Selasa, 17 November 2009

Tiga hari telah lewat tanpa terjadi sesuatu yang luar biasa. Karena tidak pernah kena racun
lagi, kesehatan Siauw Hoe pulih dengan cepat. Keadaan Sie Kong Wan dan yang lain-lain
masih tetap seperti biasa, sebentar mendingan, sebentar hebat. Beberapa orang sudah mulai
mengeluh dan mengatakan, bahwa kepandaian Boe Kie masih terlalu rendah, tapi si bocah
tidak menggubris.
Malam itu, sambil berbaring dipembaringan, Boe Kie berkata dalam hatinya: "Sesudah lewat
malam ini, aku sudah mengikut Kie Kouw-kouw menyingkirkan diri. Karena racun dalam
tubuhku tak bisa dipunahkan, lebih baik aku tidak pulang ke Boe tong, supaya Thay soe-hoe
dan paman paman jangan berubah hati. Aku akan pergi ketempat yang sepi dan mati dengan
diam-diam."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 465
Mengingat bahwa ia akan segera meninggalkan Ouw tiap kok, hatinya terharu. Walaupun
Ceng Goe beradat aneh, ia telah memperlakukannya baik sekali dan selama kurang lebih dua
tahun, orang tua itu menurunkan banyak ilmu ketabiban kepadanya. Sesudah berkumpul
begitu lama, di dalami hatinya sudah bersemi rasa cinta terhadap orang tua itu.
Maka itu, perlahan-lahan ia bangun, dan pergi kekamar si tabib malaikat dan menanyakan
kesehatan orang tua itu dari luar kamar. Tiba-tiba ia ingat bahwa Kim Hoa Coe jin akan
segera menyateroni. Apa Ouw Sinshe mampu melawan perempuan jahat itu? Ia merasa
kasihan dan segara berkata "Ouw Sinshe, kau sudah berdiam di Ouw tiap kok begini lama,
apa kau tidak merasa sebal? Mengapa kau tidak mau pergi pelesir ketempat lain?"
Ceng Goe terkejut. "Aku sedang sakit, mana bisa aku pergi ketempat lain?" jawabnya.
"Tapi Sinshe dapat mengunakan kereta," kata pula Boe Kie. "Dengan menutup jendela kereta
dengan tirai supaya tidak masuk angin, kau bisa pergi kemanapun juga"
Tiap kok Ie sian menghela napas. "Anak hatimu mulia sekali," ia memuji. "Dunia sedemikin
lebar, dimanapun sama saja. Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari ini? Bagaimana
dadamu? Apakah hawa dingin masih bergolak di tantianmu?"
"Makin lama hawa itu makin bertambah", jawabnya. "Sudahlah! Biarkan saja. Aka toh sudah
tak bisa ditolong lagi."
Untuk beberapa saat Ceng Goe tidak mengatakan suatu apa. "Anak, sekarang aku ingin
memberi obat yang akan bisa menolong jiwamu," katanya. "Gunakanlah Tong kwie, Wan cie,
Seng tee, Tok ho dan Hong hong, lima macam. Ditengah malam, minumlah obat itu cepatcepat,
dengan menggunakan Coan san ka sebagai penuntun."
Boe Kie kaget. Lima macam bahan obat itu sama sekali tiada sangkut pautnya dengan
penyakit yang dideritanya. Bukan saja begitu, sifat kelima macam bahan obat itu malah
berbahaya untuk dirinya. Ditambah dengan Coan san ka, bahaya itu jadi makin besar.
"Sinshe, berapa timbangannya?" tanyanya dengan rasa heran.
"Jangan rewel!" bentak Ceng Goe dengan suara gusar. "Aku sudah memberitahukan kau.
Sudah cukup. Pergi!"
Si bocah gusar. Semenjak berdiam di Ouw tiap kok, orang tua itu memperlakukannya secara
sopan-santun dan mereka sering kali merundingkan soal ketabiban sebagai sahabat. Tak
dinyana, hari ini Ceng Goe berlaku begitu kasar terhadapnya. Dengan rasa mendongkol, ia
kembali kekamarnya.
Sambil bergulik-gulik dipembaringan ia berkata di dalam hati, "Dengan baik hati aku
menasehati supaya kau menyingkir, tapi aku berbalik di hina olehmu. Hm ! ... Kau juga coba
memberi obat yang tidak-tidak kepadaku. Apa kau kira aku akan kena diakali?".
Makin lama hatinya jadi makin panas. Ia tak mengerti mengapa si tua begitu berani mati dan
memberikannya resep obat yang begitu gila-gilaan. Beberapa lama kemudian, ia merasa lelah
dan maramkan kedua matanya. Mendadak, dalam keadaan layap layap, serupa ingatan
berkelebat dalam otaknya. Ah! Tong kwie, Wan cie, resep tanpa diberi timbangan obatnya...
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 466
Dalam dunia tak ada resep yang sedemikian. Aha! Apa tak bisa jadi Tong kwie dimaksudkan
kay tong kwie kie? Mungkin! (Tong kwie adalah namanya serupa obat. Tapi "Tong kwie"
atau "kay tong kwie kie" juga berarti "harus pulang" )
Sesudah memikir beberapa saat, tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata dalam hatinya.
"Benar! Resep itu mengandung maksud lain. Dengan Wan cie, ia rupanya ingin menyuruh
aku 'cie cay wan hang' (ingatan berada ditempat jauh) atau dengan lain perkataan, ia ingin aku
'ko hoei wan coew' (pergi ketempat yang jauh). Ia menyebutnya Seng tee (tanah hidup) dan
Tok ho (hidup sendirian). Mungkin sekali, Seng tee berarti 'Seng louw' (jalanan hidup) dan
sesudah mengambil jalanan hidup barulah aku bisa 'hidup sendirian'. Apa arti Hong hang
(menjawab angin)? Ouw Sin she maksudkan supaya aku menutup rahasja, jangan sampai
'membocorkan angin'."
"Obat itu harus diminum cepat-cepat diwaktu tengah malam buta dengan menggunakan Coan
san ka sebagai penuntun. 'Cepat cepat', 'tengah malam buta', 'Coan san ka' .... Apakah Ouw
Sinshd maksudkan, bahwa aku harus cepat-cepat kabur ditengah malam buta dengan
menembus jalanan gunung dan tidak boleh mengambil jalanan raya? Tak salah! Itulah tentu
maksud yang sebenarnya." (Coan san ka berarti tenggiling. Arti huruf`-huruf itu sendiri ialah
'menembus gunung').
Berpikir begitu, ia segera menghampiri pintu. Sebelumnya membukanya, ia merendek.
"Sekarangi musuh belum tiba, tapi mengapa Ouw Sinshe tidak memberitahukan aku secara
teang-terangan?" tanyanya didalam hati. "Mengapa ia mengeluarkan cangkeriman itu? Kalau
aku tidak dapat menebaknya, bukankah aku bisa celaka? Ah! Sekarang sudah lewat tengah
malam, aku mesti menyingkir secepat mungkin."
Walaupun baru berusia belasan tahun, Boe Kie sudah mempunyai jiwa ksatria. Ia ingin segera
menyingkir, tapi ia memikiri nasib Ouw Sinshe. Di lain saat ia ingat, bahwa si tabib malaikat
tentu lah juga sudah mempunyai pegangan untuk melawan musuh karena sesudah tahu bakal
datangnya musuh itu, ia tetap tidak mau menyingkir. Tapi biar bagaimanapun juga, meskipun
Ceng Goe sudah memesan supaya ia menutup rahasia, ia tak bisa tidak menolong Siauw Hoe
dan puterinya.
Perlahan-lahan ia keluar dari kamarnya dan pergi ke gubuk Siauw Hoe. Ia menepuk-nepuk
tangan seraya memanggil manggil dengan suara perlahan. "Kie Kouwkouw .... Kie
Kouwkouw ..... bangun!"
Siauw Hoe tersadar "Siapa? Boe Kie ?" tanyanya.
Sesaat itu, sekonyong konyong si bocah merasa sambaran angin yang sangat halus
dipunggungnya dan baru saja ia memutar badan, pundak dan pinggangnya sudah kesemutan
dan ia roboh tanpa berkutik lagi. Gerakan penyerang itu cepat luar biasa. Di lain saat, iapun
sudah merobohkan Siauw Hoe dengan totokan. Dengan bantuan sinar bulan sisir, Boe Kie
melihat, bahwa orang itu mengenakan topeng kain hijau.
Ouw Ceng Goe!
Sedang berbagai pertanyaan berkelebat-kelebat dalam otak Boe Kie, tangan kiri si tabib
malaikat sudah mencengkeram pipi Siauw Hoe untuk memaksanya membuka mulut, sedang
tangan kanannya coba memasukkan sebutir yo wan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 467
Sebelum pel itu masuk kedalam mulutnya, Siauw Hoe sudah mengendus bebauan yang sangat
tak enak. Ia mengerti, bahwa pel itu adalah racun yang sangat hebat, tapi ia tidak berdaya,
kaki tangannya tidak bisa bergerak lagi.
Dengan sorot mata putus harapan, ia mengawasi puterinya. "Poet jie !" ia mengeluh di dalam
hati. "Ibumu bernasib celaka, kaupun jelek peruntungan. Mulai dari sekarang, ibumu tak bisa
merawatmu lagi."
Tiba tiba pada detik yang sangat berbahaya, Boe Kie melompat bangun. Orang itu kaget dan
menengok, tapi punggungnya sudah dihantam Boe Kie dengan sekuat tenaga.
Ternyata, sesudah ditotok jalanan darah pada pundak dan pinggangnya, untuk sementara Boe
Kie rebah dengan tidak berdaya. Tapi, sebagai ahli waris Cia Soen, selang beberapa saat, ia
berhasil membuka jalan darahnya dengan menggunakan Lweekang. Ia melompat bangun dan
pada detik yang sangat genting, ia menghantam jalanan darah Kin soe hiat dipunggung Ouw
Ceng Goe dengan pukulan Sin liong Pa bwee, yaitu salah satu jurus dari Hang liong Sip pat
ciang. Meskipun ia hanya mengenal bagian kulit dari pukulan itu, tapi karena jurus tersebut
adalah jurus yang sangat luar biasa dan juga sebab Ouw Ceng Goe sama sekali tidak menduga
bakal dibokong cara begitu, maka, begitu lekas pukulan Boe Kie mengenai Kin soe hiat, ia
roboh tanpa mengeluarkan suara.
Berbareng dengan robohnya, topeng kain tersingkap separuh dan begitu melihat, Boe Kie
mengeluarkan teriakan tertahan. "Ah !"
Mengapa?
Karena muka itu bukan muka Ouw Ceng Goe, tapi muka seorang wanita setengah tua yang
berparas cantik.
"Siapa kau?" bentak Boe Kie.
Sesudah terpukul, wanita itu merasakan kesakitan hebat, mukanya pucat pasi, sehingga ia
tidak dapat menjawab pertanyaan si bocah.
Buru-buru Boe Kie membuka jalanan darah Kie Siauw Hoe dan berkata. "Kie Kouwkouw,
tempelkan ujung pedangmu didadanya, supaya dia tidak bisa berkutik. Aku mau menengok
Ouw Sinshe." Ia berkuatir akan keselamatannya Ouw Ceng Goe. Ia menduga bahwa wanita
itu adalah konco Kim hoa Coe jin. Jika perempuan jahat itu keburu datang, maka dia dan
Siauw Hce serta puterinya pasti akan celaka.
Dengan lari seperti terbang ia pergi ke kamar Ceng Goa dan tanpa banyak rewal, ia memukul
pintu yang lantas saja terpentang.
"Ouw Sinshe!" teriaknya, tapi tak ada jawaban. Ia segera mengeluarkan bahan api dan
menyulut lilin. Kasur terbuka, tapi orang tua itu tak kelihatan bayang - bayangannya. Melihat
kamar itu kosong, hatinya agak lega, karena ia semula menduga bahwa Ouw Ceng Goe sudah
dibinasakan. "Ouw Sinshe rupanya diculik musuh," pikirnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 468
Baru saja ia mau keluar, di bawah ranjang tiba tiba terdengar suara helaan napas. Ia segera
mengangkat ciak-tak (tempat tancapan lilin) dan menyuluhi kolong ranjang. Ia girang bukan
main, karena melihat Ouw Ceng Goe rebah disitu dengan kaki tangan terikat. "Ouw Sinshe,
jangan khawatir!" katanya dan lalu merangkak ke kolong ranjang untuk menyeretnya keluar.
Ternyata, orang tua itu tidak bisa bicara sebab mulutnya disumbat dengan buah toh dan Boe
Kie segera mengorek keluar buah itu. Waktu mau membuka ikatan, ia mendapat kenyataan,
kaki tangan Ceng Goe diikat dengan tambang urat kerbau, sehingga ia tidak dapat
memutuskannya dan lalu mecari pisau.
"Mana perempuan itu?" Tanya Ceng Goe selagi Boe Kie mau memotong tambang.
"Jangan kuatir, ia sudah ditakluki dan tak akan bisa lari," jawabnya.
"Jangan putuskan dulu tambang ini!" Kata Ceng Goe tergesa. "Lekas bawa dia kemari. Lekas
kalau terlambat, aku kuatir tak keburu lagi."
Boe Kie heran. "Mengapa begitu?" tanyanya
"Lekas bawa dia kemari!" bentak orang tua "Tidak!.... Begini saja. Lebih dulu, berikan
padanya tiga butir Goe hong Hiat ciat tan. Ambillah dari laci ketiga. Lekas...! Lekas .." Ia
berkata begitu dengan paras muka bingung dan pucat.
Boe Kie tahu, bahWa Goe hong Hiat ciat tan adalah pel untuk memunahkan racun dan dibuat
dengan menggunakan macam-macam bahan yang sangat mahal harganya. Untuk
memunahkan racun yarg sangat hebat, sebutir saja sudah lebih dari cukup. Tapi Ouw Ceng
Goe menyuruhnya untuk memberikan tiga butir. Siapa wanita itu?
Ia heran tak kepalang, tapi melihat sikap orang tua itu, ia tidak berani menanya melit-melit.
Buru buru ia mengambil pel itu dan berlari-lari ke gubuk Siauw Hoe.
"Lekas telan!" bentaknya sambil menyodorkan tiga butir Goe hong Hiat ciat tan kepada
tawanannya.
"Pergi! Aku tak perlu dengan pertolonganmu!" teriak wanita itu. Begitu mengendus bau Goe
hong Hiat ciat tan, ia lantas saja mengetahui, bahwa Boe Kie datang dengan membawa obat.
"Ouw Sinshe yang menyuruh aku membawa obat ini," kata Boe Kie dengan mendongkol.
"Pergi!... pergi!..pergi....!" teriak pula wanita itu. Sesudah kena pukulan Boe Kie, teriakannya
lemah sekali.
Si bocah bingung dan hanya bisa menebak-nebak. Ia menduga, bahwa waktu mengikat Ceng
Goe wanita itu kena senjata racun. Untuk korek keterangan mengenal musuhnya, Tiap kok Ie
sian rupanya sengaja memberi obat pemunah kepadanya. Memikir begitu, ia lantas saja
menotok jalanan darah Kian tin hiat, sehingga wanita itu tak bisa melawan dan kemudian
memasukkan tiga butir pel itu kedalam mulutnya.
Karena suara ribut-ribut, Poet Hwie mendusin dan mengawasi wanita itu dengan perasaan
heran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 469
"Kouw-kouw mari kita membawa dia kepada Ouw Sinshe," kata Boe Kie. Mereka lantas saja
mencekal tangan wanita itu yang lalu diseret ke kamar Tiap kok Ie sian.
Begitu mereka masuk, Ouw Ceng Goe menanya "Sudah makan obat?"
"Sudah," jawab Boe Kie.
Paras muka Ceng Goe jadi lebih tenang dan Boe Kie segera memotong tambang yang
mengikat kaki tangannya. Sesudah kaki tangannya merdeka, Tian kok Ie sian segera
menghampiri wanita itu, membuka kelopak matanya dam memegang nadinya.
"Eh...eh!" katanya dengan suara kaget, "Mengapa kau mendapat luka? Siapa yang sudah
melukakan kau?"
Wanita itu menjebi. "Tanya muridmu!" bentaknya.
Ouw Ceng Goe memutar badannya dan menanya Boe Kie : "Apa kau yang memukul?"
"Benar," jawabnya, "waktu dia mau....."
Plok! Plok!
Orang tua itu menggaplok Boe Kie keras keras, sehingga mata si bocah berkunang kunang.
Siauw Hoe menghunus pedang dan membentak: "Kurang ajar!" Tapi, tanpa
menghiraukannya, Ceng Goe lalu menanya wanita itu: "Bagaimana rasanya dadamu? Aku
pasti akan menyembuhkan kau." Sikap dan perkataannya berbeda jauh, bagaikan langit dan
bumi dengan kebiasaan Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe. Tapi si wanita tetap tidak
mengubris dan terus bersikap tawar.
Dengan rasa heran yang sangat besar, Boe Kie mengawasi kejadian itu sambil mengusap-usap
pipinya yang bengkak.
Dengan sikap menyayang Tiap kok Ie sian lalu membuka jalanan darah si wanita, menguruturutnya,
mengambil beberapa macam daun obat yang lalu dimasukkan kedalam mulut wanita
itu, memondongnya dan menaruhnya diatas pembaringan, akan kemudian menyelimutinya
dengan selimut tebal. Semua itu dilakukan si-tua secara lemah lembut dan penuh kecintaan.
Boe Kie menggeleng-gelengkan kepala. Benar benar otaknya pusing.
Sesudah berdiri beberapa saat didepan pembaringan, Ceng Goe berkata dengan suara halus:
"Sekarang selain racun, kaupun mendapat luka. Jika aku dapat menyembuhkan, kita jangan
menjajal-jalal kepandaian lagi."
Wanita itu tertaWa. "Apa artinya luka ini?" katanya. "Tapi apakah kau tahu, racun apa yang
ditelan olehku? Jika kau bisa menyembuhkan aku, aku akan mengaku kalah. Hm! .... Tetapi
belum tentu kepandaian Ie sian (tabib malaikat atau tabib dewa) bisa menandingi kepandaian
Tok sian (si dewi racun)." Sehabis berkata begitu, ia bersenyum dan senyumnya itu
menggairahkan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 470
Dalam usia belasan tahun, Boe Kie belum mengerti soal percintaan. Tapi biarpun begitu, ia
bisa merasakan, bahwa diantara kedua orang tua itu terdapat kasih sayang yang tiada
batasnya.
"Semenjak sepuluh tahun berselarg, aku sudah mengatakan, bahwa Ie Sian tak akan bisa
menandingi Tok sian." kata Ceng Goe. "Tapi kau tak percaya. Kau terlalu suka menjajal ilmu.
Aku sungglth tidak mengerti, mengapa kau begitu gila sehingga kau meracuni diri sendiri.
Sekarang aku mengharap, bahwa Ia sian akan menang dari Tok Sian. Jika aku gagal, akupun
tak sudi hidup sendirian didalam dunia."
Wanita itu bersenyum pula. "Jika aku meracuni orang lain, kau bisa berlagak kalah." katanya.
"Ha ha!... Dengan meracuni diri sendiri, kau tentu akan mengeluarkan seantero
kepandaianmu."
Ceng Goe mengusap-ngusap rambut wanita itu dan berkata deagan suara nyaring: "Hatiku
sangat berkuatir. Sudahlah ! Jangan kau bicara banyak banyak. Meramkan matamu dan
mengaso. Tapi ingatlah. kalau dengan diam-diam kau mengerahkan Lweekang untuk
mencelakakan diri sendiri, kau berbuat curang dalam pertandingan ilmu ini."
"Aku tidak begitu rendah," kata wanita itu sambil tertawa. Ia segera memeramkan kedua
matanya dan pada bibirnya tersungging senyuman.
Untuk beberapa saat, kamar itu sunyi-senyap. Siauw Hoe dan Boe Kie menyaksikan itu semua
dengan mata membelalak. Tiba-tiba Tiap kok Ie sian memutar badan dan menyoja kepada
Boe Kie. "Saudara kecil," katanya, "dalam kebingungan aku telah berbuat kesalahan
terhadapmu. Aku harap kau sudi memaafkan."
"Sedikitpun aku tidak mengerti, apa artinya ini semua," kata Si bocah dengan mendongkol.
Sekonyong-konyong si tua mengangkat tangan kanannya dan menggapelok dua kali pipi
seniri keras-keras. "Saudara, kecil," katanya Pula. "Kau adalah tuan penolongku. Hanya
karena aku sangat memikiri keselamnatan isteriku, maka aku sudah berbuat kedosaan
terhadapmu."
"Dia..... dia isterimu?" menegas si bocah dengan suara heran.
Ceng Goe mengangguk, "Benar, dia isteriku!" jawabnya.
Melihat sikap orang tua itu dan mendengar bahwa wanita itu adalah isterinya, semua
kedongkolan Boe Kie lantas menghilang.
Ceng Goe mengambil kursi dan lalu mempersilakan Siauw Hoe dan Boe Kie duduk, "Kalian
tentu merasa heran melihat kejadian dihari ini." katanya, "Baiklah! Aku akan menceritakan
latar belakangnya tanpa tedeng tedeng. Isteriku seorang she Ong namanya Lan Kouw. Kami
berdua adalah saudara seperguruan. Pada waktu kami masih berada dalam rumah perguruan,
disamping belajar ilmu silat, aku mempelajari ilmu ketabiban, sedang dia mempelajari Tok
soet (ilmu menggunakan racun). Menurut pendapatnya, tujuan belajar ilmu silat adalah untuk
membunuh orang dan tujuan Tok soet juga untuk membunuh orang. Boe soet (Ilmu silat) dan
Tok soet merupakan dua macam ilmu yang berdiri berendeng. Maka itu, jika seorang mahir
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 471
dalam Boe soet dan Tok soet, maka kepandaiannya bertambah dengan satu kali lipat. Ilmu
ketabiban adalah untuk menolong manusia, sehingga pada hakekatnya, ilmu ketabiban dan
ilmu silat bertentangan satu sama lain. Itulah jalan pikiran isteriku. Tapi karena bakatku
terletak dalam ilmu ketabiban, aku tak dapat mengubah kesukaan itu."
"Meskipun apa yang dipelajari kami berdua, perhubungan kami sangat erat dan diantara kami
telah timbul perasaan cinta. Belakangan, Soehoe telah menikahkan kami berdua. Perlahanlahan
nama kami mulai terkenal dalam dunia kangouw, sehingga banyak orang memberi
gelaran Ie Sian kepadaku dan julukan Tok Sian kepada isteriku. Kepandaiannya dalam soal
racun sungguh-sungguh lihay. Ia sudah melebihi kepandaian Soehoe sendiri dan mungkin
sekali didalam dunia sukar dicari tandingannya. Bahwa dia telah medapat gelaran Sian atau
Dewi, merupakan bukti nyata dari kepandaiannya.
"Dasar aku yang tolol, yang bertindak tanpa dipikir lagi. Berapa kali isteriku telah meracuni
orang, dan orang itu telah datang kepadaku untuk meminta pertolongan. Tanpa memikir
panjang aku segera menolong mereka. Pada waktu itu hatiku malah merasa senang.
Sedikitpun aku tidak merasa bahwa tindakanku itu sangat menyinggung perasaan isteriku.
Aku sama sekali tak ingat, bahwa jika menyembuhkan orang yang diracuni olehnya, maka itu
berarti bahwa kepandaian Ie sian adalah lebih unggul dari pada Tok sian"
Siauw Hoe menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas. Sepasang suami isteri itu
benar benar manusia aneh.
Sementara itu Ceng Goe melanjutkan penuturannya. "Isteriku sangat mencintai aku. Di dalam
dunia sukar dicari tandingannya. Tapi aku sendiri? Dengan di dorong oleh napsu mau
menang, berulang kali aku menyinggung perasaannya. Cobalah kalian pikir. Meskipun dia
patung, satu waktu dia bisa habis kesabarannya. Akhirnya aku tersadar. Aku bersumpah,
bahwa aku tak akan menolong lagi orang yang telah diracuni olehnya. Lantaran begitu, lamalama
orang memberi gelaran Kian sie Poet kioe atau melihat kebinasaan tak sudi menolong
padaku. Melihat aku berubah, isterikupun merasa senang. Tapi baru saja beberapa tahun aku
mengambil jalan yang benar, muncullah peristiwa adik perempuanku."
"Kehormatan adikku telah dilanggar oleh bangsat Sian Ie Thong dari Hwa san pay dan
akhirnya binasa dalam tangannya. Tapi, samoai pada detik mau menghembuskan napasnya
yang penghabisan, adikku masih mencintai bangsat itu. Pesannya yang terakhir supaya aku
berjanji, bahwa selama hidup aku akan menolongnya, jika ia memerlukan pertolongan.
Karena melihat adikku tidak akan mati dengan mata meram jika aku tidak meluluskan
permintaannya, maka mau tidak mau, dengan hati penasaran, aku terpaksa memberikan
janjiku itu."
"Diluar tahuku, isteriku telah menaruh racun yang sangat hebat dibadan Sian Ie Thong. Racun
itu yang jalannya sangat perlahan, akan merusak seluruh tubuh bangsat yang sesudah
menderita hebat selama tiga tahun, akan mampus dengan dagingnya membusuk. Sian Ie Tong
mengetahui janjiku yang diberikan kepada adikku. Begitu melihat keadaannya berbahaya, ia
segera meminta pertolongan kepadaku. Hai!.. Otakku benar-benar pusing. Kalau aku
menolong, aku menyinggung isteri sendiri. Kalau tidak menolong aku melanggar janji."
"Sian Ie Tong adalah Ciangboenjin Hwa san pay. Ilmu silatnya tinggi dan dalam kalangan
kangouw, ia dikenal sebagai seorang pendekar," kata Siauw Hoe. "Sungguh tak dinyana dia
sebenarnya manusia rendah. Ouw Sinshe sesudah adikmu binasa dalam tangannya, kaupun
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 472
tak perlu menolong dia. Apa pula adikmu yang sudah meninggal dunia tidak tahu lagi urusan
itu."
"Tidak!" membantah Boe Kie. "Kie Kouwkouw, kau salah. Roh seorang yang sudah
meninggal dunia masih bisa mengetahui apa yang terjadi didalam dunia," Waktu mengatakan
begitu ia ingat kedua orang tuanya. Ia mengharap supaya roh ayah dan ibunya masih tetap
berada dilam baka dan nanti kalau ia sendiri menginggal dunia, ia akan bisa berkumpul lagi
dengan kedua orang itu.
Tiap kok ie sian menghela napas. "Apa yang terjadi dialam baka tidak diketahui oleh
manusia," katanya.
"Pada waktu itu, jalan pikiranku adalah begini: jika aku berdosa terhadap isteriku, dialam
kemudian aku masih dapat memperbaikinya. Tapi jika aku melanggar janji ... hai!... Selama
hidupnya, adikku selalu menderita... Bagaimana aka tega untuk menyakiti rohnya?"
"Demikianlah, dengan menggunakan seluruh kepandaian, aku akhirnya berhasil
menyembubkan sibangsat Sian Ie thong. Isteriku tidak ribut-tibut lagi, ia hanya berkata
dengan suara dingin: Bagus. Kepandaian Tiap kok ie sian Ouw Ceng Goe benar-benar tinggi.
Tapi Tok Sian Ong Lan Kauw tak sudi menakluk. Sekarang marilah kita menjajal ilmu, untuk
mendapat keputusan, Ie Sian atau Tok sian yang lebih tingggi! Mati matian aku memohon
maaf, tapi ia tidak meladeni."
"Beberapa tahun isteriku memperdalami ilmunya dan telah maracuni beberapa orang
Kangouw yang ternama.Sesudah meracuni, ia memberi petunjuk supaya orang-orang itu
datang kepadaku. Tok soet isteriku ternyata sudah banyak lebih lihay, sehingga tempo-tempo
aku tidak mendapat jalan untuk mengobati orang yang kena racunnya. Ditambah lagi dengan
rasa sungkan untuk membangkitkan amarah isteriku, maka dalam menghadapi keracunan
yang hebat, sudah gagal satu dua kali, aku menghentikan usahaku dan mengatakan saja bahwa
aku tak mampu menolong lagi."
"Tapi diluar dugaan, sikapku bahkan menambah kegusarannya. Ia menuduh bahwa aku sudah
memandang rendah kepadanya dan bahwa aku sudah sengaja tidak mau mengeluarkan
seantero kepandaianku. Dengan gusar ia meninggalkan Ouw tiap kok dan mengatakan bahwa
biar apapun yang terjadi, ia takkan kembali kepadaku."
"Selama berada diluar, berulang kali ia meracuni orang dan menyuruh orang-orang itu datang
kepadaku. Kependaiannya makin tinggi, sehingga tempo-tempo aku tak tahu, siapa yang
sudah meracuni penderita yang meminta pertolonganku. Dalam menghadapi penderita yang
seperti itu, dengan menganggap, bahwa dia bukan diracuni oleh isteriku, kadang-kadang aku
memberi pertolongan dan menyembuhkannya. Belakangan baru kutahu, bahwa orang itu
sebenarnya telah diracuni oleh isteriku. Demikianlah perhubungan kita jadi makin renggang."
"Namaku Ceng Coe, atau Kerbau Hijau, sebenarnya lebih tepat jika nama itu diganti dengan
'Kerbau Tolol'. Entah kebaikan apa yang sudah kuperbuat, sehingga aku dicintai oleh seorang
wanita begitu mulia seperti isteriku itu dan hanyalah karena ketololanku, maka ia telah
meninggalkan rumah dan hidup terlunta-lunta di luaran. Mengingat bahayanya dunia
Kangouw, setiap saat, setiap detik, hatiku selalu memikiri keselamatannya"
Berkata sampai disitu, paras muka Tiap kok Ie sian kelihatan berduka sekali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 473
Siauw Hoe melirik Ong Lan Houw yang rebah dipembaringan. "Didalam dunia, siapa yang
berani melanggar Ouw Hoejin?" katanya dalam hati. "Sudah bagus kalau orang lain tidak
dilanggar olehnya. Sungguh lucu! Ouw Sinshe kelihatannya sangat takut pada isterinya."
Sesudah berdiam sejenak, Ceng Goe berkata pula: "Pada tujuh tahun berselang, sepasang
suami isteri yang sudah berusia lanjut kena racun hebat dan mereka datang disini untuk
meminta pertolongan. Mereka adalah majikan pulau Leng coa to, di laut Tong hay. Mereka
memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tingkatan merekapun tinggi sekali. Puluhan tahun
berselang, nama Kim Hoa Popo dan Gin yap Sianseng menggetarkan Rimba Persilatan."
"Aku tidak berani lantas menolak secara tegas. Tapi cobalah kalian pikir, cara bagaimana aku
berani membuat kesalahan lagi? Aku lalu memeriksa nadi mereka dan mengatakan, bahwa
Gin-yap Sianseng sudah tak dapat diobati lagi, sedang kim-hoa Popo hanya kena racun enteng
dan ia akan bisa menyembuhkan dirinya dengan menggunakan Lweekang sendiri. Aku
diberitahukan, bahwa yang meracuni mereka adalah seorang Pek to pay (Partai Unta putih)
yang sangat lihay di wilayah See hek (Wilayah barat) dan tiada sangkut pautnya dengan
isteriku. Tapi sesudah sesumbar bahwa selain anggauta Beng kauw, aku tak akan menolong
orang lagi, maka aku tak bisa menjilat ludah sendiri hanya karena yang minta tolong orang
jempolan. Nyonya tua itu memohon mohon supaya aku suka menolong seorang saja, yaitu
suaminya, dan untuk itu, ia menjanjikan hadiah yang sangat besar. Kalian harus mengetahui
bahwa di dalam Rimba persilatan, Gin yap sian seng dan Kim hoa Popo sangat cemerlang dan
bahwa mereka sudah mau membuka mulut untuk meminta pertolonganku, bagiku sudah
merupakan muka yang sangat besar (kehormatan besar). Tapi demi kepentingan kami berdua
suami isteri aku tetap tidak mau menolong."
"Untung juga mereka tidak menggunakan kekerasan. Sesudah yakin tak ada harapan, mereka
pergi dengan perasaan duka. Aku mengerti bahwa karena penolakan-penolakanku untuk
mengobati orang, aku sudah menanam banyak bibit permu suhan. Tapi kecintaan dan
kerukunan antara aku dan isteriku masih lebih panting daripada kepentingan orang lain.
Bagaimana pendapat kalian? Bukankah pendirian itu pendirian benar?"
Siauw Hoe dan Boe Kie membungkam, tapi didalam hati mereka tentu saja sangat tidak
menyetujui pendirian yang gila itu.
Sementara itu, Ouw Ceng Goe sudah berkata pula: "Waktu Gie Coen datang kesini paling
belakang ia mengatakan bahwa di tengah jalan dia bertemu dengan seorang nenek yang
memberitahukan bahwa, sesuai dengan dugaanku, Gin Yap Sian seng sudah meninggal dunia
karena racun itu. Sesudah Gie Coen berlalu, isteriku mendadak pulang. Melihat Boe Kie, ia
segera menggunakan bie-yo (obat tidur), sehingga saudara kecil pules nyenyak semalam
suntuk."
"Ah! Kalau begitu kerjaan Ong Lan Kouw," kata si bocah didalam hati. "Hari itu aku
menduga, bahwa aku sakit."
Sesudah melirik isterinya, Ceng Goe melanjutkan penuturannya: "Pulangnya isteriku tentu
saja sangat menggirangkan. Iapun sudah mendengar bahwa Kim-Hoa Popo telah datang lagi
di Tiong goan, sehingga biarpun masih mendongkol terhadapku, buru-buru ia pulang untuk
memberitahukan hal itu kepadaku. Atas kemauannya, aku berpura-pura sakit cacar dan
menolak untuk menemui orang. Kami mengunci diri di dalam kamar dan memikiri siasat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 474
untuk menghadapi Kim Hoa Popo. Ilmu silat nyonya tua itu terlalu lihay, sehingga tak
mungkin kami melarikan diri. Tapi ia mempunyai adat yang aneh. Jika ia ingin membunuh
seseorang, serangannya dibatasi dalam tiga kali. Kalau orang itu bisa menyelamatkan diri dari
ke tiga tiga kali serangannya, maka ia akan mengampuninya."
"Selang beberapa hari kemudian datanglah Sie Kong Wan, Kan Ciat, kau sendiri, Kie
Kouwnio dan yang lain-lainnya sampai limabelas orang."
"Begitu mendengar luka kalian, aku segera mengetahui, bahwa Kim Hoa Popo sengaja mau
mencoba-coba aku, apakah aku masih tetap pada pendirianku, yaitu tidak mau menolong
siapapun jua, kecuali murid Beng kauw. Luka kelima belas orang itu rata-rata luka yang
sangat aneh. Aku adalah seorang yang keranjingan ilmu ketabiban. Begitu melihat luka atau
penyakit aneh, tanganku lantas saja gatal dan ingin menjajal kepandaianku. Sekarang Kim
Hoa Popo mengirim bukan satu, tapi Limabelas orang. Kalian dapatlah membayangkan
perasaanku. Tapi akupun mengerti maksud nenek itu, jika ada seseorang saja yang diobati
olehku, celakalah aku. Ia pasti akan menyiksa aku ratusan kali lipat lebih hebat daripada
orang yang diobati itu. Lantaran begitu, sambil menahan keinginan hati, aku tetap berpeluk
tangan. Belakangan sesudah Boe Kie menanyakan pendapatku andaikata orang yang terluka
adalah seorang murid Beng kauw, barulah aku memberi petunjuk. Tapi aku sangat berhatihati
dan sengaja menerangkan, bahwa Boe Kie adalah murid Boe tong pay dan tidak
bersangkut paut dengan diriku."
"Melihat bahwa dengan pertolongan Boe Kie, urang-orang itu mulai sembuh dengan cepat,
Lan Houw kembali merasa tidak senang. Setiap maim, diam-diam ia menaruh racun dipiring
mangkok mereka. Dengan demikian, lagi-lagi ia bermaksud untuk mengadu kepandaian
denganku. Kelimabelas orang itu rata rata adalah jago-jago Rimba Persilatan. Bagaimana ia
bisa menyateroni tanpa diketahui? Sebelum menyebar racun, lebih dulu ia menggunakan Obat
tidur."
Siauw Hoe dan Boe Kie saling mengawasi. Sekarang baru mereka mengerti, mengapa pada
malam itu, Siauw Hoe begitu sukar disadarkan, sehingga Boe Kie sampai perlu menggoyanggoyangkan
badannya.
"Selama beberapa hari ini, kesehatan Kie Kouw nio pulih dengan cepat, seperti juga racun
isteriku tidak mempan lagi," kata pula Ceng Goa. "Sesudah menyelidiki, ia mengerti bahwa
rahasianya sudah diketahui Boe Kie, maka ia segera mengambil keputusan untuk mengambil
jiwa Boe Kie. Hai!... Kata orang sungai dan gunung lebih mudah diubah daripada adat
manusia. Aku harus mengakui, bahwa aku, Ouw Ceng Goe tidak cukup setia kepada isteriku.
Sebenarnya aku sudah mengambil keputusan uatuk berpeluk tangan, tapi karena Boe Kie telah
menasehati aku supaya aku menyingkir ketempat lain, maka hatiku lantas saja menjadi lemah.
Aku segera memberi resep istimewa padanya dengan menyebutkan Tong wie, Wan sie, Tok
ho dan beberapa macam obat lain. Aku tidak dapat bicara terus terang, karena Tan Kouw
berada ddampingku."
"Tapi isteriku adalah seorang yang sangat cerdas dan juga mengenal ilmu ketabiban.
Mendengar resep yang gila itu, sesudah mengasah otak beberapa lama, ia segera dapat
menangkap maksudku yang sebenarnya. Ia lalu mengikat kaki tanganku dan mengambil
beberapa macam racun yang lalu ditelannya. "Soeko," katanya. "Aku dan kau sudah menjadi
suami isteri selama dua puluh tahun lebih. Lautan bisa kering, batu bisa haneur, tapi kecintaan
kita tak akan bisa berubah. Tapi kau selamanya memandang rendah kepada Tok toetku. Setiap
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 475
orang yang diracuni olehku, selalu dapat di tolong olehmu. Sekarang aku sendiri menelan
racun. Jika kau dapat menolong jiwaku aku takluk terhadapmu. Bukan main rasa kagetku,
berulang ulang aku minta ampun dan mengaku kalah. Tapi ia lalu menyumbat mulutku
dengan buah tho, sehingga aku tidak dapat bicara lagi. Kejadian selanjutnya sudah diketahui
kalian. Hai! .... Boe Kie, kau berdosa terhadapku. Kau membalas kebaikan dengan kejahatan.
Aku menasehati kau untuk menyingkirkan tapi kau berbalik melukakan isteriku yang
tercinta." seraya berkata begitu ia menggeleng-gelengkan kepala.
Siauw Hoe dan Boe Kie saling mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Mereka
mendongkol tercampur geli. Sedang suami isteri itu benar benar aneh dan sukar dicari
tandingannya didalam dunia selebar ini. Karena rasa cinta yang besar Ouw Ceng Goe takut
terhadap isterinya. Dilain pihak, Ong Lan Kouw terus menindih suaminya dan akhirnya ia
bahkan meracuni diri sendri.
Sesudah menggelengkan kepala, Tiap kok ie sian berkata pula: "Cobalah kalian pikir: Apa
yang harus diperbuat olehku? Kalau sekarang aku berhasil menyembuhkannya, itu akan
berarti, bahwa kepandaianku lebih unggul dari pada kepandaiannya dan Lan Kouw tentu akan
tetap merasa kurang senang. Jika aku gagal, jiwanya melayang. Hai! Aku mengharap Kim hoa
Popo cepat-cepat datang supaya aku lekas-lekas mampus agar jangan merasakan penderitaan
ini lebih lama lagi."
Tiba tiba serupa ingatan berkelebat dalam otak Boe Kie. "Racun apa yang ditelan Soebo?" to
nyanya. "Bagaimana mengobatinya?" (Soebo-Isteri dari seorang guru). Sambil berkata begitu,
ia menggoyang-goyangkan tangan, sebagai isyarat supaya Ceng Goe tidak menjawab dengan
sebenarnya.
Ceng Goe melirik isterinya yang sedang tidur menghadap kedalam. Sebagai seorang yang
sangat pintar, ia segera mengerti maksud bocah itu.
"Selama beberapa tahun kepandaian isteriku sudah maju jauh, sehingga aku tidak dapat
menebak racun apa yang ditelannya," jawabnya. "Dan sebelum mengetahui racunnya, aka
tentu tak dapat mengobatinya."
Selagi orang tua itu menjawab pertanyaannya, dengan jari tangan Boe Kie menulis hurufhuruf
yang berbunyi begini diatas meja: "Beritahukanlah aku dengan tulisan". Selagi menulis,
mulutny berkata. "Kalau begitu Soebo tak bisa diobati lagi"
"Isteriku sendiri pasti tahu cara mempunahkan racun itu," kata Ceng Goa. "Tapi aku mengenal
adatnya. Biarpun mati, ia tak nanti memberitahukan kepada kita." Waktu berkata begitu,
dengan telunjuknya ia menulis diatas meja. Racun Sam ciong Sam co. Sam ciong ialah
kelabang, ular tanah dan laba-lain beracun, Sam co terdiri dari Cin po co, Toan chung co dan
Siauw houw koen. Sesudah itu ia menulis juga resep obat. (Sam ciong Tiga macam binatang.
Sam-co Tiga macam rumput).
Boe Kie mengangguk dan lalu menulis pula diatas meja: "Kau telanlah Sam ciong Sam co.
Sesudah kau meracuni diri sendiri, aku yang akan menolong"
Tiap kok Ie sian terkejut, tapi ia segera dapat menangkap maksud Boe Kir. "Jalan ini sangat
berbahaya," pikirnya. "Tapi karena tak ada lain jalan biarlah aku mencoba secara untung
untungan."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 476
Sementata itu Boe Kie sudah berkata pula. "Ouw Sinshe, dengan memiliki kepandaian yang
begitu tinggi, apakah bisa jadi kau tak tahu racun apa yang sudah ditelan Soebo?"
"Menurut dugaanku, ia telah menelan racun Sam ciong Sam-co," jawabnya. "Sam ciong
bersifat "im" (dingin), sedang Sam-co besifat "yang" (panas). Jangankan sampai enam
macam, satu macam saja sudah sukar untuk diobati. Jika aku menggunakan obat yang
sangatnya panas untuk mempunahkan racun binatang yang bersifat dingin, maka racun
rumput yang panas akan menjadi jadi. Dan begitu juga sebaliknya. Tubuh manusia yang
terdiri dari darah daging, tak akan bisa bertahan terhadap enam rupa racun yang hebat itu." Ia
mengibas tangannya dan berkata pula: "Kalian pergilah! Manakala Lan Kouw binasa, akupun
tak bisa hidup sendirian didalam dunia."
"Kami harap Sinshe bisa menyayang diri dan coba membujuk Soebo," kata Boe Kie.
Ceng Goe menghela napas. "Kalau dia bisa di bujuk, kejadian hari ini boleh tak usah terjadi,"
Jawabnya dengan suara putus harapan.
Siauw Hoe dan Boe Kie lantas saja meninggalkan kamar itu.
Sesudah mereka berlalu, Tiap kok Ie sian segera menotok jalanan darah, dipinggangnya dan
pinggang isterinya. "Soe-moay," katanya dengan suara parau, "suamimu tak mempunyai
kemampuan dan tak dapat memunahkan racun Sam ciong Sam co. Jalan satu-satunya yalah
mengikuti kau kedunia baka untuk menyambung perjodohan kita," ia merogoh saku isterinya
dan mengeluarkan beberapa bungkus obat, yang sesuai dengan dugaannya, berisi Sam ciong
Sam co.
Karena ditotok, tubuh Lan Kouw tidak bisa berkutik, tapi mulutnya masih bisa bicara.
"Soeko, tak boleh kau makan racun!" teriaknya dengan kaget.
Sang suami tidak meladeni. Ia membuka bungkusan bubuk racun yang lalu dimasukkan
kedalam mulutnya dan ditelan dengan bantuan air.
Paras muka Lan Kouw pucat pasti. "Soeko?" jeritnya. "Kau gila! Mengapa begitu banyak?
Racun sebanyak itu dapat membinasakan tiga manusia."
Tiap kok Ie skin tertawa dingin. Ia duduk menyender dikursi disamping kepala ranjang.
Sesaat kemudian, perutnya seperti disayat ratusan pisau dan ia mengerti, bahwa Toan-chung
co (Rumput memutuskan usus) sudah mulai bekerja. Tak lama lagi, lima racun yang lain juga
turut mengamuk dan penderitaan Ceng Goe tak mungkin dilukiskan dengan perkataan.
"Soeko! Racun itu ada pemunahnya!" teriak Lan Kouw.
Sang suami menggigil, giginya bercatrukan dan ia berkata sambil menggelengkan kepala :
"Aku... tak....percaya...."
"Lekas makan Giok liong Souw hap san!" teriak si isteri. "Gunakan jarum untuk
membuyarkan racun!"
"Apa gunanya?" kata Ceng Goe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 477
Sekarang nyonya itu menangis, "Racun yang ditelan olehku sangat sedikit," katanya: "Kau
makan terlalu banyak. Oh Soeko!... Lekaslah tolong jiwamu.... Kalau terlambat.... tak keburu
lagi...."
"Aku mencintai kau dengan segenap jiwa," kata sang suami. "Tapi kau sendiri tak hentinya
mengajak aku mengadu ilmu. Aku merasa, hidup lebih lama tiada artinya .... aduh!: ... aduh!!
Ia bukan berpura-pura, ketika itu racun ular dan lawa lawa sudah mulai menyerang jantung.
Badannya bergoyang-goyang dan dilain detik, ia sudah tak ingat orang.
Semua kejadian itu didengar jelas oleh Siauw Hoe dan Boe Kie yang menunggu diluar pintu.
"Soeko! Soeko!" Lan Kouw sesambat. "Akulah yang bersalah... Kau tidak boleh mati....aku
tak akan mengajak kau mengadu ilmu lagi"
Sekarang Boe Kie menganggap bahwa sudah tiba waktunya untuk ia turun tangan. Ia
menerobos masuk dan bertanya: "Soebo... lekas! Lekas! beritahukan cara menolong Soehoe!"
Lan Kouw girang tak kepalang. "Lekas berikan Giok liong Souw hap san kepadanya!"
teriaknya. "Lekas! Ambil jarum emas dan tusuklah jalan darah Yong coan hiat dan kioe bwee
hiat dan cepat!"
Pada detik itu, diluar kamar sekonyong-konyong terdengar suara batuk-batuk. Ditengah
malam buta, suara itu membangunkan bulu roma. Kie Siauw Hoe melompat masuk, paras
mukanya pucat bagaikan kettas. Sambil melompat, ia berkata dengan suara heran :"Kim Hoa
Popo...."
Hampir berbareng dengan perkataan popo tirai bergoyang dan diambang pintu berdiri seorang
nenek yang tangannya mencekal satu nona cilik yang berparas sangat cantik.
Nenek itu memang bukan lain daripada Majikan Pulau Leng coa to, Kim Hoa Popo. Melihat
Ceng Goe mencekal perut dengan paras muka bersemu hitam dan berada dalam keadaan
pingsan, ia terkejut dan bertanya: "Ada apa?"
Lan Kouw menangis keras, "Soeko! Soeko!" jeritnya. "Mengapa kau meracuni diri sendiri?"
Kedatangan Kim Hoa Popo di wilayah Tiong goan mengandung dua maksud. Pertama untuk
mencari musuh yang telah meracuni suaminya dan kedua untuk memberi hukuman kepada
Ouw Ceng Goe.. Tak dinyana, ia bertemu Tiap kok Ie sian yang sudah hampir mati. Sebagai
seorang ahli dalam ilmu menggunakan racun, begitu melihat paras muka Ceng Goe dan Lan
Kouw, ia mengetahui, bahwa jiwa mereka sukar untuk di tolong lagi. Ia menduga, bahwa
Ceng Goa sudah menelan racun karena takut hukuman yang mungkin dijatuhkan olehnya dan
dengan adanya dugaan itu, rasa sakit hatinya lagtas saja menghilang. Ia menghela napas dan
sambil menarik tangan si nona cilik, ia berjalan keluar. Dilain saat, suara batuk batuk
terdengar diluar rumah, dalam jarak puluhan tombak. Kecepatan bergeraknya nenek sungguh
sukar dicari tandingannya.
Sesudah Kim hoa Popo berlalu, Boe Kie meraba dada Ceng Goe yang jantungnya masih
mengetuk dengan perlahan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 478
Buru-buru ia mengambil Giok long Souw hap san yang lalu dicekukkan kemulut orang tua itu
dan kemudian mengambil jarum emas untuk menusuk Yong coan hiat dan Kioe bwee hiat,
supaya hawa beracun bisa keluar dari lubang tusukan. Sesudah menolong sang Soehoe,
barulah ia menolong Soebo.
Setengah jam kemudian, perlahan-lahan Tiap kok ie sian tersadar. Rasa syukur dilukiskan, ia
menaagis dan berkata "Saudara kecil! kau adalah tuan penolong kami yang sudah menolong
jiwa kami berdua."
"Sekarang kalian boleh tak usah berkuatir lagi." kata Boe Kie. "Kim hoa Popo yang menduga
kalian pasti akan binasa, sudah berlalu tanpa mengatakan sepatah kata"
"Tapi aku masih tetap berkuatir," kata sang Soebo. "Kim hoa Popo adaiah seorang yang
sangat berhati-hati. Biarpun hari ini ia sudah pergi, dilain hari ia pasti akan datang pula untuk
menyelidiki. Kami berdua harus menyingkirkan diri. Saudara kecil, aku ingin meminta
pertolonganmu. Buatlah dua buah kuburan kosong dan tulisilah nama kami diatas batu nisan."
Si bocah mengangguk sebagai tanda ia akan melakuknn permintaan itu.
Ceng One dan Lan Kouw segera berkemas dan malam itu juga, dengan menumpang sebuah
kereta keledai, mereka berangkat meninggalkan Ouw tiap kok. Boe Kie mengantar mereka
sampai di mulut selat. Sesudah berkumpul dua tahun lebih dan sekarang meski berpisahan
secara mendadak, Ceng Goe dan Boe Kie merasa sangat terharu. Sambil mengangsutkan
sejilid buku tulisan tangan kepada si bocah, orang tua itu berkata. "Boe Kie, semua
pelajaranku sudah tercatat dalam buku ini. Aku menghadiahkannya kepadamu. Aku merasa
sangat menyesal bahwa racun Hian beng Sin ciang dalam tubuhmu masih belum dapat
disingkirkan. Aku mengharap, bahwa sesudah mempelajari buku ini, kau sendiri akan
mendapat jalan untuk mempunah racun itu. Dengan berkah Tuhan, dihari kemudian kita
masih bisa bertemu lagi"
Sambil menghaturkan banyak terima kasih, Boe Kie menerima hadiah itu.
"Boe Kie," kata Lan Kouw, "kau bukan saja sudah menolong jiwa kami, tapi juga sudah
mengakurkan kami berdua suami isteri. Menurut pantas, akupun harus memberikan semua
pelajaran kepadamu.. Hanya sayang apa yang dipelajari olehku ada ilmu ilmu meracuni
manusia yang tiada faedahnya. Aku hanya dapat memohon pada Tuhan Yang Maha Esa,
supaya kau sembuh dalam tempo agar dihari kemudian aku masih bisa membalas sedikit
budimu."
Demikianlah, dengun rasa duka, mereka berpisahan.
Sesudah kereta itu tak kelihatan bayangan-bayanganya lagi, barulah Boe Kie kembali
kerumah Ceng Goe yang sudah kosong. Pada esokan paginya, ia segera membuat dua buah
kuburan disamping rumah dan kemudian memanggil tukang batu untuk mendirikan bong pay
(batu nisan). Diatas sebuah bong pay tertulis. "Kuburan Tiap kok Ie sian, Ouw Sinshe, Ceng
Goe", sedang dilain bong pay tertulis. "Kuburan Nyonya Ouw, Ong sie"
Kan Ciat, Sie Kong Wan dan yang lain-lain percaya, bahwa kedua suami isteri itu telah
meninggal dunia karena sakit cacar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 479
Sesudah pengacaunya berlalu, dengan diobati Boe Kie, semua orang sembuh dengan cepat
sekali. Dalam sepuluh hari, mereka semua sudah berlalu dengan menghaturkan banyak terima
kasih.
Selama beberapa hari, Boe Kie memusatkan seluruh perhatiannya kepada buku yang
diberikan oleh Tiap kok ie sian. Ia mendapat kenyataan bahwa isi buku itu benar-benar hebat,
berisi resep-resep luar biasa dan macam-macam cara untuk mengobati berbagai penyakit yang
aneh-aneh. Sungguh tak malu Ouw Ceng Goe mendapat gelaran Ie sian. Tapi sesudah
mempelajari delapan sembilan hari, ia masih juga belum dapat membaca Keterangan tentang
cara mengusir racun Hian beng Sin ciang. Ia memikir bulak-balik, mengasah otak Siang
malam, tapi tetap tidak berhasil. Ia jadi putus harapan.
Hari itu, dengan perasaan tertindih ia jalan jalan diluar rumah. Sambil mengawasi keduaku
kuburan kosong itu, ia berkata dalam hatinya: "Setahun lagi, siapakah yang akan mengubur
mayat ku?" Mengingat begitu, hatinya sedih dan air mata nya mengucur.
Sekonyong-konyong dibelakangnya terdengar suara batuk-batuk. Ia kaget, dan memutar
badannya. Orang yang berdiri dibelakangnya ternyata bukan lain daripada Kim hoa Popo
yang sedang mencekal tangan sigadis kecil
"Anak kecil, pernah apakah kau dengan Ouw Ceng Goe?" tanya si nenek. "Mengapa kau
menangis didepan kuburannya ?"
Jawab Boe Kie. "Aku kena racun Hian beng Sin ciang . . . ."
Si nenek mengangsurkan tangannya dan memegang nadi Boe Kie. "Siapa yang memukul
kau?" tanyanya dengan suara heran.
Boe Kie menggelengkan kepala. "Entahlah," Jawabnya. "Orang itu menyamar seperti seorang
perwira Mongol. Aku tak tahu siapa adanya dia. Aku datang kemari untuk meminta
pertolongan Ouw Sinshe, tapi ia tak sudi menolong. Sekarang ia meninggal dunia dan
penyakitku tentu tak dapat diobati lagi. Itulah sebabnya mengapa aku menangis."
Melihat paras muka si bocah yang sangat tampan dan gerak geriknya yang menarik. Kim hoa
Popo merasa kasihan sehingga ia menghela napas panjang dan berkata." Sayang, sungguh
sayang!"
Dua tahun yang lalu, waktu baru diberitahukan bahwa racun Hian beng Sin ciang sukat
diobati, Boe Kie ketakutan. Belakangan, sesudah berbagai usaha gagal, ia putus harapan dan
jadi nekad. Ia sudah tidak memikiri lagi soal mati dan hidupnya. Maka itu, mendengar
perkataan si nenak, ia tertawa dingin dan berkata. "Mati atau hidup tak bisa diminta secara
paksa. Apakah seseorang yang serakah yang ingin hidup terus menerus bukan seorang yang
sedang mabuk ? Entahlah. Apakah seseorang yang takut mati bukan seperti seorang kanakkanak
yang kesasar dan tidak mengenal jalan pulang? Entahlah. Apakah seseorang yang
sudah meninggal dunia tidak merasa menyesal bahwa ia dahulu ingin sekali dilahirkan
didalam dunia? Inipun tak diketahui olehku,"
Si nenek terkesiap. Untuk sementara ia tidak mengeluarkan sepatah kata dan coba
memecahkan maksud perkatan si bocah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 480
Kata-kata itu adalah petikan dari kitab Lam hoa keng gubahan Cong coe -Chuang tse-.
Sebagai mana diketahui Thio Sam Hong menganut agama Too kauw tapi ketujuh muridnya
tidak turut memeluk agama tersebut. Meskipun begitu, mereka terus mempelajari Lam Hoa
keng semasak-masak nya.
Waktu berada di pulau Peng bwee to, karena tak ada buku dan perabot tulis, Thio Coei San
mengajar ilmu surat kepada puteranya dengan menulis huruf diatas tanah. Antara lain, ia telah
menyuruh anaknya menghafal kitab Lam-hoa-keng. Kata-kata yang dikutip Boe Kie
mengandung makna yang seperti berikut: Hidup belum tentu senang dan mati belum tentu
menderita, sehingga pada hakekatnya hidup atau mati tidak banyak perbedaannya. Seseorang
yang hidup di dunia seperti sedang mimpi dan kalau ia mati, ia seperti tersadar dari mimpinya.
Mungkin sekali, sesudah mati, rohnya menyesal mengapa dahulu dia hidup di dalam dunia
dan mengapa dia tidak mati terlebih siang. Demikianlah kira-kira arti perkataan itu.
Sebagai seorang bocah, Boe Kie sebenarnya belum mengerti soal mati atau hidup. Tapi
karena selama kurang lebih empat tahun setiap hari ia berada antara mati dan hidup, maka
sedikit banyak ia dapat menyelami juga arti perkataan Cong coe. Tanpa merasa, ia mengharap
supaya sesudah mati, ia akan berada ditempat yang bahagia, supaya ia bisa berkumpul lagi
dengan roh kedua orang tuanya, sehingga kematiannya banyak lebih menyenangkan dari pada
hidup sebatangkara didalam dunia yang lebar ini.
Bagi Kim Hoa Popn, perkata itu telah mengingatkannya kepada sang suami yang sudah
almarhum. Puluhan tahun, dengan penuh kecintaan mereka bersuami isteri. Tiba-tiba pada
suatu hari, sang suami yang tercinta telah berpulang kealam baka, seperti seorang pelancong
yang pulang ke negeri sendiri. Mengingat begitu, didalam hatinya segera muncul satu
pertanyaan: "Apakah kebinasaan suami itu bukan kejadian yang tidak terlalu jelek?"
Dengan perasaan heran si nona cilik yang berdiri disamping Kim Hoa Popo mengawasi muka
si nenek dan kemudian melirik Boe Kie. Ia tidak mengerti perkataan Boe Kie dan juga tidak
mengerti mengapa neneknya bengong terlongong longong.
Beberapa saat kemudian, Kim Hoa Popo menghela napas dan berkata: "Soal mati atau hidup
tak bisa diketahui manusia. Biarpun kematian belum tentu merupakan suatu kejadian yang
menakuti, tapi pada umumnya manusia takut mati. Benar! Manusia tidak bisa meminta secara
paksa. Pada akhirnya, satu hari semua manusia akan mati. Akan tetapi, jika bisa hidup satu
hari lebih lama, orang lebih suka hidup satu hari lebih lama!"
Melihat sikap dan perkataan si nenek yang lemah-lembut, hati si bocah jadi tenang tenteram.
Sesudah menyaksikan lukanya kelima belas orang dan rasa takutnya Ouw Ceng Goa, Boe Kie
menganggap nenek itu sebagai memedi kejam. Tapi sekarang, melihat paras Kim hoa Popo
yang penuh kecintaan dan sikapnya yang ramah tamah, ia merasa, bahwa si nenek
menyayangnya dengan setulus hati, sehingga dengan demikian rasa takutnya banyak
berkurang.
"Nak," kata pula nenek itu, "Siapakah ayahmu dan dimana ia sekarang?"
Tanpa tedeng-tedeng, secara ringkas Boe Kie segera memberi jawaban dan menuturkan sebab
musabab sehingga dia berada di Ouw tiap kok.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 481
"Kalau begitu kau adalab putera Boe tong Thio Ngohiap," kata Kim hoa Popo dengan suara
heran. "Menurut pendapatku orang itu melukakan kau dengan Hian beng Sin ciang karena dia
ingin memaksa kau memberitahukan tempat sembunyinya Cia Soen. Bukankah begitu ?"
"Benar" Jawab Boe Kie. "Dia telah menyiksa aku dengan berbagai cara, tapi aku tetap
membungkam."
"Tapi apa kau tahu dimana adanya Cia Soen ?" tanya pula si nenek.
"Kim mo Say ong adalah ayah angkatku." jawabnya "Tapi biar bagaimanapun jua, aku tak
akan memberitahukan kepada siapapun jua."
Mendadak si nenek membalik tangannya dan mencekal kedua tangan Boe Kie yang lalu
dipijit keras-keras. Si bocah berteriak keras, matanya berkurang kunang. Pijitan itu bukan saja
hebat, tapi dari tangan si nenek juga keluar semacam hawa dingin yang menyerang dadanya.
Hawa dingin itu berbeda dengea hawa Hian beng Sin ciang, tapi sama hebatnya.
"Anak baik," kata Kim Hoa Popo, "Beritahukanlah dimana adanya Cia Soen? Sesudah kau
memberitahukan, aku akan mengusir racun dari tubuhmu dan juga akan memberikan
semacam ilmu silat yang tiada keduanya kepadamu."
Sambil menahan sakit, Boe Kie menjawab dengan suara tetap. "Kedua orang tuaku telah
mengorbankan jiwa karena tidak mau menjual sahabat. Kim Hoa Popo, apakah kau
memandang aku sebagai manusia yang bisa menjual ayah ibunya?"
Jilid 26____________
Si nenek bersenyum, "Bagus ! Bagus!", katanya: "Kau sungguh seorang anak yang baik?"
"Popo, mengapa kau tidak menuang air perak kedalam kupingku?" tanya si bocah dengan
berani: "Mengapa kau tidak memaksa aku menelan jarum? Huh huh ! Dulu, waktu masih
kecil, aku sudah tak takut segala siksaan. Apalagi sekarang?"
Kim hoa Popo tertawa terbahak-bahak. "Kau sudah besar anak, memang kau sudah besar,"
katanya. "Ha ha ha...ho ho ho ..."Sehabis tertawa, ia batuk-batuk, banyak lebih hebat dari
biasanya, sehingga si nona cilik menumbuk-numbuk punggungnya dan memberikan sebutir
yowan kepada nya.
Sesudah berhenti batuk-batuk, perlahan-lahan si nenek meletakan cekalannya, pada
pergelangan tangan Boe Kie yang bekas dicekal terpeta tapak jari tangan yang berwarna
ungu-hitam.
Si nona cilik melirik Boe Kin seraya berkata "Lekas menghatur terima kasih kepada Popo
yang sudah mengampuni jiwamu."
Boe Kie mengeluarkan suara dihidung. "Kalau segera dibunuh, mungkin sekali aku lebih
senang," katanya. "Perlu apa menghaturkan terima kasih?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 482
Alis si nona berkerut. "Kau terlalu kepala batu." katanya. "Sudahlah! Aku tak akan
memperdulikan kau lagi." Ia memutar badan, tapi diam-diam ia melirik Boe Kie lagi.
Si nenek bersenyum. "A lee," katanya, "dipulau kita, kau seorang diri, tak punya kawan. Apa
tidak baik kalau kita bawa dia kesana, supaya dia bisa menemani kau? Hanya adatnya tidak
begitu bagus."
Si nona yang dipanggil "A-lee" menepuk-nepuk tangan dan berkata dengan girang. "Bagus
kita bawa dia kesana. Kalau dia membandel, bukankah Popo bisa mencari jalan untuk
menaklukinya?"
Mendengar pembicaraan itu, Boe Kie jadi bingung.
Si nenek manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata. "Kau ikut aku. Lebih dulu kita cari
seorang dan aku ingin melakukan suatu pekerjaan. Sesudah itu, kita pulang ke pulau Leng coa
to."
"Tidak! Kamu bukan orang baik-baik." kata Boe Kie dengan gusar.
Si nenek bersenyum. "Kau sungguh goblok," katanya, "Di pulau kami, kau bisa mendapatkan
apapun jua. Makanan yang lezat, tempat bermain, pemandangan indah yang belum pernah
dilihat oleh mu. Anak baik, sudahlah, kau jangan rewel dan ikutlah Popo."
Tiba-tiba Boe hie memutar badan dan terus lari. Tapi baru dua tiga tindak, si nenek sudah
menghadang didepannya. "Nak, kau tak akan bisa melarikan diri." katanya dengan suara
lemah lembut. "Ikutilah aku baik-baik, jangan sampai di paksa."
Boe Kie melompat dan kabur kejurusan lain tapi seperti juga tadi, baru setindak dua, Kim Hoa
Popo sudah mencegat pula. Dengan gusar Boe Kie meninju. Si nenek mengegos sambil
meniup tinja yang menyambar. Di tiup begitu, Boe Kie merasa tangannya seperti disayat
pisau.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring. "Boe Kie Koko !" Suara itu ialah suara Yo
Poet Hwie yang muncul dari dalam hutan sambil berlari-lari, diikuti oleh ibunya dari
belakang.
Melihat Kim Hoa Popo, paras muka Siauw Hoe lantas raja berubah pucat. Tapi dengan
memberanikan hati, ia berkata dengan suara gemetar: "Popo, kau tidak akan mencelakakan
anak-anak kecil bukan ?"
Si nenek mendelik. "Kau masih belum mati?" tanyanya dengan suara dingin, "Jangan campur
campur urusanku. Mari... Mari... Aku mau lihat, mengapa kau belum mati."
Siauw Hoe sebenarnya berhati tabah. Tapi dalam menghadapi lawan berat dan karena
memikirkan keselamatan puterinya, ia sungkan menerjang bahaya.
Maka itu, seraya menarik tangan puterinya, ia mundur setindak. "Boe Kie kemari," katanya
dengan suara perlahan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 483
Baru saja Boe Kie mau bergerak, si nona cilik sudah menjambret lengannya dan
menyengkeram jalan darah Sam yang hiat, sehingga separoh badannya tidak dapat berkutik
lagi, "Diam!" bentak gadis kecil itu.
Boe Kie kaget, gusar dan heran," Celaka" ia mengeluh. "Ilmu apa yang digunakan perempuan
kecil ini ?"
Sekonyong-konyong terdengar suara yang nyaring dan tajam. "Siauw Hoe, mengapa nyalimu
begitu kecil ? Mau mendekati, dekatilah!"
Siauw Hoe kaget bercampur girang, "Soehoe!" teriaknya, tapi tidak mendapat jawaban. Sesaat
kemudian, disebelah kejauhan muncul seorang nio kouw (pendeta perempuan) yang
mengenakan jubah pertapaan warna abu-abu dan mendatangi dengan tindakan perlahan.
Pendeta itu bukan lain dari pada Ciang boenjin Go bie pay, dan di belakang mengikuti dua
orang murid.
Bahwa dari tempat yang begitu jauh, ia bisa melihat begitu tegas dan bisa mengirim suara
yang begitu nyaring merupakan bukti dari kelihayan pendata tersebut. Biat coat Soethay, yang
namanya dikenal oleh semua jago Rimba Persilatan, bukan saja jarang turun gunung, tapi juga
jarang menemui manusia. Kalau ia masih menolak untuk menemui seorang berilmu seperti
Thio Sam Hong lain tak usah dibicarakan lagi.
Sesudah datang dekat, in ternyata berusia setengah tua, kurang lebih empat puluh lima tahun
sedang paras mukanya dapat dikatakan elok hanya sayang kedua alisnya terlalu turun
kebawah sehingga muka yang cantik itu agak menyerupai muka setan Tiauw sie kwi (setan
penggantungan) diatas panggung wayang.
Siauw Hoe menyambut dengan berlutut seraya berkata. "Soehoe, apa kau baik ?"
"Belum mampus dirongrong olehmu," jawabnya.
Siauw Hoe tidak berani bangun. Mendengar suara tertawa dingin dari Teng Bin Koen yang
berdiri dibelakang gurunya, ia segera mengetahui, bahwa kakak seperguruannya itu sudah
bicara banyak tentang dirinya dihadapan sang guru. Jantungnya memukul keras dan keringat
dingin keluar dari dahinya.
"Nenek itu telah memanggil kau untuk melihat mengapa kau belum mati," kata Biat coat Soe
thay. "Pergilah, dekati dia!"
"Baik.. " kata si murid yang lalu bangun berdiri dan menghampiri si nenek. "Kim Hoa Popo,"
katanya. "Guruku sudah datang. Jangan kau berlaku galak lagi."
Kim hoa Popo batuk-batuk. Ia melirik Biat coat Soethay dan manggut-manggukkan
kepalanya. "Hm! Kau Ciang boenjin Go bie pay," katanya. "Benar, aku sudah memukul
muridmu. Habis, mau apa kau ?"
"Bagus," jawabnya. "Mau pukul, boleh pukul lagi. Biarpun dia mati, tak ada sangkut pautnya
denganku."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 484
Hati Siauw Hoe seperti disayat pisau, "Soehoe!" teriaknya dengan suara parau, sedang air
matanya mulai mengucur.
Biat coat Soethay biasanya dikenal sebagai seorang yang selalu mengeloni muridnya,
meskipun murid itu berbuat kesalahan. Sekarang, dengan mengeluarkan perkataan itu terangterangan
ia mengunjuk, bahwa ia sudah tidak menganggap Siauw Hoe sebagai muridnya lagi.
"Dengan Go bie pay aku tidak mempunyai permusuhan." kata Kim hoa Popo. "Sesudah
memukul sekali, cukuplah. A-lee, mari kita pergi !"
Sehabis betkata begitu, perlahan-lahan ia memutar badan.
Melihat cara-cara si nenek yang dianggapnya kurang ajar, Teng Bin Koen yang belum
mengenal kelihayan Kim hoa Popo, lantas saja naik darah.
Dengan sekali melompat, ia sudah menghadang dihadapan nenek itu, "Tak tahu adat!"
bentaknya. "Apa kau mau pergi dengan begitu saja, tanpa mengeluarkan sepatah perkataan
sopan?" Seraya barkata begitu, ia mencekal gagang pedang dan sikapnya galak sekali.
Tangan si nenek bergerak dan dengan dua jeriji, dia memijit sarung pedang Teng Bin Koen.
"Kau mengancam orang dengan besi rongsokkan!" Katanya sambil tertawa.
Teng Bin Kaoen jadi lebih gusar dan lalu menarik pedangnya, tapi heran sungguh, pedang itu
tak dapat dihunus.
A lee tertawa geli. "Besi rosokan sudah berkarat," katanya.
Teng Bin koen coba mencabut lagi dangan menambah tenaga, tapi pedang itu tetap melekat
pada sarungnya. Ia tak tahu, bahwa karena dipijit, sarung pedang pecah dan melesak kedatam,
sehingga badan pedang tergencet keras.
Paras muka Teng Bin koen lantas saja berubah merah. Ia merasa jengah dan tak tahu harus
berbuat apa. Biat coat Soethay maju setindak dengan tiga jari tangan, ia menjepit gagang
pedang dan sekali menyentak, sarung itu pecah dan pedangnya terhunus keluar. "Pedang ini
memang bukan senjata mustika, tapi juga bukan besi rongsokan," katanya dengan suara
mendongkol. "Kim hoa Popo, mengapa kau tidak berdiam di pulau Leng coa to dan
menyateroni wilayah Tiong goan?"
Melihat kepandaian nie kouw, si nenek terkejut. "Pendeta itu besar namanya dan ternyata ia
memang memiliki kepandaian tinggi," katanya didalam hati. "Baiklah aku coba menjajal
ilmunya."
Ia lantas saja berkata sambil tertawa: "Suami ku sudah meninggal dunia dan di pulau kami,
aku merasa sangat kesepian. Maka itu, aku pergi pesiar, kalau-kalau ada seorang hweeshio
atau toesoe yang cocok untuk dijadikan kawan" dengan berkata begitu menyebut hweeshio
dan toesoe, ia mengejek Biat coat. Ia seolah-olah mau mengatakan, bahwa sebagai seorang
pendeta perempuan, Biat coat Soethay tidak pantas berkelana diluaran.
Paras muka nie kouw itu, yang beradat keras dan tidak pernah guyon-guyog, lantas saja
berubah. Kedua alisnya makin turun kebawah. Sambil mengibas pedang, ia membentak :
"Keluarkan senjatamu!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 485
Semenjak berguru, murid-murid Goe bie belum pernah melihat guru mereka bertempur.
Antara ketiga murid itu, adalah Kie Siauw Hoe yang sangat berkuatir akan keselamatan sang
guru, karena ia sudah menyaksikan kelihayan Kim hoa Popo.
Sementara itu, Boe Kie, yang lengannya dicekal A-lee, sudah coba meronta seraya
membentak: "Lepaskan! Perlu apa kau pegang aku?" A lee melirik Kie Siauw Hoe yang
kelihatannya ingin bergerak untuk memberi pertolongan. Ia melepas cekalannya dan berkata:
"Diam disini. Aku mau lihat apa kau bisa lari."
Mendengar tantangan, Kim Hoa Popo tertawa: "Dulu, ilmu pedang Kwee Siang, Kwee
Liehiap, leluhur Goe bie pay, memang telah menggetarkan dunia persilatan," katanya. "Tapi
sesudah turun kepada murid dan cucu muridnya, berapa bagian yang masih ketinggalan?"
"Biarpun hanya ketinggalan sebagian, tapi sudah cukup untuk menyapu bersih segala
kawanan siluman," jawab Biat coat dengan mendongkol.
Untuk sejenak si nenek mengawasi ujung pedang dan mendadak ia menotol badan pedang
lawan dengan tongkatnya. Tentu saja Biat coat tidak mempermisikan pedangnya ditotol
begitu rupa. Sekali bergerak, ia sudah menikam pundak si nenek, yang sambil batuk-batut,
lantas saja menyapu dengan tongkatnya. Seraya menarik pulang senjatanya, Biat coat
melompat dan bagaikan kilat, ia sudah berada dibelakang Kim Hoa Popo. Sebelum kakinya
hinggap ditanah, pedangnya sudah menyambar, tapi si-nenek sendiri, tanpa memutar badan,
sudah berhasil menangkis dengan tongkatnya.
Kedua wanita itu adalah jago jago kelas utama dalam Rimba Persilatan. Baru saja bergebrak
tiga empat jurus, mereka mengetahui, bahwa hari itu mereka mendapat lawan setanding.
Sekonyong-konyong terdengat suara "trang!" dan pedang Biat coat patah dua. Semua orang,
kecuali A-lee, terkesiap. Mereka memandang rendah tongkat si nenek, sehingga mereka
menduga, bahwa patahnya pedang adalah akibat Lweekang Kim hoa Popo yang sangat tinggi.
Tapi si-nenek dan si-pendeta sama-sama tahu bahwa patahnya pedang itu bukan lantaran
keunggulan Lweekang, tapi sebab luar biasanya tongkat itu yang terbuat daripada San ouw
kim, hasil laut diperairan pulau Leng coa to.
San-ouw-kim adalah semacam logam istimewa yang merupakan campuran dari beberapa
macam logam dan batu karang, sesudah berada didalam air berlaksa tahun lamanya, logam itu
keras dan berat luar biasa, sehingga bisa memutuskan baja dan menghancur leburkan batu.
Karena mengetahui, bahwa patahnya pedang bukan sebab lawannya kalah, maka sebagai
seorang yang berkedudukan tinggi, Kim Hoa Popo tidak mendesak. Sambil batuk-batuk, ia
menuggu. Di lain pihak, sebab kuatir guru mereka terluka. Kie Siauw Hoe dan kedua saudari
seperguruannya buru-buru mendekati Biat coat Soethay.
Sementara itu, Ah lee dan Boe Kie sudah bertengkar lagi. Si nona cilik yang sangat nakal tiba
tiba mencekal pula peegelangan tangan Boe Kie. "Lihatlah, kau tidak akan bisa terlepas dari
tanganku." katanya.
Begitu pergelangan tangannya tercekal. Boe Kie kembali merasa separuh badannya lemas. Ia
bingung dan gusar dan lalu coba menendang. A lee mencekal lebih keras sambil mengerahkan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 486
Lwee kang, sehingga kaki Boe Kie tidak bisa diangkat tinggi. "Lepas! Mau lepas tidak?"
teriaknya.
"Tidak! Mau apa kau?" jawab si nona. Mendadak Boe Kie menunduk dan lalu menggigit
tangan A lee.
"Aduh!" teriak si nona yang terpaksa melepaskan cengkeramannya, tapi tangan kirinya lalu
menyambar muka si bocah. Boe Kie coba melompat mundur, tapi tidak keburu lagi dan
mukanya sudah tercakar. Dilain pihak, tangan A lee mengeluarkan darah akibat gigitan.
Kim Hoa Popo tidak menghiraukan kedua anak yang sedang bertengkar itu. Dalam
menghadapi lawan berat, ia tak dapat memecah perhatiannya. Dilain saat, sambil
melemparkan potongan pedang, Biat coat Soethay berkata "Pedang itu pedang muridku dan
ternyata tidak cukup kuat untuk menahan seranganmu." Seraya berkata begitu, ia membuka
sebuah kantong yang tergantung dipudaknya dan mengeluarkan sebatang pedang tua yang
panjangnya empat kaki. Sebelum dihunus, dari sarung pedang sudah terlihat sehelai sinar
hijau sehingga dapat diduga, bahwa senjata itu senjata luar biasa.
Kim Hoa Popo melirik dan melihat, bahwa pada sarung pedang itu terdapat dua huruf emas
huruf kuno yang berbunyi: "Ie thian". Ia terkesiap dan berseru tanpa merasa: "Ie thian kiam!"
Biat coat mengangguk. "Benar, inilah Ie thian kiam!" katanya.
Sesaat itu, dalam otak si nenek berkelebat kata-kata yang sudah lama tersiar didalam Rimba
Persilatan: "Boe lim cie coen, po-to-to-liong, hauw leng thia hee, boh kam poet ciong ie thian
poet coet, swee-ie-ceng hong." (Yang termulia dalam Rimba Persilatan, golok mustika
Membunuh naga, perintahnya dikolong langit, tiada manusia yang berani tidak menurut, Ie
thian tidak keluar, siapa lagi yang berani melawan ketajamannya.) Ia mengawasi senjata
mustika itu dan berkata dengan suara yang hampir tidak kedengaran: "Kalau begitu, Ie thian
kiam, jatuh kedalam tangan Go bie pay."
"Sambutlah!" bentak Biat coat seraya menotol dada si nenek dengan sarung pedang. Ia
menyerang tanpa menghunus ie thian kiam. Kim ho Popo menangkis dengan tongkatnya.
Begitu kedua senjata kebentrok, terdengarlah suara "brt!" dan.. loh! tongkat San ouw kiam
putus jadi dua potong!
Si nenek kaget tidak kepalang. Sebelum dihunus, Ie thian kiam sudah begitu hebat! Ia
mengawasi senjata lawan dan berkata dengan suara perlahan: "Biat coat Soethay, bolehkah
aku melihat mata pedang itu?"
"Tidak bisa!" jawabnya dengan suara yang menyeramkan. "Begitu terhunus, pedang tidak
boleh dimasukkan kedalam sarungnya lagi sebelum minum darah!"
Untuk beberapa saat, tanpa mengeluarkan sepatah kata, kedua jago betina itu saling
mengawasi. Dalam beberapa jurus tadi, mereka sudah mengadu Lweekang yang telah dilatih
sela puluhan tahun. Si nenek tahu bahwa tenaga dalam Biat coat masih kalah setingkat dari
Lweekangnya, tapi cetek dalamnya ilmu pedang pendeta itu masih belum dapat diukur
olehnya. Tapivsebagal pemimpin Go bie pay, ia tentu memiliki kepandaian luar biasa dan
ditambah dengan Ie thian kiam, ia sungguh bukan lawan yang enteng. Memikir begitu, sambil
batuk-batuk ia memutar badan dan lalu berjalan pergi seraya menuntun tangan si nona cilik.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 487
Ketiga murid Go bie pay tak tahu, bahwa pedang guru mereka adalah Ie thian kiam yang
sudah lama menghilang dari Rimba Persilatan. Mereka hanya merasa girang, bahwa guru
mereka sudah memperoleh kemenangan. "Soehoe," kata Teng Bin Koen, "Nenek itu tidak
bisa melihat gunung Thaysan dan sudah berani bertempur melawan Soehoe. Sekarang dia
baru tahu kelihayan Soehoe."
Biat coat mengawasi murid itu yang coba mengumpaknya. "Di kemudian hari, begitu lekas
mendengar suara batuk-batuknya, kamu mesti lekas lekas menyingkir." katanya dengan suara
sungguh. Ia mengatakan begitu sebab meskipun berhasil memutuskan senjata lawan, ia tahu
bahwa Lweekang nenek itu lebih unggul dari pada tenaga dalamnya. Tadi, waktu ia menotol
dengan sarung pedsang, ia menyertai juga dengan tenaga Go bie kioe yang kang yang sudah
dilatihnya selama tiga puluh tahun. Tapi tenaga yang hebat itu seperti amblas di dalam lautan
dan tubuh si nenek sedikit run tidak bergeming.
Sesaat kemudian, dengan paras muka yang sangat menyeramkan Biat coat berkata. "Siauw
Hoe kemari!" Ia berjalan kegubuk Ouw Ceng Goe dengan diikuti oleh ketiga muridnya.
"Ibu!" teriak Yo Poet Hwie sambil mengudak ibunya.
Siauw Hoe mengerti, bahwa kedatangan gutunya adalah untuk "membersihkan" rumah
perguruan dan meskipun ia sangat disayang, kali ini ia tidak bisa terlolos dari hukuman. Maka
itu, dengan suara membujuk ia segera berkata kepada puterinya "Tidak boleh, kau tidak boleh
masuk. Kau pergilah bermain."
Boe Kie mengawasi masuknya Biat coat kedalam rumah Ceng Gor sambil berkata didalam
hati: "Perempuan she Teng itu sangat jahat dan dia pasti akan coba mencelakakan Kie
Kouwkouw. Peristiwa dimalam itu telah disaksikan olehku dan pihak yang bersalah adalah
siperempuan she Teng. Biarlah, kalau dia bicara yang tidak-tidak aku akan maju untuk
membela Kie Kouwkouw." Memikir begitu ia lantas saja bersembunyi dibelakang rumah.
Untuk beberapa saat keadaan sunyi-sunyi saja. Akhirnya terdengar suara Biat coat. "Siauw
Hoe, kau ceritakanlah."
"Soehoo... aku... aku... "
"Bin Koen, coba kau ajukan pertanyaan," memerintah sang guru.
"Soe moay, dalam partai kita, apakah bunyinya larangan ketiga ?" tanya Bin Koen.
"Dilarang berjina," jawabnya.
"Benar.. Larangan keenam?"
"Dilarang berpihak kepada orang luar dan mengkhianati rumah perguruan sendiri."
"Apa hukumannya jika orang melanggar larangan itu?"
Siauw Hoe tidak menjawab. Ia menengok kepada gurunya dan berkata. "Soehoe, dalam hal ini
ada sesuatu yang sukar dikatakan olehku."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 488
"Disini tak ada orang luar, kau bicaralah terus terang," kata Biat coat.
Siauw Hoe mengerti, bahwa ia sedang menghadapi kebinasaan den sekarang ia tak dapat
menyembunyikan apapun jua. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Soehoe, pada enam tahun
berselang, Soe Hoe telah memerintahkan kami, delapan orang saudara seperguruan turun
tangan untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Cia Soen. Pada suatu hari, teecoe (murid)
tiba di Tay soe po. Ditengah jalan, teecoe bertemu dengan seorang pria setengah tua, usianya
kira-kira empat puluh tahun yang mengenakan baju putih. Dia selalu menguntit toecoe.
Teecoe menginap dirumah penginapan, dia turut menginap disitu, teecoe makan dia makan,
teecoe jalan, ia turut jalan. Semula teecoe tidak menghiraukannya, tapi belakangan, karena
merasa tak tahan, teecoe lalu menegurnya. Tapi dia menjawab seperti orang otak miring.
Sebab gusar, teecoe menghunus pedang lalu menikamnya. Dia tidak membawa senjata, tetapi
diluar dugaanku, ilmu silatnya amat tinggi dan dalam dua tiga jurus, dia sudah merampas
senjata teecoe."
"Dengan bingung, teecoe kabur dan diapun tidak mengejar. Pada keesokan paginya, waktu
mendusin dari tidur dalam sebuah kamar penginapan, dengan kaget dan heran, teecoe
mendapat kenyataan bahwa pedang teecoe menggeletak disamping bantal kepala. Ketika
teecoe meninggalkan rumah penginapan itu, orang itu mengikuti lagi. Teecoe mengerti,
bahwa teecoe tidak dapat menggunakan kekerasan dan lalu menegurnya dengam kata-kata
yang tajam. Teecoe mengatakan, bahwa dia harus mengenal kesopanan dan bahwa partai Go
bie pay bukan partai yang boleh dibuat permainan.
Biat coat manggut-manggutkan kepalanya, seperti juga ia menyetujui perkataan murid itu.
Sesudah berdiam sejenak, Siauw Hoe melanjut kan penuturannya. "Orang-orang itu tertawa
tawa dan berkata: "Ilmu silat seorang yang sudah terpecah menjadi partai ini dan partai itu,
dengan sendirinya sudah merosot. Kalau nona suka mengikuti aku, aku akan memperlihatkan
bahwa dalam ilmu silat masih terdapat lain dunia yang berbeda dengan dunia mu."
Biat coat Soethay adalah seorang yang sempit pandangannya. Seumur hidup ia mempelajari
ilmu silat dengan mengasingkan diri sehingga pengetahuannya mengenai dunia luar sangat
terbatas. Mendengar keterangan Siauw Hoe, ia lantas saja merasa ketarik dan berkata. "Kalau
begitu kau boleh coba mengikuti dia dan coba menyelidiki ilmu apa yang dimilikinya."
Paras muka si murid berubah merah. "Soehoe, dia seorang yang belum dikenal, bagaimana
teecoe bisa mengikutinya ?"
"Aha! Kau benar!" kata sang guru, "Kau segera usir dia bukan?"
"Dengan rupa-rupa jalan teecoe coba menyingkirkan diri, tapi selalu tidak berhasil," jawabnya
"Akhirnya teecoe tertawan..... Teecoe bernasib sial sehingga bertemu dengan musuh penitisan
yang lampau ..... " Berkata sampai disitu, suaranya makin perlahan.
"Habis bagaimana?" mendesak Biat coat.
"Teecoe tidak bisa melawan dan kehormatan teecoe telah dirusak olehnya," Jawabnya dengan
suara hampir tidak kedengaran. "Ia menilik tee coe dengan sangat keras, sehingga percobaan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 489
teecoe untuk bunuh diri selalu gagal. Beberapa bulan kemudian, seorang musuhnya
menyatroni dan dengan menggunakan kesempatan itu, teecoe baru
bisa kabur. Teecoe hamil, tapi tidak berani memberitahukan Soehoe dan belakangan teecoe
melahirkan seorang anak perempuan dengan diam diam."
"Apa kautidak berjusta?" tanya sang guru dengan bengis.
"Biarpun mesti mati berlaksa kali, teecoe tak akan berani berjusta " jawabnya.
Untuk beberapa lama Biat coat menundukkan kepala. Akhirnya ia berkata. "Kasihan! Siauw
Hoe, kau sangat tidak beruntung. Dalam hal ini, bukan kau yang bersalah."
Mendengar perkataan sang guru, Teng Koen sangat mendongkol. Ia mendapat lain bukti,
bahwa sang guru sangat menyayang adik seperguruan itu. Dengan sorot mata membenci ia
melirik Siauw Hoe.
Sesudah menghela napas Biat coat bertanya. "Sekarang bagaimana pikiranmu? Apa yang mau
dilakukan olehmu ?"
Air mata Siauw Hoe mengucur deras. "Atas kemauan ayah, teecoe telah ditunangkan dengan
In Liok ya dari Boe tong pay," jawahnya dengan suara parau. "Sesudah kejadian itu,
pernikahan tak akan dapat dilangsungkan lagi. Teecoe hanya ingin memohon permisi Soehoe
supaya teecoe boleh mencukur rambut untuk menjadi pendeta."
Sang guru menggelengkan kepala. "Itupun bukan jalan yang sempurna," jawabnya. "Siapa
namanya lelaki itu ?"
Siauw Hoe menunduk dan menjawab dengan suara perlahan. "Dia she Yo, namanya Siauw"
Mendadak, mendadak saja, Biat coat mencelat dari kursinya, dengan jubahnya dikibarkan,
sehingga meja terlempar.
Boe Kie terkesiap, sedang ketiga murid Go bie pay itupun tak kurang kaget nya.
"Yo Siauw!" teriak Biat coat Soethay, "Apakah dia Yo Siauw, si raja siluman dari agama
Beng Kauw, yang menamakan diri sebagai Kong beng Soe cia ?" (Kong beng Soe cia -
Utusan Terang benderang)
"Dia... dia memang orang Beng kauw," jawab Siauw Hoe dengan suara gemetar. "Dia..... dia
kelihatannya ....... mempunyai.... mempunyai kedudukan tinggi dalam agama itu."
Muka Biat coat merah padam. "Dimana dia?" bentaknya pula, "Aku mau cari dia!"
"Menurut keterangannya, dia bertempat tinggai dipuncak Co bong hong dipegunungan Koen
loen san," jawabnya, "Tempat tinggalnya itu hanya di beritahukan kepada teecoe seorang.
Tiada orang lain yang mengetahuinya. Soehoe, apa dia musuh partai kita?"
"HMm!" Biat coat mengeluarkan suara dihidung, "Bukan hanya musuh besar dari partai kita,
Toa soepehmu, Kouw hung Coen cia dan pentolan Koen loen pay, Yoe liong coe, mati karena
memedi Yo Siauw."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 490
Siauw Hoe ketakutan, tapi dalam rasa, takut itu berecampur dengan rasa bangga. Kouw bong
Coe cia dan Yoe liong coe adalah jago-jago Bu lim yang namanya tersohor, Tapi mereka mati
karena "dia".
Murid murid Go bie mengetahui, bahwa guru mereka dan Toasoepeh Kouw bong Coen cia
adalah dua murid terutama dari sang Soe Couw, tapi mereka tak tahu, bahwa diwaktu muda,
kedua orang itu saling mencinta dan sesudah Kouw bong Coe cia meninggal dunia, barulah
Biat coat mencukur rambut.
Biat coat mendongak mengawasi langit dan mulutnya mencaci. "Bangsat Yo Siauw......
sekarang kau jatuh juga kedalam tanganku!" Tiba-tiba ia putar tubuh seraya berkata.
"Baiklah! Kau mempunyai banyak kedosaan: menyerahkan diri kepadanya dan melindungi
Pheng Hweeshio, berdosa terhadap kakak seperguruan, menjustai guru, diam-diam
memelihara anak. Itu semua bisa diampuni olehku. Sekarang aku ingin memerintahkan kau
melakukan sesuatu tugas. Sesudah berhasil, kau boleh kembali ke Go bie san dan aku akan
mengangkat kau sebagai ahli waris, mewariskan Ie thian kiam kepadamu dan kemudian hari
kau akan menjadi Ciang boenjin dari partai kita!"
Semua orang kaget, lebih lebih Teng Bin Koen Yang lantas saja timbul rasa jelusnya dan
menganggap bahwa sang guru sangat memilih kasih.
"Biarpun mesti masuk kedalam lautan api, teecoe tak akan menolak perintah Soehoe," kata
Siauw Hoe. "Tapi karena sudah bercacad, teecoe tidak berani memikir untuk menjadi seorang
ahli waris."
"Ikut aku!" kata sang guru seraya menarik tangan Siauw Hoe dan bertindak keluar. Mereka
mendaki sebuah tanjakan dan berhenti diatas sebidang tanah rumput.
Boe Kie tidak mengerti apa maunya pendeta itu. Dengan berdiri ditempat tinggi sesudah
mengawasi keempat panjuru, barulah Biat coat menarik tangan Siauw Hoe dan bicara
dikuping muridnya ini. Apa yang dikatakannya tentu saja rahasia besar, sehingga kedua orang
muridnya yang lain tidak diperbolehkan turut mendengar.
Dengan mata tidak berkesip, Boe Kie terus mengawasi mereka. Sesudah menundukkan kepala
beberapa lama, Siauw Hoe kelihatan menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan sikap
yang pasti. Boe Kie mengerti bahwa sang bibi telah menolak perintah Biat coat. Sesaat
kemudian, si pendeta mengangkat tangan kirinya, tapi tangan itu berhenti diudara dan ia
bicara lagi rupanya sedang coba membujuk pula. Jantung Boe Kie memukul keras. Siauw Hoe
kelihatan berlutut dan kepalanya tetap digeleng-gelengkan. Tiba-tiba tangan Biat coat turun
menghantam batok kepala muridnya, yang lantas saja roboh terguling. Hati Boe Kie
mencelos... bukan main rasa dukanya.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring, suara Yo Poet Hwie yang menubruk
punggung Boe Kie. "Aha! Sekarang aku berhasil menangkap kau!" teriak si cilik.
Dengan cepat Boe Kie mencekal tangan si nona dan menutup mulutnya. "Sst! Jangan ribut,"
bisiknya. Melihat muka sang kakak yang pucat pasi, si nona jadi kaget dan ketakutan.
Biat coat kembali kerumah Ceng Goe dengan cepat sekali. "Bin Koen, binasakan anak haram
itu," ia memerintah. "Jangan tinggalkan bibit penyakit."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 491
Sesudah adik seperguruannya dihukum, biarpun hatinya senang, Bin Koen merasa agak takut.
Mendengar perintah itu, ia segera berjalan pergi untuk mencari Poet Hwie.
Sambil memeluk si none, Boe Kie menyembunyikan diri diantara rumput alang-alang yang
tinggi. Dengan berbisik ia minta supaya Poet Hwi jangan bersuara dan menyerahkan segala
apa kepada putusan Tuhan. Untung juga, sesudah mencari cari beberapa lama, Bin Koen tidak
ingat kepada rumput tinggi yang bisa digunakan sebagai tempat bersembunyi. Baru saja ia
mau menyelidiki terlebih teliti, gurunya sudah mencaci: "Manusia goblok! Anak kecil saja
kau tak mampu cari."
Murid Biat coat yang satunya lagi, Pwee Kim Gie namanya, mempunyai hubungan baik
dengan Siauw Hoe. Melihat kekejaman sang guru ia merasa sangat tak tega. Maka itu, ia
lantas saja berkata: "Soehoe, tadi kulihat anak itu lari keluar selat." Ia tahu, bahwa jika
diberitahukan begitu, sang guru, yang beradat sabaran, tentu tidak mau berabe untuk mencari
terlebih jauh. Ia merasa, bahwa sebagai anak yatim piatu yang baru berusia lima enam tahun,
Poet Hwie belum tentu bisa hidup terus. Tapi biar bagaimana jua, mati lapar atau mati
diterkam binatang buas ada lebih baik daripada mati ditikam Teng Bin Koen.
"Mangapa kau tidak beritahukan sedari tadi?" tanya Biat coat dengan mendongkol. Dengan
menggunakan ilmu ringan badan, ia segera berlari-lari keluar selat, dengan diikuti oleh kedua
muridnya. Poet Hwie yang tak tahu, bahwa ia baru saja terlolos dari lubang jarum, mengawasi
Boe Kie dengan mata penuh pertanyaan.
Sesudah tindakan ketiga orang itu tidak terdengar lagi, sambil menuntun Poet Hwie, Boe Kie
berlari-lari mendaki tanjakan. "Boe Kie Koko, orang jahat sudah pergi semua bukan?"
tanyanya sambil tertawa. "Kau mau mengajak aku bermain-main diatas gunung, bukan?"
Boe Kie tidak menjawab. Melihat Poet Hwie sudah lelah, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia
mendukungnya dan terus lari secepat mungkin kearah Kie Siauw Hoe yang menggeletak
diatas tanah. Sesudah dekat, barulah Poet Hwie melihat ibunya. Ia meronta turun dari
dukungan Boe Kie dan kemudian menubruk ibunya. "Ibu! Ibu!..,." teriaknya.
Boe Kie buru-buru berlutut dan memeriksa ke adaan sang bibi. Napas Siauw Hoe tinggal
sekali kali dan batok kepalanya remuk, sehingga biarpun ditolong dewa, ia tak akan bisa
hidup terus.
Perlahan-lahan Siauw Hoe membuka kedua matanya. Melihat puterinya dan Boe Kie,
matanya berlinang air dan bibirnya bergerak. Ia mau bicara, tapi tak sepatah perkataan bisa
keluar dari mulut nya. Boe Kie segera mengeluarkan jarum emas dan menusuk jalan darah
Sinteng, Gin tong dan Sin wie. Semangat Siauw Hoe terbangun dan ia berkata dengan suara
lemah: "Aku memohon.... memohon....supaya kau mengantarkan Poet Hwie kepada
ayahnya...". Lengan kirinya meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu, tapi mendadak
ia berkelejat dan menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Sambil menangis keras Poet Hwie memeluk jenazah ibunya. "Ibu!...ibu!.... Mengapa kau?....
sakit?...." ia sesambat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 492
Hati Boe Kie seperti disayat ratusan pisau. Ia ingat, bahwa ia sendiri pernah menangis begitu
sambil memeluk jenazah kedua orang tuanya. Tanpa merasa, air mata mengalir turun dikedua
pipinya.
Sesudah kenyang memeras air mata Boe Kie ingat pesan sang bibi dan segera mengambil
keputusan untuk menunaikan tugas itu. Ia hanya tahu bahwa orang itu bertempat tinggal
dipuncak Co bong hong, dipegunungan Koen loan san. Ia tak tahu dimana adanya gunung itu
yang sebenarnya berada dalam jarak berlaksa li. Dilain saat, ia juga ingat, bahwa sebelum
meninggal dunia, sang bibi meraba dada, seperti mau mengeluarkan sesuatu. Ia lantas saja
meraba leher Siauw Hoe dan mengeluarkan sepotong Kiat (??) pay (lembaran besi) yang
atasnya diukir gambar setan yang menyeringai dan mengangkat cakarnya. Pay tersebut
digantung dileher Siauw Hoe dengan selembar tali.
Boe Kie tak tahu apa adanya benda itu, tapi ia lalu membukanya dan kemudian
menggantungnya dileher Poet Hwie. Sesudah itu, ia mengambil cangkul menggali sebuah
lubang dan lalu menguburkan jenazah Siauw Hoe. Ketika itu karena lelah, Poet Hwie sudah
pulas. Waktu si nona cilik tersadar, dengan berbagai akal ia coba membujuknya, antara lain ia
mengatakan, bahwa sang ibu telah terbang kelangit dan nanti, sesudah sekian lama akan
kembali didunia. Dasar anak kecil, si nona akhirnya dapat juga dilabui.
Malam itu, sesudah masak nasi dan makan secara sembarangan, Boe Kie yang sudah terlalu
capai, tidur pulas dengan nyenyak sekali. Pada kepaginya, setelah membuntal pakalan dalam
dua buntalan kecil, ia mengajak Poet Hwie untuk memberi selamat tinggal dan memohon
keberkahan. Sesudah itu, kedua yatim piatu berjalan keluar dari Oaw tiap kok....
Boe Kie sama sekali tidak bersenjata. Semula ia ingin membawa potongan tongkat San ouw
kim, tapi dicari-cari, tidak ketemu dan ia menduga, bahwa potongan senjata itu telah dibawa
oleh Teng Bin koen. Mengenai bekal, ia hanya mempunyai tujuh delapan tahil perak yang
diambilnya dari buntalan Kie Siauw Hoe. Ia tak tahu di mana adanya Koen loen san. Ia hanya
menduga, bahwa gunung itu jauh sekali dan uang sebegitu tentulah sangat tidak mencukupi.
Tapi apakah yang dapat diperbuat olehnya?
Sesudah berjalan setengah hari, barulah mereka keluar dari selat Ouw tiap kok. Karena Poet
Hwi masih sangat kecil, mereka maju dengan lambat sekali. Sebentar mengaso, sebentar jalan
lagi. Pada malam,itu mereka berada di delam hutan dan diantara kegelapan malam, mereka
mendengar macam-macam binatang burung hantu. Poet Hwie ketakutan dan mulai menangis
keras. Boe Kie juga takut, tapi dalam keadaan, begitu mau tidak mau ia terpaksa harus
membesarkan hati. Tiba tiba ia malihat sebuah guha. Hatinya jadi girang benar, dan sambil
menuntun Poet Hwie, ia masuk ke dalam guha itu. Dengan kedua tangan ia menekap kuping
si nona supaya dia tidak mendengar suara-suara yang menakutkan.
Dengan menahan rasa lapar, haus dan takut, kedua anak itu melewati sang malam. Pada
keesokan paginya, Boe Kie mencari bebuahan hutan untuk menangsal perut dan kemudian
mereka meneruskan perjalanan. Di waktu magrib, selagi enak-enak berjalan, sekonyongkonyong
poet Hwie berteriak dan tangannya menuding sebuah pohon. Boe Kie menengok. Ia
terkasiap dan sambil menarik tangan Poet Hwie, ia segera lari. Yang dilihat mereka adalah
dua mayat yang menggelantung di pohon itu. Baru saja belasan tombak, kaki Boe Kie
tersandung batu dan roboh terguling. Waktu merangkak bangun, dengan memberanikan hati,
ia menengok kepohon dan tanpa merasa ia berteriak. "Ouw Sinshe!" Waktu ia menengok,
secara kebetulan angin meniup dan mayat itu terputar, sehingga mukanya menghadapi Boe
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 493
Kie yang segera mengenali bahwa muka itu adalah muka Ouw Ceng Goe. Yang satunya lagi
adalah mayat wanita dan dilihat dari pakainnya, dia pasti bukan lain dari pada Ong Lan
Kouw. Dalam cuaca yang sudah hampir gelap, pemandangan itu sungguh menyeramkan dan
bulu roma Boe Kie bangun semua.
Sesudah bangun berdiri, si bocah berkata didalam hatinya: "Tidak boleb, aku tidak boleh
menjadi seorang pengecut."
Setindak demi setindak, ia maju dan mendekati. Dari sebelah kejauhan ada dilihatnya sinar
keemas emasan dipipi kedua mayat itu. Sesudah didekati, sinar itu ternyata keluar dari bunga
emas. "Ah! Ouw Sinhe dan Soe bo tidak terlolos dari tangan Kim-Hoa popo", ia mengeluh.
Kereta yang ditumpangi mereka berada dalam sebuah selokan dalam keadaan hancur, sedang
bangkai keledaipun terdapat dalam selokan itu.
Malam itu Boe Kie dan poet Hwie tidur dibawah pohon. Kira-kira tengah malam mereka
disadarkan oleh bunyi binatang. Dibawah sinar rembulan, mereka melihat lima enam ekor
anjing hutan sedang menggerogoti bangkai keledai. Dengan hati berdebar-debar, buru-buru
Boe Kie mendukung Poet Hwie dan memanjat sebuah pohon. Anjing-anjing itu coba
mengudak dan kemudian jalan berputar putar dibawah pohon. Sedang beberapa lama
beberapa lama, barulah mereka meninggalkan pohon itu dan berpesta pora lagi dengan daging
keledai. Pada esokan paginya, barulah kawanan binatang itu berlalu.
Sesudah anjing-anjing itu pergi jauh, Boe Kie baru berani turun. Ia segera membuka tambang
dan menurunkan jenazah suami isteri Ouw Ceng Goe. Tiba-tiba terdengar suara "plak" dan
dari atas jatuh sejilid buku. Boe Kie segera menyambutnya dan diatas buku itu, buku tulisan
tangan, tertulis seperti berikut: "Tok soet Tay coan" (Kitab lengkap mengenai racun).
Boe Kie membalik-balikkan lembaran yang penuh dengan huruf-huruf kecil. Buku itu
menjelaskan sifatnya macam-macam binatang beracun, burung beracun, kutu beracun, rumput
beracun, dari yang biasa sampai yang aneh aneh. Cara mengganakannya dan cara
mempunahkannya. Sesudah memasukkannya ke dalam saku, dia kemudian mengubur jenazah
suami-istri Ouw Ceng Goe dengan menumpuk batu-batu tanah dan rumput diatasnya. Sesudah
selesai dan memberi hormat dengan berlutut beberapa kali, sambil menuntun tangan Poet
Hwie, ia segera meneruskan perjalanannya.
Diwaktu lohor mereka bertemu dengan jalan raya dan tak lama kemudian, mereka tiba
disebuah kota kecil. Mereka lalu mencari rumah makan, atau warung untuk menangsal perut.
Tapi sungguh heran, semua rumah tiada penghuninya dan kota kecil itu sunyi senyap
bagaikan kuburan. Dengan apa boleh buat, mereka berjalan terus.
Waktu itu adalah musim rontok, yaitu musim panen, tapi apa yang tertampak disawah sawah
yang tanahnya kering melela hanyalah rumput alang alang. Boe Kie bingung karena ia tidak
mengerti apa artinya itu semua. Kawan yang satu-satunya, tidak bisa diajak berdamai. Bahwa
dengan menahan lapar si noni cilik masih bisa berjalan terus, sudah dapat dikatakan mujur.
Berjalan sampai sore, mereka tiba disebuah hutan. Tiba-tiba Boe Kie melihat mengepulnya
asap. Ia merasa girang sekali, sebab sedari keluar dari selat Ouw tiap kok, baru sekarang ia
melihat asap yang berarti adanya mauusia. Buru-buru mereka menuju kearah asap itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 494
Waktu sudah berdekatan, mereka melihat lima orang lelaki yang pakaiannya compangcamping
badannya kurus kering dan mukanya pucat pasi, sedang berduduk disekitar sebuab
perapian dan diatas api terdapat sebuah kuali yang apinya bergolak-golak seperti sedang
memasak sesuatu.
Begitu melihat Boe Kie dan Poet Hwie, paras muka mereka berubah terang. Dengan serentak
mereka berbangkit. "Bagus! Bocah, mari sini!", kata salah seorang sambil menggapai.
"Kami sangat lapar sekali dan ingin meminta sedikit makanan," kata Boe Kie, "Sebagai tanda
terima kasih, kami akan memberi sedikit uang perak."
"Kau mempunyai uang? Coba keluarkan," kata yang seorang.
Boe Kie merogoh saku dan mengeluarkan sepotong perak.
Sambil membetot potongan perak itu, dia bertanya. "Mana orang tuamu?"
"Kami hanya berdua, tak mempunyai lain kawan," Jawab Boe Kie.
Kelima lelaki itu tertawa terbahak-bahak dan saling mengawasi satu sama lain.
Karena didorong rasa lapar, Boe Kie melongok kedalam kuali. Begitu melihat, hatinya
mencelos karena apa yang dimasak mereka hanyalah daun-daun akar, dan sedikit ubi-ubian.
Sambil menyeringai, salah seorang mencekal tangan Poet Hwie dan berkata "Kambing ini
gemuk sekali. Malam ini kita bisa makan kenyang!"
"Ya! Yang lelaki bisa ditunda sampai besok." menyambungi kawannya.
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. "Kau.... kau..... mau.... makan daging manusia?" tanyanya
terputus-putus.
Seorang yang bertuhub jangkung menyeringai dan berkata dengan suara dalam: "Sudah tiga
bulan aku tak permih makan nasi. Daripada mampus ada lebih baik makan, daging manusia."
seraya berkata begitu, ia menjambret leher Boe Kie.
Boe Kie mengegos, tangan kirinya menangkis, tangan kanannya menepuk pinggang orang itu.
Semejak kecil, ia telah belajar silat di bawah pimpinan Kim-mo Say-ong Cia Soen dan
kemudiau dia juga mempelajari ilmu silat dari Boe-tong pay. Meskipun selama dua tahun
lebih ia tidak berlatih silat karena repot mempelajari ilmu ketabiban, tetapi apa yang sudah
dipelajarinya adalah ilmu-ilmu silat kelas satu di dalam Rimba Persilatan. Maka itu, tepukan
tersebut, yang cukup hebat untuk merobohkan ahli silat biasa, tentu saja tak dapat ditahan
oleh lelaki itu. Tanpa mengeluarkan suara, dia terpelanting tanpa betkutik lagi.
Seorang kawannya menubruk dan coba menancapkan pisaunya kedada Boe Kie. Bagaikan
kilat Boe Kie menendang dengan kaki kanannya, dan pisau itu terbang ke tengah udara. Ia
menendang dengan tendangan Wan yo Lian hoan toei yang saling susul dan sesudah kaki
kirinya mampir dijanggut orang itu yang lantas saja jatuh terjengkang. Sesudah merobohkan
dua orang, buru-buru ia menghampiri Poet Hwie yang sudah mulai menangis.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 495
Tiba-tiba ia meresakan angin dibelakangnya dan dua orang menubruk punggungnya. Dengan
sekali berkelit, kedua penyerang itu menubruk tempat kosong. Dengan cepat la menjambret
leher baju mereka dan lalu menggentuskan kepala mereka. Waktu dilepaskan, mereka roboh
dalam keadaan pingsan.
Sekarang hanya ketinggalan seorang saja. Biarpun empat kawannya sudah dijatuhkan, ia
kelihatannya tidak merasa jerih dan sambil menghunus golok, io menerjang. Melihat senjata
tajam, sedang ia sendiri bertangan kosong Boe Kie jadi keder, tapi dengan mengepos kesana
kesini ia berhasil menyelamatkan diri dari tiga bacokan. Dalam bacokan keempat, orang itu
menggunakan seantero tenaganya. Dengan cepat Boe Kie berkelit dan ia membacok angin.
Apa celaka, karena terlalu bernapsu dan menyerang dengan seluruh tenaga, ia terhuyung dan
jatuh terguling. Tanpa menyia nyiakan kesempatan baik, Boe Kie menendang dengan
menggunakan ilmu meminjam tenaga sehingga tubuh orang itu terpental dan jatuh kedalam
kuali yang airnya bergolak-golak.
Jika Boe Kie diperintah untuk bertempur melawan lima orang itu, ia pasti tak akan berani.
Biarpun sedari kecil ia sudah belajar silat, ia masih belum tahu kepandaiannya sendiri. Kalau
bukan sedang menghadapi bahaya besar, ia tentu tak akan berlaku nekat. Sesudah
merobohkan lima orang itu, ia tercengang dan setelah semangatnya berkumpul kembali, ia
merasa sangat girang.
Baru saja hatinya tenteram, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki dan beberapa orang masuk
kedalam hutan. Mendengar suara manusia, Poet Hwie yang belum hilang takutnya lantas saja
menubruk dan memeluk Boe Kie erat-erat. Begitu melihat orang orang yang mendatangi, Boe
Kie jadi girang. "Kan Toaya! Sie Toaya!" serunya.
Ternyata, antara mereka itu yang terdiri dari lima orang, yang satu adalah Kan Ciat dan yang
situ lagi Sie Kong Wan bersama dua saudara seperguruannya. Mereka berempat telah
disembuhkan Bor Kie waktu terlika akibat pukulan Kim-Hoa Popo. Orang yang kelima adalah
seorang pemuda yang barusan kira-kira duapuluh tahun dan berparas angker. Dengan pemuda
itu, Boe Kie belum, pernah bertemu muka.
Kan Ciat mengawasi dan berkata. "Saudara Thio, kau juga berada disini? mengapa orang itu?"
Seraya menanya, dia menuding kelima orang yang rebah ditanah.
Dengan suara mendongkol, Boe Kie lalu menceriterakan apa yang sudah terjadi. Sebagai
penutup ia berkata: "Celaka sungguh! Mereka mau coba makan kami berdua. Untung juga aku
berhasil merobohkannya."
Selagi Boo Kie bicara,Kan Ciat mengawasi Poet Hwie dengan sorot mata luar biasa dan
berkata dengan suara perlahan: "Lima hari lima malam tak pernah menelan sebutir nasi...
hanya gegares kulit pohon dan rumput.... Hmmm! Dagingnya begitu montok ..... " Melihat
sinar mata kelaparan, seolah-olah sinar mata anjing hutan yang sangat menakuti, Boe Kie
terkejut dan buru-buru ia memeluk Poet Hwie.
"Mana ibunya?" tanya Sie Kong Wan.
"Kie Lie hiap pergi membeli beras," jawab Boe Kie.
Apa mau Poet Hwie menyelak: "Bukan! Ibu telah terbang kelangit!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 496
Kan Ciat dan Sie Kong Wan menyeringai.
Mereka tahu, bahwa itu berarti Kie Siauw Hoe sudah meninggal dunia.
Sie Kong Wan tertawa dingin. "Beli beras?" tanyanya dengan nada mengejek, "jikalau bisa
mendapatkan sebutir beras dalam jarak lima ratus li di sekitar tempat ini, kau betul-betul
pintar"
Dengan lirikan mata, Kan Ciat memberi isyarat kepada Sie Kong Wan. Tiba-tiba mereka
melompat dengan berbareng, Kan Ciat mencekal kedua tangan Boe Kie, sedang Sie Kong
Wan memeluk Poet Hwie.
Boe Kie terkesiap. "E-eh Mau apa kamu?", tanyanya.
"Di seluruh Hong yang hoe semua manusia kelaparan," jawab Kan Ciat. "Dalam menghadapi
kebinasaan, kami harus menolong diri sendiri. Nona itu bukan sanak familimu. Dia dapat
menyambung jiwa kami...."
"Manusis celaka!" caci Boe Ka dengan kegusaran yang meluap-luap. "Kamu, manusiamanusia
yang menamakan diri sendiri sebagai orang orang Rimba Persilatan, tapi mau
melakukan perbuatan terkutuk itu? Sungguh memalukan! Apa kamu tidak merasa malu,
menjadi manusia sehina itu?"
Dalam laparnya memang Kan Ciat sudah tidak mengenal malu. Mendengar cacian pedas ia
jadi gusar dan lalu menggaplok muka Boe Kie keras. "Binatang! Kaupun akan mengalami
nasib seperti dia!" bentaknya.
Bagaikan kalap Boe Kie meronta-ronta, tapi Seng cioe Ka lam adalah seorang ahli sitat dan
cekalannya keras bagaikan besi. Kedua soeteenya Sie Kong Wan segera mengambil tambang
yang lalu digunakan untuk mengikat kedua anak itu.
Sesudah dibelenggu, Boe Kie menghela napas. Ia merasa bahwa hari ini ia akan menyusul
kedua orang tuanya di alam baka. Dalam gusarnya, ia merasa menyesal, bahwa ia sudah
menolong jiwanya keempat manusia itu.
"Binatang kecil" caci Kan Ciat. "Kau sudah mengobati lukaku dan didalam hatimu kau
sekarang pasti sedang mengutuk aku."
"Manusia hina-dina!" teriak Boe Kie, "Kamu membalas kebaikan dengan kejahatan. Kalau
tidak ditolong aku, sekarang kamu sudah berada dilobang kubur."
"Saudard Thio." kata Sie Kong Wan sambil bersenyum senyum, "kau sudah menolong kami
dan untuk itu kami merasa berhutang budi. Tapi sekaranq kami sedang menghadapi
kebinasaan karena lapar. Kalau mau menolong, kau harus menolong sampai diakhirnya. Dan
kamu sekarang sekali lagi kami memerlukan pertolonganmu.
Keganasan Kan Ciat sudah menyeramkan, tapi kekejatnan Sie Kong Wan yang mengunjuk
ketelengasannya sambil tertawa-tawa lebih menyeramkan lagi. Boe Kie jadi nekat dan
berteriak: "Aku adalah murid Boe tong, sedang adikku muid Go-bie-pay. Kebinasaan kami
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 497
berdua tidak menjadi soal. Tapi apakah kamu kira lima pendekar Boe-tong dan Biat-coat
Soetbay akan menyudahi perbuatanmu dengan begitu saja?"
Kan Ciat terkejut. Ia merasa bahwa ancaman bocah itu bukan ancaman kosong, sebab
Boetong pay dan Gobie pay memang tidak boleh dibuat permainan.
Tetapi Sie Kong Wan tertawa terbahak bahak. "Kejadian di hari ini diketahui oleh Langit,
oleh Bumi, oleh kau dan oleh aku. Bocah! Sesudah kau berada dalam perut kami kau boleh
mengatakan kepada Thio Sam Hong."
Kan Ciat turut tertawa dengan sinting. "Kau benar, kau benar," katanya. "Saudara Thio, untuk
menolong jiwa, kami sesungguhnya tak dapat berbuat lain." Sehabis berkata begitu, ia
berpaling kepada kedua soetenya Sie Kong Wan dan membentak: "Mengapa kamu berdiri
seperti patung? Pergi ambil air dan cari kayu bakar!"
Kedua orang itu mengangguk dan lalu berjalan pergi.
"Sie Toaya," kata Boe Kie dengan suara memohon, "jikalau kalian mau juga makan daging
manusia, makanlah dagingku saja seorang. Aku memohon supaya kamu suka membebaskan
adik kecil itu. Kalau permintaanku dilulusi, biarpun mati aku tak akan merasa menyesal."
"Mengapa begitu?" tanya si manusia she Sie.
"Karena pada waktu mau menutup mata, ibunya telah meminta pertolonganku supaya aku
mengantarkan dia kepada ayahnya," jawab Boe Kie. "Kan Toaya, dengan makan aku seorang
kurasa kamu sudah cukup kenyang dan besok kamu bisa membeli kerbau atau kambing untuk
dijadikan barang santapan selaajutnya. Kan Toaya, Sie Toaya, ampunilah adikku itu."
Melihat kesatriaan bocah itu, mau tak mau hati Kan Ciat tergerak juga, ia mengawasi Sie
Kong Wan dan bertanya: "Bagaimana pikiranmu?"
"Ini soal kecil," jawabnya. "Tapi kalau rahasia ini bocor, dikemudian hari kite berabe sekali.
Song Wan Kiauw, Jie Lian Coe dan yang lain-lain tentu akan cari kita. Wan Toako, jika kau
mempunyai jalan untuk menghadapi mereka, aku tidak berkeberatan."
"Tak salah", kata Kan Ciat sambil mengangguk. "Aku sungguh tolol. Aku tidak memikir apa
yang mungkin terjadi dihari kemudian."
Sesaat itu, seorang Hwa san pay sudah kembali dengan membawa air dikuali. Boe Kie
mengerti, bahwa bahaya sudah sangat dekat. "Poet Hwie moay-moay," katanya. "kau
bersumpahlah, bahwa kau tak akan menceritakan kejadian dihari ini kepada siapapun jua."
Tapi anak itu yang belum mengerti apapun jua lantas saja menangis keras. Ia sama sekali
tidak tahu bahwa kakak itu sedang menawarkan jiwa sendiri untuk menolongnya.
Pemuda yang tidak dikenal Boe Kie, yang parasnya angker, terus duduk ditanah tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Sekarang Kan Ciat mengawasinya dan berkata: "Cie Siauw Sie,
kalau mau turut makan daging kambing, kau harus bekerja."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 498
"Baik," kata pemuda itu sambil mencabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Sesudah
menggigit goloknya, ia mengangkat Boe Kie dan Poet Hwie dan lalu berjalan kearah satu
sungai kecil, Boe Kie meronta-ronta dan mencaci kalang kabutan, tapi dia tidak meladeni.
Tapi baru saja ia ber jalan belasan tindak, Sie Kong Wan mendadak berteriak: "Cie Siauw
Sie! Disini saja!"
Siauw Sie berjalan terus, "Disungai lebih baik," jawabnya dengan suara tidak terang, sebab
giginya sedang menggigit golok.
"Disini! Aku kata disini, disini!" teriak pula Sie Kong Wan. Ternyata manusia she Sie itu
lihay juga otaknya. Melihat sianar mata dan sikap pemuda itu yang agak luar biasa, ia
bercuriga.
Sekonyong konyong Siauw Sia berteriak. "Lekas lari" Ia melepaskan kedua anak itu ditanah
dan memotong tambang yang mengikat tangan mereka.
"Terima kasih untuk budimu yang sangat besar," kata Boe Kie seraya menarik tangan Poet
Hwie dan lalu lari sekeras-kerasnys.
Sambil berteriak, Kan Ciat dan Sie Kong Wan mengubar. "Tahan!" bentak Siauw Sia sambil
menghadang ditengah jalan.
Melibat pemuda itu berdiri dengan sikap angker sambil melintangkan goloknya, kedua
manusia itu agak jeri. "Minggir kau!" bentak Kan Ciat.
"kita adalah orang-orang Kangouw yang harus mempunyai rasa kesatriaan," kata Siauw Sia.
"Apa kamu tidak merasa malu kalau kamu mencelakakan anak kecil itu?"
"Jangan rewel!" teriak Kong Wan dengan gusar. "Dalam kelaparan, aku akan gegares siapa
pun jua." Ia menggapai kedua soeteenya dan berteriak pula: "Ubar mereka!"
Sementara itu, melihat Poet Hwie tidak bisa lari cepat. Boe Kie lalu mendukungnya dan kabur
sekuat tenaga. Tapi apa mau dikata, sebagai seorang anak tanggung, ditambah dengan beban
yang berat, ia tidak dapat secepat orang dewasa. Sebelum keluar dari hutan itu, mereka sudah
dicandak oleh kedua murid Hwa san pay. Buru-buru Boe Kie menurunkan si nona dari
dukungan dan dengan nekat ia menyerang kedua pengejarnya. Pukulannya yang pertama
ditangkis oleh salah seorang. "Plak!" badannya terhuyung beberapa tindak.
"Bangsat cilik! Lihay juga kau!" bentak orang itu yang merasakan beratnya pukulan si bocah.
Dengan berbareng mereka menghunus golok dan berlangsunglah pertempuran ganjil. Dua
orang dewasa yang bersenjata mengerubuti seorang anak yang bertangan kosong. Ketika itu,
Boe Kie sudah tidak memikiri jiwanya lagi, sambil mengegos dan melompat kian kemari, ia
berteriak-teriak menyuruh Poet Hwie lekas-lekas melarikan diri.
Dilain pihak, Siauw Sia pun sudah dikepung oleh Kan Ciat dan Sie Kong Wan. Baru
bergebrak beberapa jurus, ia sudah keteter. Selang beberapa jurus lagi golok Ken Ciat mampir
dilututnya yang lantas saja mengucurkan darah. Ia mengerti, bahwa dilanjutkannya
pertempuran akan berarti kebinasaannya. Maka itu, sesudah menimpuk Sie Kong Wan dengan
goloknya, ia melompat dan terus kabur. Sie Kong Wan berkelit dan golok itu jatuh ditanah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 499
Sambil berlari, Siauw Sia berteriak: "Saudara Thio, jangan takut. Aku pergi untuk mengambil
bala bantuan."
Kan Ciat dan Sie Kong Wan lantas saja menyusul kedua kawannya dan dengan mudah
mereka menawan pula kedua anak itu, yang lalu diikat lagi kedua tangannya.
Kan Ciat mengawasi Sie Kong Wan dengan mata mendelik. "Orang she Cie itu bukan
manusia baik," katanya dengan mendongkol. "Bagaimana dia berjalan bersama-sama kamu?"
"Kami kertemu ditengah jalan," jawab Sie Kong Wan. "Siapa tahu dia orang baik atau orang
jahat? Menurut katanya, dia she Cie bernama Tat. Kau jangan percaya omongannya. Sekarang
sudah hampir malam. Dari mana dia mau mengambil bala bantuan?"
"Kalau didengar dari suaranya, dia penduduk Hong-yang," menyelak seorang Soetee Sie
Kong Wan, "Biarpun dia membawa semua penduduk kampung, kita tidak usah takut."
"Penduduk Hong-yang?" menegasi Kan Ciat sambil menyeringai. "Ha ha! Jangankan
berkelahi berjalanpun mereka sudah tak mampu. Hayolah Aku sudah kuat menahan rasa
lapar." Mereka segera kembali keperapian.
Sesudah tertangkap lagi, Boe Kie dihajar babak belur, pakaiannya robek dan isi sakunya
terserak ditanah. Tiba-tiba matanya tertumbuk dengan sejilid buku yang kertasnya kuning dan
karena di tiup agin, lembaran buku itu terbuka. Buku itu ialah Tok Soei Tay coan milik Ong
Lan Kouw. Ia sekarang sudah tidak memikir untuk hidup dan memperdulikan apapun jua.
Jilid 27______________
Sesudah mikir begini setengah mati, begitutupun tiada jalan hidup, Boe Kie malah jadi
tenang. Pada saat pikirannya bersih itulah, secara tidak disengaja matanya melirik pula ke
lembaran buku itu, dan secara kebetulan pula halaman yang terbuka adalah bagian rumput2
beracun. Hatinya tertarik juga dan ia lalu membacanya. Pada bagian itu secara jelas
diterangkan bentuk, bau warna, sifat dan cara memunahkannya macam rumput2 beracun.
Sesudah membaca beberapa saat, ia menghela napas. Ia ingat, bahwa beberapa detik lagi, ia
akan berkumpul dengan roh orang tuanya.
Sekonyong2, waktu melirik kesebelah kiri, matanya tertumbuk pula dengan segundukan
rumput yg berwarna sangat menyolok indah, segar dan mengkilap. Mendadak saja, dalam
otak nya berkelebat serupa ingatan.
Apa tak bisa jadi rumput beracun? Menurut buku ini, rumput yg mengandung racun indah
warnanya. Kalauy benar rumput itu rumput beracun, jiwa Poet Hwie moay moay masih bisa
ditolong. Pada saat itu ia sudah tidk memikir untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Dengan
masih mengeramnya racun dingin didalam tubunya, anmdaikata hari ini ia selamat, paling
banyak ia hanya bisa hidup beberapa bulan lagi., Apa yg dipikirnya ialah usahan menolong
Poet Hwie, guna memenuhi permintaan mendiang Kie Siauw Hoe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 500
Dengan perlahan ia menggulingkan badan kearah rumput itu. Karena kedua tangannya terikat
kebelakang, ia lalu membelakangi rumput itu dan kemudian mencabutnya. Sungguh untung,
gerak geriknya itu tidak diperhatikan oelh musuh2nya yg sedang diserang dengan rasa lapar
dan tengah memusatkan perhatiannya keapda air yg hamper mendidih. Sekonyong konyong ia
melompat bangun dan sambil mengawasi kejurusan larinya Cie Tang ia berseru, Cie Taoko,
banyak sungguh temanmyu! Tolong! Tolong!
Dengan terkejut, Kan Ciat dan tiga kawannya segera menghunus senjata. Mereka mengawasi
kea rah yg diawasi Boe Kie. Dengan menggunakan kesempatan itu, Boe Kie mundur dua
tindak dan melepaskan segabung rumput yang dicekalnya kedalam kuali.
Melihat tidak ada manusia, Kan Ciat mencaci Bangsat! Kau boleh berteriak sekali lagi,
sekuatmu! Tak ada manusia yang akan menolong kau.
Hayolah, perlu apa banyak2 bicara, kata Sie Long Wan yg sudah merasa tidak sabaran.
Sie Tonya, aku haus, kata Boe Kie dengan suara memohon. Tolong berikan semangkok air
panas untukku. Sesudah mati, setanku tak akan mengganggu kau.
Baiklah, jawabnya sambil menyeringai. Ia lalu menyendok semangkuk dari dalam kuali dan
mengangsurkannya ke mulut si bocah.
Sebelum mangkok menempel pada bibirnya Boe Kie sudah berseru, Aduh! Wangi sungguh
apa yg dimasak?
Boe Kie tidak berdusta. Rumput yg tadi di cemplungkannya kedalam kuali tanpa diketahui
orang, memang mengeluarkan bebauan sangat harum yg diendus juga oleh Kan Ciat dan
kawan2nya. Sesudah kelaparan beberapa hari, bau harum itu membangkitkan napsu makan
memperhebat rasa lapar mereka. Oleh karena begitu, sebaliknya dari memberikan kepada si
bocah, KongWan lalu menceguk sendiri kuwah rumput itu. Astaga, benar2 sedap!, katanya ia
segera menyendok semangkok lagi dan menghirupnya dengan bernapsu.
Kan CIat mendongkol bukan main. Ia melompat dan merebut mangkok itu lalu digunakan
untuk menyendok kuah harum dan segera meminumnya. Dengan beruntung ia menghabiskan
3 mangkok penuh. Kedua soeteenya Sie Kong Wan pun masing2 minum 2 mangkot. Sesudah
menderita kelaparan berhari hari kuah yang hangat itu mendatangkan perasaan nyaman dan
mereka mengusap usap perut sambil menyeringai. Kan Ciat yang masih merasa tidak puas
lalu mengambil rumputnya dari dalam kuali dan sesudah mengunyah cepat2 segara
menelannya. Diantara mereka tak seorangpun yg menanya dari mana datangnya rumput itu.
Nah! Sekarang kita boleh bekerja dengan semangat, kata Kan Ciat sambil ketawa lebar. Sinar
matanya lanta saja mengeluarkan sorot kepuasan dan dengan mencekal golok, ia menghampiri
Poet Hwie.
Melihat rumput itu belum mengeluarkan akibat suatu apa, Boe Kie menarik kesimpulan
bahwa rumput tersebut bukan rumput beracun.
Habislah jiwaku! ia mengeluh.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 501
Tapi, baru saja Kan Ciat mengkah dua tindak mendadak ia berteriak aduh! sambil memegang
perut. Di lain detik, badannya bergoyang goyang dan ia roboh berguling ditanah.
Kan heng, mengapa kau? tanya Sie Kong Wan sambil menghampiri dan coba
membangunkannya. Tapi sekali membungkuk, ia tak dapat melempangkan pinggannya lagi!
Ia terjungkal kesamping si orang she Kan tanpa berkutik lagi. Dua orang murid Hwa San Pay
yang lain bahkan tanpa mengeluarkan suara.
Oh Langit! Oh Bumi! Terima kasih atas pertolonganmu! teriak Boe Kie dengna suara parau
sedang air mata mengalir turun di pipinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar