Selasa, 17 November 2009

Maka ia sudah menurunkan semua Kouw koat, dengan pengharapan bahwa dikemudian hari,
dengan dibantu kecerdasannya, anak itu bisa mengerti sendiri teori-teori yang sudah
dihapalnya.
Sesudah menyambut tiga pukulan Boe Kie, Sam Hong tahu, bahwa tenaga dalam bocah tidak
murni. Sebagai akibatnya, Lweekang dingin dari Hian beng Sin ciang tidak dapat disedot
keluar lagi.
Dengan hati masgul kakek guru itu duduk terpekur sambil mengasah otak. Selang sekian
lama, ia berkata dengan suara perlahan: "Untuk mengeluarkan racun itu, orang lain tidak akan
dapat membantunya lagi. Jalan satu-satunya, ia harus melatih diri dengan Lweekang tertinggi
dari Kioe yang Cin keng. Tapi sayang sungguh, bahwa pada waktu mendiang guruku yaitu
Kak wan Taysoe, menghafal kitab tersebut, aku masih sangat muda dan tidak bisa ingat
seanteronya. Biarpun sudah berulang kali aku menutup diri merenungkannya sekian lama,
belum juga aku dapat menyelami seluruhnya. Sekarang, karena tiada jalan lain, biarlah ia
berlatih sendiri dengan apa yang aku mampu. Jika ia bisa hidup lebih lama satu hari, biarlah ia
hidup lebih lama satu hari."
Sesudah itu, ia segera mengajar Boe Kie dengan Kouw koat dan cara berlatih dari Kioe yang
Cin-kang (Ilmu senjata dari Kioe yang). Ilmu itu, yang kelihatannya sederhana, sangat dalam
dan banyak sekali perubahannya. Dengan menjalankan pernapasan menurut peraturan yang
sudan ditetapkan, Cin kie (Hawa murni) yang hangat dari tantian mengalir keberbagai jalan
darah dan kemudian kembali dan berkumpul pula sekitar tantian. Pengaliran "Hawa murni"
dari tantian ketantian merupakan satu putaran dan putaran itu diulang dan di ulang lagi.
Sesudah selesai satu putaran, orang yang berlatih lantas saja merasa seluruh tubuhnya nyaman
luar biasa. "Hawa-murni" itu yang melayang-layang dan mengalir bagaikan asap rokok
dinamakan juga In-Oen Cie kie (Hawa ungu dari Langit dan Bumi). Jika latihan seseorang
sudah capai tingkat yang tinggi, In oen Cie-kie bisa mengusir racun dingin ditatian dan
diberbagai jalan darah. Dalam Rimba Persilatan, azas-azas Lweekang dari berbaggai partai itu
tidak banyak bedanya. Yang berbeda yalah cara berlatihnya. Sebegitu jauh mengenai tenaga,
Boetong Sin-hoat dari Thio Sam Hong jarang tandingannya didalam dunia.
Sesudah berlatih dua tahun lebih, Boe Kie sudah dapat mengumpulkan banyak juga In oen
Cin Kie ditantiannya. Tapi karena racun dingin terlampau hebat, maka kehangatan dari "Hawa
murni" itu tidak berhasil mengusirnya. Sebaliknya dari pada sembuh, sinar hijau dimukanya
kian hari kian tua dan setiap kali racun dingin itu mengamuk, ia menderita bukan main.
Selama dua tahun, Thio Sam Hong memeras tenaga dan pikiran untuk mengajar, menilik dan
merawat cucu muridnya itu. Song Wan Kiauw dan saudara-saudara sepenguruannya telah
menjelajah keberbagai tempat untuk mencari obat obatan yang mujarab dan langka terdapat di
dalam dunia. Mereka membawa pulang Jin som yang sudah berusia lebih seratus tahun, Sioe
ouw, Hok leng dari Soat san dan sebagainya untuk diberikan kepada bocah itu. Tapi semua
obat-obatan itu bagaikan batu yang dilemparkan kedalam lautan. Makin hari anak itu jadi
makin kurus dan pucat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 370
Guna menyenangkan orang-orang yang mencintainya, Boe Kie selalu memaksakan diri untuk
bergembira. Tapi sang kakek guru dan paman-paman itu merasa, bahwa turunan tunggal dari
Thio Coei San sudah tak dapat ditolong lagi.
Selagi repot mengobati lukanya, tokoh-tokoh Boe tong pay tak punya tempo lagi untuk
mencari musuh-musuh yang telah mencelakakan Jie Thay Giam dan Boe Kie. Selama dua
tahun itu, Kauw coe Peh bie kauw, In Thian Ceng, berulang kali mengirim utusan untuk
menengok cucu luarnya dan menghadiahkan banyak barang-barang berharga. Tapi mengingat
bahwa secara tidak langsung Jie Thay Giam dan Thio Coei San celaka dalam tangan Peh bie
kauw, pendekar-pendekar Boe tong selalu mengirim pulang barang-barang itu. Bahkan satu
kali Boh Seng Kok menghajar juga utusan In Thian Ceng. Mulai waktu itu, In Thian Ceng
tidak pernah mengirim orang lagi.
Tanpa terasa hari perayaan Tiong cioe tiba kembali. Menurut kebiasaan, Thio Sam Hong dan
murid muridnya merayakan hari itu. Tapi pada kali sebelum mereka duduk dimeja perjamuan,
penyakit Boe Kie mendadak kambuh lagi. Selebar mukanya bersinar hijau dan tubuhnya
menggigil. Sebab kuatir merusak kegembiraan kakek guru dan paman-pamannya, sambil
mengertak gigi, ia coba mempertahankan diri. Tapi gejala kumatnya penyakit sudah tentu
tidak dapat disembunyikan. Dengan penuh rasa cinta, In Lie Heng mendukung keponakan itu
kekamarnya, menyelimutinya dan membuat satu perapian.
Tiba tiba Thio Sam Hong berkata: "Besok bersama Boe Kie, aku akan pergi ke Siauw lim sie
di Siongsan"
Semua murid Thio Sam Hong tertegun. Mereka mengerti, bahwa dalam keadaan mendesak
dan karena cintanya terhadap si cucu murid, guru itu rela menundukkan kepala dihadapan
Siaum Lim sie untuk meminta pertolongan.
Mereka mengerti bahwa sang guru mengharap, dengan Kioe yang Cin keng yang lengkap,
jiwa Boe Kie akan bisa ditolong. Sebagaimana diketahui, kioe yang Cin keng yang dimiliki
Thio Sam Hong masih ada kekurangannya.
Dua tahun berselang, waktu Thio Sam Hong merayakan hari ulang tahunnya yang keseratus,
perhubungan antara Siauw lim dan Boe tong telah menjadi retak. Dengan kedudukannya
sebagai seorang guru besar dari sebuah partai ternama, kepergian Thio Sam Hong ke Siauw
lim sie untuk meminta pertolongan, sungguh akan menurunkan derajat Boe tong pay. Akan
tetapi, demi cinta yang tidak mengenal batas, guru besar itu telah menyampingkan segala
nama kosong. Sesudah tertegun, semua muridnya menghela napas dengan rasa kagum akan
kebesaran jiwa sang guru.
Sebenarnya, Go bie paypun mengenal sebagian Kioe yang Cin-keng. Akin tetapi, Biat coat
Soe thay sungkan menemui orang luar. Beberapa kali, Sam Hong telah memerintahkan in Lie
Heng membawa suratnya ke gunung Go bie san. Tapi pendeta wanita itu tidak menggubris
dan memulangkan surat surat itu, tanpa dibuka. Maka itulah jalan satu-satunya yang masih
terbuka yalah minta pertolongan Siauw Lim sie.
Sam Hong mengerti, bahwa jika ia cuma mengutus murid-muridnya ke Siauw lim sie, Kongboen
Taysoe beramai pasti tidak akan meladeni. Dari sebab itu, ia telah mengambil keputusan
untuk pergi sendiri.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 371
Demikianlah, perjamuan itu diliputi dengan kemasgulan dan sesudah meneguk beberapa
cawan arak, mereka lalu bubar.
Pada keesokan barinya, pagi-pagi benar guru itu berangkat dengan mengajak Boe Kie, diantar
oleh muridnya sampai dikaki gunung. Song Wan Kiauw dan saudara saudaranya sebenarnya
ingin turut serta, tetapi dilarang karena Sam Hong kuatir datangnya banyak orang akan
menimbulkan kecurigaan bagi pihak Siauw lim.
Dengan masing-masing menunggang keledai, si kakek dan si bocah menuju ke arah utara.
Jarak antara Siauw Lim dan Boe-tong, dua pusat persilatan pada jaman itu, tidak terlalu jauh.
Dari Boe-tong-san Ouw-pak utara, ke Siong-san di Ho lam barat, hanya memerlukan
pelayaran beberapa hari. Sesudah menyeberangi sungai Han soe di Loo ho kow, mereka tiba
di Lam yang. Terus menuju ke utara sampai di Nie-coo dan sesudah membelok kearah barat,
tibalah mereka digunung Siong san.
Sesudah mendaki Siauw sit san, mereka menambat keledai didahan pohon dan meneruskan
perjalanan dengan jalan kaki. Sambil berjalan, Sam Hong ingat kejadian pada delapanpuluh
tahun lebih yang lalu, kapan dengan memikul dua tahang
mendiang gurunya, Kak wan Taysoe mengajak ia dan Kwee Siang melarikan diri dari Siauw
Lim sie. Kejadian itu sudah hampir seabad, tapi seolah olah baru terjadi kemarin. Ia menghela
napas dan hatinya terharu bukan main, karena diluar semua perhitungan, hari ini ia kembali
ketempat dulu. Ia mengawasi puncak-puncak gunung dan kuil Siauw lim sie yang tiada
berbeda seperti ada delapanpuluh tahun berselang. Tapi orang orang yang dicintainya yaitu
Kak wan dan Kwee Siang, sudah tidak ada lagi didalam dunia.
Tak lama kemudian, mereka tiba di pendopo Lip soat teng. Kebetulan, dua pendeta kelihatan
mendatangi. Sam Hong menghampiri dan sesudah memberi hormat, ia berkata: "Aku minta
pertolongan soehoe (tuan pendeta) untuk melaporkan kepada Hong thio Taysoe (kepala kuil),
bahwa Thio Sam Hong minta bertemu."
Mendengar nama "Thio Sam Hong," kedua pendeta itu terkejut. Dengan mata membelalak,
mereka mengawasi kakek itu yang bertubuh tinggi besar, berambut dan berjenggot putih,
sedang mukanya yang bersemu merah selalu bersenyum-senyum. Dilain saat, mereka
tercengang karena orang yang mengaku bernama Thio Sam Hong itu, mengenakan jubah
imam yang mesum.
Mereka tak tahu, bahwa guru besar itu memang seorang sembarangan, sembarangan caracaranya
dan sembarangan pula dalam berpakaiannya. Maka itulah, dibelakangnya sejumlah
orang Kangouw menyulukinya sebagai "Tah-tah Toojin" (si imam mesum) dan ada juga
orang yang menamakadnya "Thio Tah-tah"
Melihat begitu, kedua pendeta itu agak kurang percaya. "Apa kau Thio ....Thio Cinjin dari
Boe tong pay?" tanya salah seorang.
Sam Hong tertawa. "Apa ada Thio Sam Hong palsu?" tanyanya.
Mendengar jawaban itu yang bernada guyon-guyon dan sama sekali bebas dari keangkeran
seorang guru besar dari sebuah partai persilatan yang besar, sipendeta makin tidak percaya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 372
"Apa kau tidak main main ?" tanyanya pula.
Sam Hong kembali tertawa. "Apakah Thio Sam Hong berharga sedemikian besar, sehingga ia
mesti dipalsukan?" tanyanya pula.
Dengan penuh kesangsian, kedua pendeta itu berlari-lari kearah kuil untuk melaporkan.
Sesudah lewat sekian lama, pintu ditengah kuil terbuka dan Hong thio Kong boen Taysoe
muncul bersama-sama Kong tie dan Kong seng. Dibelakang mereka mengikuti lima orang
pendeta tua yang mengenakan jubah pertapaan warna kuning muda. Sam Hong tahu, bahwa
mereka, adalah anggauta angqauta dari Tat mo ih dan tingkatan mereka mungkin lebih tinggi
daripada Kong boen dan saudara saudara sepenguruannya. Mereka itu biasanya
menyembunyikan diri didalam kuil untuk mempelajari dan merenungkan ilmu silat Siauw lim
sie. Sebegitu jauh, anggauta-anggauta tat mo ih tidak pernah mencampuri urusan lain. Tapi
sekarang, rupanya karena mendengar kedatangan orang orang Boe tong pay, Kong boen
sudah merasa perlu untuk mengajak kelima tetua itu.
Sam Hong segera bertindak keluar dari pendopo Lip soat teng dan sambil memberi hormat, ia
berkata: "Siauwtoo merasa berat untuk menerima sambutan dari para Taysoe." (Siauwtoo -
Aku si imam kecil)
Kong boen dan yang lain-lain segera merangkap tangan.
"Kedatangan Thio Cinjin diluar dugaan siauwceng (aku sipendeta kecil)," kata Kong boen.
"'Apakah maksud kedatangan Cinjin?"
"Ingin minta pertolongan." jawabnya.
"Duduklah, duduklah," mengundang Kong boen. Sesudah duduk dipendopo itu dan
disuguhkan teh, didalam hati, Sam Hong merasa mendongkol, "Biar bagaimanapun juga, aku
adalah guru besar dari sebuah partai," pikirnya. "Tingkatanku lebih tinggi daripada kamu.
Mengapa kamu tidak mengundang aku masuk dikuil?" Tapi sebagai manusia yang
sembarangan dan terbuka, perlakuan yang kurang pantas itu tidak dibuat pikiran olehnya.
Tapi Kong boen sendiri rupanya sudah merasakan adanya ketidak pantasan. Katanya:
"Menurut adat istiadat, kami harus mengundang Thio Cin jin masuk kedalam kuil. Tapi hal itu
tidak dapat dilakukan, karena dulu, diwaktu muda, Thio cin jin pernah meninggalkan Siauw
lim sie tanpa pamitan. Peraturan kuil kami, yang sudah dipertahankan selama ratusan tahun,
tentulah juga diketahui Thio Cinjin. Setiap murid yang melarikan diri atau murid yang
berkhianat, seumur hidupnya tidak dipermisikan menginjak lagi kuil kami. Menurut peraturan
itu, siapa yang melanggarnya harus di kutungkan kakinya."
Thio Sam Hong tertawa terbahak bahak. "Oh, begitu " katanya. "Memang benar, waktu masih
kecil, Siauwtoo pernah berdiam di Siauw lim sie dan merawat Kak wan Taysoe. Akan tetapi,
apa yang dilakukan Siauwtoo hanyalah menyapu lantai dan masak air. Siauwtoo belum
pernah mencukur rambut dan juga belum pernah mengangkat guru. Maka itu, pada
hakekatnya orang tidak dapat mengatakan, bahwa Siauwtoo adalah murid Siauw lim sie."
Kong tie tertawa dingin. "Tapi tidak dapat disangkal bahwa ilmu silat Thio Cinjin adalah
curian dari Siauw Lim sie," katanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 373
Darah guru besar itu lantas saja naik, tapi di lain saat, ia dapat memulihkan ketenangannya.
Pikirnya: "Biarpun ilmu silat Boe tong adalah hasil jerih payahku selama empat puluh tahun,
tapi jika mau diusut sumbernya, memang juga bersumber dari Siauw lim sie. Jika Kak wan
Taysoe tidak menghadiahkan aku dengan sepasang Loohan besi, mungkin sekali aku tak akan
bisa menjadi seorang ahli silat. Maka itu kalau dikatakan ilmu silatku bersumber dari Siauw
lim sie, pernyataan itu tidak terlalu salah."
Memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Kedatangan Siauwtoo justeru untuk persoalan itu."
Kong boen dan Kong tie saling mengawasi. "Aku mohon Thio Cinjin suka menjelaskannya."
Kata Kong boen.
"Barusan Kong tie Taysoe mengatakan, bahwa ilmu silat Siauwtoo didapat dari Siauw lim
sie," menerangkan Sam Hong. "Pernyataan itu adalah benar. Dulu, Siauwtoo telah merawat
Kak wan Taysoe dan beliau telah menurunkan ilmu dari kitab Kioe yang Cin keng yang
ditulis sendiri oleh Tat mn Loocauw kepadaku. Akan tetapi, karena pada waktu itu Siauwtoo
masih kecil, maka apa yang didapatkan masih banyak kekurangannya dan hal itu merupakan
penyesalan besar dalam hatiku. Waktu Kak wan Taysoe menghafal Cin keng, ada tiga orang
yang mendengarnya. Yang satu adalah pendiri Go bie pay, Kwee Siang Liehiap, yang lain
Boe Sek Siansoe dan yang ketiga yalah Siauwtoo sendiri. Karena berusia paling muda,
berotak paling timpul dan waktu itu Siauwtoo belum pernah belajar silat, maka ape yang
didapatkan Siauwtoo paling sedikit."
"Wungkin sekali tidak sedemikian," kata Kong tie dengan suara dingin. "Sedari kecil Thio
Cin jin merawat Kak wan. Selama beberapa tahun itu, apa tidak bisa jadi diam-diam Kak wan
telah menurunkan banyak ilmu silat kepada Thio Cinjin? Sekarang, nama Boe tong pay
menggetarkan seluruh jagat dan menurut pendapatku, semua itu yalah hadiah dari Kak wan."
Tingkatan Kak wan Taysoe Iebih tinggi tiga tingkat daripada Kong tie. Menutut pantas, ia
harus menggunakan istilah "Toa soesiok couw." Akan tetapi, lantaran Kak wan meninggalkan
Siauw lim sie di tengah jalan dan namanya sudah dicoret, maka dalam pembicaraan, Kong tie
sudah tidak menggunakan istilah yang menghormat. Tapi Thio Sam Hong sendiri buru-buru
bangun berdiri dan berkata sambil membungkuk "Budi Siansoe (mendiang guru) yang sangat
besar, selalu tak dapat dilupakan Siauwtoo." Sikapnya itu yalah untuk menghormat mendiang
gurunya.
Diantara empat Seng ceng (pendeta suci) dari Siauw lim sie, yang berhati paling mulia yalah
Kong kian Taysoe. Hanya sayang siang-siang ia sudah meninggal dunia. Kong boen seorang
pintar dan bijaksana, rasa girang dan gusarnya jarang diutarakan pada paras mukanya. Kong
seng seorang sembrono dan polos sering sering bertindak atau berbicara seenaknya saja.
Antara mereka itu Kong tie lah yang berpemandangan paling sempit.
Sering-sering Kong tie merasa mendongkol, karena didalam Rimba Persilatan, nama Boe tong
sudah berendeng dengan Siauw Lim, sedang menurut anggapannya, ilmu silat Boe tong
adalah "curian" dari Siauw lim sie.
Kunjungan Sam Hong pada hari itu dianggapnya bertujuan untuk membalas sakit hati Thio
Coei San. Disamping itu, masih ada lain hal yang dibuat ganjalan olehnya. Sebagaimana
diketahui sebelum membunuh diri, In So So telah berlagak membisiki sembunyinya Cia Soen
dikuping Kong boen. Siasat itu siasat sangat beracun. Selama dua tahun, tiada henti hentinya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 374
jago-jago Rimba Persilatan mengunjungi Siauw Lim sie untuk menanyakan dimana adanya
Cia Soen. Kong boen bersumpah keras keras bahwa ia tidak tahu. Tapi pada hari itu, diruang
besar "Giok hie koan", semua mata juga telah melihat, bahwa So So telah membisikkan
sesuatu dikupingnya. Siapa yang mau percaya keterangan Kong boen?
Selama dua tahun, sebab gara-gara itu, banyak pertempuran telah terjadi. Tamu-tamu banyak
yang binasa atau terluka, tapi pihak Siauw lim pun tidak bebas dari kerusakan. Dan kalau di
hitung hitung, menurut pendapat Kong tie yang menanam bibit penyakit yalah Boe tong pay.
Sekarang, diluar dugaan Thio Sam Hong datang sendiri. Dapat dimengerti, jika Kong tie
sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik itu untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.
"Thio Cinjin sudah mengaku, bahwa ilmu silat Boe tong adalah titian dari Siauw lim sir,"
katanya pula. "Hanya sayang pengakuan itu tidak didengar oleh lain orang."
Tapi, walaupun diejek, Sam Hong tenang luar biasa. "Ilmu-ilmu silat dikolong langit
sebenarnya bersumber satu," katanya dengan suara sabar. "Selama ratusan, selama ribuan
tahun, tokoh-tokoh Rimba Persilatan memperkembangkan, memperbaiki dan menambal
kekurangan-kekurangan yang terdapat dalm ilmu-ilmu silat. Maka itu, diwaktu sekarang,
sukarlah dikatakan ilmu silat mana yang benar-benar merupakan sumber dari semua ilmu
silat. Tapi, bahwa Siauw lim pay merupakan pemimpin dari Rimba Persilatan, adalah
kenyataan yang diakui oleli semua orang. Hari ini, kedatangan Siauwtoo justeru karena
mengagumi ilmu silat dari partai kalian. Siauwtoo mengakui kekurangan sendiri, makanya
ingin minta pelajaran dari para Taysoe.."
Kong boen dan yang lain-lain terkejut. Mereka menafsirkan, bahwa kata-kata "meminta
pelajaran" sebagai suatu tantangan. Paras muka mereka lantas saja berubah dan untuk
beberapa saat, keadaan sunyi. Akhirnya, yang bicara paling dulu adalah Kong seng,
sisembrono. "Baiklah, toosoe tua," katanya "Jika kau mau menjajal kepandaian kami, akupun
tidak takut."
"Kalian hendaknya jangan salah mengerti " kata Sam Hong cepat-cepat, "Siauwtoo
mengatakan mau minta pelajaran, dan pernyataan itu adalah hal yang sesungguhnya. Dalam
mempelajari Kioe yang Cin keng yang diturunkan oleh Siansoe, ada banyak bagian yang
belum siauwtoo ketahui. Jika kalian sudi mengajar bagian bagian yang kurang itu, siauwtoo
akan merasa berterima kasih tidak habisnya." Sesudah berkata begitu, ia bangun berdiri dan
membungkuk.
Pernyataan Thio Sam Hong mengejutkan semua orang. Thio Sam Hong adalah pendiri partai
yang ilmu silatnya tersohor di seluruh jagat. Sesudah mencapai usia seratus tahun lebih, baik
nama dan kepandaian maupun tingkatan, pada jaman itu tiada orang yang bisa
merendenginya. Maka itu, adalah suatu keanehan, bahwa guru besar itu meminta pelajaran
dari pendeta-pendeta Siauw lim sie.
Kong boen buru-buru bangun berdiri dan membalas hormat. "Thio Cinjin, janganlah Cinjin
ber guyon guyon," katanya. "Kami adalah orang-oiang yang tingkatannya rendah dan
pelajarannya cetek. Bagaimana kami bisa memberi pelajaran?"
Sam Hong mengerti, bahwa pernyataannya terlalu aneh. Maka itu ia lantas saja
menceriterakan sejelas-jelasnya duduknya persoalan. Ia menandaskan, bahwa kedatangannya
itu yalah untuk menolong jiwa Boe Kie. la mengatakan bahwa ia bersedia memberitahukan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 375
pihak Siauw lim segala pelajaran yang telah diperolehnya dari Kioe yang Cin keng dengan
harapan, bahwa pihak Siauw lim sudi memberitahukannya bagian bagian Kioe yang Cin keng
yang belum dimengerti olehnya.
Sesudah berpikir agak Iama, Kong boen berkata: "Semenjak ribuan tahun, diantara tujuhpuluh
dua macam ilmu silat Siauw lim sie, belum pernah ada seorang murid yang berhasil
mempelajari lebih daripada duabelas macam."
"Ilmu yang dimiliki Thio Cinjin memang ilmu yang sangat luar biasa. Akan tetapi, ilmu silat
yang diwariskan oleh leluhur partai kami dengan sesungguhnya sudah terlalu banyak,
sehingga, untuk mempelajari sepersepuluhnya saja, sudah tidak gampang. Thio Cinjin
menyatakan bersedia untuk menukar ilmu dengan partai kami dan untuk kesudian itu, kami
merasa berterima kasih. Tapi jika dipandang dari sudut kami, kami sebenarnya tak perlu
menambah ilmu, sebab kami sendiri sudah memiliki terlampau banyak."
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Ilmu silat Boe tong bersumber dari Siauw
lim. Jika hari ini kedua belah pihak tukar menukar ilmu, maka dikemudian hari, orang orang
yang tidak tahu duduknya persoalan, akan mengatakan, bahwa meskipun ilmu silat Boe tong
bersumber dari Siauw lim, Siauw lim pay pun pernah memperoleh pelajaran dari Thio Cinjin.
Sebagai Ciang boenjin dari Siauw lim pay, desas desus yang semacam itu benar-benar tidak
bisa di pertanggung jawabkan oleh Siauw ceng."
Diam-diam Sam Hong menghela napas. Ia merasa menyesal, bahwa Kong boen Taysoe, salah
seorang dari empat pendeta suci, bisa mempunyai pemandangan yang sedemikian sempit.
Akan tetapi karena kedatangannya adalah untuk meminta bantuan orang, maka sebisa-bisanya
ia menahan sabar dan tidak menegur. "Sam wie adalah Seng Ceng (Pendeta suci), selalu
menaruh belas kasihan terhadap segenap umat manusia" Katanya dengan suara memohon: "
Jiwa anak ini tergantung atas selembar rambut. Maka itu, dengan mengingat welas asihnya
Sang Buddha, siauwtoo memohon pertolongan dan untuk itu, siauwtoo berterima kasih tidak
habisnya."
Kong tie tertawa dingin. "Benar, memang benar seorang beribadat harus menaruh belas
kasihan kepada, ummat manusia," katanya dengan tawar. "Tapi berapa banyak murid Siauw
lim telah binasa didalam tangan Thio Coei San Thio Ngo hiap dan isterinya? Karena mereka
berdua sudah membunuh diri sendiri, kamipun tidak mau menarik panjang urusan ini. Kalau
mau ditarik panjang, kalau kami mau bersendirian, bahwa satu jiwa harus dibayar dengan satu
jiwa pula, maka anak inipun harus diserahkan untuk membayar hutang."
Semenjak tadi, Boe Kie yang berdiri disamping kakek gurunya sudah naik darah. Sebegitu
jauh, sedapat dapatnya ia menekan hawa amarahtnya. Sekarang begitu mendengar
disebutkanaya ayah ibunya, ia tak bisa menahan sabar lagi.
"Thay soecouw," katanya dengan suara nyaring, "hweeshio hweeshio ini telah melaksanakan
kematiannya ayah dan ibuku. Aku lebih suka lantas mati sekarang daripada memohon
pertolongan mereka!"
"Diam!" bentak Sam Hong. "Dihadapan orang orang tua, tak boleh kau ngaco-belo. Kematian
ayah dan ibumu tiada sangkut pautnya dengan pendeta pendeta suci itu."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 376
Boe Kie tidak berani membuka mulut lagi. Tapi sebagai seorang yang beradaat angkuh, diamdiam
ia mengambil keputusan untuk menolak pertolongan para pendeta itu, andaikata
pertolongan itu mau diberikan.
Selagi Sam Hong menohon dan memohon lagi, tiba-tiba terdengar suara tindakan kuda dan
lima orang penunggang kuda kelihatan mendatangi. Orang yang berjalan paling depan
bertubuh tinggi besar dan beroman garang, macamnya seperti satu pagoda besi. Begitu tiba
didepan Lip soat teng, ia menahan les dan berseru: "Bagus!"
Teriakan "bagus!" itu bagaikan suara halilintar, sehingga semua orang terkejut.
Sambil mengawasi Kong boen, orang itu berkata: "Bwee Ciok Kian dari Boe san pang ingin
bertemu dengan Hong thio Siauw lim Sie. Harap kalian sudi melaporkannya."
Kata kata itu yang diucapkan secara biasa, kedengaran sangat keras dan menusuk telinga.
Rupanya, sebab memiliki suara keras yang wajar, ditambah dengan daya Lweekang, maka
suaranya begitu hebat.
Mendengar nama Bwee Ciok Kian, Boe Kie lantas saja ingat peristiwa yang dialaminya pada
dua tahun berselang, yaitu waktu ia menghajar Ho Losam yang telah mengancamnya dengan
ulat berbisa. Melihat kegarangan orang itu, ia lalu bersembunyi dibelakang sang kakek guru,
karena kuatir dikenali.
Kong boen mengerutkan alis. Ia yakin, bahwa tujuan Bwee Ciok Kian adaiah untuk
menyelidiki tempat sembunyinya Cia Soen. Mengingat begitu, ia jadi lebih mendongkol
terhadap Coei San dan isterinya yang dianggapnya sudah menyebar bibit penyakit. "Ada
urusan apa tuan mencari Hong thio kuil kami?"
Bwee Ciok Kian segera melompat turun dari tunggangannya, dan menjawab seraya
merangkap kedua tangannya: "Aku ingin menyelidiki kediamannya seorang."
"Seorang, pendeta tidak mencampuri urusan luar, ia hanya membaca kitab dan
bersembahyang," kata Kong tie. "Jika Bwee Pangcoe ingin menyelidiki kediaman seseorang,
Siauw lim sie bukan tempatnya."
"Bolehkah aku mendapat tahu, siapa adanya Taysoe ?" tanya Ciok Kian.
"She dan nama adalah sesuatu yang berada di luar badan dan seseorang boleh menggunakan
ilmu apapun jua," jawab Kong tie secara menyimpang.
"Hai! Nama saja Taysoe sungkan memberitahukan," kata Bwee Ciok Kian dengan suara
keras. "Kalau begitu, perjalananku ke Siong san percuma saja."
Mendadak Kong tie mendapat serupa pikiran "Belum tentu percuma." katanya. "Bukankah
Pangcoe ingin menyelidiki tempat kediaman Kim mo Say ong Cia Soen ?"
"Benar, puteraku yang sulung telah dibinasakan oleh Cia Soen" jawabnya, "Jika Taysoe dapat
memberi petunjuk, segenap anggauta Boe san pang akan berterima kasih tidak habisnya."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 377
"Kedatangan Pangcoe dihari ini dan diwaktu ini adalah kebetulan sekali," kata Kong tie. "Jika
datang kemarin atau datang besok, kedatangan Pangcoe akan percuma saja"
Mendengar itu, bukan main girangnya Bwee Ciok Kian. "Terima kasih atas petunjuk Taysoe."
katanya.
"Dalam dunia hanya seorang yang tahu tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cia Soen,"
kata Kong tie dengan suara perlahan "Orang itu yalah saudara kecil yang berdiri disitu. Dia
adalah putera dari Thio Coei San, Thio Ngohiap, dari Boe tong pay." Seraya berkata begitu, ia
menuding Boe Kie.
Waktu Bwee Ciok Kian baru datang, Boe Kie ketakutan dan bersembunyi dibelakang Thio
Sam Hong. Tapi sekarang, melihat bahaya sudah tidak dapat dielakkan lagi dan juga
mendengar disebutkannya nama ayahnya, ia jadi nekat. Ia merasa, bahwa sikap pengecut
sangat menurunkan keangkeran mendiang ayahnya. Ia segera maju ke depan seraya berkata:
"Bwee Pangcoe, kau sungguh tidak mengenal malu !"
Semua orang terkesiap. Siapapun juga tak pernah menduga, bahwa bocah kurus kering itu
mempunyai nyali yang begitu besar.
"Bocah ! Apa kau mau mampus!" bentak Bwee Ciok Kian.
Boe Kie keder, tapi sambil mengempos semangat, ia berkata: "Dua tahun lebih yang lalu kau
telah menyuruh seorang yang barnama Ho Loosam menyamar sebagai murid Kay pang dan
Ho Loosam itu telah coba menawan aku. Benarkah begitu? Mengapa kau menggunakan nama
Kay pang ? Benar-benar kau tidak mengenal malu!"
Paras muka Bwee Ciok Kian merah padam. Ia mengangkat tangannya, dan lalu menggaplok
Boe Kie. Sebab kuatir membinasakan si bocah, ia hanya menggunakan sebagian tenaganya,
tapi biarpun begitu, tenaganya yang memang besar sudah pasti tak akan dapat disambut oleh
anak itu.
Boe Kie ingin melompat mundur, tapi sudah tidak keburu lagi sebab tenaga telapak tangan
Bwee Ciok Kian sudah "menutup" seluruh tubuhnya dan napasnya lantas saja menyesak.
Karena tiada jalan, ia terpaksa mengangkat tangannya untuk menangkis.
Mendadak, ia merasa dari punggungnya masuk semacam hawa yang halus dan hangat. Sesaat
itu tangannya sudah kebentrok dengan tangan Bwee Pangcoe. "Plak!" tubuh Bwee Ciok Kian
terhuyung tiga tindak dan sesudah mengerahkan tenaga Ciang kin toei, barulah ia bisa berdiri
tetap.
Bukan main rasa gusar dan malunya Bwee Pangcoe. Mukanya yang merah padam berubah
seperti warna hati babi. Dengan mata seolah-olah mengeluarkan api, ia menacap wajah Boe
Kie.
Waktu Ho Loosam melaporkan kecelakaan yang menimpa atas dirinya, ia tidak mau percaya.
Sekarangpun, bahkan sesudah mengalaminya sendiri, Ia masih tidak percaya, bahwa bocah
seperti Boe Kie mempunyai tenaga yang begitu hebat. Tafsiran satu-satunya yalah anak itu
memiliki ilmu siluman.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 378
Tapi para pendeta suci dari Siauw lim sie mengerti sebab musabab dari kejadian yang aneh
itu. Mereka tahu, bahwa Thio Sam Hong telah membantu cucu muridnya dengan ilmu Kat tee
Coan kang (ilmu mengoperkan tenaga). Dengan menggunakan ilmu tersebut, tangan Boe Kie
menyerupai sebatang tongkat yang, digunakan oleh Thio Sam Hong untuk menangkis
serangan lawan. Kat tee Coan kang bukan ilmu yang terlalu sukar dipelajari. Tapi penggunaan
yang begitu bagus, sehingga tidak dapat dilihat lawan, sungguh-sungguh luar biasa. Diamdiam
ketiga pendeta suci mengakui, bahwa mereka tidak mampu melakuan apa yang
dilakukan oleh Thio Sam Hong.
Dilain saat, Bwee Ciok Kian sudab membentak pula: "Setan kecil! Sambut lagi pukulanku !"
Ia mengempos semangat dan menghantam dada Boe Kie dengan sepenuh tenaga. Sambaran
tenaga itu sedemikian hebat, sehingga pakaian semua orang jadi bergoyang-goyang. Para
pendeta yang kena disambar angin pukulan, merasa dada mereka menyesak dan buru-buru
mengarahkan Lwee kang untuk memunahkan tenaga itu.
Selama beberapa tahun Thio Sam Hong menutup diri untuk merenungkan ilmu silat dan Ilmu
Thay kek kang, yang digubahnya sendiri sangat berbeda dengan Lweekang dari partai mana
pun jua. Ia menggunakan kelemahan untuk melawan kekerasan, yang diam untuk menindas
yang bergerak, yang sedikit untuk merebohkan yang banyak, yang kecil untuk menjatuhkan
yang besar dan apa yang paling diutamakan yalah ilmu "meminjam tenaga, memukul tenaga."
Melihat pukulan Bwee Ciok Kian yang sehebat itu, Sam Hong jadi mendongkol. "Kau
sungguh kejam," katanya didalam hati. "Terhadap anak yang masih begitu kecil, kau turunkan
tangan yang begitu berat. Jika aku tidak berada disini, bukan kah Boe Kie akan bancur luluh?"
Buru-buru ia menempelkan telapak tangannya dipunggung Boe Kie dan suatu daya Lweekang
yang mahal dahsyat, yang dipatahkan dari latihan hampir seratus tahun, lantas saja menerobos
masuk kedalam tubuh si bocah.
Sementara itu, Boe Kie sudah menyambut pukulan si raksasa dengan mengangkat tangan
kanan nya mendorong dengan tangan kirinya, yaitu dengan menggunakan jurus Kian liong
Cay tian
"Plak!". kedua lengan tangan kebentrok, disusul dengan, "aaah!", teriakan Bwee Ciok Kian
yang tubuhnya terpental keluar bagaikan layangan putus. Sebelum orang tahu apa yang
terjadi, badan si raksasa sudah jatuh diatas cabang pohon siong tua yang tingginya kira-kira
lima tombak dari muka bumi. Begitu jatuh, si raksasa melupakan malu dan berteriak-teriak
dengan ketakutan.
Meskipun hebat tenaga Sam Hom adalah tenaga "lembek", sehingga Bwee Ciok Kian tak
terluka sedikitpun jua. Tapi ia tidak berani melompat turun, karena tidak mengerti ilmunya
mengentengkan badan. Maka itu dengan jantung berdebar keras, ia memeluk cabang pohon
itu erat-erat.
Semua orang menyaksikan kejadian itu dengan rasa heran bercampur geli. Dua orang
sebawahan Bwee Pangcoe yang mahir dalam ilmu ringan badan, lantas saja bergerak untuk
menolong pemimpinnya.
Sementara itu, Sam Hong kelihatan bicara bisik bisik dikuping Boe Kie yang manggutmanggutkan
kepalanya. Si bocah lantas saja menjemput sebutir batu kecil dan lalu
menyentilnya kearah cabang pohon yang sedang dipeluk Bwee Pangcoe. Batu itu terbang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 379
dengan mengeluarkan bunyi mengaung, "Tak".... cabang yang dipeluk si raksasa patah dan
tubuhnya yang seperti pagoda besi segera ambruk kebawah! Boe Kie melompat dan menepuk
punggung si korban.
Waktu melayang jatuh, Ciok Kian merasa pasti, bahwa ia akan terluka berat. Tapi diluar
dugaan, ia dipapaki dengan tepukan dan badannya lantas ngapung lagi keatas. Selagi
melayang kebawah untuk kedua kalinya, ia berniat menggunakan gerakan Lee hie hoan sin
(Ikan gabus membalik badan) agar ia bisa hinggap ditanah diatas kedua kakinya. Tapi heran
sungguh, tepukan Boe Kie membuat kaki tangannya lemas semua, sedikitpun tak dapat
digerakkan. Demikianlah, ia jatuh ambruk dan sesudah itu, barulah ia dapat merangkak
bangun.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa itu semua adalah perbuatan Thio Sam Hong. Begitu
bangun terdiri, ia mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Enghiong kecil, aku merasa
takluk terhadapmu." Sehabis berkata begitu, buruburu ia menyemplak kudanya dan mengajak
orang orangnya turun gunung secepat-cepatnya.
Kong boen dan yang lain-lain kaget tak kepalang. Sudah lama mendengar kelihayan Thio
Sam Hong, tapi baru sekarang mereka menyaksikannya dan apa yang barusan dipertunjukkan
oleh pendiri Boe tong pay itu adalah lebih hebat dari pada dugaan maka. Kong boen
sebenarnya tak sudi saling menukar ilmu, tapi sesudah melihat kelihayan Sam Hong, ia
berkata dalam hatinya: "Biar pun aku berlatih lima puluh tahun lagi, aku tak akan dapat
menandinginya. Ia ternyata memiliki ilmu yang luar biasa, ia berkepandaian jauh Iebih tinggi
dari pada aku, sehingga kalau toh aku tukar-menukar dengannya, aku tak rugi."
Memikir begitu, in lantas saja bertanya: "Thio Cinjin, apakah ilmu Kat te Coan kang itu
didapat dari Kioe yang Cin keng?"
"Bukan," jawabnya. llmu ini dinamakan Thay kek kang, adalah ciptaan Siauwtoo. Aku yang
telah menggubahnya dengan semacam ilmu pukulan yang diberi nama Thay kek loan Sip sam
sit (Tigabelas jurus ilmu pukulan Thay kek) dan ilmu pukulan itu tiada sangkut pautnya
dengan Kioe yang Cin keng. Manakala Thaysoe sudah menolong cucu muridku, aku tidak
akan berlaku pelit dan bersedia untuk merundingkan ilmu pukulan itu bersama-sama kalian."
Kong boen melirik Kong tie yang lantas saja mengangguk. "Kalau begitu, baiklah," katanya,
"Kami akan membuka rahasia Kioe yang Cin keng kepada Thio Kongcoe. Akan tetapi, kami
hanya menurunkan ilmu itu kepada Thio Kongcoe seorang dan Thio Kongcoe tidak dapat
mengajarkannya lagi kepada siapapun jua. Disamping itu, Thio Kongcoe juga tidak boleh
menggunakan ilmu tersebut untuk bertempur dengan murid-muridnya Siauw Iim sie. Dalam
kedua perjanjian ini, kamimenuntut sumpah yang berat dari Thio Kong coe"
Thio Sam Hong jadi girang sekali. "Boe Kie, kedua syarat itu boleh diterima baik," katanya,
"Ayolah, kau boleh bersumpah !"
Tapi anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak mau bersumpah dan akupun tak
sudi belajar ilmu mereka," katanya.
Sang kakek guru terkejut, tapi ia lantas saja mengerti perasaan anak itu. Ia tahu, bahwa Boe
Kie beradat keras dan lebih suka mati daripada memohon-mohon di hadapan musuhnya.
Maka itu, ia lantas saja menuntun anak itu dan mengajaknya keluar Lip soat teng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 380
Sesudah terpisah agak jauh dari pendeta-pendeta Siauw lim tie, ia berkata: "Anak, waktu mau
berangkat, kau sudah berjanji akan menerima pelajaran dari Siauw lim pay. Mengapa
sekarang ini kau justeru melanggar janji?"
"Mereka ingin aku bersumpah untuk tidak menggunakan ilmu Kioe yang Cin keng terhadap
murid-murid Siauw lim sie," jawabnya. "dengan adanya sumpah itu, cara bagaimana
dibelakang hari aku bisa membalas dendam sakit hatinya kedua orang tuaku"
"Kalau sekarang ini kau menolak pelajaran Kioe yang Cin keng, dalam tempo setahun, kau
akan meninggal dunia," kata sang kakek guru. "Sesudah mati, bagaimana kau bisa menuntut
balas? Didalam dunia terdapat banyak sekali ilmu silat yang sangat lihay. Jika nanti kau sudah
berhasil, kau bisa membales sakit hati dengan menggunakan ilmu silat yang lain. Tak perlu
kau menggunakan ilmu Kioe yang Cin keng. Kalau sudah mencapai puncak ke sempurnaan,
ilmu manapun jua cukup untuk membalas sakit hatimu."
Sesudah memikir sejenak, Boe Kie berkata "Baiklah, aku turut perintah Thay soehoe."
Mereka segera kembali ke Lip soat teng. Boe Kie lantas saja menekuk lutut dan berkata
dengan suara nyaring: "Hari ini teecoe Thio Boe Kie menerima pelajaran Kioe yang Cin keng
dari pendeta suci Siauw lim pay, dengan tujuan untuk mengobati luka. Teecoe berjanji tidak
akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain dan juga tidak akan menggunakan ilmu itu
untuk bertempur dengan murid-murid Siauw lim sie. Kalau teecoe melanggar janji, biarlah
teecoe mati membunuh diri sendiri, seperti apa yang dilakukan oleh ayah dan ibuku."
Sebagaimana diketahui, pada waktu baru terlahir, Boe Kie telah diberikan kepada Cia Soen
dan ia menggunakan she Cia. Coei San dan isteri nya ingin menunggu putera yang kedua
guna menyambung turunan koluanga Thio. Sesudah kedua suami isteri itu binasa dan mereka
tak punya anak yang lain, maka atas anjuran Lian Cioe, Lie Heng dan lain-lain paman, Boe
Kie menggunakan lagi she Thio.
Sesudah bersumpah, Boe Kie bangun berdiri.
"Dibelakang hari aku akan menggunakan lain ilmu untuk membasmi hweeshio-hweeshio itu,"
pikirnya dengan mendongkol.
Kong boen Thaysoe lantas saja merangkap kedua tangannya dan memuji: "Siancay, siancay
Siauw siecoe (tuan kecil) telah bersumpah terlampau berat!" Ia berpaling kearah Thio Sam
Hong dan berkata pula: "Kami akan mengajak Siauw sie coe kedalam kuil untuk memberikan
pelajaran Sin kang. Tapi bagaimana dengan Thay kek Sip sam sit?"
"Aku minta kertas dan perabot tulis, dan di sini serta sekarang juga aku akan menulis Thay
kek sip sam sit serta bagian-bagian Kioe yang Cinkeng yang dikenal olehku," jawabnya.
"Kalau begitu, baiklah," kata Kong boen yang lalu memberi hormat dan kemudian bersama
yang lainnya, kembali kekuil dengan mengajak Boe kie.
Sambil berjalan, bukan main rasa mendongkolnya Boe Kie. "Kioe yang kang Boe tong belum
tentu kalah dari Kioe yang kang Siauw lim" Pikirnya. "Kalau Thay Soehoe hanya menukar
Kioe yang kang dengan Kioe yang kang, itu baru namanya adil. Tapi kamu mau ditambahkan
juga dengan Thay kek koen Sip sam sit. Di samping itu, sesudah mempelajari Kioe yang kang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 381
Boe tong, kamu boleh turunkan ilmu itu kepada orang lain dan juga boleh menggunakannya
terhadap murid murid Boe tong. Tapi pihak Boe tong tidak boleh. Inilah sangat tidak adil.
Karena gara garaku seorang, Song Soepeh, Jie Soepeh dan yang lain-lain tidak akan bisa
mengangkat kepala lagi. Hai! Bagaimana baiknya ?" la sangat berduka, tapi ia tidak berani
membantah perintah sang kakek guru.
Setibanya di dalam kuil, Kong boen mengantar kan Boe Kie kesebuah kamar kecil. "Siauw
Siecoo mengasolah disini," katanya. "Aku akan segera mengirim orang untuk mengajar ilmu
kepadamu." Sehabis berkata begitu, ia mengebas dangan tangan jubahnya dan jalanan darah
Sweehiat (jalanan darah yang jika tertotok menyebabkan tidur pulas) Boe Kie lantas saja
tertotok.
Kong boen Taysoe adalab salah seorang dari empat pendeta suci dari Siauw lim sie. Tak usah
dikatakan lagi, ia memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Begitu tertotok jalan darahnya,
Boe Kie segera pulas dan menurut perhitungan, ia baru akan tersadar empat jam kemudian.
Tapi Kong boen tak tahu, bahwa anak itu memiliki Lweekang luar biasa yang diturunkan oleh
Cia Soen. Dan karena adanya Lweekang itu kedudukan jalan darahnya bisa berpindah-pindah.
Dua tahun berselang, pada waktu ia dibawa oleb penculik yang menyamar sebagai serdadu
Goan, jalan darah Ah hiatnya (jalan darah gagu) telah ditotok. Tapi toh, ia masih dapat
berteriak "ayah!" Sekarangpun demikian. Baru pulas beberapa saat, ia sudah tersadar kemball.
Sesudah ingatannya pulih, ia mendengar suara Kong tie yang berkata: "Thio Tah tah adalah
guru besar dari sebuah partai sehingga kalau dia sudah menyanggupi, ilmu yang ditulisnya
pasti tidak palsu. Andaikata dia sengaja tidak menulis terang, sesudah mempelajarinya, aku
merasa pasti kita akan mengerti."
Kecurigaan Boe Kie lantas saja timbul. Ia kuatir kalau-kalau pendeta-pendeta itu mau berlaku
licik. Maka itu, ia lantas saja memeramkan kedua matanya dan pura-pura pulas.
Tapi kecurigaan itu sebenarnya tidaklah perlu. Biarpun perhubungan antara Siauw lim dan
Boe tong sudah agak renggang, tapi Kong boen, Kong tie dan Kong seng adalah pendeta suci
yang tak akan merusak nama baik Siauw lim sie dengan akal bulus.
"Thay kek Sip sam sit dan Boe tong Kioe yang kang yang ditulis Thio Sam Hong sudah pasti
tak palsu," kata Kong boen. "Akan tetapi, kita sendiri belum pernah mempelajari Siauw lim
Kioe yang kang. Apakah untuk kepentingan orang luar, kita harus memohon-mohon
dihadapan Goan tin?"
Boe Kie kaget. la tidak pernah menduga bahwa pendeta pendeta suci itu belum pernah
mempelajari Siauw lim Kioe yang kang. Kekuatirannya lantas saja timbul. Ia kuatir mereka
turunkan ilmu palsu.
Sementara itu, Kong tie sudah berkata pula: "Soeheng, kau adalah Ciang boen Hong thio
(pemimpin partai dan pemimpin kuil). Maka itu, menurut pendapatku, perintahmu tak
dibantah oleh Goan tin, tindakanmu ini adalah untuk memperkaya Siauw lim pay dan bukan
guna kepentingan sendiri."
Kong Soen menghela napas. "Kalau Kong Kian Soeheng masih hidup, kita boleh tak usah
menhadapi kesukaran ini," katanya dengan suara meyesal. Sesudah berhenti sejenak, ia
berkata pula "Sam soetee, pergilah kau membawa Sek thungku (tongkat timah) dan memberi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 382
perintah kepada Goan tin, supaya ia turunkan ilmu Kioe yang kang kepada pemuda she Thio
itu."
"Baiklah," kata Kong tie.
Sebagaimana diketahui, waktu dulu Kak wan menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang
yang mendengarnya, yaitu Thio Sam Hong, Kwee Siang dan Boe sek Siansoe. Belakangan
Kioe yang kang yang diperkembangkan oleh Thio Sam Hong dinamakan Boe tong Kioe yang
kang, yang diperkembangkan Kwee Siang dikenal sebegai Go bie Kioe yang kang, sedang
yang diperkembangkan oleh Boe sek Siansoe yalah Siauw lim Kioe yang kang.
Karena sangat sulit, maka dalam tiap partai hanya beberapa orang saja yang mewarisi ilmu
itu. Dalam kalangan Siauw lim sie, tak pernah ada seorang pun yang memiliki tujuh puluh dua
macam ilmu silat. Jumlah yang mempelajari Siauw lim Kioe yang kang lebih sedikit lagi.
Dari jaman Boe sek sampai pada Kong kian, dalam setiap turunan hanyalah seorang saja yang
belajar dalam ilmu tersebut. Mengapa? Karena, di samping memiliki banyak sekali ilmu,
murid-murid Siauw Lim sie selalu menganggap Kak wan Taysoe sebagai murid pemburon,
sehingga biarpun Kioe yang kang sangat tinggi mutunya, sedikit sekali yang suka
mempelajarinya.
Hanya untuk menjaga supaya ilmu itu tidak menjadi hilang, maka pada setiap turunan selalu
ada seorang murid yang mempelajarinya.
Pada jaman itu didalam kalangan Siauw lim sie hanya murid penutup (murid yang diterima
paling belakang) dari Kong kian Taysoe yang mengerti Siauw Lim Kioe yang kang. Tapi
murid itu, yang bernama Goan tin, aneh sekali adatnya. Ia tidak persudi keluar dari kamarnya
dan kecuali tiga pendeta suci, tak seorangpun dalam kuil yang di ladeni olehnya.
Jilid 20______________
Menurut kebiasaan, setiap tahun murid-murid Siauw lim sie dijajal kepandaiannya oleh ketiga
pendeta suci. Semua murid mengambil bagian. Hanya Goan tin seorang yang saban-saban
mengatakan sakit, entah benar, entah bohong, sehingga oleh karenanya, tak seorangpun yang
tahu cetek dalamnya kepandaiannya. Dan sekarang, karena Kioe yang kang hanya dimiliki
Goan tin seorang dan harus diturunkan olehnya kepada Boe Kie, tidaklah heran kalau Kong
boen bertiga merasa sangsi.
Beberapa saat kemudian Kong tie kembali dan berKata Goan tin sungguh aneh. Dia
mengatakan, bahwa sesudah mengabdi pada Sang Buddha, ia juga tidak mau bertemu dangan
orang luar, tapi karena Hong thio sudah mengeluarkan perintah, maka ia bersedia untuk
mengajar ilmu dengan cara Kay tiang Coan tang (Mengajar ilmu dengan teraling tirai).
"Sesukanyalah," kata Kong boen. "Soetee, bawalah pemuda ini kepada Goan tin. Sesudah itu,
perintah pengurus dapur mengantarkan sebuah meja perjamuan ke Lip soat teng. Biar
bagaimanapun jua, Thio Sam Hong adalah pemimpin dari sebuah partai besar dan kita tidak
boleh tidak berlaku hormat."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 383
Sementara itu, Boe Kie terus berlagak pulas. Sesudah lewat sekian lama, barulah datang
seorang pendeta kecil yang membawa makanan dan sesudah ia selesai bersantap, pendeta itu
lantas saja berkata: "Siauwsiecoe, ikutlah aku."
"Kemana?" tanyanya.
"Hong thio memerintahkan aku membawamu kepada seseorang."
"Kepada siapa ?" tanya lagi Boe Kie.
"Hong thio memesan supaya aku jangan banyak bicara." jawabnya.
Boe Kie mengeluarkan suara dihidung. Diam diam ia mentertawai Kong boen bertiga, sebab
ia sendiri sudah tahu, bahwa ia bakal dibawa kepada Goan tin Hweshio.
Tanpa menanya lagi, ia lalu mengikuti pendeta kecil itu. Sesudah melewati belasan gedung
dan banyak pekarangan, sehingga Boe Kie merasa sangat kagum akan luas dan megahnya
Siauw lim sie, barulah mereka tiba disebuah bangunan kecil yang dikurung dengan pohon
pohon siong dan pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil
itu berseru: "Siauwsiecoe sudah tiba!"
"Masuk," demikian terdengar suara seseorang.
Boe Kie lantas saja mendorong pintu dan bertindak masuk, sedang si pendeta kecil lalu
mengunci pintu.
Si bocah mengawasi kesekitarnya. Kamar itu ternyata sebuah kamar kosong. Kecuali
selembar tikar ditengah tengah, tidak terdapat apapun jua.
Sesudah mendengar bahwa Goan tin akan memberi pelajaran dengan cara "Kay tiang Coan
kang", ia menduga bahwa dalam kamar itu dipasang semacam tirai. Di luar dugaan, kamar itu
bukan saja kosong melompong, tapi juga tidak mempunyai lain pintu sehingga tak dapat
ditebak dari mana datangnya suara manusia yang barusan. Selagi ia terheran-heran tiba-tiba
terdengar pula suara itu: "Duduk! Dengarlah aku segera menghafal Siauw lim Kioe yang
kang. Aku hanya akan menghafal satu kali. Terserah kepadamu, berapa banyak yang bisa
diingat olehmu. Hong thio telah memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu. Aku
menurut perintah. Tapi apa kau mengerti atau tidak adalah urusanmu sendiri."
Boe Kie memasang kuping. Sekarang barulah ia tahu bahwa suara itu datang dari tembok
sebelah dan Goan tin hweeshio berdiam dikamar sebelah. Pada hakekatnya, mengirim dari
alingan tembok bukan kepandaian luar biasa. Siapapun jua dapat melakukannya. Apa yang
luar biasa yalah suara Goan tin kedengarannya tegas sekali, seperti juga ia bicara berhadap
hadapan. "Lweekang pendeta itu sungguh hebat," kata Boe Kie didalam hati.
Sesaat kemudian, oraag itu berkata perlahan lahan: "Tubuh berdiri tegak, kedua tangan yang
dirangkapkan ditaruh didada, hawa tenang, semangat dipusatkan, hati tenteram, paras muka
mengunjuk sikap menghormat. Inilah jurus pertama yang dinamakan Wie hok Yan couw (Wie
Hok mempersembahkan gada). Ingatlah!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 384
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula : "Kedua tumit kaki ditancapkan diatas bumi.
Kedua tangan dipentang keluar dengan rata. Hati tenang hawa tentaram mata membelalak
mengawasi kedepan mulut ternganga. Ini jurus kedua, Hoen tan Hang mo couw ( Memikul
gada untuk menakluki siluman ). Kau ingatlah."
Seterusnya ia menghafal jurus ketiga, keempat kelima sampai pada jurus keduabelas.
Mengenai jurus keduabelas, ia berkata: "Jurus ini dinamakan Tiauw wie Yauw tauw
(Mengibas buntut, menggoyang kepala), dengan Kouwkoat seperti berikut: Lutut lurut, lengan
dilonjorkan, mendorong dengan tangan sehingga mengenakan bumi. Mata membelalak,
menggoyangkan kepala, semangat dipusatkan sehingga menjadi satu. Sesudah itu
melempangkan tubuh dan menjejak tanah dengan kaki, mengendurkan bahu, memanjangkan
lengan, menyabet tujuh kali kekiri kanan dan sekarang sudah selesai Ilmu Kioe yang Ie kin,
dikolong langit tiada tandingan."
Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit tiada tandingan", ia membentak: "Siapa
mencuri mendengar diluar? Masuk!"
"Brak!" pintu terpental dan sesosok tubuh manusia jatuh ngusruk. Orang itu bukan lain
daripada si pendeta kecil yang tadi mengantar Boe Kie kekamar itu. Dia jatuh meringkuk,
kedua matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang hebat. Boe Kie terkejut
buru-buru ia menghampiri untuk membangunkannya.
"Kau urus saja urusanmu sendiri," kata orang dikamar sebelah, "Sekarang kau memerlukan
semua kekuatan otakmu untuk mengingat-ingat Kouw koat yang barusan dihafal olehlu.
Tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Dua belas jurus itu sudah diingat olehku seanteronya," kata si bocah.
"Apa benar? Coba kau hafal," kata Goan tin. Di dengar dari nada suaranya, ia merasa heran
bukan main.
Boe Kie lantas saja menghafal Kouw koat yang barusan diturunkan kepadanya, dari jurus
pertama Wie hok Hian couw sampai Tiauw wie Yauw tauw, jurus kedua belas. Benar saja,
dalam hafalan itu, tak satu perkataanpun yang salah.
Untuk sejenak Goan tin tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Waktu menerima perintah
Kong boen untuk mengajarkan Kioe yang kang kepada orang luar, ia mendongkol dan jika
mungkin, ia tentu sudah menolak. Akan tetapi, peraturan dalam kuil Siauw lim sie selalu
dipegang keras dan perintah seorang Hong thio, merangkap Ciangboenjin, tidak boleh
dilanggar. Di samping itu, perintah Kong boen hanya berbunyi "mengajar anak itu" dan bukan
"mengajar anak itu sampai dia paham". Maka itu, menurut anggapannya, jika ia menghafal
Kouw koat cepat-cepat, paling banyak si bocah
akan ingat satu dua perkataan. Tapi diluar semua perhitungannya, Boe Kie sudah berhasil
memasukkan Kouw koat selengkapnya kedalam otaknya. Ia merasa kagum bukan main,
karena kecerdasan dan bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat dalam dunia ini.
Melihat si pendeta kecil terus meringkuk dilantai, Boe Kie merasa sangat tidak tega dan
segera bertanya: "Siansoe, apakah kedosaannya Siauw soehoe ini ?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 385
"Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu," jawabnya, tawar. "Aku telah
menggunakan Kim kong Sian ciang untuk mengajar adat kepada nya. Jangan kuatir. Dalam
beberapa saat, ia akan sembuh kembali." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. "Aku
tak tahu, mengapa Hong thio memerintahkan aku memberi pelajaran Kioe yang Sin kang
kepadamu. Aku tidak tahu siapa namamu dan kaupun tak usah tanya namaku. Aku tidak tahu
ilmu apa yang sudah pernah dipelajari olehmu. Akan tetapi, aku merasa kagum akan
kepintaranmu. kemudian hari, kau mempunyai harapan yang tidak terbatas. Maka itu, aku
berniat untuk membantu kau, untuk membuka Kie king Pat meh (pembuluh darah) diseluruh
tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kioe yang Sin kang, kau tidak usah
mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Boe Kie sempat menjawab, mendadak tembok berlubang dan dua lengan muncul
dari lubang itu! Boe Kie kaget tak kepalang, ia mencelat dari tempat duduknya dan berseru
dengan suara tertahan: "Kau ...kau!..." Itulah kenyataan yang terlalu mustahil ! Tapi, dengan
matanya sendiri, ia menyaksikan, bahwa tembok yang tebal itu sudah berlubang karena
sodokan tangan Goan tin, seolah-olah tembok tidak lebih daripada tahu yang empuk.
"Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak tanganku." memerintah Goan tin. "Aku
tidak tahu she dan namamu, akupun tidak tahu kau murid siapa. Hari ini kita bertemu dan
jodoh kita habis sampai disini."
Tahu maksud orang yang sangat baik. Pandangan Boe Kie terhadap Goan tin lantas berubah.
"Terima kasih atas bantuan Siansoe," katanya seraya melonjorkan tangannya dan
menempelkan telapak tangannya ketangan si orang aneh.
"Kendurkan tulang tulang dan otot-otot dalam tubuhmu dan bebaskan pikiranmu dari segala
ingatan," kata pula Goan tin.
"Baiklah," kata Boe Kie. Sesaat kemudian, dari kedua telapak tangan Goan tin keluar
semacam hawa hangat yang terus menembus ketelapak tangannya, terus naik kelengan dan
bahu. Hawa itu halus bagaikan selembar benang, tapi ia dapat merasakan nyata sekali dan
perlahan-lahan hawa tersebut masuk kepembuluh darah.
Jika menemui rintangan dan tidak dapat segera menembus, bawa itu berubah lemas dan
menerjang berulang-ulang sehingga rintangan ditembuskan. Sesudah lewat delapan pembunuh
darah besar hawa itu makin cepat jalannya hingga Boe Kie merasa matanya berkunangkunang,
kepalanya terputar-putar dan berapa kali, ia seperti mau jatuh tenguling.
Akan tetapi dari telapak tangan si orang aneh keluar semacam tenaga menyedot, sehingga
telapak tangan Boe Kie melekat keras pada telapak tangan Goan tin dan ia tak sampai
tenguling. Dilain saat, ia merasakan seluruh badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia
tentu sudah kabur dan membuka baju untuk menerjun kedalam lautan es disekitar Pang
hweeto.
Sesudah lewat sekian lama, bawa panas itu meninggalkan tubuhnya dan kembali ketelapak
tangan Goan tin. Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu, Goan tin berkata
dengan suara dingin : "Kau pergilah!"
Boe Kie melongok melalui lubang itu, tapi yang dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi
si orang aneh, ia lantas saja berkata: "Terimakasih banyak atas budi Siansoe yang sangat
besar."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 386
Sehabis berkata begitu, ia menekuk kedua lututnya. Mendadak lengan Goan tin muncul lagi di
lubang itu dan mengibasnya. Hampir berbareng, tubuh Boe Kie terpentaI dan jatuh diluar
pintu. Orang itu ternyata sungkan menerima kehormatan si bocah.
"Pergi kau beritahukan Hong thio, bahwa pelajaran Kioe yang Sin kang telah diturunkan
semua kepada Siauw siecoe, juga bahwa Siauwsiecoe mempunyai peringatan yang sangat
kuat dan semua pelajaran itu sudah diingat olehnya."
"Baiklah," kata si pendeta kecil yang sudah tersadar dan dengan muka pucat lalu berjalan
keluar dari kamar itu.
Boe Kie mengikuti dan mereka berdua lantas saja meninggalkan kuil. Diberbagai ruangan
mereka bertemu dengan banyak pendeta yang semua berjalan dengan menundukkan kepala
dan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Didalam kuil terdapat ribuan orang, tapi suasana tetap
tenang dan sunyi. Boe Kie merasa kagum dan berkata dalam hatinya: "Memang pantas sekali
jika Siauw lim sie dikenal sebagai pemimpin dari Rimba Persilatan." Jika dibandingkan
dengan keadaan di kuil Siauw lim sie, Giok hie koan seolah-olah sebuah pasar, dimana semua
orang bergerak dan berbicara secara bebas dan merdeka. Hal ini sudah terjadi karena,
pertama, agama Tookauw memang menganjurkan hidup bebas, dan kedua, sebab Thio Sam
Hong sendiri seorang yang beradat sederhana dan sembarangan.
Setibanya mereka di Lip soat teng, Thio Sam Hong sudah menulis tigapuluh lembar lebih tapi
masih menulis terus.
Melihat kerelaan dan pengorbanan guru besar itu Boe Kie merasa terharu, dan dengan air
mata berlinang linang, ia berseru: "Thay soehoe!"
Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Kioe yang kang Cap jie sit sudah seluruhnya
diturunkan kepada anak oleh Siansoe,"
Sang kakek guru girang. "Bagus," katanya sambil tertawa.
Sesudah menulis lagi beberapa lama, Thio Sam Hong sudah menyelesaikan apa yang mau
ditulisnya. Pendeta yang melayani segera balik kekuil untuk memberi laporan dan tidak lama
kemudian, Kong boen, Kong tie dan Kong seng datang di Lip soat teng, diikuti oleh seorang
pemuda yang berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Pemuda itu mengenakan thungsha (jubah
panjang) dan ia ternyata seorang murid Siauw lim sie yang tidak menyukur rambut.
Thio Sam Hong merasa heran. Ia tahu bahwa menurut peraturan Siauw Lim sie, sebelum lulus
seorang murid bukan pendeta tidak boleh keluar dari pintu kuil. Bagi seorang biasa masuk di
Siauw lim sie bukan gampang, tapi keluar dari kuil itu lebih sukar lagi. Apa maksudnya Kong
boen mengajak seorang murid bukan pendeta? Tanpa merasa, ia mengawasi pemuda itu yang
jangkung kurus, panjang lengannya dan pendek kakinya, sedang kedua matanya bersinar
terang, sehingga tidak dapat ditebak, bahwa ia memiliki kecerdasan otak yang luar biasa.
"Kami telah membuat Thio Cinjin banyak capai," kata Kong boen sambil merangkap kedua
tangannya.
Sam Hong bersenyum. "Terima kasih atas belas kasihan Hong thio Soe heng, sehingga jiwa
anak ini bisa ditolong," jawabnya sambil membungkuk. Sehabis berkata begitu, ia
menyodorkan tiga puluh lembar tulisan itu dan lalu berkata pula: "Thay kek boen dan Sip sam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 387
sit dan Boe tong Kioe yang kang semua sudah ditulis disini. Aku harap Sam wie Soeheng
suka memberi petunjuk petunjuk dan bahwa aku sudah berani memperlihatkan kebodohanku
dihadapan kalian, kuharap kalian jangan mentertawai."
Kong boen menyambuti dan tanpa melihat lagi, ia segera menyerahkan tulisan itu kepada
pemuda yang berdiri dibelakangnya. Si pemuda segera membacanya dengan teliti, selembar
demi selembar.
Sambil mencekal tangan Boe Kie, Sam Hong segera meminta diri.
"Dalam kedatangan kalian, loolap sebenarnya harus mengundang kalian berdiam disini
beberapa hari, dan bahwa loolap tidak dapat berbuat begini hatiku merasa sangat tidak enak."
kata Kong boen. "Maka sebagai gantinya loolap hanya bisa mengundang Thio Cinjin
meneguk tiga cawan arak untuk mengunjuk hormat kami." Pendeta arak dan kedua orang
berilmu itu lantas saja ber sama-sama mengeringkan tiga cawan dengan beruntun.
Sesudah itu Kong been, Kong tie dan Kong seng pun turut memberi selamat jalan dengan tiga
cawan arak.
Sesudah selesai, Sam Hong dan Boe Kie segera memberi hormat dan memutar badan untuk
berlalu. Sebelum bertindak, sekonyong-konyong pemuda jangkung kurus itu berkata:
"Soepeh, ilmu silat yang ditulis Thio Cinjin tidak berbeda dengan pelajaran kita. Semua yang
telah dibaca olehku, aku sudah belajar dari Soehoe."
Sam Hong terkejut.
"Omong kosong !" bentak Kong been, "Thay kek Sip sam sit adalah mustika Boe tong pay
yang digubah oleh Thio Cinjin sendiri. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau sudah
pernah belajar ilmu itu?"
Si pemuda segera menyerahkan tulisan Thio Sam Hong itu kepada Kong boen dan berkata:
"Soepeh lihat saja sendiri."
Kong boen menyambuti dan lalu membalik-balik beberapa lembar dan kemudian
menyerahkannya kepada Kong tie dan Kong seng. Kedua pendeta itu juga membalik-balik
beberapa lembar. "Soeheng, benar saja ilmu ini masih termasuk dalam lingkungan ilmu Siauw
lim sie," katanya dengan suara perlahan.
Sam Hong kaget bercampur gusar. Thay kek Sip sam sit adalah hasil jerih payahnya selama
tigapuluh tahun dan baru pada tahun yang lalu, ilmu itu menjadi sempurna. Intisari daripada
ilmu itu ialah dengan kelemahan melawan kekerasan, dengan bergerak lebih dulu. Azas-azas
tersebut justeru sebaliknya daripada azas azas ilmu silat Siauw lim sie. Disamping itu,
walaupun bersumber dari Kioe yang Cin keng gubahan Tat mo Loo couw, Boe tong Kioe
yang kang sudah ditambah dengan banyak perobahan yang keluar dari otaknya Sam Hong.
Maka itulah, mendengar kata-kata si pemuda dan Kong tie, guru besar itu jadi sangat
mendongkol. Tapi dilain saat, ia sudah dapat menebak sebab musabab dari sikap Siauw lim.
Ia mengerti, bahwa ia kuatir dikatakan menerima pelajaran dari Bee tong pay maka pendetapendeta
suci itu sudah mengeluarkan siasat tersebut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 388
Sementara itu, sambil mengangsurkan tulisan tulisan itu kepada Sam Hong, Kong boen
berkata: "limu silat Boe tong bersumber dari Siauw Lim. Benar saja, apa yang ditulis Thio
Cinjin tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami."
Sam Hong tertawa. "Apa yang telah ditulis oleh si orang she Thio, sedikitpun aku tidak
merasa menyesal," katanya. "Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan tidak berharga.
Jika Samwie tidak memerlukannya, sebaiknya dibuang saja." Ia tidak menyambuti gabungan
kertas itu yang diangsurkan kepadanya.
"Dari kata-katamu, Thio Cinjin, rupanya kau tidak percaya akan pengutaraan kami itu," kata
Kong tie. Ia berpaling kepada si pemuda seraya berkata pula: "Yoe Liang, coba kau halal
Thay kek Sip sam sit dan Kioe yang kang yang diturunkan olehku kepadamu "
"Baiklah," jawab pemuda itu yang lantas saja menghafal tulisan Sam Hong selengkapnya,
sehuruf pun tidak ada yang ketinggalan.
"Thay soehoe, orang itu menghafal dengan membaca tulisanmu," Boe Kie menyelak. "Dan
sekarang mereka mengatakan, ilmu Thay soehoe tiada berbeda dengan ilmu mereka. Sungguh
tak mengenal malu"
Sam Hongpun tahu. Ia tertawa besar dan sambil mengawasi pemuda itu, ia berkata: "Selagi
ketiga pendeta suci mengajak aku minum arak, tuan sudah menghafalkan dua macam ilmu
silatku. Kepintaran dan kecerdasan itu tidak dimiliki Sam Hong. Boleh aku mendapat tahu she
dan nama tuan yang besar?"
"Cianpwee jangan memuji begitu tinggi," jawabnya. "Boanpwee she Tan, bernama Yoe
Liang."
"Saudara Tan," kata pula guru besar itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengan
kecerdasanmu, apapun jua yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil. Aku hanya mengharap,
kau jangan mengambil jalan yang salah. Dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin
mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan kejujuran kita memperlakukan orang
lain, dengan kerendahan hati, kita membatasi diri."
Melihat sinar mata orang tua itu yang tajam bagaikan pisau, Yoe Liang bergidik. Tapi dilain
saat ia menjadi mendongkol dan berkata dengan suara kaku: "Terima kasih atas petunjuk Thio
Cinjin. Tapi Boanpwee adalah murid Siauw lim dan boan pwee mempunyai Soepeh, Soehoe
dan Soesiok untuk mengajar boanpwe."
"Benar," kata Sam Hong sambil tertawa. "Memang aku si tua yang terlalu rewel."
Sesaat itu, Kong tie mengangsurkan gabungan kertas itu. Hampir berbareng dengan itu si
pendeta terhuyung dan Yoe Liang yang berdiri didampingnya segera coba memeluknya. Tapi
tenaga Kong tie besar luar biasa dan pemuda itu yang kena didorong, lantas saja terpental
keluar pendopo dan jatuh ditanah.
Dalam mengirim Lweekang itu, Sam Hong hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia
memang tidak berniat jahat. Maka itu, begitu mengerahkan Lweekang kebagian kakinya,
Kong tie sudah bisa berdiri tegah. Sam Hong bersenyum seraya berkata: "Itulah ilmu dari
Thay kek Sip sam sit. Sekarang terbukti, bahwa walaupun kalian berdua paham akan ilmu itu,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 389
tapi kalian belum mempunyai tempo untuk berlatih. Selamat tinggal !" Dengan sekali
mengibas tangan, diudara beterbanganlah kepingan-kepingan kertas yang sangat halus, yaitu
kertas yang berisi ilmu Thai kek dan Boe tong Kioe yang kang. Sambil menuntun tangan Boe
Kie, tanpa menengok lagi ia meninggalkan Siauw sit sat.
Kong boen bertiga saling mengawasi dengatl mulut ternganga. Mereka merasa kagum dan
takluk akan kepandaian orang tua itu. Disamping itu, merekapun merasa agak menyesal.
"Ilmu itu begitu lihay," kata Kong boen didalam hati."Apa Yoe Liang sudah menghafakan
seanteronya? Jika satu huruf saja yang kelupaan, Siauw lim akan menderita kerugian besar."
Malam itu didalam rumah penginapan Sam Hong menyuruh Boe Kie berlatih menurut Kouw
koat yang diturunkan oleh Goan tin. Karena tidak ingin mendengar dan melihat cara
berlatihnya si bocah, ia sendiri tidur disebuah kamar lain. Sebagai seorang yang berilmu
tinggi, jika ia melihat cara bersemedhi dan gerak-gerakannya serta mendengar jalan
pernapasan cucu muridnya itu, ia sudah bisa mengetahui rahasia Siauw lim Kioe yang-kang.
Selama berada dalam perjalanan pulang, iapun belum pernah menanyakan kemajuan Boe Kie.
Meskipun ketiga pendeta suci Siauw lim pay berpemandangan agak sempit, akan tetapi
mereka adalah orang-orang ternama dalam kalangan Rimba persilatan sehingga ia percaya,
mereka tidak akan memberi pelajaran palsu.
Berselang beberapa hari, paras muka Boe kita sudah berubah agak merah sehingga sang
kakek guru jadi merasa girang sekali. Sam Hong tahu, bahwa Boe Kie sudah memiliki Kioe
yang kang dari Boe tong dan Siauw lim yang saling menambah kekurangan masing-masing.
Ia percaya penuh, bahwa kedua macam Kioe yang kang itu akan cukup kuat untuk mengusir
racun dingin Hianbeng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh si bocah.
Hari itu, mereka tiba ditepi sungai Han soei dan lalu menyewa perahu untuk menyeberang.
Dengan rasa terharu, Sam Hong ingat pengalamannya yang lampau. Ia ingat kesengsaraan
dulu, pada waktu ia kabur dari Siauw lim sie dan mau menyeberang sungai itu. Waktu usianya
tidak banyak berbeda dengan usia Boe Kie sekarang.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa pada akhirnya ia bisa menjadi pendiri Boe tong pay
yang sekarang berdiri berendeng dengan Siauw lim pay. Keadaan Boe Kie dihari ini lebih
bagus dan lebih unggul daripada diwaktu dulu. Ia percaya, bahwa dikemudian hari,
kedudukan bocah itu akan lebih tinggi daripadanya. Mengingat begitu, tanpa ia merasa ia
bersenyum dan hatinya bunga.
Mendadak, lamunannya disadarkan oleh teriakan Boe Kie: "Thay soehoe!.... Aku....aku..:."
Suaranya bergemetaran dan mukanya pucat pasi. Sam Hong terkesiap. Muka anak itu merah
dan pada warna kemerah-merahan itu terdapat sinar hijau. "Thay soehoe!" teriak Boe kie.
"Aku....aku tak tahan!" Badannya bergoyang-goyang.
Dengan cepat tangan kiri sang kakek guru mencekal pengelangan tangan Boe Kie sedang
telapak tangan kanannya ditempekan dijalan darah Leng-tay hiat dipunggung si bocah. Tapi
begitu lekas ia mengirim tenaga dalam untuk membantu Boe Kie melawan racun dingin itu,
sekali lagi ia terkesiap karena Lweekangnya lantas saja menerobos masuk ke Kie keng Pat
meh. Boe Kie mengeluarkan teriakan menyayat hati dan lalu pingsan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 390
Kaget orang tua itu bagaikan disambar halilintar. Buru-buru ia menotok untuk menutup dua
belas Thay hiat dibadan Boe Kie.
"Mengapa Kie keng Pat meh terbuka?" tanyanya didalam hati. "Dengan terbukanya pembuluh
darah, racun bisa lantas masuk kedalam isi perut dan kalau sudah masuk disitu maka sudah
tentu tak akan bisa dibuyarkan lagi."
Sesudah berusia lebih dari satu abad dan sesudah ilmunya menecapai puncak kesempurnaan,
guru besar itu tenang luar biasa. Tapi kali ini, ia tak dapat mempertahankan ketenangannya.
Jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya "Apa bisa jadi, Siauw
lim Kioe yang kang sedemikian hebat, sehingga dalam beberapa hari saja ilmu itu sudah dapat
membuka pembuluh darah ?" Ia tanya lagi dirinya sendiri. "Tidak mungkin! Pasti tidak
mungkin ! Lie Heng dan Seng Kok sudah berlatih belasan tahun, tapi latihan itu masih belum
cukup untuk membuka pembuluh darah."
Dengan Lweekangnya yang sangat tinggi, jikamau, Sam Hong bisa membantu kedua
muridnya untuk membuka Kie-keng pat-meh. Akan tetapi, dalam memberi pelajaran, ia selalu
berpendirian bahwa sesuatu yang didapat dengan latihan sendiri adalah lebih berhanga
daripada yang diperoleh atas bantuan orang. Dalam mengajar semua muridnya dia tak mau
tergesa-gesa. Ia membiarkan murid murid itu berlatih sendiri dan maju dengan per lahan tapi
tentu.
Waktu itu, perahu yang ditumpangi mereka tiba ditengah tengah sungai dan karena terdampar
ombak, kendaraan air yang kecil itu terombang ambing kian kemari tiada bedanya seperti hati
Thio Sam Hong yang bergoncang keras.
Beberapa saat kemudian, Boe Kie tersadar. Sesudah keduabelas Tayhiatnya ditotok, racun
dingin tidak bisa masuk kedalam isi perutnya, akan tetapi, karena itu, ia tak dapat
menggerakkan badan.
Sekarang Sam Hong tidak menggubris lagi soal pantas atau tidak pantas.
"Nak, bagaimana isi Siauw lim Kioe yang kang yang diturunkan kepadamu?" tanyanya.
"Mengapa semua pembuluh darahmu jadi terbuka?"
"Yang membuka yalah Goan tin Siansoe," jawabnya. "Ia mengatakan bahwa ia membantu
supaya aku bisa berhasil terlebih siang dalam latihan Kioe yang Sin kang."
"Tapi bagaimana ia jadi membantu kau?" tanya Sam Hong, tergesa-gesa.
Boe Kie segera menceriterakan cara bagaimana ia mendengar pembicaraan antara Kong boen
dan Kong tie, cara bagaimana Goan tin memberi pelajaran dengan teraling tembok dan cara
bagaimana pendeta aneh itu sudah membantunya dalam membuka Kie keng Pat mah.
Untuk beberapa lama sang kakek guru tidak mengeluarkan sepatah kata. "Kalau pembuluh
darahmu perlu dibuka dengan segera, apakah aku tidak dapat melakukan itu?" katanya dengan
suara perlahan. "Apa maksud baik atau sengaja dia bermaksud jahat?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 391
"Goan tin Siansoe telah mengatakan berulang ulang bahwa ia tak tahu she dan namaku, ia tak
tahu rumah perguruanku dan akupun tidak perlu tahu she dan namanya," menerangkan Boe
Kie.
"Goan tin .... Goan tin ...." Sam Hong berkata, seperti pada dirinya sendiri, "Belum ... belum
pernah aku mendengar nama begitu diantara jago-jago Siauw lim sie. Hm ... Ia tak tahu
namamu, tak mengenal partaimu. Kalau begitu, ia tak tahu perhubungan antara aku dan kau.
Kalau begitu, bantuannya itu, keluar dari hati yang baik."
Sesudah berkata itu, Sam Hong lalu menanyakan Kouw koat Siauw Lim Kioe yang kang. Boe
Kie lantas saja menghafal, mulai dari jurus Wie hok Hian couw. Baru saja ia menghafal
sampai jurus ketiga. Ciang to Thian boen (Dengan telapak tangan menyangga pintu langit),
sang kakek guru sudah berkata: "Cukup! Tak usah kau menghafal terus. Tujuanku hanyalah
untuk mengetahui tulen palsunya ilmu yang diturunkan kepadamu. Mulai dari sekarang, kau
tidak boleh memberitahukan Siauw lim Kioe yang Sin kang kepada siapapun jua. Kau mesti
ingat, bahwa kau tidak boleh melanggar sumpahmu yang sangat berat
"Baik," jawabnya sambil mengawasi muka sang kakek guru, karena Sam Hong telah
mengucapkau kata-kata itu dengan suara gemetar. Ia melihat bahwa dalam kedua mata orang
tua itu mengembang air. Sebagai seorang yang sangat pintar, ia mengerti, bahwa sang kakek
guru sudah tak punya harapan untuk menolong jiwanya lagi.
Mendadak, serupa ingatan berkelebat dalam otaknya. "Thay Soehoe," katanya: "Apakah aku
masih bisa bertahan dan bisa pulang ke Boe tong san dengan masih bernyawa?"
"Jangan kau berkata begitu," jawab guru besar itu sambil menahan mengucurnya air mata.
"Biar bagaimanapun jua, Thay soehoe akan berdaya untuk menolong jiwamu "
"Kalau aku masih bisa bertemu muka dengan Jie Shapeh, aku sudah merasa puas," kata pula
Boe Kie.
"Mengapa begitu?" tanya sang kakek guru.
"Sebab sesudah tidak bisa hidup, anak ingin membuka rahasia Siauw lim Kioe yang kang ke
pada Jie Shapeh" jawabnya.
"Anak mengharap supaya dengan menggunakan Kioe yang kang dari Boe tong dan Siauw
lim, Shapeh akan dapat menyembuhkan kaki tangannya yang bercacad. Sesuai dengan
sumpah anak akan menggorok leher sendiri seperti yang telah dilakukan ayah, supaya dengan
begitu, anak dapat menebus sebaglan kecil dari ke dosaan ibu."
Bukan main rasa kaget dan terharunya Sam Hong. Tak pernah ia menduga, bahwa bocah
sekecil Boe Kie bisa mempunyai pikiran begitu: "Ah ! ... Jangan kau .... bicara .... yang tidaktidak."
katanya dengan suara parau.
"Hari itu, aku sudah mengerti duduknya persoalan," kata Boe Kie. "Dengan menggunakan
jarum beracun, ibu telah melukakan Jie Shapeh sehingga Shapeh bercacad untuk seumur
hidupnya. Itulah sebabnya, mengapa ayah telah. . .."
Sam Hong tak dapat mempertahankan diri lagi. Air matanya lantas saja mengucur deras,
sehingga membasahi jubah pertapaannya. "Kau. .... kau tak boleh....memikir yang tidakTo
Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 392
tidak." katanya sambil menangis sedu-sedan. Sesaat kemudian, sesudah menenteramkan
hatinya, ia berkata pula dengan suara angker: "Seorang laki laki harus berjalan dijalanan
lurus. Kau sudah berjanji, dengan disertai sumpah berat, untuk tidak memberitahukan
pelajaran Siauw lim Kioe yang kang kepada siapapun jua. Janji itu harus dipegang sampai
pada akhirnya. Andaikata benar kau bakal mati, aku juga tidak boleh berlaku licik."
Boe Kie terkejut. Ia mengawasi sang kakek guru dengan mulut ternganga, akan kemudian
manggut kan kepalanya.
Semenjak kecil sehingga pulang ke Tionggoan, Boe Kie hidup bersama-sama kedua orang tua
dan ayah angkatnya, So So dan Cia Soen, memang bukan manusia yang bersih, tapi bahkan
Coei San sendiri belum pernah memberi pelajaran bathin kepadanya. Maka itulah, ia belum
mengerti soal kehormatan dalam Rimba Persilatan. Sekarang untuk pertama kali, ia menerima
nasehat dari kakek gurunya.
Dilain saat, Sam Hong berkata pula dalam hatinya: "Sesudah tahu, bahwa jiwanya tidak bakal
tertolong lagi, anak itu rela membunuh diri guna menolong Thay Giam. Jiwa yang sedemikian
adalah sesuai dengan jiwa seorang pendekar Rimba Persilatan."
Memikir begitu, ia lantas berniat memberi sedikit pujian kepada Boe Kie, tapi, belum sampai
ia membuka mulut, sudah terdengar teriakan seseorang: "Hentikan perahu! Serahkan anak itu!
Kalau kau tidak menurut, jangan katakan aku kejam." suara itu nyaring luar biasa, suatu
pertanda bahwa orang yang berteriak memiliki Lweekang yang sangat tinggi.
Sam Hong bersenyum lebar. "Siapa yang bernyali begitu besar. berani memerintahkan aku
menyerahkau cucu muridku ?" katanya didalam hati.
Ia mendongak dan melihat sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki brewokan
dan dengan badannya, orang itu melindungi dua orang anak kecil, satu lelaki dan satu
perempuan. Dibelakang perahu kecil itu mengejar sebuah perahu yang lebih besar, yang
ditumpangi oleh empat orang-orang Hoan ceng (Pendeta bukan golongan Han) dan tujuh
delapan perwira Mongol yang mendayung perahu.
Lelaki brewokan itu bertenaga sangat besar dan perahunya laju pesat sekali. Tapi perahu yang
mengejar didayung oleh orang yang jumlahnya jauh terlebih banyak, sehingga makin lama
jarak antara kedua perahu itu jadi semakin pendek.
Beberapa saat kemudian, tampak ke empat Hoan ceng dan perwira-perwira Mongol itu mulai
melepaskan anak panah.
Sekarang Sam Hong tahu, bahwa yang dimaui oleh orang-orang itu adalah kedua anak kecil
yang dilindungi oleh si orang brewokan. Selama hidup, ia paling benci serdadu-serdadu
Mongol yang berbuat sewenang-wenang terhadap orang Han dan seketika itu juga, didalam
hatinya timbut niatan untuk menolong. Tapi ia segera mengurung kan niatannya itu, karena ia
sendiri harus melindungi Boe Kie yang sedang menderita penyakit berat. Disamping itu, jarak
antara perabunya dan kedua perahu yang sedang ubar-ubaran itu masih terlalu jauh, sehingga
biarpun ingin, ia tak akan keburu menolong mereka.
Tapi dilain saat terjadi perkembangan yang di luar dugaan. Dengan tangan kiri tetap
mendayung perahu, tangan kanan si brewok mengibas anak anak panah yang menyambar
dengan penggayuh yang satunya lagi. Tanpa merasa, Sam Hong bersorak dan berkata dalam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 393
hatinya: "Orang itu memiliki kepandaian luar biasa. Cara bagaimana aku bisa mengawasi
kecelakaan yang menimpa dirinya seorang gagah dengan berpeluk tangan?" Ia lantas saja
berpaling kepada situkang perahu seraya berkata: "Coan kee (tukang perahu), dayunglah
perahumu kearah kedua perahu itu!"
Si tukang perahu kaget tak kepalang. Sambil mengawasi si kakek dengan mata membelalak ia
berkata : "Loo too ya... kau ... kau ... jangan guyon-guyon!"
Melihat keadaan sudah mendesak, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sam Hong menyentak
dayung dan dengan sekali menggayuh, kepala perahu sudah terputar.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari mulutnya
salah seorang anak yang lelaki yang punggungnya tertancap sebatang anak panah.
Dalam kagetnya, si brewok membungkuk untuk memeriksa luka anak laki-laki tersebut itu,
dan selagi ia membungkuk, dua batang anak panah mengenakan pundak dan punggungnya. Ia
mengeluar kan teriakan tertahan. Badannya bengoyang-goyang dan dayung yang dicekalnya
jatuh ke air, sehingga perahunya lantas saja berhenti. Sesaat kemudian perahu yang mengejar
sudah menyandak dan semua pengejar Ialu melompat keperahu si brewok. Tapi dia laki-laki
sejati. Biarpun dikurung oleh begitu banyak. musuh, secara nekat-nekatan in melawan dengan
tangan kosong,
"Orang gagah, jangan takut !" teriak Thio Sam Hong. "Aku akan datang menolong kau!"
Sambil menggenjot tubuhnya, ia melontarkan dua lembar papan ke air, kaki kirinya menotol
papan pertama, kaki kanannya papan kedua dan bagaikan seekor burung raksasa, ia hinggap
diatas perahu. Selagi ia melompat, dua orang perwira dengan berbareng melepaskan anak
panah, tapi kedua anak panah itu terpental dengan kibasan tangan. Begitu lekas kedua kakinya
menginjak geladak perahu, ia menghantam dengan telapak tangan kirinya dan dua Hoan ceng,
terpental setombak lebih, akan kemudian tercebur didalam air. Melihat kelihayan si kakek,
semua orang kaget bukan main; "Bangsat tua! Mau apa kau?" bentak perwira yang memimpin
rombongan.
"Anjing Tat coe !" Sam Hong balas mencaci. "Lagi - lagi kamu mencelakakan rakyat baik
baik. Pergi!'
"Kau tahu siapa mereka?" tanya si perwira. "Mereka adalah anak-anaknya penghianat dari
Mokauw (agama siluman). Hong siang telah mengeluarkan firman untuk membekuk mereka!"
Mendengar "penghianat dari Mokauw", Thio Sam Hong rupanya terkejut juga. "Apakah
mereka orang-orangnya Tincoe Cioe Coe Ong?" Tanyanya didalam hati. Ia menengok kepada
sibrewok dan bertanya: "Apa benar?"
Dengan tubuh berlumpuran darah dan sambil memeluk mayat anak lelaki itu, ia menangis dan
berkata: "Siauwcoekong (majikan kecil)... Siauw coekong binasa dipanah oleh meraka.. "
Si kakek jadi makin kaget. "Apakah anak itu puteranya Cioe Coe Ong?" tanyanya pula.
"Benar," jawabnya "Aku sudah gagal menunaikan tugasku. Biarlah aku mati bersama sama".
Perlahan-lahan ia menaruh mayat di atas geladak perahu dan kemudian menubruk perwira
Mongol itu. Tapi, sebab lukanya terlalu berat dan kedua anak panah itu belum dicabut dari
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 394
pundak dan punggungnya, maka begitu melompat, ia roboh kembali. Nona kecil itu, yang
lengannya tertancap sebatang anak panah, menangis dan sesambat: "Koko! Koko !... "
Didalam hati, Sam Hong merasa menyesal bahwa ia sudah mencampuri urusannya Cioe Coe
Ong. Akan tetapi, karena sudah terlanjur, ia tak bisa mundur ditengah jalan. Maka itu, ia
menengok kepada siperwira dan berkata: "Anak itu sudah binasa dan mereka berdua telah
mendapat luka berat, sehingga tak lama lagi merekapun akan turut binasa. Kalian sudah
berpahala besar. Pergilah!"
"Tidak bisa!" kata perwira itu. "Kami mesti memenggal kepala ketiga orang itu."
"Perlu apa kalian berlaku begitu kejam ?" kata pula Sam Hong.
"Siapa kau? Mengapa kau berani campur campur arusan kami ?" tanya siperwira dengan
aseran.
Sam Hong tertawa. "Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia menolong,"
jawabnya. "Segala urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia di kolong langit."
Perwira itu melirik kawan-kawannya. "Siapa adanya Tootiang dan di mana letak kuil mu?"
tanyanya.
Mendadak, dua perwira lain mengangkat golok dan menyabet pundak Sam Hong. Kedua
senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit, sungguh sukar untuk
mengelakkannya. Tapi dengan hanya sekali miringkan badan, guru besar itu sudah kelit
senjata musuh. Hampir berbareng, Sam Hong mengeluarkan kedua tangannya yang lalu
ditempelkan di punggung kedua penyerang itu. "Pergilah !" Bentaknya seraya mendorong dan
tubuh kedua perwira itu lantas saja "terbang", akan kemudian jatuh di atas perahu mereka
sendiri.
Sesudah puluhan tahun Sam Hong belum pernah bertempur dan hari ini ia sebenarnya
menghadapi jago-jago pilihan dari kaizar Mongol. Semua jago itu kaget tak kepalang, sebab
pihak mereka sedikitpun tak dapat berkutik.
Mendadak, seperti orang ingat sesuatu, pemimpin rombongan menatap wajah Sam Hong
dengan mulut ternganga dan kemudian berkata dengan suara putus-putus: "Kau ... kau .. apa
kau bukan ..."
"Aku adalah seorang yang biasa membunuh Tat coe," kata sikakek seraya mengibas dengan
lengan jubahnya.
Hampir berbarengan semua orang itu merasakan satu sambaran angin dan dada mereka
menyesak, sehingga mereka tidak dapat mengetuarkan sepatah katapun. Dilain saat, dengan
muka pucat mereka berdulu dulu meninggalkan perahu itu dan sesudah menolong kedua Hoan
ceng yang tercebur diair, mereka kabur secepat mungkin dengan ramai-ramai mendayung
perahu.
Melihat sibrewok dan nona cilik itu dilukakan dengan anak panah beracun, Sam Hong segera
mengeluarkan obat pemunah racun. Sesudah itu ia mendayung perahu kecil Itu, mendekati
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 395
perahunya sendiri. Baru saja ia mau memapah sibrewok untuk berpindah keperahunya, orang
itu sudah melompat dengan memeluk mayat dan tangan lain menyekel tangan si nona kecil.
Sam Hong manggut-manggutkan kepala. "Benar-benar laki-laki sejati," pujinya. "Meskipun
sudah menderita luka berat, ia tetap menunjuk kesetiaan kepada majikan kecilnya. Aku tak
merasa menyesal sudah menolongnya."
Ia sendiri lalu melompat balik keperahunya, dimana ia segera mencabut anak panah yang
menancap ditubuh si brewok dan si gadis cilik. Sesudah menaruh obat luka dan membalut
luka itu,
Sam Hong tidak lantas mendarat, karena ia menghadapi keadaan yang agak sukar. Boe Kie
yang kedua belas Thay hiatnya ditotok, tidak bisa berjalan sendiri, sedang si brewok dan
sinona kecil itu adalah pemburonan yang sedang dicari oleh kaki tangan kaizar Mongol. Jika
mereka menginap di Loa ho kouw, Sam Hong merasa agak berat untuk melindungi tiga orang
itu. Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia merogoh saku bajunya, dan ia mengeluarkan
beberara tahil perak yang lalu diserahkan kepada si tukang perahu.
"Saudara" katanya sambil bersenyum. "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk membawa
mereka ke Thay peng tiam supaya mereka bisa menginap disitu."
Si tukang perahu sebenarnya sangat ketakutan tapi melihat jumlah uang yang begitu besar, ia
lantas saja manggut-manggut kepala.
Si brewok buru-buru berlutut diatas geladak perahu dan berkata: "Budi Loo tooya yang sangat
besar tak akan dapat dibelas oleh Siang Gie Coen."
Sam Hong membangunkan orang itu seraya berkata "Siang Enghiong, tak usah, tak usah kau
jalankan peradatan besar."
Tiba-tiba ia terkejut, sebab waktu tangannya menyentuh tangan Siang Gie Coen, ia merasa
tangan itu dingin luar biasa. "Siang Enghiong apakah kau mendapat luka di dalam badan ?"
tanyanya.
"Benar", jawabnya sambil mengangguk. "Dengan membawa kedua majikan kecil ini, Siauw
jin (aku yang rendah) berangkat dari Sin yang untuk pergi ke Selatan. Di sepanjang jalan
empat kali siauwjin bertempur dengan kuku garuda (kaki tangan kaizar) yang dikirim oleh
Tatcoe. Dada dan punggungku telah terkena pukulan seorang Hoan ceng."
Sam Hong segera memeriksa nadi Siang Gie Coen dan mendapat kenyataan, bahwa denyutan
nadi sudah lemah sekali. Kemudian ia membuka baju si brewok dan begitu melihat lukanya,
ia terkejut, karena luka itu sudah bengkak dan sangat berat. Ia mengerti, bahwa tanpa
memiliki kekuatan badan yang luar biasa, Siang Gie Coen tentu sudah tidak dapat bertahan
lagi. Ia segera mempersilahkan Gie Coen mengaso digubuk perahu dan melarangnya banyak
bicara.
Mereka tiba di Thay pang kiam diwaktu malam. Sam Hong lantas saja pergi ke kota untuk
membeli obat-obatan yang kemudian segera dimasak dan diberikan kepada Siang Gie Coen
dan sinona kecil.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 396
Gadis itu, yang baru berusia kira-kira sepuluh tahun dan yang paras mukanya mengunjuk,
bahwa sesudah besar ia bakal jadi seorang wanita yang luar biasa cantik, duduk terpaku
disamping mayat kakaknya. Melihat begitu, Sam Hong merasa kasihan dan menanya dengan
suara lemah lembut: "Nona, siapa namamu?"
"Aku, Cioe Tit Jiak", jawabnya. "Bolehkah aku mendapat tahu nama Too tiang?"
Rasa simpathi guru besar itu jadi makin besar karena dalam kedukaannya, anak itu masih
tetap agung dan sopan. "Aku, Thio Sam Hong." jawabnya.
"Ah!" demikian terdengar teriakan Siang Gie Coen yang lantas bangun duduk. "Kalau begitu
Tootiang adalah Thio Cinjin dari Boe tong san! Tak heran jika Tootiang memiliki kepandaian
yang begitu tinggi. Aku merasa sangat beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu muka
dengan Sian tiang (dewa)"
"Jangan gunakan istilah dewa", kata si kakek seraya bersenyum. "Aku hanya berumur lebih
panjang dari manusia kebanyakan Siang Enghiong, tidurlah. Jangan banyak bergerak supaya
lukamu tidak terbuka lagi."
Melihat kegagahan Siang Gie Coen dan sopan santunnya Cioe Tit Jiak, Sam Hong merasa
senang sekali. Tapi begitu mengingat bahwa mereka itu adalah orang-orang dari golongan
sesat, hatinya lantas saja berubah dingin. "Jie wie mendapat luka berat dan tidak boleh banyak
bicara." katanya dengan suara tawar.
Dulu, Thio Sam Hong sebenarnya tidak begitu menghiraukan perbedaan antara golongan
sesat dan lurus. lapun pernah mengatakan kepada Coei San, bahwa "ceng" (lurus besar) dan
"sia" (sesat kotor) sukar dibedakan. Kalau berhati tidak baik, murid murid dari partai lurus
bersih bisa melakukan perbuatan jahat, sedang murid-murid dari partai yang katanya sesat
kotor dapat melakukan perbuatan mulia, jika hati mereka bersih. Ia juga pernah mengatakan,
biarpun angkuh dan beradat aneh, In Thian Ceng dari Peh bie kauw adalah laki laki yang
bertanggung jawab atas segala perbuatan nya.
Akan tetapi, semenjak Coei San membunuh diri ia membenci Peh bie Kauw. Ia menganggap,
bahwa kebinasaan Coei San dan kecelakaan Jie Thay Giam adalah gara-gara Peh bie kauw.
Walaupun ia masih dapat menahan sabar dan tidak menuntut balas terhadap In Thian Ceng,
tapi didalam hatinya sudah terdapat kebencian yang sangat terhadap partai golongan "sesat".
Cioe Coe Ong adalah murid terutama golongan Bie lek cong dari "agama" sesat. Beberapa
tahun yang lalu. Cioe Coe Ong telah memberontak di Wan cioe dan mengangkat dirinya
sendiri menjadi "kaizar", dengan kerajaan yang dinamakan "Cioe". Tapi bala tentaranya telah
dibasmi habis oleh tentara Goan, dan ia sendiri ditangkap dan di hukum mati.
Bie lek cong dan Peh bie kauw mempunyai hubungan erat. Waktu Cioe Coe Ong
memberontak, In Thian Ceng telah memberi banyak bantuan dari Ciat kang timur.
Bahwa Thio Sam Hong sudah menolong Siang Gie Coen dan Cioe Tit Jiak, adalah karena
didorong oleh rasa kesatriaan dan juga sebab pada waktu turun tangan, ia masih belum tahu
siapa adanya mereka itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 397
Sekarang, mengingat nasib dua orang muridnya, tanpa merasa ia menghela napas panjang.
Tak lama kemudian, si tukang perahu sudah selasai masak dan menaruh empat macam
makanan dengan daging ayam, daging babi, ikan dan sayur, bersama sebakul nasi dan diatas
sebuah meja kecil.
Sam Hong segera menyilakan kedua tamunya makan lebih dulu, sebab ia sendiri ingin
manyuapkan Boe Kie yang tidak bisa bergerak. Atas pertanyaan Siang Gie Coen, ia
menerangkan sebab musababnya.
Karena hatinya berduka, Boe Kie tidak bisa makan banyak. Baru saja menelan satu dua suap,
ia sudah menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba tiba Tit Jiak mengambil mangkok nasi dan sumpit dari tangan Sam Hong. "Too tiang,
kau makan lebih dulu. Biar aku saja yang menyuapkan Toako," katanya.
"Aku sudah kenyang," kata Boe Kie.
"Toako, jika kau tak mau makan, Too tiang jadi kesal dan iapun tidak akan mau makan," kata
si nona dengan halus. "Apa kau tega membiarkan orang tua itu kelaparan?"
Boe Kie merasa perkataan gadis itu ada benarnya juga. Maka, waktu Tit Jiak mengangsurkan
sendok nasi kemulutnya, ia lalu membuka mulut data memakannya. Dengan hati-hati, si nona
kecil mencabut tulang-tulang ikan dan ayam dan pada setiap sendok nasi, ia menambahkan
kuah daging, sehingga menimbulkan napsu makan dan tidak lama kemudian, Boe Kie sudah
menghabiskan semangkok nasi.
Melihat begitu, Sam Hong merasa terhibur, Diam-diam ia merasa bahwa dalam sakitnya yang
begitu berat, Boe Kie memang harus dirawat oleh seorang wanita yang halus budi pekertinya.
Semeatara itu, Siang Gie Coen makan dengan bernapsu. Ia telah menghabiskan semangkok
sayur dan empat mangkok nasi, tapi daging dan ikan tidak disentuh olehnya.
Dilain pihak, meskipun ia seorang toosoe, Sam Hong sendiri makan makanan berjiwa.
Melihat nafsu makan Siang Gie Coen, ia segera menawarkan daging dan ikan kepada
tamunya itu.
"Thio Cinjin," kata si brewok, "Sebagai orang yang memuja Po sat, aku tidak makan makanan
berjiwa."
"Ah ! Aku lupa," kata Sam Hong.
Dalam kalangan "agama siluman", peraturan paling dipegang keras sekali. Anggauta "agama"
itu setiap hari hanya diperbolehkan makan satu kali dan dilarang makan makanan berjiwa.
Peraturan itu sudah berjalan sedari jaman kerajaan Tong. Oleh sebab sepanjang masa
pemerintah selalu berusaha untuk membasminya, sedang orang-orang Rimba persilatan juga
memandangnya rendah, maka anggauta-anggauta "agama" sesat sangat berhati hati dalam
segala sepak terjangnya. Mereka tidak makan makanan berjiwa karena dilarang "agama" nya
tapi terhadap dunia luar, mereka selalu mengatakan, bahwa mereka ciacay (hanya makan
sayur sayur) sebab menyembah Po sat atau Sang Buddha. Mereka tidak berani mengakui
siapa sebenarnya mereka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 398
"Thio Cinjin, kau adalah penolong jiwaku," kata Siang Gie Coen sesudah selesai bersantap.
"Sesudah kau tahu siapa adanya aku, akupun tak perlu menggunakan tedeng-tedeng lagi. Aku
adalah seorang anggauta Beng kauw yang mengabdi kepada Beng coen. Agama kami dibenci
oleb kerajaan, dipandang rendah oleh partai-partai persilatan yang lurus dan bahkan diejek
oleh orang-orang "sejalan hitam" (kawanan perampok). Tapi Thio Cinjia sendiri, malah
sesudah mengetahui asal usul kami, masih rela menyodorkan tangan untuk menolong kami.
Budi yang sangat besar itu tak akan dapat dibalas."
Pemimpin besar dari "agama" sesat itu dinamakan "Mo-ni", sedang para penganut
memanggitnya dengan panggilan "Beng coen". Mereka menamakan "agama" mereka sebagai
"Beng kauw." (Agama terang), sedang orang luar memberi nama "Mo kauw" atau Agama
siluman.
Sam Hong mengawasi Gie Coen dengan mata tajam dan berkata: "Siang Enghiong...."
"Lo too ya," memutus Gie Coen, "janganlah kau menggunakan kata-kata enghiong. Panggil
saja namaku, Gie Coen."
"Baiklah," kata guru besar itu sambil mengangguk. "Gie Coen, berapa usiamu sekarang?"
"Baru masuk duapuluh tahun," jawabnya.
Sam Hong mengawasi pemuda itu. Ia kelihatannya banyak lebih tua lantaran berewoknya
yang tebal. Dari suara dan gerak-geriknya, ia memang masih muda sekali.
Sam Hong manggut-manggutkan kepalanya. "Kau baru saja masuk usia dewasa, masih muda
sekali," katanya. "Biarpun kau sudah masuk kedalam agama sesat, masih belum terlalu dalam.
Jika kau mau memutar kepala, masih belum terlambat. Aku ingin mempersembahkankan
dengan beberapa perkataan dan aku harap kau tidak menjadi gusar."
"Ajaran Tootiang tentulah juga berharga seperti emas dan batu kumala," kata pemuda itu
sambil membungkuk. "Mana bisa aku merasa gusar?"
"Baiklah", kata guru besar itu. "Aku ingin menasehati supaya kau cepat-cepat mencuci hari
dan mengubah muka supaya kau segera meninggalkan agama yang sesat itu. Manakala kau
tidak mencela Boe tong pay yang ilmunya cetek, aku akan memerintahkan supaya muridku
yang kepala, yaitu Song Wan Kiauw, menerima kau sebegai murid. Dihari kamudian kau
akan bisa mengangkat muka dan tidak seorangpun berani memandang rendah lagi kepadamu."
Jilid 21_______________
Song Wan Kiauw adalah kepala dari Boe tong cit hiap dan namanya telah menggetarkan
seluruh Rimba Persilatan. Bagi ahli silat yang biasa untuk menemuinya saja, sudah bukan
gampang. Dalam beberapa tahun yang belakangan, baru Boe tong Cit hiap mulai menerima
murid. Tapi dalam penerimaan murid itu selalu dilakukan pemilihan dan penyaringan yang
sangat keras. Hanyalah orang orang yang berbakat dan beradat baik barulah di terima menjadi
anggauta Boe tong pay. Siang Gie Coen adalah seorang anggauta "agama" sesat. yang
dipandang jijik oleh masyarakat seumumnya. Maka itu tawaran Thio Sam Hong merupakan
juga rezeki luar biasa pemuda itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 399
Tapi, diluar dugaan, Gie Coen menjawab dengan sikap hormat: "Bahwa aku, Siang Gie Coen
telah mendapat penghargaan yang begitu tinggi dari Thio Cinjin, bukan main rasa terima
kasihku. Akan tetapi, sesudah menjadi anggauta Beng kauw seumur hidup aku tak berani
membelakangi agamaku itu"
Sam Hong coba membujuk lagi, tetapi pemuda itu tetap menolak dengan hormat dan tegas.
beberapa saat kemudian, dengan rasa menyesal, ia lalu mendukung Boe Kie seraya berkata:
"Kalau begitu, biarlah kita berpisahan disini saja," Dalam kata-kata perpisahan itu, ia malah
tidak mengucapkan perkataan, "sampai bertemu lagi," yang lazimnya digunakan.
Sebelum tuan penolong itu meninggalkan perahu, sekali lagi Siang Gie Coen menghaturkan
terima kasih dengan berlutut.
"Thio Toako," kata si nona cilik kepada Boe Kie, "setiap hari kau harus makan kenyang
kenyang, supaya Loo too-ya jangan jengkel."
Air mata Boe Kie lantas saja mengembang dan dengan suara putus-putus ia menjawab:
"Terima kasih untuk kebaikanmu.... Tapi aku hanya bisa makan nasi beberapa hari saja."
Bukan main rasa dukanya kakek guru itu. Ia mengangkat lengannya dan menggunakan tangan
jubah untuk menyusut air mata cucu muridnya.
"Apa?" menegas Tit Jiak dengan suara kaget "Kau...kau..."
"Nona kecil, hatimu sangat mulia," kata Sam Hong, "Aku mendoakan supaya dibelakang hari
kau jalan dijalanan yang lurus"
"Terima kasih atas nasehat Loo too-ya," jawab Cioe Tit Jiak.
"Thio Cinjin," tiba-tiba Gie Coen berkata, "kau memiliki Lweekang dan kepandaian yang
sangat tinggi. Biarpun luka saudara kecil itu sangat berat, aku percaya kau akan dapat
menyembuhkannya."
"Benar," kata Sam Hong yang tanpa dilihat Boe Kie, sudah menggoyangkan tangan kirinya
sebagai keterangan kepada Gie Coen, bahwa lukanya bocah itu tidak dapat diobati lagi.
Gie Coen terkejut. "Thio Cinjin," katanya pula, "aku sendiri telah mendapat luka yang sangat
berat dan sekarang aku justeru ingin meminta pertolongan dari seorang tabib malaikat.
Mengapa Thio Cinjin tidak mau mencoba-coba?"
Thio Sam Hong menundukkan kepala. "Semua pembuluh darahnya telah terbuka, sehingga
racun dingin bisa membuyar dan masuk kedalam perutnya," katanya dengan suara perlahan.
"ia tidak akan dapat disembuhkan dengan memakai obat biasa dan didalam dunia, tak
seorangpun bisa mengobatinya."
"Tapi," kata Siang Gie Coan, "tabib malaikat yang dimaksudkan olehku memiliki kepandaian
luar biasa tinggi, sehingga kata orang ia malah mampu menghidupkan mayat."
Sam Hong terkejut dan mendadak saja, ia ingat satu orang. "Apakah yang dimaksudkan
olehmu bukan Tiap-kok Ie sian?" tanyanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 400
"Benar," jawabnya. "Kalau begitu, Tootiang pun mengenal Ouw Soepehku."
Guru besar itu kelihatan agak bersangsi. Memang sudah lama ia mendengar nama Tiap kok le
Sian Ouw Ceng Goe yang dipandang rendah oleh orang Rimba Persilatan. Ia mempunyai adat
yang sangat aneh. Kalau orang yang sakit atau terluka anggauta "agama"nya, ia segera
menolongnya dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran apapun jua. Tapi, kalau
yang memohon pertolongan bukan pengikut "agama", biarpun dibayar dengan laksaan tail
emas, ia tak akan meladeni.
"Aku lebih suka Boe Kie mati dari pada menyerahkan nya kepada orang dari agama sesat itu,"
katanya didalam hati.
Melihat kesangsian Sam Hong, pemuda itu dapat menebak apa yang dipikirnya dan ia lantas
saja berkata: "Thio Cinjin, meskipun Ouw Soepeh biasanya menolak untuk mengobati orang
luar, tapi karena Thio Cinjin telah menolong jiwa Cioe Kouw nio, ia pasti akan membuat
kecualian. Andaikata ia menolak, Gie Coen pasti tak mau mengerti."
Sam Hong menghela napas dan berkata dengan suara duka: "Mengenai kepandaian Ouw
Sinshe, sudah lama aku mendengarnya. Hanya sayangnya, racun dingin yang mengeram
didalam tubuh Boe Kie sekarang ini tidak akan dapat disembuhkan dengan obat biasa...."
"Thio Cinjin!" teriak Gie Coen. "Mengapa kau begitu bersangsi? Kalau diobati oleh
Soepehku, paling banyak saudara kecil itu tidak sembuh. Kalau kekiri mati, kekananpun mati,
perlu apa Tootiang memikir panjang?"
Sebagai orang yang beradat polos, ia bicara segala apa yang berkelebat diotaknya.
Mendengar "kekiri mati, kekananpun mati", hati guru besar itu bergoncang keras. "Apa yang
dikatakan olehnya memang tidak salah," pikirnya. "Menurut penglihatanku, paling banyak
Boe Kie bisa bertahan dalam tempo sebulan lagi." Mengingat begitu, ia lantas saja berkata:
"Gie Coen, baiklah, aku minta pertolonganmu. Akan tetapi, sebelum pertolongan diberikan,
aku ingin menjelaskan terlebih dulu, bahwa Sinshe tidak boleh membujuk atau memaksa Boe
Kie masuk kedalam agama kalian. Disamping itu, jika Boe Kie benar menjadi sembuh, Boe
tong pay tidak menanggung budi agama kalian."
"Thio Cinjin," kata Gie Coen, "dengan berkata begitu, kau jadi memandang terlalu rendah
kepada orang-orang kami." Ia berpaling kepada Cioe Tit Jiak dan berkata puta: "Cioe
Kauwnio, aku ingin kau mengikut Thio Cinjin untuk sementara waktu. Apa kau suka?"
Sebelum si nona menjawab, Sam Hong sudah mendahului: "Apa?"
"Aku tahu bahwa Thio Cinjin tidak suka pergi kepada Ouw Soepehku," kata Gie Coen.
"Dapat dimengerti, bahwa lurus dan sesat tidak bisa berdiri berendeng. Thio Cinjin adalah
seorang guru besar pada jaman ini. Cara bagaimana Thio
Cinjin bisa meminta pertolongan dari seorang anggauta agama sesat? Disamping itu, adat
Ouw Soepeh juga aneh sekali. Jika ia bertemu dengan Thio Cinjin, mungkin sekali Ia tidak
berlaku sopan santun, sehingga pertemuan itu bisa berakibat sebaliknya daripada apa yang
diharap. Maka itu, menurut pendapatku, sebaiknya saudara Thio dibawa olehku sendiri. Tapi,
akupun mengerti, bahwa Thio Cinjin merasa sangsi untuk menyerahkan saudara Thio
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 401
kepadaku. Maka itulah, aku minta Cioe Kouwnio berdiam di Boe tong san untuk sementara
waktu. Nanti, sesudah saudara Thio sembuh, aku akan mengantarkannya ke Boe tong san dan
sekalian mengambil pulang Cioe Kouwnio. Dengan perkataan yang lebih tegas, aku ingin
minta Cioe Kauwnio mengikut Thio Cinjin untuk dijadikan semacam tanggungan."
Dalam pergaulannya selama puluhan tahun, Thio Sam Hong selalu berterus terang dan
menaruh kepercayaan kepada orang-orang Rimba Persilatan. Akan tetapi, Thio Boe Kie
adalah turunan tunggal dari muridnya yang tercinta, sehingga memang benar ia sangat
bersangsi untuk menyerahkannya kepada seorang dari kalangan "agama" sesat.
Sebelumnya guru besar itu sempat menjawab, Siang Gie Coen sudah berkata pula "Cioe Cie
Ong, Cioe Toako, adalah seorang yang bener-benar luhur pribudinya. Sesudah gagal dalam
gerakannya di Sin yan, duapuluh tiga anggauta keluanganya telah dibinasakan oleh Tat-coe.
Bahkan ibu Toako yang sudah berusia tujuhpuluh delapan tahun, tidak luput dari kebinasaan.
Sesudah bertempur mati-matian, barulah aku dapat menolong seorang putera dan seorang
putrinya. Tak dinyana, Siauw kongcoe telah binasa terpanah musuh sehingga Kauwnio
merupakan turunan yang satu-satunya dari Ciao Toako. Sebagai salah seorang pemimpin
Beng kauw, Cioe Toako mempunyai banyak musuh. Bukan saja Tat coe, tapi musuh musuh
lainnya pun akan menyukarkan Thio Cinjin jika mereka tahu, bahwa Cioe Kauwnio berada di
Boe tong..."
Tanpa merasa Sam Hong tertawa. Sebelum ia menyanggupi untuk menerima Cioe Tit Jiak,
pemuda yang polos itu sudah memperingatkannya. Ia berdiri bengong beberapa saat. Memang
juga, lain jalan tidak ada, kekiri mati, kekananpun mati, jalan satu-satunya yalah mencoba
coba kepandaian Tiap-kok Ie sian. Mengingat begitu, ia lantas saja berkata: "Gie Coen
baiklah. Aku akan merawat Cioe Kauwnio baik baik dan kaupun harus merawat Boe Kie
sebaik baiknya. Sesudah anak itu sembuh, kuharap kau lekas-lekas datang di Boe tong san."
"Thio Cinjin tak usah kuatir," jawabnya dengan suara lantang. "Aku pasti akan menunaikan
tugas dengan sepenuh tenaga"
Sehabis berkata begitu, ia melompat kedarat dan membuat sebuah lubang ditanah dengan
ujung golok, kemudian, sesudah membuka semua pakaian yang menempel dimayat majikan
kecilnya, ia lalu menguburnya dalam keadaan telanjang.
Sesudah itu, bersama Cioe Tit Jiak, ia memberi hormat didepan kuburan. Nona Cioe
menangis sedih, sedang ia sendiri berdiri tegak sambil menahan mengucurnya air mata.
Mayat bocah itu dikubur dalam keadaan telanjang adalah sesuai dengan kebiasaan Bang
kauw. Menurut "agama" itu, seorang manusia yang dilahirkan kedalam dunia dengan tidak
memakai pakaian, haruslah berpulang ke alam baka dalam keadaan begitu juga. Sam Hong
yang tidak tahu sebab musabab penguburan yang aneh itu, hanya menhela napas dengan
perasaan, bahwa sepak terjang orang-orang "agama" sesat benar-benar sesat.
Pada keesokan paginya, sambil menuntun Tit Jiak, guru besar itu berpisahan dengan Gie Coen
dan Boe Kie. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia, Boe Kie menganggap sang
kakek guru seperti kakeknya sendiri. Sekarang secara mendadak kakek guru itu
meninggalkannya, sehingga tanpa tertahan lagi, air matanya mengucur deras.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 402
"Boe Kie," kata Sam Hong sambil mengusap usap kepala anak itu. "Sesudah kau sembuh
Siang Toako akan membawa kau pulang ke Boe tong. Kita hanya berpisahan untuk beberapa
bulan dan kau tak perlu bersusah hati."
Anak itu yang kaki tangannya sudah tidak bisa bergerak akibat totokan sang kakek guru,
hanya manggut-manggutkan kepala, sedang air matanya mengucur.
Melihat begitu, nona Cioe segera kembali keperahu. Ia mengeluarkan sehelai sapu tangan
kecil dari sakunya dan lalu menyusut air mata Boo Kie. Ia bersenyum dan sesudah
memasukkan sapu tangan itu ditangan baju Boe Kie, barulah ia melompat balik kedarat.
Hati Sam Hong bergoncang. "Nona kecil itu, sangat cantik dan dihari kemudian, ia pasti akan
menjadi seorang wanita yang ayu luar biasa," pikirnya. "Sesudah Boe Kie sembuh, aku tidak
boleh membiarkan mereka bertemu muka lagi. Jika mereka sampai saling menyinta, hikayat
Coei San mungkin akan terulang lagi."
Dengan hati duka, Boe Kie mengawasi bayangan sang kakek guru yang menuju ke arah barat
sambil menuntun tangan nona Cioe, yang tidak berhentinya mengulap-ulapkan tangan,
sehingga bayangannya menghilang diautara pohon-pohon.
Sesaat itu, hati si bocah mencelos, benar-benar ia merasa hidup sebatang kara dalam dunia
yang lebar ini dan air matanya kembali mengucur.
Gie Coen mengerutkan alis. "Saudara Thio, berapa usiamu?" tanyanya.
"Dua belas tahun," jawabnya.
"Hm... " Gie Coen mengeluarkan suara di hidung. "Usia dua belas tahun bukan anak anak
lagi. Apa kau tak malu, menangis? Waktu aku berusia duabelas tahun, aku sudah menerima
pukulan ratusan kali, tapi tidak setetes air mata keluar dari mataku. Seorang laki-laki sejati
hanya boleh mengucurkan darah, tak boleh mengucurkan air mata. Kalau kau terus menangis
seperti bayi, aku akan hajar kau."
Melihat kegarangan si brewok, Boe Kie jadi agak keder. "Baru saja Thay soehoe pergi, kau
sudah begitu galak." pikirnya. "Entah berapa besar kesengsaraan yang bakal diderita olehku."
Mengingat begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Aku menangis karena merasa
sedih harus berpisahan dengan Thay soehoe. Aku belum pernah menangis sebab pukulan.
Mau pukul boleh kau pukul. Kalau hari ini kau memukul aku satu kali, dihari kemudian nanti
aku akan membalas sepuluh kali."
Gie Coen tertawa terbahak-bahak, "Bagus! Bagus !" katanya. "Itulah perkataan seorang laki
laki. Kau begitu liehay, tak berani aku memukul kau."
"Mengapa ? Aku sedikitpun tidak bisa bergerak," kata si bocah.
"Kalau hari ini aku memukul kau, dikemudian hari, sesudah kau memiliki kepandaian tinggi,
bagaimana aku kuat menerima sepuluh kali pukulanmu ?" jawabnya.
Boe Kie tertawa. Ia merasa bahwa meskipun garang, Siang Toako bukan seorang jahat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 403
Dengan mengunakan perahu, mereka menuju ke Han kouw dan sesudah tiba di Han kouw,
Gie Coen menyewa lain perahu dan berlayar kealiran sebelah bawah dari Tiangkang timur.
Tiap kok, atau selat kupu kupu, tempat tinggal Tiap kok Ie sian terletak di pinggir telaga Lie
san ouw, sebelah utara propinsi An hoei. Sebagaimana diketahui, dari Han kouw sampai di
Kioe kang, sungai Tiang kang mengalir kejurusan tenggara. Sesudah melewati Kioe kang,
sungai itu membelok kearah timur laut dan masuk ke propinsi An hoei.
Boe Kie berlayar dengan perasaan duka. Ia ingat bahwa pada dua tahun berselang, ia pernah
berlayar di sungai Tiangkang bersama sama kedua orangtuanya dan pa man Jie Lian Cioe.
Selama dalam pelayaran, ia gembira bukan main, tetapi sekarang, kedua orang tuanya sudah
meninggal dunia secara mengenaskan, kaki tangannya tidak bisa bergerak dan ia sendiri
berada dalam rawatan seorang sahabat baru dalam perjalanan untuk memohon pertolongan
kepada seorang aneh. Antara kedua pelayaran itu terdapat perbedaan seperti langit dan bumi.
Ia bersedih, tapi sebisa bisa ia menahan mengucurnya air mata, karena kuatir ditertawai olen
Siang Toakoo.
Setiap hari, pada Coe sie (antara jam 11 malam dan jam 1 lewat tengah malam) dan Ngo sie
(antara jam 1 siang sampai jam 1 lohor), racun dingin mengamuk dalam tubuhnya. Sambil
mengertak gigi dan menggigit bibir, ia menahan sakit, sehingga bibirnya sampai tertuka
akibat gigitan. Di samping itu, makin hari serangan racun makin hebat.
Pada suatu hari mereka tiba di Kwa po, sebelah bawah Cip keng (sekarang Nan king). Dengan
mendukung Boe Kie, Gie Coen mendarat dan lalu menyewa kereta untuk meneruskan
perjalanan ke utara. Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Beng Kong, di sebelah timur
Hong yang.
Gie Coen tahu bahwa Soepehnya yang beradat aneh itu paling tidak senang tempat tinggalnya
di ketahui orang. Maka itu, pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li dari
Lie san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil menggendong Boe Kie, lalu melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki.
Tapi diluar dugaannya, baru saja ia berjalan kurang lebih satu li badannya lemas dan napasnya
tersengal-sengal. Ia terkejut dan mengerti, bahwa itulah akibat dari luka yang dideritanya
karena pukulan im ciang dari dua pendeta asing.
Boe Kie merasa sangat tidak tega. "Siang Toa ko." katanya. "Jalan saja perlahan-lahan.
Jangau kau merusak badan."
"Celaka sungguh!" kata Gie Coan dengan gusar. "Menurut kebiasaan, sekali lari aku bisa
melalui seratus li. Apakah pukulan kedua pendeta bangsat itu sedemikian hebat, sehingga aku
tidak dapat berjalan lagi?" Dengan amarah yang meluap-luap ia berjalan terus. Baru jalan
puluhan tombak, ia merasa tulang-tulangnya seperti mau copot. Tapi Siang Gie Coen seorang
keras kepala dan keras hati. Sambil mengertak gigi, ia maju terus, setindak demi setindak.
Dengan kemajuan yang sangat lambat itu, sampai malam barulah mereka melalui separuh
perjalanan. Jalanan gunung yang berbelit belit dan turun naik menambah penderitaan pemuda
itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 404
Akhirnya, waktu tiba disebuah hutan ia tak dapat bertahan lagi. Perlahan-lahan ia menaruh
Boe Kie diatas tanah dan kemudian, ia merebahkan diri untuk mengaso. Ia mengeluarkan kue
phia dari sakunya dan membagi kue itu kepada Boe Kie untuk menangsal perut.
Sesudah mengaso kira-kira setengah jam, Gie Coen bangun berdiri untuk meneruskan
perjalanan, tapi Boe yang merasa kasihan terhadapnya, berkeras untuk mengaso semalaman
dihutan itu. Sesudah berpikir sejenak, ia merasa pendirian si bocah ada benarnya juga.
Andaikata, mereka bisa tiba dirumah Ouw Ceng Goe pada malam itu, sang Soepeh yang
beradat aneh mungkin bergusar karena diganggu tidurnya dan kalau dia bergusar, mungkin
sekali dia akan menolak untuk mengobati. Memikir begitu, ia lantas saja menyetujui usul Boe
Kie.
Mereka tidur dengan menyender dikaki sebuah pohon besar. Kira-kira tengah malain, racun
dingin mengamuk lagi dan Boe Kie memanggil keras. Karena sungkan mengganggu Gie Coen
yang sudah capai lelah, ia menahan sakit sambil menggigit bibir.
Selagi ia bergulat melawan racun dingin itu, sekonyong-konyong terdengar suara beradunya
senjata, disusul dengan suara bentakan seorang: "Mau lari kemana kau?"
Bentakan, disusul pula dengan teriakan beberapa orang lain.
"Cegat ditimur ! Cepat ! Supaya dia masuk kehutan!"
"Bangsat gundul itu tidak boleh dilepaskan ! Cegat!"
Hampir berbareng terdengar tindakan sejumlah orang yang menuju kearah hutan.
Dengan kaget Siang Gie Coen tersadar. Satu tangannya segera menghunus golok, lain tangan
mendukung Boe Kie, siap sedia untuk melarikan diri sambil bertempur.
"Siang Toako, kurasa mereka bukan maui kita," bisik Boe Kie.
Gie Coen mengangguk. Di dalam hati ia sudah mengambil keputusan, bahwa meskipun mesti
membuang jiwa, ia akan coba melindungi keselamatan bocah itu. Hanya ia merasa menyesal,
bahwa sesudahb mendapat luka, ilmu silatnya sekarang sudah musnah seanteronya.
Mereka mengintip dari belakang sebuah pohon besar. Mereka melihat berkelebat-kelebatnya
bayangan orang tujuh delapan orang sedang mengurung dan mengerubuti satu orang. Karena
gelap, mereka tak tahu siapa adanya orang-orang itu. Mereka hanya tahu, bahwa orang yang
dikepungnya melawan dengan tangan kosong dan bahwa orang itu lihay luar biasa, sehingga
biarpun dikerubuti, ia masih dapat membela diri secara bagus sekali.
Sesudah bertempur beberapa lama, setindak demi setindak, orang-orang itu mendekati tempat
bersembunyinya Gie Coen berdua. Pada waktu sang rembulan muncul dari alingan awan
hitam mereka melihat, bahwa orang yang dikepung yalah seorang pendeta yang berusia kirakita
lima puluh tahun, tubuhnya kurus jangkung data mengenakan jubah pertapaan serba
putih. Dipihak pengepung terdapat pendeta, imam, seorang lelaki yang memakai pakaian koan
kee (pengurus rumah tangga) dan dua orang perempuan. Makin lama Gie Coen makin merasa
heran. Delepan pengurung itu masing masing memiliki kepandaian tinggi. Dua orang pendeta
yang satu bersenjata Sian thung dan yang lain memegang golok menyerang dengan pukulanTo
Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 405
pukulan yang disertai sambaran angin dahsyat, sehingga daun-daun pohon meluruk jatuh
kebawah.
Si imam, toosoe yang bersenjatakan pedang panjang, aneh gerak-gerakannya. Sebentar ia
melompat kekiri, sebentar kekanan. Sedang pedangnya yang menggetar tak henti-hentinya
mengeluarkan sinar berkeredepan.
Lelaki yang berpakaian seperti koan kee, kate kecil tubuhnya. berguling-guling ditanah dan
menyerang bagian bawah sipendeta jubah putih dengan menggunakan ilmu golok Tee tong To
hoat. Kedua goloknya terputar putar bagaikan sebuah bola yang menggelinding di tanah.
Kedua wanita itu, yang bertubuh langsing dan masing masing mencekal sebatang pedang,
juga menyerang dengan pukulan pukulan yang sangat lihay.
Selagi bertempur hebat, salah seorang wanita mendadak memutar badan, sehingga separuh
mukanya disoroti sinar rembulan.
"Kie Kouwnio!" seru Boe Kie dengan suara tertahan. Wanita itu bukan lain daripada Kie
Siauw Hoe, tunangan In Lie Heng. Tadi melihat pendeta si jubah putih dikerubuti oleh begitu
banyak orang, Boe kie merasa mendongkol terhadap pihak pengepung. Tapi sekarang sesudah
melihat Kie Siauw Hoe, pandangannya berubah dan ia menganggap, bahwa pendeta itu
manusia jahat.
"Delapan orang mengerubuti satu orang, terlalu tak mengenal malu." Gie Coen berkata
seorang diri. "Siapa mereka?"
"Yang wanita dari Go bie pay," bisik Boe Kie, "Hm... dua pendeta itu orang Siauw Lim sie."
Sesudah mengawasi pertempuran beberapa saat, dia berkata pula "Si toosoe orang Koen loan
pay. Lihatlah! Pukulan Tay mo Hoei soe (Tay mo Hoe see artinya Pasir beterbangan di gurun
pasir) itu sungguh amat hebat. Itulah pukulan simpanan dari Koen loen pay. Tapi siapakah
lelaki yang menggunakan ilmu silat Tee tong To hoat?"
"Apa bukan dari Khong tong pay ?" tanya si brewok.
"Bukan," jawabnya. "Dalam Tee tong to hoat Khong thong pay, orang halus menggunakan
sebatang golok yang dicekal di tangan karan, dan sebatang toya ditangan kiri. Orang itu
menggunakan sepasang golok."
Mendengar keterangan si bocah, Siang Gie Coen merasa kagum. "Setiap murid Boe tong
benar-benar berpengetahuan luas," pikirnya. Tapi ia tak tahu bahwa pengetahuan itu didapat
Boe Kie bukan dari Boe tong tapi dari ayah angkatnya.
Sebagaimana diketahui, di dalam tekad untuk membalas sakit hatinya, Cia Soen telah
mempelajari hampir semua ilmu-ilmu silat yapg dikenal didalam Rimba Persilatan.
Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya, akan tetapi pendeta jubah putih itu masih
tetap dapat mempertahankan diri. Tubuhnya berkelebat kelebat bagaikan kilat, tenaganya
dahsyat luar biasa, sedang gerakan tangannya hampir tak bisa dilihat tegas, karena terlampau
cepat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 406
Tiba-tiba terdengar bentakan salah seorang: "Gunakan senjata rahasia !"
Si kate kecil dan si imam lantas saja melompat keluar dari gelanggang pertempuran, disusul
dengan menyambarnya nyambrnya peluru serta Hoei to (golok terbang) ke arah si pendeta.
Diserang secara begitu, dia mulai keteter.
"Pheng Hweeshio !" bentak si imam. "Kami bukan maui jiwamu, perlu apa kau nekadnekadan?
Serahkan Pek Kwie Sioe dan kita akan berpisahan sebagai sahabat."
Siang Gie Coen terkesiap, "Pheng Hweeshio" bisiknya.
Boe Kie pun tidak kurang kagetnya. Waktu berada dalam perjalanan pulaing ke Boe tong
bersama kedua orang tuanya dan Jie Lian Cioe ia pernah mendengar, bahwa Pek Kwie Sioe
adalah orang Peh bie kauw satu satunya yang bisa pulang dengan selamat dari pulau Ong
poan San. Dan murid murid Koen loan juga terlolos dari kebinasaan, tapi mereka hilang
ingatan karena teriakan Cia Soen. Maka itu, selama belasan tahun, dalam pertempuran dangan
Peh bie kauw tujuan jago-jago berbagai partai adalah untuk mendesak supaya Pek Kwie Sioe
memberitahukan dimana adanya Cia Soen.
"Apakah Pheng Hweeshio segolongan dengan ibuku?" tanya Boe Kie didalam hati.
Sementara itu, Pheng Hweeshio sudah menjawab dengan suara Iantang: "Pak Tancoe sudah
dilukakan berat oleh kamu. Jangankan aku dan dia-masih sama-sama orang-orang
segolongan, terhadap orang luar sekalipun, aku tak bisa mengawasi kebinasaan dengan
berpeluk tangan."
"Omong apa kau!" bentak si imam. "Mengawasi kebinasaan dengan berpeluk tangan? Kau
tahu, tujuan kami bukan mengnendaki jiwanya. Kami hanya menyelidiki tempat
bersembunyinya seorang."
"Kalau kamu mau menyelidiki dimana adanya Cia Soen, mengapa kamu tidak mau pergi
kepada Hong thio Siauw lim sie?" tanya si pendeta.
"Tutup bacotmu!" bentak si pendeta Siauw lim. "Apa kau tidak tahu, bahwa itu hanya tipu
busuk dari perempuan siluman In So So?"
Mendengar disebutkannya nama mendiang ibunya, Boe Kie merasa bangga agak bercampur
duka."Hm .... sesudah meninggal dunia, ibu masih bisa membuat kalian semua pusing
kepala," katanya di dalam hati
Sambil bicara, pertempuran berlangsung terus dengan dahsyatnya. Si toosoe mengajak, bicara
dengan tujuan untuk memecah pemusatan pikiran Pheng Hweeshio. Tapi pendeta itu yang
cerdas otaknya dan tinggi ilmu silatnya, tidak kena diakali. Biarpun mulutnya bicara,
kewaspadaannya sedikitpun tidak jadi berkurang. Tapi, karena jumlah musuh terlalu besar dan
musuh-musuh itu pun bukan sembarang orang, maka ia tetap tidak berhasil dalam usahanya
untuk menerjang keluar dari kepungan.
Sekonyong-konyong, si imam yang melepaskan senjata rahasia dengan berdiri diluar
gelanggang, berteriak: "Celaka! Senjata rahasia habis!" berbareng dengan teriakan itu, semua
kawannya menggulingkan diri ditanah dan lima batang golok terbang menyambar bagaikan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 407
kilat. Ternyata kata kata "senjata rahasia habis" adalah semacaan isyarat supaya semua orang
bergulingan untuk menyingkirkan diri dari sambaran lima batang Hoeito yang menyambar
dalam bentuk bunga bwee.
Dalam keadaan biasa, dengan menundukkan kepala, membungkuk, melompat kedepan atau
menjengkangkan diri, Pheng Hweeshio akan dapat mengelakkan lima golok itu yang
menyambar dadanya. Tapi sekarang, sebab sambil bergulingan, keenam musuhnya juga
menyerang dengan senjata mereka, maka bagian bawah badannya tertutup semua.
Boe Kie mencelos hatinya.
Mendadak tubuh Pheng Hweeshio meleset keatas kira-kira setombak tingginya, dan lima buah
golok terbang lewat di bawah kakinya. Tapi, meskipun senjata rahasia sudah dielakkan,
Sianthung dan golok kedua pendeta Siauw lim serta pedang dari toesoe Koen loan pay sudah
manyambar lututnya dengan berbareng. Sesaat itu tubuh Pheng Hwee shio masih di tengah
udara, sehingga, mau tidak mau, ia terpaksa menggunakan pukulan yang berbahaya dan
membinasakan.
"Ptak!", telapak tangan kirinya menghantam kepala seorang pendeta Siauw lim dan dengan
sekali menjambret, tangan kanannya sudah merampas golok pendeta itu, yang lalu digunakan
untuk menangkis Sianthung. Dengan meminjam tenaga dari bentrokan kedua senjata itu,
badannya "terbang" beberapa tombak jauhnya. Pendeta Siauw lim yang ditepuk kepalanya,
sudah binasa seketika itu juga. Sambil berteriak-teriak, tujuh kawannya mengubar Pheng
Hweeshio.
Di lain saat, badan Pheng Hweeshio kelihataan bergoyang-goyang, hampir-hampir jatuh
terguling, dan ketujuh musuhnya lantas saja mengurung.
Sambil memutar Sianthung, si pendeta Siauw lim menerjang dan berteriak "Pheng Hweeshio!
Kau membinasakan Soeteeku. Mari kita mengadu jiwa !"
"Lututnya sudah kena Sia wie kauw (Gaetan buntut kalajengking. semacam senjata rahasia) !"
teriak si toosoe Koen loen. "Tak lama lagi, dia akan mampus keracunan!"
Benar saja, tindakan Pheng Hweeshio kelihatan limbung dan perlawanannya terhadap si
pendenta Siauw lim, sudah kalut.
"Celaka!" bisik Siang Gie Coen. "Ia adalah guru Cioe Toako. Bagaimana aku harus
menolongnya?"
Boe Kie tahu, bahwa si brewok adalah manusia yang tidak bisa menonton kecelakaan kawan
sambil berpeluk tangan. Biarpun dirinya sendiri terluka berat, ia masih mau menolong orang.
Andai kata ia sampai menerjang keluar, ia hanya akan mengantarkan jiwa dengan cumacuma.
Tiba-tiba Boe Kie mendapatkan serupa ingatan dan ia lantas saja berkata: "Siang
Toako, kau ingin menolong Pheng Hweeshio bukan?"
"Tidak bisa tidak ditolong!" jawabnya. "Ia kena senjata beracun, Tapi, aku sendiri .... aku
sendiri ...."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 408
"Aku mempunyai serupa daya untuk memulihkan tenagamu," memutus si bocah. "Kau akan
bisa bertahan selama setengah jam, tapi dengan demikian, kau akan merusak tenaga
dalammu."
Sesudah mendengar keterangan si bocah mengenai limu silat berbagai partai, Gie Coen
percaya, bahwa anak yang sangat pintar itu adalah murid istimewa dari Thio Sam Hong,
sehingga ia tidak menyangsikan omongan itu.
"Untuk menolong jiwa manusia, aku rela merusak tenaga dalamku sendiri."
"Ambillah dua butir batu yang tajam," bisik Boe Kie.
Gie Coen segera melakukan apa yang diminta. "Apa ini boleh?" tanyanya sambil
mengangsurkan kedua batu itu.
"Boleh," jawab si bocah sambil mengangguk. "Dengan tajamnya batu, totoklah samping
pahamu, dibawah pinggang."
"Disini?" tanya Gie Coen sambil menunjuk samping pahanya.
"Lebih bawah sedikit," kata si bocah. "Ya! benar disitu. Kesebelah dikit, setengah coan.
Bagus! Nah, sekarang totoklah."
Si berewok lantas saja menotok paha kanannya dengan batu itu dan hampir berbareng, ia
merasa pahanya kesemutan.
"Inilah ilmu yang dinamakan Tie sin Tah hiat hoat (ilmu menotok jalan darah untuk
mempertinggi semangat)," menerangkan Boe Kie. "Totoklah paha kirimu."
Si berewok agak bersangsi. Walaupun belum pernah belajar, ia tahu bahwa dalam Rimba
Persilatan terdapat ilmu Tiam hiat yang dapat melumpuhkan anggauta badan manusia. Akan
tetapi, meskipun mengingat itu, ia tetap percaya omongan Boe Kie, karena menurut
anggapannya, sebagai sebuah partai persilatan yang namanya menggetarkan dunia, Boe tong
pay tentunya juga mempunyai cara-cara yang lain dari pada yang lain. Demikianlah, ia segera
menotok lagi pada paha kirinya.
Tapi, di luar dugaan, begitu paha kirinya tertotok, separuh badannya, mulai dari pinggang ke
bawah, tidak dapat digerakkan pula.
Sementara itu, sesudah melompat beberapa tombak jauhnya, Pheng Hweeshio lalu roboh di
tanah.
"Saudara Thio!" kata si brewok dengan bingung. "Mengapa.... badanku seperti mati separoh
?"
Boe Kie tertawa geli di dalam hati, karena Siang Gie Coen sudah tertipu, tapi ia pura pura
kaget dan mengeluarkan seruan tertahan: "Celaka! Kau tidak mengerti Tiam hiat, mungkin
sekali kau salah dalam menggunakan tenaga. Tunggulah sebentar."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 409
Siang Gie Coen bukan seorang tolol. Di lain saat ia sudah mengerti, bahwa ia terjebak oleh
muslihat si bocah nakal. Tapi iapun tahu, bahwa dengan berbuat begitu, Boe Kie bermaksud
baik sekali. Ia tidak dapat berbuat lain daripada menghela napas dengan perasaan mendongkol
tercampur geli.
Pheng Hweeshio menggeletak di tanah tanpa bengerak, seolah olah ia sudah menghembuskan
napasnya yang penghabisan. Akan tetapi biarpun begitu, musuh musuhnya masih belum
berani mendekati.
"Kouw Soetee, cobalah kau menimpuk lagi dengan dua buah golok terbangmu, untuk
mencoba-coba," kata si toosoe Koen loen pay.
Too jin yang dipanggil "Kouw Soetee," segera mengayun tangan kanannya dan dua Hoeito
menyambar, yang satu menancap di pundak kanan Pheng Hweeshio, sedang yang lain
mengenakan paha kirinya. Tapi pendeta jubah putih itu tetap tidak bergerak, suatu bukti,
bahwa dia benar benar sudah binasa.
"Sayang ! Sayang dia sudah mati," kata si too soe Koen loen. "Sekarang sukar diselidiki,
dimana dia menyembunyikan Pek Kwie Sioe."
Semua lalu mendekati "mayat" Pheng Hweesio.
Mendadak, mendadakan saja, terdengar Suara "plak... plak.... plak ...." lima kali beruntun, dan
lima orang roboh terguling! Hampir berbareng, dengan semangat bergelora, Pheng Hweeshio
bangun berdiri, dengan pundak dan paha masih tertancap golok.
Ternyata, sesudah kena senjata beracun dan yakin, bahwa jiwanya tidak akan dapat ditolong
lagi, Pheng Hweesio lalu pura-pura mati. Begitu lawannya mendekati, ia segera menghantam
lima orang musuh lelaki dengan pukulan Ngoheng ciang. Ia sengaja mengampuni dua orang
lawan wanita, yaitu Kie Siauw Hoe dan Soecienya yang bernamar Teng Bin Koen.
Dalam kagetnya, kedua murid Go bie pay itu melompat mundur. Mereka melihat, bahwa
kelima kawannya muntahkan darah dan dua antaranya yang Lweekangnya agak lemah, sudah
jatuh berlutut. Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, tubuh Pheng Hweeshio pun bergoyanggoyang.
"Teng Kouwnio, Kie Kouwnio!" teriak si too soe Koen loen. "Tikamlah bangsat gundul itu!"
Antara sembilan orang yang tadi bertempur, seorang pendeta Siauw lim sudah binasa, sedang
Pheng Hweeshio dan lima lawannya mendapat luka berat, sehingga hanya Teng Bin Koen dan
Kie Siauw Hoe yang tidak kurang suatu apa.
Mendengar teriakan si toosoe Koen loen, Teng Bin Koen segera mengangkat pedang dan
menyabet kaki si pendeta.
Pheng Hweeshio mengeluh. "Karena merasa kasihan terhadap orang perempuan, aku tidak
berlalu kejam terhadap kamu, tapi tidak dinyana, rasa kasihanku berbalik mencelakakan
diriku sendiri" katanya didalam hati. Ia meramkan kedua matanya untuk menunggu
kebinasaan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 410
Tiba-tiba terdengar suara "trang!" suara benturan senjata. Pheng Hweeshio membuka mata
dan mendapat kenyataan, bahwa yang menolongnya ialah Kie Siauw Hoe.
"Eh, mengapa kau begitu?" tanya Teng Bin Koen dengan kaget.
Nona Kie tertawa. "Soecie," katanya. "Pheng Hweeshio tidak berlaku kejam terhadap kita dan
kitapun tidak boleh membunuh dia."
"Aku juga bukan mau mengambil jiwanya," kata Teng Bin Koen. "Aku hanya ingin memaksa
supaya dia memberitahukan tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."
"Dia telah keracunan hebat, paling dulu kita harus memunahkan racun itu," kata Kie Siauw
Hoe seraya mendekati si toosoe Koen loen dan berkata: "Saudara See leng, berikanlah obat
pemunah Sie wie kauw kepadaku."
Too ho (nama sebagai orang pertapaan) dari toojin itu ialah See leng coe, sedang toojin yang
melepaskan golok terbang bernama See ciat coe dan mereka kedua duanya adik sepenguruan
See hoa coe.
"Belenggu dulu padanya," kata See leng coe. "Hweeshio ltu banyak akal bulusnya...." Ia
bicara dengan napas tersengal-sengal karena pukulan Ngo beng ciang telah membuatnya
terluka berat.
Kie Siauw Hoe mengangguk dan sesudah mengambil seutas tambang, ia menghampiri Pheng
Hweeshio. "Pheng Taysoe" katanya dengan suara lemah lembut, "aku mohon maaf untuk
kekurangan ajarku."
Karena tak ada jalan lain, mau tak mau si pendeta membiarkan kaki tangarnya dibelenggu.
Sesudah itu barulah See leng coe mengeluarkan obat yang lalu diserahkan kepada nona Kie
dengan memberitahukan juga cara-cara menggunakannya. Siauw Hoe lalu mencabut dua
Hoeito yang menancap dipundak dan paha Pheng Hweeshio dan kemudian menaruh obat
dilubang-lubang.
"Pheng Hweeshio!" bentak Teng Bin Koen. "Soe moyku berhati murah dan sudah menotong
jiwamu. Sekarang beritahukanlah dimana adanya Pek Kwie Sioe."
Peng Hweeshio tertawa terbahak-bahak. "Teng Kouwnio," katanya, "dengan berkata begitu,
kau memandang aku terlalu rendah. Thio Ngohiap dari Boe tong pay lebih suka bunuh diri
daripada memberitahukan tempat tinggal saudara angkatnya. Pribudi Thio Ngohiap yang
luhur itu dikagumi sungguh oleh Pheng Eng Giok. Maka itu biarpun aku bukan seorang
ternama, aku ingin mengikut perbuatan Thio Ngohiap."
Mendengar itu, bukan main rasa bangganya Boe Kie. Kematian Coei San sangat disayangkan
oleh orang-orang Rimba Persilatan dan mereka menganggap, bahwa kebinasaan Thio
Ngohiap adalah karena menikah dengan seorang wanita "siluman" dari partai yang sesat.
Sebagai anak yang cerdas, Boe Kie tahu, bahwa dalam omong omong antara kakek guru dan
para pamannya, mereka sangat berduka akan kematian ayahnya, tetapi mendongkol terhadap
mendiang ibunya. Tapi dari semua pembicaraan yang pernah didengarnya, belum pernah ada
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 411
seorang yang mengutarakan rasa hormat begitu besar terbadap ayahnya seperti pengutaraan
Pheng Hweeshio.
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Dengan menikah dengan perempuan siluman, Thio Coei San
seperti juga sudah buta matanya," katanya. "Dia sendiri juga yang rela menjadi seorang hina
dina. Apa orang begitu pantas dibuat contoh? Boe tong pay...."
"Soecie!" memutus Kie Siauw Hoe.
"Jangan kuatir," kata sang kakak sepenguruan "Aku tak akan menyeret nama In Liok hiap," Ia
mengibas pedangnya yang lalu ditudingkan kemata kanan si pendeta. "Kalau kau tidak bicara,
lebih dulu kutusuk mata kananmu." Ia mengancam dengan suara bengis. "Kemudian kutikam
mata kirimu. Sesudah itu, kusodok kuping kanan dan kuping kirimu dan akhirnya kupapas
hidungmu. Tapi kau tak usah kuatir. Biar bagaimanapun juga, aku tak akan mengambil
jiwamu." Ujung pedang yang berkilauan dan menggetar tak hentinya itu hanya terpisah
setengah dim dari mata kanan Pheng Hweeshio.
Tetapi Pheng Hweeshio sedikitpun tidak menjadi gentar. Dengan mata tak berkedip, ia
berkata: "Sudah lama kudengar, bahwa Biat coat Soethay dari Go bie pay seorang kejam.
Sekarang aku mendapat kenyataan, bahwa si murid tidak banyak berbeda dengan sang guru.
Hari ini Pheng Eng Giok sudah jatuh kedalam tanganmu dan kau boleh berbuat sesukamu."
"Bangsat gundul!" teriak Teng Bin Koen. "Kau berani menghina guruku?" Dengan sekali
mendorong pedangnya, mata kanan Pheng Hweeshio sudah menjadi buta dan kemudian ia
menempelkan ujung pedang dikelopak mata kiri si pendeta.
Tapi pendeta itu tertawa terbabak-babak sedang mata kirinya yang terbuka lebar menatap
muka musuhnya. Ditatap begitu, dengan sinar mata yang berkeredepan, jantung Teng Bin
Koen memukul keras. "Kepala gundul !" bentaknya pula. "Aku sungguh tak mengerti akan
sikapmu. Kau bukan anggauta Peh bie kauw, tapi mengapa kau rela membuang jiwamu untuk
manusia seperti Pek Kwie Sioe ?"
"Biarpun aku menerangkan kepadamu tentang cara-caranya seorang kesatria, kau tentu tak
akan mengerti." jawabnya dengan suara duka.
Melihat paras muka si pendeta yang seolah-olah memandang rendah kepadanya, Teng Bin
Koen meluap darahnya dan sekali lagi ia menggerakkan pedang untuk menusuk mata kiri
Pheng Hweeshio.
Dengan cepat Kie Siauw Hoe menangkis dengan senjatanya. "Soecie. Dia keras kepala dan
biar bagaimanapun jua, ia pasti tidak akan membuka mulut," katanya. "Meskipun dibinasakan
tiada guna nya."
"Dia mencaci Soehoe sebagai seorang kejam, maka biarlah dia menyaksikan kekejamanku."
kata Teng Bin Koen. "Siluman Mo kauw semacam dia hanya bisa mencelakakan manusia
baik-baik. Maka itu, jikalau kita menyingkirkannya dari muka bumi ini berarti kita terbuat
baik terhadap sesama manusia,"
"Tapi tidak bisa disangkal, bahwa dia seorang gagah yang tidak takut mati," Siauw Hoe coba
membujuk lagi. "Soecie, menurut pendapatku, sebaiknya kita memberi ampun kepadanja."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 412
"Tidak bisa !" bentak sang kakak sepenguruan "Dua Soeheng dari Siauw lim pay yang satu
binasa, satu terluka. Sedang dua Tootiang dari Koen loen Pay mendapat luka barat, sedang
dua saudara dari Hay see pay terluka lebih hebat juga. Apa tangannya tidak cukup kejam ?
Sekarang biarlah aku menusuk mata kirinya. Sesudah itu, baru kita menanyakan lagi tempat
sembunyinya Pek Kwie Sioe."
Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat pedangnya lantas menyambar mata kiri Pheng
Hweeshio.
Sekali lagi Kie Siauw Hoe menangkis pedang Soecienya. "Soecie," katanya dengan suara
memohon. "Dia sudah tidak bisa melawan lagi dan jika kita menganiaya dia, aku kuatir partai
kita akin mendapat nama jelek dalam Rimba Persilatan."
Teng Bin Koen mendelik. "Minggir! Jangan perdulikan aku," bentaknya.
Kie Siauw Hoe kelihatan bingung dan berkata pula: "Soecie.... "
"Jangan rewel!" Memutus Bin Koen. "Kalau kau menganggap aku sebagai kakak
seperguruan, kau harus mendengar omonganku."'
"Baiklah," kata nona Kie.
Sekali lagi pedang Teng Bin Koen menyambar mata kiri Pheng Hweeshio. Kali ini ia
menggunakan tiga bagian tenaga Lweekang. Iapun mengerakkan tenaga dalam. "Trang!"
kedua senjata kebentrok dan kedua saudari sepenguruan terhuyung beberapa tindak.
Teng Bin Koen marah besar, "Soemoay !" bentaknya. "beberapa kali dengan mati-matian kau
melindungi pendeta siluman itu. Apa sebenarnya maksudmu ?"
Kie Siauw Hoe tertawa, "Aku hanya ingin meminta supaya Soecie jangan menganiayanya."
jawabnya dengan sabar, "Jikalau kita ingin menyelidiki dimana tempat sembunyinya Pek
Kwie Sioe, kita hanya bisa menanyakan nanti secara perlahan lahan."
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Huh ! Apakah kau kira aku tak tahu jalan pikiranmu ?"
tanyanya dengan nada mengejek. "Berapa kali In Liokhiap dari Boe tong pay mendesak
supaya kau menikah dengannya. Mengapa kau selalu menolak dengan memberikan rupa-rupa
alasan? Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari rumahmu ?"
"Soecie itu adalah urusan soemoay pribadi," kata nona Kie "Mengapa Soecie jadi menyebut
nyebut hal itu ?"
Sang kakak mengeluarkan suara dihidung. "kita sama tahu." katanya. "Di hadapan orang luar,
memang kurang baik jika aku membuka topengmu. Huh! Badanmu berada di Go bie, tapi
hatimu di pihak Mo kauw !"
Mendengar perkataan itu, Siauw Hoe gusar tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah
pucat. "Aku selalu menghormati kau sebagai seorang kakak dan belum pernah aku berbuat
kesalahan terhadapmu," katanya dengan suara gemetar "Tapi mengapa hari ini kau menghina
aku sedemikian hebat?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 413
"Kalau benar-benar hatimu tidak condong, kepada Mo kauw, coba tusaklah mata kiri pendeta
siluman itu." kata Teng Bin Koen.
"Soecie," kata nona Kie dengan suara duka. "Sebagaimana kau tahu, semenjak jaman Siauw
ong-sia Kwee Soecouw (Kwee Siang), di dalam partai kita terdapat banyak sekali wanita yang
tidak mau menikah seumur hidupnya. Oleh karena mengagumi kemuliaan mendiang guru
besar kita, siauwmoaypun telah mengambil keputusan untuk tidak menikah. Siauwmoay
menganggap, hal itu hal yang lumrah saja. Mengapa Soecie mendesak begitu hebat ?"
"Sudah! Aku tak suka dengar segala omonganmu!" bentak Bien Koen. "Jika kau tidak mau
menikam mata pendeta siluman itu, aku akan mencopoti topengmu."
Mendengar ancaman itu, Siauw Hoe kelihatannya tak berani berkeras lagi. "Soecie," katanya
dengan suara halus, "aku memohon kepadamu, soecie, dengan mengingat kecintaan antara
sesama saudara sepenguruan, janganlah kau mendesak aku terlalu hebat."
Wanita she Teng itu tertawa. "Aku bukan memaksa kau mengerjakan pekerjaan yang sulit,"
katanya, "Sebagaimana kau tahu, Soehoe telah memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat
bersembunyinya Kim mo Say ong Cie Soen. Sekarang, pendeta itu adalah orang satu-satunya
yang bisa memberi penerangan kepada kita, tapi dia bukan saja sungkan membantu kita,
malah sudah melukakan juga kawan-kawan kita. Kalau aku menikam mata kanannya dan kau
menikam mata kirinya, bukankah merupakan suatu hal yang sangat wajar ? Mengapa kau
merasa segan tidak mau turun tangan ?"
"Hati siauw moay lembek, tidak bisa turun tangan," jawabnya.
"Apa? Hatimu lembek ?" menyindir Teng Bin Koen.
"Soehoe sering memuji kau sebagai murid yang ilmu pedangnya hebat dan adatnya keras.
Sangat menyerupai adat soehoe sehingga beliau mempunyai niatan untuk mengangkat kau
sebagai akhliwarisnya. Mana boleh hatimu lembek ?"
Apabila dua saudara bertengkar, maka hal itu akan sangat membingungkan orang-orang yang
mendengarkannya, karena mereka tak mengetahui sebab musabab yang sebenarnya dari
percekcokan antara keduanya. Sesudah mendengar perkataan Teng Bin Koen yang paling
belakangan, barulah mereka bisa meraba-raba. Rupanya, Ciang boen jin Go Bie pay Biat coat
Soethay sangat menyayang Kie Siauw Hoe dan berniat untuk mengangkat murid itu menjadi
ahli warisnya. Hal ini kelihatannya sudah menimbulkan rasa jelus dalam hati Teng Bin Koen
yang entah sudah memegang rahasia apa dari adik sepenguruannya sekarang ingin
menghilangkan muka nona Kie di hadapan orang banyak.
Boe Kie yang menyaksikan kejadian itu dari tempat bersembunyinya, merasa gusar sekali. Ia
ingat perlakuan nona Kie yang sangat baik terhadapnya pada hari itu, pada harian kedua orang
tuanya membunuh diri. Ia bergusar dan berduka. Kalau dapat, ia ingin sekali menerjang
keluar dan menggaplok muka si wanita she Teng yang tidak mengenal kasihan.
"Kie Soemoay, aku ingin mengajukan Iagi satu pertanyaan," kata Teng Bin Koen. "Pada tiga
tahun berselang, Soehoe telah mengumpulkan semua murid dipuncak Kim teng, dipuncak
gunung Go bie san dengan maksud untuk mengajar ilmu pedang Bit kiam dan Coat kiam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 414
kepada semua saudara sepenguruan kita. Coba jawab. Kenapa kau tidak hadir dalam
pertemuan besar itu? Mengapa beliau jadi begitu gusar sehingga beliau mematahkan
pedangnya sendiri dan mengatakan bahwa dunia tidak akan mengenal lagi kedua ilmu pedang
itu?"
"Ketika itu, siauwmoay tiba-tiba mendapat sakit berat di Kam cioe, sehingga tak bisa
bangun," jawabnya. "Hal ini siauwmoay sudah memberitahukan kepada Soehoe. Mengapa
Soecie menanyakan pedang itu?"
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Hmm!" ia mengeluarkan suara dihidung. "Kau bisa
memperdayai Soehoe, tapi tak dapat mengabui aku. Aku masih ingin mengajukan sebuah
pertanyaan. Tapi jika kau menikam mata si kepala gundul, pertanyaan itu tidak diajukan
olehku."
Kie Siauw Hoe menundukkan kepala. Ia berduka bukan main. "Soecie," katanya dengan suara
perlahan, "apakah kau tidak ingat Iagi kecintaan antara sesama saudara sepenguruan?"
"Kau mau tikam atau tidak?" tanya sang kakak dengan bengis
"Soecie, kau tak usah kuatir," kata nona Kie dangan suara memohon. "Andaikata aku mau di
jadikan ahliwaris oleh Soehoe, aku tentu akan menolak."
"Bagus" bentak Tang Bin Koen dengan gusar. "Dengan berkata begitu, kau seperti juga mau
mengatakan, bahwa aku menerima budimu yang besar. Cobalah kau unjuk. Dibagian mana
yang aku kalah dari kau? Aku tidak perlu menerima budimu ! Tidak perlu kau mengalah! Eh!
Katakan sekarang. Kau mau tikam atau tidak?"
"Jika Siauwmoay bersalah, Soecie boleh menegur atau menjatuhkan hukuman dan
Siauwmoay akan menerimanya dengan segala senang hati," kata Siauw Hoe. "Disini terdapat
sahabat-sahabat dari lain partai, sehingga kumohon Soecie jangan mendesak terlalu...."
berkata sampai disitu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya, karena air matanya sudah
mulai mengucur.
Teng Bin Koen tertawa dingin. "Huh! Jangan kau berlagak sedih, sedang didalam hati kau
mencaci aku," ejeknya. "Pada tiga tahun yang lalu, apa benar-benar kau mendapat sakit di
Lam cioe? Perkataan dapat memang tak salah, tapi bukan mendapat sakit, hanya mendapat
anak !"
Mendengar kata-kata yang sehebat itu, Kie Siauw Hoe mengeluarkan teriakan menyayat hati.
Ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya. Tapi Teng Bin Koen juga sudah
menduga lebih dulu, lantas saja mengubar dan mencegatnya
"Soemoay, lebih baik kau tikam mata kiri pendeta siluman itu," katanya sambil mengibas
pedang. "Jika kau tetap membantah, aku akan menanya siapa adanya ayah anak itu dan aku
akan menanya, mengapa sebagai murid dari sebuah partai yang lurus bersih, kau melindungi
seorang pendeta siluman dari agama Mokauw secara begitu mati-matian"
"Kau .... kau .... minggir!" bentak nona Kie dengan napas tersengal-sengal.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 415
Sambil menudingkan pedang didada adik seperguruan itu, Teng Bin Koen membentak:
"Jawab pertanyaanku: Dimana kau titip bayimu ? Kau adalah tunangan In Lie heng, In
Liokhiap, tapi mengapa kau melahirkan anak ?"
Kata kata itu, mengejutkan semua orang. Bahkan Boe Kie yang masih kecil juga merasa,
bahwat Kie Siauw Hoe telah dituduh melakukan perbuatan hebat yang menyinggung
kehormatan In Lie Heng.
Paras muka nona Kie berubah pucat bagaikan kertas dan ia menerjang untuk coba meloloskan
diri. Diluar dugaannya, Teng Bin Koen membuktikan ancamannya. Dengan sekali menyodok,
pedangnya amblas di lengan Siauw Hoe, sehingga ujung pedang mengenakan tulang. Sambil
menahan sakit, nona Kie terpaksa menghunus senjatanya dengan tangan kiri.
"Soecie," katanya dengan suara parau, "jikalau kau mendesak terus, aku terpaksa akan berlaku
kurang ajar."
Teng Bin Koen merasa, bahwa sesudah ia membuka rahasia si adik sepenguruan, tentu akan
berusaha untuk membinasakannya guna menutup mulutnya. Maka itu, dengan mengetahui,
bahwa bekal ilmu silatnya masih kalah dari Siauw Hoe, dia segera mengambil suatu
keputusan untuk turun tangan lebih dulu. Sesudah menikam lengan si adik dalam serangan
susulan, ia menusuk kempungan Siauw Hoe.
Melihat Soecienya menyerang pula dengan pukulan yang membinasakan, sambil menahan
sakit, nona Kie menangkis dengan pedang yang dicekal dalam tangan kirinya. Di lain saat
mereka sudah bertempur seru dengan gerakan-gerakan yang luar biasa cepat.
Semua orang yang ada di situ adalah ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi,
karena semua sudah mendapat luka berat, mereka tak berdaya untuk memisahkannya. Diamdiam
mereka merasa kagum akan lihaynya ilmu pedang Go bie pay, yang dikenal sebagai
salah satu dari empat partai besar dalam Rimba Persilatan.
Kie Siauw Hoe bertempur dengan lengan kanan terus mengucurkan darah.
Jilid 22_______________
Beberapa kali Kie Siauw Hoe menerjang dengan pukulan hebat, dalam usaha untuk
mundurkan Soecienya supaya ia bisa melarikan diri, tapi usahanya selalu gagal. Ia gagal
karena tidak biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri dan juga karena, sesudah
mengeluarkan banyak darah, tenaganya berkurang. Untung juga, Teng Bin Koen selamanya
merasa jerih terhadap adik seperguruannya, sehingga ia tidak berani terlalu mendesak. Ia
berkelahi dengan hati-hati sekali sambil menunggu lelahnya Siauw Hoe. Memang juga, makin
lama tindakan nona Kie jadi makin limbung dan gerakan-gerakannya makin lambat. Sesudah
lewat beberapa jurus lagi, lengan kanan Siauw Hoe kembali tertikam dan darah mengucur
makin deras.
"Kie Koauwnio!" tiba-tiba Pheng Eng Giok berteriak. "Tikamlah mataku! Kie Kouwnio,
budimu yang sangat besar tak akan dapat dibalas oleb Pheng Eng Giok !"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 416
Memang juga, rasa terima kasihnya Pheng Hweeshio tidak dapat dilukiskan lagi. Bahwa,
dengan menempuh bahaya Siauw Hoe melindungi seorang musuh, sudah merupakan suatu
perbuatan yang sukar dilakukan.
Dan dalam usaha untuk melindungi musuh, ia telah dicaci dengan kata-kata yang menodakan
nama baik seorang wanita, nama baik yang dipandang lebih penting daripada jiwa.
Tapi kalau sekarang Siauw Hoe menurut perintah dan menusuk mata Pheng Hweesbio, Teng
Bin Koen juga tak akan memberi ampun kepadanya. Kakak seperguruan itu mengerti bahwa
kalau sekarang dia tidak membinasakan si adik seperguruan ia seperti juga menanam bibit
penyakit untuk dikemudikan hari.
Teng Bin Koen menyerang Siauw Hoe. Pheng Hweeshio yang melihat itu segera berteriak
"Teng Bin Koen. kau sungguh manusia tak kenai malu! Tak heran jika orang Kang ouw
memberi gelaran Tok chioe Boe yam kepadamu. Sekarang aku menyaksikan dengan mata
sendiri, bahwa hatimu benar jahat seperti ular dan kalajengking. Huh ! Mukamu jelek seperti
muka Boe yam! Jika semua wanita separti kau, semua lelaki dunia tentu buru-buru mencukur
rambut !"
Sebenarnya, biarpun tidak bias disebut cantik, Teng Bin Koen bukan seorang wanita yang
jelek. Pheng Hweeshio sudah sengaja mencaci begitu dan memberi gelaran "Tok chioe Boe
yam" kepadanya untuk menolong Kie Siauw Hoe. Ia tahu bahwa seorang wanita bisa mata
gelap, jika disinggung kejelekan mukanya. Ia mengharap supaya dalam gusarnya, Teng Bin
Koen membunuh ia sendiri dan Kie Siauw Hoe bisa mendapat kesempatan untuk melarikan
diri.
Tapi wanita she Teng itu ternyata bukan manusia tolol. Ia berpendapat, bahwa sesudah
membinasakan adik seperguruannya, ia masih mempunyai banyak tempo untuk mengambil
jiwa pendeta itu. Maka itulah, tanpa meladeni cacian orang, ia terus menyerang dengan hebat.
"Dalam dunia Kang ouw, siapakah yang tak tahu kesucian Kie Liehiap," teriak pula Pheng
Hweeshio. "Teng Bin Koen, sekarang aku mau membuka rahasiamu. Kaulah, manusia muka
jelek, yang sebenarnya maui In Lie Heng ! Karena In Liokhiap tidak meladeni, kau
memfitnah Kie Liehiap. Ha ha ha! Tulang pipimu begitu tinggi ! Mulutmu sebesar panci!
Kulitmu kering dan kuning, sedang badanmu kurus jangkung seperti gala jemuran! Ha ha ha !
In Liokhiap yang begitu tampan mana mau mengambil kau sebagai isterinya? Kau sebenarnya
harus lebih sering berkaca ...."
Meskipun pintar, Teng Bin Koen kalap juga. Mendengar sampai disitu, ia tidak dapat
mempertahankan ketenangannya lagi. Ia melompat sambil mengayun pedang yang diturunkan
kemulut Pheng Hweeshio.
Memang benar tulang pipi nona Teng agak tinggi, mulutnya agak besar, kulitnya agak hitam
sedang badannya agak jangkung. Tapi kekurangan-kekurangan itu, yang tidak banyak, tidak
terlihat nyata, jika tidak diperhatikan.
Tapi Pheng Hweeshio yang bermata tajam sudah bisa melihat itu semua dan ia lalu mengejek
secara berlebih-lebihan. Apa yang membuat Teng Bin Koen kalap ialah disebut-sebutnya
nama In Lie Heng, yang belum pernah dikenal olehnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 417
Mendadak dari dalam hutan berkelebat satu bayangan manusia yang sambil membentak keras,
mengadang didepan Pheng Hweeshio, sehingga pedang Teng Bin Koen yang tengah
menyambar menancap tepat dilehernya. Hampir berbareng tangan orang itu menghantam dan
"buk!" mengenakan dada Teng Bin Koen yang lantas saja terhuyung beberapa tindak dan
mulutnya memuntahkan darah. Pedang yang dilepaskan oleh nona Teng tetap menancap
dileher orang itu yang rupanya sudah tak bisa hidup lebih lama lagi.
See Leng coo maju dua tindak dan mengawasi orang itu. "Pek Kwie Sioe" teriaknya.
Orang itu memang Pek Kwie Sioe, Tancoe dari Hian boe tan.
Sesudah terluka berat, ia mendapat tahu, bahwa untuk melindungi dirinya, Pheng Hweeshio
telah dikepung oleh orang-orang Siauw lim, Koen loan, Go bie dan Hay see pay. Maka itu,
dengan sekuat tenaga ia datang ketempat pertempuran dan menggantikan Hweeshio itu untuk
menerima tikaman Teng Bin Koen. Tapi pukulannya yang terakhir masih hebat luar biasa,
sehingga beberapa tulang rusuk Teng Bin Koen menjadi patah.
Sesudah menenteramkar hatinya. Kie Siauw Hoe lalu merobek tangan bajunya untuk
membalut luka dilengannya dan kemudian, dengan pedangnya, ia memutuskan tambang yang
membelenggu kaki tangan Pheng Hweeshio. Sesudah itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia
memutar badan dan berjalan pergi.
"Kie Kouwnio, tahan!" seru si pendeta, "Terimalah hormatnya Pheng Hweeshio."
Buru-buru Kie Slauw Hoe melompat kesamping untuk menolak pemberian hormat pendeta itu
yang berlutut ditanah.
Begitu bangun berdiri si pendeta segera menjemput pedang See long coe dan berkata:
"Manusia yang sudah merusak nama baik Kie Kouw nio tidak boleh dibiarkan hidup terus."
Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang dan menikam tenggorokan Teng Bin Koen.
Bagaikan kilat nona Kie menangkis pedang itu. "Dia adalah kakak seperguruanku," katanya
"Biarpun dia tidak menyintai aku, aku sendiri tak bisa tidak mengenal pribudi."
"Kalau sekarang tidak dibunuh, dibelakang hari dia bisa menyebabkan munculnya banyak
kesukaran bagi Kie Kouwnio," kata si pendeta.
Air mata Siauw Hoe lantas saja mengucur. "Aku seorang wanita yang bernasib paling buruk
dalam dunia ini," katanya dengan suara sedih: "Biarlah, biarlah aku menyerahkan saja segala
apa kepada nasib. Pheng Soehoe, jangan kau melukakan Soe cieku!"
"Perintah Kie Lihiap sudah tentu tidak akan dilanggar olehku," kata Pheng Hweeshio sambil
membungkuk.
"Soecie, kuharap kau bisa menjaga diri baik baik" kata Kie Siauw Hoe dengan suara perlahanlahan
kemudian, sesudah memasukkan pedangnya kedalam sarung, ia segera berlalu tanpa
menengok lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 418
Sesudah nona Kie pergi jauh, Pheng Hweeshio segera berkata kepada See leng coe dan yang
lain lain : "Aku siorang she Pheng sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apapun jua
dengan kamu sekalian. Akan tetapi, fitnah hebat yang dilontar kan oleh si perempuan she
Teng telah didengar oleh kamu semua. Kalau cerita ini sampai tersiar diluaran, bagaimana Kie
Kouwnio bisa berdiri terus diatas bumi ini? Maka itu, tak bisa aku membiarkan kamu hidup
terus. Hal ini sudah terjadi lantaran terpaksa dan aku harap kamu jangan menyalahkan aku."
Sehabis berkata begitu, dengan beruntun ia menikam See leng coe, See ciat coe, seorang
pendeta Siauw lim dan dua jago Hay see pay. Kemudian barulah ia menggores muka Teng
Bin Koen dengan pedangnya, sehingga wanita she Teng itu menjadi kalap, tapi tidak bisa
berbuat banyak, karena ia sudah terluka hebat. "Bangsat gundut !" teriaknya. "Jangan kau
menyiksa aku ! Bunuhlah !"
Pheng Hweeshio tertawa nyaring: "Aku tidak berani membunuh perempuan jelek yang
kulitnya kering dan mulutnya lebar," ejeknya. "Kalau kau mampus aku kuatir begitu lekas
rohmu masuk di akhirat, berlaksa laksa setan akan kabur kedunia sebab ketakutan. Akupun
kuatir Giam Loo Ong berak-berak bahna kagetnya !"
Sehabis berkata begitu, ia tertawa nyaring dan melemparkan pedang ditanah dan sesudah
menanggul mayat Pek Kwie Sioe, ia menangis keras akan kemudian berlalu dengan tindakan
cepat.
Untuk beberapa lama Teng Bin Koen mengaso dengan napas tersengal-sengal. Kemudian
deegan menggunakan sarung pedang sebagai tongkat, iapun berlalu dengan tindakan limbung.
Peristiwa yang hebat itu telah disaksikan semua oleh Siang Gie Coen dan Boe Kie. Sesudah
Teng Bin Koen berlalu, barulah mereka menarik napas lega.
"Siang Toako," kata Boe Kie. "Kie Kouwnio adalah tunangan In Lioksiok. Perempuan she
Teng itu mengatakan, mendapat anak. Siang Toako, bagaimana pendapatmu, apa benar atau
tidak'?"
"Dia omong kosong, jangan dipercaya!" jawabnya.
"Benar!" kata Boe Kie. "Kalau bertemu In Liok siok, aku akan memberitahukan kekurang
ajaran perempuan she Teng itu, supaya Lioksiok bisa menghajarnya."
"Jangan! Jangan !" cegah Gie Coen tergesa gesa. "Hal itu kau sekali-kali tidak boleh
memberitahukan In Lioksiok. Kau mengerti!"
"mengapa?" tanya si bocah.
"Omongan-omongan yang tidak sedap itu tidak boleh diberitahukan kepada siapapun juga,"
jawabnya. "Ingatlah. Kau tidak boleh bicara dengan siapapun juga."
Boe Kie mengangguk sambil mengawasi muka Gie Coen. Beberapa saat kemudian, ia berkata
pula: "Siang Toako, apa kau kuatir tuduhan Teng Bin Koen suatu kenyataan ?"
Gie Coen menghela napas. "Tak tahu," jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 419
Pada keesokan paginyaq jalanan darah Gie Coen yang tertotok terbuka sendirinya dan ia lalu
mendukung Boe Kie, siap sedia untuk meneruskan perjalanan. Sambil mengawasi mayat
mayat yang menggeletak ditanah, ia berkata didalam hati: "Sesudah belasan tahun, Cia Soen
menghilang, tapi karena gara-garanya, orang-orang Rimba Persilatan masih terus
mengorbankan jiwa. Hai! Sampai kapan urusan ini baru menjadi beres ?"
Sesudah banyak mengasoh, sebagian tenaga Gie Coen pulih kembali. Rasa sakit dalam
badannya banyak berkurang dan ia bisa berjalan terlebih cepat. Sesudah melalui beberapa li
mereka bertemu jalanan raya. Gie Coen agak terkejut. "Ouw Soe peh berdiam di tempat yang
sepi. tapi mengapa aku bertemu dengan jalanan raya?" tanyanya di dalam hati. "Apa nyasar?"
Baru saja ia mau mencari penduduk dusun untuk menanyakan, tiba tiba terdengar suara
tindakan kuda dan empat orang serdadu Mongol mengubar dari belakang. "Lekas jalan! Lekas
jalan!" teriak mereka sambil mengacung acungkan senjata seolah olah menggebah binatang.
"Tak dinyana aku mesti mati ditempat ini," mengeluh Gie Coen. Karena lukanya, ilmu
silatnya sudah musnah semua. Sekarang ia malah tidak dapat melawan seorang serdadu
Mongol biasa.
Maka itu sambil menahan amarah, ia terpaksa berjalan terus.
Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan sejumlah penduduk yang juga digiring oleh
serdadu serdadu Mongol. Dalam hati mereka lantas saja muncul sedikit harapan. Sekarang
ternyata, bahwa serdadu-serdadu itu sedang memperlihatkan kekejamannya terhadap rakyat
jelata dan bukan mereka yang dijadikan bulan-bulanan.
Melihat bahaya, Boe Kie segera berbisik: "Siang Toako, lekas kau berlagak jatuh dan buang
golokmu."
Gie Coen tersadar. Sesudah berjalan beberapa tindak lagi, ia pura-pura terpeleset dan
menggulingkan diri dirumput sambil melepaskan golok yang disisipkan dipinggangnya.
Sesudah itu, ia merangkak bangun dan berjalan lagi dengan napas tersengal sengal. Selagi ia
lewat didepan seorang perwira Mongol, seorang Han yang jadi juru bahasa berteriak:
"Bangsat! Kau sungguh tidak tahu adat. Lekas berlutut dihadapan Tayjin!"
Mengingat Cioe Coe Ong serumah tangga telah dibinasakan oleh tentara Mongol, darah Siang
Gie Coen lantas saja naik tinggi dan biarpun mesti mati, ia tak sudi menekuk lutut. Ia jalan
terus dengan berlagak tuli. Seorang serdadu Mongol mengudak dan menyapu kakinya
sehingga ia jatuh terguling.
"She apa kau?" bentak si juru bahasa.
Sebelum Gie Coen sempat memberi jawaban, Boe Kie sudah mendahului berkata: "She Cia,
dia kakakku"
Serdadu itu lalu menendang punggung Boe Kie seraya membentak: "Pergi!"
Bukan main gusarnya Gie Coen. Sambil merangkak bangun, ia bersumpah didalam hati,
bahwa sebegitu lama ia masih hidup, ia akan berusaha dengan seantero tenaganya untuk
mengusir bangsa Mongol dari daerah Tionggoan. Dalam keadaan tidak berdaya, buru-buru ia
mendukung pula Boe Kie dan berlalu cepat-cepat. Baru berjalan beberapa puluh tombak, tiba
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 420
tiba mereka mendengar teriakan teriakan menyayat hati. Mereka menengok dan melihat
puluhan rakyat sedang dibunuh oleh tentara Mongol.
Sepanjang sejarah, selama penjajahan kerajaan Goan (Mongol), rakyat banyak memberontak.
Belakangan, seorang pembesar tinggi Mongol telah mengeluarkan perintah untuk membunuh
orang orang Han, yang she Thio, Ong, Lauw, Lie dan Tio. Semuanya lima she. Pada jaman
itu, orang she Thio, Ong, Lauw dan Lie yang paling banyak terdapat di Tionggoan, sedang
she Tio adalah she dari kaizar-kaizar Song. Maka itu, menurut jalan pikiran si pembesar
Mongol, bangsa Han akan runtuh semangatnya jika orang-orang dari kelima she itu dibunuh.
Untung juga, perintah yang sangat kejam itu cepat diketahui oleh kaizar Mongol yang segera
mengeluarkan larangannya. Tapi sementara itu, banyak juga orang Han yang dibunuh mati.
Gie Coen tidak berani berdiam lama lama lagi dan lalu berjalan secepat cepatnya. Sesudah
melalui beberapa mereka bertemu dengan seorang penjual kayu bakar dan mereka lalu
menanyakan dimana letaknya Ouw tiap kok. Orang itu meng gelengkan kepala. Tapi Gie
Coen segera mengetahui, bahwa Soepehnya mesti berdiam disekitar tempat itu.
Dengan sabar ia lantas saja mencari-cari. Di sepanjang jalan mereka melihat ratusan macam
bunga yang menghiasi daerah pegunungan itu. Tapi sesudah menyaksikan peristiwa yang
menyedihkan itu, mereka tak punya kegembiraan Iagi untuk menikmati pemandangan alam
yang sangat indah.
Sesudah membelok dibeberapa tikungan, disebelah depan menghadang sebuah tembok
gunung dan jalanan putus disitu. Selagi mereka kebingungan, mendadak muncul beberapa
ekor kupu-kupu yang terbang masuk kesebuah gerombolan pohon-pohon kembang.
"Tempat ini dinamakan Ouw tiap kok, atau Selat Kupu-kupu," kata Boe Kie. "Apa tidak baik
kita mengikuti kupu-kupu itu?"
"Baiklah," kata Gie Coen yang lalu turut masuk kegerombolan pohon itu.
Sesudah melewati gerombolan pohon bunga, mereka bertemu dengan sebuah jalanan kecil
yang tertutup rumput hijau. Setelah berjalan beberapa jauh, jumlah kupu kupu yang
beterbangan disekitar situ jadi makin banyak. Hidung mereka mengendus harumnya bungabunga.
Kembang-kembang yang tumbuh disekitar situ sangat berbeda dengan apa yang
terlihat ditempat lain. Makin jauh mereka maju kupu-kupu makin tidak takut manusia.
Mereka terbang mendekati seolah olah menyambut kedatangan tamu-tamu dan hinggap
dikepala, dipundak, dilengan Gie Coen dan Boe Kie.
Gie Coen dan Boe Kie jadi bersemangat, karena mereka tahu, bahwa mereka sudah berada
dalam selat Ouw tiap kok.
Lewat tengah hari, mereka melihat tujuh-delapan rumah gubuk dipinggir sebuah solokan yang
airnya`jernih. Didepan, dibelakang dan dikiri kanan setiap gubuk ada dikurung dengan kebun
kembang yang terawat baik.
Gie Coen berlari-lari kedepan gubuk-gubuk itu dan berkata dengan suara menghormat:
"Teecoe Siang Gie Coen ingin berjumpa dengan Ouw Soepeh."
Selang beberapa saat, dari sebuah gubuk keluar seorang kacung yang berkata: "Masuklah."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 421
Sambil mendukung Boe Kie, Gie Coen segera bertindak masuk. Disatu sudut dari ruangan
tengah kelihatan berdiri seorang lelaki setengah tua yang berparas agung. Ia ternyata sedang
menilik seorang kacung yang lagi memasak obat. Seluruh ruangan itu penuh dengan macammacam
daun obat yang aneh aneh. Buru-buru Gie Coen menaruh Boe Kie diatas kursi dan
lalu berlutut di hadapan orang itu,
"Ouw Soepeh, Gie Coen memberi hormat," katanya.
Boe Kie mengawasi orang itu yang tentulah juga bukan lain daripada Tiap kok Ie sian Ouw
Ceng Goe.
Tabib malaikat itu manggut-manggutkan kepalanya dan berkata : "Urusan Cioe Coe Ong, aku
sudah tahu. Itulah nasib. Mungkin sekali, rejeki Tatcoe masih belum habis dan agama kita
belum sampai waktunya untuk bisa memperoleh kemakmuran"
Sehabis berkata begitu, ia memegang nadi Gie Coen dan membuka baju pemuda itu. Sambil
mengawasi dada si berewok, ia berkata: "Kau kena pukulan Ciat sim ciang dari Hoan ceng.
Pada hakekatnya, pukulan itu tidak sukar di obati. Tapi sesudah terpukul, kau menggunakan
terlalu banyak tenaga, sehingga hawa dingin menyerang jantungmu dan sebagai akibatnya,
aku memerlukan agak lebih banyak tempo untuk menyembuhkannya." Sesudah memberi
penjelasan, ia meraba-raba sekujur badan Gie Coen.
"Dengan siapa kau bertempur tadi malam?" tanya Ceng Goe secara tiba-tiba. "Dengan murid
Boe tong pay?"
"Tidak," jawabnya.
Sang paman segera meraba-raba kedua paha Si brewok. Sekonyong-konyong paras mukanya
berubah dan membentak: "Gie Coen! Tujuh delapan tahun kita tidak pernah bertemu muka.
Sekali bertemu, kau coba memperdayai Soepehmu. Sudahlah! Aku tidak bisa mengobati
lukamu. Pergi!"
Gie Coen jadi bingung. "Ouw Soepeh," katanya, "mana berani aku mendustai kau? Dengan
sesungguhnya, sepanjang malam aku tidak pernah bertempur dengan siapapun jua. Tenagaku
sudah habis semua. Andaikata aku ingin, akupun tidak bisa berkelahi!"
"Omong kosong!" bentak sang paman guru "Terang-terang, Hoan tiauw hiat dikedua pahamu
telah ditotok orang. Dan totokan itu dilakukan dengan ilmu menotok dari Boe tong pay.
Tempo nya yalah antara Coe sie dan Tio sie," (Coe sie antara jam 11 malam dan jam 1. Tio
sie Antara jam 1 dan jam 3 pagi).
Mendadak si brewok tertawa. "Ah ! Kalau begitu, yang dimaksudkan Soepeh yalah jalanan
darah yang ditotok olehku sendiri," katanya. Dengan ringkas ia lalu menceritakan kejadian
semalam.
Waktu Gie Coen menuturkan cara bagaimana ia sudah diabui Boe Kie, Ceng Goe melirik
bocah itu dan waktu ia menceritakan cara bagaimana mata kanan Pheng Hweeshio telah
ditusuk oleh Teng Bin Koen, sang paman guru menghela napas berulang ulang dan berkata:
"Pheng Eng Giok Hweeshio adalah seorang gagah sejati dari agama kita. Biarpun kita tidak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 422
segolongan dengan dia, tapi kita harus mengaku, bahwa dia itu seorang manusia yang jarang
terdapat dalam dunia ini. Kalau begitu ditusuk, ia bisa segera datang kepadaku, mungkin
sekali mata kanannya tidak sampai menjadi buta. Tapi sekarang sudah tidak dapat diobati
lagi."
Ia menengok kepada Boe Kie dan berkata pula: "Dari mana kau belajar ilmu Tiam Toat Boe
tong pay?"
"Soepeh." kata Gie Coen, "saudara kecil itu adalah putera Thio Ngohiap dari Boe tong pay."
Ouw Ceng Goe kaget dan paras makanya lantas saja berubah gusar. "Murid Boe tong pay?" la
menegas, "Perlu apa kau membawa dia kemari?"
Gie Coen lantas saja menuturkan cara bagaimans Thio Sam Hong telah menolong dia dan
puteri Cioe Coe Ong waktu mereka diubar-ubar oleh kaki tangannya kaizar Goan disungai
Han soei. Sesudah selesai bercerita, ia akhirnya berkata: "Sesudah menanggung budi yang
begitu besar teecoe memohon supaya Soepeh suka membuat kecualian dan sudilah Soepeh
menolong jiwa saudara kecil ini."
Sang paman guru mengeluarkan suara dihidung, "Gie Coen, kau sungguh seorang yang royal
dengan janji-janjimu," ejeknya. "Hem.... yang ditolong Thio Sam Hong adalah kau, bukan
aku. Lagi kapan aku pernah membuat kecualian dalam kebiasaanku?"
Gie Coen segera berlutut dan manggutkan kepalanya berulang-ulang. "Soepeh." katanya,
"ayah saudara kecil itu adalah seorang laki-laki sejati yang lebih suka menggorok leher dari
pada menjual sahabat. Dia sendiri, meskipun masih kecil, mempunyai jiwa seorang kesatria.
Teeeoe menjamin, bahwa dia seorang baik."
"Apa? Orang baik?" Ceng Goe mengejek pula. "Ada berapa banyak orang baik dalam dunia?
Kalau dia bukan murid Boe tong pay, masih tidak apa. Dia murid sebuah partai yang lurus
bersih, mengapa dia harus meminta pertolongan dari agama sesat ?"
"Ibu saudara Thio adalah puteri Peh bie Eng ong In Kauwcoe," kata Gie Coen. "Dengan
demikian, dapatlah dikatakan, separuh badannya adalah dari agama kita."
Mendengar keterangan itu, hati Ouw Ceng Goe tergerak juga: "Oh, begitu. Kau bangunlah."
kataanya, "Dia putera In So So dari Peh bie kauw. Kalau begitu lain urusan." Ia lalu
mendekati Boe Kie dan berkata dengan suara hangat. "Anak, aku selamanya mentaati
peraturan bahwa aku tidak akan menolong orang orang dari partai lurus bersih. Ibumu adalah
anggauta dari agama kita. Tapi sebelum mengobati, aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah
sembih, kau harus pulang ketempat kakekmu, yaitu Peh bie Eng ong ln Kauwcoe, dan kau
harus masuk kedalam agama Peh bie kauw. Dengan lain perkataan, kau harus meninggalkan
partai Boe tong pay"
Sebelum Boe Kie menjawab, Gie Coen sudah mendahului. "Soepeh, hal itu tidak bisa
kejadian. Sebelum menyerahkan saudara Thio kepada Teecoe, Thio Sam Hong Thio Cinjin
sudah mengatakan terang terangan, bahwa kita tidak boleh memaksa dia masuk kedalam
agama kita dan juga andaikata dia sembuh, Boe tong pay tidak menanggung budi dari agama
kita"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 423
Kedua mata Ouw Ceng Goe lantas saja mendelik dan darahnya naik, "Huh ! Manusia apa
Thio Sam Hong !" bentaknya. "Dia begitu memandang rendah kepada kita, perlu apa kau
membantu dia. Anak, bagaimana keputusanmu sendiri ?"
Boe Kie mengerti bahwa ia sedang menghadapi soal mati atau hidap. Sesudah kakek gurunya
tidak berdaya untuk menolong harapan satu-satu nya ialah Ouw Ceng Goe. la tahu, kalau ia
tidak dapat meluluskan apa yang diminta oleh Tiap kok Ie Sian, jiwanya pasti tak akan bisa
ditolong lagi. Ia sendiri sebenarnya masih tak tahu apa kejelekan atau kebusukan "agama"
sesat yang begitu di benci oleh sang kakek guru dan semua paman pamannya. Tapi karena ia
sangat mencintai dan menghormati kakek gurunya, maka ia lantas saja mengambil keputusan,
bahwa ia lebih baik mati dari pada melanggar pesanan orang tua itu.
Tanpa bersangsi lagi, dengan suara lantang ia menjawab. "Ouw Sinshe, ibuku ialah Hio coe
dari Peh bie kauw dan aku pribadi menganggap bahwa Peb bie kauw adalah agama baik.
Akan tetapi, sebab Thay soehoe melarang aku masuk kedalam Mo kauw dan aku sendiri
sudah menyanggupi, maka sebagai laki laki, tak dapat aku menarik pulang janjiku itu. Jika
kau tak sudi mengobati aku, akupun tidak bisa berbuat apa apa. Kalau lantaran takut mati, aku
menurut apa yang diminta olehmu, maka aku akan menjadi seorang manusia yang tidak
mempunyai kepercayaan, dan dari pada jadi manusia semacam itu, lebih baik aku berpulang
ke alam baka."
Ouw Ceng Goe mendongkol bukan main. "Gie Coen," katanya. "Bawa, dia pergi! Didalam
rumah Ouw Ceng Goe tidak boleh ada orang mati lantaran sakit."
Gie Coen jadi bingung. Ia mengenal benar adat Soepehnya Jika ia telah berkata "tidak",
perkataannya tidak bisa diubah lagi.
"Saudara kecil," katanya dengan suara membujuk. "Biarpun Mo kauw agak berbeda dengan
partai-partai yang lurus bersih, akan tetapi, semenjak jaman kerajaan Tong sampai sekarang,
dalam kalangan kami setiap turunan selalu muncul orang gagah sejati. Apa pula kakek luarmu
adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw sedang ibumu sendiri Hio coe dari agama tersebut.
Saudara kecil, luluskanlah permintaan Ouw Soepeh. Di hari kemudian aku akan bertanggung
jawab dihadapan Thio Cinjin."
"Baiklah," kata Boe Kie. "Siang Toako, ketuklah tulang punggungku yang kedelapan dan
ketiga belas dengan kuku jarimu, ketuklah beberapa kali"
Gie Coen menjadi girang dan lalu melakukan apa yang diminta. Di luar dugaannya begitu
kedua tulang punggungnya diketuk, si bocah lantas saja menggerakkan kedua kakinya. Ia
bangun berdiri seraya berkata kepadanya "Siang Toako. Kau telah berbuat apa yang kau bisa.
Dibelakang hari Thay Soehoe tak bisa menyesalkan kau." Ia memutar badan dan berjalan
keluar dengan tindakan lebar.
Si brewok kaget. "Mau kemana kau?" teriaknya.
"Kalau aku mati di Ouw tiap kok, bukankah nama Tiap kok Ie sian akan menjadi rusak?"
jawabnya. Sambil berkata begitu, ia kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 424
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Nama Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe sudah kesohor di
kolong langit." katanya. "Bukan baru satu orang yang roboh binasa diluar rumahnya." (Kian
sie Poet kioe artinya Melihat kebinasaan tetap tidak menolong).
Tanpa menghiraukan perkataan Soepehnya, Gie Coen segera mengubar. Mereka kedua
duanya sama sama mendapat luka, tapi luka Cie Goan banyak lebih enteng dan tenaganya pun
banyak lebih besar. Maka itu, dalam beberapa saat saja ia sudah bisa menyandak Boe Kie
yang lalu dipeluknya dan dibawa balik kerumah paman guruya.
Dengan kedua tangan belum bisa bergerak, si bocah tidak berdaya lagi.
"Ouw Soepeh apa benar benar kau tidak mau menolong?" tanya Gie Coen dengan napas
tersengal sengal.
"Apa kau tidak tahu, bahwa aku bergelar Kian sie Poet kioe?" Sang paman balas menanya.
"Perlu apa kau melit melit?"
"Tapi apakah Soepeh bersedia untuk mengobati luka didalam tubuhku?" tanya pula Siang Gie
Coen.
"Tentu." jawabnya.
"Bagus!" kata si brewok girang. "'Teecoe telah berjanji kepada Thio Cinjin nntuk menolong
saudara kecil ini. Sesudah memberi janji itu, tee coe tak mau orang-orang partai sana
mengatakan bahwa murid-murid Mo kauw tidak boleh dipercaya. Maka itu, begini saja,
Teecoe tak usah di obati oleh Soepeh, tapi teecoe memohon supaya Soepeh sudi mengobati
saudara kecil dengan demikian, satu ditukar dengan satu dan Soepeh tidak jadi rugi."
"Kau tahu bagaimana hebatnya Ciat sim ciang ?" tanya sang paman guru dengan paras
sunguh-sungguh. "Sesudah kena pukulan itu, jika didalam tempo tujuh hari, kau mendapat
pertolongan seorang tabib kelas satu, maka lukamu akan menjadi sembuh. Sesudah lewat
tujuh hari, hanya jiwamu yang dapat ditolong, sedang ilmu silatmu akan musna seanteronya.
Sesudah lewat empat belas hari, tak satu tabibpun yang akan bisa menolong jiwamu."
"Ya, itulah karena meskipun melihat kebinasaan, Soepeh tidak sudi menolong," jawabnya,
"Teecoe rela mati dan takkan merasa menyesal."
"Aku tak sudi ditolong olehmu!" teriak Boe Kie. "Tak sudi! Kau mengerti?" la menengok
kearah siberewok dan berkata: "Siang Toako, apa kah kau rasa Boe Kie manusia rendah? Kau
menukar jiwamu dengan jiwaku. Andaikan aku hidup, aku akan hidup menderita. Tak bisa
ada kejadian begitu !"
Gie Coen adalah laki-laki tulen. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia membuka tali
pinggangnya yang lalu digunakan untuk membelenggu kaki tangan Boe Kie dan kemudian
mengikatkan kesebuah kursi.
"Lepas ! Lepas !" teriak bocah itu. "Kalau kau tidak lepas, aku akan mencaci."
Si berewok tidak menggubris.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 425
"Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe!" teriak Boe Kie. "Kau sungguh seperti kerbau tolol! Kau
lebih rendah daripada binatang. Aku sedih, bahwa didalam Mo kauw terdapat manusia yang
tidak bersifat manusia. Dan kau masih begitu tak mengenal malu, kau masih ada muka untuk
membujuk aku masuk kedalam agamamu. Entah dosa apa yang ditumpuk oleh delapan belas
leluhurmu, sehingga pada akhirnya, mereka mendapat turunan seperti kau, manusia yang
lebih rendah dari pada anjing dan babi !"
Sesudah selesai mengikat Boe Kie, Gie Coen segera berkata : "Ouw Soepeh, saudara Thio,
selamat tinggal! Aku sekarang ingin mencari tabib."
"Di seluruh propinsi An hoei tidak terdapat tabib yang pandai," kata Ceng Goa. "Dan didalam
tujuh hari, belum tentu kau bisa keluar dari propinsi ini."
Si brewok tertawa terbahak-bahak. "Aku mempunyai Soepeh melihat kebinasaan, tak sudi
menolong," katanya. "Dan kau mempunyai Soetit (keponakan murid) yang tidak mengenal
mampus." Seraya berkata begitu, dengar tindakan lebar ia berjalan keluar.
"Ouw Ceng Goe !" bentak Boe Kie. "Kalau kau tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau
pasti akan binasa didalam tanganku ! Aku...aku.."
Ia tidak dapat meneruskan perkataannya, karena ia sudah pingsan.
Ceng Goe mengeluarkan suara dihidung. "Tak perlu kau mampus diluar rumahku," katanya
seraya mengambil sebatang daun obat yang lain di timpukkan kearah Gie Coen. Batang daun
obat itu menyambar bagaikan kilat dan mengenakan tepat dilutut si berewok, yang tanpa
mengeluarkan suara, segera roboh terguling dan tidak bisa bangun lagi.
Memang aneh sungguh adat Ouw Ceng Coe. Kalau dia kata "tidak" tetap tidak, kalau dia
"mau", dia tetap mau. Perkataan Boe Kie yang paling belakang, yakni aneaman "kalau kau
tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau pasti akan binasa didalam tanganku", agak
mengejutkan hatinya. Melihat kegagahan Boe Kie dan mengingat bahwa anak itu murid Thio
Sam Hong, ia merasa bahwa ancaman itu bukan ancaman kosong. Ia seorang yang sangat
berhati-hati. Sesudah memikir sejenak berkata dalam hatinya: "Biarlah, kedua-duanya tidak
ditolong olehku. Perduli apa jika di Ouw tiap kok bertambah dengan dua setan penasaran"
Sesudah menimpuk Gie Coen, ia segera membuka ikatan Boe Kie dan mencekal kedua
pergelangan tangan anak itu untuk dilontarkan sejauh jauhnya keluar.
Mendadak Ceng Goe terkejut, karena denyutan nadi si bocah sangat luar biasa. Ia segera
memeriksa lebih teliti dan rasa kagetnya bertambah tambah.
"Apakah bocah sekecil dia sudah bisa membuka Kie keng Pat meh" tanyanya dalam hati.
"Puluhan tahun aku berlatih, tapi belum dapat aku membuka pembuluh darahku. Oh, aku
tahu! Tak salah lagi, inilah akibat bantuan Thio Sam Hong. Dia rupanya sangat sayang bocah
itu dan rela mengorbankan sebagian Lweekangnya."
Ia lalu membuka pakaian Boe Kie dan memeriksa seluruh badannya. Sesudah itu, ia menekan
tantian, dada, embun-embunan dan hati si bocah. Akhirnya ia tertawa dingin seraya berkata :
"Thio Sam Hong berlagak pintar, tapi dia jadi bodoh. Lantaran menyayang, dia mencelakakan
cucu muridnya. Jikalau Kie keng Pat meh anak ini belum terbuka, jiwanya masih dapat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 426
ditolong. Tapi sekarang, racun dingin sudah buyar dan masuk ke dalam isi perutnya. Kecuali
dewa, manusia biasa tak berdaya lagi. Huh huh! Kata orang, Boe tong Thio Sam Hong
berkepandaian luar biasa tinggi. Tapi menurut penglihatanku, dia goblok berlapis dungu."
Beberaga saat kemudian, Boe Kie tersadar, dan melihat Ouw Ceng Goe sedang mengawasi
api dapur obat dengan mata membelalak, sedangkan Siang Gie Coen masih juga menggeletak
di jalanan berumput, diluar rumah. Keadaan begitu sunyi senyap untuk beberapa lama, tak
seorangpun membuka mulut.
Ouw Ceng Goe adalah seorang tabib yang telah mencurahkan seluruh penghidupannya untuk
mempelajari ilmu ketabiban. Kalau dia senang dengan mudah dia dapat menyembuhkan
penyakit yang aneh-aneh. Oleh karena itu, ia mendapat gelaran "Ie sian," atau "Tabib Dewa."
Tapi, ia sekarang menghadapi racun yang sangat langka, yaitu racun dingin dari pukulan Hian
beng Sin ciang. Apa yang lebih luar biasa lagi, yalah pembuluh darah dari orang yang terkena
racun itu, terbuka semuanya, sehingga racun tersebut sudah masuk kedalam perutnya.
Sebagaimana diketahui, dalam dunia ini, orang orang sangat sukar mendapat lawan yang
setimpal. Seorang ahli catur jempoan sukar mendapat lawan yang seimbang. Jika menemui
lawan begitu, ia bisa lupa makan dan lupa tidur. Seorang ahli hitung juga pasti tak akan
menyerah kalah sebelum dapat memecahkan teka teki hitungan yang sulit. Hal yang sama
sekarang dihadapi oleh Ouw Ceng Coe. Penyakit Boe Kie merupakan tantangan baginya. Ia
sungkan mengobati Boe Kie tapi tantangan itu terlalu hebat untuk bisa dielakkan dengan
begitu saja.
Tanpa merasa, ia mengasah otak, Beberapa lama, ia mengasah otak, tanpa berbasil. Akhirnya
dengan geregetan, ia berkata didalam hatinya: "Baiklah. Lebih dulu aku akan menyembuhkan
penyakitnya. Aku pasti bisa menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh, masih banyak tempo
untuk membinasakannya."
Sesudah memeras pikiran sejam lebih, ia mengeluarkan dua belas kepingan kecil tembaga dari
sakunya. Sambil mengerahkan Lweekang, ia menancapkan kepingan-kepingan logam
tembaga itu di Tiongkie hiat (sebelah bawah tantian), di Thian touw hiat (sebelah bawah
leher), di Cian keng hiat (dipundak) dan dilain lain jalan darah disekujur badan Boe Kie.
Sesudah kepingan tembaga itu ditancapkan, maka duabelas Keng siang meh terputus
hubungannya dengan Kie keng Pat meh. Keng siang meh ialah hati, paru paru, nyali ginjal,
usus besar, usus kecil dan lain lain, ialah dua belas macam isi perut dalam tubuh manusia.
Sesudah Keng siang meh terputus hubungannya dengan Kie keng Pat meh, maka racun dingin
yang sudah masuk kedalam isi perut Boe Kie tidak bisa naik lagi kepembuluh darah dan untuk
sementara, tidak berbahaya lagi.
Sesudah membuka semua jalanan darah yang tertotok di kaki tangan Boe Kie, dengan
menggunakan batang rumput Tin ngay, Ouw Ceng Goe lalu membakar In boen hiat dan Tiang
hoe hiat dipundak sibocah. Kemudian, ia lalu membakar berbagai jalanan darah dari lengan
sampai dijempol tangan, seperti Thian hoe hiat, Hiap pek hiat, Cek tek hiat dan sebagainya.
Setiap pembakaran disaban jalanan darah mengurangi racun dingin yang mengeram dalam isi
perut Boe Kie. Tapi cara itu, yaitu menggunakan hawa panas untuk melawan hawa dingin,
menimbulkan kesakitan luar biasa dan penderitaan Boe Kie lebih hebat dari pada waktu
mengamuknya racun dingin itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 427
Tanpa mengenal kasihan, si tabib malaikat membakar terus dengan batang Tin ngay yang
menyala nyala. Sesudah selang beberapa lama, tubuh si bocah penuh dengan totol totolan
hitam akibat pembakaran itu.
Boe Kie yang keras kepala sedikitpun sungkan memperlihatkan kelemahannya. Jangankan
berterlak kesakitan, merintihpun tidak. Sebaliknya dari itu, ia masih bisa bicara dengan sang
tabib sambil bersenyum senyum.
Meskipun tidak mengerti ilmu ketabiban, tetapi sesudah belajar ilmu Tiam hiat dari Cia soen,
ia paham akan letaknya berbagai jalanan darah disekujur badan manusia. Maka itu, waktu
Ouw Ceng Goe bicara tentang soal ketabiban sambil membakar jalanan darahnya, sedikitsedikit
ia masih bisa melayaninya, Kadang kadang berdasarkan pengetahuannya akan ilmu
Tiam hiat, ia malah memberi tafsiran atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Hal
ini menggembirakan sangat hati Tiap kok Ie sian. Sebagaimana diketahui, ia hidup
menyendiri disebuah selat yang terpencil dari dunia luar. Manusia yang mengawaninya hanya
kacung kacung yang membantunya mencari daun obat atau memasak obat. Maka dapatlah
dimengerti kalau sekarang kegembiraannya timbul sebab ia bisa bicara dengan seorang yang
kelihatannya mengerti akan apa yang dibentangkan olehnya.
Setelah beberapa ratus jalanan darah yang bersangkut paut dengan Keng sian meh selesai di
bakar, siang sudah berganti dengan malam. Tak lama kemudian, seorang kacung membawa
nasi dan sayur yang lalu ditaruh diatas meja dan kemudian ia membawa juga barang santapan
keluar rumah untuk diberikan kepada Siang Gie Coen yang masih terus menggeletak diatas
rumput.
Malam itu si berewok tidur diudara terbuka. Waktu tiba temponya untuk mengaso, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, Boe Kie berjalan keluar rumah dan membaringkan dirinya diatas
rumput, disamping Toako, sebagai tanda bahwa ia bersamaan nasib dengan si berewok.
Ouw Ceng Goe tidak memperdulikan, ia malah berlagak tidak melihat perbuatan Boe Kie.
Tapi didalam hati, diam-diam ia merasa heran dam kagum akan cara-caranya bocah cilik Itu.
Pada keesokan harinya, si tabib malaikat menggunakan tempo setengah hari untuk membakar
"hiat" dari Kie keng Pat meh. Keng siang meh adalah seperti sungai yang terus mengalir tak
henti-hentinya, sedang Kie keng Pat meh seolah-olah telaga atau lautan yang menerima semua
aliran itu. Maka itu, usaha untuk mengusir racun dingin yang berkumpul di Kie keng Pat meh
banyak sukar daripada usaha mengusir racun itu dari Keng Pat meh.
Sesudah selesai membakar berbagal "hiat" dari Kie keng pat meh, Ceng Goe segera
memerintahkan kacungnya memasak semacam ramuan obat yang kemudian lalu diberikan
kepada Boe Kie. Obat itu dingin sifatnya dan dalam usaha babak kedua itu ia menggunakan
dingin membasmi dingin. Sehabis makan obat itu, Boe Kie mengigil hebat, tapi sesudah
serangan itu mereda, ia merasakan badannya banyak lebih baik, lebih nyaman dan lebih segar.
Di waktu lohor si tabib malaikat meneruskan usahanya dengan menusuk berbagai jalanan
darah Boe Kie dengan mengunakan jarum emas. Selagi diobati dengan rupa rupa daya Boe
Kie coba membujuk Ceng Goe, supaya dia suka mengobati Gie Coen, tapi orang aneh itu
tidak meladeni dan hanya berkata: "Gelar Tiap kok ie sian untukku sebenarnya kurang tepat
dan aku tidak menyuka julukan itu. Gelar Kian sie Poet kioe barulah menyenangkan hatiku."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 428
Sambil berkata begitu, ia menusuk Ngo kit hiat, diantara pinggang dan paha dengan jarum
emas nya. Jalanan darah itu adalah tempat bertemunya Siauw yang dan Tay yang.
"Tay meh dalam tubuh manusia merupakan pembuluh darah yang paling aneh," kata Boe Kie.
"Ouw Sinshe, apa kau tahu bahwa ada beberapa orang yang tidak mempunyai Tay meh ?"
Ceng Goe kaget. "Omong kosong ! Tak bisa jadi!" bentaknya.
Memang benar, Boe Kie hanya bicara sembarangan. Tapi ia berkata pula. "Ouw Sinshe, dunia
ini luas sekali dan didalam dunia terdapat banyak yang aneh aneh. Apalagi menurut katanya
orang, Tay meh sebenarnya tidak memegang peranan penting dalam tubuh manusia."
"Aku mengakui, bahwa Tay meh adalah pembuluh darah yang agak aneh," kata sitabib. "Tapi
jutsa besar, jika orang mengatakan, babwa Tay meh tidak berguna besar. Dalam dunia
terdapat banyak tabib tolol yang tidak mengerti kegunaan dan pentingnya Tay meh. Aku
mempunyai sejilid Kitab Tay meh. Kau bacalah sendiri,"
Ia segera masuk kedalam dan keluar lagi dengan membawa sejilid Buku tipis yang ditulis
dengan tulisan tangannya sendiri, dan lalu menyerabkan kepada si bocah.
Boe Kie membuka halaman yang pertama, dimana tertulis seperti berikut: "Dua belas Keng
siang meh dan Kie keng cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya Tay meh yang
terletak di samping kempungan, mengalir dengan memutari pinggang, seperti juga sehelai
ikatan pinggang. Dalam beberapa kitab pengobatan terdapat keterangan, bahwa Tay meh
mempunyai empat hiat atau enam hiat. Itu semua salah. Tay meh sebenarnya mempunyai
sepuluh hiat, dua di antaranya kadang kadang muncul, kadang kadang menghilang, sehingga
sukar sekali dapat diraba"
Boe Kie membaca terus dengan teliti dan diam diam mengingat-ingat semua apa yang
dibacanya.
Tiba-tiba ia teringat peristiwa Tan Yoe Liang yang coba mengabui kakek gurunya. Kitab Tay
meh itu tidak seberapa banyak isinya dan apa yang tertulis didalamnya ternyata sangat mudah
dimengerti, sehingga jika dibandingkan dengan Kouw koat ilmu silat, kitab tersebut sepuluh
kali lebih mudah dihafal.
Sesudah selesai membaca, si bocah lalu mengembalikan kitab itu kepada Ouw Ceng Gee.
"Kitab itu sudah pernah dibaca olehku," katanya dengan suara tawar. Pada waktu berusia
tigapuluh tahun, Thay soehoe pernah menulis Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee, yang
bersamaan isinya dengan hubungan itu. Entah Thay soehoe yang menelad (peep: what is
menelad?" keteranganmu atau kau yang menyontoh gubahan Thay soehoe,"
Ouw Ceng Goe tercengang, akan kemudian marah besar. "Tahun ini aku baru berusia lima
puluh satu tahun," katanya didalam hati. "Kau mengatakan, bahwa Thio Sam Hong menulis
buku itu waktu ia berusia tiga puluh tahun dan karena ia sekarang sudah berumur seratus
tahun lebih, maka ia menulis itu pada tujuhpuluh tahun berselang. Dengan lain perkataan lagi,
akulah yang sudah mencuri buah kalamnya Thio Sam Hong. Kurang ajar! Kitab Tay-meh itu
adalah hasil jerih-pajahku dan belum pernah didapat oleh siapapun jua dalam dunia ini.
Kurang ajar ! Kau mengatakan Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee, sudah 'Coe hak', 'Jip
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 429
boen', sudah 'Jip boen', 'Cian swee' lagi! Kunyuk kecil ini benar-benar kurang ajar!" (Coe hak,
artinya pelajaran permulaan, Jip boen adalah pendahuluan, Cian swee berarti perundingan
yang cetek, tidak mendalam).
Dalam gusarnya, ia menancapkan jarum emas dalam-dalam di pinggir jalanan darah, sehingga
darah lantas saja keluar berketel ketel. Boe Kie kesakitan, hampir-hampir ia berteriak, tapi
sambil menggigit bibir, ia menahan rasa sakit itu. "Kalau kau tidak percaya, biarlah aku
menghafal Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee itu, yang digubah oleh Thay Soehoe,"
katanya dengan tenang.
"Baiklah !" bentak Ceng Goe. "Kalau salah sehuruf saja, tahu sendiri, aku akan segera
mengambil jiwamu "
Selama di Pheng hwee to, semenjak berusia tima tahun, Boe Kie telah dipaksa menghafal
Kouw koat ilmu silat oleh ayah angkatnya. Salah sedikit saja, ia digaplok oleh ayah angkat
yang galak itu. Maka itulah, sesudah berlatih selama lima tahun, ia boleh dikatakan sudah
menjadi ahli dalam ilmu menghafal. Akan tetapi, mendengar ancaman Ouw Ceng Goe in
keder juga. Ia yakin, bahwa orang aneh itu dapat membuktikan ancamannya. Diam diam ia
merasa menyesal, bahwa ia berguyon guyon secara melampaui batas. Tapi sekarang ia sudah
tidak bisa mundur lagi. Sambil mengempos semangat untuk mengumpulkan semua tenaga
otak nya, ia mulai menghafal dengan suara nyaring :
"Duabelas Keng siang meh dan Kie keng Cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya
Tay meh, yang terletak disamping kempungan, mengalir memutari pinggang, seperti sehelai
ikatan pinggang..."
Makin lama, ia makin bersemangat dam akhirnya ia mendapat menyelesaikan hafalan itu
dengan sempurna.
Bukan main kagetnya Ceng Goa. Untuk beberapa saat, ia mengawasi si bocah dengan mata
membelalak. "Sungguh luar biasa" pikirnya. "Anak itu mempunyai bakat Kwee bak poet
bong, Manusia yang seperti dia sukar dicari keduanya didalam dunia," Kwee bak poet bong
artinya begitu melihat tidak bisa lupa Iagi.). Ia tak tahu, bahwa dalam kuil Siauw lim sie
terdapat Tan Yoe Liang yang kecerdasannya tidak berada di sebelah bawah Boe Kie.
Sesudah hilang kagetnya, tanpa merasa ia memuji: "Pintar! Kau sungguh pintar !" Sehabis
berkata begitu, ia segera menusuk sepuluh "hiat" dari Tay meh Boe Kie dengan jarum
emasnya.
Sehabis mengaso sebentar, Ceng Goe mendapat ingatan untuk mencoba lagi. "Disamping
kitab Tay meh, aku memiliki kitab Coe ngo Ciam cie keng," katanya. "Coba kau lihat.
Apakah Thio Sim Hong juga sudah pernah menggubah kitab yang seperti itu ?"
Ia segera masuk kedalam dan keluar lagi dengan membawa 12 jilid kitab tulisan tangan.
Boe Kie segera membalik-balik lembarannya. Setiap halamannya penuh huruf-huruf kecil
yang menerangkan kedudukan jalanan darah, beratnya timbangan obat, waktu dan cetek
dalamnya tusukan jarum emas. Semua diterangkan dengan jelas sekali, "Untuk membaca dua
belas jilid sedikitnya memerlukan tempo tiga atau empat hari," pikirnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 430
"Bagaimana aku dapat menghafal dalam tempo cepat? Biarlah aku coba saja mencari ilmu
untuk mengobati luka Siang Toako." Dengan cepat ia membalik-balik lembaran kitab-kitab
itu dengan hanya memperhatikan judulnya. Waktu memeriksa jilid kesembilan, dibagian
Ciang siang Cie hoat (Cara mengobati luka pukulan telapak tangan), ia melihat petunjukpetunjuk
untuk mengobati luka Tiat see ciang, Tok ciang, Kay san ciang dan sebagainya.
Waktu ia meneliti lagi sampai di halaman seratus delapanpuluh, barulah ia bertemu dengan
cara pengobatan luka terkena pukulan Ciat sim ciang.
Ia jadi sangat girang. Ia lalu membaca dan mempelajari apa yang tertulis disitu. Ia mendapat
kenyataan bahwa keterangan mengenai pukulan itu diberikan jelas sekali, tapi cara
mengobatinya sangat sederhana dan ringkas. Mengenai itu hanya ditulis seperti berikut
"Turun tangan mulai dari Cie kiong hiat, Tiong tseg hiat. Koan goan hiat dan Thian tie hiat.
Sesudah itu, memberi obat dengan melihat perubahan Im yang dan Ngoheng, meninjau lima
hawa udara yaitu: dingin, panas, kering, basah dan angin dan memperlihatkan lima perasaan
girang, gusar, jengkel, banyak pikiran dan bersemangat dari si sakit."
Dalam ilmu pengobatan Tionghoa terdapat banyak perubahan dan tidak ada peraturan yang
tentu. Untuk mengobati serupa penyakit si tabib biasa memberi obat dengan memperhatikan
hawa udara, siang atau malam, lelaki atau perempuan, besar atau keci dan sebagainya.
Sementara itu, sesudah membaca beberapa kali, Boe Kie berkata dalam hatinya: "Yang paling
penting yalah coba menolong Siang Toako. Aku tidak boleh mengejek tabib malaikat ini."
Di bagian terakhir Ciang siang Cie hoat, ada tertulis Hian beng Sin ciang. Kehebatan pukulan
itu diterangkan jelas, tapi dibagian cara pengobatan tertulis: "Tidak ada."
Ia lalu menutup kitab itu dan dengan sikap hormat menaruhnya diatas meja. "Dalam ilmu
silat, Ouw Sinshe tidak dapat menandingi Tay soehoe, tetapi di dalam ilmu ketabiban, Tay
Soe hoe tidak bisa melawan Ouw Sinshe," katanya, "Coe ngo ciam cie keng luas dan dalam,
Tay Soehoe tak akan dapat menggubah kitab seperti itu. Akan tetapi, mengenai pengobatan
pukulan telapak tangan, apa yang dipelajari Ouw Sinshe belum dapat melampaui pelajaran
Tay Soehoe."
Sehabis berkata begitu, ia segera menghafal Ciang Siang Cie hiat yang terdiri dari mengobati
seratus lebih macam pukulan telapak tangan, dan dalam menghafal itu, tidak sehuruf pun yang
salah atau ketinggalan. Akhirnya ia berkata: "Luka boanpwee akibat pukulan Hian beng Sin
ciang tak dapat diobati oleh Tay soehoe. Mungkin sekali Ouw Sinshepun tidak berdaya"
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Tak usah kau memanaskan hatiku," katanya. "Kau saksikan
saja sendiri apa benar aku tidak berdaya. Tapi sesudah aku menyembuhkan kau, belum tentu
kau bisa hidup lama."
Walaupun Boe Kie pintar luar biasa, ia tidak mengerti maksud sebenarnya dari perkataan si
tabib yang ingin membinasakannya sesudah menyembuhkannya, supaya sesuai dengan
kebiasaannya, bahwa ia tidak pernah menolong orang yang diluar lingkungan "agama" sesat.
Dengan tujuan satu-satunya untuk menolong Siang Gie Coen. sibocah lantas saja berkata:
"Ouw Sinshe, jika boanpwee tidak bisa hidup lama, boanpwee ingin sekali bisa membaca lagi
kitab Coe ngo Ciam cie keng yang sangat luar biasa itu."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 431
Ouw Ceng Goe tidak lantas menjawab. Sesudah menimbang sejenak, ia menganggap tidak
halangan jika ia meluluskan permintaan itu, sebab biar bagaimana juapun, bocah itu tidak
akan bisa keluar dari Ouw tiap kok dengan masih bernyawa.
Ia mengangguk seraya berkata "Boleh, kau boleh membaca sesukamu."
Biarpun adatnya aneh, tidak dapat disangkat lagi bahwa Ouw Ceng Goe adalah salah seorang
manusia luar biasa yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas. Hanya sesudah
masuk kedalam "agama" sesat, ia membenci manusia biasa dan lebih membenci lagi orang
orang Rimba Persilatan yang menjadi anggauta dari partai-partai lurus bersih. Makin lama,
adatnya jadi makin aneh dan ia hidup menyendiri ditempat yang terpencil. Tapi, sebagai
manusia biasa kadang-kadang ia merasa manyesal, bahwa ia tidak mempunyai kawan untuk
bersama-sama merundingkan atau mempelajari ilmu ketabiban dan iapun merasa sangat
kesepian. Oleh sabab itu, maka kedatangan Boe Kie, yang sangat pintar dan yang kagum akan
kepandaiannya, pada hakekatnya menyenangkan hatinya yang kosong sunyi.
Sesudah mendapat perkenan, siang malam Boe Kie mempelajari isi kitab-kitab Ceng Goe.
Sering sering ia lupa makan dan lupa tidur. Ia bukan saja membaca belasan macam kitab yang
ditulis oleh Ouw Ceng Goe sendiri, tapi juga banyak kitab lain, sepetti Oay Tee Lweekang,
Hoa To, Lwee ciauw touw, Cian kim ek dan sebagainya. Tujuan si bocah yang sesungguhnya,
tidak dapat ditebak oleh Ouw Ceng Gee yang menganggap, bahwa karena tidak mengerti
kitab gubahannya sendiri, maka Boe Kie yang sungkan menanya secara langsung, sudah
membongkar kitab-kitab ketabiban kuno untuk mencari penjelasannya.
Beberapa hari telah lewat. Selama beberapa hari itu, Boe Kie telah bisa menghafal banyak
kitab, akan tetapi, ilmu pengobatan yang dalam dan luas mana bisa dipahamkannya dalam
beberapa hari saja? Ia menghitung hitung dan ternyata ia sudah berdiam di Ouw tiap kok
enam hari lamanya.
Ia jadi bingung. Menurut katanya Ouw Ceng Goe, jika didalam tempo tujuh hari, Cie Coen
bisa mendapat pertolongan tabib yang pandai, maka lukanya akan sembuh seanteronya. Jika
lewat tujuh hari, andaikata bisa sembuh, ilmu silat Gie Coen akan musnah semuanya. Dan
sekarang, si berewok sudah menggeletak diluar rumah enam hari enam malam lamanya.
Apakah ia akan bisa menolong jiwa Siang Toako?
Jilid 23______________
Hari itu turun hujan besar dan Gie Coen separuh terendam diair, tapi sang paman guru tak
menghiraukannya. Melihat begitu, Boe Kie mendongkol bukan main dan didalam hati, ia
mencaci si tabib malaikat yang berhati kejam.
Malamnya hujan turun makin besar. Kilat menyambar nyambar, diiringi guntur dan petir yang
menggetarkan bumi. Boe Kie tak bisa mempertahankan diri lagi. Sambil mengertak gigi, ia
berkata dalam hatinya. "Biarpun aku mesti membunuh Siang Toako, tak dapat aku mengawasi
penderitaannya dengan berpeluk tangan." Dari laci obat Ouw Ceng Goe, ia segera mengambil
delapan batang jarum emas dan lalu menghampiri Gie Coen.
"Siang Toako," katanya dengan suara parau, "Selama beberapa hari siauwtee telah
mempelajari kitab-kitab Ouw Sinshe dan biarpun belum mengerti benar, tapi karena keadaan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 432
memaksa, siauwtee ingin coba menggunakan jarum untuk mengobati Toako. Andaikata
terjadi kejadian yang tidak di harapkan, siauwteepun tidak bisa hidup sendirian dalam dunia
ini."
Gie Coen tertawa terbabak bahak. "Saudara kecil jangan kau mengatakan begitu," katanya.
"Lekas gunakan jarum itu. Kalau kau berhasil, Soe peh akan merasa malu sekali. Andaikata
aku mati, aku memang lebih suka mati daripada berendam dikobakan ini."
Dengan tangan gemetar Boe Kie mencari jalan darah Gie Coen dan kemudian menancapkan
sebatang jarum emas di Koan goan hiat. Tapi, begitu ditacapkan, jarum itu bengkok dan tidak
bisa masuk terus ke dalam daging.
Hal ini bisa dimengerti, karena bukan saja si bocah belum pemah menggunakan jarum
tersebut, tapi jarum itupun lemas luar biasa, sehingga untuk memasukkannya ke dalam
daging, orang harus menggunakan Lweekang yang tinggi. Boe Kie terpaksa mencabutnya
lagi. Menurut biasa, jika jarum masuk tepat di jalanan darah, darah tidak keluar. Tapi
sekarang, sebab si bocah menusuk salah, maka begitu jarum tercabut, darah Gio Coen lantas
saja keluar berketel-ketel. Koan goan hiat yang terletak dikempungan manusia, merupakan
salah satu "hiat" yang paling berbahaya. Melihat darah merembas keluar tak hentinya, Boe
Kie jadi bingung.
Sekonyong-konyong di belakangnya terdengar suara orang tertawa berkakakan. Ia menengok
dan melihat Ouw Ceng Goe yang berdiri sambil menggendong tangan, dengan paras muka
berseri seri.
"Ouw Sinshe," kata Boe Kie dengan suara bingung. "Koan goan hiat Siang Toako
mengeluarkan darah. Bagaimana baiknya ?"
"Tentu saja aku tahu bagaimana baiknya," jawabnya. "Tapi perlu apa aku memberitahukan
kau ?"
"Ouw Sinshe, mengapa kau begitu kejam?" kata Boe Kie dengan suara keras: "Begini saja.
Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Tolonglah Siang Toako. Sesudah kau menolong, aku akan
segera binasa dihadapanmu."
"Kalau aku kata tidak, tetap tidak," kata Ceng Goe dengan suara tawar. "Aku hanya Kian sie
Poet kioe Ouw Ceng Goe. Aku bukan Boe siang (setan yang biasa membetot jiwa orang).
Kalau kau mampus, sedikitpun tiada sangkut pautnya dengan aku. Andaikata sepuluh Boe Kie
mati, akupun tidak akan menolong satu Siang Gie Coen."
Boe Kie mengerti, tiada gunanya ia memohon mohon lagi. Ia tahu, bahwa ia tak akan bisa
menggunakan jarum emas itu yang terlampau lemas. Mencari jarum baja atau jarum besi
sudah tidak keburu lagi.
Sesudah memikir sejenak, buru buru ia mematahkan sebatang bambu. Dengan menggunakan
pisau, ia membuat beberapa biting bambu dan kemudian, tanpa memikir lagi ia
menancapkannya di Cie kiong, Siong tong, Koen goan dan Tian tie hiat.
Sesaat kemudian Gie Coen muntahkan darah hitam beberapa kali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 433
Boe Kie jadi bingung. Sesudah menusuk jalanan darah orang, ia tak tahu apa penyakitnya jadi
lebih enteng atau lebih berat. Ia mengawasi muka Ouw Ceng Goe dan melihat, bahwa,
meskipun sikapnya acuh tak acuh, paras muka sitabib malaikat menunjuk rasa kagum. Ia
sekarang tabu, bahwa usahanya yang pertama telah berhasil dan hatinya girang.
Buru-buru ia masuk kedalam rumah dan sambil membaca beberapa kitab, ia mengasah otak
untuk coba menulis surat obat. Ia tahu obat apa bisa digunakan untuk menyembuhkan
penyakit apa, tapi ia belum pemah melihat macamnya obat itu dan juga tidak mengerti, berapa
banyak si sakit barus diberikan. Sesudah berpikir beberapa lama dengan nekat ia lalu menulis
surat obat yang lalu diserahkan kepada sikacung tukang masak obat dengan berkata:
"Masaklah obat ini"
Si kacung membawa surat obat itu kepada majikannya dan menanya, apakah ia boleh turut
perintah Boe Kie. Ceng Goe mengeluarkan suara dihidung dan berkata pada dirinya sendiri:
"Hmm ! Benar benar gila !" Ia berpaling kepada kacungnya dan berkata: "Boleh. Masaklah
obat menurut timbangannya. Kalau dia tidak mati, benar-benar rejekinya besar."
Boe Kie mongerti apa maksudnya perkataan itu.
Cepat-cepat ia merebut pulang surat obat itu, mengurangkan timbangannya dan kemudian
baru menyerahkannya kembali kepada si kacung.
Sesudah dimasak, Boe Kie membawa obat itu kepada Gie Coen dan berkata dengau air mata
berlinang-linang: "Siang Toako, minumlah obat ini. Apa untung, apa celaka, siauwtee sendiri
tak tahu"
"Bagus! Bagus!" kata siberewok sambil tertawa "Inilah yang dikatakan, tabib buta mengobati
kuda picek." Sambil meramkan mata ia segera minum habis semangkok obat itu.
Malam itu Gie Coen menggelisah. Ia merasa perutnya seperti disayat pisau dan dari mulutnya
terus mengeluarkan darah. Tanpa menghiraukan hujan dan hawa dingin, semalaman suntuk
Boe Kie menemani sisakit. Pada esokan paginya, hujan berhenti dan darah yang dimuntahkan
Gie Coen makin lama jadi makin sedikit. Warna darah juga berubah, dari hitam menjadi ungu,
dari ungu berubah merah.
"Saudara kecil," kata Siang Gie Coen dengan girang. "Obatmu teryata tidak membinasakan
manusia. Aku merasa badanku banyak lebih enak, lebih nyaman."
"Bagaimana? Obat siauwtee boleh juga bukan?" kata sibocah sambil menyengir.
"Lebih dari boleh juga!" memuji Gie Coen. "Hanya obatmu mungkin terlalu keras, perutku
seperti diiris-iris pisau."
"Ya, mungkin terlalu keras," kata Boe Kie dengan rasa jengah.
Sebenarnya, obat yang diberikan oleh Boe Kie kepada Gie Coen bukan hanya terlalu keras,
tapi beberapa lipat kali terlalu keras. Kalau Gie Coen tidak mempunyai badan yang sangat
kuat, siang siang ia sudah binasa.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 434
Sesudah membersihkan badan, Ouw Ceng Goe berjalan keluar. Melihat paras muka Siang Gie
Coen ia terkesiap. Ia tak nyana, bahwa Boe Kie benar-benar sudah berhasil menyembuhkan
luka si borewok.
Sementara itu, sibocah sudah menulis surat obat untuk menguatkan badan dan lain
menyerahkannya kepada sikacung untuk dimasak.
Ia memasukkan segala macam obat kuat, seperti Jinsom, Lok jiong, Souw ouw dan
sebagainya. Dalam rumah Ouw Ceng Goe terdapat rupa rupa obat, dari yang paling murah
sampai yang paling mahal harganya. Sesudah minum obat kuat enam tujuh hari beruntun,
bukan saja kesehatannya, tapi kepandaian silat Gie Coen juga sudah pulih kembali.
Beberapa hari kemudian, ia berkata begini kepada Boe Kie: "Saudara kecil, lukaku sudah
sembuh Sekarang saja kita berpisahan "
Selama kurang lebih sebulan Boe Kie telah berkawan dengan pemuda itu dan mereka berdua
sama-sama merasakan banyak penderitaan. Mereka telah menjadi seperti saudara kandung
dan dapatlah dimengerti, jika sibocah merasa sedih waktu mendengar perkataan sang kakak.
Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya mengangguk dengan air mata berlinanglinang.
"Saudara kecil, jangan kau bersusah hati," membujuk Gie Coen. "TIga bulan kemudian, aku
akan kembali untuk menengokmu. Kalau racun dingin sudah diusir bersih dari badanmu, aku
akan segera mengantarkan kau pulang ke Boe tong."
Ia masuk kedalam rumah dan berlutut dihadapan Ouw Ceng Goe. "Ouw Soepeh," katanya,
"sekarang teecoe sudah sembuh sama sekali. Biarpun benar saudara Thio yang mengobati,
akan tetapi, pengobatan itu diberikan berdasarkan petunjuk kitab kitab Ouw Soepeh.
Disamping itu, teecoe juga telah menghabiskan banyak sekali obat-obatan Soepeh yang
berhanga mahal. Untuk itu semua, teecoe hanya bisa menghaturkan banyak-banyak terima
kasih."
Sang paman guru manggut manggutkan kepalanya. "Tak apa," katanya. "Lukamu memang
sudah sembuh, hanya sayang, usiamu berkurang dengan tigapuluh tahun."
Gie Coen tidak mengerti. "Apa yang dimaksudkan Soepeh ?" tanyanya,
"Dilihat dari kekuatan badanmu, paling sedikit kau bisa hidup sampai usia delapanpuluh
tahun," menerangkan sang paman guru. "Tapi karena bocah itu membuat kesalahan dalam
memberi obat dan membuat kesalahan pula waktu menusuk jalanan darahmu, maka, setiap
kali bertemu delapan musim hujan angin, sekujur badanmu akan dirasakan sakit. Menurut
taksiranku, kau hanya bisa berusia sampai lima puluh tahun."
Si berewok tertawa terbabak-bahak. "Ouw Soe peh," katanya dengan suara lantang, "jika
seorang laki-laki bisa menolong sesama manusia dan mengabdi kepada negara, berusia
sampai empat puluh tahun saja kurasa sudah cukup. Jika seorang hidup tanpa tujuan, maka
biarpun ia bisa berumur seratus tahun, hidupnya percuma saja."
Ceng Goe tidak mengatakan suatu apa, ia hanya mengangguk beberapa kali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 435
Boe Kie mengantar Gie Coen sampai dimulut selat Ouw tiap kok den kemudian mereka
berpisahan sesudah memeras banyak air mata. Sambil mengawasi bayangan si barewok yang
makin lama jadi makin jauh, Boe Kie bertekad untuk mempelajari ilmu pengobatan, supaya
dibelakang hari ia dapat memulihkan usia Gie Coen, yang menurut katanya Ouw Ceng Goa,
akan berkurang tigapuluh tahun.
Setiap hari dengan telaten, Ceng Goe menggunakan jarum emas dan memberi obat untuk
mengusir semua racun dingin yang masih mengeram dalam tubuh sibocah. Sementara itu,
diwaktu luang, Boe Kie tidak menyia-nyiakan tempo. Tanpa kenal capai, ia membaca dan
mempelajari kitab kitab ketabiban. Jika ada bagian yang tidak dimengerti, ia memohon
petunjuk dari Ouw Ceng Goe yang memberinya dengan segala senang hati. Perlahan-lahan
tabib malaikat itu mulai merasa suka terhadap sibocah pintar itu. sekali hatinya terbuka, tanpa
sangsi-sangsi, ia memberi segala pelajaran yang dimilikinya.
Kadang-kadang bocah itu mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang belum pemah
dipikir olehnya sendiri. Rasa kagum orang tua itu terhadap Boe Kie jadi makin besar.
Semula, ia berminat membinasakan Boe Kie begitu lekas lukanya sembuh. Tapi sekarang ia
merasa, bahwa jika sibocah binasa, ia akan hidup kesepian. Maka itulah, waktu memberi obat,
ia sengaja mengurangkan timbangannya untuk menunda penyembuhan dan penunda pula
kebinasaan anak itu.
Sesudah lewat satu dua bulan, dengan rasa heran Ceng Goe mendapat kenyataan, bahwa
sesudah menggunakan rupa-rupa cara, ia masih belum juga bisa mengusir racun dingin yang
berkumpul di Sam cauw. Belasan hari ia memeras pikiran dan bekerja keras, tapi hasilnya
nihil sehingga rambutnya bertambah uban. ( Samcouw -Hormon).
Pada suatu hari, sambil menghela napas ia berkata: "Ilmu silat Thay soehoemu sangat tinggi,
tapi dalam ilmu ketabiban, ia mencelakakan kau. Sesudah kau kena pukulan Hian beng Sin
ciang, ia membuka Kie keng Pat mehmu. Betul-betul gila!"
"Bukan, bukan Thay soehoe yang membuka pembuluh darahku,"membantah Boe Kie.
Sesudah berkumpul dengan Ouw Ceng Goe beberapa bulan, ia merasa bahwa meskipun
beradat aneh, tabib melaikat itu bukan manusia jahat. Maka itu, tanpa diminta, ia lantas saja
meneceritakan riwayat hidupnya. Ia juga menuturkan pengalamannya dikuil Siauw lim sie,
ketika ia datang untuk belajar Siauw lim Kioe yang kang.
Sesudah menunduk beberapa saat, tiba-tiba saja Ceng Goe menepuk paha dan berkata: "Boe
Kie, pendeta Siauw lim itu pasti dengan sengaja mencelakakan kau !"
Si bocah terkejut. "Aku belum pernah mengenalnya, ada perlu apa dia harus mencelakakan
aku?" tanyanya.
"Hal........ hal ini sungguh aneh," kata pula Ceng Goa. "Coba kau ceritakan terlebih jelas
semua pengalamanmu di Siauw sit san."
Boe Kie menurut dan lantas saja mengulang penuturannya secara lebib jelas.
Tiap kok Ie sian tampak berjalan mundar mandir sambil menggendong kedua tangannya.
Sekonyong konyong ia berteriak: "Tidak bisa salah lagi. Pendeta itu memang sengaja
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 436
mencelakakan kau. Thay soehoemu tidak mengerti ilmu ketabiban dan juga ia adalah seorang
yang sangat percaya segala manusia. Maka itu, ia tidak bercuriga. Coba kau pikir, Goan tin
adalah seorang yang mahir dalam ilmu Siauw lim Kioe yang kang dan ia juga bisa membantu
kau dalam membuka Kie keng Pat mehmu. Dengan lain perkataan, ia sudah memiliki
Lweekang sangat tinggi. Maka itu, begitu lekas kedua telapak tangannya menempel dengan
telapak tanganmu, ia pasti tahu, bahwa dalam tubuhmu mengeram racun dingin. Tapi, ia
malah sengaja membuka pembuluh darahmu. Apakah, dengan begitu, ia bukan sengaja
mencelakakan kau?"
"Tapi, dari sebelum menobloskan tembok, ia memang sudah berniat untuk bantu membuka
Kie keng pat mehku," kata Boe Kie. "Waktu ia belum tahu, bahwa aku kena pukulan Hian
beng Sin ciang."
Ceng Goe geleng gelengkan kepalanya. "Sebab apa Goan tin mau mencelakakan kau, aku
masih belum tahu," katanya. "Kau mengatakan, bahwa sebab belum pernah kenal satu sama
lain, maka tak mungkin ia mencelakakan kau. Akan tetapi, kau harus ingat, bahwa kau sudah
belajar Siauw Lim Kioe yang kang, yang mungkin dianggap olehnya sebagai miliknya
sendiri. Hal ini sudah cukup untuk menimbulkan niatan membunuh kau di dalam hatinya"
"Menurut katanya Thay Soehoe Siauw lim sie dan Boe tong adalah pemimpin dari partai
partai yang lurus bersih" kata Boe Kie. "Menurut pendapatku biarpun dalam kuil Siauw lim
sie terdapat orang orang yang berpemandangan sempit, akan tetapi, mereka pasti tidak akan
bertindak secara begitu hina dina. Apa pula Thay soehoe sendiri telah menyerahkan Thay kek
Sip sam sit dan Boe tong kioe yang kang kepada mereka sebagai penukaran. Dalam hal ini
pada hakekatnya pihak Siauw lim yang lebih untung."
Ouw Ceng Goe tertawa dingin. "Lurus bersih!", menegasnya. "Apakah ayah dan ibumu bukan
didesak sehingga binasa oleh orang orang dari partai lurus bersih? Dengan menganggap,
bahwa mereka putih bersih, mereka berlaku sangat kejam terhadap orang orang dari partai
yang dianggapnya sesat. Padahal, orang orang partai lurus bersih belum tentu baik semuanya,
sedang orang dari partai sesat belum tentu jahat seanteronya."
Kata kata itu menyentuh hati Boe Kie. Ia ingat, bahwa yang mendesak hebat sehingga
mengakibatkan binasanya kedua orang tuanya, sebagian besar terdiri dari orang orang partai
lurus bersih, seperti Siauw lim, Koen loan dan Khong tong pay. Bahkan paman pamannya
dari Boe tong pay telah menyaksikan pembunuhan diri kedua orang tuanya dengan berpeluk
tangan. Memang benar mereka berduka, akan tetapi, didalam hati menganggap bahwa
binasanya kedua orang tuanya adalah kebinasaan yang sepantasnya. Pendapat itu sudah lama
sekali terkandung dalam lubuk hatinya, tapi sebegitu jauh, ia belum pernah berani
mengatakan secara terang terangan. Sekarang, begitu mendengar perkataan Ouw Ceng Goe, ia
menggigil dan menangis keras.
"Ya, dunia memang begitu," kata Ceng Goe dengan suara tawar. "Baru menemui satu soal
saja, kau sudah menangis. Jika kau tidak mati hari ini, dihari kemudian kau bakal mengalami
banyak sekali kejadian kejadian yang dapat mengucurkan air matamu.
Boe Kie buru buru menyusut air matanya: "Kau mengatakan, bahwa kau belum pernah
melihat muka Goan tin," kata pula si tabib malaikat "Tapi bagimana kau tahu, bahwa dia tidak
mengenal kau? Suara orang dapat diubah bahkan muka masih bisa diubah. Dia tidak mau
menemui kau. Hal ini saja sudah menerbitkan kecurigaan. Kau mengatakan, bahwa tanpa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 437
sebab, seseorang pasti takkan mencelakakan kau. Apa kau tahu pasti, bahwa aku tidak ingin
membunuh kau? Biarlah aku berterus terang. Karena melihat penyakitmu sangat aneh, maka
aku sudah mau berusaha untuk mengobati kau. Tapi berbareng dengan itu, akupun telah
mengambil keputusan, bahwa begitu lekas kau sembuh, aku akan segera mengambil jiwamu!"
Boe Kie bergidik. Ia mengerti, bahwa apa yang dikatakan oleh si orang aneh tidak mudah
dapat dirubah lagi. Ia menghela napas seraya berkata. "Racun dingin dalam tubuhku tak dapat
diusir keluar lagi seanteronya. Tanpa kau turun tangan, aku akau mati sendiri. Hai! Manusia
di dunia agaknya merasa senang jika melihat orang lain celaka atau mati. Bukankah orang
yang belajar silat bertujuan untuk membunuh sesama manusia?"
Ouw Ceng Goe mendongak dan dengan mata membelakak ia mengawasi langit. Sesudah
lewat kian lama, ia berkata dengan suara parau: "Di waktu masih muda aku mempelajari ilmu
ketabiban dengan tekad untuk menolong sesama manusia. Akan tetapi, orang-orang yang
ditolong berbalik mencelakakan aku. Aku pernah menolong jiwa seorang yang mendapat
tujuhbelas lubang luka bacokan. Dia sebenarnya sudah mesti mati. Tiga hari tiga malam aku
tidak tidur dan dengan seantero kepandaian, aku berhasil menyembuhkannya. Belakangan aku
mengangkat saudara dengannya. Tak dinyana, ia akhimya membinasakan adik perempuanku,
adik kandungku. Siapa dia? Dia sekarang seorang tokoh besar yang namanya besar pula dari
sebuah partai lurus bersih."
Dengan rasa kasihan, Boe Kie mengawasi muka Ceng Goe yang diliputi dengan sinar
kedukaan. "Kalau begitu ia mendapat gelaran Kian sie poet kioe karena ia telah mengalami
kejadian hebat," katanya didalam hati. Darahnya lantas saja meluap dan ia menanya: "Siapa
adanya manusia binatang itu? Mengapa kau tidak cari padanya untuk membalas sakit hati?"
"Pada waktu mau meninggal dunia, "adikku telah memaksa aku bersumpah, bahwa aku tak
akan coba membalas sakit hati," jawabnya, "Lebih gila lagi, ia minta aku berjanji bahwa kalau
manusia itu berada dalam bahaya, aku mesti menolong. Dapat dimengerti jika aku menolak
tuntutan itu. Tapi, sebelum aku meluluskan adikku tidak akan mati dengan mata meram. Hati
Adikku....hatinya terlalu mulia. Akhirnya aku tak dapat tidak meluluskan permintaannya yang
paling penghabisan itu." Sehabis berkata begitu air matanya berlinang-linang.
Baru sekarang Boe Kie insyaf, bahwa Ouw Ceng Goe bukan manusia yang tak punya
perasaan. Tak bisa salah, antara saudara angkatnya dan adik perempuannya mempunyai
hubungan yang sangat erat, kalau bukan suami isteri, tentulah juga sepasang kecintaan.
Tiba-tiba Ceng Goe berkata dengan suara keras "Ingatlah apa yang dikatakan olehku, tak
boleh kau menyebut-nyebut lagi dihadapanku. Jika kau membocorkan pembicaraan ini kepada
orang lain, aku akan membuat kau hidup tidak, matipun tidak."
Boe Kie sebenarnya ingin menjawab dengan beberapa perkataan tajam, tapi ia segera
mengurungkan niatnya, karena ia merasa bahwa pada hakekatnya Ouw Ceng Goe adalah
seorang yang harus dikasihani. "Baiklah, aku berjanji tak akan bicara lagi mengenai hal itu."
katanya.
Tabib malaikat itu kemudian mengusap-ngusap rambut si bocah dan berkata sesudah
menghela napas berulang-ulang: "Kasihan! Kasihan!" Sehabis berkata begitu, ia masuk
keruang dalam.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 438
Sesudah terjadi pembicaraan diatas, berulang kali Ceng Goe memeriksa tubuh Boe Kie dan
siang malam is mengasah otak, tapi ia tidak mendapat jalan untuk membasmi racun dingin
yang sudah masuk kedalam Sam ciauw. Ia sekarang yakin, bahwa biarpun ia berusaha sebisa
bisa dengan menggunakan ilmu pengobatan yang paling tinggi, paling banyak ia bisa-bisa
memperpanjang umur si bocah dengan beberapa tahun saja.
Sementara itu, karena berada dipergunungan yang sepi, Boe Kie merupakan seorang kawan
yang sangat menyenangkan, maka diwaktu-waktu luang Ceng Goe memberi petunjuk dan
pelajaran ilmu ketabiban kepada si bocah yang terus belajar dengan rajin dan tak mengenal
capai.
Melihat kecerdasan bocah itu yang dalam tempo singkat sudah dapat memahami kitab-kitab
Oey te Ha mo keng, See hong Coe beng tong Cie keng, Tay peng seng Hoei hong dan
sebagainya, Ceng Goe menghela napas seraya berkata: "Dengan kecerdasanmu, dibantu
olehku sendiri, sebelum berusia duabelas tahun, kau sudah akan hisa merendengi Hoa To atau
Pian Ciak. Hanya sayang ....sungguh sayang!"
Ia merasa sayang, karena dengan berusia pendek, semua kecerdasan dan kepandaian itu, tiada
gunanya. Tapi Boe Kie mempunyai lain tujuan. Ia belajar ilmu ketabiban dengan tekad untuk
memulihkan usia Siang Gie Coen yang menurut Ouw Ceng Goe, akan berkurang dengan
tigapuluh tahun.
Hari berlalu laksana terbang dan tanpa terasa, dua tahun sudah berselang, Boe Kie sekarang
sudah berusia empat belas tahun. Selama dua tabuh itu beberapa kali Gie Coen datang
menengoknya. Ia memberitahukan, bahwa Thio Sam Hong memperkenankannya, untuk
berdiam lebih lama di Ouw tiap kok, sampai racun dingin dalam tubuhnya dapat dibasmi
seluruhnya. Ia juga menyampaikan warta bahwa makin lima orang Mongol jadi ganas, bahwa
rakyat menderita dan permusuhan antara partai lurus bersih dan partai sesat makin menghebat
dan jumlah manusia yang menjadi korban makin meningkat.
Setiap kali datang di Ouw tiap kok, Siang Gie Coen berdiam beberapa hari dan kemudian
pergi lagi. Pada kedatangannya yang terakhir, Boe Kie telah mendapat kemajuan pesat dalam
pelajaran ilmu ketabiban. Ia memeriksa nadi Siang Gie Coen dan kemudian menulis obat
yang lalu diberikan kepada si berewok dengan pesanan bahwa ia harus sering-sering minum
obat itu. Gie Coen menghaturkan banyak terima kasih dan lalu memasukkan surat obat itu
kedalam sakunya.
Kali ini, dalam kamar paman gurunya, Gie Coen beromong-omong dengan orang tua itu
sehingga jauh malam. Malam itu dia tidak bisa tidur dan gelisah. Boe Kie merasa heran. Si
berewok tidak begitu akur dengan paman gurunya. Mengapa ia bicara begitu lama? Boe Kie
menduga, bahwa didalam kalangan Mo kauw timbul gelombang dan sebab ia sendiri bukan
anggauta "agama" itu, maka ia tidak mau menyelidiki.
Esok paginya, Gie Coen berpamitan dan Boe Kie mengantarnya sampai dimulut selat.
"Saudara." kata si berewok waktu mereka berpisahan, "dalam beberapa hari ini seorang
musuh yang sangat lihay akan menyateroni Ouw Soepeh. Sebenarnya aku ingin mengajak kau
pergi kelain tempat untuk sementara waktu, akan tetapi Ouw Soepeh mengatakan, bahwa
musuh itu tak akan bisa berbuat banyak. Ia mengatakan, aku tak usah takut. Tapi aku harap,
kau suka berlaku hati-hati."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 439
"Musuh siapa?" tanya Boe Kie.
"Akupun tak tahu," jawabnya. "Aku mendengar Warta itu ditengah jalan dan buru-buru aku
datang kemari untuk memberitahukan Ouw Soepeh. Saudara, Ouw Soepeh seorang pintar
yang sangat berhati-hati. Kalau ia mengatakan tak usah kuatir, ia tentu sudah mempunyai
pegangan. Hanya aku yang masih berkuatir."
Melihat kecintaan si berewok terhadap dirinya, Boe Kie merasa sangat terharu dan sesudah
beromong-omong lagi beberapa lama, mereka lalu berpisahan.
Sekembalinya dirumah Ceng Goe, ia melihat orang tua itu tenangıtenang saja. Beberapa kali
ia coba menanya, tapi pertanyaan selalu diputuskan ditengah jalan.
Enam tujuh hari telah lewat dengan tenang. Malam itu, selagi Boe Kia membaca sejilid kitab
obat, mendadak ia merasa kepalanya berat dan badannya lelah. Ia lantas saja naik
kepembaringan. Esok harinya, ketika tersadar, ia merasa kepalanya sakit sekali. Ia segera
pengi kebelakang untuk mengambil obat. Tapi, baru berjalan puluhan tindak, ia mendapat
kenyataan, bahwa ia baru tersadar diwaktu lohor. "Mengapa aku tidur begitu lama? Apa aku
sakit?" tanyanya didalam hati.
Ia segera memegang nadi, tapi ketukan nadi tidak mengunjuk hal yang luar biasa. ia jadi
semakin kaget. Apakah racun dingin itu mengamuk dan ia sudah mendekati ajalnya?
Buru buru ia mencari Ouc Ceng Goe, tapi orang tua itu tidak kelihatan hidungnya. Selama
beberapa hari ia selalu berkuatir dan sekarang karena orang tua itu tidak berada didalam
rumah, sambil berlari lari i apergi kekebun untuk mencarinya. Di kebun ia bertemu dengan
seorang kacung yang sedang mencangkul tanah. "Mana Ouw Sinshe?" tanyanya.
"Apa ia tidak berada dikamarnya?" si kacung balas menanya. "Baru saja aku membawa teh.
Ouw Sinshe memesan supaya ia tidak diganggu". Boe Kie tertawa. "Aku benar tolol." katanya
didalam hati dan lalu kembali kerumah.
Waktu tiba di depan kamar Ceng Goe, ia melihat pintu dikunci. Mengingat perkataan
sikacung ia tidak berani mengetuk dan hanya batuk-batuk beberapa kali.
"Boe Kie," kata orang tua itu, "hari ini badanku kurang enak. Leherku sakit. Kau belajar saja
sendiri."
"Baiklah," jawabnya. Sesaat kemudian, sebab kuatir penyakit orang tua itu lebih berat, ia
berkata: "SinShe, boleh kuperiksa lehermu?"
"Tak usah," Jawabnya dengan suara dalam. "Aku sendiri sudah memeriksa dari kaaa. Tak apa
apa. Aku sendiri sudah minum obat."
Malam itu, waktu kacung membawa nasi, Boe Kie turut masuk kekamar Ceng Goe. Ia
melihat, bahwa muka orang tua itu yang rebah dipembaringan pucat pasi. Ia kaget. "Apakah
semalam, selagi aku tidur, musuh sudah datang menyatroni?" tanyanya dalam hati. "Mungkin
sekali, biarpun berhasil mengusirnya, Ouw Sinshe sendiri terluka berat."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 440
Begitu melihat Boe Kie, Ceng Goe mengibas tangannya. "Pergi!" bentaknya. "Kau tahu aku
sakit apa? Sakit cacar."
Si bocah mengawasi dan benar saja, tangan dan muka orang tua itu penuh dengan titik-titik
hebat. Kalau salah pengobatannya, orang bisa mati, atau sedikitnya bakal bermuka bopeng.
Tapi mengingat Ceng Goe seorang tabib malaikat, ia tidak merasa kuatir. Hatinya lega sebab
ia yakin, bahwa orang tua itu bukan dilukakan musuh.
"Kau dan si kacung tidak boleh masuk lagi kedalam kamarku," kata pula Ceng Goe. "Semua
perabot makan, sesudah digunakan olehku, harus diseduh dengan air panas. Kau tidak boleh
menggunakan itu....hm..." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi. "Boe Kie, begini
saja. Menyingkirlah dari Ouw tiap kok untuk sementara waktu. kau boleh menumpang di
salah sebuah rumah penduduk kira kira setengah bulan. Aku kuatir kau ketularan cacar!"
"Tidak!" kata si bocah. "Sinshe sedang sakit, kalau aku pergi, siapa yang harus merawatmu.
Biar bagaimanapun jua, aku lebih mengenal ilmu pengobatan dari pada kedu akacung itu."
"Tapi lebih baik kau menyingkir," kata orang tua itu. Ia membujuk beberapa kali, tapi si
bocah tetap pada pendiriannya. Akhirnya Ceng Goe berkata: "Baiklah. Tapi biar
bagaimanapun jua, aku melarang kau masuk lagi kekamarku"
Tiga hari telah lewat. Setiap pagi dan malam Boe Kie selalu menanyakan kesehatan orang tua
itu dari luar kamar. Ia mendapat kenyataan bahwa biarpun suara Ceng Goe masih agak parau,
tapi semangatnya sudah cukup baik dan nafsu makannyapun bertambah besar. Setiap kali,
dari dalam kamar, Ceng Goe menyebutkan nama nama obat dan timbangannya yang harus
dimasak untuknya oleh sikacung.
Pada hari keempat, diwaktu lohor, Boe Kie membaca bagian Soe Kie Tauw sia Tay Loen
(Perundingan mengenai peranan empat hawa dalam memperkuat semangat) dari Oey Tee
Lwee keng (Kitab obat obatan dari Kaizar Oey Teng). Di bagian itu antara lain tertulis seperti
berikut:
"Maka itulah, seorang pandai tidak mengobati penyakit, tapi menjaga supaya penyakit itu
jangan sampai timbul. Ia tidak membereskan kekacauan, tapi menjaga jangan sampai
kekacauan muncul. Inilah jalan yang paling baik. Kalau menunggu sampai penyakit timbul
dan baru mengobatinya, sampai kekacauan muncul dan baru mengobatinya, sampai
kekacauan muncul dan baru membereskannya, maka usaha itu adalah seperti menggali sumur
sesudah haus atau membuat senjata sesudah menghadapi musuh. Apakah itu bukan sudah
terlambat ?"
Tanpa merasa, Boe Kie mengangguk beberapa kali. "Memang sudah terlambat, kalau
menggali sumur sesudah haus dan membuat senjata sesudah berhadapan dengan musuh,"
katanya didalam hati. "Membereskan negara sesudah terbit kekacauan juga sudah terlambat.
Biarpun andaikata keamanan dapat dipulihkan, akan tetapi negara tetap mendapat kerugian.
Mengobati penyakit juga tiada bedanya. Lebih baik menjaga sebelum penyakit mengamuk
dari pada mengobati sesudah penyakit itu menjadi berat," Ia ingat dibagian lain dari kitab
tersebut terdapat kata kata seperti berikut:
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 441
"Seorang tabib yang pandai, paling senang mengobati kulit dan bulu, kemudian mengobati
otot otot, lalu mengobati urat urat, dan akhirnya baru mengobati isi perut. Jika ia harus
mengobati isi perut, maka kemungkinan sembuhnya si sakit hanya separuh separuh."
"Benar, memang benar apa yang dikatakan dalam kitab itu," pikir Boe Kie. "Seorang tabib
pandai selalu mengobati pada waktu penyakit baru saja muncul. Kalau penyakit sudab masuk
ke isi perut biar bagaimana pandaipun jua, ia tidak mempunyai pegangan lagi. Seperti aku,
racun sudah masuk ke dalam isi perutku. Keadaanku sudah sembilan bagian mati dan hanya
satu bagian hidup."
Selagi memikir begitu, tiba tiba terdengar suara tindakan kuda. Boe Kie buru buru menutup
bukunya dan berbangkit. Ia bingung sebab kuatir kedatangan musuh. Sambil berlari lari ia
pengi kekamar Ceng Goe. "Ouw Sinshe," katanya. "Kudengar suara tindakan bebrapa ekor
kuda yang masuk ke selat ini. Bagaimana baiknya?"
Sebeleum orang tua itu keburu menjawab, kuda kuda itu yang ternyata bisa lari luar biasa
cepatnya, sudah tiba didepan rumah.
"Sesama orang Rimba Persilatan mohon bertemu dengan Ie Sian Ouw Sinshe!" demikian
terdengar teriakan seorang. "Kami ingin memohon belas kasih Ouw Sinshe untuk mengobati
penyakit"
Mendengar itu, hati Boe Kie agak lega. Ia bertindak keluar dan melihat seorang bermuka
hitam berdiri didepan pintu. Tangan orang itu menuntun tiga ekor kuda. Di punggung dua
diantara hewan hewan itu kelihatan rebah dua orang yang pakaiannya berlepotan darah.
Penunggang kuda itu sendiri berdiri dengan kepala dibalut dengan kain putih bernoda darah,
sedang tangan kanannya dimasukkan dalam selembar kain yang diikatkan keleher. Di lihat
dari romannya, iapun mendapat luka yang tidak enteng.
"Kedatangan kalian sungguh sangat tidak kebetulan," kata Boe Kie. "Ouw Sinshe sedang sakit
dan tidak bisa bangun. Harap kalian suka cari lain tabib saja."
"Celaka!" kata orang itu dengan suara kaget. "Kami melalui perjalanan ratusan li dengan
harapan bisa mendapat pertolongan Ie sian"
"Ouw Sinshe mendapat sakit cacar," Boe Kie menerangkan. "Dalam beberapa hari ini,
keadaannya sangat buruk. Inilah suatu kenyataan dan aku tidak berjusta."
Orang itu menghela napas. "Kami bertiga adalah saudara seperguruan dan kami mendapat
luka yang sangat berat," katanya dengan suara duka. "Kalau tidak ditolong Ie sian, kami pasti
akan meninggal dunia. Kuharap saudara suka melaporkan kepada Ouw Sinshe."
"Kalau begitu, bolehkah aku tahu she dan nama Toako yang mulia?" tanya Boe Kie.
"Nama kami tidak cukup berharga untuk disebut-sebut," jawabnya. "Tolong beritahukan saja
bahwa murid-murid Sian-ie Ciang-boen dari Hoa San-pay memohon pertolongan." Sehabis
berkata begitu, badannya bengoyang-goyang, paras mukanya jadi lebih pucat dan mulutnya
agak terbuka seperti mau muntahkan darah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 442
Boe Kie melompat dan menotok beberapa jalan darah di dada dan punggung orang itu. Begitu
tertotok, darah yang sudah meluap turun kembali dan orang itu merasa dadanya agak lega.
Melihat kepandaian si bocah, ia kelihatan kaget dan kagum.
Boe Kie segera masuk kedalam, "Sinshe," katanya. "di luar menunggu tiga orang yang
mendapat luka berat dan minta pertolonganmu. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah
murid-murid dari Sian ie Ciang boen Hoa-san-pay."
Ouw Ceng Goe mengeluarkan suara "ih!" dan kemudian, ia berteriak dengan gusar: "Tidak!
Tidak! Usir mereka!"
"Baiklah," kata Boe Kie yang dengan cepat lalu berjalan keluar.
"Ouw Sinshe tak bisa menemui kalian karena penyakitnya masih belum mendingan," kata
Boe Kie. "Harap kalian suka memaafkan."
Orang itu mengerutkan alis. Selagi ia mau memohon lagi, tiba-tiba salah seorang yang
bertubuh kurus kecil dan rebah diatas punggung kuda mengangkat kepalanya dan mengayun
tangannya. Hampir berbareng sehelai sinar emas menyambar dan serupa benda jatuh di atas
meja di dalam rumah.
"Saudara, bawalah bunga emas itu kepada Kian sie poet kioe," kata si kurus. "Beritahukanlah
bahwa kami bertiga telah dilukakan oleh majikan dari bunga emas itu. Dia akan segera
mencari le sian sendiri. Jika Kian sie Poet kioe suka mengobati kami, sesudah sembuh kami
akan tetap berdiam disini untuk bantu melawan musuh. Biarpun kepandaian kami tidak
berarti, tapi masih merupakan tiga tenaga bantuan"
Boe Kie menghampiri meja. Ia melihat, bahwa senjata rahasia itu menyerupai sekuntum
bunga bwee yang terbuat dari pada emas tulen, dengan sari bunga dibuat dari perak putih,
sehingga Kim hoa (bunga emas) itu indah sekali kelibatannya. Boe Kie mengulurkan tangan
dan coba menjemputnya, tapi diluar dugaan bunga emas itu menancap dimeja dan ia tidak
dapat mencabutnya lagi. Dengan mengunakan jepitan obat, barulah ia berhasil. "Orang kurus
itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi, tapi dia masih kena dilukakan oleh majikan bunga
emas itu." pikirnya, "Siang Toako mengatakan bahwa seorang musuh akan menyatroni Ouw
Sinshe. Mungkin sekali musuh Ouw Sinshe adalah orang itu." Sambil mambawa senjata
rahasia tersebut, ia segrera masuk dan menyampaikan perkataan si kurus kepada Ouw Ceng
Goe.
"Coba aku lihat," kata orang tua itu.
Boe Kie menolak pintu dan menyingkap tirai. Kamar itu sangat gelap. Seorang yang kena
penyakit cacar memang takut dengan sinar terang, maka pintu dan jendela kamar itu ditutup
dengan tirai. Ia melihat muka Ouw Ceng Goe ditutup dengan kain dan hanya kedua matanya
yang bisa dilihat orang. Hati Boe Kie berdebaran. Bagaimana macamnya bisul bisul dimuka
orang tua itu. Apa sesudah sembuh, dia bakal bopeng?
"Taruh bunga emas itu diatas meja dan lekas keluar," perintah si tabib malaikat.
Boe Kie menurut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 443
"Mati hidup mereka bertiga tiada sangkut paut nya dengan aku," demikian terdengar suara
Tiap kok ie sian, "Soal mati hidupku juga tak usah diributi mereka." "Ptak!", bunga emas itu
terbang keluar sesudah menobloskan tirai dan kemudian jatuh ditanah.
Biarpun daun bunga dari senjata rahasia itu sangat tipis dan tajam, tapi karena tirai adalah
lemas dan alot, maka dicobloskannya kain jang tebal itu mengejutkan Boe Kie. Selama
berdiam dua tahun dirumah Tiap kok Ie sian, Boe Kie belum pernah melihat ilmu silat orang
tua itu. Baru sekarang ia mendapat bukti, bahwa si tabib malaikat juga memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi.
Ia menjemput Kim hoa itu dan menghampiri lelaki yang kurus itu. Sambil menggelengkan
kepala,
ia berkata. "Sakitnya Ouw Sianshe sangat berat."
Mendadak dari sebelah kejauhan terdengar suara roda kereta yang tengah memasuki selat
Ouw tiap kok. Perkataan Boe Kie terhenti dan semua orang memasang kuping.
Kereta itu cepat sekali jalannya, dan tak lama kemudian sudah berada diluar rumah. Dari
dalam kereta keluarlah seorang pemuda yaug kuning kulit mukanya sambil melompat. Begitu
turun ia mendukung seorang kakek yang gundul kepalanya "Apa Tiap kok Ie sian Ouw Sinshe
ada?" tanyanya. "Murid Khong tong pay. . . ." Baru ia ber kata begitu, badannya bergoyang
goyang dan ia lalu roboh bersama sama si kakek. Dua ekor kuda yang menarik kereta, yang
mulutnya mengeluarkan busa, juga berlutut dengan berbareng. Rupanya kedua binatang itu
kehabisan tenaga.
Melihat romannya dua orang itu, tanpa ditanya lagi ketahuanlah sudah bahwa mereka itu baru
saja melakukan perjalanan cepat satu sampai dua ratus li tanpa beristirahat ditengah jalan.
Sudah begitu Boe Kie pun mendengar di sebutnya "Murid murid Khong Tong pay", maka
ingatlah ia akan halnya, diantara orang-orang yang memaksakan kematian ayah dan ibunya
diatas gunung Boe tong san ada tianglo atau tertua dari partai itu. Ia melihat si orang tua
kepala gundul lantang yang disebut Seng Cioe Ka Lam Kao Ciat. Orang tua ini tidak hadir
digunung ketika itu, akan tetapi mau ia menduga bahwa dia ini mestinya bukan manusia baik
baik. Karena itu ingin ia menolak mereka itu atau ia segera melihat munculnya lagi empat
atau lima orang ada yang dingkluk-dingkluk sambil memegangi tongkat, ada yang saling
menuntun, dan semua mereka itu mempunyai luka-luka di tubuh mereka. Ia mengerutkan
alisnya. Tidak menanti sampai mereka itu datang dekat, ia lantas berkata nyaring: "Ouw
Sinshe kena penyakit cacar, karena dirinya sendiri belum tentu dapat ditolong, ia jadinya tidak
dapat mengobati kalian, tuan-tuan! Maka itu, silahkan tuan-tuan sekalian lekas mencari lain
tabib saja supaya kamu tidak digagalkan luka luka kau" (Pep: this paragraph does not make
any sense)
Sementara itu, orang orang itu yang berjumlah berlima sudah datang dekat. Nyata mereka itn
mengenakan pakaian yang bagus bagus, mereka mirip dengan saudagar saudagar besar,
melainkan muka mereka semua pucat pasi, bagaikan kertas putih polos, sedikit juga tidak ada
sinar darahnya. Ditubuh mereka tidak tampak tanda tanda bekas luka, dari itu teranglah sudah
bahwa mereka mendapat luka-luka hebat didalam.
Orang yang berjalan dimuka, yang tubuhnya jangkung dan gemuk, mengangguk terhadap Kan
Ciat serta si pria kurus dan kecil, atas mana, mereka itu saling menyeringai.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 444
Jadinya, tiga rombongan orang itu, semua kenal satu dengan lain.
Boe kie heran, tertarik rasa ingin tahunya.
"Apakah kamu semua terlukanya si pemilik bungga emas?" ia tanya.
"Benar." menjawab si gemuk, yang terus berpaling kepada Kan Ciat, untuk menanya:
"Saudara Kan, apakah kau telah bertemu sama Ouw Sinshe?"
Kan Ciat nuenggeleng kepala, "Saudara Nio, mukamu lebih terang. Mungkin kau dapat
mengundang Ouw Sinsbe," katanya
"Siapakah itu si pemilik bunga emas?" tanya Boe Kie menyelak. "Kenapa dia demikian
galak?"
"Saudara kecil," berkata orang yang dipanggii saudara Nio oleh Kan Ciat tanpa dia menjawab
pertanyaan si anak tanggung, "tolong kau menyampaikan kepada Ouw Sinshe bahwa aku si
orang she Nio dari Toko Emas Goan Sang di Boe hoe telah datang dari tempat yang jauh
memohon berobat"
Si orang yang muntah darah hidup, yang tiba paling dulu, menduga Boe Kio muda sekali
tetapi bukannya sembarangan orang, maka dia bertanya: "Saudara kecil, kau she apa? Apakah
hubungan sama Ouw Sinshe?"
"Aku juga pasien dari Ouw Sinshe." Boe Kie menyahut. "Sudah dua tahun lebih Ouw Sinshe
mengobati aku. Aku masih belum sembuh betul, Ouw Sinshe telah membilang, dia tidak
dapat mengobati. Maka itu, sudah pasti dia tidak bakal mengobatinya. Karenanya, tidak ada
gunanya untuk kamu berdiam lama-lama disini."
Selagi mereka berbicara, dengan beruntun kembali datang empat orang. Ada yang naik kereta,
ada yang menunggang kuda, dan mereka ini juga datang untuk minta ditolong diobati, mereka
memintanya dengan sangat.
Boe Kie menjadi heran sekali hingga ia berpikir. "Lembah Ouw tiap kok ini sepi luar biasa.
Kecuali orang-orang partai agama sesat, orang Kang-ouw juga sedikit yang sekali
mengetahuinya. Maka itu mereka ini yalah orang-orang Khong Tong pay dan lainnya, yang
bukan kaum sesat. Kenapa mereka berbareng pada datang kemari untuk berobat? Pula, kenapa
mereka juga terluka berbareng? Dan itu pemilik bunga emas, dia lihay sekali! Untuknya
jikalau dia mau mengambil jiwa mereka ini, itulah bukan pekerjaan sulit. Kenapa dia justeru
melukai orang orang ini hebat begini macam?"
Di antara semua orang itu, yang berjumlah empat belas, ada yang pandai bicara, ada yang
diam saja, tetapi mereka semua bersatu hati tak mau mengangkat kaki walaupun mereka
sudah ditolak. Ketika itu sudah magrib, mereka seperti memenuhi sebuah ruang.
Kacung tukang masak nasi sudah lantas menyajikan barang makanannya Boe Kie, dan Boe
Kie tanpa sungkan lagi lantas berdahar seorang diri. Kemudian ia duduk menghadapi meja
dan dengan terangnya pelita, ia membaca buku tentang ilmu ketabiban. Semua orang itu ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 445
tidak ambil peduli. Ia telah berpikir. "Aku telah dapat mempelajari ilmu tabib dari Ouw
Sinshe, maka itu akupun boleh mempelajari ilmunya, melihat kematian tidak menolong."
Malam telah tiba. Malam itu sunyi sekali. Didalam rumah gubuk itu tidak terdengar suara apa
apa lagi kecuali suara Boe Me membalik balik halaman bukunya serta suara bernapas keras
dari mereka yang terluka. Justeru suasana sedang sunyi sunyinya itu, dari luar gubuk
terdengar tindakan kaki dari dua orang.
Boe Kie heran. Ia lantas_mengangkat kepalanya. Ia memasang kuping. Tindakan tadi
perlahan, selagi mendekati, semakin perlahan terdengarnya. Terang orang lagi
menghampirkan kerumah gubuk.
Tak lama, atau lantas terdengar suara yang halus tetapi terang. "Ibu, disana ada sinar api di
dalam rumah. Kita sudah sampai!"
Didengar dari suaranya itu, orang itu mestinya seorang anak kecil.
"Anak, kau capai atau tidak?" lalu terdengar suara lain, lebih keras tetapi toh dari seorang
wanita juga.
"Aku tidak capai." sahut si anak barusan. "Ibu jikalau tabib sudah mengobati kau, kau
tentunya tidak sakit lagi."
Si wanita terdengar menjawab. "Ya... Tapi entahlah dia suka menolong atau tidak!"
Hati Boe Kie tergerak.
"Ah, rasanya aku kenal baik suara ini ..." pikirnya. "Rupanya dia Nona Kie Siauw Hoe."
"Pasti tabib akan mengobati ibu," kata pula si anak perempuan. "Jangan kuatir. Apakah nyeri
ibu sudah mendingan?"
"Sedikit mendingan?" menyahut si nyonya yang dipanggil ibu itu. "Ah, anak yang
bersengsara......"
Mendengar pula suara orang itu, Boe Kie tak sangsi lagi. Ia lantas lompat keambang pintu.
"Toh Kie Kouwkouw disana", ia menanya "Apakah kaupun terluka?"
Lalu dibawah terangnya sang Puteri Malam ia melihat seorang wanita yang sebelah tangannya
menuntun seorang nona kecil, seorang anak perempuan juga. Wanita itu yang dipanggil
Kouwkouw, atau bibi, benarlah Kie Siauw Hoe adanya. Akan tetapi Siauw Hoe tidak
mengenalinya sebab ketika diatas gunung Boe tong san mereka bertemu, Boe Kie baru
berumur sepuluh tahun, dan sekarang, sang waktu sudah lewat lima tahun.
"Kau... kau... " tanyanya heran.
"Kouwkouw, kau telah tidak mengenali aku, bukan?" kata Boe Kie, "Aku Thio Boe Kie.
Ketika dulu hari di Boe tong san ayah dan ibuku membunuh diri, aku melihat kau."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 446
Siauw Hoe berseru saking herannya. Inilah ia sama sekali tidak menyangka. Berbareng
dengan itu, ia menjadi kaget sendirinya dan likat. Ia seorang nona yang belum menikah,
membawa-bawa seorang anak perempuan.... Sekarang ia berhadapan dengan Boe Kie,
keponakan dari In Lie Heng bakal suaminya itu. Sebagai bocah tanggung, Boe Kie tentulah
sulit untuk diberi penjeasan tentang keganjilan itu. Maka mukanya menjadi merah. Karena ia
lagi terluka serta lukanya bukan enteng, kagetnya itu membuat tubuhnya terhuyung.
Anak perempuan itu, yang umurnya baru enam atau tujuh tahun, melihat ibunya mau jatuh, ia
lantas menjambret tangannya, akan tetapi ia bertenaga lemah, ia dapat berbuat apa?
Boe Kie melihat Siauw Hoe mau jatuh, karena mana si nona cilikpun bakal roboh juga, ia
lantas menahan pundaknya bibi itu.
"Kouwkouw, silahkan masuk kedalam untuk beristirahat," ia mengundang. Ia berkata begitu
ia toh memimpin orang masuk kedalam ruang. Karena ini, dengan pertolongan cahaya api, ia
lantas melihat luka si bibi, luka dipundak kiri dan dibahu kanan, bekas golok atau pedang.
Melihat darah yang menembus dari balutan, luka itu mestinya parah. Pula si nona merintih
beberapa kali, tandanya hebat menahan rasa nyerinya.
Mendengar rintihan atau batuk-batuk si nona, Boe Kie mengerti hebatnya luka si bibi.
Didalam halnya ilmu ketabiban, sekarang ini Boe Kie telah dapat melawan sembarang "tabib
kenamaan". Suara batuk itu menadakan si nona telah mendapat goncangan pada pinggiran
peparunya yang kiri.
"Kouwkouw," katanya, "tangan kananmu telah bentrok sama tangan orang dan karena itu kau
terluka pada bagian peparumu they im hie." Ia berkata begitu, tetapi tanpa menanti jawaban,
ia lantas mengeluarkan tujuh batang jarum emas. Dengan itu, tanpa membukai baju si nona, ia
menusuk ditujuh jalan darah in-boen dipundak, hoa kay di dada cie-tek dan lain-lain.
Kepandaian dari Boe Kie ini sekarang beda jauh dari waktu dulu hari ia mengobati Siang Gie
Coen. Selama dua tahun ia belajar dibawah pimpinan Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe, ia
sudah mendapat kemajuan pesat. Penghalang satu satunya yalah usianya yang masih terlalu
muda. Jadi kalau dibandingkan dengan gurunya, ia masih ketinggalan jauh sekali. Hanya
didalam ilmu menusuk jalanan darah dengan jarum emas saja, ia sudah mendapatkan tujuh
atau delapan bagiannya.
Kie Siauw Hoe melihat anak tanggung itu mengambil jarum, ia tidak tahu apa perlunya itu,
maka ia heran dan kagum ketika tahu-tahu dia telah ditusuk berulang-ulang secara demikian
hebat dan tepat. Begitu lekas sudah ditusuk, ia merasakan dadanya tidak terlalu sesak lagi.
"Anak yang baik!" Ia berseru dalam girangnya "Aku tidak sangka kau berada disini dan juga
telah dapat mempelajari ilmu tabib begini sempurna!"
Siauw Hoe lantas ingat kejadian di Boe tong san itu hari, ketika ia menghadapi Thio Coei San
dan In So So, suami isteri itu, saling beegantian membunuh diri, hingga mayat mereka
dipeluki Boe Kie. Ia merasa terharu sekali, ia berkasihan terhadap anak itu, maka ia telah
membujuk dan menghiburinya seraya memberikan juga kalungnya yang terbuat daripada
emas. Hanya ketika itu Boe Kie sudah menampik pemberian itu sebab dia lagi sangat berduka
dan gusar, hingga dia memandang semua tetamu yang hadir disitu adalah musuh-musuh yang
mendesak kebinasaan ayah dan ibunya. Atas penampikan itu, Siauw Hoe jadi malu sekali,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 447
tetapi ia tidak dapat berbuat apa apa. Kemudian pikiran Boe Kie berubah. Inilah disebabkan
ketika dia terlukakan serangam ilmu Hian beng Sin ciang, dia sudah ditolong mati matian oleh
In Lie Heng, yang sudah mengorbankan banyak tenaga dalamnya. Perto1ongan itu dia ingat
betul. Dia merasa berhutang budi, Maka juga, karena mengingat budinya In Lie Heng dia
menjadi ingat juga kebaikan Ki Siauw Hoe dan untuk membalas budinya si paman guru,
pantas dia memberikan kesan baik terhadap si tunangan si paman. Semakin usianya
bertambah semakin dia dapat berpikir, membedakan yang benar dan yang salah. Dia juga
ingat tempo dulu kala ,sekalian paman gurunya telah membicarkan persoalan minta Go bie
pay bekerja sama menentang musuh. Jadi Go bie pay bukanlah musuh utama bahkan sama
sekali bukanlah musuh Boe tong pay.
Pada dua tahun dulu, ketika Boe Kie bertemu sama Siang Gie Coen di diluar rimba, disana is
menyaksikan Kie Siauw Hoe menolongi Pheng Hweeshio. Perbuatan mulia nona itu
membikin ia beranggapan si nona ialah orang baik. Hanya sekarang ini ia belum dapat
memikir kenapa Siauw Hoe, si bibi yang belum menikah, telah mempunyai anak perempuan
umur lebih daripada lima tahun itu . . . .
Cuma Siauw Hoe yang lihat sendirinya.
Selama ini Boe Kie dapat melihat jelas anaknya bibi itu. Nona cilik itu berdiri diam disisi
ibunya. Dia masih kecil tetapi nyata dia cantik sekali. Sepasang alisnya bagaikan dilukis,
sepasang matanya hitam dan celi, dan dengan mata tajam mengawasi padanya.
"Ibu, apakah anak ini sitabib?" kemudian anak itu berbisik dikuping ibunya. "Apakah rasa
nyeri ibu sudah baik?"
Mendengar panggilan "Ibu" mukanya Siauw Hoe menjadi merah pula, tak dapat ia mencegah
jengahnya.
"Inilah kakakmu, kakak Boe Kie," ia menyahuti. "Ayah kakakmu ini ialah sahabat ibumu.
Kemudian ia meneruskan pada Boe Kie, perlahan "Dia... dia bernama Poet Hwie...." Ia
berhenti pula sejenak. "Dia she Yo.... Yo Poet Hwie..."
Boe Kie girang, dia tertawa.
"Bagus!" dia berseru. "Aku Thio Boe Kie dan kau Yo Poet Hwie!"
Senang Siauw Hoe melihat sikap wajar dari Boe Kie, tak sedikit juga sikap si anak yang
hendak menegur kepadanya. Hatinya menjadi lega.
"Anak, kepandaian kakakmu hebat," ia kata pada anaknya. "Sekarang ini rasa nyeriku sudah
berkurang"
Poet Hwie memainkan matanya yang celi itu. Ia mengawasi ibunya, terus ia mengawasi Boe
Kie. Sekonyong-konyong ia maju kepada bocah didepannya, untuk merangkul, untuk
mencium pipinya.
Bukan main terkejutnya Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 448
Jilid 24______________
Nona Poet Hwie ini adatnya sangat polos dan wajar. Sedari masih kecil sekali, kecuali ibu dan
pengasuhnya, ia tidak pernah bertemu sama lain orang. Sekarang ibunya terluka parah,
mereka pun dalam kesukaran besar, sekarang ia menyaksikan Boe Kie menolongi ibunya itu
yang nyerinya menjadi ringan sekali. Ia bersyukur bukan main. Adalah kebiasaannya, kalau ia
mengutarakan kegirangan dan rasa syukurnya, suka ia berlompat kepada mereka, untuk
memeluk atau merangkul, untuk mencium pipi mereka. Kebiasaan ini sekarang ia
melakukannya terhadap Boe Kie tanpa malu.
"Hus!" Siauw Hoe berseru. "Jangan begitu Hwie-jie Kakak Boe Kie tidak senang nanti!"
Poet Hwie mementang kedua matanya, ia heran.
"Apakah kau tidak senang padaku?" ia tanya Boe Kie. "Kenapa aku tidak boleh berlaku baik
kepadamu?"
Boe Kie tertawa.
"Aku girang!" sambutnya. "Aku suka berbuat baik terhadapmu!" Dan ia membalas mencium
pipi yang halus dari nona cilik itu.
Poet Hwie girang bukan main, ia menepuk nepuk tangan.
"Hai, tabib kecil, lekas kau obati ibu, supaya ibu sembuh seluruhnya!" ia berseru. "Nanti aku
cium pula padamu!"
Tidak kepalang girangnya Boe Kie mendapatkan orang demikian manja dan lincah. Selama
belasan tahun hidupnya, ia telah bergaul sama banyak orang, tetapi mereka itu adalah paman
pamannya dan Siang Gie Coen juga masih lebih tua delapan tahun daripadanya. Didalam
perahu ia pernah bertemu sama Coe Tit Jiak, akan tetapi pertemuan itu sangat pendek, belum
ada satu hari mereka sudah mesti berpisah pula. Jadi belum pernah ia bergaul sama sahabatsahabat
cilik sebayanya. Maka itu, mendapati nona ini, ia berpikir. "Jikalau aku mempunyai
adik benar sekecil ini, yang begini menarik hati, pastilah aku sering mengajak dia pergi
bermain-main...."
Dalam usia empat belas tahun, anak yatim piatu ini masih kekanak-kanakan. Ia kehilangan
ketikanya untuk bermain-main seperti anak-anak yang kebanyakan.
Sementara itu Kie Siauw Hoe telah menyaksikan semua hadirin yang pada terluka. Ia merasa
malu untuk mendahului mereka.
"Tuan-tuan ini datang terlebih dulu daripada aku, pergi kau periksa mereka lebih dulu," ia
kata pada Boe Kie. Ia tidak ketahui duduknya hal. "Sekarang ini sakitpun berkurang banyak."
"Mereka datang untuk berobat kepada Ouw Sin she," Boe Kie mengasi tahu. "Cuma sekarang
ini Ouw Sinshe sendiri lagi sakit. Mana dia bisa mengobati orang? Mereka tidak mau berlalu,
maka itu biarlah mereka terus menunggu. Kouwkouw, kau bukannya mencari Sinshe, jikalau
kau percaya keponakanmu ini, mari sini, biar aku periksa lebih jauh lukamu. Sudah lama juga
aku berdiam di sini, tentang luka-luka aku mengetahui sedikit."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 449
Sebenarnya Kie Siauw Hoe yang mendapat suatu petunjuk, datang ke lembah ini untuk
mencari Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe. Ia datang dengan serapa maksud dengan Kan Ciat
beramai itu.
Maka itu, melihat keadaannya Kan Ciat semua, ia heran siapa tahu duduknya hal sederhana
saja. Ia lantas mengerti bahwa Ouw Ceng Goe tidak berniat menolongi mereka itu. Tapi
mengenai Boe Kie, kepercayaannya lantas muncul. Bukankah ia telah ditusuk berulang-ulang
dan sekarang rasa nyerinya telah berkurang banyak? Ia jadi tidak boleh memandang enteng
kepada usia bocah ini.
"Baiklah." katanya kemudian. "Aku terima kasih padamu ! Tidak apa tabib besar tidak mau
mengobati aku, asal ada kau si tabib kecil..."
Boe Kie lantas minta bibi itu masuk ke kamar samping dimana ia lantas bekerja. Lebih dulu ia
guntingi bajunya si bibi dibagian tubuhnya yang terluka. Ia mendapatkan tiga luka bacokan
golok dibahu, sambungan pundaknya telah menggeser dari tempatnya. Di lengan juga ada
tulang yang remuk. Di matanya tabib yang kebanyakan, luka luka itu ialah luka luka yang
sukar untuk di obati, tetapi dimata muridnya Ouw Ceng Goe, itulah luka luka biasa. Maka
Boe Kie lebih dulu menyambung rapi dulu, tulang yang berkisar itu, habis mana ia
memborehkan obat. Kemudian lagi, ia membuat surat obat, yang obatnya ia suruh kacung
memasaknya matang. Ia belum biasa membalut luka tapi toh, walaupun rada lambat, dapat
menyelesaikan juga tugas ketabibannya itu.
"Kouwkouw, sekarang silahkan kau beristirahat dulu," katanya akhirnya. "Sebentar, setelah
habis kekuatan baal dari obat ini, kau akan merasa sakit luar biasa."
"Terima kasih!" menyahut bibi itu.
Boe Kie pergi ke kamar obat untuk mencari buah ongoo dan buah heng. Ia bawa itu untuk
dikasihkan pada Poet Hwie. Ketika ia kembali, si nona sudah tidur menyender kepada ibunya
sebab dia telah tidak tidur satu malaman. Dari itu ia masuki saja buah buahan itu ke dalam
saku sinona. Lantas ia kembali ke depan.
Pria yang muntah darah itu, orang Hoa san pay, lantas berbangkit. Ia menjura dalam terhadap
si anak tanggung.
"Siauw Sinshe." katanya. Ia memanggil "Siauw Sinshe" atau tabib kecil. "Oleh karena Ouw
Sin she lagi sakit, kau saja yang menolong mengobati kami. Pasti kami akan sangat bersyukur
terhadap mu..."
Boe Kie mengawasi orang itu dan kawan kawannya. Sebenarnya semenjak ia belajar ilmu
kecuali mengobati Siang Gie Coen dan Kie Siauw Hoe ini, belum pernah ia mencoba terlebih
jauh kepandaiannya itu. Akan tetapi ia ingat kata katanya Ouw Sinshe, ia menguasai dirinya.
"Rumah ini rumah Ouw Sinshe," ia berkata. "Dan aku sendiri, adalah orang yang menderita
sakit yang berada dibawah rawatannya, mana berani aku melancangi tuan rumah ?"
Orang Hoa San Pay itu mengawasi si bocah, ia seperti dapat membade hati orang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 450
"Memang umumnya, seorang tabib kenamaan mesti telah berusia lima atau enam puluh
tahun." ia berkata untuk mengumpak, "Maka itu luar biasa Siauw Sinshe, yang usianya masih
muda sekali tetapi kepandaiannya kau sangat langka. Maka itu. Sinshe, aku mohon sukalah
kau menolongi kami?"
Si orang terokmok she Nio yang romannya seperti hartawan turut bicara.
"Kami empat belas orang, didalam kalangan kang ouw, kami mempunyai juga sedikit nama,"
katanya, "Maka itu, jikalau kami dapat ditolong oleh Siauw Sinshe, setelah kami pulang nanti,
pasti kami akan menguwarkan kepandaian Sinshe ini supaya namanya menjadi kesohor
hingga di dalam satu malam, kau akan jadi terkenal diseluruh negeri!"
Dasar masih terlalu muda, dan tidak punya pengalaman, Boe Kie tertarik kata-kata yang
mengumpak-umpak itu, hatinya menjadi girang.
"Apakah bagusnya nama kesohor diseluruh negeri ?" katanya. "Ouw Sinshe sendiri tidak
dapat menolong kalian, apalagi aku ? Apakah yang aku bisa bikin ? Agaknya luka kamu
bukannya enteng, maka begini saja, aku akan membantu meringankan rasa nyerimu"
Lantas ia mengambil obat obatan guna memberi pertolongannya. Ketika ia sudah melihat luka
orang orang itu, ia menjadi heran. Nyata, setiap luka itu beda satu dari lain, semuanya luka
luka biasa.
Belum pernah Ouw Ceng Goe mengajari ia tentang bermacam macam luka semacam ini. Ada
seorang yang rupanya telah dipaksa menelan beberapa puluh batang jarum, ada orang
perutnya tengoncang, tergempur tenaga dalam, ada yang beberapa jalan darahnya telah
terlukakan racikan pisau. Semua itu menandakan, si pembuat luka juga mengerti itu tabib baik
sekali. Semua itu ialah luka luka yang sangat sukar diobatinya. Ada lagi orang yang pinggiran
peparunya terpaku hingga tak hentinya dia batuk batuk dan mengeluarkan darah, ada pula
orang yang tulang tulang iganya pada patah tetapi luka itu tidak mengganggu peparu atau
jantungnya. Seorang lagi terkutungkan kedua ujung tangannya lalu tangan tangan yang
buntung itu, yang kiri ditaruh kebahu kanan, yang kanan ditaruh dibahu kiri. Masih ada pula
yang bengkak selurub tubuhnya seperti bekas dipagut kelabang atau binatang berbisa lainnya.
"Semua luka mereka luar biasa. Tidak satu juga yang aku bisa obati," pikirnya. "Orang yang
membuatnya luka itu hebat sekali, dia liehay. Kenapa dia menyiksa orang sampai begini?"
Karena memikir begini, ia menjadi ingat luka nya Kie Siauw Hoe.
"Luka bibi terlihat biasa saja, apakah bibipun mendapat luka di dalam ?" pikirnya pula kaget.
"Kalau tidak, mengapa bibi seorang yang dikecualikan?"
Lekas lekas ia meninggalkan Kan Ciat semua. Ia lari kedalam. Segera ia memeriksa nadinya
Siauw Hoe. Ia menjadi kaget. Ia mendapatkan nadi si bibi bergerak gerak, sebentar keras,
sebentar kendor, atau sebentar lagi jalannya lurus dan serat bergantian. Pasti itu disebabkan
sesuatu dari dalam tubuh. Ia kaget sebab ia tidak mengerti akan perubahan itu.
Keempat belas orang itu aneh lukanya, ia tidak memikirkannya. Diantara mereka itu ada
orang Khong tong pay, yang ada sangkut pautnya dengan kebinasaan ayah dan ibunya, jikalau
mereka tersiksa, pantaslah juga. Akan tetapi Kie Siauw Hoe, bibinya ini, tidak dapat ia tidak
menolongnya. Maka lekas-lekas ia pergi ke kamarnya Ouw Ceng Goe,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 451
"Sinshe! Apa sinshe sudah tidur ?" ia tanya perlahan.
"Ada apa?" ia mendapat jawaban. "Tidak peduli siapa, aku tidak akan mengobatinya!"
"Ya, sinshe. Hanya luka mereka itu, semuanya luka yang aneh-aneh ...."
Boe Kie lantas saja menurunkan tentang semua luka itu.
Ouw Ceng Goa, yang teraling dengan sekosol mendengari. Kalau ada yang ia tidak mengerti
ia menanya tegas, untuk itu. Boa Kie mesti pergi keluar kepada orang-orang yang luka itu,
untuk memeriksa pula selanjutnya untuk ia memberikan jawabannya yang terang kepada Tiap
kok Ie sian. Oleh karena ini, setengah jam tempo dibutuhkan untuk mendapat tahu jelas
lukanya semua limabelas orang itu berikut Siauw Hoe.
Beberapa kali Ouw Sinshe mengasih dengar suara tidak terang, agaknya ia terang berpikir,
banyak kemudian, ia kata "Hm semua luka itu tidak akan dapat menyulitkan aku ! "
Belum lagi Boe Kie sempat menanya, tiba-tiba ada orang yang bersuara di belakangnya
katanya: "Ouw Sinshe, pemilik bunga emas itu telah membilangi aku, untuk aku
menyampaikan kepada kau. Dia bilang. "Kecewa kau dipanggil Tiap kok Ie sian, sebab
limabelas macam luka ini, aku menduga tidak satu yang kau sanggup sembuhkan." Haha !
Benar-benar sekarang kau menyembunyikan diri, kau berpura-pura sakit!"
Boe Kie berpaling. Ia mengenali si orang tua berkepala lanang Seng Cioe Ka lam Kan Ciat
dari Khong tong pay. Tadinya ia menyangka rambut orang rontok wajar, kemudian ia
mendapat tahu, rambut itu rontok sebab kepalanya si gundul pernah dilabur obat yang sifatnya
keras oleh sipemilik bunga emas atau Kim hoa hingga rambutnya habis. Bahkan sisa obat
beracun menempel dan menembusi kulit, hingga selanjutnya kepala menjadi gatal terusterusan,
hingga ada kekuatiran, selewatnya beberapa hari, racun yang jahat itu nanti
menyerang polo atau otak, hingga orang bisa menjadi gila. Sekarangpun kedua tangannya
dirantai oleh kawan-kawannya, supaya tidak dapat menggaruk, kalau tidak, tidak nanti dia
dapat melawan rasa gatalnya itu.
Atas kata-kata jago Khong tong pay itu, Ouw Ceng Goe kata dengan tawar: "Untukku, aku
dapat menyembuhkan syukur, tidak dapatpun tidak apa. Ringkasnya, aku tidak mau
mengobati kau! Aku lihat kau masih dapat hidup sampai tujuh atau delapan hari lagi, karena
itu baiklah kau lekas pulang untuk menemui isteri dan anak anakmu, orang sedalam rumah
tangga ! Apa perlunya kau banyak omong di sini? Apakah faedah nya itu ?"
Kan Ciat menggoyang goyangkan kepalanya. Selagi mendongkol, berduka dan berkuatir, rasa
gatalnya menyerang hebat sekali. Karena ia tidak bisa menggaruk, ia membenturkan
kepalanya berulang ulang kepada tembok, sedang kedua tangannya, yang digerak-gerakkan,
mendatangkan suara berkelontrangan yang berisik. Dan terdengar jelas napasnya yang
memburu.
"Ouw Sinshe, orang yang menggunakan bunga emas itu, siang atau malam, bakal datang
kemari!" Ia berkata dengan sengit. "Aku juga telah melihat bahwa kaupun tidak bakalan mati
secara baik, maka itu, aku pikir baiklah kita bergabung bekerja sama melawan dia. Bukankah
ada terlebih baik begitu dari pada kau nantikan kematianmu dengan tidak berdaya?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 452
"Jikalau kamu semua masih dapat melawan dia, siang siang kamu telah membunuh mampus
padanya," kata Ouw Ceng Goe "Apakah perlunya aku mendapatkan lima belas kantong nasi
yang tidak mempunyai guna?"
Kan Ciat menjadi putus asa. Dari omong keras, ia menjadi merendah, memohon pertolongan
tabib pandai itu. Tetapi Ouw Ceng Goe sudah bertekad dengan keputusannya, bahwa ia tidak
mau ambil perduli.
Akhirnya Kan Ciat menjadi gusar, hingga ia berjingkrakan.
"Baiklah!" serunya saking nekad "Ke kiri dan ke kanan toh bakal mampus, maka kalau benar
benar musti mampus, baiklah, aku akan menggunakan api membakar kandang anjingmu ini.
Kami yang biasa memasuki golok putih bersih dan mengeluarkan golok berdarah merah, biar
kami membikin terjungkal kau. pendeta bangsat! Biarlah kita sama sama mengantarkan jiwa
kita di tempat ini!"
Saat itu, dari luar masuk lagi seorang lain, yaitu orang yang ditolong Boe Kie waktu mau
muntahkan darah. Melihat kekalapan Kan Ciat ia meraba pinggang dan mengeluarkan
sebatang Go bie Kong-cek (senjata semacam pusut). Sambil monotol dada Kan Ciat dengan
pusutnya, ia berkata : "Kau berdosa terhadap Ouw Cianpwee, dan aku si-orang she Sie,
merasa sangat tidak enak. Kau ingin yang masuk pisau putih, yang keluar pisau merah?
Baiklah! Aku akan mengiringi keinginanmu."
Ilmu silat Kan Ciat sebenarnya tebih tingga daripada si orang she Sie. Tapi karena kedua
tangannya diikat dengan rantai besi, maka ia tak melawan dan hanya mengawasi dengan mata
membelalak.
"Ouw Cianpwee," kata si orang she Sie dengan suara nyaring, "boanpwee Sie Kong Wan
murid Sian ia Sianseng dari Hoan san memberi hormat." Seraya berkata begitu, ia menekuk
lutut dan manggutkan kepala empat kali.
Melihat begitu, dalam hati Kan Ciat lantas saja timbul sedikit harapan. Ouw Ceng Goe yang
tidak dapat dipaksa dengan kekerasan, mungkin dapat ditataki dengan kelembekan.
Sesudahnya menjalankan peradatan besar, Sie Kong Wan berkata pula: "Kami sungguh
bernasib sial, karena justeru pada waktu kami memerlukan pertolongan, Ouw Siashe sakit.
Tapi kami tahu, bahwa disini terdapat seorang saudara kecil yang mempunyai kepandaian
tinggi dalam ilmu pengobatan. Maka itu, kami memohon Ouw Cianpwee suka memberi
permisi supaya saudara kecil itu mengobati luka kami yang sangat luar biasa. Dikolong langit,
kecuali murid Tiap kok le Sian tiada orang lain yang dapat menyembuh kan luka kami."
"Anak itu bernama Thio Boe Kie," kata si tabib malaikat dengan suara tawar. "Dia putera
Thio Sam Hong. Aku Ouw Ceng Goe manusia jahat dari agama siluman tak ada sangkut
pautnya dengan murid dari partai yang lurus bersih. Dia sendiri kena racun dingin dan
meminta pertolonganku, Tapi aku sudah bersumpah, bahwa kecuali anggota Beng kauw, anak
she thio itu tak sudi menjadi anggauta agama kami, mana biasa aku menolongnya?"
Hati Sie Kong Wan mencelos. Semula ia menduga, Boe Kie murid Tiap kok Ie sian.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 453
Sesudah berdiam sejenak, si tabib berkata pala. "Mengapa kamu tidak mau lantas berlalu dari
situ? Huh-huh! Apa kamu kira aku akan merasa kasihan? Tanyakanlah anak itu. Tanya dia
berapa lama dia sudah berdiam dirumahku."
Sie Kong Wan dan Kan Ciat lantas saja mengawasi Boe Kie yang lalu mengacungkan dua jari
tangannya.
"Duapuluh hari?" tanya Sie Kong Wan.
"Dua tahun dua bulan tepat" jawabnya.
Kan Ciat dan Sie Kong Wan merasa kepala mereka seperti disiram air es. Mereka saling
mengawasi dengan mulut ternganga.
"Biarpun dia berdiam disini sepuluh tahun, aku tetap tidak menolongnya," kata Ceng Goa,
"Hanya sayang didalam tempo satu tahun, racun dingin yang mengeram dalam isi perutnya
akan mengamuk, sehingga biar bagaimanapun jua, dia tak bisa hidup setahun lagi. Aku
pernah bersumpah dihadapan leluhur agama kami, bahwa biarpun ayah sendiri, biarpun anak
kandungku sendiri, aku tetap tak akan menolong, jika ia bukan murid Beng keuw."
Dengan putus harapan Kan Cat dan Sie Kong Wan menghela napes berulang-ulang. Tapi baru
saja mereka mau berjalan keluar, tiba-tiba Ouw Ceng Goe berkata "Bocah Boe tong pay itu
mengerti juga sedikit ilmu pengobatan. Meskipun ilmu pengobatan Boe tong tidak dapat
menandingi ilmu ketabiban Beng kauw, kurasa dia tidak akan membinasakan kamu dengan
pengobatan yang keliru. Apa dia suka monolong atau tidak, bukan urusanku"
Sie Kong Wan agak terkelut. Didengar dari pada suaranya, si tabib malaikat seperti juga
memberi isyarat supaya Boe Kie memberikan pertolongan. Maka itu, ia lantas saja berkata:
"Jika Thio Siauw hiap sudi menolong, kami mempunyai haranan lagi untuk bisa hidup terus."
"Bukan urusanku!" bentak Ceng Goa. "Boe Kie kau dengarlah. Aku melarang kau mengobati
mereka dalam rumahku. Kalau kamu tidak berada dalam rumah ini, aku tidak perduli."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan kaget dan heran. Mereka sungguh tak mengerti apa maksudnya
si tabib malaikat yang beradat aneh.
Tapi Boe Kie yang sangat pintar lantas saja tahu apa maunya Ceng Goe. "Kalian jangan
mengganggu Ouw Sinshe yang sedang sakit," katanya. "Ikutlah aku."
Mereka lalu mengikutt Boe Kie keruang depan.
"Pengetahuanku tentang ilmu ketabiban sebenarnya sangat cetek dan luka kalian sangat luar
biasa," kata si bocah. "Maka itu.. aku tidak mempunyai pegangan, apa aku akan berhasil atau
tidak. Jika kalian percaya dan rela diobati olehku, bolehlah aku mencoba-coba. Tapi aku tidak
bertanggung jawab akan keselamatan jiwa kalian."
Waktu itu, mereka sedang menderita hebat. Rasa sakit gatal, meluang dan kesemutan
tercampur menjadi satu. Mereka mau mati tidak bisa mau hidup pun tidak dapat. Maka itu,
begitu mendengar perkataan Boe Kie, mereka segera menyetujui untuk menerima pertolongan
bocah itu dengan rela hati.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 454
Sesudah mendapat jawaban, Boe Kie lalu berkata pula: "Sebagaimana kalian tahu, Ouw
Sinshe tidak mengijinkan aku mengobati kalian didalam rumahnya. Ia merasa kuatir, bahwa
kalian mati disini, nama harumnya sebagai Ie Sian (tabib malaikat) akan ternoda. Maka itu,
marilah kita keluar."
Mendengar perkataan Boe Kie, mereka bersangsi. Apakah kepandaiannya seorang anak-anak
yang baru berusia belasan tahun? Kalau dia salah mengobati, tentu penderitaan akan ditambah
dengan penderitaan lain. Tapi Kan Ciat sudah lantas berteriak. "Kulit kepalaku gatal bukan
main. Saudara kecil, kau boleh mengobati aku lebih dulu."
Sehabis berkata begitu, ia segera bertindak keluar.
Boe Kie memikir sejenak dan lalu masuk kekamar obat, dimana dia mengambil Lam seng,
Hong-hong, Pek tit, Thiam ma, Kiang ho, Pek hoe coe, Cie souw dan lain-lain, semuanya
belasan macam bahan obat. Sesudah itu, ia memerintahkan seorang kacung mengilingnya dan
mencampurnya dengan sedikit arak untuk membuat koyo yang lalu ditempelkan dikepala Kan
Ciat yang gundul.
Begitu kena, dia mengeluarkan teriakan kesakitan dan melompat-lompat. "Aduh! Aduh!"
teriaknya. "Sakit sungguh... tapi... tapi... mendingan daripada gatal." Sambil mengertak gigi,
ia berlari lari dan berteriak-teriak seperti seorang edan. Beberapa lama kemudian, kecepatan
larinya jadi terlebih perlahan dan teriakannya mereda. "Enakan... mendingan,.." katanya
dengan napas tersengal sengal. "Bocah itu memiliki kepandaian lumayan.... eh, salah! Thio
Siauw hiap, kau memiliki ilmu yang sangat tinggi dan aku merasa sangat berterima kasih
sekali kepadamu!"
Melihat hasil itu, semua orang segera memohon pertolongan Boe Kie. Diantara mereka yang
paling menderita adalah seorang yang terus bergulingan ditanah sambil mencekal perut. Dia
ternyata telah dipaksa untuk menelan tiga puluh lebih lintah hidup yang sekarang menghisap
darahnya didalam perut. Untung juga Boe Kie segera ingat, bahwa dalam salah sebuah kitab,
ia pernah membaca lintah dalam harus ditaklukkan dengan madu.
Buru-buru ia memerintankan seorang kacung mengambil semangkok madu yang lalu di
berikan kepada orang itu. Dan sekali lagi ia berhasil. Dengan demikian, ia terus bekerja keras
sehingga fajar menyingsing.
Tak lama kemudian, Kie Sianw Hoe dan putrinya keluar dari kamar. Melihat Boe Kie masih
repot mengobati orang, Siauw Hoe segera memberi bantuan apa yang ia bisa.
Delasan orang ini sebenarnya jago-jago yang pernah malang-melintang dalam dunia
Kangouw, tapi sekarang mereka jadi jinak sekali. Dengan sabar mereka menunggu giliran dan
tak berani membantah apa yang dikatakan oleh si bocah.
Antara mereka hanya Yo Poet Hwie yang bebas dari rasa jengkel atau bingung. Sambil
mengunyah buah angco ia berlari lari kian kemari untuk menangkap kupu-kupu yang
berterbangan didalam kebun.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 455
Sesudah lewat tengah hari barulah Boe Kie mulai mengobati luka diluar. Dengan dibantu
Siauw Hoe ia menghentikan keluarnya darah, memberi obat untuk meredakan rasa sakit,
membalut luka dan sebagainya. Sesudah selesai, ia segera pergi mengasoh dalam kamarnya.
Baru saja pulas beberapa jam, ia disadarkan oleh suara ribut ribut. Buru-buru ia bangun dan
pergi keluar untuk menengok para penderita. Ternyata keadaan sebagian penderita itu cukup
memuaskan tapi keadaan yang sebagian lagi berbalik menghebat. Boe Kie jadi bingung, ia tak
tahu apa yang harus diperbuat.
Akhirnya, karena tidak berdaya, ia terpaksa menemui Ouw Ceng Goe dan menceritakan
keadaan mereka.
"Mereka bukan anggauta Bang kauw, perduli apa mereka mampus," kata Tiap kok Ie sian
dengan suara tawar.
Mendadak Boe Me mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata: "Andaikata ada
seorang murid Beng kauw yang sedangkan diluar badannya tidak terdapat luka, perutnya
kembung bengkak, warna kulitnya hitam biru dan terus menerus berada dalam keadaan
pingsan, cara bagaimana Sinshe akan mengobatinya?"
"Kalau benar dia murid Beng kauw, aku akan mengobatinya dengan menggunakan San ka,
Liong bwee, Ang hoa, Seng tee, Leng sian, To Ouw " kata Ceng Goe. "Obat-obatan itu aku
masak dengan arak encer dan kemudian menambahkannya dengan sedikit To pian. Sesudah
minum godokan tersebut si sakit akan buang buang air dan mengeluarkan darah beracun dari
kotorannya."
"Ouw Sinshe bagaimana aku akan berbuat jika kuping kiri seorang muiid Beng kauw dituangi
timah cair, kuping kanan dituangi dengan air perak dan kedua matanya dilabur dengan cat,
sehingga ia menderita kesakitan hebat dan matanya tak bisa melihat lagi"' tanya pula si bocah.
(Air perak = Air raksa)
Ouw Ceng Goe naik darah. "Siapa berani berlaku begitu kejam terhadap murid Beng kauw?"
bentaknya.
"Musuhnya itu memang kejam luar biasa," kata Boe Kie. "Tapi menurut pendapatku, yang
paling perlu yalah mengobati lebih dulu dan kemudian barulah kita menanyakan siapa adanya
musuh itu."
Sesudah memikir sejenak, Tiap kok Ie sian ber kata: "Kalau dia memang murid Beng kauw,
aku akan menuang air perak kedalam kuping kiri nya. Timah akan lumer dan bercampur
dengan air perak, sehingga cairan itu akan mengalir ke luar dari kupingnya. Kemudian, aku
akan memasukkan jarum emas kedalam kuping kanannya. Air perak akan menempel pada
jarum itu yang dengan perlahan bisa ditarik keluar. Mengenai cat yang masuk dikedua
matanya, kurasa akan dapat dipunahkan dengan kepiting yang ditumbuk hancur dan kemudian
dibalut pada matanya itu."
Demikianlah, untuk setiap luka yang aneh, Boe Kie meminta pertolongan Ouw Ceng Goe
dengan menggunakan nama "murid Beng kauw" dan sang tabibpun memberikan bantuannya
dengan segala senang hati. Jika lukanya terlampau aneh dan si penderita tidak jadi mendingan
dengan pertolongan pertama, Boe Kie segera menanyakan lagi pendapat Tiap-kok Ie-sian
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 456
yang lalu mengasah otak dan mencoba pula dengan lain cara pengobatan. Sesudah berselang
lima enam hari, semua orang dapat dikatakan sudah mulai sembuh seluruhnya.
Luka yang diderita Kie Siauw Hoe adalah luka di dalam, tercampur dengan racun. Tenaga
pukulan musuh sudah melukakan perutnya, sedang racunpun sudah masuk kedalam tubuhnya.
Sesudah memeriksa dengan teliti, Boe Kie segera memberi obat pemunah racun kepadanya
dan selang beberapa hari, keadaannya sudah banyak baik.
Sementara itu, para penderita telah mendirikan sebuah gubuk di depan rumah Ouw Ceng Goe
dan mereka tidur menggeletak di tanah dengan hanya dialaskan dengan rumput kering.
Beberapa tombak dari gubuk itu, Kie Siauw Hoe juga membuat sebuah gubuk yang lebih
kecil untuk ia dan puterinya.
Boe Me capai dan lelah. Tapi ia sangat bergembira dan bersemangat, karena ia bukan saja
bisa menolong sesama manusia, tapi juga sudah memperoleh resep-resep mujijat dan caracara
pengobatan yang biasa dari Tiap kok Ie sian.
Tapi pagi itu ia kaget bukan main, sebab waktu bertemu dengan Kie Siauw Hoe, ia melihat
sinar hitam pada alis nona Kie. Apa penyakitnya kumat lagi? Apa racun mengamuk pula?
Cepat-cepat ia memeriksa nadi Siauw Hoe. Sesudah itu, ia mencampur ludah Siauw Hoe
dengan bubuk obat Pek hap san dan begitu lekas melihat campuran itu, ia bisa lantas memberi
kepastian bahwa benar racun mengamuk lagi.
Ia mengasah otak mati matian, tapi tidak bisa memecahkan sebab musabab dari perubahan itu.
Maka itu, ia selalu meminta pertolongan Ouw Ceng Goe yang segera memberitahukan lain
cara pengobatan kepadanya. Benar saja, sesudah diobati menurut petunjuk baru itu, keadaan
Siauw Hoe jadi terlebih baik.
Tapi, sungguh heran, sehabis Siauw Hoe, perubahan luar biasa mendadak datang kepada
dirinya Kan Ciat. Kepala gundulnya yang sudah mulai sembuh mendadak borokan lagi dan
mengeluarkan bau yang tak sedap. Perubahan itu terjadi silih berganti atas dirinya kelimabelas
orang itu: yang satu mendingan, yang lain menghebat lagi penyakitnya.!
Boe Kie bingung bukan main. Ia pergi menemui Tiap kok Ia sian dan menuturkad kejadian
yang luar biasa itu. "Sebab musabab dari perubahan itu yalah karena luka mereka sangat aneh,
berbeda dengan luka biasa," menerangkan sang tabib malaikat. "Kalau mereka dapat
disembuhkan oleb tabib biasa, tak perlu mereka datang kemari."
Malam itu Boa Kie tak bisa pules. Ia berduka dan coba memecahkan teka-teki yang rumit
"Perubahan penyakit itu adalah kejadian biasa," pikirnya. "Tapi walaupun begitu tak bisa jadi
semua penderita itu mengalami perubahan sampai berkali-kali, sebentar baik, sebentar hebat,"
Ia gelisah dan bergolak gulik diatas pembaringan.
Kira-kira tengah maiam, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang sangat enteng dan
lewat didepan kamarnya. Ia melompat bangun dam mengintip dari cela-cela jendela. Ia
melihat berkelebatnya bayangan manusia yang segera menghilang dibelakang pohon kuil.
Dilihat dari pakaian dan gerak-geriknya orang itu bulan lain dari pada Ouw Ceng Goe.
"Eh-eh! .. Mengapa Ouw Sinahe berkeliaran ditengah malam buta?" tanyanya didalam hati.
"Apa cacarnya sudah sembuh?" Sesaat kemudian, ia melihat masuknya Tiap kok Ie sian
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 457
kedalam gubuk Kie Siauw Hoe. Jantungnya berdebar keras dan jiwa kesatrianya tampil
kemuka. "Apa dia mau menganiaya atau menghina Kie Kouw kouw?" tanyanya pada diri
sendiri. "Meskipun aku bukan tandingannya, tak dapat aku mengawasi dengan berpeluk
tangan. Ia melompat keluar jendela dan indap indap, ia mendekatii gubuk Kie Siauw hoe.
Gubuk tersebut yang terbuat dari alang-alang hanya untuk menedeng angin dan embun,
didalamnya kosong melompong, tiada sekosol, tiada aling aling apapun jua. Dengan hati
bergoncang, Boe Kie mengintip dari belakang gubuk. Ia melihat sang bibi bersama puterinya
sedang pulas nyenyak diatas setumpuk rumput rumput kering.
Sekonyong Ouw Ceng Goe merogo saku dan mengeluarkan sebutir pel, yang lalu
dicemplungkan kedalam mangkok obat Siauw Hoe. Sesudah itu ia memutar badan dan terus
berjalan keluar. Sekelebatan Boe Kie melihat, bahwa muka orang tua itu masih ditutup
dengan topeng kain hijau.
Boe Kie mengeluarkan keringat dingin. Baru sekarang ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe lah
yang sudah menaruh racun, sehingga para penderita tak bisa menjadi sembuh.
Sesudah keluar dari gubuk Siauw Hoe, Ceng Goe masuk kegubuk yang lain, dimana dia
berdiam agak lama. Boe Kie mengerti, bahwa untuk meracuni keempatbelas orang dengan
racun yang berbeda-beda, si tua memerlukan tempo yang lebih banyak. Dilain saat si bocah
sudah masuk kedalam gubuk dan mencium mangkok obat Siauw Hoe. Di dalam mangkok
terisi godokan Pat sian thung dan ia telah memesan supaya begitu bangun tidur, Kouw-kouw
segera minum obat itu. Tapi sekarang godokan itu mengeluarkan bau-bauan yang masuk
hidung. Sekonyong-konyong terdengar pula suara tindakan kaki. Buru buru Boe Kie
merebahkan diri diatas tanah. Ia tahu, bahwa Ouw Ceng Goe sudah kembali kekamar
tidurnya.
Sesudah menunggu beberapa lama, ia segera menaruh mangkuk obat keluar dari gubuk itu.
"Kie Kouw-kouw! Kie Kouw-kouw!" ia memanggil manggil dengan suara perlahan.
Sebagai seorang ahli silat, menurut pantas Siauw Hoe mudah tersadar, tapi sesudah si bocah
memanggil berulang-ulang, ia masih pulas terus. Karena terpaksa, Boe Kie lalu masuk pula
dan menggoyang-goyangkan badan bibinya berulang kali. Dengan kaget Siauw Hoe tersadar.
"Siapa?" tanyanya.
"Kouw-kouw, aku.... " bisiknya. "Mari kita keluar."
Siauw Hoe mengerti, bahwa kedatangan Boe Kie ditengah malam tentulah disebabkan oleh
kejadian penting. Perlahan-lahan ia menarik lengannya yang ditandalkan dibawah kepala
puterinya dan kemudian keluar dari gubuknya bersama sama si bocah.
"Kie Kouw-kouw," bisik Boe Kie, "orang telah menaruh racun dimangkok obatmu. Buanglah
obat itu, tapi jagalah, jangan sampai diketahui orang. Besok aku akan memberi penjelasan
kepadamu"
Siauw Hoe manggutkan kepalanya dan Boe Kie segera kembali kekamarnya. Karena kuatir
ketahuan, ia masuk dengan melompati jendela.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 458
Pada esokan paginya, sesudah sarapan. Boe Kie mengajak Yo Poet Hwie pergi menangkap
kupu kupu. Mereka berlari lari, makin lama makin jauh dari rumah Ouw Ceng Goe. Siauw
Hoe yang mengerti maksud si bocah, lantas saja mengikuti dari belakang. Selama beberapa
bari, Boe Kie sering bermain-main dengan sinona ciiik, sehingga perginya ketiga orang itu
sama sekali tak menimbulkan kecurigaan.
Sesudah melalui kira kira satu li mereka tiba disatu tanjakan gunung. Boe Kie menghentikan
tindakannya dan segera duduk diatas rumput, sedang Siauw Hoe segera berkata kepada
puterinya: "Poet-jie sekarang jangan mengubar kupu kupu lagi. Pergi petik bunga-bunga dan
buatlah tiga buah topi bunga untuk kita bertiga. Si nona kecil jadi girang sekali dan sambil
tertawa nyaring, ia berlari-lari untuk mencari bunga.
"Kouw kouw," Boe Kie mulai, "apakah kau mempunyai permusuhan dengan Ouw Ceng Goe?
Dialah yang sudah menaruh racun kedalam mangkok obatmu."
Siauw Hoe terkejut. "Aku belum pernah mengenal Ouw Ceng Goe dan sehingga hari ini aku
belum pernah bertemu muka dengannya," jawabnya. Ia berdiam sejenak seperti orang sedang
berpikir dan kemudian berkata pu1a. "Saban kali bicara mengenai Ouw Sinshe, Thia thia
(ayah) dan Soehoe selalu mengatakan, bahwa dia adalah seorang tabib nomor satu didalam
dunia pada jaman ini. Merekapun tidak mengenal Ouw Sinshe. Aku sungguh tidak mengerti,
mengapa Ouw Sinshe coba mencelakakan aku."
Sibocah lalu menuturkan kejadian semalam dan menambahkan. "Dalam godokan Pat sian
thung itu, aku mengendus bau rumput Pat sian co dan Touw koet koen yang sangat tajam.
Kedua daun obat itu memang dapat mengobati luka, tapi racun nya sangat hebat dan tidak
boleh digunakan terlalu banyak."
"Selain begitu, sifat kedua daun obat tersebut juga bertentangan dengan delapan macam obat
yang terdapat dalam Pat sian thung. Maka itu biarpun tidak membahayakan jiwa, luka Kouw
kouw jadi makin sukar disembuhkannya."
Siauw Hoe bersenyum. "Kau mengatakan bahwa Ouw Sinshe juga meracuni empat belas
penderita yang lain," katanya. "Hal ini lebih mengherankan lagi. Terhadap aku, kita dapat
mengandalkan saja, bahwa secara tidak disengaja, ayah atau Go bie pay pernah menyinggung
Ouw Sinshe. Tapi bagaimana terhadap yang lainnya? Apa mungkin keempat belas orang itu
semuanya berdosa terhadap Ouw Sinshe?"
Boe Kie mengangouk. "Memang! Memang sangat mengherankan," katanya sambil menghela
napas. "Kie Kouwkouw, selat Ouw tiap kok adalah sebuah tempat yang mencil dan tidak
banyak diketahui orang. Cara bagaimana kau dan yang lain-lain bisa datang kemari? Siapa
adanya Kim hoa Coe jin (Majikan Bunga emas) yang telah melukakan kau? Urusan ini
sebenarnya tiada sangkut pautnya dengan aku dan menurut pantas, aku sebenarnya tidak boleh
menanya melit-melit. Akan tetapi, karena persoalan berbelit-belit, maka aku harap kau tidak
menjadi kecil hatinya"
Paras mukanya Siauw Hoe lantas saja berubah merah. Ia mengerti maksud si bocah yang rupa
rupanya kuatir, bahwa pertanyaan itu akan menyentuh persoalan puterinya. Persoalan
mengapa sebelum menikah ia sudah mempunyai anak. Sesudah memikir sejenak, ia berkata
dengan suara parau. "Kau sudah menolong jiwaku, tak dapat aku menyembunyikan sesuatu
terhadapmu. Disamping itu, meskipun masih kanak-kanak, kau memperlakukan aku dan Poet
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 459
jie luar biasa baik. Baiklah, aku akan menceritakan segala penderitaanku kepadamu, orang
satu-satunya didalam dunia yang boleh mendengar rahasiaku."
Sehabis berkata begitu, air matanya mengucur. Ia mengambil saputangan dan sesudah
menyusut air mata, ia berkata pula, "Sedari aku kebentrok dengan seorang kakak seperguruan
pada dua tahun lebih yang lalu, aku tidak berani menemui Soe hoe lagi... aku tidak berani
pulang..."
"Hmm! Teng Bin Koen! ...... Kouwkouw kau tidak usah takut," kata Boe Kie.
"Bagaimana kau tau?" tanya Siauw Hoe dengan rasa terkejut dan heran.
Boe Me segera memberitahukan, bahwa pada malam itu, bersama Siang Gie Coen ia telah
menyaksikan peristiwa menolong Pheng Hweeshio.
Siauw Hoe menghela napas. "Memang.... rahasia memang tak mungkin ditutup," katanya.
"Kouwkouw, kau tak usah terlalu berduka." kata Boe Kie, "In Lioksiok adalah seorang baik.
Kalau kau tidak suka menikah dengannya, urusan itu bukan urusan yang terlalu besar. Begini
saja, kalau bertemu dengan Lioksiok, aku akan memberitahukannya, bahwa kau tidak suka
menikah dan dia merdeka untuk mencari lain isteri!"
Mendengar perkataan yang polos-jujur itu, yang keluar dari otak sederhana, Siauw Hoe
tertawa getir. "Anak," katanya dengan suara bergemetar. "Percayalah, bahwa aku bukan
sengaja berbuat kedosaan terhadap pamanmu. Waktu itu aku...aku.... tidak ada lain jalan....
dan akupun sudah merasa menyesal sekali...." Ia tidak meneruskan perkataannya dan air
matanya kembali mengucur.
Ia mengawasi si bocah dan berkata dalam hatinya "Anak ini masih suci bersih, bagaikan
selembar kertas putih. Ah Lebih baik aku tidak menceriterakan segala hal percintaan
kepadanya. Apa pula urusan pribadi ini tiada sangkut pautnya dengan dia." Memikir begitu, ia
lantas saja berkata : "Sesudah bercekcok dengan Teng Soecie, dengan membawa Poet jie aku
bertani dan hidup mengasingkan diri disuatu tempat yang terpisah kira-kira tiga ratus lie
disebelah barat Ouw tiap kok ini. Selama dua tahun lebih aku hanya bergaul dengan kaum
petani dan aku dapat melewati hari dengan tidak banyak pikiran. Setengah bulan yang lalu,
aku mengajak Poet jie kekota untuk membeli kain guna pakaian anakku itu. Di luar dugaan, di
atas sebuah tembok, secara kebetulan aku melihat gambar sebuah lingkaran Hoed kong
(lingkaran sinar Buddha yang suci) dan sebatang pedang."
"Itulah tanda rahasia memanggil kawan dari partai Go bie pay. Aku binguog dan sangat
bersangsi. Sesudah menimbang-nimbang aku menganggap, bahwa meskipun aku telah
kebentrok dengan Teng Soecie, tapi aku belum pernah me lakukan perbuatan yang menghina
guru atau menghianati partai. Disamping itu, bentrokan tersebut juga tak ada sangkut pautnya
dengan Soehoe dan lain-lain saudara seperguruan. Tanda itu mungkim diberikan oleh salah
seorang saudara seperguruanku yang tengah menghadapi bahaya besar dan jika benar begitu,
aku merasa tidak pantas untuk berpeluk tangan. Demikianlah, dengan menuruti petunjuk dari
tanda rahasia itu, aku pergi ke Hong yang."
"Di kota Hong yang aku kembali melihat tanda itu yang memberi petunjuk, supaya kawankawan
datang di rumah makan Lim hway kok. Sudah ketelanjuran datang, aku segera
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 460
menyusul kesitu. Ternyata dalam rumah makan sudah berkumpul tujuh delapan orang,
antaranya terdapat Seng cioe Ka lam Kan ciat dari Khong tong pay, Sie Kong Wan dari Hwa
san pay dan lain-lain. Anggauta Goe bie pay hanya aku seorang. Aku mengenal Kan Ciat dan
Sie Kong Wan dan lalu menanyakan sebab musabab dari berkumpulnya mereka dirumah
makan itu. Mereka memberitahukan, bahwa mereka datang karena melihat tanda rahasia
partainya, tapi seperti juga aku mereka tak tahu sebab musabab dari panggilan itu. Sehari
suntuk kami menunggu tapi tak ada yang datang lagi. Pada esokan harinya, dengan beruntun
datang pula beberapa orang lain, ada orang Sin koen boen, ada orang Siauw lim pay bagian
selatan dan lain lain. Mereka juga mengatakan bahwa kedatangan mereka adalah karena
melihat tanda rahasia. Tak satupun diantara mereka yang mendapat urusan secara langsung.
Semua orang heran dan bercuriga. Apa tidak bisa jadi kami semua tengah dipermainkan oleh
seorang musuh?"
"Ketika itu, diloteng rumah makan berkumpul lima belas orang dari sembilan buah partai.
Tanda rahasia setiap partai bukan saja berbeda satu sama lain, tapi juga sangat dirahasiakan,
sehingga kalau bukan murid partai yang tersangkut, seorang luar tentu tak mengerti artinya
tanda itu. Jika seseorang ingin main gila, apakah ia bisa tahu tanda rahasia dari sembilan
partai? Mengingat bahwa aku membawa Poet jie dan kalau bisa, aku tak mau anak itu
menghadapi bahaya dan mengingat puta bahwa panggilan itu bukan tantaran saudara
seperguruanku ada yang tengah menghadapi bencana besar, maka aku segera mengambil
keputusan untuk pulang saja. Tapi baru saja aku mau turun tangan, tiba-tiba ditangga loteng
terdengar suara keras, seperti juga undakan tangga dipukul orang dengan menggunakan toya.
Suara itu disusul denggn suara batuk-batuk dan seorang nenek yang rambutnya sudah putih
semua, mendaki undakan tangga. Ia naik setindak demi setindak sambil batuk-batuk dan
kelihatannya lelah sekali. Disampingnya terdapat seorang nona kecil yang berusia kira kira
dua belas tahun dan yang memapah si nenek."
"Melihat nenek yang sudah bagitu tigggi usianya dan juga kelihatannya sedang sakit, aku
segera minggir, supaya ia bisa naik lebih dulu. Nona kecil itu ternyata cantik sekali, meskipun
usianya masih sangat muda, belum pernah aku melihat wanita yang seayu dia, sehingga tanpa
merasa aku mengawasinya beberapa kali. Tangan kanan si nenek mencekal sebatang tongkat
dari kayu Pek bok dan dari pakaiannya, ia seperti juga seorang wanita miskin. Tangan kirinya
memegang serenceng biji tasbih yang mengeluarkan sinar kuning berkilauan. Ketika aku
memperhatikan, rencengan itu ternyata bukan biji biji tasbih, tapi bunga bunga bwee yang
terbuat dari pada emas tulen..."
"Aha!" memutus Boe Kie. "Perempuan tuaa itu tidak bisa lain dari pada majikan Kim hoa."
"Benar. Tapi pada waktu itu, siapakah yang bisa menduga jelek kepadanya?" kata Siauw Hoe.
Sehabis berkata begitu, ia merogoh saku dan mengeluarkan sekuntum bunga bwee emas yang
menyerupai Kim Hoa yang pernah diserahkan kepada Ceng Goe oleh Boa Kie.
Si bocah tertegun. Tadinya ia menduga, bahwa Kim hoa Coe jie adalah saorang lelaki yang
bertubuh tinggi besar dan bermuka menakutkan. Tak dinyana, majikan bunga emas itu
hanyalah seorang nenek tua.
"Sesudah berada di atas loteng, nenek itu kembali batuk batuk. Siauw Hoe melanjutkan
penuturannya, "Sinona cilik berbisik: "Popo makan obat ya?" Sinenek mengangguk dan nona
kecil itu selanjutnya sudah mengeluarkan sebutir yo-wan dari dalam sebuah peles kristal.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 461
Sambil mengunyah yo-wan, nenek itu berkata. "O mie to hoed..... O mie to hoed ..." Dengan
mata separuh tertutup, ia mengawasi kami dan berkata pula dengan suara perlahan: "Hm ...
hanya lima belas orang. Coba tanya, apakah orang Koen loen pay dan Boe tong pay sudah
pada datang semuanya?"
"Kedatangan kedua wanita itu tidak diperhatikan oleh kami. Tapi, begitu sinenek
mengucapkan perkataan itu, beberapa orang yang kupingnya lebih tajam segera menengok
dan mengawasinya. Melihat nenek itu, hati mereka lega dan menganggap mereka salah
dengar.
"Tiba-tiba si nona cilik berkata dengan suara nyaring: "Hai! Popoku menanya kepada kalian.
Apakah orang-orang Koen loen pay dan Boe tong pay sudah pada datang semuanya?"
Semua orang terkejut, untuk sejenak mereka tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Sesaat
kemudian, barulah Kan Ciat berkata: "Adik kecil, apa katamu?" Jawab nona itu: "Popoku
menanya: Mengapa ia tidak melihat murid Boe tong dan Koen loen?" Alis Kan Ciat berkerut
dan lalu menanya pula "Siapa kalian ?"
"Nenek itu kembali batuk-batuk sambil membungkuk-bungkuk. Mendadak.... mendadak saja,
aku merasa semacam angin menyambar dadaku, entah dari mana. Sambaran itu hebat luar
biasa dan buru buru aku mengibaskan tangan untuk menangkis. Tiba tiba aku merasa dadaku
menyesak, darahku bergolak golak, kedua lututku lemas dan aku jatuh duduk sambil
muntahkan darah."
"Dalam keadaan setengah pingsan, aku melihat badan si nenek bergrrak gerak, ia menggaplok
atau meninju seraya batuk batuk tak hentinya. Dalam sekejap, empat belas orang sudah rebah
di atas loteng Kecepatan bergeraknya dan hebatnya tenaganya tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata. Seumur hidup, belum pernah kulihat manusia yang bisa bergerak begitu cepat dan
mempunyai tenaga Lweekang yang sedemikian hebat. Di antara kami, sejurus pun tak ada
yang mampu melawan. Kalau bukan tertotok jalan darah, isi perut mereka terluka karena
pukulan Lweekang."
"Tiba-tiba si nenek mengayun tangan kirinya dan lima belas bunga emas menyambar kebahu
atau tangan kelimabelas orang. Kali ini dia tidak mencelakakan orang, sebab meskipun
limabelas bunga emas itu mengenai tepat pada sasarannya, tak seorangpun yang mendapat
luka. Sesudah itu, dia memutar tubuh dan dengan dipapah oleh si nona kecil, ia berkata "O
mie to hoed! O mie to hoed !" Tanpa menengok lagi mereka turun kebawah loteng. Beberapa
saat kemudian, kami men dengar suara totokan tongkat ditanah, diseling seling dengan suara
batuk-batuk"
Bicara sampai disitu, Yo Poet Hwie mendatangi dengan tangan mencekal sebuah karangan
bunga yang merupakan topi. Sambil tertawa ha ha hi hi, ia berkata. "bu, kau pakailah topi ini,"
dengan sikap aleman, ia lalu menaruh topi bunga itu dikepala sang ibu.
Siauw Hoe tertawa sambil manggut manggutkan kepalanya dan kemudian melanjutkan
penuturannya. "Kami semua rebah diatas papan loteng tanpa berkutik, sebagian pingsan,
sebagian bernapas sengal-sengal dan sebagian pula merintih dengan perlahan...."
"Ibu," memutus Poet Hwie. "Apakah kau sedang menceritakan perempuan jahat itu ? Jangan!
Aku takut."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 462
"Nak," kata sang ibu sambil bersenyum, "Pergilah kau memetik bunga lagi dan buatlah
sebuah topi untuk kakak Boe Kie"
Poet Hwie mengawasi Boe Kie. "Waena apa yang kau suka ?" tanyanya.
"Merah dan campur sedikit dengan warna putih, lebih besar topinya lebih baik lagi,"
jawabnya.
"Sebesar ini?" tanyanya pula si nona sambil membuat sebuah lingkaran dengan kedua
tangannyaa.
"Ya, sebesar itu," jawabnya.
Poet Hwie segera berlari-lari dengan menepuk nepuk tangan sambil tertawa-tawa. "Kalau
sudah jadi kau harus memakainya !" teriaknya.
"Beberapa lama kemudian, dalam keadaan lupa ingat, aku melihat belasan orang naik
keloteng,"' Siauw Hoe melanjutkan penuturannya. "Mereke itu adalah pelayan, tukang masak
dan pengurus rumah makan. Mereka menggotong kami kedapur. Tak usah dikatakan lagi,
Poet jie ketakutan setengah mati dan sambil menangis keras, ia mengikuti orang-orang yang
menggotong aku. Setibanya didapur, si pengurus rumah makan membaca tulisan diselembar
kertas. Seraya menuding Kan Ciat, ia memerintah: Labur koyo dikepalanya. Seorang pelayan
segera membuka sebuah kotak koyo dan melebur isinya dikepala Kan Ciat. Sesudah itu,
sambil membaca pula tulisan itu, dia menuding seorang lain dan berkata: Putuskan tangan
kanannya dan tempelkan lengan itu dikaki kirinya! Siksaan itu lantas saja dijalankan oleh dua
orang pelayan. Waktu giliranku tiba, untung juga aku tidak mendapat hukuman aneh. Aku
hanya diperintah minum semangkoh air yang rasanya manis. Aku mengerti, bahwa air itu
tentu mengandung racun, tapi aku tidak berdaya."
"Sesudah kami semua mendapat hukuman yang luar biasa, si pengurus rumah makan berkata.
"Kamu semua sudah mendapat luka yang tak mungkin disembuhkan lagi. Tak seorangpun
diantara kamu yang bisa hidup sepuluh hari atau setengah bulan lagi. Tapi pemilik bunga
emas mengatakan, bahwa ia sama sekali tidak bermusuhan dengan kamu. Maka itu, ia
menaruh rasa belas kasihan dan membuka suatu jalan hidup untuk kamu. Sekarang pergilah
kamu lekas-lekas ke Ouw tiap kok yang terletak ditepi telaga Lie san Ouw dan mintalah
pertolongan dari Ouw Ceng Goe yang bergelar Tiap kok Ie sian. Kalau dia sudi menotong,
maka kamu semua ada harapan hidup, tapi manakala dia menolak, dalam dunia tak ada orang
yang bisa menolong kamu lagi. Tapi Ouw Ceng Goe mempunyai lain julukan, yaitu Kian sie
Poet kioe. Kalau kamu tidak berusaha mati matian, dia pasti tak akan mengulurkan tangan.
Jika kamu bertemu dengan Ouw Ceng Goe katakanlah bahwa tak lama lagi Kim hoa Coejin
aku akan mencari dia dan dia harus siang siang mempersiapkan penguburan mayatnya sendiri.
Sesudah berkata begitu dia segera menyediakan kerata dan kudakuda, memberi petunjuk
mengenai jalanan yang harus diambil, dan kemudian mengusir kami."
Boe Kie mendengari cerita itu dengan mata tidak berkedip. "Kie Kouwkouw," katanya,
"Didengar dari penuturanmu, pengurus Lim hway kok, tukang masak dan pelayan-pelayannya
semua kaki tangan perempuan jahat itu,"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 463
"Akupun menduga begitu," kata Siauw Hoe. "Si pengurus rumah makan memerintahkan
dijalankannya siksaan itu menurut surat catatan yang rasanya ditinggalkan oleh perempuan
kejam itu. Tapi dalam peristiwa terdapat beberapa teka teki yang sehingga sekarang masih
belum dapat dipecahkan olehku. Mengapa nenek itu melakukan perbuatan yang begitu kejam?
Kalau dia mendendam sakit hati dan mau mengambil jiwa kami, dia dapat melakukannya
dengan mudah sekali. Jika dia hanya ingin menyiksa orang orang dengan rupa-rupa jalan yang
kejam mengapa dia mengirim kami kepada Ouw Sinshe ? Dia mengatakan bahwa tak lama
lagi dia akan mencari Ouw Sinshe untuk membalas sakit hati, Apakah penyiksaannya
terhadap kami hanya untuk menjajal kepandaiannya Ouw Sinshe?"
Boe Kie menundukkan kepala, memikir sejenak, ia berkata. "Menurut katanya Siang Gie
Coen Toako, Ouw Sinshe mempunyai seorang musuh yang akan datang untuk membalas sakit
hati. Musuh itulah Kim hoa Coejie. Menurut pantas Ouw Sinshe seharusnya mengobati kalian
dengan sungguh hati, supaya kalian bisa membantu dia dalam menghadapi musuh berat itu.
Sesuai dengan julukan Kian sie Poet kioe, ia menolak untuk mengobati. Tapi mengapa,
sesudah menolak, ia memberi berbagai resep kepadaku dan mengajarkan aku macam macam
cara pengobatan untuk menolong kalian? Resep obat itu manjur sekali. Tapi mengapa
ditengah malam buta ia menggerayang dan memberi racun kepada kalian? Ah! Sikap Ouw
Sinshe sungguh aneh? Dalam peristiwa ini muncul banyak cangkriman yang tak akan bisa
ditembus olehku."
Lama sekali mereka berunding, tapi mereka tak juga dapat menebak artinya banyak teka teki
itu.
Tak lama kemudian, Poet Hwie kembali dengan sebuah topi bunga yang lalu ditaruhnya
diatas kepala Boe Kie dan kemudian pergi lagi untuk membuat topinya sendiri.
"Kie kouwkouw," kata pula Boe Kie. "Mulai dari sekarang kau tidak boleh minum apapun
juga kecuali jika obat itu diberikan olehku sendiri. Diwaktu malam sebaiknya kau siap sedia
dengan senjata untuk menjaga sesuatu yang tidak
diinginkan. Sekarang kau masih belum boleh pulang karena aku masih perlu memberi obat
untuk menyembuhkan luka didalam badanmu. Begitu lekas lukamu tidak berbahaya lagi, kau
harus buru buru pulang dengan membawa Poet Hwie."
Siauw Hoe mengangguk dengan rasa sangat ber terima kasih. "Manusia she Ouw itu sungguh
aneh dan hatinya sukar ditebak," katanya, "Boe Kie, akupun merasa kuatir akan
keselamatanmu jika kau berdiam lama-lama disini. Lebih baik kita menyingkir bersama
sama."
jilid 25________________
Boe Kie yang dikuatirkan keselamatannya jika berada lama-lama di lembah Ouw-tiap-kok
sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut menyingkir dari lembah itu bersama-sama Kie
Siauw Hoe dan puterinya.
"Boe kie," kata Kin Siauw Hoe, "bila kau mau ikut dengan aku, kita boleh jalan bersama
sama. Aku sendiri akan segera pergi menemui soehoe ke Go bie san. Kalau nasib baik dan
beliau tidak mendengar hasutan Soecieku, maka untukmu masih ada sedikit harapan hidup
karena beliau memang mempunyai niatan untuk menurunkan semua kepandaiannya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 464
kepadaku, bahkan akan mengambil aku sebagai ahil warisnya. Manakala niatan itu
dilaksanakan, beliau terutama tentu akan menurunkan Go bie Kioe yang kang kepadaku.
Selanjutnya aku bisa ajarkan ilmu itu kepadamu. Dengan memiliki Go bie Kioe yang kang,
kau bisa menggabungkannya dsngan Siauwlim dan Boe tong Kioe yang kang sehingga
rasanya racun dingin Hian beng Sin ciang bisa dengan gampang terusir keluar dari badanmu.
Tapi, aih..., sesudah aku melakukan perbuatan yang tidak panta, mana aku ada muka untuk
bertemu lagi dengan Soehoe? Mana bisa belia mengangkat aku menjadi ahli warisnya lagi?"
Semula sang bibi bicara dengan semangat berapi-api karena memikiri penyakit yang diderita
Boe Kie. Tapi, manakala teringat olehnya akan dirinya yang telah ternoda, ia jadi tampak
bermuram durja.
Melihat paras sang bibi yang sangat berduka, Boe Kie segera menghibur: "Kie Kouw kouw,
kau tak usah bersedih. Ouw Sinshe mengatakan bahwa paling lama aku hanya bisa hidup
setahun lagi. Akupun sering memeriksa keadaan badanku dan aku yakin, bahwa apa yang
dikatakan Ouw Sinshe bukan omong kosong. Andaikata gurumu mengajar Go bie Kioe yang
kang kepadamu, kurasa kaupun tak akan keburu menolong aku. Memang benar juga, jalan
yang paling baik adalah kita menyingkir sekarang juga. Tapi dalam cara mengobati lukamu,
masih ada beberapa bagian yang belum begitu terang bagiku. Untuk itu, aku masih perlu
minta petunjuk Ouw Sinshe,"
SiauwHoe tertawa dan menanya: "Apa tak bisa jadi ia akan sengaja memberi petunjuk yang
salah. Kau tidak boleh lupa, bahwa ia sudah berusaha untuk meracuni aku."
"Tidak, kurasa ia tak akan berbuat sedemikian," membantah Boe Kie. "Sebegitu jauh, obatobat
atau cara mengobati yang diberikan oleh Ouw Sinshe, sangat mustajab dan tepat.
Disamping itu, akupun dapat membedakan jika ia sengaja memberikan obat yang salah.
Dan.... inilah justeru yang aku tidak mengerti!"
Sesaat itu, Poet Hwie sudah kembali dengan kepala memakai topi rangkaian bunga. Mereka
bertiga sudah mempunyai topi, perundinganpun sudah selesai dan mereka lalu kembali
kerumah Ouw Ceng Goe.
Malam itu, Boe Kie tak bisa pulas lagi. Kira kira tengah malam Ouw Ceng Goe
menggerayang lagi kegubuk Siauw Hoe, gubuk Kan Ciat dan kawan-kawannya untuk
menaruh racun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar