Selasa, 17 November 2009

Dengan punggung ditekan Boe Kie, orang itu tidak berdaya. Si nona cilik terus memukul.
Beberapa tinju menimpa hidungnya, tapi hidung itu tidak mengeluarkan darah. Hidungnya
juga hidung palsu!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1208
Para pengemis lantas saja berteriak-teriak.
“Siapa kau?” tanya yang satu.
“Binatang! Mengapa kau berani menyamar sebagai Soe pangcoe?” caci yang lain.
“Dimana Soe pangcoe?” dan sebagainya.
Sambil tersenyum Boe Kie mengangkat tubuh orang itu tinggi tinggi yang kemudian
dibanting ke lantai. Dia berteriak kesakitan dan tidak bisa bangun lagi. Ia merasa bahwa
urusan itu adalah urusan pribadi Kay pang yang harus diselesaikan oleh orang orang Kay
pang sendiri.
Ciang pang Liong tauw yang berangasan lantas saja mengirim tinju delapan gaplokan ke pipi
si penipu yang lantas saja menjadi bengkak.
“Bukan aku!…” ia sesambat. “Aku… aku diperintah oleh Tan… Tan… Tiangloo!...”
Cie hoat Tiangloo terkejut, “Mana Tan Yoe Liang?” tanyanya.
Tapi Tan Yoe Liang tak kelihatan mata hidungnya. Begitu dia lihat gelagat jelek, begitu dia
kabur.
“Kejar!” bentak Cie hoat Tiangloo. Beberapa murid tujuh karung lantas saja mengiakan dan
berlari lari keluar dari gedung itu untuk mencari manusia yang kabur itu.
“Bangsat!” caci Ciang pang Liong tauw. “Sungguh penasaran aku musti berlutut di
hadapanmu dan memanggil kau sebagai Soe pangcoe.” Ia mengangkat tangannya dan mau
menggapelok lagi.
“Pang Heng tee, tahan!” cegah Cie hoat Tiang loo. “Kalau dia mati, kita sukar mencari
keterangan.” Ia memutar badan dan berkata kepada si baju kuning sambil merangkap kedua
tangannya. “Kalau tak mendapat petunjuk Kouwnio, sampai sekarang kami masih dikelabui
oleh manusia itu. Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama Kouwnio yang harum? Seluruh
Kaypang sangat berhutang budi kepada Kouwnio.”
Si nona tertawa tawar dan berkata, “Aku sudah biasa hidup di gunung dan tak pernah
berhubungan dengan dunia luar. Aku sendiri sudah lupa she dan namaku. Tapi apakah benarbenar
di antara kalian tiada yang mengenali adik ini?”
Semua pengemis lantas saja mengawasi si gadis cilik. Tiba-tiba Coan kang Tiangloo maju
beberapa tindak dan berkata dengan suara parau. “Dia… dia… seperti Soe pangcoe Hoejin..
apa…apa…”
“Benar,” kata si baju kuning. “Dia Soe Hong Sek, puteri tunggal dari Soe Hwee Liong
Pangcoe. Waktu menghadapi kebinasaan Soe Pangcoe telah memerintahkan murid kepalanya,
Ong Siauw Thian untuk membawa lari anak itu dan Tah Kauw pang mencari aku supaya di
kemudian hari sakit hatinya bisa dibalas. Hanya sayang sebab terluka berat dalam
pertempuran, jiwa Ong Siauw Thian tak dapat ditolong. Tapi ia sedikitnya sudah bisa
mengantarkan Hong Sek kepadaku.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1209
“Kouw… kouw… nio,” kata Coan kang Tiang loo suara terputus-putus. “Kau kata Soe
Pangco sudah meninggal dunia…? Bagaimana matinya Soe Pangcoe?”
* * * * *
Pada dua puluh tahun lebih yang lalu, karena tenaga dalamnya tidak mencukupi dalam latihan
Hang liong Sip pat ciang, badan Soe Hwee liong lumpuh separoh dan tidak bisa
menggerakkan kedua lengannya. Dengan mengajak isterinya, ia pergi ke gunung gunung
untuk mencari obat dan menyerahkan urusan Kay pang kepada Coan kang dan Cie hoat
Tiangloo, Ciang poen dan Ciang pang Liong tauw. Karena kekurangan seorang pemimpin
yang pandai dan keempat tetua itu hanya mengurus bidang masing-masing dan tidak bekerja
sesama keras, maka kian lama Kay pang yang besar jadi kian lemah.
Waktu Pangcoe palsu mendadak muncul, murid-murid yang berusia muda tentu saja tidak
mengenalnya, sedang para tetua juga kena dikelabui sebab mereka sudah berpisahan selama
bertahun-tahun dan muka si penipu memang sangat mirip dengan muka Soe Pangcoe.
* * * * *
Si baju kuning menghela napas dan berkata dengan suara perlahan. “Soe Pangcoe binasa
dalam tangan Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen!”
“Hah!” Boe Kie mengeluarkan seruan tertahan. Dalam pertempuran di Kong beng teng,
dengan mata sendiri ia menyaksikan bagaimana Seng Koen dipukul mati oleh pamannya.
Maka itu, ia lantas saja bertanya. “Kouwnio, lagi kapan Soe Pangcu dibinasakan?”
“Tahun yang lalu, tanggal enam bulan sepuluh,” jawabnya. “Sampai sekarang sudah dua
bulan lebih.”
“Heran sungguh!” kata pula Boe Kie. “Cara bagaimana Kouwnio tahu bahwa yang turunkan
tangan jahat adalah bangsat Seng Koen?”
“Ong Siauw Thian yang memberitahukan kepadaku,” jawabnya. “Ong Siauw Thian
mengatakan, bahwa Soe Pangcoe telah beradu tangan dua belas kali dengan seorang kakek.
Kakek ini muntah darah dan lari. Soe Pangcoe pun mendapat luka di dalam dan ia tahu
lukanya tak dapat disembuhkan laagi. Ia menduga, bahwa tiga hari kemudian, sesudah
sembuh, si kakek akan menyateroni lagi. Maka itu ia segera memberi pesanan terakhir kepada
Ong Siauw Thian dan memberitahukan, bahwa musuh itu adalah Hoe goan Pek lek Thioe
Seng Koen. Pada waktu itu lumpuhnya Soe pangcoe sudah hampir sembuh. Ia memiliki dua
belas pukulan dari Hang liong Sip pat ciang dan di dalam dunia, ia sudah jarang tandingan.
Dalam pertempuran melawan Seng Koen, ia sudah menggunakan kedua belas pukulan itu dan
sesudah itu, ia tidak bisa menyelamatkan diri lagi dari tangan jahatnya musuh.” Mendengar
itu Soe Hong Sek menangis lagi.
Dengan paras muka berduka Coan kang Tiang loo mengeluarkan sapu tangannya yang kotor
dan menyusut air mata si nona. “Siauw sumoay,” katanya. “Sakit hati Pangcoe adalah sakit
hati berlaksa murid Kay pang. Kami akan membekuk Seng Koen dan mencincang badannya
jadi laksaan potong. Kami pasti akan membalas sakit hati mendiang ayahmu. Tapi dimanakah
adanya ibumu?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1210
“Ibu sedang berobat ke rumah Yo Cie ci,” jawabnya sambil mengunjuk si baju kuning.
Sekarang baru orang tahu bahwa gadis itu seorang she Yo.
“Soe hoejin juga kena dipukul Seng Koen dan mendapat luka yang sangat berat,” kata si baju
kuning sambil menghela nafas. “Ia datang di rumahku sesudah melalui perjalanan jauh dan
sampai kini ia belum tersadar dari pingsannya. Apa ia masih bisa ditolong… sukar
dikatakan.”
“Tapi… apa dosanya pangcoe, sehingga binatang Seng Koen sudah menurunkan tangan
jahatnya?” tanya Cie hoat tiangloo dengan suara penasaran. “Sakit hati apa sudah terjadi di
antara mereka?”
“Menurut perasaan Soe pangcoe, ia sama sekali belum pernah mengenal Seng Koen,”
menerangkan si baju kuning. “Sama sekali tidak ada soal sakit hati. Sampai pada detik
terakhir, Soe pangcoe juga tak tahu sebab musababnya. Menurut dugaan Soe pangcoe,
mungkin sekali ada orang Kay pang yang berbuat suatu kesalahan dan Seng Koen mencari
Soe pangcoe untuk membalas sakit hati.”
Cie hoat menundukkan kepalanya. Sesudah berpikir beberapa saat, ia berkata pula. “Untuk
menyingkirkan diri dari kejaran Cia Soen, selama beberapa puluh tahun Seng Koen tidak
pernah muncul dalam dunia Kang ouw. Mana bisa jadi murid Kay pang kebentrok dengan
dia? Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti yang sangat hebat.”
Ciang poen Liong tauw yang sedari tadi tak pernah mengeluarkan sepatah kata, tiba2
mengambil sebatang golok bengkok dan menandalkan senjata itu di lehernya si penipu.
“Binatang!” bentaknya. “Siapa namamu? Mengapa kau menyamar sebagai Soe pangcoe?
Lekas mengaku! Kalau kau berdusta… huh… huh… Ia mengangkat goloknya dan menyabet
sebuah kursi yang lantas saja terbelah dua.
Dengan badan bergemetaran, si gundul berkata, “Aku… aku… siauw jin Lay tauw goan Lauw
Ngauw (Lauw Ngauw, si kura-kura kepala buduk), salah seorang tauwbak (kepala kelompok)
perampok dari kawanan perampok di Loan sek kang, kota Kay koan, propinsi Soa say. Apa
mau, waktu merampok, Siauwjin bertemu dengan Tan toaya dan guru Tan toaya menendang
Siauwjin sehingga roboh dan selagi Tan toaya mengangkat pedangnya, siauwjin meminta
ampun. Setelah mengawasi siauwjin, tiba2 Tan Toaya berkata, “Soe hoe, roman bangsat kecil
ini mirip orang yang kita temui kemarin dulu.” Gurunya menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata, “Huh..huh… lain, tidak sama. Usianya tak cocok, hidungnya terlalu kecil, kepalanya
gundul.’ Tan toaya tertawa dan berkata, “Soe hoe jangan kuatir, teecu mempunyai daya untuk
mengubah itu semua.” Tan toaya lalu mengajak siauwjin ke sebuah rumah penginapan di Kay
koan. Ia menggunakan sek-ko untuk meninggikan hidung Siauwjin dan memberi rambut
palsu… sehingga siauwjin beroman seperti sekarang. Para loya, andaikata siauwjin punya
nyali sebesar langit, siauwjin takkan berani mempermalukan para looya. Siauwjin sudah
melakukan ini semua karena diperintah oleh Tan toaya. Jiwa anjing siauwjin berada dalam
tangannya. Siauwjin tidak berani tidak menurut. Siauwjin mempunyai seorang ibu sudah
berusia delapan puluh tahun… siauwjin mohon para looya sudi mengampuni jiwa anjing
Siauwjin.” Sehabis berkata begitu, sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya.
Cie hoat Tiangloo mengerutkan alisnya. Tan Yoe Liang murid Siauw lim pay dan gurunya
pendeta Siauw lim sie,” katanya. “Apa dia mempunyai lain guru?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1211
Pertanyaan itu menyadarkan Boe Kie. “Benar,” ia menyambungi. “Seng Koen adalah
gurunya.” Ia lalu memberi tahu, bahwa dengan menggunakan nama Goan tin, Seng Koen
masuk ke Siauw lim sie dan berguru kepada pendeta suci Kong kian. Selanjutnya ia
menceritakan cara bagaimana di waktu kecil ia pernah dicelakakan oleh Goan tin di dalam
kuil Siauw lim sie, cara bagaimana Goan tin turut menyerang Kong beng teng dan akhirnya
binasa dalam tangan pamannya, In Ya Ong. Ia menambahkan, bahwa memang benar mayat
Goan tin sekonyong konyong hilang.
“Kalau begitu, kita boleh tak usah bersangsi lagi, bahwa di waktu itu Seng Koen pura pura
mati dan kemudian kabur,” kata Cie hoat Tiangloo.
“Tapi penjahat yang paling besar dan yang paling jadi dalangnya adalah bangsat Tan Yoe
Liang,” kata Coan kang Tiangloo. “Mereka berdua, guru dan murid, mempunyai angan angan
untuk merajai di kolong langit. Mereka membunuh Soe pangcoe, menyuruh buaya kecil ini
menyamar sebagai Pangcoe, coba mempengaruhi Beng kauw, berusaha untuk menguasai
Siauw lim, Boe tong dan Go Bie pay. Huh..huh..! Angan angan mereka benar benar tak
kecil… Eeh!… mana Song Ceng Soe?”
Ternyata pada waktu perhatian semua orang ditujukan kepada Pangcoe tetiron, si baju kuning
dan Soe Hong Sek, diam diam Song Ceng Soe turut menghilang.
Sesudah rahasia kejahatan Tan Yoe Liang terbuka, sambil menyoja si baju kuning, Coan kang
Tiangloo berkata, “Kouwnio telah membuang budi yang sangat besar kepada Kay pang dan
kami tak tahu cara bagaimana untuk membalasnya.”
Si nona tertawa tawar. “Orang tuaku punya hubungan erat dengan Pangcoe yang dulu,”
katanya. “Bantuan yang tiada artinya ini tidak berharga untuk disebut sebut. Aku hanya
mengharap kalian suka merawat baik baik adik Soe ini.” Ia membungkuk dan dengan
berkelebat, ia sudah berada di atas genteng.
“Kouwnio tunggu dulu!” teriak Coan kang tiangloo.
Hampir berbareng, empat wanita baju hitam dan empat baju putih turun melompat ke atap
gedung, diiringi dengan suara khim dan seruling. Dalam sekejap suara tetabuhan itu telah
terdengar sayup sayup di tempat jauh dan kemudian menghilang dari pendengaran. Dengan
mulut ternganga semua orang mengawasi ke atas genteng.
Sambil menuntun tangan Soe Hong Sek, Coan kang Tiangloo berkata kepada Boe Kie. “Thio
Kauwcoe, mari masuk.”
Ia mempersilahkan Boe Kie berjalan lebih dahulu dan tanpa sungkan2 Boe Kie segera
bertindak masuk dengan melewati dua baris pengemis yang berdiri sebagai pengawal
kehormatan. Setelah berduduk dengan Cie Jiak di sampingnya, Boe Kie segera berkenalan
dengan para tetua Kay pang dan lalu menanyakan halnya Cia Soen.
“Coan Tiangloo,” katanya. “Jika ayah angkatku, Kim mo Say ong berada di tempat kalian,
kuminta bertemu.”
Coan kang tiangloo menghela nafas. “Karena perbuatan bangsat Tan Yoe Liang, Kay pang
mendapat malu besar terhadap segenap orang gagah,” katanya. “Memang benar, waktu berada
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1212
di Kwan gwa, Cia tayhiap dan Cioe kouwnio diundang oleh kami. Ketika itu Cia Tayhiap
sakit, ia selalu di pembaringan. Kami belum pernah bertempur dengannya. Belakangan aku
membawa beliau ke gedung ini. Pada malam yang lalu, Cia tayhiap telah membinasakan
murid murid kami yang menjaganya dan lalu kabur. Peti peti mati para korban masih berada
di belakang gedung ini dan belum dikuburkan. Jika tak percaya, Thio Kauwcoe boleh lihat
dengan mata sendiri.”
Mendengar keterangan yang diucapkan dengan sungguh sungguh dan juga memang telah
menyaksikan sendiri terbinasanya beberapa murid Kay pang, Boe Kie segera berkata,
“Perkataan Coan Tiangloo tidak bisa tidak dipercaya.”
Ia menundukkan kepala dan coba menebak nebak kemana perginya sang ayah angkat. Dia
ingat, bahwa pada malam kaburnya Cia Soen, ia melihat bayangan seorang wanita yang
melompat turun dari atas tembok. Apakah wanita itu si baju kuning? Mengingat itu, ia lantas
menanya Soe Hong Sek. “Tiauw moay moay, dimana rumah Yo Ciecie? Apa dahulu memang
telah mengenal dia?”
Si nona cilik menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak pernah mengenal Yo Ciecie sebelum
pertemuan di hari itu,” jawabnya. “Sesudah mendapat pesanan Thia thia, dengan membawa
tongkat bambu ini Ong tiangloo membawa ibu dan aku dengan naik kereta. Di tengah jalan
aku bertemu dengan orang jahat. Dalam pertempuran, Ong tiangloo terluka. Beberapa hari
kami naik kereta, naik gunung Ong toako tidak bisa berjalan lagi dan merangkak di tanah.
Belakangan kami tiba di luar sebuah hutan. Ong tiangloo berteriak teriak. Belakangan datang
seorang ciecie kecil yang memakai baju hitam. Belakangan datang Yo ciecie yang berbicara
lama dengan Ong toako dan meneliti tongkat bambu ini. Belakangan Ong tiangloo mati dan
ibu pingsan. Yo ciecie lalu membawa aku ke kereta, bersama sama delapan ciecie kecil yang
memakai baju putih dan baju hitam.” Sebab masih kecil, keterangan Soe Hong Sek tak terang
dan Boe Kie tidak bisa mengorek sesuatu yang diinginkan dari mulutnya.
Boe Kie menghela nafas dan untuk beberapa saat, semua orang membungkam.
Akhirnya Coan kang tiangloo berkata, “Thio Kauwcoe, putera Han San Tong berbicara ayah
masih berada di tempat kami!” Ia lalu berbicara dengan seorang pengemis yang lantas masuk
ke dalam dengan tindakan cepat.
Tak lama kemudian, terdengarlah cacian Han lim Jie. “Pengemis, kau lagi lagi coba menipu
tuan besarmu!” teriaknya. Thio Kauwcoe seorang agung dan mulia. Mana boleh jadi ia sudi
datang di sarang kawanan pengemis bau? Sudahlah! Lekas lekas kau hantarkan aku ke See
tian (dunia baka)! Segala akal bulusnya tidak dapat digunakan terhadapku.”
Boe Kie merasa kagum. Di dalam hati ia memuji pemuda itu, yang setia jujur dan bernyali
besar. Buru buru ia bangkit dan menyambut, “Han toako,” katanya, “aku berada di sini.
Selama beberapa hari kau banyak menderita.”
Melihat Boe Kie, Han Lim Jie terkesiap. Dengan kegirangan yang meluap luap sedetik
kemudian ia berlutut dan berkata, “Thio Kauwcoe, benar benar kau berada di sini!…
bunuhlah pengemis pengemis bau itu!”
Sambil tertawa Boe Kie membangunkannya. “Han toako,” katanya dengan terharu. “Para
tiangloo ditipu orang dan sudah terjadi salah mengerti. Sekarang segala apa sudah menjadi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1213
terang. Dengan memandang mukaku, kuharap Han Toako sudi melupakan segala apa yang
sudah terjadi.”
Sesudah bangun berdiri dengan mata melotot Han Lim Jie mengawasi para tokoh pengemis.
Ia ingin mencaci untuk melampiaskan rasa dongkolnya, tapi sesudah mendengar perkataan
Boe Kie, ia terpaksa menahan sabar.
“Thio kauwcoe,” kata Cie hoat tiangloo. “Kunjunganmu membikin terang muka partai kami.
Kami ingin mengundang kalian dalam sebuah perjamuan sederhana untuk menyambut Thio
Kauwcoe dan menghaturkan maaf kepada Kouwnio serta Han toako.” Ia berpaling kepada
seorang murid dan berkata pula, “Lekas sediakan meja perjamuan!”
Murid itu lantas saja mengiakan.
Karena memikir ayah angkatnya dan ingin bicara banyak dengan Cioe Cie Jiak, Boe Kie tak
punya kegembiraan untuk makan minum. Maka itu, sambil merangkap kedua tangannya ia
berkata, “Aku menghaturkan banyak terima kasih atas undangan kalian. Tapi aku tak bisa
membuang buang waktu karena perlu mencari Gie hoe. Di lain hari aku mau datang
berkunjung pula. Kuharap kalian suka memaafkan untuk penolakan ini.”
Tapi Coan kang Tiangloo dan yang lain2 tidak mau mengerti sehingga Boe Kie terpaksa juga
menerima undangan itu. Selagi makan minum, para tetua Kaypang kembali menghaturkan
maaf dan berjanji akan menyebar murid murid Kaypang untuk bantu mencari Cia Soen.
Begitu lekas mendapat warta baik, mereka akan segera melaporkan kepada Beng kauw, kata
mereka. Untuk kebaikan itu, Boe Kie menghaturkan banyak terima kasih. Biarpun
berkepandaian dan berkedudukan tinggi, ia sedikitpun tidak mengunjuk kesombongan. Ia
bahkan sangat merendah, sehingga para pengemis merasa kagum dan takluk. Sesudah
bersantap, Boe Kie bertiga segera berpamitan. Para pengemis mengantar mereka sampai
sepuluh li di luar kota Louw liong dan mereka berpisahan dengan hati berat.
Dengan menunggang kuda kuda hadiah Kay pang, Boe Kie, Cie Jiak dan Han Lim Jie
meneruskan perjalanan ke selatan dengan mengambil jalan raya. Han Lim Jie berlaku sangat
hormat. Ia tidak berani merendengkan kudanya dengan Boe Kie dan Cie Jiak dan hanya
mengikuti dari belakang. Di sepanjang jalan, ia melayani Boe Kie dan Cie Jiak seperti
seorang pelayan.
Boe Kie merasa sangat tidak enak. “Han Toako,” katanya, “biarpun kau seorang anggota
agama kita, kau hanya diharap mendengar segala perintahku dalam urusan urusan yang resmi.
Dalam pergaulan pribadi sehari hari, kita adalah orang orang yang sepantar, yang
berkedudukan sama tinggi, seperti saudara dan sahabat. Sedalam dalamnya aku sangat
menghormati kepribadianmu.”
Han Lim Jie kelihatan bingung dan jengah. “Dengan setulus hati aku yang rendah berdiri
sama tinggi dengan Kauwcoe?” Aku sudah merasa sangat beruntung, bahwa aku mendapat
kesempatan untuk melayani Kauwcoe.”
“Aku bukan Kauwcoe,” kata Cie Jiak sambil tersenyum. “Kau jangan mengunjuk kehormatan
yang begitu besar terhadapku.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1214
“Coe kouwnio bagaikan seorang dewi,” jawabnya. “Bahwa siauwjin bisa berbicara sepatah
dua patah kata dengan Kouwnio sudah merupakan kebahagiaan seumur hidup. Siauwjin
hanya kuatir, sebagai manusia kasar siauwjin sering bicara kasar dan untuk segala kekurang
ajaran, siauwjin mohon Kouwnio suka memaafkan.”
Mendengar kata kata memuja itu yang tulus ikhlas, sebagai manusia biasa, diam diam Cie
Jiak merasa girang.
Sambil berjalan Boe Kie menanya Cie Jiak, cara bagaimana dia ditangkap oleh orang orang
Kay pang. Si nona memberitahukan, bahwa hari itu, sesudah Boe Kie meninggalkan rumah
penginapan untuk menyelidiki siasat Kay pang, badan Cia Soen bergemetaran dan mulutnya
ngaco. Ia ketakutan dan berusaha untuk menentramkannya, tapi tidak berhasil. Cia Soen
seolah olah tidak mengenalnya lagi. Dia melompat dan kemudian roboh pingsan. Pada saat
itu, di tengah enam tujuh orang tokoh Kay pang yang lantas menerobos masuk ke dalam
kamar. Sebelum keburu menghunus pedang, jalan darahnya sudah ditotok. Kemudian bersama
Cia Soen, ia dibawa ke Louw liong.
Mendengar keterangan itu, Boe Kie manggut manggutkan kepalanya. Sedari kecil ia memang
sudah tahu, bahwa sebagai akibat dari latihan Cit Siang kocu, ayah angkatnya mendapat
serupa penyakit kalap dan kadang kadang kumat dengan mendadak. Tapi dimana adanya ayah
angkat itu sekarang?”
“Kota raja adalah tempat berkumpulnya macam macam manusia,” kata Boe Kie akhirnya.
“Kurasa, dalam perjalanan ke selatan, sebaiknya kita mampir di kota raja untuk menyelidiki.
Mungkin sekali, dari Ceng ek Hok ong Wie hong aku bisa mendapat keterangan berharga.”
Cie Jiak tertawa, “Ke kota raja?” ia menegas dengan nada mengejek. “Apa benar benar kau
hanya ingin menemui Wie It Siauw?”
Boe Kie mengerti maksud tunangannya, sehingga paras mukanya lantas saja berubah merah.
“Memang belum tentu kita bisa menemui Wie heng,” jawabnya. Tujuan kita adalah mencari
Giehoe, kalau kita bisa bertemu dengan Wie heng, Kouw tauwtoo atau Yo Co Soe, sedikit
banyak kita akan mendapat bantuan.”
“Kukenal seorang yang pintar luar biasa,” kata Cie Jiak sambil tersenyum. “Dia seorang
wanita cantik. Jika kau cari dia, kau akan mendapat banyak bantuan. Orang-orang seperti Yo
Co soe atau Kouw Tauw tok tidak akan bisa menyaingi kepintaran nona cantik itu.”
Boe Kie pernah menceritakan pertemuannya dengan Tio Beng di kelenteng Biek lek hoed,
tapi tak urung ia kena disindir juga. “Kau tidak pernah melupakan Tio kouwnio dan setiap ada
kesempatan, kau selalu mengejek aku,” katanya dengan suara jengah.
Cie Jiak tertawa, “Apa aku atau kau yang tidak pernah melupakan dia?” tanyanya. “Apa kau
rasa kutak tahu rahasia hatimu?”
Boe Kie adalah seorang yang polos dan jujur. Ia menganggap, bahwa sesudah berjanji untuk
hidup sebagai suami isteri, ia tak boleh menyembunyikan sesuatu di hadapan tunangannya itu.
Maka itu dengan memberanikan hati ia lantas saja berkata, “Ada satu hal yang aku harus
beritahukan kepada kau. Kuharap kau tidak jadi gusar.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1215
“Kalau pantas gusar, aku akan gusar, kalau tak pantas gusar, aku pasti tak akan gusar,”
jawabnya.
Boe Kie menjadi lebih jengah. Di hadapan tunangannya pernah bersumpah untuk membunuh
Tio Beng guna membalas sakit hatinya In Lee. Tapi waktu bertemu dengan nona Tio, bukan
saja ia tidak turun tangan, ia bahkan jalan bersama sama dengan nona itu. Sebagai seorang
yang tidak biasa berpura pura, ia tidak berani membuka suara lagi.
Tak lama kemudian mereka tiba di kota kecil dan waktu itu matahari sudah mulai menyelam
ke barat. Mereka segera mencari penginapan kecil untuk bermalam. Sesudah makan Boe Kie
mengurut punggung Cie Jiak untuk memperlancar aliran darah. “Hiat” yang tertotok sudah
terbuka sendiri, tapi otot masih agak kaku dan mengalirnya darah masih kurang lancar. “Ilmu
menotok Kay pang memang istimewa,” kata Boe Kie di dalam hati. “Cie Jiak angkuh dan
sungkan minta pertolongan, sedang orang yang menotok berlagak lupa. Hmm… kawanan
pengemis itu mati matian mau coba menolong muka. Sesudah kalah, mereka ingin
memperhatikan keunggulan dalam tiam-hoat.”
Karena hawa udara panas, sesudah diurut, Cie Jiak berkata, “Mari kita jalan jalan di luar.”
“Baiklah,” kata Boe Kie.
Dengan Boe Kie menuntun tangan si nona, mereka berjalan sampai di luar kota. Ketika itu
sang surya sudah menyelam ke barat, dan sesudah berjalan beberapa lama lagi, mereka lalu
duduk di bawah sebuah pohon.
Di situlah antara kesunyian dan pemandangan alam yang indah, Boe Kie lalu menuturkan
segala pengalamannya – cara bagaimana ia bertemu dengan Tio Beng di kelenteng Bie lek
hoed, cara bagaimana ia menemui jenazah Boh Seng kok, pertemuannya dengan rombongan
Song Wan Kiauw dan kejarannya terhadap tanda gambar obor dari Louw liong, sampai di
Louw liong lagi. Sesudah selesai bercerita, sambil memegang tangan si nona, ia berkata
dengan suara sungguh sungguh. “Cie Jiak, kau adalah tunanganku dan tak bisa aku
menyimpan saja apa yang dipikir olehku. Tio kouwnio berkeras untuk menemui Giehoe dan
mengatakan, bahwa ia ingin bicara dengan Giehoe. Ketika itu aku sudah bercuriga. Sekarang,
makin kupikir, makin kutakut.” Waktu mengucapkan perkataan perkataan paling belakang
suara bergemetar.
“Kau takut apa?” tanya Cie Jiak.
Boe Kie merasa, bahwa kedua tangan tunangannya dingin seperti es dan juga bergemetaran.
“Kuingat, bahwa Giehoe mempunyai semacam penyakit kalap dan kalau lagi kumat ia tak
ingat segala apa,” jawabnya.
“Dalam kekalapannya, ia pernah melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap ibu, sehingga
kedua matanya buta. Waktu aku lahir, dalam kalapnya Giehoe coba membunuh ayah dan ibu.
Sungguh mujur, pada detik yang sangat berbahaya, aku menangis keras dan suara tangisanku
itu telah menyadarkannya. Ah!… aku kuatir.. ku kuatir…”
“Kuatir apa?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1216
Boe Kie menghela nafas. “Sebenarnya aku tak boleh membuka rahasia hatiku ini kepada siapa
pun jua,” katanya dengan suara hampir tak kedengaran. “Aku.. aku… kuatir piauwmoay…
dibunuh… oleh Giehoe…”
Bagaikan dipagut ular, Cie Jiak melompat bangun. “Apa?” tanyanya dengan suara parau. “Cia
tayhiap seorang ksatria budiman yang mencintai kita. Mana boleh jadi ia membunuh In
Kouwnio?”
“Aku hanya berkuatir,” kata Boe Kie. “Aku merasa syukur, beribu syukur, jika kekuatiranku
itu tidak benar. Tapi… andai kata benar Gie hoe membunuh Piauw moay, ia melakukan itu
dalam keadaan tidak sadar. Hei!.. Semua… gara gara bangsat Seng Koen.”
Cie Jiak menggeleng gelengkan kepalanya. “Tak bisa, tak bisa jadi,” katanya. “Apakah racun
Sip hiang Joad kin san juga ditaruh oleh Gie hoe? Darimana Gie hoe mendapat racun itu?”
Boe Kie tak menyahut. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh. Ia tak dapat menembus
kabut tebal yang menyelimuti teka teki itu.
“Boe Kie Koko,” kata Cie Jiak dengan suara dingin. “Dengan macam macam cara kau
berusaha untuk melindungi Tio Beng.”
“Kalau Tio Kouwnio benar2 pembunuhnya, mengapa ia berkeras ingin menemui Giehoe dan
ingin bicara dengannya?” kata Boe Kie.
Si nona tertawa dingin. “Tio kouwnio pintar luar biasa,” katanya. “Andai kata ia bertemu
dengan Gie hoe, ia pasti mempunyai siasat lain untuk meloloskan diri.” Tiba tiba nada suara
Cie Jiak berubah lunak dan ia berkata dengan suara lemah lembut. “Boe Kie koko, kau
seorang yang sangat jujur. Dalam kepintaran dan mengatur siasat, kau bukan tandingan Tio
Kouwnio.”
Boe Kie menghela nafas pula. Ia mengakui benarnya perkataan Cie Jiak. Sambil memegang
tangan si nona, ia berkata, “Cie Jiak, aku merasa bahwa hidup di dunia seperti hidup dalam
siksaan. Kau lihatlah, sekarang aku bahkan harus curigai ayah angkatku sendiri. Aku hanya
mengharap, bahwa sesudah Tat coe bisa diusir pergi, aku akan bisa hidup ber-sama2 kau di
pegunungan yang sepi, jauh dari pergaulan, jauh dari manusia lain.”
“Kurasa tak mungkin,” kata Cie Jiak. “Kau adalah Kauwcoe dari Beng kauw. Apabila, atas
berkah Tuhan, Tat coe bisa terusir, tugas mengurus negara jatuh di tangan Beng kauw. Mana
bisa kau menikmati penghidupannya yang tenteram itu?”
“Kepandaianku tak cukup untuk menjadi Kauwcoe dan akupun sebenarnya tak ingin menjadi
kauwcoe. Jika di kemudian hari beban Kauwcoe Beng Kauw terlalu berat, maka aku harus
menyerahkan kedudukan itu kepada orang yang lebih pandai.”
“Kau masih berusia muda, kalau sekarang kepandaianmu belum cukup, apa kau tak bisa
menambah pengetahuanmu? Mengenai aku sebagai Ciang boen Go bie pay, akupun
mempunyai pikulan yang sangat berat. Soehoe telah menyerahkan cincin besi Ciang boen
kepadaku dengan pesanan, supaya aku mengangkat naik derajat kami. Maka itulah, andaikata
kau benar2 menyembunyikan diri di pegunungan, aku sendiri tak punya rejeki untuk menuntut
penghidupan begitu.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1217
Waktu melihat cincin itu di tangan Tan Yoe Liang, aku bingung bukan main. Kukuatir akan
keselamatanmu. Kalau punya sayap, aku tentu sudah terbang waktu itu juga. Cie Jiak, siapa
yang memulangkannya kepadamu?”
“Song Ceng Soe Siauw hiap.”
Mendengar disebutkannya nama Song Ceng Soe, jantung Boe Kie memukul keras. “Song
Ceng Soe sangat baik terhadapmu bukan?” tanyanya.
“Mengapa kau menanya begitu?” menegas si nona. Ia menangkap nada luar biasa dalam suara
tunangannya.
“Tak apa2,” jawabnya. “Kutahu bahwa Song Soeko sangat mencintai kau. Dia rela
mengkhianati partai dan ayah kandung sendiri. Dia bahkan rela membunuh paman
seperguruan sendiri. Tak usah dikatakan lagi, terhadapmu dia baik luar biasa.”
Cie Jiak menengadah dan sambil mengawasi sang rembulan yang baru muncul di sebelah
timur, ia berkata dengan suara perlahan. “Jika perlakuanmu terhadapku separuh saja dari
perlakuannya, aku sudah merasa sangat puas.”
“Aku bukan Song Soeko. Jika untukmu aku harus melakukan perbuatan put hauw dan put gie
(tidak berbakti dan tidak mengenal persahabatan), biar bagaimanapun jua aku takkan dapat
melakukannya.
“Untukku tak bisa melakukan segala apa. Di pulau kecil kau pernah bersumpah akan
membunuh perempuan siluman itu, guna membalas sakit hatinya In Kouwnio. Tapi setelah
bertemu muka, kau melupakan semua sumpahmu.”
“Cie Jiak, manakala terbukti bahwa To Liong to dan Ie thian kiam dibawa oleh Tio Kouwnio
dan piauwmoay dibinasakan olehnya, aku pasti takkan mengampuninya. Tapi apabila tak
berdosa, aku tentu tak mengambil jiwanya. Meskipun sekali aku khilaf dalam mengucapkan
sumpah itu.”
Cie Jiak membungkam.
“Mengapa kau diam saja? Apa aku salah?” tanya Boe Kie.
“Tidak!” jawabnya. “Aku sendiri sedang memikiri sumpahku sendiri yang diucapkan di
hadapan Soehoe di menara Ban hoat sei. Aku merasa sangat menyesal bahwa waktu
menerima lamaranmu, aku tak memberitahukan sumpah itu kepadamu secara terangterangan.”
Boe Kie terkejut. “Kau… kau… sumpah apa?” tanyanya.
“Di hadapan Soehoe, aku telah bersumpah bahwa jika di hari kemudian aku menikah dengan
kau, maka roh kedua orang tuaku takkan mendapat ketenteraman di dunia baka, bahwa roh
Soehoe akan menjadi setan jahat yang akan terus menggangguku, bahwa anak cucuku akan
menjadi manusia2 hina, yang lelaki menjadi budak, yang perempuan menjadi pelacur!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1218
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Ia berdiri terpaku dan badannya menggigil. Sesudah lewat
beberapa lama dan sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah ia berkata. “Cie Jiak, sumpah
itu tak boleh dianggap sungguh2. Gurumu sudah memaksa kau mengucapkan sumpah itu
sebab ia anggap Beng kauw sebagai agama siluman dan aku sendiri sebagai manusia jahat
yang tak mengenal malu. Kalau ia tahu hal yang sebenarnya, ia pasti takkan menyuruh kau
bersumpah begitu.”
Air mata si nona lantas mengucur. “Tapi… tapi… ia sudah tak tahu lagi,” katanya. Tiba-tiba
ia menubruk Boe Kie dan sambil menangis tersedu-sedu, ia menyesapkan kepalanya di
pangkuan pemuda itu.
Sambil mengusap usap rambut tunangannya, Boe Kie berkata. “Cie Jiak, apabila roh gurumu
benar-benar angker, ia pasti takkan mempersalahkan kau. Apakah aku benar-benar seorang
penjahat cabul, jahanam yang tidak mengenal malu?”
“Sekarang memang belum, tapi siapa tahu karena dipengaruhi Tio Beng, di belakang hari kau
tidak menjadi manusia yang tidak mengenal malu?”
Mau tak mau Boe Kie tertawa. “Ah, Cie Jiak!” katanya. “Kau menilai aku terlalu rendah.
Apakah kau mengharap mempunyai suami manusia jahat?”
Si nona mengangkat kepalanya. Kedua matanya masih basah, tapi sinarnya sinar tertawa.
“Tak malu kau!” bentaknya dengan suara perlahan. “Apa kau sudah menjadi suamiku?” Kalau
kau terus bersahabat dengan perempuan siluman itu, aku sungkan menjadi isterimu. Siapa
berani memastikan, bahwa kau tidak akan meneladani Song Ceng Soe yang rela melakukan
perbuatan terkutuk karena gara gara paras cantik?”
Boe Kie menunduk dan mencium dahi tunangannya. “Siapa suruh kau begitu cantik?”
katanya. “Inilah salahnya kedua orang tuamu yang melahirkan seorang puteri yang terlalu
cantik, sehingga kaum pria mabok otaknya.”
Mendadak saja, di belakang pohon dalam jarak kira-kira tiga tombak terdengar suara tertawa
dingin. “Huh..huh!…” Hampir berbareng terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang
kabur dengan kecepatan kilat.
Cie Jiak melompat bangun. “Tio Beng!…” serunya dengan suara parau.
Suara tertawa itu, memang suara wanita, tapi Boe Kie masih bersangsi, apakah benar Tio
Beng? “Perlu apa dia menguntit kita?” tanyanya.
“Lantaran dia mencintai kau!” jawabnya dengan gusar. “Mungkin kau berdua diam diam
sudah berjanji untuk bertemu di sini guna mempermainkan aku.”
Boe Kie bersumpah keras keras, membantah terkaan tunangannya. Cie Jiak berdiri dengan
darah meluap. Tiba-tiba karena mengingat nasibnya, ia menangis lagi.
Dengan tangan kiri memeluk pundak, Boe Kie menyeka air mata tunangannya dengan tangan
baju kanannya. “Mengapa kau menangis?” tanyanya dengan suara lemah lembut. “Kalau aku
menjanjikan Tio Kouwnio datang di sini untuk mempermainkan kau, biarlah aku dikutuk
langit dan bumi. Coba kau pikir, apabila benar aku mencintai dia dan kutahu bahwa dia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1219
berada dekat, mana boleh jadi aku mengucapkan kata kata cinta terhadapmu? Bukankah
dengan berbuat begitu, aku sengaja menyakiti hatinya?”
Cie Jiak merasa perkataan itu beralasan juga. Ia menghela nafas dan berkata. “Boe Kie koko,
hatiku sangat tidak tenteram.”
“Mengapa?”
“Aku tidak dapat melupakan sumpahku. Selain itu, Tio Beng pun tentu tak bisa mengampuni
aku. Baik dalam ilmu silat maupun dalam kepintaran, aku tak dapat menandinginya.”
“Aku melindungi kau dengan segenap tenagaku. Kalau dia berani melanggar selembar rambut
isteriku, aku pasti takkan mengampuni dia.”
“Apabila aku lantas mati dibunuh olehnya, ya sudah saja. Apa yang ditakuti olehku adalah,
karena disiasatkan olehnya, kau bergusar terhadapku dan lalu membunuhku. Kalau aku mati
cara begitu, aku mati dengan penasaran, dengan mata melek.”
“Kau benar sudah gila!” kata Boe Kie dengan tertawa. “Berapa banyak manusia sudah
mencelakai aku, berbuat kedosaan terhadapku, tapi toh aku tak membunuh mereka. Mana
boleh jadi aku bunuh isteri tercinta?” Ia membuka bajunya dan seraya mengunjuk bekas luka
tusukan pedang, ia berkata pula, “Tusukan siapa ini? Cie Jiak, makin dalam tusukanmu,
makin dalam pula rasa cintaku terhadapmu.”
Dengan rasa menyesal dan rasa cinta yang sangat besar, Cie Jiak meraba raba tanda luka itu.
Sekonyong-konyong mukanya berubah pucat. “Tikaman dibalas dengan tikaman…” katanya
dengan suara parau. “Di belakang hari… andaikata benar kau membunuh aku, aku takkan
penasaran lagi…”
Buru2 Boe Kie memeluk si nona. “Sudahlah Cie Jiak!” katanya. Kita harus lekas2 cari Gie
hoe supaya orang tua itu segera bisa menikahkan kita. Setelah menikah kalau kau senang, kau
boleh menikam aku lagi beberapa kali dan aku takkan merasa menyesal.”
Sambil menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, Cie Jiak berbisik, “Aku mengharap, bahwa
sebagai laki laki sejati, kau takkan melupakan perkataanmu di malam ini.”
Lama mereka berdiam di situ, ber-omong2 dengan penuh kasih, di antara sinar rembulan yang
putih bagaikan perak. Sesudah larut malam barulah mereka kembali ke rumah penginapan.
Pada keesokan pagi, bersama Han Lim Jie, mereka meneruskan perjalanan ke selatan. Pada
suatu magrib, tibalah mereka di kota raja. Mereka mendapat kenyataan bahwa rakyat di
seluruh kota sedang sibuk membersihkan rumah dan jalan, dan di depan setiap rumah terdapat
hio to (meja sembahyang). Mereka lalu mencari rumah penginapan dan menanya seorang
pelayan mengenai kerepotan itu.
“Kedatanganmu sungguh kebetulan,” kata si pelayan. “Kalian mempunyai rejeki besar, besok
adalah hari arak arakan besar di Hong shia (kota tempat tinggalnya kaisar).”
“Arak arakan apa?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1220
“Besok adalah hari pesiarnya Hong shia (kaisar), kejadian ini hanya terjadi satu tahun sekali.
Tujuan Hong shia adalah bersembahyang di kelenteng Keng sioe sie. Malam ini kalian harus
tidur siang siang dan besok bangun pagi pagi.”
“Pagi pagi sekali kau harus pergi di mulut pintu istana Giok tek tian untuk mendapat tempat
yang baik. Kalau untung bagus, kau bisa lihat wajah Hong siang, Hong houw (permaisuri),
Koei hoi (selir kaisar), putera mahkota dan puteri kaisar. Coba kalian pikir, kalau sebagai
rakyat jelata kita tidak berada di kota raja mana bisa kita melihat wajah Hong siang dengan
mata sendiri?”
Bukan main mendongkolnya Han Lim Jie. Tanpa bisa menahan sabar lagi, ia lantas saja
mengeluarkan suara di hidung. “Huh!… manusia apa kau!” bentaknya. “Kau pengkhianat
yang tak mengenal malu, yang mengakui musuh sebagai ayahmu sendiri. Apa senangnya
melihat muka kaisar Tat coe?”
Si pelayan kaget. Ia menatap muka Han Lim Jie dengan mulut ternganga. Akhirnya sambil
menuding ia berkata. Kau!… kau… perkataan memberontak! Apa kau tak takut potong
kepala?”
“Kau seorang Han, tapi kau begitu mendewa-dewakan kaisar Tat coe,” kata Han Lim Jie.
“Kau sungguh tak mengenal malu, lelaki tak punya tulang punggung!”
Melihat sikap Han Lim Jie yang galak garang, si pelayan tidak berani berkata apa apa lagi. Ia
memutar badan dan berlalu. Tapi Cie Jiak lantas melompat dan menotok jalan darah di
punggungnya. “Dia tentu banyak mulut dan kalau dia dibiarkan pergi, kita mungkin
ditangkap,” katanya. Seraya berkata begitu, ia menendang tubuh si pelayan ke kolong ranjang
dan berkata pula. “Biar dia kelaparan beberapa hari. Kita baru lepaskan dia waktu mau
meninggalkan kota ini.”
Tak lama kemudian pengurus rumah penginapan berteriak teriak memanggil pelayan itu yang
sedang mengaso di kolong ranjang. “A Hok! A Hok! Kemana kau? Ambil air untuk tamu
kamar nomor tiga!”
Sambil menahan tertawa, Han Lim Jie menepuk meja, “Hei! Lekas sediakan makanan dan
arak!” bentaknya. Tuan besarmu sudah lapar!”
Makanan dan minuman diantarkan oleh seorang pelayan lain yang datang dengan
menggerutu. “Si A Hok tentu kabur untuk melihat keramaian. Kurang ajar! Dia enak-enakan,
aku yang capai.”
Pada keesokan paginya, baru tersadar Boe Kie sudah dengar ramai ramai. Ia keluar dan
melihat ribuan rakyat, lelaki, perempuan, tua dan muda, berjalan ber-bondong2 ke jurusan
utara dengan mengenakan pakaian baru. Semua orang riang gembira. Di antara gelak tertawa,
terdengar pula suara merotoknya petasan. Keramaian itu melebihi keramaian tahun baru.
Tak lama kemudian Cie Jiak pun turut keluar. “Mari kita nonton,” ajaknya.
“Kita pernah bertempur dengan boesoe gedung Jie lam ong,” kata Boe Kie. “Aku kuatir kita
akan dikenali. Kalau mau menonton, kita harus menyamar.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1221
Bersama Han Lim Jie, mereka lalu mengenakan pakaian orang dusun dan kemudian menuju
ke Hong shia bersama sama rombongan rakyat.
Ketika itu baru masuk Sin sie (jam tujuh sampai jam sembilan pagi), tapi di dalam dan di luar
Hong shia sudah penuh dengan manusia. Dengan Boe Kie sebagai pembuka jalan, mereka
maju dengan perlahan. Akhirnya mereka berdiri menunggu di bawah payon sebuah gedung
besar, di luar pintu Yan coen boen.
Tak lama kemudian, di sebelah kejauhan terdengar suara gembrengan dan tambur. “Sudah
datang! Mereka datang!” teriak rakyat yang menunggu sambil memanjangkan leher mereka.
Suara itu makin lama jadi makin keras sehingga terlihatlah rombongan pertama dari arakarakan
itu. Mereka terdiri dari 108 orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan
seragam hijau. Tangan kiri mereka memegang sebuah gembereng besar dan tangan kanan
memukulnya dengan menurut irama.
Hebatnya suara 108 gembereng dapat dibayangkan. Rombongan gembereng diikuti
rombongan tambur yang terdiri dari 30 orang. Di belakang mereka mengikuti tetabuhan – ada
rombongan pi-poe (semacam gitar) dari See hek, rombongan terompet dari Mongol dan
sebagainya. Jumlah anggota rombongan2 itu berkisar antara seratus orang lebih sampai
seribu. Sesudah rombongan musik, muncul dua bendera sutera yang sangat besar. Yang satu
dengan huruf “An pang Hoe kok” (menenteramkan dan melindungi negara), yang lain dengan
“Tin sia Hok mo” (menindih yang kotor, menakluki siluman). Kedua bendera itu dikawal oleh
400 serdadu Mongol – di depan 200, di belakang 200, yang menunggang kuda putih dan
memegang macam macam senjata. Melihat keangkeran itu, rakyat bersorak sorai tak hentihentinya.
Jilid 67____________________
BOE KIE mendongkol bukan main. Ia menganggap penduduk kota raja tidak mengenal malu
dan melupakan, bahwa negara mereka dijajah orang.
Baru saja kedua bendera itu lewat didepan Boe Kie, dari sebelah barat tiba-tiba menyambar
dua helai sinar putih kearah tiang bendera. Sinar itu adalah sinar golok terbang yang masingmasing
terdiri dari tujuh batang. Walaupun tiang bendera itu besar, tapi kedua tiang itu tidak
dapat bertahan dari serangan tujuh golok, sehingga di lain saat kedua-duanya patah dan roboh
bersama sama benderanya. Keadaan lantas saja berubah kalut. Belasan orang terguling
tertimpa tiang.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu turut mengejutkan Boe Kie dan Cie Jiak. Han Lim Jie
kegirangan dan tanpa merasa mulutnya terbuka untuk. bersorak. Untung juga sebelum
suaranya keluar mulutnya keburu ditekap Cie Jiak. Boe Kie tahu, bahwa golok terbang itu
dilepaskan oleh ahli silat kelas satu, hanya sayang ia tak lihat siapa yang melepaskannya.
Empat ratus serdadu Mongol yang melindungi bendera gusar tercampur takut. Secara
serampangan mereka menangkap tujuh delapan orang yang segera dibinasakan ditempat itu
juga.
Han Lim Jie meluap darahnya. "Binatang!" cacinya dengan suara tertahan. Yang melepaskan
golok sudah kabur, yang dibinasakan rakyat tidak berdosa".
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1222
"Sst! Han Toako!" bisik Cie Jiak. "Kita mau nonton, bukan mau bikin ribut".
Han Lim Jie manggutkan kepalanya dan tidak berani buka suara lagi.
Sesudah ribut ribut sebentar dari belakang datang lagi rombongan-rombongan tetabuhan.
Rakyat mulai bersorak-sorak pula dan kejadian tadi yang mengenaskan segera dilupakan
orang.
Dibelakang rombongan tetabuhan yang kedua itu mengikuti rombongan-rombongan wayang,
seperti wayang po-tee-hie dan lain-lain, dan selewatnya, rombongan wayang muncullah
kereta-kereta hias yang ditunggu-tunggu. Setiap kereta ditarik kuda pilihan dan diatas kereta
terdapat pemuda-pemudi dengan bermacam-macam pakaian yang menggambarkan ceriteraceritera
atau dongeng jaman dahulu, seperti "Pek-Nio nio merendam Kim san," "Tong Som
Cong mengambil kitab suci di See thian". "Tong Beng pesta di istana rembulan dan
sebagainya.
Disaban kereta terdapat sehelai bendera suram dengan nama pembesar yang
mempersembahkannya. Makin ke belakang kereta itu makin indah dan pembesar-pembesar
yang namanya tertera di bendera juga makin tinggi pangkatnya.
Dengan mendapat tempik sorak gegap gempita, kereta-kereta lewat satu demi satu. Tiba-tiba
suara tetabuhan yang mengiring setiap kereta berubah secara menyolok yang diperdengarkan
sebuah lagu kuno. Boe Kie melihat, bahwa di kereta yang sedang mendatangi tertancap
sehelai bendera putih, dengan tulisan. "Cioe Kong Lioe hong Koan coan ( Cie Kong
membuang Koan Siok dan Coa Siok ). Di kereta itu terdapat seorang pria setengah tua yang
memegang peranan Cioe Kong dan disampingnya berduduk seorang kanak-kanak yang
mengenakan pakaian raja yaitu Raja Yan seng ong. Dua orang lain yang mengenakan pakaian
sebagai Koan Siok dan Coa Siok, berbisik-bisik satu sama lain dan menuding-nuding Cioe
Kong. Dibelakang kereta tersebut mengikuti lain kereta dengan bendera dengan tulisan yang
berbunyi: "Ong Bong Kee-jin Kee Gie" (Ong Bong berlagak jadi manusia budiman) "Ong
Bong" di kereta itu, yang mukanya dipoles bedak putih, sedang membagi bagian uang kepada
beberapa rakyat miskin, Di belakang kedua kereta itu mengikuti empat bendera dengan tulisan
yang merupakan sajak.
"Cioe Kong pernah dicaci.
Ong Bong pernah dipuja.
Kalau waktu itu mereka mati,
Tulen palsunya yang tahu siapa?"
Membaca sajak itu. Boe Kie manggut-manggut manggutkan kepala. "Benar,“ pikirnya.
"dalam dunia ini, salah atau benar, hitam atau putih, sukar sekali bisa diketahui. Cioe Kong
seorang nabi, tapi, waktu membuang Koan Siok dan Coa Siok orang menuduhnya sebagai
pengkhianat yang ingin merebut tahta kerajaan. Ong-bong seorang menteri dorna. Tapi
semula pada waktu ia merendahkan diri dan menghormat rakyat ia dipuji. Inilah apa yang
dikatakan sesudah berjalan jauh, barulah kita tahu seekor kuda, sesudah diuji lama. barulah
kita mengenal hati manusia. Orang yang menerangkan kedua kereta itu bukan sembarang
orang. Ia termenung. Ia ingat segala pengalaman yang akhir-akhir ini. Ia ingat dugadugaannya
dalam sebuah teka-teki yang ditutup kabut. Manusia apa sebenarnya Tio Beng?
Apa dia membunuh atau tidak membunuh In Lee? Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1223
suara gembereng pecah. Ia menengadah dan melihat sebuah kereta yang ditarik oleh dua kuda
kurus. Berbeda dari yang lain, kereta itu polos tanpa hiasan apapun jua.
Beberapa orang tertawa mengejek. "Masakah kereta begitu turut diarak?" kata seorang.,
Tapi waktu kereta ita mendekati, Boe Kie terkesiap. Ia terkesiap karena diatas kereta,
disebuah dipan, bersila seorang tinggi besar yang rambutnya kuning, dan kedua matanya
meram. Siapa lagi, kalau yang digambarkan bukan Kim-mo Say ong Cia Soen? Disamping
"Cia Soen" berdiri seorang wanita cantik yang memegang cangkir teh. Keayuan wanita itu
belum menyamai Cie Jiak, tapi pakaian dan geriknya tidak berbeda dari nona Cioe.
“Cioe Kouwnio, dia mirip kau!" bisik Han Lim Jie dengan suara kaget.
Cie Jiak tidak menyahut, Boe Kie menengok dan melihat muka si nona yang pucat pasi dan
dada yang turun naik. Ia tahu bahwa tunangannya sedang bergusar. Ia mencekal tangan orang
yang dingin bagaikan es.
Kereta yang disebelah belakang masih memperlihatkan ceritera "Cia Soen Cie Jiak“, Cie Jiak
menotok punggung "Cia Soen" dan kemudian mengangkat pedang untuk membunuh oraug
tua itu. "Benar! benar!Bunuh dia!" teriak beberapa orang.
Kereta ketiga masih juga cerita "Cia Soen Cie Jiak" Enam tujuh orang mengenakan pakaian
pengemis sedang menahan 'Cia Soen dan Cie Jiak.“
Boe Kie tak merasa sangsi lagi, bahwa ketiga kereta itu dibuat atas suruhan Tio beng, untuk
menghina tunangannya. Ia membungkuk, menjemput enam butir batu kecil dan menimpuk
Hebat sungguh timpukan itu! Setiap batu mampir tepat di mata kanan setiap kuda dan batu itu
terus masuk ke otak, sehingga sesudah berbenger dan berjingkrak-jingkrak, enam ekor kuda
itu lantas saja roboh binasa. Keadaan berubah kalut. Kecuali Cie Jiak dan Han Liem Jie, tak
seorangpun mendapat tahu timpukan dari dalam tangan bajunya.
Nona Cioe menggigit bibirnya, "Boe Kie koko,” katanya, perempuan siluman itu . . .. terlalu,
terlalu menghina aku....." Ia tak bisa meneruskan suaranya yang parau dan badannya agak
bergemetaran.
Dengan rasa kasihan, Boe Kie mencekal tangan tunangannya. "Cie Jiak," katanya dengan
suara membujuk, perempuan itu memang dapat melakukan apa pun jua. Kau jangan ladeni.
Asal aku mencintai kau, orang luar tak akan bisa berbuat sesuatu apa."
Cie Jiak mengangguk. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata. "Ah, sekarang ku ingat!
Hari itu Giehoe sehat-sehat saja dan tiba-tiba ia bergemetaran, lalu roboh. Sesudah roboh
mulutnya ngaco. Apa tak bisa jadi.....perempuan siluman itu bersembunyi di rumah
penginapan dan melepaskan senjata rahasia terhadap Gie hoe?"
"Kurasa tak mungkin" jawab Boe Kie.
"Kalau itu perbuatannya aku rasa tak akan keburu menyusul ke kelenteng Bie tek-hoed.
Mungkin juga kerajaan Hian beng Jie loo.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1224
Sementara itu sejumlah serdadu Mongol sudah datang dan menyingkirkan bangkai2 kuda
supaya arak-arakan tidak terhalang.
Boe Kie dan Cie Jiak tak punya kegembiraan lagi untuk menonton kereta-kereta hias lewat
tanpa diperhatikan mereka. Sesudah kereta hias, datanglah rombongan pendeta yang
mengenakan jubah merah, diikuti oleh 2000 serdadu Gie lim koen yang bersenjata tombak
dan 3000 serdadu pilihan yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kemudian, diantara asap
hio yaag mengepul keatas, berjalan rerotan joli dengan patung-patung malaikat, semuanya
360 patung. Dengan paling dulu joli Kwan teeSeng koen (Kwan Kong ). Rakyat menyambut
rerotan itu dengan mengucapkan doa, banyak diantaranya berlutut ditanah.
Akhirnya, sesudah lewatnya barisan yang membawa alat-alat upacara, seperti kim koa (labu
emas), kim toei (martil emas) dan sebagainya, rakyat bersorak, "Hongsiang! Hongsiang!"
teriak mereka.
Sebuah joli besar yang ditutup dengan sutera kuning dan digotong oleh 32 sie wie baju sulam
kelihatan mendatangi. Joli itu joli kaisar. Boe Kie mengawasi dengan mata tajam. Ia
mendapat kenyataan, bahwa kaisar itu pucat mukanya dan suatu tanda dari pelesir dan arak
yang tidak mengenal batas. Putera mahkota mengikuti dengan menunggang kuda. Dengan
menggendong gendewa tertawa emas, putera kaisar itu kelihatan gagah dan angker dan cocok
untuk menjadi sesorang putera Mongol.
“Kauwcoe," bisik Han Lim Jie, "mengapa kau tidak mau menggunakan kesempatan ini untuk
membinasakan kaisar Tat coe itu?"
"Hm!" jawabnya. Ia tidak bisa lantas mengambil keputusan dan lalu menimbang-nimbang
baik tidaknya.
"Dengan membinasakan dia Kauwcoe menyingkirkan satu bahaya bagi rakyat," bisik pula
Han Lim Jie. "Biarpun dia banyak pengawalnya2, mana bisa menghalangi serangan
Kauwcoe."
Mendadak, seorang yang berdiri disebelah kiri Boe Kie, berbisik. "Tidak boleh! Jangan!"
Boe Kie terkejut dan melirik orang itu, seorang penjual obat setengah tua . Sekonyongkonyong
dia mengacungkan kedua jempolnya dan membuat tanda obor didepan dadanya.
"Pheng Eng Giok menghadap kepada Kauwcoe," bisiknya.
Boe Kie kegirangan dan berkata dengan suara tertahan. "Kau! ... Pheng ..."
Pandai sungguh Pheng Hweeshio menyamar, sehingga Boe Kie yang berdiri disampingnya
tidak dapat mengenalinya.
"Disini bukan tempat bicara," bisik Pheng Eng Giok. "Kauwcoe tidak beleh binasakan kaisar
Tat coe."
Boe Kie tahu, bahwa pembantunya itu mempunyai pemandangan yang sangat luas. Ia
mengangguk dan mencekal tangannya erat-erat, sebagai tanda rasa girangnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1225
Kaisar dan putera mahkata diiringi oleh barisan Gie lim koen dengan kekuatan 3000 orang
dan rerotan yang terakhir adalah berlaksa rakyat jelata yang mengenakan pakaian beranekawarna.
"Mari lihat Hong houw Nio nio dan Kong coe Nio nio!" seru beberapa orang sambil
menggapai sahabat atau kenalannya.
"Aku ingin sekali lihat mereka," kata Coe Jiak kepada Boe Kie. Ia mengangguk dan bersama
Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie, mereka lalu menuju ke arah Giok tek tian, bersama-sama
rerotan rakyat. Tak lama kemudian mereka melihat tujuh buah loteng indah yang dihias secara
indah pula. Dibawah loteng dijaga oleh sepasukan Gie lim koen bersenjata rotan yang
digunakan untuk mengusir rakyat yang datang terlalu dekat. Dengan tak banyak susah Boe
Kie berempat mendesak ke depan. Di loteng yang di tengah-tengah berduduk sang kaisar
disebuah kursi naga-nagaan dengan diapit oleh dua orang permaisurinya yang berbadan
gemuk dan berpakaian mewah. Putera mahkota duduk di sebelah kiri, sedang yang duduk di
sebelah kanan seorang wanita muda yang berusia kira-kira dua puluh tahun.
"Dia tentulah puteri kaisar," kata Boe Kie di dalam hati sambil mengawasi loteng kedua yang
terletak disebelah kiri.
Tiba-tiba jantungnya mengetuk lebih keras, karena di loteng ini berduduk Tio Beng yang
mengenakan baju bulu dan perhiasan mahal. Di tengah-tengah loteng itu berduduk seorang
raja muda yang berparas agung dan bukan lain daripada Kuhkun Temur, ayahanda Beng-beng
Koencoe. Kuhkun Temur, kakak Tio Beng kelihatan berjalan di sisi loteng dengan tindakan
seperti tindakan harimau.
Dengan mata mendelong Cie Jiak mengawasi kedua permaisuri yang mewah itu. Tanpa
merasa ia maju beberapa tindak dan melewati perbatasan yang diperbolehkan untuk rakyat
jelata. Seorang anggota Gie lim koen segera menyabet dengan rotannya.
Bagaikan kilat Cie Jiak menangkap ujung rotan. Dengan mudah ia akan dapat merobohkan
serdadu itu, tapi sejenak kemudian ia melepaskan cekalannya dan mundur, akan kemudian
menghilang diantara orang banyak.
Ketika itu didepan loteng mulai diadakan latihan barisan Thian mo Thia tin oleh rombongan
Han ceng (pendeta asing). "Tin" yang diperlihatkan di keluarga kaisar benar-benar hebat
dengan perubahan-perubahan yang sangat aneh, sehingga saban-saban mendapat sambutan
yang gegap gempita dari berlaksa rakyat. Tapi Cie Jiak tidak tertarik oleh latihan itu. Sesudah
mengawasi Tio Beng beberapa lama, ia menghela napas, dan berkata. "Mari kita pulang."
Setibanya di rumah penginapan, Pheng Eng Giok memberi hormat kepada Boe Kie sebagai
mana layaknya dan masing-masing lalu menceriterakan pengalamannya. Pheng Hweeshio
yang baru kembali dari Hway see ternyata tak tahu kalau Cia Soen sudah pulang ke Tiong
goan. Ia memberitahu, bahwa Coe Goan Cang, Cie Tat dan Siang Gie Coen telah memperoleh
banyak kemajuan sehingga Beng kauw sangat disegani.
Pheng Taysoe," kata Han Lim Jie sesudah Pheng Eng Giok selesai menutur. "Apabila tadi kita
melompat untuk naik ke loteng dan membunuh kaisar Tat coe itu, bukankah dengan demikian
kita menyingkirkan satu bencana bagi rakyat?"
Pheng Hweeshio menggeleng-gelengkan kepala, “Kaisar bebodoran itu justru pembantu kita
yang sangat berharga,” jawabnya. "Mana boleh kita membunuh dia?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1226
"Han Heng tee" kata Pheng Eng Giok sambil tersenyum, "kaisar itu tolol, kejam dan doyan
pelesir. Paling belakang dia memerintahkan penggalian sungai Hong ho. Rakyat sangat
menderita dan bergusar. Mengapa saudara-saudara kita sudah memperoleh hasil-hasil baik di
medan perang? Apa benar tentara rakyat serba kekurangan bisa melawan tentara Mongol yang
gagah perkasa? Sebab musabab dari kemenangan kita ialah karena rakyat sudah. membenci
Tat coe. Dalam setiap pertempuran, rakyat membantu kita. Kaisar tolol itu tak bisa
menggunakan orang-orang pandai, Jenderal yang seperti Jie Lam ong selalu dihalang-halangi
dan dicurigai. Kaisar bebodoran itu kuatir, bahwa kalau pahalanya sudah terlalu besar, raja
muda tersebut akan merebut kerajaan. Maka itu perlahan-lahan dia mengurangi kekuasaan Jie
Lam ong atas ketentaraan dan mengangkat jenderal-jenderal tolol untuk memimpin tentara,
sehingga biarpun gagah perkasa, pasukan-pasukan Mongol sering kalah dalam medan perang.
Inilah sebabnya mengapa aku mengatakan bahwa kaisar Tat coe itu pembantu kita yang
sangat berharga."
Han Lim Jie tersadar. Ia manggut-manggutkan kepalanya dan merasa kagum akan pandangan
Pheng Eng Giok yang sangat jauh.
"Apabila kita membunuh kaisar Tat coe itu, putera mahkota akan menggantikannya" kata pula
Pheng Hweeshio. "Meskipun bodoh, dia tentu tak sebodoh ayahnya. Jika dia bisa
menggunakan panglima-panglima yang pandai usaha kita bisa gagal seanteronya.''
"Syukur sekali Taysoe berada disini" kata Boe Kie. "Kalau tidak, mungkin aku sudah
menyerang dan merusak urusan besar."
"Kauwcoe adalah seorang yang sangat penting dan memikul tugas berat untuk mengusir
kekuasaan Tat coe" kata Pheng Eng Giok. "Maka itu Kauwcoe tak boleh menempuh bahaya
secara sembrono. Seorang kaisar selalu dijaga keras dan diantara pengawalnya terdapat
banyak orang yang berkepandaian tinggi. Meskipun gagah, Kauwcoe belum tentu bisa
melawan mereka yang berjumlah sangat besar."
Boe Kie mengangkat kedua tangannya dan berkata. "Aku merasa sangat berterima kasih
untuk nasihat Taysoe dan aku berjanji akan memperhatikannya."
Cie Jiak menghela napas. "Memang kau juga tidak boleh sembarangan menerjang bahaya"
katanya. Di hari kemudian sesudah usaha kita berhasil, kursi naga tentu akan diduduki oleh
Thio Kauwtjoe."
Han Lim Jie bertepuk tangan. "Benar!“ serunya dengan suara perlahan.
"Thio Kauwcoe jadi Hongtee. Cioe Kouwnio jadi Hong houw. Pheng dan Yo coesoe sebagai
Yoe sin siang."
Muka nona Cioe lantas saja berubah merah. Ia menunduk dengan sikap kemalu-maluan tapi
sinar ujung matanya menandakan bahwa ia merasa girang sekali.
Dengan sikap bingung Boe Kie sendiri buru-buru menggoyang-goyangkan kedua tangannya.
"Han Hengtee, perkataanmu itu tak boleh dikeluarkan lagi!" katanya dengan suara sungguhsungguh.
"Aku hanya bertujuan untuk menolong rakyat dari penderitaan, sesudah berhasil aku
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1227
akan segera mengundurkan diri. Aku sedikitpun tak kemaruk akan kekayaan dan kedudukan
tinggi."
Pheng Eng Giok tertawa. "Kauwcoe mempunyai kepandaian dan kebijaksanaan yang jarang
tandingan" katanya, "Kalau waktunya tiba andaikata Kauwcoe mau menolak, Kauwcoe
takkan bisa menolak. Dahulu, Tio Kong In pun belum pernah mimpi akan menjadi kaisar." (
Ti Kong In adalah, pertama dari kerajaan Song)
„Tidak bisa!“ kata Boe Kie. „Bila dalam usaha ini hatiku bercabang dan mempunyai anganangan
untuk keuntungan pribadi, biarlah langit dan bumi mengutuk aku, biarlah aku mati
secara tidak baik!“
Mendengar penolakan yang disertai sumpah itu, paras muka Cie Jiak lantas saja berubah. Ia
melongok keluar jendela dan berkata, „Pemimpin Beng Kauw menjadi kaisar bukan kejadian
yang terlalu luar biasa. Dahulu ayahku mengangkat diri sendiri sebagai raja. Kalau berhasil,
bukankah ayah sudah menjadi Hong-tee?“
"Ya, hanya sayang Cioe Coe Ong Cioe Soeheng gagal dalam usahanya,“ kata Pheng Eng giok
dengan suara duka. „Kalau berhasil, Cioe Kouwnio sudah menjadi Kong coe Nio-nio.“
Cie Jiak tertawa dingin. “Mm!....." Ia mengeluarkan suara di hidung. „Apakah keistimewaan
Koen coe dari Jie-lam ong? Tapi toh ada yang mengawasinya tanpa berkedip dan mendewidewikannya.
Kalau aku jadi lelaki dan aku mau menikah dengan keluarga kaisar sendiri, kalau
bisa menjadi Hoe-ma barulah boleh dibuat bangga. (Hoe ma adalah Menantu lelaki dari
seorang kaisar)
Pheng Eng Giok dan Han Lim Jie yang menafsirkan perkataan Cie Jiak sebagai guyonan,
lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tapi Boe Kie sendiri bukan main rasa jengahnya. „Cie-
Jiak sangat halus budi pekerti, tapi mengapa ha ri ini ia mengeluarkan kata-kata itu?"
pikirnya.
"Mungkin sekali waktu tadi aku mengawasi Tio Kouwnio, Cie Jiak merasa tak senang. Tapi...
ah! ... Perkataannya itu hanya membuktikan kecintaannya terhadapku."
Sementara itu Pheng Eng Giok melaporkan hasil-hasil gerakan Beng Kauw dalam
keseluruhannya. Ia mengatakan bahwa biarpun sering juga menderita kekalahan di medan
perang tapi tenaga kekuatan Beng kauw makin lama jadi makin besar! Hanya sayang dalam
Rimba Persilatan masih terdapat partai-partai yang merasa jelus atau mengiri, persatuan yang
sempurna belum tercapai. Maka itu kata Pheng Eng Giok alangkah baiknya jika bisa diadakan
pertemuan dan musyawarah besar antara orang-orang gagah Rimba Persilatan. Apabila
tercapai persatuan yang kokoh, maka usaha mengusir Tat-coe pasti akan terwujud.
"Taysoe benar," kata Boe Kie. "Nanti sesudah bertemu dengan Yo-CoSoe, kita akan berdamai
lebih jauh."
Sesudah makan malam Boe Kie berkata, "Aku dan Pheng Taysoe ingin jalan-jalan sambil
mendengar-dengar halnya Giehoe." Ia menengok kepada Han Lim Jie dan berkata pula: "Han
Heng-tee, kau dan Cie Jiak tak usah mengikut. Kalian mengaso saja." Ia tidak mau mengajak
Han Lim Jie sebab kuatir saudara yang berangasan itu menerbitkan onar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1228
Sesudah keluar dari rumah penginapan, mereka berpencaran, yang satu mengambil jalan ke
barat, yang lain ke timur dan berjanji akan pulang ke penginapan sebelum jam dua lewat
tengah malam.
Boe Kie yang menuju ke barat memasang mata dan kuping. Tapi apa yang didengarnya hanya
omong-omongan rakyat tentang keramaian siang tadi dan cerita-cerita ngawur tentang
pemberontakan Beng kauw. Ia tak mendapat sesuatu yang penting. Ia berjalan dengan
menuruti mau nya kaki, makin lama jalan jadi makin sepi. Tiba-tiba jantungnya memukul
keras karena ia mendapat kenyataan, bahwa ia berada didepan sebuah rumah makan kecil,
dimana dahulu ia pernah minum arak bersama-sama Tio Beng. “Mengapa aku bisa datang
kesini? Apa lantaran aku selalu tidak dapat melupakan Tio Kouwnio?" tanyanya didalam hati.
Pintu rumah makan itu separuh dirapati, di dalam tidak terdengar suara, seperti juga tiada
tamunya. Ia mendorong pintu dan bertindak masuk. Seorang pegawai kelihatan tertidur sambil
mendekam di meja. Ia terus masuk kedalam.
Ternyata, pada sebuah meja di suatu sudut berduduk seorang tamu yang sedang bersantap
dengan muka menghadap kedalam, dibawah penerangan sebatang lilin. Hati Boe Kie
berdebar-debar sebab ia segera mengenali, bahwa meja itu adalah dimana ia pernah minum
arak bersama nona Tio.
Sebab mendengar tindakan, tamu itu mendadak berbangkit dan menengok dan ... orang itu
bukan lain dari pada Tio Beng sendiri!
Untuk sejenak kedua-duanya berdiri terpaku dan Kedua-duanya mengeluarkan seruan kaget.
"Kau! ... mengapa kau datang kesini?" kata Tio Beng. Suaranya bergemetaran. Sebagai tanda
dari goncangan hatinya.
„Aku keluar jalan-jalan dan kebetulan lewat disini dan tak dinyana......" kata Boe Kie sambil
mendekati. Melihat seperangkat piring mangkok dan sepasang sumpit didepan si nona, ia
berkata pula "Apa kau sedang menunggu seseorang ?"
Tio Beng lantas bersemu dadu. "Tidak" jawabnya. "Dua kali kita pernah minum arak di sini
dan kau duduk dihadapanku. Maka itu ... maka itu ... kuperintahkan pelayan menyediakan
piring mangkok itu."
Boe Kie merasa sangat berterimakasih. Ia lihat empat tempat macam sayur di meja dan ke
empat macam sayur itu tidak berbeda dengan sayur yang pernah dimakannya bersama sama
nona Tio.
Tak kepalang rasa terharunya Boe Kie. Tanpa merasa ia memegang tangan si nona dan
berkata dengan perlahan. "Tio Kouwnio .... "
"Aku hanya merasa menyesal ..." kata si nona, "menyesal aku terlahir dalam keluarga raja
muda Mongol yang menjadi musuhmu ...“
Pada saat itulah, di luar jendela mendadak terdengar "heh-heh," suara tertawa dingin, dan
serupa benda menyambar lilin yang lantas saja menjadi padam. Boe Kie dan Tio Beng
mengenal bahwa suara itu suara Cie Jiak. Mereka jadi serba salah keluar salah, berdiam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1229
diruangan yang gelap itupun salah. Dalam detik itu, di atap rumah terdengar suara
berkeresekan dan bagaikan angin, Cie Jiak sudah berlalu.
"Apa benar kau sudah bertunangan sama dia?" bisik Tio Beng.
"Benar," jawabnya. "Aku tidak boleh berdusta.“
"Hari itu waktu bersembunyi dibelakang pohon, kudengar perkataan-perkataanmu yang penuh
kecintaan, yang manis seperti madu. Ketika itu, aku ingin lantas mati, aku tak mau hidup lebih
lama lagi di dunia ini. Aku tertawa dingin dua kali. Sekarang ia membalasnya. Tapi . . . tapi . .
. dari mulutmu aku tidak pernah mendengar sepatah katapun yang bisa menghibur hatiku ..."
"Tio Kouwnio, sebenarnya aku tidak boleh datang kesini lagi, tidak boleh bertemu muka lagi
dengan kau. Aku sudah mengikat janji dan aku tak pantas melakukan sesuatu yang dapat
membangkitkan rasa dukamu. Tio Kouwnio ibarat pohon kau bercabang emas dan berdaun
kemala. Mulai dari sekarang kau harus melupakan aku ...."
Tio Beng memegang tangan Boe Kie dan mengusap-usap tanda bekas luka dibelakang tangan
itu. "Luka ini karena gigitanku." katanya, "Biarpun ilmu silatmu tinggi, biarpun ilmu
ketabibanmu tinggi, tak bisa kau menghilangkan tanda luka dalam hatiku?" Sehabis berkata
begitu, ia menatap wajah Boe Kie dengan air mata yang tak bisa dilukiskan. Sekonyongkonyong
kedua tangaanya memegang kepala Boe Kie dan ia . . .. menggigit bibir pemuda itu
sehingga mengeluarkan darah! Sesudah itu ia mondorong dan melompat keluar dari jendela.
"Penjahat cabul! Aku benci kau!... aku benci kau ...“ serunya.
*****
SESUDAH Boe Kie dan Pheng Eng Giok berlalu, Han Lim Jie berkata "Cioe Kouwnio, kau
tidurlah siang-siang." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan pergi ke kamarnya sendiri.
Cie Jiak tertawa, “Han Toako," katanya. "Mengapa kau begitu takut? Duduk omong omong
sebentar saja kau tidak mau."
"Tidak ! tidak!" jawabnya. Ia mempercepat tindakannya, masuk ke kamarnya dan lalu
menapal pintu.
Sambil rebah diatas pembaringan batu, ia membayangkan kecantikan dan kehalusan Cie Jiak
yang dipandangnya seperti dewi. Tak lama kemudian ia tertidur.
Kira-kira tengah malam mendadak pintu terketuk. Ia melompat bangun dan bertanya,
"Siapa?"
"Aku,“ demikian terdengar suara Cie Jiak. "Buka pintu! Aku ingin bicara denganmu."
Han Lim Jie melompat turun dari pembaringan, membuka tapal pintu dan menyalakan lilin.
Dengan kaget ia lihat kedua mata si nona yang merah dan sikapnya yang luar biasa. "Cioe
Kauwnio, kau . . . kau. . . kenapa?" tanyanya. Untuk sejenak ia berdiri terpaku dan kemudian
sambil lari keluar ia berkata, "Aku mau ambil air." Tak lama kemudian ia masuk lagi dengan
membawa sepaso air. "Kau . . . cucilah mukamu," katanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1230
Cie Jiak tidak menyahut. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan mengawasi api lilin dengan
mata mendelong. Mendadak air matanya mengucur. Han Lim Jie kaget bercampur bingung, ia
tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Lama juga nona Cioe berdiri bengong seperti orang linglung. Tiba-tiba ia tersadar dan
mengeluh dengan suara perlahan.
"Cioe Kouwnio, siapa yang menyakitimu?" tanya Han Lim Jie. "Beritahukanlah kepadaku. Si
orang she Han akan tikam dia."
Cie Jiak tetap membungkam. Sambil menghela napas, ia bertindak keluar dan masuk ke
kamarnya sendiri. Sesudah duduk beberapa lama, ia keluar lagi.
Han Lim Jie jadi makin bingung. Tak lama kemudian kentong berbunyi tiga kali. "Mengapa
Kauwcoe dan Pheng Taysoe belum juga balik?" tanyanya didalam hati, "Tak lama ada jalan
lain dari pada tunggu pulangnya mereka." Walaupun berkuatir, ia tidak berani menengok si
nona yang sudah masuk lagi ke kamarnya. Ia lalu merebahkan diri di pembaringan.
Dalam keadaan setengah tidur, sekonyong-konyong ia mendengar suara gedubrukan di kamar
Cie Jiak, seperti jatuhnya kursi. Ia melompat bangun dan berlari-lari ke kamar nona Cioe.
Dengan bantuan sinar rembulan, dari luar jendela ia lihat bayangan sesosok tubuh manusia
yang bergelantungan dan bergoyang-goyang dengan perlahan. Dengan hati mencelos ia
berteriak "Cioe Kouwnio ! ... Cioe Kouwnio ..."
Ia menolak pintu, tapi pintu ditimpal dari dalam. Tanpa memikir panjang lagi, dengan
seantero tenaga, ia mendorong pintu dengan pundaknya, sehingga timpal pintu patah. Ia
masuk ke dalam dan segera menyalakan lilin. Cocok dengan dugaannya, nona Cioe
menggantung diri dengan seutas tambang yang diikatkan pada balok rumah dengan lehernya
sendiri. Bagaikan kalap, ia melompat tinggi, menjambret tambang dan menarik sekuatkuatnya,
sehingga tambang itu putus. Dengan tangan bergemetaran, ia mendukung tubuh si
nona dan merebahkannya diatas pembaringan. Seperti disambar halilintar, ia mendapat
kenyataan, bahwa nona Cioe sudah tidak bernapas! "Cioe Kouwnio !.... Cioe Kouwnio !..." ia
sesambat.
Tiba-tiba diluar kamar terdengar suara seorang. "Han Toako, ada apa?" Orang itu lantas
masuk kedalam dan dia bukan lain daripada Boe Kie sendiri. Melihat tunangannya, bukan
main kagetnya, pemuda itu. Buru-buru ia membuka ikatan tambang pada leher Cie Jiak dan
meraba dadanya. Untung juga jantungnya masih berdenyut. "Masih bisa ditolong," katanya
dengan suara lega. Ia lalu mengurut punggung Cie Jiak dan mengirim Kioeyang Cin khie
kedalam tubuh si nona.
Beberapa saat kemudian Cie Jiak berteriak, "Uah!" dan lalu menangis. Ia membuka matanya
dan begitu melibat Boe Kie ia berkata "Biar aku mati! Aku lebih baik mati!" Mendadak ia
lihat bibir Boe Kie yang berdarah dan bertanda tapak gigi, darahnya lantas saja bergolak dan
dengan sekuat tenaga ia menggaplok.
Han Lim Jie terkesiap. Ia berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata membelalak. Pihak
mana yang harus diambil olehnya? Di satu pihak Kauwcoe yang dipujanya, dilain pihak calon
nyonya Kauwcoe yang juga dipandangnya seperti dewi. Selagi kebingungan mendadak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1231
pundaknya ditepuk orang. Ia menengok dan ternyata orang itu bukan lain dari pada Pheng
hweeshio. "PhengTay soe" katanya dengan suara girang. "Lekas bujuk Cioe Kouwnio!"
Pheng Eng Giok tertawa. "Bujuk apa?” tanyanya. "Mari kita keluar".
"Tidak bisa! Mereka akan berkelahi! Cioe Kouwnio bukan tandingan Kauwcoe," kata si tolol.
Pheng Eng Giok tertawa terbahak bahak. "Han Heng-tee, apakah kita berdua bisa menandingi
Kauwcoe?" tanyanya. "Aku berani pastikan dengan seorang diri Cioe Kouwnio akan
mendapat kemenangan." Seraya berkata begitu, ia memberi isyarat dengan kedipan mata dan
lalu menarik taagan Han Lim Jie.
Sementara itu, sesudah menggapelok tunangannya, Cie Jiak lalu membanting diri di
pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Boe Kie duduk di pinggir ranjang dan sambil
mengusap-usap pundak si nona, ia berkata dengan suara lemah lembut. "Sungguh mati aku
tidak berjanji dengan dia untuk mengadakan pertemuan di situ. Hal itu telah terjadi karena
kebetulan saja."
"Justa! Bohong! Aku tidak percaya!"
Boe Kie menghela napas. "Cie Jiak, apa kau tak ingat riwayat Cioe Kong dan Ong Bong?"
tanyanya. "Dalam dunia ini banyak sekali kejadian-kejadian kebetulan yang bisa
menimbulkan salah mengerti".
Si nona bangun duduk. "Kau sungguh kejam!" teriaknya. "Koencoe Nio nio-mu menghina
aku dengan sajaknya dan kau bahkan menyebut-nyebutnya lagi. Lihat bibirmu! Apa kau tak
malu?" Sehabis berkata begitu, mukanya sendiri berubah merah.
Boe Kie mengerti, bahwa ia takkan dapat membela diri. Jalan satu-satunya ia harus bersabar.
Melihat muka tunangannya yang kemerah-merahan, lehernya yang masih bertanda bekas
ikatan tambang dan matanya yang merah, di dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan. Ia
ingat, bahwa jika tidak keburu ditolong oleh Han Lim Jie, tunangannya itu pasti sudah binasa.
Mengingat begitu, dengan rasa terharu ia segera memeluk. Cie Jiak coba memberontak, tapi
Boe Kie terus memeluk erat-erat dan mencium dahinya.
Lama ia memeluk dan Cie Jiak pun tidak memberontak lagi. Tiba-tiba ia merasa jengah
sendiri. Perlahan-lahan ia melepaskan pelukannya dan berkata. "Cie Jiak, kau tidurlah. Besok
kita bicara lagi. Kalau aku berani menjustai kau lagi dan diam-diam mengadakan pertemuan
dengan Tio Kouwnio, kau boleh bunuh aku."
Si nona tidak menjawab. Ia terus menangis dengan perlahan. Makin dibujuk, ia menangis
makin keras. Akhirnya Boe Kie bersumpah, bahwa ia tidak akan berkhianat dan bahwa ia
masih tetap mencintai si nona deagan segenap jiwa.
"Aku tak mempersalahkan kau, aku hanya merasa menyesal akan nasibku yang buruk..." kata
Cie Jiak dengan suara hampir tak kedengaran.
"Diwaktu masih kecil, kita bersama-sama bernasib buruk," kata Boe Kie. "Dengan Tat coe
yang berkuasa, seluruh rakyat bernasib buruk. Nanti sesudah Tat coe terusir, kita akan hidup
beruntung."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1232
Tiba-tiba Cie Jiak mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Boe
Kie Koko, kutahu kecantikanmu terhadapku. Ku tahu ini semua karena gara-gara bujukan si
perempuan siluman... bukan kau yang berhati bercabang. Tapi ... tapi ... dengan sebenarnya
aku tak bisa menjadi isterimu. Aku ingin mati. Tapi si Han Lim Jie menolong aku. Sesudah
gagal satu kali, aku tak berani mencoba untuk kedua kali. Aku... akan mengikuti contoh
Soehoe, aku akan mencukur rambut dan menjadi pendeta. Ya! Ciang ... boenjin dari Gobie
pay memang biasanya seorang wanita yang tidak menikah.“
"Mengapa kau mempunyai pikiran begitu ? Apakah kau bergusar terhadap Tio Kouwnio
karena kau anggap Tio Kouwnio memberi petunjuk, bahwa kaulah yang sudah mencelakai
ayah angkatku ?"
"Apa kau percaya ?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau tidak percaya, baguslah. Siapapun juga tak akan percaya."
"Tapi mengapa kau terus berduka?"
Cie Jiak menggigit bibirnya. "Karena ... karena ...“ katanya. Sehabis mengatakan dua kali
perkataan "karena", ia memalingkan mukanya ke jurusan lain. "Boe Kie Koko," katanya pula
dengan suara parau. "Sebenarnya kau lebih baik tidak pernah bertemu dengan aku. Mulai dari
sekarang, kau jangan ingat-ingat lagi diriku. Kau boleh menikah dengan Tio Kouwnio atau
dengan wanita lain. Aku . . . aku tak perduli ..." Mendadak kedua kakinya menjejak
pembaringan dan tubuhnya melesat keluar dari jendela dan kemudian hinggap diatas rumah.
Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga bahwa tunangannya memiliki ilmu mengentengkan
badan yang begitu. Sesaat itu ia tidak sempat memikir panjang-panjang lagi dan segera
menguber.
Si nona kabur ke jurusan timur. Boe Kie mengejar dengan mengambil jalan mutar dan dengan
cepat, ia sudah menghadang didepan. Sebab tidak keburu menghentikan tindakannya, Cie
JiaK menubruk Boe Kie yang segera memeluknya, mereka berada di dekat sungai kecil. Boe
Kie lalu mendukung tunangannya ke sebuah batu besar di pinggir sungai. "Cie Jiak," katanya
dengan suara halus, "Suami isteri harus sama-sama senang dan sama-sama susah.
Penderitaanmu adalah penderitaanku juga. Ganjelan apa yang sedang dipikir olehmu.
Bilanglah! ... kau bilanglah..."
Sambil menyesapkan kepalanya di dada Boe Kie, si nona menangis tersedu-sedu. "Aku ... aku
...." katanya terputus-putus. "Kehormatanku sudah dirusak orang! ... Aku sudah ternoda ...
Aku ... aku sudah ... hamil! Bagaimana aku bisa menikah dengan kau?"
Pengakuan itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong. Boe Kie terpaku ia merasa kepalanya
puyeng dan matanya berkunang-kunang.
Perlahan-lahan Cie Jiak bangun berdiri. "Itulah sudah nasibku," katanya. "Kau harus bisa
melupakan aku."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1233
Boe Kie tidak menyahut. Ia menatap wajah tunangannya dengan mata membelalak. Ia tak
percaya kupingnya sendiri.
Si nona menghela napas. Ia memutar badan dan berlalu.
Boe Kie melompat dan seraya mencekal tangan tunangannya, ia bertanya dengan suara
gemetar. "Apa .... bangsat Song Ceng Soe?"
Cie Jiak mengangguk. Dengan air mata berlinang-linang ia berkata, "Aku ditotok dan aku
tidak bisa melawan ... "
Pada detik itu juga Boe Kie sudah mengambil keputusan. Ia memeluk Cie Jiak dan berkata
dengan suara halus. "Cie Jiak, itu semua bukan salahmu. Sesudah beras menjadi bubur,
jengkelpun tiada gunanya. Cie Jiak karena penderitaanmu itu, aku lebih mencintai kau, aku
lebih merasa kasihan terhadapmu. Besok kita berangkat ke Hway see dan mengumumkan
kepada saudara-saudara agamaku, bahwa kita akan segera menikah. Mengenai anak dalam
kandunganmu, anggap saja, bahwa anak itu adalah anakku sendiri. Cie Jiak, bagiku kau masih
tetap suci, kau tetap putih bersih, karena segala kejadian itu adalah diluar kemauanmu."
"Perlu apa kau menghibur aku? Aku sudah ternoda. Mana bisa aku menjadi hoe jin (isteri)
dari seorang Kauwcoe?"
"Cie Jiak, dengan berkata begitu kau memandang rendah kepadaku Thio Boe Kie seorang
laki-laki tulen. Pemandanganku berlainan dengan pemandangan orang biasa. Andai kata,
karena khilaf, kau terpeleset dan jatuh, aku masih bisa melupakan segala kesalahanmu.
Apalagi dalam hal ini, dimana bencana sudah datang diluar keinginanmu?"
Bukan main rasa berterima kasihnya Cie Jiak. "Boe Kie Koko," katanya, "apa benar kau
begitu mulia? Kukuatir kau menjustai aku."
"Kecintaanku ... kebaikanku terhadapmu, kau akan tahu dihari kemudian. Pada hakekatnya,
sekarang ini aku belum berbuat baik terhadapmu."
Si nona menangis makin sedih. "Boe Kie Ko ko ... " bisiknya, "gugurkan saja kandungan ku
dengan menggunakan obat ... "
"Tidak boleh!" kata Boe Kie. "Menggugurkan kandungan adalah perbuatan berdosa. Selain
begitu, hal itu bisa menusuk kesehatan badanmu." Waktu berkata begitu, didalam hatinya
tiba-tiba muncul perasaan sangsi. Cie Jiak berada dalam tangan Kay pang hanya kira-kira
sebulan lamanya. Apa bisa jadi dia sudah hamil? Diam diam ia memegang nadi tunangannya.
Tidak! Ia tidak mendapatkan tanda-tanda kehamilan. Tapi ia tidak mau menanya lebih terang,
Ia mahir dalam ilmu ketabiban, tapi kepandaian itu terbatas dalam bidang luka-luka dan
penyakit karena keracunan. Dalam penyakit kalangan wanita, ia tak punya banyak
pengetahuan.
"Kalau anak ini perempuan masih tak apa," kata pula CieJiak. "Tapi kalau lelaki... Jika di hari
kemudian kau menjadi hong tee (kaisar ) apakah dia harus menjadi tay coe ( putera mahkota
)? Ah! ... sebaiknya, digugurkan saja untuk menghilangkan bibit penyakit."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1234
"Cie Jiak," kata Boe Kie dengan suara kaku, "perkataan hong tee kuharap jangan disebutsebut
lagi. Aku seorang anak kampungan. Sedikitpun aku belum pernah mimpi, belum pernah
mempunyai keinginan uutuk naik ditahta kerajaan. Apabila perkataanmu didengar oleh
saudara-saudara kita mereka akan anggap aku sebagai manusia yang mengejar kekuasaan dan
hati mereka akan menjadi dingin".
"Aku bukan mau paksa kau menjadi hongtee. Tapi kalau sudah takdir, biarpun mau menolak?
Kau memperlakukan aku secara begitu mulia. Aku harus berusaha untuk membalasnya. Cioe
Cie Jiak seorang wanita lemah, tapi kalau ada kesempatan mungkin sekali aku masih bisa
memberi sedikit bantuan supaya kau menjadi kaisar. Ayahku gagal dalam usahanya dan
menemui kebinasaan. Dahulu aku menjadi kong coe ( puteri seorang kaisar ). Siapa tahu di
hari nanti aku akan menjadi seorang hong houw (permaisuri)?“
Mendengar perkataan yang sungguh-sungguh itu Boe Kie jadi tertawa. "Cie Jiak," katanya,
"kemuliaan seorang hong houw belum tentu bisa menandingi kemuliaan Tiangboenjin dari Go
bie pay. Sudahlah, hauw Nio-nio! Hamba mohon Hong houw Nio-nio sudi beristirahat!"
Awan kedukaan lantas saja membuyar dan sambil tertawa, kedua orang muda itu mengakhiri
pembicaraan mereka.
Pada keesokan paginya, sesudah membuka jalan darah pelayan yang mengaso dikolong
ranjang, Boe Kie meminta Pheng Eng Giok berdiam dikota raja tiga hari lagi untuk
mendengar-dengar Cia Soen, sedang dia sendiri bersama Cie Jiak dan Han Lim Jie lalu
berangkat ke-Hway see.
Perjalanan mereka tidak menemui rintangan. Setibanya didaerah Shoatang mereka sudah bisa
menyaksikao kekalahan tenlara Mongol yang terus mundur dengan kerusakan besar. Sedapat
mungkin Boe Kie bertiga menyingkir dari kelompok-kelompok musuh yang besar jumlahnya
dengan mengambil jalan kecil. Belakangan mereka bertemu dengan seorang serdadu Goan
yang kasar dan lalu membekuknya. Dari serdadu itu, mereka mengetahui, bahwa Han San
Tong dengan beruntun mendapat beberapa kemenangan besar dan berhasil merebut beberapa
tempat yang penting. Mereka sangat girang dan meneruskan perjalanan secepat mungkin.
Mulai perbatasan Soatang Anhoei kekuasaan sudah berada dalam tangan tentara rakyat Beng
Kauw. Diantara tentara itu ada yang mengenal Han Lim Jie dan dia buru-buru melaporkan
kepada Goan swee hoe (gedung panglima besar). Maka itulah pada waktu Boe Kie bertiga
masih berada dalam jarak tigapuluh li dari kota Hauwcoe, mereka sudah dipapak oleh Han
San Tong yang mengajak Coe Goan Ciang, Cie Tat, Siang Gie Coen, Teng Jie Thong Ho dan
lain-lain panglima. Pertemuan itu sudah tentu sangat menggirangkan semua orang.
Sesudah Han San Tong mempersembahkan secawan arak kepada Boe Kie dengan diiringi
tetabuhan perang dan sepasukan tentara yang mengenakan pakaian perang mentereng serta
bersenjata lengkap, rombongan itu masuk kedalam kota Hauwcoe. Dengan menunggang kuda,
Cie Jiak mengikuti dibelakang Boe Kie. Di sepanjang jalan ia menengok ke kanan dan ke kiri
dengan perasaan bangga. Meskipun belum menyamai arak-arakan Hong tee dan Hong hauw
dikota raja, iring-iringan itu sudah cukup memuaskan hatinya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1235
Setibanya dikota, safu demi satu para jenderal dan perwira menghadap dan memberi hormat
kepada Boe Kie. Malam itu diadakan pesta besar. Mendengar puteranya ditolong oleh sang
Kauwcoe sekali lagi secara resmi Han San Tong menghaturkan terima kasih.
Selama beberapa hari dengan beruntun datanglah Yoe Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng, In
Ya Ong, Tiat koan Hoejin Swee Poet Tek, Cioe thian, kelima Ciang kie soe dari Ngo-hengkie
dan lain-lain pemimpin Beng kauw. Mereka datang dari pelbagai tempat sebab mendengar
warta tentang itu. Beberapa hari itu tak putus-putusnya diadakan pesta-pesta untuk
menyambut para pemimpin itu. Lewat beberapa hari lagi tibalah Ceng ek Hok ong Wie It
Siauw dan Pheng Eng Giok.
Kepada Boe Kie Pheng Hweeshio melaporkan bahwa ia sama sekali tak mendengar sesuatu
tentang Cia Soen.
Waktu mendapat gilirannya, Wie It Siauw berkata, “Selagi berkelana di Hopak, aku bertemu
dengan Ciang pang Liong tauw yang sedang menjalankan tugas kurang baik bagi agama kita.
Aku lagi guyon-guyon dengannya. Waktu itu aku belum tahu, bahwa Cia Heng sudah kembali
di Tiong goan. Kalau tahu aku pasti akan menyelidiki di kalangan Kay pang karena sangat
mungkin Cia heng jatuh di tangan mereka." Boe Kie segera memberitahu bahwa Cia Soen
memang pernah ditangkap oleh Kay pang tapi kemudian bisa melarikan diri. Iapun
menuturkan segala pengalamannya dalam usaha mencari ayah angkatnya itu.
Hoan Yauw dan In Thian Cheng adalah orang-orang yang berakal budi, tapi merekapun tak
bisa menembus kabut yang meliputi hilangnya Kim mo Sai ong.
“Kita masih belum bisa meraba asal-usul nona baju kuning itu,” kata Hoan Yauw.
"Kalau kita mengusut dari nona itu, mungkin sekali kita akan berhasil dalam usaha mencari
Ceng heng.
Tapi siapakah yang menaruh tanda-tanda obor dari Louw Liong Kauwcoe mengejar sampai di
Louw liong lagi?” tanya In Thian Cheng. "Bisa jadi orang itu mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan hilangnya Cia heng."
Diantara pemimpin-pemimpin Tjeng Kauw terdapat banyak yang berpengalaman luas. Tapi
tidak seorangpun yang bisa menebak siapa adanya si baju kuning. Mereka hanya bisa
membujuk Boe Kie dengan mengatakan bahwa ditinjau dari sepak-terjangnya si baju kuning
sama sekali tidak mengandung niat kurang baik.
Boe Kie pun tidak berdaya. Ia hanya bisa memerintahkan sejumlah anggota Ngo heng kie
pergi ke berbagai tempat untuk mengadakan penyelidikan.
Dalam beberapa perternpuran, biarpun mendapat kemenangan, tentara Beng kauw menderita
juga kerusakan yang tidak kecil. Maka itu mereka memerlukan waktu dua tiga bulan untuk
memperbaiki apa yang rusak, mengumpulkan serdadu baru dan mengaso.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu Pheng Eng Giok turut menyaksikan percobaan
membunuh diri dari Cioe Cie Jiak. Meskipun tak tahu latar belakangnya, ia mengerti, bahwa
diantara pemuda dan pemudi yang sedang bercintaan memang sering terjadi gelombang atau
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1236
ribut-ribut, Disamping itu, HoanYauw dan beberapa orang lain juga tahu adanya perhubungan
yang agak luar biasa diantara Boe Kie dan Tio beng.
Apabila Kauwcoe mereka sampai menikah dengan seorang puteri Mongol, maka kejadian ini
sudah tentu akan memberi akibat buruk bagi usaha menggulingkan pemerintahan Goan. Maka
itulah, sesudah berdamai, mereka menarik kesimpulan, bahwa jalan yang paling baik adalah
membujuk Boe Kie supaya melangsungkan upacara pernikahan dengan Cie Jiak secepat
mungkin. Mereka menganggap bahwa sekarang adalah waktu yang paling tepat, karena
peperangan justeru sedang ditunda.
Waktu mereka mengajukan usul, Boe Kie lantas saja mengiakan. In Thian Ceng lantas saja
mencari hari dan segera ditetapkan, bahwa hari pernikahan Boe Kie dan Cie Jiak jatuh pada
Sha gwee Cap-go (Bulan tiga tanggal 15).
Tak usah dikatakan lagi, seluruh anggota Beng kauw bergirang dan repot mempersiapkan
segala sesuatu untuk pesta pernikahan itu.
Pada waktu itu nama Beng kauw telah menggetarkan seluruh Tiongkok. Disebelah timur, Han
San Tong menduduki kota-kota penting di wilayah Hway-see. Disebelah barat, Cie Coen Hoei
telah mengalahkan tentera Mongol dalam pertempuran-pertempuran di sebelah utara Ouwpak
dan selatan Holam. Maka itulah, begitu lekas warta tentang pernikahan Thio Kauw coe
disiarkan, segera orang-orang gagah dari Rimba persilatan mulai datang - kian lama makin
banyak, sehingga seolah-olah melimpahnya air banjir. Koen loen pay, Kong tong pay dan
beberapa partai lain, yang dikenal sebagai partai lurus hati, sebenarnya tidak begitu akur
dengan Beng kauw. Tetapi sesudah tokoh-tokohnya ditolong Boe Kie di Bin hoat sie, partaipartai
tersebut rata-rata berhutang budi.
Disamping itu, Cioe Cie Jiak adalah Ciangboenjin dari Go-bie-pay yang mempunyai
kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan. Walau pun tidak datang sendiri, para ciang-boenjin
partai-partai itu mengirim wakil ke Hauw cioe untuk membawa barang antaran. Thio Sam
hong sendiri tidak bisa datang. Sebagai bingkisan, orang tua itu menulis empat huruf "Keejie-,
Kee-hoe," (Suami isteri yang baik ) diatas selembar sutera. Sutera itu bersama jilid kitab
Thay Kek-koen yang ditulis sendiri, diserahkan kepada Song Wan Kiauw. Jie Lian Cioe dan
In Lie Heng yang juga mendapat tugas untuk pergi ke Hauw coe guna memberi selamat dan
doa restu kepada sepasang mempelai itu. Waktu itu Yo Poet Hwie sudah menikah dengan In
Lie Heng dan ia mengikut ke Hauwcioe, begitu bertemu, dengan girang Boe Kie berseru,
"Lok-Soe-cim!“
Muka Yo Poet Hwie lantas saja berubah merah. Ia menarik tangan Boe Kie dan lalu
menuturkan segala pengalamannya semenjak meraka berpisahan. Ia girang tercampur terharu.
Sebab kuatir Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe menggunakan kesempatan itu untuk
mencelakai Thay soepeknya, maka Boe Kie lalu memerintahkan Wie It Siauw pergi ke Boetong
san sebagai wakilnya untuk menghaturkan terima kasih kepada Thio Sam Hong.
Kepada Ceng ek Hok ong, Boe Kie menceritakan sapak terjang Song Ceng Soe yang sudah
membinasakan Boh Seng Kok dan berniat untuk mencelakai Thio Sam Hong. Ia memesan,
supaya sesudah bertemu dengan Thio Sam Hong, Wie It Siauw harus menemani Jie Thay
Giam dan Thio Siong Kee untuk berjaga-jaga terhadap tipu muslihat Tan Yoe Liang. Sesudah
Song Wan Kjuuw bertiga kembali di Boe tong san, barulah Wie It Siauw pulang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1237
Mendengar penuturan itu, paras muka Ceng ek Hok ong berubah merah padam. "Atas nasihat
Kauwcoe, Wie It Siauw tidak berani mengisap lagi darah manusia," katanya dengan suara
gusar. "Tapi jika bertemu dengan kedua penjahat itu, aku pasti akan mengisap habis darah
mereka."
"Terhadap Tan Yoe Liang, Wie heng boleh berbuat sesuka hati," kata Boe Kie. "Tapi Song
Ceng Soe adalah putera tunggal Song Toasoepeh dan ia selalu dianggap sebagai calon
ciangboenjin dari Boe tong pay. Kalau dia berdosa, biarlah Boe tong pay sendiri yang
menghukumnya. Dengan memandang muka Song Toa soepeh, Wie heng tidak boleh
melanggar selembar rambutpun." Wie It Siauw mengiakan dan segera berpamitan.
Pada Sha gwee Ceecap ( bulan tiga tanggal sepuluh ), sejumlah murid wanita Go-bie tiba di
Hauwcioe dengan membawa antaran. Teng Bin Koen sendiri tidak muncul.
Lima hari kemudian tibalah hari pernikahan. Pagi-pagi sekali orang sudah berdandan dan
mengenakan pakaian yang sebaik-baiknya. Upacara sembahyang kepada Bumi dan Langit itu
segera akan dilakukan di gedung hartawan terkaya di kota Hauwcioe, Gedung itu dihias
seindah-indahnya. Yang menjadi cu hun (yang memegang peranan orang tua) pengantin lelaki
adalah In Thian Ceng, sedang Siang Gie Coen menjadi cu hun pengantin perempuan. Tiat
koan Toojin mendapat tugas untuk menjaga keselamatan kota Hauw cioe selama pesta. Guna
menjaga merembasnya musuh, dia harus mengatur penjagaan diseluruh kota yang dilakukan
oleh sejumlah murid Beng kauw pilihan. Diluar kota dijaga oleh Tong Ho yang memimpin
satu pasukan tentara. Pagi itu sebagai tamu terakhir datang wakil-wakil Siauw Lim pay dan
Hwa san yang membawa barang antaran.
(Begitu tiba waktu Sia sie ( antara jam tiga dan lima sore ), terdengarlah bunyi meriam
sebagai tanda dimulainya upacara pernikahan.
Yo Siauw dan Hoan Yauw mengundang semua tamu masuk di toa-thia ( ruangan besar). Tak
lama kemudian, diapit oleh In Lie Heng dan Han Lim Jie, Boe Kie keluar dengan diiring
suara tetabuhan dan hampir berbareng, Cie Jiak juga masuk ke ruangan upacara dengan
dikawani oleh delapan murid wanita Go bie. Kedua mempelai lantas saja berdiri berendeng.
"Sembahyang kepada langit!" teriak pemimpin upacara.
Baru saja Boe Kie dan Cie Jiak mau berlutut tiba-tiba diluar pintu terdengar bentakan yang
merdu, "Tahan !” Di lain detik, seorang wanita yang mengenakan pakaian hijau muda sudah
berdiri ditengah-tengah ruangan. Wanita itu bukan lain daripada Tio Beng.
Kejadian yang tidak diduga-duga itu mengejutkan semua orang. Tokoh-tokoh Beng kauw dan
berbagai partai persilatan yang sudah kenyang makan asam garam dunia Kang ouw, tidak
pernah mimpi, bahwa Tio Beng berani datang seorang diri ke tempat ini. Beberapa orang
yang beradat berangasan lantas saja bergerak untuk menyerang.
"Tahan dulu!" bentak Yo Siauw. Sambil menyoja para tamu, ia berkata pula. "Hari ini adalah
hari paling beruntung dari Kauwcoe kami dan Ciangboenjin Go bie-pay. Tio-Kouwnio datang
berkunjung dan beliau adalah tamu kami. Dengan memandang muka Go-bie-pay dan Beng
kauw, kami mohon kalian suka melupakan ganjalan lama untuk sementara waktu jangan
melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap Tio Kouwnio." Sehabis berkata begitu, ia
memberi isyarat kepada Swee Poet Tek dan Pheng Eng Giok dengan kedipan mata. Kedua
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1238
kawan itu mengerti maksudnya. Mereka segera meninggalkan ruangan itu dan menyelidiki
jumlah jago-jago yang mungkin dibawa Tio Beng.
"Tio Kouwnio, kau duduklah sambil menyaksikan pernikahan," kata Yo Siauw pula.
"Sesudah upacara, kami akan mengundang Tio-Kouwnio untuk turut minum arak
kegirangan."
Tio Beng tersenyum. "Aku hanya ingin bicara beberapa patah dengan Thio Kauwcoe,"
katanya. "Sehabis bicara, aku akan segera berlalu."
"Sesudah upacara, nona boleh bicara." kata Yo Siauw.
"Sesudah upacara, sudah terlambat." jawabnya.
Yo Siauw dan Hoan Yauw saling mengawasi. Mereka mengerti, bahwa Tio Beng sengaja
datang untuk mengacau dan biar bagaimana pun jua, mereka harus mencegah, supaya pesta
itu tidak menjadi gagal. Yo Siauw lantas saja maju dua tindak. "Tio Kouwnio," katanya
dengan suara menyeramkan. "Sebagai tuan rumah kami tidak ingin bertindak secara
melanggar kepantasan dan kami mengharap, bahwa sebagai tamu, Tio Kouwnio juga bisa
menghormati diri sendiri.” Ia telah mengambil keputusan, bahwa jika Tio Beng rewel, ia akan
menotok jalan darahnya.
Si nona menengok kepada Hoan Yauw dan berkata, "Kauw Taysoe orang mau turun tangan
terhadapku. Apa kau tak menolong ?"
"Koencoe," kata bekas orang sebawahan itu. "Di dalam dunia sering terjadi kejadian yang tak
cocok dengan kemauan kita. Dalam hal ini kuharap Koencoe tak memaksakan sesuatu yang
tak bisa dipaksakan lagi."
Si nona tertawa manis. "Tapi aku mau paksa juga," katanya. Ia berpaling kearah Boe Kie dan
berkata pula. "Thio Boe Kie, kau adalah pemimpin Beng kauw. Sekarang aku mau tanya.
Apakah perkataan seorang lelaki sejati tetap dipertahankan atau tidak?"
Begitu Tio Beng muncul, Boe Kie sangat berkuatir. Ia hanya berdoa supaya Yo Siauw
berhasil membujuknya supaya dia lantas berlalu. Mendengar pertanyaan itu jantungnya
memukul keras. Ia tak dapat menjawab lain dari pada "Tetap dipertahankan."
“Hari itu,” kata Tio Beng, ketika aku menolong jiwa In Lioksiokmu, kau telah berjanji akan
melakukan, tiga rupa pekerjaan untukku. Bukankah benar begitu?"
"Benar. Kau ingin pinjam lihat To liong to. Kau bukan saja sudah melihat, kau bahkan sudah
mencuri golok mustika itu."
Selama beberapa puluh tahun jago-jago Kangouw gagal dalam usaha mencari golok mustika
itu. Maka itu, begitu mendengar bahwa To liong to sudah jatuh ke tangan Tio Beng, mereka
lantas saja menjadi gempar.
"Dimana adanya To liong to hanya diketahui oleh Kim mo Say ong Cia Taihiap," kata Tio
Beng. "Kau boleh tanya ayah angkatmu sendiri
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1239
Kembalinya Cia Soen ke Tionggoan belum diketahui oleh banyak orang. Keterangan Tio
Beng sangat mengejutkan dan suara ramai-ramai lantas saja berhenti.
"Siang malam aku memikiri dimana adanya Giehoe,” kata Boe Kie. "Jika kau tahu, aku
mohon kau sudi memberitahukan kepadaku."
Si nona tertawa. '"Kau sudah berjanji akan melakukan tiga pekerjaan, asal saja tidak
bertentangan dengan kesatriaan dalam Rimba Persilatan," katanya. "Mengenai permintaan
untuk pinjam lihat To liong to dapat dikatakan sudah dipenuhi olehmu. Walaupun golok itu
belakangan hilang, aku tak bisa mempersalahkan kau. Sekarang permintaanku yang kedua.
Thio Boe Kie di hadapan para orang gagah kau tidak boleh hilang kepercayaan."
"Pekerjaan apa yang harus aku lakukan?" tanya Boe Kie.
"Tio Kouwnio," sela Yo Siauw. "Mengenai janji Kauwcoe kami yang bersyarat itu, bukan
saja Kauwcoe kami sendiri saja, tapi juga seluruh anggauta Bengkauw turut memikul
tanggungan untuk menunaikannya. Tapi sekarang adalah saat yang sangat penting, saat
bersembahyang kepada langit dan bumi dari Kauwcoe kami dengan pengantinnya. Maka itu,
aku harap soal ini ditunda untuk sementara waktu dan janganlah Kouwnio merintangi upacara
yang sedang berlangsung." Kata-kata yang terakhir itu diucapkan dengan nada keras.
Tapi Tio Beng tenang-tenang saja. Ia seolah-olah tidak memandang sebelah mata kepada
Kong beng Co soe yang tersohor, "Pekerjaan yang aku ingin berikan kepada Kauwcoe-mu
terlebih penting lagi dan tidak boleh ditunda,” katanya dengan suara ogah-ogahan. Tiba-tiba
ia maju beberapa tindak dan berbisik di kuping Boe Kie "Permintaanku yang kedua ialah hari
ini kau tak boleh menikah dengan Cioe Kouwnio !"
BoeKie tertegun. "Apa?" ia menegas.
"Itulah pekerjaanmu yang kedua," jawabnya "Yang ketiga aku akan berikan belakangan."
Biarpun bisik-bisik, setiap perkataan nona Tio didengar tegas oleh Cie Jiak, Song Wan
Kiauw, In Lie Heng dan delapan murid Go bie yang mengiring pengantin perempuan. Mereka
semua terkejut dan paras muka mereka lantas saja berubah. Kedelapan murid Go-bie itu lantas
saja siap sedia untuk menyerang, jika nona Tio berani menghina Ciang boen-jin mereka.
"Permintaanmu tidak bisa diturut olehku,'' kata Boe Kie. "Kuharap kau suka memaafkan."
"Apa kau mau membatalkan janjimu sendiri?"
jilid 68______________________
“Aku berjanji akan melakukan tiga pekerjaan yang diminta olehmu asal saja pekerjaan itu
tidak melanggar ‘hiap gie’. Aku dan Cioe Kouwnio telah setuju untuk menjadi suami istri.
Apabila aku menurut kemauanmu, maka aku melanggar ‘gie’”.
Tio Beng tertawa dingin, “Kalau kau menikah dengan dia, berarti kau melakukan perbuatan
“put-hauw put-gie”, katanya. “Pada waktu arak-arakan di Hong-shia, apakah kau tidak lihat
gambaran cara bagaimana ayah angkatmu diakali orang?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1240
Boe Kie meluap darahnya, “Tio Kouwnio!” bentaknya. “Hari ini aku menghormati kau dan
mengalah terhadapmu karena kau adalah tamuku. Tapi kalau kau terus ngaco-belo, janganlah
kau salahkan aku.”
Si nona tidak menggubris ancaman itu, “Apa benar kau tidak mau melakukan pekerjaan kedua
itu?” tanyanya dengan suara tenang.
Boe Kie adalah orang yang berhati lemah. Tiba-tiba saja ia ingat bahwa sebagai seorang
koencoe yang mempunyai kedudukan tinggai, Tio Beng rela memperlihatkan muka sendiri
dan meminta ia membatalkan pernikahan. Hal ini pada hakikatnya merupakan satu bukti dari
rasa cinta yang tak terbalas. Mengingat itu tanpa terasa ia berkata dengan suara lemah lembut.
“Tio Kouwnio…urusan sudah jadi begini…kau mundurlah. Thio Boe Kie adalah seorang
anak kampong. Bagaimana cara…bagaimana cara…,” ia tidak dapat meneruskan
perkataannya.
“Baiklah,” kata si nona, “Tapi lihat! Apa ini?” Ia membuka tangan kanannya dan
menyodorkannya ke hadapan Boe Kie. Begitu melihat, Boe Kie terkejut. Dengan badan
gemetaran ia berkata dengan suara terputus-putus, “Ah!...ini….”
Tio Beng buru-buru menutup lagi telapak tangannya dan memasukkan benda itu ke dalam
sakunya. “Sekarang, terserah kepada kau, apa kau suka melakukan pekerjaan kedua itu atau
tidak,” katanya seraya memuta badan dan berjalan keluar.
Benda apa yang dilihat Boe Kie dan mengapa ia begitu kaget, tidak diketahui oleh orang lain.
Cie Jiak sendiri yang berdiri berendeng tidak bisa melihatnya karena mukanya terhalang sutra
merah.
“Kalau kau mau, kau boleh ikut aku,” kata Tio Beng sambil terus berjalan.
“Tio Kouwnio!...tunggu dulu…segala hal dapat didamaikan.”
Tapi si nona tidak meladeni.
Tiba-tiba Boe Kie memburu. “Baiklah!” teriaknya. “Aku setuju untuk menunda pernikahan!”
Tio Beng menghentikan langkahnya.
“Kalau begitu ikut aku!” katanya.
Boe Kie maju dua langkah dan berhenti lagi. Ia menengok ke arah Cie Jiak dan mengawasi
nona Cioe dengan sorot mata menyesal dan meminta maaf. Ia kelihatannya seperti mau
memberi penjelasan tapi Tio Beng sudah berjalan keluar dengan langkah lebar. Keadaan
sangat mendesak dan ia harus mengambil keputusan cepat. Di lain detik sambil menggertak
gigi ia mengejar Tio Beng.
Baru saja ia memburu sampai di ambang pintu, disampingnya mendadak berkelabat bayangan
merah dan orang lain sudah menerjang Tio Beng dari belakang. Hampir bersamaan dari
bawah tangan baju yang berwarna merah menyambar lima jari tangan ke batok kepala si nona
Tio. Serangan itu adalah serangan yang membinasakan yang dikirim secepat kilat. Yang
menyerang tidak lain adalah pengantin perempuan.
“Sungguh hebat! Dari mana Cie Jiak mendapat pukulan itu?” pikir Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1241
Biarpun sudah mempelajari macam-macam ilmu silat, Tio Beng tidak berdaya lagi. Pada detik
yang sangat berbahaya tanpa berpikir lagi Boe Kie melompat dan meraih pergelangan tangan
Cie Jiak. Nona Cioe menyikut dengan sikut kirinya. “Duk!”, sikut it mampir tepat di dada Boe
Kie. Walaupun dilindungi Kioe-yang Sin-kang, Boe Kie terhuyung dan darahnya bergolak,
sebab tenaga benturan itu bukan main kuatnya. Melihat pemimpinnya menghadapi bahaya,
Hoan Yauw melompat dan mendorong pundak Cie Jiak. Dengan gerakan luar biasa si nona
ngebut pergelangan tangan Hoan Yauw dengan jari-jari tangannya dan segera Hoan Yauw
separuh badannya merasa kesemutan sehingga ia tidak bisa menyerang lagi.
Dengan adanya rintangan itu, Tio Beng sudah maju setengah langkah sehingga batok
kepalanya lolos dari pukulan. Tiba-tiba ia merasakan sakit hebat karena lima jari tangan Cie
Jiak sudah menancap di pundak kanannya di dekat leher.
Sambil mengeluarkan teriakan kaget, Boe Kie mendorong calon istrinya. Dengan telapak
tangan kiri Cie Jiak membabat pergelangan tangan Boe Kie dan kemudian dengan tubuh tidak
bergerak ia mengirim pukulan berantai, semuanya delapan pukulan. Mau tak mau Boe Kie
melindungi diri dengan Kian-koen Tay lo-ie.
Semua kejadian itu sudah terjadi dalam sekejap mata, seluruh ruangan pesta sunyi senyap dan
jago-jago Rimba Persilatan menyaksikannya. Sambil menahan nafas Tio Beng roboh dan
darah mengucur dari lima lubang di pundaknya.
Dilain saat Cie Jiak menghentikan serangannya. “Thio Boe Kie!” bentaknya, “Sekarang kau
benar-benar sudah mabuk oleh perempuan siluman itu dan kau menyia-nyiakan aku!”
“Cie Jiak!” kata Boe Kie dengan suara memohon, “Kuharap kau bisa membayangkan
penderitaanku. Menikah dengan kau sedikitpun Thio Boe Kie tidak merasa menyesal. Aku
hanya mohon supaya pernikahan ini ditangguhkan untuk sementara waktu.”
“Sesudah pergi, kau jangan kembali lagi,” kata Cie Jiak dengan suara dingin.
Sementara itu Tio Beng sudah bangun berdiri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia berjalan
keluar dengan darah mengucur di pundaknya.
Orang-orang gagah yang hadir di situ sudah kenyang menyaksikan kejadian-kejadian luar
biasa dalam dunia ini, tapi peristiwa berdarah semacam itu, saat dua jago perempuan berebut
suami adalah pengalaman yang pertama kali.
Tiba-tiba Boe Kie membanting sebelah kakinya, “Cie Jiak!” katanya dengan suara parau.
“Budi Giehoe terhadapku besar bagaikan gunung…kecintaannya mendalam seperti
lautan…Oh Cie Jiak! Kuharap kau mengerti perasaanku….” Sehabis berkata begitu ia
menguber Tio Beng. In Thian-Ceng, Yo Siauw, Song wan Siauw Song Wang Kiauw In Lie
Heng dan lain-lain yang tak tahu latar belakang kejadian itu tidak berani bergerak.
Saat semua orang kebingungan, tiba-tiba Cie Jiak merobek sutra merah yang menutup
kepalanya. “Tuan-tuan, lihatlah!” teriaknya dengan suara nyaring. “Dia sudah mengkhianati
aku. Mulai hari ini, Cioe Cie Jiak dan orang she Thio itu putus hubungan.” Seraya berkata
begitu, ia mengangkat coe koa dari kepalanya, mencengkeram segenggam mutiara dan
melemparkan cu khoa itu, kemudian sambil menggertakkan gigi dengan kedua tangannya ia
meremas mutiara itu menjadi hancur seperti tepung dan jatuh ke lantai. “Jika aku tidak bisa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1242
mencuci hinaan di hari ini, biarlah badanku hancur seperti mutiara ini!” katanya dengan
bernafsu. (Coe koa topi perhiasan bertata mutiara)
Baru saja In Thian Ceng dan lain-lain mau mencoba membujuk supaya ia bersabar dan
menunggu kembalinya Boe Kie yang tentu akan memberi penjelasan, Cie Jiak sudah merobek
pakaian pengantinnya dan melontarkannya ke lantai, kemudian dengan gerakan yang indah ia
melompat ke atas genteng. In Thian Ceng dan kawan-kawannya mengejar tapi si nona sudah
lari jauh ke arah Timur. Semua orang merasa kagum karena ilmu ringan tubuh Cie Jiak
ternyata tak berada di bawah Ceng ek Hok ong Wie It Siauw. Karena tak sanggup mengejar,
Yo Siauw dan yang lainnya terpaksa kembali ke toathia.
Demikianlah karena pengacauan Tio Beng, pesta yang meriah itu berakhir secara
menyedihkan dan memalukan Beng Kauw. Para tamu yang datang dari jauh tentu saja merasa
kecewa dan mereka mencoba menebak benda apa yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe
Kie. Dari perkataan Boe Kie, mereka menebak bahwa benda itu tentu mempunyai hubungan
dengan Cia Soen tapi tak seorangpun bisa menebak tepat teka-teki itu.
Sesudah berdamai, delapan murid Go Bie segera berpamitan. In Thian Ceng menghaturkan
maaf dan mengatakan bahwa ia akan membawa Boe Kie ke puncak Go Bie untuk sekali lagi
minta maaf dan kemudaian melangsungkan upacara pernikahan yang tertunda itu. Ia
menyatakan harapannya agar persahabatan antara Go Bie pay dan Beng Kauw tak menjadi
terganggu. Para murid Go Bie memberi jawaban samar-samar yang penuh rasa dongkol dan
mereka segera pergi untuk mencari Cie Jiak.
Benda apakah yang diperlihatkan Tio Beng kepada Boe Kie?
Benda itu adalah rambut manusia yang berwarna kuning emas. Begitu melihat Boe Kie segera
mengenali bahwa rambut itu adalah rambut ayah angkatnya. Warna kuning rambut itu
berbeda dari warna kuning orang asing adalah akibat dari latihan Lweekang yang luar biasa.
Dapatlah dimengerti bahwa begitu melihat rambut tersebut Boe Kie segera menarik
kesimpulan bahwa ayah angkatnya jatuh ke tangan Tio Beng atau setidak-tidaknya si nona
tahu di mana adanya sang Giehoe.
Kecintaan Boe Kie terhadap Cia Soen tak berbeda dari kecintaan seorang putra kandung
terhadap ayah kandungnya sendiri. Baginya di dalam dunia ini tak ada hal yang lebih penting
daripada keselamatan orang tua itu. Ia kuatir bahwa jika ia melangsungkan upacara
pernikahan dengan Cie Jiak, dalam kegusarannya Tio Beng sgera membunuh atau menyakiti
Giehoenya. Di hadapan para tamu ia tak bisa memberi penjelasan yang jelas. Di antara tamutamu
itu kecuali orang-orang Beng Kauw dan Boe Tong pay sebagian besar ingin mencari Cia
Soen baik untuk membalas sakit hati maupun untuk merebut To Liong To. Maka itu ia merasa
sangat berdosa terhadap Cie Jiak demi keselamatan sang ayah angkat, ia tak dapat berbuat lain
daripada menyusul Tio Beng.
Begitu keluar dari gedung pesta, ia lihat Tio Beng lari-lari dengan darah menetes di sepanjang
jalan. Ia mengempos tenaga dan mempercepat langkahnya. Beberapa saat kemudian ia
menghadang di depan si nona. “Tio Kauwnio,” katanya, “Janganlah kau memaksa aku untuk
menjadi manusia tak berbudi yang akan di tertawai oleh segenap orang gagah.”
Tio Beng terluka sangat berat. Dengan memusatkan seluruh tenaganya, ia bisa juga
mempertahankan diri. Begitulah melihat Boe Kie ia berkata dengan suara parau.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1243
“Kau!...kau…” Karena mengeluarkan suara, pemusatan tenaganya buyar dan sesaat itu juga,
ia jatuh terguling.
Boe Kie membungkuk dan bertanya, “Di mana Giehoe-ku?”
“Bawalah aku untuk menolongnya,” jawab si nona, “Aku akan menunjuk jalan.”
“Apa jiwanya terancam?” tanya Boe Kie pula.
“Giehoe-mu…dia…jatuh ke tangan Seng Koen!...,” jawabnya.
Mendengar nama Seng Koen, hati Boe Kie mencelos. Ia sudah tahu bahwa dalam
pertempuran di Kong Beng teng, manusia jahat itu hanya berlagak mati. Manusia itu
berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. Dengan ayah angkatnya, ia mempunyai
permusuhan hebat. Jika sang Giehoe jatuh ke dalam tangannya, dapatlah dibayangkan betapa
hebatnya bahaya yang mengancam jiwa orang tua itu.
“Seorang diri, kau tak…tak…akan bisa menolong,” kata Tio Beng pula, “Panggillah Yo
Siauw…dan…yang lain-lain….” Seraya berkata begitu, ia menuding ke jurusan Barat. Tibatiba
kepalanya terkulai dan ia pingsan.
Hati Boe Kie seperti dibakar. Dengan tergesa-gesa ia merobek tangan bajunya yang lalu
digunakan untuk membalut luka si nona Tio. Sesudah itu ia menggapai seorang anggota Beng
Kauw yang kebetulan lewat dijalanan itu. “Lekas kau beritahukan kepada Yo Co-soe bahwa
dengan membawa sejumlah pembantu, ia harus segera menyusul aku ke jurusan barat,”
pesannya. “Ada tugas sangat penting yang perlu dikerjakan segera.” Orang itu membungkuk
dan segera berlalu dengan berlari-lari untuk menyampaikan pesan tersebut.
Sedikitpun Boe Kie tidak mau membuang-buang waktu. Dengan mendukung Tio Beng itu ia
segera lari ke pintu kota dan minta segera disediakan seekor kuda pilihan. Perwira yang
menjaga pintu tidak berani membangkang dan begitu kuda dituntun keluar, Boe Kie segera
melompat ke punggungnya dan mengaburkan ke jurusan barat.
Sesudah melalu belasan lie, tiba-tiba Boe Kie merasa bahwa badan Tio Beng yang
didukungnya makin lama menjadi semakin dingin, ia memegang nadinya yang ternyata sudah
lemah. Ia kaget dan segera memeriksa luka si nona. Dengan hati mencelos ia lihat lima lubang
yang sudah warna ungu hitam, suatu tanda bahwa nona Tio kena racun yang sangat hebat.
Sebagai murid Go Bie, bagaimana Cie Jiak bisa memiliki ilmu yang begitu beracun?”
tanyanya di dalam hati. “Pukulannya yang hebat luar biasa bahkan lebih hebat daripada Biat
Coat Soethay sendiri. Sungguh mengherankan.” Ia tahu bahwa jika tidak segera mendapat
pertolongan, Tio Beng akan binasa. Tapi ia sendiri tidak membawa obat pemunah racun.
Sesudah berpikir beberapa saat, ia melompat turun dari punggung kuda dan dengan
mendukung si nona, ia segera mendaki sebuah gunung yang terletak di sebelah kiri. Sambil
memanjat dai memperhatikan rumput-rumput untuk mencari daun obat yang bisa
memunahkan racun. Tapi sesudah beberapa saat, sepohonpun tidak dapat ditemukan olehnya.
Dengan bingung ia berjalan terus. Mulutnya komat-kamit memohon pertolongan Tuhan. Tibatiba
hatinya lega sebab di sebelah kanan di dekat sebuah air tumpah, ia lihat empat lima pohon
yang kembangnya merah dan kembang itu obat pemunah racun. Cepat-cepat ia meletakkan
Tio Beng di tanah. Sesudah melompati dua selokan, ia tiba di sisi tumpahan. Tapi baru saja ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1244
membungkuk untuk memetik bunga merah itu, dibelakangnya terdengar bentakan seorang
wanita, “Tahan!”
Ia menengok dan melihat tiga wanita yang berdiri di seberang selokan. Ia mengenali bahwa
salah seorang di antaranya yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah pendeta,
adalah Ceng hoe, murid Go Bie pay. Dua yang lain, yang berusia muda dan mengenakan baju
hitam juga murid Go Bie tapi ia tak tahu namanya.
Dengan tangan memegang pedang terhunus, Ceng hoei membentak, “Thio Kauwcoe! Ada apa
kau datang ke sini?”
Boe Kie tidak segera menyahut. Ia terus memetik tiga kuntum bunga merah yang segera
dimasukkan ke dalam mulutnya. “Ceng hoei Soethay,” katanya sambil mengunyah kembang,
“Apa kau membawa Hoed kong Kie tok tan?” Hoed kong Kie tok tan adalah pil obat Go Bie
pay untuk memunahkan segala jenis racun dan mempunyai khasiat lebih besar daripada bunga
yang sedang dikunyahnya. Ia tahu bahwa kalau turun gunung, hampir setiap murid Go Bie
pay selalu membawa obat mujarab itu.
“Perlu apa kau bertanya!” kata Ceng hoei.
“Tio Kouwnio kena racun hebat dan aku mohon supaya Soethay sudi menghadiahkan tiga
butir untuk mengobatinya,” jawabnya.
Ceng hoei mendelik. “Perempuan siluman itu adalah penjahat yang sudah membinasakan
guruku,” katanya dengan suara keras. “Semua murid Go Bie ingin merobek kulitnya dan
makan dagingnya. Hm!...Mereka kena racun yang sangat hebat? Itulah akibat dosanya sudah
melewati takaran. Thio Kauwcoe, aku ingin tanya. Hari ini adalah pernikahanmu dengan
Ciangboen jin kami. Mengapa begitu dibujuk perempuan siluman itu, kau…kau
meninggalkan ruang pesta? Di mana kau mau menempatkan muka Ciangboen jin kami, di
mana kau menempatkan Go Bie pay kami?”
Boe Kie menyoja. “Ceng hoei Soethay,” katanya, “Aku perlu segera menolong jiwa manusia,
aku sangat menderita tapi tak bisa menceritakan penderitaanku sekarang. Aku mohon kalian
sudi memberi maaf. Kecintaanku pada Cie Jiak tak akan berubah sampai mati. Langit dan
bumi menjadi saksinya.”
Ceng hoei hanya menafsirkan bahwa orang yang mau ditolong adalah Tio Beng. Ia tak tahu
bahwa selain Tio Beng, Boe Kie pun perlu menolong Cia Soen. Maka itu ia jadi lebih gusar.
“Biarpun kau merasa perlu untuk menolong dia sepantasnya kau harus menunggu sampai
selesai upacara pernikahan,” katanya, “Ha! Kau pandai sekali bersilat lidah!”
Karena pengobatan atas diri Tio Beng tidak boleh tertunda, Boe Kie tidak mau banyak bicara
lagi. Ia melompat mendekati nona Tio, merobek baju di bagian pundak dan lalu menaruh
bunga merah yang sudah dikunyah di atas luka. Ia menyadari bahwa daging di sekitar luka
sudah bengkak dan berwarna lebih hitam. Ia kaget dan sangat kuatir, kalau nona itu sampai
binasa di samping rasa duka dan menyesal, iapun tak akan bisa mencari ayah angkatnya lagi.
Tanpa petunjuk Tio Beng, dia mau mencari di mana di dunia ini? Mungkin ayah angkatnya
itu akan binasa di tangan Seng Koen.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1245
Selagi ia membalut luka dengan tangan gemetar, tiba-tiba ia merasakan sambaran angin dan
sebatang pedang menikam dirinya. Tanpa menoleh, Boe Kie menyambut dengan tangan
kirinya…tiga jari tangannya mendorong badan pedang dan serangan itu dapat dipunahkan.
Dalam menangkis serangan yang dikirim oleh Ceng hoei, Boe Kie menggunakan ilmu yang
istimewa. Kalau perhitungannya salah sedikit saja, tiga jari tangannya akan putus. Jangankan
tanpa melihat, dengan berhadap-hadapan saja seorang ahli silat biasa tak akan berani
menggunakan pukulan itu.
Sesudah pedangnya terdorong, Ceng hoei segera mengerahkan tenaga pukulan untuk
mengirim serangan susulan. Diluar dugaan tenaga dorongan Boe Kie belum habis dan dirinya
sendiri turut terdorong sehingga ia terhuyung beberapa langkah.
Ia tahu bahwa ia bukan tandingan Boe Kie. Tapi, karena merasa bahwa hari ini Go Bie pay
sudah mendapat hinaan besar dan juga karena Tio Beng adalah musuh besar partainya maka
ia tidak mau menyerah begitu saja. Musuh besar itu sudah kena racun hebat dan jika ia bisa
menghalang-halangi pertolongan Boe Kie, ia mungkin akan bisa membalas sakit hati tanpa
menggunakan pedang. Berpikir begitu ia segera berteriak, “Kwa Soemoay, Auw Soemoay,
majulah!”
Kedua gadis remaja itu segera menghunus pedang dan menerjang.
Boe Kie tertawa getir. “Dengan kalian bertiga aku sama sekali tidak punya permusuhan,”
katanya. “Mengapa kalian mendesak begitu hebat?” Sambil berkata begitu ia menangkis
semua serangan dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya terus membalut luka.
Ketiga wanita itu menyerang sehebat-hebatnya tapi dengan Kian koen Tay lo ie Sin kang, Boe
Kie berhasil menyelamatkan dirinya dari setiap serangan. Tiba-tiba Ceng hoei membentak
keras dan pedangnya menikam Tio Beng. “Ah!” seru Boe Kie sambil menyentil badan pedang
dengan jarinya. “Trang!” Ceng hoei merasa telapak tangannya terbeset dan pedangnya
terpental ke tengah udara kemudian patah dua dan jatuh ke tanah.
Ceng hoei jadi kalap, ia melompat dan menotok punggung Boe Kie pada hiat yang
membinasakan. Biarpun sabar, Boe Kie mendongkol juga. Ia menangkis dan mendorong
dengan keras sehingga tubuh niekouw itu terpental dan jatuh tanpa ampun. Melihat kakak
seperguruannya roboh, si gadis she Kwa dan she Auw tidak berani menyerang lagi.
Ketika itu Boe Kie sudah selesai membalut luka. Ia menyadari bahwa nafas Tio Beng jadi
makin lemah dan hawa hitam makin menjalar. Ia tahu bahwa bunga merah itu tidak bisa
menolong banyak. Dengan terpaksa ia menoleh ke Ceng hoei dan berkata dengan suara
memohon, “Ceng hoei Soethay, kau adalah murid Sang Buddha yang selalu bertindak
berdasarkan kasih. Kumohon kau sudi memberi tiga butir Hoed kong Kie tok tan, jika kau
sudi meluluskan, seumur hidup aku takkan melupakan budimu yang sangat besar.”
“Kau mimpi!” bentak Ceng hoei, “Jika kau menolong perempuan siluman itu kau pun
menjadi musuh besar dari partai kami.”
Sedari tadi si gadis she Auw ingin sekali mencoba membujuk Boe Kie tapi ia belum begitu
berani membuka suara. Sekarang ia tak bisa tahan lagi. “Thio Kauwcoe,” katanya, “Aku dan
Cioe Soecie begitu…begitu…baik. Mengapa…mengapa…karena perempuan siluman
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1246
itu…kau jadi begitu? Sebaiknya kau kembali ke Cioe Soecie….” Ia tidak bisa meneruskan
perkataannya dan mukanya berubah merah.
“Terima kasih atas maksud nona yang sangat baik,” jawab Boe Kie. “Tapi aku tidak bisa
melihat kebinasaan dengan berpeluk tangan.” Sementara itu hawa hitam di sekitar pundak Tio
Beng sudah jadi lebih hebat. “Nona,” katanya pula, “Apakah kau sudi menghadiahkan tiga
butir Hoed kong Kie tok tan kepadaku? Nona, kau tolonglah, Thio Boe Kie pasti membalas
budimu.”
Nona she Auw itu berhenti, merasa kasihan dan segera merogoh saku. Tapi melihat paras
muka Ceng hoei yang penuh kegusaran, ia tidak berani mengeluarkan pil itu.
“Auw Soemay,” bentak Ceng hoei. “Apa kau lupa sakit hati kita? Jika kau serahkan pil itu
aku akan binasakan kau!”
“Ceng hoei Soethay!” bentak Boe Kie. “Kalau kau sendiri tak sudi, akupun tidka memaksa
tapi mengapa kau menghalang-halangi orang lain.”
Ceng hoei tidak menyahut, sambil menaruh kedua tangannya di dada, ia mundur selangkah
demi selangkah, “Auw Soemay, Kwa Soemay, berangkat!” serunya.
Melihat si pendeta mau kabur dalam hatinya Boe Kie segera muncul keinginan untuk
merampas obat. “Ceng hoei Soethay,” katanya, “Apabila kau tetap tidak mau menolong, kau
jangan salahkan aku.” Seraya berkata begitu, ia merangsek, Ceng hoei angkat tangan kirinya
dan tangan kanannya menyambar dari bawah tangan kiri, Boe Kie miringkan muka untuk
menghindari pukulan itu sedang tangan kirinya menotok jalan darah di pundak Ceng hoei.
Begitu tertotok, bagian atas badan pendeta itu tidak bisa bergerak lagi tapi dengan nekad ia
menendang betis Boe Kie.
Tendangan itu mampir tepat pada sasarannya tapi ia mendadak merasa Yong coan hiat
dibawah kakinya panas, seluruh tubuhnya kesemutan dan ia berdiri terpaku.
“Thio Kauwcoe, jangan lukai Soecieku!” teriak si gadis she Auw.
“Tidak, sedikitpun aku tidak berniat mencelakai Soecie-mu,” jawabnya, “Tapi tolonglah
ambil obat dari sakunya.”
“Auw Soemay!” bentak Ceng hoei. “Murid Go Bie boleh mati tidak boleh dihina. Aku mau
lihat kalau kau berani ikut perintahnya.” Diancam begitu, si nona tidak berani bergerak.
Sekarang Boe Kie tidak lagi menghiraukan adat istiadat antara pria dan wanita. Ia segera
merogoh saku Ceng hoei. Fui! Ceng hoei menyembur dengan ludahnya, Boe Kie miringkan
kepalanya sambil menarik keluar tiga botol kristal. Saat itu gadis she Kwa mendadak
menikam dari belakang.
Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan ujung pedang menikam angin. Sesudah itu ia
membuka tutup tiga botol itu dan memeriksa isinya. Kemudian ia mengambil dan mengunyah
tiga butir Hoed kong Kie tok tan. Sesudah pil itu hancur, yang separuh ia masukkan ke mulut
Tio Beng dan separuh lagi ia taburkan di lubang luka. Karena kuatir tak cukup ia segera
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1247
memasukkan botol obat ke dalam sakunya. “Maaf!” katanya seraya membuka jalan darah
Ceng hoei. Akhirnya dengan mendukung Tio Beng ia lari ke jurusan barat.
Boe Kie menoleh dan melihat berkelabatnya sehelai sinar hijau. Ia terkesiap karena tangan
kiri memegang pedang, Ceng hoei sudah membacok putus lengannya sebatas pundak. Ia
segera sadar bahwa perbuatan nekad itu adalah karena gerakannya sendiri. Tadi wkatu
menangkis tikaman si gadis she Kwa, secara tidak sengaja menyentuk kulit tulang pi peo
(tulang di antara lengan dan pundak) niekauw itu. Sebagai seorang pendeta wanita yang suci
bersih sentuhan dari seorang pria dianggapnya sebagai suatu hinaan dan kejadian yang sangat
memalukan. Dalam gusarnya ditambah dengan adatnya yang berangasan dan keras ia sudah
memutuskan lengan kanannya sendiri, muali dari bagian yang disentuh Boe Kie.
Sesudah melakukan perbuatan nekad itu dengan darah mengucur badan Ceng hoei bergoyanggoyang
tapi dengan menggigit gigi ia mempertahankan diri supaya tidak roboh.
Boe Kie kembali dan sesudah meletakkan Tio Beng di tanah, bagaikan kilat ia memberi tujuh
totokan kepada Ceng hoei untuk menghentikan keluarnya darah.
“Bangsat Mo Kauw, pergi!” bentak si niekauw.
Mendadak di sebelah kejauhan tiba-tiba terdengar suara suitan dan si nona she Kwa segera
mengeluarkan sebuah suitan bambu yang lalu ditiupnya. Boe Kie tahu bahwa itulah tanda Go
Bie pay untuk mengumpulkan kawan. Dilain saat, tujuh delapan orang sudah kelihatan
mendatangi sambil berlari-lari.
Boe Kie merasa bahwa datangnya bantuan itu jiwa Ceng hoei tak perlu dikuatirkan lagi. Maka
itu buru-buru ia mendukung Tio Beng dan terus kabur.
Sesudah kira-kira tiga puluh li, mendadak terdengar suara rintihan Tio Beng yang baru saja
tersadar, “Apa…apa aku masih hidup?” tanyanya.
Boe Kie girang, “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
“Pundakku sangat gatal,” jawabnya, “Hai!...Cioe Kouwnio sungguh hebat.”
Boe Kie lalu merebahkannya di tanah dan memeriksa pula lukanya. Ia sadar bahwa warna
hitam belum berubah hanyak ketukan nadi si nona sudah lebih keras daripada tadi. Ia
sekarang tahu bahwa Hoed kong Kie tok tan tidak cukup kuat untuk melawan racun itu.
Sesudah berpikir sejenak, ia segera menghisap lubang luka itu menarik racun ke mulutnya
membuangnya ke tanah. Sambil menahan bau amis yang sangat tajam, ia mengisap racun itu
dan menyemburkannya berulang-ulang.
Sambil mengusap-usap rambut Boe Kie, Tio Beng bertanya dengan rasa terima kasih yang
sangat besar, “Boe Kie Koko, apa kau bisa menebak latar belakang peristiwa ini?”
Boe Kie tidak menjawab, beberapa saat kemudia ia sudah mengisap habis semua racun dan
pergi ke kolam untuk berkumur. Ia kembali dan sesudah duduk di samping nona Tio ia balik
bertanya, “Latar belakang apa?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1248
“Cioe Kauwnio adalah murid sebuah partai lurus bersih. Tapi mengapa ia memiliki ilmu yang
sesat itu?”
“Akupun merasa sangat heran, siapa yang sudah mengajarnya?”
Tio Beng tertawa, “Tak bisa lain, orang dari penjahat Mo Kauw,” katanya.
Boe Kie pun turut tertawa. “Di dalam Mo Kauw terdapat banyak sekali kepala iblis,” katanya.
“Tapi diantara mereka tak ada yang memiliki ilmu begitu. Hanya Ong yang bisa menghisap
darah manusia dan ilmu Thio Boe Kie yang bisa menghisap pundak manusia yang agak mirip
dengan ilmu itu.”
Dengan penuh rasa bahagia, Tio Beng menyandarkan kepalanya di dada Boe Kie, “Boe Kie
Koko,” bisiknya. “Hari ini aku sudah mengacaukan pernikahan. Apa kau marah?”
Sungguh aneh, pada waktu itu sebaliknya daripada berduka, Boe Kie merasa senang. Kecuali
memikirkan Cia Soen, ia bahkan merasa tenang dan beruntung. Mengapa bisa begitu? Ia
sendiri tak tahu sebab musebabnya tapi ia tentu saja merasa malu untuk memberitahukan si
nona perasaan hatinya yang sebenarnya. “Tentu saja aku marah,” jawabnya. “Di kemudian
hari aku pun akan mengacaukan pernikahanmu.”
Muka Tio Beng segera berubah dadu, “Jika kau berani, aku akan bunuh kau,” katanya
tersenyum.
Mendadak Boe Kie menghela nafas.
“Mengapa kau menghela nafas?”
“Entah siapa yang pada penitipan dahulu telah melakukan perbuatan mulia sehingga dalam
penitisan sekarang ia begitu beruntung untuk menjadi Koen bee ya.” (Koen bee ya suami
seorang putri raja muda)
“Sekarang masih ada waktu untuk kau sendiri melakukan perbuatan mulia,” kata si nona.
Jantung Boe Kie memukul keras, “Apa?” tegasnya.
Tapi si nona segera memalingkan kepala ke jurusan lain dan tidak menyahut.
Sesudah pembicaraan tiba pada titik itu, mereka merasa jengah utnuk berbicara lagi. Sesudah
mengaso, Boe Kie lalu menaruh obat baru pada lubang luka dan kemudian sambil mendukung
nona Tio ia meneruskan perjalanan ke jurusan barat.
Malam itu mereka tidur dibawah langit dan pada keesokan paginya mereka tiba di sebuah
kota kecil. Karena Tio Beng masih sangat lemah dan belum bisa menunggang kuda maka Boe
Kie hanya membeli seekor kuda untuk ditunggang berdua.
Sesudah berjalan lima hari, mereka tiba di daerah Ho-lam. Pada hari keenam, selagi enak
jalan di sebalah depan tiba-tiba kelihatan debu mengebul dan tak lama kemudian mereka
mendengar suara kaki kuda yang sangat ramai. Mereka tahu bahwa itu pasukan angkatan
darat Mongol. Boe Kie buru-buru minggir dan menahan tunggangannya di sisi jalan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1249
Pasukan itu terdiri dari beberapa ratus serdadu dan tak memperdulikan Boe Kie dan Tio Beng.
Sesudah mereka lewat, di sebelah belakang mengikuti sekelompok penunggang kuda yang
tidak teratur.
Tiba-tiba Boe Kie mengeluh, “Celaka!” dan buru-buru melengos ke jurusan lain.
Apa yang dilihatnya tidak lain adalah Sin cian Pat hiong, delapan jago panah itu adalah
bawahan Tio Beng. Ia bukan takut tapi ia tahu bahwa jika ia dikenali mereka dia bakal berabe
sekali.
Kelompok itu yang terdiri kira-kira dua ratus orang lewat tanpa memperhatikan Boe Kie dan
Tio Beng yang di sisi jalan. Sesudah mereka lewat, Boe Kie segera memutar tangannya untuk
meneruskan perjalanan.
Mendadak terdengar suara kaki kuda dan tiga penunggang kuda mendatangi dengan cepat.
Begitu melihat orang-orang itu, Boe Kie terkesiap. Orang yang ditengah-tengah yang
menunggang kuda putih mengenakan pakaian sulam dan topi emas sedangkan dua orang yang
mengapitnya Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong.
Secepat mungkin Boe Kie mencoba memutar kepala kuda, tapi sudah terlambat. “Koen coe
Nio nio!” teriak Ho Pit Ong, “Jangan takut!” Sehabis berteriak begitu ia bersiul keras dan
kelompok Sin cian Pat hiong segera kembali. Dilain saat Boe Kie dan Tio Beng sudah
dikurung.
Dengan perasaan ragu Boe Kie mengawasi si nona. Apakah Tio Beng sudah lebih dulu
mengatur datangnya bala bantuan ini? Tapi hatinya langsung lega sebab si nona sendiri
kelihatannya bingung. Ia memastikan bahwa nona itu tidak menjual dia.
“Koko,” seru Tio Beng, “Sungguh tak sidangka bisa bertemu dengan kau di tempat ini! Apa
Thia-thia baik?”
Mendengar perkataan “Koko” (kakak) Boe Kie segera mengawasi pemuda yang mengenakan
pakaian sulam. Ia segera mengenali bahwa dialah Kuh-kuh Temur, kakak Tio Beng yang
dikenal juga dengan nama Han Ong Po-po. Di kota raja ia sudah pernah bertemu dengan
pemuda bangsawan itu tapi karena ia mencurahkan seluruh perhatian kepada Hian beng Jieloo
maka ia tidak memperhatikan kakak Tio Beng itu.
Melihat adiknya, Ong Po-po kaget bercampur girang. Ia tidak mengenali Boe Kie.
“Kau…kau…! Mengapa?...,” katanya.
“Koko,” kata Tio Beng, “Aku dibokong musuh dan mendapat luka beracun. Untung ditolong
oleh Thio Kauwcoe, tanpa pertolongannya aku tak akan bisa berjumpa lagi dengan Koko.”
“Siauw ong-ya, dia tidak lain adalah Kauwcoe Mo Kauw, Thio Boe Kie,” bisik Lok Thung
Kek.
Sudah lama Ong Po-po mendengar nama Boe Kie. Ia menduga bahwa adiknya bicara begitu
karena diancam, maka itu ia segera memberi tanda dengan kibasan tangan. Melihat tanda itu,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1250
Hian beng Jie-loo segera mendekat dan empat anggota Sin cian Pat hiong segera memasang
anak panah gendawa yang ditujukan ke punggung Boe Kie.
“Thio Kauwcoe,” kata Ong Po-po, “Kau adalah pemimpin suatu agama dan seorang gagah
terkenal. Dengan menghina adikku bukankah akan ditertawai oleh semua orang? Lepaskan
adikku! Hari ini aku ampuni jiwamu.”
“Koko, mengapa kau berkata begitu,” kata Tio Beng. “Sebaliknya dari menghina, Thio
Kongcoe telah melepas budi padaku.”
Ong Po-po masih menganggap bahwa adiknya berada dibawah tekanan. “Thio Kauwcoe!”
teriaknya, “Biarpun kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih tinggi, kau tidak akan bisa
melawan jumlah yang besar. Lepaskanlah adikku! Hari ini kita berdamai, Ong Po-po tidak
akan melanggar janji, kau tidak usah kuatir.”
Boe Kie merasa demi keselamatan Tio Beng, nona itu memang lebih baik mengikuti
kakaknya supaya bisa diobati oleh tabib-tabib pandai daripada ikut ia terlunta-lunta. Maka itu
ia segera berkata, “Tio Kauwnio, kakakmu sudah dating, sebaiknya kita berpisah saja. Aku
hanya memohon agar kau memberitahukan di mana ayah angkatku berada supaya aku bisa
mencarinya. Tio Kauwnio, di kemudian hari kita masih mempunyai kesempatan untuk
bertemu.” Sehabis berkata begitu, ia merasa sangat berduka dalam hatinya.
Jawaban Tio Beng diluar dugaan. “Jika aku belum memberitahukan di mana adanya Cia
Tayhiap karena mempunyai maksud yang dalam,” katanya, “Aku hanya berjanji akan
membawa kau ke tempat itu tapi aku tak bisa memberitahukan tempat itu kepadamu.”
Boe Kie kaget. “Kau belum sembuh dan ikut aku sangat tidak baik bagi kesehatanmu,”
katanya, “Paling baik kau ikut kakakmu.”
Tapi si nona menggelengkan kepala, sambil mengawasi Boe Kie dengan sinar mata berduka
ia berkata, “Kalau kau tinggalkan aku, kau tidak akan dapat mencari Cia Tayhiap. Aku
percaya bahwa aku akan sembuh dalam waktu singkat. Aku yakain bahwa melakukan
perjalanan adalah baik untuk kesehatanku. Kalau aku pulang ke Ong hoe aku bisa mati
jengkel.”
“Siauw ong-ya,” kata Boe Kie kepada Ong Po-po, “Cobalah kau bujuk adikmu.”
Ong Po-po merasa sangat heran tapi sesaat kemudian ia berkata dengan suara tawar, “Kau
jangan bercanda! Aku tahu jari tanganmu memegang hiat yang membinasakan adikku. Kau
paksa dia untuk bicara begitu.”
Melihat dirinya masih dicurigai, Boe Kie melompat turun dari tunggangannya.
Selagi ia melompat turun, dua anggota Sin cian Pat hiong mengira ia mau menyerang Ong Popo
segera melepaskan anak panah ke punggungnya. Untuk memperlihatkan kepandaiannya ia
mengibas dengan Kian koen Tau lo ie Sin kang. Kedua anak panah iu terpental balik dan tepat
menghantam kedua gendewa yang segera menjadi patah. Kalau tidak lekas berkelit, kedua
orang itupun pasti sudah terluka berat. Melihat kepandaiannya yang luar biasa itu kecuali
Hian beng Jie-loo, semua orang termasuk Ong Po-po sendiri merasa kagum sekali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1251
“Tio Kauwnio,” kata Boe Kie, “Sebaiknya kau pulang dulu untuk berobat, setelah kau
sembuh kita bisa bertemu lagi.”
Tapi si nona menggelengkan kepalanya. “Tidak,” jawabnya, “Tabib di Ong hoe mana bisa
menandingi kau? Thio Kongcoe, kalau menolong orang, kau harus menolong sampai akhir.”
Mendengar perkataan adiknya, Ong Po-po kaget bercampur gusar. Saat itu Boe Kie berdiri
agak jauh dari Tio Beng maka Ong Po-po segera menoleh ke Hian beng Jie-loo dan berkata,
“Tolong kalian lindungi adikku. Ayo berangkat!”
“Baik!” jawab mereka yang lalu mendekati Tio Beng.
“Lok Hi Jie we Sian seng!” kata si nona dengan nyaring, “Ada satu urusan penting yang harus
diselesaikan olehku dan Thio Kauwcoe. Tenaga kami berdua justru tak cukup maka kuminta
kalian sudi untuk membantu.”
Kedua kakek itu melirik Ong Po-po. “Sepak terjang kepala siluman Mo Kauw selalu
menyeleweng dan Koencoe Nio nio tidak boleh mendekati dia,” kata Lok Thung Kek, “Paling
baik Koencoe Nio nio ikut Siauw ong-ya.”
Alis si nona berdiri. “Apa sekarang Jie wie hanya mau menuruti perkataan kakakku dan tak
sudi lagi mendengar perkataanku?” tanyanya dengan marah.
“Ajakan Siauw ong-ya adalah untuk kebaikan Koencoe Nio nio sendiri,” kata Lok Thung Kek
sambil tertawa, “Nasihatnya keluar dair hati yang mencintai.”
Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. “Koko,” katanya, “Atas seijin Thia-thia aku
berkelana di dunia Kang ouw, kau tak usah kuatir. Aku bisa menjada diri sendiri jika bertemu
Thia-thia sampaikanlah hormatku.”
Ong Po-po tahu bahwa si adik sangat disayang oleh ayah mereka dan sebenarnya ia tidak
berani terlalu mendesak tapi perginya adik seorang diri dengan Boe Kie biar bagaimanapun
juga tak dapat diijinkan olehnya. Melihat si adik sudah mengedut tali untuk segera berangkat,
ia segera menghadang dan berkata, “Hian moay, Thia-thia akan segera tiba di sini. Kau
tunggulah sebentar, beritahukan dulu Thia-thia sebelum kau berangkat.”
“Begitu Thia-thia datang aku tentu dihalangi,” kata si nona, “Koko aku tidak ikut campur
urusanmu kaupun jangan ikut campur urusanku.”
Ong Po-po melirik Boe Kie, melihat pemuda yang gagah dan tampan romannya itu dan
mendengar perkataan adiknya, ia tahu si adik sudah cinta. Tapi Beng Kauw telah
memberontak dan Kauwcoe Beng Kauw adalah kepala pemberontak. Ia gusar bercampur
bingung. Terang-terang adiknya sudah dipengaruhi oleh kepala pemberontak itu. Bencana
yang dihadapi bukan bencana kecil, demikian pikirnya.
Sesudah berpikir sejenak, sambil mengibas tangan kirinya ia membentak, “Tangkap kepala
siluman itu!”
Hian beng Jie-loo segera menerjang, Lok Thung Kek menggunakan tongkat tanduk
menjangan sedang Ho Pit Ong menyerang dengan pit-nya. Lweekang dari Hian beng Jie-loo
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1252
agak lebih tinggi daripada orang-orang seperti Ia Thian Geng dan Cia Soen dan sekarang
mereka mengerubuti seorang musuh adalah kejadian yang baru pertama kali terjadi. Melihat
penyerangnya kedua lawan yang tangguh Boe Kie pun tidak berani bertindak sembrono dan
segera melayani dengan menggunakan segenap kepandaiannya.
Tio Beng tahu kehebatan kedua kakek itu, ia merasa sangat kuatir akan keselematan Boe Kie.
“Hian beng Jie-loo!” teriaknya, “Jika kau melukai Thio Kauwcoe aku akan memberitahu
Thia-thia dan Thia-thia pasti tak akan mengampuni kau.”
“Omong kosong!” bentak Ong Po-po, “Setiap orang berusaha untuk membunuh penjahat
pemberontak. Hian beng Jie-loo! Setelah kalian bunuh penjahat itu, Thia-thia dan aku akan
memberi hadiah besar.” Ia terdiam sejenak dan berkata pula, “Sok Sianseng, aku akan
mempersembahkan empat wanita cantik untukmu.”
Hian beng Jie-loo serba salah, pihak mana yang harus diikuti? Sesaat kemudian, Lok Thung
Kek memberi isyarat kepada soetenya dengan kedipan mata dan berkata dengan suara
perlahan, “Tangkap hidup-hidup saja.”
Tiba-tiba Boe Kie mengubah cara bersilatnya. Ia menggunakan ilmu silat Seng hwe teng.
Dilain detik dengan satu pukulan aneh yang dikirim dari satu sudut yang tak mungkin dapat
dilakukan oleh orang lain ia berhasil menggaplok pipi Lok Thung Kek, “Coba tangkap hiduphidup!”
bentaknya dengan suara mengejek.
Si kakek gusar sekali, tapi sebagai ahli silat kelas utama dalam kegusarannya pemusatan
pikirannya tidak terpecah. Ia segera menambah tenaga dan menyerang bagaikan hujan dan
angin.
Saat semua orang mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, tiba-tiba Tio Beng mengedut
tali dan kuda yang ditungganginya segera melompat. Ong Po-po terkejut dan menyabet
dengan cambuknya yang mampir di mata kiri binatang itu sehingga sambil meringkik keras
dia mengangkat kedua kakinya. Tubuh Tio Beng miring dan karena masih sangat lemah ia
hampir jatuh terjengkang. “Koko, apa kau benar-benar mau menghalangi aku?” bentaknya.
“Adik yang baik, dengarlah perkataanku,” jawabnya, “Jika kau menurut, aku akan
menghaturkan maaf.”
“Koko, jika sekarang kau menghalangi aku, aku pasti akan mati. Thio Kauwcoe akan
membenci aku sampai di sumsum…adikmu…sukar hidup lebih lama lagi….”
“Hian moay, mengapa kau berkata begitu? Gedung Jie lom ong dijaga oleh banyak orang
pandai yang tentu akan bisa melindungi kau sebaik-baiknya. Jangankan melukai kau,
sekalipun hanya bertemu muka dengan kau, iblis kecil itu tak akan bisa lagi.”
Si adik menghela nafas. “Aku justru kuatir tak bisa bertemu muka lagi dengannya,” katanya,
“Kalau sampai begitu…aku…aku lebih suka mati.”
Pada jaman itu wanita Mongol memang lebih berani daripada wanita Han. Selain hubungan
kakak dan adik itu sangat erat, mereka biasanya selalu bicara terus terang. Maka itu dalam
keadaan terdesak, Tio Beng membuka rahasia hatinya secara terang-terangan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1253
“Moaycoe, mengapa kau bicara yang tidak-tidak?” bentak Ong Po-po dengan gusar, “Kau
adalah anggota keluarga raja muda Mongol. Ibarat pohon, kau bercabang emas berdaun giok.
Mana bisa kau jatuh cinta kepada anjing itu? Jika tahu, Thia-thia bisa mati berdiri!” Seraya
berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya dan tiga jago segera turun ke gelanggang untuk
membantu mengepung Boe Kie. Tapi mereka tak bisa mendekati sebab saat itu Boe Kie dan
Hian beng Jie-loo sedang bertempur menggunakan Sin kang yang tertinggi sehingga dalam
jarak beberapa tombak angin tenaga dalam menyambar-nyambar bagaikan tajamnya pisau.
“Thio Kongcoe!” teriak Tio Beng, “Jika kau mau menolong Giehoe, kau harus lebih dulu
menolong aku.”
Mendengar itu Ong Po-po tidak bisa menahan sabar lagi. Ia segera memeluk adiknya dan
menendang perut kuda yang segera kabur.
Ilmu silat Tio Beng sebenarnya lebih tinggi dari kakaknya tapi dalam keadaan terluka ia tidak
bertenaga untuk melawannya. Ia hanya bisa berteriak, “Thio Kongcoe tolong! Thio Kongcoe
tolonglah aku!”
Boe Kie terkejut, dengan menggunakan seluruh tenaga ia mengirimkan dua pukulan sehingga
Hian beng Jie-loo terpaksa mundur beberapa langkah. Dengan menggunakan kesempatan itu
ia melompat dan mengejar Ong Po-po. Hian beng Jie-loo dan tiga jago segera mengejar. Tapi
begitu mereka mendekat, Boe Kie segera memukul dengan Sin-liong Pah hwee (Naga sakti
menyabetkan ekornya), yaitu salah satu pukulan dari Han liong Sip pat ciang. Biarpun belum
menyelami inti sari dari pukulan itu tapi karena memiliki Kioe yang Sin kang, tenaga pukulan
itu dahsyat sekali sehingga Hian beng Jie-loo dan tiga kawannya tidak berani terlalu dekat.
Dilain saat Ong Po-po sudah terkejar oleh Boe Kie. Sambil melompat tinggi ia mencengkram
jalan darah dibatang leher pemuda bangsawan itu yang segera tidak bisa bergerak lagi yang
lalu diangkat dan dilemparkan ke arah Lok Thung Kek. Karena kuatir majikannya terluka, si
kakek buru-buru menyambuti. Dilain detik Boe Kie sudah mendukung Tio Beng melompat
turun dari punggung kuda dan terus kabur ke lereng gunung.
Ho Pit Ong dan jago lain segera menguber tapi dari lereng Boe Kie lari ke atas puncak yang
tingginya beberapa ratus tombak sehingga untuk mengejarnya orang harus mempunyai ilmu
ringan badan yang tinggi. Hian beng Jie-loo adalah ahli silat kelas utama tapi ilmu ringan
badan mereka tidak seberapa tinggi dan mepat lima jago yang lain bahkan tidak bisa lari lebih
cepat daripada Ho Pit Ong. Melihat dirinya dikejar, Boe Kie menjumput beberapa batu dan
menimpuk. Dua orang roboh dan menggelinding ke bawah sehingga yang lain tidak berani
mengejar terlalu keras. Dalam sekejap Boe Kie sudah lari jauh.
Ong Po-po jadi kalap. “Lepaskan anak panah! Lepaskan anak panah!” teriaknya sambil
mementang busurnya sendiri dan lalu melepaskan sebatang anak panah ke punggung Boe Kie
tapi karena jaraknya terlalu jauh, jatuh di tanah tanpa mengenai sasarannya.
Setelah memastikan bahwa kaki tangan kakaknya tidak akan bisa mengejar lagi barulah Tio
Beng merasa lega. Sambil memeluk leher Boe Kie ia menghela nafas dan berbisik, “Untung
aku berjaga-jaga untuk tidak segera memberitahukan di mana adanya Cia Tayhiap, kalau
tidak, kau tentu tidak akan mau menolongku.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1254
“Bukankah aku sudah mengatakan bahwa sebaiknya kau pulang untuk berobat?” kata Boe
Kie, “Untuk apa kau bentrok dengan kakakmu dan ikut aku menderita.”
“Aku rela menderita,” jawabnya, “Mengenai kakak, sekarang atau nanti aku pasti bentrok
dengan dia. Hal terpenting bagiku adalah kuatir kau tidak mau mengajak aku. Yang lainnya
hal kecil.”
Boe Kie tertegun. Ia tak pernah menduga sama sekali bahwa cinta Tio Beng terhadapnya
sedemikian besar. Sudah lama ia tahu bahwa si nona menyukai dirinya. Tapi pada hakekatnya
ia menganggap rasa cinta itu hanyalah rasa cinta yang tidak berdasar teguh dari seorang gadis
remaja yang pikirannya mudah berubah-ubah. Baru sekarang ia menyadari bahwa cinta Tio
Beng tulus dan murni. Untuk mengikuti dia, si nona rela melemparkan segala kekayaan dunia.
Berpikir begitu ia menunduk dan mengawasi muka yang pucat tapi cantik luar biasa. Pada
saat itu sebagai manusia biasa ia tidak dapat menahan gejolak hatinya lagi dan dengan rasa
cinta yang meluap-luap ia menempelkan bibirnya ke bibir si nona.
Muka Tio Beng segera berubah merah, kejadian itu merupakan goncangan yang terlampau
berat bagi badannya yang sangat lemah dan ia pingsan.
Boe Kie yang paham ilmu ketabiban tidak menjadi bingung. Pingsannya Tio Beng hanya
memperlipat rasa terima kasih dan rasa cintanya. Tiba-tiba dalam otaknya berkelabat sebuah
pertanyaan, “Cinta Cie Jiak terhadapku mana bisa menandingi cinta Tio Kauwnio?”
Beberapa saat kemudian Tio Beng tersadar. Melihat Boe Kie seperti sedang memikirkan
sesuatu ia bertanya, “Apa yang dipikirkan olehmu? Cioe Kauwniokah?”
Boe Kie mengangguk, “Aku merasa bersalah terhadapnya,” jawabnya.
“Kau menyesal?”
“Waktu aku mau bersembahyang dengan dia sebagai suami istri, aku ingat padamu dan aku
sedih. Sekarang aku ingat dia dan aku merasa bersalah terhadap dia.”
“Tapi dalam hati kau lebih mencintai aku, bukankah begitu?”
“Bicara terus terang, terhadapmu aku cinta dan aku benci, terhadap Cie Jiak aku menghormati
dan aku takut.”
Si nona tertawa geli. “Aku lebih suka terhadapku kau cinta dank au takut,” katanya,
“Terhadap dia kau menghormati dan kau benci.”
Boe Kie ikut tertawa. “Tapi sekarang sudah jadi lain,” katanya tersenyum. “Terhadapmu
kubenci dan kutakut. Kubenci karena kau sudah menggagalkan pernikahanku, kutakut sebab
aku takut kau tidak mau membayar kerugian.”
“Bayar kerugian apa?”
“Bayar kerugian dengan dirimu sendiri, dengan menjadi istriku sebagai gantinya Cie Jiak.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1255
Muka Tio Beng segera berubah merah. “Tidak segampang itu,” katanya dengan sikap malumalu,
“Terlebih dulu aku harus ijin dari ayah, aku harus lebih dulu menyadarkan kakak….”
“Tapi bagaimana jika ayahmu menolak?”
Si nona menghela nafas. “Kata orang tua, menikah dengan iblis harus ikut iblis,” katanya.
“Kalau sampai begitu, bagiku tiada jalan lain kecuali mengikuti si iblis kecil.”
“Perempuan siluman!” bentak Boe Kie, “Kau berkomplot dengan penjahat cabul dan
pemberontak Thio Boe Kie! Hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu?”
“Di dunia ini, kamu berdua dihukum menjadi suami istri yang hidup beruntung sampai
berambut putih. Di akhirat kamu berdua harus masuk ke delapan belas lapis neraka dan tidak
bisa menitis lagi sebagai manusia!”
Bicara sampai disitu, mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Mendadak di sebelah depan terdengar teriakan seseorang. “Koencoe Nio nio, siauw ceng
sudah lama menunggu di sini!” Teriakan itu nyaring dan tajam, suatu tanda bahwa orang itu
memiliki Lweekang yang sangat kuat.
Boe Kie terkejut dan segera menghentikannya. Dilain saat, dari sebuah tikungan muncul tiga
orang hoan ceng (pendeta asing), yang satu mengenakan jubah warna merah, yang lain
memakai jubah kuning, yang ketiga bertubuh kate kecil mengenakan jubah warna kuning
emas. Si jubah merah merangkap kedua tangannya dan berkata sambil membungkuk, “Atas
titah Ong-ya, siauw ceng menunggu di sini untuk menyambut Koencoe Nio nio pulang ke
Ong hoe.”
Tio Beng tak kenal ketiga pendeta itu. “Siapa kalian?” tanyanya, “Aku belum pernah
mengenal kalian.”
“Siauw ceng Mohan Fa,” jawabnya. Ia menunjuk si kate kecil dan berkata pula, “Yang itu
Soepeh Kioe Coen cia sedang yang ini kakak seperguruan siauw ceng, Mohan Singh. Kami
bertiga datang dari Thian tiok (India) dan bekerja di Ong hoe. Waktu kami datang Koencoe
sudah berkelana maka tak heran jika Koencoe tak mengenal kami.” Setelah berkata begitu, ia
membungkuk diikuti oleh kedua kawannya.
“Lweekang orang itu tidak lemah,” piker Boe Kie selagi Mohan Fa bicara. “Paman dan kakak
seperguruannya tentu lebih hebat lagi. Seorang diri aku belum tentu bisa melawan mereka
bertiga.”
“Perlu apa kalian mencegat aku di sini?” tanya Tio Beng.
Mereka tidak menyahut hanya Mohan Singh mengangkat tinggi-tinggi seekor merpati putih
yang dipegangnya. Tio Beng tahu bahwa itulah merpati pos yang membawa warta dari kakak
kepada ayahnya. Ia menduga bahwa ayahnya yang berkepandaian tinggi sudah turun tangan
sendiri. Ia melirik Boe Kie dan melihat paras yang muram, “Apa ketiga pendeta itu sukar
dimundurkan?” bisiknya.
Boe Kie mengangguk.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1256
Sesudah berpikir sejenak, Tio Beng segera mengambil keputusan. “Aku akan beritahukan kau
di mana Cia Tayhiap berada,” bisiknya pula, “Apa yang akan terjadi di kemudian hari, apa
kau akan menyia-nyiakan aku atau tidak aku serahkan kepadamu.” Ia tahu bahwa Boe Kie
sendiri dengan mudah akan bisa meloloskan diri dari kepungan, ia tak mau demi kepentingan
pribadi, jiwa Cia Soen sampai terancam.
Tapi sekarang, Boe Kie sendiri sungkan berpisah lagi dengan Tio Beng. Ia menolak untuk
kabur sendirian. “Kau jangan kuatir, kita harus menerjang keluar bersama-sama,” katanya.
Mereka dicegat di jalan gunung yang sangat sempit. Di sebelah kiri terdapat jurang yang
dalam dan disebelah kanan berdiri lereng gunung yang menjulang ke atas bagaikan tembok,
jalan satu-satunya ialah menerjang dengan kekerasan.
“Koencoe terluka berat dan Ong-ya sangat kuatir,” kata Mohan Fa, “Maka itu beliau telah
memerintahkan siauw ceng untuk mengantar Koencoe pulang ke Ong hoe secepat mungkin.”
Walaupun orang asing, ia bisa bicara Tionghoa secara lancar, kedua kawannya tak
mengeluarkan sepatah kata. Kioe Coen cia menundukkan kepala sambil memejamkan mata
seperti orang bersemedi sedang Mohan Singh berdiri tegak dengan membusungkan dada.
“Di mana Thia-thiaku?” tanya Tio Beng.
“Ong-ya menunggu di kaki gunung,” jawabnya, “Beliau ingin sekali bertemu dengan
Koencoe.”
Tio Beng tertawa. “Bahasa Tionghoamu sangat baik,” katanya, “Baiklah! Thio Kongcoe mari
kita berangkat!” Dengan berlagak menurut ia sudah mencari cara untuk segera kabur begitu
mereka berada di tempat yang lebih terbuka.
Tapi diluar dugaan, Mohan Fa mengambil sekarung kain dari punggungnya dan dengan sekali
dikibaskan karung itu berubah menjadi kain panjang yang kedua ujungnya dipegang olehnya
dan Mohan Singh. “Koencoe, naiklah ke joli ini,” katanya sambil membungkuk.
“Aku tak suka duduk di joli,” kata Tio Beng sambil tertawa, “Aku lebih senang didukung
olehnya.”
Boe Kie mengerti bahwa ia tak boleh lengah, hampir bersamaan ia maju dengan langkah
lebar.
Sesudah membaca surat yang dibawa merpati pos, ketiga pendeta itu tahu bahwa Boe Kie
berkepandaian tinggi. Mohan Singh segera memapakinya dengan benturan sikut. Boe Kie
melompat tinggi melewati kepala Kioe Coen cia. Mendadak ia merasa sambaran angin yang
sangat dingin ke arah kakinya. Bagaikan kilat ia membaba dengan tangan kiri untuk
menyambut pukulan itu, mendadak angin dingin itu berubah menjadi sangat panas. Ternyata
dalam sekejap si pendeta sudah dapat mengubah tenaga pukulannya dari dingin menjadi
panas. Itulah Ciang hoat yang sangat hebat dari Thian tiok dan yang sangat berbeda dengan
pukulan di wilayah Tiong goan. Tapi Kioe yang Sin kang yang dimiliki oleh Boe Kie adalah
gubahan Tat mo Couwsoe yang berasal dari Thian tiok, begitu mendengar bahwa ketiga
pendeta itu datang dari Thian tiok, ia segera berhati-hati. Dalam sambutannya itu ia
menggunakan delapan bagian tangannya, begitu tangan kebentrok dengan meminjam tenaga
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1257
lawan dan dengan menggunakan kesempatan itu Boe Kie melompat jauh dan kemudian
dengan mendukung Tio Beng ia kabur secepatnya. Sesudah menjajal tenaga ia tahu bahwa
Lweekangnya masih lebih tinggi setingkat dari tenaga dalam si pendeta.
Ketiga pendeta itu segera menguber sambil berteriak-teriak. Ilmu ringan badan mereka cukup
tinggi tetapi mereka masih belum bisa menandingi Boe Kie yang memiliki Lweekang luar
biasa. Biarpun mesti mendukung Tio Beng makin lama pemuda itu lari makin cepat dan
sesudah melewati sebuah lereng ia sudah meninggalkan pengejarnya jauh sekali.
Tapi baru saja mau cari jalanan kecil untuk menyembunyikan diri, mendadak terdengar suara
terompet yang berulang-ulang dan dilain saat tigapuluh lebih serdadu Mongol yang bersenjata
gendewa dan anak panah sudah menghadang di depannya. Hampir bersamaan di atas tanjakan
muncul pula sejumlah serdadu yang melemparkan balok-balok dan batu-batu ke bawah
tanjakan itu. Tapi karena kuatir melukai Tio Beng, balok dan batu itu tidak ditujukan ke arah
Boe Kie. Karena jalanan di depan sudah tercegat ia segera berlari ke tanjakan sebelah kiri,
tapi baru lari beberapa tombak sudah terdengar suara gembereng dan diatas tanjakan muncul
lagi pasukan Mongol lain yang bersenjata gendewa dan anak panah. Kalau seorang diri ia
tentu akan menerjang, tapi dengan mendukung Tio Beng, ia tidak berani mengambil tindakan
yang nekat itu. Andaikata si nona terkena anak panah atau balok batu dan terbinasa, seumur
hidup ia akan menyesal.
Setelah berpikir sejenak, ia segera lari balik ke jalanan yang tadi dilaluinya tapi baru setengah
li ia sudah berhadapan dengan ketiga pendeta asing. Ia menaruh Tio Beng di tanah dan
membentak, “Kalau masih mau hidup, mundurlah!”
Kioe Coen cia maju selangkah dan segera memukul dada Boe Kie dengan kedua telapak
tangannya dalam pukulan Pay san ciang. Dalam menghadapi jalan buntu, Boe Kie tidak dapat
berbuat lain selain melawan. Dengan sepenuh tenaga ia segera menangkis dengan tangan
kirinya.
Sesudah tertangkis tangannya, Kioe Coen cia terhuyung dan mundur beberapa langkah.
Mohan Singh dan Mohan Fa menahan punggungnya dan mendorongnya kembali ke depan.
Untuk kedua kalinya Kioe Coen cia mengirim pukulan Pay san ciang. Karena ingin
menyimpan tenaga kali ini Boe Kie tidak mau melawan kekerasan dengan kekerasan. Ia
menangkis dengan Kian koen Tay lo ie. Tapi ia segera terkejut karena telapak tangannya
mendadak tersedot dan melekat pada telapak tangan si pendeta. Dua kali mencoba menarik
kembali tangannya tapi tidak berhasil. Karena terpaksa, ia segera mengerahkan Kioe yang Sin
kang dan mendorong lawannya. Tapi Kioe Coen cia tidak kena didorong, ia tetap berdiri
tegak.
Dalam kagetnya Boe Kie menyadari bahwa Mohan Singh dan Mohan Fa menempelkan kedua
telapak tangan mereka pada punggung Kioe Coen cia dan ketiga pendeta itu kelihatannya
sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam mereka. Ia segera tersadar, ia ingat Thio Sam
Hong pernah memberitahukan kapadanya bahwa di Thian tiok terdapat sebuah ilmu
mempersatukan tenaga beberapa orang untuk menghadapi tenaga yang sangat besar. Karena
kuatir bala bantuan lawan keburu tiba, sambil membentak keras ia mengempos semangat dan
menambah tenaganya.
Jilid 69_____________________
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1258
Ketiga pendeta itu lantas saja memperlihatkan tanda2 tidak bisa bertahan lagi dan keringat
mereka mengucur dari kepala dan muka. Sekonyong2 Mohan Fa menyemburkan darah dari
mulutnya. Itulah bukti bahwa si pendeta sudah terluka berat, tapi sungguh aneh, sesudah
darah disemburkan, tenaga pihak lawan berbalik bertambah satu kali lipat. Boe Kie terpaksa
menambah pula tenaganya. Di lain saat Mohan Singh, yang selebar mukanya sudah berubah
merak, meyemburkan darah ke leher Kioe Coen Cia seperti tadi, tenaga lawan bertambah lagi
satu kali lipat. Boe Kie lantas saja mersa tenaganya mulai tertindih.
Dalam keadaan terdesatk ia segera mundur dua tindak untuk mengurangi tekanan dan sesudah
itu, sambil mengambil napas dalam2 ia menyerang balik. Diserang begitu, badan Mohan
Singh dan Mohan Fa bergoyang2, hampir2 mereka roboh.
Melihat kedua keponakan muridnya tak dapat bertahan lagi, buru2 Kioe Coen Cia membuka
mulutnya dan menyemburkan darah kemuka Boe Kie. Pemuda itu miringkan kepala untuk
mengegos semburan itu. Mendadak ia merasa dadanya seperti ditindih dengan besi yang berat
nya berlaksa kati dan hawa dibagian tan tian bergolak2. Ia terkejut, Ia tanya nyana, ketiga
pendeta itu memiliki ilmu yg sedemikian aneh. Tapi ia pun tahu, bahwa pihak lawan sudah
hampir kehabisan tenaga. Jika ia bisa bertahan terus, kemenangan terakhir akan direbut
olehnya sendiri. Ia segera memusatkan pikirannya dan mengempos seluruh Kioe yang Sin
Kang yang terdapat dalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian Mohan Fa berlulut, tapi
tangannya masih tetap menempel dipunggung Kioe Coen Cia.
Baru saja Boe Kie bergiran, kupingnya mendadak mendengar suara tindakan kaki yang sangat
enteng dan seorang pembokong menghantam punggungnya. Ia terkesiap dan mengibaskan
tangan kanannya kebelakang untuk memunahkan serangan itu dengan Kian Koen Tay lo Ie.
Tapi ia salah hitung. Tenaga Kian Koen Tay lo ie yg dimilikinya berdasarkan tenaga Kioe
yang sin Kang. Pada saat itu hampir semua tenaga itu sudah dipergunakan olehnya untuk
melawan ketiga pendeta itu.
Dengan demikian, tenaga untuk menangkis si pembokong hanya kira2 dua bagian dari seluruh
tenaganya. Begitu tangannya kebentrok dengan tangan si pembokong, begitu cepat ia merasa
menerobosnya semacam hawa yang dingin luar biasa dan badannya lantas saja bergemetaran.
Dilain detik, ia roboh.
“Lok Sianseng, tahan!” teriak Tio Beng. Si penyerang gelap memang bukan lain daripada Lok
Thung Kek.
Sehabis berteriak, dengan nekad si nona menubruk dan memeluk Boe Kie. “Aku mau lihat
siapa yg berani bergerak lagi!” bentaknya.
Lok Thung Kek sebenarnya sudah mengangkat tangan untuk menghabiskan jiwa Boe Kie
yang dipandangnya sebagai lawan terberat didalam dunia. Tapi karena pemuda itu dialingan
oleh badan sang Koencoe, ia terpaksa undur kemabli dan lalu bersiul keras, sebagai isyarat
bahwa Boe Kie sudah dapat dirobohkan. “Koencoe Nio nio,” katanya, “Ong ya hanya
menghendaki supaya Koen coe Nio nio pulang. Beliau tak punya lain maksud. Orang ini
adalah pemberontak. Mengapa Koen coe Nio nio melindungi dia?”
Tio Beng sebenarnya ingin mencaci bekas orang sebawahan itu tapi sebab kuatir dia menjadi
gusar dan lalu teruntuk tangan jahat terhadap Boe Kie, maka sebisa bisa ia menahan hawa
amarahnya dan lalu membangunkan Boe Kie tanpa mengeluarkan sepatah kata.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1259
Beberapa saat kemudian tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi yang paling depat Ho
Pit Ong, yang kedua Ong Po Po dan yang paling belakang Jie Lam Ong sendiri. Begitu tiba,
mereka lantas melompat turun dari punggung kuda.
Jie Lam Ong mengerutkan alisnya dan berkata, “Beng beng, mengapa kau tak turut nasehat
kakakmu? Bikin apa kau disini?”
Air mata si nona lantas saja mengucur, “Thia,” katanya, “anak telah di hina orang.”
Sang ayah maju beberapa tindak dan mengangsurkan tanagn untuk memegang putrinya. Tiba2
Tio Beng membalik tangannya, sinar putih berkelebat dan ia sudah menandalkan ujung
sebatang pisau pada dadanya sendiri. “Thia!” teriak nya dengan suara menyayat hati. “Jika
kau tidak meluluskan permintaanku hari ini anak akan mati di hadapanmu!”
Jie Lam Ong terkejut, ia mundur setindak dua, “Eeh!... Beng beng… mengapa kau begitu?”
tanyanya. “Jika kau ingin minta sesuatu bicaralah baik2.”
Si nona segera membuka baju di bagian pundaknya dan memperlihatkan lukanya. Racun pada
lukanya itu sudah hilang, tapi lukanya masih belum sembuh dan kelihatannya hebat sekali.
Sebagai seorang ayah yg sangat mencintai anaknya, Jie Lam Ong kaget bercampur bingung.
“Mengapa… mengapa kau sampai mendapat luka begitu berat?” tanyanya dengan suara
gemetar.
Sambil menuding Lok Thung Kek, Tio Beng menjawab dengan suara terputus putus,
“Manusia itu sangan jahat.. anak melawan.. dan … dia menyengkeram anak. Mohon… Thia
thia suka mengadilinya…”
Semangat si tua terbang. Untuk sejenak ia mengawasi si nona dengan mulut ternganga dan
kemudian berkata dengan gemetar. “Tak.. tak mungkin… siauwjin berani berbuat begitu!”
Jie Lam Ong mendelik dan mengeluarkan suara di hidung. “Binatang!” bentaknya. “Dalam
urusan Han Kie, aku sudah menaruh belas kasihan dan tak mau menyelidiki lebih jauh.
Sekarang… huh, huh!... kau berani coba2 melanggar puteri ku. Tangkap!”
Ketika itu para boesoe sudah menyusul sampai disini. Mendengar perintah sang majikan.
Biarpun tahu si kakek berkepandaian sangat tinggi, empat orang lantas saja menerjang. Kaget
dan gusar mengaduk dalam dada Lok Thung Kek. Ia tahu bahwa si nona mau balas sakit hati
sebab ia coba membinasakan Boe Kie. Ia pun tahu bahwa ia takkan dapat melawan sang putri
yg pintar dan banyak akalnya. Maka itu, sesudah memukul mundur keempat boesoe itu
dengan tangan ia menghela napas dan berkata “Soeiee, mari kita pergi!”
Ho Pit Ong kelihatan bersangsi.
“Ho sianseng!” seru Tio Beng. “Kau orang baik, tak seperti suhengmu. Lekas tangkap kan!
Ayahku akan menaikkan pangkatmu dan memberi hadiah besar.”
Hian beng Jie Loo adalah ahli silat jarang tandingan pada jaman itu. Hanyalah karena
kemaruk akan pangkat dan kemewahan, mereka rela mengabdi pada Jie Lam Ong. Ho Pit Ong
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1260
tahu, bahwa kakak seperguruannya memang suak paras cantik dan tuduhan sang Koencoe Nio
Hio mungkin sekali bukan tuduhan kosong. Disamping itu, hatinya jg bergoncang sebab
mendengar janji pangkat dan hadiah besar. Tapi di lain pihak, hubungan dengan Lok thung
Kek menyerupai hubungan antara saudara kandung dan ia merasa tak teag untuk
mengkhianati suhengnya itu. Maka itulah ia sangsi, sangat bersangsi.
Melihat begitu paras muka Lok Thung Kek lantas saja berubah pucat pasti. “Sute,” katanya,
“Kalau kau ingin naik pangkat tangkaplah aku!”
Ho Pit Ong menghela napas, “Suko!” katanya. “Mari kita pergi!” sehabis berkata begitu ia
lalu melompat mendekati kakak seperguruan nya dan dengan berendeng pundak Hian Beng
Jie Loo meninggalkan majikan mereka.
“Beng beng,” kata Jie Lam Ong sesudah kedua kakek itu berlalu, “Sesudah terluka kau harus
pulang dahulu untuk berobat.”
“Waktu anak mau diperkosa, Tio Kongcoe itulah yang sudah menolong,” kata Tio Beng
sambil mengunjuk Boe Kie. “Koko yg tak tahu, latar belakangnya berbalik menuduh dia
sebagai pemberontak Thia ada satu peekraan besar yg harus dilakukan oleh anak dan Tio
Kongcoe. Sesudah selesai kami berdua akan segera menemui Thia Thia.”
Mendengar keterangan itu, Jie Lam Omg tahu bahwa putrinya mencintai Boe Kie. Tapi
menurut laporan puteranya, pemuda itu Kauwcoe dari Beng Kauw kepala pemberontak yg
coba merobohkan Gaon Tiauw. Kunjungannya ke Tiongkok Selatan adalah untuk menghadapi
kawanan pemberontak Beng Kauw didaerah Hway see, Ho Lamg dan Ouwpak. Maka itu cara
bagaimana ia bisa mempermisikan putrinya mengikuti si kepala pemberontak? “Kakak
Kauwcoe dari Beng Kauw,” katanya. “Apa benar?”
“Koko paling pandai mengarang cerita,” jawabnya. “Thia coba taksir2 usianya. Apa mungkin
orang yang seperti dia menjadi pemimpin pemberontak Beng Kauw.”
Jie Lam Ong mengawasi Boe Kie. Ia menaksir paling banter pemuda itu berusia 22 tahun.
Sesudah terluka muka boe kie pucat, sehingga yang tak tahu lebih baik pasti tidak akan
menduga bahwa dia adalah pemimpin dari ratusan ribu tentara rakyat. Tapi raja muda itu tahu,
bahwa putrinya sangat berakal budi. Biarpun bukan seorang kauwcoe, mungkin sekali
pemuda itu salah seorang tokoh penting didalam Bengkauw pikirnya. Memikir begitu ia lantas
saja membentak, “Bawa dia kekota dan selidiki asal usulnya. Asala saja dia bukan anggota
Mo Kauw aku akan “memberi hadiah,” dengan begitu, ia coba menolong putrinya supaya si
nona tak usah mendapat malu terhadap orang2 sebawahannya.
Empat boecoe segera mendekati Boe Kie.
Tio Beng menangis, “Thia thia apa benar mau mau memaksakan kebinasaanku?” tanyanya. Ia
menekan pisaunya yg lantas saja menancap setengah dim, di daging sehingga darah lantas
saja mengucur dan menodai bajunya.
Jie Lam Ong terkesiap, “Beng beng! Tak boleh kau berbuat begitu…” teriaknya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1261
“Thia thia anakmu tidak berbakti…” kata pula si nona. “Diam diam anak sudah menikah
dengan Tio Kongcoe dan sekarang anak sudah mengandung! Kalau Thia mau membinasakand
ia, binasakanlah anak terlebih dahulu…”
Pengakuan itu bagaikan halilitar ditengah hari bolong. Bukan saja Jie Lam Ong dan Ong
Popo, bahkan Boe Kie sendiri kaget tak kepalang. Pemuda itu tak pernah mimpi, bahwa untuk
melindungi dirinya si nona rela mengarang cerita itu, kedustaan yg menodai kesuciannya
sendiri sebagai seorang gadis bangsawan dan terhormat.
Berulang ulang Jie Lam Ong membanting2. “Apa benar?.... Apa benar?....” tanyanya
berulang2.
“Hal itu adalah hal yg sangat memalukan,” jawabnya. “Kalau bukan karena terpaksa anak
pasti tidak akan membusukkan nama sendiri dihadapan orang banyak. Anak tahu, kejadian ini
juga akan menyeret nama baik ayah dan saudara. Thia thia, jangalanh kau berduka! Hitung2
Thia thia kehilangan seorang anak. Lepaskanlah supaya anak bisa bawa diri sendiri!”
Dengan tagnan rada bergemetaran raja muda itu mengurut2 jenggotnya, sedang kepala dan
mukanya basah dengan keringat. Dia adalah seorang jendral besar yang biasa mengambil
keputusan2 penting dalam waktu yg sependek2nya. Tapi sekarang ia bingung. Ia tak tahu apa
yg harus diperbuatnya.
“Moaycoe,” kata Ong Popo, “Kau dan Tio Kongcoe terluka berat, maka sebaiknya pulang
bersama sama Thia thia untuk berobat. Sesduah kau berdua sembuh, Thia thia lantas bisa
menikahkan kamu secara pantas. Thia thia dapat menatu, aku sendiri mendapa moay-hoe.
Bukankah lebih baik begitu?”
Tio Beng tahu, bahwa bujukan sang kakak hanya merupakan tipu untuk mengulur waktu. Ia
tahu, bahwa begitu lekas jatuh ke dalam tangan mereka, Boe Kie tak usah harap hidup lebih
lama lagi. Tanpa menghiraukan kakaknya, ia lantas saja berkata, “Thia thia, ibarat beras
sekarang adalah menjadi bubur. Kata orang, kawin dengan ayam, mengikut ayam, kawin
dengan anjing, mengikuti anjing. Mati atau hidup anak mengikut Tio Kongcoe. Segala siasat
tidak akan bisa memperdayai aku. Bagi Thia thia hanya terbuka 2 jalan. Apabila kau suka
mengampuni anak, anak akan hidup terus. Tapi jika kau ingin anak mati, anak anak segera
mati dihadapanmu.”
“Beng beng!” bentak sang ayah dengan gusar. “Kau harus pikir masak2. Jika kau mengikuti
pemberontakan itu, mulai dari sekarang kau bukan anakku lagi.”
Dalam sedetik itu, si nona memikiri bulak balik ratusan kali. Ia merasa sangat berat untuk
meninggalkan ayah dan kakak. Mengingat kecintaan sang ayah, hatinya seperti tersayat pisau.
Tapi ia mengerti, bahwa sedikit saja ia bersangsi, jiwa Boe Kie takkan bisa ditolong lagi. Ia
segera mengambil keputusan untuk lebih dahulu menolong kecintaannya dan dihari
kemudian, barulah berusaha untuk meminta pengampunan sang ayah dan kakak. Maka itu, ia
lantas saja berkata dengan suara perlahan. “Thia thia.. koko… segala apa memang salah Beng
beng. Ampunilah aku…”
Melihat keputusan putrinya tak bisa diubah lagi, bukan main rasa dukanya Jie Lam Ong. Ia
merasa sangat menyesal, bahwa ia telah memperlihatkan rasa cintanya secara berlebih2an
terhadap anak itu dan membiarkannya berkelana di dunia Kangouw, sehingga terjadi kejadian
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1262
yang menyakiti hatinya itu. Mereka mengenal putri itu sebagai manusia keras kepala. Kalau
dipaksa, bukan tak bisa jadi dia benar2 akan membunuh diri. Tanpa merasa jenderal tua itu
menghela napas dan air matanya mengucur, “Beng beng...” katanya dengan suara parau, “Kau
harus bsia menjaga diri. Thia thia mau pergi… berhati-hatilah!...”
Si nona mengangguk. Ia tidak berani mengangkat muka untuk melihat wajah ayahnya.
Jie Lam Ong memutar tubuh lalu turun gunung dengan tindakan perlahan. Ia seperti tidak
melihat kudanya yg dituntun oleh seorang pengawal. Ia terus berjalan kaki. Tapi baru berjalan
belasan tombah, tiba2 ia menengok dan berseru, “Beng beng, apa lukamu tak berbahaya? Apa
kau bawa uang?”
Dengan air mata berlinang2, si nona menganggutkan kepalanya.
Alis Jie Lam Ong berkerut. Tiba2 dia berpaling kepada pengawalnya dan berkata, “Serahkan
dua ekor kuda kepada Koen Coe!”
Beberapa pegawal lantas saja menuntun dua ekor kuda pilihan dan menyerahkan nya kepada
Tio Beng.
Sesudah menghadiahkan kedua ekor kuda kepada putrinya, dengan diiring oelh para
pengawal, Jie Lam Ong terus turun gunung. Enam orang boesoe memapak ketiga pendeta
Thian tiok yg tidak bisa jalan karena kehabisan tenaga. Tak lama kemudian di jalanan itu
hanya ketinggalan Boe Kie dan Tio Beng berdua.
Boe Kie lantas bersila dan mengerahkan sinkang untuk mengeluarkan hawa dingin akibat
pukulan Lok Thung Kek, dari dalam tubuhnya. Dia menderita luka berat, sebab pada Long
Thung Kek mengirim pukulan, ia sedang menggunakan seanterot tenaganya untuk
menghadapi ketiga pendeta Thian tiok. Sesudah ia mengerahkan Kioe Yang Cin Khie tiga
putaran dan dua kali memuntahkan darah, barulah dadanya yg menyesak jadi lebih lega. Ia
membuka mata dan melihat paras muka Tio Beng yg diliputi rasa kuatir, “Tio Kouwnio, kau
sangat menderita,” katanya dengan suara lemah lembut.
“Apa sampai sekarang kau masih merasa perlu untuk memanggil aku dengan istilah Tio
Kouwnio?” tanya si nona. “Aku sudah bukan orang Kerajaan lagi, aku sudah bukan seorang
Koencoe… Apa… apa kau menganggap aku sebagai wanita siluman?”
Perlahan2 Boe Kie bangun berdiri.
“Aku ingin ajukan satu pertanyaan,” katanya dengan suara sungguh2. “Kau harus menjawab
sejujur2nya. Siapakah yg melukai piauw moay ku, In Lee? Apa kau?”
“Bukan!” jawabnya.
“Kalau bukan kau siapa?”
“Aku tidak bisa memberitahukan. Begitu lekas aku bertemu dengan Cia Tayhiap, orang tua itu
bisa segera memberi keterangan jlease kepadamu.”
“Giehoeku? Apa benar Giehoe tahu siapa yg turunkan tangan jahat?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1263
“Kau baru saja terluka dan kau tidak boleh banyak berpikir. Aku hanya ingin mengatakan
begini. Apabila dihari kemudian, sesudah menyelidiki sejelas2nya, kau mendapat bukti bahwa
Thio Kouwnio dicelakai olehku, maka tanpa kau turun tangan, aku sendiri akan membunuh
diri dihadapamu.”
Mendengar perkataan yg diucapkan sangat bernapsu dan tegas jelas, Boe kie tidak bisa
percaya. Sesudah memikir sejenak ia berkata. Hm… kalau tak salah piauwmoay dicelakai
oleh salah seorang dari kapal Persia. Mungkin sekali seorang yg berkepandaian tinggi dari
kapal itu diam diam menyateroni pulau itu membikin kami semua jadi mabuk, turunkan
tangan jahat terhadap piauw moay dan kemudian mencuri Ie Thian Kiam dan To Liong To.
Dilihat begini, sesudah menolong Gie Hoe, kita harus pergi ke Persia. Hai!... Siauw Ciauw!...
Tio Beng tertawa geli, “Ku tahu segala akalmu,” katanya. “Kau ingin bertemu dengan Siauw
Ciauw dan kau sengaja membuat dugaan yg tidak2. Aku menasehati, lebih baik kau jangan
memikir yg bukan. Paling penting kau mengobati lukamu, supaya kita bisa pergi ke Siauw
Lim Sie secepat mungkin.”
Boe Kie heran, “Perlu apa ke Siauw Lim Sie?” tanyanya.
“Menolong Cia Tayhiap?” jawabnya.
Boe Kie jadi lebih heran lagi, “Giehoe berada di Siauw Lim Sie?” ia menegas.
“Bagaimana Giehoe berada disitu?”
“Hal ini banyak seluk beluknya,” sahut si nona. “Akupun masih belum tahu seterang2nya.
Tapi bahwa Cia Tayhiap sekarang berada di Siauw Lim Sie adalah kenyataan yang tak dapat
dibantah lagi. Diantara orang2 sebawahanku terdapat seorang serdadu yang mencukur rambut
dan menjadi pendeta di Siauw Lim Sie. Dialah yang beritahukan aku tentang Cia Tayhiap.”
“Ha!... sungguh lihai!...” seru Boe Kie. Entah apa yg dimaksudkan olehnya dengan perkataan
lihai itu. Mungkin lihai itu berarti hebatnya bahaya yg dihadapi Cia Soen. Sesudah berkata
begitu ia menundukkan kepala dan tak bicara lagi. Mendadak tubuhnya bergoyang ‘uah’. Ia
muntah darah.
Tio Beng jadi bingung “Aku sungguh menyesal!” katanya. “Kalau kutahu lukamu begitu
hebat, kalau kutahu kau jadi begitu jengkel aku pasti takkan bicara.”
Boe Kie duduk menyandar dibatu gunung dan berusaha untuk menjernihkan pikirannya. Tapi
sebab pikirannya lagi kalut ia gagal dalam usahanya. “Kong kian Sengceng dai Siauw Lim Sie
dibinasakan oleh Gie Hoe,” katanya. “Selama dua puluh tahun lebih orang2 Siauw Lim Sie
coba mencari Gie hoe untuk membalas sakit hati. Kalau sekarang Gie hoe jatuh ketangan
mereka, jiwalnya pasti akan melayang.”
“Kau tak usah bingung,” bujuk si nona. “Ada sesuatu yang menolong jiwa Cia Tayhiap.”
“Apa itu?”
“To Liong To.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1264
Boe Kie mendengar. Ia mengakui kebenaran perkataan Tio Beng. Selama beberapa ratus
tahun Siauw Lim pay menjadi pemimpin dalam rimba persilatan. Partai itu sangat ingin
memiliki To Liong To yg dikenal sebagai “Boe lim Cie coen” (yang termulia dirimba
persilatan).
Untuk mendapatkan golok mustika itu mereka pasti takkan gampang2 membunuh ayah
angkatnya. Tapi biar bagaimana pun juga, orang tua itu tentu takkan terlolos dari macam2
penderitaan dan haluan.
“Menurut pendapatku, usaha menolong Cia Tayhiap sebaiknya dilakukan oleh kita berdua
saja,” kata Tio Beng. “Biarpun dalam Beng Kauw terdapat banyak orang gagah, tapi kalau
kita menyerang secara besar2an, kedua belah pihak pasti akan mendapat kerusakan besar.
Apabila Siauw Lim Sie merasa tak tahan menghadapi serang Beng Kauw, mungkin sekali
mereka akan turunkan tangan jahat terhadap Cia Tayhiap, sebelum kita keburu menolong.”
Boe Kie manggut2kan kepala. Ia menyetujui perkataan si nona dan ia merasa sangat berterima
kasih, “Beng moay, kau benar”, katanya. (Beng moay = adik Beng).
Sungguh sedap perkataan “Beng moay” itu, yang digunakan Boe Kie untuk pertama kali!
Tapi dilain detik Tio Beng ingat orangtuannya, sanak familinya. Ia ingat bahwa mulai
sekarang ia tak bisa pulang lagi kepada orantuanya dan mengingat begitu, ia berduka. Boe Kie
apa yang dipikir gadis itu, tapi ia tak tahu bagaimana harus menghiburnya. Akhirnya ia
berbangkit dan berkata. “Hayo kita berangkat.”
Melihat paras muka Boe Kie yang pucat pasi. Si nona merasa sangat kuatir. “Thia thia yang
sangat mencintai aku tidak akan mengambil tindakan,” katanya. “Yang aku kuatir adalah
koko. Dia mungkin akan mengirim orang untuk menangkap kita.
Boe Kie mengangguk. Ia pun merasa bahwa Ong Popo yang sangat lihat tak akan gampang2
mau melepaskan mereka berdua. Mereka terluka berat dan perjalanan ke Siauw Lim Sie
kelihatannya penuh dengan duri.
“Boe Kie koko,” kata si nona. “Sekarang kita menyingkir dulu dari tempat ini. Sesudah tiba di
kaki gunung barulah kita berdami lagi.”
Sekali lagi Boe Kie mengangguk. Dengan tindakan limbung mendekati kuda. Selagi mau
melompat naik, tiba2 badannya sakit dan tenaganya tak cukup untuk naik kepunggung kuda.
Sambil mengigit gigi, Tio Beng mendorong dia keatas dengan tangan kiri. Tapi sesudah Boe
Kie berada diatas kura, lukanya di dada akibat tusukan pisau kembali mengeluarkan darah.
Dengan banyak susah barulah ia bisa turut naik dan duduk dibelakang Boe Kie. Kalau tadi ia
dipapah Boe Kie, sekarang ia yang harus memapah Boe Kie. Sesudah mengaso beberapa saat,
tunggangan itu baru dijalankan, sedang yang seekor lagi mengikuti dari belakang.
Perlahan2 mereka turun gunung. Tio Beng sudah menduga pasti, bahwa sebegitu lama masih
berada dihadapan ayahandanya, kakaknya tentu tidak akan berani bertindak. Tapi kalau sudah
menyingkir dari mata orang tua itu, Ong Popo bisa mengambil segala rupa tindakan. Maka
itu, mereka segera membelok ke timur dan kemudian mengambil sebuah jalanan kecil.
Sesudah berjalan beberapa lama, mereka merasa agak lega. Andaikata Ong Popo mengirim
orang untuk mengejar, tak mudah orang itu bisa menemukan mereka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1265
Selagi enak jalan, sekonyong2 terdengar suara kaki kuda dan dua penunggang kuda
mendatangi dari belakang dengan cepatnya. Muka Tio Beng lantas saja berubah pucat. Sambil
memeluk pinggang Boe Kie, berkata, “Kakakku bertindak cepat sekali. Kita ternyata tidak
bisa terlolos dari tangannya. Boe Kie biarlah aku pulang dulu. Aku akan berikhtiar untuk
memohon kepada ayah supaya kita bisa berkumpul kembali. Boe Kie koko, aku akan
bersumpah tidak akan mengkhianati kau!” Sesaat itu kedua pengejar sudah datang dekat
sekali. Tio Beng menarik les supaya tunggangan miring ke sisi jalanan dan mencabut
pisaunya. Ia sudah mengambil keputusan pasti, bahwa jika kakaknya mau jiwa Boe Kie, ia
akan mati bersama2 kecintaannya itu.
Tapi sesudah elwat, kedua pengejar itu tidak lantas berhenti dan ternyata mereka hanyalah
dua serdadu biasa. Baru saja Tio Beng bergirang, kedua serdadu Mongol itu mendadak
menahan kuda tunggangan mereka dan sesudah berdamai sejenak mereka lalu membelokkan
kuda dan menghampiri.
“Hai! Darimana kamu curi kuda2 itu?” bentak salah seorang yang berewokan.
Mendengar bentakan itu Tio Beng tahu, bahwa mereka jadi mata merah karena melihat kuda
yang dihadiahkan oleh ayahnya. Kuda2 itu adalah tunggangan pilihan dengan seta tertata
emas sanggurdi yg terbuat daripada per k. Orang2 Mongol sangat mencinai kuda, sehingga
oleh karenanya tidaklah heran kalau kedua serdadu itu bergoncang hatinya. Diam2 si nona
mengambil keputusan bahwa kalu terpaksa ia akan menyerahkan kuda2 itu. “Jangan kurang
ajar!” bentaknya dalam bahasa Mongol, “Dalam pasukan siapa kamu berdua?”
Serdadu itu terkejut. “Siapa Siocia?” dia balas menanya. Melihat pakaian Boe Kie dan Tio
Beng yang sangat indah dan mendengar bahasa Mongol yg diucapkan dengan lancar dia tidak
berani berlaku sembrono.
“Aku adalah putri Waeri Puche Ciangkoen,” jawab Tio Beng. “Ini kakakku. Ditengah jalan
aku bertemu dengan orang jahat dan kami terluka.”
Kedua serdadu itu saling melirik dan kemudian mereka tertawa terbahak2. “Bagus!” teriak si
berewok. “Paling benar aku antar kamu berdua ke akherat!” Seraya berkata begitu, dia
menghunus golok menyentik les dan menerjang.
Tio Beng terkesiap. “Ee!” teriaknya. “Aku akan beritahukan ayah dan engkat akan dibeset
oleh empat kuda.”
Si botak menyeringai dan mengeluarkan suara di hidung. “Puche tak becus melawan
pemberontak Beng kauw dan melampiaskan amarahnya terhadap aku,” katanya. “Kemarin
aku membenrontak dan mencincang ayahmu. Sungguh kebetulan kami bertemu dengan kamu
berdua.” Seraya berkata begitu ia membacok. Tio Beng mengendut les dan kudanya
melompat sehingga golok membacok angin. Selagi siberewok mau mengubar kawannya yg
berusia lebih muda berkata, “Jangan bunuh nona manis itu! Paling benar kita mengambil dia
untuk menghibur hati.”
“Bagus!” kata si berewok.
Pada detik itu, Tio Beng yg sangat pintar sudah menghitung tindakan yg harus diambilnya. Ia
melompat turun dari punggung kuda dan lari ke sisi jalanan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1266
Kedua serdadu itu lantas saja mengubar.
“Aduh!” teriak si nona yang lantas roboh ditanah.
Si berewok menubruk. Begitu di tubruk, dengan sikutnya Tio Beng menggentus dada si
penyerang, yang tanpa bersuara lagi, lantas terguling. Gentasan itu kena tepat pada jalan
darah. Kawannya gusar dan lantas menyerang, tapi iapun mendapat nasib seperti si berewok.
Sesudah merobohkan kedua serdadu itu, dengan napas tersengal sengal Tio Beng turunkan
Boe Kie dari punggung kuda. “Binatang! Kamu mau mati atau hidup?” bentaknya.
Kedua serdadu itu yang tidak mengharap hidup lagi, melihat jalan hidup. “Ampun nona!” kata
si berewok. “Aku tidak ikut menyerang Waerl Puche Ciangkoen.”
“Baiklah,” kata si nona. “Kamu menurut perintah, aku akan mengampuni jiwa anjingmu!”
“Turut! Turut!” jawab mereka, tergesa gesa.
Sambil menuding kedua kudanya sendiri si nona berkata, “Dengan menunggang kuda2 itu,
kamu harus pergi ke jurusan timur. Dalam sehari dan semalam, paling sedikit kamu harus
melalui tiga ratus li. Lebih cepat lebih baik.”
Kedua serdadu itu saling mengawasi. Mimpi pun ereka tak pernah mimpi, bahwa mereka akna
mendapat perintah itu. Beberapa saat kemudia barulah si berewok berkata, “Kauw nio,
siauwjin tidak… tidak berani…”
“Jangan rewel!” memutus Tio Beng. “Lekas nunggang kuda2 itu! Kalau ditanya orang,
katakan saja, bahwa kamu membelinya di pasar. Kamu tidak boleh beritahukan hal yg
sebenarnya. Mengerti?”
Kedua serdadu itu masih bersangsi. Tapi karena didesak Tio Beng berulang2, sambil menahan
sakit dan dengan terpincang2, mereka lalu menghampiri kedua tunggangan itu. Tangan
mereka masih belum bisa bergerak. Untung juga setiap orang Mongol pada jaman itu mahir
dalam ilmu menunggang kuda, sehingga, biarpun tidak menggunakan tangan, ia bisa juga naik
kepunggung binatang itu dan kemudian menjalankannya. Mereka menduga Tio Beng seorang
otak miring dan merasa kuatir, kalau si nona berubah pikiran secara mendadak. Maka itu,
sesudah berjalan belasan tombak, mereka menjepit perut kuda erat2, sehingga kedua binatang
itu lantas saja kabur.
Boe Kie menghela napas, “Beng moay, kau sungguh pintah,” ia memuji. “Jika kuda2 itu
dilihat oleh orang2nya kakakmu, mereka tentu menaksir, bahwa kita lari kejurusan timur.
Beng moay, kemana kini kita menuju?”
“Ke Barat Daya,” jawabnya.
Mereka lantas saja menunggung kuda yg ditinggalkan oleh serdadu Mongol dan dengan
perlahan menuju ke barat daya.
Jalan kecil yg diambil mereka berliku2 dan penuh dengan pohon2 berduri. Sesudah berjalan
kurang lebih satu jam dan melalulu kira2 duapuluh lie, matahari mulai menyelam ke barat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1267
Selagi mencari2 tempat untuk beristirahat, tiba2 mereka melihat mengepulnya asal disebelah
depan. “Didepan ada rumah orang untuk kita bermalam,” kata Boe Kie dengan girang.
Mereka segera menuju keasap itu. Tak lama kemudia mereka lihat tembok kuning yg
mengitari sebuah kelenteng.
Sesudah menurunkan Boe Kie, Tio Beng menghadapkan kuda itu ke arah Barat dan kemudian
mencambuknya dengan sebatang ranting duri. Kedua binatang itu berdenger dan kabur
sekeras2nya. Demikianlah, sekali lagi si nona mengatur siasat untuk memperdayai pengejar2
yang mungkin dikirim oleh kakaknya. Dengan hilangnya tunggangan, perjalanan makin sukar
dilakukan. Tapi nona Tio tidak mau memikir panjang2. ia mendahulukan apa yg dianggapnya
paling penting. Untuk menyelamatkan diri ia haru lebih dahulu menenggelamkan perahu.”
Dengan saling memapah, mereka mendekati pintu. Diatas pintu itu terdapat sebuah papan
dengan huruf2 yang berbunyi, “Tiong gak Sin oio.” (Kelenteng Malaikat Tiong gak)
Tio Beng segera mengetuk2 pintu. Sesudah menunggu lama belum juga ada jawaban, si nona
mengetuk lagi. Selang beberapa saat, dari dalam terdengar bentakan, “Siapa? Manusia atau
setan?” dalam suara itu terdapat lweekang sehingga sudah dapat dipastikan, bahwa yg bicara
adalah seorang Rimba Persilatan. Boe Kie kaget dan menarik si nona.
Tiba2 terdengar suara “kreeeyot” dan daun pintu itu yg rupanya jarang dibuka lantas saja
terpentang. Diambang pintu berdiri seorang tapi karena waktu itu cuaca mulai gelap dan dia
berdiri membelakangi sinar tenar terang, maka Boe Kie dan Tio Beng tidak bisa melihat
mukanya. Tapi dia seorang pendeta, sebab kepalanya gundul dan mengenakan pakaian hweeshio.
“Kami berdua kakak beradik,” kata Boe Kie. “Ditengah jalan kamu bertemu dengan
perampok dan mendapat luka. Kami mohon bermalam disini dan kamu percaya Taysoe suka
menaruh belas kasihan.”
Pendeta itu mengeluarkan suara dihidung.
“Huh… tidak!” sahutnya. “Disini bukan pengindapan.” Sehabis berkata begitu, tangannya
bergerak untuk menutup pintu.
“Taysoe, tahan dulu!” kata Tio Beng. “Kata orang, siapa yg membantu orang, membantu diri
sendiri. Dengan menolong kamu, mungkin Taysoe mendapat juga kebaikannya.”
“Kebaikan apa?” tanyanya dengan aseran.
Si nona segera membuka anting2nya yg tertata mutiara dan meyerahkannya kepada pendeta
itu.
Melihat mutiara yang bersinar terang, untuk sejenak si pendeta mengawasi kedua tamunya
dengan mata tajam. Akhirnya ia berkata, “Baiklah! Ya … membantu orang, membantu diri
sendiri.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1268
Dengan memapah Boe Kie, Tio Beng segera bertindak masuk. Si pendeta membawa merea
melewati ruang sembahyang dan sebuah perkarangan dan akhirnya berhenti disebuah kamar
samping yang terletak dibagian timur.
“Kalian boleh tidur disini,” katanya.
Kamar ini gelap gulita. Dengan meraba2 ranjang, Tio Beng hanya mendapat selembar kasur
rumput.
Mendadak terdengar suara sangat nyaring. “Hek Soetee, siapa?”
“Dua tamu yg numpang mengindap,” jawabnya si pendeta yang lantas saja bertindak untuk
berlalu.
“Taysoe,” kata Tio Beng, “Bolehkan kami minta dua mangkok nasi dan sedikit
makanannya?”
“Tidak ada nasi!” bentaknya, dan terus berlalu.
Si nona mendongkol bukan main. “Kurang ajar!” katanya, “Boe Kie koko, kau tentu lapar.
Kita harus berusaha untuk mendapat makanan.”
Diluar kamar sekonyong2 terdengar suara tindakan yang ramai. Sinar api berkelebat dan pintu
didorong orang. Dua orang pendeta mengangkat Ciaktay (tempat menancap lilin) tinggi2.
dengan sekelebatan Boe Kie sudah tahu, bahwa yang datang berjumlah delapan orang ada yg
alisnya tebal matanya melotot. Ada yang otot2 mukanya menonjol keluar. Semua beroman
bengis dan kelihatannya semua bukan orang baik2.
“Keluarkan semua harta bendamu!” bentak seorang pendeta tua.
“Perlu apa?” tanya Tio Beng.
“Karena berjodoh kalian datang disini dan secara kebetulan kami ingin mengadakan
sembahyang besar serta memperbaiki kelenteng kami yang sudah tua,” kata si pendeta. “Maka
itu kami minta kalian suka mengeluarkan emas, perak dan lain2 barang berharga dan
menyumbangkannya kepada kami. Apabila kalian berlaku pelit dan pousat sampai jadi gusar
kalian berabe sekali.”
“Ah! Itulah perbuatan perampok!” kata si nona dengan gusar.
“Maaf! Maaf!” kata si pendeta sambil menyeringai. “Urusan perampok membunuh dan
membakar memang perkerjaan kami. Karena didesak Mo Kauw, kami terpaksa mencukur
rambut untuk mengelakan bencana. Kalian berdua berjodoh dengan kami. Kambing gemuk
datang sendiri! Ha! Ha! Sungguh kejadian yg sukar terjadi lagi!”
Boe Kie dan Tio Beng terkesiap. Celaka sungguh! Mereka masuk disarang perampok.
“Lie siecoe jangan takut,” kata seorang pendeta lain sambil tertawa terhehe hehe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1269
“Kami berdelapan kebetulan tak punya nyonya. Kau begitu cantik! Sungguh kebetulan! He he
he he…”
Tio Beng merogoh saku dan mengeluarkan delapan potong emas serta serenceng mutiara yg
lalu ditaruh diatas meja. “Inilah semua milikku,” katanya. “Kami berdua adalah orang2 Rimba
Persilatan juga. Kami harap dengan memandang persahabatan, kalian tak menganggu kami
lagi.”
“Bagus!” kata si pendeta tua. “Apakah aku bisa tahu nama partai kalian?”
“Kami murid Siauw Lim Pay,” jawabnya. Siauw Lim Pay adalah sebuat partai besar dan
dengan menyebutkan partai ebsar itu Tio Beng mengharap urusan akan jadi beres.
Tapi diluar dugaan si tua lantas saja tertawa terbahak2. “Murid Siauw Lim Pay?” Ia menegas
denga suara menyeramkan. “Sungguh kebetulan! Kami tidak bisa melawan hweeshio2 Siauw
Lim Pay dan sekarang mendapat kesempatan untuk melampiaskan ganjelan kamu terhadap
kamu.” Seraya berkata begitu, ia mengangsurkan tangannya untuk menarik Tio Beng. Si nona
mundur, sehingga tangan itu menjambret angin.
Boe Kie mengerti, bahwa baya sudah sangat mengancam. Ia dan Tio Beng terluka berat dan
tidak bisa melawan. Selama beberapa tahun ia merobohkan banyak jago Rimba Persilatan yg
kenamaan. Apa sekarang ia mesti binasa didalam tangan kawanan penjahat kecil? Tidak! Biar
bagaimana pun juga, ia mesti melawan. “Beng Moay,” bisiknya “Kau sembunyi dibelakang
ku. Aku masih bisa bereskan mereka.”
Nona Tio sangat pintar. Tapi sekarang ia mati akal. “Siapa sebenarnya kamu semua?”
“Kami adalah murid2 yang diusir dari Siauw Lim Sie,” jawab si perampok tua.
“Kalau bertemu dengan anggota lain partai, kami masih bisa menaruh belas kasihan. Tapi
terhadap orang Siauw Lim sie… huh.. huh!... semuanya mesti dibunuh.”
“Bagus!” bentak Boe Kie. “Kamu pasti murid2 pendeta jahat Goan Tin. Bukan begitu?”
Si perampok tua (Red: aslinya di bilang si nona) mengeluarkan seruan kage. “Heran!
Bagaimana kau tahu?” tanyanya.
“Kami justru mau ke Siauw lim sie.” Tio Beng mendahului. “Kami ingin menemui Tan Yoe
Liang toako untuk mengangkat Gian Tin Taysoe menjadi Hong thio.” (Hong Thio kepala
sebuah kelenteng).
“Bagus!” seru si tua. “Sang Budha memang sangat murah hati.”
“Ya.” Menyambung si nona, “kita semua harus bersatu padu untuk mencapai tujuanyg besar.”
Semua penjahat itu tiba2 tertawa terbahak2.
Kedelapan penjahat itu memang benar konco2 nya Tan Yoe Liang. Tan Yoe Liang lah yg
membawa mereka ke Gian tin. Mereka berasal dari Rimba Hijau (kalangan perampok) dan
memiliki ilmu yg cukup tinggi. Sesudah mendapat petunjuk2 Goan tin kepandaian mereka
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1270
bertambah tinggi. Selama beberapa tahun memang Goan tin berusaha keras untuk merebut
kedudukan hong thio dan mencari murid dari berbagai tempat. Untung juga Siauw lim sie
mempunyai peraturan yang keras dan setiap murid baru selalu diselidiki asal usulnya,
sehingga Goan tin tiada berhasil dalam usaha mengumpulkan orang2nya didalam kuil itu.
Belakangan Tan Yoe Liang mengatur lain siasat. Ia mencari orang2 gagah dan penjahat2
dalam dunia Kang ouw dan mereka mengangkat Goan tin sebagai guru diluar Siauw Lim sie.
Mereka disiapkan sekitar Siauw Lim Sie dan menunggu saat yg baik untuk turun tangan.
Goan tin adalah ahli silat kelas utama pada jaman itu. Mendengar nama Siauw Lim sie yang
cemerlang dan melihat kepandaian pendeta itu banyak orang Kang ouw lari dari partainya
sendiri dan rela menjadi muridnya, untuk menjadi murid Goan tin. Perkataan “Sang Budha
memang sangat murah hati” sebenarnya kata2 rahasia dari persekutuan Goan tin dan harus
dijawab dengan “Kembang mekar menemui Sang Budha.” Tio Beng sangat pintar. Ia bisa
lantas menebak, bahwa Goan Tin ingin merebut kedudukan hong thio, tapi ia tidak tahu,
bahwa perkataan yg diucapkan oleh si tua adalah kata2 rahasia.
“Hoe toako,” kata seorang yg katai gemuk, “Bocah perempuan itu mengatakan guru kita mau
diangkat sebagai Hong thio. Darimana ia dengar warta itu? Hal ini hal besar. Kitaharus
menyelidiki seterang2nya.”
Sementara itu, begitu mendenar nada tertawa kedelapan penjahat itu, Boe Kie sudah tahu
bahwa ada sesuatu yg tidak benar dan bahaya yg lebih besar sedang mengancam. Sesudah
terluka, meskipun Cin khie (hawa tulen) didalam tubuhnya tidak menjadi musnah, hawa itu
suka dikumpulkan dan digunakan untuk berkelahi. Dalam menghadapi bencana, mati2an ia
berusaha untuk mengumpulkan hawa tersebut. Tapi ia gagal. Hawa itu berkumpul dalam
kelompok2 kecil disana sini dalam tubuhnya, tapi tidak bisa menjadi satu dan mengalir
disepanjang jalan darah.
Tiba2 si penjahat tua menjambret Tio Beng. Sebab tak kuat menangkis, si nona hanya mundur
keranjang Boe Kie sendiri tetap bersila sambil memejamkan kedua matanya. Ia terus
mengerahkan pernapasannya dengan harapan sebagian tenaganya akan pulih kembali.
Melihat Boe Kie bersila dengan tenang di tengah ranjang, penjahat yg bertubuh katai gemuk
meluap darahnya. “Bocah, kau sungguh sombong!” bentaknya sambil mengerahkan seluruh
lweekangnya, sehingga tulang2nya berbunyi perotok2 dan kemudian, ia meninju Lan thiong
hiat di dada Boe Kie sekuat2nya. “Buk!” Sehabis meninju lengan kanannya terkulai, matanya
melotot dan ia tidak bergerak lagi. Si pendeta tua terkejut dan mengangaurkan tangan untuk
menarik kawai itu. Tapi begitu tersentuh, si katai gemuk roboh --- mati!
Kawanan penjahat itu kaget tercampur gusar. Mereka menduga Boe Kie memiliki ilmu
siluman.
Mengapa penjahat itu binasa seketika? Sebagaimana telah dikatakan, sesudah terluka Cin
Khie (hawa tulen) dalam tubuh Boe Kie sukar berkumpul menjadi satu dan tidak bisa
digunakan untuk melukai musuh. Tapi biarpun begitu, Kioe yang sin Kang didalam badannya
tidak menjadi musnah. Penjahat itu memukul dengan sepenuh tenaganya. Kioe yang Sin kang
Boe Kie waktu itu memang tidak cukup untuk menghantam musuh, tapi lebih dari cukup
untuk melindungi dirinya sendiri. Begitu terpukul, tenaga Kioe yang segera menolah dan
memulangkan tenaga pukulan itu. Disamping itu terjadi pula kejadian yg diluar dugaan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1271
Karena terpukul hawa Kioe yang dalam Boe Kie terbangun pula, sehingga tenaga menolak
ditambah lagi dengan tenaga lain. Itulah sebabnya mengapa si penjahat lantas saja binasa.
Pendeta tua itu seorang yg berpengalaman luas. Ia tahu bahwa Boe Kie mengugnakan ilmu
meminjam tenaga, memukul tenaga. Tapi ia tidak jadi gentar, sebab ia percaya akan
kelihaiannya Tiat see ciang nya (Tangan Pasir Besi). Sambil menarik napas dalam2, ia segera
memukul dengan kedua tangannya.
Dalam Rimba Persilatan, Tiat See Ciang si tua cukup terkenal dan ia mendapat julukan Sin
see Pa Thian Chioe (Tangan pasir malaikat yg bisa memecahkan langit)
Waktu kawannya yg gemuk memukul dada Boe Kie ia menyaksikan terang2an denga kedua
matanya sendiri. Ia menduga bahwa didada pemuda itu tersimpat senjata beracun. Maka itu ia
sekarang tujukan pukulannya kepada lengan Boe Kie yang berada di luar tangan baju. Ia ingin
mematahkan lengan itu lebih dahulu dan kemudian barulah membinasakan pemuda itu. Tapi
begitu memukul tubuh si tua terbang keluar dari jendel yg terbukan menjadi hancur dan
kepalanya membentur batang pohon, sehingga ia binasa seketika itu juga.
Ketiga kawannya, yg masih belum tahu nasib si tua, lantas saja menyerang dengan berbareng.
Yang satu meninju Tay yang hiat yang satu mencoba mengorek biji mata dengan pukulan
Siang liong Chio coe (Sepasang naga merebut mutiara) sedang yg ketig menendang tan tian
(dibawah pusar). Dengan menundukkan kepala Boe Kie menggores dua jari tangan yang mau
mengorek biji matanya sehingga pukulan itu mampir pada dahinya dan sambil menahan
napas, ia menerima dua pukulan yg lain.
Berbareng dengan suara “buk buk!” terdengar jeritan menyayat hati dan ketiga penjahat itu
melayang jiwanya. Penjahat yg menendang tna sian mati dengan tulang kaki patah sebab
tendangan terlalu keras. Dilain pihak dengan tertendangnnya tan tian chin khie dalam tubuh
Boe Kie bergolak hebat dan tiba2 ia mersa jalan2 darah disebagian tubuhnya terbuka dengan
mendadak. Ia girang dan berkata didalam hati. “Sayang sungguh pendeta jahat itu mampus
terlalu cepat. Kalau ia bisa menendang beberapa kali lagi, keadaan akan lebih banyak
mendingan. Diluhat begini dalam sepuluh hari tenagaku akan pulih kembali.”
Diantara delapan sudha lma orang melayang jiwanya. Taku usdah dikatakan lagi sisanya tiga
orang ketakutan setengah mati dan kabur lintang pukang. Setibanya diluar mereka melihat
mayat si tua yg menggeletak di bawah pohon dengan kepala hancur. Mereka kabur terus
sampai diluar pintu kelenteng. Sebab tak diubar mereka berenti dan berdamai. “Kurasa bocah
itu mempunya ilmu siluman,” kata yang satu.
“Bukan.. bukan ilmu siluman,” bantah yang lain. “Dia tentu memiliki lweekang yg tinggi yg
digunakan untuk memukul balik serangan saudara kita.”
“Benar,” meyambung yg ketiga. “Biar bagaimanapun juga kita harus membalas sakit hati.”
Biarpun penjahat kejam, mereka ternyata masih mempunyai “gie khie” (rasa setia kawan) dari
kalangan Kong ouw. Mereka berdelapan telah mengangkat saudara denga bersumpah untu
sama2 senang dan sama2 susah. Sesudah berdamai agak beberapa saat, mereka bertekad bulat
untuk membalas sakit hati. Tapi mereka mengerti, bahwa mereka bukan tandingan Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1272
“Ah! Tak salah!” seorang tiba2 berseru. “Bocah itu tentu mendapat luka berat. Kalau tidak
mengapa dia tidak mengubar?”
Kedua konconya jadi girang. “Benar,” kata yang satu. “Rupa2nya dia tidak bisa berjalan.
Kelima saudara kita menyerang denga kai tangan dan dia memukul balik dengan lweekang.
Sekarang kita serang dia dengan senjata. Aku tidak percaya badannya, badannya tidak
mempan senjata.”
Untuk segera bertindak. Satu membawa tombak satu menentang golok, saut mencekal pedang
dan mereka lantas masuk lagi kedalam kelenteng.
Mereka mendapat kenyataan, bahwa kamar disebelah timur sunyi tidk terdengar suara apapun
juga. Indap2 merek mendekati dan mengintip dari jendela yang hancur. Ternyata Boe Kie
masih tetap duduk bersila dan ia kelihatnnya lelah sekali. Tio Beng duduk disampingnya
sambil menyusuti keringat.
Ketiga penjahat itu saling melirih. Tapi tak ada satupun yang berani menerjang lebih dahulu.
Selang beberapa saat, yang satu tidak sabar lagi. “Bocah bau!” teriaknya. “Akali kau nayari2
keluar!”
“Bocah tak tau malu!”
Menyambung yang lain. “Kalau kau benar2 berkepandaian tinggi, jangan gunakan ilmu
siluman!”
Boe Kie tidak meladeni. Makin lama ketiga penjahat itu makin berani sehingga belakangan
mereka mencaci dangan perkataan2 kotor. Tapi Boe Kie dan Tio Beng tidak marah.
Sebaliknya dari bergusar, mereka bersyukur, bahwa sesudah kabur ketiga penjahat itu kembali
lagi. Tempat itu tak jauh dari Siauw Lim Sie dan tadi waktu mereka lari, Boe Kie dan Tio
Beng merasa khawatir kalau2 mereka pergi ke Siauw Lim Sie dan melaporkan kejadian itu
kepada Seng Koen. Apabila Seng Koen atau konconya datang, bencana suka di hindarkan.
Sementara itu, sesudah diserang beberapa kali Kioe yang Ci Khie dibeberapa bagian tubuh
Boe Kie yang tadinya terus membuyar, sekarang sedikit banyak bisa berkumpul. Ia masih
belum bisa menggunakan lweekang untuk melukai musuh, tapi ia sekarang sudah tidak begitu
bingung seperti semula.
Tiba2 terdengar suara, “brak!” dan pintu berbareng ujung tombak ygn berkuncir merah
muncul di ambang pintu.
“Celaka!” seru Tio Beng seraya menyodor kan pisau yang dipegangnnya kepada Boe Kie.
Boe Kie menggelengkan kepala. Dia tidak menyambut pisu itu sebab ia tahu, ia tak punya
tenaga untuk menggunakannya.
Dilain detik sesudah membuat sebuah lingkaran bagaikan kilat ujung tombak menyambar
kepada Boe Kie. Pada saat yg sangat berbahaya tapa berpikir lagi, Tio Beng merogo saku Boe
Kie dan mengeluarkan sebatang Seng hwa leng, yang lalu ditaruh di dada Boe Kie, ditempat
yang sedang disambar oleh mata tombak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1273
“Tak!” mata tombak mampir tepat pada Seng hwee leng. Pukulan itu merangsang Kioe yang
sin kang dalam tubuh Boe Kie, dan tenaga itu lantas balik memukul. “Aduh!” si pendeta yang
menikam mengeluarkan teriakan hebat, karena gagang tombak ambals didadanya.
Sebelum dia roboh seorang kawanan sudah membacok batok kepala Boe Kie dengan
goloknya sebab kuatir sebatang Seng hwee leng tidak cukup kuat denga kedua tangannya
nona Tio menaruh dua batang leng diatas kepala Boe Kie, sekali lagi terdengar suara “tak!”.
Golok itu terpental dan menghantam janggut majikannya yg lantas saja menjadi hancur. Kali
ini, sebab tidak keburu menarik palang tangan kirinya, ujung kelingking nona Tio tepapas
putus oleh mata golok yang terpental. Dalam keadaan tegang, si nona sendiri tidak merasai
luka itu.
Pendeta ketiga yg masuk dengan membawa pedang, terbang semangatnya ketika lihat dua
kawan nya menggeletak tanpa bernyawa. Sambil berteriak keras, ia kabur.
“Dia tidak bolek di biarkan lari!” seru Tio Beng seraya menimpuk dengan sebatang Seng
hwee leng. Meskipun ia menimpuk dengan seantero tenaga, senjata itu jatuh di tengah jalan
sebab tenaganya tidak cukup.
Boe Kie terkejut. Ia memeluk si nona dan berbisik. “Timpuk lagi!” ia mengempos cin khie yg
berkumpul didadanya dan mengirimnya kedalam tubuh si nona.
Tio beng menimpuk lagi deng Seng hwee leng yg dicekal ditangan kiri. Dua tindak lagi
penjahat itu akan bisa menyelamatkan diri dibelakang tembok. Tapi dia tidak keburu sebab
Seng hwee leng menyambar bagaikan kilat, amblas dipunggungnya menembus keluar
didadanya.
Sesudah menggunakan tenaga yang penghabisan Boe Kie dan Tio Beng pingsan bersama
sama dan dengan salik peluk mereka lantas ke bawah ranjang. Dalam kamar itu menggeletak
enam sosokmayat, diluar kamar dua mayat lagi, sedang Boe Kie dan Tio Beng sendiri
berbaring diantara kobakan darah. Sinar rembulan menerangi kelenteng itu yg sunyi bagaikan
kuburan.
Sesudah lewat beberapa lama, Tio Beng tersadar. Ia memegang hidung Boe Kie dan mendapat
kenyataan, bahwa pemuda itu masih bernapas dan jalan napasnya tenang. Perlahan2 ia
berbangkit dan berusaha untuk mengangkat Boe Kie ke atas ranjang, tapi tenaga nya tak
cukup, sehingga ia hanya bisa meluruskan tubuh Boe Kie dan kemudian mereka lantas napas
tersenggal2 ia berduduk disamping kecintaannya.
Beberapa saat kemudian, Boe Kie membuka matanya. “Beng moay,” katanya. “Kau.. kau
berada disini?”
Si nona tertawa. Mereka saling mengawasi dan mereka tertawa bersama2. muka mereka
belepotan darah dan keadaan dalam kamar itu sesudah terlolos dari bencana bersama2
didalam hati mereka merasakan semacam kebahagiaan yang sukar dilukiskan.
Dalam seluruh pertempuran, mereka membinasakan tujuh pendeta tanpa mengeluarkan tenaga
sendiri dan menggunakan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga. Tapi dalam mengambil
jiwa penjahat yg terakhir, mereka telah menggunakan seantero kekuatan dan sekarang mereka
tak punya tenaga lagi. Meeka terpaksa rebah diantara mayat2 itu. Dengan tangan gemetaran
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1274
Tio Beng membalut kelingkingnya yg terpapas golok untuk menghentikan darah. Sesudah itu
bersama Boe Kie ia tertidur pulas.
Pada keesokan tengah hari barulah mereka tersadar. Sesudah bersamedhi kira2 setengah jam,
Boe Kie merasa badannya segar, sebab lapar, perlahan2 ia pergi ke dapur, dimana ia dapatkan
nasi yang separuh hangus didalam kuali. Sambil tersenyum ia makan dua suap kemudia
mengisinya disebuah mangkok yang lalu dibawa ke kamar dan diserahkan kepada Tio Beng.
“Bagaimana kalau keadaan sekarang dibanding makan minum dirumah makan kecil dikota
saja?” kata Tio Beng.
“Dulu lain, sekarang lain!” jawabnya sambil tertawa.
“Ya,” kata pula si nona. “Sekarang kita menderita dilahir tapi apa yang dirasakan didalam hati
kita, hanya diketahui oleh langit, oleh bumi, olehmu dan olehku sendiri. Orang luar tak pelu
tahu!” Mereka tertawa dan lalu makan bersama2 dengan hanya menggunakan tangan. Yang
dimakan mereka hanyalah nasi separuh hangus. Tapi bagi mereka lezatnya nasi itu melebihi
santapan yang terlezat didalam dunia.
Belum habis mereka makan, ditempat jauh sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda. Tak
kepalang kagetnya Boe Kie dan Tio Beng. Mangkok nasi yg dipegang si nona jatuh dan
hancur dilantai. Meeka saling mengawasi dengan hati berdebar2.
Tak lama kemudian kedua ekor kuda berhenti dihadapan pintu kelenteng dan pintu di ketuk
orang. “Siangkoan Sam ko!” teriak seorang. “Buka pintu! Aku Cia Loo Ngo.”
“Bagaimana sekarang?” bisik Boe Kie.
“Mereka akan segera merusak pinth” kata Tio Beng. “Kita berlagak mati.” Boe Kie
menganggul dan mereka lalu rebah tengkurep.
Beberapa saat kemudian terdengar suara kedubrakan dan pintu terpental karena dorongan
tenaga yg sangat kuat.
“Kau rebah dipinggir pintu cegat jalan mundur mereka!” bisik si nona.
Boe Kie lalu merangkak kepintu kamar.
Di luar terdengar seruan kaget dari dua orang yang baru masuk, disusul dengan suara
menghunus senjata. Rupa2nya mereka sudah lihat mayat yang menggeletak diluar.
“Hati2!” kata seorang. “Jangan kena di bokong!”
“Sahabat!” teriak yang lain. “Perlu apa kau sembunyi2? Kalau nualimu besar, keluarlah!”
Suara orang itu nyaring dan bertenaga. Tak bisa salah lagi dialah yang mendobrak pintu. Dia
teriak menantang berulang2 tapi tetap tak dapat jawaban.
“Bisa jadi penjahatnya adalah pergi,” kata kawannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1275
“Mari kita geledah,” kata orang yg suaranya nyaring, yang tadi memperkenalkan diri sebagai
Cin Lo Ngo. “Sioe Lao tee, kau memeriksa disebelah timur, aku dibarat.”
Orang she Soe itu bernyali kecil, “Kau kuatir musuh berjumlah besar,” katanya dengan nada
jeri. “Lebih baik kita jalan berdua.”
Sebelum Cin Loo Ngo menyahut, dia mengeluarkan seruan, tertahan, “Ini!” katanya sambil
menuding kamar sebelah timur. “Dikamar itu kelihatannya masih ada lain mayat.”
Mereka menghampiri dan bulu mereka bangun semua. “Siapa… siapa yg binasakan mereka?”
kata Cin Loo Ngo dengan suara gemetar.
“Cin Loo Ngo mari kita pulang! Kita harus beritahukan Suhu.”
“Suhu telah memesan, kita harus buru2. Surat undangan harus disampaikan secepat mungkin
supaya tamu2 bisa hadir dalam To Say Eng Hiong Hwee yang akan diadakan pada harian
Toan ngo. Kalau kita terlambat, kita bisa dihukum. (Toa say Eng hiong hwee – Pertemuan
orang2 gagah dalam upacara membinasakan singa Toan ngo Bulan Lima tanggal Lima
menurut perhitungan Imlet atau hari perayaan Pehcun).
Mendengar Toan say Eng hiong hwee, alis Boe Kie berkerut. Tiba2 darahnya bergolak kaget,
girang dan gusar bercampur aduk jadi satu. Ayah angkatnya begelar Kim Mo Say Ong atau
Raja singa bulu emas dan To say eng hiong hwee tentu dimaksudkan upacara membunuh
ayah angkatnya. “Dilihat begini sebelum Toan ngo jiwa Giehoe takkan diganggu,” pikirnya.
“Hai … kedudukanku sebagai pemimpin Beng Kauw tapi aku tak mampu melindungi Gie
hoe, hingga di mesti menderita, mesti menerima segala rupa hinaan. Aku sungguh seorang
anak yg tidak berbakti.” Makin lama ia jadi makin gusar. Kalau menuruti kemauannya, ia
ingin lantas membinasakan kedua orang itu. Tapi sebab tenaganya belum pulih, jalan
satu2nya adalah menunggu sampai mereka masuk kamar dan kemudian membinasakan
dengan ilmu ‘Meminjam tenaga, memukul tenaga’.
Tapi kedua orang itu tidak berani lantas masuk. Mereka berdiri diluar kamar dan berdamai.
“Begini saja,” kata Cin Loo Ngo, “Kita berdua membagi tugas. Aku mengantarkan surat
undanagn dan kau kembali ke Siauw Lim Sie untuk memberi laporan kepada suhu.”
Tapi si orang she Sioe kuatir kalau ditengah jalan ia bertemu dengan musuh. Ia bersangsi dan
tidak mengiakan usul kawannya.
Cin Loo Ngo mendongkol, “Kalau kau takut kau boleh pilih,” katanya. “Kalau kau mau
mengantarkan surat undangan, bolehlah.”
Sesudah berpikir sejenak, si orang she Soe menganggap, bahwa pulang ke Siauw Lie Sie
banyak selamat. Maka itu, ia lantas saja berkata, “Aku turut perkataan Cin Loo Ngo. Biarlah
aku pulang dan melaporkan kejadian ini kepada suhu.”
Sesudah mencapai persetujuan, mereka segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak Tio Beng menggerakkan tubuhnya dan merintih.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1276
Kedua orang terkejut. Mereka menghentikan tindakan dan menengok. Sekali lagi nona Tio
menggerakkan badannya. Kali ini kedua orang itu melihat tegas bahwa yg tubuhnya bergerak
adalah seorang wanita.
“Siapa perempuan itu?” tanya Cin Loo Ngo seraya menghampiri. Si orang she Sioe juga
mengikuti masuk ke kamar. Biarpun nyalinya kecil ia tak takut sebab Tio Beng seorang
wanita dan seorang wanita yg terluka berat. Ia membungkuk untuk membalikkan tubuh si
nona.
Tiba2 Boe Kie batuk2, sehingga si orang she Sioe terkesiap dan mengurungkan niatnya.
Sesudah batuk2, Boe Kie duduk sambil memejamkan kedua matanya.
Melihat Boe Kie yg mukanya berlepotan darah, kedua orang itu terbang semangatnya.
“Celaka!” teriak si orang she Sioe, “Mayat bangun lagi!”
“Setan!” bentak Cin Loo Ngo sesudah menentramkan hatinya. “Aku tak takut!” Ia mengayun
golok dan membacok batok kepala Boe Kie.
Ketika itu Boe Kie sudah siap sedia dengan kedua Seng hwee leng. Begitu musuh membacok,
ia menaruh kedua leng itu diatas kepalanya. “Tak” golok terpental memukul Cin Loo Ngo yg
binasa seketika itu jg.
Si orang she Sioe, yang tangannya mencekal golok itu terlepas dari tangannya.
“Kalau kau punya nyali, bacoklah aku!” tantang Boe Kie. “Tinjulah aku, kalau kau berani!”
“Siawjin… siauwjin tak berani,” jawabnya.
“Coba kau tendang aku!”
“Siauwjin… siauwjin.. lebih2 tak berani.”
“Tolol kau! Lekas bacok aku!”
Orang she Sioe itu makin ketakutan. Tiba2 ia berlutut dan berkata sambil manggut2an
kepalanya. “Ampun loya… ampun…”
Tio Beng sangat mendongkol. Ia mengeluarkan suara dihidung dan berkata, “Aku tak nyana
didalam Rimba Persilatan ada manusia yg begitu rendah seperti kau!”
“Ya… ya… siauwjin manusia rendah…….,” katanya.
Jilid 70__________________
Thio Boe Kie jadi kewalahan. Mendadak ia dapat serupa pikiran. “Kemari kau!” bentaknya.
Dia lantas menghampiri dengan merangkak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1277
Boe Kie segera menempelkan kedua jempol tangannya di biji mata orang itu dan membentak.
“Aku korek biji matamu!”
Dalam menghadapi bahay, tanpa merasa si orang she Sioe mendorong dengan kedua
tangannya. Inilah yang diinginkan oleh Boe Kie. Dengan meminjam tenaga itu, ia menotok
jalan darah Sin Hong dan Po Long di bawah tetek orang itu yang badannya lantas saja
kesemutan dan tak bertenaga lagi. “Looya… ampun…” dia sesambat.
Tio Beng tahu bahwa totokan Boe Kie hanya bisa menahan orang itu untuk sementara waktu.
Dalam waktu kira-kira setengah jam “hiat” yang tertotok itu akan terbuka lagi dengan
sendirinya. Tapi iapun tak ingin mengambil jiwa orang, terutama sebab ia memerlukan
banyak keterangan dari orang itu. Sesudah memikir sejenak, ia berkata, “Kau sudah ditotok
pada hiat yang membinasakan. Coba kau tarik napas dalam-dalam.”
Orang itu menurut.
“Nah, bukankah dadamu di sebelah kiri sangat sakit?”
Si orang she Sioe mengangguk dengan rasa takut yang lebih besar, padahal rasa sakit itu
adalah gejala biasa, sebagai akibat dari totokan yang dilakukan Boe Kie. Ia lantas saja
memohon mohon kepada Tio Beng supaya jiwanya ditolong.
“Untuk menolong jiwamu aku harus menggunakan jarum emas dalam waktu setengah bulan,”
kata Tio Beng.
“Tolong Kouwnio!” sesambat si orang she Sioe. “Apabila Kouwnio sudi menolong Siauwjin
rela menjadi kerbau atau kudanya Kouwnio.”
Si nona tertawa. “Huh! Baru pertama aku lihat orang Kang ouw yang semacam kau,” katanya.
“Baiklah. Ambil sepotong batu!”
“Baik… baik… jawabnya tergesa gesa dan dengan menahan sakit dan tindakan limbung ia
berjalan keluar untuk mencari apa yang diminta Tio Beng.
“Untuk apa?” bisik Boe Kie.
“Kau lihat saja,” sahutnya sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian, si orang she Sioe kembali dan sambil membungkuk menyerahkan
sepotong batu kepada Tio Beng.
Nona Tio mencabut tusuk kundainya yang terbuat daripada emas dan memasangnya di Coat
poen hiat, di pundak orang she Sioe itu. “Aku akan membuka jalan darahnya dengan tusuk
kundai ini, supaya hawa Sie hiat (“hiat” mati) tidak naik ke atas dan masuk ke dalam otakmu.
Tapi aku tak tahu, apa Looya itu suka mengampuni jiwamu atau tidak.”
Mendengar keterangan itu, si orang she Sioe lantas saja mengawasi Boe Kie dengan sorot
mata minta dikasihani. Boe Kie mengangguk dan dia kegirangan. “Looya suka memberi
ampun!” katanya. Kouwnio, hayolah.”
“Hm!...” si nona mengeluarkan suara di hidung. “Apa kau takut sakit?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1278
“Tidak! Siauwjin hanya takut mati, tidak takut sakit.”
“Kalau begitu, panteklah tusuk kundaiku dengan batu ini.”
Tanpa berpikir lagi, ia memantek tusuk kundai itu yang lantas saja masuk di daging
pundaknya, tepat di Coat poen hiat.
Sebaliknya dari sakit, ia merasa nyaman sehingga ia makin percaya omongannya Tio Beng
dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, si nona menyuruh mencabut tusuk kundai itu dan mengulangi
penusukkan pada Hoen boen hiat, Kouw pong hiat dan beberapa “hiat” lain.
Boe Kie tersenyum dan berkata. “Sudah! Sudah cukup!”
Penusukan beberapa “hiat” itu adalah tindakan Tio Beng untuk berjaga jaga menghadapi
pengkhianatan. Selama sepuluh hari, jika orang she Sioe itu berlari-lari dalam jarak kira-kira
seratus lie ia akan roboh dan binasa. Menurut perhitungan nona Tio, apabila ia ingin
melaporkan kejadian itu kepada Seng Koen, begitu keluar dari kelenteng, ia tentu akan lari
secepat mungkin sebab takut diuber. Dan larinya itu berarti kebinasaannya.
“Sekarang ambil dua paso air untuk kami cuci muka dan sesudah itu masak nasi,” kata si
nona. “Kalau sudah bosan hidup, tak ada halangan kau menaruh racun di nasi, supaya kita
bertiga bisa mampus bersama-sama.”
“Siauwjin tak berani, siauwjin pasti tidak berani…” jawabnya.
Demikianlah, mulai hari itu Boe Kie dan Tio Beng mempunyai seorang pelayan.
Atas pertanyaan Tio Beng, ia menerangkan bahwa ia she Sioe, bernama Lam san. Ia juga
dikenal dengan julukan Ban sioe Boe Kiang.
Julukan itu berarti Usia Abadi, hanya merupakan suatu ejekan. Ia berasal dari kalangan Rimba
Hijau dan ia mengabdi kepada Goan tin (Seng Koen) sebab ia tolol, otaknya tumpul dan
kepandaiannya cetek. Goan Tin hanya menggunakannya sebagai pesuruh dan tidak pernah
memberi pelajaran silat kepadanya. Paling belakang ia mendapat perintah untuk
mengantarkan surat surat undangan dan akhirnya bertemu Boe Kie dan Tio Beng.
Dalam peranan sebagai pelayan, Sioe Lam San rajin dan mendengar kata. Dialah yang
mengubur mayat-mayat. Biarpun bodoh, dia memiliki semacam ilmu yang cukup tinggi yaitu
ilmu memasak. Sayur sayur yang dibuatnya sangat lezat dan bernilai tinggi, sehingga kedua
“majikannya” jadi sangat girang.
Perlahan-lahan Boe Kie dan Tio Beng menanyakan soal To say Eng hiong hwee. Sioe Lam
San memberi segala keterangan yang ia tahu, hanya sayang, ia tahu sangat sedikit. Ia hanya
mendengar bahwa Hong thio Siauw lim sie, Kong boen Taysoe telah mengangkat Goan Tin
sebagai pelaksana pertemuan besar yang bakal diadakan dan bahwa yang mengundang adalah
Kong boen dan Kong tie Seng ceng. Orang2 gagah dari berbagai partai dan golongan
diundang untuk berkumpul di Siauw lim sie pada hari perayaan Toan ngo.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1279
Boe Kie lalu minta surat surat undangan yang dibawa olehnya. Ternyata surat surat itu
dialamatkan Houw tin goe, Kouw siong coe dan lain-lain kiam kek (ahli pedang) dari Tiam
cong pay di In Lam. Jago jago pedang Tiam cong pay sudah lama dikenal dalam Rimba
Persilatan. Tapi mereka selalu menyembunyikan diri di daerah In Lam dan tidak pernah
bergaul dengan orang-orang gagah di wilayah Tionggoan. Bahwa sekarang Siauw lim pay
telah mengundang juga mereka itu, dapatlah dibayangkan bahwa pertemuan yang bakal
diadakan benar2 bukan pertemuan kecil. Siauw Lim pay diakui sebagai pemimpin Rimba
Persilatan, dengan kedua Seng Ceng (pendeta suci) yang mengundang sendiri, maka orangorang
yang menerima undangan sedapat mungkin akan coba menghadiri pertemuan itu.
Bunyi undangan itu sangat singkat. “Kami mengundang (tuan) untuk berkumpul di kuil Siauw
lim sie pada hari perayaan Toan ngo untuk minum arak dan bergembira ria bersama-sama
orang-orang gagah di kolong langit.”
Dalam surat undangan itu sama sekali tidak disebut-sebut soal “To-say”. Mengapa Cin Loo
Ngo mengatakan bahwa pertemuan itu adalah To-say Eng hiong hwee?” tanya Boe Kie.
“Thio ya tak tahu,” jawab Sioe Lam San dengan suara bangga. “Guruku telah menangkap
seorang yang mempunyai nama sangat besar, yaitu Kim Mo Say Ong Cia Soen. Kali ini
Siauw lim pay akan mendapat muka terang di hadapan para orang-orang gagah. Di hadapan
mereka itu Siauw lim pay akan binasakan si Singa Bulu Emas, maka itu pertemuan itu
dinamakan To say Eng hiong hwee.”
Boe Kie meluap darahnya, tapi sebisa bisa ia menahan sabar. “Apa kau pernah lihat Kim mo
say ong?” tanyanya. “Bagaimana gurumu menangkap dia? Di mana adanya dia sekarang?”
“Kim mo say ong… huh huh.. lihay tiada bandingannya,” jawabnya. “Tingginya… dua kali
tubuh Siauwjin. Yang lain boleh tak usah disebutkan. Matanya saja sudah sukar dilawan.
Matanya berkeredepan dan kalau kita diawasi… huh… semangat kita lantas terbang!” Ia
mendehem beberapa kali dan berkata pula. “Tujuh hari dan tujuh malam guruku bertempur
dengan dia, belakangan Soehoe marah dan menggunakan Kim Liong Hok hauw kang.
Sesudah menggunakan ilmu itu barulah Kim mo Say Ong dapat ditaklukkan. Sekarang dia
dikurung di dalam gua batu di belakang kuil dan dirantai dengan delapan…”
“Diam!” bentak Boe Kie. “Jangan ngaco kalau kau masih sayang jiwamu! Kim mo say ong
Cia Tayhiap buta matanya. Mana bisa matanya berkeredepan?”
Sioe lam San terkesiap. “Ya… ya… siauwjin tentu salah lihat,” jawabnya dengan ketakutan.
“Bilang sebenar-benarnya,” kata pula Boe Kie. “Apakah kau pernah bertemu dengan Cia
Tayhiap atau tidak?”
Sioe lam San yang tadi hanya mengibul buru-buru menyahut. “Siauwjin tidak berani berdusta
lagi. Siauwjin sebenarnya belum pernah lihat Cia Tayhiap. Siauwjin hanya dengar cerita itu
dari saudara saudara seperguruan.”
Apa yang sangat ingin diketahui Boe Kie adalah tempat dikurungnya Cia Soen. Ia mendesak
dan mendesak lagi, tapi Sioe Lam San tetap mengatakan tidak tahu. Boe Kie yakin, bahwa dia
tidak mendusta. Rahasia besar yang tentu tidak akan dibocorkan kepada sembarang orang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1280
Untung juga perayaan Toan-ngo masih dua bulan lebih, sehingga mereka mempunyai cukup
waktu. Yang paling penting bagi mereka ialah mengobati luka dan beristirahat.
Sesudah berdiam sepuluh hari di kelenteng itu Boe Kie dan Tio Beng sembuh seluruhnya dan
tenaga merekapun sudah pulih kembali. Hari itu Boe Kie lalu berdamai dengan Tio Beng cara
bagaimana mereka harus menolong Cia Soen.
“Jalan yang paling baik adalah menotok “hiat mati” Sioe lam San dan kemudian mengirim dia
ke Siauw lim sie untuk jadi mata-mata kita,” kata nona Tio. “Tapi orang itu terlalu tolol dan
kalau rahasia sampai diendus Seng koen atau Tan Yoe Liang semua urusan dengan mereka
selalu akan menjadi rusak. Begini saja. Kita berdua pergi ke kaki Siauw sit san dan coba
menyelidiki. Tapi kita harus menyamar.”
“Menyamar bagaimana?” tanya Boe Kie.
“Apa menyamar jadi hweesio dan niekouw?”
“Fui! Bagus sungguh pikiranmu! Apa katanya orang kalau mereka lihat seorang hweesio
berjalan bersama sama seorang niekouw?”
“Kalau begitu kita menyamar saja sebagai suami isteri dari pedusunan.”
Tio Beng tertawa. “Apa tidak boleh sebagai kakak dan adik?” tanyanya. “Apabila kita
menyamar sebagai suami isteri dan dilihat Cioe Kouwnio, bukankah pundakku bisa berlubang
lagi?”
Boe Kie turut tertawa dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Sesudah menanyakan Sioe lam san
tentang keadaan di kuil Siauw lim sie, ia lantas berkata. “Sie-hiatmu yang tertotok sekarang
sudah hampir sembuh. Tapi kau perlu berada di daerah Selatan yang hawanya panas.
Manakala kau berdiam di tempat yang turun salju, jiwamu akan lantas melayang. Sekarang
juga kau harus berangkat ke Selatan, ke tempat lebih panas lebih baik lagi. Apabila kau kena
angin utara, dadamu akan menyesak dan kau akan batuk-batuk dan itulah sangat berbahaya.”
Sehabis berkata begitu, ia segera mengurut dada dan punggung si tolol.
Sioe Lam San tentu saja percaya habis karangan Boe Kie. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia
segera meminta diri dan lalu berangkat ke Selatan. Di Tiongkok Selatan ia hidup tenteram dan
berumur panjang. Ia baru meninggal dunia pada tahun Kian boen, kerajaan Beng.
Sesudah Sioe lam san berlalu, sebelum berangkat ia membakar kelenteng itu. Di satu dusun
mereka membeli seperangkat pakaian dan menukar di tempat sepi.
Pakaian mereka yang mewah ditanam di tanah.
Dengan hati-hati mereka menuju ke Siauw sit-san. Dalam jarak tujuh delapan lie dari kuil
Siauw lim sie, beberapa kali mereka bertemu dengan beberapa pendeta.
“Kita tidak boleh maju lebih jauh,” kata Tio Beng.
Kebetulan sekali di pinggir jalan terlihat gubuk dan seorang petani tua yang sedang menyiram
kebun sayur di depan gubuk itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1281
“Kita boleh numpang nginap di situ,” kata si nona.
Boe Kie segera menghampiri dan sesudah memberi hormat, ia berkata. “Loo-tiang, kami
berdua kakak beradik capai sekali dan kami memohon semangkok air dingin.”
Tapi si kakek tidak meladeni. Ia terus menyirami sambil menundukkan kepala.
Tiba-tiba pintu gubuk terbuka dan keluarlah seorang nenek yang rambutnya sudah putih
semua. “Suamiku tuli dan gagu,” katanya sambil tertawa. “Apa yang tuan inginkan?”
“Adikku tak kuat jalan lagi,” jawab Boe Kie. “Kami ingin minta air minum.”
“Masuklah,” kata si nenek.
Gubuk itu bersih, perabotnya bersih dan pakaian si nenek biarpun terbuat dari kain kasar juga
tidak kalah bersihnya. Melihat kebersihan itu, Tio Beng merasa senang. Sesudah minum air ia
mengeluarkan sepotong perak dan berkata sambil tertawa. “Popo, kakakku mengajak aku ke
rumah nenek kami. Lantaran tidak biasa, kakiku sakit bukan main. Apa boleh malam ini kami
numpang nginap? Besok pagi kami akan meneruskan perjalanan.”
“Numpang nginap tidak halangan dan juga tidak perlu mengeluarkan uang,” jawabnya dengan
suara manis. Tapi kami hanya mempunyai sebuah kamar dan sebuah ranjang. Andaikata aku
dan suamiku tidur di luar, kalian berdua kakak beradik tentu tidak boleh tidur seranjang. Hm!
Nona kecil… sebaiknya kau bicara terus terang kepada Popo. Bukankah kau kabur dari rumah
mengikut kakak yang tercinta?”
Muka si nona lantas saja berubah menjadi merah. Di dalam hati ia kaget. Nenek itu
mempunyai mata yang sangat tajam dan dia pasti bukan sembarangan orang. Tanpa merasa ia
melirik orang tua itu beberapa kali.
Walaupun sudah berusia lanjut dan badannya bongkok, ia kelihatan gagah. Kedua matanya
bersinar, sehingga mungkin sekali ia memiliki ilmu silat yang tinggi. Tio Beng tahu, bahwa
roman Boe Kie masih menyerupai seorang petani. Tapi dia sendiri pasti bukan seorang gadis
dusun. Maka itulah, sesudah memikir sejenak, ia lantas saja berkata dengan sikap kemalumaluan.
“Sesudah ditebak Popo, aku tahu tidak boleh berdusta lagi. Dia itu, Goe koko kawan mainku
sedari kecil. Sebab dia miskin, ayah tidak mufakat aku menikah dengannya. Melihat aku mau
bunuh diri, ibu lantas menyuruh aku… aku lari mengikut dia. Kata ibu, sesudah lewat satu
atau dua tahun, sesudah kami mempunyai anak, kami baru boleh pulang. Di waktu itu,
mungkin ayah sudah berubah pikiran. Sambil berkata begitu, dengan sorot mata mencintai,
beberapa kali ia melirih Boe Kie. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula. “Di kota raja
keluargaku mempunyai muka. Ayah bekerja sebagai pembesar negeri. Apabila kami kena
ditangkap, celakalah kami! Maka itu, sesudah aku bicara terus terang, mohon Popo tidak
membuka rahasia kepada siapapun juga.”
Si nenek tertawa terbahak-bahak dan manggut-manggutkan kepalanya. “Aku sendiri pernah
muda,” katanya. “Kau jangan kuatir! Aku akan menyerahkan kamarku kepada kamu berdua.
Tempat ini terpisah ribuan li dari kota raja dan aku tanggung tidak ada manusia yang akan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1282
berani ganggu kamu. Andai kata ada orang berani main api, Popo tentu tidak berpeluk
tangan.”
Melihat Tio Beng yang cantik dan lemah lembut sudah lantas membuka rahasianya sendiri,
hati si nenek jadi girang dan ia segera mengambil keputusan untuk membantu kedua orang
muda itu.
Di lain pihak, Tio Beng makin tetap dugaannya, bahwa mereka itu seorang Rimba Persilatan.
Tempat itu sangat berdekatan dengan Siauw lim sie dan belum diketahui, apa dia itu musuh
atau sahabat Seng Koen, sehingga si nona merasa bahwa ia harus lebih berhati-hati. Ia lantas
saja menyoja dan berkata, “Terima kasih banyak atas kebaikan dan bantuan Popo. Goe koko,
mari! Lekas haturkan terima kasih kepada Popo!”
Boe Kie segera mendekati dan menyoja.
Malam itu si nenek benar-benar menyerahkan kamarnya kepada Boe Kie dan Tio Beng. Ia
sendiri membuat semacam dipan di ruangan tengah dengan menggunakan beberapa lembar
papan dan mengalaskannya dengan selembar tikar.
Di dalam kamar Tio Beng menceritakan pembicaraannya dengan si nenek kepada Boe Kie.
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. “Kakek yang menyiram sayur memiliki kepandaian
lebih tinggi,” katanya. “Apa kau tak lihat?”
“Ah… aku benar-benar tak dapat lihat.”
“Tadi dia memikul air. Tindakannya sangat cepat tapi airnya sama sekali tidak bergoyang.
Inilah bukti dari lweekang yang sangat tinggi.”
“Bagaimana kalau dibandingkan kau?”
“Aku mau coba.” Sehabis berkata begitu, Boe Kie mengangkat tubuh si nona yang lalu
bergaya seperti orang memikul air.
Tio Beng tertawa geli. “Gila kau! Aku tahang air?” bentaknya dengan rasa bahagia.
Mendengar senda gurau, rasa curiga si nenek lantas hilang sama sekali.
Malam itu Boe Kie dan Tio Beng makan bersama-sama kakek dan nenek itu. Makannya
cukup baik, ada daging dan sayur. Selama makan Boe Kie dan Tio Beng terus bercanda dan
memperlihatkan rasa cinta mereka, sebagaimana biasanya pengantin baru. Si nenek
tersenyum-senyum, tapi si kakek tidak menghiraukan dan terus makan sambil menundukkan
kepala.
Sesudah makan dan beromong-omong sebentar, Boe Kie dan Tio Beng masuk ke kamar dan
memalang pintu.
Dengan muka kemerah-merahan, Tio Beng berbisik. “Kita hanya bersandiwara, bukan
sungguhan.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1283
Boe Kie lantas memeluknya erat-erat dan berkata dengan suara perlahan. “Kalau tidak
sungguhan, dalam dua atau tiga tahun, cara bagaimana kita bisa mendapatkan anak?”
“Fui!” bentak si nona. “Kau tentu mencuri dengar pembicaraanku!” Sehabis berkata begitu, ia
menundukkan kepala dengan sikap kemalu-maluan.
Dalam keadaan itu sebagai seorang ksatria Boe Kie dapat menguasai dirinya. Ingat, bahwa
dengan Cioe Cie Jiak, ia sudah mengikat janji itu mesti dipenuhi. Nanti sesudah menikah
dengan nona Cioe, pikirnya, barulah ia boleh mengurus persoalan nona Tio. Sesudah
beromong-omong lagi beberapa lama, ia segera mempersilahkan Tio Beng tidur, sedang ia
sendiri bersila di kursi dan mengerahkan Kioe yang Cin khie. Tak lama kemudian ia tertidur.
Tio Beng tidak bisa lantas pulas. Lama ia bergulak gulik di ranjang. Kira-kira tengah malam,
dalam keadaan setengah tidur, tiba-tiba kupingnya dengar suara tindakan kaki yang datang
dari tempat jauh. Tindakan itu cepat luar biasa dan dalam sekejap sudah tiba di pintu luar. Ia
melompat dan menyentuh tangan Boe Kie. Pemuda itu ternyata sudah tersadar dan mencekal
tangannya.
Dalam saat itu terdengar suara seorang yang sangat nyaring. “Suami isteri Touw – selamat
bertemu! Malam malam kami datang berkunjung. Apakah kunjungan ini dianggap tak
pantas?”
“Apa Ceng hay Sam kiam?” tanya si nenek. “Dari Coan see (Soecoen barat) kami
menyembunyikan diri di tempat ini. Dengan berbuat begitu, kami sudah mengunjuk rasa takut
terhadap Ceng hay Giok ciu koan. Mengapa kalian mendesak sampai begitu keras?”
Tamu itu tertawa terbahak-bahak. “Kalau benar-benar kalian takut, berlututlah tiga kali di
hadapan kami dan kami akan mencoret semua hutang lama,” katanya.
Sekonyong-konyong terdengar suara dibukakannya pintu. “Masuklah!” kata si nenek.
Boe Kie dan Tio Beng mengintip dari celah-celah papan dan dengan bantuan sinar rembulan
mereka lihat tiga toojin (imam) yang berdiri di ambang pintu.
Toojin yang berdiri di tengah-tengah seorang katai gemuk dengan berewok pendek lantas saja
bertanya. “Apa kalian mau meminta ampun dengan berlutut atau membereskan persoalan ini
dengan senjata?”
Sebelum si nenek menjawab, suaminya keluar dengan tulang tulang dalam tubuhnya
memperdengarkan suara peratak perotok, suatu tanda bahwa dia memiliki lweekang yang luar
biasa. Ia lantas berdiri di samping isterinya seraya mengawasi ketiga imam itu dengan mata
tajam.
“Touw loosianseng,” kata si berewok, “mengapa kau tidak mengeluarkan sepatah kata? Apa
kau merasa derajatmu terlalu tinggi untuk beromong-omong dengan Ceng hay Sam kiam?”
“Suamiku tuli,” kata si nenek.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1284
Si berewok mengeluarkan seruan tertahan, “Ilmu Thia hong Pan kee (membedakan senjata
rahasia dengan mendengar sambaran anginnya) dari Touw Loosianseng amat terkenal dalam
Rimba Persilatan,” katanya. “Mengapa Loosianseng bisa jadi tuli? Sungguh sayang!”
Toojin yang berbadan lebih gemuk dari si berewok lantas saja menghunus pedang dan
berkata, “Mengapa kalian tidak mengeluarkan senjata?”
Si nenek mengangkat kedua tangannya dan ternyata pada setiap telapak tangan terdapat tiga
batang golok yang panjangnya belum cukup setengah kaki. Hampir berbareng si kakek juga
mengangkat kedua tangannya dan iapun memegang enam golok pedang yang berukuran
sama, tiga batang di saban tangan. Di lain saat golok itu saling berpindah tangan yang di
tangan kanan pindah ke tangan kiri dan yang di tangan kiri pindah ke tangan kanan. Cara
pemindahan itu menakjubkan dan memperlihatkan suatu hasil dari latihan yang lama dan
sungguh sungguh.
Melihat senjata yang aneh itu ketiga toojin terkejut. Dalam Rimba Persilatan belum pernah
ada senjata begitu. Mau dikata golok terbang (hoetoo), cara menggunakannya bukan
menggunakan golok terbang.
Siapa pasangan tua itu?
Kakek yang tuli dan gagu itu seorang she Touw bernama Pek Tong dan dengan senjata Siang
kauw (sepasang gaetan) ia telah mendapat nama besar di Soecoan barat. Isterinya yang
bernama Ek Sam Nio mahir dalam menggunakan tombak. Banyak tahun yang lalu mereka
bermusuhan dengan Giokcit koan di Ceng pay. Karena harus menghadapi musuh yang
berjumlah banyak lebih besar dan juga sebab bibit permusuhan sebenarnya hanya soal yang
remeh, maka mereka belakangan mengambil keputusan untuk meninggalkan Soecoan dan
berpindah ke tempat lain. Di luar dugaan biarpun sudah berada di tempat jauh, malam ini
mereka disusul oleh musuh-musuh lama itu.
Ketiga imam itu adalah murid turunan kedua dari Giok cin koan. Yang berewokan bernama In
Ho, yang gemuk Ma Hoat Thong, sedang yang ketiga yang bertubuh kecil kurus bernama In
Yan. Mereka menggunakan pedang dan mendapat julukan sebagai “Ceng hay Sam kiam”
(tiga jago pedang dari Ceng hay).
Biarpun berbadan gemuk dan gerak geriknya kelihatan tidak begitu gesit, Ma Hoat Thong
sangat berakal budi. Melihat suami isteri Touw menggunakan golok golok pendek dan tidak
menggunakan lagi senjata mereka yang lama, ia lantas saja mengetahui bahwa keduabelas
golok pendek itu tentu mempunyai kelihayan yang luar biasa. Maka itu, ia lantas saja berseru,
“Sam Cay-kiam tin Thian tee jin (Samcay) kiam tin – barisan pedang Sam cay kiam. Thian
tee-jin – langit, bumi, manusia yang dikenal sebagai Sam kay.
“Tian swee seng cie Coet giok cin!” menyambung In Ho. (Tan swee seng cie Coet giok cin –
kilat menyusul bintang, keluar dari Giok cin koan).
Dengan serentak ketiga imam itu bergerak mengurung suami isteri Touw.
Boe Kie memperhatikan “tin” itu dengan perasaan sangsi. Tiga toojin itu tak henti2nya saling
menukar tempat dan tiga batang pedang seolah-olah merupakan selembar jala yang bersinar
putih. Sesudah mengawasi beberapa saat ia lantas dapat menebak intisari daripada barisan itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1285
“Kurang ajar!” pikirnya, “ketiga imam itu benar-benar licik. Mereka menggunakan Sam cay
kiam tin, tapi sebenarnya di dalam tin mengandung Ngo-heng. Kalau musuh percaya bahwa
tin itu Sam cay kiam tin dan coba memecahkannya dengan mengambil kedudukannya Thian
tee jin, maka dia lantas bisa celaka dalam kepungan Ngo heng, tapi memang bukan gampang
untuk tiga orang menciptakan Ngo heng kiam tin, sebab setiap orang harus menduduki lebih
dari satu kedudukan. Ilmu ringan badan dan kiam hoat mereka memang sudah cukup tinggi.”
(Ngo heng kiam tin – barisan dari Ngo heng).
Suami isteri Touw lantas saja berdiri saling membelakangi dan kedua belas batang golok itu
segera bergerak-gerak di seputar badan mereka. Dengan cara yang mengagumkan, golokgolok
itu bertukar tangan. Golok Touw Pek Tong diserahkan kepada Ek Sam Nio dan
sebaliknya. Dalam tukar menukar, mereka bukan melemparkan tetapi menyodorkan dari satu
ke lain tangan.
Tio Beng heran. “Boe Kie Koko, ilmu apa itu?” tanyanya dengan berbisik.
Boe Kie tidak lantas menyahut. Ia terus mengawasi dengan alis berkerut. Tiba-tiba ia berkata.
“Ah! Sekarang kutahu! Dia takut akan Bay coe hauw Giehoe” (Bay coe hauw – Geram singa).
“Apa itu Say coe hauw?” tanya Tio Beng.
Boe Kie tidak menyahut. Ia manggut2 kan kepalanya, ia tertawa dingin dan berkata. “Hmm
dengan kepandaian itu mereka ingin membunuh singa?”
Si nona jadi lebih tidak mengerti. “Eh… tolol!” katanya dengan mendongkol. “Mengapa kau
bicara sendirian?”
”Kelima orang itu adalah musuh2nya Giehoe,” bisik Boe Kie. “Karena takut akan Saycoe
hauw Giehoe, si tua sudah merusak kupingnya sendiri.”
Sementara itu pertempuran sudah berlangsung dan bentrokan senjata terdengar tak hentihentinya.
Lima kali Ceng hay Sam kiam menyerang, lima kali mereka dipukul mundur. Dua belas golok
pendek yang dioper dari satu ke lain tangan berputar terus menerus dan di bawah sinar
rembulan, tiga helai sinar putih mengelilingi tubuh suami isteri Touw. Garis pembelaan itu
rapat dan padat.
Selang beberapa saat, tiba-tiba Touw Pek Tong membuka serangan bagaikan kilat golok
pendek menyambar kempungan Ma Hoat Thong. Dalam ilmu silat terdapat kata kata begini,
“Panjang satu cun (dim), kekuatan satu cun. Pendek satu cun, bahaya satu cun.” Golok Touw
Pek Thong hanya kira-kira lima cun, maka dapatlah dibayangkan hebatnya bahaya serangan
itu. Tiga kali ia melakukan serangan yang membinasakan tanpa memperdulikan pembalasan
pada diri sendiri. In Ho dan In Ya balas menyerang tapi serangan serangan itu ditangkis oleh
Ek Sam Nio. Ilmu golok suami isteri itu ternyata berdasarkan kerjasama yang sangat erat,
yang satu menyerang, yang lain membela. Yang menyerang boleh tak menghiraukan
pembalasan atas dirinya sendiri. Diserang cara begitu, Ma Hoat Thong repot bukan main.
Touw Pek Tong terus mendesak, kian lama serangan kian hebat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1286
Sekonyong-konyong, sambil bersiul nyaring In Ho mengubah cara bersilatnya. In Ya dan Mo
Hoat Thong pung mengikuti perubahan itu dan mereka bertiga membuat sehelai jala pedang
yang sedemikian rapat, sehingga andaikata mereka disiram air, air itu tak akan kena di badan
mereka.
Boe Kie tertawa dingin dan berbisik. “Ilmu golok dan ilmu pedang itu semuanya dilatih untuk
menghadapi Gie hoe. Lihatlah! Mereka lebih banyak membela diri daripada menyerang.
Berkelahi cara begini sampai besok tidak akan ada keputusannya.” Benar saja sesudah
serangan serangannya gagal, Touw Pek Tong juga mengubah siasat dan sekarang dia hanya
membela diri.
Sesudah memperhatikan beberapa lama, Tio Beng pun mendapat lihat bahwa serangan2
kelima orang itu biasa saja dan yang istimewa adalah pembelaan mereka. “Boe Kie koko,”
bisiknya. “Kim mo say ong Cia Tayhiapo berkepandaian sangat tinggi. Dengan ilmu silat itu,
mana bisa mereka memperoleh kemenangan?”
Sesudah lewat tujuh delapan jurus lagi, tiba-tiba sambil melompat keluar dari gelanggang, Ma
Hoat Thong berseru. “Tahan!” Touw Pek Thong melompat ke belakang dan berdiri tegak
sambil mengawasi lawannya.
“Apakah to hoat (ilmu golok) kalian dilatih untuk membunuh singa?” tanya Ma Hoat Thong.
Ek Sam Nio kaget, “Kupingmu terang sekali,” jawabnya.
“Saudara Touw Loosianseng dibunuh Cia Soen dan sakit hati itu memang tidak bisa tak
dibalas,” kata Ma Hoat Thong. “Sesudah kalian mendapat tahu bahwa Cia Soen berada di
Siauw liem sie, mengapa kalian tidak coba membereskan persoalan itu terlebih siang?”
“Urusan itu urusan kami berdua,” jawab Ek Sam Nio. “Tootiang boleh tak usah turut
memikiri.”
“Ganjelan antara Giok cin koan dan kalian berdua adalah urusan kecil,” kata Ma Hoat Thong.
“Perlu apa kita mengadu jiwa? Bukankah lebih baik jika kita bersahabat dan bersama sama
mencari Cia Soen?”
“Apa Giok cin koan juga bermusuhan dnegan Cia Soen?” tanya Ek Sam Nio.
“Tidak, bermusuhan memang tidak.”
“Kalau tidak bermusuhan, mengapa kalian melatih diri dalam kiamhoat yang istimewa itu?
Kalau tidak salah kiam hoat kalian dan to hoat kami bertujuan sama, yaitu untuk melawan
pukulan Cit siang koen.”
“Sam Nio mempunyai mata yang sangat tajam! Kini kami tidak perlu menyembunyikan suatu
apa lagi. Maksud kami ialah meminjam To liong to.”
Nyonya Touw manggut2kan kepalanya dan dengan jari tangannya lalu menulis beberapa
huruf di telapak tangan suaminya. Sebagai jawaban, Touw Pek Tong pun menulis huruf-huruf
di telapak tangan isterinya. Sesudah “berbicara” dengan tulisan, si nenek berkata. “Tujuan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1287
kami berdua ialah membalas sakit hati. Untuk itu kami rela membuang jiwa. Terhadap To
liong to, sedikitpun kami tak punya minat.”
“Bagus!” kata Ma Hoat Thong dengan girang. “Sekarang sebaiknya kita berlima berserikat
untuk mencapai tujuan kita – kalian membalas sakit hati dan kami meminjam golok mustika.
Dengan demikian, kita mendapat dua keuntungan, yaitu hasil yang dikejar dan persahabatan.”
Semua orang setuju. Mereka berlima lalu mengangkat tangan dan mengucapkan sumpah
perserikatan.
Sesudah bersumpah, suami isteri Touw lalu mengundang ketiga tamunya masuk ke rumahnya
untuk minum teh dan merundingkan rencana tindakan mereka.
Sesudah duduk di ruangan tengah, melihat pintu kamar tidur tertutup, Ceng hay Sam kiam
merasa curiga dan menengok beberapa kali.
“Sam wie tak usah bercuriga,” kata Ek Sam Nio sambil tertawa. “Yang tidur di situ adalah
sepasang suami isteri muda yang kabur dari rumah mereka di kota raja. Yang perempuan
cantik bagaikan dewi, yang lelaki seorang pemuda kasar yang tak tahu ilmu silat.”
Ma Hoat Thong adalah seorang yang sangat berhati-hati. “Sam Nio jangan gusar,” katanya.
“Bukan aku tidak percaya, tapi sebab urusan ini urusan sangat besar, maka jangan sampai
bocor.”
Si nenek tertawa, “Kita bertempur begitu lama dan mereka terus tidur seperti bangkai,”
katanya. “Kalau tak percaya Ma Tooya boleh lihat sendiri.” Sehabis berkata begitu ia
berbangkit dan menolak pintu, tapi pintu dipalang dari dalam.
Boe Kie tahu, apabila rahasianya bocor, kesempatan untuk menolong ayah angkatnya akan
menjadi hilang. Buru-buru ia membuka sepatu, naik ke ranjang dan menyelimuti dirinya.
Di lain saat terdengar suara “krek” dan palang pintu patah didorong In Ho. Ek Sam Nio
masuk paling dulu dengan membawa ciak-tay (tempat menancap lilin) diikuti oleh Ceng hay
Sam kiam.
Dengan mata dan paras muka seperti orang yang baru tersadar, Boe Kie mengawasi si nenek.
Tiba-tiba Ma Hoat Thong menghunus pedang dan menikam tenggorokan Boe Kie. Tikaman
itu menyambar bagaikan kilat.
Boe Kie mengeluarkan teriakan kaget. Sebaliknya dari berkelit, dengan lagak bingung ia coba
bangun, sehingga tenggorokannya seolah olah memapaki ujung pedang. Buru-buru Ma Hoat
Thong menarik pulang senjatanya. Ia tak pernah mimpi bahwa kepandaian pemuda itu
sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kemampuannya dan bahwa, andaikata ia benar-benar
mempunyai niatan jahat iapun tak akan bisa mencelakai Boe Kie. Tio Beng hanya
mengeluarkan suara seperti orang mengigau dan terus tidur.
“Sam Nio tak salah,” kata In Ho. “Mari kita keluar.” Mereka lantas kembali ke ruangan
tengah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1288
Boe Kie segera melompat turun dari ranjang, memakai sepatunya dan mengintip pula.
“Apakah kalian sudah menyelidiki pasti bahwa Cia Soen berada di Siauw lim sie?” tanya Mo
Hoat Tong.
“Siauw lim pay telah mengirim surat undangan kepada berbagai orang gagah untuk
menghadiri To say Tay hwee pada hari perayaan Toan ngo. Apabila Cia Soen belum
tertangkap mereka tentu tak akan berbuat begitu.”
Ma Hoat Thong mengangguk. “Kong kian Seng ceng telah dibinasakan oleh Cia Soen,”
katanya. “Semua murid Siauw lim sie bertekat untuk membalas sakit hati. Sebenarnya kalian
berdua tak usah banyak capai. Kalian hanya perlu menghadiri pertemuan itu dan menyaksikan
kebinasaan Cia Soen. Tanpa mengangkat tangan, sakit hati kalian sudah terbalas. Perlu apa
Touw loosianseng merusak kuping sendiri dan menempuh bahaya besar?”
Ek Sam Nio tertawa dingin.
“Hm… ! Kalian tak tahu bahwa anak lelaki tunggal kami, tanpa sebab, tanpa lantaran, sudah
dibunuh Cia Soen,” katanya dengan suara parau. “Sakit hati sedalam lautan, untuk membalas
sakit hati itu, mana bisa kami hanya memainkan peranan sebagai penonton? Begitu bertemu
dengan bangsat she Cia itu, aku akan tusuk kedua kupingnya dan kami berdua rela untuk
binasa bersama sama dia. Huh.. huh!... untuk membalas sakit hati itu, kami tak
memperdulikan segala akibatnya. Kami tidak menghiraukan kalau kami mesti melanggar
Siauw lim pay, Boe tong pay atau pay apapun juga.”
Mendengar keterangan itu, Boe Kie bergidik. “Karena perbuatan Seng Koen Giehoe
melampiaskan amarahnya kepada orang-orang yang tidak berdosa,” pikirnya. Suami isteri
Touw kelihatannya bukan orang jahat. Tapi sakit hati mereka sudah pasti tak akan bisa
didamaikan. Hai!.... jalan satu-satunya bagiku adalah menolong Giehoe dan membawanya ke
tempat jauh, supaya permusuhan tidak bertambah hebat.”
Sesudah itu Boe Kie tak dengar suara apa apa lagi. Ia mengintip dari sela sela papan dan
mendapat kenyataan bahwa suami isteri Touw dan ketiga tamunya bicara dengan menulis
huruf huruf di meja dengan menggunakan air the. “Mereka sungguh berhati-hati,” katanya
dalam hati.
“Giehoe banyak musuhnya dan To liong to mempunyai daya tarik yang sangat hebat. Dilihat
gelagatnya, sebelum Toan ngo Siauw lim sie bakal disatroni oleh banyak orang pandai. Kalau
penjagaan kurang kuat, Giehoe bisa mati konyol. Aku harus mencoba menolong secepat
mungkin.”
Sebab tidak bisa mengorek rahasia lagi, Boe Kie lantas tidur. Pada keesokan paginya, Ceng
hay Sam kiam sudah berlalu. “Popo,” kata Boe Kie kepada si nenek. “Semalam mengapa
ketiga tooya itu masuk ke kamar dengan golok terhunus? Aku takut setengah mati dan
menduga mereka datang untuk menangkap kami.”
Mendengar Boe Kie menamakan pedang sebagai golok si nenek tertawa di dalam hatinya.
“Mereka nyasar dan sesudah minum teh, mereka berlalu,” jawabnya. “Can Siauwko, sesudah
tengah hari kami ingin membawa tiga pikul kayu bakar ke kuil Siauw lim sie untuk dijual.
Bolehkah kau membantu kami? Kepada para pendeta kami akan mengaku kau sebagai anak
supaya mereka tidak curiga. Isterimu sangat cantik, sebaiknya menunggu saja di rumah.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1289
Boe Kie mengerti bahwa kedua orang itu mau menyelidiki keadaan Siauw lim sie. Ia girang
dan lantas menyahut, “Aku akan menurut semua perintah Popo harapanku yang satu satunya
Popo suka menerima kami menumpang di sini. Kami sudah lelah berlarian kesana sini.”
Lohor itu Boe Kie mengikuti suami isteri Touw, dengan masing-masing memikul satu pikul
kayu bakar. Boe Kie memakai tudung besar, kasur rumput dan di pinggangnya terselip kapak
pendek. Selagi mereka berangkat, Tio Beng berdiri di ambang pintu sambil tersenyum.
Mereka berjalan perlahan lahan dan berlagak tersengal-sengal. Setibanya di pendopo di luar
kuil Siauw lim sie, mereka berhenti mengaso. Di pendopo itu terdapat dua orang yang
mengawasi mereka dengan sikap acuh tak acuh. Ek Sam Nio membuka bungkusan kepala
yang terbuat dari kain kasar dan menggunakan untuk menyusut keringat, sesudah itu ia
menyusut keringat Boe Kie. “Nak, apa kau sudah capai?” tanyanya.
Waktu keringatnya disusuti, Boe Kie merasa agak jengah. Tapi begitu mendengar suara si
nenek, jantungnya memukul keras. Itulah suara yang bernada rasa cinta dan yang keluar dari
hati setulusnya. Ia melirik dan melihat air mata yang berlinang-linang di kedua mata si nenek.
Ia tahu, bahwa orang tua itu ingat anaknya sendiri, yang telah dibunuh Cia Soen. Sesudah
menanya nenak itu mengawasi Boe Kie dengan sorot mata meminta jawabah. Boe Kie tak
tega dan segera menjawab dengan suara lemah lembut. “Ibu, aku tidak capai. Kau sendirilah
yang sudah capai.”
Begitu mendengar perkataan “Ibu” air mata si nenek lantas mengucur. Buru buru ia menyusut
mukanya. Touw Pek Tong lantas saja bangun dan memikul pikulannya. Sambil mengulapkan
tangan kirinya, ia lantas bertindak keluar dari pendopo itu. Ia tahu, bahwa isterinya bersedih
dan kalau mereka berdiam lama lama, kedua pendeta itu bisa bercuriga. Sebelum berangkat,
Boe Kie menghampiri pikulan si nenek dan menaruhnya di pikulannya sendiri. “Ibu, mari!”
katanya.
Melihat kecintaan Boe Kie, Ek Sam Nio jadi makin sedih. “Jika puteraku masih hidup,
kemungkinan dia lebih tua daripada pemuda ini,” pikirnya. “Mungkin sekarang aku sudah
mengempo cucu. Sambil mikir begitu, ia segera memikul pikulannya. Karena berduka,
tindakannya agak limbung dan Boe Kie yang melihat itu lantas saja kembali dan menuntun
tangan si nenek.
”Anak itu sangat berbakti,” kata salah seorang pendeta.
“Popo apa kamu mau bawa kayu itu ke Siauw lim sie?” seru pendeta yang lain. “Sedari
beberapa hari berselang, Hong thio telah mengeluarkan peraturan bahwa orang luar tidak
boleh datang ke kuil. Sebaiknya kau jangan pergi!”
Ek Sam Nio terkejut. Kalau mereka tidak bisa masuk dengan menyamar, penjagaan Siauw lim
sie yang sangat kuat sukar ditembus. Sementara itu, melihat isterinya dan Boe Kie berhenti,
Touw Pek Tong yang sudah berjalan lebih dahulu juga turut berhenti.
“Mereka keluarga baik,” kata pendeta yang pertama. “Ibu mencintai anak, anak berbakti
kepada ibunya. Kita patut menolong. Soetee, ajaklah mereka ke dapur. Kalau diketahui
pengawas, katakan saja penduduk dusun sini yang biasa menjual kayu bakar.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1290
“Baiklah,” jawabnya. Ia lalu membawa suami isteri Tauw dan Boe Kie ke dapur dengan
masuk dari pintu belakang. Sesudah tiga pikul kayu bakar itu dimasukkan ke gudang dan
harganya dibayar oleh hweesio pengurus dapur, Ek Sam Nio berkata. “Kami menanam piecay
yang sangat bagus. Besok aku akan suruh A Goe membawa beberapa kati untuk para soehoe,
sebagai pernyataan terima kasih kami.”
Pendeta yang mengantar mereka tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Tak bisa,” katanya.
“Mulai besok, siapapun jua tak boleh masuk di sini. Kalau ketahuan aku bisa celaka.”
Pendeta pengawas dapur mengawasi Boe Kie dan tiba-tiba ia berkata. “Selama perayaan Toan
ngo, kita bakal menerima kira-kira seribu tamu. Kita akan sangat repot, masak, pikul air,
bacok kayu bakar dan sebagainya. Kulihat saudara ini bertubuh kuat. Apa kau mau bantu di
sini selama dua bulan? Setiap bulan kau akan menerima lima tahil perak.”
Ek Sam Nio girang. “Bagus!” katanya. “A Goe, di rumah tidak ada kerjaan penting. Kalau
kau bisa bekerja di sini dan mendapat beberapa tahil perak, kau bisa membantu ongkos rumah
tangga.”
Boe Kie bersangsi. Di antara tokoh tokoh Siauw lim sie banyak yang mengenal dia. Kalau
salah seorang datang ke dapur, ia bisa dikenali. Maka itu ia lantas berkata, “Ibu… isteriku…”
Si nenek tidak menyia nyiakan kesempatan yang begitu baik, ia segera berkata, “Apa kau
takut aku aniaya isterimu? Turutlah perkataanku. Kau berdiam di sini dan bekerja baik2.
Beberapa hari lagi ibu dan isterimu akan menengok kau. Hm!... kau sudah begitu besar, tapi
masih belum ketinggalan ibu. Apa kau masih menetek?” Setelah berkata begitu, sambil
membereskan rambutnya, ia mengawasi Boe Kie dengan sorot mata penuh kecintaan.
Dalam menghadapi pertemuan orang2 gagah, sudah banyak hari pendeta pengurus dapur
merasa jengkel. Pekerjaan mempersiapkan makanan dan minuman untuk begitu banyak orang
bukan pekerjaan enteng. Pendeta pengawas kuil sudah mengirim banyak pembantu, tapi
semua tidak memuaskan. Pendeta-pendeta Siaulw lim pay kalau bukan mempelajari kitabkitab
suci tentu belajar ilmu silat. Pekerjaan di dapur tak ada yang suka. Orang-orang yang
dikirim oleh pengawas pergi ke dapur dengan perasaan mendongkol, mereka di dapur tidak
mau bekerja. Apabila tingkatannya lebih tinggi daripada pengurus dapur, mereka lebih-lebih
sungkan diperintah. Itulah sebabnya mengapa pengurus dapur itu bertekad untuk mendapat
bantuan Boe Kie yang kelihatannya kuat dan rajin. Ia lalu membujuk berulang2.
Sebenarnya, sesudah memperhitungkan untung ruginya, tawaran itu menggirangkan Boe Kie.
Tapi sengaja ia mengunjuk lagak sangsi. Sesudah pendeta yang mengantarkannya turut
membujuk, barulah ia mengiakan dengan tawaran. “Soehoe,” katanya. “Kalau aku bisa minta
enam tahil perak sebulan, lima tahil untuk ibu dan setahil untuk isteriku membeli pakaian…”
Pengurus dapur tertawa terbahak-bahak. “Baiklah! Enam tahil perak sebulan!”
Sesudah memberi pesanan berulang-ulang supaya Boe Kie bekerja baik-baik, barulah bersama
suaminya, Ek Sam Nio turun gunung.
Atas pertanyaan Boe Kie, pendeta pengurus dapur memberitahukan bahwa nama sebagai
seorang pendeta adalah Hoei cie. Mulai hari itu, Boe Kie melakukan rupa-rupa pekerjaan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1291
kasar, seperti bacok kayu, ambil arang, nyalakan api, pikul air dan sebagainya. Ia sengaja
menghitamkan mukanya, sehingga waktu berkaca di air, ia sendiri tidak mengenalinya.
Malam itu, bersama lain-lain pekerja dia tidur di sebuah rumah kecil di samping dapur. Ia
tahu bahwa Siauw lim sie sarang harimau dan di antara pendeta-pendeta yang berkedudukan
rendah kadang-kadang terdapat orang yang berkepandaian tinggi. Maka itu, ia sangat berhati2
setiap gerak geriknya. Selama kurang lebih seminggu, dua kali Ek Sam Nio dan Tio
Beng menyambanginya. Ia bekerja keras, dari pagi sampai malam dan tidak pernah menampik
pekerjaan apapun juga, sehingga pengurus dapur sangat menyayanginya. Iapun bergaul rapat
dengan semua kawan. Tapi mereka tidak berani menanya ini atau itu yang bersangkut paut
dengan Cia Soen. Ia hanya memasang kuping dan mata. Ia berpendapat bahwa manakala ayah
angkatnya berada di Siauw lim sie, orang tentu harus mengantarkan makanan. Kalau tugas
mengantarkan makanan diberikan kepadanya, ia akan bisa tahu dimana ayah angkatnya
dikurung. Tapi sesudah bersabar beberapa hari, ia belum juga menemukan sesuatu yang
memberi harapan.
Pada hari kesembilan, selagi tidur lapat-lapat Boe Kie mendengar bentak-bentakan. Perlahanlahan
ia bangun dan sesudah mendapat kepastian, bahwa semua kawannya sedang tidur pulas,
ia segera pergi ke arah suara itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia sangat
berhati-hati. Saban-saban ia melompat naik ke pohon besar dan memperhatikan keadaan di
seputarnya. Sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar tempat itu tidak ada manusianya,
barulah ia berani maju dan kemudian naik lagi ke atas lain pohon. Tak lama kemudian ia
sudah lihat satu pertempuran yang dilakukan oleh beberapa orang. Ia segera bersembunyi di
belakang pohon dan memperhatikan pertempuran itu. Karena berada di hutan yang gelap, ia
tak bisa lihat mukanya orang-orang yang berkelahi. Ia hanya lihat berkelebat-kelebatnya
senjata dan enam orang yang sedang bertempur, dengan masing-masing pihak terdiri dari tiga
orang. Selang beberapa saat ia mengenali bahwa pihak yang satu itu adalah Ceng hay Sam
kiam yang ketika itu sedang membela diri dengan Sam cay tin palsu. “Tin” itu sangat rapat,
tapi ketiga pendeta Siauw lim yang bersenjata golok ternyata memiliki kepandaian tinggi dan
terus merangsek dengan hebatnya. Tak lama kemudian, salah seorang dari Ceng hay Sam
kiam roboh terbacok. Begitu lekas “tin” itu pecah, pembelaan diri dari dua orang yang masih
hidup lantas kalang kabut. Selang beberapa jurus terdengar teriakan menyayat hati dan
seorang pula roboh terguling. Didengar dari suaranya, yang roboh itu ialah Ma Hoat Thong.
Orang yang terakhir, yang lengannya sudah terluka, terus melawan secara nekat.
Tiba-tiba salah seorang pendeta membentak. “Tahan!” Anggota Ceng hay Sam kiam yang
masih hidup itu yaitu In Ho tetap dikurung, tapi serangan segera dihentikan. “Cang hay Giok
cin koan dengan Siauw lim sie sama sekali tidak bermusuhan,” kata seorang pendeta tua.
Mengapa kamu menyatroni kuil kami di tengah malam?”
“Sesudah kami kalah, perlu apa banyak bicara lagi?” kata In Ho dengan suara parau.
Pendeta tua itu tertawa dingin. “Kamu datang untuk Cia Soen atau untuk To liong to?”
tanyanya pula. “Aku belum pernah dengar, bahwa Giok cin koan bermusuhan dengan Cia
Soen. Huh huh!... kamu tentu datang untuk merebut To liong to. Dengan kepandaian yang
tidak berarti itu, kamu berani menyatroni kuil kami. Selama seribu tahun lebih Siauw lim sie,
kuil kami ini telah memimpin Rimba Persilatan. Aku tak nyana ada orang yang memandang
kami begitu rendah.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1292
Selagi dia bicara, mendadak In Ho menikam bagaikan kilat. Pendeta itu berkelit, tapi tak
urung pundak kirinya tertikam juga. Dua kawannya lantas membacok dan In Ho roboh binasa.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ketiga pendeta itu memanggul mayat Ceng hay Sam kiam
dan kembali ke kuil. Baru saja Boe Kie mau menguntit, tiba-tiba kupingnya mendengar suara
bernafasnya manusia. “Sungguh berbahaya!” pikirnya. Ia tidak berani bergerak. Berselang
kira2 setengah jam, dari rumput2 tinggi barulah terdengar suara tepukan tangan yang
disambut oleh lain-lain tepukan. Di lain saat enam pendeta yang memegang macam-macam
senjata muncul dari tempat persembunyiannya. Mereka balik ke kuil dengan berjalan dalam
barisan yang berbentuk kipas.
Sesudah mereka pergi jauh, Boe Kie kembali ke pondokannya. Para pekerja dapur ternyata
masih tidur pulas. “Kalau bukan melihat dengan mata sendiri, aku tak akan menduga bahwa
dalam sekejap tiga orang gagah sudah mengorbankan jiwanya,” pikirnya. Dengan adanya
pengalaman itu, ia lebih berhati-hati.
Beberapa hari lagi sudah lewat pertengahan bulan empat. Hawa udara berubah hangat dan
perayaan Toan ngo sudah berada di ambang pintu. Hari lepas hari, Boe Kie bertambah
bingung. Kalau tidak berlaku nekad, aku tentu tak akan bisa tahu dimana Giehoe dikurung,”
pikirnya. “Malam ini biar bagaimanapun juga, aku harus berani menempuh bahaya.” Ia tahu,
bahwa ilmu silatnya lebih tinggi dari pendeta Siauw lim manapun juga. Tapi dengan seorang
diri, ia tak berdaya. Siauw lim sie sarang harimau dan dengan kekerasan ia pasti takkan bisa
menolong ayah angkatnya. Jalan satu2nya ialah menggunakan tipu.
Malam itu kira2 tengah malam ia keluar dan melompat ke atas genteng. Tiba-tiba dua
bayangan hitam mendatangi dari selatan ke utara. Buru-buru ia mendekam. Kedua bayangan
itu adalah pendeta Siauw lim yang meronda.
Sesudah peronda itu lewat, Boe Kie bergerak maju. Tapi baru berjalan beberapa tombak,
kupingnya mendadak menangkap suara tindakan yang sangat enteng. Sekali lagi ia
menyembunyikan diri. Yang datang kali ini juga dua peronda. Boe Kie mengerti bahwa
penjagaan diperkeras sebab para pemimpin Siauw lim sie tahu, kali ini kuilnya bakal disatroni
oleh banyak tokoh Rimba Persilatan. Sesudah melihat penjagaan yang hebat itu, Boe Kie
merasa bahwa jika ia maju terus, ia bakal dipergoki.
Tiga hari lewat.
Malam itu geledek bergemuruh, kilat menyambar nyambar dan turunlah hujan yang sangat
besar. Tak kepalang girangnya Boe Kie. “Thian membantu aku!” katanya di dalam hati.
Makin lama hujan makin besar. Langit gelap gulita. Sesudah berdandan rapi, dengan tetap
berhati-hati Boe Kie pergi ke gedung sebelah depan. “Lo han tong, Tat mo tong, Cong kek
kok dan tempatnya Hong thio adalah tempat-tempat penting,” pikirnya. Biarlah lebih dulu aku
menyelidiki di situ.”
Tapi Siauw lim sie besar. Ia tak tahu dimana Lo han tong, dimana Cong kek kok. Indap indap
ia maju, waktu tiba di sebuah lorong sayup sayup ia ingat, bahwa ia pernah berada disitu. Aha
benar.. dulu waktu ia diajak Thio Sam Hong datang di Siauw lim sie untuk meminta pelajaran
Siauw lim Kioe yang kang guna mengobati lukanya akibat pukulan Hian beng Sin ciang, ia
pernah lewat di lorong itu dan sesudah membiluk ke kiri ia pergi ke kamar Seng koen atau
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1293
Goan tin. Sesudah berpikir sejenak, ia mengambil keputusan untuk menyelidik kamar rahasia
itu.
Perlahan-lahan ia maju sambil mengingat-ingat jalan yang dulu dilewatinya. Sesudah melalui
jalanan kecil yang tertutup batu batu sebesar telur itik dan sesudah melewati sebuah hutanhutan
bambu tibalah ia di depan kamar Seng Koen.
Jantungnya memukul keras. Ia tahu Seng Koen berkepandaian tinggi dan banyak akalnya.
Jika rahasianya bocor, kesudahannya tak dapat diramalkan. Ketika itu pakaiannya basah
kuyup. Sambil mengentengkan tubuhnya ia menghampiri jendela dan memasang kuping. Di
dalam terdengar suara orang. Dengan satu perkataan saja ia mengenali bahwa yang bicara
adalah Kong boen Taysoe, Hong thio atau kepala kuil Siauw lim sie.
“Karena Kim mo Say ong, selama sebulan Siauw lim pay sudah membinasakan dua puluh
orang,” kata Kong boen. Pada hakekatnya ini bukan cara cara agama kita yang berdasarkan
belas kasihan. Beng kauw Co soe Yo Siauw, Yoe soe Han Yauw Peh bie Eng ong We It
Siauw dengan beruntun telah mengirim utusan untuk meminta supaya kita melepaskan Cia
Soen.”
Mendengar sampai disitu, Boe Kie merasa terhibur. Sedikitpun ia mendapat tahu, bahwa
tokoh tokoh Beng kauw sudah bertindak.
Sesudah berdiam sejenak, Kong Boen berkata pula. “Kita menolak, tapi Beng kauw tidak
akan menyudahi dengan begitu saja. Thio Kauwcoe berkepandaian sangat tinggi sampai
sekarang ia belum muncul. Kukuatir ia bekerja dengan diam-diam.”
Aku dan Kong tie Soetee pernah ditolong olehnya dan kami berhutang budi. Manakala ia
sendiri meminta bagaiman kita harus menjawabnya? Hari ini ketiga Soesiok coba
menanyakan Cia Soen tentang kebinasaan Kong kian Soe heng. Tapi dia menutup mulut. Hal
ini benar-benar sukar. Soetee, Soetit, bagaimana pikiranmu?”
Seorang tua batuk-batuk beberapa kali. Sesudah itu ia berkata, “Hong thio Soesiok terlalu
banyak berkuatir. Dengan dijaga ketiga Thay soesiok, Cia Soen tak akan bisa lari dan tak akan
bisa ditolong oleh siapapun juga. Eng hiong Tay hwee bersangkut paut dengan nama baiknya
Siauw lim pay sebagai pemimpin Rimba Persilatan selama ribuan tahun. Budi kecil dari pihak
Mo-kauw, Hong thio Soesiok tak usah terlalu pikiri. Apa pula dalam urusan itu sebenar
benarnya secara menggelap Mo kauw telah bersekutu dengan kerajaan Goan dalam usaha
mencelakai enam partai. Apa Hong thio Soesiok belum tahu kenyataan itu?”
Boe Kie mengenali bahwa yang bicara adalah Seng koen yang dikenal sebagai Goan tin (Thay
Soesiok kakek paman guru, Seng Koen murid Kong kian, sehingga Kong boen dan Kong tie
adalah paman gurunya. Thay Soesiok Seng koen ialah tokoh tokoh Siauw lim pay yang
tingkatannya lebih atas daripada Kong kian Taysoe dan saudara saudara seperguruannya).
“Cara bagaimana Beng kauw bisa bersekutu dengan kerajaan?” tanya Kong boen dengan
heran.
“Thio Kauwcoe sebenarnya harus nikah dengan Cioe Kouwnio, Ciangboenjin Go bie pay,”
Coan tin menerangkan. “Pada hari pernikahan, Koencoe Nio nio puteri Jie lam ong mendadak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1294
muncul dan kemudian kabur bersama sama bocah she Thio itu. Kejadian ini menggemparkan
seluruh Kang ouw. Hong thio Soesiok tentu sudah mendengarnya.”
“Benar, aku pernah dengar cerita itu,” kata Kong boen.
“Di antara jago jagoannya Koencoe Nio nio itu terdapat orang yang dikenal sebagai Kouw
Touwtoo,” kata pula Goan tin. “Di Ban hoat-sie, Jie wie Soesiok tentu sudah pernah bertemu
dengan dia.”
“Hm!...” Kong tin mengeluarkan suara di hidung dengan paras muka gusar. Ia rupa-rupanya
ingat kejadian dahulu. “Sesudah urusan di sini beres, aku ingin pergi ke kota raja untuk
mencari Kouw Touw too.”
“Apa Jie wie Soesiok tahu siapa sebenarnya Kouw Touw too?” tanya Goan tin.
“Dia berpengetahuan luas dan dia agaknya paham segala rupa ilmu silat,” kata Kong tie.
“Tapi aku sendiri tak bisa lihat asal usulnya. Kouw touwtoo itu bukan lain daripada Kong
beng Yoe soe Hoan Yauw,” kata Goan tin.
Kong boen dan Kong tie terkejut. “Apa benar?” tanya mereka dengan berbareng.
“Mana berani Goan tin mendustai Soesiok,” jawabnya. “Kalau dia benar akan datang di sini,
Jie wie Soesiok akan bisa membuktikan sendiri.”
Sesudah berpikir sejenak Kong tie berkata, “Kalau begitu memang benar Thio Boe Kie
bersekutu dengan Koencoe itu. Si Koencoe menangkap tokoh-tokoh enam partai dan Thio
Boe Kie berlagak melepas budi dan memberi bantuan.”
“Rasanya memang begitu,” sahut Goan tin.
“Tapi menurut penglihatanku, Thio Kauwcoe seorang ksatria yang jujur dan bukan manusia
jahat,” kata Bong boen. “Kita tidak boleh sembarangan menuduh orang yang baik.”
“Tapi Hong thio Soesiok jangan lupa, bahwa menurut katanya pepatah kita bisa mengenal
muka tapi sukar mengenal hati orang,” kata Goan tin. “Cia Soen adalah ayah angkatnya Thio
Boe Kie. Mungkin sekali tanpa memperdulikan segala apa dan dengan menggunakan segala
rupa daya, Mo kauw akan coba menolong Cia Soen. Pada hari Toa say Tay hwee segala apa
akan menjadi terang.”
Sesudah itu mereka bertiga lalu merundingkan soal menyambut tamu, melawan musuh dan
menghitung-hitung tokoh tokoh berbagai partai yang berkepandaian tinggi. Didengar dari
perkataannya, siasat Goan tin ialah mengadu domba berbagai partai persilatan dan kemudian
sesudah partai-partai itu rusak, barulah Siauw lim pay tampil ke muka dan secara resmi
menjadi partai yang menguasai To liong to. Dan sesudah itu, barulah Cia Soen dibunuh dan
diadakan sembahyangan untuk rohnya Kong kian. Tapi Kong boen sendiri kelihatannya tidak
berani memandang enteng kepada Beng kauw.
“Tapi biar bagaimanapun juga, yang paling penting ialah mengorek rahasia dimana adanya To
liong to dari mulut Cia Soen,” kata Kong tie. “Kalau kita tidak berhasil memiliki senjata itu,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1295
maka To say Tay hwee bukan saja tidak ada artinya, bahkan dapat menurunkan derajat partai
kita.”
“Soetee benar,” kata Kong boen. “Dalam pertemuan itu kita harus memperlihatkan To liong
to untuk mengangkat tinggi derajat partai. Kita harus bisa mengumumkan bahwa To liong to
yang termulia dalam Rimba Persilatan sudah dikuasai oleh partai kita. Dengan demikian
partai kita akan bisa memerintah dalam Rimba Persilatan tanpa ada yang berani tidak
menurut.”
“Ya, begitu saja,” kata Kong tie. “Goan tin sekarang kau pergilah untuk coba membujuk Cia
Soen supaya dia suka memberitahukan dimana adanya To liong to. Katakanlah kepadanya
bahwa jika ia menurut, kita akan mengampuni jiwanya.”
“Baik,” jawabnya. “Serahkan tugas ini kepada Goan tin. Aku tanggung, sebelum hari Toan
ngo sudah memiliki To liong to.” Kemudian terdengar suara tindakan yang sangat enteng dan
bayangan Goan tin berkelebat keluar dari kamar itu.
Tak kepalang girangnya Boe Kie. Tapi ia mengerti, bahwa ketiga pendeta itu berkepandaian
tinggi. Jika ceroboh gerak geriknya bakal diketahui. Maka itu ia segera menahan nafas. Ia
lihat bayangan Goan tin berlari-lari ke jurusan utara. Dia memakai payung kertas minyak dan
jatuhnya air hujan di payung menerbitkan suara yang agak keras. Sesudah musuh itu berjalan
belasan tombak, barulah Boe Kie berani menguntit.
Jilid 71__________________
DALAM HUJAN, penjagaan banyak kendur. Dengan mengandalkan ilmu ringan badan dan
dengan bantuan sang hujan, Boe Kie bisa maju terus dengan selamat. Ia lihat Goan tin
melompati tembok dibelakang kuil dan terus ke utara. "Kalau begitu Giehoe dikurung diluar
Siauwlimsie," pikirnya. Ia tidak berani melompat tembok dengan begitu saja. Ia menempelkan
badannya ditembok dan kemudian memanjat dengan perlahan. Sesudah tiba diatas, ia
menunggu sampai peronda lewat dan sesudah itu, barulah ia melompat turun. Ketika itu Goan
tin sudah berada jauh didepan, kira-kira seratus tombak. Lapat-lapat ia lihat manusia itu
membiluk kekiri dan menuju kescbuah bukit kecil.
Goan tin adalah gurunya Cia Soen dan waktu itu ia sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun.
Tapi ia masih gagah dan gesit. Selagi memanjat bukit, payungnya tidak bergoyang dan
tubuhnya seolah olah ditarik keatas dengan seutas tambang. Boe Kie mempercepat
tindakannya. Tapi baru saja ia tiba dikaki bukit, dari antara pohon2 mendadak berkelebat
bayangan manusia. Dengan cepat ia menghentikan tindakan. Sesaat kemudian muncul empat
orang, tiga didepan satu dibelakang, yang lalu memanjat bukit itu.
Boe Kie mengawasi keatas. Dipuncak hanya terdapat beberapa pohon siong yang sudah tua
dan sama sekali tidak terdapat rumah atau gubuk. "Dimana Gihoe dipenjarakan?" tanyanya
didalam hati. Dipuncak itu juga tidak terlihat manusia. Dengan menggunakan ilmu ringan
badan, ia segera ikut memanjat bukit. Ke empat orang itu memiliki ilmu meringankan badan
yang cukup tinggi. Dalam memanjat bukit, mereka seperti juga berjalan di tanah datar. Boe
Kie mengempos semangat dan mengudak. Dalam beberapa saat saja ia sudah berada dalam
jarak kira-kira dua puluh tombak dari orang-orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa diantara
mereka terdapat seorang wanita. Ketiga pria mengenakan pakaian biasa, sehingga bisa
dipastikan bahwa mereka itu bukan pendeta Siauw lim sie. Mereka tentu datang untuk
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1296
mencelakai Gihoe " pikirnya. "Biar mereka bertempur dulu dengan Goan tin dan kemudian
barulah aku turun tangan."
Waktu mendekati puncak, keempat orang itu lari makin cepat. Tiba-tiba Boe Kie
mongenalinya, antaranya, "Ah! Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham!" katanya didalam hati.
Sekonyong konyong, sambil bersiul nyaring Goan tin memutar tubuh dan turun lagi dari bukit
itu dengan berlari-lari. Ternyata ia sudah tahu, bahwa dirinya dikuntit orang. Gerakan Boe
Kie cepat luar biasa. Begitu lihat Goan tin memutar tubuh ia melompat ke rumput tinggi dan
lalu merangkak kesebelah kiri, sehingga dalam sekejap ia sudah berada di tempat puluhan
tombak jauhnya. Dilain saat ia dengar suara beradunya senjata. Dari suara itu, ia tahu, bahwa
dua orang mengerubuti Goan tin. "Ah! Yang dua lagi tentu menyateroni Gihoe!" pikirnya.
Buru-buru ia merangkak keluar dari rumput tinggi kan mendaki bukit secepat mungkin.
Setibanya dipuncak, ia merasa sangat heran. Seperti dilihat dari bawah, puncak itu hanya
merupakan tanah datar. Disitu haaya terdapat tiga pohon siong tua yang tumbuh dalam bentuk
segi tiga. “Dimana adanya Gihoe?" tanyanya didalam hati. Sesaat kemudian ia dengar suara
orang. "Kita harus lantas turun tangan, Sat Soetee dan Lam Soetee belum tentu bisa melayani
pendeta itu." Itulah suara Pan Siok Ham.
"Benar" jawab Ho Thay Ciong.
Mendadak kedua orang itu yang mendaki bukit dengan merangkak bangun berdiri dan lalu
menerjang kearah tiga pohon siong. Karena kuatir ayah angkatnya celaka Boe Kie segera
mengudak.
Sekonyong-konyong Ho Thay Ciong mengeluarkan suara “huh!" seperti orang terluka. Boe-
Kie mengawasi. Ia lihat suami isteri Ho itu memutar pedang sambil berdiri diantara ketiga
pohon siong. Mereka seperti juga sedang bertempur tapi lawannya tak kelihatan. Dilain saat
terdengar suara "tak tak tak!" seolah-olah pedang kedua suami isteri itu kebentrok dengan
semacam senjata. Dengan heran Boe Kie mendekati dan tiba-tiba saja ia terkesiap. Dipongkol
dua pohoo siong yang berada didepannya ternyata terdapat sebuah lubang berduduk seorang
pendeta tua yang masing-masing memegang seutas tambang untuk menyerang suami isteri
Ho. Pohon yang ketiga membelakangi Boe Kie, sehingga tidak bisa lihat keadaannya. Tapi
sebab dari samping pohon itu juga keluar seutas tambang, maka dapatlah ditarik kesimpulan,
bahwa dipangkal pohon itupun terdapat seorang pendeta. Pada malam yang gelap itu, Boe Kie
tak bisa lihat tegas gerakan2 tiga tambang itu.
Dalam pertempuran itu Ho Tay Ciong dan isterinya kelihatan repot sekali. Mereka memutar
pedang bagaikan kitiran dan membuat garis pembelaan yang sangat rapat. Beberapa kali
mereka membentak keras dan coba menerjang keluar, tapi selalu dipukul balik dengan ketiga
tambang itu.
Boe Kie kaget tercampur kagum. Tambang hitam itu sama sekali tidak mengeluarkan suara
dan kenyataan ini membuktikan, bahwa Lweekang ketiga pendeta itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan, "Goan tin mengatakan, bahwa Giehoe dijaga oleh tiga Thaysoesioknya,” pikir
Boe Kie, "Ketiga pendeta itu tentulah juga paman guru dari Kong koen dan Kong tie. Mereka
mempunyai Lweekang yang sudah dilatih selama tujuh-puluh tahun. Kalau aku harus
melawan mereka, aku pasti akan kalah."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1297
Mendadak mendengar teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari Ho Thay Ciong yang
punggungnya terpukul tanbang dan tubuhnya terlempar keluar dari gelanggang. Ia jatuh rebah
dan kelihatannya sudah binasa. Pan Siok Ham gusar dan sedih. Dilain detik, karena tidak
berwaspada, kepalanya terpukul pecah. Seutas tambang menyambar dan melemparkan
mayatnya keluar gelanggang.
Sementara itu Goan-tin berkelahi sembari mundur. "Mari! Mari! Kalau kamu berani, maju
terus untuk menerima kebinasaan!" ia berteriak ber-ulang2 untuk memancing lawannya.
Orang she Sat dan she Lam itu adalah jago-jago Koen-loen-pay. Mereka tahu, bahwa si
pendeta tengah memancing mereka, tapi mereka tidak takut dan terus mendesak. Dalam ilmu
silat, biarpun dikerubuti, Goan-tin tidak kalah. Tapi menurut perhitungannya, paling banyak ia
binasakan seorang lawan dan yang lain tentu melarikan diri. Maka itu, ia memancing mereka
ke pohon siong supaya kedua-duanya bisa dibunuh oleh Thay-soesioknya. Waktu berada
dalam jarak beberapa tombak dari pohon siong, kedua jago Koen-loen itu mendadak lihat
mayat Ho Thay Ciong. Dangan serentak mereka berhenti. Tiba-tiba dua utas tambang
menyambar dan melibat pinggang mereka. Dengan sekali disentak, tambang-tambang itu
melempar tubuh mereka. Ditengah udara mereka berteriak dan jatuh tanpa bernyawa lagi.
Melihat caranya ketiga pendeta itu membinasakan empat tokoh Koen loen pay, Boe Kie
meleletkan lidah. Itulah kepandaian yang belum pernah dilihatnya. Kepandaian itu lebih
tinggi daripada yang dimiliki Hian beng Jielo. Biarpun belum bisa menyamai Thio Sam Hong
kepandaian mereka sudah boleh dikatakan mencapai puncak kesempurnaan. Bahwa Siauw lim
pay masih mempunyai tetua yang berkepandaian sedemikian tinggi mungkin tidak diketahui
oleh Thio Sam Hong dan Yo Siauw yang berpengetahuan luas. Hati Boe Kie berdebar-debar.
Ia terus mendekam di rumput tinggi, tanpa berani bergerak.
Sementara itu, sambil mengeluarkan senyuman mengejek Goan tin menendang mayat Ho
Thay Ciong dan Pan Siok Ham kesebuah jurang yarg sangat dalam. Boe Kie berduka.
"Biarpun Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham pernah membalas kebaikan dengan kejahatan
terhadapku dan biarpun mereka ingin mencelakai Gie hoe, mereka adalah pemimpinpemimpin
sebuah partai besar." Pikirnya, "Bahwa mereka harus mati cara begitu, adalah
kejadian yang mendukakan.”
Dilain saat, Goan tin menghampiri Thay soesioknya dan berkata sambil membungkuk. "Sam
wie Thay soesiok mempunyai kepandaian yang tidak terbatas. Dalam sekejap Thay soesiok
sudah binasakan empat tokoh Koen-loen pay. Rasa kagum Goan tin tak dapat dilukiskan lagi.
Salah seorang mengeluarkan suara di hidung. Mereka tidak menjawab perkataan si penjilat.
"Atas perintah Hong thio Soe siok, Goan-tin datang untuk menanyakan kewarasan Sam-wie
Thay soesiok," katanya pula. "Disamping itu, Goan tin juga diperintahkan untuk berbicara
dengan orang yang dipenjarakan".
"Kong kian Soetie seorang mulia dan berkepandaian tinggi," kata salah seorang pendeta tua.
"Kami sangat mencintai dan kann mengharap ia akan bisa memperkembang ilmu silat kita.
Tak dinyana ia binasa dalam tangan penjahat itu. Selama puluhan tahun kami menutup diri
dan tidak mencampuri lagi urusan dunia. Hanyalah karena memandang muka Kong kian
Soetie, kami rela menjaga tempat ini. Penjahat itu pantas mendapat hukuman mati, maka
perlu apa rewel-rewel lagi ?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1298
Perkataan Thay soesiok memang tidak salah," kata Goan tin seraya membungkuk. ''Tapi
Hong thio Soesiok mengatakan, bahwa biarpun In soe benar dibunuh oleh penjahat itu, tapi
mengingat kepandaian In soe yang sangat tinggi, maka timbullah pertanyaan, apa benar
dengan seseorang diri penjahat itu bisa membunuh In-soe ? Sekarang kita penjarakan dia
disini dan meminta bantuan Sam wie Thay soesiok untuk menjaganya. Maksud kita pertama
ialah untuk memancing kawan-kawan penjahat itu supaya kita bisa membasmi musuh-musuh
yang mencelakai In soe dengan sekali pukul dan kedua, untuk memaksa dia supaya
menyerahkan To liong to supaya golok mustika itu tidak jatuh ke tangan lain partai. Apabila
To liong to direbut oleh partai lain, maka partai itu juga akan merebut julukan "Boelim Cie
coeh” ( yang termulia dalam Rimba Persiiatan), sehingga dengan demikian, derajat Siauw lim
pay yang sudah dipertahankan selama ribuan tahun akan merosot." (In soe: Guruku yang
budinya besar).
Mendengar itu, bukan main gusarnya Boe Kie. "Goan tin benar-benar jahat!" katanya di
dalam hati. "Dengan lidahnya yang beracun, dia lagui ketiga pendeta itu yang selama puluhan
tahun menutup diri. Hmm ! .... Dia coba menggunakan tangan mereka untuk membinasakan
tokoh-tokoh Rimba Persilatan."
Salah seorang pendeta tua itu mengeluarkan suara di hidung. "Ya, kau boleh bicara dengan
dia," katanya."
Ketika itu hujan belum berhenti dan guntur saban-saban bergemuruh, sehingga keadaan jadi
lebih menyeramkan. Goan tin pergi ke antara tiga pohon siong itu, berlutut dan berkata "Cia
Soen, apa kau sudah pikir masak-masak? Begitu lantas kau beritahukan, dimana To liong-to
disembunyikan, aku akan segera melepaskan kau."
Boe Kie heran,"Apa Giehoe dikurung dalam penjara di bawah tanah?" tanyanya didalam
hati."
Mendadak salah seorang pendeta tua membentak dengan gusar. "Goan tin! Seorang beribadat
tidak boleh berjusta! Mengapa kau justai dia? Kalau dia beritahukan dimana adanya To liong
to, apakah kau akan benar-benar melepaskan dia?"
"Biarlah Thay soesiok mengetahui, bahwa menurut pendapat teecoe, meskipun sakit hati kita
karena binasanya In-soe sangat mendalam, tapi kalau ditimbang-timbang antara dua soal, soal
nama dan derajat partai kita adalah terlebih penting," jawabnya. "Asal dia beritahukan dimana
adanya To liong to dan partai kita dapat memiliki golok mustika itu, kita boleh melepaskan
dia. Dalam waktu tiga tahun, teecoe pasti akan bisa membalas sakit hatinya In soe."
"Baiklah," kata pendeta tua itu. “Dalam Rimba Persilatan, kita harus mengutamakan
kesatriaan. Perkataan itu yang sudah diucapkan adalah seperti melesatnya anak panah yang
tidak bisa ditarik kembali. Biarpun terhadap orang jahat, murid Siauw lim sie tidak boleh
hilang kepercayaan."
Mendengar perkataan itu, Boe Kie mengakui bahwa, ketiga pendeta tersebut bukan saja
berkepandaian tinggi, tapi juga luhur wataknya. Hanya sayang, tanpa merasa mereka sudah
kena ditipu Goan tin.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1299
“Cia Soen!" bentak Goan tin. "Apa kau dengar perkataan Thay-soesiokku? Ketiga tetua kami
ini sudah bersedia untuk melepaskan kau."
Tiba-tiba dari bawah tanah keluar suara yang nyaring dan angker. "Seng koen, apakah kau
masih ada muka untuk bicara dengan aku?"
Jautung Boe Kie melonjak. Itulah suara ayah angkatnya! Kalau turut batinnya, seketika itu
juga ia akan menerjang, membinasakan Seng Koen dan menolong sang ayah. Tapi sebisa-bisa
ia menahan sabar. Ia yakin, bahwa ia tak akan bisa melawan ketiga pendeta tua itu. "Biarlah
sesudah penjahat Goan tin pergi, aku akan menemui ketiga pendeta itu,” pikirnya. "Aku akan
jelaskan latar belakang urusan ini. Mereka berilmu tinggi dan mereka tentu bisa membedakan,
siapa yang salah, siapa yang benar.”
Sementara itu, sesudah menghela napas Goan tin berkata pula. “Cia Soen, kita sama-sama
sudah berusia lanjut. Perlu apa kau selalu ingat kejadian yang dulu-dulu? Paling lama dua
puluh tahun lagi, kita akan berpulang ke alam baka. Aku bersalah terhadap kau, tapi kau pun
bersalah terhadap aku. Biarlah kita sama-sawa coret kejadian di masa lampau."
Cia Soen tidak menghiraukan. Ia hanya berkata. "Seng Koen, apa kau masih ada muka untuk
bicara dengan aku?”
Goan-tin membujuk berulang-ulang, tapi Cia Soen tetap tidak meladeni. Akhirnya ia bergusar
dan berkata. "Dengan mengingat kecintaan dahulu, aku belum pernah turunkan tangan jahat
terhadapmu Apa kau masih ingat totokanku yang dinamakan Ban-gie Can sim cie?" (Ban gie
Can sim cie-Totokan berlaksa semut berkumpul dijantung).
Begitu mendengar "Ban-gie Can sim cie," darah Boe Kie bergolak. Dari ayah angkatnya ia
tahu, bahwa totokan itu salah satu ilmu paling beracun dalam kalangan persilatan. Siapa yang
tertotok, isi perutnya seperti juga digigit berlaksa semut sakit dan gatal bercampur menjadi
satu. Ia lantas saja mengambil keputusan, bahwa andaikata Goan tin benar-benar coba
menurunkan tangan jahat itu, ia akan mengadu jiwa untuk menolong ayah angkatnya. Tapi
Cia Soen sendiri hanya menjawab. "Seng koen, apa kau masih ada muka untuk bicara dengan
aku?"
“Aku beri batas waktu tiga hari kepadamu," kata Goan tin dengan suara dingin.
"Kalau dalam tiga hari kau tetap membandel, rasakanlah Ban gie Can sim cie!" Sehabis
berkata begitu ia memberi hormat kepada ketiga pendeta tua dan kemudian turun dari bukit
itu.
Sesudah pendeta jahat itu berlalu, selagi Boe Kia mau muncul untuk menemui tiga pendeta
tiba-tiba saja ia merasakan ketidak beresan pada aliran hawanya. Ia tahu, bahwa ia diserang
orang. tapi sedikitpun ia tidak merasakan sambaran serangan itu. Bagaikan kilat ia
menggulingkan diri dan dua utas tambang lewat didepan mukanya. Baru ia berguling
setombak lebih, seutas tambang yang tegak bagaikan toya menyambar dadanya hampir
berbareng, dua tambang, lainnya menyambar punggungnya.
Sesudah menyaksikan keempat jago Koen-loen pay, ia mengerti bahwa jiwanya tergantung
pada selembar rambut. Pada detik berbahaya, ia membalik tangan kirinya dan menangkap
tambang yang menotok dada. Baru saja ia mau mendorong tambang itu, ia mendadak tambang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1300
tersebut dikerut dan semacam tenaga yang dahsyat luar biasa menindih dadanya. Kalau
tindihan itu kena jitu, maka tulang-tulang dadanya akan menjadi remuk. Pada saat yang
genting, dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, dengan tangan kanan ia menyampok
dua tambang yang menyambar punggungnya dan berbareng dengan Kian koen Tay lo ie dan
Kioe yang Sin kang tangan kirinya yang mencekal tambang mendorong dan melepaskan
tambang , sehingga pada detik itu juga tubuhnya melesat ke tengah angkasa.
Sekonyong-konyong kilat berkeredepan. Karena kaget dan kagum melihat kepandaian Boe
Kie, salah seorang pendeta mengeluarkan seruan tertahan. Ketiga pendeta itu menengadah dan
dengan bantuan sinar kilat, mereka melihat wajah Boe Kie yang ternyata pemuda dusun
dengan muka kotor. Bukan main rasa heran mereka.
Dilain saat, bagaikan naga hitam, tiga utas tambang menyambar keatas dan coba menggulung
tubuh Boe Kie dari tiga penjuru.
Dengan bantuan sinar kilat, Boe Kie bisa melihat wajah tiga pendeta itu. Yang duduk disudut
timur laut bermuka hitam, yang dibarat laut bermuka kuning dan yang disebelah selatan
bermuka putih seperti kertas. Mereka ketiga-tiganya kurus kering, seperti tak punya daging,
sedang pendeta yang bermuka kuning hanya bermata satu. Ditengah malam yang gelap itu,
lima sinar mata mereka mengeluarkan sinar berkilauan.
Melihat sambaran tiga tambang itu, selagi tubuhnya melayang di udara, Boe Kie mengibas
menarik dan menggulung. Dengan meminjam tenaga lawan ia menggulung tiga tambang itu
menjadi satu. Itulah ilmu Thay-kek dari Boe-tong pay yang tenaganya merupakan sebuah
lingkaran. Dengan ilmu itu Boe Kie menggulung tenaga tambang itu menjadi satu.
Tiba-tiba sesudah kilat yang tadi, guntur berbunyi berulang-ulang, sehingga bumi seolah-olah
bergetar. Diantara keangkeran Langit dan Bumi itu, Boe Kie berjungkir balik di tengah udara
dan kemudian kaki kirinya hinggap di sebatang siong. "Boan pwee Thio Boe Kie, Kauw coe
dari Beng kauw, menghadap Sin wie Koceng,” serunya sambil membungkuk. Ia berdiri diatas
sebelah kaki, ketika ia menyoja, ranting siong itu membal beberapa kali, sehingga tubuhnya
terayun-ayun dan memberi sebuah pemandangan yang sangat indah. Tapi biarpun ia
menjalankan kehormatan sebagai seorang muda terhadap orang tua ia berdiri disebelah atas,
sehingga dengan demikian ia mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin Beng kauw.
Dengan mengedut beberapa kali, ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka yang
tergulung. Tadi mereka menyerang dengan Sam cauw Kioe sit ( Tiga jurus sembilan pukulan
). Dalam setiap pukulan mengandung perubahan yang terdiri dari sepuluh jurus dan walaupun
namanya "Sam cauw Kioe sit," serangan itu sebenarnya merupakan beberapa puluh serangan
berantai yang membinasakan. Diluar dugaan, semua serangan itu sudah dapat dipatahkan olen
Boe Kie. Pada hakekatnya, setiap serangan berarti kebinasaan dan salah sedikit saja, tulangtulang
Boe Kie akan terpukul remuk. Tapi sesudah lolos dari lubang jarum, pemuda itu,
kelihatan tenang tenang saja dan paras mukanya sedikit pun tidak berubah. Inilah kejadian
yang belum pernah dialami ketiga pendeta itu. Tapi mereka tak tahu, bahwa selagi badannya
terayun-ayun diranting pohon, diam-diam Boe Kie mengerahkan pernapasannya untuk
mengatur hawanya yang sudah kalang kabutan.
Jurus silat yang tadi digunakan oleh Boe Kie terdiri dari Kioe yang Sin kang, Kian koen Thay
lo ie, Tay kek koen dan paling belakang untuk berjungkir balik, ia menggunakan ilmu dari
seng bwee leng. Biarpun memiliki kepandaian sangat tinggi, tapi karena sudah rnenutup diri
selama beberapa puluh tahun, ketiga pendeta Siauw lim itu tidak mengenal ilmu2 tersebut,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1301
mereka hanya merasakan bahwa Lwee kang Boe Kie agak menyerupai Siauw lim kioe yang
kang, meskipun tenaga dalam itu banyak lebih kuat daripada Kioe yang kang mereka. Mereka
kagum tercampur kaget. Tapi sesudah Boe Kie memperkenalkan diri sebagai Kauwcoe dari
Beng kauw, rasa kagum itu, lantas berubah jadi (amarah).
Pendeta yang bermuka putih berkata dengan suara menyeramkan. "Loolap kira siapa, tak
tahunya iblis besar dari Mo Kauw! Sejak beberapa puluh tahun yang lalu loolap bertiga
menutup diri dan tak pernah mencampuri urusan luar. Kami bahkan tak pemah menghiraukan
urusan Siauw lim sie sendiri. Tak dinyana hari ini kami bertemu dengan Kauw coe dari Mo
kauw dan oleh karenanya kami merasa syukur."
Mendengar perkataan "Mo kauw" (Agama iblis ), Boe Kie jadi bingung. Ia tak tahu,
bagaimana harus menjawab pendeta tua itu. Sebelum ia membuka suara, pendeta yang
bermuka kuning bertanya. "Dimana adanya Yo po Thian?”
“Yo Kauw coe sudah meninggal dunia pada tiga puluh tahun yang lalu," jawabnya.
Mendengar jawaban Boe Kie, pendeta itu mengeluarkan seruan"ah!” Nada seruan itu
mengandung rasa kaget, duka dan putus harapan.
“Mendengar meninggalnya Yo Kauwcoe, dia kelihatannya sangat berduka," kata Boe Kie di
dalam hati. "Tak salah lagi, ia tentu mempunyat hubungan erat dengan Yo Kauwcoe. Giehoe
orang sebawahan Yo Kauwcoe. Biarlah aku coba menggerakan hatinya dengan menyebutkan
persahabatan dahulu dan kemudian menceriterakan cara bagaimana Yo Kauwcoe meninggal
dunia sebab perbuatan Goan tin." Memikir begitu, ia lantas saja berkata. "Kalau begitu,
Taysoe mengenal Yo Kauwcoe, bukan?"
"Tcntu saja," jawab pendeta yang bermuka kuning. "Apabila loolap tidak mengenal
poaenghiong Yo Po Thian, cara bagaimana loolap menjadi manusia bermata satu? Dan perlu
apa kami bertiga bersamadhi tiga puluh tahun lebih?" (Bersamadhi dalam artiannya
mempertinggi ilmu silat). Kata-kata itu yang diucapkan secara tawar mengandung nada sakit
hati dan kebencian yang sangat berat.
"Celaka," Boo Kie mengeluh didalam hati. "Didengar dari perkataannya, sebelah mata
pendeta itu telah dibutakan oleh Yo Kauwcoe dan mereka menutup diri untuk mencari ilmu
yang lebih tinggi guna membalas sakit hati. Dan kecewa putus harapan waktu mendengar Yo
Kauwcoe sudah meninggal dunia."
Tiba-tiba pendeta muka kuning itu mengeluarkan siulan nyaring dan berkata dengan suara
keras, "Sesudah Yo Po Thian meninggal dunia, jalan satu-satunya hanyalah menumplek sakit
hati kami diatas pundak Kauwcoe yang sekarang, Thio Kauwcoe, hoat-mia (nama sebagai
orang beribadat) loolap Touw-ok, soetee ku yang putih mukanya bernama Touw ciat, sedang
soetee yang bermuka hitam adalah Touw lan. Kong kian, Kong boen, Kong tie dan Kong seng
adalah keponakan murid kami. Kong kian dan Kongtie binasa dalam tangan Mokauw. Tipu
busuk apa yang digunakan Mokauw, kami pun tak ingin tahu. Kunjungan Kauwcoe
mengunjuk, bahwa Kauwcoe tidak merasa gentar terhadap kami. Maka itu, hutang-piutang
dahulu baiklah kita selesaikan sekarang dengan mengadu ilmu. (Touw ok = Menyeberangi
penderitaan. Touw-ciat = Menyeberangi kecelakaan. Touw lan = Menyeberangi Kesengsaraan
).
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1302
“Kedatanganku hanyalah untuk menolong Gie hoe Kim mo Say ong Cia Tayhiap," kata Boe
Kie. "Boanpwee sendiri tak punya ganjelan dengan Siauw lim pay dan dalam soalnya Giehoe
terdapat latar belakang yang berbelit-belit. Meninggalnya Kong seng Seng ceng sedikitpun
tiada sangkut-pautnya dengan agama kami. Sam wie tak boleh hanya mendengar keterangan
dari satu pihak dan Sam wie sebaiknya menyelidiki persoalan itu sampai seterang-terangnya.
“Coba kau bilang siapa yang binasakan Kong-seng?” tanya Touw ciat yang bermuka putih.
Alis Boe Kie berkerut. "Menurut pengetahuan boanpwee, Kong Seng ceng telah dibinasakan
oleh boesoe dari Jie lam ong!” jawabnya.
"Siapa yang memimpin boesoe Jie lam ong?" tanya pula Touw ciat.
“Tio beng, putera Jie lam ong."
"Goan tin telah memberitahukan aku bahwa perempuan itu telah kerja sama dengan
agamamu. Dia mengkhianati kaizarnya dan memberontak terhadap ayahnya akan kemudian
masuk kedalam Mo kauw. Apa benar begitu?”
Desakan Touw ciat hebat sekali. Boe Kie yang tak biasa berjusta, terpaksa menyahut, "Benar.
Dia- - - dia telah meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang."
Touw ciat mengeluarkan suara di hidung. "Yang membunuh Kong kian, Kim mo Say ong dari
Mo kauw, yang membunuh Kong ceng Tio beng dari agamamu!"' katanya dengan suara kaku.
"Tio beng adalah orang yang sudah memukul pecah Siauw lim sie dan menangkap muridmurid
partai kami. Yang paling tak bisa diampuni ialah dia sudah menulis perkataan2
menghina dipatung Couwsoe Tat mo Loocouw, Semua sakit hati itu ditambah pula dengan
sebuah biji mata dari soehengku, Thio Kauwcoe kalau piutang tak diperhitungkan dengan
kau, dengan siapa lagi kami bisa memperhitungkannya?”
Boe Kie menghela napas. Ia merasa perkataan Touw ciat ada benarnya juga. Kalau ia sebagai
kauwcoe dari Beng kauw tak mau bertanggung jawab atas semua itu, siapa lagi yang bisa
bertanggung jawab?”
Maka itu, ia segera mengerahkan Lweekang ke ujung kaki sehingga bergoyang-goyang
ranting siong, lantas saja berkata, "Jika Sam wie Loosiansoe berpendapat begitu, boanpwee
tak bisa berkelit lagi," katanya dengan suara nyaring "Biarlah boanpwee memikul kedosaan
itu. Tapi dalam kebinasaan Kong kian Seng ceng terdapat hal-hal yang mendukakan. Biar
bagaimana pun juga, dalam peristiwa itu boanpwee memohon pengampunan Sam wie
Loosiansoe."
"Apa yang diandalkan olehmu, sehingga kau berani minta pengampunan untuk Cia Soen?"
tanya Touw ciat. "Apa kau rasa kami bertiga tidak mampu mengambil jiwamu?"
Boe Kie yakin, bahwa kali ini ia bertempur, ia mesti mengadu jiwa. “Kalau, satu melawan
tiga, boanpwee tak akan bisa menandingi Sam wie," katanya. "Loosiansoe yang mana yang
lebih dulu mau memberi pelajaran kepada boanpwee?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1303
"SATU lawan satu belum tentu kita menang,” kata Touw ciat. "Dalam sakit hati yang hebat
ini, kami tidak bisa mempertahankan peraturan Kang ouw. Kepala iblis terimalah
kebinasaanmu! Omie tohoed!"
"Sang Buddha berbelas kasihan!" menyambung Touw ok dan Touw lan.
Hampir berbareng tiga tambang menyambar kearah Boe Kie. Sambil mengegos tali, Boe Kie
melompat turun. Sebelum kakinya hinggap di tanah ia memutar badan dan menubruk Touw-?
Touw lan mengibaskan tangan kiri dan Boe Kie merasa semacam tenaga dalam yang hebat
menyambar ke punggungnya. Ia berkelebat dan memunahkan pukulan itu dengan Kian koen
Tay-lo ie. Pada saat itu, dua tambang dari Touw ok dan Touw lan menyapu dengan datang
berbareng.
Baru saja Boe Kie mengegos, Touw ciat sudah meninju dengan pukulan yang tak ada
anginnya. Boe Kie menangkis dan membalas menyerang. Demikianlah, dengan berdiri di
tengah-tengah tiga pohon siong, Kauwcoe dari Beng kauw itu melakukan pertempuran mati
hidup melawan tiga tetua Siauw lim pay.
Sesudah lewat sekian jurus tiba-tiba Boe Kie memukul dengan telapak tangannya sambil
menggetarkan tubuh, sehingga ratusan butir air yang menempel pada badannya menyambar
Touw ok. Pendeta itu memiringkan kepalanya, tapi tak urung mukanya disambar juga oleh
beberapa puluh butir air sehingga kulitnya dirasakan pedas perih. "Kurang ajar!" bentaknya
seraya mengedut tambang yang lantas saja menghantam kepala Boe Kie. Bagaikan kilat, Boe
Kie melompat mundur akan kemudian menyerang Touw ciat dengan tenaga dalam yang tidak
kurang hebatnya.
Makin lama Boe Kie makin bingung. Semenjak memiliki ilmu silat tinggi, belum pernah ia
bertemu dengan lawan yang sedemikian berat. Ketiga pendeta itu bukan saja lihay pukulanpukulannya,
tapi juga mempunyai Lwee-kang yang sangat dahyat. Semula ia masih bisa
menggunakan tujuh bagian kepandaiannya untuk membela diri dan tiga bagian untuk
menyerang. Tapi sesudah lewat seratus jurus, hawa tulennya mulai merosot dan hanya mampu
membela diri.
Menurut pengalamannya, yang berada dalam tubuhnya bukan saja tidak bisa habis, bahkan
semakin digunakan jadi makin kuat. Tapi dalam menghadapi ketiga pendeta itu setiap gerakan
meminta Lweekang yang sedemikian kuat dengan gerakan-gerakan demikian, perlahan-lahan
ia merasa datangnya tenaga susulan tidak begitu lancar lagi. Inilah kejadian yang belum
pernah dialaminya.
Sesudah bertanding lagi beberapa puluh jurus, ia berkata didalam hati. "Kalau terus begini,
jiwaku akan melayang. Sebegitu lama gunung masih berdiri, kayu bakar tak akan habis. Kini
aku mesti kabur. Biarlah dilain hari aku datang lagi bersama Gwa kong, Yo Coe soe, Hian
Yoesoe dan Wie Hok ong. Dengan berlima, ketiga pendeta itu pasti akan bisa dikalahkan dan
aku akan menolong Giehoe." Memikir begitu ia lantas saja mengirim serangan-serangan hebat
dan coba melompat keluar dari gelanggang. Diluar dugaan, tiga tambang itu membuat sebuah
lingkaran yang teguh bagaikan tembok tembaga. Berulang ia menerjang, tapi selalu terpukul
mundur. Sebaliknya dari terlolos, pinggangnya kena disapu tambang Touw lan sehingga
terluka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1304
Boe Kie jadi bingung. Ia tak tahu, bahwa dalam melatih ilmu selalu tiga puluh tahun lebih
dengan bersemedhi dalam kamar tertutup, ketiga pendeta itu telah mencapai sebuah
"Perpaduan pikiran." Dengan demikian apa yang dipikir oleh seorang pendeta lantas saja bisa
di rasakan oleh kedua pendeta lainnya. Adanya perpaduan pikiran itu memungkinkan sebuah
kerja sama yang sangat sempurna.
Boe Kie mulai putus harapan. “Dilihat begini, biarpun mendapat bantuan Gwakong dan yang
lain-lainnya, belum tentu aku bisa mengalahkan mereka," pikirnya. "Apakah Giehoe tak akan
bisa ditolong? Apa hari ini aku harus mati di tempat ini?"
Karena bingung, pemusatan semangatnya lantas saja terpecah. Dilain detik, pundaknya
tertotok lima jari tangan Touw ciat dan rasa sakit masuk di sumsum. Tiba-tiba ia ingat
sesuatu, “Kalau mesti mati, aku rela mati. Tapi sebelum mati, aku harus menyampaikan rasa
penasaran Gie-hoe. Giehoe seorang yang beradat tinggi. Sesudah dapat ditangkap, ia menjadi
lebih-lebih sungkannya untuk mengeluarkan sepatah kata membela diri."
Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Sam wie Loosiansoe!
Boanpwee sudah terkurung dan boan pwee akan binasa. Seorang lelaki sejati tak takut. Tapi
sebelum berpulang ke alam baka boan pwee ingin lebih dulu memberitahukan...” Dua
tambang menyambar dan sesudah memunahkan dua senjata itu, ia berkata pula, "Nama Goantin
yang sebenarnya, yaitu nama pada sebelum ia menjadi murid Siauw lim sie, ialah Sengkoen,
bergelar Hoe goan Pek lek chioe. Dia adalah guru dari Gihoe."
Mendengar bicaranya Boe Kie, ketiga pendeta itu kaget bukan main. Mereka kaget sebab
menurut kebiasaan, seorang yang sedang bertempur dengan menggerahkan Lweekang, tak
boleh bicara. Sekali bicara tenaga dalamnya buyar. Bahwa Boe Kie bicara selagi bertempur
merupakan bukti bahwa pemuda itu memiliki Lweekang lain dari yang lain. Sebab dikelabui
Goan tin, ketiga tetua itu beranggapan bahwa Boe Kie manusia jahat. Makin tinggi
kepandaiannya, makin besar bahayanya untuk masyarakat. Maka itu mereka berpendapat,
bahwa dengan membinasakan pemuda itu, mereka berbuat kebaikan untuk umat manusia.
Sebab adanya anggapan itu, mereka tak menghiraukan dan terus menyerang sehebathebatnya.
Boe Kie berkata pula, "Sam wie Loosiansoe harus tahu, bahwa Seng koen dan Yo Kauwcoe
dari Beng kauw adalah saudara seperguruan. Mereka berdua sama-sama jatuh cinta kepada
seorang Sumoay (saudari seperguruan) yang belakangan menjadi isteri Yo Kauwcoe. Seng
koen sakit hati dan ia lantas memusuhi Beng kauw." Dengan suara lantang Boe Kie terus
menceritakan segala rahasia yang meliputi sepak terjangnya Seng koen. Ia menuturkan cara
bagaimana Yo Hoejin mengadakan pertemuan rahasia dengan Seng koen, sehingga lantaran
gusar, Yo po Thian meninggal dunia, cara bagaimana dengan berlagak mabuk, Seng koen
coba merusak kehormatan isterinya Cia Soen dan lalu membasmi keluarga Kim mo Say ong,
cara Seng koen mengatur tipu sehingga Cia Soen jadi kalap dan membunuh banyak orang
dalam Rimba persilatan, cara bagaimana ia mengangkat Kong kian menjadi guru dan
belakangan memancing guru itu supaya menerima pukulan Cia SOEN, tapi dia sendiri tak
muncul sehingga Kong-kian meninggal dunia dengan penuh rasa penasaran...
Makin mendengar ceritera itu, Touw ok bertiga jadi makin kaget. Walaupun hebat ceritera itu
kedengarannya sangat beralasan dan sesuai dengan beberapa kenyataan. Gerakan tambang
Touw ok lantas saja berubah perlahan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1305
"Boanpwee tak tahu sebab musabab permusuhan antara Yo Kauwcoe dan Touw ok Taysu,"
kata pula Boe Kie. Tapi Boanpwee merasa pasti, bahwa permusuhan itupun sudah terjadi
karena siasat Seng Koen. Cobalah Touw ok Tay-su mengingat-ingat lagi kejadian yang
lampau itu."
Touw ok menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian, ia berkata; "Mungkin, memang
mungkin kerjaan Seng-koen. Dalam permusuhan antara Yo Kauwcoe dan loolap, Seng koen
telah mengeluarkan banyak tenaga untukku. Belakangan ini ia minta berguru kepada loo-lap,
tapi sebab belum pernah menerima murid, maka loolap lantas memujikan dia kepada Soe tit.
Memang mungkin sekali kejadian itu sudah terjadi karena siasat Seng koen.”
"Bukan saja begitu," menyambung Boe Kie, “dia sekarang berusaha untuk merebut
kedudukan hong thio dari Siauw lim sie. Diam-diam ia menerima murid sembarangan dan
bersekutu dengan orang kangauw yang tidak baik. Dia berusaha untuk mencelakai Kong boen
Seng ceng...!"
Perkataan Boe Kie itu terputus sebab dengan mendadak ia mendengar suara keras dan sebuah
batu raksasa yang menggelinding ke arah tiga pohon siong itu. "Siapa?" bentak Touw ok
sambil menghantam dengan tambangnya sehingga batu itu somplak, sekonyong-konyong dari
belakang batu berkelebat bayangan manusia yang lantas menubruk Boe Kie dan sebilah golok
pendek menyambar ke tenggorokan pemuda itu.
Itulah serangan yang tak diduga-duga!
Pada detik itu seantero tenaga di kedua tangan Boe Kie sedang menyambut tambang Touw
ciat dan Touw lan. Ia tak pernah mimpi bahwa ia bakal dibokong.
Waktu ia mendusin adanya serangan itu, ujung golok sudah hampir menyentuh kulit
tenggorokan. Tapi detik penghabisan, mati-matian ia mengegos. Golok lewat dan merobek
baju di bagian dadanya. Terlambat sedikit saja, jiwanya pasti melayang. Sesudah serangannya
gagal, dengan ditedeng batu besar yang tengah menggelinding, pembokong itu
menggulingkan diri sampai diluar kalangan tambang.
"Sungguh berbahaya!” kata Boe Kie. "Binatang Seng Koen ! Kalau kau punya nyali datanglah
kesini untuk dipadu denganku! Huh huh!- - - Kau coba membunuh aku untuk menutup
mulutku." Biarpun tak melihat tegas muka penyerang itu, dengan memperhatikan gerakannya
dan Lweekang, Boe Kie tahu, bahwa penyerang itu bukan lain daripada Seng Koen.
Semeatara itu, dengan tambang mereka ketiga tetua Siau lim itu sudah berhasil mengalihkan
sambaran batu raksasa itu ke jurusan lain.
"Apa benar Goan tin?" tanya Touw ok. "Benar dia," jawab Touw lan.
"Ya," kata pula Touw ok, "kalau dia tak berdosa, perlu apa...”
Perkataan itu mendadak terputus sebab tiba-tiba saja beberapa bayangan manusia berkelebat.
Orang yang paling dulu membentak, “Pendeta Siauw lim adalah murid Sang Budha tapi
mereka telah membunuh begitu banyak orang, apa mereka tak takut dosa? Kawan-kawan,
seranglah!"
Delapan orang lantas saja menerjang. Boe Kie yang segera berduduk diantara
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1306
ketiga pendeta itu mendapat kenyaataan, bahwa tiga orang bersenjata pedang dan yang lain
menggunakan macam-macam senjata. Mereka semua berkepandaian tinggi dan dilain detik,
mereka sudah bertempur hebat dengan ketiga tetua Siauw lim. Sesudah memperhatikan
sesaat, ia lihat, bahwa ketiga orang yang bersenjata pedang memiliki ilmu silat yang
bersamaan dengan ilmu Cenghay Sam kiam yang sudah binasa dalam tangan pendeta Siauw
lim. Ia lantas saja menarik kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tetua dari Ceng hay pay.
Mereka bertiga mengepung Touw ok. Tiga orang lain mengerubuti Touw ciat. Sisanya, dua
orang, menyerang Touw lan. Meskipun hanya dikerubuti dua orang, sesudah bertempur
kurang lebih dua puluh jurus, Touw lan mulai jatuh dibawah angin sebab dua orang itu
berkepandaian tinggi dari lain-lain kawannya. Dalam tiga rombongan, pendeta yang berada di
atas angin adalah Touw ok.
Sesudah bertempur belasan jurus lagi, Touw ok mendapat kenyataan, bahwa Touw-lan
terdesak. Ia mengedut tambangnya yang lantas saja menyambar lawannya Touw lan. Mereka
bertubuh jangkung, berjenggot hitam dan meskipun sudah berusia lanjut, gerakannya masih
sangat gesit. Yang satu bersenjata poan-koan pit (senjata yang berbentuk pena Tiong-hoa),
yang lain memegang pah hiat-koat ("pacul" untuk menotok jalan darah). Kedua senjata itu
untuk menotok "hiat". Touw ok dan Touw lan tahu, bahwa mereka bukan lawan enteng.
Ketika itu, mereka masih berada dalam jarak beberapa tombak, tapi sambaran angin senjata
mereka sudah dapat dirasakan. Kalau mereka bisa merangsek lebih dekat, serangan kedua
senjata pendek itu akan lebih berbahaya.
Sementara itu, ketiga jago Ceng hay pay mulai menyerang lagi dengan hebatnya, sekarang
Touw ciat melawan tiga orang, sedang Touw ok dan Touw lan melayani lima lawan. Untuk
sementara waktu, keadaan berimbang dan kedua belah pihak dapat mempertahankan diri.
Boe Kie heran. "Ilmu silat kedelapan orang itu rata-rata bisa melayani Ceng ok Hok-ong,”
pikirnya. "Mereka kelihatannya lebih unggul daripada Ho Thay Ciong dan hanya setingkat
lebih rendah dari Biat coat Soethay. Tapi kecuali tiga anggauta Ceng hay pay, yang lain aku
tak kenal. Dari sini bisa dilihat, bahwa dalam dunia yang lebar ini, bagaikan harimau yang
mendekam di rumput-rumput tinggi, bersembunyi banyak orang gagah yang namanya tidak
dikenal.”
Sesudah bertanding kira-kira seratus jurus, tambang ketiga pendeta itu menjadi lebih pendek.
Dengan lebih pendeknya tambang itu, mereka bisa menghemat tenaga. Tapi dilain pihak
kelincahan tambang dalam serangan juga agak berkurang. Sesudah lewat beberapa puluh
jurus lagi, tambang-tambang itu jadi makin pendek.
Kedua kakek jenggot hitam menyerang sehehat-hebatnya dalam usaha untuk mendekati ketiga
pendeta itu. Tapi sesudah menjadi pendek, garis pembelaan tambang lebih rapat dan padat.
Ketiga tambang itu membuat sebuah lingkaran yang terisi dengan tenaga memukul yang
sangat dahsyat. Kedua kakek berjenggot berulang-ulang menerjang, tapi mereka selalu
terpukul mundur.
Sambil bertempur, ketiga pendeta itu mengeluh di dalam hati. Mereka bukan takut kena
dikalahkan. Asal mereka menarik tambang-tambang itu sampai panjangnya delapan kaki,
maka akan bisa membuat garis Kim kong Hok mo co an.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1307
Dengan garis pembelaan itu, jangankan delapan orang sekalipun, enam belas atau tiga puluh
orang, mereka masih sanggup menahan. Apa yang mereka takuti ialah dalam lingkaran
mereka bersembunyi seorang lawan yang hebat. Lawan itu adalah Boe Kie. Jika pemuda itu
turun tangan menggencet dari dalam, habislah jiwa mereka. Mereka lihat Boe Kie bersila.
Mereka itu menduga pemuda itu sedang menunggu waktu yang baik untuk menyerang.
Mungkin sekali Boe Kie mau menunggu, sampai kedua belah pihak payah dan kemudian,
dengan sekali pukul ia bisa merobohkan semua orang.
Waktu itu ketiga pendeta tersebut sedang menggunakan seantero tenaga dalamnya. Mereka
mau berteriak meminta bantuan, tapi mereka tidak bisa berbuat begitu. Kalau mereka
membuka suara, andaikata tidak mati, mereka pasti terluka berat dan akan menjadi manusia
bercacad. Sekarang mereka menyesal, bahwa mereka terlalu mengandalkan kepandaian
sendiri. Kalau tadi mereka meminta pertolongan, semua musuh tentu sudah dapat dikalahkan.
Kenyataan ini juga sudah dilihat Boe Kie, kalau ia mau mengambil jiwa ketiga pendeta itu ia
dapat berbuat begitu dengan mudah sekali. Tapi ia merasa bahwa seorang laki-laki sejati tidak
boleh menarik keuntungan pada waktu pihak lawan berada dalam bahaya. Apapula mereka
hanya menjadi korban dari tipu busuknya Goan tin dan mereka tidak pantas menemui
kebinasaan. Disamping itu andaikata ia membunuh ketiga pendeta itu ia masih harus
menghadapi delapan lawan yang berat, yang belum tentu dapat dikalahkan olehnya. Ia tahu,
bahwa kekuatan kedua belah pihak kira-kira berimbang dan bagaimana kesudahannya masih
meminta waktu.
Sekarang ia lihat bahwa sebuah batu menutup pintu penjara dibawah tanah dan di pinggir batu
hanya terbuka sebuah lubang kecil untuk bernapas dan memasukkas makanan. Batu itu yang
beratnya ribuan kati, tak akan bisa digerakkan oleh seorang dua orang. Tapi sebagaimana
diketahui, waktn berada dijalanan rahasia di Kong beng teng, sesudah mempelajari Kian koen
Tay lo ie Sin kang, Boe Kie pernah membuka pintu batu yang tebalnya setombak lebih. Kalau
dibandingkan dengan pintu itu, batu tersebut agaknya tak terlalu berat. Tapi batu itu terletak
diatas tanah gundul sehingga didorongnya banyak lebih sukar dari pada mendorong pintu.
Tapi biar bagaimanapun juga, ia harus berdaya. Ia yakin, bahwa kalau salah satu pihak sudah
memperoleh kemenangan atau dari kuil Siauw lim sie sudah datang bala bantuan ia takkan
bisa menolong lagi ayah angkatnya.
Maka itu ia segera berlutut disamping batu dan mendorongnya dengan mempergunakan Kian
koen Tay lo ie Sinkang. Begitu tenaganya dikerahkan dan dikirim, batu tersebut lantas
bergerak dengan perlahan.
Tapi baru saja batu itu terdorong satu kaki, punggungnya sudah disambar dengan pukulan
Touw lan. Bagaikan kilat ia menggunakan ilmu "memindahkan tenaga, meminjam tenaga."
"Buk” punggungnya terpukul, bajunya hancur dan keping-keping kain berterbangan diantara
hujan dan angin. Tapi tenaga pukulan itu sudah dialihkan ke batu raksasa yang lantas saja
terdorong kira-kira satu kaki. Walaupun tak mendapat luka didalam, pukulan tersebut
mengakibatkan rasa sakit yang hebat. Sebab waktu terpukul, Boe Kie adalah menggunakan
seantero tenaga dalamnya untuk mendorong batu.
Karena Touw lan memukul Boe Kie, pada garis pembelaan tambang terbuka sebuah
lowongan. Pihak lawan sungkan menyia-nyiakan kesempatan itu dan seorang kakek jenggot
hitam lantas saja menerjang kedalam garisan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1308
Senjata tambang dari ketiga pendeta itu sangat lihay jika digunakan pada jarak jauh dan
kurang kelihayannya pada jarak yang dekat. Begitu menerobos ke dalam garis pembelaan si
jenggot hitam menotok bawah tetek Touw lan dengan pah hiat koat. Touw lan menangkis
dengan tangan kirinya. Selagi senjata ditangkis, seperti kilat jari tangan kiri si jenggot
menotok Tao-tiong hiat. "Celaka!” seru Touw lan. Ia tak duga, totokan It cie sian si jenggot
lebih lihay daripada pah-hiat-koatnya. Dalam keadaan berbahaya, mau tak mau ia melepaskan
tambangnya dan balas menyerang dengan jari-jari kedua tangannya. Walaupun si jenggot
kena ditahan namun seutas tambang sudah jatuh di tanah, kakek yang bersenjata poan koan pit
lantas saja menerjang masuk. Ketiga pendeta Siauw lim sie sekarang menghadapi bencana.
Antara tiga tambang, satu sudah jatuh dan Kim kong Hok mo coan sudah jadi pecah!
Mendadak bagaikan seekor ular yang mau hidup kembali, tambang hitam yang menggeletak
di tanah itu mendongak ke atas dan menyambar muka si kakek yang bersenjata poan koan-pit.
Tambangnya belum sampai anginnya sudah berkesiur seperti pisau. Si-kakek buru-buru
menangkis dan begitu lekas tambang kebentrok dengan poan koan pit, kedua lengannya
kesemutan.sehingga poan kit yang dipegang dengan tangan kirinya hampir-hampir terpental,
sedang poan koan pit yang dicekal dengan tangan kanan terlepas dan jatuh di batu gunung.
Tambang itu kemudian menyambar ketiga jago Ceng hay pay yang lantas saja terdesak
mundur setombak lebih. Demikianlah Kim-kong Hok mo coan pulih kembali--bukan saja
pulih kembali, bahkan sekarang lebih kuat dari pada semula.
Ketiga pendeta Siauw lim sie kaget tercampur girang. Mereka mendapat kenyataan, bahwa
lain ujung tali tambang itu dipegang oleh Thio Boe Kie. Pemuda itu belum pernah berlatih
dalam ilmu Kim kong Hok mo coan. Dalam kerja sama, ia tentu tidak bisa menyamai Touwlan.
Akan tetapi dalam Lweekang, ia tak kalah. Tenaga dalam yang keluar dari tambang yang
dicekalnya seolah-olah tenaga robohnya gunung atau terbaliknya lautan yang menyambarnyambar
ke delapan penjuru. Dengan bantuan tambang Touw ok dan Touw ciat, tujuh lawan
yang berada diluar garis pembelaan terpaksa mundur jauh-jauh.
Sekarang, dengan hati mantep Touw lan melayani si jenggot hitam itu yang berada di dalam
garis pertahanan. Baik dalam ilmu silat, maupun dalam Lweekang, ia lebih unggul setingkat.
Dengan tetap berduduk didalam lubang pohon sepuluh jari tangannya menyerang dengan
rupa-rupa pukulan yang dahsyat, sehingga dalam sekejap si jenggot sudah keteter. Melihat
tujuh kawannya terpukul mundur, sambil membentak keras dia melompat keluar dari garis
pembelaan tambang.
Sesudah si jenggot terpukul mundur, Boe-Kie segera mengembalikan tambang yang
dipegangnya kepada Touw lan dan kemudian mendorong lagi batu raksasa penutup lubang.
Sekarang lubang itu sudah cukup besar untuk tubuh manusia. "Gie hoe!" teriak Boe Kie.
"Anak terlambat dalam memberi pertolongan. Apa Gie-hoe bisa keluar sendiri?"
“Aku tak mau keluar," jawab Cia Soen. "Anak baik, kau pergilah!"
Boe Kie heran dan kaget. "Giehoe apa kau ditotok orang?" tanyanya. "Atau dirantai?"
Tanpa menunggu jawaban, ia melompat ke lubang "Pruk," kakinya menginjak air. Ternyata
lubang itu terisi air sampai sebatas pinggang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1309
Dengan hati tersayat pisau, pemuda itu merangkul ayah angkatnya. Ia meraba-raba tangan
kaki orang itu tapi tidak dapatkan rantai atau lain alat pengikat. Kemudian ia meraba-raba
beberapa"hiat," tapi jalan-jalan darah itupun tak ada yang tertotok. Tanpa menanya lagi ia
memeluk sang ayah erat-erat dan melompat ke atas. Cia Soen tidak mengucapkan sepatah
kata. Sesudah berada diatas, mereka berduduk di atas sebuah batu besar.
"Sekarang mereka baru bertempur dan kesempatan iai, tidak boleh disia-siakan," kata Boe
Kie. "Giehoe, mari kita berangkatl" Seraya berkata begitu, ia menuntun tangan ayah
angkatnya.
Tapi Cie Soen tidak bergerak. Sambil menepuk lutut ia berkata. "Nak, kedosaanku yang
paling besar ialah membunuh Kong Kian Taysoe. Apabila Giehoemu jatuh ditangan orang
lain, dia tentu akan melawan mati-matian. Tapi di Siauw lim sie, aku rela binasa untuk
membayar hutang kepada Kong kiansoe."
"Karena kesalahan tangan Giehoe telah mencelakai Kong kian Tay soe," kata Boe Kie dengan
suara bingung. "Tapi itu semua adalah akibat dari tipunya Seng Koen. Sedang ini sakit hati
Giehoe belum terbalas, mana bisa Giehoe mati dalam tangan Seng Koen?"
Cia Soen menghela napas. "Selama sebulan setiap hari kudengar Sam wie Koceng menghafal
kitab suci," katanya, “Saban pagi kudengar suara lonceng dan saban sore suara tambur dari
kuil Siauw lim sie. Mengingat kejadian-kejadian dahulu, aku harus mengakui bahwa kedua
tanganku berlepotan terlalu banyak darah dan sebenar-benarnya, biarpun mati seratus kali,
aku masih belum bisa membayar hutang. Dalam dunia ini, siapa yang berdosa harus
bertanggung jawab akan segala akibatnya. Kedosaanku banyak lebih berat daripada Seng
koen. Anakku, jangan kau perdulikan aku lagi. Pergilah!"
Boe Kie jadi makin bingung. "Giehoe!" teriaknya dengan suara duka. "Jika kau tidak mau
berangkat juga anak akan menggunakan kekerasan." Sesudah berkata begitu, ia mencekal
kedua tangan Cia Soen dan coba menggendongnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara ribut-ribut dan beberapa orang berteriak-teriak: "Siapa
berani jual lagak di Siauw lim sie?" Dilain saat belasan orang mendatangi dengan
menggunakan ilmu ringan badan.
Boe Kie memegang kedua paha Cia Soen erat-erat, tapi baru saja ia bertindak, mendadak Tio
hiatnya tertotok dan kedua tangannya lemas sehingga mau tak mau ia melepaskan orang tua
itu. Tak kepalang dukanya Boe Kie hampir-hampir ia menangis, "Gieboe! ... Mengapa...
mengapa... kau begitu?" teriaknya dengan suara parau.
"Nak, hal ihwal sakit hatiku, kau sudah beritahukan kepada ketiga pendeta suci itu,”
jawabnya. "Untuk segala kedosaanku, akulah yang harus menerima segala hukumannya.
Kalau sekarang kau tidak berlalu, siapakah yang akan balas sakit hatiku?” Kata-kata yang
terakhir diucapkan dengan suara keras, sehingga Boe Kie jadi kaget.
Sementara itu, belasan pendeta yang membekal rupa-rupa senjata sudah menerjang delapan
orang yang sedang mengerubuti tiga tetua Siauw lim sie. Si jenggot yang bersenjata Poan
koan pit tahu bahwa jika pertempuran dilangsungkan, pihaknya bakal celaka. Ia merasa sangat
penasaran bahwa kemenangannya yang sudah berada di depan mata dirusak oleh seorang
pemuda yang macamnya sepertinya orang kampung. Maka itu ia lantas saja berteriak,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1310
"Bolehkah kami mendapat tahu she dan nama besar dari pemuda yang berada di pohon siong?
Homi dan Kathay dari Hokian ingin mengenal orang yang sudah campur urusan kami."
Sebelum Bae Kie menjawab, Touw lan mengedut tambangnya dan berkata dengan suara
nyaring. "Apakah Ho kian Siang sat-sin tak pernah mengenal Beng kauw Thio Kauwcu, ahli
silat nomor satu dikolong langit?"
Homi mengeluarkan seruan kaget. Sambil mengibaskan kedua pitnya, ia melompat keluar dari
gelanggang. diluar oleh tujuh kawannya. Belasan pendeta itu sebenarnya mau coba
menghalangi, tapi kepandaian mereka kalah setingkat, sehingga dengan demikian kedelapan
orang itu segera turun gunung tanpa rintangan.
Selain bertempur, Touw ok bertiga sudah dengar pembicaraan antara Cia Soen dan Boe Kie.
Disamping itu, Boe Kie bukan saja tidak menyerang waktu mereka menghadapi bencana, tapi
juga sudah dianya itu, memberi pertolongan. Andaikata pemuda itu berpeluk tangan, mereka
tentu sudah binasa didalam tangannya Ho kian Siang-sat.
Sekarang sesudah musuh kabur, semua ketiga pendeta itu melepaskan tambang mereka,
bangun berdiri dan memberi hormat dengan merangkap tangan. "Terima kasih banyak atas
pertolongan Thio Kauwcoe ini," kata mereka.
Boe Kie buru-buru memberi hormat.
“Itulah hanya kewajiban sebagai sesama manusia dan tiada harganya untuk disebut-sebut,”
jawabnya.
"Hari ini sebenarnya loolap harus membiarkan Cia Soen berlalu bersama-sama Thio Kauw
coe," kata Touw ok. “Kalau tadi Thio Kauw-coe menolong dia, kami tak akan bisa mencegah.
Tapi pada waktu menerima perintah Hong-thio untuk menjaga Cia Soen. Di hadapan tangan
Buddha, loolap bertiga telah bersumpah bahwa sebegitu kami masih bernyawa, kami tak akan
membiarkan larinya Cia Soen. Hal ini, mengenai nama baik partai kami, dan kami memohon
Thio Kauwcoe suka memaafkan."
Boe Kie tidak menyahut, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.
Sesudah berdiam sejenak, Touw-ok berkata pula. "Sekarang loolap sudah tahu, siapa garagara
rusaknya sebelah mata loolap. Mana kala Thio Kauwcoe main menolong Cia Soen, Thio
Kauwcoe pula datang di lain waktu asalkan bisa mengalahkan kami, Thio Kauwcoe dapat
membawa Say ong pergi. Thio Kauwcoe dapat membawa banyak kawan, boleh menyerang
kami dengan berganti atau mengerubuti kami. Yang akan melawan hanya kami bertiga. Kami
takkan minta bala bantuan. Pada sebelum Thio Kauwcoe tiba, kami akan berjanji untuk
melindungi Cia Soen. Kami tak akan membiarkan dia dihina atau digangggu selembar
rambutnya oleh Goan tin."
Boe Kie milirik ayah angkatnya. Diantara gelapnya sang malam, Kim mo Say ong yang
bertubuh tinggi besar dan rambut terurai, berdiri sambil menundukan kepala. Dihadapan
ketiga pendeta suci itu, dia bersikap sebagai seorang yang berdosa yang rela menerima
hukuman.
Boe Kie mengawasi ayah angkatnya dengan air mata berlinang linang. Ia insyaf, bahwa
sekarang ia tidak bisa berbuat banyak. Bukan saja dengan seorang diri dia tidak dapat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1311
mengalahkan ketiga pendeta itu, tapi ayah angkatnya sendiri juga menolak untuk diajak lari.
"Jalan satu-satunya ialah mengajak Gwa kong, Yo Cosoe, HoanYo soe dan yang lain lainnya
datang kemari,” pikirnya. Tapi garis pembelaan itu teguh bagaikan tembok tembaga. Kalau
tadi Touw lan tidak memukul punggungku dan aku memindahkan tenaganya ke batu raksasa,
Kathay pasti tak akan bisa merangsek. Masih merupakan sebuah pertanyaan, apakah kau dan
kawan-kawan akan bisa memecahkan garis pertahanan mereka.
“Hai... Tapi jalan lain tidak ada lagi,” memikir begitu ia lantas saja berkata: "Baiklah,
beberapa hari lagi aku akan datang berkunjung pula untuk meminta pelajaran."
Sesudah itu, dengan berduka, ia memeluk Cia Soen. "Giehoe, anak mau pergi ..." bisik dengan
suara parau.
Cia Soen manggut-manggutkan kepalanya. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap
kepala Boe Kie. "Kau tak usah datang lagi, aku sudah mengambil keputusan untuk tidak
berlalu dari tempat ini,” katanya, "Nak, aku berdoa supaya kau selalu berada dalam
keselamatan, supaya kau tidak menyia-nyiakan harapan ayah dan ibumu dan harapanku
sendiri. Kau harus menelad ayahandamu. Janganlah turut ayah angkat mu.”
“Thia-thia dan Giehoe sama-sama eng hiong,” kata Boe Kie. "Hanyalah nasib ayah lebih
bagus dari Giehoe."
Di lain detik ia melompat keluar dari lingkaran pohon siong dan sesudah menyoja kepada
ketiga pendeta itu, badannya berkelebat dan mendadak hilang dari pemandangan. Orang
hanya mendengar teriakan nyaring ditempat kira-kira satu li jauhnya. Semua pendeta kaget
tercampur kagum. Sudah lama mereka dengar kepandaian Kauwcoe dari Beng kauw tapi
mereka tak pernah menduga bahwa Boe Kie memiliki ilmu ringan badan yang begitu lihai.
Sesudah orang tahu kedatangannya, Boe Kie memang sengaja memperlihatkan
kepandaiannya. Di tengah hujan lebat, teriakannya yang saling susul seperti juga pekik naga
yang terbang di tengah angkasa. Ia lari dengan ilmu ringan badan yang tertinggi makin lama
makin cepat, sedang teriakan kian lama kian nyaring. Di kuil Siauw lim sie, seribu lebih
pendeta tersadar dari tidurnya. Sesudah teriakannya itu tidak terdengar lagi, barulah mereka
saling mengutarakan pendapat mengenai peristiwa itu. Kong boen dan Kong tie segera
mendapat laporan tentang kedatangan Boe Kie dan mereka jadi berkuatir.
Sesudah lari beberapa li, dari belakang sebuah pohon lioe tiba-tiba Boe Kie mendengar
bentakan “hai!" dan satu bayangan manusia melompat keluar. Orang itu bukan lain daripada
Tio Beng. Boe Kie menghentikan tindakannya dan mencekal tangan si nona yang pakaiannya
basah kuyup.
"Kau sudah bertempur dengan pendeta Siauw lim sie?" tanya Tio Beng.
“Benar."
"Bagaimana Cia Tayhiap? Apa kau sudah bertemu dengannya?"
Sambil menuntun tangan si nona, di bawah hujin, Boe Kie segera menceriterakan segala
pengalamannya yang tadi.
"Apa kau tidak tanya cara bagaimana ia tertangkap?" tanya pula Tio Beng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1312
"Aku hanya ingat hal soal menolong Giehoe. Tapi ada waktu untuk menanyakan itu?"
Si nona menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Mengapa kau jengkel?"
"Bagimu soal itu soal remeh, bagiku soal besar. Sudahlah! Nanti saja, sesudah tertolong,
baru kita tanyakan Cia Tayhiap. Hanya... kukuatir ...”
“Kuatir apa? Apa kau kuatir aku tak bisa meenolong Giehoe ?"
"Beng kauw lebih kuat daripada Siauw lim-pay. Kalau mau, kita tentu bisa menolong Cia Tay
hiap. Aku hanya kuatir Cia Tay hiap sudah mengambil keputusan untuk mati guna membayar
hutang kepada Kong kian Taysoe."
Boe Kie pun mempanyai dugaan itu. "Apa kau rasa akan terjadi kejadian itu?" tanyanya.
"Harap saja tidak" jawabnya.
Ketika tiba di depan gubuk suami siteri Touw, Tio Beng tertawa dan berkata, “Rahasiamu
sudah terbuka. Kau tak bisa menjustai mereka lagi." Seraya berkata begitu, ia menolak pintu
bertindak masuk.
Mendadak mereka mengendus bau darah. Boe Kie kaget dan secepat kilat mendorong Tio
beng keluar pintu. Hampir berbareng di tempat yang gelap itu tangan seorang coba
mencengkeram dia. Cengkeraman itu dikirim seperti kilat sama sekali tak mengeluarkan suara
dan tahu-tahu lima jari tangan sudah menyentuh kulit muka. Boe Kie tak keburu berkelit lagi.
Jilid 72_______________________
Ia segera menendang dada si penyerang. Orang itu menyambut dengan menyikut Hoantiauw
hiat dibetis Boe Kie. Ditempat gelap Boe Kie tak bisa lihat gerakan lawan tapi perasaan nya
sangat tajam. Ia merasa bahwa jika menarik pulang tendangannya orang itu akan merengsek
dan akan coba mengorek biji matanya dengan tangan kiri. Maka itu, dia meneruskan
tendangannya dan tangan nya menyambut gerakan mencengkram. Dugaannya sangat jitu.
Tangannya menangkap tangan lawan. Tapi pada detik itu, Hoan Tiauw hiatnya tersikut kaki
kanannya lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.
Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi
sebab tangan itu kecil lemas dan ia berlutut dengan sebuah kaki.
Sebenarnya, ia sudah mengerahkan tenaga untuk mematahkan tangan yg dicekalnya. Tapi
sebab tangan itu kecil lemas dan tak salah lagi tangan seorang wanita, ia tak tega. Ia hanya
mengangkat dan melontarkan tubuh orang itu. Tiba2 ia merasa pundak kanannya merasa sakit
tertusuk senjata tajam.
Sementara itu sudah dilontarkan Boe Kie penyerang tersebut kabur, tapi selagi ia melompat
keluar dari gubuk itu, tangannya menghantam muka Tio Beng yg berdiri diluar pintu. Boe Kie
tahu, si nona takkan kuat menangkis pukulan itu. Dengan menahan sakit, ia turut melompat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1313
dan mengayun tangannya. Kedua tangan kebentrok tanpa mengeluarkan suara. Tenaga Yang
Kong (tenaga keras) dari Boe Kie telah dipunahkan seluruhnya oelh Im jioe (tenaga lembek)
dari orang itu. Dia tidak berani menyerang lagi. Dengan meminjam tenaga pukulan Boe Kie,
tubuhnya melesat beberapa tombak dan kemudian menghilang ditempat gelap.
“Siapa dia?” tanya Tio Beng dengan suara kaget.
Boe Kie tidak menjawab. Ia merogoh saku dan mengeluarkan bibit api, tapi tidak bisa
menyalakannya karena basah. Ia tahu bahwa pundaknya tertancap pisau dan sebab kuatir
pisau itu beracun, ia tidak berani lantas mencabutnya. “Lekas nyalakan lampu,” katanya
kepada Tio Beng.
Si nona pergi ke dapur, mengambil bibit api dan menyulut sebuah lampu minyak lalu melihat
pisau yang tertancap di pundak Boe Kie, ia kaget tak kepalang. Boe Kie sendiri merasa lega
sebab mendapat kenyataan, bahwa pisau itu, atau lebih benar golok pendek tidak beracun.
“Tak apa, hanya diluar,” katanya seraya mencabut pisau itu.
Tiba-tiba ia lihat Touw Pek Tong dan Ek Sam Nio duduk bersandar disatu sudut.
Tanpa memperdulikan darah yang mengucur dari lukanya, ia memburu kesitu. Ia terkejut
sebab kakek dan nenek itu sudah jadi mayat.
“Waktu aku keluar, mereka masih segar bugar,” kata Tio Beng.
Boe Kie manggut2kan kepalanya. Sesudah si nona membalut lukanya, ia memeriksa golok itu
ternyata adalah senjatanya suami istri Touw. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa di tiang, di
meja dan di lantai tertancap golol2 semacam itu. Rupanya musuh telah bertempur dengan
suami istri Touw dan kedua suami istri itu menggunakan semua senjatanya, barulah ia turun
tangan.
“Orang itu berkepandaian sangat tinggi!” kata Tio Beng.
Boe Kie mengangguk, mengingat pengalamannya yang tadi ia bergidik. Biarpun ia hanya
bertempur satu dua gebrakan pertempuran itu hebat luar biasa dan dapat dikatakan hanya dari
lubang jarum. Kalau tadai, didalam kegelapan ia tdiak menduga, bahwa musuh bakal coba
mengorek matanya, maka sekarang ia dan Tio Beng tentu sudah menjadi mayat. Ia lalu
memeriksa jenazah Touw Hok Tong Ek Sam Nio. Beberapa puluh tulang dada kakek dan
nenek hancur remuk. Bahkan tulang dibagian punggungnya juga turut patah. Itulah akibat dari
pukulan yang sangat lihai.
Boe Kie sudah sering bertempur melawan musuh2 tangguh dan pernah mengalami macam2
bahaya. Tapi sebuah pengalaman itu belum ada yang menyamai hebatnya bahaya seperti
gebrakan digubuk suami istri Touw itu. Malam itu, dua kali ia bertempur. Yang pertama
pertempuran dahsyat melawan tiga tokoh persilatan kelas utama. Tapi kalau dibandingkan
dengan pertempuran kedua yang memakai waktu yang sangat singkat, pertempuran yang
kedua lah yang lebih berbahaya.
“Siapa dia?” tanya Tio Beng.
Boe Kie tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1314
Tiba-tiba si nona mendusin. Ia menebak orang itu. Mulanya mengeluarkan sinar ketakutan
dan sesudah tertegun sejenak ia menubruk memeluk Boe Kie, akan kemudian mengangis
dengan badan gemetaran. Tanpa bicara kedua2nya mengerti apabila Tio Beng tak dengar
teriakan Boe Kie dan apabila si nano tidak keluar menyambut kekasihnya tanpa
memperdulikan hujan, maka mayat yang akan ditemukan Boe Kie itu akan berjumlah tiga.
Dengan lemah lembut Boe Kie membujuk si nona.
“Tujuannya untuk membunuh aku, tapi yang menjadi korban suami istri Touw,” kata Tio
Beng.
“Ya” kata Boe Kie. “Selama beberapa hari ini tak boleh kau berpisahan dari aku.” Sesudah
berdiam beberapa saat, ia berkata pula. “Belum cukup setahun, cara bagaimana ilmu silatnya
bisa maju begitu pesat? Pada jaman ini, didalam dunia ini, kecuali aku mungkin tidak ada lain
orang yg bisa melindungi jiwamu.”
Pada keesokan paginya, Boe Kie menggali lubang dan mengubur jenazah suami istri Touw.
Bersama Tio Beng, ia mengunjuk hormat yang penghabisan kepada kakek dan nenek itu.
Baru saja mereka bertindak untuk meninggalkan tempat itu, di kuil Siauw Lim Sie
sekonyong2 terdengar suara lonceng yang gencar bersambung sambung. Beberapa saat
kemudian diudara sebelah timur muncul sinar api yang berasap hijau, disebelah selatan sinar
berasap merah, dibarat putih dan diutara hitam. Beberap li dari empat sinar itu, kelihatan lain
sinar yang berasap kuning sehingga denga demikian kelima sinar api itu mengurung kuil
Siauw Lim Sie.
“Ngo heng kie datang kesini!” seru Boe Kie. “Mereka datang mungkin secara resmi dan
terang2an. Lekas!” Cepat2 ia dan Tio Beng menukar pakaian, mencuci muka dan berlari2
kearah kuil dengan menggunakan ilmu ringan badan. Baru beberapa li mereka sudah bertemu
dengan sepasukan anggota Beng Kauw yang mengenakan baju putih dan membawa bendera2
keceil warna kuning.
“Apa Gan Kie cie berada dalam pasukanku?” tanya Boe Kie dengan suara nyaring. (Kie cie =
pemimpin bendera)
Mendengar teriakan itu, Gia Hoan Ciang Kie Soe Hauw Touw Kie menengok dan begitu lihat
Boe Kie, ia bersorak kegirangan. Buru2 ia menghampiri dan berlulut sambil berkata “Houw
Touw Kie Gan Hoan menghadap kepada Kauw coe!” Semua anggota pasukan turut berturut
dan kemudian bersorak2.
Ternyata di bawah pimpinan Kong beng Cosoe Yo Siauw dan Kong beng Yo Soe Hoan
Yauw, tokoh2 Beng Kauw dan lima pasukan Ngo Heng Kie menyateroni Siauw Lim Sie
untuk menuntut dimerdekakannya Cia Soen.
Para pemimpin Beng Kauw mengerti, bahwa kedatangan mereka di Siauw Lim Sie dapat
mengakibatkan pertempuran besar2an. Menurut pantas, tindakan yang penting itu harus
diputuskan dan dipimpin oleh kauwcoe sendiri. Tapi karena waktu sudah mendesak, mereka
tidak bisa menunggu Boe Kie lagi. Apabila mereka datang pada harian Toan Ngo, usaha
menolong Cia Soen akan terlebih sukar karena pada waktu itu orang2 gagah dari berbagai
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1315
golongan sudah berkumpul dikuil Siauw Lim Sie. Maka itulah sesudah berdamai masak2,
mereka mengambil keputusan untuk menyateroni Siauw Lim Sie sepuluh hari sebelum Toan
Ngo.
Pertemuan itu tentu saja sangat menggirangkan Boe Kie.
Sementar itu, beberapa anggota pasukan sudah meniup terompet pertanda tentang kedatangan
Kauwcoe tak lama kemudian, Yo Siauw, Hoan Yauw, In Thian Ceng wie It Siauw, In Ya
Ong, Cioe Tian, Pheng Eng Giok, Swee Poet Tek, Tiat Koan Toojien dan yang lain2 datang
dengan beruntun. Mereka memberitahukan, bahwa oleh karena harus berada pada tempatnya
masing2 disekitar kuil, maka empat bendera, yaitu Swie kim, Kie bok, Ang Soei dan Tat
hwee, tidak bisa menghadap kepada kauwcoe. Melihat tokoh2 Beng Kauw kumpul semua tak
kepalang girangnya Boe Kie.
Sesudah saling memberi hormat, Yo Siauw dan Hoa Yaow secara resmi memohon maaf
untuk kelancangan mereka yang sudah bertindak tanpa persetujuan atau perintah Kauwcoe.
“Kalian jangan terlalu sungkan,” kata Boe Kie. “Kita semua bersatu padu dan bertekad untuk
menolong Ciat Hoat Ong. Hal ini membuktikan gie khie, rasa setia kawan yang sangat kuat
didalam agama kita, untuk itu aku merasa sangat berterima kasih, mana bisa jadi aku
mempersalahkan kalian?” Sesudah berkata begitu, ia segera menceritakan segala
pengalamannya, hasil penyelidikannya Siauw Lim Sie dan pertempuran melawan tiga tetua
Siauw Lim, mendengar bahwa semua kejadian itu merupakan akibat dari tipu busuk nya Seng
Koan, semua orang jadi gusar sekali dan Cioe Tian serta Tiat koan too jin yang berangasan
lantas saja mencaci.
Sesudah menuturkan pengalamannya, Boe Kie berkata pula, “Hari ini dengan pasukan besar
kita datang di Siauw Lim Sie, sedapat mungkin kita harus coba mempertahankan keakuran.
Apabila kita terpaksa turun tangan, maka tujuan kita yang pertama ialah menolong Cia Hoat
Ong dan tujuan kedua membekuk Seng Koen. Seboleh2 jangan sampai jatuh terlalu banyak
korban!” Semua orang berjanji untuk memperlihatkan pesan pemimpin mereka.
Sambil berpaling kepada Tio Beng, Boe Kie berkata lagi, “Beng-moay, sebaiknya kau
menyamar supaya tak usah menimbulkan lain urusan.”
Si nona tersenyum, “Gan Taoko,” katanya, “Biarlah aku menyamar sebagai anggota
pasukanmu.”
Biarpun belum tahu hubungan antara Kauw coe dan nona itu, tapi mendengar istilah “Beng
moay”, Gan Hoan mengerti, bahwa antara sang pemimpin dan si nona mempunyai hubungan
yang sangat erat. Ia lantas saja mengingatkan dan memerintahkan salah seorang anggota
pasukannya membuka jubah luarnya dan menyerahkannya kepada Tio Beng.
Dengan membawa jubah itu, si nona berlari2 kehutan untuk menukan pakaian dan memoles
mukanya dengan tanah. Tak lama kemudia dia kembali sebagai seorang anggota Houw Touw
kie yang kurus dan bermuka kehitam2an.
Dengan diiringi suara terompet para pemimpin Beng Kauw segera mendaki gunung kearah
kuit.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1316
Pemimpin Siauw Lim Sie sudah menerima surat resmi dari Beng Kauw dan dengan membawa
sejumlah pendeta, Kong tie Siansoe menyambut dipendopo diluar kuil.
Sesudah bilagui Seng Koen, bahwa Beng kauw bersekutu dengan Jie Lam Ong, Kong Tie
menyambut dengan penuh kegusaran. Ia hanya merangkap kedua tangannya tanpa
mengeluarkan sepatah kata, sedang paras mukanya kelihatan menyeramkan.
“Untuk satu urusan penting, kami ingin bertemu dengan Hong thio Sengceng,” kata Boe Kie
sambil menyoja.
“Persilahkan!” kata Kong tie yang lalu mengantar rombongan itu. Diluar pintu kuil,
rombongan Boe Kie disambut oleh Kong Boen Sian Soe. Mendengar kedatangan Boe Kie
sebagai Kauwcoe dari Beng Kauw, Kong Boen tak mau melanggar adat istiadat Rimba
Persilatan. Ia keluar menyambut dengan mengajak Sioe coe (pemimpin) Tat mo tong To kan
tong dan Cong keng kok. Sesudah saling memberi hormat, ia mengajak para tamu masuk di
Thay Hiong. Po thian dan beberapa pendeta kecil lantas saja menyuguhkan teh.
“Hong thio Sing Ceng,” kata Boe Kie, “Tanpa urusan penting, kami tentu tidak berani datang
disini. Maksud kunjungan kami ialah untuk memohon dimerdekakannya Hoe Kauw Hoat Ong
cia hoat Ong kami. Untuk budi yang sangat besar itu, kami pasti tak akan melupakan dan akan
berusaha untuk membalasnya.”
O mie to hoed!” kata Kong boen. “Pada hakekatnya tentang beribadat harus berpokok belas
kasihan dan tidak boleh membunuh. Menurut kebiasaan, kami memang tidak boleh
menyukarkan Cia Soen. Tapi sebagaimana diketahui, suhenku Kong kian telah binasa didalam
tangan Cia Siesoe. Sebagaimana pemimpin dalam satu agama, Thio Kauwcoe tentu pahan
akan peraturan didalam rimba persilatan.
“Didalam peristiwa yang menyedihkan itu, terselip latar belakang yang berbelit2 dan sesudah
mengetahui latar belakang itu kita sebenarnya tidak dapat mempersalahkan Cia Hoat Ong,”
kata Boe Kie yang lalu menjelaskan jalannya peristiwa, cara bagaimana untuk menghilangkan
satu permusuhan besar. Kong kian rela menerima pukulan Cia Soen.
Baru Boe Kie memutar separuh, Kong Boen sudah berbangkit dan berdiri sambil
membungkuk. Dengan sinar mata berlinang2, ia berkata: “Siancay! Siancay! Untuk menolong
sesama manusia, Kongkian suhen rela membuat pengorbanan yg besar itu. Jasanya sungguh
tak kecil.”
Berapa pendeta lantas saja membaca doa. Para pemimpin Beng Kauw pun segera bangun
berdiri sebagai tanda menghormat kepada pendeta suci itu.
“Sesudah mencelakai Kongkian seng ceng sebab kesalahan tangan, Cia Hoat ong berduka dan
menyesal,” kata pula Boe Kie. “Tapi seumpamanya urusan ini lalu diusut lebih jauh orang yg
berdosa adalah Goan tin Taysoe dari Siauw Lim sie.” Melihat Seng Koen tidak berada disitu,
ia berkata, “Aku memohon supaya Goan tin Taysoe disuruh keluar guna dipadu di hadapan
orang banyak, supaya Hong thio Seng ceng bisa membuktikan, apa aku berdusta atau tidak.”
“Benar,” sela Cioe Tian. “Di Kong beng teng keledai gundul itu berlagak mampus, lekas
panggil dia keluar!” Si sembrono rupa2nya masih sakit hati terhadap Seng Koen yg telak
mempersakitinya dalam pertempuran di Kong beng teng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1317
Boe Kie melirik dan menegur, “Cioe Sianseng, kau tak boleh berlaku kurang ajat dihadapan
Hong thio Taysoe.”
“Aku bukan maki dia, aku maki penjahat Seng Koen,” jawabnya, tapi ia tidak berani bicara
apa2 lagi.
Mendengar perkataan Cioe Tian, Kong tie yang sudah bergusar tidak bisa menahan sabar lagi,
“Tapi bagaimana dengan kebinasaan Kong seng sute?” tanyanya.
“Kong seng ceng berdarah panas, beradat polos dan memiliki sifat ksatria sejati,” jawab Boe
Kie. “Di Kong beng teng aku pernah menerima pelajarannya dan aku merasa sangat kagum
akan kepandaiannya. Aku turut berdukacita untuk kemalangannya. Ia mati karena diserang
oleh manusia jahat dan hal itu tiada sangkut pautnya dengan agama kami.”
Kongtie tertawa dingin, “Thio kouwcoe mencuci tangan bersih2,” ejeknya.
“Apakah persekutuan antara Koencoe dari Jie lamong dan Beng Kauw bukan sebuah
kenyataan?”
Muka Boe Kie berubah merah. “Memang benar, sesudah kebentrok dengan ayah dan
kakaknya, Koencoe telah masuk kedalam agama kami,” sahutnya. “Perbuatannya terhadap
Siauw Lim Sie memang satu kesalahan. Aku berjanji akan selalu bersedia mengajak dia
datang kemari guna mengakui kedosaannya dan memohon maaf.”
“Thio Kauwcoe, pandai sunggu kau menggoyang lidah!” bentak Kong tie. “Apa dengan
berkata begitu kau tidak akan ditertawai oleh para orang gagak dikolong langit?”
Boe Kie jadi serba salah. Sebagai seorang jujur, didalam hati ia mengaku, bahwa perbuatan
Tio Beng dalam menyerang dan menangkap pendeta2 Siauw Lim Sie memang suatu kedosaan
terhadap Siauw Lim Sie. Biarpun urusan itu bukan urusan Beng Kauw, tapi setelah si nona
masuk ke dalam agamanya, ia tidak bisa mencuci tangan begitu saja.
Selagi ia bersangsi, Tiat Koan Toojin yang meluap darahnya sudah mulai membentak:
“Kong tie taysoe! Dengan memandang sebagai pendeta suci yang tertua, kauwcoe kami sudah
berlaku sangat sungguh terhadapmu. Sebaiknya kau tahu diri sebagai pemimpin Beng kauw
dan sebagai seorang ksatria, mana bisa jadi kauwcoe kami bicara sembarangan? Kau
menghina kauwcoe kami dan itu berarti kau menghina Beng Kauw yang mempunyai anggota
ratusan laksa. Meskipun kauwcoe sangat baik hati dan tidak mempunyai rasa gusar, hinaan itu
tidak ditelan begitu saja oleh kami semua,” pada waktu itu Beng Kauw sudah menguasai
banyak daerah dengan tentara rakyat berjumlah besar dan istilah “ratusan laksa” tidaklah
terlalu berlebih2an.
Kong tie tertawa tawar, “Ratusan laksa?” ia mengulang. “Apa kalian mau menginjak Siauw
Lim Sie sampai jadi bumi rata? Bukan baru sekarang. Mo Kauw menghina Siauw Lim.
Bahkan kami sampai kena ditawan dan dikurung di Ban hoat si, kami tidak mempersalahkan
siapapun juga. Kami hanya boleh merasa menyesal karena ceteknya kepandaian kami. Huh
huh! … Lebih dahulu membasmi Siauw Lim, kemudian menumpas Boetong, yang merajai
Rimba Persilatan, hanyalah Beng Kauw. Sungguh gagah! Sungguh angker!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1318
Boe Kie lantas saja ingat. Bahwa kata2 itu, “Lebih dahulu membasmi Siauw Lim dan
sebagainya yang di “ukir” dengan coretan tangan dalam ilmu Kim Kong Tay lek cie, terdapat
pada patung Tat me Couw soe. Huruf2 dituli oleh salah seorang jagoan Tio Beng, sesudah
para pendeta Siauw Lim Sie tertawan dan dibawa pergi. Waktu itu, Kouw Touw too Hoao
Yauw masih menghamba dibawah perintah Tio Beng, tapi didalam hati ia lelah, untuk
menyingkirkan bencana yang diatur oleh Tio Beng, sesudah semua orang pergi, buru2 ia
kembali ke Tat Mo tong dan memutar patung tersebut, sehingga pulih ketempat asalnya, yaitu
menghadapi tembk, belakangan waktu rombongan Boe Kie dalam kuil Siauw Lim sie dengan
bantuan In Ya Ong, Yo Siauw memutar patung itu dan membaca huruf2 tersebut. Sesudah
membaca, mereka memulangkan kedudukan patung itu seperti tadinya, yaitu menghadap
tembok, belakangan waktu rombongan Boe Kie dalam kuil Siau Lim sie, dengan bantuan Yo
Siauw emutar patung itu dan membaca huruf2 tersebut. Sesudah membaca, mereka
memulangkan kedudukan patung itu seperti tadinya, yaitu menghadap ketembok, supaya
jangan samapi diketahui oleh orang Siauw Lim Sie. Tapi sekarang ternyata bahwa pihak
Siauw Lim sie toh mengetahui juga.
Boe kie yang jujur tidak pandai bicara. Ia mengakui bahwa penulisan huruf2 itu dimuka
patung yg di papas rata adalah perbuatan Tio Beng yg paling tak pantas. Ia merasa malu dan
tidak bisa menjawab sindiran Kong tie.
Melihat sang Kauwcoe membungkam, Yo Siauw segera maju menolong. “Kami sungguh
tidak mengerti maksud perkataan Kong tie Tay soe,” katanya. “Mendiang ayahanda thio
Kauwcoe adalah seorang murid Boe tong. Hal ini diketahui oleh semua orang. Andaikata
benar2 kami, orang2 Beng Kauw, gila2an, kami pasti masih tidak berani menghina ayahanda
Kauwcoe kami sendiri. Disamping itu, ukiran jari tangan itu dilakukan dengan menggunakan
ilmu Kim kong Tay tek cie, yaitu ilmu rahasia Siauw Lim Sie yang tak sembarangan
diturunkan kepada orang. Diantara orang2 agama kami tidak satupun yang mengenal ilmu
tersebut. Kong ti taysoe adalah seorang ahli yang mengenal ilmu silat dalam rimba persilatan,
sehingga taysoe tentu tahu, apa dengan bicara begini aku berdusta atau tidak,” jawab Yo
Siauw itu membuat Kong tie tidak bisa membuka suara lagi.
“Ketika bertengkar disini tak ada gunanya,” kata Kong boen dengan suara sabar. “Menurut
pendapat looiap, sebaiknya kita sekarang pergi ke Tat mo tong untuk melihat dengan mata
sendiri.” Kong boen seorang yang sabar dan mulia hatinya. Iapun tahu bahwa Beng kauw
bertenaga besara dan kalau sampai terjadi bentrokan besar2an Siauw Lim sie mungkin
menjadi hancur.
“Begitupun baik,” kata Boe Kie sambil menyapi seluruh ruangan dengan menanya. Melihat
Tio Beng tidak turut masuk disitu, hatinya agak lega.
Dengan Tio kek ceng (pendeta menyambut tamu) sebagai pembuka jalan; semua orang lantas
saja menuju ke Tat mo tong. Tat mo tong adalah tempat istirahat dan semedhi dari pendeta2
Siauw Lim sie yang berkedudukan tinggi. Pendeta yang tingkatannya terendah tak akan berani
masuk keruangan itu! Bahkan sioe Co (kepala) Tat mo tong sendiri berlaku semabrangan
terhadap pendeta2 yang berada disitu.
Begitu tiba didepan ruangan yg pintu nya tertutup. Kong tia lantas berkata, “Hong thio
mengajak para sioecoe (tuan) dari Beng Kauw datang di Tat mo tong untuk melihat patung
Cee couw (leluhur yang pertama).”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1319
Sesudah menunggu beberapa saat dan di dalam tidak terdengar suara apa2, sioecoe dari Tat
mo tong lantas saja menolak pintu. Didalam ruangan itu terdapat sembilan pendeta tua yang
bersemedhi diatas tikar sambil memejamkan mata. Cara mereka bersemedhi berbeda-beda,
ada yang berlutut, yang tidur, ada yg mengangkat sebelah kiri dan sebagainya, Boe Kie tahu
bahwa mereka sedang melatih diri dalam lweekang yang tertinggi dan cara bersemedi yang
aneh2 itu dilakukan dengan mencontoh patung2 lima ratus lohan. Kesembilan pendeta itu
tidak menghiraukan kedatangan Hong thio. Dengan mulut membungkam dan badan tidak
bergerak, mereka seolah2 sembilan patung.
“Waktu aku datang di Siauw Lim Sie, dalam ruangan ini hanya terdapat sembilan tikar
rombeng,” kata Boe Kie didalam hati. Diantara pendeta2 yang ditawan Beng Moay juga tidak
terdapat sembilan pendeta tua. Kemana mereka pergi?”
Kong beng, Koen tie dan yang lain2 juga tidak memperdulikan sembilan pendeta itu. Mereka
segera berlulut dihadapan patung tat mo couw soe. “Hari ini tee coe mengganggu Cee couw
dan untu kekurang ajaran ini, teecoe mohon di ampuni,” kata Kong boen yang lalu
memerintahkan enam orang murid untuk memutar patung tersebut. Enam murid itu segera
maju, menangkap kedua tangan mereka dan mulut mereka berkemak kemik membaca doa.
Sesudah itu, dengan sikap hormat barulah mereka mengerahkan lweekang dan memutar
patung tersebut yang beratnya dua ribu kati lebih.
Baru saja patung itu terputar separuh, semua orang mengeluarkan seruan kaget. Mengapa?
Sebab muka patung lengkap, sempurna dengan mulut mata kuping dan hidung yg tak ada
cacatnya!
Itulan kejadian yang sungguh2 mengejutkan. Sebagaimana diketahui, muka patung itu telah
dipapas orang sehingga rata dan menyerupai papan batu dan diatas papan batu itu tertulis
“Lebih dahulu membasmi Siauw Lim kemudia menumpas Boetong, yang merajai Rimba
Persilatan, hanyalah Beng Kauw.” Mengapa sekarang muka itu lengkap sempurna?
Dengan rasa penasaran Kong tie maju memeriksa. Ia mendapat kenyataan, bahwa muka
patung itu dipahat sebuat batu besar. Muka patung bukan ditempelkan pada bagian muka yg
dulu sudah dipapas rata. Tegasnya dari muka sampai ke badan, patung itu terbuat dari
sepotong batu raksasa.
Semua orang saling mengawasi dengan mulut ternganga. Untuk beberapa lama mereka tak
dapat mengeluarkan sepatah kata. Kemungkinan satu2nya ialah lebih dulu orang membuat
sebuah patung baru kemudian mengeluarkan patung lama dati Tat mo tong dan akinya
memasukkan patung baru itu kedalam Tat mo tong. Tapi ini tak mungkin dilakukan tanpa
diketahui orang. Selama beberapa bulan yg belakangan Siauw Lim sie, dijaga keras sehingga
jangankan sebuah patung raksas sedang sebuah mangkok pun takkan bisa keluar masuk di Tat
mo tong tanpa diketahui.
Melihat kekagetan para pendeta Yo Siauw tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu.
“Siauw Lim sie mempunyai rejeki yang besar dan pahal terhadap semsama manusia yang
tiada batasnya” ,katanya dengan suara nyaring. “Tat mo Loocouw telah memperlihatkan
keangkerannya dan memperbaiki sendiri patungnya yang dirusak orang. Kejadian ini benar2
kejadian yg menggirangkan dan patut diberi selamat.” Sehabis berkata begitu, ia menekuk
kedua lututnya dan berlutut di hadapan patung.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1320
Boe kie dan lain2 tokoh Beng Kauw lantas saja mengikuti. Para pendeta Siauw Lim tak bisa
berbuat lain daripada membalas hormat. Kong boen couw telah memperlihatkan keangkeran
dan memperbaiki sendiri kerusakan itu, ia menduga bahwa itu semua kerjaan Beng Kauw.
Tapi biar bagaimanapun juga andaikata benar kerjaan Beng Kauw dapat dikatakan sudah coba
memperbaiki kesalahannya dan sudah menghaturkan maaf dengan demikian, kegusaran para
pendeta lantas saja berkurang.
“Patung sudah baik kembali dan hal ini tak usah disebut2 lagi,” kata Kong boen yang lalu
memerintahkan keenam murid Siauw Lim untuk memutar kembali patung itu. Sesudah itu ia
berkata pula, “Semalam Kauw Tio datang berkunjung dan sudah berkenalan dengan ketiga
susiok loolap, Touw ok susiok dan Thio Kauwcoe telah berjanji, bahwa asl Khioe kauwcoe
dapat memecahkan Kim kong Hok mo coan, maka Thio Kauwcoe lantas boleh membawa
Ciao Siecoe pergi. Apa benar ada perjanjian begitu?”
“Benar,” jawab Boe Kie. “Touw ok Taysoe telah mengatakan begitu. Aku merasa sangat
kagum tehadap ilmu sam wie ko ceng dan kutahu bukan tandingan mereka. Semalam aku
sudah dikalahkan dan sebagai pecundang mana berani aku menjual lagak lagi?”
“Omieko hoad, Thio kauwcoe mengeluarkan kata2 yg terlalu berat,” kata Kong Boen.
“Semalam menang atau kalah belum ada keputusannya dan ketiga soesiok loolap merasa
sangat berterimakasih akan kemuliaan Thio Kauwcoe.”
Mendengar kelihaian ketiga tetua Siauw Lim itu, sebagai biasanya ahli2 silat, tokoh2 Beng
Kauw lantas saja kepingin menyaksikan kepandaian mereka. “Kauwcoe,” kata In Thian Ceng,
“Karena pihak Siauw lim sendiri yang ingin menjajal kepandaian, maka kita terpaksa harus
meminta pelajaran dari mereka. Tujuan kedatangan kita adalah untuk menolong Cia Heng tee.
Kita terpaksa berbuat begitu dan sama sekali bukan mau menjajal lagak di Siauw Lim sie.”
Sebagi cucu Boe Kie sangat mengindahkan perkataan kakeknya. Apa pula untuk mencapai
tujuan mereka, Beng Kauw tidak mempunyai pilihan lain dari pada bertempur. “Mendengar
ilmu yang sangat tinggi dari ketiga tetua Siauw Lim saudara2ku ingin sekali menemui mereka
dan pertemuan ini sangat menggirangkan kita semua.”
“Persilahkan!” kata Kong tie yang lantas mengajak para tamunya kepuncak bukit yang
terletak dibelakang kuil.
Kaki bukit itu dijaga rapat2 oleh pasukan Ang Soei Kie, tapi Kong boen dan kawan2nya tidak
menghiraukan. Dengan sikap tenang mereka mendaki bukit. Begitu tiba dipuncak Kong Boen
dan Kong Tie menghampiri pohon siong dan melaporkan kedatangan rombongan Beng Kauw
sambil membungkuk. “Bagus! Bagus sungguh!” kata Touw ok. “Soal sakit hati Yo po Thian
sudah beres dan soal patung Cie Cauw juga sudah beres. Bagus! Thio Kauwcoe beberapa
orang yg mau main?”
Sesudah memikir sejenak Boe Kie menjawab “Semalam aku sudha berkenalan dengan
singkang Sam wie yang sangat tinggi dan menurut pantas aku tidak boleh memperlihatkan
lagi kebodohanku kehadapan Sam wie. Akan tetapi karena antara Cia hoat ong dan aku
terdapat perhubungan ayan dan anak dan dengan saudara2 lain nya mempunyai perhubungan
persaudaraan, maka dengan tidak mengimbangi tenaga sendiri kami terpaksa harus berusaha
juga untuk menolongnya. Menurut pendapatku jalan yang paling adil ialah aku meminta
bantuan dua saudara sehingga tiga melawan tiga.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1321
“Thio Kauwcoe tak usah berlaku sungkan,” kata Touw ok. “Apabila didalam kalangan Beng
Kauw terdapat orang lain yang berkepandaian sama tingginya seperti Kauwcoe maka dengan
dua orang saja Kauwcoe akan bisa membinasakan kami bertiga. Tapi menurut pendapat
loolap didalam dunia tak ada yg bisa menyamai kepandaian Kauwcoe. Maka itu sebaiknya
kauwcoe menggunakan lebih banyak orang untuk mengurubuti kami.”
Tioe Can Tiat koan Toojin dan lain2 saling mengawasi. Mereka menganggap Touw Ok sangat
sombong. Tapi dalam kesombongan itu, si pendeta mengakui bahwa didalam dunia tak ada
orang bisa menandingi Bie Koe, satu pujian tinggi bagi Kauwcoe mereka.
Boe Kie membungkuk dan berkata, “Biarpun agama kami tidak bisa berendeng dengan Siauw
Lim pay, tapi dalam sejarah ratusan tahun kami masih memiliki juga beberapa orang pandai.
Aku sendiri sebenarnya menduduki kursi kauwcoe hanya untuk sementara waktu. Kalau
bicara tentang kepandaian, di dalam agama kami terdapat banyak orang yg berkepandaian
lebih tinggi daripada aku. Wie Hok ong serahkanlah karcis nama ini kepada Sam wie ko
ceng!” Sehabis berkata begitu ia merogoh saku dan mengeluarkan selembar karcis nama yg
tercantum nama2 para tokoh Beng Kauw yg berkunjung.
Wie It Siauw mengerti bahwa Boe Kie ingin supaya ida memperlihatkan ilmu ringan
badannya yang tiada keduanya di dalam dunia. Ia membungkuk dan menyambuti karcis nama
itu. Mendadak tanpa memutar tubuh ia melesat atau lebih benar terpental bagaikan
menyambarnya sebutir peluru ketengah2 tiga pohon siong dn dalam satu gerakan yang indah,
menyodorkan karcis nama itu kepada Touw Ok.
Ketiga tetua Siauw Lim itu sudah kenyang makan asam garam dunia dan mempunyai
pengalaman yang sangat luas. Tapi ilmu ringan badan yg lihai itu baru pernah dilihatnya.
Tanpa terasa mereka berseru “Bagus!”
Dengan membungkuk sedikit Touw ok menyambuti karcis nama itu. Begitu lima jari
tangannya menyentuh kertas, begitu Wie It siauw merasa badannya kesemutan. Ia terkejut dan
segera mengerahkan lweekang untuk melawannya.
Sedetik kemudian Youw Ok sudah mengambil karcis nama itu dan giliran tenaga lweekannya
yang dirasai Ceng ek Hok ong lantas saja hilang. Paras muka Wie it siauw berubah. Ia tak
menduga bahwa pendeta itu memiliki lweekang yg sedemikian tinggi. Ia tidak berani berdiam
lama2 disitu. Sesudah memanggutkan kepala, ia melayang diatas rumput dan kembali kepada
Boe Kie. Ilmu ringan badan yg digunakannya ialah Co siang hoei (Terbang diatas rumput).
Biarpun bukan ilmu luar biasa, ia melakukannya secara lain dari yang lain.
Kong boen dan Kong tie tahu dengan mendapat pelajaran dari dan latihan semata2 orang tak
dapat mencapai ilmu ringan badan pada tingkat yang begitu tinggi. Disamping guru dan
latihan, Wie Hok Ong mempunyai bakat yang tidak dipunyai orang lain.
“Sesudah Thio Kauwcoe mengambil keputusan untuk tiga melawan tiga, bolehkan loolap
mendapat tahu, disampai Wie Hok Ong siapa lagi yang memberi pelajaran kepada kami?”
tanya Touw Ok.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1322
“Wie Hok Ong sudah menerima pelajaran lweekang dari taysoe,” jawabnya. “Yang akan
membantu aku adalah Co Yoe Kong beng Siocia.”
“Sungguh lihai mata pemuda itu,” Touw Ok memuji didalam hati. Ia sudah bisa lihat
pengiriman lweekang dengan melalui karcis nama.
Siapa itu Co yoe kong beng Soe cia? Apa mereka lebih lihat dari Wie hok ong? Sebgai orang
yg sudah lama menutup diri, ia pernah mendengar Co yoe Kong beng Soe cie. Sementara itu,
Yo Siauw dan Hoan Yaow, lantas saja maju dan berkat sambil membungkuk, “Kami
menunggu perintah Kauwcoe.”
“Sam wi ko ceng menggunakan senjata lemas,” kata Boe Kie. “Senjata apa yang harus kita
gunakan?” Diwaktu biasa Boe Kie, Yo Siauw dan Hoan Yauw tidak pernah menggunakan
senjata. Tapi dalam menghadapi lawan berat, tidak bisa mereka berlaku sombong dan
bertempur dengan tangan kosong. Sebagai ahli2 silat kelas utama mereka bisa menggunakan
senjata apapun juga.
“Terserah kepada Kauwcoe,” jawab Yo Siauw.
Boe Kie ingat apa yang dilihat semalam, cara bagaimana dengan senjata pendek Ho kian
siang sat menyerang tambang yang panjang dan telah menarik keuntungan dari senjata yang
pendek itu, ia lantas saja mengeluarkan enam batang Seng hwee leng dari sakunya dan
sesudah menyerahkan masing2 dua batang kepada mereka.
“Yo Siauw dan Hoan Yauw,” ia berkata, “Dalam mengunjungi Siauw Lim, kami tidak berani
membekal senjata. Aku hanya membawa mustika dari agama kami. Biarlah kami
menggunakan saja mestika ini.” Yo Siauw dan Hoan Yauw lantas saja menerima “leng” itu
dengan membungkuk.
Baru saja mereka mau berdamai untuk menetapkan siasat pertempuran, tiba2 Kong tie
membentak, “Kouw Louwtoo! Di Ban hoat si kita telah menaruh ganjelan. Mana bisa
disudahi begitu saja?”
“Mari, mari! Loolap ingin minta pelajaran. Hari ini loolap tidak dipengaruhi Sip Hiang Joan
kin san dan biarlah hari ini kita mendapat keputusan siapa yang lebih unggul.”
“Meyesal aku, tidak bisa menerima tantangan itu,” jawab Hoan Yauw dengan suara tawar.
“Hari ini aku sudah menerima perintah Kauw coe untuk memecahkan Kim Kong Hok mo
coan. Apabila Taysoe mau membalas sakit hati yang dulu, sesudah tugas selesai, aku pasti
akan melayani.”
Kong tie segera mengambil sebatang pedang dari salah seorang murid Siauw Lim Sie,
“Secara tak tahu diri aku berani, melawan ketiga susiokku,” katanya. “Kalau tak mati,
sebentar kau tentu terluka berat. Sakit hatiku akan tidak bisa dibalas lagi.”
Hoan Yauw tertawa dingin. “Apa selain tuan dalam Beng Kauw tidak terdapat lain jago?”
tanyanya dengan nada mengejek.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1323
Semua orang tahu, bahwa dalam berkata begitu Kong tie ingin membikin panas hatinya
orang2 Beng Kauw. Tapi kalau ejekan itu ditelan begitu saja, derajat dan keangkeran Beng
Kauw akan merosot. Dalam kedudukan, sesudah Hoan Yaum adalah Peh bie Eng Ong Ing
thian Ceng. Tapi mengingat usia sang kakek yang sudah lanjut Boe Kie bersangsi untuk
meminta bantuannya. Selagi ia menimbang2 untuk menarik In Ya Ong, pamannya, In Thian
Ceng mendadak maju beberapa tindak dan lalu berkata, “Kauw coe, In Thian Ceng memohon
tugas.”
“Gwakong sudah lanjut usia, sebaiknya Kuku (paman) saja yang…”
“Benar aku sudah tua, tapi usiaku tak mungkin melampaui Sam wie ko ceng. Kalau siauw lim
punya jago2 tua, apa Beng Kauw tak punya?”
Boe Kie tahu bahwa kakeknya memiliki kepandaian sangat tinggi yang sedikitnya tak kalah
dari Yo Siauw dan Hoan Yauw. Maka itu sesudah memikir sejenak ia segera mengangguk dan
berkata, “Baiklah Hoan Yoesoe, simpanlah tenagamu untuk melayani Kong tie Seng ceng.
Aku sekarang memohon bantuan Gwakong.”
In Thian Ceng membungkuk dan lalu mengambil sepasang “leng” dari tangan Hoan Yauw.
“Sam wie Susiok!” kata Kong boen dengan suara nyaring. “Yang ini ialah In Loo Enghiong
bergelar Peh bie kauw yang. Dahulu ia mendirikan Peh bie kauw yang berseteru dengan enam
partai besar. Ia seorang enghiong yg berkepandaian tinggi. Yang itu adalah Yo sianseng. Baik
lweekang maupun gwakang ia sudah mencapai tingkat tertinggi. Ia adalah seorang tokoh
terutama dalam Beng Kauw. Sudah banyak jago Koen Loen dan Go Bie rubuh ditangannya.”
Touw ciat tertawa, “Selamat bertemu! Selamat bertemu!” katanya. “Cobalah kita lihat, apakah
murid2 Siauw Lim bisa melayani atau tidak.”
Tiga lambang lantas saja bergerak dan membuat tiga buah lingkaran.
Semalam, ditempat gelap, Boe Kie bertempur dengan hanya mengandalkan perasaannya
terhadap sambaran angin dari tambang2 itu. Tapi sekarang, diwaktu tengah hari, bukan saja
gerakan tambang bahkan kerut muka ketiga kakek itu juga dapat dilihat tegas olehnya.
Sesudah menundukkan Seng hwee leng kemuka bumi dan menyoja, ia berkata, “Maaf!”
Hampir berbareng ia membabat tambang Touw lan dengan leng yg di pegang dalam tangan
kanannya. Begitu kedua senjata yang aneh itu kebentrok, Touw Lan dan Boe Koie merasa
lengan mereka kesemutan.
Boe Kie tahu bahwa andaikata pihaknya bisa memperoleh kemenangan, kemenangan tidak
akan bisa di dapat secara mudah. Paling sedikit ia harus bertempur lima ratus jurus.
Memikir begitu ia segera mengambil keputusan untuk melelahkan ketiga pendeta itu dan
kemudian barulah mencari lowongan untuk mengirim pukulan2 yang memutuskan.
Demikianlah ia segera melawan keras juga. Kioe yang sin kang yang berada dalam tubuhnya
makin digunakan jadi makin kuat dan pukulan2 nya kian berat. Penonton yang lweekangnya
kurang kuat terpaksa mundur setindak demi setindak sebab tak tahan, disambar angin
pukulan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1324
Sesudah bertanding kira2 semakanan nasi ketiga tambang jadi lebih pendek tambangnya,
makin kuat pembelaannya.
Semula pertempuran berlangsung dalam tiga psang lawan, tapi sesudah lewat setengah jam,
Yo Siauw dan In Thian Ceng tidak bisa mempertahankan diri lagi sehingga keadaan jadi
berubah mereka berdua mengerubuti Touw Lan, sedang Boe Kie melayani Touw Ok dan
Toyw Ciat.
Dalam pertempuran itu, In Thian Ceng menggunakan ilmu silat keras, sedang Yo Siauw
mengubah2 caranya, sebentar lembek sebentar keras. Antara enam orang itu, yang silanya
paling resap ditonton adalah Yo Siauw. Dalam tangannya kedua lengan itu berputar2,
menyambar2 dan menari2. sebentar kedua senjata itu digunakan sebagai pedang, sebentar
sebagai golok, sebentar sebagai tombak yg menikam, membabat dan memapas. Dilain detik ia
mengubah cara bersilat dan kedua leng itu digunakan sebagai poan koan pit yang
menyambar2 dalam usaha untuk menotok jalan darah lawan. Baru beberapan gebrakan sudah
berubah lagi, sekarang leng di tangan kiri sebagai pisau, leng ditangan kanan sebagai soecek
(pusut). Sesaat kemudian kedua senjata itu memegang peranan sebagai cambuk dan toya.
Demikianlah, belum cukup seratus jurus Yo Siauw sudah mengubah2 kedua leng itu menjadi
dua puluh dua macam senjata.
Hoan Yaow biasanya sangat temberang sebab ia menganggap bahwa ia mengenal semua ilmu
silat dikolong langit. Tapi sekarang, melihat kelihaian Yo Siauw, ia merasa takluk tercampur
kagum. Sudah lama Cioe Tian bermusuhan dengan Yo Siauw dan mereka pernah bertempur
beberapa kali. Makin lama ia menonton makin besar rasa malunya. “Baruku tahu si kura2 Yo
Siauw sengaja mengalah terhadapku,” pikirnya.
“Tadinya kukira kepandaiannya hanya lebih setingkat daripada aku. Kuanggap ia menang
sebab mujur. Siapa nyana ilmu sikura2 sebenarnya banyak lebih tinggi daripada aku.”
Tapi sesudah Yo Siauw mengubah2 silatnya, Touw Lan tetap bisa melayani kedua lawannya
secara tenang. Perlahan2 diatas kepala In Thiang Ceng mengepul uap putih, suatu tanda
bahwa si kakek sedang mengerahkan lweekang terhebat. Karena penuh dengan hawa
jubahnya yang berwarna putih juga mulai melembung setiap kali ia bertindak. Diatas tanah
terlihat apak kaki yang dalam sehingga sesudah bertempur hampir satu jam, tanah dalam
gelanggang pertandingan penuh dengan tapak2 kaki.
Tiba2 si kakek mengoper leng ditangan kanan ketangan kiri dan menggunakan kedua senjata
itu untuk menekan tambang Touw Lan. Hampir berbareng tangan kanannya yang sudah tidak
bersenjata menghantam Touw Lan dengan pukulan Pek Tongciang. Bagaikan kilat Touw Lan
mengangkat tangan kirinya, mementang lima jari tangan, mengepalnya dan kemudia
menyambut Pek kong ciang In thian Ceng dengan tinju itu.
Kong beon dan Kong tie mengeluarkan seruan tertahan, bahwa kaget dan kagum. Pukulan
Touw Lan itu adalah Siauw sie bie ciang, salah satu dari tujuhpuluh dua ilmu silat Siauw Lim
sie yg tersohor. Siauw sie bie ciang bukan saja sukar dipelajari dan meminta waktu lama
dalam latihan, tapi menurut kebiasaan waktu mau mengeluarkan pukulan tersebut seseorang
harus lebih dahulu memasang kuda2 dan mengerahkan lweekang untuk beberapa saat. Bahwa
Touw Lan bisa menggunakan pukulan tersebut dengan begitu saja adalah diluar dugaan.
Sesudah memukul Touw Lan lalu mengedut tambangnya ygn lantas saja menyambar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1325
Karena sebelah tangannya harus mengadu tenaga dengan In Thian ceng, maka tenaga tangan
Touw Lan yang memegang tambang yg melayani Yo Siauw lantas saja berkurang. Akan
tetapi ia segera menambal kelemahannya itu dengan pukulan2 yg luar baisa, sehingga
tambang itu seperti juga seekor ular sakti berterbangan kian kemari. Yo Siauw melawan
dengan tidak kalah siasatnya dan ilmu yg dipergunakannya terus berubah2. Karena lebih
sedap lagi pandangan mata, maka perhatian penonton lebih banyak ditujukan kepada
pertempuran ini daripada pertandingan antara Boe Kie dan kedua tetua dari Siauw Lim.
Dilihat sekelebatan, pukulan2 Touw ok, Touw ciat dan Boe Kie biasa saja. Kehebatan
pertandingan itu bukan terletak pada pukulan2nya, tapi pada lweekangnya. Pada hakekatnya,
pertandingan itu sepuluh kali lebih berbahaya daripada pertempuran Touw Lan, Yo Siauw dan
In Thia Ceng. Salah sedikit saja, kalau tidak mati tentu terluka berat.
Satu jam lebih mereka sudah bertempur dan matahari sudah mulai mendoyong ke barat.
Ketika itu Kong Boen, Kong tia dan Hoan Yauw, Wie it Siaw dan lain2 ahli silat kelas satu
sudah biasa lihat kemungkinan menang atau kalahdari kedua belah pihak. Dipihak Boe Kie,
uap putih yg mengepul dari kepala In thian ceng jandi makin tebal, sedang di pihat Siauw lim
daun2 dari pohon siong yg diduduki Tauw Ciat, bergoyang2 tak henti2nya. Ini berarti, bahwa
sambil bersandar Tauw Ciat harus meminjam tenaga pohon itu untuk melawan sinkangnya
Boe kie. Demikianlah apabila In Thian Ceng yang roboh lebih dahulu, maka BengKauwlah
yang kalah dan manakala Touw ciat yg lebih dulu tak tahan, Siauw lim sie lah yang kena di
jatuhkan.
Hal itu tentu saja diketahui oleh keenam orang yg sedang bertempur itu. Sesudah mengadu
tangan tigapuluh kali lebih, In thian ceng tahu bahwa ia bukan tandingan Touw Lan. Ia
merasa sangat menyesal dan berkata dalam hati, “Hari ini yang terpenting adalah menolong
Cia Hengtee. Namaku kalah menangku urusan kecil. Apapula kalau aku mesti kalah dalam
tangannya seorang tetua Siauw Lim, nama besar Peh bie Eng Ong tidak akan jadi merosot.
Yang penting kekalahanku berarti Cia Heng tee tak bisa ditolong. Ah!... tiada jalan lain dari
pada mati2an dan kalau perlu, mengorbankan jiwa yang tua ini.” Memikir begitu, ia mundur
setindak dan dengan seluruh lweekang nya, ia mengirim pula belasan pukulan. Tapi Siauw sie
ciang yg sudah dilatih Touw Lan selama beberapa puluh tahun, bukan main hebatnya. In
Thian Ceng mundur setindak, tenaga Siauw sie bie ciang maju stindak. Dengan perkataan lain
semakin jauhnya jarak sama sekali tak memperkurang tenaga pukulan itu.
Melihat kawannya sudah jauh dibawah angin Yo Siauw segera mengambil keputusan untuk
menukar siasat. Ia ingin merangkap kedua Seng hwee leng untuk menjepit tambang dan
mengadu tenaga dengan Touw Lan, supaya tekanan terhadap In Thian Ceng bisa berkurang.
Tapi baru saja ia mau menjepit, tambang itu mendadak di kedut dan menyambar mukanya. Ia
terkesiap. Bagaikan kilat ia menimpuk dada Touw Lan dengan kedua “leng” dan kedua
tangannya lalu menangkap ujung tambang yang segera dibetot.
Melihat timpukan yg hebat itu, dengan sikut kiri Touw Lan mengentus “leng” yang
menyambar ke dada kiri dan berbareng ia miringkan badan untuk mengegos “leng” yang
satunya lagi. Diluar dugaan ditengah jalan senjata itu tiba2 terputar dan menyambar Touw
ciat! Inilah kelihaian Yo Siauw hanyalah timpukan “kosong” sedang timpukan kepada Touw
ciat barulah serangan sungguh2 yang disertai seluruh lweekangnya.
Ketika itu Touw ciat tengah melayani Boe Kie. Ia merasa girang, bahwa meskipun dikerubuti
dua orang Touw Lan sudah berada diatas angin. Ia tak pernah mimpi, bahwa ia bakal diserang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1326
secara begitu aneh dan tahu2 sebatang seng hweleng sudah tiba didepan mukanya. Tapi
sebagai ahli silat kelas utama dalam kagetnya ia tak jadi bingung. Dengan dua jari tangan ia
berhasil menjepit senjata itu. Tapi terpecahnya perhatian sanagt merugikan dirinya dalam
pertandingan lweekang melawan Boe Kie. Pohon siong lantas saja bergoyang2 kerang dan
daun2 yang seperti jarum jatuh ketanah bagaikan hujan gerimis. Tentu saja Boe Kie sungkan
menyia2kan kesempatan ini. Ia segera mengempos semangat dan menambah tenaga. Pohon
siong bergoyang lebih keras dan ranting2 kecil turut jatuh kebawah.
Melihat bahaya, Touw ok bangun berdiri melompat kesamping saudara seperguruannya dan
kemudian menempelkan telapak tangan kirinya dipundak Touw ciat. Sesudah mendapat
bantuan, barulah Touw ciat bisa mempertahankan dirinya lagi.
Dilain bagian, pengaduan tenaga antara Touw Lan, Yo Siaw dan In Thian Ceng sudah
mencapai detik2 memutuskan. Yo Siauw membetot tambang, lweekang In thian Ceng terus
mengirim pukulan2 dahsyat. Ini berarti bahwa Touw Lan diserang oleh dua tenaga yang
bertentangan satu sama lain yang satu membentot, yang lain mendorong (memukul). Untuk
melayani kedua itu ia harus menggunakan semua tenaga dalamnya. Tapi biarpun berat, ia
kelihatannya masih bisa mempertahankan diri.
Orang2 Siauw Lim dan Beng Kauw mengerti, bahwa menang kalah akan segera mendapat
keputusan. Mungkin sekali, antara enam tokoh itu ada beberapa yang akan binasa atau terluka
berat. Puncak bukit itu menjadi sunyi senyap. Banyak orang basah bajunya karena keringat
yang mengucur, sebagai akibat dari rasa tegang yg sangat hebat.
Mendadak saja, diantara kesunyian terdengar suara manusia yang keluar dari bawah tanah.
“Yo Cosoe, In Taoko, anak Boe kie, dengarlah. Tangan Cia Soen berkelepotan darah
hukuman mati tak cukup untuk menebus dosa. Hari ini kalian berusaha untuk menolong aku
dan melakukan pertempuran mati hidup melawan tiga ketua Siauw Lim. Kalau karena usaha
menolong aku ini ada seorang saja yang binasa, maka kedosaanku akan lebih besar lagi. Anak
Boe Kie! Ajaklah semua saudara meninggalkan Siauw Lim Sie. Jika kau membandel, aku
akan segera mengambil keputusan untuk memutuskan urat2ku, supaya aku tak usah
menanggung kedosaan yg lebih besar.”
Biarpun perlahan, suara itu menusuk kuping setiap orang. Sebab Cia Soe berbicara dengan
menggunakan Say coe hauw (geram singa) yang pernah digunakan dahulu dipulau Ong poan
san.
Boe Kie tahu ayah angkatnya tidak bicara main2. iapun tahu, jika pertempuran dilangsungkan,
kakeknya, Yo Siauw, Touw Ciat dan Touw Lan akan binasa atau terluka. Selagi ia bersangsi,
Cia Soen sudah membentak “Boe Kie! Apa kau belum mau mundur?”
“Baik Gie Hoe!” jawabnya sambil mundur setindak dan kemudian berkata dengan suara
nyaring, “Hari ini kami tidak bisa memecahkan Kim kong hong mo coan. Lain hari kami akan
datang pula untuk meminta pelajaran. Gwa kong, Yo Cosoe, berhentilah!” seraya berkata
begitu ia mendorong tenaga Touw Ok dan Tauw ciat dikedua tambang dan lalu menarik
pulang tenaganya sendiri.
Tapi Yo Siauw dan In thian ceng tidak berani lantas menarik pulang tenaganya. Jika berbuat
begitu mereka akan dilakukan oleh tenaga lawan. Touw Lan pun sedemikian. Melihat begitu
Boe kie segera berjalan kedepan kakenya dan mengibas kedua tangannya, ia menyambut
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1327
tenaga Touw Lan dan In thiang Ceng yang saling menyerang dari kiri kanan. Hampir
berbareng, ia menempelkan sebatang seng hwee leng di tambang Touw Lan. Tambang itu
ditarik Yo Siauw dan Touw Lan sehinggak tegang bagaikan tali gendewa. Tapi begitu lekas
tersentuh “leng” lantas saja berubah lemas sebab kedua tenaga dipunahkan oleh Kin koen tay
lo ie sin kang. Sesudah tangannya dipunah cekalan Yo Siauw tiba2 terlepas dan tambang itu
jatuh di tanah. Tapi begitu tambang jatuh, Yo Siauw membungkuk dan menjemputnya lagi.
Touw Lan terkejut. Ia menduga Yo Siauw mau menyerang pula. Tapi maksud Yo Cosoe
bukan begitu. Ia maju beberapa tindak dan berkata seraya mengangsurkan ujung tambang
kepada Touw Lan. “Taysoe, terimalah senjatamu!”
Touw Lan dapat menebak kemauan Yo Siauw. Ia pun lantas menjemput dua “leng” yang
menggeletak ditanah dan memulangkannya kepada Yo Siauw.
Sesudah mendapat pengalaman itu, hilanglah segalah rasa sombong dalam hati ketiga pendeta
itu. Mereka mengerti, bahwa jika pertempuran dilangsungkan terus, kedua belah pihak akan
celaka bersama2. “Sesudah menutup diri selama beberapa puluh tahun, loolap merasa girang
bahwa hari ini, kami bisa berkenalan dengan jago2 di ini jaman,” kata Touw Ok. “Boe
Kauwcoe, Beng kauw mempunyai banyak orang pandai, kau sendiri seorang luar biasa.
Loolap mengharap bahwa dengan tenaga itu Beng Kauw bisa menolong sesama manusia dan
tidak berbuat sesuatu yang mencelakai rakyat/
Boe Kie membungkuk, “Terima Kasih atas nasehat Taysoe,” jawabnya.
“Baiklah,” kata Touw ciat. “Kami bertiga akan menunggu kunjungan Kauwcoe yang ketiga
kali.”
“Ya,” kata Boe Kie. “Kami terpaksa berbuat begitu, terutama karena antara Cia Ho tong dan
aku terdapat hubungan ayah dan anak.”
Touw Ok menghela napas. Ia segera memejamkan mata dan tidak berkata apa2 lagi.
Boe Kie dan kawan2nya lantas saja meminta diri dari Kang Boen dan yang lain2. dengan
dipimpin oleh Phen Eng giok, kelima pasukan Ngo beng kie turut mundur sampai jarah
sepuluh li dari Kuil Siauw Lim sie. Anggota Houw ouw kie segera membuat belasan tenda2
besar dilereng gunung untuk tempat meneduh nya seluruh barisan Beng Kauw.
Boe Kie berduka dan duduk termenung. Didalam Beng Kauw ada orang berkepandaian lebih
tinggi dari Yo Siauw dan In Thian Ceng. Andaikata ia menukar mereka dengan Hoan Yauw
dan Wie It Siauw hasilnya takkan berberda.
Pheng Eng giok bisa menebak apa yang dipikir oleh sang Kauwcoe. “Kauwcoe…” katanya.
“Mengapa kau melupakan Thio cinjin?”
“Apabila thay suhu suka turun gunung bersama2 aku, kita berdua rasanya akan dapat
memecahkan Kim kong hok mo coan,” katanya dengan suara sangsi. “Akan tetapi, hal itu
berarti rusaknya keakuran antara Siauw Lim dan Boe tong, sehingga belum tentu thay suhu
sudi meluluskan dan kedua, biarpun dalam ilmu silat thay suhu sudah mencapai tingkat tinggi,
tapi usianya sudah terlalu tua. Kalau sampai terjadi sesuatu… mungkin sekali Toa supeh dan
yang lain2 tak dapat menyetujui…”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1328
Mendadak In Thian Ceng bangun berdiri dan tertawa terbahak2. “Bagus! Bagus!” serunya.
“Jika Thio Cinjin suka membantu, kutanggung kita berhasil.” Tiba2 dia membungkam,
sedang mulutnya masih ternganga. Paras mukanya berseri2, tai ia berdiri seperti patung.
Semua orang merasa heran.
“In heng, apa kau rasa Thio Cinjin mau turun gunung?” tanya Yo Siauw. Tapi si kakek tidak
menyahut dan badannya tak bergerak.
Boe Kie kaget dan buru2 memegan nadinya. Astaga! Nadi sang kakek sudah berhenti
mengetuk! Sebab tadi sudah menggunakan banyak tenaga, orang tua itu meninggal dunia
seperti lampu kehabisan minyak.
Boe Kie memeluk jenazah kakeknya dan menangis dengan disusul oleh In Ya Ong yang
menubruk mendiang ayahandanya. Semua orang yg berkumpul turut mengucurkan air mata.
Warta tentang meninggalnya Peh bie Eng ong lantas saja disampaikan kepada segenap barisan
Beng Kauw. Diantara anggota2 pasukan Nio heng kie terdapat banyak orang yg dulu
menggabungkan diri pada Peh bie kauw dan mereka itulah yang paling bersedih hati.
Selama beberapa hari Beng Kauw sibuk mengurus urusan kematian In Thian Ceng. Selama
beberapa hari itu, tokoh2 rimba persilatan yang mendapat undangan sudah mulai tiba pada
Siauw Lim sie. Antara mereka, banyak yang dtg di tenda2 Beng Kauw untuk menyatakan
turut berduka cita dan bersembahyang. Disamping bersembahyang mereka mengirim delapan
belas pendeta untuk membaca doa guna roh nya. In thian ceng tapi pendeta2 itu diusir oleh In
Ya ong.
Selama beberapa hari Boe Kie kalut pikirannya. Perundingan dengan Yo Siauw, Phen Eng
Giok, Tio Beng dan yang lain2nya tak menghasilkan sesuatu yg menyenangkan. Nona Tio
menyarankan untuk menarup sip hiang Joan kien san dimakanan Touw ok bertiga dan
mengusulkan untuk meminta bantuan Hian beng Jie loo guna membantu Boe Kie. Tapi Boe
Kie dan Yo Siauw menolak saran2 itu.
Tanpa terasa tibalah harian Toan Ngo atau Toan yang (tanggal lima bulan lima Imlek. Yaitu
perayaan peh coen). Hari itu Boe Kie mengajak tokoh2 Beng Kauw datang dikuil Siauw Lim
sie. Ketika mereka tiba, semua ruangan dikuil besar itu sudah penuh dengan tamu. Semua
orang tahu bahwa Eng Hiong Thay Hwee dibuka untuk menghukum Cia Soen. Antara orang2
gagah iu ada yang untuk membalas sakit hati terhadap Cia Soen ada yang ingin melihat atau
merebut To Liong To dan ada pula yang hanya ingin menonton kematian. Untuk melayani
tamu2 itu, Siauw Lim Sie mengerahkan seratus lebih tie kek ceng (pendeta penyambut tamu).
Dari Boetong pay datang dua orang yaitu Jie Lian Coe dengan In Lie Hong, Boe Kie
menemui paman gurunya dan menanyakan kesehatan sang kakek guru. “Apa kau pernah
dengar harunya (?) Ceng Soe dan Tan Yoe Liang?” tanya Jie Lian cioe dengan suara perlahan.
Secara ringkas Boe kie lalu menceritakan segala pengalamannya. Dari sang paman ia
mendapat tahu, bahwa sebegitu jauh Boe Tong san belum pernah dikacau oleh Tan Yoe Liang
dan Song Ceng Soe. Bahwa Song Wan Kiauw berdua dengan Thio Siong Kee tidak turut
datang di Siauw Lim sie adalah untuk melindungi sang guru dari bokongan manusia2 rendah,
Jie Lian cioe selanjutnya memberitahukan bahwa perbuatan Song Ceng Soe telah memberi
pukulan sangat hebat kepada Song Wan Kiauw yang tak enak makan dan tak enak tidur,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1329
sehingga badannya berubah sangat kurus. Iapun menerangkan bahwa peristiwa itu ditutup
rapat2 dari kuping sang guru.
“Kita harap saja Song suko bisa cepat2 tersadar, supaya Toesupeh ayah dan anak bisa
berkumpul kembali,” kata Boe Kie.
“Ya kita semua berharap begitu,” kata sang paman.
Selama satu jam, jumlah tamu yang datang terus bertambah, Ho Kian Siang sat dan jago
pedang dari Ceng hay pay yang malam itu menyerang tiga tetua Siauw Lim, juga turut datang
Hwa san pay dan koong tong pay. Koen loen pay dan lain2 partai mengirim wakit. Hanya
orang Go bie pay yang tak muncul. Boe Kie mengharap2 Cie Jiak datang sendiri, supaya ia
bisa memberi keterangan tentang sikapnya yang luar biasa pada hari itu. Tapi dalam
mengharap2, hatikecilnya merasa tak enak untuk bertemu muka daengan nona Cie.
Rombongan Beng Kauw menempati ruangan ada disebelah barat dan mereka tidak bercampur
dengan orang banyak. Boe kie sengaja mengambil tindakan penjagaan, sebab Beng Kauw
mempunyai banyak musuh dan kalau musuh bertemu dengan musuh akibatnya bisa
mengacaukan Eng hiong tay hwee.
Menjelang Ngo sie (atau jam sebelas siang sampai lohor) para tie kek ceng mengundang para
tamu supaya berkumpul disebuah lapangan luas yang terletak disebelah kanan kuil. Diatas
lapangan itu semula sebbuah kebun sayur yang luasnya beberapa ratus bauw, didirikan
belasan gubuk raksasa yang diatur meja2 dan kursi2 yang baru selesai dibuat. Atas undangan
tie kek ceng, para tamu lantas mengambil tempat duduk.
Sesudah para tamu berduduk, sebaris demi sebaris, menurut tingkatannya, para pendeta keluar
dari kuil untuk memulai pertemuan resmi dengan orang2 gagah di kolong langit. Barisan
terakhir ialah Kong tie seng ceng yang diikuti oleh sembilan pendeta tua dari Tat mo tong.
Mereka menuju ketengah2 lapangan dan sesudah memberi hormat, Kong tie berkata:
“Hari ini para enghiong datang berkunjung dan membikin terang muka Siauw Lim sie. Hanya
menyesal Heng Thio soeheng mendadak sakit dan tidak bisa menemui para tamu yg
terhormat. Ia meminta loolap untuk menghaturkan maaf kepada kalian semua.”
Jilid 73_____________________________
Boe Kie heran. “Hari itu ketika Kong-boen Taysoe datang bersembahyang kepada Gwakong,
mukanya tidak menunjukkan orang sakit,” pikirnya. “Apa bias jadi orang yang mempunyai
Lweekang seperti dia bisa mendadak mendapat sakit berat? Apa bukan ia terluka?”
Sesudah berdiam sejenak Kong tie berkata pula, “Kim mo Say ong Cia Soen banyak dosanya
dan sekarang kami berhasil menangkap dia. Karena Siauw lim-pay tidak berani mengambil
keputusan sendiri, maka kami sudah mengundang orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan
untuk merundingkan cara menghukumnya.” Dalam mengucapkan pidato pembukaan itu,
Kong tie seperti sedang berduka, sedang memikirkan sakitnya Kong boen Taysoe.
Eng hiong Tayhwee yang terakhir diadakan Keng cie kwan dan selama lebih kurang seratus
tahun belum pernah diadakan lagi pertemuan orang-orang gagah yang sedemikian besar.
Maka itu, kejadian ini merupakan salah satu kejadian terpenting dalam dunia persilatan. Tapi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1330
apa mau tuan rumah mendapat sakit dan mendengar pengumuman itu, kegembiraan para
hadirin lantas berkurang banyak.
Dengan matanya yang sangat tajam Boe Kie menyapu barisan Siauw lim sie. Ia tidak lihat
Goan tin dan Tan Yoe Liang. “Sesudah aku membuka topeng Goan tin dihadapan Touw ok
bertiga, apa dia sudah dihukum?” tanyanya dalam hati, “Apa tak munculnya Kong boen
Taysoe ada sangkut pautnya dengan hal ini?”
Sesudah bicara sambil merangkap kedua tangannya Kong tie mundur beberapa langkah. Tibatiba
disudut tenggara bangkit seseorang yang tubuhnya tinggi besar dan janggutnya yang
berwarna dan melambai-lambai tertiup angin. Ia berparas angker dan tangannya memegang
tiga butir ‘tiat tan’ (peluru besi). Banyak orang segera mengenali bahwa ia bernama Hee Cioe
seorang guru silat di Soecoan timur. Begitu bangun berdiri ia segera berkata dengan suara
nyaring, “Cia Soen telah melakukan banyak sekali kejahatan. Bahwa ia sudah ditangkap oleh
Siauw lim-pay merupakan berkah bagi seluruh Rimba Persilatan, Kong boen dan Kong tie
Seng ceng bersikap terlalu sungkan. Manusia yang begitu jahat boleh segera dibunuh saja.
Untuk apa berdamai lagi? Tapi sesudah kita semua terlanjur berkumpul di sini, boleh
dinamakan To say Tay hwee (pertemuan untuk membunuh singa). Untuk membalaskan sakit
hatinya orang-orang yang binasa tanpa berdosa, sebaiknya kita menghukum mati dia dengan
siksaan.”
Hee Cioe bicara dengan bernapsu karena salah seorang saudaranya telah dibunuh Cia Soen
dan selama beberapa puluh tahun ia telah berusaha membalaskan sakit hati. Usul itu segera
saja disetujui oleh beberapa puluh orang.
Mendadak diantara suara ramai terdengar suara yang menyeramkan. “Cia Soen adalah Hoe
kauw Hoatong dari Beng kauw. Kalau Siauw lim-pay tidak merasa takut terhadap Beng kauw
sudah lama mereka tentu sudah turun tangan. Apa dengan mengumpulkan kita, mereka ingin
membagi tanggung jawab di atas pundak kita semua? Hee lookoesoe menurut pendapatku,
pikiranmu sudah gila.” Semua segera mengarah ke suara itu, tapi orang yang bicara tidak
kelihatan batang hidungnya. Ternyata dia seorang kate kecil dan waktu bicara dia tidak
bangun berdiri.
“Apa Cioe poet sie Soema Hengtee?” teriak Hee Cioe, “Cia Soen telah membunuh adikku,
seorang laki-laki bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Kuharap para pendeta Siauw
lim sie suka mengeluarkan dia dan loohoe akan bacok mati dia. Carilah orang she Hee di
Coan tong.” (Cioe poet sie – Gelaran yang berarti “Mabuk tak mati”)
Cioe poet sie Soema Cian Ciong tertawa dingin. “Hee To ko semua orang kangouw tahu
bahwa To liong to yang termulia dalam Rimba Persilatan telah jatuh ditangan Cia Soen,”
katanya. “Kalau Siauw lim pay berhasil membekuk Cia Soen bukankah itu berarti bahwa
Siauw lim-pay juga sudah berhasil merebut To liong to? Membunuh Cia Soen urusan kecil,
mendapat To liong to barulah urusan besar. Kong tie Taysoe, kuharap kau jangan berlagak
bodoh. Keluarkanlah To liong to supaya kita semua bisa melihatnya. Selama ribuan tahun
Siauw lim-pay sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan. Dengan golok mustika itu,
Siauw lim-pay tak jadi lebih agung. Tanpa golok mustika itu, Siauw lim-pay takkan jadi lebih
rendah. Dengan To liong to atau tanpa To liong to, Siauw lim-pay sudah menduduki
kedudukan termulia dalam Rimba Persilatan.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1331
Soema Cian Ciong adalah salah satu orang aneh dalam Rimba Persilatan. Dia tak punya guru
dan tak punya murid. Dia bebas bagaikan burung hoe liar, tidak masuk partai manapun jua
dan sangat jarang bertempur sehingga orang tak tahu sampai berapa tinggi kepandaiannya.
Kalau berbicara, dia bicara seenaknya saja, tak ragu-ragu untuk mengejek atau menyindir.
Perkataan Soema Cian Ciong segera saja mendapat sambutan hangat. Beberapa orang turut
bicara dan meminta supaya Siauw lim-pay segera mengeluarkan To liong to untuk
diperlihatkan kepada semua tamu.
“To liong to tidak ada ditangan kami,” kata Kong tie dengan suara perlahan. “Selama hidup
loolap pun belum pernah melihat golok mustika itu.”
Pernyataan itu diluar dugaan dan mengejutkan semua orang. Keadaan segera berubah ramai,
banyak orang berebut menyatakan pendapat. Semula semua tamu menduga bahwa To liong to
ada sangkut paut dengan pertemuan ini.
Dibelakang Kong tie berdiri sembilan pendeta tua yang mengenakan jubah pertapa warna
merah. Sesudah suara ramai mereda, salah seorang sembilan pendeta itu maju ke depan dan
berkata dengan suara nyaring. “Bahwa To liong to berada di dalam tangan Cia Soen diketahui
oleh semua orang. Hanya sayang waktu kami menangkap Cia Soen, To liong to tidak berada
ditangannya. Karena hal ini hal penting dalam Rimba Persilatan, maka hong Tio kami telah
berusaha untuk mencari tahu. Tapi Cia Soen orang yang keras kepala, biarpun segera dibunuh
dia tidak mau membuka mulut. Maka itu pertemuan hari ini mempunyai dua tujuan. Yang
pertama untuk merundingkan cara menghukum Cia Soen, yang kedua untuk menyelidiki
dimana adanya To liong to. Apabila diantara kalian ada yang mendapat informasi, kami harap
bisa memberitahukan secara terang-terangan.”
Semua orang saling mengawasi. Semua orang membungkam.
Yang bicara lagi Soema Cian Ciong. “Selama ratusan tahun, disamping To liong to masih ada
Ie thian kiam,” katanya. “Menurut cerita orang pedang itu berada dalam tangan Go bie-pay.
Tapi sesudah pertempuran di Kong-beng teng, Ie thian kiam juga hilang tak berbekas. Apakah
karena pertemuan hari ini dinamakan Eng hiong Tay hwee (pertemuan orang-orang gagah,
pria), maka jago-jago betina dari Go bie-pay lantas tidak mau datang?”
Perkataan itu diambut gelak tawa.
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang tie kek-ceng, “Kay pang Soe Pangcoe dengan para Tiang
loo dan para murid Kay pang datang berkunjung!”
Boe Kie heran. “Soe Hwee Liong Pangcoe sudah binasa ditangan Goan tin,” katanya dalam
hati, “Dari mana muncul Soe Pangcoe lagi?”
“Undang mereka masuk!” teriak Kong tie.
Kay pang adalah pang hwee (perkumpulan) yang terbesar dalam dunia kangouw. Sebagai
penghargaan terhadap tamu yang baru datang itu Kong tie sendiri keluar menyambut.
Rombongan Kay pang terdiri dari seratus lima puluh orang lebih yang semuanya mengenakan
pakaian rombeng. Biarpun dalam tahun belakang keadaan Kay pang tak seperti dulu lagi tapi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1332
hari ini dia masih merupakan organisasi yang sangat besar pengaruhnya. Mendengar
kedatangannya banyak orang gagah segera bangun berdiri sebagai tanda penghormatan.
Rombongan dilalui oleh dua pengemis tua. Boe Kie mengenali bahwa mereka adalah Coan
kang dan Cie hoat Tiangloo. Dibelakang mereka berjalan seorang anak perempuan yang
berusia kira-kira dua belas atau tiga belas tahun. Anak itu jelek romannya, hidungnya dongak
dan mulutnya terlihat dua gigi yang sangat besar. Dia bukan lain dari pada Soe Hong Sek,
putri Soe Hwe Liong. Dia berjalan dengan memegang sebatang tongkat bamboo warna hijau
yaitu tongkat Tah kauw pang (tongkat untuk memukul anjing tanda kekuasaan dari seorang
pangcoe). Dibelakang Soe Hong Sek mengikuti Ciang pang Liong tauw, Cian poen Liong
tauw murid delapan karung, tujuh karung dan enam karung. Ternyata untuk menghadiri Eng
hiong Tay hwee murid Kay pang yang paling rendah tingkatannya adalah murid enam karung.
Melihat yang membawa Tah kauw pang seorang anak-anak, Kong tie ragu. Apa anak itu yang
menjadi pangcoe? Karena rasa ragunya ia berkata, “Siauw lim sie menyambut orang gagah
dari Kay pang.”
“Karena Soe Hwee Liong Pangcoe telah berpulang ke alam baka, maka atas persetujuan para
Tiangloo, kami mengangkat putrid Soe pangcoe, Soe Hong Sek kauwnio sebagai pangcoe
baru,” kata Coan kang Tiangloo seraya menunjuk Soe Hong Sek.
Kong tie terkejut. Kauwcoe dari Beng kauw sudah sangat muda tapi pangcoe Kay pang lebih
muda lagi bahkan seorang anak-anak. Sesuai dengan tata kehormatan ia segera menangkup
kedua tangannya dan berkata, “Kong tie murid Siauw lim menghadap Soe pangcoe.”
Nona Soe membalas hormat.
“Karena pangcoe kami masih sangat muda maka segala urusan perkumpulan diurus olehku
dan Cin hoat Tiangloo berdua,” kata Coan kang. “Kong tie Seng ceng adalah cian pwee yang
berkedudukan tinggi dan kami berani menerima kehormatan yang begitu besar.”
Sesudah kedua pemimpin itu saling merendahkan diri, para pengemis diantar ke gubuk dan
mengambil tempat duduk mereka.
Boe Kie menyadari bahwa semua pengemis mengenakan pakaian berkabung dan pada paras
mereka terlihat paras berduka dan gusar. Ia lihat sejumlah karung yang dibawa mereka
bergerak-gerak sebagai tanda bahwa didalamnya berisi sesuatu. Boe Kie segera menebak
bahwa kedatangan mereka mempunyai maksud tertentu. Ia girang dan berbisik kepada Yo
Siauw, “Kita mendapat bantuan!”
Dengan diantar oleh Coan kang dan Cie hoat Tiangloo, Ciang pang dan Ciang poen Liong
tow Soe Hong Sek pergi ke tempat rombongan Beng kauw, sambil menyoja Coan kang
berkata, “Thio Kauwcoe, tertangkapnya Kim mo Say ong ada sangkut paut dengan rapat
perkumpulan kami. Maka itu, biarpun hari ini harus melepaskan jiwa kami bertekad untuk
pertama, melindungi Cia hoat ong supaya kami bisa membalas budi Thio Kauwcoe dan
menebus dosa dan kedua, supaya bisa membalas sakit hatinya mendiang Soe pangcoe, seluruh
barisan Kay pang akan dengar semua perintahmu.”
Cepat-cepat Boe Kie balas menghormat dan berkata, “Tidak berani aku memerintah kalian!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1333
Coan kang Tiangloo mengucapkan kata-kata itu dengan suara nyaring. Ia memang sengaja
berbicara keras supaya didengar oleh semua orang. Pernyataan itu sangat mengejutkan.
Hampir semua orang tahu bahwa Kay pang bermusuhan dengan Beng kauw dan telah ikut
menyerang Kong beng teng. Pernyataan Coan kang Tiangloo bahwa Kay pang akan ikut
perintah Boe Kie dan membalas sakit hati mendiang Soe pangcoe tidak bisa dimengerti semua
orang.
Sehabis Coan kang berbicara, semua anggota Kay pang bangun serentak dan berseru, “Kami
menunggu perintah Thio Kauwcoe! Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, kami takkan
menolak!”
Coan kang segera memutar tubuh dan menghadap Kong tie. “Kay pang dan Siauw li-pay
belum pernah mempunyai permusuhan,” katanya dengan suara keras. “Kami selalu
menghormati Siauw lim-pay sebagai partai utama dalam Rimba Persilatan sehingga kalau ada
ganjalan-ganjalan kecil kami selalu menahan sabar dan mengalah. Kami selamanya tidak
berani berbuat salah kepada Siauw lim-pay. Dari paling rendah kami semua menaruh hormat
kepada keempat Seng ceng dari Siauw lim yang pantas diteladani semua orang gagah dalam
Rimba Persilatan. Sudah lama karena sakit, Soe Pangcoe kami mengundurkan diri dari dunia
Pergaulan dan tidak berhubungan lagi dengan orang-orang Kangouw. Entah mengapa
Pangcoe kami tidak luput dari tangan jahat seorang pendeta Siauw lim yang berkedudukan
tinggi.” Perkataan itu disambut dengan suara ‘ah!’. Semua orang terkesiap terlebih lebih Kong
tie.
Sementara itu Coan kang Tiangloo bicara terus. “Hari ini kami datang kemari bukan sebagai
eng hiong yang ingin menghadari Eng hiong Tay hwee. Kami datang untuk meminta petunjuk
Kong boen Hong thio. Kami ingin bertanya dimana letak kesalahan Soe Pangcoe sehingga ia
mesti dibinasakan oleh seorang pendeta Siauw lim bahkan Soe Hoejin tidak lolos dari
kematian?”
Kong tie merangkap kedua tangannya. “O mie to hoed,” katanya. “Bahwa Soe Pangcoe
meninggal dunia baru hari ini diketahui loolap. Tiangloo mengatakan bahwa Soe Pangcoe
dibinasakan oleh murid Siauw lim-pay. Apa tak salah loolap mohon Tiangloo memberikan
penjelasan yang lebih jelas.”
“Kong boen dan Kong tie Seng ceng adalah pendeta-pendeta suci yang mulia hatinya,” kata
Coan kang. “Kami tentu tidak berani menuduh sembarangan.”
“Sekarang aku mohon Taysoe sudi mengeluarkan seorang pendeta dan seorang murid Siauw
lim yang bukan pendeta supaya mereka bisa dilihat dihadapan umum.”
“Baiklah, siapa kedua orang itu?”
“Mereka adalah….” Mendadak suaranya terputus!
Kong tie terkejut. Ia mendekat dan memegang pergelangan tangan kanan tetua Kay pang itu
dan…astaga…Nadinya sudah berhenti berdenyut! “Tiangloo Tiangloo!” panggil Kong tie.
Dilain saat ia sadar bahwa diantara alis Coan kang Tiangloo terdapat satu titik hitam sebesar
kepala hio. “Para enghiong, dengarlah,” teriak Kong tie. “Tiangloo sudah kena senjata rahasia
yang sangat beracun dan sudah meninggal dunia! Siauw lim-pay pasti takkan menggunakan
senjata semacam itu.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1334
Keadaan segera berubah kacau. Semua orang kaget tak kepalang terutama orang-orang Kay
pang yang segera berteriak dan beberapa puluh diantaranya maju ke depan untuk melihat
jenasah tetua mereka. Ciang-poen Liongtauw mengeluarkan sepotong besi berani dari
sakunya dan menempelkan didahi Coan kang. Dengan besi itu ia mengeluarkan sebatang
jarum yang halus seperti bulu kerbau dan panjangnya kira-kira satu dim.
Pemimpin-pemimpin Kay pang percaya bahwa dengan mengatakan Siauw lim-pay tak
menggunakan senjata itu, Kong tie Seng ceng tidak berdusta. Senjata rendah itu pasti takkan
digunakan oleh sebuah partai utama yang terkenal lurus bersih dalam dunia persilatan.
Dibawah terangnya matahari dan dibawah pengawasan begitu banyak mata, orang itu bisa
menyerang tanpa diketahui oleh siapapun juga. Hal ini membuktikan bahwa si pembokong
mempunyai kepandaian luar biasa. Coan kang Tiangloo berdiri menghadap ke selatan
sehingga senjata rahasia itu pasti datang dari jurusan selatan. Dengan sorot mata gusar, para
pemimpin Kay pang mengawasi orang-orang yang berdiri dibelakang Kong tie. Sembilan
pendeta Tat mo berdiri sambil menundukkan kepala dan dibelakang mereka sebaris demi
sebaris berdiri pendeta yang mengenakan jubah kuning, jubah abu-abu dan sebagainya. Siapa
yang berdosa tak mungkin diketahui, biarpun sudah bisa dipastikan bahwa si pembokong
adalah salah seorang dari pendeta-pendeta itu.
Dengan air mata mengucur, Cie hoat berkata, “Kong tie Taysoe menganggap kami menuduh
sembarangan tapi keterangan apa yang mau diberikan Siauw lim-pay dalam peristiwa ini?”
Ciang pang Liong tauw yang paling berangasan segera berteriak sambil mengibaskan toya
besinya. “Mari kita adu jiwa dengan Siauw lim-pay!” Ajakan itu disambut dengan suara
terhunusnya senjata dan seratus lebih anggota Kay pang melompat masuk ke tengah-tengah
lapangan.
Dengan paras pucat dan berduka, Kong tie berkata kepada para pendeta.
“Sejak Tat-mo Loocouw sampai sekarang sudah ribuan tahun kita menaati ajaran-ajaran Sang
Buddha. Walaupun kita belajar silat untuk menjaga diri dan bergaul dengan orang-orang
gagah dalam dunia persilatan kita belum pernah melakukan sesuatu yang berdosa. Hong-thio
Soeheng dan aku sudah merasa tawar akan segala yang bersifat keduniawian….” Sehabis
berkata begitu, secepat kilat mengambil sebatang sian-thung bajak dari tangan seorang murid
Siauw lim dan melontarkannya. “Blas!” toya itu amblas di dalam tanah! Menancapkan
sianthung di tanah adalah suatu tanda Siauw lim-pay bahwa orang yang berbuat begitu sudah
bertekad untuk mengadu jiwa dan melanggar larangan membunuh.
Ketegangan memuncak dan dengan hati berdebar-debar semua orang menunggu
perkembangan selanjutnya.
Sesudah memutar tubuh dengan sorot mata tajam bagaikan pisau, Kong tie menatap wajah
semua pendeta, satu demi satu yang berdiri dihadapannya. “Siapa yang menimpuk dengan
jarum beracun itu?” tanyanya dengan suara parau. “Seorang laki-laki berani berbuat harus
berani menanggung segala akibatnya. Keluarlah!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar