligus. Jaman itu adalah
akhir kerajaan Goan. Pada jaman itu tiga empat isteri atau gundik dipandang lumrah.
Tapi Bengkauw berasal dari Persia menurut ajaran Beng kauw seorang harus hemat, sehingga
oleh karenanya, diantara penganut agama jarang sekali yang punya lebih dari satu isteri. Boe
Kie pun anggap, bahwa ia sudah boleh merasa beruntung kalau bisa menikah dengan salah
seorang dari keempat gadis itu. Ia merasa bahwa jika sesudah menikah dengan salah seorang
ia masih mengambil gundik, ia berbuat tak pantas terhadap isteri yang seperti dewi itu.
Demikianlah pada waktu yang lalu persoalan itu bsering memusingkan kepala.
Belakangan Siauw Ciauw pergi ke Persia dan In Lee dibunuh orang.
Semua orang menduga bahwa pembunuh nona In adalah Tio beng maka dari itu, menurut
kepantasan maka pilihannya harus jatuh kepada Cie Jiak. Diluar dugaan, timbulah gelombang
yang akhimya berakibat kaburnya Tio Beng dan diajukan partanyaan sulit oleh nona Cioe.
Melihat Boe Kie tidak menjawab, Cie Jiak berkata pula. "Pertanyaanku hanya andai2.
Sekarang ini kau tak usah memilih lagi. Siauw Ciauw sudah menjadi Kauwcoe di Persia
sedang aku---aku telah mencelakai In Kouwnio. Diantara kami berempat, secara wajar
pilihanmu harus jatuh kepada Tio Kouwnio. Aku hanya ingin bertanya. "Andaikata kami
berempat, bebas dari kedosaan atau ganjelan, sekarang berada disini siapakah diantara kami
yang akan kau pilih?"
"Cie Jiak, pertanyaan itu sebenarnya sudah lama mengganggu pikiranku. Hari ini baru kutahu
siapa yaug dicintai olehku."
"Siapa? Tio Kauwnio?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1443
"Hari ini aku tak berhasil mencari dia. Di dalam hati, aku kepingin mati. Manakala aku tidak
bisa bertemu lagi dengan dia kurasa akupun tidak akan bisa hidup lama di dunia. Waktu
Siauw Ciauw pergi, aku berduka. Perbuatanmu juga sangat mendukakan aku. Tapi Cie Jiak,
aku tak boleh mendustai kau. Apabila aku tidak bisa bertemu dengan Beng moay, aku lebih
suka mati, Cie Jiak rasa hatiku ini belum pernah kuuraikan kepada orang lain."
"Hari itu dikota raja, waktu kulihat kau menemui dia dirumah makan, aku sudah tahu kepada
siapa kau berikan cintamu. Tapi aku masih terus mimpi. Kuduga bahwa sesudah aku - -aku - -
- menikah denganmu kau bisa berubah pikiran. Tapi - - - aku hanya mendustai diriku sendiri
!"
"Cie Jiak, terhadap kau, aku selalu menghargai dan menghormati. Terhadap In Piauw moay,
aku merasa berterima kasih. Terhadap Siauw Ciauw, aku menyayang- Hanyalah terhadap Tio
Kouwnio aku menaruh cintaku. Cintaku terhadap dia adalah cinta yang tercetak di jantung
dan terukir di tulang."
"Ya - - - cinta yang tercetak di jantung dan terukir di tulang - - Cinta yang tercetak dijantung
dan terukir di tulang - - " Cie Jiak mengulang dengan suara perlahan. Ia berdiam sejenak dan
kemudian menambahkan, "Boe Kie Koko, cintaku terhadapmu juga cinta yang tercetak di
jantung dan terukir ditulang, apa kau tahu?"
Boe Kie merasa sangat terharu. Sambil mencekal tangan si nona ia berkata, "Cie Jiak aku tak
dapat merasai perasaan hatimu. Aku tak tahu cara bagaimana aku harus membalas
kecintaanmu. Aku - - - aku berlaku sangat tidak pantas terhadapmu."
"Tidak! Kau selalu berbuat kebaikan terhadapku. Apa kau tak tahu? Sekarang kutanya-
Apabila kau tak bisa mencari Tio Kouwnio, jika ia dibunuh orang, atau andaikata ia berubah
pikiran, kau ... bagaimana kau berbuat?"
"Entahlah! Tapi biar bagaimanapun juga diatas ada langit dibawah ada bumi, aku akan
mencari dia deogan segala tenaga yang dipunyai olehku.
Si.nona menghela napas. "Dia tak akan berubah pikiran," katanya. "Kalau benar kau ingin
menemui dia, hal itu bisa terjadi dengan mudah sekali."
Boe Kie kaget bercampur girang. Ia melompat bangun. "Dimana dia?" tanyanya. "Cie Jiak
lekas bilang."
Nona Cioe mengawasi wajah Boe Kie penuh kegirangan. "Terhadap aku kau tidak akan
perlihatkan kecintaan yang begitu besar," katanya. "Jika kau ingin tahu dimana adanya Tio
Kauwnio, kau lebih dulu harus mengatakan satu permintaanku. Tanpa meluluskan
permintaanku itu, tak usah harap kau bisa bertemu lagi dengan dia!"
"Permintaan apa?"
"Permintaan itu sekarang belum dapat dipikir olehku. Namun, setelah kudapat, aku akan
beritahukan kau. Tapi kau tak usah kuatir. Permintaanku itu tidak akau melanggar "Hiap gie"
(kesatrian) tidak akan menodai nama baik Bengkauw, maupun namamu sendiri dan
permintaan itu akan bermanfaat bagi usahamu yang besar. Tapi mungkin sekali tugas yang
terdapat dalam permintaan itu tak mudah dikerjakan."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1444
Boe Kie tercengang. Si nona ternyata telah menuruti contoh Tio beng waktu nona Tio
mengajukan tiga permintaan kepadanya. Ia tidak bisa lantas menjawab dan untuk beberapa
saat, ia menatap muka Cie Jiak dengan mulut ternganga.
"Kalau kau tak suka meluluskan, terserah kepadamu," kata pula si nona. "Tapi seorang lakilaki
harus menjaga kepercayaan. Apabila kau sudah mengatakan, dibelakang hari kau tidak
boleh mangkir janji."
"Kau kata parmintaan itu tidak melanggar "hiap gie" tidak menodai nama Beng kauw dan
namaku sendiri dan bahkan bermanfaat bagi usaha besar. Bukankah begitu?"
"Benar."
"Baiklah. Kalau benar tidak melanggar "hiap gee" dan kalau tidak merugikan usaha besar, aku
meluluskan." (Usaha besar ialah usaha untuk merobohkan kerajaan Goan).
"Mari kita bersumpah dengan saling menepuk tangan." kata Cie Jiak seraya mengeluarkan
tangan kanannya.
Boe Kie tahu, bahwa begitu lekas ia menepuk telapak tangan Cie Jiak ia seperti juga diikat
dengan rantai besar. Nona Cioe sungguh hebat. Ia halus dan lemah lembut tapi cara-caranya
lebih keras dari Tio Beng. Perlahan-lahan ia angkat tangannya, tapi tidak lantas menepuk.
Si nona tersenyum, "Begitu kau menepuk, begitu kau akan bisa bertemu dengan
kecintaanmu,"
katanya.
Darah Boe Kie bergolak. Tanpa berpikir lagi ia menepuk tangan Cie Jiak tiga kali.
Nona Cioe tertawa. "Coba kau lihat siapa di dalamnya?" tanyanya sambil menyingkap
ranting-ranting pohon berdaun rindang yang berada dibelakangnya.
"Bengmoay!" teriak Boe Kie.
Tiba-tiba ditempat yang jauhnya beberapa tombak terdengar suara "ih" dari seorang
perempuan. Biarpun perlahan, suara itu didengar Boe Kie. Ia terkesiap dan rupa-rupa ingatan
berkelebat diotaknya. Tapi ia tak sempat memikir yang lain dan lalu menarik tangan Tiobeng.
Sekali lagi ia terkejut, sebab tangan si nona kaku. Ia mendusin bahwa Tio beng telah
ditangkap dan ditotok jalan darahnya oleh Cie Jiak yang lalu menyembunyikannya ditempat
itu. Ia mulai mengurut punggung nona Tio supaya darah bisa mengalir lagi sebagaimana
biasa. Si nona mengawasi Boe Kie dengan sorot mata penuh kecintaan dan rasa bahagia. Ia
sudah dengar pembicaraan antara Boe Kie dan Cie Jiak. Ia sudab tahu bahwa pemuda itu
mencintainya dengin cinta yang tercetak dijantung dan terukir ditulang.
Mendadak Cie Jiak membungkuk dan bicara bisik-bisik di kuping Boe Kie yang lalu
menjawab dengan bisik-bisik pula. Diluar dugaan, tiba-tiba saja nona Cioe marah besar. "Thio
Boe Kie!" bentaknya. Kau sama sekali tak pandang mata padaku! Kau lihatlah! Sesudah kena
racun, apa perempuan she Tio itu masih bisa hidup terus?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1445
Boe Kie mencelos hatinya. "Dia - - - dia, kena racun? Kau yang meracuni?” tanyanya
kemudian, Ia membungkuk dan membuka kelopak mata kiri Tio Beng. Sesaat itu mendadak ia
merasa punggungnya kesemutan. Ia ditotok Cie Jiak.
"Celaka!" ia mengeluh dan tubuhnya bergoyang-goyang. Sebab memiliki Lwekang yang
sangat kuat, biarpun tertotok, ia tidak lantas roboh. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga dalam
untuk melancarkan jalan darahnya. Tapi Cie Jiak tak tinggal diam, bagaikan kilat ia mengirim
lima totokan lain di lima "hiat" besar, yaitu dipundak dan di punggung.
Meskipun lihay, Boe Kie tak kuat melawan enam totokan itu. Ia roboh terjengkang, tiba-tiba
sinar hijau berkelebat dan Cie Jiak menuding dadanya dengan pedang.
"Thio Boe Kie, hari ini kuambil jiwamu!" bentaknya. "Aku tak perduli setannya. In Lee terus
saja mengganggu aku. Aku tidak. bisa hidup lebih lama lagi, Mari kita mati bersama!" Seraya
berkata begitu, ia mengayun pedang untuk menikam Boe Kie.
"Tahan!" mendadak terdengar teriakan seorang wanita. "Cie Jiak, aku belum mati."
Cie Jiak menengok. Seorang wanita baju hitam melompat keluar dari alang-alang dan
menotok punggungnya. Cie Jiak berkelit dan wanita itu memutar tubuh sehingga mukanya
kena sinar rembulan. Muka itu sangat cantik tapi di muka yang ayu itu terdapat goresangoresan
bekas luka. Boe Kie lantas saja mengenali bahwa dia itu bukan lain dari pada In Lee.
Bengkak-bengkak di muka nona In sudah hilang dan biarpun terdapat tanda bekas luka,
kecantikan si nona tidak berkurang. Boe Kie lantas saja ingat si gadis cilik yang mengikut
Kim hoa Popo dan yang pertama kali ditemuinya di Ouw tiap kok.
Sesudah berkelit, Cie Jiak menuding dada Boe Kie dengan pedangnya. “Kalau kau maju
setindak lagi, aku ambil jiwanya,” ia mengancam.
In Lee benar saja tak berani bergerak! "Apa belum cukup kau melakukan perbuatan jahat?"
katanya dengan suara bingung.
"Apa kau manusia atau setan?" tanya nona Cioe.
"Tentu saja manusia,” jawabnya.
Mendadak Boe Kie berteriak, "Coe Jie!” Ia melompat dan memeluknya. "Oh, Coe Jie! Kau
membuat aku sangat menderita!" katanya dengan suara parau. Dipeluk begitu, In Lee tak bisa
berkutik lagi.
Cie Jiak tertawa geli. Sesudah memasukkan pedang ke sarung, ia berkata. "Huh-huh
Menyamar menjadi setan untuk menakut-nakuti aku. Jika aku tidak menggunakan tipu, kau
tentu masih belum mau keluar." Sehabis berkata begitu ia menghampiri Tio Beng dan
membuka jalan darah nona Tio!
Tio Beng menghela napas. Sesudah menjadi tawanan Cie Jiak, ia bergirang sebab dengar
pengakuan Boe Kie! Tapi baru bergirang ia sudah berkuatir lagi sebab munculnya nona In.
"Lepaskan aku!“ kata In Lee. "Tio Kouwnio dan Cioe Kouwnio berada djsini. Apa kau tak
malu!"
Boe Kie tersenyum." Melihat kau hidup kembali, aku kegirangan,“ katanya "Tapi .. tapi
bagaimana bisa jadi begitu?“
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1446
In Lee menarik tangan pemuda itu sehingga muka Boe Kie menghadapi rembulan. Ia
mengawasi dan mendadak menjewer kuping orang.
"Aduh! Mengapa kau jewer kupingku?" teriak Boe Kie.
"Tioe-pat koay," kata si nona, kau memang pantas dicincang dengan laksaan golok! Kau
menggunakan nama Can A Goe untuk menipu aku, menyuruh aku membuka rahasia hatiku.
Kau mau bikin aku malu dihadapan banyak orang. Kau... kau mengubur aku hidup-hidup.
Celaka sungguh! Karena kau, aku sangat menderita.“ Sehabis berkata begitu ia pukul tiga kali
dada Boe Kie.
Boe Kie tidak mengerahkan Kioe yang Sinkang. Ia rela menerima pukulan itu. "Piawmoay,"
katanya sambil tertawa. "Sungguh mati, kukira kau sudah meninggal dunia. Aku sudah
mencucurkan banyak air mata. Bagaimana kau bisa hidup lagi? Loo thian ya (Langit) benarbenar
mempunyai mata."
"Loo thian ya punya mata, tapi kau, Tioe-pai koay, tak punya mata. Kau murid Tiap kok-Ie
sian, Masakah orang sudah mati atau belum mati tak diketahui olehmu? Aku tak percaya. Kau
tentu mencela mukaku yang bengkak-bengkak, sehingga sebelum aku putus jiwa, kau sudah
mengubur aku. Kau tak lebih tak kurang daripada setan umur pendek yang tak punya perasaan
hati!"
Boe Kie menyeringai. "Kau boleh caci aku sepuas hati," katanya. "Waktu itu aku memang
gila. Melihat mukamu berlepotan darah, napasmu berhenti dan jantungmu tidak mengetuk
lagi, aku lantas menarik kesimpulan, bahwa kau sudah tidak dapat ditolong lagi..."
In Lee melompat coba menjewer kuping kanannya.
Boe Kie berkelit dan sambil menyoja ia berkata. "Piauw moay yang baik, ampunilah aku!"
"Tidak! Aku takkau ampuni kau! Hari itu entah bagaimana aku tersadar. Diseputarku dingin
semua potongan-potongan batu. Kalau kau mau mengubur aku hidup-hidup, perlu apa kau
membuat lubang tertutup batu? Bukankah lebih baik kau menguruk aku dengan tanah, supaya
aku
tak bisa bernapas, supaya aku mati sungguhan?“
"Terima kasih kepada langit dan bumi !" kata Boe Kie. "Sungguh mujur hari itu aku menutup
lubang dengan batu-batu." Seraya berkata begitu, tanpa merasa ia melirik Cie Jiak.
"Aku larang kau lihat dia !" bentak In Lee dengan gusar.
"Mengapa?" tanya Boe Kie.
"Sebab dia pembunuh yang membunuhku" jawabnya.
"Kau masih hidup, sehingga tak dapas kau mengatakan Cioe Kauwnio sebagai pembunuh,"
sela Tio beng.
"Aku sudah mati satu kali. Dia tetap pembunuh!"
Sambil berkata begitu In Lee telah menatap Cie Jiak dengan sorot mata yang dingin seakan
juga menembus ke ulu hati Cie Jiak membuat tubuh Cie Jiak jadi gemetar karenanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1447
"Piauw moay yang baik!“ kata Boe Kie untuk melenyapkan kekakuan suasana disaat itu.
"Kau telah pulang dari pulau karang itu dengan selamat, kami benar2 merasa bersyukur dan
girang melebihi perasaan girang jika memperoleh hadiah yang tak ternilai harganya, maka
sekarang aku ingin mohon kepadamu, maukah engkau duduk dengan tenang, untuk saling
menceritakan pengalaman selama itu?"
Muka In Lee jadi berobah waktu mendengar perkataan Boe Kie, dia telah tertawa dingin
sekali dengan wajah yang memancarkan perasaan tidak senangnya.
"Engkau mempergunakan perkataan kami" kata In Lee kemudian. "Ingin kutanya dulu,
dengan perkataan kami, "KAMI" yang engkau maksud itu meliputi siapa-siapa saja?"
"Disini hanya terdapat empat orang, dengan sendirinya meliputi aku bersama nona Cioe dan
Tio, entah merekapun senang untuk mendengarkan pengalaman yang menarik di pulau karang
yang pernah engkau alami itu. . ."
“In Kouwnio,” tiba2 Cie Jiak te1ah memotong perkataan Boe Kie. "Waktu itu memang timbul
maksud jahatku, hingga telah mencelakaimu, setelah itu siang dan malam aku telah tersiksa
oleh penyesalan-penyesalan yang tidak berkesudahan, dalam mimpiku, selalu pula aku tidak
merasa aman dan dikejar oleh perasaan menyesal dan takut. Jika tidak, tentu akupun tidak
akan ketakutan setengah mati waktu hari itu mendadak melihat engkau ditengah rimba itu ....!
Tetapi kini melihat engkau masih sehat dan selamat tidak kurang suatu apapun juga, maka
terhindarlah segala dosa-dosaku. Thian yang maha pengasih menjadi saksi, aku merasa
bersyukur melihat engkau dalam keadaan selamat dan sehat seperti sekarang ....!"
In Lee tidak menyahuti perkataan Cie Jiak, tampakoya dia berpikir sejenak, dan kemudian
menganggukkan kepalanya perlahan-lahan beberapa kali.
"Ya, memang dapat diterima oleh akal sehat. Sesungguhnya peristiwa itu terjadi karena
dikuasai oleb nafsu jahat saja dan engkau melakukannya diluar kesadaranmu. Sesungguhnya
aku ingin mencarimu untuk membuat perhitungan tetapi kini biarlah. Anggap saja sudah
selesai dan diantara kita sudah tidak terdapat sakit hati dan dendam.”
Mendengar perkataan In Lee itu, tiba-tiba Cie Jiak telah berdiri dan berlutut di hadapan In Lie
dengan air mata yang bercucuran berlinang membasahi pipinya. Dia telah meratap dengan
suara yang menyayatkan, mengandung perasaan syukur dan terharu bercampur juga dengan
perasaan dukanya. "Nona In ... ooh nona In ... aku benar-benar terlalu jahat, aku terlalu jahat
memperlakukan dirimu beberapa saat yang lalu, akulah manusia yang terkutuk ..." ratapnya
dan dia berkata begitu sambil berlutut, sehingga menimbulkan kesan yang mengharukan,
terlebih lagi dia telah menangis terisak isak.
Suara In Lee terdengar begitu ramah dan lembut, dia berkata-kata dengan penuh perasaan
persahabatan, menambah Cie Jiak terharu bukan main. Dia menangis sampai tubuhnya
gemetaran.
Biasanya In Lee mempunyai watak yang keras dan kukuh, tidak mudah pendirian dan hatinya
berobah, tetapi waktu melihat Cie Jiak rela berlutut demikian sambil menangis, dan mengakui
kesalahan yang pernah dilakukannya, hati In Lee jadi lemas dan kemarahan dihatinya jadi
mencair.
Segera ia membangunkan Cie Jiak dan disertai oleh perkataannya, "Cioe Ciecie, semuanya
sudah lewat dan berlalu, janganlah menyinggung-nyinggungnya pula, karena tidak perlu kita
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1448
mempercakapkan persoalan yang tidak ada artinya lagi itu, akupun memang tidak mengalami
kecelakaan apa-apa, dan juga tidak jadi mati ...
In Lee membimbing Cie Jiak untuk duduk berendeng disampingnya, kemudian dia
membenarkan rambutnya yang agak kusut, disusul oleh kata-katanya, “Semula mukaku
bengkak dan mengerikan sekali, tapi karena dahsyat pedangmu, darah yang mengandung
racun telah mengalir keluar, bengkak mukaku lantas saja berangsur-angsur menjadi kempis
dan lenyaplah bengkak dimukaku.” Sambil berkata begitu In Lee telah tersenyum ramah
sekali, tidak memancarkan sikap permusuhan pula dengan Cie Jiak.
Hati Cie Jiak jadi terharu dan menyesal sekali, sehingga dia tidak mengetahui harus
mengucapkan kata-kata apa untuk menyahuti perkataan In Lee, dan akhirnya Cie Jiak hanya
berdiam diri saja.
"Aku bersama Cicu dan Cie Jiak waktu itu masih tinggal cukup lama diatas pulau karang itu,"
kata Boe Kie memecahkan suasana hening itu. Setelah engkau keluar dari kubur, apakah
engkau tidak melihat kami?”
Muka In Lee jadi berobah lagi, memancarkan kegusaran yang sangat, dan dia telah
mendengus mengeluarkan suara tertawa dingin.
"Hmmm, tidak melihat kalian?" tanyanya dengan suara yang sinis dan mengejek. "Justru aku
yang tidak sudi menemui kau! Huh! Huh! Betapa mesranya, betapa sangat hangatnya dan
penuh kasih sayang, bisik-bisikmu yang ditujukan kepada nona Cioe, tentu saja tidak dapat
aku menyaksikan dengan hati yang dingin, dimana perasaanku terbakar oleh kemarahan dan
mendongkol. Hmm, bukankah disaat itu engkau berkata, "Selanjutnya aku akan lebih
mencintaimu, lebih sayang dan memanjakanmu, mana bisa kubiarkan engkau menderita lagi
... ! Huh, bukankah begitu kata-kata yang kauucapkan?" Dan sengaja In Lee meniru suara
palsu Boe Kie waktu mengucapkan isi hatinya waktu dibuai cinta-kasih dengan Cie Jiak
waktu berada di pulau karang dulu, lalu In Lee menyusul pula dengan meniru suara Cie Jiak,
"’Apabila aku berbuat sesuatu yang salah, apakah engkau akan menghajar memaki dan
membunuh?’ Dan disaat itu engkau pernah berkata lagi. 'Sejak kecil aku telah kehilangan
bimbingan orang tua, siapa berani menjamin pada suatu waktu aku tidak akan melakukan
sesuatu yang khilap? Cie Jiak, engkau adalah isteriku yang sangat kucintai, melebihi dari
diriku sendiri. Andaikata benar kau melakukan suatu kesalahan, betapapun aku takkan tega
untuk menghukum dirimu dan biarlah sekarang ini Sang Rembulan menjadi saksi, alasan
apapun juga aku tentu takkan tega untuk menghukummu.’ Bukankah begitu? Alangkah
mesranya! Alangkah mesranya!"
Ternyata, semua percakapan yang begitu mesra antara Boe Kie dengan Cie Jiak waktu di
pulau karang dulu itu telah didengar seluruhnya oleh In Lee, tentu saja muka Cie Jiak seketika
berubah menjadi merah padam dan dia malu sekali, sehingga dia menundukkan kepala dalamdalam.
Sedangkan Boe Kie juga sangat malu dan merasa kikuk sendirinya. Boe Kie berusaha untuk
menguasai goncangan hatinya dan dia melirik kepada Tio beng, dimana dia melihat wajah
gadis itu pucat pasi diliputi kegusaran yang sangat, maka dia mengeluarkan tangannya
memegang tangan si gadis.
Diluar dugaan mendadak Tio beng membalikkan tangannya, dengan sengit kedua kuku
jarinya panjang dan tajam itu telah menusuk ke punggung tangan Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1449
Kaget dan kesakitan Boe Kie menarik pulang tangannya, dia hanya meringis dan tak berani
bergerak atau menjerit.
Disaat itu In Lee telah mengeluarkan sepotong papan kayu dan diangsurkan kehadapan Boe
Kie, disusuli dengan perkataannya yang dingin. "Lihatlah yang jelas, benda apakah ini ?"
Mata Boe Kie terpentang lebar-lebar mengawasi benda itu, hatinya kembali tergoncang keras
karena ternyata diatas papan kayu itu terukir tulisan yang cukup dikenalinya. "Kuburan isteri
ternyata In Lee alias Coe Jie, suami Tio Boe Kie.”
Itulah papan kuburan yang dibuat oleh Boe Kie didepan kuburan In Lee tempo hari waktu
berada dipulau karang.
Dengan sikap yang ganas dan bercampur perasaan mendongkol, In Lee telah berkata lagi,
"Aku waktu itu telah merangkak keluar liang kubur dan melihat tulisan papan ini, aku jadi
bingung karenanya. Aneh, jadi setan cilik Thio Boe Kie yang membuatnya . . . Sungguh
membuatnya aku jadi tidak mengerti. Baru kemudian setelah mendengar percakapan kalian,
aku baru mengerti duduknya persoalan ... Rupanya Can A Goe itu sama dengan Thio Boe Kie
dan Thio Boe Kie itu tidak lain dari pada Can A-Goe, setan cilik, selama itu engkau telah
menipuku mentah2, memperdayakan diriku ..." Setelah berkata begitu, dengan sengit In Lee
menggebrakkan papan kayu itu, yang dikeprukkan diatas kepala Boe Kie.
"Pletak !" Papan itu pecah menjadi beberapa potong.
"Mengapa sedikit2 kau main pukul?” tegur Tio Beng gusar dan muka memancarkan perasaan
tidak senang. "Mengapa tidak hujan tidak angin selalu main pukul seenakmu ?"
"Hahahaha," tertawa In Lee dengan suara suara keras, mengandung ejekan dan sering sekali
dia memperhatikan Tio beng telah berubah merah ketika dia berkata-kata, "Yang kupukul
adalah dia, tapi kau yang merasa sakit, bukan?"
"Dia hanya mengalah. kepadamu, jangan engkau tidak kenal gelagat ..." bentak Tio-beng
tidak mau kalah dengan perasaan mendongkol dan suara yang sengit.
“Aku tak tahu gelagat ? Ya, ya sekarang aku tahu, tapi percayalah, engkau tidak perlu kuatir
bahwa aku kelak akan saling rebut dengan kau memperebutkan Ciu Pat Koay ini," kata In Lee
sambil diiringi suara tertawanya yang keras. Di dalam batinku hanya terukir seorang yang
pernah kukenal, yang sangat kucintai, yaitu Thio Boe Kie cilik yang pernah menggigit
tanganku di Ouw Tiap Kok. Mengenai Ciu Pat Koay yang berada disini, baik ia bernama Can
A Goe maupun dia menamakan dirinya Thio Boe Kie, aku tidak mau perduli. Sedikitpun aku
tidak merasa senang ataupun mencintainya --- lalu dia berpaling dan berkata dengan suara
yang lemah lembut kepada Boe Kie. "Engko A Goe, selamanya kau sangat baik kepadaku,
engkau memperlakukan aku selamanya dengan baik dan aku benar-benar sangat berterima
kasih sekali ..., namun sayang sekali hatiku sudah kuserahkan bulat-bulat kepada Boe Kie
cilik yang kejam dan bengis itu, sedangkan engkau .... bu .... bukan dia. Engkau bukan Boe
Kie cilik yang kucintai itu. . . !"
Tentu saja Boe Kie jadi heran. Sudah jelas dia adalah Thio Boe Kie, mengapa sekarang In Lee
mengatakannya bahwa dia bukan Thio Boe Kie? Bukankah dia yang pernah menggigit tangan
In Lee waktu di Ouw Tiap Kok dulu?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1450
Dengan sorot mata yang ramah dan lembut sekali, In Lee menatapi Boe Kie dengan sikap
termangu dan tertegun. Tiba-tiba saja sinar matanya dalam sekejap telah berobah bersinar
sangat aneh, diiringi oleh kepalanya yang digeleng-gelengkannya.
"Engko A Goe, engkau tidak mengerti ketika digurun pasir didaerah barat dulu, engkau
pernah sehidup semati dengan aku dan di pulau karang itupun engkau sangat setia dan
berbakti, memperlakukan aku dengan sangat baik-- - - - Yaa.. . kau adalah seorang anak yang
baik! Hanya saja ingin kukatakan padamu bahwa hatiku sudah lama kuserahkan kepada si-
Boe Kie cilik itu, maka aku ingin pergi mencarinya . . . aku ingin mencarinya . . ." Dan mata
In Lee telah memandangi Boe Kie sejenak, lalu dia memutar tubuhnya dan melangkah
perlahan-lahan dengan sikap yang lesu.
Mendadak saja Boe Kie tersadar. Rupanya yang benar2 dicintai Piauw moay nya itu adalah
Thio Boe Kie dalam khayalan belaka, yaitu Boe Kie yang terukir dalam sanubarinya, didasar
hatinya yang suci yang pernah dikenalnya di Ouw Tiap Kok dulu itu, tapi bukan Thio Boe Kie
yang sebenarnya, yang kini berada dihadapannya. Ya, bukan Boe Kie yang berbudi pekerti
baik dan bijaksana ini, tetapi adalah Boe Kie cilik, yang licik, yang bengis dan jahat itu.
Bermacam-macam perasaan yang saat itu muncul dihati Boe Kie dan dia hanya duduk
tertegun saja memandangi bayangan Piauw moay yang pergi dengan langkah-langkah kaki
yang lesu, yang lambat laun akhirnya lenyap dari pandangan matanya, tertelan oleh kegelapan
sang malam.
Boe Kie juga yakin dan merasa kasihan kepada Piauw moaynya karena In Lee tentu akan
tetap teringat kepada pemuda tanggung yang pernah dikenalinya di Ouw Tiap Kok itu dan
pasti akan mencari Boe Kie 'khayalan' itu, sekalipun seumur hidupnya tidak akan berhasil
dicapainya, tetapi itu bayang2 dari Boe Kie khayalan itu telah terukir dalam meresap didasar
kalbu dan hatinya yang suci.
Cie Jiak menghela napas menyesal, dan dia jadi berpikir bahwa semua itu karena
kesalahannya, sehingga dia membuat pikiran In Lee tidak waras ....
Tetapi Boe Kie malah berpikir lain.
"Dia memang memiliki pikiran yang kurang waras, itu adalah dosa dan kesalahanku yang
tidak berampun! Kini dia merupakan gadis yang tidak normal alam pikirannya...!" Namun
kalau dibandingkan dengan orang yang berotak waras, dia mungkin lebih bahagia dan senang.
Dan yang dipikirkan Tio beng berbeda lagi. In Lee telah muncul secara tiba-tiba dan telah
pergi lagi begitu saja, hal ini telah membuat hatinya merasa lega. Tetapi bagaimana dengao
Cioe Cie Jiak? In Lee tidak jadi mati. Cia Soen juga selamat tidak kurang suatu apa, kitab
militer dalam To Liong To dan kitab silat dalam It Thian kiam sudah diberikan semua kepada
Boe Kie, kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Cie Jiak beberapa saat yang lalu, kalau
dinilai sekarang boleh dibilang sudah tidak memiliki arti apa-apa lagi. Sudah tentu Song Ceng
Soe membinasakan Bok Seng Kok akibat jatuh cinta kepadanya namun itu adalah perbuatan
Song Ceng Soe sendiri. Sebelumnya Cie Jiak sama sekali tidak tahu menahu akan peristiwa
itu, juga tidak pernah meminta kepada Song Ceng Soe untuk melakukan perbuatan itu,
terlebih lagi diantara dia dengan Boe Kie memang pernah ada ikatan tali perkawinan, diluar
dari hubungan yang lainnya.
Setelab semuanya berdiam diri tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, tiba-tiba Cie
Jiak telah bangkit berdiri, sambil katanya. "Mari kita segera berangkat!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1451
"Berangkat kemana?" tanya Tio beng heran.
"Ke Siauw Lim Sie," sahut Cie Jiak. "Tadi aku melihat Pheng Hweesio tergesa-gesa datang
hendak mencari Kauwcoenya, rupanya di dalam Bengkauw terjadi sesuatu persoalan yang
gawat sekali . . . "
Boe Kie jadi terkejut mendengar berita itu.
"Celaka, jangan aku terlalu melalaikan urusan besar agama, akibat tenggelam dalam persoalan
pribadi," berpikir Boe Kie dengan hati diliputi penyesalan. Maka segera dia mengajak Tio
Beng dan Cie Jiak untuk berangkat.
Tidak berselang lama, merekapun tibalah di tempat tinggal rombongan Beng Kauw.
Memang Yo Cie Soe (Hoan Yauw). Pheng Eng Giok dan Yo Siauw serta yang lainnya tengah
sibuk mencari-cari kemana perginya sang kauwcoe. Mereka jadi gembira dan bersyukur
melihat Boe Kie telah kembali dalam keadaan sehat dan selamat.
Tetapi merekapun jadi heran waktu melihat Cie Jiak dan Tio Beng ikut dengan bersama
Kauwcoe mereka.
Meiihat sikap rekan-rekannya itu memperlihatkannya sikap yang lesu dan tidak bersemangat,
segera Boe Kie dapat menduganya bahwa talah terjadi sesuatu hal yang tidak baik.
Cepat-cepat dia bertanya. "Pheng Taisu, ada urusan apakah engkau mencariku?"
Sebelum Pheng Eng Gie menjawab, Cie Jiak segera menarik tangan Tio Beng, diajak
menyingkir.
Tio Beng mengetahui maksud Cie Jiak, yang tidak mau mendengar rahasia dalam Beng kauw,
dia mengikuti saja tanpa mengucapkan suatu apapun juga.
Yo Siauw dan Hoan Yauw menjadi terheran-heran melihat kelakuan kedua gadis itu. Dulu
waktu di Ho Cin, waktu sang Kauwcoe hendak menikah, keduanya itu saling cakar2an dan
saling pukul2an, aneh sekali .... mengapa kini mereka tampaknya demikian rukun, bagaikan
saudara kandung saja ! Entah dengan mempergunakan cara apa sang Kauwcoe telah berhasil
merujukkan kedua gadis itu?
Setelah Cie Jiak dan Tio Beng pergi, Pheng Eng Giok lalu berkata, "Lapor kepada Kauw-coe,
kita telah mengalami kekalahan besar di Ho Cioe, kita telah menderita kerugian yang sangat
besar dan Han Sian Tong telah gugur."
"Hah ?" berseru Boe Kie kaget dan berduka.
Kini pimpinan sementara didaerah dipegang oleh Coe Goan Ciang, kedua saudara Cie Tat dan
Siang Gie It dan Co Cun juga telah pergi membantu, begitu pula Han lim jie". Pheng Eng
Giok melanjutkan laporannya. "Situasi agak penting, mohon Kauwcoe mengatur seperlunya".
Segera Boe Kie menanyakan lebih jauh peristiwa yang terjadi di medan pertempuran akhirakhir
ini.
Waktu mereka tengah berunding tiba-tiba In Ya Ong telah datang dan berkata: "Lapor kepada
Kauwcoe, Kay pang mengirimkan orang membawa berita bahwa si jahanam Ta Yoe Liang itu
sudah diketahui jejaknya".
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1452
"Di mana dia ?" tanya Boe Kie.
"Keparat itu ternyata telah berhasil menyelusup kedalam pasukan yang dipimpin saudara Cie
Siu Hwe, kabarnya saudara Cie sangat percaya dan sayang kepadanya," sahut In Ya Ong.
"Jika demikian, tentu kita yakin sulit untuk mengambil tindakan . . ." ujar Boe Kie. "Harap
Koko mengirimkan orang untuk memberikan bisikan kepada saudara Cie, bahwa keparat Tan
Yoe Liang itu sangat licik dan kejam, jangan-jangan akan timbul bibit bencana bila terlalu
mempercayai dia maka paling baik jika bisa menjauhi dia ..."
"Yang terbaik adalah sekali tabas membinasakan she Tan itu, urusan menjadi beres!" ujar In
Ya Ong.
"Baiklah, urusan itu biar kuselesaikan," kata In Ya Ong waktu melihat Boe Kie dan yang
lainnya berdiam diri dalam keadaan bimbang.
Disaat itu tiba-tiba sekali datang kurir yang membawa surat kilat dari Cie Siu Hwee.
"Celaka, kita kena didahului dia - - - " kata Yo Siauw mengerutkan alisnya.
Waktu Boe Kie membaca surat itu, ternyata merupakan sepucuk surat yang bunyinya sangat
panjang lebar, dimana Cie Siu Hwee melaporkan bahwa Tao Yoe Liang telab mengakui
berbuat dosa dan salah kepada sang Kauwcoe. Ia menyadarinya jika dosanya terlampau besar
maka dia rela untuk masuk menjadi anggauta Beng kauw dan ia berjanji pula untuk merobah
kesalahannya yang lalu dengan berjuang membantu Beng kauw, asalkan sang Kauwcoe
memberikan kesempatan kepadanya untuk memperbaikinya.
Boe Kie menyerahkan surat itu kepada Yo Siauw dan kemudian kepada semua rekanrekannya
untuk dibaca bergilir.
Jilid 80________________
Dengan sengit In Ya Ong kemudian berkata, “Cie Hiantee terlalu mempercayai orang itu,
kelak pasti akan merasakan getahnya.”
“Ya, keparat Tan Yoe Liang benar-benar licin, bahkan sangat licin sekali,” kata Yo Siauw.
“Tetapi kita sekarang ini berada dalam keadaan serba sulit, karena tentu tidak dapat kita
membinasakan Tan Yoe Liang sekarang ini, karena kuatir kalau-kalau menimbulkan salah
paham pahlawan-pahlawan seluruh negeri,” kata Yo Siauw.
“Tepat!” angguk Boe Kie. “Pheng Tatsu, kau sangat akrab dengan Cie Hiantee, silakan kau
mencari dia, kesempatan untuk menasehati dia agar lebih waspada terhadap tipu muslihat Tan
Yoe Liang jadi lebih luas dengan terjalinnya hubungan baik di antara mereka berdua…dan
jangan sekalai-sekali Cie Hiantee itu menyerahkan kekuasaan kepadanya.”
Pheng Eng Giok menerima tugas itu.
Namun Cie Siu Hwe merupakan orang yang sulit sekali dinasehati, tidak mau memperhatikan
nasehat Pheng Eng Giok sehingga dia telah dicelakai Tan Yoe Liang dan melayang jiwanya di
tangan orang she Tan tersebut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1453
Setelah melakukan perebutan kekuasaan, Tan Yoe Liang memimpin tentaranya bergerak di
wilayah Barat dan bertempur sendiri dengan pasukan Beng Kauw di daerah Timur dan
mengangkat dirinya sebagai Han ong, walaupun akhirnya ia berhasil dikalahkan di Hoa Yang
Ouw dan terbinasa, namun banyak para pahlawan Beng Kauw telah menjadi korban.
Malamnya Boe Kie telah berunding lebih mendalam dengan Yo Siauw dan tokoh-tokoh Beng
Kauw lainnya untuk membagi tugas pergi membantu pasukan-pasukan Beng Kauw yang
lemah di berbagai daerah. Dia sendiri sudah terlalu lama tidak bertemu dengan Thio Sam
Hong, maka Boe Kie sangat rindu sekali terhadap orang tua itu. Keesokan harinya dia segera
mendahului berangkat ke Bu tong san bersama Tio Beng, Jie Lian Coe, Thio Siong Kee dan
Song Ceng Soe. Dalam rombongan itu turut pula Cioe Cie Jiak yang karena merasa berdosa
terhadap kedurhakaan Song Ceng Soe itu, maka dia ingin pergi menghadap Thio Sam Hong
untuk menerima hukuman dari pendiri partai Bu tong pay itu. Murid-murid Go bie pay segera
mengiringinya ke Bu tong san.
Jarak antara Siauw lim sie dan Bu tong san tidak terlalu jauh, karena itu tidak berselang lama
tibalah mereka di pegunungan yang indah itu.
Boe Kie ikut Jie Lian Coe, In Lee Heng dan Siongkee ke dalam untuk menemui Thio Sam
Hong, lalu memberi hormat juga kepada Song Wan Kiauw dan Jie Tay Giam.
Mendengar putranya dibawa pulang, dengan geram Song Wan Kiauw meloloskan pedang dan
memburu keluar.
“Di mana binatang durhaka itu?” bentak Wan Kiauw setelah tiba di ruangan depan.
Waktu melihat putranya rebah di atas usungan, kepalanya juga penuh dibalut dengan kain
putih, tanpa bicara lagi pedangnya terus ditusukkan, tapi mendadak tangannya terasa lemas,
tusukkannya tidak meluncur terus, tertahan di tengah udara karena dia jadi tidak tega untuk
meneruskan tusukannya.
Di saat seperti itu, teringatlah dia akan cinta kasih antara seorang ayah dan anaknya,
hubungan baik antara saudara seperguruan, yaitu Boh Seng Kok almarhum. Sungguh kacau
dan rumit pikirannya di saat itu.
Mendadak dia telah menarik kembali pedangnya bahkan mata pedang itu telah dibaliknya,
ditikamkan ke arah perutnya sendiri.
Tetapi sekali jambret, Boe Kie dapat merampas pedang sang Soepeh, disertai juga dengan
seruan, “Janganlah berbuat nekad seperti itu!” katanya. “Urusan ini biarlah diputuskan
Taysoehoe saja….”
Thio Sam Hong menghela napas, dia telah berkata dengan suara yang berat mengandung
kemurkaan, penyesalan dan kedukaan yang dalam.
“Sungguh tidak beruntung sekali Bu tong pay ternyata memiliki murid yang durhaka seperti
ini….”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1454
Dan setelah berkata begitu, dia menoleh kepada Song Wan Kiauw. Katanya dengan suara
nyaring, “Wan Kiauw, bukan hanya kau seorang yang tidak bahagia, kamipun merasa sedih
dan menyesal sekali. Anak durhaka dan pengkhianat seperti ini lebih baik tidak ada.”
Dan menyusul dengan perkataannya itu maka tangan kanannya telah bergerak.
“Plakkk!” dada Song Ceng Soe telah dipukulnya satu kali. Tetapi pukulan itu sangat hebat
sekali, tenaga pukulan pendiri Bu tong pay itu sangat dahsyat sekali, seketika itu juga isi perut
Song Ceng Soe hancur remuk dan napasnya telah putus di saat itu juga.
“Suhu…!” dengan menangis Song Wan Kiauw telah berlutut di hadapan gurunya. “Tecu tidak
bisa mengajar anak sehingga mengakibatkan kematian Cittee, sungguh Tecu merasa
berdosa…!”
Thio Sam Hong membangunkan murid tertua itu, katanya dengan kepala mengangguk penuh
kedukaan, “Ya, peristiwa ini memang merupakan kesalahanmu, maka Ciangboenjin Bu tong
pay mulai hari ini kuserahkan kepada Lian Coe. Kau boleh menggunakan pikiranmu untuk
menghayati Tay kek Koen hoat agar kepandaianmu menjadi lebih sempurna sedangkan
urusan untuk umum perguruan kita kau tidak perlu mengurus dan memusingkannya….”
Song Wan Kiauw menerima keputusan itu sambil mengucapkan terima kasih.
Menyaksikan betapa kerasnya Thio Sam Hong mengatur rumah tangganya membinasakan
Song Ceng Soe dan memecat Song Wan Kiauw sebagai ahli waris, semua orang merasa kaget
dan tertegun karenanya.
Waktu Thio Sam Hong mengetahui hasil Eng Hiong Tay Hwee serta pergerakan Beng Kauw
melawan tentara Mongol, dia sangat memuji Boe Kie.
Sejak semula Cioe Cie Jiak berdiri di samping namun sekejappun juga Thio Sam Hong tidak
pernah menoleh untuk memandangnya.
Setelah mayat Song Ceng Soe dibawa pergi oleh petugas kuil, mendadak Thio Sam Hong
meloloskan pedang Song Wan Kiauw yang dipergunakan untuk menuding Cie Jiak disertai
kata-katanya yang angker, “Nona Cie sebagai ketua Go bie pay, sudah berapa banyak ilmu
pedang Biat Coat Suthay yang kau pelajari?”
Cie Jiak terkejut tapi cepat-cepat dia menjawab dengan sikap yang hormat, “Yang telah
berhasil dipahami oleh Boanpwe baru tiga bagian dari kepandaian Insu,” sahutnya.
“Mendiang Kwee Liehiap mendirikan Go bie pay dengan harapan agar kelak murid-muridnya
dapat mengangkat nama harum Go bie pay di kalangan Kangouw serta menjadi manusia baik,
taetapi kau hanya memiliki tiga bagian dari ilmu kepandaian Biat Coat Suthay, lalu
berdasarkan apa kau sanggup mengembangkan Go bie pay?” tegur Thio Sam Hong pula.
“Kau kini telah memperoleh sedikit ilmu silat keji malang melintang menjagoi Eng Hiong
Tay Hwee, apakah selanjutnya anak murid Go bie pay belajar juga kepandaianmu yang keji
itu?”
Setelah berdiam diri sejenak utnuk mengatur pernapasannya yang sangat memburu, Thio Sam
Hong telah melanjutkan perkataannya, “Kwee Liehiap pernah menanam budi kepadaku, maka
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1455
aku tidak rela menyaksikan Go bie pay yang didirikan dengan susah payah itu akan hancur
begitu saja.”
“Teguran Thio Cinjin memang tepat,” sahut Cie Jiak sambil menunduk. “Boanpwe sudah
lama mengatur sebuah rencana.”
“Rencana apa?” tanya Thio Sam Hong.
Cie Jiak tidak menjawab pertanyaan Thio Sam Hong, tapi berpaling kepada Boe Kie, katanya,
“Thio Kauwcoe, dulu ketika kau bertempur dengan jago-jago Lak Toa Pay di Kong Bong
Teng, kalau tidak salah pernah kudengar engkau mengatakan bahwa engkau bukan murid Bu
tong pay, benarkah itu?”
Boe Kie tidak mengetahui sebenarnya ke arah mana pertanyaan itu dimaksudkan Cie Jiak,
tetapi dia menjawab juga. “Mendiang ayahku adalah murid Bu tong pay, dan Tay Suhu
pernah mengajarkan Tay Kek Kun Hoan kepadaku, maka jika aku mengaku murid Bu tong
pay, kiranya masih boleh juga.”
“Pernah kudengar lagi, katanya gurumu yang pertama adalah Cia Tayhiap. Dia adalah murid
Hoen Goen Pie Ek Jiu Kun, sedangkan kau yang Sin Kangmu adalah diperoleh dari kitab
peninggalan Tat Mo Couwsu, Kian Kau Tay Lo Ie Sin Hoat dipelajari dari kitab wasiat
Kauwcoe Beng Kauw yang lalu. Padahal orang persilatan, di mana kita paling mengutamakan
perbedaan aliran mana yang kau anut,” kata Cie Jiak sambil mengawasi Boe Kie dalamdalam.
“Apa yang aku pelajari terlalu banyak dan ruwet, kalau bicara yang benar, aku tidak termasuk
anak murid suatu golongan,” sahut Boe Kie.
Segera Cie Jiak bertanya kepada Thio Sam Hong, “Thio Cin Jin, apa yang dikatakannya itu
benar atau tidak?” sambil mengawasi Thio Sam Hong.
“Benar!” sahut Thio Sam Hong sambil mengangguk. “Sesungguhnya memang begitu.
Keadaan seperti Boe Kie sangat jarang terjadi di kalangan Boe Lim. Itu adalah karena
banyaknya penemuan-penemuan aneh dan diperolehnya semua,” dan kemudian Thio Sam
Hong menghela napas, dalam waktu beberapa detik itu, ia teringat pengalaman-pengalaman di
masa lalu waktu Boe Kie masih kecil.
Mendadak Cie Jiak meloloskan potongan It Thian Kiam dari pinggangnya, tangannya
menarik rambutnya yang panjang, ditariknya ke arah depan, sekali tebas putuslah rambut itu.
Karenanya semua orang jadi kaget dan bingung, mereka memandang tidak mengerti.
Di saat itu Cie Jiak telah berkata dengan suara yang nyaring sekali.
“Dosa-dosaku terlalu besar, sudah lama aku berniat untuk memotong rambut menggunduli
kepala, kembali kepada Sang Budha maka dari itu Thio Kauwcoe bukankah engkau telah
pernah berjanji padaku bahwa satu permintaanku yang harus kau laksanakan tanpa dapat
menolaknya. Benar tidak?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1456
“Benar!” sahut Boe Kie. “Hanya apabila hal itu harus merupakan hal yang tidak mengingkari
perbuatan kaum Hiap gie, menguntungkan pergerakan Nasional dan tidak merusak nama baik
Beng Kauw dan pribadi, bukankah begitu?”
“Ya….” angguk Cie Jiak. “Jika demikian seorang laki-laki sejati sekali berkata harus ditepati
terlebih lagi di hadapan Tay Suhu dan para paman gurumu, kelak kau jangan menjilat
ludahmu sendiri.”
Melihat si gadis berbicara dengan sikap bersungguh-sungguh Boe Kie jadi terharu, tanpa
berpikir panjang lagi ia telah berkata, “Ya, silakan kau sebutkan permintaan itu.”
Cie Jiak menoleh kepada Thio Sam Hong, katanya dengan suara nyaring, “Thio Cinjin, aku
mohon memakai ruang pendopomu sebentar.”
Segera dia membuka buntalannya dan mengeluarkan dua potong Leng Pay (papan
sembahyang) yang sepotong bertuliskan “Tempat abu Pendiri Go bie pay. Kwee Siang Kwee
Liehiap” dan yang lainnya lagi bertuliskan “Tempat abu ketua Go bie pay angkatan ketiga,
Biat Coat Soethay”. Dengan hormat sekali Cie Jiak telah Leng pay itu di atas meja
sembahyang dan melihat itu, Thio Sam Hong bersama Song Wan Kiauw, Thio Boe Kie dan
yang lain-lainnya ikut memberi hormat. Kemudian Cie Jiak meloloskan Tiat Cie Goan atau
Cincin Besi yang dipergunakannya, dan berkata kepada Boe Kie. “Thio Boe Kie, Thio
Kauwcoe selaku Ciang boenjin dari Go bie pay angkatan keempat Cioe Cie Jiak dengan ini
menyerahkan jabatan ketua kepadamu.”
Mendengar itu semua orang jadi tertegun kaget, memandang tidak percaya apa yang tengah
terjadi itu.
Maka itu terdengar lagi suara Cie Jiak. “Tetapi kau masih tetap merangkap menjadi Kauwcoe
Beng Kauw, pemimpin para patriot untuk mengusir penjajah. Sejak kini, setiap anak murid
Go bie pay tunduk dibawah perintahmu!”
“Hei…ini…ini mana boleh terjadi?” cepat-cepat Boe Kie ingin membantahnya.
“Mengapa?” tanya Cie Jiak. “Go bie pay di dirikan Kwee Liehiap yang cukup dihormati
setiap orang gagah bukan? Dengan diangkatnya kau menjadi Cian boenjin, kiranya tidaklah
merendahkan harga dirimu.”
Boe Kie jadi serba salah, dia memandang Thio Sam Hong dengan sorot mata mohon
diberikan pertolongan utnuk menghadapi urusan yang demikian mendadak.
Tidak terduga, Thio Sam Hong justru telah tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Nona
Cioe, kau benar-benar hebat, karean berdasarkan tindakanmu ini, tidak sia-sialah Biat Coat
Soethay menyerahkan Ciang boenjin kepadamu! Kalau Go bie pay diserahkan dibawah
pimpinan Boe Kie, soal perkembangannya tidak usah diragukan lagi.”
Walaupun peristiwa itu diluar dugaan semua orang, tetapi Boe Kie memang tidak termasuk
suatu golongan atau aliran, kalau menerima jabatan ketua Go bie pay, tidaklah melanggar
peraturan Kangouw.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1457
Sebaliknya hal itu justru memang besar manfaatnya bagi gerakan Nasional, untuk keutuhan
dari persatuan dan kesatuan dan juga tidak merugikan nama baik Beng Kauw dan juga tidak
merusak nama pribadi Boe Kie, maka terdengarlah Thio Sam Hong telah berkata lagi.
“Anakku Boe Kie jika kau sudah pernah berjanji dengan anak Cioe, janganlah engkau
mengingkarinya…!”
Lalu Cioe Cie Jiak mengeluarkan sejilid kitab tipis bersama2 kedua It Thian Kiam diserahkan
kepada Boe Kie diiringi perkataannya.
“Ini adalah kita inti ilmu Go Bie Pay kita yang ditulis oleh Kwee Liehiap, harap kau
menerimanya dengan baik dan hormat…!”
Terpaksa Boe Kie menurut tidak membantah lagi, dia menerima kitab itu, kitab ilmu silat
ajaran Go Bie Pay dan kedua potong It Thian kiam diterimanya juga berikut cincin besi tanda
sebagai kekuasaan tertinggi seorang Ciang Boen Jin Go Bie Pay dari tangan Cie Jiak, lalu Boe
Kie memberi hormat dihadapan Leng pay menyusul mana Cie Jiak memimpin Ciang Boen Jin
angkatan kelima yang baru ini. Begitu pula Thio Sam Hong dan yang lain2nya berturut2 telah
memberikan ucapan selamat.
Sejak saat itulah Cioe Cie Jiak telah memotong rambutnya menjadi seorang niokouw, tidak
mengurus soal2 keduniawian lagi.
Boe Kie segera perintahkan Ceng Hui memimpin anak murid Go Bie Pay kembali ke Go Bie
San, dia sendiri memohon diri dan meminta Thio Sam hong dan yang lain2nya menuju ke Ho
Cioe bersama Tio Beng untuk melakukan inspeksi atas pergerakan Beng Kauw.
Sepanjang perjalanannya dia menerima berita kemenangan serta mendengar diperbagai
temapt daerah lain banyak timbul pergolakan dari kaum patriot, di daerah Kang Soh ada Thio
Soe seng, didaerah Tay Cioe ada Poe Kok Tia walaupun tidak termasuk dibawah panji Beng
Kauw, tapi adalah merupakan rekan seperguruan yang satu tujuan, yaitu melawan dan
berusaha mengusir tentara Mongolia.
Dengan seorang kawan Boe Kie melakukan perjalanan yg menggembirakan, justru kawan
sejalannya itu adalah Tio Beng. Dan yang lebih menggembirakan sekali justru dia mendengar
usaha pergerakan nasional banyak memperoleh kemajuan maka dia yakin bahwa pembebasan
tanah air sudah dekat berakhir.
Dia berpikir juga bahwa berhasilnya pergerakan itu tentu saja dibebaskan faktor utamanya
dimana terpimpin dengan baik maka dia mengharapkan selanjutnya seluruh negeri akan aman
dan damai abadi rakyat sejahtera dan hidup tentram bahagia.
Dengan demikian, barulah tidak percuma dan sisa2 perjuangannya selama beberapa tahun ini.
Karena tak ingin menerbitkan keonaran maka sepanjang jalan dia tak menemui pemimpinan
pasukan Beng Kauw hanya diam2 menyelidiki dan lihat aktif laskar Beng Kauw sangat baik
tak mengganggu rakyat dimana2 terdengar pujian2 kebijaksanaan jendral Coe Goan Ciang
dan penglima Cie.
***
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1458
Malamnya Theng Ho mengadakan pesta meriah untuk menghormati kedatangan pucuk
pimpinan itu, sejenak kemudian baru Coe Gaon Ciang datang tergesa-gesa bersama beberapa
perwira tinggi yang lainnya terus memberi hormat dihadapan Boe Kie, meminta maaf atas
keteledoran mereka menyambut.
Boe Kie cepat2 membangunkan orang2nya itu dan memuji kemenangan2 yang dicapai Coe
Goan Ciang.
Dengan sangat hormat Coe Goan Ciang menuangkan tga cawan arak berturut2 untuk
menyuguhkan sang Kauwcu lalu menyuguhkan pula kepada Tio Beng.
Kemudian mereka membicarakan perkembangan situasi dimedan perang yang sangat
menguntungkan Beng Kauw itu, tiba2 tampak panglima Liauw Eng Tiong masuk tergesa2,
lebih dulu memberi hormat kepada sang kauwcu, lalu berbisik kepada Coa Goan Ciang,
“Sudah dapat kami tangkap…!”
“Bagus!” sahut Coe Goan Ciang.
Saat itulah tiba2 terdengar suara teriakan penasaran seorang diluar dan mendengar suaranya,
segera Boe kie mengenali suara Han Lian Jie.
Dia heran dan bertanya, “Ada apakah sesungguhnya yang terjadi didiri Han Hian te?”
“Lapor kepada Kauwcu,” sahut Coe Goan Ciang, “Han Sim Jie telah bersekutu dengan musuh
bermaksud mendobrak, maka dia telah diringkus.”
“Ha?” berseru Boe Kie terkejut. “Cepat bawa dia kemari, biar kutanya sendiri kepadanya.”
Belum selesai ucapannya itu, mendadak kepalanya terasa pusing, matanya berkunang2 gelap
dan kemudian Boe Kie tidak sadarkan diri lagi.
Waktu Boe Kie tersadar kembali, ternyata dia merasakan tangannya telah di borgol dengan
alat belenggu yg sangat kuat. Keaadaan sekitanya gelap, telah membuat Boe Kie jadi tekejut.
Dia merasakan kepalanya tersandar sesuatu yg lunak halus, ternyata Tio Beng juga telah
ditawan bersamanya disitu, hanya gadis itu belum lagi tersadar.
Berpikir sejenak, segera tersadarlah Boe Kie bahwa secara diam2 Coe Goan Ciang telah
menaruh obat tidur didalam minuman mereka. Ternyata jendral kepercayaannya itu telah
menyeleweng.
Sedikit mengerakkan tenaga dalamnya, Boe Kie merasakan tak ada perobahan sesuatu dalam
tenaga saktinya itu.
Di saat itu tiba2 Boe Kie mendengar seseorang berkata, “Coe Taoko, babat rumput harus
keakar2nya, jangan sampai kita tinggal bibit bencana di kemudian hari,” dan itulah suaranya
Cie Tat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1459
“Tetapi bangsat kecil ini adalah atasan kita janganlah kita lupa dan ingkar terhadap kawan,”
terdengar suara Coe Goan Ciang yang menyahuti ragu2.
Tiba2 Gie Coan ikut berbicara, “Jika Coe Taoko kuatir terjadi sesuatu dalam pasukannya,
lebih baik turun tangan secara diam2 agak tak merugikan nama baik Taoko.”
“Jika demikian pendapat saudara2 Cie dan Siang, baiklah aku menurut saja,” sahut Coe Goan
Ciang. “Hanya bangsat cilik ini agak berjasa bagi agama kita, rahasianya ini jangan sampai
diketahui orang lain…”
Setelah bicara2 begitu, ketiga orang tersebut segera keluar kamar.
Boe Kie menarik napas sedih, dia merasa berduka mendengar percakapan itu. Dia meraba
pinggangnya, bersyukur potongan In Thian Kiam masih ada, segera dia akan menggunakan
ilmu Kiam Kun Tay Lo Ie Sin kang dan meloloskan pedang patah itu untuk momotong
belenggu besi, lalu menyadarkan Tio Beng yang diajak melarikan diri dari tempat itu.
Sambil melarikan diri, bermacam2 perasaan bergolak di hati Boe Kie, dan dia benar2 gusar
melihat pengkhianatan Coe Goen Ciang, yang lupa budi dan mengkhianatinya.
Tetapi Cie Tat dan Ciang Gie Coen yang sangat erat sekali hubungannya, demi kedudukan
dan kejayaan sendiri, rela mengkhianatinya juga, hal ini benar2 melukai hati Boe Kie.
“Mereka memiliki tugas memimpin dalam menghadapi musuh penjajah, kalau aku pergi
membunuhnya mungkin pasukan pergerakan akan berantakan dan kemungkinan gerakan
Nasional akan gagal berantakan…!” berpikiri Boe Kie. “Memang aku Thio Boe Kie juga
tidak terlalu memikirkan keuntungan pribadi. Wahai Cie Taoko, Siang Taoko, kalau terlalu
memandang rendah kepadaku!”
***
Sesampainya diluar kota, Boe Kie lalu menulis sepucuk surat panjang lebar, dia menyerahkan
jabatan Bengcoe dari Beng Kauw kepada Yo Siauw. Tetapi mengenai apa yg didengarnya di
Ho cioe itu sehuruf pun tidak disinggungnya sudah tentu dia tidak menduga bahwa yang di
maksudkan oleh Siang Gie Cun dan Tat sebenarnya adalah Han Lim Jie. Mengenai
kedatangan Boe Kie di Ho Ciu sama sekali tidak diketahui mereka berdua.
Semua itu hanya merupakan tipu muslihat dari Coe Goan Ciang belaka.
Soalnya karena Coe Goan Ciang ingin menjadi kaisar bercita2 untuk duduk disinggasana
menjadi raja, maka dia telah menjalankan tipu muslihatnya. Kalau sampai Beng Kauw
menang dan berhasil tentu saja Boe Kie yang jelas menjadi kaisar karena dia merupakan
puncah pimpinan dari gerakan itu.
Sengaja Coe Goan Ciang telah meminumkan obat tidur yang dicampurkan dalam arak Boe
Kie dan Tio Beng, mengaturnya demikian rupa agar seluruh percakapannya dengan Cie Tat
dan Siang Gie Coen di dengar Boe Kie, sehingga menimbulkan salah paham diantara mereka.
Putus asa dan menyesal Boe Kie tentu akan mengasingkan diri.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1460
Coe Goan Ciang cukup hebat dan mengenal akan kelihaian Boe Kie dalam ilmu silat, untuk
membinasakannya, dia tidak berani karena jika sampai akal muslihatnya itu bocor, berarti dia
menghadapi bahaya yg sangat besar. Tapi berbicara tentang kecerdsar serta tipu daya jauh
diatas Boe Kie.
Dia kenal jiwa Boe Kie seorang patriot, mengutamakan kepentingan negara diatas segalanya,
hubungan dengan Cie Tat dan Siang Gie Coan bagaikan saudara kandung, asal percakapan
mereka itu didengar Boe Kie, pasti Boe Kie akan meninggalkan tempat itu secara diam2.
Ternyata yg direncanakan Coe Goan Ciang berjalan lancar.
Sedangkan soal Han Lim Jie bersekutu dengan musuh dan bermaksud memberontak, jelas itu
hanya fitnah belaka.
Soalnya sejak gurunya Han San Tong anak buah Han San Tong telah mengangkat Han Lim
Jie sebagai pengganti ayahnya sedangkan Coe Goan Ciang Cie Tat dan Siang Gie Coan malah
hanya menjadi bawahannya.
Coe Goan Ciang telah memalsukan surat bukti Han Lim Jie bersekutu dengan musuh, dia
berhasil pula membeli seorang pelayan kepercayaan Han Lim Jie pura2 melaporkan hal itu
kepada Cie Tat nan Siang It Coen.
Karena percaya Cie Tat dan Siang Gie Coen untuk membasmi Han Lim Jie, sehingga Coe
Goan Ciang malah berpura2 mencegahnya, setelah didesak berulang kali barulah kemudian
dia mengijinkan untuk menghukum Han Lim Jie.
Dia sengaja mengurung Boe Kie ditempat yang mudah untuk meloloskan diri dan begitu Boe
Kie sudah pergi, Coe Goan Ciang segera perintahkan perwiranya, yaitu Lauw Eng tong,
menenggelamkan Han Lim Jie kedasar sungai.
Sungguh hasil yg diperolehnya memuaskan hati Coe Goan Ciang, karena sekali tepuk dua
lalat yg terbinasa, tipu muslihatnya itu telah berhasil dengan baik sekali dan tak seorangpun
yang mengetahui muslihat Coe Goan Ciang itu.
Kemudia walaupun Yo Siauw menggantilan Boe Kie menjadi Kauwcu Beng Kauw, namun
Coe Goan Ciang sudah tumbuh sudah mengembangkan sayapnya. Kekuatannya sudah
terpupuk pula Yo Siauw tua, jelas tak bisa berbuat untuk saling rebut kedudukan kaisar
dengan Coe Goan Ciang.
Akhirnya tercapai juga cita2 Coe Goan Ciang, dimana Coe Goan Ciang berhasil duduk di
singgasana menjadi kaisar yaitu kaisar yang di kenal sebagai Beng Taiciauw pendiri dinasti
Beng.
***
Kembali waktu Boe Kie tengah menulis surat panjang lebar untuk Yo Siauw. Tio Beng
melihat Mauwpit (pena tulis tiong hoa) ditangan Boe Kie itu masih basah dan belum
diletakkan, sikap Boe Kie juga lesu dan mukanya muram, maka katanya. “Engko Boe Kie,
kau pernah berjanji akan melakukan tiga pekerjaan untukku. Soal pertama meminjamkan To
Liong To kepadaku, itupun sudah tercapai. Kedua dilarang menikah dengan nona Cioe, juga
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1461
sudah dilaksanakan. Dan kini tinggal soal yang ketiga… jangan kau melanggar janjimu
sendiri…”
“Hah?” Boe Kie terkejut. “Ahh, kembali engkau mengeluarkan pikiran2 sintingmu!”
“Engko Boe Kie,” tertawa Tio Beng dengan riang. “Aku berpikir, karena alisku ini terlalu
tipis dan buruk bentuknya, aku mohon engaku mau menambahkannya dengan melukisnya,
agar lebih tebal. Dengan pit itu engkau bisa melukiskannya untuk memperindah! Bukankah
soal itu tidak melanggar peraturan Hiapgie dari pada kaum Boe lim!”
Boe Kie tertawa, sahutnya sambil menatap mesra sekali. “Oh, baiklah sayang… mulai
sekarang sampai dunia berakhir, setiap hari aku akan melukis alismu itu, agar kau tampak
semakin cantik!”
Dan kedua muda mudi itu telah tertawa dengan suara yang renyai, mengandung kebahagiaan.
Bunga ditelaga berwarna putih.
Teratai dan burung Hian selalu saling bertentangan tempat beradanya.
Kesatria menang melawan penjajah.
Rakyat tersenyum bahagia.
Bayi menangis lincah dan bebas.
Tanah yang gersang memerah kembali.
Pohon2 tumbuh dengan daunnya yang rindang subur.
Semua tersenyum, sambil berseru, “Bebas!”
Dan para pahlawan, kembali kerumah masing2…
TAMAT