Selasa, 17 November 2009

Dengan bergulingan ia mendekati dan menjemput golok yg jatuh dari tanan Kan Ciat dan
kemudia menggunakannya untuk memutuskan tambang yg mengikat tangan Poet Hwe.
Sesudah tangannya bebas si nona lalu coba menolong kakaknya dan ia baru berhasil sesudah
melukakan tangan Boe Kie di dua tempat.
Tak usah menceritakan lagi kegirangan kedua anak itu, sesudah berpeluk2an beberapa lama
barulah Boe Kie nengok mayak Kan Ciat dan kawan2nya. Ternyata muka mereka berwarna
hitam dan otot2 pada menonjol keluar, sehingga kelihatannya menakuti sekali. Racun bisa
mencelakakan manusia, tp jg bisa menolong manusa baik, kata Boe Kie dalam hati. Ia lalu
mengambil pulang Tok beot Tay coan dan memasukkannya kedalam saku, dengan niatan
untuk mempelajarinya di hari kemudian.
Dengan saling menggandeng tangan, kedua anak itu berjalan keluar dari hutan yg
menyeramkan. Baru saja mereka mau mencari jalanan se-konyong2 disebelah timur terlihat
obor2 dan tujuh delapan orang yg membawa rupa2 senjata kelihatan mendatangi. Merek
ketakutan dan buru2 menyembunyikan diri di rumput2 tinggi.
Tak lama kemudian reroton itu sudah tiba didekat tempat persembunyian kedua anak itu.
Yang berjalan didepat Cie Tat yg membawa tombak panjang. Sambil mengangkat obor
tinggi2. Ia berteriak, Hei manusia2 binatang! Lekas keluar untuk terima binasa! Mereka
masuk kedalam hutan dan begitu melihat mayat2 itu, mereka kaget bukan main.
Saudara Thio! Saudara Thio! teriak Cie Tat, Dimana kau? Kamu datang untuk menolong
kalian.
Sekarang Boe Kie tahu, bahwa kedatangan mereka adalah untuk memberi pertolongan.
Hatinya terharu dan dengan air mata berlinang2, ia melompat keluar dari rumput alang2.
Dengan menuntun tangan Poet Hwie, ia berlari2 menghampiri rombongan penolong itu.
Cie Tako! Aku berada disini, serunya.
Cie Tat girang tak kepalang, sambil memeluk si bocah. Ia berkata, Saudara Thio, jangan
diantara anak2, sedangakan diantara orang2 dewasapun jarang terdapat manusia yang
mempunyai jiwa kesatria seluhur kau. Aku sungguh berkuatir. Aku kuatir kau sudah menjadi
kurbannya manusia2 itu. Tapi orang baik selalu mendapat pembalasan baik. Ia menanyakan
cara bagaimana Kan Ciat dan kawan2nya binasa dan Boe Kie lalu memberikan keterangna
sejelas2nya. Mendengar it, semua orang merasa kagum dan memuji kepintaran si bocah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 502
Berapa saudara ini adalah sahabat2ku sedari kecil, kata Cie Tat. Hari ini kai menyembelih
seekor kerbau dan mereka sedang memasaknya di kelenteng Hong kan-sie. Begitu aku
meminta pertolongan, mereka segera mengikut aku. Tapi kami datang terlambat dan sungguh
syukur kau sudah bisa menolong diri sendiri. Sehabis berkata begitu, ia segara
memperkenalkan sahabat2nya itu. Seorang yg mukanya persegi dan kupingnya lebar she-
Thong bernama Ho yang paras mukanya angker, she-Tong bernama Jie yang bermuka hitam
dan bertubung jangkung, she-Hoa bernama In, dan orang kulitnya bersih adalah kakak beradik
sang kaka she gouw bernama Liang, si-adik Gouw Tin dan akhirnya seorang pendeta yg
mukanya jelek dan matanya dalam, tp bersinar sangat tajam. Yang ini adalah Coe Taoke,
katanya. Ia bernama Goan Coang dan sekrang menjadi pendeta di kelenteng Hong kak sie.
Dia jadi pendeta bebas menyambungi Hoa In seraya tertawa. Dia tidak membaca kitab suci,
pekerjaannya hanyalah minum arak dan daging.
Melihat paras muka Coe Goan Ciang, Poet Hwie ketakukan dan lalu bersembunyi dibelakang
Boe Kie.
Adik kecil, jangan takut, kata si pendeta.
Aku makan daging, tapi tidak makan daging manusia.
Hayolah masakan kita rasanya sudah matang, mengajak Thong Ho.
Siauw moay-moay, mari aku gendong kau, kata Hoa In seraya berjongkok dan sesudah
menggendong Peot Hwie, ia seraya berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar. Melihat cara2
mereka yg polos dan bebas, Boe Kie merasa girang.
Sesudah berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah kelenteng. Begitu masuk diruangan
sembahyang, hidung mereka segera mengendus bebahuan sedap dari masakan daging kerbau.
Sudah matang! seru Gauw Liang
Saudara Thio, kau tunggu disini, kata Cie Tat. Kami akan membawa masakan itu kemari.
Boe Kie dan Poet Hwie segera duduk diatas tikar, sedang Coe Goan Ciang dan kawan2 nya
masuk kedalam. Beberapa saat kemudian, mereka kembali dengan membawa piring yang
penuh daging dan sepoci arak putih. Tanpa menyia2kan tempo, mereka segera makan minum
dengan gembira didepan patung Posat.
Kie Tako, kata Hoa In sambil mengunyah daging, peraturan agama kita semuanya bagus.
Hanya sayang ada larangan makan daging dan ini aku tidak begitu setuju.
Boe Kie terkejut. Ah! Kalau begitu mereka orang2 Bengkauw, katanya di dalam hati.
Tujuan dari agama kita adalah berbuat kebaikan dan membasmi kejahatan, kata Cie Tat.
Larangan makan daging hanya merupakan larang yg terakhir. Sekarang ini tak ada beras dan
ak ada sayur, apa kita lebih baik mati kelaparan?
Cie Taoko benar! kata Teng Jie sambil menepuk lutut. Hayo makanlah sepuas hatimu jangan
terlalu rewel.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 503
Selagi enak makan tiba2 terdengar tindakan kaki dan pintu depan digedor, Thong Ho
melompat bangun, Celaka! Orang uta Wang gwee datang mencari kerbau, bisiknya.
Pintu didorong keras2 dan disusul dengan masuknya yang berbadan keras dan muka bengis
Aha! Benar saja kerbau Wang gwee digegares kamu! Teriak seseorang melompat dan
menyekel tangan Coe Goan Ciang.
Pendeta bangsat! cacai yg satunya lagi Kami akan menyerahkan kamu kepada tiekoan supaya
dihajar mampus.
Coe Goan Ciang tertawa. Kalian jangan menuduh sembarangan, katanya. Mana bisa jadi aku
mencuri kerbau? Sebagai seorang pertapaan aku tak boleh makan daging.
Apa itu bukan daging kerbau? bentak seorang sambil menuding sisa makanan.
Sambil memberi isyarat kepada kawan2nya dengan lirikan mata, Coe Goan Ciang tertawa
pula seraya berkata. Siapa kata itu daging kerbau. Selagi si pendeta memberi jawaban Gouw
Liang dan Gouw Tin berjalan kebelakang kedua tukang pacul itu dan dengan sekali
membentak, mereka melompat mencekal tangan kedua orang itu, yg tidak dapat berkutik lagi.
Sambil mencabut pisau panjang dari pinggangnya, si pendeta berkata, Untuk bicara
sebenar2nya, yg dimakan kami bukan daging kerbau, tapi daging manusia. Sekarang rahasia
sudah diketahui kamu. Maka itu, untuk menutup mulut kamu, jalan satu2nya ialah makan jg
dagingmu, sehabis berkata begitu, ia membuka baju salah seorang dan menggorehkan
pisaunya didada orang.
Kedua tukang pukul itu ketakutan setengah mati dan lalu me-mohon2 ampun. Si pendeta
bersenyum. Ia menjemput dua potong daging dan lalu memasukkan kedalam mulut mereka.
Telan! bentaknya. Tanpa mengunyah lagi, mereka segera menelannya.
Sesudah itu Coe Goan Ciang pergi ke dapur dan mengambil secekel bulu kerbau yg juga lalu
dimasukkan kedalam mulut kedua tukang pukul itu, Telan! bentaknya pula. Karena takut
mati, sambil berjengit2 mereka terpaksa menurut perintah.
Goan Ciang tertawa terbahak2. Nah sekarang kamu boleh mengadu kepada majikanmu.
Katanya. Kamu boleh melaporkan, bahwa yg gegaras kerbanya yalah kamu. Huh huh!...
dihadapan pembesar negeri, aku akan balas menuduh kau. Aku akan menuntut supaya
perutmu dibelek. Semua orang akan lihat, bahwa kamu bukan saja sudah gegares dagingnya,
tp jg sudah menelan bulu kerbau! Seraya berkata begitu, ia menggoreskan pula pisaunya
dipunggung orang itu yg menggigil karena ketakutan.
Kedua saudara Gouw tertawa berkakakan. Dengan berbareng mereka menendang pantat,
kedua tukang pukul itu yang lantas saja terpental keluar dari ruangan sembahyang.
Setelah kaki tangan Thio Wan-gwe diusir, mereka melanjutkan makan minum. Sambil
menangsal perut, mereka membicarakan kekejamanan hartwan itu yang sering sekali berbuat
sewenang2 terhadap penduduk kampung. Kali ini kedua tukang pukul itu membentur tembok
dan mereka pasti tidak berani memberi laporan kepada majikannya. Boe Kie merasa geli dan
kagum. Biarpun mukanya jelek, pendeta she Coe itu lihay sekali, pikirnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 504
Dalam makan minum itu, kawan2 Cie Tat memperlakukan Bie Kie bukan seperti anak2 biasa.
Setelah mendengar kesatriaan si-bocah yang rela mengorbankan jiwanya sendiri untuk
menolong sesama manusia, mereka menghormati anak itu yg dianggapnya sebagai seorang
sahabat yg berharga.
Sesudah makan kenyang, tiba2 Teng Ji menghela napas. Hai! Sudah lama sekali bangsa Han
ditindas oleh penjajah asing, katanya.
Sampai kapan bencana kelaparan ini baru bisa lewat?
Hampir separuh penduduk Hong yang sudah mati kelaparan, kata Hoa In. Kurasa dilain
tempat pun keadaan tidak lebih baik. Daripada mati konyol, lebih baik kita mengadu jiwa
dengan Pat-coe, (Pat coe Orang Mongol yang pada waktu itu berkuasa di Tiongkok).
Benar! teriak Cie Tat. Sungguh kecewa jika sebagai laki2 sejati tidak bisa menolong sesama
manusia yg memerlukan pertolongan.
Tak salah, menyambungi Tong Ho. Kita pun tengah menghadapi kebinasaan. Hari ini kita
bisa makan kenyang karena berhasil mencuri kerbau. Apa besok kita bisa mencuri lagi?
Makin bicara mereka makin sengit dan makin hebat mencaci penjajah.
Sudahlah! kata Coe Cian Ciang. Kita mencaci Tat Coe disini, tapi selembar rambut Tat Coe
tidan bergeming. Jika kau benar-benar lelaki tulen, mari kita membunuh Tat Coe!
Dengan serentak Thong Ho dan yang lain2 melompat bangun. Bagus! Mari ,mari..teriak
mereka.
Coe Taoko, Cie Tat Kau berusia paling tua dan semua bersedia untuk mendenar segala
perintahmu.
Coa Cian Ciang tidak menolak, Mulai hari ini kita sama2 hidup dan sama2 mati, katanya. Ada
rejiki sama2 makan ada bahaya sama2 tanggung. Mereka mengangkat cawan lalu meneguk
kering isinya. Sesudah itu, mereka menghunus golok membacok ujung meja sebagai sumpah
setia kawan.
Poei Hwei yg tak tahu apa artinya itu semua, jadi ketakutan dan memeluk Boe Kie.
Thay soehoe memesan supaya aku tidak bergaul dengan orang2 Beng Kauw, kata Boe Kie
dalam hati. Tetapi perbuatan beberapa orang Beng Kauw seperti Siang Goe Goen Taoko, Cie
Taoko dan kawan2nya, banyak lebih mulia daripada sepak terjang manusi2 seperti Kan Ciat
dan Sie Kong Wan yang menjadi anggota dari partai2 jurus bersih. Thio Sam Hong adalah
orang yang paling dihormatinya. Tapi sekarang sesudah mendapat pengalaman pahit getir,
didalam hati kecilnya ia merasa, bahwa pandangan orang tua itu tidak tepat seluruhnya. Tapi
biar bagaimana jua, aku tidak dapat melanggar pesanan Thay soehoe, pikirnya.
Seseorang gagah tidak menjilat ludah sendiri. Kata Coe Coan Ciang. Sekarang sesudah makan
kenyang, kita boleh lantas bertindak. Hari ini Thio Wan gwee mengadakan pesta dalam
gedungnya untuk menjamu Tat-coe. Mari kita binasakan mereka!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 505
Bagus! teriak kawan2nya
Tahan dulu! kata Cie Tat yang lalu menggambil keranjang kecil dan mengisinya dengan
daging kerbau. Kemudian sambil mengangsurkan keranjang itu kepada Boe Kie, ia berkata
Saudara Thio, kau masih terlalu kecil dan tidak bisa mengikuti kami. Kami tak punya apapun
jua dan hanya memberikan daging ini kepada kalian. Kalau masih hidup, dibelakangan hari
kita masih bisa bertemu pula dan bisa makan minum lagi bersama sama seperti hari ini.
Boe Kie menyambuti keranjang itu dan berkata dengan suara terharu.
Aku mengharapkan kalian bisa segera berhasil membinasakan dan mengusir semua Tat Coe,
supaya rakyat dikolong dunia bisa hidup senang.
Mendengar perkataan itu, Coe Goan Ciang dan kawan2nya merasa terkejut.
Saudara Thio apa yang dikatakan olehmu benar sekali, kata pendeta itu.
Sampai bertemu lagi, sehabis berkata begitu, dengan menenteng senjata bersama lawan2nya,
ia segera meninggalkan Hong-kak-sie.
Kalau tidak membwa anak kecil, akupun akan turut mereka, kata Boe Kie didalam hati.
Mereka hanya bertujuh orang dan mereka pasti tak kan bisa melawan kaki tangan Thio Wan
Geew Tat Coe yang berjumlah besar. Mungkin sekali orang2 Thio wan Geew akan
menyerang kesini. Kelenteng ini akan berbahaya, memikir begitu dengan membawa
keranjang daging dan menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meninggalkan kelenteng Hong
Kak Sie.
Sesudah jalan lima enam lie, disebelah utara mereka melihat sinar api yang berkobar kobar
Boe Kie mengerti bahwa kebakaran itu akibat serangan Coe Gian Ciang dan kawan2nya dan
ia merasa girang.
Penderita kedua anak itu suka ditutukan satu persatu. Untung juga mungkin karena kedua
orangtuanya adalah ahli2 silat, Poet Hwie mempunya benda yang kuat sehingga ia dapat
bertahan dalam perjalanan yang penuh kesengsaraan itu. Kadang2 ia masuk angin tapi begitu
diberi obat, yaitu rambut2 yg dipetik Boe Kie, ia sudah sembuh kembali.
Dengan berjalan sambil sebentar2 berhenti untuk mengaso, didalam suatu hari paling banyak
mereka bisa melalu duapuluh li. Kira2 setengah bulan barulah mereka tiba di wilayah propinsi
Ho Lam, yang keadaannya tidak lebih baik dari propinsi Anhoei. Diamna mana mereka
bertemu dnegan rakyat yg kelaparan.
Untuk menyambung jiwa Boe Kie membuat busur dan anak panah guna memanah burung2
dan binatang2 kecil. Dengan mengandalkan ilmu silatnyam, ia berhasil dalam usaanya itu.
Demikianlah, biarpun sengsara mereka masih bisa maju teus sehari kenyang,s ehari lapar.
Syukur juga, disepanjang jalan mereka tidak pernah bertemu dengan tentara Mongol atau
penjahat2 yg berkepandaian tinggi. Bangsat2 kecil yang mau coba menggangu dengan mudah
dapat dirobohkan oleh Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 506
Pada suatu hari mereka bertemu dengan seorang kakek dan dalam omong2 Boe Kie
menanyakan dimana letaknya puncah Co Bong Hong, gunung Koen Lun San.
Kakek itu kelihatannya kaget sekali. Dengan mata membelah ia mengawasi Boe Kie dan
beberapa saat kemudia, barulah ia berkata, Saudara kecil, dair sini ke Koen Loen San orang
harus melewati perjalanan lebih dari sepuluh laksa li. Menurut katanya orang, hanya Tong
Ceng (Tong taycie) yang pernah melewati gunung itu. Saudara kecil jangan kau memikir yang
tidak2. Dimana rumahmu? Lekas pulang!
Boe Kie terkejut. Kalau begitu jauh, aku terpaksa membatalkan perjalanan kesitu dan paling
baik aku pergi ke Boe-Tong san untuk berdiam2 dengan Thay soehoe, katanya didalam hati.
Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran lain. Sesudah menerima baik permintaan orang, biarpun
sukar, tak bisa aku mundur ditengah jalan. Apapula waktu hidupku sudah tidak berapa lama
lagi. Jika aku berayal dan kuburu mati, sehingga aku tak dapat memenuhi janji di alam baka,
tak ada muka untuk menemu Kie KouwKouw. Memikir begitu, tanpa bicara lagi dengan si
kakek, ia menarik tangan Poet Hwie dan lalu meneruskan perjalanan.
Sesudah berjalan kurang lebih dua puluh haru lagi, pakaian mereka sudah rombeng semua.
Sebab kurang makan, muka mereka makin pucal dan badan makin kuru. Penderitaan Boe Kie
bahkan ditambah dengan rewelnya si adik yang sering2 menangis dan memanggil2 ibunya.
Dengan rupa2 akal, ia membujuk anak itu yg dicintainya seperti saudara kandung sendiri.
Sesudah menyeberang sungai Coe ma ho, bahwa udara jadi semakin dingin, karena pada
wkatuitu sudah masuk permulaan musim dingin. Dengah hanya menggenakan pakaian tipis,
terutama diwaktu malam, mereka serin gmenggigil kedinginan. Satu ketuika, sebab melihat
Poet Hwie bergemetaran hebat, Boe Kie membuka bajunya dna memberikannya kepada si
adik.
Boe Kie koko, apa kau sendiri tidak dingin? tanya Poet Hwie.
Tidak aku malah kepanasan. Jawabnya sambil melompat2 supaya darah mengalir lebih cepat
dan badannya jadi lebih hangat.
Kau sungguh baik! kata si adik dengan suara perlahan. Kau sendiri kedinginan, tapi kau
menyerahkan bajumu kepadaku. Mendengar perkataan itu, gerakan dari seorang dewasa, Boe
Kie tercengang.
Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bentrokan senjata, dengan suara tindakan kaki. Bangsat!
teriak seorang wanita Kau kena paku Seng-boen-teng yang beracun, makin kau lari, makin
cepat bekerjanya racun.
Buru2 Boe Kie menarik tangan Poet Hwie dan melompat kedalam rumput alang2 yang
tumbuh di pinggir jalan. Hampir berbareng, seorang lelaki yg berusia tiga puluh tahun lewat
bagaikan terbang, sedang beberapa tombak di belakangnya mengikut seorang wanita ygn
tangannya mencekal sepasang golok., Walaupun larinya cepat, tindakan lelaki itu limbung
dan mendadak ia roboh terjengkang.
Wanita itu menghampiri dan berkata sambil tertawa. Bangsat! Akhirnya kau jatuh jg kedalam
tanganku.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 507
Sekonyong2 diluar dugaan, lelaku itu melompat bangun dan menghantan dengan dua
tangannya. Plak! pukulannya mengenai tepat di dada si wanita. Pukulan yg dikirim dengan
nekat hebat luar biasa, sehingga wanita itu lantas saja terguling, sedang sepasang goloknya
terlempar ditanah.
Dengan napas tersengal sengal, lelaki itu mencabut sebatang paku dari pundaknya. Keluarkan
obat pemunah! bentaknya.
Kau bunuh saja aku! kata si wanita. Ku tak punya obat pemunah.
Sambil menempelkan ujung golok, yg dicekal di tangan kiri, dileher wanita itu, lelaki itu lalu
menggeledah saku orang dengan tangan kanannya. Benar saja ia tak mendapatkan apa yg
dicarinya.
Wanita itu tertawa dingin, Waktu Soehoe memerintahkan kami untuk menangkap kau, ia telah
memberi senjata rahasia beracun, tapi tidak membekali obat pemunah, katanya. Sesudah jatuh
kedalam tanganmu, aku tak memikir untuk hidup. Tapi kaupun jangan harap bisa ketolongan.
Lelaki itu gusang tak kepalang. Dengan geregetan ia menancapkan Song-boen-teng beracun
di pundak orang dan membentak, Kau juga harus turut merasakan enaknya paku ini! Kamu,
orang2 Koen-loen-pay Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan roboh ditanah.
Wanita itu mencoba merangkak bangun, tapi lukanya terlalu hebat dan uah! ia memuntahkan
darah.
Demikianlah kedua musuh itu, yang sama2 terluka berat, rebah dengan napas memburu.
Sesusah mendapat pengalaman pahit dair manusia2 seperti Kan Ciat dan kawan2nya, Boe Kie
sekarang sangat hati2 terhadap orang2 Kang-ouw. Ia terus menyembunyikan diri dan tak
berani keluar.
Sesaat kemudian, lelaki itu menghela napas dan berkata, Hari ini aku Souw Hie Cie binasa di
Coe-ma-tiam tanpa tahu apa kesalahan terhadap Koe Leon Pay. Celaka sungguh. Benar2 aku
mati penasaran. Ciam Kouw Nio, bolehkah aku memohon keteranganmu?
Wanita itu adalah seorang she Ciam bernama Coen. Ia tahu, bahwa paku Song-boen-teng dari
gurunya mengandung racun yang amat hebat dan mereka berdua akan binasa bersama sama.
Mengingat itu ia terduka sangat dan berkata dengan suara perlahan. Siapa suruh kau
mengintip waktu guruku sedang berlatih ilmu pedang. It pit kiam sangan dirahasiakan oleh
Soe Hoe. Jangankan orang luar sedangkan muridnya sendiri bisa dikorek kedua biji matanya,
kalau murid itu berani melihat latihannya tanpa permisi.
Ah! Souw Hie Cie mengeluarkan suara tertahan dan kemudian mencaci. Bangsat! Tua bangka
sudah mau mampus!
Kurang ajar kau! bentak Ciam Coen, Sedang ajalmu sudah hampir tiba, kau masih berani
mencaci guruku.
Kalau aku mau mencaci, mau apa kau? kata Hie Cie dengan gusar. Apakah aku tidak
mempunyai alasan untuk merasa penasaran? Waktu lewat di Pek-goe-san, secara tidak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 508
sengaja, kulihat gurumu sedang bersilat dengan menggunakan pedang. Sebab merasa ketarik,
aku berhenti dan menonton. Apakah aku mempunyai kepintaran yang luar biasa, sehingga
sekali melihat aku sudah bisa memahami Leong heng It pit kiam? Andaikata aku memiliki
kecerdasan yang begitu tinggi, kamu semua beberapa murid Koen leon pay, sudah pasti
takkan bisa mengalahkan aku. Ciam Kow nio, aku ingin memberitahukan kau secara
terang2an, bahwa menurut pendapatku, gurumu, Thie kim Sian seng adalah manusia yang
pandangannya terlalu sempit dan jiwanya terlampau kecil. Andaikata ciam Kouwnio,
andaikata benar aku sudah berhasil mencuri satu dua jurus dari Liong heng It pit kiam,
kedosaanku tidaklah begitu besar, sehingga aku mesti menerima hukuman mati.
Ciam Coen tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Dalam hati kecilnya, ia pun merasa, bahwa
sang guru terlalu kecil jiwanya. Begitu lekas mengetahui, bahwa pemuda itu telah mencuri
lihat latihannya, ia segera memerintahan enam muridnya, untuk mengubui dan membinasakan
pencuri itu, sehingga sebagai akibatnya mereka berdua menghadapi kebinasaan bersama
sama. Cian coen yakin, bahwa pengakuan pemuda itu yang diberikan pada saat hampir
menghembuskan napas yang penghabisan, sudah pasti bukan keterangan justa.
Suaw Hie Cie menghela napas dan berkata lagi. Dia telah memberikan senjata rahasia beracun
kepadamu, tapi tidak membekali obat pemunahnya. Dalam rimba persilatan, mana ada orang
begitu gila? Bangsat.
Souw Toako, kata Ciam Coen dengan suara halus, Siaow moay merasa menyesal, bahwa
siauw moay telah mencelakakan kau. Bagus juga sebagai hukuman siaw moay akan
mengantar kau pulang ke alam baqa. Inilah yang dinamakan nasib. Apakah yang siauw moay
merasa lebih menyesal ialah dalam peristiwa ini, siauw moay menyeret toaso dan putra
putrimu.
Istriku sudah menutup mata pada dua tahun berselang dengan meninggalkan dua anak, satu
laku dan satu perempuan, kata Souw Hie Cie. Besok mereka akan jadi anak yatim piatu
Apakah dirumahmu masih ada orang lain yang bisa merawat anak2 itu? tanya nona Ciam.
Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku istri kakak lelaki). Jawabnya. Nao hebat adanya dan licik
sifatnya., Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai besok kedua
anakku itu akan sangat menderita.
Ciam Coen yang berhati lembek lantas saja mengucurkan airmata. Ini semua adalah karea
gara2ku katanya dengan suara parau.
Tapi kau tidak boleh disalahkan, kata Hie Cie. Kau telah menerima perintah gurumu dan kau
tidak dapat menolak perintah itu. Kaupun tidka mempunyai permusuhan apapun jg denganku.
Sebenar2nya, sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu apa aku
memukul kau dan juga melukakan kau dengan senjata beracun? Andai kata aku tidak berbuat
begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu tidak nolong melihat2 kedua anakku
yang bernasib buruk itu.
Nona Ciam tertawa getir. Aku adalah penjahat yang membinasakan kau, katanya. Bagaimana
kau bisa menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?
Aku tidak menyalahkan kau, benar2 akut tidak menyalahkan kau, kata Hie Cie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 509
Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian dan saling berusaha untuk mengambil
jiwa pihak lawan, sekarang saling menghibur!
Sesudah mendengar pembicaraan itu, Boe Kie merasa bahwa mereka bukan manusia jahat.
Dalam hatiny lantas saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie yang
mempunyai dua anak yang masih mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri
sebagai yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik tangan Poet Hie ia
segera bertindak keluar dari alang2.
Andai aku bisa memutar kembali
Waktu yang telah berjalan
Tuk kembali bersama didirimu selamanya
Bukan maksud hati membawa dirimu
Masuk terlalu jauh
Ke dalam kisah cinta yang tak mungkin terjadi
Dan aku tak punya hati untuk menyakiti dirimu
Dan aku tak punya hati tuk mencintai
Dirimu yang selalu mencintai diriku
Walau kau tahu diriku masih bersamanya
Apakah yang Siauw Moay merasa lebih menyesal ialah dalam peristiwa ini, Siauw Moay
menyeret toaso dan putra putrimu.
Isteriku sudha menutup mata pada dua tahun berselang dengan meninggalkan dua anak, satu
lelaki dan stu perempuan, kata Souw Hie Cie. Besok, mereka akan jadi anak yatim piatu.
Apakah di rumahmu masih ada orang lain yang bisa merawat anak-anak itu? tanya nona
Ciam.
Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku isteri kakak lelaki), jawabnya. Nso hebat adatnya dan licik
sifatnya. Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai besok kedua anakku
itu akan sangat menderita.
Ciam Coen yang berhati lembek lantas saja mengucurkan air mata. Ini semua adalah karena
gara-garaku katanya dengan suara parau.
Tapi kau tidak boleh disalahkan, kata Hie Cie. Kau telah menerima perintah gurumu dan kau
tidak dapat menolak perintah itu. Kaupun tidak mempunyai permusuhan apapun juga
denganku. Sebenar-benarnya, sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu
apa aku memukul kau dan juga melakukan kau dengan senjata beracun? Andai kata aku tidak
berbuat begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu bisa nolong melihat-lihat kedua
anakku yang bernasib buruk itu.
Nona Ciam tertawa getir. Aku adalah penjahat yang membinasakan kau, katanya. Bagaimana
kau bisa menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?
Aku tidak menyalahkan kau, benar-benar aku tidak menyalahkan kau, kata Hie Cie.
Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian dan saling berusaha untuk mengambil
jiwa pihak lawan, sekarang saling menghibur!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 510
Sesudah mendengar pembicaraan itu, Boe Kie merasa bahwa mereka bukan manusia jahat.
Dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie yang
mempunyai dua orang anak yang masih mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya
sendiri sebagai anak yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik tangan
Poet Hie ia segera bertindak keluar dari alang-alang.
Cian Kouwhio, racun apa yang digunakan pada senjata rahasia itu? tanyanya.
Melihat munculnya kedua anak itu, Hie Cie dan Ciam Coen merasa heran. Dan mendengar
pertanyaan Boe Kie, mereka jadi lebih heran lagi. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan dan
luka kalian mungkin sekali bukan tidak dapat diobati, kata pula Boe Kie.
Akupun tak tahu racun apa yang digunakan, jawab nona Ciam. Lukanya tidak sakit, tapi gatal
bukan main. Menurut katanya Soehoe, orang yang kena Soeng-boen teng hanya bisa hidup
dalam tempo empat jam.
Bolehkah aku periksa luka kalian? tanya Boe Kie.
Tapi manakah mereka percaya bocah itu bisa mengobati luka beracun? Dengan pakaian
robek, badan kurus kering dan muka pucat Boe Kie dan Poet Hwie kelihatannya seperti
pengemis kecil. Sudahlah, kau jangan rewel. Pergilah! Jangan mengganggu kami.
Boe Kie tidka meladeni. Ia menjemput paku Soen-boen teng dari atas tanah dan mengendus
bau harum dari serupa bunga anggrek.
Dalam hari-hari yang belakangan setiap mempunyai tempo yang luang, Boe Kie selalu
membaca dan mempelajari Tok-boet Tay coan peninggalan Ong Lan Kouw. Dalam kitab itu
berisi keterangan lengkap mengenai ribuan macam racun itu yang aneh-aneh dan cara
mengobatinya. Maka itulah begitu mengendus bau racun itu, ia segera mengetahui bahwa
yang melekat pada paku Song-boen teng adalah racun bunga To-lo hijau. Bau bunga itu
sebenarnya berbau amis sehingga orang dapat memakannya sebanyak mungkin tanpa bahaya
apapun jua. Tapi begitu lekas bercampur darah, peti bunga itu lantas saja berubah menjadi
racun yang sangat hebat, sedang baunya yang amis juga berubah menjadi harum. Inilah racun
bunga To-lo hijau, kata Boe Kie.
Ciam Coen memang tidak tahu racun apa yang digunakan pada paku itu, tapi ia tahu, bahwa
dalam taman bunga gurunya ditanam banyak sekali pohon bunga To-lo hijau.
Eh, bagaimana kau tahu? tanyanya dengan heran. Bunga To-lo hijau adalah tumbuhtuimbuhan
yang langka dan hanya terdapat di wilayah Barat (See-hek). Di daerah Tionggoan
sebegitu jauh belum pernah terdapat pohon bunga tersebut.
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. Aku tahu katanya sambil menarik tangan Poet
Hwie dan berkata pula. Hayolah, kita pergi.
Saudara kecil, kata nona Ciam cepat. Jika kau bisa mengobati, tolonglah jiwa kami berdua.
Boe Kie memang ingin menolong, tapi mendadak ia ingat perbuatan Kan Ciat dan Sie Kong
Wan, sehingga ia mengambil keputusan untuk membatalkan niatnya itu.
Tuan kecil, kata Souw Hie Cie, Mataku tidak berbiji dan aku tidak bisa mengenali seorang
pandai. Kuharap kau sudi memaafkan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 511
Baiklah! kata Boe Kie. Aku akan mencoba-coba. Seraya berkata begitu ia menotok jalan
darah Tan-tiong-hiat di iga kiri dan kanan untuk meringankan rasa sakitnya Ciam Coen
dibagian dada akibat pukulan Souw Hie CIe. Bunga To-lo hijau baru menjadi racun kalau
bercampur dengan darah, menerangkan Boe Kie. Sekarang aku minta kalian saling menghisap
luka itu untuk membuang racun yang sudah bercampur dengan darah.
Hie Cie dan Ciam Coen merasa jengah. Tapi untuk menolong jiwa, mereka segera
menyampingkan perasaan malu dan lalu melakukan apa yang dikatakan si bocah.
Sementara itu, Boe Kie sendiri lalu mencari tiga macam daun obat yang lalu dihancurkan dan
diborehi diluka itu. Tiga macam rumput ini dapat menahan bekerjanya racun, ia menerangkan.
Sekarang mari kita pergi ke kota untuk mencari rumah obat. Aku akan menulis surat obat
guna menyembuhkan luka kalian.
Souw Hie Cie dan Ciam Coen girang tak kepalang. Begitu diborehi daun obat, luka mereka
yang semula gatal bukan main, lantas saja adem rasanya dan kaki tangan mereka pun tidak
begitu kaku lagi dan dapat digerakkan. Tak henti-hentinya mereka menghaturkan terima
kasih. Mereka segera mematahkan ranting pohon dan dengan menggunakannya sebagai
tongkat, mereka berjalan kejurusan barat dengan mengajak Boe Kie dan Poet Hwie.
Sambil berjalan Ciam Coen menanya siapa guru Boe Kie, tetapi si bocah sungkan
memberitahukan dan mengatakan saja, bahwa sedari kecil ia memang sudah mengerti ilmu
pengobatan. Sesudah berjalan satu jam lebih, mereka tiba di kota See-ho-tiam dan sesudah
mendapat kamar di rumah penginapan, Boe Kie lalu menulis surat obat dan menyuruh
seorang pelayan untuk membelinya.
Tahun itu daerah Holam barat tidak kena bencana kelaparan dan keadaan kota See-ho-tiam
masih seperti biasa. Sesudah obat dibeli, Boe Kie lalu memasaknya dan memberikannya
kepada Souw Hie Cie dan Ciam Coen. Tiga hari menginap dalam penginapan itu dan setiap
hari si bocah menukar obat. Obat makan dan obat pakai. Pada hari keempat semua racun yang
mengeram dalam tubuh Hie Cie dan Ciam Coen sudah dapat diusir.
Tentu saja mereka merasa sangat berterima kasih. Mereka menanyakan ke mana kedua anak
itu mau pergi dan Boe Kie lalu memberitahukann bahwa tujuan mereka adalah puncak Coebong
heng di pegunungan Koen-loen-san.
Souw Toako, kata si nona. Jiwa kita ditolong oleh saudara kecil ini. Ta[o urusanmu masih
belum dapat diselesaikan. Kelima kakak seperguruanku masih terus mencari-cari kau dan
kalau bertemu dengan mereka, kau bisa celaka. Apakah kau suka mengikut aku pergi ke
Koen-loen-san?
Hie Cie kaget. Ke Koen-loen-san? ia menegas.
Benar, jawabnya. Kita berdua menemui guruku dan memberitahukan, bahwa kau tidak
mencuri ilmu pdang Liung heng It-pit-kiam, sejuruspun kau tidka mampu. Dalam urusan ini
sebegitu lama guruku belum menyudahi, jiwamu selalu masih berada dalam bahaya.
Hie Cie merasa sangat mendongkol. Koen-loen-pay terlalu menghina orang, katanya. Secara
kebetulan aku hanya melihat gurumu bersilat untuk sekejap mata, tapi untuk kesalahan yang
sebenarnya bukan kesalahan hampir-hampir jiwaku melayang. Ah! Benar-benar keterlaluan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 512
Souw Toako, kata nona Ciam dnegan suara lemah lembut. Cobalah kau piker kesukaran
Siauw Moay dalam hal ini. Kalau kau saja yang memberitahukan Soehoe pasti tak percaya
dan Siauw Moay akan mendapat hukuman. SIauw Moay dihukum tak menjadi soal. Tapi jika
kelima saudara seperguruanku sampai salah tangan dan mencelakakanmu8, Siauw Moay tentu
akan merasa tidak enak sekali.
Sesudah menghadapi kematian bersama-sama dan setelah bergaul beberapa hari, dalam hati
kedua orang muda itu sudah timbul perasaan yang wajar, yaitu perasaan cinta. Mendengar
bujukan si nona yang sangat beralasan, kegusaran Hie Cie lantas saja mereda. Di dalam hati
iapun mengakui kebenaran perkataan Ciam Coen. Sebegitu lama persoalan ini belum dapat
diselesaikan langsung dengan Thie Khim Sianseng, sebegitu lama jiwanya terancam bahaya.
Melihat Hie Cie masih membungkam, nona Ciam berkata pula. Begini saja. Sekarang kau ikut
aku ke Kun lun san. Sesudah itu, jika kau mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan,
Siauw Moay akan menemani kau untuk membereskannya. Bagaimana pikiranmu?
Hie Cie jadi girang. Baiklah, katanya. Tapi apakah gurumu akan percaya keteranganku?
Soehoe sangat menyayang aku, jawab si nona. Kalau aku memohon, ia pasti takkan
mencelakakan kau.
Mendengar perkataan-perkataan nona Ciam, Hie Cie segera mengetahui, bahwa gadis itu
sudha jatuh cinta kepadanya. Diam-diam ia bergirang dan merasa sangat beruntung. Ia
berpaling kepada Boe Kie seraya berkata, Saudara kecil, mari kita ke Koen loen san beramairamai.
Di jalan kita takkan merasa kesepian.
Koen loen san ribuan mil panjangnya dengan puncak-puncak yang tak terhitung beberapa
banyaknya, kata Ciam Coen. Aku sendiri tak tahu di mana letak Coe-bong-heng. Tapi kita
bisa menyelidiki perlahan-lahan dan aku merasa pasti, kita akan dapat menemukannya.
Pada keesokan harinya, Hie Cie menyewa sebuah kereta untuk Boe Kie dan Poet Hwie sedang
ia sendiri bersama nona Ciam mengikuti dengan menunggang kuda. Setibanya di sebuah kota
besar, Ciam Coen membeli pakaian baru untuk kedua anak itu. Sesudah menukar pakaian
yang pantas, Boe Kie berubah menjadi seorang anak tanggung yang berparas tampan dan
angker, Poet Hwie seorang gadis cilik yang ayu dan jelita. Sesudah dapat makan dan ngaso
cukup, perlahan-lahan badan mereka menjadi lebih gemuk.
Makin hari hawa udara makin dingin. Dengan melindungi Hie Cie dan Ciam Coen, perjalanan
berlangsung dengan licin, tanpa menemui halangan apapun jua. Sesudah tiba di Seek hek
Koen-loen yang besar dan angker itu berada di depan mata. Mereka berjalan terus dengna
banyak derita, karena harus melalui gurun pasir dalam hawa udara yang sangat dingin.
Pada suatu hari, mereka tiba di Sam seng youw (Lembah tiga malaikat) dari Koen loen san.
Begitu masuk di dalam lembah, mereka melihat pohon-pohon luar biasa dan mengendus bau
harum yang tak kurang anehnya. Souw Hie Cie, Boe Kie dan Poet Hwie merasa kagum bukan
main. Mereka tak pernah menduga, bahwa di lembah itu terdapat pemandangan yang
sedemikian indah seolah-olah di dalam surga. Di samping itu, hawanyapun tak begitu dingin,
karena gunung-gunung yang mengitarinya menahan masuknya hawa dingin.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 513
Dahulu, pendiri Koe-loen pay yaitu Ciok Too yang bergelar Koen-loen Sam-seng telah
menggunakan tempo bertahun-tahun untuk memperindah lembah itu yang belakangan dikenal
sebagai Sam-seng youw. Ia memerintahkan murid-muridnya pergi ke berbagai tempat di
sebelah barat sampai di India untuk mencari pohon-pohon dan pohon-pohon bunga yang
aneh-aneh untuk ditanam di lembah tersebut.
Sesudah melewati lembah tersebut Ciam Coen lalu mengajak mereka ke Thia khimkie tempat
tinggalnya Thiem khim Sianseng Ho Thay Ciong. Begitu masuk, ia bertemu dengan beberapa
saudara seperguruan yang paras mukanya mengunuk rasa bingung dan ketakutan. Mereka
mengunjuk dan tak mengeluarkan sepatah kata Ciam Coen kaget. Ada apa? tanyanya dalam
hati.
Sambil menarik tangannya seorang adik seperguruan ia bertanya. Apa Soehoe ada?
Sebelum Soemoay itu menjawab, ia sudah mendengar cacian gurunya yang memaki sambil
menepuk-nepuk meja. Semua tong nasi, teriaknya. Belum pernah ada pekerjaan yang diurus
beres oleh kamu?
Soehoe lagi keluar adatnya, bisik nona Ciam kepada Souw Hie Cie. Kita jangan nubruk paku.
Besok saja kita menjumpai beliau.
Tapi sebelum mereka keburu mengundurkan diri, tiba-tiba Ho Thay Ciong berseru. Apa
Coen-jie? Mengapa kau tidak lantas menghadap kepadaku? Ada apa kau kasak kusuk? Apa
kau sudah mengambil kepalanya bangsat Souw itu?
Paras muka Ciam Coen lantas saja berubah pucat. Buru-buru ia masuk dan berlutut di
hadapan gurunya.
Coen Jie, apakah kau sudha menunaikan tugasmu? tanya sang guru.
Orang she Souw itu sekarang berada di luar, jawabnya dengan suara gemetar. Dia sengaja
datang kemari untuk meminta ampun. Dia mengatakan bahwa dia seorang tolol dan secara
tidak sengaja dia sudah menonton waktu Soehoe berlatih. Tapi dia kata, kiamhoat kita sangat
tinggi, sehingga meskipun sudah melihatnya, dia tidak mendapat keuntungan jua dan setengah
juruspun tak dapat menirunya.
Sebagai seorang murid yang sudah lama berguru, Ciam Coen mengenal adapt sang Soehoe
yang merasa sangat bangga karena kepandaiannya sendiri. Oleh karena begitu, ia sengaja
mengemukakan rasa kagum Souw Hie Cie terhadap kiamhoat Koen-loen-pay. Si nona
mengharap supaya dalam girangnya dan sang guru akan mengampuni pemuda ini.
Dalam keadaan biasa, mungkin sekali Hou Thay Ciong akan menerima topi tinggi itu dengan
segala senang hati. Tapi hari itu ia sedang murung tak dapat digembirakan dengan pujian
belaka. Sambil mengeluarkan suara dihidung, ia berkata. Bagus! Kau telah bekerja baik
sekali. Penjarakan orang she Souw itu dalam kamar batu di gunung belakang. Aku akan
menjatuhkan hukuman belakangan.
Melihat gurunya sedang marah-marah, nona Ciam tidak berani banyak bicara. Baiklah,
katanya sesudah berdiam sejenak, ia bertanya. Apa para Soebo baik? Aku ingin pergi ke
belakang untuk memberi hormat. (Soebo-istrinya guru)
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 514
Ciam Coen sudah menggunakan istilah para Soebo karena Ho Thay Ciang mempunyai tak
kurang dari lima istri-gundik dan yang paling disayang olehnya adalah gundik yang kelima.
Untuk menolong jiwa Souw Hie Cie, si nona berniat pergi menemui Soebo kelima itu untuk
meminta pertolongan.
Di luar dugaan, begitu mendengar pertanyaan muridnya, paras Ho Thay Ciong lantas saja
berubah sedih dan sesudah menghela napas panjang ia berkata. Memang ada baiknya jika kau
pergi menemui Ngo-kouw. Dia sakit berat. Untung kau pulang siang-siang sehingga masih
keburu bertemu muka dengannya.
Nona Ciam terkejut. Ngo-kouw sakit? Sakit apa? tanyanya.
Sekali lagi sang guru menghela napas. Sungguh bagus kalau kutahu sakit apa, katanya.
Sudah tujuh tabib yang terkenal pandai di undang olehku, tapi tak satupun yang tahu dia sakit
apa. Sekujur badannya bengkakhai!.... Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi dengan
suara mendongkol. Aku mempunyai begitu banyak murid, tapi tak satupun yang berguna. Aku
memerintah mereka pergi ke gunung Tiang-pekpsan untuk mencari Loo-san Jie-som, tetapi
sesudah pergi dua bulan, seorangpun belum pulang. Aku menyuruh mereka pergi mencari
Soat-lian. Sie ouw dan lain-lain obat penolong jiwa semua kembali dengan tangan kosong.
Ciam Coen mengerti bahwa sang guru mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk melampiaskan
kedongkolannya. Untuk pergi ke Tiang pek san, orang harus melalui perjalanan berlaksa li.
Mana bisa mereka pulang cepat-cepat? Andaikata mereka sudah tiba di gunung itu, belum
tentu mereka berhasil mencari Loo san Jie som. Mengenai Soat-lian, Sie-ouw dan lain-lain
obat mujijat, sekalipun dicari selama seratus tahun, belum tentu orang bisa berhasil. Memikir
begitu, ia rasa bingung dan berkuatir akan keselamatan Souw Hie Cie, Ho Thay Ciong
menyayangi gundiknya yang kelima seperti menyayangi jiwa sendiri. Kalau nyonya itu tidak
dapat disembuhkan, dia tentu akan menumplek kedongkolannya di atas kepala orang lain.
Tapi si nona tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Untuk sekian kalinya, Ho Thay Ciong menghela napas. Dengan menggunakan Lweekang aku
telah memeriksa pembuluh darahnya, tapi sedikitpun aku tidak menemui sesuatu yang luar
biasa katanya. Huh, huh! Kalau jiwa Ngo kouw tidak tertolong, aku akan memampuskan
semua tabib goblok dalam dunia ini!
Coba kutengok padanya, kata Ciam Coen.
Baiklah mari sama-sama, jawab sang guru.
Mereka lalu pergi ke kamar nyonya muda itu. Begitu masuk, si nona mengendus bau obatobatan
yang sangat keras. Ia menyingkap kelambu dan melihat Soebo rebah di ranjang dengan
muka seperti Tie Pat Kay (Siluman babi), matanya kecil dalam seolah tidak bisa dibuka lagi.
Napasnya tersengal-sengal bagaikan alat penutup api.
Ngo kouw adalah seorang wanita yang sangat cantik. Kalau tak cantik manakah Ho Thay
Ciong menyayanginya? Tapi sekarang mukanya seperti mukanya memedi yang menakuti.
Melihat begitu Ciam Coen juga menghela napas.
Panggil tabib-tabib goblok itu! bentak Ho Thay Ciong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 515
Seorang nenek yang menjadi pelayan dalam kamar si sakit, lantas saja keluar dan beberapa
saat kemudian, ia kembali bersama tujuh orang tabib yang masuk dengan diiringi suara
berkerincingnya rantai besi. Ternyata, mereka diikuti satu sama lain dengan rantai besi dan
dilihat dari muka mereka yang pucat pasi, mereka pasti sudah banyak menderita. Mereka
adalah tabib-tabib ternama di propinsi Soe-coan, In lam dan Kam siok, yang telah diundang,
dengan baik atau dengan paksa, oleh murid-muridnya Ho Thay Ciong. Tapi tak satupun dapat
menyembuhkan, gundik yang disayang itu. Bukan saja tak dapat menyembuhkan, bahkan
pendapat mereka mengenai sebab musebab penyakit itu pun berbeda. Ho Thay Ciong telah
mengancam bahwa jika Ngo kouw mati, ketujuh tabib-tabib goblok itu akan dikubur hiduphidup.
Mereka sudah memeras otak dan memberi macam-macam obat, tapi penyakit Ngo
kouw tidak jadi mendingan. Setiap kali memeriksa penyakit nyonya itu, mereka tidak habishabisnya
dan saling menyalahkan. Yang satu menuduh yang lain sebagai manusia goblok.
Kali ini tidak berbeda. Sesudah memeriksa nyonya itu, mereka segera tarik urat.
Ho Thay Ciong jadi gusar dan ia mencaci sambil berteriak-teriak.
Mendadak, serupa ingatan berkelabat dalam otak Ciam Coen. Soehoe, katanya, Dari Holam
teecoe membawa seorang tabib, yang biarpun usianya masih muda, kepandaiannya banyak
lebih tinggi daripada tabib-tabib itu.
Sang guru girang. Mengapa kau tidak memberitahukan terlebih siang, katanya tergesa-gesa.
Lekaslekas undang padanya.
Nona Ciam segera keluar dari kamar dan tak lama kemudian, ia kembali bersama Boe Kie.
Begitu melihat wajah Ho Thay Ciong, Boe Kie segera ingat bahwa orang tua itu adalah salah
seorang yang sudah turut merekan, sehingga kedua orang tuanya membunuh diri. Mengingat
peristiwa hebat itu, darahnya lantas saja naik.
Tapi Thie Kim Sianseng sendiri tentu saja tidak mengenalinya. Sesudah berselang beberapa
tahun, muka si bocah sudah banyak berubah. Dengan perasaan ia mengawasi Boe Kie yang
baru berusia kira-kira lima belas tahun. Rasa sangat itu bercampur juga dengna rasa
mndongkol karena si bocah bukan saja tidka menjalankan peradatan dengan berlutut, bahkan
sikapnya tawar dan agung-agungan. Tapi ia tidak menghiraukan semua itu. Apa dia tabib
yang dipujikan olehmu? tanyanya sambil mengawasi muridnya.
Benar, jawab si nona. Saudara kecil in mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Ho Thay Ciong mengeluarkan suara di hidung. Ia tak percaya.
Waktu teecoe kena racun bunga To-lo hijau saudara kecil inilah yang mengobati teecoe,
menerangkan Ciam Coen. Sekali ini sang guru terkesiap. Racun bunga To lo hijau adalah
racun yang sangat lihai menurut anggapannya, tanpa obat pemunah yang diberikan olehnya
sendiri, siapa yang kena pasti akan mati. Kalu benar bocah itu bisa memunahkan racun
tersebut ia benar-benar lihay. Maka dari itu, sambil menatap wajah Boe Kie, ia bertanya
dengan suara manis. Anak muda, benarkah kau bisa mengobati penyakit?
Mengingat nasib kedua orang tuanya, Boe Kie membenci si tua itu. Tapi pada hakekatnya ia
memiliki sifat-sifat mulia dan ia seorang yang mudah melupakan segala sakit hati. Kalau tidak
memiliki sifat yang baik itu, mana mau ia mengobati orang-orang seperti Kan Ciat dan Sie
Kong Wan? Ia merasa, bahwa Koen loen pay mempunyai andil sebagai partai yang turut
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 516
menjadi gara-gara dari kebinasaan orang tuanya. Tapi ia adalah seorang yang tidak bisa
menonton kebinasaan tanpa mengulurkan tangan. Maka itulah, ia sudah menolong Ciam
Coen, seorang murid Koen loen pay, dan Souw Hie Cie. Sekarang mendengar pertanyaan si
tua, meskipun hatinya gusar, ia manggutkan kepalanya.
Begitu masuk, ia mengendus bau luar biasa. Sesaat kemudian, ia merasa bau itu berubah-ubah
sebentar keras, sebentar hilang. Ia mendekati mengawasi muka si sakit dan memegang
nadinya. Mendadak ia mengeluarkan sebatang jarum emas yang lain ditusukkan di muka Ngo
kouw yang bengkak seperti labu.
Ho Thay Ciong terkejut. Bikin apa kau? bentaknya serta mengangsurkan tangan untuk
menjambret Boe Kie, tapi bocah itu sudah mencabut jarumnya. Ternyata bekas tusukan jarum
sama sekali tidak mengeluarkan darah atau cair. Boe Kie lalu mencium-cium jarum itu dan
manggut-manggutkan kepalanya. Sehingga dalam hati Thie Kim Sianseng timbul harapan
baru. Saudara saudara kecil, katanya. Apakah ada harapan? Bahwa sebagai seorang pemimpin
sebuah partai persilatan, ia sudah menggunakan istilah saudara kecil merupakan bukti, bahwa
ia berlaku hormat terhadap si bocah.
Tapi Boe Kie tidak menyahut. Sekonyong-konyong ia merangkak ke kolong ranjang dan
sesudah memeriksa kolong ranjang itu beberapa saat, barulah ia keluar lagi. Kemudian ia
membuka jendela dan mengawasi pohon-pohon bunga yang ditanam di dalam taman.
Mendadak ia melompat dan keluar dari jendela lalu berdiri tegak sambil memandang pohonpohon
di sekitarnya, seolah-olah ia sedang menikmati bunga-bunga yang beraneka warna dan
harum baunya.
Ho Thay Ciong mendongkol. Karena sangat mencintai gundiknya itu, maka ia sudah
memerintahkan muridnya untuk menanam pohon-pohon bunga yang luar biasa dan mahal
harganya di luar jendela kamar Ngo kouw. Sekarang, ia sedang mengharap-harap pertolongan
selekas mungkin, sebaliknya dari menolong, si tabib cilik membuang-buang waktu dengan
mengawasi pohon-pohon bunga itu. Bagaimana ia tak jadi mengeluh?
Sesudah berdiri beberapa lama, Boe Kie kembali manggut-manggutkan kepalanya, ia balik ke
kamar.
Penyakit itu masih dapat diobati, tapi aku tak sudi mengobatinya, katanya dengan suara kaku.
Ciam Kouwnio, aku mau pergi.
Saudara Thio, kumohon pertolonganmu, kata nona Ciam. Kalau kau bisa menolong Ngo
kouw, segenap anggota Koen loen pay, dari atas sampai di bawah, akan merasa sangat
berterima kasih. Saudara Thio, tolonglah.
Boe Kie menggelengkan kepalanya sambil menuding Ho Thay Ciong, ia berkata, Dia, Thie
Kim Sianseng, turut mengambil pada bagian waktu sejumlah manusia kejam memaksa kedua
orang tuaku membunuh diri. Perlu apa aku menolong jiwa gundiknya?
Ho Thay Ciong terkesiap. Saudara kecil, kau she apa? tanyanya. Siapa ayah dan ibumu?
Aku she Thio, jawabnya dengan suara tawar.
Mendiang ayahku adalah murid kelima dari Boe tong pay.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 517
Si tua jadi lebih kaget lagi. Baru sekarang ia tahu, bahwa anak tanggung itu puteranya Thio
Coei San. Buru-buru ia mencoba dan berkata.
Saudara Thio, pada waktu ayahmu masih hidup, aku bersahabat baik dengannya. Bahwa ia
telah membunuh diri sudah sangat mendukakan hatiku.
Setelah kedua orang tuamu meninggal dunia, beberapa kali Soehoe menangis. Ciam Coen
menambah dusta gurunya. Beliau sering mengatakan bahwa mendiang ayahmu adalah
sahabatnya yang paling akrab.
Boe Kie bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak. Tapi, sebagaimana telah dikatakan, ia
adalah seorang yang mudah melupakan sakit hati lama. Maka itu, lantas saja berkata, Hoe jin
(nyonya) bukan mendapat penyakit aneh. Ia kena racun dari Kim gin Hiat.
Ular Kim gin Hiat? tegas guru dan murid itu hampir berbarengan. Mereka kaget dan heran,
karena nama ular itu belum pernah didengar mereka.
Benar, jawabnya. Akupun belum pernah melihat ular itu. Aku menarik kesimpulan itu karena
muka Hoejin, lihatlah apa di situ terdapat luka gigitan yang sangat kecil.
Ho Thay Ciong buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuh Ngo kouw dan menarik
jari kakinya. Benar saja di setiap ujung jari kaki terdapat luka besar yang berwarna hitam.
Karena terlalu kecil, jika tidak diperhatikan, luka itu tidak kelihatan.
Melihat begitu, si tua tidak menyangsikan lagi kepandaian Boe Kie. Benar, benar, katanya,
Setiap ujung jari kakinya benar terluka. Saudara kecil kau sungguh pandai. Sesudah
mengetahui sebab musebab penyakit itu, saudara kecil pasti dapat menyembuhkannya.
Sesudah dia sembuh aku akan memberi hadiah yang besar. Ia berpaling kepada tujuh tabib
tolol itu dan membentak, Kamu semua manusia tolol! Tabib goblok!
Penyakit Hoejin memang luar biasa dan kita tak dapat menyalahkan mereka, kata Boe Kie,
Ho Sianseng biarkanlah mereka pulang saja!
Baik, baik, kata si tua. Sesudah saudara kecil berada di sini, memang perlu apa tabib-tabib
goblok itu berdiam lebih lama lagi? Coen jin, berikan seratus tail perak kepada setiap orang
dan suruh mereka pergi segera.
Ketujuh tabib itu girang bukan main dan sesudah menerima hadiah, cepat-cepat mereka
berlalu.
Coba suruh beberapa bujang menggeser ranjang Hoe jin, kata Boe Kie. Di bawah kaki ranjang
terdapat dua lubang kecil dan lubang itu adalah tempat keluar masuknya ular Kim gin Hiat.
Tanpa meminta bantuan lagi, Ho Thay Ciong segera mencekal kaki ranjang yang lalu
digesernya. Sesuai seperti yang dikatakan Boe Kie, di bawahnya terdapat lubang kecil.
Si tua girang bercampur gusar. Lekas ambil belirang dan api! teriaknya, Begitu dia keluar aku
akan cincang!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 518
Boe Kie menggoyangkan tangannya. Tak boleh, tak boleh begitu, katanya. Racun yang
mengeram di dalam badan Hoejin harus dipunahkan oelh ular itu juga. Kalau kau bunuh
Hoejin tak dapat disembuhkan lagi!
Oh begitu? kata si tua dengan rasa heran.
Mengapa begitu?
Ho Sianseng, terang si bocah sambil menunjuk taman bunga yang berada di luar jendela.
Penyakit Hoejin karena gara-gara delapan pot bunga anggrek Leng cie lan itu.
Leng cie lan? tegas Ho Thay Ciong.
Baru sekarang ia tahu, anggrek itu Leng cie lan namanya. Karna tahu aku suka menanam
bunga, seorang sahabat yang datang dari wilayah Barat, See hek, dan yang membawa delapan
pot bunga itu, sudah menghadiahkannya kepada aku. Bunga itu sangat indah dan harum.
Hm!...Aku tak tahu dia bibit penyakit.
Menurut katanya kitab ilmu ketabiban, Leng cie lan berubi, yang bentuknya bundar seperti
bola, warnanya merah api dan di dalam ubi itu terdapat racun yang sangat hebat, Boe Kie
melanjutkan keterangannya, Cobalah gali.
Ketika itu, semua Koen loen pay sudah tahu bahwa Boe Kie sedang coba mengobati penyakit
Ngo kouw yang luar biasa.
Murid-murid lelaki tidak berani masuk, tapi keenam murid perempuan sudah berada dalam
kamar itu. Begitu mendengar keterangan Boe Kie dua antaranya lantas saja mengambil
cangkul dan menggali sebuah pot. Benar saja ubi pohon anggrek itu bundar dan warnanya
merah. Karena tahu beracun, mereka tidak berani menyentuhnya.
Sekarang aku minta kalian menggali semua pohon anggrek itu dan taruh ubinya dalam sebuah
mangkok kayu, kata si bocah pula. Tambahkan delapan biji telur ayam dan semangkok darah
ayam. Pukul campuran itu sampai menjadi hancur. Tapi yang mengerjakannya harus berhatihati,
harus menjaga sampai campuran itu tidak mengenai kulit.
Ciam Coen bersama dua orang saudara seperguruannya lantas saja bertindak keluar untuk
melakukan apa yang diminta. Sesudah itu, Boe Kie minta juga dua buah bumbung bambu dan
sebatang tongkat bambu.
Tak lama kemudian, ubi Leng cie land an campurannya sudah dipukul menjadi cairan kental.
Boe Kie segera menuang cairan itu di lantai dan membuat sebuah lingkaran. Pada lingkaran
itu ditinggalkan sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua dim. Sambil mengawasi semua
orang, ia berkata, Kalau sebentar terjadi kejadian luar biasa, kuharap kalian jangan bersuara
supaya ular itu tidak menjadi kaget dan menggigit kalian. Harap kalian menutup hidung
dengan kapas. Semua orang lantas saja menuntut, sedang racun lalu menutup hidungnya
dengan sedikit kapas.
Sesudah itu, ia mengambil api dan membakar daun-daun Ling cie lan di samping lubang.
Kira-kira minuman teh, dari lubang sebelah kiri keluar seekor ular yang badannya merah dan
di kepalanya terdapat semacam topi daging yang berwarna emas. Ular itu ternyata mempunyai
empat kaki dan panjang badannya kira-kira delapan dim. Baru saja Kim koan Hiat coa (ular
darah topi emas) keluar, dari lubang sebelah kanan kembali muncul seekor ular lain yang
badannya lebih pendek dan topi dagingnya berwarna perak. Ular yang belakangan dinamakan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 519
Gin koan Hiat coa, ular darah topi perak. Sepasang ular itu dinamakan Kim gin Hiat coa yaitu
ular darah emas perak.
Sambil menahan napas, Ho Thay Ciong dan murid-muridnya mengawasi kedua binatang itu.
Mereka tahu, bahwa kalau ular-ular itu sampai lari, penyakit Nog kouw sukar disembuhkan
lagi.
Jilid 28_____________
Kedua ular itu saling mendekati dan mengeluarkan lidah mereka, yang bertopi emas menjilat
punggung ular yang bertopi perak, sedang yang bertopi perakpun menjilat punggung yang
bertopi emas. Sambil menunjukkan sikap saling mencintai itu. Perlahan-lahan mereka saling
mendekati lingkaran.Buru2 Boe Kie memasang kedua bumbung bambu dilubang lingkaran
dan dengan tongkat bambu, ia menggebrak buntut Gin-koan Hiat-coa. Sekali berkelebat ular
itu sudah masuk kedalam bumbung. Kim-koan Hiat-coa masuk ikut masuk, tapi karena
bumbung itu kecil, dan hanya memuat seekor ular dia tidak berhasil. Tiba2 ia mengeluarkan
suara nyaring luar biasa. Boe Kie segera mencekal bumbung yang lain dan menggebrak pula
buntut si topi emas yang sekali lompat, sudah masuk ke dalam bumbung. Si bocah lalu
mengambil sumbat kayu dan menyumbat lubang bumbung.
Sedari Kim-gin Hiat-coa keluar, semua orang mengamati dengan menahan nafas dan jantung
berdebar. Sesudah Boe Kie menutup bumbung, barulah barulah mereka bernafas lega.
Coba masak air dan cuci lantai sampai bersih, supaya racun Leng cie lan tidak ketinggalan
kata si bocah. Enam murid perempuan lantas mengiakan dan tak lama kemudian lantai sudah
di cuci dengan air panas.
Sesudah itu, Boe Kie minta supaya semua jendela dan pintu ditutup rapat dan ia minta pula
Toet hong, Beng pan, Thay Hong, Kam co dan beberapa bahan obat lain yang harus digiling
halus dan dicampur kapur.
Campuran ini lalu dimasukkan kedalam bumbung Gin-koan Hiat-coa. Ular itu lantas saja
mengeluarkan suara nyaring, disambut oleh si topi emas. Boe Kie lalu mencabut sumbat
bumbung Kim-koa Hiat-coa yang lantas saja keluar dan jalan memutari bumbung si topi
perak. Dari gerak-geriknya, ia kelihatan dalam kebingungan. Tiba2 ia naik ke atas ranjang dan
menyelinap ke dalam selimut Ngo kouw.
Ho Thay Ciong terkesinap, hampir saja berteriak, tapi Boe Kie keburu mengoyang2kan
tangannya.Sambil tersenyum si bocah menyingkap selimut dan ternyata ular itu sudah
menggigit ujung jeriji kaki Ngo kouw. Dia akan menghisap racun dalam tubuh Hoejin,
katanya dengan paras muka girang.
Makin lama ular itu makin besar dan kira2 semakanan nasi, dia sudah lebih besar berlipat
ganda, sedang topinya bersinar terang. Tak lama kemudian dia turun dari ranjang, dan Boe
Kie lalu mencabut sumbat bumbung Gin-koan Hiat-coa. Si topi emas lantas saja
memuntahkan darah beracun kedalam topi perak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 520
Cukuplah ! kata si bocah. Setiap hari mereka menghisap dua kali. Sesudah itu akan menulis
surat obat untuk menghilangkan bengkak dan menguatkan badan. Dalam sepuluh hari Hoejin
akan sembuh seanteronya.
Tak kepalang girangnya Hoe Thay Ciong yang lalu mengajak Boe Kie ke kamar buku.
Saudara kecil kau mempunyai kepandaian seperti malaikat. Katanya. Tapi apakah aku boleh
tahu latar belakang dari kejadian ini?.
Menurut Kitab Tok Boet Tay Coan, dalam urutan racun, Kim-gin Hiat-coa jatuh nomor tiga
puluh tujuh, menerangkan si bocah. Biarpun mereka bukan termasuk binatang beracun
terlihay, tapi mereka mempunyai satu keistimewaan, iyalah mereka suka sekali makan racun.
Leng cie lan yang ditanam di luar jendela kamar Hoejin, yang mengandung racun sangat
hebat, dan sudah mengundang kedua ular itu.
Ho Thay Ciong manggutkan kepalanya.
Kim-gin Hiat-coa adalah sepasang, yang satu lelaki, yang satu perempuan. Kata si bocah.
Tapi dengan menggunakan Tay Hong, Kam Coe dan lain2, aku membakar Gin-koan Hiat-coa.
Untuk menolong kawan hidupnya, Kim-koan Hiat-coa mesti menghisap racun dalam tubuh
Hoejin. Sebentar, sesudah berselang tiga jam, aku akan membakar ular lelaki, yaitu Kim-koan
Hiat-coa, dan ular perempuan pasti akan menghisap darah beracun dalam tubuh Hoejin untuk
menolong yang lelaki. Dan begitu seterusnya sehingga darah beracun habis dihisap.
Malam itu, dengan penuh kegembiraan Ho Thay Ciong menjamu Boe Kie dan Poet Hwie.
Selang beberapa hari, bengkak dimuka Ngo kouw mulai kempes. Semangatnya pulih dan
sedikit sedikit ia sudah bisa makan dan minum. Sesudah lewat sepuluh hari, ia sembuh
seluruhnya.
Hari itu Ngo kouw menjamu Boe Kie untuk menghaturkan rasa terima kasih dan mengundang
juga Ciam Coen. Mukanya masih pucat, tapi kecantikkannya tidak berkurang. Ho Thay Ciong
menemui dengan hati berbunga. Dengan menggunakan kesempatan itu, nona Ciam suka
memohon kepada gurunya menerima Souw Hie Cie sebagai muridnya.
Si tua tertawa terbahak2. Coen jie katanya, siasat menyentak kayu bakar dari bawah kuali
sungguh bagus. Kalau aku menerima bocah she Souw itu sebagai murid, dibelakang hari
kubakal turunkanilmu pedang Liong Heng It Pit Kiam kepadanya. Dengan demikian
kedosaannya mencari Kim-hoat tiada artinya lagi.
Nona Ciam tertawa lalu berkata, Soehoe kalau bocah she Souw itu tidak mencuri kiam-hoat,
teecoe tentu diperintah mencari dia dan tak akan bertemu dengan Thio Sieheng. Soehoe dan
Ngo kouw mempunyai rejeki yang sangat besar. Tapi kalo dihitung2, bocah she Souw itu juga
turut berjasa.
Kau mempunyai begitu banyak murid. Tapi diwaktu perlu, hampir semua tak ada gunanya
menyambuti Ngo kouw. Kalau Cim Kouwnio penuju bocah itu.Terimalah. dibelakang
harimungkin sekali akan menjadi muridmu yang paling boleh diandalkan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 521
Ho Thay Ciong yang belum pernah membantah kemauan gundik itu, lantas mengangguk dan
berkata. Baiklah aku terima, tapi ada syaratnya.
Syaratnya apa? tanya gundik.
Sesudah menjadi muridku dia harus belajar sunguh2, kata si tua. Syaratnya yaitu, dia tidak
boleh memikir yang gila2 menikah dengan Coen Jie.
Paras nona Ciam lantas saja berubah merah dan ia lalu menunduk. Ngo Kouw tertawa
cekikikan. Aduh sebenarnya kau harus mengaca, katanya. kau sendiri mempunyai beberapa
istri dan gundik, tapi kau melarang muridmu menikah.
Si tua yang hanya ingin mengoda Ciam Coen lantas saja tertawa terbahak-bahak. Minum,
minumlah! katanya.
Selagi bermakan minum sambil beromong2. Seorang pelayan kecil datang membawa sebuah
nampan yang diatasnya terdapat sebuah poci arak. Ia segera menuangkan arak itu ke semua
cawan. Saudara Thio kata si tua, arak ini keluaran istimewa dari Koen Loen San, dibuat dari
bit lay (buah lay muda) dan dinamakan Houw-pek Bit lay cioe. Hayolah kau harus minum
beberapa cangkir. Arak itu berwarna kuning emas dan harum baunya.
Boe Kie sebenarnya tidak suka minum arak tapi karena mengendus bau yang sangat harum. Ia
jadi tertarik lalu mencekal cawan. Tapi, sebelum menceguknya, Kim-gin Hiat-coa yang
berada dalam sakunya tiba2 bersuara dan meronta-ronta didalam bumbung. Tahan! Jangan
minum arak itu! kata Boe Kie.
Semua orang kaget dan serentak menaruh cawan dimeja. Si bocah segera mengeluarkan
bumbung Kim-koan Hiat-coa dan mencabut sumbatnya. Ular itu lalu berjalan mengitari
cawan arak dan kemudian minum isinya. Dengan beruntun ia minum tiga cangkir.
Setelah mengembalikan si topi emas kedalam bumbung. Boe Kie lalu mengeluarkan si topi
perak yang minum tiga cawan. Kedua ular itu saling mencintai, sehingga kalau hanya satu
yang dilepaskan, yang satu takkan lari. Selain itu ia sangat menurut kemauan majikan. Tapi
bila dilepas kedua2nya, dia bukan saja akan kabur, tapi malah mungkin menyerang manusia.
Saudara Kecil, kata Ngo kouw sambil tertawa, ular itu suka minum arak sungguh menarik.
Coba suruh orang tangkap anjing atau kucing lalu suruh bawa kemari. Kata Boe Kie.
Baiklah kata si pelayan.
Ciecie berdiam saja disini, cegah si bocah. Biar orang lain saja yang menangkapnya.
Tak lama kemudian seorang pelayan lain datang dengan membawa anjing. Boe Kie lalu
mengambil arak dan menuangkannya ke mulut anjing itu. Berapa saat kemudian sesudah
menyalak beberapa kalibinatang itu seketika roboh mati dengan mengeluarkan darah dari
mulut, kuping dan hidungnya.
Ngo kouw menggigil. Arak arak itu beracun.. katanya terputus putus. Siapa yang coba
membinasakan kita? Saudara Thio bagaimana kau tahu?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 522
Kim-gin Hoat-coa suka makan racun dan begitu mengendus bau racun, mereka bersuara dan
meronta ronta, menerangkan Boe Kie.
Paras muka Ho Thay Ciong pucat bagaikan kertas. Sambil mencekal pelayan kecil itu, ia
bertanya dengan suara perlahan Siapa yang menyuruh kau membawa arak itu?
Si pelayan ketakutan setengah mati.dengan suara gemetar dia menjawab Aku, aku tak
tahu.arak itu beracun. Aku mengambil dari dapur.
Waktu kau datang kemari dari dapur, apa kau bertemu dengan orang lain? tanya pula si tua.
Ya, di lorong aku bertemu dengan Heng Hong.jawabnya. Ia menarik tanganku dan
mengajakku omong2. Sesudah itu ia membuka tutup poci dan mencium2 arak itu.
Ho Thay Ciong. Ngo kouw dan Ciam Coen saling mengawasi.Heng Hong adalah seorang
pelayan kepercayaan istri pertama dari si tua.
Ho sianseng, kata Boe Kie, dalam hal penyakitnya Hoejin ada sesuatu yang sangat
mengherankan dan tak dapat dipecahkan olehku. Baru sekarang aku melihat latar
belakangnya.coba pikir, mengapa kedua ular itu menggigit kaki Hoejin? Sekarang aku
mendapatkan jawabannya. Sebabnya ialah dalam tubuh Hoejin memang sudah ada racun, dan
racun itu mengundang Kim-gin Hiat-coa. Menurut pendapatku, orang yang meracuni Hoejin
adalah orang yang menaruh racun didalam poci arak.
Sebelum si tua menjawab, sekonyong-konyong tirai pintu tersingkap dan satu bayangan
manusia berkelebat. Hampir berbareng Boe Kie merasa bahwa teteknya sakit bukan main.
Jalan darahnya sudah ditotok orang.
Benar! Aku meracuni! demikian terdengar suara yang sangat nyaring. Orang yang berkata,
badannya jangkung, matanya berpengaruh dan pada paras mukanya terlihat sinar
pembunuhan. Sambil menengok pada Hong Thay Ciong ia berkata Akulah yang sudah
menaruh ular kelabang ke dalam arak. Mau apa kau?.
Dengan mata membelalak Ngo kouw mengawasi wanita itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan
berkata sambil membungkuk. Tai tai! (tai tai, nyonya besar).
Wanita itu adalah istri pertama dari Hong Thay Ciong, namanya Pan Siok Ham. Ia memiliki
ilmu silat yang sangat tinggi, lebih tinggi dari suaminya yang sangat takut terhadapnya. Takut
memang takut, tapi si tua tetap mengambil gundik dan setiap kali mengambil gundik baru,
rasa takutnya setiap kali bertambah.
Melihat kedatangan si harimau betina, si tua tak berani mengeluarkan suara.
Eh aku bertanya, aku yang menaruh racun, mau apa kau? bentak sang istri.
Biarpun kau membenci pemuda itu, sepak terjangmu keterlaluan, kata Hong Thay Ciong.
Kalau aku tidak keburu mengetahuinya, bukankah sekarang sudah mati?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 523
Semua bukan manusia baik2, aku memang ingin kamu mampus semua, kata nyonya galak itu.
Ia menggoyang-goyang poci arak yang ternyata masih banyak isinya.
Ia segera menuang secawan penuh dan menaruh didepan si tua. Sebenarnya aku ingin
mamouskan kamu berlima, katanya. tapi setan kecil itu keburu mengendus rahasia. Sekarang
aku bersedia mengampuni emapt orang. Tapi arak itu harus diminum oleh salah seorang. Aku
tak peduli siapa yang mau meminumnya. Terserah pada kau setan tua! seraya berkata itu, ia
menghunus pedang.
Pan Siok Ham adalah seorang murid terlihay dari Koen Loen Pay. Ia berusia lebih tua
daripada Ho Thay Ciong dan lebih dulu belajar di Koen Loen San. Diwaktu muda, Ho Thay
Ciong berparas tampan dan sangat dicintai oleh soecienya. Karena kebentrok dengan seorang
cianpwee dari Beng Kauw, guru mereka mati mendadak, sebelum keburu memberi pesanan
kepada murid2nya. Oleh karena begitu murid itu segera berebut kedudukan Ciang boejin.
Masing2 sungkan mengalah. Pan Siok Ham tampil kemuka dan membela Ho Thay Ciong,
sehingga pada akhirnya, si tua berhasil merebut tampuk pimpinan. Sebab merasa berhutang
budi, ia segera menikah dengan soecienya itu. Diwaktu muda segala apa masih berjalan licin.
Tapi sesudah sang istri berusia lanjut, dengan menggunakan alasan tidak mempunyai
keturunan, ia mengambil gundik. Satu demi satu. Tapi makin banyak gundiknya, makin takut
terhadap istrinya yang galak itu.
Melihat arak racun itu, sedikitpun ia tak dapat ingatan untuk membantah. Aku sendiri tentu
tidak boleh meminumnya. Katanya didalam hati. Ngo kouw dan Coen jie juga tak boleh. Boe
Kie tidak boleh. Boe Kie seorang tuan penolong. Hanya perempuan kecil saja yang tiada
sangkut pautnya denganku, Memikir begitu, ia segera bangkit dan menaruh cawan arak
didepan Yo Poet Hoei. Anak kau minumlah, katanya.
Si nona cilik ketakutan. Ia sudah menyaksikan dengan mata sendiri kebinasaannya seekor
anjing. Ia menangis dan berkata. Tak mau! Arak itu ada racunnya.
Si tua segera mencengkram dada Poet Hoei tapi sebelum ia bisa menuang arak itu kedalam
mulut si nona, Boe Kie sudah berkata dengan suara dingin. Biar aku yang minum.
Si tua bersangsi, biarpun tak tahu malu ia merasa tak tega.
Pan Siok Ham yang sangat membenci Boe Kie lantas saja berkata. Seta cilik itu sangat licik,
mungkin sekali ia sudah menyediakan obat pemunah. Kalau ia yang minum, secawan tak
cukup. Dia harus minum kering sisa arak yang ada dalam poci.
Si bocah mengawasi Ho Thay Ciong dengan harapan ia akan coba membujuk istrinya. Tapi
dia menutup mulut. Ciam Coen dan Ngo kouw tidak berani mengeluarkan sepatah kata.
Mereka khawatir, kalau banyak bicara, harimau betina itu akan menjadi gusar dan menumplak
hawa amarah diatas kepala mereka.
Hati Boe Kie dingin bagaikan es. Jiwa beberapa orang itu ditolong olehku. Pikirnya. Tapi
waktu jiwaku sendiri terancam, mereka berpeluk tangan. Jangankan menolong, bicara saja
mereka tak berani. Memikir begitu ia menghela nafas. Ciam Kouw nio, katanya. Sesudah aku
mati aku minta pertolonganmu untuk mengantar adik kecil ini kepada ayahnya di puncak Co
Bo Hong. Apakah kau sudi melakukan itu?.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 524
Ciam Coen melirik gurunya yang lalu manggut-manggutkan kepala. Baiklah, kata nona Ciam.
Boe Kie tahu bahwa wanita itu tidak bersungguh2. tapi ia mengerti, terhadap manusia yang
tidak berbudi, tak guna ia bicara banyak2. ia tertawa dingin dan berkata dengan suara yang
dingin pula. Koen Loen Pay dikenal sebagai partai yang lurus bersih. Aku tak nyana Koen
Loen Pay dalam sedemikian. Ho sianseng mari poci itu.
Mendengar ejekan yang sangat menusuk, si tua merasa sangat gusar. Lebih cepat ia mampus,
lebih baik lagi, pikirnya. Ia segera mengangkat poci arak dan menuang semua isinya kedalam
mulut Boe Kie. Sambil menangis, Poet Hoei memeluk kakaknya.
Biarpun ilmu ketabibanmu sangat tinggi, aku bisa mencegahmu menolong jiwamu, kata Pan
Siok Ham yang lalu mengirim beberapa totokan ke jalan darah Boe Kie. Sesudah itu, dengan
menggunakan gagang pedang, ia juga menotok jalan darah Ho Thay Ciong, Ngo kouw, dan
Ciam Coen. Sesudah dua jam barulah aku melepaskan kamu, katanya. Waktu ditotok, Ho
Thay Ciong bertiga sama sekali tidak berani bergerak.
Semua keluar, bentak si harimau betina. Dan semua pelayan buru2 keluar. Pan Siok Ham
keluar paling belakang dan mengunci pintu.
Beberapa saat kemudian Boe Kie merasa perutnya sakit bukan main. Melihat nyonya itu
sudah berlalu dan mengunci pintu, hatinya jadi lebih lega. Sambil menahan sakit, ia
mengerahkan Lweekang dan dengan ilmu yang didapat dari Cia Soen ia membuka semua
jalan darah yang ditotok.sesudah kaki tangannya merdeka, ia segera mencabut beberapa
lembar rambut yang lalu digunakan untuk menggilik tenggorokannya. Ia muntah2 dan
sebagian besar arak beracun itu sudah dimuntahkannya.
Melihat si bocah bisa membuka jalan darahnya sendiri, Ho Thay Ciong bertiga merasa sangat
kagum. Si tua sebenarnya ingin menghalangi Boe Kie, tapi ia tidak bisa bergerak. Racun
dalam perut Boe Kie belum keluar semua tapi ia tidak bisa muntah lagi. Paling dulu aku harus
menyingkir, pikirnya. Ia menghampiri Poet Hoei dan mencoba membuka jalan darah si nona,
tapi tidak berhasil, karena totokan Pan Siok Ham lain daripada ilmu yang lain. Maka ia segera
membuka jendela dan setelah melihat tidak ada orang, ia lalu mendukung Poet Hoei dan
menurunkannya dikuar jendela.
Jika menggunakan Lweekang, dalam tempo kira2 setengah jam Ho Thay Ciong akan bisa
membuka jalan darahnya sendiri. Tapi Boe Kie sudah siap untuk melarikan diri, dan jika
istrinya menanyakan, satu gelombang hebat akan terjadi pula. Disamping itu, jika seorang
bocah Boe Tong Pay bisa kabur dengan tangan kosong dari Sam Seng Tong dan kemudian
menguar2kan kebusukannya sebagai manusia yang tak mengenal budi, sebagai seorang
pemimpin partai besar, dimana ia harus menaruh muka? Maka itu, biar bagaimanapun juga,
kaburnya bocah itu harus dicegah.
Memikir begitu ia lantas saja menarik nafas dalam2 untuk berteriak memanggil istrinya. Tapi
Boe Kie sudah lantas bisa menebak niatnya. Ia mengeluarkan sebuah pil berwarna hitam yang
lalu dimasukan ke dalam mulut Ngo kouw. Pil ini racun Kioe Pie Wan, katanya. Berselang
dua belas jam, orang yang memakannya akan mati dengan usus putus dan jantung hancur.
Aku akan menaruh obat pemunah disatu pohon yang jauhnya tiga puluh li dari sini. Pohon itu
akan diberi tanda dan tiga jam kemudian Ho sianseng boleh menyuruh orang untuk
mengambilnya. Bilamana aku tertangkap dan mati, aku bukan mati sendirian.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 525
Kejadian itu tidak disangka2 oleh Ho Thay Ciong. Sesudah memikir sejenak, ia berkata denga
suara perlahan. Biarpun Sang Seng Tong bukan kobokan naga atau sarang harimau, kurasa
seorang yang sepertimu takkan bisa keluar dari tempat ini.
Boe Kie tahu bahwa dengan berkata begitu, si tua buka omong besar. Tapi ia bersikap acuh
tak acuh dan berkata dengan suara tawar.
Menurut pendapatku, kecuali dengan obatku sendiri, racun Kioe Pie Wan tak akan bisa
dipunahkan dengan apapun juga.
Ho Thay Ciong mengerutkan alis, Baiklah katanya Bukalah jalan darahku, aku akan
mengantarmu keluar dari tempat ini.
Jalan darah si tua yang tertotok adalah Hong Tie dan Keng Boen. Boe segera mengurut jalan
darah Thian Coe, Hoan Siauw, Toa Wie, dan Siang Kie. Tapi sudah berusaha beberapa lama
ia masih juga belum berhasil.
Hal itu sudah mengejutkan mereka berdua. Boe Kie kaget, karena sudah menggunakan tujuh
macam cara untuk membuka jalan darah, yang didapat oleh Ouw Ceng Goe, ia masih belum
berhasil. Si tua terkejut, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa si bocah memiliki rupa-rupa
ilmu membuka jalan darah dan tenaga dalamnyapun sudah cukup tinggi. Anak ini benar lihay,
katanya dalam hati, Siok Ham menotok tujuh delapan jalan darahnya, tapi ia tidak bergeming.
Boe Tong Pay sungguh tidak boleh di buat gegabah. Untung juga, waktu itu berada di Boe
Tong san aku tidak turun tangan, kalau tanganku iseng, bisa jadi aku celaka. Murid Boe Tong
yang begitu kecil sudah begitu lihay. Apalagi yang sudah dewasa, ia tak tahu bahwa
kekebalan Boe Kie terhadap Tiam Poat didapatkan dari Cia Soen, sedang rupa2 ilmu
membuka jalan darah didapat dari Ouw Ceng Goe, sehingga tidak ada sangkut paut dengan
Boe Tong Pay.
Mendadak Ho Thay Ciong mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata. Bawa kemari
poci teh dan tuang tehnya ke mulutku.
Boe Kie merasa curiga, tapi mengingat, demi keselamatan gundiknya, si tua pasti tidak berani
main gila terhadapnya, maka ia lantas saja mengangkat poci teh itu dan menuangkan isinya
kedalam mulut Ho Thay Ciong.
Si tua tidak menelan air teh itu. Tiba2 sambil menggerakan Lweekang, ia menyembur dan
bagaikan sebatang anak panah, air itu menyambar tekukan sikutnya di bagian Ceng Leng Yao.
Hampir berbareng, lengannya dapat digerakkan pula.
Sedari datang ke Sam seng tong, Boe Kie memandang rendah Ho Thay Ciong karena lagal
lagunya seperti takut bini menyayang gundik, licik dan sebagainya tidak mendatangkan
keindahan. Tapi sekarang, ia kaget melihat kepandaian si tua. Ia lantas bisa mati seketika.
Sesudah lengan kanannya merdeka, ia segera membuka jalan darah di betisnya. sesudah kau
menyerahkan obat pemunah, aku akan mengantar kau keluar dari selat ini. katanya.
Si bocah tidak menyahut, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 526
Si tua bingung, Aku adalah Ci boen jin dari Koen Loen Pay, katanya. Tak bisa jadi aku
mendustai anak kecil seperti kau bukan? Kalau terlambat dan racun itu keburu mengamuk,
jiwanya tidak bisa tertolong.
Racun itu tidak akan menggamuk sebegitu cepat, kata si bocah.
Thie-khim Sianseng menyerah kalah. Sambil menghela nafas ia berkata. ıBaiklah mari aku
antar kamu.ı
Sesudah melompat dari jendela, Ho Thay Ciong segera menyentuh punggung Poet Hoei
dengan jerijinya dan jalan darah si nona yang tertotok lantas saja terbuka. Gerakan tangannya
indah dan sangat cepat, bagaikan mengalirnya air, sehingga Boe Kie merasa sangat kagum
dan sinar matanya mengeluarkan sinar memuja. Sedari bertemu dengan si tua, belum pernah
ia memperlihatkan sikap begitu. Ho Thay Ciong mengerti perasaan si bocah dan ia tersenyum
simpul.
Sambil menuntun tangan kedua anak itu, ia lalu mengajak pergi ke taman bunga dan keluar
dari pintu samping. Dari depan sampai belakang, Sam Seng Tong terdiri dari delapan
bangunan dan setelah keluar dari pintu samping, mereka berjalan di suatu jalan kecil yang
berliku2. Sesudah itu mereka masuk pula ke beberapa bangunan dan melewati lagi banyak
ruangan. Tanpa pengantar, andaikata mereka tidak didengar murid Koen Loen, belum tentu
mereka bisa keluar dari Sam Seng Tong. Dengan demikian rasa hormat dalam hati Boe Kie
jadi bertambah besar.
Sekeluarnya dari Sam Seng Tong, dengan lengan kanan mendukung Poet Hoei dan tangan kiri
menuntun Boe Kie, Ho Thay Ciong segera berlari2 ke jurusan barat laut dengan ilmu ringan
badan. Dengan badannya separoh diangkat, Boe Kie merasa seperti terbang melayang2 di
tengah udara. Setiap lompatan si tua berjarak kira2 setombak begitu lekas ujung kakinya
menotol tanah, badannya sudah mengapung dan melesat lagi kedepan. Dalam sekejap mereka
sudah dua puluh li lebih. Selagi enak melayang2 di sebelang belakang sekonyong2 terdengar
teriakan. Ho Thay Ciong!... Ho Thay Ciong. tahan. Suara itu bukan lain suara Pan Siok Ham.
Ho Thay Ciong segera menghentikan tindakannya.
Sambil menghela nafas ia berkata. Saudara kecil, kamu larilah. Istriku mengubar, aku tidak
bisa mengantarmu lebih jauh.
Perlakuannya terhadapku tidak bisa dikatakan terlalu jelek pikir Boe Kie yang lantas saja
berkata, Ho Sianseng, kau pulanglah. Pil yang ditelan oleh Hoejin bukannya racun. Pil itu
hanya San pwee wan, obat untuk melicinkan tenggorokan dan menghentikan batuk. Beberapa
hari berselang Poet Hoei moay batuk2 dan aku membuat pil itu untuk mengobatinya. Sisanya
masih ada beberapa butir dan aku merasa menyesal bahwa aku telah mengangetkanmu.
Si tua kaget dan gusar, Apa benar bukan racun? bentaknya.
jiwa Ngo Hoejin telah ditolong olehku, jawabnya Mana tega aku mencelakakannya lagi?
sementara itu suara teriakan Pan Siok Ham sudah semakin dekat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 527
Bahwa Ho Thay Ciong sudah membawa lari kedua anak itu adalah karena rasa cintanya
terhadap Ngo kouw. Mendengar keterangan Boe Kie darahnya lantas saja meluap.
Plak!.......Plak., ia menggaplok empat kali beruntun, sehingga kedua pipi si bocah merah
bengkak dan mulutnya mengeluarkan darah. Waktu si tua mengangkat tangan pula untuk
mengirim gaplokan kelima, buru2 Boe Kie menangkis dengan jurus Kang Liong Yoe Hwie,
satu jurus dari Hang Liong Sip Pat Cang. Kalau sudah mahir dan ditambah dengan Lweekang
tinggi jurus itu dahsyat bukan main. Tapi sibocah baru kenal kulit2nya saja, sedang tenaga
dalamnyapun sangat cetek. Mana bisa melawan Ciang boenjin dari Koen Loen Pay?
Melihat gerakan yang luar biasa, Ho Thay Ciong mengerti bahwa ia tengah menghadapi ilmu
yang sangat tinggi. Sambil mengeluarkan seruan Ih ia menggegosdan menghantam mata
kanan Boe Kie, yang lantas saja biru bengkak.
Sesudah gagal dalam perlawanannya, Boe Kie mengerti bahwa kepandaiannya masih kalah
terlalu jauh. Maka itu ia lantas saja berdiri tegak dan membiarkan dirinya dihajar kalang
kabutan. Dalam memberi hajaran, si tua tidak menggunakan Lweekang, yang jika digunakan,
bocah itu tentu sudah tewas jiwanya. Tapi walaupun begitu, setiap kali digapelok, mata Boe
Kie berkunang2 san rasa sakit sampai ke tulang2.
Selagi enak menganiaya. Pan Siok Ham bersama dua orang muridnya sudah tiba disitu. Ia
menonton, tapi melihat yang dipukul tidak melawan, kegembiraannya jadi berkurang. Coba
kau hajar anak perempuan itu, katanya.
Ho Thay Ciong memutar tubuh dan menggampar kuping Poet Hoei yang lantas saja menangis
keras.
tua Bangka, teriak Boe Kie dengan gusar Apa belum cukup kau menghajar aku seorang? Perlu
apa kau menghina seorang anak masih begitu kecil?
Tapi si tua tidak menggubris, tangannya melayang lagi. Boe Kie jadi kalap, sambil melompat
bagaikan kerbau edan, ia menyeruduk perut Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham tertawa dingin. Lihatlah, anak begitu kecil masih punya kecintaan dan pribudi.
Katanya. Bukan seperti manusia yang semacam kau yang sedikitpun tak mengenal rasa cinta.
Diejek begitu, selebar muka situa jadi merah. Dalam matanya, ia jadi gusar dan kegusaran itu
ditumplekan diatas kepala Boe Kie. Ia menjambret leher baju si bocah dan melemparkannya
sambil membentak, Binatang kecil! Lebih baik ikut ayah dan ibumu! kali ini, karena
melemparkannya dengan menggunakan Lweekang, badan bocah itu terlempar jatuh dan
kepalanya menyambar ke arah satu batu gunung yang besar. Begitu terbentur, batok
kepalanya pasti akan remuk!................
Pada detik yang sangat berbahaya, semacam tenaga tiba2 mendorong Boe Kie, sehingga
arahnya berubah dan ia jatuh di samping batu. Sebelum semangatnya pulih, dengan
matanyayang bengkak, ia melihat seorang sastrawan setengah tua yang mengenakan jubah
panjang warna putih, berdiri dalam jarak kira2 lima kaki dari dirinya.
Dengan rasa kaget dan heran. Si tua dengan istrinya saling mengawasi. Lagi kapan? Dan
darimana orang itu datang? Andaikata ia lebih dulu bersembunyi dibelakang batu, orang2
yang berkepandaian tinggi seperti mereka berdua sudah pasti akan mengetahuinya, selain itu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 528
tenaga yang digunakan Ho Thay Ciong untuk melemparkan Boe Kie, paling tidak ada lima
ratus kati. Tapi sastrawan itu, dengan kibasan tangan baju sudah berhasil menolak tenaga
tersebut dan melemparkan si bocah di samping batu. Itu semua membuktikan, bahwa ia
memiliki kepandaian yang sukar diukur berapa tingginya.
Orang itu berusia kira2 empat puluh tahun, mukanya tampan hanya alisnya agak turun
kebawah dan mulutnya terdapat beberapa garis yang dalam sehingga ia kelihatannya banyak
lebih tua dan seperti seorang yang sudah mengalami banyak kedukaan. Tanpa mengeluarkan
sepata kata, ia berdiri bengong, seolah2 tengah memikiri kejadian2 di masa lampau.
Sesudah batuk beberapa kali, Ho Thay Ciong bertanya. Siapa tuan? Mengapa tuan
mencampuri urusan Koen Loen Pay?.
Sastrawan itu menyoja dan menjawab. Ah! Kalau begitu Cianpwee adalah Thie Khim
Sianseng Ho Cianpwee. Sudah lama kudengar namanya yang besar. Dan akupun sedang
berhadapan dengan Ho Hoejin, bukan? Boanpwee bernama Yo Siauw.
Perkataan Yo Siauw disambut dengan seruan kaget oleh Ho Thay Ciong, Pan Siok Ham dan
Boe Kie. Seruan si bocah bercampur dengan nada girang, sedang seruan kedua suami istri
bercampur dengan nada gusar. Srt srt.. kedua murid Koen Loen menghunus pedang yang lalu
dibalik dan gagangnya diangsurkan kepada soehoe mereka. Ho Thay Ciong melintangkan
senjatanya di depan dada dan bersiap sedia dengan pukulan Soat-yong kiauw (Salju menutupi
jempatan biru), sedang Pan Siok Ham menudingkan pedangnya ke tanah dalam gerakan Bokyap
siauw (Daun daun berkeresekan). Kedua pukulan itu adalah pukulan pukulan yang paling
lihay dari Koen Loen Kiam Hoat. Kuda kudanya kelihatan sangat sederhana, tapi didalamnya
bersembunyi tujuh-delapan gerakan susulan yang luar biasa. Asal tangan mereka, kedua
pedang itu lantas menyambar tujuh-delapan bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Tapi Yo Siauw tenang2 saja. Ia mengawasi Boe Kie dengan perasaan heran karena dalam
teriakan itu terdapat nada kegirangan.
Muka Boe Kie matanya biru, bengkak2 dan berlepotan darah, tapi sinarnya menunjuk rasa
syukur dan bahagia. Kau kau katanya terputus2, apakah kau Kong Beng Soe Cie dari Beng
kauw, Yo siauw, Yo Pehpeh?.
Yo Siauw manggut2kan kepalanya. Bagaimana kau tahu she dan namaku, anak? tanyanya.
Sambil menunjuk Poet Hoei, Boe Kie berkata Adik ini adalah putrimu! Ia memnuntun tangan
si gadis cilik dan berkata pula Poet Hoei moay moay, inilah ayahmu. Ah! Akhirnya kita
berhasil mencarinya.
Poet Hoei mengawasi Yo Siauw dengan matanya yang bundar cilik. Apa kau ayahku?
tanyanya. mana ibu? Aku lagi mencari ibu. Ia berkata begitu, karena untuk membujuknya,
disepanjang jalan boekie selalu mengatakan, bahwa mereka melakoni perjalanan jauh itu
untuk mencari Kie Siauw Hoe.
Jantung Yo Siauw memukul keras dan sambil mencekal pundak si bocah, ia berkata Anak
bicara lebih terang. Putri siapa dia? Siapa ibunya? ia mencengkeram keras, sehingga Boe Kie
menggeluarkan teriakan aduh!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 529
Dia putrimu, jawab si bocah. ibunya iyalah Liehiang Kie Siauw Hoe dario Go Bie Pay.
Muka Yo Siauw yang memang sudah pucat menjadi pucat lagi. Dia. dia mendapat anak?
tanyanya dengan gemetar. Dimana dia sekarang? Seraya berkata begitu ia memeluk dan
mengangkat Poet Hoei. Kedua pipi anak itu bengkak sebab pukulan Ho Thay Ciong, tapi pada
paras mukanya masih bisa dilihat sesuatu yang sangat mirip dengan kecantikan Kie Siauw
Hoe. Tiba2 ia mengeluarkan selembar tali yang tergantung di leher Poet Hoei dan ia lalu
menariknya, ternyata pada tali itu dilekatkan selembar Tiat-pay dengan ukiran memedi yang
sedang menyeringai dan mementang cakar. Sekarang ia tidak bersangsi lagi. Tiat-pay itu
adalah Tiat-pay-leng dari Beng Kauw yang sudah diberikan kepada Kie Siauw Hoe. Sambil
memeluk putrinya erat2, ia bertanya berulang2 Mana ibumu? Mana ibumu..
Ibu hilang. Aku sedang mencarinya. Apa kau bertemu dengannya? jawab anak itu.
Yo Siauw mengawasi Boe Kie dan lalu menanyakan dimana adanya Kie Siauw Hoe.
Si bocah menghela nafas dan berkata Yo Pehpeh. Jika aku beritahukan, kau jangan terlalu
berduka. Kie Kouw kouw telah dipukul mati oleh gurunya..dan waktu meningggal dia.
Dusta! dusta! Teriak Yo Siauw, sambil memijit pundak Boe Kie. Kreek ! tulang pundak itu
remuk dan .Bruk! Yo Siauw dan Boe Kie terguling ditanah dengan berbareng, dengan tangan
Yo Siauw masih memeluk putrinya.
Yo Siauw pingsan karena mendengar terbinasanya Kie Siauw Hoe, sedang Boe Kie roboh
sebab tulang pundaknya remuk. Ho Thay Ciong dan istrinya saling melirik dan segera
menghunus pedang, yang satu ditudingkan ke dahi antara dua alis, yang lain ditujukan ke
tenggorokan Yo Siauw.
Sebagai salah seorang tokoh penting dalam Beng Kauw, Yo Siauw mempunyai permusuhan
hebat dengan Koen Loen Pay. Karena kalah pie boe(adu silat), Yoe Liong Coe, seorang
cianpwee partai tersebut, telah mati sebab kejengkelan. Pek Loe Coe, gurunya Ho Thay Ciong
dan Pan Siok Ham, juga binasa dalam tangannya seorang anggota Beng Kauw. Siapa yang
membinasakan tidak diketahui jelas. Tapi mungkin sekali Yo Siauw juga. Suami istri Ho tahu,
bahwa orang itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga bila kebetulan berpapasan
di tengah jalan, belum tentu mereka berani menyerang. Tak dinyana, orang yang ditakuti itu
tiba2 pingsan dan tentu saja mereka sungkan menyia2kan kesempatan yang sangat baik.
Putuskan dulu lengannya kata Pan Siok Ham.
Baiklah, kata sang suami sambil mengangguk.
Sesaat itu Yo Siauw belum tersadar, tapi Boe Kie walaupun merasakan kesakitan hebat, tidak
sampai pingsan. Melihat bahaya yang mengancam, sebagai seorang yang sangat mudah
memaafkan, tanpa mngingat lagi rasa sakitnya, dengan kaki buru2 ia menyentuh jalan darah
Pek Hwee hiat, di ubun2 Yo Siauw.
Begitu tersentuh Pek Hwee Hiat-nya yang mempunyai hubungan dengan otak, Yo Siauw
tersadar. Tiba2 ia merasakan hawa dingin dan begitu membuka mata, ia melihat ujung pedang
yang menempel pada alisnya dan hampir berbareng, ia merasakan sambaran senjata ke arah
lengannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 530
Dengan pedang menempel pada bagian kematiannya dan satu pedang lagi membabat, ia tak
bisa berkelit atau berkutik lagi. Tapi, pada detik yang sangat berbahaya, ia masih
mengerahkan Lweekang ke lengan kirinya. Waktu Ho Thay Ciong membabat lengan itu, ia
merasa seperti membacok semacam benda yang a lot licin, sehingga mata pedangnya
terpeleset. Tapi biarpun begitu Yo Siauw terluka juga dan tangan bajunya basah dengan
darah.
Pada detik itulah, mendadak saja dengan terus menempel di tanah, tubuh Yo Siauw
menyeluruk ke depan setombak lebih, seolah2 lehernya diikat dengan tambang dan ditarik
dengan kecepatan luar biasa. Dengan melorotnya tubuh itu, maka ujung pedang Pan Siok
Ham yang menempel di antara kedua alis mengores alis, hidung, mulut dan dada Yo Siauw
kira2 setengah dim dalamnya. Kalau ujung pedang masuk lebih dalam setengah dim lagi, ia
tentu binasa dengan dada dan perut terbelek. Sehabis menyelusur, tanpa menekuk lutut atau
membongkokan pinggang, tubuh Yo Siauw mendadak berdiri tegak, seperti juga diangkat
berdirinya sesosok mayat yang sudah kaku. Dan begitu lekas berdiri tegak, kedua kakinya
menjejak, Krek! pedang suami istri Ho patah dengan berbareng.
Semua kejadian itu yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam tempo sekejapan saja.
Dengan memiliki Kiam Hoat yang sangat tinggi, pedang Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham
sebenarnya tak akan dipatahkan, secara begitu mudah. Mereka mendapat kekalahan
memalukan karena lengah, sebagai akibat dari kekangetan dalam melihat cara si orang she Yo
yang sangat luar biasa.
Apa yang lebih aneh lagi, dua potongan pedang itu dengan berbareng menyambar Ho Thay
Ciong dan istrinya. Buru2 mereka menangkis dengan pedang buntung dan meskipun berhasil,
telapak tangan mereka sakit sekali dan separuh badan mereka panas. Dengan cepat mereka
melompat, yang satu lalu berdiri di sebelah barat laut yang lain di tenggara, dengan Yang
Kiam (pedang lelaki) menuding ke langit, Im Kiam (pedang perempuan) ditunjukkan ke
bumi. Itulah kuda2 dari ilmu pedang Liang Gie Kiam Hoat yang sangat tersohor dari Koen
Loen Pay. Walaupun pedang mereka sudah buntung, sikap mereka angker dan anggun sesuai
dengan sikap ahli2 silat kelas utama dalam rimba persilatan.
Liang Gie Kiam Hoat yang sudah mendapat nama selama ratusan tahun adalah salah satu ilmu
pedang terlihay di kolong langiot. Disamping itu, suami istri Ho telah berlatih bersama2,
sehingga mereka sudah paham betul dan dapat bekerja sama seerat2nya. Dengan demikian
pengaruh Kiam Hoat jadi bertambah berlipat ganda. Sebagai seorang yang sudah sering
bertempur dengan jago jago Koen Loen, Yo Siauw mengenal dengan baik kelihayan Liang
Gie Kiamhoat. Meskipun tak takut, ia tahu bahwa untuk menjatuhkan suami istri itu, paling
sedikit ia harus bertempur lima ratus jurus. Tapi sekarang ia tidak mempunyai kegembiraan
untuk berkelahi, sebab musabab dari kebinasaan Kie Siauw Hoe. Disamping itu, sesudah
lengan dan badannya terluka, ia tidak boleh melakukan pertempuran lama. Kalau darah keluar
terlalu banyak, ia bisa celaka. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara dingin. Makin
lama orang2 Koen Loen Pay jadi makin tolol. Hari ini biarlah kita menunda perkelahian. Di
lain hari aku akan mencari kamu berdua untuk membuat perhitungan. Sehabis berkata begitu
dengan lengan mendukung Poet Hoei dan satu tangan menuntun Boe Kie, tiba2 tubuhnya
meleset ke belakang setombak lebih dan sesudah memutar badan, ia meninggalkan temapt itu
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham
mengawasi dengan rasa gusar dan kagum dan tentu saj, iapun tidak berani mengubar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 531
Sesudah melalui beberapa li, Yo Siauw tiba2 menghentikan tindakannya dan menanya Boe
Kie Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada diri Kie Siauw Hoe?.
Kie Kouw-Kouw sudah meninggal dunia, jawabnya Terserah padamu apakah kau percaya
atau tidak. Perlu apa kau mematahkan tulangku?.
Pada paras muka Yo Siauw terlihat perasaan menyesal Cara bagaimana ia meninggal?
Tanyanya pula.
Sesudah minum arak racunnya Pan Siok Ham, biarpun sudah muntah dan makan obat
pemunah, racun itu belum hilang semuanya. Ketika itu ia merasa perutnya sangat sakit. A lalu
mengeluarka ular Kim Koan Hiat Coa dan membiarkan binatang itu menggigit telunjuk jari
tangan kirinyasupaya sisa racun dihisap. Perlahan2 ia mengurutkan segala kejadian yang
bersangkut paut dengan Kie Siauw Hoe, bagaimana ia telah mengobati luka sang bibi,
bagaimana bibi itu bertemu dengan Biat Coat soethay yang kemudian membinasakannya.
Sehabis racun yang masih ketinggalan dalam tubuhnya.
Yo Siauw juga menanyakan apa yang dikatakan Kie Siauw Hoe waktu ia mau melepaskan
nafas yang penghabisan dan kemudian, dengan air mata bercucuran, ia berkata Biat Coat
soethay memaksa supaya ia mencelakakan aku. Kalau ia meluluskan, ia membuat jasa besar
kepada Go Bie Pay dan akan diangkat menjadi Ciang Boenjin. Hay! Kau lebih suka mati
daripada berjanji untuk menurut perintah itu. Sebenarnya kalau kau tak usah mati dalam
tangan Biat Coat dan kitapun bisa bertemu pula.
Kie Kouw kouw adalah seorang mulia yang jujur kata Boe Kie. Ia sungkan mencelakakan
kau, tapi iapun tak mau mendustai guru sendiri.
Yo Siauw tertawa getir. Ya katanya, kau mengenal Siauw Hoe..
pada waktu Kie Kouw kouw melepas nafas yang penghabisan, aku telah berjanji untuk
menghantar Poet Hoei Moay moay kepadamu. Kata Boe Kie.
Yo Siauw menggigil. Poet Hoei Moay Moay? Ia menegaskan. Ia berpaling pada putrinya dan
bertanya. Kau She apa, nak? Siapa namamu?
Aku she Yo jawabnya. Namaku Poet Hoei.
Tiba2 Yo siauw mendongak dan keluarkan teriakan nyaring panjang, sehingga pohon2
bergoyang goyang dan daun2 jatuh rontok.
Kau. Katanya, Poet Hoei.Poet Hoei.bagus! Siauw Hoe, meskipun aku menodai
kehormatanmu, kau tidak menyesal... (Poet Hoei berarti tidak menyesal).
Sesudah bertemu Boe Kie mendapat kenyataan, bahwa meskipun usianya tidak muda lagi, Yo
Siauw bukan saja berparas tampan, tapi juga mempunyai cara2 untuk menarik hati. Sehingga
ia merasa, jika dibandingkan dengan In Lie Heng yang masih kekanakan2, memang Yo Siauw
masih banyak lebih menarik bagi seorang wanita daripada pamannya itu. Maka tidak dapat
melupakan Yo Siauw meskipun kehormatannya dinodai tidak boleh disalahkan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 532
Makin lama tulang pundak Boe Kie yang patah makin sakit. Disekitar itu tidak ada rumput
obat yang bisa menyambung tulang dan menredakan rasa sakit. Ia hanya dapat mencari daun
yang bisa menghilangkan bengkak, sesudah memetiknya dan mematahkan dua ranting pohon,
ia lalu membereskan tulang pundaknya, menjepit tulang itu dengan dua ranting pohon,
menaruh daun obat dan lalu mengikatnya dengan tali yang dibuat daripada kulit pohon. Itu
semua dikerjakannya secara ahli dan cepat sekali, sehingga Yo Siauwmerasa sangat kagum.
Sesudah beres membalut tulang, Boe Kie Berkata, Yo Peh-peh, aku sudah memenuhi janji
dan sekarang Poet Hoei Moay-moay sudah berada dalam tanganmu. Disini saja kita berpisah.
Tidak!, kata Yo Siauw, Dari tempat yang jauhnya berlaksa li kau datang kemari untuk
mengantarkan anakku, tak dapat aku membiarkan kau pergi, tanpa memberikan sesuatu
padamu. Apa yang dikehendaki olehmu? Katakan saja. Dalam dunia ini, tidak banyak yang
tidak bisa disapatkan olehku.
Boe Kie tertawa terbahak2. Yo Peh-peh katanya Kau memandang Kie Kouw-kouw terlalu
rendah. Sungguh percuma Kie Kouw-kouw mengorbankan jiwa untukmu
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, Apa? ia menegas.
Mereka Kie Kouw-kouw tidak memandang rendah kepadaku, baru ia meminta pertolonganku
untuk mengantarkan putrinya kepadamu jawabnya. Jika aku memenuhi permintaan itu dengan
niat mendapatkan sesuatu, apakah aku berharga untuk menerima pesanan Kie Kouw0kouw?
Waktu berkata begitu ia ingat pengalaman pengalamannya yang hebat2. beberapa kali ia
hampir mengorbankan jiwa guna melindungi Poet Hoei. Tapi karena ia bukan orang yang
menonjolkan jasa dan mengagulkan diri, maka tanpa berkata suatu apa lagi, ia menyoja,
memutar tubuh lalu berjalan pergi.
Tahan! kata Yo Siauw Kau sudah membuang budi yang sangat besar kepadaku, Yo Siauw
adalah manusia yang selalu membalas budi dan sakit hati. Ikutlah aku. Dalam tempo setahun,
aku akan turunkan kepadamu beberapa ilmu yang jarang tandingannya didunia ini.
Sesudah menyaksikan kepandaian Yo Siauw, Boe Kie mengerti, bahwa jika ia menurut, ia
akan memperoleh banyak keuntungan. Tapi ia tidak bisa melupakan pesanan Thio Sam Hong
yang melarang ia bergaul dengan orang2 dari agama sesat. Apapula ia hanya bisa hidup
setengah tahun lagi. Sehingga ilmu silat yang tinggi tidak banyak artinya. Memikir begitu ia
lantas berkata, Terima kasih atas kecintaan Yo Peh-peh, tapi aku adalah murid Boe Tong dan
aku tidak berani menerima pelajaran dari orang lain.
Oh! Yo Siauw mengeluarkan seruan kaget, Kalau begitu, kau murid Boe Ton. Dan In Lie
Heng In Liok Hiap..
Ia pamanku, kata Boe Kie. Semenjak ayah meninggal dunia. In Lioksiok selalu
memperlakukan aku seperti keponakan sendiri. Bahwa aku telah melakukan permintaan Kie
Kouw untuk mengantarkan Poet Hoei Moay-moay kepadamu, di dalam hati..aku merasa.
malu terhadap In Lioksiok.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 533
Ketika itu sinar mata Yo Siauw kebentrok dengan sinar mata Boe Kie dan ia kelihatannya
merasa jengah. Sambil mengibas tangan, ia kemudian berkata, Kalu begitu, sampai bertemu
lagi, badannya berkelebat dan melesat beberapa tombak jauhnya.
Boe Kie koko! Boe Kie koko! teriak Poet Hoei.
Tapi ilmu ringan badan Yo Siauw tak kepalang cepatnya. Suara Boe Kie koko makin jauh
kedengarannya dan kemudian menghilang dari pendengaran.
Boe Kie berdiri terpaku. Sesudah melakukan perjalanan berlaksa li bersama sama dan
sekarang secara mendadak ia harus berpisahan dengan adik kecil itu, di dalam hatinya tentu
muncul perasaan duka.
Sementara itu, luka dipundaknya jadi makin sakit. Ia segera menuju ke sebuah lereng gunung
yang sepi dengan niatan mencari daun obat. Tapi pohon2 dan rumput2 yang tumbuh di Koen
Loen San berbeda dengan yang tumbuh di wilayah Tionggoan. Sehingga daun2 obat yang
tertulis dalam buku Ouw Cong Gie tidak terdapat disekitar tempat itu. Sesudah berjalan dua
puluh li lebih, rasa sakit makin menghebat dan ia lalu duduk diatas satu batu besar untuk
mengaso. Tiba2 terdengar menyalaknya anjing, makin lama makin dekat, seperti juga ada
sesuatu yang sedang diburu.
Beberapa saat kemudian, dri sebelah kejauhan kelihatan mendatangi seekor kera kecil yang
pantatnya tertancap sebatang anak panah pendek. Waktu berada kira2 sepuluh tombak dari
Boe Kie, binatang itu tiba2 bergulingan dan tidak bisa bangun lagi. Boe Kie mendekati dan
melihat sinar mata kera yang penuh rasa sakit. Rasa kasihan lantas saja timbul dari hatinya. Ia
ingat nasibnya sendiri waktu diubar2 oleh orang Koen Loen Pay dan ia ingat pula kera
piaraannya di pulau Peng Hwee To. Ia segera mengangkat binatang itu, mencabut anak panah
dan menaruh obat luka di lukanya. Sementara itu suara menyalaknya anjing sudah semakin
dekat. Buru buru ia menyingkap bajunya dan menyembunyikan kera itu. Sesat kemudian
belasan ekor anjing sudah tiba disitu dan karena mengendus bau kera, mereka lantas saja
mengurung Boe Kie sambil menyalak hebat dan memperlihatkan sikap menakuti. Melihat
galaknya kawanan anjing itu, Boe Kie agak keder. Ia mengert, bahwa begitu lekas ia
melemparkan si kera, ia akan terbebas dari ancaman.
Tapi berkat didikan mendingan ayahnya, sedari kecil ia sudah mempunyai jiwa ksatria.
Sehingga biarpun terhadap seekor binatang, ia sungkan memperlihatkan jiwa yang kecil.
Sesudah menarik nafas dalam2, ia melompat dan terus kabur, dengan diubar oleh kawanan
anjing itu.
Kawanan binatang itu anjing2 pemburu. Lari dengan kecepatan luar biasa dan baru saja kabur
belasan tombak, ia sudah di candak. Tiba2 ia merasa betisnya sakit digigit keras oleh seekor
anjing. Ia memutar dan menghantam kepala binatang itu yang lalu lantas saja robaoh tanpa
berkutik lagi. Tapi yang lainnya tidak menjadi keder dan dengan serentak mereka menubruk.
Ia melawan dengan nekat, tapi karena tulang pundaknya patah dan lengan kirinya tidak daoat
digerakan, tangan kirinya segera kena digigit. Hampir berbaring, kawanan anjing itu
menubruk dan menggigit kaki, tangan, kepala, punggung,.sekujur badannya. Dalam keadaan
setengah pingsan, sayup2 ia mendengar suara bentakan yang nyaring dari seorang wanita dan
sekejap kemudian matanya gelap.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 534
Entah berapa lama ia berada dalam mimpi. Ia mimipi dikerubuti anjing2 galak, ia membuka
mulut untuk berteriak, tapi suaranya tidak bisa keluar..dalam keadaan lupa ingat, ia merasa
anjing2 itu mundur teratur..
Tiba2 ia mendengar suara manusia. Panasnya mulai teduh. Mungkin ia ketolongan.
Perlahan2 ia membuka kedua matanya dan melihat, bahwa ia sedang rebah di atas ranjang
dalam sebuah kamar yang diterangi lampu kecil dan didepan ranjang berdiri seoranglelaki
setengah tua.
Dengan rasa heran ia berkata Toasiok.mengapa.aku…,ia tak dapat meneruskan perkataannya
karena sekujur badannya sakit bukan main dan badannya panas membara. Sekarang ia ingat,
bahwa ia telah diserang kawanan anjing.
Anak, umurmu panjang kata orang itu, Apa kau lapar?
Dimana..aku..katanya. sekali lagi ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua
matanya keburu gelap.
Waktu ia sadar pula, orang itu sudah pergi, Sedang aku tak akan hidup lebih lama lagi,
mengapa aku mesti mengalami begitu banyak penderitaan? katanya dalam hati. Ia mendapat
kenyataan, bahwa leher, kepala, bahu, tangan, paha, betis, dan dadanya semua dibalut dengan
kain dan bau daun obatmenusuk hidung.
Dari bau obat ia tahu, bahwa orang yang mengobatinya tidak begitu paham ilmu pengobatan.
Ia mengendus bau Heng Jin, Ma-cia-coe, Hong ho, Lum Chee dan kain2 obat yang biasa
digunakan untuk mengobati luka bekas gigitan anjing gila. Tapi ia bukan digigit anjing gila.
Yang perlu disembuhkan adalah daging dan otot2nya yang rusak. Dengan diberikannya obat
yang tidak cocok, lukanya jadi makin sakit. Tapi ia tak berdaya. Ia tak bisa bangun waktu
fajar menyingsing, lelaki setengah tua itu datang menengok lagi.
Toa siok, terima kasih banyak untuk segala pertolonganmu, kata Boe Kie.
Terima kasih apa? kata orang itu Bukan aku yang menolong kau.
Dimana aku berada? Siapa yang sudah menolong aku? tanya pula Boe Kie.
Kau berada di Bwee-hoa San-Chung (gedung bunga Bwee), jawabnya Yang menolong kau
adalah siocia (nona) kami. Apa kau lapar? Sebaiknya kau makan bubur panas. Sambil berkata
begitu, ia bertindak keluar dan balik dengan membawa semangkok bubur daging. Baru saja
Boe Kie makan beberapa sendok, ia merasa nek dan tidak bisa makan lebih banyak.
Sesudah rebah delapan hari, barulah Boe Kie bisa bangun perlahan2. ia tak bertenaga dan
kalau berdiri, kedua kakinya gemetaran. Ia tahu kelemahan itu adalah akibat terlalu banyak
mengeluarkan darah dan kekuatannya tidak bisa pulih dalam tempo cepat. Lelaki setengah tua
setiap hari merawatnya dan membawa bubur, sehingga walaupun sikapnya agak kurang enak,
Boe Kie merasa sangat berterima kasih. Orang tua itu tidak suka banyak omong dan biarpun
Boe Kie ingin sekali mengajukan banyak pertanyaan ia tidak berani membuka mulut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 535
Hari itu, lelaki setengah tua itu kembali membawa obat2an yang sama, campuran Hong hong,
Lam-chee dan lain2. tanpa merasa Boe Kie berkata Toasiaok, obat itu tidak begitu cocok
untuk mengobati lukaku ini. Bolehkah memohon pertolongan supaya toasioak suka
menukarnya?
Dia kelihatan mendongkol dan mengawasi Boe Kie dari kepala sampai ke kaki Surat obat
Looya mana bisa salah? katanya. Kau kata tak cocok. Tapi dengan obat itu, kau teloah
dihidupkan kembali. Bocah, jangan kau ngaco belo. Looya seorang mulia, sehingga meskipun
ia dengar perkataanmu, ia tentu tak menjadi gusar. Tapi kau sendiri harus mengenal kira2
jangan asal menggoyangkan lidah sehabis berkata ia segera menempelkan obat itu si luka Boe
Kie dan lalu membalutnya.
Sesudah selesai ia berkata. saudara kecil, kulihat kau sudah mulai sembuh. Adalah pantas jika
sekarang kau menghaturkan terima kasih kepada Looya, Tai tai dan Siocia yang sudah
menolong jiwamu.
Tentu saja kata Boe Kie Toasiok, kalau dapat, sekarang saja aku mohon kau mengantarkan
aku pada mereka.
Dengan ditemani orang itu sebagai penunjuk jalan, Boe Kie melalui lorong yang sangat
panjang dan sudah melewati dua ruangan. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang sangat
indah. Waktu sudah musim dingin dan dan hawa di seluruh daerah gunung Koen Loen dingin
bukan main, tapi ruangan itu hangat bagaikan di musim semi dan anehnya Boe Kie sama
sekali tidak melihat perapian. Dengan rasa kagum ia mengawasi sebuah vas indah di atas meja
dengan beberapa batang bunga bwee merah, didepan dialaskan dengan seprei sulam dan
kursi2 dengan bantal sulam yang terbuat dari sutra. Seumur hidupnya, ia belum melihat
ruangan yang seindah itu. Tiba2 ia ingat pakaiannya yang compang camping, sehingga ia
merasa mukanya panas.
Disitu tidak terdapat manusia. Dengan sikap hormat dan sambil membungkuk pengantarnya
berkata Bocah yang digigit anjing sudah sembuh dan ia datang untuk menghaturkan terima
kasih kepada Looya dan Tai tai.
Beberapa saat kemudian, dari belakang sekosol muncul seorang gadis kecil yang baru
berumur kira2 lima belas tahun. Sesudah melirik Boe Kie, ia berkata Kiauw Hok, terlalu kau!
Mengapa kau bawa ia kemari? Kutu busuk dipakaiannya bisa berlompatan disini.
Ya.ya kata Kiauw Hok
mwndengar perkataan itu Boe Kie memang sudah merasa jengah, jadi lebih malu lagi,
sehingga selebar mukanya lantas saja berubah merah. Memang benar, sebab tak punya
tukaran, pakaian yang comang camping sudah banyak tumanya. Diam2 ia melirik da melihat
bahwa gadis itu berparas cantik dengan muka potongan telor dan mengenakan pakaian
semacam sutra yang berkilauan, sedang pergelangannya sangat halus Waktu diserang anjing,
kudengar suara bentakan seorang wanita katanya dalam hati. Kiauw Toasioak juga
mengatakan bahwa orang yang menolong aku adalah siocianya. Kalau begitu dialah siocia
yang dimaksudkan. Aku harus menghaturka terima kasih dengan berlutut. Memikir begitu ia
lantas saja menekuk kedua lututnya seraya berkata. Terima kasih atas pertolongan siocia.
Selama hidup Thio Boe Kie takkan melupan budi yang sangat besar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 536
gadis itu kelihatan kaget dan sejenak kemudian, ia tertawa cekikikan. Aduh! Kiauw Hok
mengapa kau mempermainkan bocah tolol itu? katanya.
Kiauw Hok turut tertawa geli. Siauw Hong Ciecie katanya apa salahnya jika bocah tolol itu
berlutut dihadapanmu? Dia belum pernah melihat luasnya dunia dan meihat kau, dia menduga
kau adalah siocia.
Boe Kie bersikap buru2 ia bangun berdiri. Celaka! Seorang budak dianggapnya seorang
majikan! Sungguh hebat rasa malunya, mukanya sebentar merah, sebentar pucat.
Sambil menahan tawanya Siauw Hong mengawasi Boe Kie, dari kepala sampai di kaki. Noda
darah di muka dan di badan si bocah masih belum hilang. Disana sini masih terdapat perban
pada luka yang belum sembuh. Muka Boe Kie sebentar pucat sebentar merah, kalau bisa
siang2 ia sudah selulup di tanah.
Looya dan Tai tai ada urusan, kau tak usah menemui beliau kata Siauw Hong Mari menemui
Siocia saja. Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan berjalan dulu cepat cepat, seperti
juga ia takut terkena tuma dari baju si bocah.
Boe Kie mengikuti di belakang Siauw Hong dan Kiauw Hok, bujang2 perempuan dan lelaki
yang ditemui mereka semua berpakaian mewah, sedang ruangan2 yang dilewati semua indah
dengan perabotan lengkap. Semenjak dilahirkan sampai berusia sepuluh tahun Boe Kie
berdiam di pulau Peng Hwee To dan sesudah itu beberapa tahun ia berdiam di Boe Tong San
dan beberapa tahun lagi di Ouw Tiap Kok. Selama belasan tahun, ia selalu hidup sederhana
dan ia tak pernah mimpi, bahwa di dalam dunia terdapat kemewahan yang begitu rupa.
Sesudah berjalan beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah toa tia(ruangan besar)yang
diatasnya tergantung selembar pian dengan tulisan Han Kong Kie (rumah anjing).
Siauw Hong masuk dan beberapa saat kemudian, ia keluar dan menanggapi, Kiauw Hok
segera mengajak Boe Kie masuk ke dalam.
Begitu masuk si bocah terkesiap, karena dalam ruangan itu terdapat kurang lebih tiga puluh
ekor anjing yang bertubuh besar dan galak kelihatannya. Semua mendekam di lantai dalam
tiga baris. Di atas sebuah kursi yang dialaskan kulit harimau berduduk seorang wanita muda
yang mengenakan baju bulu2 rase putih dan memegang pecut.
Tenggorokan! tiba2 nona itu membentak.
Hampir berbarengan, seekor anjing melompat dan menyambar ke arah leher seorang yang
berdiri di pinggir tembok.
Celaka!.... Boe Kie mengeluarkan teriakan tertahan.
Dilain saat, ia melihat anjing itu sudah menggigit sepotong daging yang lalu dimakannya
sambil mendekam. Sekarang ia baru tahu, bahwa manusia yang barusan disambar hanyalah
orang-orangan yang terbuat dari kulit dan pada bagian2 badannya yang berbahaya dicantelkan
potongan2 daging.
kepungan! bentak pula si nona.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 537
Anjing kedua melompat dan menggigit kepungan orang-orangan itu. Serangan kedua anjing
itu cepat dan tepat. Sekarang Boe Kie ingat, bahwa yang menyerangnya pada hari itu adalah
anjing2 tersebut dan lapat2 ia juga teringat bahwa suara bentakan wanita yang didengarnya
sebelum ia pingsam adalah wanita yang sekarang ada di hadapannya.
Kedatngan Boe Kie sebenarnya untuk menghaturkan terima kasih pada penolongnya. Tapi
sekarang ia tahu, bahwa anjing2 yang sudah menggigitnya adalah binatang piaraan nona itu.
Tiba2 saja darahnya meluap, Sudilah! pikirnya Dengan dilindungi oleh binatang2 itu, aku
tidak bisa berbuat apa2 terhadapnya. Kalau aku tahu bahwa semua penderitaanku adalah
karena gara2nya, aku lebih suka mampus daripada menerima pertolongannya. Memikir begitu
dengan gregetan ia membuka semua perban yang masih menempel pada dirinya dan
melemparkannya ke atas lantai. Sesudah itu ia memutar badan dan berjalan pergi.
Kiauw Hok kaget Hei! teriaknya Mengapa kau pergi? Inilah siocia kami. Lekas berlutut!.
Berlutut? mengulangi Boe Kie dengan suara gusar. Bukankah anjing2 yang menggigit aku
miliknya sendiri?.
Melihat kegusaran si bocah, nona itu tersenyum. saudara kecil ia menanggapi. Mari sini.
Boe Kie memutar badan dan segera berhadapan dengan nona rumah. Entah mengapa,
mendadak jantungnya memukul keras, nona itu yang berusia tujuh belas tahun atatu delapan
belas tahun, ternyata cantik luar biasa. Sudah sering ia melihat wanita cantik, tapi seumur
hidup belum pernah melihat yang secantik si nona. Mukanya yang mula2 pucat berubah
menjadi merah.
Kemari! panggil nona itu.
Boe Kie mengangkat kepala dan matanya kebentrok dengan sepasang mata yang bersorot
halus, tapi berpengaruh, sehingga tanpa merasa, ia bertindak maju. Nona itu bangkit dan
mencekal kedua tangan Boe Kie yang badannya jadi bergemetaran. Tangan itu halus dan
empuk. Si bocah malu dan bingung, ia ingin menarik tangannya, tapi tak rela ia berbuat
begitu.
Saudara kecil apa kau gusar terhadapku? tanya si nona.
Sesudah menderita begitu hebat dari kawanan anjing itu, bagaimana ia tak gusar? Tapi
sekarang dengan tangan dicekal dan dengan berdiri dalam jarak yang begitu dekat dengan si
cantik, sehingga ia dapat menggendus bau yang sangat harum, mana bisa ia mengaku gusar. Ia
menggelengkan kepala dan menjawab Tidak.
Jilid 29__________________
Aku she Coe, namaku Kioe Tin. Si nona memperkenalkan dirinya. Dan kau?
Namaku Thio Boe Kie, jawabnya.
Hm Bagus sekali namamu. Saudara kecil kurasa kau putra dari keluarga sastrawan. Duduklah
di sini. Seraya berkata begitu, ia menunjuk sebuah kursi di sampingnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 538
Semenjak dilahirkan, inilah untuk pertama kali Boe Kie merasakan pengarah seorang wanita.
Kalau waktu itu Kioe Tin memerintahkan ia melompat ke dalam api, ia pasti akan melompat.
Dengan hati berdebar-debar ia lalu duduk di kursi yang ditunjuk.
Melihat perlakuan nona mereka yang begitu ramah tamah terhadap bocah kotor dan bau itu,
bukan main rasa herannya Siauw Hong dan Kiauw Hok.
Tiba-tiba Kioe Tin membentak. Jantung!
Seekor anjing lantas saja melompat dan menerjang. Tapi daging yang tergantung di bagian
jantung dari orang yang sudah tidak ada lagisudah dimakan oleh anjing lain dan anjing itu
lantas menggigit potongan daging yang digantung di bawah ketiak.
Binatang! bentak si nona. Kau berani melawan!
Terrrr!....Terrr., ia menyabet dua kali. Pada pecut itu dipasang duri-duri halus, sehingga di
badan anjing yang dihajar lantas saja terlihat dua garis yang bersemu darah. Tapi anjing itu,
yang rupanya sudah lapar, masih tidak melepaskan daging yang digigitnya. Bukan saja begitu,
dia bahkan menggeram.
Nona Coe mengkin jadi gusar. E..eh! Benar-Benar kau melawan! bentaknya dan pecutnya
lantas saja menyambar-nyambar bagaikan kilat. Ia memukul dengan gerakan lincah dan
meskipun anjing itu bergulingan di lantai, setiap sabetannya selalu mengenai sasaran,
sehingga akhirnya, binatang itu tidak berani bergerak lagi dan mendekam sambil
mengeluarkan suara minta diampuni. Tapi Kioe Tin masih memukul dan baru berhenti setelah
binatang itu tidak bias berkutik lagi dan napasnya tinggal sekali-sekali. Kiauw Hok, bawa dia
keluar dan obati lukanya.
Baiklah, jawabnya dan ia lalu memondong anjing itu.
Melihat contoh yang hebat itu, anjing-anjing lain mendekam tak berani berkutik.
Sesudah itu, dengan beruntun-runtun Kioe Tin mengeluarkan perintah. Betis kiri! Bahu
kanan! Mata!
Tiga ekor anjing dengan beruntun melompat dan menggigit menurut perintah.
Saudara kecil, lihatlah! kata si nona sambil tersenyum. Kalau tidak dijambak, mana mereka
mau dengar kata?
Walaupun telah menderita karena serangan kawanan anjing, tapi melihat hajaran hebat yang
diberikan oleh nona Coe, Boe Kie merasa kasihan dan tidak dapat membenarkan tindakan
nona yang dianggap kejam olehnya.
Melihat Boe Kie membungkam, si nona tertawa dan berkata pula. Tadi kau mengatakan tak
gusar. Tapi mengapa kau tak mau bicara? Bagaimana kau bias berada di wilayah See Hek, di
wilayah barat ini. Dimana ayah dan ibumu?
Sebelum menjawab, si bocah memikirkan sejenak. Ia merasa, bahwa dalam keadaan yang
seperti ini, jika menyebutkan nama Tay Soehoe atau kedua orang tuanya merendahkan derajat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 539
orang tua itu. Maka ia lantas saja berkata ayah dan ibunya sudah meninggal dunia karena di
Tionggoan sukar mencari makan, maka aku terlunta-lunta sampai di sini.
Mengapa kau menyembunyikan kera yang telah kupanah? Tanya pula nona Coe. Apa kau
kelaparan? Mau makan daging kera, bukan? Hmm Hampir-hampir kau dirobek oleh anjinganjingku.
Muka si bocah lantas saja berubah merah. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia berkata.
Bukan, aku bukan mau makan daging kera.
Kioe Tin menepuk pundak Boe Kie dan berkata seraya tersenyum. Lebih baik kau jangan
berdusta. Ia berdiam sejenak dan berkata pula. Ilmu silat apa yang pernah kau pelajari?
Dengan sekali memukul kau telah meremukkan batok kepalan Co Ciangkoen. Tenagamu
boleh juga. (Ciangkoen - Jenderal)
Co Ciangkoen? Boe Kie menegas dengan heran.
Si nona tak menjawab, ia hanya tersenyum. Tiba-Tiba ia membentak, Cian Ciangkoen!
Seekor anjing lantas saja keluar dari barisannya lalu mendekam di tengah ruanga.
Ki-Ki Ciangkoen! si nona membentak pula dan hampir berbareng, seekor anjing lain keluar
dari barisan. Ternyata setiap anjing diberi nama Jenderal dan Coe Kioe Tin sendiri berlaku
sebagai panglima besar.
Karena bingung, mungkin sekali aku sudah mengeluarkan tenaga habis-habisan, jawab Boe
Kie. diwaktu kecil, dua tiga tahun aku belajar sejurus dua jurus Dari mendiang ayahku. Tak
dapat dikatakan, bahwa aku tahu ilmu silat.
Kioe Tin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian, ia menengok kea rah Siauw
Hong dan berkata Antar dia ke kamar mandi dan berikan pakaian baru.
Baik, jawabnya sambil tertawa kecil.
Boe Kie merasa berat untuk meninggalkan ruangan itu. Waktu tiba di ambang pintu, tanpa
sadar ia merasa menengok ke belakang dan melirik Kioe Tin. Apa mau, pada detik itu, si nona
pun sedang mengawasi dia, sehingga tanpa tercegah lagi, dua pasang mata segera beradu. Si
nona tertawa dan rasa jengahnya Boe Kie tak dapat dilukiskan lagi. Semangatnya terbang,
kakinya tersandung balok yang melintang di tengah pintu dan roboh terguling. Karena
lukanya belum sembuh, bukan main sakitnya. Tapi, tanpa mengeluarkan suara, buru-buru ia
bangun dan berdiri, Siauw Hong tertawa geli. Hm, siapapun yang melihat Siocia, dia pasti
roboh, katanya. Tapi, kaukecil-kecil matamu sudah seperti mata culik.
Boe Kie jadi makin malu. Ia berjalan secepat mungkin. Sesudah berjalan beberapa lama,
sekonyong-konyong Siauw Hong berkata.
Eh, mau kemana kau? Apakah kau mau pergi ke kamar Tai Tai?
Si bocah menghentikan tindakannya. Di sebelah depan ia melihat sebuah kamar dengan tirai
jendela sulam. Sekarang ia mengerti, bahwa karena bingung dan terburu-buru, ia sudah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 540
mengambil jalanan yang salah. Siauw Hong sangat jahil, sesudah si bocah berada di depan
kamar buku nyonya majikan, barulah ia mengejek.
Boe Kie menunduk tanpa mengeluarka sepatah kata. Ia malu dan mendongkol.
Aku akan mengantarkan kau jika kau berkata Siauw Hong cici, tolonglah aku, kata si jahil.
Mau tak mau Boe Kie berkata, Siauw Hong cici..
Ada apa? Tanya Siauw Hong.
Tolonglah aku, antarlah aku keluar dari jalanan yang salah ini. Jawabnya.
Nah! Benar begitu! kata si jahil sambil tertawa.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kamar si bocah.
Siocia memberi perintah, supaya bocah ini mandi, kau berikan pakaian baru kepadanya, kata
Siauw Hong kepada Kiauw Hok.
Baik, Baik! jawabnya dengan sikap hormat.
Melihat sikap Kiauw Hok, Boe Kie menduga bahwa Siauw Hong bukan dayang biasa,
sedikitnya ia mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pelayan atau dayang biasa. Disaat
lain, lima enam pelayan lelaki menghampiri dan merebut mengajak omong dengan
menggunakan penggilan Siauw Hong cici. Tapi dia tidak meladeni.
Tiba-tiba Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan menjura kepada Boe Kie.
Si bocah kaget. E-eh, mengapa?.... tanyanya.
Tadi kau berlutut dihadapanku dan sekarang membalas hormat, jawabnya sambil memutar
badan dan terus berjalan pergi.
Kepada kawan-kawannya Kiauw Hok segera menceritakan bagaimana Boe Kie berlutut di
hadapan Siauw Hong yang dianggapnya Coe Kioe Tin. Cerita itu ditambah bumbu sedap,
sehingga semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Boe Kie tak jadi gusar. Di dalam
hatinya, ia telah mengingat wajah nona Coe, gerak-geriknya, dan perkataan-perkataannya.
Sesudah mandi, Kiauw Hok menyerahkan satu stel pakaian kain hijau padanya, yaitu pakaian
pelayan. Sambil bengong, ia mengawasi pakaian itu. Sungguh celaka! katanya di dalam hati.
Aku belum jadi pelayan, bagaimana aku bisa pakai pakaian begitu? jika menuruti adat ia tentu
sudah menolak. Tapi di lain saat ia mendapat lain pikiran kalau Siocia memanggil aku dan
melihat aku masih mengenakan pakaian rombeng. Ia tentu akan jadi gusar. Pikirnya, Apa
salahnya andai kata aku benar jadi pelayannya? Memikir begitu, jadi tenang dan tanpa berkata
suatu apa, ia segera memakai pakaian itu.
Tapi panggilan si nona yang ditunggu-tunggu tak kunjung datan. Jangankan Kioe Tin, Siauw
Hong pun tak kelihatan mata hidungnya. Boe Kie hanya dapat membayang-bayangkan wajah
nona Coe. Ia merasa, bahwa di dalam dunia yang lebar ini, tak ada wanita yang secantik dia.
Ia ingin sekali pergi ke bagian gedung itu untuk melihat si nona atau mendengar suaranya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 541
yang merdu dari kejauhan. Tapi ia tidak berani, karena sudah beberapa kali Kiauw Hok
memesan, supaya, kalau tidak dipanggil, tidak boleh masuk ke ruang belakang, karena bisa
diserang kawanan anjing.
Dengan cepat satu bulan sudah berlalu. Luka-luka Boe Kie sudah sembuh seluruhnya. Hanya
pada muka dan tangannya terdapat bekas-bekas gigitan yang tak bisa hilang. Tapi ia tak jadi
jengkel. Sebaliknya daripada jengkel setiap kali melihatnya, ia ingat bahwa luka itu adalah
akibat gigitan anjing si nona. Hatinya merasa senang.
Sementara itu, racun dingin yang masih mengeram dalam badannya mengamuk dalam setiap
waktu tertentu, yaitu sekali setiap tujuh hari, yang satu lebih hebat dari yang lain. Hari itu,
racun dingin menyerang pula. Ia rebah di ranjang dengan selimut, badannya menggigil,
giginya gemetaran. Waktu Kiauw Hok masuk dan melihat si bocah berada dalam keadaan
begitu, ia tidak jadi heran. Sebentar, kalau sudah mendingan, kau bangun dan makan
semangkok bubur panas. Katanya. Nih, ini pakaian baru hadiah dari Tai Tai untuk melewati
tahun baru. Sesudah berkata begitu, ia menaruh satu bungkusan di atas meja.
Kira-kira tengah malam barulah serangan racun mulai mereda. Ia bangun dan membuka
bungkusan itu yang berisi baju kulit kambing baru. Ia girang, tapi iapun tahu, bahwa baju itu
adalah baju untuk pelayan, sehingga, dengan demikian ia sudah dianggap sebagai pelayan dari
keluarga Coe.
Pada hakikatnya Boe Kie beradat kasar dan kenyataan itu tidak dianggap sebagai hinaan
olehnya. Tak dinyana aku berdiam di sini sampai sebulan lebih dan sekarang tahun baru
kembali berada di depan mata, katanya di dalam hati. Ouw Shinshe mengatakan bahwa aku
tak bisa hidup lebih daripada satu tahun lagi. Inilah tahun baru penghabisan yang dapat
dilewati olehku.
Seperti umumnya terjadi pada setiap keluarga hartawan. Dalam menghadapi tahun baru,
Keluarga Coe pun repot bukan main. Pelayan-pelayan membersihkan dan mencat rumah dan
perabotan. Beberapa hari sebelum tiba tanggal satu, mereka sudah memotong babi, kembing,
dan ayam untuk merayakan tahun yang baru. Boe Kie membantu apa yang bisa dibantunya. Ia
mengharap harian tahun baru lekas-lekas dating. Pada hari itu, semua orang akan
menghaturkan selamat tahun baru kepada Laoya dan Tai Tai dan ia merasa pasti, ia akan bisa
bertemu lagi dengan nona Coe. Ia mengambil keputusan, bahwa melihat lagi wajah Coe Kioe
Tin, ia akan berlalu dengan diam-diam dan menyembunyikan diri di gunung yang sepi supaya
ia bisa mati tanpa diketahui manusia.
Dengan sambutan petasan, tibalah harian Go Antan (tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan
imlek). Dengan dipimpin CongKoan (pengurus Rumah Tangga) semua pelayan lelaki, berikut
Boe Kie, pergi ke Toa Thia untuk memberi selamat tahun bau kepada tuan dan nyonya rumah.
Di tengah-tengah ruangan itu duduk sepasang suami isteri setengah tua dan kira-kira 80
pelayan serentak berlutut di hadapan mereka. Suami isteri itu tertawa girang. Bangunlah,
kamu sudah banyak capai. kata mereka yang lalu memerintahkan dua pembantu pengurus
rumah memberi hadiah. Boe Kie juga mendapat bagiannya, satu bungkusan merah yang
bersih empat tail perak. Tapi bukan itu yang diharap-harapkan. Ia merasa menyesal bukan
main, karena nona Coe tidak kelihatan mata hidungnya. Sambil mencekal bungkusan uang, ia
berdiri bengong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 542
Tiba-tiba di luar terdengar suara yang nyaring dan merdu. Piauw Ko, tahun ini siang-siang ini
kau sudah datang. Suara itu adalah suara Coe Kioe Tin (Piauw Ko Kakak sepupu)
Untuk memberi selamat tahun baru kepada Koe Koe dan Koe Bo, bagaimana aku berani
datang terlambat? Kata seorang lelaki sambil tertawa. (Koe Koe Paman, saudara lelaki dari
ibu, Koe Bo bibi isteri Koe Koe)
Boe Kie merasa mukanya panas. Jantungnya melonjak-lonjak, tangannya mengeluarkan
keringat. Sesudah mengharap-harap selama dua bulan, baru sekarang ia mendengar suara si
nona. Semangatnya terbang dan ia berdiri terpaku.
Dilain saat terdengar suara seorang wanita lain. Memang suko terburu datang kemari, aku tak
tahu entah ia datang untuk memberi selamat kepada kedua orang itu, entah untuk memberi
selamat kepada Piauw Moay. Sehabis berkata begitu, wanita itu tertawa geli. (Soeko kakak
seperguruan. Piauw Moay adik perempuan sepupu)
Hampir berbareng, tiga orang muda berjalan masuk dan semua pelayan-pelayan buru-buru
menyingkir untuk membuka jalan. Hanya Boe Kie yang masih terus berdiri seperti orang
hilang ingatan dan kakinya baru bergerak sesudah tangannya diseret Kiauw Hok.
Dari ketiga orang muda itu, yang berjalan di tengah adalah seorang pemuda. Sedang Coe Kioe
Tin berjalan di sebelah kiri. Ia mengenakan baju bulu yang berwarna merah sehingga
kecantikannya jadi lebih mencolok. Di sebelah kanan pemuda itu berjalan seorang wanita
lain. Usia mereka kira-kira sebaya, semuanya belum mencapai dua puluh tahun.
Begitu mereka masuk, mata Boe Kie terus mengincar Nona Coe. Tidak memperdulikan yang
lain. Ia seperti juga tidak melihat dua orang muda yang lain, tidak melihat cara bagaimana
memberi selamat tahun baru dan tak mendengar apa yang dikatakan mereka. Dimatanya
hanya kelihatan seorang, yaitu Nona Coe Kioe Tin.
Dalam usia yang masih muda, masih kekanak-kanakan Boe Kie sebenarnya masih belum
tentu apa artinya cinta antara lelaki dan perempuan. Iapun bukan manusia yang kemaruk akan
paras cantik. Tapi dalam hidupnya seorang manusia tertarik yang pertama kali terhadap
kecantikan seorang wanita selalu memberi akibat yang hebat. Sebagai manusia, Boe Kie pun
tidak kecuali. Disampint itu pada hakekatnya, Boe Kie mempunyai perasaan halus dan
mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap sesama manusia, tak perduli lelaki atau
perempuan, tua atau muda. Maka itu dapatlah dimengerti begitu bertemu dengan Coe Kioe
Tin yang sangat cantik dan mempunyai pengaruh luar biasa atas dirinya, Boe Kie jadi seperti
hilang ingatan. Di dalam hatinya sama sekali tidak terdapat pikiran yang tidak-tidak. Tidak!
Sedikitpun tidak! Ia hanya merasa beruntung jika bisa melihat wajah si nona, mendengar
suara si nona yang sangat merdu.
Sesudah mendapat hadiah, pelayan-pelayan yang lain lantas saja bubar.
Sesudah berbincang-bincang beberapa lama Coe Kioe Tin berkata, ayah, ibu, aku ingin jalanjalan
bersama Piauw Ko dan Ceng Moay.
Kedua orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan ketiga orang muda tersebut lantas
saja bertindak ke luar dan pergi ke halaman belakang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 543
Tanpa merasa Boe Kie mengikuti dari jauh. Pada hari raya yang penting itu, tak ada orang
yang memperhatikannya. Semua pelayan bersuka ria, berjudi, dan sebagainya. Sekarang baru
Boe Kie melihat nyata, bahwa pemuda itu berparas sangat tampan dan dalam hawa udara
yang sangat dingin, ia hanya mengenakan jubah panjang warna kuning dari sutra tipis.
Sehingga dapatlah diketahui bahwa ia memiliki Lweekang yang tinggi. Wanita yang satunya
mengenakan baju bulu warna hitam, badannya langsing, gerak-geriknya memikat, suaranya
lemah lembut dan cara-caranya halus. Mengenai kecantikan, ia tak kalah dari Coe Kioe Tin.
Tapi di mata Boe Kie, tiada manusia yang dapat menandingi nona Coe yang dipandangnya
seakan-akan seorang Dewi.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Tin Ci, kata wanita itu, kau pasti
sudah memperolah banyak ilmu It Yang Ci. Bolehkah kau memperlihatkan kepada adikmu?
(It Yang Ci semacam ilmu menotok dengan jari tangan dari It Teng Taysu)
Ah! Jangan kau menggoda aku, kata Kioe Tin. Biar aku berlatih sepuluh tahun lagi, mana bisa
aku menandingi Lan Hoea Hoed Hiat Chioe dari keluarga Boe. (Lan Hoea Hoed Hiat Chioe
ilmu menotok jalan darah dengan lima jari tangan yang dipentang seperti Lan Hoa atau bunga
anggrek)
Pemuda itu tertawa,Sudahlah! Kalian tak usah saling merendahkan diri, katanya. siapakah
yang tidak mengenal Soat Leng Siang Moay yang sangat lihai? (Soat Leng Siang Moay
Sepasang saudara perempuan dari bukit salju)
Aku belajar dan berlatih sendirian saja. Kata Kioe Tin. Mana bisa aku menyusul kemajuan
kalian dua saudara seperguruan yang setiap detik bisa saling berdamai dan berlatih bersamasama.
Wanita muda itu tidak menjawab, ia hanya bisa tersenyum sambil monyongkan mulutnya,
seperti juga ia mengakui kebenarannya nona Coe.
Sebab kuatir Kioe Tin jadi gusar, pemuda itu buru-buru berkata, ah, sebenarnya tidak begitu.
Kau mempunyai dua orang guru Koe Koe dan Koe Bo. Di bawah pimpinan kedua orang tua,
itu keaadaanmu banyak lebih baik daripada kami berdua.
Kami!....kami!..... nona Coe menggerutu. Kecintaan antara saudara seperguruan memang
lebih hebat daripada kecintaan antara saudara sepupu. Baru saja aku bergurau dengan Ceng
Moay, kau sudah membantunya dengan mati-matian. Sehabis berkata begitu ia memutar
badan.
Pemuda itu tertawa, Piauw Moay disayang, Soe Moay juga disayang, katanya. aku tidak
memilih kasih.
Nona Coe memutar pula badannya dan berkata, Piauw Ko kudengar gurumu menerima lagi
seorang murid perempuan. Apa benar?
Benar, jawabnya.
Wanita yang dipanggil Ceng Moay rupanya masih ingin menggoda nona Coe. Ia tersenyum
seraya berkata. Tin Ci, Soemoay kecil itu sangat cantik parasnya. Bukan saja cantik, dia
pandai bicara dan sangat menarik hati. Setiap hari dia mengikat Soe Ko dengan macamTo
Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 544
macam permintaan. Minta diajar ini, diajar itu, kalau nanti kau bertemu dengannya, kau
sendiri tentu akan mencintai dia..
Apa? menegas Kioe Tin dengan suara dingin. Apa dia lebih cantik dari Ceng Moay?
Mana bisa aku menandingi Siauw Soe Moay itu, jawabnya. Hanya Tin Ci yang dapat
ditandingi dengannya.
Aku bukan lelaki tampan yang kemaruk akan paras cantik, kata nona Coe. Bagaimana kau
bisa mengatakan aku akan mencintai Siauw Soe Moay itu?
Mendengar perkataan yang menghantam dirinya, pemuda itu lantas saja tertawa dan berkata,
Piauw Moay, bolehkan kau mengajak kami melihat jenderal penjaga pintu? Makin lama
mereka pasti makin lihai.
Coe Kioe Tin lantas jadi girang. Baiklah! jawabnya. Ia segera berjalan ke arah Han Kong Ki,
Boe Kie tetap mengikuti dari kejauhan.
Begitu tiba, nona Coe segera memerintahkan pelayan perawat anjing untuk melepaskan
semua binatang itu. Melihat kawanan anjing yang galak angker, pemuda tersebut memuji tak
henti-hentinya sehingga Kioe Tin jadi lebih bunga hatinya.
Ceng Moay tertawa geli sambil menutup mulutnya dengan tangan. Soe Ko katanya pangkat
apa yang dikehendaki olehmu, Koan Koen atau Piauw Ki?
Pemuda itu terkejut. Apa katamu? tanyannya.
Kau begitu memperhatikan kata Tin Ci, jawabnya. Apakah tak layak jika Tin Ci memberi
pangkat Koan Kun, Ciang Koen atau Piauw Ki Ciangkoen kepadamu? Hanya kau harus
berhati-hati jangan sampai dicambuk.
Sebagaimana diketahui, Kioe Tin memberi nama-nama pangkat jenderal kepada anjinganjingnya.
Sehingga dengan begitu si nona mengejek Soe Ko-nya dan mempersamakannya
dengan seekor anjing.
Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. Jangan ngaco belo! bentaknya dengan
suara mendongkol. Kau mencaci aku sebagai anjing, bukan?
Ceng Moay tersenyum. Jenderal-jenderal itu selalu berdampingan dengan wanita cantik,
mereka menggoyang-goyang buntutnya, mengambil hati dan mereka merasa beruntung,
katanya. Apa tak enak hidup begitu?
Paras muka Kioe Tin lantas saja berubah.
Ceng Moay, kurasa aku tak berdosa terhadapmu, katanya dengan suara dongkol, mengapa
pada hari tahun baru ini, kau menghinaku?
Ceng Moay memperlihatkan paras muka heran E-eh! katanya. Aku datang kemari untuk
memberi selamat tahun baru. Mngapa kau mengatakan aku menghina kau?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 545
Nona Coe mengeluarkan suara di hidung. Mengingat persahabatan yang sangat erat antara
leluhur kedua keluarga, biarpun darahnya meluap, ia sebisa-bisanya menahan saabr. Ia
menengok kepada pemuda itu dan berkata, Piauw Ko, Kuminta kau suka jadi juru penimbang.
Apakah aku yang berbuat kesalahan terhadap Boe Sio Cia, atau Boe Sio Cia yang sengaja
cari-caru urusan, cari-cari ribut denganku.
Pemuda itu jadi serba salah. Ia tahu, ia tak boleh membantu piauw Moay dan juga tak boleh
menyokong Coe Moay. Mereka berdua adalah anak-anak yang biasa dimanja-manjakan.
Gadis-gadis yang sempit pemandangannya. Tak perduli pihak manapun yang dibenarkan
olehnya, ia bakal jadi berabe sekali. Maka itu, jalan yang paling selamat adalah berkelit, ia
ketawa dan berkata, Piauw Moay, sudah lama kita tak ketemu. Perlua apa tarik urat? Eh, ilmu
silat apa yang kau paling belakang dapat dari Koe Koe. Bolehkah kau memperlihatkan kepada
Kami?
Berapa hari yang lalu Thia-thia telah mengajariku semacam Pit Hoat, katanya. Aku masih
belum paham dan kuharap Ceng Moay dan Piauw Ko suka memberi petunjuk. (Pit Hoat
semacam gaya menulis huruf Tiongkok)
Ceng Moay? Dan pemuda itu menepuk-nepuk tangan. Bagus! kata Ceng Moay Tin Ci jangan
kau terlalu merendahkan diri. Ayolah supaya kami bisa menambah pengalaman.
Nona menggapai dan pelayan perawat anjing segera mengambil sepasang Poan Koan Pit yang
tergantung di tembok.
Boe Kie melihat bahwa di tembok itu tergantung rupa-rupa senjata, tapi yang paling banyak
adalah Poan Koan Pit. Seperti juga sebuah petunjuk bahwa Coe Sio Cia biasa menggunakan
senjata itu. Ayah Boe Kie, Thio Coei San, bergelar Gin Kauw Tiat Hoa dan ia seorang ahli
dalam menggunakan Poan Koan Pit. Dulu, kalau membicarakan ilmu silat dengan puteranya,
ia banyak sekali merundingkan hal-hal yang mengenai gaetan (kauw) dan Poan Koan Pit.
Oleh karena itu, Boe Kie mempunyai pengetahuan yang agak mendalam tentang kedua
senjata itu. Ayah pernah mengatakan bahwa dalam Rimba Persilatan, jarang sekali ada wanita
yang mampu menggunakan Poan Koan Pit, pikirnya. Dilihat begini, ilmu silat Coe Sio Cia
sudah sampai tingkatan tinggi, kalau tadi ia kesengsem karena kecantikan si nona, sekarang ia
kagum dan takluk karena Kioe Tin dapat menggunakan senjata istimewa yang biasa
digunakan oleh mendiang ayahnya.
Sambil mengibas Poan Koan Pit yang dicekal dalam tangan kirinya, Kioe Tin berkata, Ceng
Moay mari temani aku. Pit Hoat ini tidak dapat dilatih oleh seorang saja.
Ceng Moay tahu bahwa nona Coe mempunyai maksud tidak baik. Ia menggelengkan kepala
seraya berkata, Kepandaianku masih terlalu rendah. Mana biasa aku melayani Tin Ci?
Nona Coe mendesak berulang-ulang, tapi dia tetap menolak.
Melihat begitu, si pemuda perlahan-lahan menghampiri dan sambil mengangkat kedua
tangannya ia berkata, Piauw Moay, biar aku saja yang menemani kau. Aku hanya mengharap
kau menaruh belas kasihan. Kalau ujung Pit nyasar ke jalan darah Tian Tiong atau Pak Hwee.
Tahun ini Wie Pek tak bisa minum arak tahun baru. (Tian Tiong dan Pak Hwee adalah jalanjalan
darah yang sangat penting. Sekali tertotok, orang bisa binasa)
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 546
Mendengar perkataan yang mengandung pujian itu, hati nona Coe jadi senang sekali. Sambil
tertawa ia membentak, Jangan rewel! Jagalah! Pit kiri menyambar ke bawah, pit kanan ke
atas. Benar-benar ia menghantam Pak Hwee Hiat di embun-embunan dan Tian Tiong Hiat di
dada pemuda itu.
Wie Pek tidak bergerak, seolah-olah ia tahu, bahwa si nona tidak bakal menotok sungguhan.
Tapi kedua senjata it uterus menyambar bagaikan kilat dan dilain detik ujung senjata hanya
terpisah satu dim dari dua jalan darah tersebut.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak terdengar suara trang! dan kedua pit terpental
balik. Kecepatan bergeraknya Wie Pek sungguh luar biasa bagaimana ia menghunus pedang
dan bagaimana ia menangkis tak bisa dilihatnya.
Bagus! teriak nona Coe sambil melintangkan kedua senjatanya yang segera menyambar
bagaikan dua helai sinar putih.
Boe Kie menonton dengan penuh perhatian. Ia ingat, bahwa mendiang ayahnya pernah
mengatakan Poan Koan Pit adalah senjata untuk menotok jalan darah. Tapi karena bentuknya
menyerupai Pit, maka dalam senjata itu mengandung sifat-sifat Boen. (ilmu surat)
Keunggulannya ialah mudah digunakan dan indah gerakannya. Tapi di dalam pertempuran
mati-matian, manfaatnya masih kalah setingkat dengan senjata lain, misalnya golok atau
tombak. Sesudah memperhatikan beberapa lama, ia mendapat kenyataan bahwa nona Coe
benar-benar mahir dalam menggunakan Poan Koan Pit yang menyambar-nyambar ke delapan
penjuru dalam gerakan-gerakan yang sangat indah. Tiba-tiba hatinya berdebar-debar. Ah! Pit
Hoat itu menyerupai dengan In Thian To Liong Kang dari ayahku,katanya dalam hati. Ilmu
silat nona Coe juga berdasarkan Soe Hoat (Soe Hoat seni menulis huruf-huruf bagus)
Dilain pihak, ilmu pedang Wie Pek tidak juga cukup lihai. Tapi karena Boe Kie tidak
mengerti Kiam Hoat, maka dia tak dapat melihat kebagusannya ilmu pedang itu. Ia hanya
tahu bahwa makin lama pemuda itu jadi makin terdesak.
Sesudah bertempur sekian jurus, pit kiri Nona Coe tiba-tiba menyambar dari kanan ke kiri,
sedangkan pit kanan menyabet dari atas ke bawah.
Celaka! seru Wie Pek sambil melompat mundur. Kioe Tin sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik. Ia melompat pit kanan menyambar mata. Itulah pukulan yang lihai dan
sukar dielakkan.
Tahan!.. teriak Wie Pek, Aku menyerah kalah! Harap Sio Cia sudi mengampuni jiwaku.
Bukan main girangnya si nona. Ia tertawa seraya berkata, Piauw Ko kau bukan kalah
sungguhan. Kau hanya mengalah.., sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua senjatanya
yang lalu dilemparkan ke tembok. Blas! kedua Pit itu amblas di tembok, hanya beberapa dim
yang berada di luar tembok.
Boe Kie terkesiap. Ia tak nyana, bahwa wanita yang kelihatannya lemah memiliki Lweekang
yang begitu tinggi dan tenaga yang begitu besar. Bagus! Ia berteriak tanpa merasa.
Sudah lama ia berdiri di situ, tapi ketiga orang muda itu tidak memperhatikannya. Sekarang,
begitu bersorak, mereka menengok dan mengawasinya. Melihat, bahwa yan sorak hanya
seorang pelayan, Kioe Tin tidak memperdulikan. Ia rupanya sudah melupakan Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 547
Sambil menengok kepada Wie Pek, ia berkata, Piauw Ko, pit hoat tadi banyak sekali
kekurangannya. Kumohon Siauw Ko sudi memberi petunjuk.
Wie Pek tertawa, Piauw Moay, ilmu silatmu bukan saja hebat, tapi juga sangat indah
gerakannya, apa namanya?
Coba Kau tebak, kata nona sambil tolak pinggang.
Wie Pek menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gata. Koe Koe adalah turunan asli Soe Hoat,
katanya. Menurut pendapatku ilmu silat itu berdasarkan Soe Hoat.
Benar! seru Nona Coe sambil menepuk-nepuk tangan. Pintar juga kau Piauw Ko. Tapi Soe
Hoat apakah itu?
Piauw Moay yang baik, jangan kau coba-coba menguji aku, kata Wie Pek. Tidak,aku tak tahu.
Melihat sikap si nona terhadap Wie Pek, Boe Kie merasa sangat berduka. Ia merasa dirinya
kecil. Ia merasa bersaing dengan pemuda tampan itu. Sungguh beruntung jika ia bisa
mendapatkan kesempatan untuk menindih saingan itu. Maka itulah, begitu mendengar
pengakuan Wie Pek darahnya lantas saja bergolak dan tanpa merasa ia berteriak, Tay Kang
Tong Ki Hoat!
Coe Kioe Tin adalah turunan Coe Coe Liu. Nona si Boe itu, yang dipanggil Ceng Moay oleh
nona Coe, adalah turunan Boe Sam Tong, namanya Boe Ceng Eng. Ia adalah turunan Boe Siu
Boen, salah seorang putra Boe Sam Tong. Boe Sam Tong dan Coe Coe Liu ialah menteri
merangkap murid It Teng Taysoe, sehingga ilmu silat mereka berasal dari satu sumber. Akan
tetapi, sesudah lewat seratus tahun lebih, ilmu silat antara kedua keluarga itu agak berbeda.
Misalnya Boe Toen Ji dan Boe Sioe Boen telah mengangkat Kwee Ceng, Kwee Tayhiap
sebagai guru. Maka itu, biarpun mereka juga paham akan ilmu totok It Yang Ci, tapi ilmu
totok itu agak menyerupai cara-cara yang keras untuk dari ilmu silat Kioe Ci Sin Kay Ang Cit
Kong.
Wie Pek ialah saudara sepupu Coe Kioe Tin. Pemuda itu berguru kepada ayah Boe Ceng Eng.
Ia seorang pemuda yang berparas tampan, beradat baik dalam lemah lembut cara-caranya,
sehingga ia dicintai oleh kedua gadis cantik itu.
Usia nona Coe dan nona Boe kira-kira sebaya, sama-sama cantik, sama-sama pintar dan ilmu
silat merekapun kira-kira standing. Maka itu, orang Rimba Persilatan di sekitar Koen Loen
San memberi gelar Soat Leng Siang Moay (Sepasang Saudara perempuan dari Bukit Salju)
kepada mereka.
Dalam mencintai Wie Pek, Coe Kioe Tin lebih berani mengutarakan rasa cintanya. Tapi Boe
Ceng Eng yang pemalu bisa menarik keuntungan, yaitu karena belajar bersama-sama,
makanya bisa lebih banyak bergaul dengan pemuda itu daripada nona Coe.
Mendengar seruan Tay Kang Tong Ki Hoat, ketiga orang muda itu terkejut. Sebagai orangorang
yang Boen Boe Song Coan (mengerti ilmu surat dan ilmu silat) Wie Pek dan Ceng Eng
bukan tak tahu, bahwa ilmu silat nona Coe berdasarkan Tay Kang Tong Ki Hoat. Mereka
hanya tidak mau menyebutkannya, supaya nona itu jadi lebih senang hatinya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 548
Pada waktu itu, Boe Kie baru berusia kira-kira lima belas tahun. Tanpa sesuatu yang luar
biasa, baik dari muka, maupun dari potongan badannya. Maka itu, Wie Pek dan Boe Ceng
Eng segera menduga, bahwa ia adalah pelayan di lapangan berlatih silan dan sudah
mendengar nama ilmu pukulan itu.
Tapi Coe Kioe Tin sendiri tahu, bahwa hal tiu tak akan bisa kejadian. Oleh karena, setiap kali
mengajar ilmu silat, ayahnya tak pernah mengijinkan hadirnya siapapun jua dalam lapangan
berlatih. Apakah ia mencuri belajar?tanyanya di dalam hati. Memikir begitu, ia lantas saja
membentak, Hei! Siapa namamu? Bagaimana kau tahu ilmu silatku dinamakan Tay Kant
Tong Ki Hoat?
Mendengar si nona menanyakan namanya, Boe Kie merasa sangat berduka.
Bukankah aku sudah memberitahukan Kau? pikirnya. Kalau begitu, kau sedikitpun tak
memperhatikan aku, ia lantas menjawab Namaku Thio Boe Kie, aku hanya bicara secara
sembarangan.
Oh,..sekarang aku ingat, kata Kioe Tin.
Kau adalah bocah yang pernah digigit oleh anjing-anjingku, ia lebih jadi bercuriga, sebab ia
lantas saja ingat bahwa dengan sekali pukulan saja, anak itu telah menghancurkan kepala Co
Ciangkun sehingga dia pasti memiliki ilmu silat yang tidak boleh dipandang enteng. Apakah
dia seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh ayahku? tanyanya di dalam hati. Tanpa
mencuri, anak yang begitu kecil tak mungkin mengenal ilmu silat yang paling diandalkan oleh
ayahku.
Tapi, baru saja ia berniat untuk menyelidiki lebih lanjut, tiba-tiba ia melihat Wie Pek dan Boe
Ceng Eng sedang bicara bisik-bisik sambil duduk berendeng. Rasa cemburu lantas saja timbul
dalam hatinya dan ia tidak memperdulikan Boe Kie lagi. Ceng Moay! teriaknya. aku dan
Piauw Ko sudah memperlihatkan keburukan kami. Kuharap kaupun suka mempertunjukkan
ilmu silatmu yang tinggi.
Entah disengaja, entah tidak, Wie Pek dan Boe Ceng Eng tidak meladeni teriakan itu.
Kioe Tin naik darah, Biarpun Pit Hoatku sangat sederhana, tapi belum tentu ilmu silat
keluarga Boe bisa melawannya, katanya dengan suara dingin.
Nona Boe mengangkat kepalanya dan membalas dengan suara yang sama dinginnya. Soe Kokoe
tahu, bahwa kau seorang yang mau menang sendiri sehingga ia sengaja mengalah
terhadapmu, Hm!....Tapi kau tergirang-girang.
Siapa mau dia mengalah? bentak Kioe Tin dengan keras. Dapatkah dia memecahkan pukulan
Siang Koat Kwi Goan (Siang Koat Kwi Goan Dua Ranggon terangkap menjadi satu. Jurus
terakhir Kioe Tin yang menyebabkan menyerahnya Wie Pek)
Kau kira kami berdua manusia-manusia tolol yang tidak mengenal syair? Syair-syair Tay
Kang Tong Ki dari Souw Pong To? Tanya Ceng Eng. Kalau Soe Ko tidak mengenal ilmu
silatmu, mengapa ia justru menyerah kalah pada akhiran sebaris syair? Ia menyerah pada
detik kau mengakhiri huruf goat (rembulan) dari baris syair yang berbunyi It Coen Hoan Cioe
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 549
Kang Goat mengertikah kau sekarang? (It Coen Hoan Cioe Kang Goat mempersembahkan
secawan arak kepada rembulan_
Coe Kioe Tin tertegun. Pertanyaan Boe Ceng Eng tak dapat dibantah. Memang Wie Pek
menyerah waktu mengakhiri tulisan huruf goat dengan jurus Siang Koat Kwi Goan. Kalau
benar begitu, ia sendiri yang jadi manusia tolol!
Ia merasa malu bukan main dan dari malu ia menjadi gusar. Kenal memang mungkin kau
kenal, tapi apa kau bisa memecahkannya? tanyanya dengan suara keras. Bisa jadi Piauw Ko
sengaja mengalah terhadapku. Hm!..memang tak sukar menggoyangkan lidah. Lihatlah!
Pelayan dalam rumahku pun mengenal pukulan itu.
Muka Boe Ceng Eng merah padam, bahwa gusarnya. Soe Ko aku pulang saja! katanya
dengan suara gemetar. Orang sudah mempersamakan aku dengan pelayan. Perlu apa kau
berdiam lama di rumah ini?
Wie Pek tertawa dan berkata, Soe Moay, Piauw Moay hanya berguyon, jangan kau
menganggap bersungguh-sungguh. Di rumahmu pelayan kotor seperti dia tak terhitung berapa
banyaknya.
Mendengar perkataan yang menghina itu, Boe Kie panas hatinya.
Bagus! Kau menghina pelayanku? kata Kioe Tin. Ceng Moay, biarpun kau berkepandaian
tinggi, belum tentu kau bisa menjatuhkan dia dalam tiga jurus.
Hm! Apa kau kira pelayan baumu mempunyai harga untuk melayaniku? nona Boe menjawab.
Tin Ci kau terlalu menghinaku.
Sampai disitu Boe Kie tak dapat menahan sabar lagi. Boe Kouwnio! teriaknya. Apa kau
bukan manusia? Boe Kouwnio, janganlah kau menganggap dirimu sebagai manusia yang
terlalu mahal!
Walaupun darahnya meluap, untuk menghina si bocah, Ceng Eng melirikpun tidak. Ia
berpaling kepada Wie Pek dan berkata, Soe Ko, kau lihatlah kurang ajarnya pelayan bau itu.
Apa kau masih tetap berpeluk angina?
Melihat sikap mohon dikasihani dari si nona, hati pemuda itu lantas saja lemas. Antara kedua
gadis itu, ia sebenarnya tidak memilih kasih. Akan tetapi, di dalam hati kecilnya, ia
mempunyai perhitungan sendiri. Gurunya, yaitu ayah Boe Ceng Eng, mempunyai kepandaian
yang tinggi. Ia merasa, bahwa apa yang akan didapatkannya, takkan lebih daripada sebagian
atau dua bagian kepandaian sang guru. Maka itu, apabila ia ingin memiliki kepandaian
istimewa, tidak bisa ia harus mengambil hati nona Boe. Maka itulah, dia seraya tersenyum
lantas saja berkata.
Piauw Moay, apa benar pelayanmu mempunyai kepandaian tinggi? Bolehkah aku
mengujinya?
Kioe Tin mengerti, bahwa kakak itu coba membela Ceng Eng. Ia mau menolak tapi dalam
otaknya mendadak berkelabat serupa ingatan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 550
Aku memang ingin tahu asal usul bocah itu, pikirnya. Biarlah Piauw Ko yang paksa dia
membuka rahasianya, berpikir begitu, ia lantas berkata
Baiklah, sebenarnya aku sendiri tak tahu murid siapa dan dari partai mana.
Apakah pelajaran bocah itu bukan didapat dari sini? Tanya Wie Pek dengan perasaan heran.
Kioe Tin menengok ke arah Boe Kie dan berkata, Eh, coba beritahukan Siauw Ya, nama guru
dan partaimu.
Mendengar perkataan si nona, Boe Kie lantas saja berpikir. Kamu begitu menghina aku, mana
bisa aku memberitahukan nama kedua orang tuaku dan Thay Soehoe? Selain begitu, akupun
belum pernah mempelajari ilmu silat Boe Kie Pay secara sungguh-sungguh. Dengan adanya
itu, ia menjawab, Semenjak kecil, kedua orang tuaku sudah meninggal dunia dan aku
bergelandangan dalam dunia Kang Ouw. Aku belum pernah belajar ilmu silat, hanya ayah
angkatku yang pernah memberi satu dua petunjuk kepadaku. Mata Gi Hoe buta, sehingga
iapun tak tahu, apa latihanku benar atau salah.
Siapa nama ayah angkatmu? Dari partai mana dia? Tanya Kioe Tin.
Boe Kie menggelengkan kepala. Aku tak bisa memberitahukan, jawabnya.
Wie Pek tertawa nyaring. Masakah kita bertiga tidak bisa mengorek rahasianya? katanya
sambil menghampiri Boe Kie dan berkata pula.
Bocah coba kau sambut tiga pukulan, seraya berkata begitu, ia melirik nona Boe sambil
tersenyum, seolah-olah ia mau mengatakan bahwa ia akan memberi pelajaran keras kepada
bocah itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya si nona.
Dalam soal cinta, seseorang yang sedang mabuk cinta selalu memperhatikan gerak-gerik dari
orang yang dicintai. Lirikan dan senyuman Wie Pek tidak terlepas dari mata Coe Kioe Tin
yang lantas timbul rasa cemburunya. Melihat Boe Kie bersangsi untuk menyambut tantangan
itu. Ia menggapai dan setelah anak itu mendekati, ia berkata dengan suara perlahan,
Sebagaimana kau sudah melihat Piauw Ko memiliki kepandaian tinggi, kau tentu tak bisa
menang. Tapi, asal kau bisa menyambut tiga pukulannya, kau membikin mukaku jadi terang,
sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pundak si bocah untuk memberi semangat.
Boe Kie juga tahu, bahwa ia bukan tandingan pemuda itu. Ia mengerti bahwa jika ia turun ke
gelanggang, ia hanya akan menjadi korban. Jadi semacam lelucon untuk menggembirakan
hati. Tapi begitu lekas ia berdiri dihadapan si cantik, pikirannya kalut. Sesudah diajak bicara
dengan suara lemah lembut dan ditepuk-tepuk apa pula sesudah mengendus bau yang sangat
harum, otaknya butak dan ia tak dapat berpikir lagi. Sio Cia memerintahkan supaya aku
membikin terang mukanya dan aku tak toleh mengecewakannya, katanya di dalam hati dan
seperti orang linglung, ia segera mendekati Wie Pek.
Bocah, sambutlah! kata pemuda itu sambil menampar. Pukulan itu cepat luar biasa dan muka
Boe Kie lantas saja terpeta lima jari tangan yang berwarna merah. Sesudah tahu, bahwa anak
itu bukan mendapat pelajaran dari keluarga Coe, sehingga ia tidak bisa dianggap menghina
pamannya sendiri. Ia sudah turun tangan tanpa sungkan-sungkan. Meskipun tidak
mengerahkan Lweekang ia menampar dengan sepenuh tenaga.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 551
Boe Kie, lawan! teriak Nona Coe.
Semangat si bocah terbangun, dengan cepat ia meninju Wie Pek mengegos sambil berseru.
Bagus! Masih ada dua jurus, dengan sekali melompat, ia sudah berada di belakang Boe Kied
an sebelum si bocah keburu memutar badan, leher bajunya sudah kena dicengkeram. Sambil
mengangkat badan Boe Kie tinggi-tinggi Wie Pek tertawa terbahak-bahak dan kemudian
membantingnya keras-keras di lantai. Kasihan Boe Kie! Janggut dan hidungnya lantas saja
mengucurkan darah.
Seraya menepuk-nepuk tangan, Boe Ceng Eng tertawa cekikikan. Tin Ci, katanya,
Bagaimana? Apakah ilmu silat keluarga Boe masih boleh dilihat?
Paras muka Kioe Tin merah padam. Ia malu bercampur gusar. Ia tak bisa membantah
pertanyaan saingannya, sebab jika ia mencela ilmu silat keluarga Boe, ia sudah menyinggung
perasaan Wie Pek.
Sementara itu, Boe Kie sudah merangkak bangun dan dengan jantung berdebar-debar, ia
melirik Kioe Tin. Melihat paras muka si cantik, ia lantas saja berkata dalam hatinya.
Sudahlah! Biarpun hilang jiwa, aku mesti menolong Sio Cia.
Piauw Moay, kata Wie Pek sambil tertawa. Silat kucing pincang bocah itu masih tak punya,
mana bisa kau bicara tentang partainya?
Tiba-tiba Boe Kie menerjang dan menendang kempungannya.
Aduh! Gagah benar Kau? ejek Wie Pek sambil mengelak dan menangkap kaki kanan Boe Kie
yang lalu dilontarkan dengan menggunakan tiga bagian Lweekang. Bagaikan anak panah
terlepas dari busurnya, badan si bocah melesat kea rah tembok. Untung juga, selagi masih
berada di tengah udara, dengan menggunakan seluruh tenaganya ia masih keburu memutar
tubuh sehingga hanya punggungnya yang terbentur tembok. Tapi biarpun begitu, ia merasa
sakit bukan main dan roboh di kaki tembok tanpa bisa lantas bangun.
Dalam kesakitan hebat, hatinya masih memikirkan muka Coe Kioe Tin yang harus ditolong.
Tiba-tiba ia mendengar suara si nona, Sudahlah! Ayo kita pergi ke taman bunga! di kuping
Boe Kie suara itu penuh rasa malu dan jengkel.
Entah darimana datangnya, mendadak Boe Kie merasa tenaganya pulih. Ia melompat bangu
dan bagaikan kalap, ia menubruk dan menghantam Wie Pek dengan telapak tangannya.
Kali ini ia memukul dengan jurus Kang Liong Yu Hwi (Penyesalan Sang Naga) dari Hang
Liong Sip Pat Ciang (delapan belas jurus ilmu silat menaklukkan naga), semacam Ciang Hoat
(ilmu silat dengan menggunakan telapaka tangan) yang paling lihai di seluruh rimba
persilatan. Dahulu dengan mengandalkan ilmu tersebut, Ang Cit Kong dan Kwee Ceng telah
menjagoi di kolong langit. Hanya saying apa yang didapat Cia Soen hanya kulitnya saja,
sedang yang diperoleh Boe Kie lebih-lebih tak karuan macam pengaruh pukulan itu belum
ada sepersepuluh dari Kang Liong Yu Hwi yang asli. Tapi walaupun begitu pukulan itu
mengeluarkan sambaran angin yang luar biasa dan begitu tangan Wie Pek terbentur tangan
Boe Kie, badannya bergoyang-goyang dan ia terpaksa mundur setindak. Ia kaget, sedangkan
Boe Ceng Eng mengeluarkan seruan tertahan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 552
Pada seratus tahun lebih lalu, leluhur Boe Ceng Eng, yaitu Boe Sioe Boen, telah berguru
kepada Kwee Ceng, tapi sesudah belajar banyak tahun, ia masih belum juga dapat menyelami
intisari dari pada Hang Liong Sip Pat Ciang. Boe Liat, ayah Boe Ceng Eng, masih dapat
menjalankan jurus-jurus dari ilmu silat itu, tapi seperti anak cucu Boe Sioe Boen yang
lainnya, iapun tidak berhasil mengeluarkan pengaruh dahsyat Hang Liong Sip Pat Ciang.
Selama belasan tahun, nona Boe sering melihat ayahnya berlatih sendirian sambil mengasah
otak. Tapi sebegitu jauh, orang tua itu masih juga belum berhasil. Dari zaman Boe Sioe Boen
sampai Boe Ceng Eng sudah ada lima turunan. Pada setiap turunan, anggota-anggota keluarga
Boe berusaha keras untuk menyelami intisari ilmu itu, tapi semua usaha mengalami
kegagalan.
Kegagalan itu bukan karena tumpulnya otak keluarga Boe. Apa seorang dapat menyelami
Hang Liong Sip Pat Ciang atau tidak, tiada sangkut paut dengan kecerdasan otak. Bukan saja
begitu, bahkan ada petunjuk, bahwa makin cerdas otak seseorang, makin sukar ia memiliki
ilmu itu. Contohnya, Kwee Ceng tumpul dan Oey Yong pintar luar biasa. Tapi yang berhasil
adalah Kwee Ceng, sedang Oey Yong tetap gagal. Dalam mengajar orang-orang muda, Kwee
Ceng tidak menyembunyikan apapun jua. Tapi kaitannya adalah, diantara orang-orang
tingkatannya lebih muda seperti Yo Ko, Yeh Loe Ci, Kwee Hoe, Kwee Siang, Kwee Loh Po,
Boe Sioe Boen dan Boe Toen Jie, tak satupun yang bisa berhasil dengan sempurna. Bahwa
pada zaman belakang Hang Liong Sip Pat Ciang sudah tidak dikenal lagi dalam rimba
persilatan, mungkin adalah karena sebab-sebab itu.
Wie Pek yang tak kenal jurus itu sudah menangkis dengan tangannya dan begitu lekas
tangannya beradu dengan tangan Boe Kie, ia merasakan lengannya kesemutan dan dadanya
menyesak. Cepat-cepat ia mundur setindak kemudian ia melompat maju sambil menghantam
punggung Boe Kie dengan tinjunya. Tanpa memutar tubuh, si bocah mengibaskan tangannya
ke belakang dengan menggunakan jurus Sin Liong Pa Bwee (Naga Malaikat menyabetkan
ekor) Melihat sambaran tangan yang luar biasa, Wie Pek berkelit, tapi tak urung pundaknya
kena disapujuga dengan tiga jari tangan. Meskipun pukulan itu tidak hebat, tapi Coe Kioe Tin
dan Boe Ceng Eng sudah melihat, bahwa dalam jurus itu, Wie Pek sekali lagi kena
dikalahkan.
Mana dia rela menerima hinaan itu dihadapan wanita-wanita cantik? Waktu menantang Boe
Kie, seorang anak tanggung yang sama sekali bukan tandingannya, pemuda itu hanya ingin
mempermainkan si bocah untuk menyenangkan hati Boe Ceng Eng. Maka itu, ia hanya
menggunakan dua atau tiga bagian. Tapi diluar dugaan, dua kali beruntun ia jatuh dibawah
angin, Darahnya lantas saja naik dan ia membentak. Setan kecil! Apa kau tidak takut mati?
seraya membentak, ia meninju dengan jurus Tiang Kang Sam Tiap Long (tiga gelombang
sungai TiangKang) sesuai dengan namanya, jurus itu mengandung tiga gelombang tenaga.
Apabila lawan menangkis gelombang pertama dengan sepenuh tenaga, maka ia akan binasa,
atau sedikitnya terluka berat dengan gelombang tenaga kedua dan ketiga akan menyerang
tanpa diduga-duga.
Waktu memukul, Wie Pek telah menggunakan seluruh tenaga Lweekangnya. Tapi, karena
pada hakikatnya ia memang bukan seorang jahat yang berhati kejam. Maka biarpun sedang
gusar, ia menahan gelombang tenaga yang ketiga.
Dilain pihak, begitu melihat serangan dahsyat, Boe Kie segera menghempas semangat dan
menangkis dengan pukulan terhebat yang dimilikinya yaitu Kiam Liong Boet Yong (naga
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 553
yang bersembunyi jangan digunakan) Sambil miringkan tangan kirinya, ia menyambut dengan
Lweekang yang aneh, yaitu setengah berkumpul, setengah buyar, separuh bersembunyi,
separuh keluar. Wie Pek terkesiap, gelombang pukulannya yang pertama amblas seperti batu
amblas di dalam laut. Hampir berbareng dengan suara Krek! Tulang lengan kanannya patah.
Untung juga karena menaruh belas kasihan ia menahan tenaga gelombang ketiga. Jika tidak,
mereka berdua sama-sama terluka berat.
Coe Kioe Tin dan Ceng Eng mengeluarkan teriakan kaget dan serentak mengeluarkan
teriakan kaget dan serentak lagi menghampiri Wie Pek. Taka pa-apa, katanya sambil
meringis.
Dengan berbaring, kedua nona itu menumpahkan kegusaran di atas kepala Boe Kie. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, mereka memukul badan dan menghantam dada si bocah. Boe Kie
yang belum hilang kagetnya sebab melihat akibat pukulannya, tidak bergerak dan tinju kedua
gadis itu tepat mengenai dadanya, Uh! dengan badan bergoyang-goyang ia muntahkan darah!
Dada si bocah sakit, tapi hatinya lebih sakit. Dengan mati-matian aku berkelahi untuk
membuat mukamu terang, katanya didalam hati. Tapi waktu aku menang, kau berbalik
memukul aku.
Tahan! teriak Wie Pek.
Kedua gadis itu tidak memukul lagi.
Dengan paras muka pucat. Wie Pek mengayun tangan kirinya dan menghantam Boe Kie. Boe
Kie yang dengan melompat jauh berhasil menyelamatkan dirinya.
Piauw Ko, kata nona Coe, kau sudah terluka, perlu apa kau meladeni anak yang kurang ajar
itu? Aku yang salah. Sebenarnya tak boleh aku mengadu kau dengannya. Dia seorang gadis
yang beradat tinggi. Kalau bukan melihat akibat dari perbuatannya, tak gampang-gampang ia
mau mengaku bersalah.
Tapi diluar dugaan, Wie Pek jadi makin gusar. Ia tertawa dingin seraya berkata, Piauw Moay,
pelayanmu benar-benar lihai. Kau sendiri mana bersalah? Tapi aku masih merasa penasaran.
Ia mendorong Kioe Tin dan lalu menerjang Boe Kie.
Si bocah mau melompat mundur, tapi Boe Ceng Eng yang berdiri di belakangnya segera
mendorong punggungnya sehingga tinju Wie Pek mampir tepat di hidungnya yang lantas saja
bocor.
Dalam sekejab Boe Kie sudah dikepung oleh tiga orang dan tujuh delapan pukulan dengan
beruntun jatuh di badannya. Beberapa kali ia muntah darah, tapi sebagai manusia kepala batu,
dengan nekat ia melawan terus. Ia menggunakan segala macam ilmu silat yang dimilikinya.
Silat Cia Soen, ilmu kedua orang tuanya, pukulan-pukulan Boe Tong Pay dan berkelahi
bagaikan harimau edan. Walaupun Lweekangnya masih sangat cetek, tapi karena
kenekatannya ditambah dengan pukulan-pukulan dari ilmu-ilmu silat yang sangat tinggi,
seperti Hang Liong Sip Pat Ciang, maka untuk sementara waktu ia masih dapat
mempertahankan diri.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 554
Bocah Bau! caci Coe Kioe Tin. Binatang dari mana kau? Sungguh berani kau mengacau di
tempat ini. Apa kau sudah bosan hidup?
Sementara Wie Pek yang tangannya makin lama makin sakit sungkan berkelahi lebih lama
lagi. Sambil mengerahkan seluruh Lweekang di tangan kiri, ia menghantam bagaikan kilat.
Melihat pukulan yang dahsyat itu, Boe Kie yang terlalu lelah jadi putus harapan. Ia mengeluh
dan memejamkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.
Tapi sebelum tangan Wie Pek turun di badannya, tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.
Tahan! satu bayangan kuning berkelabat dan menangkis tangan pemuda itu yang sedang
menyambar. Begitu tangannya tertangkis, Wie Pek terhuyung beberapa tindak dan kemudian
terjengkang. Tapi gerakan orang itu yang mengenakan jubah kuning cepat luar biasa. Dengan
sekali meloncat, ia menjaga punggung pemuda itu yang lantas saja bisa berdiri tegak.
Ayah! teriak Kioe Tin.
Coe PehPeh! seru nona Boe.
Koe Koe! kata Wie Pek dengan napas tersengal-sengal.
Orang yang menolong Boe Kie bukan lain Coe Tiang Leng, ayah Coe Kioe Tin. Begitu lekas
tulang lengan Wie Pek patah, seorang perawat anjing buru-buru melaporkan kepada sang
majikan yang lantas saja datang ke tempat pertempuran. Untuk beberapa saat, Coe Tiang
Leng menyaksikan kegagahan putrinya dan dua orang muda itu dan pada detik yang
berbahaya ia memberi pertolongan.
Melihat keberanian dan kegigihan Boe Kie, orang tua itu merasa kagum.
Dengan paras muka merah padam dan mata mendelik, ia mengawasi putrinya, Wie Pek, dan
Boe Ceng Eng. Mendadak tangannya melayang, menampat muka putrinya. Bagus! katanya
dengan suara menyeramkan. Makin lama anak cucu keluarga Coe jadi makin tak karuan
macam! Dengan mempunyai anak semacam kau, bagaimana aku ada muka untuk bertemu
dengan leluhurku di dunia baka?
Coe Kioe Tin adalah anak biasa dimanja. Jangankan digebuk, dicacipun belum pernah. Tapi
sekarang ia ditampar di depan banyak orang, bahkan di depan kecintaannya. Tamparan itu
cukup keras untuk membuat kepalanya pusing. Sesudah pusing hilan, Uh! ia menangis keras.
Diam! bentak sang ayah. Bentakan itu disertai Lweekang sudah menggetarkan seluruh
ruangan, sehingga debu pada jatuh dari atas balok. Si nona takut bukan main dan ia tak berani
menangis terus.
Semenjak dahulu, keluarga Coe hidup bagaikan kesatria, kata sang ayah. Leluhurmu, Coe
Lioe Kong, mengabdi kepada It Teng Taysoe dan jadi perdana menteri dari negeri Tayli Kok.
Belakangan beliauw Bantu melindungi kota Siang Yang dan namanya menggetarkan seluruh
dunia. Lihatlah! Betapa gagahnya leluhurmu itu! Tak nyana anak cucunya tidak karuan
macam. Sampai kepada aku, Coe Tiang Leng, aku punya anak seperti cecongormu! Tiga
orang dewasa mengerubuti seorang anak kecil! Bukan saja begitu, kamu bahkan coba
mengambil juga jiwa anak itu! Malu tidak kau? ia bicara dengan suara berapi-api dengan nada
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 555
menyeramkan. Walaupun cacian ditunjukkan kepada Kioe Tin, Wie Pek dan Ceng Eng pun
kena terseret, sehingga dengan muka kemerah-merahan, mereka tak berani mengangkat
kepala.
Mendengar dan melihat semua itu, Boe Kie merasa takluk dan kagum terhadap orang tua itu.
Coe Tiang Leng benar-benar marah besar. Dari pucat mukanya berubah merah, dari merah
berubah kuning, sedang badannya gemetara. Tak satupun antara ketiga orang pemuda itu yang
berani bersuara atau berkisar. Sambil menundukkan kepala, mereka berdiri bagaikan patung.
Melihat bengkaknya pipi nona Coe Kioe Tin dan sikapnya yang penuh ketakutan, Boe Kie
merasa sangat tak tega dan ia segera berkata
Looya, dalam hal ini Sio Cia sama sekali tak bersalah, Tiba-tiba ia terkejut karena suaranya
hampir tak kedengaran, akibat dari pukulan Wie Pek pada tenggorokannya.
Saudara kecil, kau mengenal Hang Liong Sip Pat Ciang, kata Coe Tiang Leng. Apakah kau
murid Kay Pang? (Kay Pang Partai pengemis)
Boe Kie yang sungkan memberitahukan asal-usulnya lantas saja mengangguk.
Sambil mengawasi puterinya dengan sorot mata gusar. Orang tua itu berkata pula, ilmu
pukulan itu diturunkan oleh Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong yang pada zaman itu telah
menggetarkan seluruh rimba persilatan di sebelah selatan dan utara sungai besar. Dengan
keluarga kita, keluarga Coe dan Boe, beliauw mempunyai hubungan yang sangat erat, ia
menengok kepada Boe Ceng Eng dan berkata pula, Kwee Ceng, Kwee Tayhiap, adalah guru
leluhurmu, Sioe Boe Kong. Sesudah mengenali bahwa pukulan yang dikeluarkan oleh saudara
kecil itu ialah Hang Liong Sip Pat Ciang, mengapa kau masih juga turun tangan! ia bicara
dengan suara keras dan tidak sungkan-sungkan lagi sehingga Boe Kie sendiri jadi merasa
sangat tidak enak.
Sesudah menyuruh seorang pelayan mengambil obat luka, orang itu menanyakan hal ihwal
kedatangan Boe Kie dan cara bagaimana ia sampai mendapat kedudukan seorang pelayan di
dalam gedungnya. Coe Kioe Tin tak berani berdusta dan lalu menceritakan cara bagaimana
Boe Kie digigit anjing sebab coba menyembunyikan seekor kera kecil dan cara bagaimana ia
sudah menolongnya.
Darah sang ayah meluap lagi. Begitu lekas si nona selesai menutur, ia membentak dengan
suara menggeledek. Bagus! Saudara kecil itu adalah sahabat dari Kay Pang dan kau sudah
berani mati untuk memberi kedudukan pelayan kepadanya. Huh-Huh! Kalau hal ini sampai
terdengar diluaran, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kang
Ouw? Mereka pasti akan mengatakan bahwa Kian Koen It Pit Coe Tiang Leng adalah
manusia yang tidak mengenal pribadi. Aku membiarkan kau memelihara anjing-anjing itu
dengan anggapan, bahwa kau memeliharanya hanya untuk main-main. Tapi siapa nyana, kau
sudah mengumbar binatang-binatan itu untuk mencelakakan orang. Budak kecil! Jika untuk
mengambil jiwa kecilmu, mana aku ada muka untuk bertemu pula dengan orang-orang gagah
dalam rimba persilatan? Ia mencaci dengan mata berapi-api dan nona Coe mengerti, bahwa
sang ayah dapat membuktikan ancamannya. Dengan muka pucat dan badan gemetaran, buruburu
ia menekuk lutut seraya berkata dengan suara parau. Thia-thia, anak.. anak tidak berani
berbuat itu lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 556
Melihat bahaya, Wie Pek dan Ceng Eng pun segera berlutut dan memohon supaya orang tua
itu sudi mengampuni puterinya.
Boe Kie segera maju mendekati seraya berkata, Looya..
Saudara kecil, jangan kau memanggil Looya kepadaku, kata Tiang Leng dengan suara lebih
sabar. Aku hanya lebih tua sekian tahun daripadamu dan paling banyak kau boleh memanggil
Cianpwee kepadaku. (Looya Tuan Besar, panggilan untuk majikan atau orang berpangkat.
Cianpwee orang yang tingkatannya, atau usianya lebih tinggi)
Baiklah, kata si bocah. Coe Cianpwee, dalam hal ini tak dapat kita menyalahkan Sio Cia.
Dengan sebenar-benarnya, Sio Cia tak tahu menahu waktu aku digigit anjing.
Kau lihatlah, kata Coe Tiang Leng. Dia masih begitu kecil, tapi sudah begitu lapang dada.
Kalian bertiga masih tak dapat menandingi seorang bocah seperti dia. Pada Hari Tahun baru,
lebih pula karena Boe Kouwnio tamu kami, menurut adat aku tak boleh mengunjuk
kegusaran. Akan tetapi, aku tidak bisa berpeluk tangan, sebab perbuatanmu terlalu gila dan
tiada berbeda dengan perbuatan manusia hina. Sekarang, sesudah saudara kecil ini
memintakan ampun, kamu bangunlah.
Dengan kemalu-maluan, Wie Pek bertiga lantas bangkit.
Lepaskan semua anjing jahat itu! bentak Coe Tiang Leng sambil menengok kepada tiga
perawat anjing yang berdiri di satu sudut. Mereka mengiyakan dan buru-buru menjalankan
perintah.
Melihat paras muka ayahnya yang menyeramkan dank arena tak tahu apa yang akan diperbuat
oleh orang tua itu, nona Coe jadi lebih ketakutan. Thia! serunya dengan suara parau.
Sang ayah tertawa dingin. Kau memelihara anjing-anjing jahat untuk mencelakai manusia,
katanya. Baiklah, sekarang perintahkan anjing-anjingmu untuk menggigit aku.
Si nona menangis, Thia, anak sudah tahu kesalahan sendiri, ratapnya.
Orang tua itu hanya mengeluarkan suara di hidung. Mendadak ia melompat ke gerombolan
anjing itu sambil mengayunkan kedua tangannya. Plaak Plaak Plaak Plaak empat ekor anjing
roboh dengan kepala remuk.
Semua orang terkesiap, mereka mengawasi dengan mulut ternganga.
Kaki tangan Coe Tiang Leng menyambar-nyambar dan badannya bergerak bagaikan kilat.
Dalam sekejab mata, tiga puluh ekor anjing sudah rebah di lantai tanpa bernyawa lagi.
Jangankan melawan, laripun mereka tak keburu lagi.
Wie Pek dan Boe Ceng Eng kaget bercampur kagum. Walaupun tahu, bahwa orang tua itu
berkepandaian tinggi, mereka tak nyana kepandaiannya setinggi itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 557
Sesudah melampiaskan kegusarannya, Coe Tiang Leng lalu mendukung Boe Kie yang dibawa
ke kamarnya sendiri. Tak lama kemudian Coe Hujin (nyonya Coe) dan Kioe Tin datang
menengok dengan membawa semangkok obat.
Sebagai akibat gigitan anjing karena mengeluarkan terlalu banyak darah. Biarpun lukanya
sudah sembuh, badan Boe Kie sebenarnya masih sangat lemah. Maka itu, luka-luka hebat
yang dideritanya sekarang sudah membuat ia pingsan berulang-ulang dan selama beberapa
hari ia berada dalam keadaan pingsan. Berkat rawatan yang teliti, akhirnya ia tersadar. Begitu
lekas sebagian tenaganya pulih, ia sendiri segera menulis surat obat dan menyerahkannya
pada pelayan dan meminta supaya ia diberi obat menurut resep itu. Obat itu ternyata sangat
mujarab dan kesehatannya kembali denga cepat sekali. Melihat kepandaian si bocah dalam
ilmu pengobatan, penghargaan Coe Tiang Leng jadi lebih besar.
Sementara itu, Coe Kioe Tin kelihatannya sudah sadar akan kesalahannya dan untuk menebus
dosa ia merawat Boe Kie seperti kakak merawat adik kandung sendiri. Selama dua puluh hari
lebih, seringkali ia menemani si bocah di samping pembaringan sambil bercakap-cakap,
meniup seruling, atau menyanyi.
Sesudah Boe Kie bisa berjalan, pergaulannya dengan si nona jadi makin akrab.
Jilid 30____________
Menurut peraturan keluarga Coe, pagi2 belajar silat, sore belajar surat. Ilmu silat keluarga
tersebut mempunyai sangkut paut yang sangan erat denga Soe hoat (seni menulis surat indah).
Mungkin tinggal seorang memiliki Soe Hoat, makin tinggi pula ilmu silatnya.
Untuk mempelajari ilmu surat, Coe Kioe Tin mempunyai sebuat kamar tulis yang kecil,
dengan hiasan idah. Ditembok sebelah timur tergantung selembar tulisan sajak, buah kalam
penyair Touw Bok, sedang tembok sebelah utara diantara dua lukisan san soei (pemandangan
alam) terdapat tulisan Si Hie tiap, karya Hway-so Hweeshio.
Setiap kali berlatih menulis huruf2 indah Kiao Tin selalu mengajak Boe Kie dan memberi
petunjuk2. Dengan duduk berhadapan mereka belajar bersama sama. Kalau cape mereka
berhenti menulis dan beromong omong sambil tertawa tawa.
Dalama latihan ilmu silatpun; keluarga Coe memperlakukan bocah itu sebagai seorang
anggota keluarga. Coe Tiang Leng memperbolehkan Boe Kie turut serta dalam ruangan
latihan dan tempo2 menyuruh anak itu berlatih bersama sama putrinya. Ilmu silat keluarga
Coe dan silat yg dikenal Boe Kie agak berbeda. Akan tetapi, pada hakekatnya ilmu silat
diseluruh dunia bersuber satu, maka sesudah memperhatikan beberapa kali, Boe Kie dapat
mengikuti latihan tanpa banyak kesukaran. Toang Leng dan putrinya tidak berlaku pelit
mereka mengajar si bocah dengan sungguh hati.
Semenjak meninggalkan pulau Peng Hwee To, Boe Kie selalu hidup dalam penderitaan. Baru
sekarang ia dapat mencicipi penghidupan tenteram yang bahagia.
Tanpa merasa satu bulan setengah sudah lewat. Hati iut pada pertengahan Jie-gwee selagi
Kioe Tin dan Boe Kie berlatih menulis huruf 2 indah tiba2 Siauw Hong masuk seraya berkata.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 558
"Siocia, Yauw Jie-ya sudah kembali dari Tiong goan." (Jie-ya Tuan kedua)
Si nona kegirangan. Sambil melempar pit, ia berteriak. "Bagus! Aku sudah menunggu
setengah tahun lebih." Ia menarik tangan Boe Kie mari kita menemui Yauw Jie-siok, aku tak
tahu, apa ia membeli barang2 yang kupesan." (Jie-siok Paman kedua).
Dengan berlari mereka pergi ke kota thia (ruangan tengah).
"Siapa Yauw Jie-siok?" tanya si bocah.
"Ia adalah saudara thia thia," jawabnya "Namanya Yauw Ceng Coen, berglear Cian Lie Toei
hong (Dalam seribu li mengejar angin). Tahun yang lalu ayah telah meminta padanya pergi ke
Tiong goan untuk mengantarkan beberapa rupa barang. Aku memesan supaya ia membeli yan
cie dan puput dari Hang cie, jarum sulam, benang dan gambar2 lukisa dari Souw cioe, pit bak,
contoh2 huruf dan buku2. Aku tak tahu, apa ia perhatikan pesanku itu."
Coe-kee-choeng (Perkumpulan keluarga Coe) terletak di See hek (Wilayah barat) dalam
lingkungan gunung Koe Loen san. Alat2 kecantikan, buku2, perabot tulis dan sebagainya
yang diperlukan oleh nona Coe tak bisa didapat dalam jarak ribuan lie. Tempat itu terpisah
berlaksa lie dari daerah Tiong-goan sedang sekali pulang perlu memerlukan tempo dua tiga
tahun. Maka itulah, saban ada orang yang mau pergi ke Tiong-goan, Coe Kioe Tin selalu
memesan ini atau itu dalam jumlah yang besar.
Tapi begitu tiba diambang pintu, mereka terkejut karena mendengar suara tangisan. Dengan
hati berdebar debar mereka bertindak masuk. Hati mereka mencelos sebab melihat Coe Tiang
Leng sekang berlutut dilantai sambil berpelukan dan menangis dengan seorang lelaki kurus
jangkung yang mengenakan pakai berkabung.
"Yauw Jie-siok!" teriak Kioe Tin seraya menubruk.
Sang ayah menyapu air matanya dan berkata dengan suara parau. "Ah Tin jie! Toa in jien
(tuan penolong besar) kita Nyonya... Thio Ngo... ya... telah meninggal dunia!"
"Tapi... tapi bagaimana bisa begitu?" tanya si nona dnegan mata membalak. "Bukanlah,
sesudah menghilang sepuluh tahun In kong (paduka penolong) sudah kembali?"
Lelaki setengah tua yang mengenakan pakaian berkabung itu Coan-lie Toei hong Yauw Ceng
Coan menengok seraya berkata dengan suara terputus putus. "Kita yang berdiam ditempat
jauh... sukar mendapat warta. Sesudah ku tiab di Tiong-goan baru kutahu, bahwa... bahwa Tio
Iajin bersama Thio Hoejin sudah meninggal dunia pada kita2 empat tahun berselang
dengan.... Dengan membunuh diri sendiri! Aku mendapat warta itu sebelum mendaki Boe
tong san. Atku tidak percaya. Belakangan sudah tiba di boe tong san dan bertemu dengan
Song Toa hiap Jie hiap barulah kutahu bahwa warta itu bukan cerita kosong... Hai!"
Betapa besar rasa kaget Boe Kie dapatlah dibayangkan. Sesudah mendengar keterangan itu ia
tidak bersangsi lagi, bahwa yang dinamakan sebagai "Toa-injin Thio Ngoya" adalah
ayahandanya sendiri, melihat kesedihan Coe Tiang Leng, Yau Ceng Coan dan Coe Kioe Tie,
yang jg turut mengucurkan air mata hampir2 ia melompat menubruk dan memperkenalkan
diri sendiri. Tapi ia segera mengurungkan niatannya sebab kuatir tidak dipercaya dan orang
bahkan bisa menduga jelek atas dirinya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 559
Beberapa saat kemudian Coe Hoejin muncul dengan di papah oleh seorang budak dan sambil
menangis ia mengajukan banyak pertanyaan kepada Yauw Ceng Coan. Karena sedang
ditindih dengan kedukaan, Yauw Ceng Coen sampai lupa untuk menjalankan peradatan
kepada gie-so nya (istri dari saudara angkat). Ia segera menuturkan cara bagimana Thio Coei
San bersama istrinya telah binasa dengan membunuh diri.
Sambil seraya menggigit gigi, sebisa bisa Boe Kie menahan rasa sedihnya. Tapi biarpun
begitu, ia tidak dapat mencegah mengucurnya air mata. Hanya karena semua orang bersedih
hati mereka tidak memperhatikan tangisan si bocah.
Sekonyong-konyong tangan Coe Tiang Leng berkelebat dan .... "prak!".... sebuah meja
delapan persegi somplak. "Jie-tee!" katanya dengan suara keras. "Dengan tegas dan dengan
jelas, aku minta kau memberitahukan namanya oran2 yg telah naik ke Boe tong dan endesak
begitu rupa sehingga In Kong terpaksa membunuh diri."
"Sesudah mendapat tahu tentang kebinasaan In Kong, sebenarnya aku harus buru2 pulang
untuk memberi laporan kepada Taoko," kata Yauw Ceng Coan"Tapi sebab ingin mengetahui
nama musuh2 itu, maka aku lalu menyelidiki. Belakangan kudengar, bahwa disamping tiga
pendeta suci dari Siauw Lim Pay, jumlah musuh bukan sedikit. Perlahan lahan aku
mengumpulkan keterangan sehingga oleh karenanya aku pulang sangat terlambat." Sesudah
itu ia segera menyebutkan nama2 semua orang yg turut hadir dalam peristiwa berdarah di Boe
tong san.
"Jie-tee," kata Coe Tiang Leng dengan sudar duka, "Mereka itu adalah jago2 terutama dalam
Rimba persilatan dan satupun tak akan dapat ditandingi oleh kita. Tapi budi Thio Ngoya berat
seperti gunung, sehingga biarpun badan kita menjadi tepung, kita mesti jg coba membalas
sakit hati Nyonya".
"Tak salah apa yg dikatakan Taoko," kata Yauw Ceng Coan. "Jiwa kita telah dihidupkan pula
oleh Thio Ngoya dan sesudah itu kita bisa menyambung umur selama belasan tahun, adalah
sepantasnya saja kalau sekaang kita membuang jiwa demi kepentingan Ngoya. Siauw-tee
hanya merasa menyesal, bahwa siaw-tee tidak dapat mencari putera Ngoya. Alangkah baiknya
jika kita berhasl mencarinya dan mengajak ia kesini supaya kita dapat merawatnya seumur
hidup."
Mendengar itu, Coe Hoejin segera minta penjelasan lebih lanjut mengenai putranya Coei San.
Yauw Ceng Coan menyatakan, bahwa sebegitu jau diketahuinya, putera tuan penolong itu,
telah mendapat luka berat dan pergi kesuatu tempat untuk berobat. Bahwa sepanjang
keterangan anak itu batu berusia kira2 sembilan tahun dan bahwa Thio Sam Hong berniat
untuk mengangkat dia sebagai Ciang boenjin Boe tong pay dibelakagn hari.
Coe Tiang Leng dan istrinya merasa sangat girang dan mereka segera berlutut untuk
menghaturkan terima kaish kepada Langit dan bumi, atas belas kasihan yang sudah
dilimpahkan kepada suami istri Thio Coei San, yang biar bagaimanapun jg, ternyata sudah
mempunyai turunan.
"Taoko jinson yang usianya ribuan tahun benar, soat-lian dari gunung Thian san, emas hitam
pisau dan lain2 barang yg di titipkan Toako sudah aku serahkan kepada Thio Kongcu," kata
pula Yauw Ceng Coan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 560
Sang kakak mengangguk dan berkata. "Kau benar, aku setuju dengan tindakanmu itu."
"Tin jie," kata Coe Tiang Leng berpaling kepada puterinya, "kau boleh menceritakan kepada
saudara Thio, cara bagaimana keluarga kita telah ditolong oleh Thio Ngoya".
Kioe Tin segera menuntun tangan Boe Kie dan mengajaknya pergi ke kamar ayahnya. "itlah
dia!" kata si nona sambil menunjuk sebuah lukisan yang di gantung di tengah2 tembok. Di
samping gambar itu terdapat tulisan yang berbunyi seperti berikut. "Gambar peringatan
mengenai pertolongan yang diberikan oleh Tuan penolong Thio Coei San."
Membaca nama mendiang ayahnya, air mata Boe Kie lantas saja berlinang linang.
Lukisan itu memperlihatkan sebidang lapangan rumput di pedusunan, dimana terdapat
seorang pemuda gagah dnegan tangan kiri memegang gaetan perak dan tangan kanan
bersenjata Poan koan-pit yang sedang pertempuran melawan lima musuh. Boe Kie lantas saja
mengenali, bahwa pemuda itu adalah mendiang ayahnya sendiri. Diatas tanah tergeletak dua
orang yang terluka berat, satu Coe Tiang Leng Mansatu lagi Yauw Ceng Coan. Didekat
mereka terdapat dua orang lain yang sudah binasa. Disudut sebelah kiri kelihatan berdiir
seorang wanit muda yg dengan paras muka ketakutan, sedang memeluk satu bayi perempuan.
Wanita muda itu adalah Coe Heojin. Boe Kie mengawasi si bayi yang pada pojok mulutnya
terdapat setitik tahi lalat dan lantas tahu, bahwa bayi itu bukan lain daripada Coe Kioe Tin
sendiri. Kertas dari lukisan itu sudah kuning dan sudah usia sedikit belasan tahun.
Kioe Tin lantas saja menceritakan sejarah lukisan itu. Tak lama sesudah ia terlahir, ayahnya
melarikan diri kedaerah sebelah barat untuk menyingkir dari seorang musuh yang sangat lihai.
Tapi ditengah jalan, mereka dicandak oleh rombongan musuh. Dua orang adik seperguruan
ayanya binasa dalam pertempuran, sedang orang tua itu sendiri dan Yauw Ceng Coan sudah
roboh dengan luka berat. Pada detik2 yang sangat berbahaya, secara kebetulan Thio Coei San
lewat disitu dan segera memberi pertolongan dengan memukul mundur musuh2 itu. Menurut
perhitungan, kejadian itu telah terjadi pada waktu sebelum Coei San menghilang selama
sepuluh tahun.
Sesudah selesai menutur, si nona berkata pula dengan paras muka berduka. "Karena berada di
tempat jauh, warta tentang kembalinya Thio In Kong baru didapat kami pada tahun2 yang
lalu. Sebab sudah bersumpah untuk tidak menginjak lagi wilayah Tionggoan, ayah terpaksa
meminta san dengan membawa beberapa rupa barang antaran. Siapa nyana..." Bicara sampai
disitu seorang kacung masuk dan memberitahukan; bahwa si nona harus segera pergi ke ruang
sembahyang. Cepat cepat Kioe Tin menukar pakai putih dan bersama Boe Kie ia segera pergi
ke ruang belakang, dimana sudah diatur sebuah meja sembahyang dengan lengpay yang
tertulis seperti berikut. "Kedudukan roh yang angker dari Tuan Penolong Thio Thayhiap Coei
San dan Thio Hoejin." Begitu mereka masuk, Coe Tiang Leng bersama istrinya dan Yauw
Ceng Coan sudah berlulut didepan meja sembahyang sambil menangis sedih dan merekapun
lantas saja berlutut di belakang ketiga orang tua itu.
Sambil mengusap-usap kepala Boe Kie, Coe Tiang Leng berkata dengan suara terharu.
"Saudara kecil, bagus... Thio Thayhiap adalah seorang kesatria, seorang laki2 jarang
tandingan dalam dunia yg lebar ini. Walupun kau tidak mengenalnya, bukan sanak dan bukan
kadang, tapi memang pantas sekali jika kau mengunjuk hormat kepadanya."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 561
Boe Kie menunduk, supaya orang tua itu tidak melihat matanya yang mengembang air. Ia
merasa, bahwa sekarang ia lebih2 tidak dapat mengakui, bahwa ia adalah putera Thio Coei
San, Yauw Ceng Coan mendapat keterangan yang tidak begitu tepat dan mengatakan bahwa
ia baru berusia kira2 sembilan tahun. Jika ia membuka rahasianya sebagai putera Thio Coei
San, merekapun belum tentu akan percaya.
"Toako," kata Yauw Ceng Coan denga suara perlahan, "bagaimana dengan Cia-ya...?"
Coe Tiang Leng batuk2 dan meliriknya. Yauw Ceng Coan mengerti maksud kakaknya, ia
mengangguk sedikit dan berkata pula, "Bagaimana dengan cia-gie? Apa Toako mau
mengumumkan perkabungannya?"
"Kau putuskan saja sendiri." Jawabnya.
Boe Kie jadi heran, "Tadi terang2 kudengar Cia-ya," katanya dalam hati. "Mengapa sekarang
jadi cia-gie? Apa Cia-ya dimaksudkan sebagai ayah angkatku?" (Cia ya bearti tuan Cia
sedang cia-gie yalah pemberitahuan tentang perkabungan).
Malam itu Boe Kie tak bisa tidur. Di depan matanya kembali terbayang kejadian2 dimasa
silam, pada waktu ia masih berada di pulau Peng hwee-to bersama kedua orangtuanya dan
ayah angkatnya. Keesokan paginya, berbareng dengan suara tindakan, hidungnya mengendus
bebauan harum dan sesaat kemudian, Coe Kioe Tin masuk dengan membawa paso air cuci
muka.
Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun seraya berkata. "Tin cie... mengapa... mengapa kau..."
"Semua pelayan dan budak sudah pergi," jawabnya "Apa halangannya jika aku melayani kau
sekali dua kali?"
Bukan main rasa herannya si bocah. "Tapi, mengapa...?" tanyanya.
"Sudah lama Thia-thia menyuruh mereka pergi," kata si nona. "Setiap orang diberikan uang
dan disuruh pulang, karena ... karena rumah ini sangat berbahaya." Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pua, " Sesudah kau cuci muka ayang ingin bertemu dengamu."
Dengan hati tak enak, buru2 Boe Kie mencuci muka dan sesudah itu, ia menyisir rambut
dengan dibantu oleh si nona, yang kemudian mengajaknya pergi ke kamar buku Coe Tiang
Leng. Dalam gedung itu terdapat seratus lebih pelayan dan budak, tapi sekarang, satupun tak
kelihatan mata hidungnya.
Begitu lekas mereka masuk ke dalam kamar buku, Coe Tiang Leng segera berkata. "Saudara
Thio aku menghargai kau sebagai seorang laki2 sejati dan sebenarnya aku ingin menahan
engkau berdiam disini sampai sembilan atau sepuluh tahun. Tapi karena terjadinya satu
perubahan luar biasa, maka kita terpaksa harus segera berpisah. Saudara Thio, kumohon kau
tidak menjadi kecil hati." Sambil mengangkat dulang yang berisi duabelas potong emas,
duabelas potong perak dan sebliah pedang pendek, ia berkata pula, "Inilah sedikit tanda mata
dari kamu bertiga suami-oistir dan anakku. Kamu harap saudara Thio suka menerimanya.
Kalau loohoe masih bisa hidup terus, dibelakang hari kita akan bisa bertemu pula..." Karena
terharu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 562
Boe Kie mundur setindak dan seraya membungkuk, ia berkata dengan suara nyaring. "Coe
pehpeh, biarpun masih kecil dan tak punya guna, siauwtit bukan manusia yang takut mati.
Pada saat keluarga Coe Pehpeh menghadapi marabahaya; biar bagaimanapun jug siauwtit tak
akan menyingkir seorang diri. Walaupun siauwtit tak bisa membantu Pehpeh dan Ciecie, tapi
siauwtit ingin hidup atau mati bersama-sama kaliah." Coe Tiang Leng coba membujuk
berulang2, tapi si bocah tetap pada pendiriannya.
Akhirnya sesudah kewalahan, orang tua itu menghela napas seraya berkata. "Hai! Anak kecil
memang tidak tahu bahaya. Sekarang aku terpaksa menceritakan persoalannya kepadamu.
Tetapi kalu lebih dahulu harus bersumpah, bahwa kau tak akan membocorkan rahasia ini dan
jg katu tidak akan mengajukan pertanyaan apapun jua."
Boe Kie segera berlutu dan mengucapkan sumpahnya. "Langit menjadi saksi, bahwa aku tidak
akan membocorkan atau mengajukan pertanyaan mengenai keterangan yang akan diberikan
oleh Pehpeh. Jika aku melanggar janji ini biarlah aku binasa dengan badan dicincang laksaan
golok, badanku hancur dan namaku busuk."
Dengan terharu Coe Tiang Leng membangunkan Boe Kie. Ia melongok keluar jendela dan
kemudian melompat ke atas genting untuk menyelidiki kalau2 ada musuh yang bersembunyi.
Sesudah itu, barulah ia kembali ke kamar buku dan bicara bisik2. Kau hanya boleh
mendengar apa yang dikatakan olehku, tapi tidak boleh mengajukan pertanyaan, sebab
tembok ada kupingnya.
Boe Kie mengangguk.
Kemarin Yauw Jie-tee pulang dengan membawa seorang lain, bisik orangtua itu. Orang itu
she Cia bernama Soen, bergelar Kim-mo Say ong.
Boe Kie terkesiap, badannya bergemetaran.
Cia tayhiap intu adalah saudara angkat Thio In-kong, Coe Tiang Leng melanjutkan
penuturannya. Ia bermusuhan hebat dengan banyak partai dan tokoh rimba persilatan. Bahwa
Tho Inkong suami-istri sampai membunuh diri adalah karena tidak mau memberitahukan
dimana tempat bersembunyinya saudara angkat itu. Aku sendiri tak tahu, cara bagaimana Cia
thayhiap akhirnya bisa pulang ke Tionggoan dan begitu kembali, ia segera mengamuk dan
membinasakan banyak orang untuk membalas sakit hatinya Thio Inkong. Tapi biar
bagaimanapun gagah pun jua; satu orang tak akan bisa melawan musuh yang berjumlah besar,
sehingga akhirnya ia mendapat luka berat.
Yauw Jie-tee adalah seorang yang pintar dan berhati2. Ia berhasil menolong Cia Thayhiap dan
membawanya kemari. Rombongan musuh terus mengejar dan menurut dugaan, tak lama lagi
mereka akan datang kesini. Kami sudah pasti tak akan bisa melawan mereka. Tapi aku sudah
mengambil keputusan untuk membalas budi dan bersedia untuk binasa dalam melindungi Cia
Tayhiap. Tapi kau sendiri tak punya sangkut paut dengan urusan ini. Maka dari itu, perlu apa
kau turut membuang jiwa? Saudara Thio hanya ini saja yang dapat kukatakan. Sekarang
masih ada tempo, kau pergilah lekas2! Begitu lekas rombongan musuh tiba, batu giok akan
hancur dan kau tak akan keburu menyingkir lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 563
Boe Kie mendengar itu dengan jantung memukul keras. Ia kaget bercampur girang. Mimpi
pun ia tak pernah mimpi, bahwa ayah angkatnya bisa datang disitu. Tanpa merasa ia berkata.
Dimana.
Coe Tiang Leng memekap mulutnya seraya berbisik. Sit! Musuh lihay luar biasa. Sedikit saja
tidak hati2, jiwa Cia Tayhiap bisa melayang. Apa kau lupa sumpahmu?
Si bocah manggutkan kepalanya.
Saudara Thio, kata pula orang tua itu, aku sudah bicara seterang2nya. Aku menganggap kau
sebagai sahabat dan aku telah membuka rahasia hatiku. Sekarang, kau berangkatlah.
Sesudah mendengar penuturan Coe pehpeh aku lebih2 tak akan menyingkirkan diri, kata si
bocah dengan suara tetap.
Coe Tiang Leng menghela napas, Ayolah! Kita harus bertindak sekarang jg, katanya Ia segera
bertindak keluar pintu dengan di ikuti oleh Kioe Tin dan Boe Kie.
Coe Hoejin dan Yauw nCeng Coan sudah diluar pintu dan disamping mereka terdapat
beberapa bulatan besar, seperti orang mau merantau ke tempat jauh. Boe Kie menengok
kesana sini tapi ita tak melihat ayah angkatnya.
Coe Tiang Leng segera mengeluarkan bahan api dan menyalakan obor yang lalu digunakan
untuk menyulut pintu tengah. Dalam sekejap, api merembet keatas. Ternyata gedung yang
besar itu sudah di siram dengan minyak tanah.
Semenjak dahulu diwilayah See-hek, di daerah pegunungan Thuansan dan Koen Loen,
terdapat sumber sumber minyak tanah yang sering mengalir keluar bagian air mancur.
Perkampungan Coe kee chung hampir satu li panjangnya yang terdiri dari rumah rumah besar.
Tapi denga n menggunakan minyak, dalam sekejap mata, seluruh perkampungan sudah
berubah menjadi lautan api. Boe Kie mengawasi berkobarnya api dengan perasaan terharu.
Harta yang dikumpulkan Coe Pehpeh dengan susah payah selama bertahun-tahun dalam
sekejap menjadi tumpukan puing, katanya didalam hati. Dan itu semua demi kepentingan
ayah angkat. Laki laki gagah seperti Coe pehpeh sungguh sukar dicari tandingannya didalam
dunia.
Malam itu Coe Tiang Leng dan istrinya, Koe Tin dan Boe Kie mengindap didalam sebuah
gua. Dengan senjata terhunus, lima orang murid yang dipercaya menjaga diluar gua, dbawah
pimpinan Yauw Ceng Coan, pada hari ketiga, api kebakaran baru menjadi padam. Untung
juga musuh belum tiba. Malam itu, Coe Tiang Leng mengajak semua orang meninggalkan
gua dan masuk kedalam sebuah terowongan dibawah tanah yang sangat panjang. Sesudah
berjalan beberapa lama, mereka bertemu dengan beberapa kamar batu dimana terdapat
makanan, air dan sebaginya. Tapi hawa disitu sangat panas.
Melihat Boe Kie menyusut keringat tak henti hentinya, Kioe Tin tertawa dan bertanya. Adik
Boe Kie, adalah kau tahu, mengapa hawa disini terlalu panas? Dapatkah kau menebak, di
mana berada kita sekarang?
Tiba2 bocah mengendus bau asap dan ia lantas saja tersadar, Ah! katanya. Kita berada
dibawah Coe-kee-chung.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 564
Kau sungguh pintar, memuji si nona sambil tertawa.
Boe Kie merasa sangat kagum. Dengan siasat bumi hangus, musuh pasti tidak akan menduga
bahwa Cia Soen sebenaranya bersembunyi dibawah tempat kebakaran dan mereka tentu akan
mengubar ketempat lain.
Diantara kamar2 batu itu ada sebuah yang pintunya - pintu besi ditutup rapat. Boe Kie
menduga, bahwa ayah angkatnya berada dalam kamar tersebut, tapi, biarpun sangat ingin
bertemu dengan orang tua itu, ia tidak berani menanyakan atau bertindak sembarangan. Ia
mengerti, bahwa setiap tindakan yang ceroboh dapat berakibat hebat.
Setelah berdiam disitu kira kira setengah hari, hawa panas perlahan lahan mulai mereda. Baru
saja Coe Tiang Leng dan yang lain2 menggelar selimut untuk mengaso, sekonyong konyong
terdengar suara tindakan kuda mendatangi dari sebelah kejauhan. Tak lama kemudian, kuda
kuda itu sudah berada diatas tempat persembunyian mereka.
Api sudah padam lama, bangsat Coe Tiang Leng pasti sudah kabur ketempat lain dengan
membawa Cia Soen, demikian terdengar suara seorang. Ayolah, ubar! Sesaat kemudian,
terdengar suara kaki kuda yang makin lama jadi makin jauh. Ternyata, terowongan tersebut
dan Coe kee-ching dihubungkan dengan sebatang pipa besi, sehingga setiap suara dimuka
bumi bisa didengar jelas dalam lorong dibawah tanah.
Pada malam itu, lima rombongan musuh lewat diataas rombongan Koen loen-pay, kie-keng
pang dan dua rombongan terdiri dari tujuh delapan sampai belasan orang dan mereka semua
mencari Cia Soen dengan menggunakan perkataan perkataan yang hebat2.
Kalau Giehoe belum buta dan tidak terluka bangsat cecurut itu tidak dipandang sebelah mata
olehnya, kata Boe-Kie didalam hati.
Sesudah kelima rombongan itu lewat, Yauw Ceng Coau segara menyumbat lubang pipa
dengan sepotong kayu, supaya suara dalam terowongan tidak sampai terdengar diatas.
Sesudah itu, ia berkata dengan suara perlahan. Aku ingin menengok Cia Tay-hiap.
Coe Tiang Leng mengangguk dan Yauw Ceng Coan segera memutar alat rahasia dipinggir
pintu besi yang perlahan lahan lantas terbuka. Dengan membawa lampu minyak tanah, Ia
masuk kedalam kamar itu.
Sesaat itu, Boe Kie tidak dapat menahan sabar lagi, ia berbangkit, menghampiri pintu dan
mengawasi ke dalam. Ia melihat seorang laki2 yang bertubuh tinggi besar sedang tidur
meringkuk dan muka menghadap kedalam. Air mata si bocah lantas saja berlinang linang.
Cia Tayhiap, bisik Yauw Ceng Coan, apa kau merasa enakan? Mau minum?
Mendadak angin menyambar dan lampu padam. Hampir berbareng terdengar suara buk!tubuh
Yauw Ceng Coan terpental keluar dan jatuh dilantai.
Manusia2 dari Siauw Lim pay, Koen loen pay, Khong tong pay! demikian terdengar Cia
Soan. Mari! Mari! Apa kamu kira Kim-mo Say-eng Cie Soen takut kepadamu?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 565
Celaka! seru Coe Tiang Leng. Cit Tayhiap kapal Ia mendekati seraya berakata. Cia Tay hiap,
kami adalah sahabat2, bukan musuh.
Cia Soen tertawa terbahak bahak, Sahabat2? ia menegas. Apa kau mau menipu aku dnegan
omongan manis2? Ia berjalan keluar dengan tindakan lebar dan sekonyong2 menghantam
dada Coe Tiang Leng telapak tangannya. Pukulan itu disertai lweekang hebat luar biasa,
sehingga lampu minyak tanah yang ditaruh ditengah2 terowongan berkedip2.
Coe Tiang Leng tidak menangkis ia mengegoa dan melompat mundur. Setelah pukulannya
melesat, Cia Soen melompat dan meninju Coe Hoejiu. Nyonya itu tidak mengerti ilmu silat,
hingga, kalau kena, jiwa pasti melayang. Pada saat yang sangat berbahaya, Coe Tiang Leng
dan putrinya melompat dan menangkis pukulan itu.
Melihat kejadian yang tidak diduga duga, Boe Kie berdiri terpaku dan mengawasi denagn
mata membelalak.
Sementara itu, sambil menggeram bagaikan binatang terluka, Cia Soen menyerang dengan
kedua tanganya, tapi Coe Tiang Leng tidak berani balas menyerang dan hanya berusaha untuk
menyelamatkan diri dengan berkelit kesana sini. Satu waktu, karena egosan Coe Tiang Leng,
pukulan Kim-mo Say ong, menghantam dinding terowongan yang dibuat daripada batu.
Begitu kena, batu besar itu hancur dan muncrat berhamburan. Semua orang terkesiap mereka
tak duga Cia Soen memiliki lweekang yg begitu dahsyat. Kalau pukulan itu mampir di tubuh
manusia, biarpun tidak mati, orang itu pasti terluka berat.
Dengan rambut terurai, sinar mata berkilat kilat dan muka berlepotan darah, Cia Soen terus
menyerang seperti harimau edan dan mulutnya mengeluarkan suara ha-ha ho-ho yang
membangunkan bulu roma. Makin lama ia mengamuk makin hebat, sehingga semua orang
merasa sangat berkuatir, sedang Coe Hoejin sendiri berdiri di satu sudut dengan dilindungin
oleh putrinya.
Satu ketika, karena terdesak, Coe Tiang Leng mendorong sebuah meja untuk menahan
terjangan si kalap. Bagaikan kilat Cia Soen menghantam dengan kedua tinjunya. Prak! meja
itu hancur luluh.
Boe Kie bingung bukan main. Ia berdiri dipinggir dinding dan mengawasi kejadian itu dengan
mulut ternganga. Ia kaget tercampur heran karena orang itu ternyata bukan ayah angkatnya,
Kim-mo San-ong Cia Soen. Kedua mata ayah angkatnya buta, tapi orang itu tidak kurang
suatu apa.
Sekonyong-konyong, ketika Coe Tiang Leng berdiri membelakangi dinding, si kalab
menghanta. Ia tidak bisa berkelit lagi, tapi ia tetap tidak mau menangkis. Cia Tayhiap!
teriaknya. Aku bukan musuh, aku tak akan membalas seranganmu.
Orang itu tidak menghiraukan telapak tangannya terus menyambar ke dada Coe Tiang Leng
Buk!, badan Coe Tiang Leng bergoyang2 dan paras mukanya berubah pucat. Cia Tayhiap apa
sekarang kau sudah percaya? tanyanya.
Anjing! Sambut pukulanku! caci si kalap.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 566
Ia meninju, Uah! Coe Tiang Leng muntahan darah. Kau adalah gie heng (saudara angkat) dari
Thio Inkong, katanya dengan suara parau. Biarpun mati, aku tak akan balas menyerang.
Orang itu tertawa terbahak2, Bagus!... bagus! teriaknya bagaikan orang gila. Kau tidak
membalas artinya ajalmu sudah sampai. Suaranya berkata begitu kedua tangannya
menyambar2 dan mengenakan dada serta perut Coe Tiang Leng. Sesaat kemudian, sambil
mengeluarkan teriakan menyayat hati Coe Tiang Leng roboh terkulai. Tapi si kalap masih
belum puas. Ia menubruk sambil mengayun tinjunya.
Pada detik yang sangat berbahaya, Boe Kie melompat dan dengan mati2 an menangkis
pukulan itu. Begitu lengannya kebentrok dengan tinju si kalap, ia merasa dadanya menyesak.
Tapi, tanpa mempedulikan bencana, ia menudin dan berteriak. Kau! kau bukan Cia Soen!
kau bukan.
Orang itu gusar. Tahu apa kau, setan kecil? bentaknya sambil menendang. Boe Kie mengegos
dan berteriak pula. Kau bukan Cia Soen! kau menyamar sebagai Cia Soen.
Mendengar teriakan Boe Kie, perlahan2 Cie Tiang Leng merangkak bagus. Kau kau bukan
Cia Soen? serunya dengan suara parau. Kau menipu aku?. Tiba2 badannya bergoyang2 Uah!
mulutnya menyemburkan darah yang secara kebetulan menyambar tepat pada muka orang itu.
Hampir berbaring, tubuhnya jatuh ngusruk kedepan dan dengan menggunakan kesempatan
itu, dialah dan tangannya bergerak dan jerijinya menotolk Sin hong hi at, dibawah tetek si
kalap.
Sesudah terluka berat. Coe Tiang Leng bukan tandingannya orang itu. Tapi ia berhasil
menolohg jalan darah si kalap karena totokan it yang cie itu dikirim secara diluar dugaan.
Dalam bidang ilmu totok, It yang cie tiada keduanya. Biarpun berkepandaian tinggi, orang itu
tidak berdaya lagi. Sambil menggeram, ia terguling Coe Tiang Leng segera mengirim dua
totokan susulan, tapi sesudah itu, ia sendiri roboh tanpa ingat orang lagi. Coe Kioe Tin dan
Boe Kie buru2 mendekati dan mengangkat tubuh orang tua itu.
Selang beberapa saat, perlahan-lahan Coe Tiang Leng tersadar. Ia mengawasi Boe Kie dan
berkata dengan suara terputus-putus. Apa apa benar dia dia bukan Cia Soan?
Coe Pehpeh, sekarang aku mesti berterus terang, kata si bocah. Orang yang dinamakan
Inkong olehmu adalah ayahku sendiri, sedang Kim-mo Say-ong Cia Soen adalah ayah
angkatku. Tidak! Aku tidak bisa salah mengenali.
Coe Tiang Leng menggeleng-geleng kepalanya.
Kedua mata Giehoe buta, tapi mata orang itu melek, menerangkan Boe Kie. Mata Gie hoe
buta sebelum mendarat Peng hwee to jadi kejadian itu tidak diketahui oleh siapapun dua.
Orang itu menyamar sebagai Giehu, tapi ia tak tahu kenyataan tersebut.
Cie Kie Tin menarik tangannya. Adik Boe Kie apa benar kau puteranya tuan penolong kami?
tanyanya dengan suara terharu. Bagus! Sungguh bagus!
Tapi orang tua itu masih tetap tidak percaya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 567
Karena terpaksa, Boe Kie segera menceritakan mengapa ia sampai datang digunung Koen
Loen. Yauw Ceng Coan menanyakan hal ilhwal kejadian di Boe tong yang berbuntut dengan
kebinasaan kedua orang tuanya dan pertanyaan2 itu telah dijawab dengan ringkas dan terang
oleh Boe Kie.
Semua orang, kecuali Coe Tiang Leng, tidak bersangsi lagi. Hanya orang tua itu yang masih
menggoyang-goyangkan kepalanya dan mengawasi muka si bocah dengan sorot mata
pertanyaan. Kalau dia berdusta, kita akan berdosa terhadap Cia tayhiap, katanya dengan suara
perlahan.
Tiba2 Yauw Ceng Coan mencabut pisau belatinya dan sambil menuding mata kanan orang
itu, ia membentak, Sahabat! Kim mo Say ong Cia Soan buta kedua matanya. Kalu kau mau
menyamar sebagai dia, penyamaran itu harus mirip betul. Biarlah hari ini aku tolong
membutakan kedua matamu. Sahabat! Aku, si orang she Yauw, telah ditipu olehmu. Kalau
saudara kecil itu tidak berada disini, bukankah secara tolol Coe Taoko akan mengantarkan
jiwa? sehabis berkata begitu, ia menggerakkan tangannya, sehingga ujung pisau hampir
menempel dengan mata si penipu.
Orang itu tertawa terbahak2. Jika kau mempunyai nyali, bunuhlah aku, tantangnya. Apa kau
kira Kay pay-chioe Ouw Pa manusia pengecut? (Kay pay chioe si tangan yg bisa membelah
tugu butu.
Oh! kata Coe Tiang Leng dengan suara kaget. Kay-pay chiu Ouw Pa! Hm!...Kalau begitu kau
anggota Khong tong-pay.
Benar! teriak Ouw Pa. Semua partai dalam dunia persilatan sudah tahu, bahwa Coe Tiang
Leng mau membalas sakit hatinya Thio Coei San. Siapa yang turun tangan lebih dulu, dia
yang menang.
Kau sungguh jahat! bentak Yauw Ceng Coan. Ia mengangkat pisaunya dan lalu menikam ulu
hati orang itu.
Jie-tee, tahan! cegah Coe Tiang Leng seraya mencekal tangan adiknya. Kalau dia benar Cia
Tayhiap, biarpun mati kita berdua masih tidak dapat menebus dosa.
Bukankah saudara kecil ini sudah memberi keterangan yang cukup jelas? kata Yauw Ceng
Coan, Toako, jika kau terus ragu, kita tak akan bisa menghindar lagi dari bencana besar.
Tapi sang kakak menggelengkan kepalanya. Aku lebih suka mati dicincang ribuan golok
daripada mengganggu selembar rambut saudara angkatnya Thio In Kong, katanya.
Coe Pehpeh, orang itu sudah pasti bukan ayah angkatku, kata Boe Kie. Sebagai seorang yang
bergelar Kim-mo Say-ong (Raja singa bulu emas), rambut Giehoe berwarna kuning. Tapi
orang itu berambut hitam.
Sesudah berpikir beberapa saat, Coe Tiang Leng manggutkan kepalanya. Ia menuntun tangan
Boe Kie seraya berkata, Saudara kecil, ikut aku. Mereka keluar dari kamar batu, keluar dari
terowongan dan kemudian pergi ke bawah sebuah tebing, di belakang tanjakan. Dengan
duduk di samping Boe Kie di atas sebuah batu besar, Coe Tiang Leng berkata, Saudara kecil,
kalau orang itu bukan Cia Tayhiap, kita mesti segera membinasakan dia. Tapi sebelum turun
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 568
tangan, perasaan raguku harus dihilangkan lebih dulu. Bagaimana pendapatmu? Apakah
pendirianku benar atau salah.
Sikap itu adalah karena Coe Pehpeh menghormati ayah dan Giehoe, kata Boe Kie. Tapi orang
itu sudah pasti bukan Giehoe. Coe Pehpeh, kau boleh tidak ragu lagi.
Orang tua itu menghela napas. Naik, katanya, Di waktu masih muda, aku seringkali
diperdayai orang. Hari ini aku tidak mau balas menyerang sehingga aku mendapat luka berat.
Hal itu terjadi sebab aku salah menilai orang. Salah boleh sekali, tetapi tidak boleh sampai
dua kali. Urusan ini adalah urusan besar. Soal mati atau hidupku tak menjadi soal. Biar
bagaimanapun juga, aku harus melindungi keselamatanmu dan keselamatan Cia Tayhiap,
supaya hatiku lega. Akan tetapi, aku tak berani membuka mulut.
Bukan main terharunya Boe Kie. Coe Pehpeh, demi kepentingan ayah dan Giehoe, kau sudah
membakar rumah dan harta benda sendiri, katanya. Bukan saja begitu, tapi Coe Pehpeh
sendiripun sampai mendapat luka berat. Apakah aku masih harus meragukan kejujuranmu.
Mengenai keadaan Giehoe, biarpun Pehpeh tak menanyakan aku sendiri memang ingin
memberitahukan bagaimana kedua orang tuaku bersama Cia Soen telah diombang-ambingkan
ombak sehingga mendarat di pulau Peng hwee-to, bagaimana mereka berdiam di pulau itu
selama sepuluh tahun dan bagaimana kedua orang tuaku dan Cia Soen mengangkat saudara.
Tentu saja sebagian kejadian itu tidak dialami olehku sendiri dan aku mendengarnya dari
kedua orang tuaku.
Coe Tiang Leng adalah seorang yang berpengalaman dan berhati-hati. Ia tidak mudah percaya
cerita orang. Tapi sesudah mendengar penuturan Boe Kie, ia tidak ragu lagi. Sesudah
membuang napas lega, ia mendongak dan berkata dengan suara bersyukur, Inkong! Inkong!
Sebagai roh yang angker, kau tentu mengetahui semua perasaanku. Selama aku, Coe Tiang
Leng, masih hidup, aku pasti akan memelihara dan mendidik saudara Boe Kie sampai menjadi
orang. Tapi musuh terlalu banyak. Maka itu, aku mohon Inkong melindungi. Setelah berkata
begitu, ia berlutut dan manggutkan kepala berulang-ulang. Bukan main sedihnya Boe Kie, ia
bersedih dan berterima kasih dan segera berlutut di samping orang tua itu.
Sesudah bangkit, Coe Tiang Leng berkata, Sekarang aku tak ragu lagi. Hai! Koen loen
pay!...Siauw lim pay!...semua berjumlah besar. Saudara kecil, sebenarnya aku ingin
mempertaruhkan jiwaku untuk memberikan perlawanan guna membinasakan musuh-musuh
itu untuk membalas budinya Inkong. Tapi sekarang keadaan berubah. Menurut pendapatku,
tugas untuk memelihara anak yatim piatu adalah lebih penting daripada membalas sakit hati.
Hal yang sekarang dipikirkan olehku adalah mencari tempat untuk menyembunyikan diri.
Tempat ini sudah cukup jauh dari dunia pergaulan tapi musuh-musuh kita masih bisa datang
sampai ke sini. Di manadi manakah kita bisa mencari tempat yang lebih aman? Ia diam
sejenak dan kemudian berkata pula, Cia Tayhiap berdiam seorang diri di pulau Peng hwee-to.
Selama beberapa tahun ia tentu merasa sangat kesepian. Hai! Cia Tayhiap begitu menyintai
Inkong. Aku hanya berharap, bahwa suatu waktu aku akan bisa bertemu muka dengan dia.
Kalau harapan ini bisa terwujud biarpun mati, aku akan mati dengan rela.
Boe Kie, jadi lebih berduka. Tiba-tiba dalam otaknya terlintas ingatan dan ia segera berkata,
Coe Pehpeh, apakah tidak baik kita beramai-ramai pergi ke Peng hwee-to? Selama di pulau
itu, aku hidup bahagia. Tapi begitu pulang ke Tiong-goan, semua lantas saja berubah. Apa
yang disaksikan dan dialami olehku adalah pembunuhan-pembunuhan dan peristiwa-peristiwa
berdarah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 569
Coe Tiang Leng menatap wajah si bocah. Saudara kecil, apa benar kau ingin kembali ke Peng
hwee-to? tanyanya.
Ditanya begitu Boe Kie tidak segera menjawab, karena tiba-tiba saja ia ragu. Ia ingat bahwa ia
bakal mati dalam waktu yang tak terlalu lama. Ia ingat pula, bahwa perjalanan ke Peng hweeto
penuh bahaya sehingga belum tentu mereka bisa mencapai jarak tersebut. Tidak pantas aku
menyeret-nyeret seluruh keluarga Coe Pehpeh ke jalanan yang penuh bahaya, pikirnya.
Melihat keraguan itu, Coe Tiang Leng segera saja berkata seraya mengusap-usap kepala Boe
Kie, Saudara kecil, kau dan aku bukan orang luar. Kau harus memberitahukan apa yang
dipikir olehmu sejujur-jujurnya. Apakah kau berniat kembali ke Peng hwee-to? Ia berkata
begitu dengan suara sungguh-sungguh, dengan nada memohon.
Karena pengalaman pahit getir, di dalam hatinya, Boe Kie sudah merasa sangat sebal untuk
berkelana lebih lama dalam dunia Kang-ouw yang kejam dan berbahaya. Kalau sebelum mati
ia bisa bertemu muka lagi dengan ayah angkatnya, kalau ia bisa mati dalam pelukan Giehoe
itu, ia sungguh merasa sangat beruntung. Berpikir begitu, perlahan-lahan ia manggutkan
kepalanya.
Coe Tiang Leng tidak bicara lagi dan dengan menuntun tangan si bocah, ia kembali ke kamar
batu. Begitu bertemu dengan Yauw Ceng Coan, ia berkata, Sekarang tidak usah diragukan
lagi bahwa orang itu manusia jahat.
Yauw Ceng Coan mengangguk dan dengan memegang pisau, ia segera masuk ke dalam
kamar rahasia.
Sesaat kemudian, dalam kamar terdengar teriakan yang menyayat hati dan waktu Yauw Ceng
Coan keluar lagi, pisau yang dipegangnya berlumuran darah.
Tempat persembunyian kita ini sudah diketahui musuh dan kita tak dapat tinggal lebih lama
lagi, kata Coe Tiang Leng. Semua orang segera meninggalkan terowongan dan sesudah
berjalan duapuluh li lebih, sesudah melewati dua puncak gunung, tibalah mereka di sebuah
lembah. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka bertemu sebuah pohon kwi yang sangat
besar dan di bawah pohon berdiri empat lima rumah kecil.
Waktu itu fajar sudah mulai menyingsing. Semua orang lantas saja masuk ke dalam sebuah
rumah di mana terdapat cangkul, luku golok dan alat-alat pertanian lain. Di samping itu, di
dalam rumah tersebut juga terdapat dapur dengan perabot masak yang serba lengkap serta
bahan makanan yang tidak sedikit. Boe Kie segera mengerti, bahwa untuk menjaga
kedatangan musuh-musuhnya Coe Tiang Leng sudah membuat dan melengkapi rumah itu,
sebagai persiapan kalau-kalau ia perlu menyingkirkan diri.
Begitu tiba, orang tua itu yang mendapat luka berat segera rebah di ranjang untuk mengaso,
sedang Coe Hoe Jin mengeluarkan pakaian sepatu dan ikat kepala petani dari dalam peti
pakaian lalu membagikannya kepada semua orang. Dalam sekejap anggota-anggota keluarga
yang kaya raya itu sudah mengenakan pakaian petani yang kasar.
Setelah berdiam beberapa hari berkat obat turunan yang sangat mujarab, kesehatan Coe Tiang
Leng mendapat kemajuan yang sangat pesat. Untung musuh tidak mengejar sampai di situ,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 570
sehingga mereka bisa hidup dengan tenteram. Mereka mempersiapkan barang-barang untuk
melakukan perjalanan jauh. Boe Kie mengerti bahwa persiapan itu adalah untuk pergi ke
pulau Peng hwee-to guna membalas budi.
Malam itu ia tak bisa tidur, pikirannya melamun, membayangkan hal-hal yang akan terjadi di
pulau itu nanti. Ia akan bisa berkumpul dengan Coe Kiu Tin, Coe Pehpeh, Yauw Jie Siok dan
ayah angkatnya dengan kehidupan yang bahagia, tanpa penindasan dari penjajah Goan.
Mengingat itu semua, hatinya jadi gembira. Sampai tengah malam, ia masih bolak-balik di
atas pembaringan. Tiba-tiba ia mencium bau wangi dan satu bayangan manusia kelihatan
berkelabat, ternyata bayangan itu adalah Coe Kiu Tin, mendadak wajah Boe Kie berubah
merah.
Perlahan-lahan si nona mendekati pembaringan dan berbisik, Adik Boe Kie, apa kau sudah
tidur?
Sesaat kemudian ia merasa mukanya diraba-raba oleh si nona yang rupanya mau menyelidiki
apa ia benar-benar sudah tidur.
Boe Kie kaget bercampur girang, malu bercampur takut, tapi ia tetap pejamkan mata dan
berpura-pura tidur, dan mengharap supaya Kiu Tin buru-buru keluar. Semenjak baru bertemu,
ia memuja si nona bagaikan seorang Dewi, ia sudah merasa beruntung kalau setiap hari bisa
bertemu dengan gadis cantik itu. Dalam jiwanya yang masih bersih, pemujaan itu bebas dari
segala pikiran yang bukan-bukan. Ia bahkan tidak pernah membayangkan atau memikirkan
untuk mengambil nona Coe sebagai istrinya. Maka itulah, kedatangan Kiu Tin ditengah
malam buta sangat membingungkan hatinya.
Apakah Tin-jie ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting denganku? tanyanya dalam
hati. Baru saja berpikir begitu, mendadak ia merasa dadanya kesemutan karena di bagian Tiat
tiong hiat telah ditotok. Hampir berbarengan, jalan darah yang lain pada Kian tin, Sin cong,
Kie tie serta Hoan tiauw hiat juga tertotok.
Itu kejadian yang sungguh diluar dugaan! Siapa sangka si nona menyatroni untuk menotok
jalan darahnya? Tapi dilain saat, ia mendapat satu ingatan lain. Aha! Tin-jie tentu ingin
menjajal kewaspadaan diwaktu tidur, pikirnya. Besok, waktu akan membuka jalan darahku, ia
tentu mentertawai aku. Hmm, kalau aku tahu begitu, tentu melompat bangun untuk
mengagetkannya.
Dilain pihak, sesudah menotok jalan darah Boe Kie, perlahan-lahan Kiu Tin membuka jendela
dan melompat ke atas genteng.
Paling baik aku membuka jalan darahku dan menakut-nakuti dnegan menyamar sebagai setan,
pikir Boe Kie. Seraya tertawa geli, ia segera mengerahkan Lweekang dan coba membuka
jalan darah yang tertotok dengan menggunakan ilmunya Cia Soen. Tapi totokan si nona
adalah totokan It-yang-cie yang sangat hebat dan sesudah berdeging kira-kira setengah jam,
barulah ia berhasil membuka jalan darahnya.
Berhasilnya Boe Kie adalah karena pertama Lweekang nona Coe masih sangat rendah dan
kedua, Kiu Tin memang hanya ingin menotok perlahan sebab sungkan melukai si bocah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 571
Kalau totokan It-yang-cie diberikan seorang ahli berkepandaian tinggi, biarpun Boe Kie
sepuluh kali lipat lebih hebat, ia tak akan dapat membuka jalan darahnya.
Begitu terbebas, cepat-cepat Boe Kie memakai pakaian luar dan melompat ke atas genting
dari jendela. Sambil berlari-lari ia menyusul ke arah jalanan yang tadi diambil oleh si nona.
Tapi apa yang ditemukan hanya gunung kosong yang sunyi senyap, dengan pohon-pohon
yang kadang-kadang mengeluarkan suara kresekan karena ditiup angin.
Sesudah mengejar beberapa lama dengan rasa kecewa, ia menghentikan langkahnya. Tapi
dilain saat ia berpikir lain, Perlu apa aku membalas. Sekarang Tin-jie sangat menyayangi aku,
tapi kalau malam ini aku membalasnya, mungkin sekali ia akan berbalik membenci aku.
Berpikir begitu, hatinya jadi tenang kembali.
Waktu itu adalah permulaan musim semi. Bunga di lembah itu sudah mulai mekar dan
menyiarkan bebauan yang sangat harum. Kesunyian malam dan pemandangan di sekitar
gunung itu mendatangkan banyak kenangan dari masa lampau. Karena memang tak bisa tidur,
Boe Kie tidak segera kembali, perlahan-lahan ia berjalan di sepanjang pinggiran sebuah
selokan. Salju di tanjakan sudah mulai melumut dan air yang mengalir di selokan bercampur
kepingan-kepingan es.
Sesudah berjalan beberapa lama, sekonyong-konyong di dalam hutan sebelah kiri terdengar
suara tawa seorang wanita. Boe Kie terkesiap sebab suara itu adalah suara Kiu Tin.
Apakah Tin-jie sudah melihat aku? tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba terdengar bentakan si nona. Piauw ko, jangan rewel kau! Apa kau minta dihajar?
bentakan itu disusul dengan tawa seorang lelaki yang bukan lain adalah Wie Pek.
Boe Kie terkejut, jantungnya memukul keras dan kepalanya seperti diguyur dengan air es.
Sekarang ia mengerti. Ia mengerti, bahwa Kiu Tin menotok jalan darahnya bukan untuk
bercanda, tapi untuk mencegah terbukanya rahasia pertemuan itu. Ia menghela napas dan
berkata dalam hatinya. Ya! Aku mesti tahu diri. Aku tak lebih dan tak kurang daripada
seorang bocah miskin yang tak punya tempat berteduh. Baik dalam ilmu silat, aku berada jauh
di bawah Wie Siang Kong. Di samping itu mereka adalah saudara sepupu dan merupakan
pasangan yang cocok, yang satu cantik yang satu tampan. Mengingat begitu, hatinya menjadi
lebih tenteram dan sambil menghela napas, ia segera bertindak untuk berlalu.
Mendadak, di sebelah belakang terdengar suara langkah kaki. Hampir berbarengan dengan
bergandengan tangan, Wie Pek dan Kiu Tin muncul dari dalam hutan. Karena sungkan
bertemu dengan dia, buru-buru Boe Kie bersembunyi di belakang satu pohon besar. Pada saat
itu, langkah kaki yang mendatangi dari sebelah belakang sudah mendekati.
Thia, seru Kiu Tin, suaranya gemetar seperti orang ketakutan.
Orang itu ternyata Coe Tiang Leng. Ia rupanya gusar dan sambil mengeluarkan suara di
hidung ia membentak, Bikin apa kau di sini?
Kiu Tin mencoba menekan rasa takutnya dan dengan tawa yang dipaksakan ia menjawab.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 572
Sudah lama kami tidak pernah bertemu dan malam ini, kebetulan Piauw ko datang, anak
datang menyusul kemari untuk mengobrol.
Kau terlalu berani mati, kata sang ayah dengan suara yang mendongkol. Kalau Boe Kie tahu.
Anak sudah menotok lima jalan darahnya dan sekarang ia sedang tidur nyenyak, kata si nona.
Coe Pehpeh juga sudah tahu, bahwa aku menyayangi Tin-cie, kata Boe Kie dalam hati, kuatir
aku berduka. Ia tak tahu, bahwa biarpun sayang, aku tak punya maksud yang lain. Hai!...Coe
Pehpeh kau sungguh baik terhadapku.
Tapi perkataan Coe Tiang Leng yang selanjutnya menerbitkan rasa heran dalam hati Boe Kie.
Meskipun begitu, kita harus berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan, kata
orang itu.
Kiu Tin tertawa. Ah! Anak kecil tahu apa, katanya.
Tin-moay, kata Wie Pek, Aku mau pulang, aku kuatir suhu menunggu-nunggu aku.
Si nona kelihatannya merasa berat untuk segera berpisah. Biar ku antar pulang, katanya.
Mari kita pergi bersama-sama, kata sang ayah. Aku ingin bicara dengan gurumu untuk pergi
ke Peng hwee-to, kita harus membuat persiapan yang seksama. Sehabis Coe Tiang Leng
berkata begitu, dia segera menuju ke arah barat.
Boe Kie jadi makin heran. Ia tahu, bahwa guru Wie Pek adalah Boe Liat, ayahnya Boe Ceng
Eng. Didengar dari perkataan Coe Tiang Leng, sepertinya Boe Liat bersama putrinya dan Wie
Pek bakal turut pergi ke Peng hwee-to. Mengapa hal itu belum pernah didengar olehnya? Ia
kuatir, sebab bila soal Cia Soen diketahui terlalu banyak orang kemungkinan bocornya rahasia
akan menjadi sangat besar. Sesudah berpikir sejenak, tiba-tiba ia ingat perkataan Coe Tiang
Leng yang mengatakan kita harus berhati-hati supaya ia tak lihat sesuatu yang mencurigakan.
Ia curiga dan dilain saat, ia ingat pula hal lain yang lebih mencurigakan. Ia ingat, bahwa
gambar mendiang ayahnya yang digantung di rumah keluarga Coe. Ayahnya dilukiskan
sebagai seorang yang bermuka panjang, sedangkan muka ayah sebenarnya bundar telur.
Paras muka Boe Kie mirip dengan Coei San, tapi potongan muka mereka sangat berlainan.
Muka si anak persegi panjang, muka sang ayah bundar telur, dengan lancip di bagian
janggutnya. Coe Tiang Leng mengatakan bahwa gambar itu telah dilukis olehnya sendiri pada
belasan tahun yang lalu. Walaupun begitu dan andaikata orang tua itu tidak pandai melukis,
tidak mungkin ia membuat kesalahan dalam melukis potongan muka tuan penolongnya. Apa
yang dilukis Coe Tiang Leng pada hakekatnya Boe Kie dalam usia dewasa.
Aha! Ada lagi yang mengherankan, kata si bocah dalam hatinya. Bentuk Poan koan-pit yang
bisa digunakan Tia tia mirip dengan pit dan gagangnya, sangat pendek. Tapi Poan koan-pit
dalam lukisan itu adalah Poan koan-pit biasa. Sebagai seorang ahli Poan koan-pit, bagaimana
Coe Pehpeh bisa melukis salah?
Mengingat itu semua, Boe Kie menjadi bingung dan ketakutan. Di dalam hati kecilnya sudah
menduga-duga sebab musebab keanehan-keanehan itu. Akan tetapi, dugaan itu terlalu hebat,
sehingga ia tidak bisa meneruskan taksirannya itu. Ah! Tak boleh aku berpikir yang gila-gila,
ia menghibur dirinya sendiri. Coe Pehpeh begitu sayang aku dan aku tak pantas menduga
yang tidak-tidak. Paling baik aku pulang dan tidur. Kalau dia tahu bahwa aku menguntit dia,
bisa-bisa jiwaku melayang.
Mengingat jiwa melayang, tiba-tiba ia menggigil. Ia sendiri tak tahu, mengapa ia menjadi
begitu ketakutan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 573
Sesudah berdiri terpaku beberapa lama tanpa terasa ia melangkah ke arah jalanan yang dilalui
oleh Coe Tiang Leng bertiga. Sekonyong-konyong di sebuah hutan yang agak jauh ia melihat
sinar api yang berkelap-kelip, sebagai tanda, bahwa di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah
orang. Dengan jantung berdebar keras, ia menuju ke arah sinar api dengan langkah ringan.
Setibanya di belakang rumah itu, sesudah menentramkan hati, ia mengendap-endap
menghampiri jendela dan melongok ke dalam. Ternyata memang benar Coe Tiang Leng
bertiga berada dalam ruangan itu. Mereka duduk menghadap jendela dan sedang bicara
dengan dua orang yang duduk membelakangi jendela sehingga muka mereka tak dapat dilihat
oleh Boe Kie. Tapi yang satu seorang wanita, mungkin sekali Boe Ceng Eng, sedang yang
satunya lagi adalah seorang pria bertubuh tinggi besar. Dengan penuh perhatian, sambil
manggut-manggut lelaki itu tengah mendengar penuturan Coe Tiang Leng tentang bagaimana
mereka harus menyamar sebagai pedagang kemudian berlayar dari pantai Shoatang.
Aku benar tolol, kata Boe Kie dalam hatinya, Orang itu mungkin sekali Boe Chung Coe.
Sebagai seorang sahabat Coe Pehpeh, ini adalah kejadian lumrah diantara sahabat karib.
Mengapa aku jadi begitu ketakutan?
Thia, bagaimana kalau kita tidak bisa cari pulau itu dan juga tidak bisa pulang kembali? tanya
wanita itu yang ternyata memang Boe Ceng Eng.
Sekarang Boe Kie mendapat kepastian, bahwa lelaki itu adalah Boe Liat.
Kalau takut, kau boleh tak usah ikut, jawab sang ayah. Di dalam dunia ini, tanpa berani
menempuh kesukaran, manusia takkan bisa memperoleh sesuatu yang berharga.
Ayahku sering pergi ke Tiong-goan dan ia pasti tahu racun yang baik, kata pemuda itu. Kita
bisa minta bantuan ayah.
Sesaat Boe Liat bangkit seraya menepuk pundak Kiu Tin, ia berkata, Tin-jie. Tiba-tiba ia
menengok dan Boe Kie melihat tegas mukanya. Ia terkesiap, karena orang itu adalah manusia
yang sudah menyamar sebagai ayah angkatnya.
Sekarang semua menjadi jelas. Dipukulnya Coe Tiang Leng hingga muntah darah, teriaknya
yang menyayat hati dan sebagainya hanyalah sandiwara belaka. Agar sandiwara itu kelihatan
sungguh-sungguh, mereka harus menggunakan Boe Liat yang memiliki kepandaian tinggi.
Tin-jie, kau sendiri harus menjalankan perananmu baik-baik, kata Boe Liat sambil tertawa,
Selama dalam perjalanan, kau harus baik terhadap setan kecil itu. Kau harus menjaga supaya
ia tidak tersadar.
Thia, kau harus meluluskan satu permintaanku, kata Kiu Tin.
Permintaan apa? tanya sang ayah.
Kau menyuruhku melayani setan kecil itu dan kau tak tahu, betapa besar penderitaanku,
jawabnya. Dari sini ke Peng hwee-to masih jauh sekali. Selama itu, entah berapa besar
kedongkolan yang harus ditelan olehku. Maka itu aku minta supaya sesudah kau dapat
merebut To liong-to kau ijinkan aku untuk membacok mampus setan kecil itu!
Mendengar kata-kata yang sekejam itu, mata Boe Kie gelap hampir ia roboh. Lapat-lapat ia
mendengar suara Coe Tiang Leng, Sebenar-benarnya kita tak pantas menjalankan tipuan ini
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 574
terhadap dia. Di samping itu dia juga bukan orang jahat. Kurasa membinasakan Cia Soen dan
merampas To liong-to, cukuplah kalau kita membutakan kedua matanya dan meninggalkan
dia di pulau itu.
Coe Toako adalah seorang yang welas asih dan perkataanmu itu membuktikan bahwa kau
memang seorang ksatria, puji Boe Liat.
Coe Tiang Leng menghela napas. Kita terpaksa menjalankan tipuan ini karena tak ada lagi
jalan yang lebih baik, katanya. Boe Jie tee, sesudah berlayar, perahumu harus berada agak
jauh dari perahuku. Kalau terlalu dekat, anak itu bisa curiga. Tapi kalau terlalu jauh,
hubungan kita bisa terputus. Maka itu kau harus memilih anak buah dan pengemudi yang
pandai.
Boe Kie merasa kepalanya pusing. Ia mengasah otak untuk memecahkan banyak pertanyaan.
Aku belum pernah memperkenalkan diri, tapi bagaimana mereka bisa menebak asal-usulku?
tanyanya dalam hati. Hm mungkin sekali karena aku sudah menggunakan ilmu Boe tong-pay
dan Hang lion Sip pat ciang waktu melawan Wie Pek dan kedua perempuan itu. Coe Pehpeh
seorang cerdas dan berpengalaman luas. Rupanya, begitu melihat ilmu silatku, ia sudah bisa
menebak asal-usulku.
Beberapa saat kemudian, ia berkata pula dalam hatinya. Ia tahu, bahwa kedua orang tuaku
lebih suka mati daripada membuka rahasia. Ia menaksir bahwa jika menggunakan kekerasan,
ia tak akan bisa mengorek dari mulutku. Maka itu, ia menggunakan siasat membakar rumah
sendiri dan menjalankan tipu Kouw-jiok-kee (menyakiti diri sendiri), sehingga tanpa
meminta, aku sudah membuka rahasia Peng hwee-to. Ah!...Coe Tiang Leng! Coe Tiang Leng!
Tipumu sungguh beracun!
Sementara itu, Coe Tiang dan Boe Liat sudah mulai membicarakan rencana pelayaran, Boe
Kie tak berani mendengar lebih jauh dan dengan sangat hati-hati, ia lalu meninggalkan rumah
itu. Sambil memasang kuping, ia berjalan selangkah demi selangkah. Ia tahu, bahwa kedua
orang tua itu memiliki kepandaian yang sanggat tinggi, sehingga sedikit saja ia bertindak
salah, mereka segera bisa mendengarnya. Sesudah terpisah belasan tombak, barulah ia berani
berjalan lebih cepat. Dalam ketakutan ia tak memilih jalanan. Ia terus mendaki tanjakan dan
menuju ke sebuah hutan lebat. Selama kurang lebih satu jam ia berlari-lari seperti orang
kalap, tanpa berani mengaso.
Waktu fajar menyingsing, ia berada di dalam hutan dari sebuah puncak yang tertutup salju.
Dengan napas tersengal-sengal ia menhentikan langkah dan menengok untuk melihat kalaukalau
ada yang mengejar.
Jilid 31______________
Tiba-tiba ia mengeluh karena di jalanan yang barusan dilewatinya, yang tertutup dengan salju,
terdapat tapak-tapak kakinya sendiri. Daerah barat (See hek) adalah daerah yang hawanya
sangat dingin dan biarpun waktu itu sudah masuk musim semi, salju di gunung-gunung masih
belum lumer. Semalam, dalam ketakutannya, ia tak berani jalan di tanah datar dan sudah
mendaki puncak itu. Tapi dengan berbuat begitu, ia malah sudah membuka rahasia sendiri.
Pada saat itu, dari sebelah kejauhan sekonyong-konyong terdengar geram kawanan serigala
yang menakutkan. Boe Kie berdiri di atas batu karang yang sangat curam. Mendengar suara
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 575
itu, ia mengawasi ke bawah. Ternyata, di dasar lembah terdapat tujuh-delapan serigala yang
sedang meronyang-ronyang kearahnya dan menyalak tak henti-hentinya. Kawanan binatang
itu kelihatannya kelaparan dan ingin menubruk dirinya untuk mengganjal perut. Tapi ia
berdiri di tempat aman yang terpisah jauh dari mereka.
Ia memutar kepala dan mengawasi keberapa jurusan. Mendadak sekali ia terkesiap. Matanya
yang jeli melihat bergeraknya lima bayangan manusia di sebuah tanjakan. Ia tahu, bahwa
mereka rombongan Coe Tiang Leng yang sedang mengejar dirinya. Dari jauh mereka
kelihatannya berjalan sangat perlahan, tapi ia mengerti, bahwa dalam tempo satu jam, mereka
akan tiba di tempat dimana ia sekarang berdiri.
Sesudah menentramkan hatinya, Boe Kie segera mengambil satu keputusan, lebih baik aku
mati dimakan serigala daripada jatuh ke dalam tangan mereka, katanya dalam hati.
Untuk sejenak ia berdiri bengong. Ia ingat bahwa dengan setulus hati ia mencintai Kioe Tin
sebagai seorang adik mencintai kakak sendiri. Sungguh tak dinyana wanita yang begitu cantik
mempunyai hati yang begitu kejam. Ingat begitu, ia malu campur duka. Cepat-cepat ia
melompat dan masuk ke dalam hutan dengan berlari. Karena hutan terdapat rumput-rumput
tinggi,
maka meskipun masih ada salju, tapak-tapak kakinya sukar terlihat. Sesudah lari beberapa
lama, mendadak racun dingin dalam tubuhnya mengamuk lagi. Ia tidak kuat berjalan terus.
Rasa lelah dicampur dengan kesakitan hebat. Apa boleh buat, ia merangkak masuk ke dalam
gerombolan alang-alang dan menjumput sebutir batu tajam dari atas tanah. Ia sudah
mengambil keputusan bahwa Coe Tiang Leng mengejar sampai di situ dan cepat menemukan
tempat persembunyiannya, ia akan membunuh diri dengan menghantam Tay Yang Hiatnya
dengan batu itu.
Sesudah mengambil keputusan itu, hatinya jadi lebih tenteram. Didepan matanya lantas saja
terbayang kehidupan bahagia selama 2 bulan lebih dalam rumah Tiang Leng dan peringatan
yang sedap itu telah mendatangkan kedukaan terlebih besar dalam hatinya. Pendeta Siau Lim
Sie mencelakakan aku, tapi hal itu tidak usah dibuat heran. Pikirnya. Orang-orang Kong Tong
Pay, Hwa San Pay dan Kun Lun Pay telah membalas budi dengan kejahatan, tapi itupun tak
perlu dihiraukan. Tapi Tin Cie aku mencintainya dengan sepenuh hati!... ah! Bukankah ibu
pernah memesan aku pada waktu ia mau menghembuskan napas yang penghabisan? Mengapa
aku melupakan pesan itu.
Sebagaimana diketahui, sebelum mati In So So telah memesan Boe Kie supaya anak itu
berhati-hati terhadap perempuan. Menurut So So, makin cantik wanita, makin pandai menipu
orang.
Dengan air mata berlinang-linang, anak itu berkata dalam hatinya. Waktu mengucapkan pesan
itu, pisau sudah menancap di dada ibu. Dengan menahan sakit, ibu sudah memesan aku, tapi
aku sendiri sedikitpun tidak memperdulikan pesan itu. Kalau aku tidak mengerti ilmu
membuka jalan darah, tipu busuk Coe Tiang Leng dan kawan-kawannya sudah pasti tidak
akan
diketahui olehku dan aku menuntun mereka ke Peng Hwee To untuk mencelakakan Gie Hu.
Sesudah hatinya lebih tenteram, ia bisa memikir secara lebih terang. Ia segera dapat melihat
latar belakang dari tindakan-tindakan Coe Tiang Leng. Sesudah menduga, bahwa ia adalah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 576
putera Thio Coei San, si orang she Coe lalu membinasakan kawanan anjing, sebagai tindakan
pertama untuk mendapat kepercayaan.
Sesudah itu, dia berlaku manis-manis sampai akhirnya membakar gedung sendiri. Biarpun
termusnahnya rumah-rumah itu harus disayangkan, akan tetapi harta benda tersebut tidak
berarti banyak jika disbanding dengan To Liong To, senjata mustika yang dapat membuat
pemiliknya menjadi seorang termulia dalam rimba persilatan.
Waktu masih berada di pulau, aku sering melihat Gie Hu duduk bengong sambil memeluk
golok itu, kata Boe Kie dalam hati. Tapi selama sepuluh tahun, ia masih juga belum bisa
menembus rahasia golok itu. Coe Tiang Leng adalah seorang yang pintar luar biasa dan
kecerdasan otaknya lebih lihai daripada Gie Hu. Jika To Liong To sampai jatuh ke tangannya,
apa yang tak dapat ditembus Gie Hu, mungkin sekali dapat dipecahkan olehnya.
Sesaat itu, suara tindakan kaki sudah terdengar tegas, sebagai tanda bahwa rombongan
pengejar sudah masuk ke dalam hutan.
Bocah itu pasti bersembunyi di hutan ini, bisik Boe Liat. Tak mungkin dia kabur ke tempat
lain.
Ssst! Tiang Leng memutuskan perkataannya. Sesaat kemudian ia berkata pula dengan suara
keras. Hai! Entah apa kesalahan Tin Jie. Aku sungguh sangat kuatir. Ia masih begitu kecil dan
kalau sampai terjadis sesuatu atas dirinya, biarpun badanku hancur luluh, aku masih belum
bisa menebus dosa. Suara itu dikeluarkan dengan nada parau, seperti juga benar-benar
ia bersusah hati. Akan tetapi, bagi Boe Kie perkataan-perkataan itu membangunkan bulu
roma.
Dilain saat, Boe Kie mendengar suara beberapa orang memukul alang-alang dengan tongkat.
Ia rebah sambil menahan nafas dan tidak berani berkutik. Untung juga, hutan sangat luas dan
mereka tidak dapat ke tempat persembunyian si bocah.
Sesudah berusaha beberapa lama tanpa berhasil, tiba-tiba Coe Tiang Leng membentak keraskeras,
Tin Ji, apakah yang sudah dperbuat olehmu sehingga saudara kecil kabur ditengah
malam buta?
Kioe Tin kaget, tapi ayahnya segera memberi isyarat dengan kedipan mata. Dari tempat
sembunyinya, Boe Kie melihat kedipan itu.
Aku hanya berguyon dan sudah menotok jalan darahnya, jawab si nona.
Tidak dinyana, adik Boe Kie menganggap salah. Sehabis berkata begitu, ia berteriak, Adik
Boe Kie! Dimana kau? Lekas keluar! Tin Cie ingin menghaturkan maaf kepadamu.
Tapi tentu saja teriakan itu tidak mendapatkan jawaban. Tiba-tiba terdengar suara
tangisannya, Thia, jangan! Jangan pukul aku ratapnya.
Aku tidak sengaja tidak sengaja.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 577
Coe Tiang Leng mencaci-caci sedang puterinya menangis keras sambil meratap, seperti juga
sedang dihajar keras. Melihat sandiwara itu Boe Kie menghela nafas panjang. Jika aku belum
mendapat bukti dari kepalsuannya, sudah pasti aku akan melompat ke luar, pikirnya.
Karena yakin bahwa Boe Kie bersembunyi dalam hutan itu, mereka bersandiwara terus, yang
satu memaki dengan kata-kata hebat, yang lain mengeluarkan teriakan-teriakan menyayat
hati.
Dengan kedua tangan, Boe Kie menutup kupingnya, tapi suara sesambat si nona masih tetap
terdengar. Sebisa mungkin ia coba mengeraskan hati, tapi akhirnya ia tak dapat bertahan lagi.
Sesudah mengambil keputusan nekat, tiba-tiba ia melompat keluar dan berteriak. Tak usah
kamu melangsungkan permainan gila itu! Apa kamu kira aku tak tahu segala tipu busukmu?
Melihat munculnya Boe Kie, Coe Tiang Leng beramai jadi girang, Aha! Ini dia! seru mereka.
Dilain pihak sesudah mencaci, Boe Kie segera berlari bagaikan kalap. Coe Tiang Liat lantas
saja mengejar. Sebelum melompat keluar, si bocah sudah mengambil keputusan untuk
meninggalkan dunia yang kejam ini. Seperti seekor kijang, ia kabur ke arah tebing dengan
melompat ke jurang yang dalam. Tapi Coe Tiang Leng memiliki ilmu ringan badan yang
banyak lebih tinggi daripadanya. Maka itu, baru saja ia tiba di atas tebing, si orang she Coe
sudah menyandaknya lalu menjambret belakang bajunya.
Pada detik itu, kaki kanannya sudah menginjak tempat kosong dan separuh badannya sudah
berada di atas jurang. Begitu Coe Tiang Leng menjambret punggungnya, kaki kirinya
melompat dan badannya menubruk ke depan. Coe Tiang Leng tak pernah menduga bahwa
bocah itu sedemikian nekat. Karena Boe Kie melompat dengan sepenuh tenaga, ia turut
terbetot. Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi. Jika pada saat itu ia melepaskan
cekalannya, dengan mudah ia akan dapat menolong diri. Akan tetapi ia mengerti, bahwa
melepaskan anak itu berarti sama dengan melepaskan To Liong To. Selama kurang lebih dua
bulan dengan susah payah ia sudah menjalankan tipunya, bahkan ia sampai mengorbankan
gedung dan harta bendanya. Apakah ia harus melepaskan golok mustika yang sudah berada di
depan mata?
Seluruh tubuh Boe Kie sekarang berada di atas jurang, di tengah udara!....
Celaka! Coe Tiang Leng mengeluh dengan hati mencelos. Tangan kirinya menyambar ke
belakang dengan harapan bisa mencekal tangan Boe Liat yang turut mengejar tapi pada detik
itu tangan Boe Liat masih terpisah kira-kira satu kaki.
Ternyata tenaga penarik To Liong To lebih dahsyat daripada ancaman bencana. Coe Tiang
Leng tetap mencekal baju si bocah itu dan. Mereka berdua tergelincir ke dalam jurang yang di
dalamnya berlaksa tombak!
Sayup-sayup terdengar teriakan Kioe Tin dan Boe Liat. Sesaat kemudian segala apa tidak
terdengar lagi, kecuali menderunya angin.
Coe Tiang Leng mengerti bahwa kalau jatuh di dasar, badan akan hancur lebur. Ia adalah
seorang yang sudah kenyang mengalami topan dan gelombang. Maka dalam menghadapi
kebinasaan ia tak jadi bingung.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 578
Badan mereka melayang ke bawah dengan cepatnya.
Jarak antara kedua dinding jurang tidak begitu lebar dan selagi melayang jatuh beberapa kali,
Coe Tiang Leng melihat pohon-pohon yang tumbuh di dinding dan cabang-cabang melonjor
ke luar. Beberapa kali ia menjambret tapi selalu gaga. Paling belakang, jambretannya kena,
tapi sebab tenaga jatuhnya mereka terlampau hebat maka, dengan mengeluarkan suara krekek,
cabang siong itu yang sebesar lengan patah dari pohonnya.
Walaupun begitu, kejadian ini merupakan pertolongan. Biarpun cabang itu patah, jatuhnya
mereka jadi tertahan dan Coe Tiang Leng tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan
baik itu. Dengan meminjam tenaga, ia mengangkat kedua kakinya dengan gerakan Ouw
Liong Jiauw Cu (Naga Hitam Melibat Tiang), ia memeluk dahan dengan kedua betisnya.
Dilain saat ia sudah mengangkat tubuh Boe Kie dan mendudukkannya di atas sebuah cabang,
tapi tangannya tetap mencekal baju si bocah, sebab ia kuatir anak itu akan melompat lagi.
Melihat ia bakal mati dan tetap tak bisa terlolos dari tangan si orang she Coe. Boe Kie
berduka bukan main dan berkata dengan suara membenci, Coe PehPeh, biar bagaimana hebat
kau menyiksa aku, jangan harap aku akan menuntun kau ke tampat persembunyian Gie Hu.
Ketika itu Coe Tiang Leng sendiri sudah duduk di atas satu cabang. Ia mendongak ke atas.
Mereka ternyata sudah jatuh terlalu dalam. Apa yang dilihatnya hanyalah langit. Sedang Boe
Liat dan yang lain sudah tak kelihatan bayangannya. Walaupun bernyali besar, ia menggigil
dan dahinya mengeluarkan keringat dingin.
Sesudah menentramkan hatinya, ia tertawa dan berkata, Saudara kecil, apa katamu? Aku tidak
mengerti, janganlah kau memikir yang tidak-tidak.
Segala tipu busukmu sudah kuketahui. Jawabnya mendongkol. Sekarang segala tipumu sudah
tidak berguna lagi. Andaikata kau memaksa aku untuk mengantar kau ke Peng Hwee To, aku
bisa menunjuk jalan dengan sembarangan supaya kita sama-sama mampus dimakan lautan.
Apa kau kira aku takut berbuat begitu?
Coe Tiang Leng mengerti, bahwa ancaman itu bukan omong kosong. Ia tahu, bahwa terhadap
Boe Kie yang nekat, ia tidak bisa menggunakan kekerasan.
Orang satu-satunya yang bisa menaklukkan si bocah adalah puterinya sendiri. Mamikir
begitu, ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan berteriak, Kami selamat! Jangan khawatir!
Teriakan itu menggetarkan seluruh lembah.
Kami selamat!... Kami selamat!... Jangan khawatir!...
Tiba-tiba Coe Tiang Leng ingat sesuatu, Celaka! ia mengeluh, Aku tidak boleh berteriak
begini di gunung salju.
Hampir berbareng, gumpalan-gumpalan salju putih meluruk turun dari dinding jurang.
Untung juga salju tidak begitu tebal. Sehingga tidak membahayakan. Tapi Coe Tiang Leng
tidak berani berteriak lagi. Ia menghela nafas dan sambil mengawasi keempat penjuru, ia
mengasah otak untuk mencari jalan keluar. Ke bawah, jurang itu belum kelihatan dasarnya
dan andaikata mereka bisa turun sampai ke dasar jurang, disitu belum tentu ada jalan keluar.
Untuk memanjat ke atas dari dinding yang satu, sukar dapat dilakukan, karena dinding batu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 579
itu bukan saja sangat curam tapi juga ditutup salju licin. Maka itu, jalan satu-satunya adalah
coba memanjat ke atas dari tebing-tebing yang lain, yang tidak begitu terjal.
Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara membujuk, Saudara kecil, jangan kau
mencurigai aku secara membuta tuli, Biar bagaimanapun jua, aku tidak akan memaksa kau
untuk mencari Cia Sun. Kalau aku menggunakan kekerasan, biarlah aku mati terpanah
laksaan anak panah dan mati tanpa mempunyai kuburan.
Sumpah yang begitu berat itu bukan sumpah kosong. Ia tahu, bahwa ia memang tidak bisa
memaksa anak yang kepala batu itu. Kemungkinan satu-satunya hanyalah membujuk atau
menipu supaya si bocah mau membantunya dengan suka rela.
Dilain pihak, mendengar sumpah itu, hati Boe Kie jadi lebih lega.
Sekarang kita harus berusaha untuk menyelamatkan diri dengan memanjat tebing. Kata Coe
Tiang Leng pula. Tapi kau tidak boleh melompat ke bawah lagi. Kau mengerti?
Kalau tidak memaksa aku, akupun tak perlu mencari mati. Jawabnya.
Coe Tiang Leng mengangguk dan mengeluarkan pisau yang lalu digunakan untuk mengeset
kulit pohon. Dengan kulit pohon itu, ia membuat tambang yang kedua ujungnya lalu diikatkan
ke pinggang sendiri dan ke pinggang Boe Kie. Sesudah itu, perlahan-lahan dan hati-hati
mereka memanjat ke atas, ke arah sinar matahari.
Usaha mereka itu diliputi dengan tanda tanya. Bagaimana kesudahannya? Apakah mereka
akan menemui keselamatan atau kecelakaan? Entahlah, apa yabg dapat diperbuat hanyalah
maju selama masih bisa maju.
Tebing itu sendiri sukar dipanjat. Ditambah dengan salju yang sudah membeku menjadi es,
licinnya luar biasa, sehingga setiap tindakan diliputi dengan bahaya besar. Dua kali Boe Kie
terpeleset dan ia tentu sudah tergelincir ke bawah, kalau tidak ditolong Coe Tiang Leng.
Sebaliknya daripada berterima kasih, ia jadi mendongkok dan mengejek dalam hatinya.
Tua bangka! Kalau kau tidak mengiler pada To Liong To, tak nanti kau baik hati.
Sesudah memanjat setengah hari, mereka bukan saja lelah, tapi capai. Tapi sikut, lutut, dan
kaki merekapun berlumuran darah, akibat goresan es yang tajam. Perlahan-lahan curamnya
tanjakan berkurang. Mereka tidak perlu merangkak lagi. Setindak demi setindak, mereka maju
dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di atas tanjakan
yang berdiri bagaikan sebuah sekosol besar.
Tiba-tiba Coe Tiang Leng mengeluh! Dengan mata membelalak dan mulut ternganga, ia
mengawasi ke depan, ke lautan awan. Ternyata, mereka berdiri di atas tanah datar yang
seperti panggung dan tiga penjuru panggung itu berbatasan dengan kekosongan. Luasnya
tanah datar itu ratusan ombak persegi, tapi ke atas tak ada jalan, ke bawahpun begitu juga.
Mereka
terjebak di kotak buntu. Apa yang lebih celaka lagi, di tanah datar itu hanya terdapat salju,
salju yang putih bagaikan kapas tanpa pepohonan. Tanpa makhluk hidup yang dapat
digunakan untuk menangsal perut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 580
Tapi Boe Kie sendiri berbalik girang. Ia tertawa dan berkata. Coe PehPeh, kau sudah
mengeluarkan banyak tenaga, tapi hasilnya kita tiba di tempat ini. Kalau sekarang orang
memberikan To Liong To kepadamu, apakah golok itu dapat menolong Kau?
Jangan rewel! Bentak Coe Tiang Leng dengan gusar.
Ia segera menjumput salju yang lalu ditelannya untuk menghilangkan rasa haus dan kemudian
bersila untuk mengaso. Biarpun letih, sekarang tenagaku masih cukup, pikirnya. Kalau
menunggu sampai besok, mungkin aku tak bisa keluar lagi dari kurungan ini. Berpikir begitu,
ia lantas saja bangkit dan berkat, Tidak guna kita berdiam lama-lama di sini. Kita harus
kembali ke jalanan tadi dan coba mencari jalan keluar lain.
Tapi aku sendiri merasa senang untuk berdiam terus di sini. Kata si bocah sambil
menyeringai.
Kau gila, bentak Coe Tiang Leng. Di sini tak ada makanan apapun jua. Apa kau mau mati
kelaparan?
Si bocah tertawa geli. Bukankah bagus sekali jika kita tak makan makanan manusia? katanya.
Dengan begitu, kita bisa mensucikan diri dan mungkin sekali bisa menjadi dewa yang suci!
Bukan main gusarnya Coe Tiang Leng, tapi sebisa mungkin ia menahan nafsu amarahnya,
sebab ia khawatir anak kepala batu itu akan jatuh ke bawah.
Baiklah, katanya, Kau mengaso di sini dan aku akan coba mencari jalan keluar. Tapi ingat!
Kau tak boleh mendekati tebing. Sekali jatuh, kau mampus.
Tak perlu kau memikirkan soal mati hidupku, kata Boe Kie sraya tertawa. Hm!... sampai
sekarang kau masih mimpi, bahwa aku sudi mengantar kau ke pulau Peng Hwee To. Terangterangan
aku menasihati kau, jangan kau mimpi terlalu muluk.
Coe Tiang Leng merasa dadanya seolah-olah mau meledak, tapi ia tak mau menjawab ejekan
itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera turun ke bawah lagi dan setibanya di pohon siong
yang tadi, ia lalu merambat ke dinding jurang di seberang. Dinding itu lebih curam dan lebih
berbahaya, tapi tanpa Boe Kie, ia malah bisa memanjat lebih cepat. Kurang lebih setengah
jam kemudian, ia mencapai di puncak dan ia mengeluh karena puncak itu merupakan puncak
yang buntu.
Sekali lagi ia berdiri di atas tebing yang berbatasan denan kekosongan. Lama ia berdiri di situ
sambil menghela nafas berulang-ulang dan kemudan dengan putus harapan ia balik ke tanah
datar yang seperti panggung dimana Boe Kie sedang menunggu.
Begitu melihat paras mukanya, tanpa bertanya Boe Kie tahu, bahwa orang tua itu gagal dalam
usahanya. Sesudah kena Hian Beng Sin Ciang, aku sendiri akan segera mati, katanya dalam
hati. "Mati di sini atau di tempat lain tak banyak bedanya. Tapi Coe PehPeh sebenarnya
seorang kaya raya yang hidup beruntung. Hanya karena ia temaba akan To Liong To,
sekarang ia harus menemani aku mati di sini. Sungguh kasihan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 581
Semula ia sangat membenci orang tua itu yang telah menjalankan tipu busuk terhadap dirinya.
Dalam menghadapi kebinasaan, ia malah sudah mengejeknya dengan perkataan-perkataan
menusuk. Tapi sekarang, sesudah mendapat kepastian bahwa di sekitar jurang itu tidak
terdapat jalan keluar dan setelah melihat kedukaan Coe Tiang Leng, ia berbalik merasa
kasihan. Coe PehPeh, katanya dengan suara halus. Kau sudah berusia lanjut dan kau sudah
mencicipi kebahagiaan hidup. Andaikata kau mati sekarang, kau tidak pantas merasa
menyesal. Sudahlah, tak guna kau menyesal.
Mendengar bujukan itu, dengan sorot mata berapi orang tua itu melirik si bocah. Ia berlaku
sangat manis terhadap Boe Kie hanya karena mempunyai harapan, bahwa anak itu akan
mengantarkannya ke pulau Peng Hwee To. Tapi sekarang, sesudah ternyata bahwa ia tidak
akan bisa meloloskan diri lagi dan yang menjadi gara-gara adalah si bocah sendiri, darahnya
lantas saja meluap. Dengan sorot mata bersinar pembunuhan, ia menatap wajah Boe Kie
dengan sikap seperti binatang buas.
Melihat begitu, si bocah jadi ketakutan. Sambil berteriak, ia bangkit dan terus kabur.
Biantang! Mau lari kemana kau? bentak Coe Tiang Leng sambil menubruk. Ia bertekat untuk
membekuk Boe Kie dan sesudah menyiksanya sepuas hati, barulah mau membinasakannya.
Tanpa menghiraukan bahaya Boe Kie menyerosot ke bawah. Tiba-tiba ia melihat lubang besar
yang gelap, seperti gua atau terowongan. Tanpa memikir panjang, ia segera masuk ke dalam
lubang itu. Breeet! kaki celananya kena dijambret Coe Tiang Leng dan robek sebagian.
Dengan cekat ia terus berlari. Saban Coe Tiang Leng mendekati, ia berbalik dan menghantam
dengan pukulan Sin-Leng, ilmu silat si bocah itu masih kacek terlalu jauh.
Tapi Sin Liong Pa Bwee bukan pukulan biasa, sehingga walaupun berkepandaian tinggi, Coe
Tiang Leng tidak berani terlalu mendesak secara ceroboh. Sambil membungkuk, ia terus
mengejar dengan hati-hati.
Dengan tindakan limbung dan tersandung berulang-ulang, Boe Kie terus kabur di terowongan
yang gelap itu. Tiba-tiba kepalanya membentur dinding batu, sehingga matanya berkunangkunang.
Ia mengerti, bahwa sesudah tidak mengharapkan apa-apa lagi dari dirinya, orang tua
itu, yang sudah kalap, bisa melakukan perbuatan sangat kejam. Ia bukan takut disiksa mati,
tapi ia tidak mau mati disiksa. Maka itu ia terus lari. Untung juga terowongan tersebut makin
jauh makin sempit, sehingga sesudah merangkak puluhan
tombak, lubang itu hanya sebesar tubuhnya yang kecil dan Coe Tiang Leng tidak bisa masuk
sampai di situ.
Sesudah merangkak lagi beberapa tombak, sekonyong-konyong Boe Kie melihat sinar terang,
ia girang bukan main dan sambil menempos semangat, ia maju dengan sekuat tenaga.
Coe Tiang Leng bingung bercampur gusar. Saudara kecil, sudahlah! Aku tak akan
mencelakakan kau, serunya.
Tapi si bocah tentu saja tidak menghiraukannya. Dalam gusarnya, Coe Tiang Leng
mengerahkan Lweekang dan menghantam dinding dengan kedua tangannya. Tapi batu itu
keras luar biasa sehingga bukan saja kedua tangannya sakit, tapi nafsunya pun agak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 582
menyesak. Ia mencabut pisau dan coba mencakil batu, tapi baru beberapa goresan, pisau itu
patah.
Bagaikan kalap, ia mengerahkan tenaga dalam ke kedua pundaknya dan lalu memasukkan
tubuhnya ke dalam lubang. Tapi inipun tidak menolong, bahkan dadanya sakit bukan main.
Dengan nafas tersengal-sengal, ia coba menggeser mundur tubuhnya.Diluar dugaan, badannya
terjepit keras. Maju tak dapat, mundurpun tak bisa. Semangat Coe Tiang Leng terbang.
Dengan mengerahkan seantero tenaganya, ia menggeser tubuh dan kali ini berhasil. Tapi
dadanya sakit bukan main dan ternyata salah sebuah tulang rusuknya patah.
Sementara itu, Boe Kie terus merangkak maju. Makin jauh, sinar di depan kedua matanya
silau karena tertumbuk sinar matahari. Ia meramkan kedua matanya dan menenteramkan
jantungnya yang memukul keras. Perlahan-lahan ia membuka lagi kedua matanya dan ia
melihat sebuah lembah yang indah luar biasa, dengan pohon-pohon bunga yang beraneka
warna.
Boe Kie bersorak karena girangnya. Dengan cepat ia merangkak keluar dari terowongan itu.
Lubang terowonga terpisah kira-kira setombak dari bumi dan dengan sekali melompat,
kakinya sudah hinggap di atas rumput yang empuk. Hampir berbareng, hidungnya mengendus
harumnya bunga-bunga, matanya melihat buah-buah masak yang tergantung di pohon-pohon,
sedang kupingnya mendengar kicaunya sejumlah burung.
Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa di ujung terowongan itu terdapat dunia yang bagaikan
surga. Tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia berlari-lari untuk menyelidiki keadaan lembah
itu. Sesudah melalui dua li lebih, ia berhadapan dengan puncak gunung yang menghadang di
tengah jalan. Ternyata lembah itu dikitari dengan lereng-lereng gunung yang sangat curam
dan
rupanya tempat seindah itu belum pernah diinjak manusia lain. Dengan hati berdebar-debar,
Boe Kie memandang ke seputarnya. Ternyata lereng-lereng yang curam itu tak mungkin
dipanjat manusia. Sekali lagi ia berada dalam kurungan.
Tapi si bocah tidak menghiraukan itu semua. Ia merasa beruntung kalau ia bisa mati di tempat
yang seindah itu. Ia mengawasi tujuh-delapan kambing hutan yang tidak takut manusia
sedang makan rumput dengan sikap tenang. Diatas pohon-pohon terdapat sejumlah kera kecil
yang bermain dengan penuh kegembiraan. Ia mendapat kenyataan, bahwa di tempat itu tidka
terdapat binatang buas. Mungkin sekali binatang-binatang seperti harimau yang badannya
berat tidak bisa melewati puncak-puncak yang terjal.
Langit menaruh belas kasihan atas diriku, kata Boe Kie dalam hati. Langit sudah
menyediakan tempat yang seperti surga ini untuk dijadikan kuburanku, perlahan-lahan ia
kembali ke mulut terowongan.
Saudara kecil saudara kecil demikian terdengar seruan Coe Tiang Leng. Keluar! Keluarlah!
Kau bisa mati di dalam lubang.
Boe Kie tertawa terbahak-bahak. Coe PehPeh, kau salah! teriaknya. Tempat ini seperti surga
indahnya. Ia lalu memanjat pohon dan memetik beberapa buah yang tidak dikenal. Ia
mencium-cium buah itu yang harum baunya, kemudian menggigitnya. Aduh, luar biasa!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 583
Garingnya melebihi buah Tho, wanginya melebihi buah apel, sedang manisnya lebih menang
dari bauh Leci. Sambil melontarkan salah sebuah ke dalam lubang, Ia berteriak, Coe PehPeh,
sambut! Makanan enak datang!
Karena terbentur-bentur batu, waktu tiba di depan Coe Tiang Leng, buah itu sudah bonyok. Ia
menjemputnya dan lalu memasukkannya ke dalam mulut. Benar-benar enak! Tapi ia lebih
menderita, buah itu malah membangunkan nafsu makannya. Saudara kecil, tolong berikan
beberapa biji lagi, ia memohon.
Si bocah tertawa besar. Kau harus menerima nasib, ejeknya. Tapi manusia yang sejahatmu
memang pantas mati kelaparan. Kalau kau mau makan lebih banyak, ambillah sendiri.
Badanku terlalu besar, tak bisa masuk, kata Coe Tiang Leng.
Belah badannya menjadi dua potong! ejek pula si bocah.
Coe Tiang Leng menghela nafas. Ia tak nyana bahwa bukan saja rencana hancur, tapi ia
sendiri mesti mati di tempat itu. Ia tak mau memohon lagi dan dengan darah yang meluapluap,
ia mencaci, Binatang! Meskipun dalam gua itu terdapat buah, tapi apa buah-buahan itu
bisa mencukupi keperluan untuk seumur hidupmu? Aku mati di sini, tapi kau juga akan
mampus dalam
beberapa hari. Hm!... Aku mati kaupun mampus.
Boe Kie tak menghiraukannya. Sesudah makan belasan buah, perutnya kenyang dan ia lalu
merebahkan diri di atas rumput untuk mengaso.
Selang beberapa lama, tiba-tiba si bocah melihat keluarnya asap dari lubang terowongan. Ia
mengerti, bahwa itulah perbuatan Coe Tiang Leng yang coba mencelakakannya dengan
membakar ranting-ranting pohon siong. Ia ketawa geli dan berlagak batuk-batuk.
Saudara kecil! teriak Coe Tiang Leng. Keluarlah! Aku bersumpah tak akan mengganggu kau.
Si bocah pura-pura teriak keras, seperti orang mau pingsan. Sesudah itu, ia pergi ke tempat
lain tanpa memperdulikan lagi si orang she Coe.
Dengan hati riang, ia berjalan ke jurusan barat. Sesudah melalui dua li lebih, ia melihat
sebuah air tumpah yang turun ke bawah dari dinding batu ke sebuah kolam. Air itu adalah
salju yang melumer dan di bawah sorotan matahari kelihatannya indah sekali seolah-olah
seekor naga giok. Dengan rasa kagum, ia mengawasi kolam itu, yang biarpun terus menerima
air dari
atas, tidak menjadi luber. Ia tahu, bahwa di bawah kolam itu terdapat selokan yang
mengalirkan air ke tempat lain.
Sesudah menikmati pemandangan itu beberapa lama, ia menunduk dan melihat kaki
tangannya yang kotor lantaran kena Lumpur di terowongan.
Ia segera pergi ke pinggir kolam, membukakan sepatu dan kaos kaki dan lalu memasukkan
kedua kakinya ke dalam air. Mendadak seraya berteriak Aduh, ia melompat bangun.
Mengapa? Karena air itu dingin luar biasa. Begitu menyentuh air, kakinya sakit, dan lebih
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 584
sakit daripada disiram air mendidih. Ketika diperiksa, kedua kakinya ternyata sudah merah
bengkak. Ia
mengawasi sambil meleletkan lidah. Heran! Sungguh mengherankan! katanya di dalam hati.
Diwaktu kecil selama beberapa tauhun di pulau Peng Hwee To dan sudah biasa dengan hawa
dingin tapi belum pernah bertemu dengan air yang sedingin itu. Yang lebih luar biasa adalah,
walaupun dingin, air itu tetap tidak membeku.
Ia mengerti, bahwa di dalam air itu mengandung sesuatu yang aneh. Ia mundur beberapa
tindak dan mengawasinya sambil mengasah otak. Sekonyong-konyong terdengar suara Krokkrok!
dan dari dalam kolam melompat keluar tiga kodok warna merah. Kodok itu kodok
raksasa, badannya kira-kira empat kali lipat lebih besar dari kodok biasa. Begitu berada di
daratan, dari badan mereka mengepul uap putih, seperti uap yang keluar dari es.
Melihat keanehan binatang itu. Sifat kekanak-kanakan Boe Kie lantas saja timbul. Ia ingin
menangkap salah seekor untuk dibuat main. Perlahan-lahan ia mendekati, menubruk, dan
menekap yang satu dengan tangannya, tiba-tiba ia terkejut. Begitu telapak tangannya
menyentuh kulit yang licin, ia merasa semacam hawa hangat menembus kulit dan terus naik
ke lengannya.
Diluar dugaan, binatang itu galak dan bertenaga besar. Dia memberontak dan begitu
melepaskan diri dari cekalan, dia menggigit lengan kanan Boe Kie sekeras-kerasnya.
Si bocah terkesiap. Cepat-cepat ia menyekal badan kodok itu dengan tangan kirinya dan
membetotnya. Tapi tak dinyana, binatang itu mempunyai gigi yang sangat tajam, sehingga
kalau dibetot terus, bagian daging lengannya akan turut copot.
Sesaat itu, kedua kodok yang lain menyambar bagaikan kilat dan menggigit kedua kaku Boe
Kie. Seumur hidup, ia belum pernah bertemu dengan kodok yang seganas itu. Dalam
kagetnya, ia mengerahkan Lweekang dan menepuk kodok yang menggigit lengannya. Perut
binatang itu pecah dan tangannya belepotan darah yang berhawa panas.
Ia membungkuk dan lalu membinasakan kedua kodok yang menggigit kakinya. Perlahanlahan
ia membuka mulut binatang itu dan melemparkannya di tanah. Tapi kaki dan lengannya
sudah lukan dan memperlihatkan tapak-tapak gigi. Dengan hati mendongkol, ia mengawasi
ketiga kodok itu. Binatang! cacinya. Semua makhluk anjing menggigit aku dan sekarang
kamu. Kebetulan perutku lapar, biarlah aku gegares dagingmu. Aku mau lihat, apa sesudah
berdiam di dalam perutku, kamu masih bisa menghina aku.
Sehabis mengomel, ia segera mencari cabang-cabang kayu kering dan lalu menyalakan api.
Ketiga kodok itu lalu dikeset kulitnya dan dipanggang di atas perapian. Tak lama kemudian
hidungnya mendengus daging yang sangat wangi. Tanpa memperdulikan segala apa, ia segera
memasukkan sepotong betis kodok ke dalam mulutnya. Ia tersenyum sambil menarik nafas
panjang-panjang. Daging itu ternyata sangat lezat, lebih lezat daripada daging apapun juga.
Dalam sekejab, ketiga kodok itu sudah ketinggalan tulangnya saja.
Berselang kira-kira samakanan nasi, semacam hawa panas mendadak naik ke atas dari dalam
perut si bocah. Ia merasa nyaman bukan main, seolah-olah badannya di dalam kolam air
hangat.
Ia tak tahu, bahwa kodok itu adalah semacam binatang aneh di dalam dunia.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 585
Dia hidup ditempat yang sangat dingin, tapi sifatnya adalah panas. Tanpa sifat yang aneh itu,
tak mungkin ia hidup didalam kolam dingin. Kalau dagingnya dimakan orang biasa, orang itu
akan segera mati dengan mengeluarkan darah dari hidung, mulut dan kupingnya. Tapi Boe
Kie bukan orang biasa karena didalam tubuhnya mengeram racun dingin dari Hian Beng Sin
Ciang. Racun dingin itu kebentrok dengan racun panas dari sang kodok dan racun panas
buyar, racun dinginpun ikut mereda.
Tapi Boe kie sendiri tak tahu terjadinya kejadian yang sangat kebetulan itu. Ia merasa sekujur
tubuhnya lelah dan letih, rasa mengantuk menguasai dirinya. Tapi ia tidak berani tidur disitu
sebab kuatir diserang kodok lain. Maka itu sambil menguatkan badan dan hati ia
meninggalkan tempat itu. Baru berjalan kira-kira satu li, ia tidak dapat mempertahankan diri
lagi dan lalu rebah pulas diatas tanah.
Ketika ia sadar, rembulan sudah berada ditengah tengah angkasa. Ia merasa bahwa didalam
perutnya terdapat semacam bola hangat yang bergerak-gerak dan menggelinding kian kemari.
Ia mengerti, bahwa daging kodok itu mempunyai zat-zat luar biasa untuk menambah tenaga.
Ia merasa semangatnya bertambah dan tenaga dalamnya jadi lebih besar. Ia segera duduk
bersila dan mengerahkan Lweekang, dengan niatan mendorong hawa hangat itu ke dalam
pembuluh pembuluh darahnya. Tapi sesudah berusaha beberapa kali, ia tidak berhasil bahkan
kepalanya puyeng dan ulu hatinya enek.
Ia menghela nafas dan berkata dalam hatinya. Tak mungkin aku bernasib begitu baik. Kalau
hawa hangat itu bisa menembus masuk berbagaipembuluh darah, bukankah itu berarti bahwa
racun Hian Beng sin ciang sudah dapat dipunahkan.
Baik juga, sebab ia tidak terlalu berharap hidup, ia tidak merasa kecewa. Pada keesokan
tengah hari, ia merasa perutnya lapar. Ia lalu mengambil sebatang ranting pohon yang
kemudian digunakan untuk mengaduk air di kolam dingin. Beberapa saat kemudian, ranting
itu sudah digigit tiga empat kodok. Perlahan-lahan ia mengangkatnya keatas dan lalu
membinasakan binatang-binatang itu dengan menggunakan batu. Sekali lagi ia membuat
perapian dan membakar daging kodok yang lalu digunakan untuk menangsal perut.
Karena merasa bahwa ia akan bisa hidup beberapa lama lagi, maka ia lalu membuat semacam
dapur dan menaruh cabang cabang kering di dalamnya, supaya ia tidak saban-saban harus
membuat api.
Sebagai seorang yang pernah hidup di pulau Peng Hwee To, Boe Kie sudah bisa menolong
diri sendiri. Maka itu, hidup sebatang kara ditempat tersebut tidak menjadi susah baginya. Ia
mengambil tanah liat dan membuat paso tanah, kemudian menganyam rumput untuk
membuat tkar. Ia bekerja sampai kira-kira magrib dan tiba-tiba ia ingat Coe Tiang Leng yang
sekarang mestinya sudah kelaparan setengah mati. Maka itu, ia memetik satu buah dan
melemparkannya ke dalam lobang terowongan.
Ia tidak memberi daging kodok panggang sebab kuatir Coe Tiang Leng bertambah tenaga dan
bisa menggempur dinding terowongan. Kekuatiran si bocah ternyata sudah menyelamatkan
jiwa orang she Coe. Kalau Boe Kie memberikan kodok itu, ia sudah pasti sudah melayang
jiwanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 586
Beberapa hari sudah lewat tanpa terjadi sesuatu yang luar biasa. Hari itu, selagi Boe Kie
membuat sebuah dapur tanah, tiba-tiba ia mendengar pekik seekor kera yang menggenaskan
hati. Cepat-cepat ia memburu kearah suara itu. Ternyata seekor kera kecil sedang melompatlompat
sambil memekik-mekik dengan tiga ekor kodok merah mengigit punggungnya, sedang
dua ekor yang lain sudah melompat keluar dari dalam air. Si kera bergulingan di tanah dan
membanting-banting dirinya, tapi kodok-kodok itu terus menggigit erat-erat dan menghisap
darah yang menjadi makanannya. Boe Kie melompat dan mencekal lengan kiri kera itu yang
lalu dibawa ke tempat lain yang jauh dari kolam dingin itu. Sesudah berada ditempat yang
lebih aman, batulah ia membinasakan ketiga kodok itu. Jiwa kera itu tertolong,tapi tulang
lengan kanannya patah.
Aku sangat kesepian, ada baiknya jika bisa mendapat kawan seekor kera, katanya didalam
hati. Memikir begitu, ia segera mengambil dua potong ranting pohon dan sesudah
menyambung tulang yang patah, ia segera menjepitnya dengan kedua ranting itu. Kemudian
ia memetik beberapa macam daun obat yang lalu ditumbuk dan ditorehkan pada tulang yang
patah itu. Biarpun ia tidak mendapat daun-daun obat yang mujarab, tapi berkat kepandaiannya
dalam ilmu menyambung tulang, maka dalam tempo kira-kira seminggu, tulang itu sudah
menyambung pula.
Kera kecil itu mengenal budi. Pada keesokan harinya, ia membawa banyak bebuahan dan
memberikannya pada Boe Kie. Belum cukup sepuluh hari, lengan yang patah itu sudah
sembuh seanteronya.
Kejadian itu telah mengubah cara hidup Boe Kie. Sesudah disembuhkan, si kera rupanya
memberitahukan kepada kawan kawannya dan tak lama kemudian, Boe Kie sudah menjadi
tabib dari kawanan binatang di lembah tersebut. macam binatang datang minta
pertolongannya tapi yang paling banyak adalah sebangsa kera.
Si bocah melakukan tugas baru itu dengan segala senang hati. Sesudah mendapat pengalaman
pahit getir, ia mendapat kenyataan bahwa diantara binatang ada yang lebih mengenal budi
daripada manusia.
Satu bulan telah berlalu. Setiap hari ia makan daging kodok dan ia merasa sangat girang
bahwa serangan-serangan racun dingin yang datang pada waktu-waktu tertentu, makin lama
jadi semakin enteng.
Pada suatu pagi, ia tersadar karena mukanya diraba oleh tangan berbulu. Dengan kaget ia
melompat bangun. Ternyata, tangan itu tangan seekor kera putih besar yang mendukung
seekor kera kecil dan tengah berlutut disampingnya. Kera kecil itu adalah kera yang tulangnya
pernah disambung olehnya. Kera kecil berbunyi cit-cit cat-cat sambil menunjuk-nunjuk perut
kera putih itu yang mengeluarkan bau tak sedap.
Ia mengawasi dan ternyata, bahwa di perut kera itu terdapat borok yang bernanah. Ia tertawa
dan manggut2kan kepala. Baik, baik! katanya. Aku akan menolong.
Si kera putih mengangsurkan tangan kirinya yang mencekal buah tho dan dengan hormat
memberikannya kepada Boe Kie. Buah itu besar luar biasa. Kira-kira sebesar tinju.
Boe Kie merasa kagum, karena belum pernah ia melihat buah tho sebesar itu. Ibu pernah
bercerita bahwa di gunung Koen Loen terdapat dewa See Ong Bo yang sering mengadakan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 587
pesta buah tho dengan mengundang para dewa dan dewi, pikirnya. Cerita tentang See Ong Bo
mungkin cerita bohong, tapi bahwa Koen Loen san memiliki Siantho (buah tho dewa) adalah
suatu kenyataan.
Seraya tersenyum ia menerima hadiah itu. Aku biasanya tidak menerima bayaran, katanya.
Biarpun kau tidak membawa siantho, aku pasti akan menolong. Sehabis berkata begitu,ia
mengangsurkan tangannya dan menyentuh borok itu. Tiba-tiba ia terkejut.
Mangapa?
Borok itu sendiri yang berbentuk bundar, hanya bergaris kira-kira setengah cun. Apa yang
hebat ialah daging di sekitarnya keras bagaikan batu dan bagian yang keras puluhan kali lipat
lebih besar daripada boroknya sendiri.
Dari kitab-kitab ketabiban, Boe Kie belum pernah membaca borok yang seperti itu. Ia merasa,
bahwa jika bagian yang keras menjadi busuk dan bernanah, binatang itu tak akan dapat
disembuhkan lagi. Tapi waktu memegang nadi si kera, ia menjadi lebih heran lagi, karena
denyutan nadi tidak menunjukan adanya bahaya. Ia segera menyingkap bulu yang panjang di
perut binatang itu untuk diperiksa lebih teliti. Begitu melihat ia terkesinap, sebab bagian yang
keras itu berbentuk empat persegi dan dipinggirannya terlihat bekas jaitan benang.
Tak dapat disangkal lagi bahwa jahitan itu adalah perbuatan manusia. Walaupun pintar,
binatang kera tak bisa menjahit.
Sesudah memeriksa, Boe Kie mengerti, bahwa borok itu disebabkan oleh benda keras itu.
Benda itu menonjol keluar dan menggencet pembuluh darah. Sehingga darah tak bisa
mengalir leluasa, otot-otot menjadi rusak dan mengakibatkan borok yang tidak bisa sembuh.
Maka itu, untuk menyembuhkannya, ia harus mengeluarkan benda itu dari perut si kera.
Soal membedah tidak jadi soal, sebab berkat ajaran Ouw Ceng Goe, ia sudah mahir dalam
ilmu itu. Yang menjadi soal ialah tak punya pisau dan obat obatan. Sesudah mengasah otak
beberapa lama, ia mencari sepotong batu tipis dan lalu menggosoknya sampai tajam. Sesudah
itu, dengan menggunakan pisau tersebut, perlahan ia memotong perut si kera, di bagian bekas
jahitan.
Kera itu yang sudah berusia sangat tua, ternyata mengerti maksud pembedahan itu. Meski
merasakan kesakitan hebat, ia tidak bergerak sedikitpun jua dan menahan sakit sambil
mengeluarkan rintihan tak lama kemudian, Boe Kie sudah memotong bagian atas dan bawah
bekas jahitan itu. Dengan hati hati ia lalu membuka kulit perut yang sudah dipotong dan.loh!
Di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak.
Dengan rasa heran yang sangat besar, ia mencabut dan menaruh bungkusan itu ke tanah dan
buru buru menutup lagi kulit yang terbuka untuk dijahit. Baru sekarang ia ingat bahwa ia tak
punya jarum dan benang. Tapi si bocah tidak kekurangan akal. Ia segera mengambil gigi
kodok merah yang tajam dan membuat lubang-lubang di pinggiran kulit. Sesudah itu dengan
menggunakan serat kulit kayu ia membuat benang dan dengan demikian, biarpun tidak
sempurna ia berhasil menjahit perut si kera, yang rubuh pingsan karena mengeluarkan terlalu
banyak darah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 588
Selesai membedah, Boe Kie segera mencuci bungkusan kain minyak yang berlepotan darah
dan membukanya. Ternyata didalam bungkusan terdapat empat jilid kitap yang sangat tipis.
Karena terbungkus rapat, maka biarpun sudah beberapa lama di dalam perut kera, kitap-kitap
itu masih utuh. Diatas kertas terdapat huruf2 yang tidak dikenal Boe Kie. Ia lalu membalikbalik
lembaran dan ternyata, bahwa diantara barisan2 huruf yang tidak dikenal terdapat juga
huruf2 Tionghoa.
Dengan hati berdebar2, Boe Kie lalu membacanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa isi kitab
adalah pelajaran untuk melatih pernafasan dan tenaga dalam. Tiba2 jantungnya melonjak.
Ia membaca tiga baris huruf yang sudah dikenalnya. Ia segera ingat bahwa huruf-huruf itu
terdapat dalam pelajaran Siauw-lim Kioe yang kang, yang pernah dipelajarinya dalam kuil
Siauw Liem Sie. Tapi waktu ia membaca terus, lanjutannya berbeda dengan pelajaran itu. Ia
membuka lagi dan membaca beberapa halaman secara sepintas lalu. Sekali ia terkesinap,
sebab, ia kembali menemukan tiga baris huruf yang sudah dihafalnya, yaitu pelajaran Boe
Tong Lweekang Sim hoat yang diturunkan oleh mendiang ayahnya sendiri.
Jantung Boe Kie memukul keras. Kitab apa ini? tanyanya dalam hati. Mengapa ada Siauw lim
Kioe yang kang dan ada juga Boe Tong Lweekang Sim hoat? Tiba-tiba ia ingat cerita yang
diturunkan oleh Taysoehoe (Thio Sam Hong) pada waktu orang tua itu mau mengajaknya
pergi ke Siauw lim sie. Cara bagaimana pada sebelum meninggal dunia. Kak Wan taysoe
telah menghafal Kioe Yang cin keng dengan didengari oleh Thaysoehoe, Kwee siang Kwee
Liehiap dan Boe Sek taysoe yang masing2 mendapat sebagian dari pada kitab itu, sehingga di
kemudian hari Boe Tong, Goe Bie dan Siauw Lim pay bisa menjagoi dalam rimba persilatan.
Apakah kitab ini Kioe Yang Cin Keng yang dahulu di curi orang? pikirnya. Benar! Tak salah
taysoehoe pernah mengatakan bahwa Kioe Yang Cin Keng ditulis diantara barisan barisan
huruf dari kitap Leng Keh Keng, huruf2 yang lugat legot itu tentulah juga sansekerta.
Tapi..tapi mengapa kitab itu berada dalam perut kera????
Kitab itu memang juga Kioe yang Cin keng, tapi pada zaman itu, tak seorangpun tahu cara
bagaimana bisa menyasar kedalam perut seekor kera.
Pada sembilan puluh tahun lebih yang lalu. Siauw Siang Coe dan In Kek See telah mencuri
kitab itu dari Cong Kek Sek di kuil Siauw Lim Si. Mereka diubar oleh Kak Wan taysoe,
seorang pendeta yang bertugas menjaga kamar perpustakaan itu dan waktu kabur sampai di
gunung Hwa San mereka tidak dapat meloloskan diri lagi. Secara kebetulan, mereka
mempunyai seekor kera dan dalam keadaan terdesak, mereka mendapat akal. Mereka
membedah perut binatang itu dan menyembunyikan keempat jilid Leng Keh Keng didalam
perut si kera. Belakangan Kak Wan, Yo Ko dan yang lain lain menggeledah badan mereka
tapi kitab itu saja tidak bisa didapatkan. Akhirnya mereka dilepaskan dan diperbolehkan
berlalu bersama2 kera itu. (Mengenai hal ini, bacalah Sin Tiauw Hiap Lu).
Demikianlah selama hampir satu abad, tak seorangpun tahu dimana adanya Kioe Yang Cin
Keng. Hal ini sudah merupakan sebuah teka-teki besar dalam rimba persilatan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 589
Dari Hwa San, bersama-sama kera itu Siauw Siang Coe dan In Kek See kabur ke wilayah See
hek. Karena saling mencurigai sebab masing2 kuatir dirinya akan dibinasakan kalau yang lain
sudah lebih dahulu memahamkan isi kitab itu, maka baik Siauw Siang Coe, maupun In Kek
See tidak berani bertindak lebih dahulu untuk mengambil kitab itu dari perut kera. Waktu tiba
di puncak Keng Sin Hong, gunung Koen Loen, mereka saling makan dan akhirnya kedua2nya
binasa. Mulai dari waktu itu, rahasia Kioe Yang Cin Keng tidak diketahui lagi oleh manusia
manapun jua.
Ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya lebih tinggi setingkat dari In Kek See. Tapi sesudah
terluka di puncak Hwa San, tenaganya banyak berkurang dan waktu bertempur dengan In Kek
See, ia mati lebih dulu.
Waktu mau melepaskan napasnya yang penghabisan In Kek See telah bertemu dengan Koen
Loen Sam seng Ho Ciok Too. Pada saat itu ia merasa agak menyesal akan perbuatannya dan
ia meminta supaya Ho Ciok Too pergi ke Siauw Lim Sie dan memberitahukan Kak Wan
bahwa kitab Leng Keh Keng berada di dalam perut seekor kera. Tapi dalam keadaan lupa
ingat karena terluka berat suaranya tidak terang sehingga perkataan keng cay kauw tiong
(kitab berada dalam kera) didengar Ho Ciok Too sebagai kim cay yoe tiong (emas berada
dalam minyak).
Untuk menepati janji. Ho Ciok Too pergi ke Tionggoan untuk menyampaikan perkataan In
Kek See kepada Kak Wan, yang tentu saja tidak mengerti apa maksudnya. Kunjungan Ho
Ciok To ke Siauw Lim Si itu telah menimbulkan gelombang hebat, yang akhirnya
mengakibatkan berdirinya Boe Tong Pay dan Go Bie Pay.
Kera itu ternyata bernasib baik, dengan memakan buah siantho yang luar biasa dan mendapat
hawa murni dari langit dan bumi, biarpun sudah berumur hampir seabad kecuali bulunya yang
berubah jadi putih, dia masih tetap kuat dan sehat. Hanya karena ada ganjelan besar perutnya
kadang-kadang sakit pada tempat menyimpan kitab. Borok yang tak bisa hilang akhirnya,
secara luar biasa, dia bertemu dengan Boe Kie. Bagi si kera pertemuan itu berarti hilangnya
penyakit diperut, bagi Boe Kie suatu berkah.
Latar belakang peristiwa itu tentu saja tak bisa di tembus Boe Kie. Sesudah mengasah otak
beberapa lama tanpa berhasil, ia segera menjemput buah tho hadiah si kera dan
memasukkannya ke dalam mulut. Buah itu harum dan manis luar biasa, melebihi buah apapun
jua yang pernah dimakannya dilembah itu.
Setelah perutnya kenyang, didalam hati si bocah berpikir. Thaysoehoe pernah mengatakan,
bahwa jika aku dapat memiliki Kioe Yang Sin Kang dari Siauw Lim, Boe Tong dan Goe Bie,
racun dingin dalam tubuhku mungkin bisa diusir keluar. Akan tetapi, Sin Kang dalam ketiga
partai itu hanya dapatkan dari kitab Kioe Yang Cin Keng. Manakala benar kitab ini kitab Kioe
Yang Cin Keng dan aku mempelajari seluruhnya, maka sin kang yang dimiliki olehku akan
melebihi sin kang dari ketiga partai itu. Tapi sudahlah! Perlu apa kita memikir panjang
panjang. Disini aku tak punya pekerjaan, biarlah aku mempelajarinya. Andaikata kitab itu tak
berguna, atau berbahaya, paling banyak aku mati. Memikir begitu, ia lantas saja memasukkan
jilid pertama dalam sakunya dan menaruh ketiga jilid lainnya di tanah yang kering dan
kemudian menindihnya dengan batu yang besar. Ia berbuat begitu, sebab kuatir kitab2 itu
dicuri dan di robek si kera yang nakal.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 590
Paling dahulu, ia menghafal isi kitab dan kemudian setindak demi setindak ia berlatih
menurut pelajaran itu. Selama belajar ia masih ingat, bahwa andaikata pelajaran itu bisa
menghilangkan racun dalam tubuhnya, ia akan tetap terkurung di dalam lembah seumur
hidup. Maka itu, ia belajar dan berlatih dengan pikiran tenang dan tak tergesa-gesaıberhasil
hari ini baik, berhasil besokpun baik juga. Tapi, justru karena ketenangan itulah, ia mendapat
kemajuan yang sangat pesat. Belum cukup empat bulan, ia sudah dapat melayani ilmu-ilmu
yang tertulis dalam jilid pertama.
Dahulu pada waktu Tat Mo Couw See mengubah Kioe Im dan Kiu Yang Cin Keng, ia sengaja
mengubahnya sedemikian rupa, sehingga nilai kedua kitab itu sama tinggi dan yang satu
menutup dari kekurangan dari yang lain. Kiu Yang mengutamakan melatih ilmu pernafasan
dan cara-cara memperpanjang umur, sedang Kiu Im mementingkan Ilmu-ilmu silat yang
merobohkan lawan. Mengenai Lweekang, Kioe Yang lebih unggul, tapi dalam jurus-jurus
silat yang aneh dan luar biasa, Kioe Im-lah yang lebih lihai! Dahulu, waktu Tau Hian Hong
dan Bwee Tiauw Hong mencuri jilid kedua dari Kioe Im Cin Keng, mereka telah berhasil
mempelajari ilmu-ilmu silat yang luar biasa, yang tak terdapat pada Kioe Yang Cin Keng.
Akan tetapi seseorang yang menyelami Kioe Yang Cin Keng dan sudah melatih diri menurut
pelajaran itu sampai puncak yang tinggi, maka orang itu takkan dapat ditaklukkan dengan
pukulan atau ilmu silat yang manapun jua.
Sementara itu, setelah menyelesaikan latihan jilid yang pertama. Boe Kie mendapat
kenyataan, bahwa ia sudah dapat hidup lebih lama daripada batas waktu yang disebut oleh
Ouw Ceng Goe. Sebaliknya daripada binasa, bukan saja ia tetap sehat, tapi jangka waktu
antara serangan racun dingin juga makin panjang dan penderitaannya selama serangan makin
lama makin berkurang. Ia mendapat kenyataan, bahwa hawa dalam tubuhnya dapat mengalir
dengan leluasa. Sekarang ia hampir tak bersangsi lagi, bahwa kitab itu benar Kioe Yang Cin
Keng adanya. Jikalau bukan, tapi tetap tidak dapat disangkal, bahwa pelajaran kitab itu
mempunyai khasiat yang besar untuk kesehatan badan.
Sesudah jilid pertama, ia mulai mempelajari jilid kedua.
Karena saban-saban makan daging kodok merah dan buah tho luar biasa yang dibawa oleh si
kera putih, maka baru saja ia mempelajari sebagian kecil dari jilid kedua, racun dingin
didalam tubuhnya sudah terusir seanteronya. Menurut pantas, sesudah racun dingin
menghilang, dimakannya terus daging kodok merah akan mengakibatkan lain keracunan. Tapi
syukur berkat latihan Kioe Yang Cin Keng yang sudah agak maju, dan berkat buah tho yang
mempunyai khasiat menolak racun, maka racun panas dari daging kodok bukan saja tidak
membahayakan, tapi malah membantunya dalam mempercepat dimilikinya Sin kang.
Setiap hari, disamping belajar dan berlatih serta bermain2 dengan kawanan kera, Boe Kie
memetik buah2an untuk menangsal perut dan saban kali mau makan, ia selalu membagi
separuhnya kepada Coe Tiang Leng yang berdiam diluar terowongan. Ia hidup bebas dan
riang gembira dan penuh kepuasan, tapi Coe Tiang Leng sendiri mengalami kesengsaraan
yang tidak enteng. Dengan hidup atas belas kasihan Boe Kie, siang malam orang tua itu
berdiam diatas panggung yang tertutup salju dan saban bertemu dengan musim dingin,
hebatnya penderitaan sukar dilukiskan dengan kalam.
Sesudah berlatih dengan pelajaran jilid ketiga Boe Kie sudah tak takut lagi dengan hawa
dingin. Kalau lagi gembira ia menerjun dan mandi didalam kolam dingin. Dengan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 591
mengalirnya hawa tulen diseluruh tubuh, begitu lekas kulitnya tersentuh air dingin, secara
wajar tubuhnya lalu mengeluarkan tenaga menolak. Gigi kodok merah memang sangat tajam,
tapi pada waktu itu, tajamnya gigi tak bisa melukai lagi badannya.
Tapi makin tinggi pelajaran Kioe Yang Cin Keng jadi makin sulit dan kemajuannyapun jadi
makin perlahan. Untuk menyelami jilid ketiga, ia harus menggunakan tempo kurang lebih
setahun. Sedang jilid yang terakhir, yaitu jilid keempat, memerlukan waktu dua tahun lebih.
Pada suatu malam Boe Kie membuka halaman terakhir dari jilid terakhir. Ia girang bercampur
terharu. Sudah empat tahun lebih ia berdiam di lembah itu, dari bocah, ia sudah menjadi
pemuda yang bertubuh jangkung. Selama itu, mungkin sekali di dalam dunia sudah terjadi
perubahan perubahan besar yang tidak diketahui olehnya.
Dengan banyaknya memperoleh pengalaman pahit getir selama yang dirasakannya, maka
penghidupan di lembah lebih nyaman bagi Boe Kie. Tidak ada hasrat untuk terjun ke dalam
pergaulan, dimana Boe Kie mengganggap banyak manusia yang pandai berpura-pura dan ia
lebih senang bergaul dengan kera kera yang umumnya mempunyai sifat yang polos, yang
menyenangkan dan dapat diajak bermain sebagai kawan sejati.
Dengan Lweekang yang sangat dalam, Boe kie telah hidup dalam dunianya sendiri. Banyak
masalah dan persoalan yang sesungguhnya mengganggu hatinya, sering Boe Kie terangsang
oleh keinginan2 untuk terjun dalam dunia persilatan lagi, dalam dunia pergaulan, namun
perasaan2 seperti itu ditindasnya. Dan banyak pula orang2 yang berkenan di hatinya yang
memiliki budi kebaikan terhadap dirinya, tapi sayang sekali perasaan takut terhadap
lingkungan pergaulan diantara manusia2 yang pandai berpura2 itulah yang menyebabkan Boe
Kie akhirnya memutuskan untuk berdiam selamanya didalam lembah itu.
Demikian kisah Boe Kie kami tutup sampai disini untuk bagian kesatu. Untuk mengikuti
perkembangan yang terjadi selanjutnya terhadap diri Boe Kie, pengalaman2 yang aneh dan
luar biasa, dapat anda mengikutinya pada bagian kedua dari kisah Boe Kie, yang merupakan
kelanjutannya.
Manusia memang sering mengalami peristiwa2 yang berlawanan dengan kehendak hatinya,
berlawanan dengan keinginannya, bertentangan dengan kemauannya. Dan peristiwa2 yang
terjadi itu memang sering kali terjadi diluar jangkauan dan kehendak manusia, sebab akhirnya
harus diakui yang menentukan adalah Thian (Tuhan) yang maha kuasa.
Demikian juga yang terjadi di diri Boe Kie. Walaupun dia sesungguhnya bermaksud untuk
hidup tenang tentram di lembah itu, hidup dengan penug bahagia, jauh dari sifat2 buruk dan
berpura2 dari manusia2 yang pandai sekali bersandiwara dalam hidup ini, tetapi rupanya
Thian menghendaki lain, sehingga akhirnya Boe Kie akan terlibat dalam beberapa peristiwa
yang hebat, yang akhirnya memaksa Boe Kie harus menyerah terhadap keadaan, yang
akhirnya akan memaksa Boe Kie harus mengakui bahwa manusia hidup di dunia ini memang
harus bermasyarakat.
Seperti di ketahui oleh pembaca didalam kisah Boe Kie bagian kesatu, Boe Kie berada
dilembah yang menyenangkan bagi hatinya, ditemani oleh kawanan kera2. kawanan kera itu
merupakan sahabat yang menyenangkan, disamping itu merupakan kawan2 yang memiliki
sifat2 yang masih murni dan polos, bebeda dengan manusia2 yang pernah dikenal oleh Boe
Kie, yang pandai sekali berpura pura.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 592
Dalam setengah tahun ini, kalau hatinya senang, Boe Kie sering mengikuti kawanan kera
memanjat lereng gunung yang curam dan bermain2 disitu sambil memandang lembah2 yang
berada jauh dibawah. Dengan memiliki kepandaian yang sekarang dimiliki, kalau mau dengan
mudah ia akan dapat keluar dari kurungan itu. Ia dapat memanjat tebing2 yang tidak dapat
dipanjat oleh lain manusia. Tapi ia justru tidak mau. Sesudah mendapat banyak pengalaman
pahit getir dan bertemu dengan banyak manusia yang pandai berpura2, hatinya jadi dingin.
Perlu apa aku masuk lagi ke dalam dunia pergaulan untuk mencari kepusingan? pikirnya. Aku
sudah merasa puas dengan hidup disini sampai hari tua.
Hari itu dengan Lweekangnya yang sangat dalam, ia mengorek sebuah lubang yang dalamnya
kurang lebih 3 kali di batu karang. Disamping mulut terowongan. Sesudah itu, ia
membungkus keempat jilid Kioe Yang Sin Kang, In Keng dari Ouw Ceng Goe dan Tok Keng
dari Ong Lan Kouw dengan menggunakan kain minyak yang dikeluarkan dari perut kera
putih. Ia masukkan bungkusan kitab2 itu dalam lubang yang lalu ditutupnya dengan batu2 dan
tanah. Karena jodoh yang sangat luar biasa, aku mendapatkan kitab itu dari perut seekor kera,
katanya dalam hati. entah kapan dan entah siapa yang akan datang disini lagi dan menggali
keluar kitab2 yang ditanam olehku. Sambil mengerahkan Lweekang, ia segera menulis enam
huruf diatas batu dengan jerijinya. Tempat Thio Boe Kie menyimpan kitab.
Selama belajar dan berlatih, karena repotnya. Ia sama sekali tidak merasa kesepian. Tapi pada
malam itu, sesudah menyelesaikan pelajaran dengan hasil yang gilang gemilang, ia merasa
suatu kekosongan dalam hatinya dan ingin sekali bertemu dengan seorang manusia lain untuk
beromong2. disini waktu aku boleh tak usah takuti Coe Peh peh, pikirnya. biar sekarang aku
coba menemui dia. Memikir begitu, ia lantas saja melompat naik ke lubang terowongan dan
berlutut untuk mencoba merangkak masuk. Tapi lubang itu ternyata terlalu kecil untuk
badannya. Pada empat tahun yang lalu, ia baru berusia lima belas tahun dan tubuhnya masih
kurus kecil. Tapi sekarang dalam usia 19 tahun, ia telah menjadi seorang dewasa dan
badannya sudah berubah banyak. Tapi Boe Kie, sesudah mendalami Kioe Yang Cin Keng,
dapat diatasi olehnya. Ia segera menarik nafas dalam2 dan mengeluarkan ilmu Siok Koet
Kang (ilmu mengerutkan tulang2). Dengan ilmu itu, daging dan otot2 antara tulang2
mengerut, sehingga tulang2nya dapat dikatakan berkumpul menjadi satu. Dengan demikian
dia dapat masuk kedalam terowongan.
Waktu ia tiba dimulut terowongan, Coe Tiang Leng sedang tidur pulas sambil bersandar di
sebuah batu besar. Ia menepuk pundak orang tua itu lantas saj tersadar. Bukan main kagetnya
Coe Tiang Leng. Ia melompat bangun dan sambil mengawasi Boe Kie dengan mata
membelalak, ia berkata dengan suara terputus putus. Kau kau.
Coe Peh Peh, kata Boe Kie seraya tersenyum. Benar, aku Boe Kie.
Coe Taing Leng kaget tercampur girang, mendongkol tercampur benci. Sesudah
mengawasinya beberapa lama, barulah ia berkata pula, kau sudah besar sekali. Hm.Mengapa
selama bertahun2, kau tak pernah keluar biarpun aku memohon berulang2?
Jilid 32_______________
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 593
Sebab takut dipukul olehmu, jawabnya. Mendadak Coe Tiang Leng menyambar pundak Boe
Kie dengan gerakan Kin na cioe. Sekarang kau tak takut lagi? bentaknya. Tiba2 ia merasa
telapak tangannya panas, lengannya bergemetar dan ia terpaksa melepaskan cengkramannya.
Tapi walaupun begitu, dadanya sakit dan menyesak. Ia mundur beberapa tindak dan berkata
dengan suara parau. Kau.. ilmu apa itu?
Sesudah memiliki Kioe yang sin kang, inilah untuk pertama kalinya Boe Kie menjajalnya. Ia
sendiri baru tahu hebatnya ilmu tersebut. Dengan hanya menggunakan dua bagian tenaga, Coe
Tiang Leng seorang ahli silat kelas satu sudah dapat dijatuhkan. Kalau ia mengerahkan
seluruh tenaga mungkin sekali lengan orang tua itu sudah menjadi patah. Ia girang bukan
main dan sambil mengawasi muka si tua, bertanya seraya tersenyum, Coe Pehpeh, bagaimana
pendapatmu? Apa ilmuku cukup lihay?
Ilmu apa itu? Coe Tiang Leng mengulangi pertanyaannya.
Akupun tak tahu, mungkin Kioe yang Sin kang, jawabnya.
Coe Tiang Leng terkesiap. Bagaimana kau bisa mendapat ilmu itu? tanyanya pula.
Boe Kie berterus terang. Ia segera menceritakan cara bagaimana ia mendapat kitab luar biasa
itu dari perut seekor kera dan cara bagaimana ia kemudian mempelajarinya dan melatih diri.
Penuturan itu sudah membangkitkan rasa jelus dan gusar dalam hati si tua. Empat tahun lebih
aku menderita hebat di puncak ini, tapi setan kecil itu sudah dapat mempelajari sinkang yang
tiada tandingannya di dunia, pikirnya. Dia sama sekali tak ingat bahwa segala penderitaannya
itu adalah akibat dari perbuatannya sendiri. Tapi sebagai manusia palsu ia bukan saja dapat
menindih amarahnya, tapi juga bisa melihatkan muka berseri-seri. Dimana adanya kitab
itutanyanya sambil bersenyum. Apa boleh kulihat?
Boleh, jawabnya. Ia menganggap, bahwa biarpun bisa melihat, si tua takkan bisa menghafalisi
kitab dalam tempo cepat. Tapi aku sudah memendamnya di dalam lubang, besok saja aku
membawanya kemari.
Kau sudah begini besar, bagaimana kau bisa keluar dari lubang yang sempit itu? tanya pula
Coe Tiang Leng.
Lubang itu sebenarnya tak terlalu sempit, kata Boe Kie. Dengan mengerutkan badan dan
menggunakan sedikit tenaga aku bisa lewat.
Apa akupun dapat lewat disitu? tanya si tua dengan mata menyala. Bagaimana pendapatmu?
Apa bisa?
Boe Kie manggut2 kan kepalanya. Kurasa dapat jawabnya. Besok boleh mencoba. Sesudah
melewati terowongan terdapat sebuah lembah yang besar dan indah dengan bebuahan yang
dapat menangsal perut. Ia tahu bahwa dengan tenaga sendiri, Coe Tiang Leng tak akan bisa
lewat di terowongan itu. Tapi melihat sikap si tua yang sangat manis dan penuh dengan rasa
menyesal ia jadi kasihan lantas saja ambil keputusan untuk memberi bantuan. Ia merasa,
bahwa dengan menggunakan sinkang akan dapat menggencet tulang pundak dada dan pinggul
si tua supaya bisa lewat di terowongan yang sempit.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 594
Saudara kecil, kau sungguh baik, kata si tua. Seorang koencoe memang tidak menaruh
dendam. Aku pernah melakukan perbuatan yang sangat tidak pantas terhadapmu dan kuharap
kau suka memaafkan. Seraya berkata begitu, ia menyoja seraya membungkuk.
Buru-buru Boe Kie membalas hormat. Coe pehpeh jangan kau memakai terlalu banyak
peradatan, katanya. Besok kita bersama-sama mencari daya upaya untuk keluar dari kurungan
ini.
Coe Tiang Leng jadi sangat girang. Apakah masih ada jalan untuk keluar dari sini? tanyanya.
Kawanan kera bisa keluar masuk dan kitapun pasti bisa jawabnya.
Untuk beberapa saat Coe Tiang Leng mengawasi Boe Kie. Tapi tapi mengapa kau tidak coba
meloloskan diri terlebih siang dan menunggu sampai sekarang? tanyanya.
Boe Kie bersenyum, Sebegitu jauh aku tidak berani coba keluar dari sini karena kuatir dihina
orang lagi, jawabnya. Tapi sekarang mungkin aku tak perlu berkuatir lagi. Di samping itu
akupun ingin menengok Thaysoehoe, para Soepeh dan Soesiok.
Si tua berkakakan dan sambil menepuk-nepuk tangannya. Bagus! Bagus! Sambil menunjuk
kegirangannya ia mundur satu dua tindak. Mendadak kakinya menginjak tempat kosong.
Tubuhnya limbung dan.. jatuh ke bawah!
Boe Kie mencelos hatinya. Ia melompat ke pinggir tebing dan berteriak, Coe pehpeh! Coe
pehpeh..!
Dari bawah terdengar suara rintihan perlahan. Boe Kie girang. Ia mendapat kenyataan bahwa
Coe Tiang Leng jatuh di atas sebuah pohon Siong yang terpisah hanya beberapa tombak dari
atas tebing. Si tua rupanya mendapat luka yang agak berat, karena badannya rebah di cabang
tanpa bergerak. Dengan kepandaian yang sekarang dimilikinya, ia dapat menolong orang tua
itu. Dengan mudah ia bisa melompat turun dan kemudian melompat naik dengan mendukung
tubuh si tua. Demikianlah, sambil menyedot napas panjang-panjang, ia melompat turun ke
arah cabang yang sebesar lengan.
Tak dinyana, pada waktu telapak kakinya hanya terpisah kira-kira setengah kaki, cabang itu
mendadak jatuh ke bawah! Meskipun memiliki Sin-kang yang luar biasa, Boe Kie adalah
seorang manusia biasa dan bukan seekor burung yang bisa terbang kian kemari di tengah
udara. Ia terkesiap dan badannya terus meluncur ke bawah..!
Di lain detik, selagi tubuhnya melayang jatuh, ia tersadar. Celaka sungguh! Sekali lagi aku
diakali oleh bangsat tua Coe Tiang Leng! Cabang itu dipegang olehnya dan pada saat aku
hampir hinggap di atasnya, ia lalu melepaskannya. Tapi sadarnya sudah terlambat.
Memang benar jatuhnya Boe Kie adalah akibat permainan gila dari si tua. Sesudah berdiam
empat tahun lebih di atas panggung itu, dia mengenal setiap pohon, setiap rumput dan setiap
batu di sekitar tempat itu. Dengan berlagak jatuh dan berlagak terluka, ia sudah menghitung
pasti bahwa Boe Kie yang hatinya lemah akan coba menolong dan benar saja akal busuknya
telah berhasil.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 595
Ia tertawa terbahak-bahak dengan girangnya dan kemudian lalu naik ke atas dengan memanjat
sebatang oyot yang terdapat pada siong itu. Dahulu aku gagal untuk menembus terowongan
itu, katanya dalam hati. Mungkin tulangku patah karena aku terburu nafsu dan menggunakan
tenaga terlalu besar. Badan setan kecil itu banyak lebih besar daripada tubuhku, tapi ia bisa
keluar masuk. Kalau dia besar akupun bisa. Sesudah mengambil Kioe-yang Cin keng aku bisa
mencari jalan pulang dari lembah itu. Perlahan lahan aku akan mempelajari isi kitab dan
melatih diri, sehingga aku menjadi seorang ahli silat yang tiada tandingannya dalam dunia ini.
Ha..ha..! Ha ha ha!
Makin dipikir, ia jadi makin girang dan dengan bibir tersungging senyuman, ia masuk di
terowongan itu. Sesudah merangkak beberapa lama, ia tiba di bagian terowongan di mana
pada empat tahun berselang, tulangnya patah. Dalam usahanya untuk menerobos terowongan
itu, dalam pikiran Coe Tiang Leng hanya dikuasai oleh suatu pendapat yaitu; Boe Kie
bertubuh lebih besar daripadanya, sehingga kalau Boe Kie bisa, iapun bisa. Pendapat itu pada
hakekatnya tidak salah. Tapi ada sesuatu yang tidak diketahui olehnya. Ia tak tahu bahwa
sesudah menyelami Kioe yang Cin keng, Boe Kie mempunyai serupa ilmu luar biasa, yaitu
Siok koet kang, yang dapat mengkerutkan tulang-tulang.
Sambil mengerahkan jalan pernafasannya, sejengkal demi sejengkal ia merangkak maju.
Dengan tidak banyak susah, ia bisa maju kira2 setombak lebih jauh daripada tempat
terdahulu. Tapi sampai di situ, ia mandek. Sesudah mengeluarkan banyak tenaga, ia tetap
tidak bisa maju.
Ia mengerti, bahwa jika menggunakan tenaga Lweekang, hasilnya akan bersamaan dengan
kejadian pada empat tahun berselang dan tulangnya bakalan patah lagi. Maka itu, sesudah
mengasah otak, ia segera melepaskan sisa hawa yang terdapat di dalam dadanya. Benar saja
badannya lebih kecil dua dim dan ia bisa maju kira kira tiga kaki. Sampai di situ, ia mandek
lagi karena lubang yang terbuka masih terlalu kecil untuk tubuhnya yang sudah sangat
diperkecil. Lebih celaka lagi, karena di dalam dada sudah ada hawa udara, ia merasa sesak
nafas dan jantungnya berdebar keras. Di lain saat, kedua matanya berkunang-kunang.
Ia mengenal bahaya. Ia segera mengambil keputusan untuk mundur.
Tapi ia ternyata tak bisa mundur lagi!
Waktu maju ia bisa menggunakan tenaga dengan bantuan kedua kakinya yang menendang
dinding batu yang tidak rata. Tapi dalam usahanya untuk mundur kembali, ia tak punya
pegangan yang dapat digunakan untuk meminjam tenaga. Kedua tangannya yang diluncurkan
ke depan hampir tergencet di antara dinding terowongan sehingga tidak bisa memberi bantuan
apa jua.
Sekarang, barulah si tua ketakutan. Ia tahu bahwa ia akan mati konyol. Keringat dingin
membasahi pakaiannya. Ia bingung bercampur heran bercampur takut. Mana bisa begini?
tanyanya di dalam hati. Badan bocah itu lebih besar daripada badanku. Mengapa dia bisa aku
tidak bisa? Mana bisa begitu?
Ya! Dalam dunia ini memang banyak hal yang aneh-aneh.
Demikianlah, Coe Tiang Leng yang pintar dan Boen boe song coan (pandai ilmu surat dan
ilmu silat) tergencet di lubang, maju tak dapat, mundurpun tak bisa.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 596
Di lain pihak, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, Boe Kie terus melayang ke
bawah. Boe Kie! Boe Kie! ia mengeluh. Kau sungguh tolol. Kau sudah tahu Coe Tiang Leng
manusia licik, tapi toh kau masih juga kena diperdayai. Boe Kie..! kau memang pantas
mampus diakali orang!
Sambil menyesali diri sendiri, ia berusaha untuk menolong jiwanya. Ia menggerakkan tenaga
dan melompat ke atas untk memperlambat kecepatan jatuhnya. Tapi mana ia bisa berhasil.
Dengan tubuh di tengah udara, tanpa sesuatu yang dapat digunakan untuk landasan, badannya
terus meluncur ke bawah dengan dahsyatnya. Di lain saat ia merasa matanya sakit karena
tertumbuk dengan sinar salju di atas bumi.
Bagi Boe Kie detik itu adalah detik yang memutuskan detik antara mati dan hidup. Pada detik
itu ia melihat gundukan salju. Tanpa memikir panjang panjang lagi, tanpa menghiraukan
benda apa yang diliputi salju itu, ia segera mengerahkan Lweekang dan menjungkir balik ke
arah tumpukan salju. Blus! kedua kakinya menjeblos dan dengan berbareng ia mengerahkan
Kioe yang Sin kang untuk melompat ke atas dengan meminjam tenaga berbalik dari tumpukan
salju itu. Tapi tenaga jatuhnya dari tempat yang begitu tinggi dahsyat bukan main, lebih
dahsyat dari tenaga yang dikerahkannya. Ia merasakan kesakitan hebat karena kedua tulang
betisnya telah patah dengan berbareng.
Walaupun terluka hebat, otaknya masih terang. Ia mendapat kenyataan bahwa ia jatuh di
tumpukan rumput dan kayu bakar. Sungguh berbahaya! pikirnya. Kalau lapisan salju terdapat
batu-batu besar, jiwaku tidak bisa tertolong lagi.
Dengan menggunakan kedua tangan, perlahan-lahan ia merangkak keluar dari tumpukan
rumput itu dan merebahkan diri di atas tanah yang tertutup salju. Sesudah memeriksa lukanya,
ia menarik nafas panjang2 dan lalu menyambung tulangnya yang patah. Tanpa bergerak,
paling sedikit aku memerlukan tempo sebulan untuk bisa berjalan lagi, katanya dalam hati.
Tapi selama itu, dari mana aku bisa mendapat makanan untuk menangsal perut? Ia tahu,
bahwa tumpukan rumput itu adalah miliknya seorang petani sehingga tempat itu mesti
terdapat rumah orang. Semula ia ingin berteriak untuk meminta pertolongan. Tapi ia
mengurungkan niatnya karena mengingat, bahwa di dalam dunia terdapat banyak manusia
jahat, sehingga jika teriakannya memancing kedatangan seorang jahat ia bisa jadi lebih celaka
lagi. Memikir begitu, ia segera mengambil keputusan untuk rebah terus di situ sambil
menunggu tersembuhnya pula tulang-tulang yang patah.
Tiga hari telah lewat. Makin lama rasa lapar menerjang kian hebat. Tapi ia tetap tidak berani
bergerak, sebab sekali bergerak ia bisa jadi seorang pincang seumur hidupnya. Maka itulah, ia
terpaksa menelan salju untuk menangsal perutnya yang keroncongan. Selama tiga hari itu,
berulang-ulang ia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati, supaya tidak sampai
kena diakali oleh orang jahat.
Pada hari keempat, diwaktu malam selagi ia melatih diri dengan mengerahkan Kioe yang sin
kang, kupingnya tiba2 menangkap suara menyalaknya anjing. Makin lama suara itu jadi
makin dekat dan didengar dari suaranya, mungkin sekali beberapa ekor anjing tengah
menguber binatang buas. Apakah anjing2 itu miliknya Kioe Tien cie? tanyanya dalam hati.
Semua anjing Tin cie sudah dibinasakan oleh Coe pehpeh, tapi sesudah berselang beberapa
tahun, ia bisa mendidik anjing-anjing baru.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 597
Ia memasang kuping dan mengawasi ke arah suara itu. Tak lama kemudian ia lihat bayangan
seorang yang lari bagaikan terbang dengan diuber oleh tiga ekor anjing. Orang itu
kelihatannya sudah lelah sekali, tindakannya limbung, tapi dalam ketakutan, ia lari terus
dengan mati-matian. Boe Kie bergidik karena ia ingat pengalamannya pada beberapa tahun
yang lalu.
Ia ingin sekali memberi pertolongan, tetapi tak dapat sebab tulang betisnya belum
tersambung. Di lain saat, ia mendengar teriakan menyayat hati dari orang itu yang roboh di
tanah dan diterkam oleh pengejar-pengejarnya.
Anjing bangsat! Kemari kamu! teriak Boe Kie dengan gusar.
Anjing2 itu ternyata mengerti omongan manusia. Dengan serentak mereka tinggalkan si
korban dan menghampiri Boe Kie. Begitu mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang yang
tidak dikenal, mereka segera menyalak dan menubruk. Buru buru Boe Kie mengerahkan Sin
kang yang memang ingin dijajalnya. Dengan telunjuk, bagaikan kilat ia menotok hidung
ketiga binatang itu, yang tanpa bersuara lagi roboh binasa. Boe Kie kaget sebab baru sekarang
ia menginsyafi lihaynya Kioe-yang Sin kang. Mendengar rintihan perlahan dari orang yang
barusan digigit anjing, Boe Kie segera bertanya, Saudara, apa kau terluka berat?
Aku tak bisa ditolong lagi jawabnya.
Tulang betisku patah, aku tak dapat mendekati kau, kata Boe Kie. Coba kau kemari, aku mau
periksa lukamu.
Dengan nafas tersengal-sengal orang itu merangkak ke arah Boe Kie. Tapi baru maju
beberapa langkah, ia roboh dan tak bisa bergerak lagi.
Toako, di bagian mana kau terluka? tanya Boe Kie.
Di dada di perut jawabnya dengan suara lemah.
Boe Kie kaget, sebab didengar dari suaranya orang itu tidak akan bisa mempertahankan diri
lagi. Mengapa Toako diserang kawanan anjing bangsat itu? tanyanya pula.
Malam ini aku aku keluar untuk memburu babi hutan yang sering mengganggu tanamanku, ia
menerangkan. Secara kebetulan aku bertemu dengan seorang wanita dan seorang pria yang
sedang beromong-omong di bawah pohonHai ia tidak bisa meneruskan perkataannya lagi,
tubuhnya tidak berkutik lagi.
Boe Kie lantas saja menduga, bahwa wanita dan pria itu adalah Coe Kioe Tin dan Wie Pek
yang mengadakan pertemuan rahasia di tengah malam buta. Mengingat kekejaman wanita itu,
darahnya lantas saja meluap.
Kesunyian malam kembali meliputi lembah yang dingin itu.
Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara tindakan kuda, disusul dengan
teriakan memanggil-manggil dari seorang wanita. Jantung Boe Kie memukul keras, karena ia
segera mengenali suara Kioe Tin yang sedang memanggil2 anjing-anjingnya. Boe Kie segera
bersiap sedia sebab suara tindakan kuda itu mendatangi ke arahnya. Tak lama kemudian, dua
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 598
penunggang kuda, satu wanita dan satu pria, sudah tiba di situ. Dugaan Boe Kie ternyata
tepat, mereka itu adalah Coe Kioe Tin dan Wie Pek.
Ih! Mengapa ketiga Peng see Ciangkoen binasa semua? kata si nona dengan suara heran.
Wie Pek melompat turun dari tunggangannya. Ada dua orang mati di sini! katanya heran.
Boe Kie siap sedia. Kalau dia bergerak, aku turun tangan lebih dahulu, pikirnya.
Melihat korban itu yang mendapat luka-luka berat dan Boe Kie yang pakaiannya compang
camping dan rebah tanpa berkutik, Kioe Tin segera menarik kesimpulan bahwa mereka
kedua-duanya sudah binasa digigit anjing. Ia mengadakan pertemuan itu untuk bersukasukaan
dengan Wie Pek dan ia tak mau berdiam lama-lama di tempat yang dapat merusak
suasana. Maka itu, ia lantas saja berkata, Piawko, hayolah! Sebelum mati, mereka melawan
mati-matian dan sudah membinasakan ketiga anjing itu. Seraya berkata begitu, ia mengedut
les kuda yang dikaburkan ke jurusan barat. Wie Pek sebenarnya merasa sangat heran dan
menyelidiki lebih jauh. Tapi karena kecintaannya sudah berlalu, maka buru-buru ia melompat
ke atas punggung tunggangannya untuk menyusul si cantik.
Sayup2 Boe Kie mendengar suara tertawanya Kioe Tin. Tiba2 ia dihinggapi perasaan muak
dan gusar terhadap nona itu. Ia sendiri merasa heran. Empat tahun yang lalu, ia memuja Coe
Kioe Tin seperti memuja seorang dewi. Andaikata ia diperintah memanjat gunung golok atau
masuk ke dalam kuali minyak mendidih, ia pasti akan menurut tanpa bersangsi. Tapi
sekarang, entah mengapa pengaruh si nona atas dirinya tiada bekas2nya lagi. Di dalam hati
kecilnya ia menduga-duga bahwa perubahan itu sudah terjadi berkat latihan Kioe yang kang.
Ia tak tahu, bahwa hal itu adalah kejadian lumrah bagi seorang lelaki yang baru berangkat
besar. Pada masa akil balig, rasa cinta dari seorang lelaki terhadap orang perempuan cepat
panasnya dan cepat pula dinginnya. Sesudah lewat beberapa lama pikirannya berubah sering2
mentertawai dirinya sendiri, mengapa dulu ia begitu gila. Kejadiannya ini sedikit banyak
sudah dialami oleh setiap orang lelaki.
Pada keesokan harinya, seekor elang yang melihat mayat manusia dan bangkai binatang,
terbang berputaran di angkasa. Beberapa saat kemudian, dia menyambar ke bawah untuk
mematok makanannya. Tapi elang itu bernasib sial. Bukan mayat yang disambar, tapi Boe
Kie yang dikira mayat. Dengan sekali menggerakkan tangan Boe Kie sudah mencekal leher
elang itu yang lalu dibinasakan. Langit menaruh belas kasihan dan sudah mengantarkan
sarapan pagi, pikirnya dengan rasa girang. Ia lalu mencabut bulu burung itu dan makan
dagingnya. Biarpun mentah, ia memakannya dengan bernafsu, karena sudah berhari-hari
perutnya menahan lapar.
Belum habis daging elang yang pertama, elang kedua sudah menyatroni. Dengan begitu, ia
tidak kekurangan makanan untuk menangsal perut. Hari lewat hari ia rebah disitu sambil
menunggu bersambungnya tulang. Untung juga karena hawa yang sangat dingin, mayat dan
bangkai manusia yang mengawaninya tak menjadi rusak. Karena sudah biasa hidup
menyendiri maka hari2 itu telah dilewatkannya tanpa terlalu penderitaan.
Pada suatu lohor, sesudah melatih Lweekang ia melihat dua ekor elang yang terbang
berputaran terus menerus di angkasa tanpa berani turun. Tiba2 salah seekor menyambar ke
bawah menyambar ke arahnya. Tapi dia tak menyambar terus. Waktu terpisah kira-kira tiga
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 599
kaki dengan Boe Kie, elang itu mendadak berbelok dan terbang ke atas lagi dengan suatu
gerakan yang lincah dan indah sekali.
Aha, gerakan itu dapat dipergunakan dalam ilmu silat, kata Boe Kie dalam hatinya. Serangan
cepat sehingga lawan sukar dapat menangkisnya dan kalau serangan itu gagal, gerakan
mundurnya pun tak kurang cepatnya sehingga musuh takkan bisa mengundak.
Sebagaimana diketahui, Kioe yang cin keng adalah kitab yang mengutamakan pelajaran
latihan tenaga dalam. Dalam kitab itu tidak terdapat pelajaran jurus-jurus dan tipu-tipu silat.
Maka itulah, biarpun sudah berlatih Kioe yang Cin keng, waktu diserang Kak wan tak tahu
cara membela diri. Perlawanan Thio Koen Po (belakangan dikenal sebagai Thio Sam Hong)
terhadap In Kek See juga berkat empat jurus silat yang didapatnya dari Sin Tiauw Tayhiap Yo
Ko. Tapi Boe Kie agak berlainan daripada Kak wan dan Thio Sam Hong. Sedari kecil, ia
sudah belajar ilmu silat. Akan tetapi jika ia ingin melebur Lweekang tertinggi yang telah
dimilikinya dalam ilmu-ilmu silat, ia tak akan bisa melakukannya di dalam waktu yang
pendek. Maka setiap kali melihat jatuhnya bunga, menjulangnya cabang pohon ke angkasa,
gerak-gerik binatang atau burung, ataupun perubahan angin, ia lantas ingat jurus-jurus silat
yang dapat digubah daripada contoh-contoh itu.
Ia terus mengawasi kedua elang itu dan mengharap-harap agar mereka menyambar lagi
seperti tadi.
Tiba2 kupingnya menangkap suara tindakan manusia di atas salju. Tindakan itu enteng dan
lincah, seperti tindakan wanita. Ia memutar kepala dan mengawasi ke arah suara itu. Benar
saja yang sedang mendatangi adalah seorang wanita yang tangannya menenteng sebuah
keranjang kecil.
Melihat mayat dan bangkai binantang, wanita itu merandek dan mulutnya mengeluarkan
seruan kaget. Ia seorang wanita muda yang kira2 tujuh belas atau delapan belas tahun. Dilihat
pakaiannya yang terbuat dari pada kain kasar, ia seorang gadis dusun yang miskin. Ia pun
bukan gadis cantik, bahkan dapat dikatakan beroman jelek karena rambutnya kering, kulitnya
hitam, otot otot pada mukanya banyak melesak atau menonjol keluar, sedangkan kedua ujung
mulutnya agak turun ke bawah. Bagian yang menyedapkan dari wanita itu adalah kedua
matanya yang jeli dan bersinar tajam serta tubuhnya yang ramping dan gemulai.
Ia mendekati dan waktu kedua matanya kebentrok dengan sorot mata Boe Kie, ia kaget dan
bertanay dengan suara terputus putus. Kau kau tidak mati?
Tidak, jawabnya.
Pertanyaan yang pendek itu dijawab dengan pendek pula.
Di lain saat, mereka tertawa bersama. Kalau kau belum mati, perlu apa kau rebah di situ?
tanya pula si nona.
Aku jatuh dari atas gunung, tulang betisku patah. Boe Kie menerangkan.
Apa dia kawanmu? tanya wanita itu seraya menunjuk mayat. Mengapa tiga anjing itu mati?
Tiga binatang itu telah menggigit dan membinasakan saudara itu, jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 600
Bagaimana keadaanmu? Apa kau tidak lapar?
Tentu saja lapar. Tapi aku tidak dapat bergerak dan menyerahkan segala apa pada nasib.
Wanita itu tersenyum. Ia merogoh keranjangnya dan mengeluarkan dua potong kue phia lalu
diberikan kepada Boe Kie.
Terima kasih, kata Boe Kie seraya menyambutinya, tapi ia tidak lantas memakannya.
Mengapa kau tidak makan? Apa kau takut ada racunnya? tanya si nona.
Sudah 4 tahun lebih, kecuali dengan Coe Tiang Leng, Boe Kie tidak pernah bicara dengan
lain manusia. Maka itu, pertemuannya dengan gadis itu menggirangkan hatinya, karena
biarpun si nona berparas jelek, omongan2 nya sangat menarik. Ia tertawa dan menjawab,
Bukan, bukan begitu. Sebabnya adalah karena phia ini diberikan oleh nona, maka aku merasa
sayang untuk segera memakannya.
Jawaban itu, yang sebenarnya hanya guyon guyon dapat diartikan sebagai ejekan. Boe Kie
adalah seorang yang sifatnya sungguh2 dan ia jarang sekali bicara main-main. Tapi sekarang,
dalam berhadapan dengan gadis jelek itu, hatinya bebas tanpa merasa ia sudah mengeluarkan
kata-kata itu.
Di luar dugaan, paras muka si nona lantas saja berubah gusar dan ia mengeluarkan suara di
hidung sehingga Boe Kie merasa sangat menyesal dan buru-buru ia memasukkan kue ke
dalam mulutnya. Karena terburu-buru, kue itu menyangkut di tenggorokannya dan ia batukbatuk.
Muka si nona berubah lagi, dari marah menjadi girang. Terima kasih Langit, terima kasih
Bumi. Tioe Pat Koay (si muka jelek) bukan manusia baik, katanya. Bapak Langit
menjatuhkan hukuman kepadamu. Mengapa orang lain tidak dipatahkan tulangnya, hanya kau
seorang yang dipatahkan tulang betismu?
Sesudah empat tahun tak pernah mencukur rambut dan muka, tentu saja mukaku kelihatannya
jelek, kata Boe Kie dalam hati. Tapi kaupun tidak cantik. Kita berdua setali tiga uang. Tapi
tentu saja ia tak berani mengutarakan berterus terang apa yang dipikir dalam hatinya. Ia
tersenyum dan berkata, Sudah 9 hari aku menggeletak di sini. Sungguh untung, nona
kebetulan lewat disini dan nona sudah memberikan kue kepadaku. Terima kasih banyak untuk
kebaikanmu itu.
Si nona tertawa. Jangan kau bicara menyimpang, katanya. Aku tanya mengapa hanya seorang
yang patah tulang? Kalau kau tidak menjawab, aku akan mengambil pulang kueku itu.
Jantung Boe Kie memukul keras sebab selagi bicara sambil tertawa di mata gadis itu terdapat
sinar kenakalan yang menyerupai sinar mata yang dimiliki oleh ibunya sendiri. Mengapa sinar
matanya mirip dengan sinar mata ibu? tanyanya di dalam hati. Sebelum meninggal dunia,
waktu ibu memperdayai pendeta Siauw lim sie, pada kedua matanya terlihat sinar yang seperti
itu. Mengingat ibunya, hatinya merasa pilu dan air matanya lantas saja mengucur.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 601
Fui! kata si nona sambil tertawa nyaring. Tidak, aku tidak akan merampas kue itu. Sudah!
Jangan nangis. Hai! Kalau begitu, kau hanya satu manusia dungu.
Huh! Kau kira kuemu terlalu enak? kata Boe Kie. Aku menangis karena ingat sesuatu bukan
sebab kuemu.
Ingat apa? tanya si nona.
Boe Kie menghela nafas. Aku ingat ibu. Ibuku yang sudah meninggal dunia, jawabnya.
Si nona tertawa nyaring. Ibumu sering memberi phia kepadamu, bukan? tanyanya.
Benar, ibuku memang sering memberi kue kepadaku, jawabnya. Tap aku ingat kepadanya
bukan sebab itu. Aku ingat ibu sebab tertawamu sangat mirip dengan tertawa ibu.
Setan! bentak si nona dengan suara gusar, Aku sudah tua ya? Sama seperti ibumu, ya? Ia
mengambil cabang kering dan menyabet Boe Kie dua kali.
Kalau mau, dengan mudah Boe Kie bisa merampas cabang kering itu. Tapi ia berkata dalam
hatinya, Ia tidak tahu bagaimana cantiknya ibuku. Ia rupanya menganggap roman ibu sejelek
romanku dan ia merasa tersinggung. Dilihat dari sudut ini, ia memang pantas bergusar.
Sesudah disabet, ia berkata, Ibuku sangat cantik!
Muka si nona tetap muram. Kau mentertawai aku karena romanku jelek? bentaknya pula.
Benar-benar kau sudah bosan hidup, biar aku tarik kakimu. Seraya mengancam, ia
membungkuk dan bergerak untuk menarik kaki pemuda itu.
Boe Kie kaget. Tulang betisnya baru menyambung, sehingga kalau ditari ia bakal menderita
lebih berat. Buru-buru ia meraup salju, begitu kakinya tersentuh ia akan menimpuk Bie sim
hiat si nona supaya ia pingsan. Untung juga ancaman itu tidak dibuktikan.
Melihat perubahan pada paras muka Boe Kie nona itu berkata, Mengapa kau begitu
ketakutan? Nyalimu seperti nyali tikus, siapa suruh kau mentertawai aku?
Sedikitpun aku tak punya niat untuk menggoda nona, kata Boe Kie dengan suara sungguhsungguh.
Jika di dalam hati aku berniat mentertawai nona, biarlah sesudah sembuh, aku jatuh
lagi tiga kali dan seumur hidup aku menjadi seorang pincang.
Mendengar sumpah itu, ia tertawa geli dan lalu duduk di samping. Kalau ibumu seorang
wanita cantik, mengapa kau membandingkan aku dengan dia? tanyanya dengan suara
perlahan.
Apa akupun cantik?
Boe Kie tergugu. Sesaat kemudian barulah ia bisa menjawab. Entahlah, aku pun tak tahu
sebabnya. Aku hanya merasa, bahwa kau mirip dengan ibuku. Biarpun kau tidak secantik ibu,
tapi aku merasa sayang jika memandang parasmu.
Si nona tersenyum, ia mencolek pipi Boe Kie dengan jarinya dan berkata sambil tertawa,
Anak baik, nah kalau begitu kau panggil saja ibu kepadaku Ia tidak meneruskan perkataannya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 602
dan dengan sikap kemalu-maluan, dia memutar kepala ke jurusan lain, karena ia merasa
bahaw perkataannya itu tidak pantas dikeluarkan. Tapi sesudah memutar kepala, ia ta dapat
menahan rasa gelinya dan lalu tertawa pula.
Melihat begitu, Boe Kie lantas saja ingat kejadian-kejadian di pulau Peng hwee to, yaitu pada
saat kedua orang tuanya bersenda gurau. Ia ingat bahwa dalam guyon2, sikap mendiang
ibunya sangat menyerupai sikap si wanita jelek saat ini. Tiba-tiba ia merasa bahwa nona itu
tidak jelek. Dia cantik, dia ayu ia mengawasi seperti orang kesengsem.
Tiba2 si nona memutar lagi kepalanya dan melihat Boe Kie mengawasinya seperti orang
linglung. Ia tertawa dan bertanya, Mengapa kau senang melihat aku? Coba beritahukan
kepadaku sebab musababnya.
Boe Kie tidak lantas menjawab. Sesudah geleng-gelengkan kepalanya ia baru berkata, Aku
tak dapat mengatakan secara tepat. Aku hanya merasa bahwa kalau memandang wajahmu,
hatiku tenang dan aman. Aku merasa bahwa kau akan hanya berbuat baik terhadapku, bahwa
kau tidak akan mencelakai aku.
Si nona tertawa nyaring, Haa..ha..! Kau salah! Aku adalah manusia yang paling suka
mencelakai orang, katanya.
Sekonyong2 ia mengangkat cabang kayu yang dipegangnya dan menyabet betis Boe Kie dua
kali. Sesudah itu ia berjalan pergi. Sabetan itu yang dijatuhkan secara diluar dugaan, kena
tepat pada tulang yang patah, sehingga Boe Kie kesakitan dan berteriak, Aduh! Teriakan Boe
Kie disambut dengan tertawa geli.
Dengan mendongkol Boe Kie mengawasi bayangan wanita itu yang makin lama jadi makin
jauh. Kurang ajar! ia mengomel. Yang cantik suka melukai orang, yang jelekpun begitu juga.
Malam itu Boe Kie banyak bermimpi. Ia bermimpi bertemu dengan wanita itu, bertemu pula
dengan mendiang ibunya dan bertemu pula dengan seorang wanita yang tidak terang
wujudnya. Mungkin ibunya dan mungkin juga wanita jelek itu. Ia bermimpi sang ibu
mempermainkannya menjatuhkannya dan sesudah ia menangis barulah ibunya memeluknya,
menciumnya dan berkata, Anak baik jangan menangis, sayang ibu menyayang kau.
Waktu terdengar dalam otaknya mendadak berkelebat serupa ingatan yang baru pernah
diingatnya sekarang. Mengapa ibu begitu suka mencelakakan manusia? tanyanya di dalam
hati. Kedua mata Giehoe dibutakan oleh ibu. Jie Sam soepeh bercacat karena ibu. Seluruh
keluarga Liong boen Piauw kiok binasa dalam tangan ibu. Apa ia orang baik? Sambil
bertanya begitu, ia mengawasi bintang-bintang di langit dan menghela nafas berulang-ulang.
Tak peduli baik atau jahat, ia tetap ibuku, pikirnya. Kalau ibu masih hidup, aku pasti akan
menyintanya dengan segenap jiwa dan raga.
Di lain saat ia ingat gadis dusun itu. Mengapa si jelek memukul kakinya? Aku tidak bersalah
mengapa dia memukul aku? tanyanya di dalam hati. Sesudah aku berteriak kesakitan, ia
tertawa kegirangan. Apakah ia manusia yang senang mencelakakan sesama manusia?
Ia mengharapkan nona itu datang lagi, tapi iapun kuatir akan dipukul lagi. Otaknya bekerja
terus, sebentar ia ingat mendiang ibunya, sebentar ia ingat gadis dusun itu dan sebentar ia
ingat lain-lain hal.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 603
Dua hari telah lewat dan nona itu tidak pernah muncul. Boe Kie menganggap dia tak akan
Datang lagi untuk selama-lamanya. Diluar dugaan, pada hari ketiga, kira2 lohor, gadis dusun
itu menyatroni lagi sambil menenteng keranjangnya. Tio pat koay, tegurnya seraya tertawa.
Kau belum mati kelaparan ?.
Sudah hampir, jawabnya. Sebagian besar mampus, sebagian kecil masih hidup.
Nona itu tertawa, lalu duduk disamping Boe Kie. Mendadak memandang betis pemuda itu.
Apa bagian itu masih hidup? tanyanya.
Aduh! teriak Boe Kie. Kau sungguh manusia yang tak punya liangsim! (Liangsim---perasaan
hati).
Tak punya liangsim? menegas si nona. Kebaikan apa yang sudah ditunjuk olehmu terhadap
diriku?
Boe Kie terkejut. Kemarin dulu kau telah memukul aku, tapi aku tidak menaruh dendam,
katanya. Selama dua hari, aku selalu mengingat kau.
Paras muka si nona lantas saja berubah merah, seperti orang bergusar, tapi ia menekan nafsu
amarahnya. Apa yang dipikir olehmu kebanyakan bukan hal yang baik, katanya. Aku berani
memastikan, didalam hati kau mencaciku sebagai perempuan jelek perempuan jahat.
Romanmu tidak jelek, kata Boe Kie. Tapi mengapa kau baru merasa senang bila sudah
mencelakai manusia?
Si nona tertawa geli. Bagaimana kudapat memperlihatkan rasa senangku, jika aku tak bisa
menyaksikan penderitaan orang? katanya dengan suara adem.
Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Boe Kie yang pasa mukanya menunjuk perasaan tidak
puas dan tidak setuju. Melihat pemuda itu masih mencekal sepotong kue yang belum dimakan
tiga hari, ia tersenyum lalu berkata.
Phia itu sudah tiga hari, apa masih enak dimakan?
Aku merasa sayang untuk makan kue ini yang dihadiahkan olehmu, jawabnya. Bila pada tiga
hari berselang ia mengatakan begitu untuk berguyon, kini suaranya bernada sungguh2. Nona
itu juga merasa, bahwa kali ini Boe Kie tidak bicara main2 dan paras mukanya lantas saja
bersemu merah. Aku membawa kue-kue yang baru, katanya sambil merogoh keranjang dan
mengeluarkan beberapa macam makanan, disamping kue, terdapat juga ayam panggang dan
kaki kambing panggang yang baunya wangi.
Boe Kie girang bukan main. Selama tiga tahun lebih, ia hanya mengenal daging kodok dan
bebuahan dan baru sekarang, ia dapat mencicipi lagi makanan enak. Tanpa sungkan sungkan,
di lalu memasukkan sepotong daging ayam ke dalam mulutnya.
Sambil memeluk lutut dan mengawasi cara makannya Boe Kie yang sangat bernafsu, si nona
duduk disamping pemuda itu. Siluman muka jelek (Tioe pat koay), kau makan enak sekali,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 604
katanya. Kusenang melihat cara makanmu. Kau agak berlainan dengan lain manusia. Tanpa
mencelakai kau, aku sudah merasa senang.
Rasa senang yang sejati adalah rasa senang yang didapat karena melihat orang lain merasa
senang. Kata Boe Kie.
Nona itu tertawa dingin. Huh! ia mengeluarkan suara di hidung. Biarlah aku berterus terang
terhadapmu. Hari ini hatiku senang dan aku tidak mencelakai kau. Tapi dilain hari, bila aku
tak senang, mungin sekali aku akan menghajar kau, sehingga kau hidup tidak, matipun tidak.
Kalau terjadi kejadian itu, jangan kau menyalahkan aku.
Boe Kie menggeleng kepalanya. Kau takkan mampu menghajar aku, katanya.
Mengapa begitu? tanya si nona.
Sedari kecil aku sudah biasa dihajar oleh manusia jahat, jawabnya. Aku dihajar hingga besar.
Makin dihajar, aku makin alot.
Lihat saja buktinya nanti, kata nona itu.
Boe Kie tersenyum dan berkata pula. Sesudah lukaku sembuh, aku akan menyingkir jauh
jauh. Kau takkan bisa menganiaya aku lagi.
Kalau begitu, lebih dahulu aku akan putuskan betismu sehingga kau seumur hidup takkan bisa
berpisahan lagi denganku, kata si nona.
Mendengar suara dingin bagaikan es, Boe Kie bergidik. Ia mersa, bahwa perkataan itu bukan
diucapkan seenaknya saja dan bahwa apa yang dikatakannya dapat dilakukan oleh wanita itu.
Sementara itu, setelah mengawasi Boe Kie beberapa saat, si nona menghela nafas.
Sekonyong-konyong paras mukanya berubah. Tioe pat koay bentaknya. Apakah betis
anjingmu tak pantas dibacok putus olehku? Mendadak ia berbangkit, merampas potongan
daging ayam, kaki kambing dan kue phia yang belum dimakan dan melemparkannya jauhjauh.
Sesudah itu dengan penuh amarah, ia meludahi muka Boe Kie.
Boe Kie menatap wajah si nona. Ia merasa, bahwa gadis itu bukan sengaja benar2 bergusar
dan juga tak sengaja mau menghina dirinya, karena pada paras mukanya terlihat sinar
kedukaan yang sangat besar. Boe Kie adalah seorang yang mempunyai perasaan halus dan
bisa turut merasakan penderitaan orang lain. Ia ingin sekali menghibur, tapi untuk sementara
ia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Melihat sikap Boe Kie, nona itu berhenti meludah. Tioe pat koay! bentaknya. Apa yang
sedang dipikir olehmu?
Nona, mengapa kau kelihatannya begitu menderita? Boe Kie balas menanya. Beritahukanlah
kepadaku.
Karena ditanya dengan perkatann lemah lembut, gadis itu tak dapat jalan untuk mengumbar
nafsunya lagi. Sekonyong2 ia duduk pula disamping Boe Kie dan menangis sedu sedang
sambil memeluk kepalanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 605
Boe Kie mengawasinya dengan belas kasihan.
Nona, katanya dengan suara perlahan. Siapa yang sudah menghina kau? Tunggulah, sesudah
kakiku sembuh aku akan membalas sakit hatimu.
Nona itu terus menangis. Selang beberapa lama, barulah ia berkata. Tidak ada orang yang
menghinaku. Penderitaanku karena nasibku yang buruk, karena salahku sendiri. Aku memikiri
orang yang tak dapat melupakannya.
Boe Kie mangut2kan kepala. Orang laki2 bukan? tanyanya pula. Dia jahat terhadapmu
bukan?
Benar! jawabnya. Dia sangat tampan, tapi sombong luar biasa. Aku ingin dia mengikuti aku
seumur hidup, tapi dia tak mau. Itu masih tidak apa. Celakanya, dia bukan saja mencaci tapi
juga sudah menganiaya aku, sehingga darah berlumuran.
Kurang ajar sungguh dia ! teriak Boe Kie dengan gusar. Nona kau jangan perdulikan dia lagi.
Air mata si nona kembali mengucur Tapi..aku tak dapat melupakannya, katanya. Dia pergi
jauh2 untuk menyingkirkan diri dan aku sudah mencarinya kesana kemari!
Mendengar begitu, walaupun merasa, bahwa nona itu beradat aneh, rasa kasihan Boe Kie jadi
makin besar. Didunia terdapat banyak sekali lelaki yang baik. Perlu apa kau memikiri
manusia yang tak berbudi itu ?
Si nona menghela nafas panjang, matanya mengawasi ketempat jauh. Boe Kie tahu, bahwa ia
tak dapat menghilangkan bayangan lelaki itu dari alam pikirannya. Untuk mencoba lagi ia
berkata pula, Lelaki itu hanya memukulmu satu kali. Tapi penderitaanku sepuluh kali lebih
hebat daripada kau.
Apa? Kau ditipu wanita cantik ? tanya nona itu.
Dia bukan sengaja ingin menipu aku, jawabnya. Aku sendirilah yang salah. Melihat
kecantikkannya aku jadi seperti orang edan. Tentu saja aku bukan pasangannya dan akupun
tidak mengharapkan yang tidak2. belakangan ayahnya wanita itu telah menjalankan siasat
busuk terhadap diriku sehingga aku sangat menderita. Seraya berkata begitu, ia menggulung
tangan bajunya dan sambil menunjuk tanda2 bekas luka, ia berkata pula. Lihatlah! Ini tanda
bekas gigitan anjing2nya yang jahat.
Paras muka nona itu lantas berubah gusar. Apa kau maksudkan Coe Kioe tia ? tanyanya.
Bagaima kau tahu? Boe Kie balas menanya dengan suara heran.
Budak hina itu suka sekali memelihara anjing yang sering untk mencelakakan manusia,
jawabnya. Dalam jarak ratusan li disekitar tempat ini, tak seorangpun yang tidak tahu.
Boe Kie mengangguk,Benar, katanya. Lukaku sudah sembuh dan akupun masih hidup,
akupun tak mau mebenci dia lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 606
Mereka saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Selang beberapa saat nona itu
bertanya. Siapa namamu? Mengapa kau berada disini?
Mendengar pertanyaan itu Boe Kie segera ingat bahwa waktu berada di tionggoan banyak
sekali orang coba mengorek keterangan tentang ayah angkatnya dan karena urusan itu, ia
telah mendapat banyak kesengsaraan. Mulai dari sekarang Thio Boe Kie sudah meninggal
dunia dan didalam dunia tak ada manusia lagi yang tahu tempat bersembunyinya Kim Mo Say
Ang Cia Soen, katanya didalam hati. Dikemudian hari biarpun aku bertemu dengan manusia
yang sepuluh kali lihay daripada Coe Tiang Leng, aku tak bisa diakui lagi. Memikiri begitu, ia
lantas menjawab. Namaku Ah Goe.
Shemu? tanya pula si nona.
Aku..aku si Ca, jawabnya. Dan Kau?
Aku tak punya She, jawabnya. Sesaat kemudian ia berkata lagi dengan suara perlahan. Ayah
kandungku membenci aku. Kalau ia bertemu denganku ia pasti akan membunuhku.
Bagaimana aku bisa menggunakan shenya? Ibuku sendiri meninggal dunia sebab gara2ku.
Akupun tidak bisa menggunakan she ibu. Romanku sangat jelek (toe), maka itu biarlah, kau
memanggil aku dengan panggilan Tioe Kouwnia (nona muka jelek saja).
Boe Kie terkejut. Kau..kau telah mencelakakan ibumu sendiri? tanyanya dengan suara
terputus2. Bagaimana bisa begitu?
Gadis itu menghela nafas. Kalau mau dituturkan panjang sekali, jawabnya. Aku mempunyai
dua orang ibu. Ibu kandungku adalah istri pertama dari ayahku. Karena lama tidak punya anak
ayah mengambil istri kedua. Ibu tiriku (Jienio) telah melahirkan dua kakak laki laki dan
seorang kakak perempuan, sehingga ayah sangat menyayangnya. Belakangan ibu melahirkan
aku. Sebab disayang dan juga sebab keluarganya berpengaruh, Jienio sangat sewenangwenang
terhadap ibuku yang hanya bisa menangis, ketiga kakak juga sangat jahat dan mereka
membantu ibu mereka untuk menindas ibuku. Tioe Pat Koay, coba kau pikir, apakah yang
harus diperbuat olehku?
Dalam hal ini ayahmu harus berlaku adil, kata Boe Kie.
Tapi ayah sangat memilih kasih dan ia selalu membenarkan Jienio kata si nona. Karena tak
dapat menahan sabar akhirnya aku bacok mampus ibu tiriku itu.
Ah, tanpa merasa Boe Kie mengeluarkan suara kaget. Ia adalah seorang dari rimba persilatan
yang sudah biasa melihat pertempuran dan pembunuhan. Tapi gadis itu yang kelihatannya
lemah bisa membunuh orang adalah kejadian yang sangat diluar dugaannya. Tapi nona itu
sebaliknya tenang2 saja dan dengan suara perlahan ia melanjutkan penuturannya. Ibu jadi
ketakutan dan menyuruh aku melarikan diri. Ketika kakakku mau mengubar untuk
menangkap aku, ibu mencoba mencegah mereka, tapi tidak berhasil. Untuk menolong jiwaku,
ibu segera menggantung diri sehingga mati. Coba kau pikir. Bukankah aku yang sudah
mencelakai ibuku sendiri? Kalau ayah bertemu denganku bukankah ia bisa membunuh aku?
Boe Kie mendengarkan cerita itu dengan jantung memukul keras. Walaupun kedua orang
tuaku sudah meninggal dunia secara menggenaskan, mereka sedikitnya mencintai satu sama
lain, katanya didalam hati. Ayah dan ibu juga sangat mencintai aku. Ya! Kalau
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 607
dibanding2kan, penderitaan nona itu memang ribuan kali lebih hebat daripada pengalamanku.
Mengingat begitu, rasa kasihannya jadi terlebih besar. Apa sudah lama kau meninggalkan
rumah? tanyanya Apa mulai dari waktu itu kau terus terlunta2 sebatang kara?
Si nona manggut-manggutkan kepalanya.
Sekarang, kemana kau mau pergi? tanya pula Boe Kie.
Entahlah, jawabnya. Dunia sangat lebar dan aku bisa pergi kemanapun juga. Asal tidak
berpapasan dengan ayah dan kakakku, aku boleh tak usah berkuatir.
Darah Boe Kie bergolak dalam dadanya. Disamping rasa kasihan, ia merasa senasib dengan
gadis dusun itu, sebab iapun sebatang kara dan hidup bergelandang di dunia yang lebar ini.
Biarlah kau tunggu sampai lukaku sembuh, katanya kemudian. sesudah sembuh, kita akan cari
toako.pemuda itu. Aku mau tanya, bagaimana sikapnya yang sebenarnya terhadapmu?
Bagaimana kalau ia memukul aku? tanya si nona.
Hm! Boe Kie mengeluarkan suara dihidung. Kalau dia berani menyentuh selembar rambutmu
saja, aku pasti tak akan mengampuninya.
Tapi bagaimana jika ia hanya mengambil sikap tidak memperdulikan? mendesak si nona.
Boe Kie membungkam. Ia mengerti, bahwa ia tak dapat memaksakan cinta. Sesudah
termenung beberapa saat, ia berkata. Aku akan berusaha sedapat mungkin.
Sekonyong2 nona itu tertawa terbahak2, tertawa geli, seolah2 didalam dunia tak ada lain hal
yang lebih menggelikan daripada pernyataan Boe Kie.
Mengapa kau tertawa? tanya Boe Kie dengan heran.
Tioe pat koey, jawabnya. Manusia apa kau? Apa kau kira orang akan mengindahkan segala
kemauanmu? Aku sudah mencari2 dia ke segala pelosok, tapi tak bisa menemukannya.
Apakah dia masih hidup? Apakah sudah mati? Entahlah kau mau berusaha sedapat mungkin?
Apa kemampuanmu? Ha ha ha!......ha ha..
Boe Kie sebenarnya mau mengatakan sesuatu akan tetapi, mendengar perkataan itu, mulutnya
yang sudah terbuka tertutup kembali. Dengan paras muka merah dan mulut ternganga, ia
mengawasi gadis dusun itu.
Kau mau bicara apa? tanya si nona.
Sesudah kau mentertawai aku, tak perlu aku bicara lagi.
Hm!......Paling banyak aku tertawa lagi. Dengan ditertawai olehku, kau toh tak akan mati.
Nona, aku bicara dengan setulus hati. Tak pantas kau mentertawai aku.
Sudahlah. Sekarang jawablah pertanyaanku. Apa yang mau dikatakan olehmu?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 608
Baiklah, kata Boe Kie. Karena melihat kau sebatang kara dan nasibmu agak bersamaan
dengan nasibku sendiri, yang sudah tak punya orang tua atau saudara, maka tadi aku ingin
mengatakan. Jika pemuda itu tetap tak mau memperdulikan kau, biarlah aku saja yang
mengawani kau. Biar bagaimanapun jua, aku bisa menjadi kawan beromong2, guna
menghibur kau. Tapi jika kau menganggap, bahwa diriku tidak sesuai untuk berbuar begitu,
terserahlah kepadamu.
Tidak sesuai!.......Memang tidak sesuai, kata si nona. Orang jahat itu seratus kali lipat lebih
tampan daripada mukamu. Celaka sungguh! Aku membung2 tempo disini dengan
pembicaraan yang tidak ada faedahnya. Sesudah menendang daging ayam dan kaki
kambingyang dilontarkannya ke tanah, ia segera berlalu dengan cepat.
Boe Kie menghela nafas. Nona itu sungguh harus dikasihani. Pikirnya dengan perasaan duka.
Ia sangat menderita dan segala sepak terjangnya yang sangat aneh harus dimaafkan.
Sekonyong2 terdengar suara tindakan dan gadis dusun itu kembali lagi. Tioe pat koey!,
bentaknya dengan garang. Kau tentu merasa sabngat penasaran didalam hati, kau pasti merasa
sangat mendongkol, bahwa seorang wanita yang sejelek aku masih berani menghina dirimu.
Benarkah begitu?.
Boe Kie meggelengkan kepala. Tidak, tidak begitu, katanya. Karena kau tidak begitu cantik,
maka begitu bertemu, aku lantas saja merasa cocok denganmu. Kalau mukamu tidak berubah
jelek dan masih seperti pada waktu pertemuan pertama kali..
Apa? memutus si nona. Bagaimana kau tahu bahwa dahulu aku tidak seperti sekarang?
Dalam pertemuan ini, bengkak matamu lebih hebat dan warna kulitmu lebih hitam daripada
dalam pertemuan pertama kali, kata Boe Kie.
Roman muka yang didapat semenjak dilahirkan tidak bisa berubah2.
Nona itu kelihatan kaget sekali. . Aku dalam beberapa hari ini, aku tidak berani berkaca,
katanya Apakah romanku makin lama jadi makin jelek?
Aku memandang manusia bukan melihat romannya, kata Boe Kie menghibur.
Dlam manusia, yang terutama adalah hati harus baik, rupa adalah soal kedua. Ibuku pernah
mengatakan bahwa makin cantik seorang wanita mungkin makin busuk hatinya, makin suka
menipu orang dan ibu menasehati aku supaya aku berwaspada terhadap wanita cantik.
Tapi gadis itu tentu saja tidak memperdulikan apa yang dikatakan oleh ibunya Boe Kie. Yang
penting baginya adalah soal dirinya sendiri. Cepat2 ia berkata Kau jawablah pertanyaanku.
Dalam pertemuan kita pertama kali, apa romanku belum sejelek sekarang ?
Boe Kie mengerti, bahwa jika ia menjawab Ya, gadis itu tentu akan tersinggung. Maka itu, ia
tidak menjawab dan hanya mengawasi si nona dengan hati sangsi.
Tapi nona itu ternyata cukup cerdas otaknya. Melihat kesangsian orang, ia bisa menebak apa
yang dipikir oleh pemuda itu. Tiba2 ia menangis Tioe pat koey! Aku benci kau!......benci kau.
Teriaknya. Ia segera berlalu dan kali ini tidak kembali lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 609
Dua hari telah lewat.
Malam itu, seekor srigala berkeliaran mencari makanan. Sambil mengendus2 dia mendekati
Boe Kie. Dengan sekali meninju, Boe Kie berhasil membinasakannya, sehingga binatang itu
yang mau cari makan, malah kena dimakan.
Beberapa hari lewat lagi tanpa terjadi sesuatu yang penting. Kedua tulang betis Boe Kie yang
patah sudah menyambung pula dan tujuh delapan hari lagi, ia akan bisa jalan seperti sedia
kala. Selama beberapa hari itu, ia selalu memikirkan si gadis dusun. Ia merasa menyesal,
bahwa ia masih belum tahu nama si nona. Disamping itu, iapun merasa heran mengapa muka
nona itu bisa berubah menjadi lebih jelek. Ia mengasah otak untuk memecahkan teka teki itu,
tapi sampai kepalanya puyeng, ia masih belum juga berhasil. Karena capai, tak lama
kemudian ia pulas nyenyak.
Kira kira tengah malam ia tersadar karena suara tindakan beberapa orang di tempat jauh.
Sesudah melatih Kioe Yang Sin Kang didalam dirinya telah mendapat semacam kewaspadaan
yang wajar. Biarpun sedang pulas, setiap suara dalam puluhan tombak tidak terlepas dari
pendengarannya.
Waktu itu biarpun kakinya masih belum bisa digunakan, ia sudah bisa duduk. Dengan cepat ia
duduk dan mengawasi ke arah suara itu. Dengan bantuan sinar bulan sisir yang remang2, ia
melihat tujuh orang sedang mendatangi. Yang berjalan paling dulu adalah seorang wanita
bertubuh langsing dan gerak geriknya gemulai. Sesaat kemudian ia terkejut sebab wanita itu
bukan lain daripada si wanita dusun yang aneh. Dibelakangnya mengikuti enam orang yang
berjalan dengan berbareng dam bentuk kipas, seolah olah mau menjaga supaya nona itu
jangan sampai melarikan diri. Apakah ia sudah ditangkap oleh ayah dan kakak2nya? tanyanya
di dalam hati. Mengapa mereka datang kesini?
Makin lama mereka makin mendekati.
Tiba tiba Boe Kie terkesinap. Keenam orang itu sudah dikenal olehnya. Yang berjalan di
sebelah kiri adalah Boe Ceng Eng bersama ayahnya, Boe Liat, dan Wie Pek. Sedang yang
disebelah kanan adalah Ciang Boen Jin Koen Loen Pay Ho Thay Ciong bersama istrinya, Pan
Siok Ham, dan yang satunya lagi, seorang wanita berusia pertengahan, juga seorang kenalan
lama, yaitu Teng Bin Koen, Murid Goe Bi Pay.
Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan!
Bagaimana ia bisa mengenal orang2 itu? tanya Boe Kie didalam hati. Apakah ia juga seorang
rimba persilatan yang sudah mengenali siapa adanya aku dan kemudian memberitahukan
kawan-kawannya untuk memaksa aku buka rahasia Gioehoe?. Dengan adanya dugaan itu
darahnya lantas meluap. Perempuan jelek! cacinya Aku dan kau tidak mempunyai
permusuhan. Mengapa kau mencelakai aku?
Denga cepat ia memikir daya upaya untuk menolong diri. Kedua kakiku belum bisa bergerak
dan keenam orang itu lihay semuanya, katanya didalam hati. Mungkin sekali si perempuan
dusunpun mempunyai kepandaian tinggi. Biarlah untuk sementara aku berlagal menunduk
dan pura2 meluluskan kemauan mereka dalam hal mencari GieHoe. Sesudah sembuh, aku
bisa membuat perhitungan dengan mereka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 610
Jika kejadian itu terjadi pada empat rahun berselang, Boe Kie tentu akan berlaku nekat,
karena baginya, tiada jalan lain daripada mati. Ia tentu akan menolak segala paksaan dan
menutup mulutnya rapat2. tapi sekarang, sesudah memiliki Kioe yang Sin kang, ia jadi
mantep dan percaya dirinya sendiri. Maka itu, sesudah hilang kagetnya, ia tertawa dalam
hatinya dan sedikitpun ia tidak merasa takut. Ia hanya merasa mendongkol dan menyesal,
karena tak pernah menduga, bahwa gadis dusun itu akan mengkhianati dirinya.
Beberapa saat kemudia, nona itu sudah berdiri didekat Boe Kie. Untuk beberapa lama, ia
mengawasi pemuda itu dan kemudian perlahan lahan memutar badan.
Waktu ia memutar badan, Boe Kie mendengar hela nafas perlahan yang penuh dengan
perasaan sedih. Kau boleh turun tangan sesuka hati, kata pemuda itu didalam hati. Perlu apa
berlagak sedih?
Tiba tiba Wie Pek mengibas pedangnya dan berkata dengan suara dingin. Kau mengatakan
bahwa sebelum mati, kau ingin bertemu lagi dengan dia untuk penghabisan kali. Semula
kukira ia tampan laksana Phoa An, tak tahunya manusia beroman memedi. Ha ha ha Sungguh
menggelikan. Kau dan dia sungguh pasangan setimpal.
Gadis itu sama sekali tidak menjadi gusar. Benar, jawabnya dengan tawar. Sebelum mati, aku
ingin bertemu lagi dengan dia, sebab aku mau mengajukan sebuah pertanyaan. Sesudah
mendengar jawabannya, barulah aku bisa mati dengan mata meram.
Boe Kie heran tak kepalang. Didengar dari omongan kedua orang itu, mereka berenam
kelihatannya mau membinasakan si gadis dusun dan nona tersebut sudah mengajukan sebuah
permintaan terakhir, yaitu minta menemui dirinya sendiri untuk menanyakan sesuatu.
Memikir begitu, ia lantas saja bertanya, Nona ada urusan apakah kau datang kemari bersama
orang orang itu?
Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu dan kau harus menjawabnya dengan
setulus hati, katanya.
Kalau pertanyaanmu mengenai diriku pribadi aku tentu menjawab dengan seterang terangnya
dan setulus tulusnya, kata Boe Kie. Tapi jika kau mengajukan pertanyaan yang mengenai
dirinya orang lain. Maaf, biarpun aku dibunuh mati, aku tak akan membuka mulut. Ia
menjawab begitu sebab menduga, bahwa pertanyaan yang akan diajukan adalah halnya Cia
Soen.
Perlu apa kau mencampuri urusan orang lain, kata si nona dengan suara dingin. Pertanyaan
yang kuinginkan adalah ini. pada hari itu kau mengatakan kepadaku, bahwa kita berdua
adalah orang2 yang hidup sebatang kara dan tak punya tempat meneduh. Oleh karena itu, kau
bersedia untuk mengawani aku. Sekarang aku mau tanya. Apakah pernyataanmu itu keluar
dari hati yang tulus bersih?
Boe Kie segera berduduk. Melihat sinar mata nona itu yang penuh kedukaan, ia lantas saja
menjawab. Aku bicara sesungguhnya.
Kalu begitu, bukankah kau tak mencela romanku yang jelek dan bersedia untuk hidup
bersama-sama aku seumur hidup? tanya pula si nona.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 611
Boe Kie terkesiap. Sedikitpun tak menduga bahwa ia bakal dihadapi pertanyaan begitu. Tapi
karena sungkan melukai hati orang, ia segera menjawab, Soal jelek atau cantik tak pernah
dihiraukan olehku. Manakala kau ingin aku mengawaninmu untuk beromong2 tentu saja aku
merasa senang untuk mengiring keinginanmu itu.
Kalau.begitu.kau bersedia untuk mengambil aku sebagai istrimu, bukan ? tanya nona itu
dengan suara gemetar dan terputus2.
Boe Kie kaget tak kepalang, hingga badannya mengigil dan untuk beberapa saat ia tak dapat
mengeluarkan sepatah kata. Sesudah dapat menentramkan hatinya yang berdebar-debar. Ia
menjawab juga dengan suara terputus2. Aku.. aku tak pernah..tak pernah memikir untuk
menikah.
Lihatlah! kata Wie Pek dengan suara mengejek. Lelaki dusun yang tua dan jelek seperti dia
masih tak mau menikah denganmu. Andai kata kami tak mengambil jiwamu, kau hidup
teruspun tak ada artinya. Sebelum kami turun tangan, lebih baik kau membenturkan kepalamu
sendiri dibatu besar itu.
Dengan penuh rasa kasihan, Boe Kie mengawasi nona itu mengucurkan air mata sambil
menundukkan kepalanya. Ia tak tahu, apa si nona menangis karena takut mati, apa karena
memikir romannya yang jelek atau karena perkataan Wie Pek yang tajam bagai pisau.
Melihat begitu, darah Boe Kie bergolak. Ia lantas saja ingat, bahwa sesudah kedua orang
tuanya meninggal dunia, ia telah menerima macam2 hinaan. Gadis itu, yang berusia lebih
muda daripadanya, mempunyai riwayat hidup yang lebih tak beruntung daripada riwayat
hidupnya sendiri. Maka itu bagaimana ia tega untuk menambah penderitaan si nona yang
sudah cukup hebat. Disamping itu, pertanyaan yang diajukan merupakan suatu pengabdian
dari seorang wanita yang bersedia untuk menjadi istrinya.
Selama hidupku, selain ayah, ibu, ayah angkat, Thay soehoe dan para paman, siapa lagi yang
pernah mencintai aku dengan setulus hati? katanya dalam hati. Jika di kemudian hari dia bisa
memperlakukan aku secara pantas, aku dan dia masih bisa hidup beruntung.
Sesaat itu dengan badan gemetaran, si nona sudah bergerak untuk berlalu. Dengan cepat Boe
Kie mengangsurkan tangan kirinya dan mencekal lengan kanan nona itu. Nona katanya
dengan suara nyaring. Dengan setulus hati, aku bersedia untuk menikah dengan kau. Aku
hanya mengharap kau tak mengatakan, bahwa aku tak setimpal dengan dirimu.
Demi mendengar perkataan Boe Kie dari kedua mata gadis itu mengeluarkan sinar terang
sinar kemenangan. Ah Goe Koko, katanya dengan suara perlahan. Apakah tak mendustaiku?
Tidak! Aku tak mendustai kau, jawabnya. Mulai dari detik ini, aku akan mencintai, akan
melindungi kau dengan segenap jiwa dan raga. Tak peduli ada berapa banyak orang yang
akan mencelakaimu, tak peduli ada berapa banyak jago yang mau menghina kau, aku pasti
melindungimu. Aku bersedia untuk mengorbankan jiwa demi kepentinganmu. Aku ingin kau
bahagia dan melupakan segala penderitaanmu yang dulu2.
Si nona lantas saja berduduk di tanah dan menyandarkan tubuhnya di badan Boe Kie. Sambil
mencekal tangan pemuda itu yang satunya lagi, ia berkata dengan suara lemah lembut. Aku
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 612
sungguh merasa sangat berterima kasih. Ia meramkan kedua matanya dan berbisik, Ah Goe
Koko, cobalah katakan lagi apa yang tadi, dikatakan olehmu, supaya setiap perkataan bisa
diingat didalam lubuk hatiku, cobalah!
Melihat kebahagiaan nona itu, Boe Kie pun merasa bahagia. Sambil memegang keras2 kedua
tangan si gadis yang empuk bagaikan kapas, ia mengulani perkataannya. Aku ingin berusaha
supaya kau bisa hidup beruntung, supaya kau melupakan segala penderitaanmu yang dulu2.
tak peduli ada berapa banyak orang yang mau menghina kau, yang mau mencelakakan kau.
Aku berseida untuk mengorbankan jiwa demi keselamatanmu.
Jilid 33____________
Si nona bersenyum senium yang penuh dengan rasa beruntung. Sambil bersandar pada dada
pemuda it, ia berkata, Dulu, waktu aku minta kau mengikut aku, kau bukan saja sudah
menolak, tapi jg memukul aku, mencaci Aku merasa sangat beruntung, bahwa sekarang kau
bisa mengatakan begitu.
Perkataan si nona seolah-olah air dingin yg menyiram kepala pemuda itu. Ia mendapat
kenyataan, bahwa dengan mendengar perkataannya sambil memeramkan mata, nona itu
membayang bayangkan, bahwa perkataan itu dikeluarkan oleh pemuda yang di pujanya, tapi
yang sudah menyakiti hatinya.
Tiba tiba gadis itu menggigil dan ia membuka kedua matanya. Pada paras mukanya terlihat
sinar kegusaran, tercampur dengan perasaan kecewa, tapi dalam sinar kekecewaan itu
terbayang juga sedikit rasa bahagis. Selang beberapa saat ia berkata, Ah Goe Koko, aku
merasa sangat berterima kasih, bahwa engkau bersedia untuk mengambil aku sebagai istrimu.
Kau tidak mencela aku, seorang wanita yg beroman jelek. Hanya sayang, semenjak bebeapa
tahun berselang aku sudah memberikan hatiku kepada seorang lain. Dahulu saja, ia sudha
tidak memperdulikan aku. Kalau dia melihat keadaaku yang sekarang lebih2 dia tak akan
menghiraukan aku Ah! Setan kecil yg berhati kejam waktu mengatakan setan kecil berhaiti
kejam nadanya masih menunjuk perasaan cinta.
Apa sekarang kau sudah boleh berbangkit? tanya Boe Ceng Eng sambil mengawasi gadis
dusun itu, Dia sudah menyatakan bersedia untuk menikah denganmu dan kamu berdua sudah
cukup lama membicarakan soal cinta?
Perlahan lahan nona itu bangkit, katanya, Ah Goe Koko, katanya sambil mengawasi Boe Kie
Aku akan segera menemui ajalku. Andaikata tidak mati, akupun tidak bisa menikah
denganmu. Tapi biar bagaimana kata2mu yang diucapkan taid, asesudah aku mati janganlah
kau membenci aku. Kalau ada tempo luang, boleh jg kau mengingat aku. Ia bicara dengan
suara meminta, sehingga Boe Kie merasa sangat terharu.
Sudahlah! Jangan terlalu rewel! bentak Pan Siok Ham, Kami sudah meluluskan
permintaanmu dan kau sudah bertemu dengan dia. SEkarang kau harus menepati janji dan
memberitahukan dimana adanya orang itu.
Baiklah, kata si nona. Sepanjang pengetahuanku, orang itu pernah berdia dirumahnya ia
berkata begitu sambil menuding Boe Liat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 613
Paras muka Boe Liat berubah. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia membentak. Jangan
omong yang gila2!
Jawab pertanyaanku! Wie Pek turut membentak, Siapa yang menyuruh kau membunuh Coe
Kioe Tin Piauwmoay?
Kagetnya Boe Kie bagaikan disambar halilinta. Membunuh membunuh Coe Kioe Tin
Kauwnio? ia menegas.
Dengan mata mendelik Wie Pek menatap wajah Boe Kie, Kau kenal Coe Kioe Tin Kauwnio?
tanyanya dengan suara gusar.
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Soet-leng Siang moay yg tersohor? kata Boe Kie.
Bibir Boe Ceng Eng bergerak, seperti orang bersenyum. Hei, jawablah! Siapa yang meyuruh
kau? teriaknya.
Kalau kau mau tahu juga, baiklah, aku akam memberitahukan terang2an, kata si gadis dusun.
Yang menyuruh aku membunuh Coe Kioe Tin adalah Ho Thay Ciong dari Koen Loen pay
dan Biat coat Soethay dari Go bie pay.
Gila! teriak Boe Liat. Binatang! Jangan kau harap bisa menyebar racun dan merenggangkan
persahabatan kami. Seraya mencaci ia menghantam dengan telapak tangannya, tapi dengan
gerakan yg sangat gesit, nona itu berhasil menyelamatkan diri.
Boe Kie jadi bingung bukan main. Kalau begitu dia benar2 seorang dari Rimba Persilatan,
pikirnya. Tak bisa salah lagi, dia membunuh Coe Kauwnio untuk membalas sakit hatiku,
sebab aku memberitahukanm bahwa aku sudah ditipu oleh nona Coe dan digigit oleh
anjing2nya nona itu, celaka sungguh! Aku sama sekali tidak menyuruh ia membinasakan Coe
Kioe Tin. Aku semula hanya mengganggap dia manusia aneh karena romannya jelek dan
nasibnya buruk. Tak tahunya ia bisa membunuh manusia secara serampangan.
Sementar it, dengan bersenjata pedang Wie Pek dan Hoe Ceng Eng sudah bantu menyerang
dari kiri dan kanan. Dengan penuh kewaspadaan Boe Kie memperhatikan jalan pertempuran.
Dengan menggunakan kegesitan, dengan melompat kian kemari, gadis dusun itu mengelakkan
serangan Boe Liat yang bertubi2. Dari gerak geriknya, ia kelihatannya tidak memandang
sebelah mata keapda Wie Pek dan Boe Ceng Eng. Sesudah bertempur belasan jurus, bagaikan
kilat ia melompat kesamping Boe Ceng Eng dan plok! ia menggaplok pipi nona boe.
Berbareng dengan gaplokan itu, tangan kirinya turut menyambar dan dilain saat pedang Boe
Ceng Eng sudah berpindah kedalam tangannya. Boe Liat dan Wie Pek terkejut. Degan
berbareng mereka menerjang untuk menolong nona Boe yang berada dalam bahaya.
Kena! gadis dusun itu berteriak dan pedang nya menggores muka Boe Ceng Eng! Ternyata
dalam gusarnya sebab nona Boe sudah mengejek romannya yang jelek. Tanpa memperdulikan
bahaya yang datang dari Boe Liat dan Wie Pek ia melompakt dan menggoreskan ujung
pedang di muka nona Boe.
Seraya mengeluarkan teriak keras, Boe Ceng Eng jatuh terjengkang. Sebenarnya, lukanya
sendiri sangat enteng. Ia jatuh lantaran kaget, sebab ia tahu bahwa mukannya yang cantik
manis sudah digores pedang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 614
Dengan mata merah Boe Liat menerjang dan si gadis dusun melompat kesamping. Mendadak
terdengar trang! suara bentrokan antara pedang si nona dan pedang Wie Pek yg terbang ke
tengah angkasa.
Hampir pada detik yg bersamaan, telunjuk tangan kanan Boe Liat berhasil menotok Hok touw
hiat dan Hong Sau Hiat, dibetis si nona. Totokan ini adalah It Yang Cie yg sangat lihai.
Sambil mengeluarkan rintihan perlahan, gadis itu roboh terguling, jatuh diatas Boe Kie. Ia
merasa sekujur badannya nyaman dan hangat tapi tidak bertenaga sedikitpun jua, bahkan tak
kuat menggeraklkan jari tangannya. Ia merasa di ikat dengan semacam tenaga yg kekuatannya
ribuan kati tapi badannya bebas dari perasaan sakit. Biarpun Boe Liat sendiri bukan seorang
yang sepak terjangnya boleh di puji, tapi ilmu It Yang Cie adalah warisan dari seorang ksatria.
Maka itu meskipun dapat menjatuhkan lawan, ilmu tersebut tidak mengakibatkan penderitaan.
Boe Ceng Eng menjemput pedang Wie Pek dan bekata dengan suara yg membenci
Perempuan bau! Sekarang tamatlah riwayatmu. Tapi aku tak mau menghadiahkan kebiasaan
yg enaka kepadamu. Aku hanya mau memutuskan kedua tangan dan kedua betisnya, supaya
hidup2 kau di gegares kawanan serigala. Seraya mencaci, ia mengayun pedang untuk
membabat lengan kanan si gadis dusun.
Tahan! mencegah Beo Liat sambil mencekal pergelangan tangan putrinya. Ia mengawasi
gadis dusun itu dngan berkata pula. Jika kau memberitahukan siapa yang menyuruh, aku akan
membinasakan kau tanpa siksaan. Tapi jika kau membandel huh-huh aku akan memutuskan
kaki tanganmu.
Nona itu ternyata mempunya nyali yg sangat besar. Mendengar ancaman yang hebat itu, ia
tersenym dan berkata dengan suara tenag. Kalau kau kepingin tahu juga aku terpaksa bicara
terus terang. Nona Coe Kie Tin mencintai seorang pemuda dan seorang nona lain jg mencintai
pemuda itu. Yang menyuruh aku membinasakan nona Coe Kieo tin adalah nona yang lalu itu.
Aku sebenarnya sungkan membuka rahasi. Belum habis ia bicara Boe Ceng Eng sudah jadi
kalap dan menikam dan menggunakan seantero tenaganya.
Ternyata, si gadis dusun sudah dapat menduga adanya percintaan antara Wie Pek coe Kioe tin
dan Boe Ceng Eng. Ia sudah sengaja mengatakan begitu untuk membangkitkan amarahnya
nona Boe, supaya ia bisa mati tapi disiksa.
Sinar pedang Boe Ceng Eng berkelebat bagaikan kilat. Pada detik ujung pedang hamper
menyentuh ulu hati mendadak serupa benda, yang tak bersuara menyambar dan membentur
pedang itu. Tiba tiba saja Boe Ceng Eng merasakan telapak tangannya seperti di beset dan
tanpa apapun lagi, senjatanya tebang ke atas. Tenaga benturan itu hebat luar biasa dan pedang
nona Boe jatuh ditempat yang jauhnya lebih dari dua puluh kaki.
Di tengah malam yang gelap, tak seorangpun lihat mengapa pedang itu terpental dari tangan
Boe Ceng Eng. Apa yang mereka tahu hanyalah bahwa tenang yang membenturnya sangat
menakjubkan, sehingga menduga si gadis dusun mendapat bantuan dari seorang yang
bersembunyi. Dengan kaget keenam orang itu mundur beberapa tindak dan mengawasi
kesekitarnya. Tempat itu adalah tanah lapang yg luas tanpa pohon yang dapat digunakan
untuk menyembunyikan diri. Sesudah mengawasi kesana sini beberapa lama mereka tak
melihat bayangan siapapun jua. Dengan rasa heran dan bercuriga, mereka saling memandang
tanpa mengeluarkan suara.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 615
Beberapa saat kemudian, Boe Liat berkata dengan suara perlahan. Ceng Jie, apa yg sudah
terjadi?
Pedangku seperti dipukul dengan semacam senjata rahasia yg sangat lihai, jawabnya.
Boe Liat mengawasi kesekitarnya, tapi ia tetap tidak melihat lain manusia. Ia heran bukan
main dan berkata dalam hatinya. Terus terang dia sudah kena ditotok olehku dengan It Yang
Cie. Bagaimana ia masih mempunyai tenaga yang begitu besar? Apa perempuan ini
mempunyai ilmu siluman? Ia maju mendekati dan menepuk pundak nona itu. Dengan tepukan
yang disertai Lweekang dahsyat, ia bermaksud menghancurkan tulang pundak si nona supaya
kepandaiannya musnah dan dapat dipermainkan oleh puterinya.
Pada saat telapak tangan Boe Liat hampir menyentuh pundak, tiba2 gadis dusun itu
mengangkat tangan kirinya dan menangkis. Begitu kedua tangan kebentrok, Boe Liat merasa
daatnya panas, seolah2 didorang dengan tenaga taufan atau gelombang laut yang maha
dahsyat. Sambil mengeluarkan teriakan ah! tubuhnya mengapung ke atas dan jatuh ke tempat
yang jauhnya melebihi tiga tombak. Untung jg, ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi,
sehingga begitu lekas punggungnya ambruk ditanah, begitu lekas pula ia dapat melompat
bangung. Tapi biarpun begitu ia masih merasakan sakit didadanya dan darahnya bergolak,
sehingga kepalanya pusing. Baru saja ia berdiri tegak dan mau mengatur pernapasannya, tiba2
matanya berkunang2, badannya bergoyang2 dan sekali lagi ia jatuh terguling.
Boe Ceng Eng mencelos hatinya, buru2 ia menubruk dan membangunkan ayahnya.
Biarkan ia rebah lebih lama! tiba2 Ho Thay Ciong berkata.
Nona Boe menengok dan membentak dengan gusar. Apa kau kata! Ia menganggap bahwa
dengan berkata begitu, Ho Thay Ciong mengejek ayahnya.
Darahnya bergolak dan ia harus mengaso dengan merebahkan diri, jawabnya.
Wie Pek lantas saja tersadar. Benar, katanya. Ia segera memeluk tubuh gurunya dan
merebahkan kembali diatas tanah.
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham saling mengawasi dengan perasaan sangat heran. Mereka
sudah pernah bertempur dengan gadis dusun itu dan mereka tahu bahwa meskipun begitu ilmu
silat si nona cukup tinggi. Lweekangnya belum mencapai tingkatan atas. Tapi tenaga yang
barusan merobohkan Boe Liat adalah lweekang yang sungguh2 jarang terdapat dalam dunia
ini.
Kalau mereka heran. Si gadis dusun pun lebih heran lagi. Sesudah kena ditotok ia roboh
dalam pangkuan Boe Kie tanpa bisa bergerak. Waktu pedang Boe Ceng Eng hampir mampir
di ulu hatinya, tiba2 menyambar serupa benda yang membentur senjata itu, sehingga terlepas
dari tangan nona Boe. Ia sendiri tidak tahu apa adanya benda itu. Sesaat kemudian, tiba2 ia
merasakan masuknya hawa panas di Ciok sam lie dan Yang leng coan, yaitu dua hiat di
betisnya.
Hawa panas itu terus menerjang ke How touw hiat dan Hong hiat sehingga jalan darah yang
ditotok lantas saja terbuka kembali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 616
Begitu terbuka jalan darahnya, ia bergidik. Ia mengawasi kakeknya dan melihat kedua tangan
Boe Kie sedang mencekal kedua tumit kakinya dan semacam hawa hangat masuk kedalam
badannya dari kedua kakinya itu.
Sesaat itu Boe Liat telah menghantam dengan telapak tangannya. Dengan nekad ia
mengangkat tangannya dan menangkis. Ia merasa, bahwa hancurnya tulang lengan lebih baik
dari pada hancurnya tulang pundak. Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwas tangkisannya itu
sudah membuat terpentalnya tubuh Boe Liat sampai beberapa tombak. Ia terkesiap dan
berkota dalam hatinya.
Apakah aku mendapat bantuan dari Tioe pat-koay? Apakah Tioe-pat koay seorang tokoh
rimba persilatan ini berkepandaian luar biasa tinggi?
Sesudah menyaksikan lihainya nona itu, Ho Thay Ciong tak berani mengadu tenaga. Sambil
menghunus pedang itu berkata, Aku ingin meminta pelajaran kiamhoat dari nona.
Aku tak punya pedang, kata si nona sambil tertawa.
Dengan kakinya Ho Tay Ciong menyontek pedang Boe Ceng Eng yang lantas terbang kearah
si nona yang lalu menyubitnya. Sebagai seorang Ciang Boen Jin dari sebuah partai besar,
dalam menghadapi seorang yang tingkatnya lebih muda, Ho Thay Ciong sungkan bergerah
lebih dahulu.
Kau mulailah, ia mengundang. Kau boleh menyerang lebih dulu dalam tiga jurus dan sesudah
itu, barulah aku membalas.
Tanpa sungkan2 lagi si nona lalu menikam dan Ho Thay Ciong menangkis. Trang! kedua
pedang itu patah bersama sama.
Paras muka Ho Thay Ciong pucat pias. Ia melompat mundur beberapa tindak. Sayang!
Sungguh saying! kata si nona. Ia mengerti, bahwa Boe Kie sudah memasukkan semacam
tenaga luar biasa (yaitu tenaga Kioe yang Sin kang) ke dalam tubuhnya, tapi karena ia masih
belum bisa menggunakannya, maka pedangnya sendiripun turut menjadi patah. Bila ia telah
dapat menggunakan Kioe yang Sin kang, senjatanya pasti akan tinggal utuh.
Pan Siok Ham heran tak kepalang. Bagaimana bisa begitu? tanyanya dengan suara perlahan.
Ilmu silatmu! jawabnya sang suami.
Dengan rasa penasaran nyonya itu lalu menghunus pedang. Akupun ingin meminta pelajaran,
katanya dengan suara menyeramkan.
Si nona mengangkat kedua tangannya untuk mengunjuk, bahwa ia tak punya senjata lagi.
Kau boleh menggunakan pedaang itu, kata Pan Siok Ham sambil menuding pedang Wie Pek
yang menggeletak ditempat yg agak jauh.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 617
Nona itu tahu, bahwa jika berpisahan dengan Boe Kie, ia takkan mempunya lweekang yang
begitu tinggi lagi. Maka itu, seraya bersenyum ia berkata. Biarlah aku menggunakan pedang
buntung itu saja.
Pan Siok Ham melupa daranya. Jawabnya nona itu dianggap sebagai penghinaan baginya.
Dalam gusarnya, ia tak berbuat seperti suaminya dan tak menghiraukan lagi kedudukannya
sebgai seorang cianpwee (org yg tingkatnya lebih tinggi). Dengan mendadak ia menikam
leher si nona, yang lantas saja menangkis. Nyonya itu mempunyai kegesitan luar biasa. Baru
saja tikamannya yang pertama ditangkis, tikaman kedua, yang menyambar kearah pundak
sudah menyusul. Si nona baru2 mengebas pedang buntunnya untuk melindungi pundak kiri,
tapi hampir berbareng, pedang musuh sudah menyambar pundak kanan. Dalam sekejap, Pan
Siok Ham sudah mengirim delapan tinju kilat yang susul2an dalam serangan2nya itu, ia selalu
menjaga supaya senjatanya tak terbentuk dengan senjata si nona. Sebelum menyerang dia
telah mengambil keputusan untuk menggunakan kegesitan guna mengimbangi Lwee kang si
nona.
Benar saja, makin lama si nona makin repot. Dalam hal ilmu pedang, biarpun dia tidak bisa
menandingi Pan Siok Ham, gadis dusun itu sebenarnya masih bisa bertahan dalam sedikitnya
seratus jurus. Apa mau, ia bukan saja menggunakan pedang bunting, ia juga tidak berani
berpisahan sama Boe Kie, sehingga dalam pertempuran itu, ia hanya membela diri dan tidak
bisa balas menyerang. Mendadak pedang Pan Siok Ham berkelebat bagaikan kilat dan sret!
lengan kirinaya sudah kena di gores. Nyonya itu jadi girang dan terus mengirim serangan2
berantai. Sesaat kemudian si nona mengeluarkan teriakan aduh! dan sekali ini, pundaknya
tertikam pendang.
Hai! Apa kau tidak mau membantu aku lagi? teriak si nona.
Dengan kaget Pang Sik Ham melompat mundur dan lalu mengawasi kesekitarnya. Tapi
diseputar itu tidak terdapat bayangan manusia lain.
Sambil tersenyum, ia segera menyerang lagi dengan hebatnya.
Walaupun sudah terluka, gadis dusun itu terus melawan dengan nekad. Satu kali dengan
kecepatan luar biasa, ia bisa mengelakkan serangan Pan Siok Ham. Perempuan bangsat,
tanganmy cepat jg, memuji nyonya itu.
Nenek bangsat! Tanganmu pun tidak terlalu lambat, jawab si nona yang tidak mau kalah.
Diluar dugaan, jawabnya itu membawa akibat buruk. Sebagai seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi, biarpun mulutnya berbicara tangan Pan Siok Ham bekerja terus seperti
biasa. Dilain pihak begitu ia bicara pemusatan, perhatian si nona segera jadi terpecah dan
gerakannya berubah lambat. Pan Siok Ham tentu saja sungkan menyia nyiakan kesempatan
baik itu. Dengan sekali menikam, pedangnya tempat menancap di pergelangan tangannya
nona itu, sehingga pedang yg sedang di cekalnya lantas saja terbang.
Celaka! si nona mengeluarkan seruan kaget dan hampir berbareng ujung pedang Pan Siok
Ham sudah meluncur ke bawah ketiaknya.
Sesudah orang hampir roboh, tentang Bin Koe yg sedari tadi terus menonton tanpa bergerak,
sekarang turun tangan. Tanpa menghunus pedang, dengan jurus Toe Chung bong Goat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 618
(mendorong jendela melihat rembulan), neduu telapak tangannya menghantam punggung
gadis dusun. Boe Ceng Eng jg tidak mau ketinggalan. Ia melompat dan menendang pinggang
musuhnya.
Hati si gadis dusun mencelos. Ia merasa ajalnya sudah tiba.
Mendadak mendadak saja, ia merasa sekujur badannya panas luar biasa, seolah2 dibakar.
Waktu pedang Pan Siok Ham menyambar tanpa merasa ia mengangkat tangannya dan
menyentil badan pedang dengan jarinya. Pada detik yg bersamaan punggungnya kena pulukan
Teng Bin Koen dan pinggangnya kena tendangan Boe Ceng Eng.
Tring.. Aduh!..... Aduh.
Tiga suara itu terdengar dengan berbareng. Apa yg sudah terjadi? Pedang Pan Siok Ham
patah, tubuh Teng Bin Koen dan Boe Ceng Eng jatuh terpelanting.
Ternyata pada detik yg sangat berbahaya, Boe Kie telah mengempos semangatnya dan
memasukkan seantero hawa murni ke dalam tubuh si nona. Pada waktu itu, ia sudah berhasil
mendapatkan dua bagian dari tenaga Kioe yang Sing kang dan bagian ini sudah hebat bukan
main. Sebagai akibatnya, pedang Pan Siok Ham patah, kedua tulang lengan Teng Bin Koen
hancur dan tulang kaki Boe Ceng Eng pun remuk.
Ho Thay Ciong, Boe Liat dan Wie Pek mengawasi dengan mata membelak dan mulut
ternganga.
Pan Siok Ham melemparkan pedang buntungnya di tanah Hayo kita pergi! katanya pada sang
suami, Apa kau belum cukup mendapat malu?
Baiklah, jawabnya. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka belalu tanpa
berpamitan lagi. Sambil menuntun tangan guru dan memapah adik seperguruannya, Wie Pek
pun segera meninggalkan tempat itu. Karena tulang kaki Boe Ceng Eng hancur, mereka
terpaksa jalan perlahan lahan. Hati mereka berdebar debar dan saban2 menengok kebelakang
karena kuatir dikejar oleh gadis dusun itu. Teng Bin Koen juga tidak dapat berbuat lain
daripada menyingkir dengan rasa gusar dan sakit hati yang sangat besar.
Sesudah semua berlalu, si nona tertawa terbahak bahak. Tioe Pat Koay! teriaknya. Kalau
begitu kau Ia tidak dapat meneruskan perkataannya sebab kedua matanya mendadak
berkunang2 dan ia segera roboh dalam keadaan pingsan.
Ternyata sesudah musuh kabur, Boe Kie segera melepaskan kedua kaki si nona dari
cekalannya dan dengan berbareng, semua hawa Kioe yang keluar dari tubuhnya. Dengan
demikian tubuh itu menjadi kosong secara mendadak tenaganya habis dan ia tak dapat
mempertahankan diri lagi.
Boe Kie lantas saja mengerti sebab musabah pingsannya si nona. Buru2 menekan Sie Tiok
Kong di ujung alis nona itu dan mengerahkan sin kang. Selang beberapa saat, si nona tersadar
dan perlahan2 ia membuka matanya.
Melihat dirinya sedang rebah dipangkuan Boe Kie, paras mukanya lantas saja berubah merah
dan cepat2 melompat bangun.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 619
Sekonyong2 ia membetot kumis Boe Kie dan berteriak, Tioe pat koay! Kau menipu aku! Kau
mempunyai kepandaian yg sangat lihai, tapi kau sengaja tidak mau memberitahukan
kepadaku.
Aduh aduh lepas! teriak Boe Kie.
Siapa suruh kau mendustai aku? kata si nona seraya tertawa.
Lagi kapan aku mendustai kau? Boe Kie balas menanya. Kau tidak pernah memberitahukan
kepadaku, bahwa kau mengerti ilmu silat. Akupun begitu jg.
Baiklah, sekali aku suka mengampuni kau, kata si nona. Biar bagaimanapun jua, tadi kau
sudah bisa jalan?
Belum bisa, jawabnya.
Si nona menghela napas, Benar jg kata orang siapa yg berbuat baik akan mendapat
pemabalasan baik, katanya. Jika aku tidak memikiri kau dan tidak datang lagi kesini, kau
tentu tidak bisa menolong jiwaku. Ia berdia sejenak dan kemudian berkata pula, Kalau aku
tahu bahwa kau berkepandaian lebih tinggi dari aku, aku tentu tidak merasa perlu untuk
membinasakan perempuan she-Coe itu.
Paras muka Boe Kie lantas saja berubah gusar. Aku sama sekali belum pernah meminta kan
untuk membunuh nona Coe, katanya dengan suara mendongkol.
Aduh! Kau ternyata belum dapat melupakan nona manis itu! kata si nona dengan suara
mengejek. Akulah yg bersalah. Aku sudah mencelakakan kecintaanmu.
Nona Coe bukan kecintaanku, kata Boe Kie. Dia dan aku tidak ada sangkut pautnya.
Ah, heran sekali! kata si nona. Dia sudah mencelakakan kau dan aku membinasakannya untuk
membalas sakit hatimu. Apa dengan bertidak begitu aku bersalah?
Orang yang mencelakai aku banyak jumlahnya, kata Boe Kie tawar. Jikalau mereka satu demi
satu harus dihukum mati, mereka tidak bakal terbunuh habis. Pula ada orang2 yg berniat
mencelakai aku, tetapi di pandangan mataku, mereka itu harus di kasihani. Seperti nona Coe,
dia setiap hari dirundung kekuatiran, hati nya terus berdenyutan, dia kuatir kakak misannya
tidak mau baik dengannya, dia kuatir kaka misan itu menikahi nona Boe. Orang semacam dia,
ada apakah senangnya?
Mendengar itu si gadis desa murah wajahnya.
Apakah kau menyindir aku? tanyanya gusar.
Boe Kie melengak. Ia tidak menyangka lantaran menyebut2 Coe Kioe Tin, ia membangkitkan
cemburunya nona dihadapannay ini.
Bukan, bukan, katanya cepat. Aku mau bilang sesuatu orang ada nasibnya masing2. Umpama
kata ada orang berbuat tidak benar terhadapmu lantas kau bunuh dia, itulah tidak baik.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 620
Gadis desa itu tertawa dingin.
Jikalau kau mempelajari ilmu silat bukan untuk membunuh orang, habis untuk apakah? dia
tanya.
Jikalau kita telah mempelajari ilmu silat, sahut Boe Kie, dalam suaranya, Jikalau ada orang
jahat terhadap kita, kita lawan dia.
Kagum aku, kagum terhadapmu, berkata si nona. Kiranya kau seorang, kuncu sejati,
seorangyg sangat baik hatinya!
Boe Kie tunduk, ia mengawasi nona itu. Ia merasa si nona aneh sekali, ia merasakan sikap
orang yg sangat erat hubungannya dengan ia, agaknya ia mengenalnya dengan baik.
Kau mengawasi apa? tanya si nona matanya memain.
Aku ingat ibuku, menyahut Boe Kie. Ibu sering menertawakan ayahku, yg dikatakan sebagai
orang yg sangat baik hatinya, yang menjadi seorang pelajar yg harus dikasihani sebab hatinya
sangat lemah. Selagi itu bicara itu, gerak gerimnya lagu suaranya, mirip dengan mu.
Mukanya si nona menjadi merah.
Haik au menggoda aku! tegurnya. Kau bilang aku mirip ibumu, jadi kau mirip ayahmu
Meski ia menegur, toh sinar matanya, sinar mata yang manis!!...
Oh, oh. Kata Boe Kie cepat. Langit ada diatas jikalau aku menggoda kau, biarlah langit
membunuhnya dan bumi memusnahkannya!
Nona itu mendadak tertawa.
Kau bicara gampang saja! katanya. Kenapa mesti main sumpah2?
Tepat si nona baru habis mengatakan demikian, dari arah timur utara terdengar siutan yg
nyaring dan panjang. Itulah suaranya seorang wanita. Lantas jawaban serupa, yang dtgnya
dari kejauhan. Itulah jawabannya Teng Bin Koen, yang belum pergi jauh.
Air mukanya si nona lantas saja berubah.
Kembali ada dating orang dari Go Bie Pay, katanya perlahan.
Gadis desa ini dan Boe Kie merasakan suarakan, jawaban itu membuktikan orang lebih lihai
tenaga dalamnya drpd Teng Bin Koen sebab suara itu terang dan jernih sekali. Toh orang
berada lebih jauh daripada sinona Teng.
Ketika ia mendengar jawaban itu Teng Bin Koe menghentikan tindakannya.
Boe Kie dan si gadis dusun memandang kearah timur utara itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 621
Cuaca sudah mulai terang, maka disana terlihat bayangan seorang dengan pakaian hijaunya.
Berjalan diatas salju, orang itu bagaikan melayang laying. Dia mendekati Teng Bin Koen,
untuk terus bicara satu pada lain, kemudian dia menendang kepada Boe Kie dan si nona terus
dia menghampiri. Dia bertindak dengan tindakan ringan dan jarak tindakannya itupun tidak
lebar. Ketika ia sudah mendatangi kira2 empat atau lima tomabk, terlihat tegas wajahnya ygn
cantik sekali dan bersih, dan usianya belum lewat tujuh atau delapan belas tahun.
Dalam herannya Boe Kie berpikir, mendengar suara siulannya tadi dan menyaksikan
ringannya tubuhini, dia sebenarnya lebih tua dari Teng Bia Keon, tidak tahunya dia justru
lebih muda bahkan rupanya lebih muda dari ia sendiri.
Nona itu membawa pedang di pinggangnya, senjata itu, tapi tidak dihunus. Dia bertindak
mendekati dengan tangan kosong.
Cioe Soe moay, hati hati! Teng Bie Koen berkata memperingati. Badak setan itu
bekepandaian rada sesat!
Nona itu mengangguk.
Jiwi, kamu she apa dan nama siapa? ia menanya halus. Ia memanggil jiwi berdua nona atau
tuan, kepada Boe Kie dan gadis desa. Kenapa jiwi melukai siecoeku itu?
Selagi orang mendekat Boek Kie mengawasi terus. Ia lantas merasa bahwa ia pernah kenal
nona itu. Ketika ia mendengar suara si nona, lantas ia ingat, maka katanya didalam hati, Ah
kiranya dia Coe Cie Jiak yang aku pernah ketemukan disungai Han Soei! Tay soehoe
membawa dia ke Boe Tong san, kenapa dia sekarang masuk dalam partai Gio Bie Pay!
Karena memikir begini Boe lantas ingat juga Thio Sam Hong. Ia lantas merasakan dadanya
panas. Hanya sejenak ia lantas berpikir pula, Thio Boe Kie telah mati! srkarang ini akulah
seorang dusun, si Can A Goe yang sangat jelek rupanya! Asal aku tidak bisa menyambarkan
diri mungkin aku bakal menghadapkan malapetaka yg tak ada habisnya! Tidak, di depan siapa
pun, tdk dapat aku memperlihatkan diriku yg asli, supaya ayah dan ibuku jangan
berpenasaranterus didunia baka!
Sekejap ia menjadi ingat pula ayah angkatnya berdiam diri dipulau mencil yg tak dikenal dan
tentang ayah dan ibunya yang sudah binasa penasaran.
Selagi Boe Kie berpikir itu, si gadis desa menyahuti dengan suara dingin. Sembari berkata itu
dia tertawa.
Soecie kau itu sudah menghajar punggungku dengan kedua tangannya dengan pukulan Toe
Chung Bong Hoa, ia kata. Dia memukul aku, lantas tangannya patah sendirinya. Apakah
waktu itu aku pasti disesalkan dan dipersalahkan? Coba kau tanya soecie mu apakah pernah
aku membalas memukul dia sekalipun satu kali saja?
Cio Cie Jiak berpaling kepada kakak seperguruannya itu, romannya menanya.
Teng Bin Koen tidka memberi jawaban, hanya dengan gusar dia kata: Kau bawalah dia
berdua kepada suhu, supaya suhu yang memberi hukuman kepadanya!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 622
Mendengar itu Cie Jiak berkata, Jika mereka ini bertindak keliru bukan dengan sengaja,
menurut pandanganku baiklah urusan dihabiskan saja. Lebih baik kita menjadi sahabat2.
Teng Bin Koen gusar.
Apa? dia berteriak. Apakah kau berbalik untuk membantui orang luar?
Melihat romannya Teng Bin Koen itu, Boe Kie ingat peristiwa itu malam ketika Pheng Eng
Giok Hweeshio kena dikeroyok didalam rimba, karena mana Kie Siauw
Hoe menjadi bentrok sama Teng Bin Koen ini. Sekarang rupanya peristiwa ini mengulangi
diri, Teng Bin Koen kembali mendesak, memaksa adik seperguruannya ini, untuk bertindak
sewenang2 dan kejam. Karena ini, ia menjadi berkuatir untuk Cie Jiak.
Agaknya nona Cioe sangant menurut kepada sucinya itu, ia sangat menghormati. Sembari
menjura ia berkata, Baiklah siaomoi menurut kata suci, tidka bernai siaomoi membantah nya.
Bagus! kata Bin Koen. Sekarang kau boleh bekuk budak itu, kau patahkan kedua tangannya!
Baik! menyahut adik seperguruan itu. Tolong suci berjaga2 Ia lantas berpaling kepada gadis
dusun, untuk berkata, Maaf, siaomoi berlaku kurang aja, ingin ku menerima beberapa jurus.
Gadis desa itu tertawa dingin. Tak usah banyak pernik! katanya. Dengan sebat sekali, ia lantas
menyerang, beruntun 3 kali. Sebab serangannya yang pertama dan kedua tidak memberikan
hasil.
Cie Jiak main mundur, tangan kanannya menangkis, tangan kirinya mencoba menangkap.
Itulah pembelaan diri sambil menyerang. Dia bergerak lincah sekali.
Boe Kie menonton, ia menjadi kagum. Didalam ilmu dalam, ia sudha mencapai puncak
kemahiran, tetapi di dalam hal ilmu silat, ia masih ketinggalan. Sekarang ia melihat kedua
nona itu bertempur cepat dan hebat. Lihati tangan Bian Ciang dari Cie Jiak, tetapi aneh gerak
gerik si gadis desa. Ia kagum berbareng berkuatir. Sebenarnya ia tidak mengharap siapa jg
yang menang, ia hanya ingin dua2nya tidak sampai terluka.
Dengan lekas orang sudah bertarung lebih dari duapuluh jurus, sekarang mereka itu sama
sama memasuki babak yg berbahaya. Mendadak si gadis desa berseru. Kena! benar saja ia
dapat menghajar pundak Cie Jiak. Sebaliknya si nona Cioe dapat menjambret baju orang
hingga robek. Setelah itu, keduanya sama-sama melompat mundur, muka merekapun samasama
merah.
Sungguh suatu ilmu menangkap yang hebat! si gadis desa berseru. Sebenarnya ia hendak
maju pula, tapi ia lantas melihat lawannya mengerutkan alis, tangannya meraba dadanya,
tubuhnyapun terhuyung dua kali, hampir roboh.
Boe Kie kaget hingga ia berteriak, Kau kau. Nyata sekali besar perhatiannya terhadap nona
marga Cioe itu.
Cie Jiak heran melihat pria itu, yang rambut dan kumisnya panjang, menaruh perhatian
sedemikian rupa terhadapnya.
Soe-moay, kau kenapa? Bin Koen bertanya heran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 623
Dengan tangan kirinya, Cie Jiak memegang pundak sang Soe-cie, kepalanya digeleng.
Bin Koen heran kemudian ia menjadi kaget. Tadi ia dikalahkan si gadis desa, ia penasaran
ingin menuntut balas, maka senang hatinya sang Soe-moay itu, adik seperguruan, sudah
datang kepadanya. Ia percaya Soe-moay ini bakal berhasil melampiaskan sakit hatinya itu. Ia
pernah mendengar guru mereka memuji sang Soe-moay sebagai murid yang cerdas, yang
majunya pesat, sehingga Cioe Cie Jiak- diharap nanti dapat mengangkat pamor rumah
perguruan mereka, maka itu sekarang, ia memaksa sang Soe-moay menempur si gadis desa. Ia
berlega hati melihat Cie Jiak dapat berkelahi hingga dua puluh jurus lebih. Itu tanda Soemoay
itu sudah lebih menang darinya, maka ia heran melihat akhir pertandingan itu, bahkan
ia terkejut waktu ia merasa cekalan tangan Soe-moay di pundaknya. Tangan itu seperti tidak
ada tenaganya. Itulah tanda bahwa sang Soe-moay telah terluka. Dari kaget ia menjadi takut,
takut si gadis desa nanti merangsak untuk menyerang pula.
Mari kita pergi! katanya cepat. Ia membawa Soe-moay itu, untuk berlalu dengan cepat ke arah
timur laut tadi.
Si gadis desa mengawasi kepergian lawannya lantas ia menoleh kepada Boe Kie. Ia tertawa
dingin. Hai, si muka jelek tidak keruan! katanya mengejek, Melihat nona cantik, semangatmu
terbang hingga keluar langit!
Boe Kie berniat membantah ketika ia lantas berpikir. Jikalau aku tidak memperlihatkan jati
diriku, urusan sukar dibuat jelas. Tapi baiklah aku tetap jangan bicara! Maka ia menjawab,
Perduli apa dia cantik atau tidak? Apa kaitannya dengan aku? Aku justru menguatirkan kau,
aku takut kau nanti terluka.
Mendengar itu, si nona menjadi girang. Perubahan sikapnya cepat.
Omonganmu ini benar-benar atau dusta? dia bertanya.
Sebenarnya aku menguatirkan kalian berdua, piker Boe Kie, tapi ia menjawab, Untuk apa aku
mendustai kau? Aku hanya tidak menyangka dalam Go Bie-pay ada nona demikian muda tapi
ilmu silatnya sudah mahir sekali.
Hebat, ya hebat! kata si gadis desa.
Boe Kie mengawasi ke arah Cie Jiak. Tadi nona itu datang dengan lincah, tapi sekarang pergi
dengan langkah terseok-seok. Ia lantas ingat bagaimana dulu, di dalam perahu di sungai Han
Soet, si nona menyuapi ia, meminumkan air, bagaimana ia diberikan sapu tangan untuk
menyusut air matanyaItulah budi si nona. Maka mengingat begitu, ia berdoa agar luka si nona
tidak berbahaya
Tiba-tiba gadis desa tertawa dingin.
Tak usah kau menguatirkan dia! katanya nyaring. Dia tidak terluka sama sekali! Bahkan aku
bilang dia hebat! Bukan ilmunya yang aku maksud, tapi kecerdikannya, selagi ia masih
berusia demikian muda!
Boe Kie heran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 624
Apakah dia tidak terluka? ia tanya.
Memang tidak! Ketika tanganku mengenai pundaknya, dari pundak itu menolak keluar aliran
tenaga dalam yang membuat tanganku mental kembali. Jelaslah dia telah mempelajari ilmu
Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay. Dan membuat tanganku gemetaran dan kesemutan! Dia
mana terluka?
Boe Kie menjadi girang. Ia berkata dalam hatinya, Kalau begitu, Biat Ciat Soe-thay
menghargai nona itu. Dia rela menurunkan ilmu Kioe Yang Kang dari Go Bie-pay, sedangkan
ilmu itu adalah ilmu pelindung untuk partainya.
Tengah ia berpikir, Boe Kie merasa kupingnya sakit. Tanpa setahunya, telinganya itu telah
ditampar si nona, pipinya juga kena, sehingga kuping dan pipinya menjadi merah dan bengap.
Kaukau bikin apa? tegurnya gusar.
Nona itu mendongkol, katanya sengit. Melihat orang demikian cantik semangatmu terbang
naik keluar langit! Aku bilang dia tidak terluka, lantas kau jadi kegirangan! Kenapa?
Jika benar aku girang untuknya, apa kaitannya dengamu? Boe Kie balik bertanya.
Tangan si nona melayang pula, tapi Boe Kie dapat berkelit mundur.
Nona itu menjadi gusar dan berseru.
Kau telah bilang bahwa kau telah bakal menikahi aku! Belum setengah hari lewat, pikiranmu
sudah berubah! Kau sudah kepincut nona lain!
Toh kau sendiri yang bilang aku tidak cocok untukmu? balas Boe Kie. Kau pun bilang bahwa
di dalam hatimu ada seorang kekasih lainnya, kau tak dapat menikah denganku!
Itu benar! Tapi kau telah berjanji padaku bahwa seumur hidupmu kau akan setia padaku, kata
si nona pula.
Tentu sekali, apa yang telah aku bilang akan kupegang, kata Boe Kie pula.
Kalau begitu? kata si nona gusar, Kenapa setelah melihat nona cantik kau tak ada semangat
seperti ini? Melihat lagakmu ini bagaimana orang tidak mendongkol?
Mau tidak mau, Boe Kie tertawa.
Semangatku tidak hilang! katanya.
Si nona masih berkata sengit, Aku larang kau menyukai dia! Aku larang kau memikirkan dia!
Aku tidak bilang bahwa aku menyukai dia, kata Boe Kie. Tapi kau, di dalam hatimu mengapa
kau senantiasa mengingat seseorang lain. Kau mengingatnya hingga kau tidak melupakannya?
Sebab aku kenal orang itu lebih dulu daripada aku kenal kau. Coba aku mengenal kau terlebih
dahulu, pasti seumur hidupku, aku selalu baik terhadap kau seorang, tidak akan mencintai
orang lain lagi. Ini dia yang dibilang, ikut satu orang hingga akhir hayatnya. Jikalau satu
orang mempunyai dua atau tiga pikiran, Tuhan juga tidak dapat menerimanya?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 625
Aku kenal nona Cioe jauh lebih lama daripada aku kenal kau, kata Boe Kie di dalam hati. Ia
tidak dapat mengatakan itu, maka ia bilang, Jikalau kau baik denganku seorang, aku juga akan
baik dengan kau seorang, tetapi jikalau di dalam hatimu memikirkan orang lain, aku pun
dapat memikirkan orang lain!
Nona itu terdiam, beberapa kali ia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba batal. Mendadak
kedua matanya mengalirkan air, lantas ia berpaling ke arah lain. Tanpa sepengetahuan Boe
Kie, ia menghapus air matanya itu.
Boe Kie menjadi kasihan. Ia mencekal tangannya.
Kita bicara tidak keru-keruan begini, untuk apa? ia bilang. Beberapa hari lagi kakiku sembuh,
kita berdua boleh pergi pesiar memandangi keindahan sang alam. Tidak baguskah itu?
Nona itu menoleh, wajahnya berduka.
Goe koko, aku mau minta sesuatu, katanya sabar. Aku minta kau jangan gusar.
Apakah itu? balik tanya Boe Kie. Asal yang aku sanggup, tentu aku akan melakukannya
untuk kau.
Jikalau kau berjanji tidak akan gusari aku, baru aku mau bicara.
Baik, aku tidak akan gusar.
Nona itu ragu-ragu. Katanya sesaat kemudian. Kau bilang di hatimu tidak gusar, kalau di
mulut bilang tak gusar.
Baiklah, di dalam hatiku juga aku tidak gusar.
Nona itu lantas menggenggam keras.
Goe koko! Ia berkata sungguh-sungguh. Aku datang dari Tionggoan yang berlaksa li sampai
di wilayah Barat ini, maksudku ialah untuk mencari dia. Mulanya aku masih dapat mendengar
sedikit kabar tentangnya, lalu setibanya di sini ia bagaikan sebuah batu yang tenggelam dalam
lautan besar, sedikitpun tak kudengar lagi kabarnya. Maka itu, kalau nanti kakimu sudah
sembuh aku minta kau membantuku mencari dia, sesudah itu baru aku menemani kau pesiar
ke gunung dan sungai! Tidakkah ini bagus?
Boe Kie tidak dapat menahan rasa tidak senangnya, hingga ia mengeluarkan suara di hidung.
Hmm.
Kau sudah menerima baik, kau sudah berjanji tidak akan gusar, kata si nona. Apakah ini
bukan tandanya gusar?
Baiklah, aku nanti membantu kau mencari dia! kata Boe Kie.
Kembali si nona girang secara mendadak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 626
Goe koko, kau baik sekali, dia berseru. Lantas ia memandang jauh ke depan, ke arah di mana
langit dan bumi bertemu, hatinya bergetar. Dengan perlahan dia berkata, Jikalau nanti kita
dapat menemukan dia, dia akan berpikir bahwa aku telah mencari dia lama sekali, dia tidak
akan mengusir aku. Apa yang dia bilang, aku akan melakukannya. Pendek kata, aku akan
turut segala perkataannya!
Sebenarnya kekasihmu itu ada kebaikkan apa? tanya Boe Kie. Kenapa kau sampai selalu
memikirkannya saja?
Ditanya begitu, si nona tertawa.
Apa kebaikkannya? katanya. Mana dapat aku menerangkan? Goe koko, aku tanya apakah kita
dapat mencari dia? Umpama kata kita dapat mencari, apakah dia bakal mencaci dan
memukulku?
Tidak senang Boe Kie melihat orang demikian tergila-gila, akan tetapi ia pun tidak mau
membuatnya tidak bergembira, maka ia berkata perlahan, seperti bersenandung. Asal hati
manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti orang dapat saling
bertemu!
Mulut mungil si nona bergerak perlahan, air matanya berlinang. Ia mengulangi dengan
perlahan. Asal hati manusia keras bagaikan emas, di atas langit atau di dalam dunia pasti
orang dapat saling bertemu.
Boe Kie mendengar suara si nona, katanya di dalam hati. Nona ini demikian tergila-gila
terhadap kekasihnya, jikalau di dalam dunia ini ada seorang yang demikian memikirkan aku,
biar dalam hidupku lebih menderita lagi aku rela.
Ia memandang ke arah timur laut, di atas salju ia melihat tapk kakinya Cie Jiak dan Bin Koen,
ia melamun pula. Jikalau tapak kakinya Bin Koen itu tapak kakiku, dapat berjalan bersama
nona Cioe.
Ia terbangun dari lamunannya dengan kaget. Mendadak ia mendengar suara keras dari si nona.
Hayo! Lekas! Mari kita pergi. Kalau terlambat, nanti tak keburu!
Apa? tanya Boe Kie masih gelagapan.
Nona muda dari Go Bie-pay itu tidak mau bertempur sama aku, kata si nona. Ia berpura-pura
terluka, tetapi lain dengan Teng Bin Koen, dia bilang dia mau menangkap kita untuk dibawa
kepada gurunya. Itu berbahaya. Mestinya Biat Coat Soe-thay berada di dekat sini. Pendeta
wanita bangsat yang tua itu paling mau menang sendiri, mana bisa dia tidak datang kemari?
Boe Kie terkejut, ia pun kuatir. Ia ingat kekejamannya Biat Coat Soe-thay ketika ia menghajar
mati Kie Siauw Hoe dengan sebelah tangannya.
Memang dia sangat hebat, kita tidak dapat melawannya, katanya.
Apakah kau pernah bertemu dengan dia?
Bertemu, itulah belum, tapi dia ketua Go Bie-pay, dia bukan sembarangan orang.
Nona itu mengerutkan alis. Hanya sebentar, ia lantas bekerja. Ia mengumpuli beberapa kayu
yang kuat, ia ikat itu dengan tali babakan pohon. Segera setelah selesai, membuat semacam
kursi bagaikan kereta. Tanpa bilang apa-apa ia lantas menggendong Boe Kie, untuk duduk di
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 627
dalam kursi itu, yang ujungnya diikatkan tali panjang, sesudah itu ia terus tarik bawa pergi
berlari-lari! Kencang larinya.
Sambil duduk di kereta salju, Boe Kie mengawasi gadis desa yang tabiatnya aneh itu. Dia lari
dengan lincah. Dia lari terus menerus, tak hentinya sampai kira-kira empat puluh li. Sama
sekali tidak terdengar nafasnya menghela. Ia kagum akan kemahiran ilmu ringan tubuh si
nona itu. Tapi ia merasa tidak enak hati.
Eh, berhenti dulu! katanya, Kau beristirahatlah!
Nona itu tertawa, ia menyahuti, Siapa eh, eh? Apakah aku tidak punya nama?
Kau tidak mau memberitahukan namamu, apa yang aku bisa? Kau menghendaki
memanggilmu si nona jelek, tapi aku merasa kau bagus dilihat.
Nona itu tertawa, lalu berhenti berlari. Dia menyingkap rambutnya.
Baiklah, sekarang aku memberitahukan kepadamu! katanya. Taka pa aku bilang padamu. Aku
dipanggil Coe Jie.
Coe Jie! Coe Jie! kata Boe Kie. Sungguh benar satu anak mustika!
Fui! nona itu meludah. Namaku bukannya Coe dari Tin Coe yang berarti mutiara, hanya Coe
dari Tin-coe, yaitu laba-laba!
Boe Kie tercengang.
Mana ada orang yang pakai huruf Coe untuk namanya? katanya. Ia heran nona itu memakai
nama Coe itu, hingga ia menjadi Coe Jie (anak Coe atau si Coe).
Itu justru namaku! kata si nona. Umpama kata kau takut, nah, tak usahlah kau memanggilnya!
Apakah itu nama pemberian ayahmu? Boe Kie bertanya.
Jikalau ayahku yang memberikannya, kau piker, apakah kau kira aku suka menerimanya? si
nona membalas, Ibuku yang memberikannya. Ibu mengajarkan ilmu silat Cian Coe Cit-hoe
choe, maka ia bilang, aku baiknya memakai nama ini.
Terkesiap Boe Kie mendengar disebutnya ilmu silat Cian Coe Ciat-hoe choe itu.
Aku mempelajari itu dari kecil, si nona menjelaskan tanpa diminta, Sampai sekarang aku
belum dapat menyempurnakan. Jikalau aku sudah mahir maka tak usahlah kita takut pula
pada Coat Soe-thay si pendeta wanita bangsat itu. Maukah kau melihatnya?
Sembari berkata begitu, Coe Jie merogoh ke dalam sakunya, untuk menarik keluar sebuah
kotak dari emas, yang ia terus buka tutupnya dan di dalam itu lantas terlihat dua ekor labalaba,
yang tubuhnya berkotak-kotak. Punggung laba-laba itu bertitik-titik belang, bertotolan
seperti bunga sulaman. Yang aneh pula kalau biasanya berkaki delapan, kedua binatang ini
berkaki masing-masing dua belas.
Boe Kie terkejut. Mendadak ia ingat Tok Kang, Kitab Racun karangannya Ong Lan Kouw. Di
dalam kitab itu antaranya ada ditulis. Laba-laba itu ada yang belang. Itulah yang beracun
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 628
sekali. Laba-laba dengan sepuluh kaki ialah yang paling beracun tak ada bandingan, siapa
kena digigit dia tak akan ketolongan lagi. Kali ini laba-laba berkaki dua belas pasti mereka
lebih beracun daripada yang kakinya sepuluh. Sebab di dalam kitab tersebut tidak ada disebutsebut.
Si nona ketawa melihat kawannya ketakutan.
Kau ahli, kau tahu kegunaannya laba-laba mustika ini! ia berkata, Kau tunggu sebentar!
Ia simpan kotaknya itu lantas ia lari menghampiri sebuah pohon besar, untuk lompat naik ke
atasnya. Di situ ia berdiam lama di cabang yang tertinggi, untuk memandang sekitarnya. Ia
seperti melihat atau mencari sesuatu. Setelah itu ia lompat turun lagi.
Mari kita pergi pula barang selintasan, ia berkata. Perlahan-lahan saja kita bicara tentang labalaba.
Ia lantas menarik pula kereta saljunya bermuatan manusia. dia berlari-lari kira-kira tujuh
atau delapan li, hingga mereka tiba di sebuah lembah. Di sini ia turunkan Boe Kie dari kereta
istimewanya itu, sebagai gantinya, dia memuat beberapa buah batu besar. Lantas ia menarik
pula, berlari-lari. Akhirnya ia lari ke tepi jurang, di situ ia berhenti dengan tiba-tiba, keretanya
dilepaskan, maka kereta itu bersama batunya terjun ke dalam jurang yang dalam, terdengar
suara berisik dari jatuhnya kereta.
Boe Kie heran, ia mengawasi kelakuan nona itu. Ketika ia melihat ke salju, tempat yang tadi
menjadi jalanan mereka, ia mendapatkan dua baris tapak kereta salju itu. Ia cerdas dan ia
lantas mengerti. Maka di dalam hatinya ia berkata.
Nona ini sangat cerdik. Jikalau Biat Coat Soe-thay menyusul kita, setibanya di sini, tentu dia
bakal menyangka bahwa kita jatuh mati ke dalam jurang itu.
Coe Jie lantas kembali.
Mari naik ke atas punggungku! ia berkata kepada kawannya, di depannya ia berjongkok.
Kau hendak menggendong aku? tanya Boe Kie, Tubuhku berat, kau bakal sangat letih.
Nona itu mengawasi, matanya melotot.
Kalau aku letih aku pasti bisa tahu? ujarnya.
Boe Kie terdiam, ia naik ke punggung nona itu, kedua tangannya merangkul leher si nona
perlahan-lahan tanpa bertenaga.
Apa kau takut merangkul aku keras-keras hingga mati tercekik? kata nona itu tertawa. Kau
merangkul begini pelan dan kakimu menjepit orang enteng sekali, kau membuat leherku geli
saja!
Boe Kie yang polos, melihat kepolosan si nona ia menjadi girang. Ia lantas merangkul eraterat
dan kedua kakinya menjepit keras.
Mendadak saja si nona bergerak, untuk melompat naik ke atas pohon.
Pohon itu mengarah ke arah barat, di sana terdapat barisan pohon lainnya. Bagaikan kera
gesit, dengan cepat nona itu berlompatan dari pohon yang satu ke pohon yang lain, untuk jauh
meninggalkan tempat di mana barusan singgah.
Boe Kie kagum bukan main. Nona itu bertubuh kecil, tapi nyata dia kuat sekali. Tubuhnya
dapat dibawa berlompatan dan berlari-lari dengan ringan. Setelah melewati kira-kira delapan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 629
puluh pohon, hingga mereka sudah pergi jauh. Baru nona itu melompat turun, hingga
sekarang mereka berada di pinggiran sebuah gunung. Di situ Boe Kie diturunkan dengan hatihati.
Di sini kita membangun gubuk kerbau! kata nona itu tertawa, Tempat ini baik!
Gubuk kerbau? Boe Kie heran, Untuk apakah gubuk kerbau?
Si nona tertawa.
Memang gubuk kerbau! katanya. Gubuk untuk menempatkan seekor kerbau yang besar!
Bukankah kau bernama A Goe, si kerbau?
Boe Kie tersentak, lantas ia pun tertawa. Nona itu sedang bergurau. Memang namanya A Goe,
berarti kerbau.
Bila begitu, tak usahlah, ia berkata. Empat atau lima hari lagi, kakiku tentu sudah sembuh
banyak, aku dapat berjalan meskipun dipaksakan.
Hm, dipaksakan! kata si nona, tersenyum. Kau sudah jadi si jelek tidak karuan, kalau nanti
kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat?
Habis berkata, si nona kembali bekerja. Dengan cabang pohon yang berdaun, ia menyapu
salju di batu gunung.
Mengertilah Boe Kie bahwa si nona sangat memperhatikannya. Itulah bukti dari kata-katanya:
kalau nanti kaki kerbaumu pincang, apa itu bagus dilihat? Tanpa terasa hatinya jadi tergerak.
Iapun lantas mendengar nona itu berjanji perlahan, berjanji sambil bekerja. Dia tidak usah
membuang waktu lama akan dapat membangun gubuk yang beratap alang-alang. Gubuk itu
cukup besar untuk mereka berdua bernaung di dalamnya.
Tapi Coe Jie masih bekerja terus. Sekarang ia mengangkut salju tak hentinya. Ia menutup
gubuk dari atas atap, lalu ke bawah di sekitarnya. Di lain saat, dari tempat jauh gubuk itu
tidak kelihatan lagi, kecuali sebagai gundukan salju.
Kembali Boe Kie menjadi kagum.
Habis bekerja, Coe Jie mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut keringatnya. Setelah
bekerja begitu berat, tubuhnya kepanasan hingga ia mengeluarkan peluh. Namun ia tidak
duduk beristirahat.
Kau tunggu di sini! katanya. Aku hendak pergi mencari makanan!
Kau beristirahat dulu, Boe Kie berkata. Aku belum lapar, kau boleh menunggu sebentar lagi.
Kau terlalu letih.
Nona itu mengawasi.
Jikalau kau hendak memperlakukanku dengan baik kau harus sungguh-sungguh baik, dia
berkata. Manis di mulut saja buat apa? Lantas ia pergi berlari memasuki hutan. Boe Kie
terpaksa berdiam. Ia merebahkan dirinya di batu gunung, yang terkurung gubuknya itu. Ia
sekarang mempunyai kesempatan untuk memikirkan kelakuan si nona yang polos itu, yang
suaranya halus, yang gerak-geriknya genit. Saking polosnya nona itu gampang gusar.
Mestinya gerak-gerik itu dipunyai seorang nona cantik, tetapi dia berwajah jelek sekali. Tapi
ia lantas ingat kata-kata ibunya di saat hendak menghembuskan nafas terakhir. Kata ibu,
Wanita itu, makin cantik makin pandai dia menipu orang maka terhadap wanita cantik kau
harus semakin berhati-hati menjaga diri!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 630
Coe Jie jelek, tapi dia baik sekali, pikirnya.
Aku mempunyai niat mengambil dia sebagai kawan hidupku, tapi dia mempunyai pacar
sendiri jadi tidak menaruh hati padaku.
Tanpa terasa, lama juga Boe Kie berpikir, lantas ia melihat si nona kembali dengan tangannya
menenteng dua ekor ayam hutan. Tanpa bicara nona itu bekerja menyalakan api, membakar
ayam itu, hingga mereka mencium bau yang wangi, yang membangkitkan selera makan.
Mari makan! kata si nona akhirnya. Ia memberikan seekor pada kawannya.
Tanpa sungkan Boe Kie makan ayam itu. Ia pun makan dengan cepat.
Ini masih ada, kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan sisa dua potong kaki ayam.
Boe Kie malu hati, hendak ia menolak. Tapi si nona gusar.
Kalau mau makan, makanlah! katanya ketus. Siapa berpura-pura baik terhadapku, mulutnya
lain hatinya lain, nanti kita tikam tubuhnya hingga berlubang!
Tanpa banyak bicara Boe Kie makan ayam itu. Kemudian, untuk mencuci mulutnya, ia pakai
salju tebal sebagai air. Lengan tangan bajunya menyusut kering mulutnya berikut mukanya.
Kebetulan Coe Jie berpaling ketika ia melihat muka orang, dia tersentak kemudian
mengawasi, Boe Kie heran, ia menjadi curiga.
Kenapa? ia bertanya.
Usiamu berapa? tanya si nona tanpa menjawab.
Baru dua puluh tahun tepat.
Ah, kau lebih tua dua tahun daripada aku. Mengapa kumismu sudah tumbuh begitu panjang?
Boe Kie tertawa.
Dari kecil aku hidup sendirian di gunung, sahutnya, Belum pernah aku ketemu orang, maka
itu aku tidak berpikir untuk cukur.
Coe Jie merogoh sakunya untuk mengeluarkan sebilah pisau kecil yang bergagang emas.
Mari! katanya. Lantas dengan memegangi muka orang, ia mulai mencukur.
Boe Kie diam saja. Ia merasa pisau yang tajam itu mencukur kumisnya. Ia merasakan juga
tangan yagn halus dan lemas dari si nona. Tanpa terasa, hatinya dag dig dug
Habis mencukur kumis dan janggut, Coe Jie mencukur terus tenggorokan. Tiba-tiba ia tertawa
dan berkata, Asal aku menggunakan sedikit saja tenaga, aku bisa memotong lehermu ini,
maka terbanglah jiwamu! Kau takut tidak?
Mati atau hidup, aku terserah pada kau, nona, sahut Boe Kie. Mati di tanganmu, menjadi
setanpun aku senang!
Coe Jie membalik pisaunya, dan menekan keras ke leher. Mendadak ia membentak, Nih,
jadilah kau setan yang senang!
Boe Kie kaget, tak sempat ia melawan. Tapi ia tak merasakan sakit, maka ia tersenyum.
Senangkah kau? tanya si nona tertawa.
Pemuda itu tertawa, ia mengangguk. Baru ia tahu bahwa ia dipermainkan.
Habis mencukuri muka orang, Coe Jie mengawasi. Ia bengong saja. Beberapa lama, lalu
terdengar helaan nafasnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 631
Eh, kau kenapa? tanya Boe Kie heran.
Nona itu tak menyahuti, ia lantas memotong rambut orang, untuk dibikin sedikit pendek,
setelah itu ia membuat konde. Sebagai tusuk kondenya, ia meraut cabang pohon.
Diriasi begitu, walaupun pakaiannya butut, Boe Kie tampak cakap dan gagah.
Lagi-lagi si nona menghela nafas.
Goe koko, katanya perlahan, kagum. Aku tidak sangka, kau sebenarnya berwajah begini
tampan.
Boe Kie cepat menyahut, nona itu tentu menyesali wajahnya sendiri, maka ia berkata, Di
dalam dunia ini, apa yang bagus, di dalamnya suka mengeram apa yang jelek. Burung merak
begitu indah bulunya tapi nyalinya beracun. Jengger burung boo yan merahpun bagus sekali
tapi racunnya bukan main. Demikian binatang lainnya, seperti ular, bagus dilihatnya tapi
jahatnya berlebihan. Wajah tampan apa faedahnya? Yang penting hatinya baik.
Mendengar itu si nona tertawa dingin.
Hati baik apa faedahnya? ia tanya. Coba kau jelaskan!
Ditanya begitu, Thio Boe Kie tidak segera dapat menjawab. Dia tersentak sejenak.
Siapa berhati baik, dia tak dapat melukai orang, katanya kemudian.
Tidak mencelakai orang apakah kebaikannya? tanya Coe Jie.
Jikalau kau tidak membunuh orang maka hatimu menjadi tenang, Boe Kie menjelaskan.
Jika aku tidak mencelakai orang, hatiku justru tidak tenang, kata si nona. Kalau aku
mencelakai orang hingga hebatnya bukan kepalang hatiku barulah tenang dan girang.
Boe Kie menggelengkan kepala. Itu artinya kau merampas peri keadilan! katanya.
Si nona ketawa dingin.
Kalau bukan mencelakai orang, apa gunanya aku belajar ilmu Cian Coe Ciat-hoe coe?
katanya. Kenapa aku mesti menyiksa diri, hingga menderita tak habisnya? Apa itu untuk
main-main saja!
Habis berkata ia mengeluarkan kotak kemalanya, membuka tutupnya dan memasukkan kedua
telunjuknya ke dalam kotak tersebut.
Sepasang laba-laba belang dalam kotak bergerak perlahan-lahan, lantas mereka menggigit
kedua telunjuk itu. Si nona menarik nafas dalam-dalam, kedua lengannya gemetaran,
tandanya ia mengerahkan tenaga dalamnya melawan isapan laba-laba itu. Kalau si laba-laba
mengisap darah si nona, maka si nona menyedot masuk racun kedua binatang itu ke dalam
darahnya.
Boe Kie mengawasi saja. Ia melihat wajah si nona bersungguh-sungguh, di kedua pelipisnya
muncul warna hitam, lantas nona itu mengertak gigi, tandanya ia menahan sakit. Selama
sejenak, dari hidungnya keluar keringat menetes.
Sekian lama Coe Jie melatih ilmu itu. Sesudah kedua laba-laba mengisap puas darahnya,
keduanya lantas melepaskan gigitannya, merebahkan dirinya untuk terus tidur pulas.
Cahaya hitam di pelipis Coe Jie lenyap dengan cepat, kulitnya menjadi segar kembali. Dia
menghela nafas, Boe Kie merasakan hawa nafas itu berbau harum, hanya berbeda, ia merasa
kepalanya pusing mau pingsan. Itulah tandanya hawa itu beracun hebat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 632
Coe Jie yang meram sejak mula, membuka kedua matanya. Ia tersenyum.
Sampai bagaimana latihan itu baru sempurna? tanya Boe Kie.
Jilid 34______________
Setiap laba laba ini, menyahut si nona, mestinya tubuhnya dari belang menjadi hitam, dari
hitam menjadi putih. Dengan begitu habislah racunnya dan mati dengan sendirinya. Racunnya
masuk dalam telunjukku. Untuk menjadi sempurna, aku mesti menghabiskan seribu laba laba.
Untuk mencapai puncak kesempurnaan, aku harus menghabiskan lima ribu sampai selaksa
ekor masih belum cukup.
Boe Kie heran, hatinya jeri.
Dari mana didapatkan begitu banyak laba laba belang? tanyanya.
Di satu pihak dia mesti dipelihara, supaya dia dapat beternak, menyahut Coe Jie, Dilain pihak
dia mesti dicari di temapt kehidupannya.
Boe Kie menghela nafas.
Dikolong langit terdapat banyak sekali ilmu kepandaian, mengapa mesti menyakinkan yang
begitu beracun? katanya.
Si nona tertawa dingin, Memang amat banyak ilmu kepandaian di kolong langit ini, tetapi
tidak ada satu yang dapat melawan Ciat hoe cioe ini. katanya. Kau jangan anggap tenaga
dalammu sudah mahir, jikalau nanti aku telah berhasil melatih, tidak nanti kau dapat bertahan,
untuk satu tusukan saja telunjukku ini!
Sambil berkata, si nona menusuk batang pohon didekatnya. Sebab dia belum mahir dengan
ilmunya itu, jarinya hanya masuk setengah dim.
Kenapa ibumu mengajar ilmu ini? Boe Kie tanya pula. Ia heran, Apakah ibumupun
mempelajarinya juga?
Mendengar disebut ibunya, mata Coe Jie tiba2 bersorot tajam dan bengis, bagaikan seekor
raja hutan hendak menerkam manusia, ia lantas berkata nyaring. Siapa mempelajari Cian coe
Ciat hoe cioe ini, setelah ia menghabiskan delapan ratus ekor, hingga tubuhnya sudah penuh
dengan racun, romannya berubah, dan setelah seribu ekor, romannya akan bertambah jelek.
Ibuku telah menghabiskan hampir lima ratus ekor ketika ia bertemu ayahku. Ia kuatir ayah tak
menyukainya karena romannya sangat jelek, ia terpaksa menghentikan latihannya.
Kesudahannya ia menjadi wanita tanpa tenaga, tenaganya lenyap, umpama kata, ia tak
sanggup menyembelih seekor ayam. Benar ia menjadi cantik tapi iapun lantas dihinakan
madunya serta kakakku. Ia tak dapat melawan, hingga akhirnya ia membuang jiwanya. Maka
hm! Apa gunanya paras elok? Ibuku seorang wanita sangat cantik dan halus, tapi sebab tak
mendapat anak laki laki, ayahku menikah pula.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 633
Sinar mata Boe Kie menyapu wajah nona itu. Jadinya kau mempelajari ilmu. Katanya
perlahan.
Benar! si nona menyahut cepat. Karena belajar ilmu ini, romanku jadi jelek begini, hingga
laki laki tak berbudi itu tidak memperdulikan lagi padaku. Jikalau nanti pelajaranku selesai,
akan kucari padanya. Bila disisinya tidak ada lain wanita, ya sudah saja.
Kau toh belum menikah dengannya? tanya Boe Kie. Bukankah diantara kamupun tidak ada
janji ikatan jodoh? Hanya.hanya.
Omonglah terus terang! kata si nona. Takut apa? Bukankah kau hendak membilang bahwa
aku menyintai dia sepihak saja, ialah hanya pihakku sendiri? Apa salahnya? Aku telah
menyintai dia, maka aku larang dia mempunyai lain pacar! Dia tak berbudi, biarlah dia nanti
merasai telunjukku ini, telunjuk Cian Coe Ciat-hoe cioe!
Boe Kie tersenyum. Ia tidak mau mengadu omong pula. Di dalam hatinya, ia merasa, bahwa
Coe Jie bertabiat luar biasa sekali. Baik, ia sangat baik, tapi selagi gusar ia sangat galak dan
tidak mengenal aturan lagi. Ia menjadi ingat pula kata2 guru besarnya, paman gurunya yang
kesatu dan kedua, bahwa di dalam Rimba Persilatan ada perbedaan antara yang sesat dan yang
lurus, maka ia percaya Cian Coe Ciat hoe cioe ini ialah pelajaran sesat, bahwa ibunya Coe Jie
mungkin seorang sebangsa siluman. Karena ini, tanpa berasa, ia menjadi rada jeri terhadap si
nona.
Coe Jie tak mendapat tahu apa yang orang pikir, ia berlari lari keluar dan kedalam, mondar
mandir, memetik berbagai macam bunga, maka dilain saat gubuk mereka telah terpajang
rapih, menarik hati untuk dipandang.
Coe Jie kata Boe Kie, Setelah sakit kakiku sembuh, aku nanti pergi mencari daun obat obatan
untuk mengobati bengkak mukamu yang beracun itu..
Mendengar itu, si nona nampaknya ketakutan.
Tidak, tidak! katanya Aku telah menyiksa diri sekian lama, baru kuperoleh kepandaian seperti
ini! apakah kau hendak memusnahkan kepandaianku?
Bukan! katanya cepat. Mungkin kita dapat memikir semacam obat. Memakai mana
kepandaianmu boleh tak usah lenyap, asal keracunan di muka saja yang hilang tak berbekas.
Tidak dapat! si nona berkata pula. Bila ada semacam obat atau cara, mustahil ibuku tak
mendapat tahu? Kepandaian ini adalah kepandaian turunan. Kupikir, yang bisa berbuat itu
mungkin Cuma Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe yang lihay ilmu pengobatannya, hanya
sayang banyak tahun dia telah meninggal dunia.
Kau kenal Ouw Ceng Goe? tanya Boe Kie.
Coe Jie mementang matanya, ia kelihatannya heran.
Apa? katanya. Adakah aneh untuk mengetahui dia? Nama Tiap Kok Ie Sian toh memenuhi
seluruh negara! Siapakah yang tidak tahu? ia menghela nafas, dan ia berkata pula. Taruh kata
dia masih hidup, apakah gunanya itu? Dialah yang dijuluki Melihat kematian tak menolong
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 634
Boe Kie tidak membilang apa apa, akan tetapi didalam hatinya, ia berkata Nona ini sangat
baik terhadapku, mesti aku balas kebaikkannya ini. dia tidak tahu semua kepandaiannya Tiap
kok iIe sian telah diwariskan kepadaku. Baiklah, sekarang aku jangan membilang apa2
padanya, hanya dibelakang hari nanti, aku dayakan untuk mengobati mukanya ini, supaya dia
kaget dan girang!.
Selama itu, langit sudah gelap, maka keduanya lantas rebah bersandar di batu gunung untuk
tidur. Boe Kie dapat pulas, hanya tengah malam, ia mendusin dengan tiba tiba, telinganya
mendengar tagisan isak2 tertahan. Ketika ia membuka matanya, kawannya lagi menangis
sedih. Ia mengulur tangannya meraba pundak nona itu, menepuk dua kali.
Jangan nangis, Coe Jie ia menghibur. Jangan bersusah hati.
Tapi justru karena ditegur, Coe Jie tidak dapat menahan lagi kedukaannya. Dengan
menyenderkan kepalanya dipundak orang ia menangis mengerung2.
Kau kenapa Coe Jie? Boe Kie tanya perlahan. Ada apa? Apakah kau ingat ibumu? Benarkah?
Coe Jie menggangguk perlahan.
Ibu telah menutup mata. Katanya. Aku jadi sebatang kara. Siapa juga tidak menyukai aku..,
siapa juga tidak mau baik denganku.
Boe Kie menggunakan tangan bajunya untuk mengelap air mata nona itu.
Aku menyukai kau, aku dapat berlaku baik terhadapmu, sahut Coe Jie. Orang yang kucintai
tidak perdulikan aku, ia memukul aku, iapun mau menggigit aku..
Lupakan laki2 tidak berbudi itu, kata Boe Kie Aku akan menikah dengan kau, seumurku nanti
akan perlakukan kau dengan baik.
Tidak! Tidak! Coe Jie berseru. Tidak dapat aku melupakan dia! Jikalau lagi sekali kau
menganjurkan aku melupakan dia, untuk selamanya aku tidak akan peduli padamu!.
Boe Kie heran, malu dan jengah. Syukur cuaca gelap, jika tidak, akan terlihat mukanya yang
merah.
Keduanya berdiam.
A Goe koko, apakah kau gusar padaku? kemudian nona itu bertanya.
Aku tidak gusar, aku hanya menyesalkan diriku sendiri. Jawabnya. Tidak selayaknya aku
bicara seperti barusan padamu.
Tidak, tidak demikian. Kau bilang kau suka menikah denganku, bahwa seumurmu kau hendak
perlakukan baik padaku. Senang aku mendengar kata2mu itu. Coba kau mengulangi sekali
lagi.
Tapi Boe Kie menjadi tidak senang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 635
Kau tidak dapat melupakan orangmu itu perlu apa aku bicara lagi? katanya.
Coe Jie mencekal tangannya Boe Kie dan berkata dengan suara lemah lembut. A goe koko,
jangan kau gusar. Aku mengku bersalah. Kalau kau benar2 menikah denganku, kubisa
membutakan kedua matamu dan mungkin juga, aku akan mengambil jiwamu.
Boe Kie kaget. Apa kau kata? ia menegas. Sesudah kedua matamu buta, kau tak akan bisa
melihat lagi romanku yang jelek katanya perlahan Kau tak akan bisa lagi memandang lagi
wajah nona Cioe dari Goe Bie pay yang cantik manis. Andaikata, sesudah buta, kau masih
juga belum dapat melupakan dia. Aku akan membinasakan kau dan kemudian mengambil
jiwa sendiri. Ia memberi jawaban yang hebat itu dengan suara tenang2 saja, seolah2 apa yang
dikatakannya adalah hal yang wajar. Waktu mendengar nona Cioe dari Goe Bie pay jantung
Boe Kie memukul terlebih keras.
Mendadak, baru saja Coe Jie selesai bicara di kejauhan terdengar suara seorang tua.
Nona Cioe dari Goe Bie pay mempunyai hubungan apakah dengan kamu berdua?
Coe Jie melompat bangun. Biat Coat Soe thay! bisiknya.
Tapi, biarpun ia hanya berbisik, perkataannya sudah didengar oleh orang itu yang lantas saja
menjawab. Benar, Biat Coat Soe thay Waktu orang itu berbicara pertama kali, ia masih berada
jauh tapi waktu bicara kedua kali, ia sudah berada disamping gubuk.
Coe Jie mengenal bahaya. Ia sebenarnya ingin kabur dengan mendukung Boe Kie, tapi sudah
tidak keburu lagi.
Sesaat kemudian, orang itu membentak dengan suara dingin. Keluar! Apa kamu mau
bersembunyi seumur hidup?
Sambil memapah dan menyekel tangan Boe Kie, Coe Jie menyingkap tirai rumput dari
gubuknya dan bertindak keluar. Dalam jarak kira2 setombak dari gubuknya, berdiri seorang
pendeta tua yang rambutnya putih dan ia itu memang bukan lain daripada Ciang boen jin Goe
bie pay Biat coat Soethay. Dari sebelah kejauhan mendatangi dua belas orang yang kemudian
berdiri berjejer di kedua samping pendeta wanita itu. Mereka itu adalah murid2 Goe bie pay
empat nie kouw (pendeta wanita) empat orang wanita biasa dan empat laki2 yang berdiri di
barisan belakang dan diantaranya mereka terdapat Teng Bin Koen dan Cioe Cie Jiak.
Dalam kalangan Goe bie pay selama beberapa turunan, yang memegang tampuk pimpinan
selalu wanita dan murid lelaki tidak pernah diberikan pelajaran ilmu silat yang paling tinggi,
sehingga oleh karenanya, kedudukan murid lelaki lebih rendah daripada murid wanita.
Dengan sorot mata dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Biat Coat Soethay mengawasi
Coe Jie.
Mengingat kebinasaan Kie Siauw Hoe, Boe Kie sangat berkuatir. Sambil menyandarkan diri
di punggung Coe Jie, diam2 dia mengambil keputusan, bahwa jika si pendeta wanita
menyerang, mestipun mesti binasa, ia akan mengadu jiwa.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 636
Beberapa saat kemudian, seraya mengeluarkan suara di hidung, Biat Coat mengenok ke arah
Tian Bin Koen dan bertanya Apa budak kecil itu?
Benar! jawabnya.
Tiba2, Krak!....krak!.... Coe Jie mengeluarkan suara kesakitan, tulang kedua pergelangan
tangannya patah, dan ia rebah dalam keadaan pingsan.
Boe Kie sendiri terpaku dan ternganga. Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan warna abu2
dan Coe Jie sudah terguling. Dengan kecepatan luar biasa ia menyerang, dan dengan
kecepatan luar biasa pula, ia balik ke tempatnya yang semula, dimana ia kembali berdiri tegak
bagaikan satu pohon tua di tengah malam yang sunyi itu. Gerakan yang secepat itu sudah
mrengaburkan mata Boe Kie yang jadi terkesima dan hanya bisa mengawasi tanpa berdaya.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, denga sorot mata bengis Biat Coat mengawasi Boe
Kie. Pergi! bentaknya.
Cioe Ci Jiak maju setindak dan berkata seraya membungkuk. Soehoe ia tidak dapat berjalan,
mungkin kedua tulang betisnya patah.
Buatlah dua buah soat kio untuk membawa mereka, memerintah sang guru (Soat kio semacam
kereta salju tidak beroda).
Murid2 itu mengiakan dan kecuali Teng Bin Koen yang belum sembuh dari lukanya, mereka
segera melakukan apa yang diperintah. Sesudah selesai, dua orang murid wanita lalu
mengangkat Coe Jie dan lalu menaruhnya di kereta yang satu, sedang dua orang murid pria
menaruh Boe Kie di kereta yang lain. Sambil menyeret kedua kereta itu, mereka mengikuti
Biat Coat ke arah barat.
Dengan penuh kekuatiran, Boe Kie memasang kuping untuk mendengari gerak gerik Coe Jie.
Sesudah melalui belasan li, barulah ia mendengar rintihan si nona. Coe Jie bagaimana
keadaanmu? tanyanya dengan suara nyaring. Apakah kau mendapat luka didalam?.
Dia mematahkan pergelangan tanganku. Tapi aku tidak mendapat luka di dalam jawabnya.
Bagus kata Boe Kie, Gunakanlah sikut kiri untuk membentur lengan kananmu, tiga coen lima
hoen dibawah tekukan lengan. Sesudah itu, gunakanlah skut kananmu untuk membentur
lengan kiri, tiga coen lima hoen dibawah tekukan lengan. Dengan berbuat begitu, rasa sakit
akan berkurang.
Sebelum Coe Jie menjawab, Biat Coat sudah mengeluarkan suara Ih! dan mengawasi Boe Kie
dengan mata mendelik Bocah! Kau mengerti ilmu ketabiban. Katanya Siapa namamu?
Aku she Can, namaku A Goe jawabnya.
Siapa gurumu? tanya pula si nenek.
Guruku adalah tabib kampungan menerangkan si Boe Kie. Biarpun kuberitahukan namanya,
Soethay pasti takkan mengenal namanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 637
Biat Coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mendesak lagi.
Sampai fajar menyingsing barulah rombongan itu mengaso dan makan makanan kering, Cioe
Jiak membawa beberapa bakpauw dan memberikannya kepada Boe Kie serta Coe Jie. Melihat
Boe Kie yang sesudah di cukur, barulah menjadi pemuda tampan, diam2 ia merasa heran dan
kagum.
Sesudah mengaso kurang lebih dua jam, mereka meneruskan perjalanan ke arah barat.
Sesudah berjalan tiga hari, Boe Kie menarik kesimpulan, bahwa dalam perjalanan itu,
rombongan Goe Bie Pay mempnyai tugas yang sangat penting. Baik waktu berjalan, maupun
waktu mengaso, kecuali sangat perlu semua orang menutup mulut rapat2. seolah2 mereka
manusia gagu. Tapi tugas apakah yang mau ditunaikan mereka? Boe Kie tak dapat menjawab.
Selama beberapa hari itu tulang betis Boe Kie yang patah sudah bersambung pula seperti
sedia kala dan ia sebenarnya sudah dapat berjalan lagi.
Tapi ia saja tidak memperlihatkan kesembuhannya itu, malah ia sering merintih untuk
mengelabui Biat Coat. Ia ingin menunggu kesempatan baik untuk kabur bersama2 Coe Jie.
Kesempatan itu belum datang, sebab mereka masih berjalan di tanah datar. Sehingga kalau
kabur belum jauh ia tentu sudah dibekuk lagi. Maka itu, ia bersabar terus. Pada waktu
mengaso ia mengobati luka Coe Jie dan Biat Coatpun tidak menghalang-halanginya.
Sesudah selang dua hari lagipada suatu lohor, rombong Biat Coat tiba di gurun pasir. Selagi
enak berjalan, sekonyong2 terdengar suara tindakan kuda yang mendatangi dari sebelah barat.
Biat Coat segera memberi perintah dengan gerakan tangan dan semua murid lalu
menyembunyikan diri di belakang bukit pasir. Dua diantaranya menghunus pedang pendek
dan mengarahkan ujungnya ke arah punggung Boe Kie dan Coe Jie . sudah terang mereka
mau menyerang musuh dan kalau dua tawanan berani berteriak, kedua pedang pendek itu
pasti digunakan.
Tak lama kemudian, kuda2 itu sudah mendekati. Melihat tapak2 kaki, para penunggang kuda
menahan tunggangannya.
Tiba2 Ceng she Soethay mengangkat hud im (kebutan yang dapat digunakan sebagai senjata)
dan dengan serentak sebelas murid Goe Bie pay melompat keluar dari belakang bukit pasir.
Boe Kie mengawasi dan melihat empat penunggang kuda yang semuanya mengenakan jubah
warna putih. Sambil membentak keras; keempat orang itu lalu mencabut senjata dan
pertempuran lantas saja terjadi.
Semua siluman dari Mo Kauw! Satupun tak boleh di kasih lolos! teriak Ceng she.
Walaupun dikepung musuh yang berjumlah lebih besar, keempat orang itu melawan dengan
gagahnya. Tapi kedua belas murid Goe Bie pay yang kali ini mengikut Biat Coat ke See hek
adalah murid2 pilihan. Baru bertempur tujuh delapan jurus, tiga anggota Mo kouw sudah
roboh dari tunggangannya, sedang yang keempat, sesudah melukai seorang murid Goe Bie,
coba melarikan diri. Tapi baru saja kabur beberapa tombak, ia telah kena dicandak Ceng hian.
Turun kau! bentak si nie kouw seraya mengebut betis kiri orang itudengan hudtimnya. Dia
coba menangkis dengan goloknya. Bagaikan kilat Ceng hian mengubah pukulannya dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 638
mengebut kepala musuh. Pukulan yang hebat itu hampir tepat pada sasarannya dan orang itu
terguling dari kudanya.
Tapi orang itu a lot dan nekat. Dalam keadaan terluka berat, ia masih bisa balas menyerang
dengan tujuan untuk mati bersama2 musuhnya. Sambil mementang kedua tangannya ia
menubruk. Untung saja Ceng hian keburu berkelit dan mengebut dadanya.
Pada saat itulah, tiga ekor merpati putih terbang dari sangkarnya yang tergantung di leher
kuda.
Jangan main gila! bentak Ceng Hian seraya mengibas lengan jubahnya dan tiga butir thie lian
coe (biji teratai besi) menyambar kearah tiga burung itu. Dua diantaranya jatuh, tapi yang satu
dapat terbang terus sebab si jubah putih berhasil memukul sebutir thie lian coe dengan busur
besinya. Semua murid Goe bie menimpuk dengan senjata rahasia mereka, tapi burung itu
sudah terbang jauh.
Ceng Hie mengibas tangan kirinya dan empat murid lelaki lalu menyeret keempat musuh
yang roboh itu, tapi kemudian berdiri tegak di hadapan kakak seperguruannya.
Selama pertempuran, Biat Coat hanya mengawasi sebagai penonton, iapun tak bergerak waktu
murid2nya menimpuk burung dengan senjata rahasia. Terhadap Coe jie dia turun tangan
sendiri, suatu tanda bahwa ia memandang tinggi terhadap Coe Jie, kata Boe Kie didalam hati.
Mungkin sekali karena patahnya tulang pergelangan tangan Teng Bin Koen. Kalau mau,
dengan mudah ia akan bisa membinasakan merpati yang ketiga, mengapa dia diam saja?.
Mana waktu itu Ceng hie, Ceng Hian dan murid2 utama lainnya sudah mendapat nama besar
dalam rimba persilatan. Satu saja sudah cukup untuk menghadapi gelombang besar. Maka
itulah dalam menghadapi beberapa murid Mo kouw, Biat Coat tidak perlu turun tangan
sendiri. Bahwa Ceng hie dan Ceng hien sudah turun ke dalam gelanggang, pada hakekatnya
berarti memandang tinggi kepada beberapa musuh itu.
Sementara itu, seorang murid wanita sudah menjemput kedua bangkai merpati itu dan
mencopot sebuah bumbung kecil yang melekat pada kaki seekor burung. Ia mengeluarkan
segulung kertas dari bumbung dan menyerahkannya kepada Ceng hie yang lalu membuka dan
membacanya. Soehoe, kata Ceng hie. Mo kauw sudah tahu rencana untuk mengepung dan
membasmi Kong ben teng, surat ini adalah untuk meminta bantuan dari Peh bie kauw.
Sebahis berkata begitu, ia membaca lagi surat yang satunya. Isinya sama jua katanya.
Sungguh sayang yang seekor dapat mloloskan diri.
Sayang apa? kata sang guru dengan suara dingin. Makin banyak mereka berkumpul, makin
baik lagi. Tak usah berabe mencari cari mereka di berbagai tempat.
Mendengar disebutkannya nama Peh bie kauw Boe Kie terkejut. Kouw coe Peh bie kauw
adalah kakek luarku. Pikirnya. Hm!....Sombong sungguh nenek bangkotan itu belum tentu ia
dapat melawan gwakong.
Semula ia menunggu2 kesempatan untuk kabur bersama2 Coe Jie. Tapi sekarang ia
membatalkan niatnya itu sebab ingin menyaksikan keramaian yang bakal terjadi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 639
Siapa lagi yang diundang kamu? Ceng hie bertanya kepada keempat tawanannya dengan
suara bengis.
Mengapa kamu tahu, bahwa enam partai akan membasmi Mo Kauw?
sekonyong2 keempat orang itu tertawa terbahak2 dengan muka menyeramkan. Sehabis
tertawa, dia roboh serentak dan tidak berkutik lagi. Semua murid Goe bie terkejut, dua
diantaranya membungkuk untuk menyelidiki, Soe cie! teriak mereka. Semua mati!.
Sambil mengawasi muka keempat mayat itu, Ceng hian berkata dengan nada gusar. Mereka
makan racun. Racun itu sangat hebat.
Geledah badannya! memerintah Ceng hie.
Empat murid lelaki segera membungkuk dan menggerakkan tangan untuk merogoh saku
mayat.
Hati hati! kata Coe Cie Jiak. Didalam saku mungkin tersembunyi benda beracun.
Keempat lelaki itu terkejut. Mereka segera merobek saku mayat2 dengan menggunakan golok
dan benar saja, dalam setiap saku terdapat seekor ular kecil yang sangat beracun. Tanpa
peringatan nona Cioe, mereka tentu sudah binasa.
Hari ini untuk pertama kali kamu berurusan dengan orang2 agama siluman kata Biat Coat
dengan suara dingin. Mereka berempat hanyalah orang2 yang tidak ternama tapi sudah begitu
beracun. Kalau bertemu dengan jago2 Mo kauw apakah kamu masih bisa pulang ke Go bie
dengan masih bernafas? ia mengeluarkan suara di hidung dan berkata pula Ceng hie kau
sudah cukup tua, tapi kau masih tetap sembrono. Kau masih kalah dari Cioe Jiak.
Paras muka murid itu berubah merah dan ia membungkuk untuk menerima teguran sang guru.
Malam itu mereka bermalam di gurun pasir dengan menyalakan sebuah perapian yang cukup
besar. Dengan bergilir mereka membuat penjagaan karena mereka tahu, bahwa daerah itu
adalah tempat keluar masuknya orang2 Mo kauw. Kira2 tengah malam dari kejauhan tiba2
terdengar keleneng unta yang mendatangi ke arah mereka. semua orang tersadar dan bersiap
sedia. Suara keleneng itu semula mendatangi dari arah barat daya, tapi sesaat kemudian
suaranya berpindah ke barat laut. Beberapa saat kemudian, sura itu muncul di sebelah timur
laut. Semua murid Goe bie heran tak kepalang. Bagaimana bisa begitu? Biar bagaimanapun
jua, seekor unta takkan bisa lari secepat itu, sebentar ke barat, sebentar ke timur dan
sebagainya.
Suara keleneng makin nyaring, suatu tanda unta itu sudah mendekati. Mendadak suara itu
terdengar gencar sekali, seperti juga binatang itu kabur dengan kecepatan luar biasa.
Orang2 Goe bie yang baru pernah menjelajah lautan pasir, jadi bingung dan berkuatir.
Sahabat! Perlihatkan dirimu! teriak Biat Coat. Permainan gilamu bukan perbuatan seorang
berilmu. Suara yang disertai Lweekang itu menempuh jarak beberapa li dan benar saja,
sesudah si nenek berteriak suara keleneng tidak terdengar lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 640
Sampai pagi tidak terjadi sesuatu yang luar biasa. Malamnya kira2 tengah malam, suara
keleneng terdengar pula, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar disana, sebentar di sini. Biat
coat berteriak lagi. Tapi kali ini teriakannya tidak mempan lagi. Suara keleneng tidak
menghiraukannya. Selang beberapa lama, sesudah puas mengganggu, suara itu menghilang
dengan tiba2.
Boe Kie dan Coe Jie saling mengawasi sambil tersenyum. Biarpun tak dapat memecahkan
keanehan suara itu, mereka tahu, bahwa itu semua adalah perbuatan orang pentolan Mo kauw.
Bahwa orang2 Goe bie jadi kebingungan sangat menyenangkan hati mereka.
Dengan rasa mendongkol Biat Coat mengibaskan diri untuk mengaso. Tak lama kemudian
suara keleneng terdengar lagi, tapi orang2 Goe bie tidak memperdulikannya. Selang beberapa
lama suara itu menuju ke utara dan lalu menghilang. Si unta rupanya tahu, bahwa
gangguannya tidak digubris lagi.
Pada keesokan paginya semua orang berkemas untuk berangkat. Sekonyong2 Boe Kie dan
Coe Jie mengeluarkan suara tertahan sebab didekat mereka kelihatan berbaring seorang tak
dikenal yang sedang menggeras. Tubuh orang itu, dari kepala sampai di kaki, tertutup dengan
selimut seolah2 sesosok mayat. Semua murid Goe bie terkesinap. Guru mereka memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Setiap desiran angin, bahkan jatuhnya selembar daun, tak akan
lolos dari pendengarannya. Mana bisa seorang manusia menyatroni tanpa diketahui?
Dilain saat, dua murid Goe bie sudah menghunus pedang dan mendekati orang itu.
Siapa kau? bentaknya.
Tapi orang itu terus mendekur. Dengan ujung pedang, salah seorang menyontek selimut dan
yang sedang tidur pulas ternyata seorang pria yang menggenakan jubah panjang.
Ceng hie mengerti, bahwa seorang yang mempunyai nyali begitu besar tentulah bukan
sembarangan orang. Ia maju setindak dan bertanya Siapa tuan? Perlu apa tuan datang kesini?
Tapi ia tetap tak memperdulikan suara menggarosnya semakin keras.
Melihat lagak orang itu yang dianggap sangat kurang ajar, Ceng hian naik darahnya. Dengan
gusar ia mengangkat hudtim dan menghantam pinggangnya.
Hurrrrr.
semua orang terkesinap dan mendongak ke atas.
Apa yang sudah terjadi?
Entah bagaimana, hudtim Ceng hian suthay terbang keatas, terbang lurus sampai tingginya
belasan tombak.
Tiba2 terdengar teriakan Biat Coat. Ceng hian, awas!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 641
Hampir berbareng dengan teriakan itu, tubuh si jubah panjang sudah melesat beberapa tombak
jauhnya dan apa yang hebat, Ceng hian telah tertawan! Sambil mendukung tawanannya, lelaki
itu lari bagaikan terbang.
Ceng hie dan seorang saudari seperguruannya yang bernama Souw Bong Ceng, segera
menghunus senjata dan terus mengubar. Tapi gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam
sekejap, dia sudah lari jauh. Seraya mengeluarkan siulan nyaring, Biat coat turut mengubar
sambil mencekal Ie Thian Kiam.
Kepandaian Ciang boenjin dari Goe bie pay tentu saja lain dari pada yang lain. Dalam
beberapa saat saja, Biat coat sudah melewati kedua muridnya dan dilain detik, sinar hijau dari
Ie hian kiam menyambar punggung si jubah panjang. Tapi orang itu mempunyai kegesitan
yang menakjubkan. Bagaikan kilat, ia berhasil menyelamatkan diri dari tikaman yang dahsyat
itu.
Biarpun sedang mendukung Ceng hian, kecepatan lari si jubah panjang ternyata tidak kalah
dari pengejarnya. Bukan saja begitu, ia bahkan juga seakan2 seperti mau memperlihatkan
kepandaiannya, karena sebaliknya daripada kabur terus, ia lari berputaran, memutari murid2
Go bie pay yang menonton dengan mulut ternganga. Beberpa kali Biat coat menikam, tetapi
tikamannya selalu jatuh di temapt kosong.
Sesudah main udak2an, barulah hudtim Ceng hian jatuh ke tanah.
Sesaat itu, Ceng hie dan Souw Bong Ceng sudah berhenti mengubar dan bersama saudari
saudara seperguruannya, mereka mengawasi ubar2an itu sambil menahan nafas.
Kedua tokoh itu berlari2 bagaikan terbang dengan menggunakan ilmu ringan badan. Betapa
tinggi ilmu mereka dapat membayangkan dengan melihat kenyataan, bahwa debu dan pasir
tidak beterbangan akibat injakan kaki mereka. dengan hati berdebar2 murid2 Go bie
mengawasi Ceng hian yang dibawa lari tanpa berkutik.
Semua orang tahu, bahwa kakak seperguruan itu berkepandaian tinggi dan sudah mewarisi
sebagian besar ilmu guru mereka. Cara bagaimana ia bisa dibekuk secara begitu mudah dan
sudah ditawan, sedikitpun tidak berdaya lagi? Sebenarnya mereka ingin sekali mencegat
musuh yang tengah diubar itu. Tapi mereka tidak berani berbuat begitu, karena kuatir digusari
sang guru, sebab bantuan tersebut berarti merosotnya nama besar Biat coat suthay. Maka
itulah mereka hanya menonton dengan mata terbelalak.
Dalam sekejap si jubah panjang dan Biat coat sudah membuat tiga putaran.
Meskipun si nenek sudah mengeluarkan seantero kepandaiannya, ia tetap tidak dapat
menyusul musuh. Jarak antara mereka tidak berubah. Biat Coat masih ketinggalan beberapa
kaki di belakang si jubah panjang. Dengan mengingat, bahwa orang itu berlari2 sambil
mendukung Ceng hian yang beratnya kira2 seratus kati, maka dapatlah ditarik kesimpulan,
bahwa dalam ilmu ringan badan, ia lebih unggul setingkat daripada si nenek kouw tua.
Sesudah menonton beberapa lama, Boe Kie menarik ujung baju Cio Jie seraya berbisik Mari
kita kabur.
Tidak, keramaian ini tidak bisa tidak ditonton sampai habis jawab si nona.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 642
Pada waktu mereka lari pada putaran keempat, orang itu tiba2 memutar badan dan
melemparkan Ceng hian kearah gurunya. Karena merasa sambaran angin yang sangat dahsyat,
buru2 Biat coat menghentikan tindakannya dan mengarahkan tenaga Cian kin (Tenaga seribu
kati). Akan kemudian, sambil mengarahkan Lweekang, ia menyambuti tubuh muridnya.
Orang itu tertawa terbahak2, Enam partai besar mau mengepung dan membasmi Kong beng
teng! katanya Ha..ha ha Mungkin tak begitu gampang! Sehabis berkata begitu, lari ke jurusan
utara. Waktu ubar2an debu dan pasir sama sekali tak bergerak. Tapi sekarang, di jalanan yang
dilaluinya pasir kuning mengepul ke atas, seolah2 seekor naga kuning yang menutupi
bayangnya.
Semua murid Goe bie segera menghampiri dan berdiri di sekitar guru mereka. Paras muka
Biat Coat merah padam. Ia berdiri tegak sambil mendukung Ceng hian tanpa mengeluarkan
sepatah katapun.
Ceng hian Soecie!.... mendadak Souw Bong Ceng berseru.
Ternyata Ceng hian sudah tak bernyawa lagi, mukanya kuning dan pada tenggorokannya
terdapat luka.
Semua murid wanita lantas saja menangis keras.
Nangis apa? bentak sang guru. Kubur dia!
Semua orang segera berhenti menangis dan lalu mengubur jenasah Ceng Hian. Sesudah
penguburan selesai, sambil membungkuk Ceng Hie berkata, Soehoe, siapa manusia siluman
itu? Kami harus mengenal dia untuk membalas sakit hatinya Ceng Hian Soemoay.
Kalau tak salah, dia adalah Ceng Ek Hok Ong, yaitu salah seorang raja (Ong) dari Mo Kauw,
Jawabnya dengan suara dingin. Sudah lama kudengar, bahwa ilmu ringan badan orang itu
tiada bandingannya di dunia. Nama besarnya ternyata bukan omong kosong. Kepandaiannya
banyak lebih tinggi daripada aku. (Ceng Ek Hok Ong raja kelelawar bersayap hijau)
Semenjak menyaksikan kekejaman Hiat Coat Soethay, Boe Kie membenci nikouw tua itu.
Tapi sekarang ia merasa kagum dan mengakui, bahwa ia masih kalah jauh dari si nenek.
Dalam menghadapi kecelakaan, nenek itu masih bisa berlaku begitu tenang dan masih bisa
memuji kepandaian musuhnya. Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya sebagai
pemimpin tertinggi dari sebuah partai persilatan yang besar.
Hm!... dia sama sekali tak berani beradu tangan dengan Soehoe dan terus lari ngiprit, kata
Tang Bin Kun dengan suara marah yang dibuat-buat. Enghiong apa dia? (Enghiong orang
gagah)
Sang guru mengeluarkan suara di hidung. Mendadak tangannya melayang dan menggaplok
mulut si perempuan she Teng.
Aku tak dapat menyusul dia dan tak dapat menolong jiwa Ceng Hian, kata Biat Coat. Dialah
yang menang. Siapa menang siapa kalah semuanya orang tahu. Nama enghiong diberikan
oleh orang lain. Apakah kita bisa memberi julukan Enghiong pada diri sendiri?
Selembar muka Teng Bun kemerah-merahan, bahana malunya. Ia membungkuk seraya
berkata, Murid salah, murid tahu kesalahan sendiri.
Soehoe, siapa itu Ceng Ek Hok Ong? Tanya Ceng Hie. Bolehkah Soehoe memberi penjelasan
kepada kami?
Biat coat tak menjawab. Ia mengibaskan tangannya sebagai perintah supaya rombongannya
meneruskan perjalanan. Sesudah toasuci mereka membentur tembok, murid-murid yang lain
tentu saja tak berani banyak bicara. Mereka segera berjalan dengan hati duka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 643
Malam itu mereka menginap di samping sebuah bukit pasir dan membuat sebuah perapian
yang besar. Bagaikan patung, Biat Coat mengawasi tumpukan api yang berkobar-kobar. Boe
Kie mengerti bahwa nenek itu bersusah hati. Go Bie Pay adalah sebuah partai persilatan yang
namanya tersohor di kolong langit. Kali ini dengan membawa jago-jago partai tersebut Biat
coat menjelajahi wilayah barat (See Ek). Tapi sebelum bertempur, salah seorang muridnya
yang berkepandaian tinggi sudah mesti mengorbankan jiwa. Bukankah kejadian itu
menyedihkan dan memalukan?
Melihat guru mereka belum tidur, semua murid juga tidak berani tidur. Kurang lebih mereka
satu jam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Tiba-tiba Biat Coat mendorong dengan kedua
tangannya dan Bttt api yang berkobar-kobar itu menjadi padam. Boe Kie terkejut. Tenaga
dalam Loo Nie itu sungguh hebat, pikirnya.
Mereka sekarang berada dalam kegelapan, tapi tak satupun berani bergerak.
Gurun pasir itu sunyi bagaikan kuburan, sedang sinar rembulan yang remang-remang
memberikan pemandangan yang mendukakan hati. Melihat keadaan begitu, dalam hati Boe
Kie muncul rasa kasihan. Apakah Go Bie Pay akan hancur namanya di wilayah barat?
tanyanya dalam hati.
Apakah rombongan jago-jago ini akan terbasmi musnah seanteronya?
Mendadak Biat coat membentak, Padamlah api siluman! Musnahlah api iblis! sesudah
berdiam sejenak, ia berkata pula dengan suara perlahan. Mo Kauw (agama iblis) memandang
api sebagai nabi dan memuja api sebagai malaikat sesudah Yo Po Thian, Beng Coen Kauwcoe
atau pemimpin agama meninggal dunia. Mo Kauw tak mempunyai lagi Kauw Coe. Kedua
Kong Beng Soe Cia, keempat Hoe Kauw Hoat Ongdan kelima Ciang Kie Soe yaitu Kin Bok
Soei Hwee dan Touw semua ingin merebut kedudukan pemimpin dan mereka jadi
bermusuhan saling membunuh. Oleh karena adanya kejadian itu, Mo Kauw jadi lemah.
Mungkin memang sudah ditakdirkan, bahwa partai yang lurus bersih akan menjadi makmur
sedang kaum siluman dan kaum sesat akan musnah. Kalau di dalam Mo Kauw tidak terjadi
perpecahan tak gampang orang bisa menggempurnya.
(Beng Coen Kauwcoe pemimpin agama, Kong Beng Soe Cia utusan terang benderang, Hoa
Kauw Hoat Ong Raja Pelindung Agama, Ciang Kie Soe utusan yang memegang bendera,
bendera itu berjumlah lima, yaitu Kim, Bok, Soei, Hwe, dan Touw. Nama-nama itu adalah
pangkat-pangkat dalam Beng Kauw atau agama terang. Orang-orang luar ..
Semenjak Boe Kie . Maka setiap kali ia menanyakan kedua orang tuanya selalu mengaget dan
memperlihatkan rasa tidak senang. Ayah angkatnya pun tidak memberi keterangan. Maka itu
sampai sekarang ia masih belum tahu apa sebenarnya Mo Kauw.
Waktu ia mengikuti Thay Soehoe Thio Sam Hong, orang itu juga sangat membenci Mo
Kauw. Saban-saban nama agama itu disebutkannya si kakek selalu memberi nasihat dan
peringatan keras bahwa ia tidak boleh dekat-dekat dengan orang Mo Kauw. Belakang ia
bertemu dengan Ouw Ceng Goe, Ong Lan Kouw, Siang Gie Coen, Cie Tat, Coe Goan Ciang
dan yang lain dan mereka itu adalah anggota-anggota Mo Kauw. Ia mendapat kenyataan,
bahwa mereka oleh karenanya mau tidak mau ia harus menarik kesimpulan, bahwa lagak lagu
orang-orang itu agak aneh dan sukar dimengerti oleh orang luar. Sekarang, demi mendengar
peraturan Biat Coat semangatnya lantas saja terbangun dan dia segera memasang kuping
dengan sepenuh perhatian.
Biat Coat meneruskan penuturannya. Dari satu ke lain keturunan, seorang Beng Coen
Kauwcoe memegang serupa benda yang merupakan semacam tanda kekuasaan. Benda itu
dinamakan Seng Hwee Leng (tanda kekuasaan Api Nabi). Tapi pada waktu Kauw Coe turun
ke tigapuluh satu memegang pimpinan, entah bagaimana Seng Hwee Leng itu hilang. Maka
itu Kauw Coe-Kauw Coe yang belakangan sudah tak punya tanda kekuasaan , walaupun ia
memiliki kekuasaan sebagai pimpinan tertinggi. Yo Po Thian mati mendadak, entah diracuni,
entah dibunuh orang. Tak seorangpun yang tahu jelas. Dalam kalangan Mo kauw lantas saja
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 644
terjadi kekalutan. Sebab mati mendadak, Yo Po Thian tidak menunjuk ahli warisnya. Dalam
Mo Kauw terdapat banyak sekali orang pandai, sehingga yang pantas menjadi Kauw Coe,
sedikitnya ada lima atau., namanya Wi It Siauw bergelar Ceng Ek Hong Ong.
Murid-murid Go Bie saling mengawasi. Nama Ceng Ek Hok Ong Wi It Siauw belum pernah
didengar mereka.
Sesudah berdiam sejenak, Biat Coat berkata pula orang itu belum pernah datang ke
Tionggoan. Sepak terjang orang-orang Mo Kauw aneh dan sembunyi-sembunyi sehingga
walaupun kepandaiannya sangat tinggi, namanya tidak dikenal di daerah Tionggoan. Tapi Peh
Bie Eng Ong In Tian Ceng dan Kim Mo Say Ong Cia Soen sudah dikenal kamu, bukan?
Boe Kie terkejut sedang Cu Ji mengeluarkan seruan tertahan. Biat Coat melirik mereka
dengan sorot mata tajam.
Soehoe apakah kedua orang itu anggota Mo Kauw? Tanya Ceng Hie dengan suara heran.
Keempat raja (ong) dari Mo Kauw adalah Cie, Peh, Kim dan Ceng (Ungu, putih, kuning
emas, dan hijau) menerangkan sang guru. Peh Bie seorang raja dan Ceng Ek pun seorang raja.
Ceng Ek berkedudukan paling rendah, tapi kepandaiannya sudah disaksikan. Maka itu betapa
tinggi kepandaian Peh Bie dan Kim Mo dapatlah ditaksir-taksir.
Karena sakit hati, Kim Mo Say Ong jadi seperti orang gila dan melakukan perbuatanperbuatan
durhaka. Pada dua puluh tahun berselang, dengan mendadak ia membunuh orang
tidak berdosa. Sekarang orang tidak tahu kemana dia pergi dan menjadi sebuah teka-teki
dalam rimba persilatan. Mengenai In Thian Ceng, sesudah gagal dalam merebut pimpinan
dalam Mo Kauw, dalam gusarnya ia mendirikan Peh Bie Kauw. Dia sakit penyakit ingin
menjadi pemimpin agama. Semula kita menduga bahwa sesudah meninggalkan Mo Kauw, In
Thian Ceng sudah putus hubungan dengan Kong Beng Teng. Tak dinyana, waktu menghadapi
bahaya, Kong Beng Teng masih sudi meminta pertolongan Peh Bie Kauw.
Mendengar itu, Boe Kie jadi bingung dan berduka. Ia tahu, bahwa sepak terjang ayah
angkatnya dan kakek luarnya aneh-aneh dan sesat sehingga mereka dibenci oleh orang-orang
dari partai lurus bersih. Tapi ia sama sekali belum pernah menduga bahwa kedua orang tua itu
adalah Hoe Kauw Hoat Ongdari Mo Kauw.
Sementara itu Biat Coat Soethay sudah melanjutkan penuturannya. Menurut perhitungan,
usaha enam partai untuk membasmi Kong Beng Teng pasti akan berhasil. Biarpun semua
siluman bersatu padu, kita tak usah merasa khawatir. Tapi dalam pertempuran, pihak kita
tentu akan menderita juga kerusakan besar. Maka itu aku berharap supaya kamu semua
mempunyai tekad yang teguh untuk berkelahi mati-matian. Sedikitpun kamu tidak boleh
mempunyai rasa takut, sehingga waktu menghadapi musuh, kamu menurunkan keangkeran
Go Bie Pay.
Semua murid Go Bie lantas saja bangun berdiri dan membungkuk, sebagai tanda bahwa
mereka berjanji akan mamenuhi harapan sang guru.
Tinggi rendahnya ilmu silat seseorang tergantung kepada bakatnya dan segala apa tidak dapat
dipaksakan, kata Biat Coat. Bahwa sebelum bertempur Ceng Hian sudah binasa dalam
tangannya siluman itu, tidak boleh ditertawai oleh kamu. Apakah tujuannya belajar ilmu silat?
Tujuannya adalah untuk membasmi yang jahat dan menolong yang lemah. Bukankah begitu?
Sekarang enam buah partai besar, yaitu Siauw Lim, Bu Tong, Go Bie, Kun Lun, Khong Tong,
dan Hwa San, berusaha untuk memupus Mo Kauw. Apa kita akan hidup atau mati, sudah
tidak dihiraukan lagi oleh Go Bie Pay. Ceng Hian berangkat paling dulu. Mungkin sekali
korban kedua adalah gurumu sendiri..
Semua murid Go Bie membungkuk. Di bawah sorotan sinar rembulan yang remang-remang
muka setiap orang kelihatan pucat pasi.
Biat Coat menghela napas dan kemudian berkata lagi dalam dunia ini siapakah bisa hidup
abadi? Manusia mana yang bisa hidup terus menerus? Apa yang diharapkan ialah biarlah
sesudah mati, kita masih mempunyai turunan, anak cucu kita masih hidup terus. Maka itu,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 645
kekuatiran kamu semua mati dan hanya aku si tua yang hidup terus, hidup sebatang kara,
hidup kesepian dalam dunia ini Huh-huh!... Tapi kalau sampai terjadi begitu akupun harus
menerimanya dengan rela. Bukankah pada seratus tahun yang lalu, di dalam dunia tidak
terdapat partai yang dinamakan Go Bie Pay? Asal saja kita berkelahi secara gagah, biarpun
mesti terbasmi seanteronya, kita tidak usah merasa menyesal.
Mendengar perkataan sang guru, darah semua murid Go Bie bergolak-golak. Dengan serentak
mereka menghunus senjata dan berteriak, Kami bersumpah akan berkelahi mati-matian!
Biat Coat tertawa tawar, Bagus! Kamu mengasolah, katanya.
Mendengar itu semua Boe Kie merasa kagum. Sebagian besar murid Go Bie Pay adalah
wanita, tapi dalam menghadapi bahaya, mereka tidak menunjukkan rasa keder sedikitpun jua.
Didengar dari pembicaraan Biat Coat Soethay, kekuatan Mo Kauw bukan main besarnya.
Perkataan itu sebenarnya sudah harus diucapkan si Ni Kouw tua pada waktu mereka mau
berangkat ke See Hek. Akan tetapi, pada waktu itu, mungkin ia tidak menduga, bahwa
sesudah terbit perpecahan, dalam menghadapi musuh dari luar, Mo Kauw masih bisa bersatu
padu. Munculnya Ceng Ek Hok Ong telah membuktikan adanya kerja sama dalam kalangan
Mo Kauw.
Sesudah berdiam beberapa saat, Biat Coat berkata pula: kalau Ceng Ek Hok Ong datang, Peh
Bie Eng Ong, dan Kim Mo Say Ong dan mungkin akan datang juga. Cie San Liong Ong dan
kelima Ciang Kie Soe pun bisa turut datang. Menurut rencana semula, paling dulu keenam
partai besar akan membinasakan Kong Beng Soe Cia Yo Siauw dan susudah itu, barulah kita
membasmi siluman-siluman lainnya. Tak dinyana, hitung-hitungan Sin Kie Sianseng dari
Hwa San Pay kali ini melesat jauh. Haha!... Semua salah. (Cie San Liong Ong Rajawali baju
ungu)
Apakah Cie San Liong Ong siluman jahat? Tanya Ceng Hie.
Sang guru menggelengkan kepala. Entahlah, akupun hanya mengenal nama, jawabnya.
Sepanjang keterangan, sesudah gagal menduduki kursi Kauw Coe, dia pergi ke luar lautan dan
memetuskannya hubungan dengan Mo Kauw. Alangkah baiknya bagi pihak kita, bila dia
masih mempertahankan sikapnya itu. Diantara keempat raja dalam kalangan Mo Kauw, ia
menduduki tempat yang paling tinggi, sehingga dengan sendirinya, dia merupakan musuh
yang berat. Dalam Mo Kauw terdapat dua orang Kong Beng Soe Cia, disamping Yo Siauw
masih ada seorang Su Cia lainnya. Semenjak dahulu, ada Kong Beng Soe Cia kiri dan Kong
Beng Soe Cia kanan dan kedudukan kedua orang lebih tinggi daripada keempat Hu Kauw
Hoat Ong. Yo Siauw adalah Kong Beng Coe Soe (Kong Beng Soe Cia kiri) tapi she dan nama
Kong Beng Yo Soe (Kong Beng Soe Cia kanan) tak pernah dilihat siapa jua. Kong Bun dari
Siauw Lim Pay dan Song Wan Kiauw Song Tayhiap adalah orang-orang yang berpengelaman
sangat luas. Tapi merekapun tak tahu siapa adanya Kong Beng Yo Soe itu. Sekarang tujuan
kita adalah menyerang Yo Siauw. Dalam pertempuran berhadapan, sepala apa akan
diputuskan oleh kepandaian ilmu silat dari kedua belah pihak. Yang sangat dikuatirkan olehku
ialah waktu kita menghajar Yo Siauw, diam-diam Kong Beng Yo Soe melepaskan anak panah
gelap.
Murid-murid Go Bie mendengar penjelasan itu dengan hati berdebar-debar, bahkan beberapa
diantaranya menengok ke belakang, seolah-olah mereka kuatir Cie San Liong Ong dan Kong
Beng Yo Soe menyerang dengan mendadak.
Yo Siauw telah mencelakakan Ki Siauw Hu, Wi It Siauw telah membinasakan Ceng Hian,
kata pula Biat Coat dengan suara menyeramkan.
Permusuhan antara Go Bie Pay dan Mo Kauw adalah permusuhan yang sangat mendalam. Go
Bie dan Mo Kauw tidak dapat berdiri bersama-sama dalam dunia ini. Murid mana yang akan
menjadi ahli waris Go Bie Pay akan diputuskan dalam pertempuran yang akan datang.
Andaikata ada seorang murid lelaki yang tanpa menghiraukan keselamatan jiwa sendiri,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 646
secara kebetulan bisa membinasakan salah satu Hu Kauw Hoat Ong, maka aku aku bersedia
untuk melanggar kebiasaan kita yang sudah berjalan hampir seratus tahun lamanya.
Kedua mata Biat Coat mengawasi ke tempat jauh. Semenjak Kwee Couwsu yang mendirikan
partai kita. Ciang Boin dari Go Bie Pay selalu dipegang oleh seorang wanita. Katanya pula
dengan suara perlahan. Jangankan laki-laki, sedang wanita yang sudah menikahpun tidak
dapat menjadi Ciang Cun Jin. Akan tetapi, pada waktu partai menghadapi bahaya besar, aku
tidak dapat mengkukuhi lagi kebiasaan lama. Sekarang siapa saja, tak perduli lelaki atau
perempuan, yang berjalan besar akan menjadi ahli waris partai kita.
Semua murid Go Bie menundukkan kepala. Tak seorangpun membuka mulut. Di dalam hati
mereka merasa sangat tidak enak, karena sang guru memberi pesan untuk di hari kemudian
sehingga seolah-olah guru itu mendapat firasat, bahwa ia takkan kembali ke Tionggoan
dengan bernyawa.
Tiba-tiba Biat Coat tertawa terbahak-bahak, suaranya yang nyaring menempuh jarak jauh di
gurun pasir yang sunyi itu. Semua murid Go Bie bangun bulu romanya, mereka kaget
bercampur heran.
Tidurlah! bentak Biat Coat seraya mengibas tangan jubahnya.
Seperti biasa, Ceng Hie segera mengatur penjaga malam.
Tak usah, kata sang guru.
Ceng Hie terkejut, tapi ia tidak berani membantah. Mentang-mentang, juga jaga malam tiada
gunanya. Kalau Ceng Ek Hok Ong atau orang yang sepantasnya datang menyatroni, jaga
malam atau tidak jaga malam tidak berdaya.
Malam itu lewat tanpa sesuatu yang luar biasa dan pada keesokan paginya, rombongan Go
Bie meneruskan perjalanan. Kira-kira tengah hari mereka sudah melalui seratus li lebih.
Langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang gemilang sehingga biarpun
waktu itu sudah musim dingin, orang-orang Go Bie merasakan hawa yang hangat.
Selagi enak berjalan, di jalan barat laut tiba-tiba terdengar suara bentrokan senjata. Tanpa
menunggu perintah Ceng Hie, semua orang segera mempercepat tindakan, menuju ke arah
suara itu. Tak lama kemudian, lapat-lapat mereka melihat bayangan beberapa orang yang
sedang bertempur. Sesudah datang lebih dekat, mereka mendapat kenyataan, bahwa tiga
orang Toojin (imam) yang memegang senjata-senjata aneh tengah mengepung seorang lelaki
setengah tua.
Ketiga Toojin itu mengenakan jubah panjang warna putih dan pada tangan jubah sebelah kiri
terdapat sulaman obor yang berwarna merah sehingga dengan demikian, dia adalah orang Mo
Kauw. Lelaki sedang dikepung bersenjatakan pedang panjang dan meskipun satu melawan
tiga, dia tak jatuh di bawah angina.
Waktu itu Boe Kie sudah sembuh, tapi dia tetap berlagak belum bisa jalan dan terus duduk di
kereta salju. Dengan rasa kagum, ia mengawasi. Sambil membentak keras, orang itu memutar
badan dan pedangnya menyambar tepat di dada salah seorang Toojin. Para murid Go Bie
bersorak sorai. Diantara sorakan, Boe Kie pun mengeluarkan seruan tertahan, sebab ia
mengenali, bahwa tikaman itu adalah Sun Siu Tiu Couw (dengan menuruti aliran sungai
mendorong perahu), suatu pukulan dahsyat dari Bu Tong Kiam Hoat, dan bahwa lelaki
setengah tua itu bukan lain daripada Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Rombongan Boe Kie terus menonton tanpa memberi bantuan. Melihat datangnya bantuan dan
sesudah seorang kawannya roboh, kedua Toojin yang masih mengepung jadi ciut nyalinya.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, sambil berteriak keras mereka lari berpencaran. Satu
ke selatan dan satu ke utara. In Lie Heng menguber musuh yang lari ke selatan dan sebab ia
larinya lebih cepat, dalam sekejab ia sudah bisa menyusul dan menghantam punggung Toojin
itu dengan telapak tangannya. Si Toojin memutar badan dan melawan dengan nekat. Dilihat
cara berkelahinya yang tak memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia nampaknya bertujuan
binasa bersama-sama.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 647
Sementara itu, toojin yang kabur ke jurusan utara makin lama jadi makin jauh. Untuk
merobohkan musuhnya yang berkelahi bagaikan harimau edan, In Lie Heng masih
memerlukan waktu, sehingga biar bagaimanapun jua, ia takkan bisa menyusul toojin yang lari
ke utara itu.
Murid-murid Go Bie yang sangat membenci orang-orang Mo Kauw, mengawasi Ceng Hie
dengan harapan kakak seperguruan itu akan memberi perintgah supaya mereka memberi
bantuan. Beberapa murid wanita yang bersahabat dengan Ki Siauw Hu mengetahui, bahwa In
Lie Heng bekas tunangan Nona Ki. Setelah Ki Siauw Hu binasa karena gara-gara perebutan
Kong Beng Soe Cia Yo Siauw, mereka lebih bersimpati kepada Bu Tong Liok Hiap.
Tapi Ceng Hie bersangsi. Dalam rimba persilatan Bu Tong Liok Hiap mempunyai kedudukan
tinggi. Setiap bantuan yang diberikan kepadanya tanpa diminta, berarti melanggar tata
kehormatan. Maka itu, setelah memikir sejenak, ia mengambil keputusan untuk tidak
membantu. Ia lebih suka siluman itu meloloskan diri daripada melakukan perbuatan tidak
pantas terhadap In Liok Hiap.
Sesaat itu, sekonyong-konyong diangkasa berkelabat sehelai sinar hijau, sinar pedang yang
terbang dari tangan In Lie Heng. Dengan kecepatan yang tak mungkin dilukiskan, senjata itu
menyambar punggung Toojin yang sedang kabur. Si toojin sendiri bukan tidak tahu, bahwa
punggungnya tengah disambar pedang, tapi sebab cepatnya senjata itu, ia tidak keburu
berkelit, sehingga dilain detik, ulu hatinya sudah menjadi toblos. Tapi dia masih lari terus dan
sesudah lari lagi sejauh dua tombak, barulah ia roboh binasa. Dan pedang itu sendiri, sesudah
menembus ulu hati si Toojin, masih terbang kurang lebih tiga tombak, kemudian menancap di
pasir!
Demikian lihainya Bu Tong Liok Hiap In Lie Heng.
Semua murid Go Bie mengawasi kejadian itu dengan mata membelalak dan mulut ternganga.
Mereka tak dapat mengeluarkan suara.
Waktu semua mata ditujukan lagi ke galanggang pertempuran, Toojin yang barusan berkelahi
nekat-nekatan sekarang bergoyang-goyang badannya, seperti orang mabuk. In Lie Heng tidak
memperdulikannya lagi dan dengan tenang berjalan ke arah rombongan Go Bie. Baru ia
berjalan beberapa tindak, Toojin bekas lawannya sudah roboh binasa. Sekarang barulah
murid-murid Go Bie bersorak-sorai, bahkan BIAT COAT SOETHAY sendiri manggutmanggutkan
kepalanya sebagai tanda memberi pujian. Dilain saat paras muka si nenek
kelihatan berduka dan ia menghela nafas. Ia mengiri bahwa Bu Tong mempunyai muridmurid
yang berkepandaian tinggi, sedang dalam Go Bie Pay, tak satupun yang memuaskan
hati. Sesaat itu, ia ingat Ki Siauw Hu yang bernasib malang dan tidak bisa menikah dengan
pria yang segagah Lie Heng. Mengingat murid itu, ia jadi lebih sakit hati terhadap Mo Kauw
yang sudah mencelakai Noan Ki. (dalam alam pikir Biat Coat, Ki Siauw Hu dibinasakan oleh
Yo Siauw dan bukan olehnya sendiri)
Bibir Boe Kie sudah bergerak untuk memanggil Liok Susiok, tapi bibir itu rapat kembali.
Diantara paman-pamannya, In Lie Heng-lah yang paling erat hubungannya dengan mendiang
ayahnya dan selama ia berada di Bu Tong San, paman keenam itu selalu memperlakuinya
dengan penuh kecintaan. Dengan hati berdebar-debar, ia mengawasi paman itu yang tak
pernah dilihatnya selama delapan tahun. Ia mendapat kenyataan, bahwa Lie Heng sudah
kelihatan banyak lebih tua, sedang rambut di kedua pelipisnya sudah dauk. Mungkin sekali
kebinasaan Ki Siauw Hu sudah memberi pukulan hebat kepadanya. Di dalam hati, Boe Kie
ingin sekali melompat dan memeluk orang yang dicintainya itu. Akan tetapi sebisa-bisa ia
menahan hati, karena ia merasa bahwa jika ia berbuat begitu, ia bakal menghadapi banyak
kejadian yang tidak enak.
Sementara itu In Lie Heng sudah menghampiri BIAT COAT SOETHAY dan seraya memberi
hormat, ia berkata, Dengan memimpin saudara-saudara seperguruan dan murid-murid turunan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 648
ketiga, yang semuanya berjumlah tiga puluh dua orang, Toa Suheng boanpwee sudah tiba di
tepi It Sian Hiap. Atas titah Toasuheng Boanpwee datang kemari untuk menyambut kalian.
Bagus! kata Biat Coat. Ternyata rombongan Bu Tong Pay yang datang lebih dulu. Apakah
kalian sudah bertempur dengan pihak siluman?
Sudah tiga kali kami kebentrok dengan rombongan dua bendera. Bendera Bok dan Bendera
Hwee, jawabnya. Kami berhasil membinasakan beberapa siluman, tapi Citsutee Boh Seng
Kok juga terluka.
Biat Coat mengangguk, ia mengerti, bahwa meskipun Lie Heng menjawab dengan tenang,
ketiga pertempuran itu tentulah pertempuran sangat hebat. Ia pun mendapat kenyataan, bahwa
pihak musuh lihai sekali. Lima pendekar Bu Tong yang berkepandaian tinggi ternyata masih
belum bisa mengambil jiwanya Ciang Kie Soe dan malah Cit Hiap Boh Seng Kok mendapat
luka.
Apakah kalian pernah menyelidiki kekuatan Kong Beng Teng? Tanya pula Biat Coat.
Sepanjang pendengara, Peh Bie Kauw, Kiu Tok Hwee dan lain-lain cabang Mo Kauw datang
membantu, jawabnya. Kata orang, Cie San Liong Ong dan Ceng Ek Hok Ong juga datang
kemari.
Biat Coat terkejut, Cie San Liong Ong juga datang? ia menegas. Sambil bicara, mereka
berjalan dengan perlahan, diikuti dari kejauhan oleh murid-murid Go Bie.
Sesudah beromong-omong kira-kira setengah jam, Lie Heng mengangkat kedua tangannya
untuk berpamitan dengan mengatakan bahwa ia harus berhubungan dengan Hwa San Pay.
In Liok Hiap, kata Ceng Hie, Sesudah berjalan jauh, kau mestinya sudah lapar. Lebih baik
makan dulu.
In Lie Heng tidak berlaku sungkan. Terima kasih, baiklah. Katanya sambil mengangguk.
Murid-murid wanita Go Bie lantas saja mengeluarkan makanan kering. Beberapa diantaranya
membuat dapur, menyalakan api, dan memasak air. Makanan mereka sendiri sangat
sederhana, tetapi kepada In Lie Heng, mereka ingin menyediakan santapan yang sebaikbaiknya.
Semua kecintaan itu telah diunjuk sebab mereka ingat Ki Siauw Hu yang telah tiada
lagi di alam dunia. In Lie Heng pun mengerti apa yang dipikir oleh mereka. Dengan mata
merah dan suara terharu, ia berkata, Terima kasih atas kebaikan Suci dan Soemoay.
Sekonyong-konyong Coe Jie berkata, In Liok Hiap, aku ingin mencari keterangan mengenai
seseorang. Apa boleh?
Dengan tangan memegang semangkok mie kuah, In Lie Heng menengok ke arah si nona dan
berkata dengan suara manis. Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama yang mulia dari
Siauw Soemoay? Hal apa yang mau ditanyakannya? Asal saja aku tahu, aku tentu akan
memberitahukan.
Aku bukan orang Go Bie Pay, Jawabnya. Aku malah lawan mereka dan telah ditangkap oleh
mereka. Sekarang aku menjadi tawanan Nikouw tua itu.
Mendengar jawaban itu, In Lie Heng yang semula menduga bahwa si nona adalah murid Go
Bie Pay, jadi tercengang. Tapi karena nona itu sangat polos dan berterus terang, ia jadi merasa
suka kepadanya. Apa kau anggota Mo Kauw? tanyanya.
Juga bukan! jawab Coe Jie. Aku malah musuh Mo Kauw.
In Lie Heng jadi bingung, tapi ia tak punya tempo untuk bicara panjang-panjang. Sebagai
penghargaan terhadap pihak tuan rumah, ia mengawasi Ceng Hie dengan sorot mata menanya.
keterangan apa yang kau ingin dapat dari In Liok Hiap? kata Ceng Hie.
Pertanyaanku adalah ini: Apakah suhengmu Thio Cui San Thio NgoHiap juga datang di It
Sian Hiap? kata Coe Jie.
Perlu apa kau menanya begitu? menegas In Lie Heng.
Paras muka Coe Jie bersemu merah. Aku ingin mencari tahu, apakah putera Thio Ngohiap
yang bernama Boe Kie juga datang kemari, katanya dengan suara perlahan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 649
Boe Kie terkejut, Apa Coe Jie sudah tahu siapa adanya aku? tanyanya didalam hati.
Apa kau bicara sungguh-sungguh? Tanya pula In Lie Heng.
Sungguh-sungguh, jawabnya. Aku tidak berani main-main terhadap In Liok Hiap.
Sudah sepuluh tahun NgoKo meninggal dunia, kata Lie Heng dengan suara perlahan. Apa
benar nona tak tahu?
Coe Jie melompat bangun. Ah! serunya. Thio Ngohiap sudah meninggal dunia! Kalau begitu,
dia sudah yatim piatu.
Apakah nona mengenal keponakanku Boe Kie? Tanya In Lie Heng.
Lima tahun berselang, di rumah Tiap Kok Ie Sian Ouw Ceng Goe, aku pernah bertemu
dengannya, jawab si nona. Tapi sekarang aku tak tahu dimana ia berada.
Atas titah Soehoe, akupun pernah datang di Ouw Tiap Kok untuk menemui Boe Kie. Kata
pula In Lie Heng. Akan tetapi, suami isteri Ouw Ceng Goe telah dibinasakan orang dan Boe
Kie tak ketahuan kemana perginya. Lama juga aku menyelidiki tanpa berhasil. Belakangan
hai! Tak dinyana tak dinyana.. Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sedang paras mukanya
berubah sedih.
Ada apa? Tanya si nona tergesa-gesa. Apa yang didengar olehmu?
Dengan rasa heran, In Liok Hiap menatap wajah Coe Jie. Nona, katanya. Mengapa kau
menaruh perhatian begitu besar? Apakah keponakanmu sahabat atau musuhmu?
Coe Jie mengawasi ke tempat jauh. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata dengan suara
perlahan. Aku telah mengajak dia pergi ke pulau Leng Coa To..
Leng Coa To? memutus Lie Heng. Pernah apa nona kepada Gin Yap Sianseng dan Kim Hoa
Popo?
Si nona tidak menjawab. Ia terus melamu dan bagaikan seorang linglun, ia berkata pula pada
dirinya sendiri. Dia bukan saja menolak, tapi juga memukul, mencaci dan bahkan menggigit
tanganku, hingga darahku mengucur... Seraya berkata begitu, telapak tangan kirinya
mengusap-usap belakang tangan kanannya tapi tapi.. kutetap tak dapat melupakannya. Aku
bukan mau mencelakai dia, aku ingin bisa mengajak dia ke Leng Coa To supaya dia bisa
menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Popo. Aku ingin berusaha untuk mengusir
racun dingin Hian Beng Sin Ciang yang mengeram dalam tubuhnya. Tapi dia garang luar
biasa. Dia menganggap maksudku yang begini baik sebagai niatan jahat.
Jilid 35_______________
Boe Kie kaget tak kepalang. Baru sekarang ia tahu, bahwa Coe Jie adalah A-Iee yang pernah
mencekal lengannya dalam pertemuan di Ouwtiap kok. Baru sekarang ia tahu bahwa
kecintaan yang tidak dapat dilupakan oleh si nona adalah dirinya sendiri. Ia mengawasi muka
Coe Jie. Pada roman yang jelek itu sudah tak ada bekas-bekas dari kecantikan yang dulu. Tapi
waktu melihat sinar mata si nona, lapat-lapat ia ingat sinar mata A-Iee.
Kalau begitu dia murid Kim hoa Popo, kata Biat coat Soethay dengan suara dingin. Kim hoa
Popo pun bukan seorang dari partai lurus bersih. Tapi sekarang kita tak boleh menanam
terlalu banyak permusuhan dan untuk sementara waktu, kita tahan saja padanya.
Nona, kata Lie Heng. Terhadap keponakanku, kau ternyata mempunyai maksud baik. Hanya
sayang dia tipis rejeki. Beberapa hari berselang, aku telah bertemu dengan Sianseng Ho Thay
Ciong, Ciang boen jin dari Koen loen pay. Dari orang tua itu, aku mendapat tahu, bahwa pada
empat tahun berselang, karena terpeleset Boe Kie telah jatuh ke jurang yang dalamnya
berlaksa tombak. Hai! Kecintaan antara aku dan mendiang ayahnya bagaikan kecintaan antara
tangan dan kaki. Di luar dugaan, langit tidak melindungi orang yang baik.
Bruk! Coe Jie jatuh terjengkang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 650
Buru-buru Coe Cie Jiak membangunkannya dan sesudah mengurut dadanya beberapa saat,
barulah si nona tersadar.
Bukan main sedihnya Boe Kie. In Lie Heng dan Cioe Jie sudah begitu berduka karena
mencintainya, tapi ia sendiri harus berlaku begitu tega dan tidak mau memperkenalkan
dirinya. Pada saat itu, tiba-tiba beberapa tetes air mata jatuh di belakang tangannya. Ia
mengangkat kepala dan mendapat kenyataan, bahwa orang yang menangis adalah Cioe Cie
Jiak. Dengan hati tersayat, ia ingat kejadian di tengah sungai Han-soei. Dia rupanya belum
melupakan pertemuan di sungai itu, katanya di dalam hati.
Sementara itu sambil menggertak gigi Cioe Jie bertanya, In Liok-hiap, apakah Boe Kie
dicelakai oleh Ho Thay Ciong?
Bukan, jawabnya. Sepanjang keterangan Boe Liat dari Coe-boe Lian hoan-chung telah
menyaksikan dengan mata sendiri terpelesetnya dan jatuhnya keponakanku. Coe Tiang Leng,
seorang ternama dalam rimba persilatan, juga turut mati bersama-sama.
Si nona menghela napas lalu berduduk.
Nona, bolehkan aku mendapat tahu she dan namamu yang mulia? tanya Boe-tong Liok Hiap.
Coe Jie menggelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia membanting diri di pasir dan menangis
menggerung-gerung.
Nona, tak usah kau begitu bersedih, membujuk Lie Heng. Andaikata keponakanku tidak mati
di dalam jurang, ia juga tidak bisa terlolos dari kebinasaan karena racun dingin itu. Hai mati
jatuh dengan badan remuk memang lebih baik daripada mati disiksa racun.
Lebih cepat anak itu mati memang lebih baik, celah Biat-coat. Kalau dia hidup terus, ia tak
bisa menjadi lain daripada bibit penyakit.
Bangsat tua! Jangan kau bicara sembarangan! bentak Coe Jie.
Mendengar guru mereka dicaci, murid-murid Go-bie tentu saja merasa gusar dan empat lima
orang sudah segera menghunus pedang. Tapi tanpa menghiraukan ancaman itu, Coe Jie terus
mencaci. Bangsat tua! Ayah Boe Kie adalah soeheng dari In Liok hiap. Apakah ayahnya tidak
cukup baik?
Biat coat tidak menjawab, ia hanya tersenyum dingin.
Ayahnya memang juga seorang dari partai yang lurus bersih, kata Ceng hie. Tapi bagaimana
dengan ibunya? Turunan perempuan siluman dari Mo kauw memang tidak bisa menjadi lain
daripada bibit penyakit.
Perempuan siluman dari Mo kauw? menegas Coe Jie. Siapa ibunya Boe Kie?
Murid-murid Go bie tertawa geli.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 651
Boe Kie merasa dadanya mau meledak. Kalau tekadnya untuk menyembunyikan diri kurang
kuat, ia tentu sudah melompat dan mencaci orang-orang itu yang menghina mendiang ibunya.
Selebar mukanya merah padam, air matanya berlinang-linang, tapi dengan sekuat tenaga ia
mempertahankan diri.
Sebagai manusia yang tidak kejam, mendengar pertanyaan Coe Jie, dengan suara perlahan
Ceng hie menjawab, Isteri Thio Ngohiap adalah anaknya In Thian Ceng dari Peh bie kauw.
Dia bernama In So So.
Ah! teriak Coe Jie. Wajahnya lantas saja berubah pucat.
Sebab menikah dengan perempuan siluman itu, nama Thio Ngohiap menjadi hancur, hingga
pada akhirnya ia membunuh diri di Boe tong san, menerangkan Ceng hie. Kejadian itu
diketahui oleh orang sedunia. Apakah nona tak tahu?
Tidak jawabnya dengan mata membelalak. Aku berdiam di Leng coa to, kutak tahu kejadian
dalam rimba persilatan di wilayah Tionggoan. Tapi, di manakah adanya In So So sekarang?
Dia membunuh diri bersama-sama Thio Ngohiap. jawabnya.
Coe Jie melompat bagaikan dipagut ular. Jadi dia dia sudah mati? teriaknya.
Kau mengenal In So So? tanya Ceng hie dengan suara heran.
Sesaat itu, disebelah timur laut sekonyong-konyong terlihat sinar api yang berwarna biru.
Celaka! seru In Lie Heng. Keponakan Ceng Soe dikepung musuh. Ia memutar badan dan
memberi hormat kepada Biat coat dan yang lain lain, dan kemudian dengan tergesa-gesa lari
ke jurusan sinar api itu.
Dengan sekali mengibas tangan, murid-murid Go bie segera mengikuti dari belakang In Liok
hiap.
Waktu sudah datang dekat, mereka mendapat kenyataan bahwa seorang pemuda yang
mengenakan pakaian sastrawan sedang dikepung oleh tiga orang. Ketiga orang itu, yang
bersenjata golok, memakai tudung dan mengenakan pakaian kacung atau pesuruh. Sesudah
menyaksikan beberapa gerakan, murid-murid Go bie merasa heran, sebab biarpun seperti
pesuruh, mereka ternyata berkepandaian tinggi, lebih tinggi daripada toojin-toojin yang
dirobohkan oleh In Lie Heng. Pemuda itu, yang bersenjata pedang panjang, sudah jatuh
dibawah angin, tapi pembelaannya sangat kuat, sehingga sedikitnya untuk sementara ia masih
dapat mempertahankan diri.
Tak jauh dari gelanggang pertempuran berdiri 6 orang yang mengenakan jubah panjang warna
kuning dengan sulaman obor merah di tangan jubah. Itulah tanda, bahwa mereka anggota Mo
kauw.
Melihat kedatangan In Lie Heng dan rombongan Go bie, seorang kate gemuk dari antara
keenam penonton itu berteriak, In Lie Heng tee (persaudaraan), kalian gagal! Larilah! Kami
akan melindungi dari belakang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 652
Hau-touw kie (Bendera tarah tebal) memang paling sombong! teriak salah seorang dari ketiga
pesuruh itu. Orang she Gan! Kau saja yang kabur lebih dulu.
Ceng hie mengeluarkan suara di hidung. Kebinasaan sudah berada di atas kepalamu, tapi kau
masih bertengkar dengan kawan sendiri, katanya.
Soecie, siapa mereka? tanya Coe Cie Jiak.
Yang mengenakan pakaian pesuruh adalah budak-budaknya In Thian Ceng, jawabnya.
Mereka bernama In Boe Hok, In Boe Lok dan In Boe Sioe.
Budak? menegas nona Cioe dengan suara heran. Tapi mengapa mengapa.
Mereka bukan orang biasa, dulunya mereka perampok-perampok besar, menerangkan sang
kakak. Keenam orang yang mengenakan jubah kuning adalah anggota-anggota Houw touw
kie dari Mo kauw. Siluman kate gemuk itu mungkin sekali Gan Hoan, Ciang kie soe dari
Houw touw kie. Menurut katanya Soehoe, kelima Ciang kie soe telah kebentrok dengan
Kauwcoe Peh bie kauw sebab berebut kedudukan.
Tiba-tiba terdengar suara brett! dan tangan baju pemuda yang terkepung robek karena
bacokan In Boe Sioe.
Sambil bersiul nyaring In Lie Heng melompat pedangnya membabat golok In Boe Lok.
Trang! golok itu melengkung. Dengan kaget In Boe Lok melompat mundur.
Mendadak, bagaikan kilat Coe Jie melompat dan dengan menunjuk tangan kanan, ia menotok
punggung In Boe Lok. Hampir berbareng bagaikan kilat pula, ia melompat balik ke tempat
semula.
In Boe Lok berkepandaian tinggi. Tapi sebab ia sedang kaget dan juga sebab gerakan si nona
cepat luar biasa, maka totokan itu mampir tepat pada sasarannya. Di lain saat, badannya kaku
dan mukanya semu hitam.
In Boe Hok dan In Boe Sioe terkesiap. Dengan serentak mereka mendekati Boe Lok.
Sekonyong-konyong mereka mengawasi Coe Jie dengan mata membelalak. Lee siocia!...
teriaknya dengan suara tergugu.
Hm! Kamu masih mengenali aku? kata si nona.
Semua orang yang menyaksikan itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka menduga
bahwa kedua orang itu akan segera menyerang Coe Jie. Tapi diluar sangkaan, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, mereka segera memondong mayat kawannya dan lari ke jurusan
utara. Itulah perubahannya yang sungguh tak dinyana-nyana.
Dengan sekali mengibas, dalam tangan si kate gemuk sudah mencekal sehelai bendera besar
yang berwarna kuning. Perbuatan itu diturut oleh kelima kawannya sambil memutar-mutar
bendera-bendera itu, perlahan-lahan mereka mundur ke arah utara.
Semua murid Go bie mengawasi dengan perasaan heran. Mendadak dua murid lelaki
melompat dan menguber dengan senjata terhunus. Tubuh In Lie Heng berkelebat dan dalam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 653
sekejap, ia sudah melewati kedua murid Go bie itu. Dengan sekali mendorong, kedua orang
itu terhuyung ke belakang beberapa tindak dan muka mereka lantas saja berubah merah.
Jiewie soetee, balik! bentak Ceng hie. In Liok hiap bermaksud baik, Houw touw kie tidak
boleh dikejar.
Beberapa hari berselang, bersama Boh Cit tee aku menguber Liat-hwee-kie (Bendera api
hebat), menerangkan Lie Heng. Hampir-hampir kami celaka. Sebagian rambut dan alis Boh
Cit tee terbakar. Seraya berkata begitu, ia menggulung tangan baju kiri dan pada lengannya
terlihat bekas-bekas terbakar. Kedua murid Go-bie itu manggut-manggutkan kepala dengan
perasaan jengah.
Sementara itu, sambil menatap wajah Coe Jie dengan sorot mata dingin, Biat coat Soethay
bertanya, Cian-cee Ciat-hoe-cioe, bukan?
Belum sempurna, jawab si nona.
Mengapa kau membunuh dia? tanya pula si nenek.
Bukan urusanmu, kata si gadis dengan sikap acuh tak acuh. Aku ingin membunuh, aku lantas
membunuh.
Biat coat menggerakkan tangannya dan hampir berbareng ia sudah menyambut pedang Ceng
hie, Cring!, Coe Jie melompat ke belakang dengan paras muka pucat. Mengapa? Karena
dengan kecepatan luar biasa, dengan Ceng hie, Biat coat membabat telunjuk kanan si nona,
gerakannya adalah sedemikian cepat, sehingga tak dapat dilihat nyata oleh siapapun jua.
Di luar dugaan telunjuk si nona tertutup bida jari yang terbuat daripada baja murni dan karena
pedang yang digunakan Biat coat bukan Lethian kam, maka senjata itu tidak dapat
memutuskannya. Dengan mendongkol si nenek melontarkan senjata itu kepada Keng hie dan
sambil mengeluarkan suara di hidung ia berkata, Kali ini kau masih mujur, di lain kali
janganlah kau jatuh lagi ke dalam tanganku. Sikap itu adalah sesuai dengan kedudukannya
sebagai ciangboenjin dari sebuah partai. Sesudah gagal dalam serangannya terhadap seorang
yang tingkatannya lebih rendah, ia sungkan menyerang untuk kedua kalinya.
Mengingat bantuan Coe Jie kepada pihaknya dan kecintaan nona itu kepada Boe Kie, In Lie
Heng jadi merasa kasihan dan segera berkata, Sosiok, dengan tak disengaja anak itu telah
mempelajari ilmu yang sesat. Kita harus memberi kesempatan supaya dia belajar pada guru
yang lurus bersih. Hmm, kurasa ada baiknya jika dia berguru kepada Thie-khim sianseng. Ia
menarik tangan pemuda yang tadi dikepung dan berkata pula, Ceng Soe, lekaslah memberi
hormat kepada Soethay dan para paman.
Pemuda itu segera maju mendekati dan berlutut di hadapan Biat-coat, tapi pada waktu ia mau
menjalankan peradatan besar di hadapan Ceng hie dan yang lain-lain, para murid Go bie itu
menolak dan membalas hormat.
Pada waktu itu Thio Sam Hong sudah berusia lebih dari seratus tahun dan jika dihitung hitung
tingkatannya lebih tinggi beberapa tingkat daripada Biat-coat. Karena pernah bertunangan
dengan Kie Siauw Hoe, maka kedudukan In Lie Heng jadi lebih rendah setingkat daripada
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 654
Biat caot. Jika sebagai pendiri Boe-tong-pay, Thio Sam Hong direndengi dengan pendiri Go
bie pay, Kwee Siang, maka menurut pantas Biat coat lah yang harus memanggil Soesiok
kepada In Lie Heng. Tapi sebegitu jauh Boe Tong dan Go bie tidak berani menerima
panggilan dengan melihat saja usia masing-masing. Tapi meskipun begitu, murid-murid Go
bie tidak berani menerima panggilan paman dari sasterawan muda itu.
Sesudah menyaksikan kegagahan pemuda itu sekarang dengan perasaan kagum semua orang
mengawasi paras mukanya yang tampan dan angker.
Ceng Soe adalah putera tunggal dari Toasoeko, In Liok-hiap memperkenalkan keponakannya.
Aha! seru Ceng hie. Sejak beberapa lama aku memang sudah mendengar nama besarnya Giok
bin Beng siang. Dalam kalangan Kangouw semua orang memuji Song Siauw-hiap sebagai
seorang ksatria yang mulia hatinya. Aku merasa beruntung, bahwa di hari ini aku bisa
bertemu dengannya. (Giok bin muka yang putih seperti batu pualam. Beng siang koen,
seorang ksatria yang pandai pada jaman Liat kok).
Semua orang mengawasi pemuda tampan itu, dengan perasaan terlebih kagum. Memang
sudah lama mereka mendengar nama cemerlang dari Giok bin Beng Siang Ceng Soe.
Coe Jie yang berdiri di samping Boe Kie tiba-tiba berbisik, A Goe dia lebih banyak tampan
daripada kau.
Tentu saja perlu apa dikatakan lagi? kata Boe Kie.
A Goe, kata pula si nona. Coba kau lihat. Nona Cioe mu sedang memandang kau tak sudahsudahnya.
Perkataan itu diucapkan sangat perlahan, tapi Cioe Cie Jiak rupanya sudah
mendengar, karena ia sudah melengos.
Sementara itu sesudah beromong omong beberapa saat, In Lie Heng berkata, Soe jie mari kita
berangkat.
Menurut rencana hari ini, kira-kira tengah hari rombongan Khong tong-pay akan tiba di
sekitar tempat ini, kata Ceng-soe. Tapi sampai sekarang mereka belum muncul. Aku kuatir
terjadi sesuatu yang tidak enak.
Ya, akupun merasa kuatir, kata sang paman. Kita sekarang sudah berada di daerah musuh.
Menurut pendapatku, paling baik kita menuju ke barat bersama-sama rombongan Go bie-pay,
kata pula pemuda itu. Mungkin sekali dalam jarak kira-kira lima belas li kita akan menemui
musuh.
Mengapa Song Siauw hiap bisa mengatakan begitu? tanya Ceng hie dengan suara heran.
Aku hanya menebak-nebak, jawabnya.
Ceng hie mengetahui, bahwa ayah pemuda itu Song Wan Kiauw, bukan saja tinggi ilmu
silatnya, tapi juga paham ilmu Kie boen dan ilmu perang, sehingga sebagai putra seorang
berilmu pemuda itupun tentu bukan sembarangan orang. Memikir begitu, ia tidak menanya
lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 655
Baiklah, kata In Lie Heng. Memang paling baik jika kita jalan bersama-sama para cianpwee
dari Go bie pay.
Mendengar perkataan In Lie Heng, Biat coat Soethay berkata dalam hatinya. Sudah kira-kira
tigapuluh tahun Thio Sam Hong tidak menghiraukan lagi segala urusan dunia dan pada
hakekatnya tugas Ciangboenjin Boe tong pay sudah dipikul seanteronya oleh Song Wan
Kiauw. Lihat-lihat gelagatnya, kedudukan Ciangboenjin ketika dari Boe tong pay akan
diduduki oleh Song Siauw hiap. Sekarang saja sang paman sudah menuruti kemauan si
keponakan!
Tapi sebenar-benarnya hal itu sudah menjadi sebab In Lie Heng bertabiat halus dan sedapat
mungkin sungkan membantah kemauan orang lain.
Demikian kedua murid Boe tong lalu berjalan bersama-sama rombongan Go bie. Sesudah
melalui kurang lebih lima belas li, di depan mereka memandang sebuah bukit pasir. Melihat
Ceng Soe berlari-lari mendaki bukit itu, Ceng hie segera mengibas tangannya dan dua murid
Go bie lantas saja menguber dari belakang, sehingga ketiga orang tiba di atas bukit hampir
berbareng. Dan hampir berbareng dia mengeluarkan teriakan kaget, karena di sebelah barat itu
kelihatan menggeletak belasan mayat.
Mendengar teriakan mereka, semua orang segera memburu ke atas. Mereka mendapat
kenyataan, bahwa semua korban binasa sebab pukulan hebat, ada yang hancur batok
kepalanya, ada yang melesak badannya dan sebagainya.
In Lie Heng yang mempunyai paling banyak pengalaman dalam dunia Kang-ouw lantas saja
berkata, Rombongan Po yang-pang dari propinsi Kang-say termusnah seanteronya. Mereka
dihancurkan oleh Kie bok kie (Bendera balok besar) dari Mo kauw.
Biat coat mengerutkan alis, Mengapa Po yang-pang datang kesini? tanyanya dengan suara
kurang senang. Apakah diundang oleh partaimu? Si nenek mendongkol sebab partai lurus
bersih biasanya memandang rendah kepada berbagai golongan/perkumpulan (pang hwee)
dalam dunia Kang ouw dan ia segan untuk bercampur dengan pang pang itu.
Tidak, kami tak mengundangnya, jawab Lie Heng. Tapi Lauw Pang coe dari Po yang-pang
telah diakui sebagai murid Khong tong pay. Mereka rupanya ingin membantu rumah
perguruan.
Biat coat mengeluarkan suara di hidung dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Sesudah mayat-mayat dikuburkan, seorang murid lelaki Go bie pay, she Wie, yang merasa
kagum akan jitunya tebakan Song Ceng Soe, bertanya, Saudara Song, apakah kita bakal
bertemu dengan musuh?
Pemuda itu tidak lantas menjawab, sambil mengawasi kuburan-kuburan yang berderet-deret,
ia mengasah otak. Sekonyong-konyong, kuburan yang paling barat membuka dan seorang
lelaki melompat keluar. Bagaikan kilat dia menawan murid Go bie she Wie itu dan lalu kabur.
Semua orang terkesiap, beberapa murid wanita mengeluarkan teriakan kaget. Di lain detik,
Biat coat dan Lie Heng, Song Ceng Soe dan Ceng hie sudah menguber dengan senjata
terhunus. Selang beberapa saat, sesudah dapat menetapkan hatinya, barulah murid-murid Go
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 656
bie mendusin, bahwa orang itu ialah Ceng ek Hok ong. Dengan mengenakan pakaian anggota
Po yang-pang dia menambah napas dan berlagak mati. Murid-murid Go bie yang mengubur
mayat, yang tidak memeriksa dengan teliti sudah kena dikubur. Setelah menahan korbannya,
si Raja kelelawar kabur, tapi dia tak kabur terus seperti orang mengejek dia lari berputaran,
membuat sebuah lingkaran.
Waktu baru mengundak, Biat Coat berempat lari dengan berendeng; tapi sesudah melalui
terlihatlah tinggi rendah kepandaian mereka, dengan dua orang lebih dulu dan dua orang lebih
belakang. Biat Coat dan In Lie Heng di sebelah depan. Ceng Hie dan Ceng Soe mengikuti
dari belakang. Tapi sesudah dua putaran, Ceng Soe makin mendekati Biat Coat dan In Lie
Heng, sedangkan Ceng hie ketinggalan makin jauh. Dari sini dapatlah dilihat, bahwa pemuda
itu benar-benar lihay dan meskipun usianya masih muda, ia sudah memiliki lweekang yang
tinggi. Tapi ilmu ringan Ceng ek Hok ong tiada bandingannya dalam rimba persilatan.
biarpun mendukung manusia, ia tetap belum dapat disusul.
Sesudah dua putara, tiba-tiba Ceng Soe berhenti mengundak dan berteriak, Tio Leng Coe Soe
siok, Oey Kio Boe Soe siok, pergilah kedudukan Lee-wie dan memotong larinya musuh! Soen
Liang Tin Soesiok, Lie Beng Hee Soesiok, cegatlah musuh dari kedudukan Cina wie!...
Bagaikan seorang panglima, ia berteriak-teriak memberi perintah kepada belasan murid Go
bie untuk mencegat musuh dengan mengambil kedudukan Pat-kwa. Orang2 Go bie yang
kehilangan pimpinan, sudah menuruti semua perintah itu, yang dikeluarkan dengan suara
angker.
Karena adanya pencegatan yang sangat rapat itu, Ceng ek Hok ong tidak bisa lari putaran lagi
dengan leluasa. Seraya tertawa nyaring ia melemparkan tawanannya ke tengah udara dan
kemudian kabur ke tempat lain. Biat coat melompat dan kedua tangannya menyangga tubuh
muridnya yang melayang jatuh.
Di lain saat, sayup-sayup terdengar suara si Raja kelelawar, Hah..hah!... Di antara orang muda
banyak yang lihay, dengan mempunyai murid yang lihay itu, Biat coat Loohie sungguh tidak
boleh dibuat permainan. Dengan berkata begitu, ia memuji kepandaian Song Ceng Soe.
Sementara itu Biat coat berdiri terpaku dengan muka pucat pasi. Sebab murid yang
dipeluknya ternyata sudah binasa, dengan luka bekas gigitan di lehernya.
Dengan hati berduka, tanpa mengeluarkan sepatah kata semua orang berdiri di sekitar Biat
coat. Sesudah lewat beberapa lama, In Lie Heng berkata dengan suara perlahan. Menurut
katanya orang, Ceng ek Hok ong selalu menghisap darah manusia. Cerita itu ternyata bukan
omongan kosong.
Biat coat Soethay malu, marah dan sakit hatinya. Semenjak menjadi Ciangboenjin Go bie pay
baru kali ini ia mendapat pukulan yang begitu hebat. Dua orang muridnya dengan beruntun
telah dibinasakan musuh, tanpa bisa berbuat apapun jua. Sesudah berdiri bengong beberapa
lama, ia mengawasi Ceng Soe dan bertanya, Bagaimana kau tahu nama murid-muridku itu?
Tadi Ceng hie Soesiok telah memperkenalkan mereka kepada teecoe, jawabnya.
Hm.. mendengar dan tak lupa lagi! kata si nenek dengan suara perlahan. Go bie pay mana
punya orang sepandai itu?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 657
Malam itu, waktu mengaso dengan sikap hormat Ceng Soe menghampiri Biat coat dan
berkata sambil membungkuk, Cianpwee, bolehkan boanpwee memohon sesuatu yang tidak
pantas?
Kalau kau tahu tidak pantas, tak perlu kau membuka mulut, kata si nenek dengan tawar.
Ya, kata pemuda itu sambil bertindak mundur dan kemudian duduk di samping In Lie Heng.
Murid-murid Go bie merasa sangat heran. Mereka tak tahu apa yang mau diminta pemuda itu.
Sebagai seorang yang berwatak sangat tidak sabaran, Teng Bin Koen segera mendekati dan
bertanya, Saudara Song, apakah yang mau diminta olehmu?
Waktu mengajar ilmu pedang, ayahku pernah mengatakan bahwa pada jaman ini orang
palilng lihay kiam hoatnya di dalam dunia adalah Soecouw kami, sedang yang kedua ialah
Biat coat Cianpwee. Kiamhoat Boe-tong dan Go bie masing-masing mempunyai keunggulan
dan kekurangan. Misalnya saja, pukulan Chioe hwie Ngo hian (Tangan menyapu lima kali
tetabuhan) dari Boe tong hampir bersamaan dengan Ceng lo Siauw-san (Kudung tipis dan
kipas kecil) dari Go bie pay. Tapi jika Chioe hwie Ngo hian dikirim dengan menggunakan
tenaga yang besar maka kelincahannnya jadi berkurang dan tidak dapat menyamai Ceng lo
Siauw san yang tetap bisa mempertahankan kecepatannya. Seraya berkata begitu, ia
menghunus pedang dan menjalankan kedua jurus itu. Tapi waktu menjalankan Ceng lo Siauw
san, gerakannya sangat tidak sempurna.
Salah, kata Teng Bin Koen sambil bersenyum dan mengambil pedang yang dicekal pemuda
itu. Pergelangan tanganmu masih sakit dan tidak bisa mengeluarkan banyak tenaga,
katanya. Tapi kau lihatlah aku memberi contoh.
Pemuda itu mengawasi dengan penuh perhatian. Sesudah Teng Bin Koen selesai dengan jurus
itu, sambil menghela napas ia berkata, Ayahku sering mengatakan bahwa ia merasa menyesal
belum bisa menyaksikan ilmu pedang gurumu. Hari ini boanpwee merasa sangat beruntung
bisa mendapat kesempatan untuk menyaksikan pukulan Ceng lo Siauw san dari Teng Soesiok.
Sebenarnya boanpwee ingin memohon petunjuk-petunjuk Soethay mengenai beberapa hal
dalam kiamhoat. Tapi karena boanpwee bukan murid Go bie, maka tak dapat boanpwee
membuka mulut.
Biarpun berada di tempat yang agak jauh, Biat coat sudah mendengar pembicaraan itu. Bahwa
ia dianggap sebagai jago pedang nomor dua dalam dunia, sudah menggirangkan hatinya. Pada
jaman itu, Thio Sam Hong dipandang sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam
dunia persilatan dan ia dikagumi oleh semua orang. Biat coat sendiri belum pernah
mengandung maksud untuk menandingi guru besar itu, sehingga pendapat kalangan Boe-tong
bahwa ia adalah ahli pedang nomor dua sudah sangat memuaskan hatinya. Melihat jurus Ceng
lo Siauw san yang barusan dijalankan oleh Teng Bin Koen ia merasa mendongkol sebab jurus
itu masih jauh dari sempurna. Masakah Go bie kiam hoat hanya sebegitu?
Maka itu, ia segera menghampiri dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengambil pedang
yang tengah dicekal Teng Bin Koen. Sesudah mengangkat pedang itu sampai merata dengan
hidungnya, tangannya menggetar dan ujung pedang segera mengeluarkan suara ung ung. Dari
kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, sembilan kali ia membulang balingkan senjata itu dengan
kecepatan luar biasa. Tapi biarpun cepat,gerakan pedang dilihat dengan nyata sekali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 658
Para murid Go bie mengawasi dengan mata membelalak.
Sungguh indah, teriak In Lie Heng.
Song Ceng Soe sendiri memperhatikan setiap gerakan sambil menahan napas. Ia kagum
bercampur kaget. Tadi dengan memberi pujian, ia sebenarnya hanya ingin menyenangkan hati
si nenek. Tapi dilluar dugaannya, niekouw tua itu benar-benar lihay dan ia merasa takluk.
Maka itu dengan setulus hati ia segera memohon beberapa petunjuk lain.
Sekarang Biat coat berlaku loyal. Semua pertanyaan dijawab dan dijelaskan seterangterangnya,
sedang dimana perlu nenek itu bersilat untuk memberi contoh-contoh. Semua
murid Go bie memperhatikan itu tanpa bersikap. Banyak diantaranya, bahkan ada yagn sudah
mengikutu sang guru selama belasan tahun belum pernah melihat kiam hoat yang lihay itu
dari gurunya.
Coe Jie dan Boe Kie berdiri diluar lingkaran penonton. Tiba-tiba si nona berkata, A Goe
Koko, kalau aku bisa mempunyai ilmu ringan badan setinggi Ceng-ek Hok ong biarpun mati
aku merasa rela.
Guna apa memiliki ilmu yang sesat? kata Boe Kie. menurut katanya In Liok-hiap, saban kali
menggunakan ilmunya, Wie It Siauw harus membunuh manusia. Perlu apa mempunyai ilmu
siluman?
Dalam pertempuran, manusia saling membunuh, kalau tidak membunuh tentu dibunuh, kata
Coe Jie. Wie It Siauw lihay dan dia berhasil membunuh murid Go bie. Kalau dia kurang lihay,
bukankan dia sendiri yang bakal dibunuh oleh si niekow tua? Dimataku, tak ada perbedaan
antara partai lurus bersih dan golongan yang dikatakan sesat.
Boe Kie tidak mengatakan suatu apa lagi.
Sekonyong-konyong sebatang pedang berkeredepan di angkasa. Pedang itu adalah senjata
Song Ceng yang kena dilontarkan oleh Biat coat dengan pukulan Kiauw jiak yoe liong (Gesit
bagaikan naga). Semua orang mendongak dan mengawasi senjata itu. Tiba-tiba mata mereka
melihat sinar api yang berwarna kuning di sudut timur laut yang jauhnya kira-kira belasan li.
Dalam usaha untuk membasmi Mo-kauw keenam buah partai telah bersepakat untuk
menggunakan anak panah api dari enam macam warna sebagai tanda mereka. Anak panah
yang bersinar kuning itu adalah tanda Khong tong pay.
Khong tong pay bertemu dengan musuh, kata In Lie Heng. Mari kita membantu.
Mereka segera memburu ke jurusan itu. Tapi sesudah melalui belasan li, apa yang ditemukan
hanyalah pasir kuning.
Apa Oen Loocianpwee dari Khong tong pay? teriak In Lie Heng. Apa Kouw Loocianpwee?
Teriakan itu menempuh jarak yang jauh, tapi tak mendapat jawaban.
Sekonyong-konyong di sebelah barat muncul sinar kuning.
Ah! Mereka pindah ke barat, kata Ceng hie. Dengan tergesa-gesa mereka memburu ke jurusan
barat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 659
Tapi sesudah berlari-lari beberapa lama, mereka tetap tidak menemui manusia. Di tempat itu
mereka hanya mendapatkan potongan bambu dan kertas yang hancur terbakar, sehingga dapat
diambil kesimpulan, bahwa anak panah api itu telah dilepaskan dari tempat tersebut.
Semua orang jadi bingung dan mencoba memecahkan teka-teki itu.
Cian pwee, kita kena diakali, tiba-tiba Song Ceng Soe berkata, Lihatlah! Di atas pasir hanya
terdapat tapak kaki seorang manusia. Kalau benar kawan-kawan Khong Tong-pay menemui
musuh, yang kita lihat sedikitnya tapak empat atau lima orang.
Mendadak Song Ceng Soe ingat sesuatu. Celaka! ia mengeluh, Kong tong-pay benar diserang
musuh. Ikutilah aku. Sehabis berkata begitu ia segera berlari-lari ke arah barat daya.
Bagaimana kau tahu bahwa Khong Tong-pay telah bertemu dengan musuh? tanya In Lie
Heng yang lari bersama dengan keponakannya.
Anak panah api itu bukan palsu, jawabnya.
Anak panah api yang digunakan oleh keenam partai hanya dapat dibuat oleh tukang-tukang
yang pandai dari Tiong-goan. Anak panah begitu tak bisa dibuat oleh tukang-tukang daerah
See hek.
Apakah kau ingin mengatakan bahwa seorang murid Kong tong kena tangkap dan anak panah
api itu dirampas dari tangannya? tanya sang paman pula.
Benar, jawabnya. Sementara itu, pihak siluman telah memancing kita ke timur laut dan
kemudian ke barat untuk membuat kita lelah. Menurut pendapatku, mereka berkumpul di
sebelah barat daya.
Biat Coat yang berada dalam jarak kita-kira dua langkah dari mereka, dapat menangkap
pembicaraan mereka. Ia mengangguk seraya berkata, Kurasa tebakanmu tidak meleset.
Kecuali Biat Coat, In Sie Heng, Song Ceng Soe dan beberapa murid yang berkepandaian
tinggi, murid-murid Go Bie yang lainnya sudah sangat letih. Setelah melalui sekian li, di atas
sebuah bukit pasir yang menghadang di depan tiba-tiba kelihatan seorang yang sedang berdiri
dan seorang yang rebah di pasir. Biat Coat mempercepat langkahnya dan setelah dekat, ia
mendapati kenyataan bahwa kedua orang itu tidak lain dari Boe Kie dan Coe Jie.
Ternyata dalam keadaan sibuk, orang-orang Go Bie sudah tidak memperhatikan kedua
tawanan itu lagi, yang entah bagaimana bisa berada di sebelah depan.
Mengapa kau berada di sini? tanya Biat Coat. Di dalam hati ia merasa sangat heran. Apakah
kedua setan kecil itu bisa berjalan lebih cepat?
Coe Jie menyengir. Anak panah api itu terang-terang telah digunakan memancing musuh,
jawabnya. Kukira, bahwa biarpun orang-orang Go Bie tak sadar, bocah she Song itu pasti
akan menebak juga. Aku menduga pada akhirnya kalian semua tentu akan ke sini. A Goe
Koko, bukankah benar begitu?
Boe Kie mengangguk. Kami sudah berada di sini lama sekali, katanya sambil tersenyum.
Kalian sangat capai bukan?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 660
Setan kecil! bentak Biat Coat. Kalau kau sudah menduga begitu mengapa tidak cepat-cepat
memberitahukan kepada kami?
E eh, mengapa kau marah? kata si nona.
Mengapa kau tak minta pendapatku? Andaikata aku memberitahukan kepada kau, kau tentu
tak akan percaya. Kau tentu lebih suka berlari-lari ke sana-sini.
Biat Coat gusar, tapi ia tak bisa mengatakan apapun jua dan iapun tak bisa menghajar nona itu
tanpa alasan.
Pada saat itulah, di sebelah barat daya seolah-olah terdengar suara bentrokan senjata yang
sangat banyak.Perlu apa kau bergusar terhadapku? kata Coe Jie. Kawan-kawanmu sedang
menghadapi bahaya.
Biat Coat dan yang lain tidak lagi memperdulikan Coe Jie yang berlidah tajam dan dengan
tergesa-gesa mereka menuju ke arah barat daya.
Makin dekat suara pertempuran jadi makin hebat. Di antara bentrokan senjata terdengar juga
teriak dari orang-orang yang terluka. Beberapa saat kemudian mereka terkesiap karena dari
jauh mereka melihat suatu pertempuran besar-besaran. Masing-masing pihak mempunyai
kekuatan beberapa ratus orang dan mereka sedang bertempur mati-matian.
Pihak musuh terdiri dari bendera-bendera Swie Kim (Emas murni), Ang Soei (Air besar) dan
Lian Hwee, kata In Lie Heng. Khong Tong-pay sudah berada di sini. Hwa San-pay dan Koen
Loen-pay juga sudah tiba. Tiga bendera melawan tiga partai, Soe Jie mari kita turut
menyerbu. Sambil berkata begitu, ia mengibaskan pedangnya yang mengeluarkan suara
mengaung.
Tunggu dulu, kata Ceng Soe. Kita tunggu sampati datangnya para paman dari Go Bie-pay.
Seumur hidup Boe Kie belum pernah menyaksikan pertempuran yang begitu besar dan begitu
hebat. Dengan hati sedih ia mengawasi manusia yang saling membunuh itu. Di dalam hati
kecilnya, ia tidak mengharapkan kemenangan pihak manapun juga, karena pihak yang satu
adalah partai mendiang ayahnya sedang pihak yang lain adalah golongan mendiang ibunya.
Selagi menunggu murid-murid Go Bie yang ketinggalan di belakang, tiba-tiba Ceng Soe
menuding ke arah timur. Liok siok lihat! katanya. Di sebelah sana terdapat sejumlah besar
musuh yang sedang menunggu untuk menerjang sewaktu-waktu.
Boe Kie mengawasi ke arah yang ditunjuk Ceng Soe. Benar saja, pada jarak beberapa puluh
tombak dari gelanggang pertempuran, terdapat tiga pasukan berkuda, setiap pasukan terdiri
dari seratus orang lebih. Mereka semua berbaris dengan rapi, siap sedia untuk segera
menerjang.
Pada saat itu kedua belah pihak tengah berperang dengan kekuatan yang hampir imbang.
Kalau ketiga pasukan berkuda itu menyerbu, orang-orang Khong Tong, Hwa San dan Koen
Loen pasti akan kewalahan. Tapi mengapa mereka tidak lantas menyerang?
Biat Coat dan Lie Heng heran bercampur kuatir. Mengapa mereka belum juga bergerak?
tanya si nenek kepada Ceng Soe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 661
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Entahlah, jawabnya. Aku tak dapat menebak.
Mendadak Coe Jie tertawa geli. Mengapa kau tak dapat menebak? tanyanya, Bukankah hal itu
terang bagaikan siang?
Paras muka Ceng Soe berubah merah tapi ia membungkam. Biat Coat sebenarnya ingin sekali
meminta pendapat Coe Jie tapi ia merasa tak enak untuk membuka mulut.
Tapi In Lie Heng yang sabar dan luas pengalamannya berkata, Aku mohon petunjuk nona.
Ketiga pasukan itu mestinya pasukan Peh Bie-kauw, terang si nona. Biarpun Peh Bie-kauw
merupakan cabang dari Mo kauw, tapi pihak Peh Bie telah bentrok dengan Ciang Kie Soe dari
lima bendera Mo kauw. Maka itu, andaikata kalian dapat membasmi musuh, diam-diam In
Thian Ceng pasti akan merasa girang, sebab dengan demikian, ia mempunyai kesempatan
untuk menduduki kursi Kauwcoe dari Mo kauw.
Biat Coat dan Ceng Soe lantas saja tersadar.
Terima kasih atas petunjuk nona, kata Boe tong Liok hiap.
Ketika murid-murid Go Bie sudah menyusul dan mereka berdiri di belakang Biat Coat.
Song Siauw hiap, kata Ceng hie, Dalam mengatur barisan, kami tidak menandingi kau.
Sekarang kau harus memimpin kami dan kami akan menaati semua perintah. Demi
kepentingan bersama, jangan kau berlaku sungkan.
Liok siok, kata pemuda itu tergugu, Mana siauwtit sanggup menerima kedudukan itu.
Sudahlah! kata Biat Coat. Jangan rewel dengan segala adat istiadat kosong.
Ceng Soe mengangguk dan dengan mata tajam ia memperhatikan jalannya pertempuran.
Ketika itu Koen Loen-pay berada di atas angin. Pertempuran antara Hwa San-pay dan Ang
Soei-kie kira-kira berimbang, sedang Khong Tong-pay makin lama jadi makin terdesak.
Rombongan partai itu sudah terkurung oleh orang-orang Liat Hwee-kie yang mulai
membasmi sepuas hati.
Mari kita terjang Swie kim kie dari tiga arah, kata Ceng Soe. Dengan mengepalai beberapa
paman, Soethay menyerang dari tenggara. Liok siok menyerbu dari barat, sedangkan Ceng hie
Soe siok dan boanpwee sendiri akan menerjang dari barat daya.
Tapi keadaan Koen Loen pay tidak perlu ditolong, kata Ceng hie heran. Yang sedang
menghadapi bencana adalah Khong Tong-pay.
Koen loen-pay sudah berada di atas angin dan jika kita membantu, dalam sekejap kita akan
dapat membasmi seluruh Swie Kim-kie, terang Ceng Soe. Sesudah Swie kim-kie dikalahkan
kedua bendera yang lain pasti akan mundur sendirinya. Sebaliknya, kalau kita menolong
Khong Tong, kita harus melakukan pertempuran yang hebat dan lama. Bagaimana kalau
dengan kesempatan itu, Peh Bie-kauw menyerbu dan mengurung dari berbagai jurusan?
Song siauw hiap benar, kata Ceng hie yang lantas saja membagi murid-murid Go Bie menjadi
tiga rombongan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 662
Sambil menarik kereta salju Boe Kie, Coe Jie berkata, Mari kita berangkat sekarang.
Keberangkatan mereka diliaht Song Ceng Soe yang lantas saja mengejar. Sambil menghadang
di tengah jalan dengan melintangkan pedangnya, ia membentak, Nona, jangan pergi dulu!
Mengapa kau mencegat kami? tanya si nona.
Asal usulmu sangat mengherankan, kau tak bisa pergi begitu saja, jawabnya.
Ada sangkut pautkah asal usulku dengan pribadimu? tanya Coe Jie dengan suara tawar.
Biat Coat yang ingin menerjang musuh selekas mungkin jadi sangat tidak sabaran dan dengan
sekali sekelebat, ia sudah berhadapan dengan Coe Jie. Hampir berbareng ia menotok jalan
darah si nona di bagian punggung, pinggang dan betis. Tanpa bisa melawan Coe Jie roboh di
pasir.
Sesudah itu, seraya mengibas pedangnya si nenek berteriak, Hari ini kita membuka larangan
membunuh untuk membasmi bersih kawanan siluman! Bersama In Lie Heng dan Ceng hie
yang masing-masing memimpin rombongan murid Go Bie, ia dalam pertempuran melawan
Swie Kim-ke dibawah pimpinan Ho Thay Cong dan Pan Siok Ham, rombongan Koen Loenpay
sudah berada di atas angin. Maka itu penyerbuan Go Bie dan Boe Tong sudah segera
menghancurkan garis pembelaan Swie Kim-kie.
Dengan kepandaiannya yang sangat tinggi, Biat Coat mengamuk bagaikan harimau gila. Tak
seorangpun dapat melawan dalam tiga jurus. Ia menerjang berputar-putar, pedangnya
berkelabat kian kemari dan dalam sekejap, tujuh anggota Mo kauw sudah binasa dibawah
pedangnya.
Melihat kehebatan si nenek, Ciang Kie Soe dari Swie Kim-kie Chung Ceng namanya, segera
menghampiri sambil memutar toya Long gee pang (toya bergigi serigala). Sekarang barulah
Biat Coat tertahan. Sesudah bertanding belasan jurus seraya menggertak gigi, nenek itu segera
mencecar musuhnya dengna jurus-jurus Go Bie Kiam hoat yang makin lama jadi makin
gencar. Tapi Chung Ceng bukan orang sembarangan. Sedikitnya sementara waktu, ia masih
dapat melayani pemimpin Go Bie-pay itu.
Banyak jago yang berkepandaian tinggi, tapi dalam menghadapi In Lie Heng, Ceng Hie, Song
Ceng Soe, Ho Thay Ciong dan Pan Siok Hem yang ahli-ahli silat kelas utama, mereka tidak
bisa berbuat banyak. Dalam beberapa saat saja, banyak anggota Mo kauw roboh tanpa
bernafas.
Melihat kerusakan pada pihaknya bagaikan orang kalap, Chung Ceng mengirim tiga pukulan
berantai sehingga mau tak mau Biat Coat terpaksa mundur selangkah. Chung Ceng mendesak
dan mengirim pukulan ke-empat ke arah batok kepala si nenek Biat Coat seraya menotok toya
musuh dengan jurus Soen-soei Toei couw (dengan mengikuti aliran air, mendorong perahu).
Diluar dugaan, pemimpin Swie Kim-kie itu memiliki Lweekang dan Gwakang yang sangat
tinggi. Melihat sambaran pedang musuh, sambil membentak keras ia melawan dengan
toyanya.
Prak! pedang Biat Coat patah jadi tiga potong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 663
Meskipun kaget, selangkahpun si nenek tidak mundur. Tangan kanannya meraba ke belakang
dan menghunus Ie Thian Kiam dan bukan saja membabat putus Long nge pang, tapi juga
membabat somplak sebagian batok kepala Chung Ceng, yang segera roboh tanpa bersuara
lagi.
Bukan main kagetnya para anggota Swie Kim-kie. Tapi dilain saat, segera bertindak keras, dia
mengamuk. Biat Coat dan Ceng Soe semula menduga, bahwa begitu Chung Ceng dapat
dirobohkan, pasukan Swie Kim-kie akan lari lintang pukang dan pasukan Ang Soei serta Liat
Hwee pun akan mengundurkan diri. Tak disangka, sebaliknya daripada kabur, mereka
sekarang berkelahi dengan nekat. Dalam sekejap murid-murid Koen Loen dan Go Bie sudah
menjadi korban.
Tiba-tiba terdengar teriakan pasukan Ang Soei-kie, Chung Kie soe telah berpulang ke alam
baka. Swie Kim dan Liat Hwee mundur! Ang Soei-kie melindungi diri dari belakang!
Hampir berbarengan dengan teriakan itu, pasukan Liat Hwee-kie mulai bergerak mundur ke
arah barat, tapi orang-orang Swie Kim-kie masih terus bertempur.
Orang itu berteriak pula, Ini adalah perintah dari Ang Soei-kie. Para anggota Swie Kim-kie
mundurlah! Usaha membalas sakit hati Chung Kie soe dapat dilaksanakan di hari nanti.
Saudara-saudara Ang Soei-kie mundurlah! seorang Swie Kim-kie balas berteriak. Tolong
balas sakit hati kami. Tapi kami ingin hidup dan mati bersama-sama Chung Kie soe.
Mendadak dari pasukan Ang Soei-kie muncul sehelai bendera hitam dan seseorang berteriak
dengan suara lantang, Saudara-saudara Swie Kim-kie, Ang Soei-kie pasti akan membalas
sakit hatimu.
Waktu itu, sisa pasukan Swie Kim-kie hanya tinggal kira-kira tujuh puluh orang saja. Dengan
serentak ia berteriak, Thung Kie soe terima kasih!
Bendera-bendera Ang Soei-kie segera bergerak dan pasukan itu mulai mundur ke arah barat,
dengan dilindungi oleh kira-kira dua puluh orang yang memegang bumbung yang
mengeluarkan cahaya keemasan. Melihat gerakan yang mundur rapi itu, orang-orang Hwa
San dan Khong Tong tak berani mengubar dan mereka lalu bantu mengepung sisa Swie Kimkie.
Dengan dikurung oleh rombongan lima partai Koen Loen, Go Bie, Boe Tong, Hwa San dan
Khong Tong, sisa pasukan itu tinggal menunggu ajalnya saja. Tapi demi persaudaraan,
sedikitpun mereka tak gentar. Mereka terus melawan dengan tekad untuk binasa bersamasama
pemimpinnya.
Sesudah merobohkan beberapa musuh, In Lie Heng merasa sangat tidak tega. Silumansiluman
Swie Kim-kie dengarlah! teriaknya. Jalan kamu hanya jalan mati. Lemparkanlah
senjatamu! Kami akan mengampuni jiwamu.
Ciang kie Hoe soe (wakil pemimpin) Swie Kim-kie tertawa terbahak-bahak. Ha ha ha Kau
terlalu memandang rendah Beng kauw, katanya. Sesudah Tong Chung Toako binasa,
bagaimana kami bisa hidup terus?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 664
Saudara-saudara Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong, mundurlah sepuluh langkah!
teriak In Lie Heng lagi. Berikan kesempatan supaya mereka bisa menyerah.
Semua orang kecuali Biat Coat, segera saja mengundurkan diri. Si nenek yang sangat benci
Mo kauw tidak meladeni dan terus membasmi sepuas hati. Di mana Ie Thian Kiam
berkelabat, di situ tentu ada senjata putus atau manusia roboh. Melihat guru mereka
menyerang terus, murid-murid Go Bie lantas saja maju kembali, sehingga dalam gelanggang
pertempuran terjadi perubahan yaitu Go Bie-pay bertempur sendirian dengan Swie Kim-kie.
Kekuatan Swie Kim-kie masih ada enam puluh orang lebih dan jago-jago yang berkepandaian
tinggi, sedikitnya masih ada dua puluh orang lebih, sehingga dengan begitu, dibawah
pimpinan Ciang kie Hoe soe, Hoew Kin Coe, jumlah mereka masih lima kali lipat lebih
banyak daripada belasan orang Go Bie-pay. Seharusnya dengan lima lawan satu, pihak Swie
Kim-kie berada di atas angin. Tapi Biat Coat hebat luar biasa dan Ie Thian Kiam merupakan
senjata terhebat pada jaman itu, maka dalam sekejap tujuh delapan anggota Swie Kim-kie
sudah roboh lagi tanpa bernyawa.
Boe Kie merasa sangat tidak tega. Sambil berpaling ke Coe Jie, ia berkata, Ayolah kita pergi.
Ia mengangsurkan tangannya untuk membuka jalan darah si nona yang ditotok Biat Coat.
Tapi sesudah menotok beberapa kali, jalan darah Coe Jie masih belum juga terbuka. Ternyata
Biat Coat memiliki ilmu Lweekang yang sangat tinggi, maka totokannya masuk sangat dalam
sehingga meskipun usaha Boe Kie dilakukan menurut cara yang tepat, jalan darah Coe Jie tak
bisa terbuka dengan segera.
Sambil menghela nafas Boe Kie mengawasi jalannya pertempuran. Ketika itu, sisa pasukan
Swie Kim-kie yang berjumlah beberapa puluh orang sudah tak bersenjata lagi. Senjata mereka
telah diputuskan si nenek. Tapi karena dikurung rapat oleh rombongan partai dan juga mereka
tidak berniat untuk melarikan diri, maka dengan tangan kosong mereka meneruskan
perlawanan terhadap murid-murid Go Bie.
Sebagai seorang yang berkedudukan sangat tinggi, Biat Coat sungkan menggunakan senjata
terhadap musuh yang sudah tak bersenjata. Di lain saat, tubuhnya berkelabat dan jari
tangannya menyambar-nyambar dan dalam sekejap lima puluh lebih anggota Swie Kim-kie
sudah berdiri tegak seperti patung dengan jalan darah tertotok. Melihat kepandaian si nenek
yang luar biasa semua orang bersorak-sorai.
Fajar menyingsing, tiba-tiba di sebelah tenggara dan barat laut terlihat bayangan-bayangan
manusia yang bergerak mendekati. Mereka adalah orang-orang Peh Bie kauw. Selagi Go Bie
bertempur dengan Swie Kim-kie, dengan rasa kuatir, Song Ceng Soe terus memperhatikan
gerak-gerik Peh Bie kauw. Kini mereka mulai mendaekati tapi dalam jarak kira-kira dua
puluh tombak, mereka berhenti lagi.
A Goe Koko, kita harus cepat pergi, kata Coe Jie. Celaka benar bila kita jatuh ke tangan Peh
Bie kauw.
Tapi, di dalam hati pemuda itu terdapat semacam perasaan yang tak bisa dilukiskan terhadap
Peh Bie kauw. Pihak itu adalah pihak mendiang ibunya, tapi ia sendiri belum pernah bertemu
dengan orang Peh Bie kauw. Setiap ingat mendiang ibunya, ia selalu berkata di dalam hati,
Aku tak bisa bertemu lagi dengan ibu. Kapankah aku bisa bertemu dengan kakek dan paman?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 665
Dan kini mereka berada begitu dekat dengan dirinya. Ah, biar bagaimanapun juga aku harus
melihat, apakah kakek dan paman berada dalam pasukan itu, katanya di dalam hati.
Sementara itu Song Ceng Soe mendekati Biat Coat. Cian pwee, katanya, Cepatlah mengambil
keputusan terhadap orang-orang Swie Kim-kie supaya kita bisa segera menghadapi Peh Bie
kauw.
Si nenek mengangguk. Waktu itu matahari pagi sudah mulai memancarkan sinarnya yang
gilang gemilang. Bayangan Biat Coat yang tinggi besar yang terpeta di pasir kuning kelihatan
angker sekali, tapi dalam keangkeran itu terasa sesuatu yang menyedihkan. Dalam
kebenciannya terhadap Mo kauw, si nenek ingin sekali meruntuhkan semangat orang-orang
itu. Maka itu, ia lantas saja membentak, Hei, orang-orang Mo kauw! Kamu dengarlah. Siapa
yang masih ingin hidup bisa mendapatkan pengampunan asal saja meminta ampun.
Tapi pengumuman itu dijawab dengan gelak tawa.
Tertawa apa kamu? bentak Biat Coat dengan gusar.
Dengan Chung Toako kami ingin hidup dan mati bersama-sama! teriak Ciang kie Hoe soe,
Gouw Kin Co. Kau jangan banyak rewel, cepat ambil jiwa kami.
Si nenek mengeluarkan suara di hidung, Baikalh, katanya. Tapi kau jangan mimpi bahwa kau
bisa mampus dengan enak. Seraya berkata begitu ia membabat putus lengan orang itu.
Gouw Kin Co tertawa terbahak-bahak. Beng kauw mewakili langit menjalankan keadilan,
membereskan dunia menolong rakyat dan kami menganggap bahwa hidup atau mati tiada
bedanya, katanya dengan suara nyaring. Bangsat tua, jika kau mengharap takluknya kami
maka seperti mimpi di siang bolong!
Biat Coat menjadi makin gusar. Ie Thian Kiam menyambar tiga kali dan tiga orang putus
lengannya. Bagaimana kau? tanyanya pada orang yang kelima. Apa kau mau minta ampun?
Tutup mulutmu! bentak orang itu sambil tertawa.
Kali ini sebelum gurunya bergerak, Ceng hie sudah melompat mendahului dan memutuskan
lengan kanan orang itu dengan pedangnya. Soehoe, biarlah teecoe saja yang menghukum
siluman-siluman itu, katanya. Dengan beruntun ia menanyai beberapa musuh tapi tak satupun
yang sudi menyerah. Sesudah membabat putus lengan beberapa orang ia berpaling kepada
gurunya seraya berkata, Soehoe, mereka sangat keras kepala. Dengan berkata begitu, ia
mengharapkan belas kasihan Biat Coat.
Tapi si nenek tidak memperdulikan suara memohon dari muridnya itu. Putuskan lengan kanan
semua siluman itu! bentaknya. Kalau mereka masih belum mengenal takut, putuskan lengan
kirinya.
Ceng hie tak berdaya. Ia kembali mengangkat pedang dan memutuskan pula beberapa lengan.
Sampai disitu Boe Kie tak dapat menahan dirinya lagi. Ia melompat dari kereta salju dan
menghadang di depan Ceng hie. Tahan! bentaknya.
Semua orang terkejut begitu juga Ceng hie yang langsung mundur selangkah. Apa kau tak
malu sudah menyakiti sesama manusia secara begitu kejam? teriak Boe Kie dengan suara
terengah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 666
Semua orang kaget tetapi sesudah melihat pakaian Boe Kie yang compang-camping mereka
tertawa.
Sesudah tertawa dengan nyaring, Ceng hie berkata, Semua orang ingin membinasakan
kawanan siluman yang sesat. Dalam hal ini tak ada soal kejam atau tidak kejam.
Para cian pwee dan toako ini adalah orang-orang yang berkepribadian luhur dan tidak takut
mati, kata Boe Kie. Sikap mereka sikap ksatria tulen. Bagaimana kau bisa menganggap
mereka sebagai kawanan siluman yang sesat?
Apa kawanan Mo kauw bukan siluman? tanya Ceng hie dengan gusar. Dengan matamu
sendiri kau telah menyaksikan bagaimana Ceng-ek Hong-ong membunuh manusia dan
menghisap darahnya. Dia sudah membunuh soate dan soemayku. Kalau itu bukan siluman apa
yang bisa dinamakan siluman?
Ceng-ek Hok-ong hanya membunuh dua orang tapi kamu sudah membinasakan sepuluh kali
dua orang, kata Boe Kie. Dia menggunakan gigi, gurumu menggunakan Ie Thian Kiam. Dia
membunuh, gurumupun membunuh. Apa bedanya?
Ceng hie emosi, Bocah! bentaknya. Kau berani menyamakan guruku dengan siluman? Seraya
membentak ia memukul Boe Kie dengan telapak tangannya.
Dengan cepat pemuda itu berkelit. Tapi Ceng hie adalah murid kepala Go Bie-pay yang
memiliki kepandaian yang tinggi. Pukulan yang ditujukan ke muka Boe Kie hanya pukulan
gertakan dan begitu cepat pemuda itu berkelit, kaki kirinya sudah menendang dada. Duk
Sesosok tubuh terpental beberapa tombak jauhnya, tapi tubuh itu tubuh Ceng hie yang telah
patah tulang betisnya.
Dalam ilmu silat Boe Kie memang kalah jauh dari Ceng hie. Tapi ia memiliki Kioe-yang Sinkang
yang keluar secara wajar, jika ia diserang orang. Makin berat serangan itu makin hebat
tenaga menolak dari Kioe-yang Sin-kang. Untung juga, waktu menendang Ceng hie tidak
berniat mengambil jiwa Boe Kie dan hanya menggunakan separuh tenaganya. Maka itu
walaupun tulangnya patah ia tidak mendapat luka berat.
Semua orang termasuk Biat Coat, terkesiap. Siapa dia? tanya si nenek di dalam hati. Selama
beberapa hari aku tidak memperhatikan dia dan tak disangka dia seorang yang berkepandaian
tinggi. Aku sendiripun belum tentu bisa melemparkan Ceng hie dengan cara begitu. Dalam
dunia mungkin Thio Sam Hong yang memiliki Lweekang sedemikian dahsyat.
Biat Coat adalah manusia yang beradat aneh, keras dan kejam. Ia tidak berani memandang
rendah kepada Boe Kie, tapi saat itu juga ia segera mengambil keputusan untuk mengadu jiwa
dengan pemuda itu. Dengan sorot mata tajam ia mengawasi Boe Kie dari kepala sampai kaki.
Tapi pemuda itu tidak menghiraukan karena ia sedang repot menolang orang Swie Kim-kie.
Dengan cepat ia menotok jalan darah mereka dan sesudah ditotok darah yang mengalir keluar
dari lengan yang putus segera berkurang. Di antara orang-orang itu terdapat banyak ahli ilmu
totok, tapi tak satupun mengenal ilmunya Boe Kie yang lain dari yang lain.
Terima kasih atas pertolongan Siauw hiap, kata Gauw Kin Co. Bolehkah aku mengetahui she
dan nama Siauw hiap yang mulia?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 667
Aku she can namaku A Goe, jawabnya.
Bocah kemari, bentak Biat Coat dengan suara dingin, Sambutlah tiga seranganku.
Tunggu dulu, kata Boe Kie seraya membalut luka korban yang terakhir. Sesudah selesai,
barulah ia menghampiri si nenak dan berkata seraya merapatkan kedua tangannya, Biat Coat
Soethay, aku bukan tandinganmu. Aku sama sekali tak berniat untuk bertanding sama Loo
jinke (panggilan menghormati untuk seorang yang tua). Aku hanya berharap supaya kedua
belah pihak menghentikan pertempuran dan mengadakan perdamaian.
Ia bicara sungguh-sungguh dengan nada memohon. Dalam hatinya ia mencintai kedua belah
pihak itu, karena pihak yang satu adalah pihak mendiang ayahnya sedang pihak yang lain
adalah golongan mendiang ibunya.
Biat Coat tertawa dingin, Apakah kami harus menghentikan pertempuran atas perintahmu,
bocah bau? katanya. Apakah kau seorang Boe-lim Cie-coen? (Boe-lim Cie-coen adalah
seorang yang termulia dalam dunia persilatan)
Boe Kie terkejut, Apa artinya perkataan Soethay! tanyanya.
Andaikan dalam tanganmu memegang golok To Liong To, kau masih harus melawan Ie Thian
Kiam-ku untuk menentukan siapa menang siapa kalah, kata si nenek. Sesudah kau menjadi
Cie-coen dalam dunia persilatan, barulah kau boleh memerintah di kolong langit.
Mendengar ejekan sang guru semua murid Go Bie tertawa geli.
Boe Kie kaget dan ia segera berpikir, Apakah tujuan orang-orang dunia persilatan yang
mencari ayah angkatku hanyalah untuk merampas To Liong To? Apakah mereka hanya
bermaksud untuk menjadi yang termulia dalam dunia persilatan agar bisa memerintah di
kolong langit?
Selagi berpikir begitu, murid-murid Go Bie masih belum berhenti tertawa.
Sebagai seorang muda yang tak mempunyai nama, memang juga tak pantas Boe Kie
mengatakan mengharapkan kedua belah pihak menghentikan pertempuran. Mendengar suara
tawa orang, paras mukanya lantas saja berubah merah.
Ia menengok dan di antara murid-murid Go Bie, ia melihat Cioe Cie Jiak yang tengah
mengawasinya dengan sorot mata kagum dan menganjurkan, sehingga semangatnya lantas
saja bangkit, Mengapa kau mau membunuh begitu banyak orang? katanya. Setiap orang
mempunyai ayah ibu, istri dan anak. Jika kau membunuh mereka, anak-anak mereka akan jadi
yatim piatu, yang tentu akan dihina orang. Kau adalah seorang pertapa yang menyucikan diri.
Dengan melakukan pembunuhan itu, apakah di dalam hati kau bisa merasa tenteram? Waktu
mengatakan kata-kata itu, suaranya bersungguh-sungguh dan mengharukan karena ia ingat
akan nasibnya sendiri yang sejak kecil sudah ditinggal oleh orang tua.
Paras muka nona Cioe berubah pucat dan kedua matanya mengambang air.
Tapi muka Biat Coat sekalipun tak berubah. Ia adalah seorang manusia yang tidak pernah atau
sedikitpun jarang memperlihatkan perasaan hatinya pada paras mukanya. Waktu ia membuka
mulut suaranya tetap dingin bagaikan es. Bocah, apakah aku masih perlu dinasehati olehmu?
Dengan mengandalkan tenaga dalammu yang kuat, kau membacot di sini. Baiklah, jika kau
bisa menerima tiga pukulanku aku akan melepaskan manusia-manusia itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 668
Jilid 36______________
Mana berani aku bertanding dengan Soethay? kata Boe Kie, Aku hanya mengharap supaya
Soethay suka menaruh belas kasihan.
Can Siangkong, tak usah banyak bicara dengan bangsat tua itu! teriak Gouw Kin Co. Kami
lebih suka mampus daripada menerima belas kasihannya yang diliputi kepalsuan.
Biatcoat mengawasi Bie Kie dengan sroto mata tajam. Siapa gurumu? tanyanya.
Goe Kie berpikir sejenak. Ayah dan ayah angkatku pernah mengajar ilmu silat kepadaku tapi
mereka bukan guruku, katanya didalam hati. Maka itu, ia lantas saja menjawab, Aku tidak
punya guru.
Jawaban itu mengejutkan semua orang. Dalam Rimba Persilatan, seorang guru sangat
dihormati. ADalah lumarh jika seorang murid tidak mau menyebutkan nama gurunya, tapi tak
mungkin terjadi bahwa seoran gyan gmempuynya guru mmengatakan tak punya guru. Makau
itu kalau Boe Kie mengatakan tak punya guru, ia pasti tak punya guru.
Sekarang Biatcoat tak mau banyak omong lagi. Sambutlah! katanya seraya menepuk dengan
tangannya.
Boe Kie tidak bisa tidak melawan. Sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong dengna
kedua tangannya untuk menyambut pukulan si nenek. Mendadak Biatcoat menundukkan
tangannya dan bagaikan seorang ikan kecil, tangan itu melejit dari sambutan Boe Koe. Akan
kemudian bagaikan kilat, menyambar kedada pemuda itu. Dalam kagetnya, tenaga Kioe-yang
Sin kang dalam tubung Boe Kie keluar secara wajar. Pada detik kedua tenaga hampir beradu,
tenaga pukulan Biatcoat mendadak menghilang. Dengan tercengang Boe Kie mengawasi si
nenek. Pada saat itulah, mendadak ia merasa dadanya seperti dipukul martil, kakinya
bergoyang dan ia berjumpalitan beberapa kali. Uah! ia memuntahkan darah dan roboh.
Tenaga pukulan Biatcoat yang sebentar ada dan sebentar hilang, sungguh2 merupakan ilmu
yag sudah mencapai puncak kesempurnaan. Tanpa merasa, dengan serentak semua orang
bersorak sorai.
Sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati Coe Jie melompat dan berlari2 menghampiri
AGoe Koko, kau katanya seraya coba membangunkannya.
Boe Kie merasa dadanya menyesak. Ia menggoyang2kan tangannya dan kemudian berkaa
dengan suara perlahan. Jangan kuatir, aku tak mati. Perlahan2 ia merangkak bangun.
Biatcoat menengok pada tiga murid perempuannya dan berkata Putuskan lengan kanan semua
siluman itu!
Baik, jawab mereka seraya bertindak kearah orang2 Swie Kim Kie.
Biatcoat Soethay, kata Boe Kie tergesa2.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 669
Kau mengatakan, jika aku aku bias menerima tiga pukulanmu, kau akan melepaskan mereka.
Aku sduah menerima pukulan pertama masih ada dua.
Sesudah mengirim pukulan yang barusan, si nenek mengetahui, bahwa Lweekang Boe Kie
bukan saja bukan Lweekang dari golongan Mo kauw, malah hampir sama dengan
Lweekangnya sendiri. Ia juga tahu, bahwa biarpun ia mencoba melindungi orang2 Mo Kauw,
Boe Kie bukan anggota Agama itu. Maka itu, ia lantas saja berkata. Anak muda! Jangan kau
coba mengurus urusan orang lain. Lurus dan sesat harus dibedakan sejelas2nya. Barusan aku
hanya menggunakan sepertiga bagian tenagaku. Apa kau tahu?
Boe Kie yakin, bahwa sebagai Ciangboenjin Biat Coat tentu tidak berdusta. Tapi ia sudah
mengambil keputusan, bahwa biarpun mesti mati, ia tak bias mengawasi penyembelihan
terhadap orang2 Mo Kaouw sambil berpeluk tangan. Dengan tidak mengimbangi tenaga
sendiri, biarlah aku menerima dua pukulan lagi, katanya.
Boe Kie tidak menghiraukan dan segera berkata pula, Biatcoat Soethay. Tapi ia hanya dapat
mengeluarkan empat perkataan itu, karena mendadak Ia memuntahkan darah lagi.
Coe Jie bingung bukan main. Tiba2 ia bangun berdiri dan coba memapah pemuda itu. Tapi
dilain saat, kedua ulunya lemas kembali dan ia jatuh pula dipasir. Ternyata, walaupun hiat
yang ditotok oleh Biatcoat sudah dibuka Boe Kie, tapi darahnya belum mengalir biasa.
Sekarang melihat pemuda itu terluka, dalam kagetnya ia dapat berdiri dan bergerak. Kejadian
itu bersamaan sebab musababnya dengan seorang lumpuh, yang dalam kebakaran mendadak
bias lari cepat. Tapi semangat dan tenaga Coe Jie yang luar biasa hanya keluar untuk
sementara waktu.
Dengan rasa mendongkol Biatcoat menghampiri si nona yang dianggapnya rewel. Ia
mengimbas tangan jubahnya dan tubuh Coe Jie terapung kebelakang. Cioe Cie Jiak yang
berdiri di sebelah belakang buru2 menyangga badan si nona dengan kedua tangannya dan
kemudia, perlahan2 menaruhnya di atas pasir.
Ceoi cie cie, kata Coe Jie, cobalah bujuk supaya dia jangan menerima kedua pukulan lagi. Ia
akan menurut apa yang kau katakan.
Bagaimana kau tahu dia akah menurut? tanyanya nona Cioe dengan heran.
Dia suka kepadamu, jawabnya. Apakah kau tak tau?
Paras muka Cie Jiak lantas saja bersemu dadu.
Mana bias jadi! katanya, kemalu2an.
Sementara itu sudah terdengar suara Biao coat yg menyeramkan. Kau sendiri yang cari mati
dan kau tak boleh menyalahkan aku. Seraya berkata begitu, ia mengangkat tangan kanan nya
dan menghantam dada Boe Kie.
Pemuda itu tak berani menangkis. Bagaikan kilat ia mengengos. Si nenek tiba2 menekuk
sedikit sikunya dan dari sudut yang tidak diduga2, telapak tangannya menyambar punggung
Boe Kie. Plak! dan tubuh pemuda (??? Tidak terbaca)
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 670
Boe Kie roboh tanpa berkutik lagi, seolah2 ia sudah putus jiwa. Pukulan Biatcoat sebenarnya
pukulan yang lihai luar biasa dan menurut partai kawan2nya dari lain lan partai harus
bersorak sorai untuk memujinya. Tetapi semua orang berdiam seperti patung, karena didalam
hati, mereka merasa kasihan dan kagum terhadap pemuda itu yang telah mengunjuk perbuatan
seorang kesatria.
Coe ciecie, kata Coe Jie dengan suara parau, aku memohon lihat lukanya!
Jantung nona Cioe memukul keras. Permintaan itu diajukan dengan meratap dan didalam hati,
ia ingin sekali memenuhinya. Akan tetapi mana ia berani? Kalau ia menolong Boe Kie, berarti
ia tidak mengindahkan guru sendiri. Kakinya sudah melangkah, tetapi di tarik lagi.
Beberapa saat kemudian, perlahan lahan tubuh pemuda itu bergerak dan kemudian, ia
mencoba untuk berduduk. Tapi setelah beberapa detik mengandalkan sikutnya di pasir
kuning, tenaganya habis dan ia terus roboh kembali.
Ketika itu,matahari sudah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan semua orang bisa
melihat bahwa Boe Kie seolah tidur dikobakan darah.
Pemuda itu berada dalam keadaan lupa ingat. Tanpa bergerak ia rebah dan ingin sekali bisa
rebah disitu untuk selama lamanya. Tapi sayup2 ia ingat, bahwa untuk menolong orang2 Swie
Kim Kie, ia maish haru smenerima satu pukulan lagi. Sesaat kemudian, ia menarik napas
dalam2 dan dengan dorongan tenaga kemauan yg tiada taranya tiba2 ia teruduk! Tapi
badannya lantas saja bergemetaran dan setiap detik, ia bisa roboh kembali.
Semua orang mengawasi dengan mata membelak.
Disekitar itu terdapat ratusan manusia. Tapi keadaan sunyi senyap bagaikan kuburan dan
andaikata sebatang jarum ditanah, suaranya munkgin dapat didengar orang.
Dalam susunan itulah dalam otak Boe Kie mendadak berkelebat beberapa baris perkataan
dalam Kioe yang Cing Keng yang berbunyi begini:
Dia kuat, biarlah dia kuat,
Angin sejuk meniup bukit,
Dia ganas, biarlah dia ganas,
Bulan terang menyoroti sungai.
Sebegitu jauh, semenjak meninggalkan lembah itu ia belum pernah bisa menangkap artinya
perkata2an itu. Sekarang, dalam menghadapi kekuatan dan keganasan Biat coat yang sama
sekali bukan tandingannya, sekonyong2 otaknya seperti dapat menangkap arti daripada
perkataan2 itu, yang seperti juga ingin mengunjuk, bahwa tak perduli bagaimana kuat dan
ganasnya musuh, kita selalu dapat menganggapnya seperti angin yang meniup bukit atau
rembulan yang memancarkan sinarnya diatas sungai. Angin dan rembulan itu takkan bisa
mencelakai kita.
Tapi bagaimana? Bagaimana kita harus berhubungan sehingga kekuatan dan keganasan itu
tidak menolakan kita?
Perkataan selanjutnya dalam Kioe yang Cia Keng adalah seperti berikut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 671
Biar dia ganas
Biar dia jahat
Bagiku cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen!
Hawa tulen!
Sekarang Boe Kie tersadar. Baru2 ia bersila dan sesuai dengan ajaran kitab itu, ia
menjalankan pernapasan dan mengalirkan hawa tulen seluruh tubuhnya.
Dalam sekejap, ia merasa semacam hawa panas muncul dibagian tian2 (pusar) dan hawa tulen
mengalir terputar putar diseluruh tubuhnya, terus sampai ketangan dan kaki. Ia kagum bukan
main. Baru sekarang ia tahu hebatnya ajaran Kioe yang Cin Keng. Ia mendapat luka berat,
tapi tanaga dalam dan hawa tulen yang berada dalam tubuhnya sedikitpun tak berubah.
Hiat coat terus memperhatikan garak gerik pemuda itu dengan perasaan heran. Ia mengerti,
bahwa Boe Kie benar2 kuat dan alot. Pukulannya yg pertama adalah salah satu pukulan dari
Piauw soat Coan in ciang (pukulan salju melayang menembus awan). Pukulan kedua lebih
liehay lagi yaitu Ciat chioe Kioe-sit dan yang telah digunakan olehnya adalah jurus ketiga.
Kedua pukulan itu yalah pukulan2 terhebat dari ilmu silat Go Bie pay. Dalam pukulan
pertama ia hanya menggunakan tiga barisan tenaga. Menurut perhitungannya, biarpun tidak
mati, Boe Kie akan terluka berat dan patah tulang. Tapi tak dinyana, sesudah rebah beberapa
saat, ia bisa duduk lagi (Ciat Chioe Kio sit).
Pukulan yang memutuskan terdiri dari sembilan jurus.
Menurut perhitungan pie boe (adu silat) dalam Rimba Persilatan, Biat coat sebenarnya boleh
tidak usah menunggu sampai Boe Kie menjalankan pernapasannya untuk mengobati luka.
Tapi sebagai orang tua yang berdudukan tinggi, ia merasa malu untuk turun tangan selagi
lawan nya yang masih muda belia berada dalam bahaya.
Tapi Teng Bie Koen merasa tidak sabaran lantas saja berteriak, Hie orang she Can! Jika kau
tak berani menerima pukulan ketiga dari guruku, lebih baik kau lekas lekas berlalu dari sini.
Apakah karat mesti menggu kau seumur hidup disini?
Teng Soe cie, biarlah ia mengaso lebih lama sedikit, kata Cioe Cie Jiak dengan suara pelan.
Si perempuan she Tang lantas saja jadi gusar. E! Bentaknya, Apa kau mau melindungi orang
luar? Apa karena melihat bocah itu, Ia sebenarnya ingin mengatakan apa karena melihat
bocah itu tampan mukanya kau jadi menuju padanya, tapi mendadak ia ingat, bahwa
dihadapan begitu banyak orang dari berbagai partai, tidaklah pantas ia mengeluarkan kata2
sekasar itu. Maka itu, perkataannya putus di tengah jalan. Tapi tentu saja semua orang
mengerti, apa yang ia mau mengatakan.
Cioe Cie Jiak malu bercampur gusar, sehingga mukanya berubah pucat, Siaowmoay berakta
begitu karena mengingat keangkeran partai dan guru kita, katanya dengan tawar. Siauwmoay
tak mau orang luar berbicara yang tidak2.
Tidak, tidak apa? bentak sang kakak.
Ilmu silat partai kita tersohor dikolong langit dan guru kita seorang cian pwee yg
berkedudukan sangat tinggi, jawabnya dengan bernapsu. Maka itu, guru kita pasti tidak boleh
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 672
mempunyai pandangan ygn bersamaan dengan seorang bocah. Hanyalah karena dia sangat
kurang ajar, maka guru kita sudah memberi ajaran kepadanya. Apa Soecie menduga SoeHoe
benar2 mau mengambil jiwa bocah itu? Selama kurang lebih seratus tahun, partai kita dikenal
sebagai parai dari para ksatria. Guru kita dikagumi orang berkata kesatriaannya dan kemudian
hatinya yang selamanya bersedia untuk memotong sesama manusia. Bocah itu adalah seperti
api lilin, sehingga cara bagaimana dia dapat menandingi matahari dan rembulan. Biarpun dia
berlatih seabad lagi, dia masih belum tentu bisa menandingi guru kita. Maka itu, apa jahatnya
jika kita membiarkan dia mengaso terlebih lama?
Indah sungguh pembelaan nona Cioe!
Semua orang manggut2, sedang orang yg plg bergirang adalah Biat Coat sendiri. Ia merasa,
bahwa murid yg kecil itu sudah mengangkat baik nama Go bie pay dihadapan orang banyak.
Sesudah hawa tulen mengalir disekujur badannya, tenaga Boe Kie pulih kembali,
semangatnya terbangun dan otaknya terang lagi. Setiap perkataan nona Cioe didengar jelas
olehnya dan ia merasa sangat berterima kasih, karena tahu bahwa dengan berkata begitu, si
nona coba menyelamatkan jiwanya. Beberapa saat kemudian ia bangun berdiri seraya berkata,
Soethay biarlah boanpwe membuang jiwa dalam menerima pukulan terakhir.
Tak kepalang herannya si nenek. Ia sungguh tidka mengerti, cara bagaimana, dengan hanya
bersila beberapa saat tenaga pemuda itu sudah pulih kembali. Apa dia mempunyai ilmu
siluman? Sambil menatap wajah Boe Kie, ia berkata, Sekarang kau boleh menyerang aku.
Mengapa kau tidak mau membalas?
Boe Kie bersenyum getir. Dengan kepandaian yg tidak artinya, jubah Soethay saja boanpwee
tak akan dapat menyentuh, jawabnya. Bagaimana boanpwee bisa menyerang?
Kalau kau tahu, pergilah lekas2, kata si nenek dengan suara lebih sabar. Pemuda yang seperti
kau memang suka dicari tandingannya. Biat coat Soethay sebenarnya tidak pernah
mengampuni orang tpai hair ini aku melanggar kebiasaan itu.
Boe Kie membungkuk seaya berkata, Terima kasih atas kasihan Cianpwee mengampuni juga
saudara2 dari Swie Kim Kie?
Kedua alis nenek turun dan ia tertawa dingin. Kau tahu apa Hoat Bengku? tanyanya. (Hoat
Beng nama seorang pendeta).
Nama Ciapwee yang mulia ialah Biat dan Coat, jawabnya. (Biat berarti memusnakan sedang
Coat bearti menumpas atau membinasakan).
Bagus, kata si nenek. Aku bertekad untuk memusnakan dan menumpas semua kawanan
Mokauw. Apa kau kira Biat coat suatu nama kosong?
Kalau begitu biarlah Cianpwee mengirim pukulan yang ketiga kata Boe Kie.
Si nenek tercengang. Seumur hidup ia belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu
nekad dan keras kepala. Ia sebenarnya seorang berhati dingin. Tapi sekarang tiba2 ia merasa
sayang kalau pemuda gagah seperti Boe Kie harus mati konyol. Sesudah memikir sejenak ia
segera mengambil keputusan untuk memukul saja di bagian tan tian supaya pemuda itu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 673
pingsan untuk sementara waktu dan kemudian, sesudah membinasakan orang orang Swe Kim
Kie, ia dapat menolongnya lagi. Memikir begitu ia segera mengibas tangan kirinya dan
bergerak untuk mengirim pukulan ketiga.
Sekonyong2 dari tempat jauh terdengar teriakan, Biat Coat Soethay, tahan! suara itu tahan
luar biasa dan telinga semua orang merasa tak enak.
Dilain saat seraya menggoyang goyangkan kipas seorang pria sudah berdiri dihadapan
sinenek. Orang itu mengenakan baju warna putih dna pada tangan baju sebelah kiri tersulam
sebuah hiat-chioe (tangan berlumuran darah). Waktu berjalan tak sebutir pasirpun naik keatas
dan semua orang lantas saja mengerti, bahwa ia adalah seorang yang berkedudukan tinggi
dalam Peh bie Kauw.
Seragam resmi Peh Bie kauw, sama dengan seragam Mo Kauw yaitu pakaian warna putih.
Perbedaannya ialah kalau di tangan baju anggauta Mo-kaow terdapat sulaman obor, anggauta
Peh bie kauw menggunakan tanda hiat chioe.
Sambil menyoja orang itu tertawa dan berkata, Soethay selamat bertemu. Pukulan ketiga
biarlah diterima olehku.
Siapa kau? tanya biat coat.
Aku she In namaku yang rendah Ya Ong, jawabnya.
Mendengar nama In Ya Ong semua orang terkejut. Selama kira2 duapuluh tahun, nama itu
menggetarkan dunia Kang ouw. Ayahnya yaitu Peh bie Eng ong In Thian Cong memusatkan
seantero perhatiannya dalam pelajaran ilmu silat dan mneyerahkan semua urusan Pe bie kauw
kepadanya, secara resmi. In Ya Ong hanya hiocoe, Thian wie tong, tapi sebenarnya ia seorang
wakil Kauw coe.
Dengan mata tajam Biat coat mengawasi jago Peh Bie Kauw itu baru berusia kira2
empatpuluh tahun. Tapi bermata sangat tajam, seolah2 sinar kilat yang dingin. Pernah apakah
bocah itu kepadamu? tanyanya dengan suara dingin.
Jantung Boe Kie memukul keras. Hampir2 ia berteriak. In Koekoe-ke! (Koe Koe paman,
saudara lelaki dari ibu).
In Ya Ong tertawa besar, Aku belum pernah mengenal dia, jawabnya. Tapi karena melihat
jiwanya yg luhur, yang berbeda dengan manusia2 palsu dalam Rimba persilatan, maka aku
merasa sayang dan didalam hatiku lantas saja timbul niatan untuk menjajal tenaga Soethay
Perkataannya yg paling belakang tidak sungkan2, seolah2 ia tidak memandang mata kepada si
nenek.
Tapi Hiat coat tidak menjadi gusar. Bocah, katanya kepada Boe Kie. Kalau kau ingin hidup
lebih lama, kau masih mempunyai kesempatan.
Untuk menyelamatkan jiwa sendiri, boanpwee tidak berani melupakan budi orang, jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 674
Si nenek mengangguk dan lantas saja berkata kepada In Ya Ong, Anak ini masih hutang satu
pukulan. Perhitungan harus dibereskan satu persatu. Sebentar, sesudah beres yang satu, aku
pasti tidak akan mengecewakan tuan.
In Ya Ong tertawa terbahak2. Biat coat Soe Thay! bentaknya. Kalau kau mempunyai nyali
binasakanlah anak itu! Jika dia binasa, kamu semua, tak seorangpun yang bakal terluputkan
mampus tanpa kubura! seraya berkata begitu bagaikan melayang diudara, ia berlalu dari
hadapan si nenek. Keluar semua! teriaknya.
Hampir berbareng, diseputar rombongan Biat coat dan kawan2nya, muncul sejumlah besar
orang yg membekal tameng dan kedua tangannya mementang busur, dengan semua anak
panah ditujukan ke arah rombongan Biat Coat.
Ternyata selagi Biat Coat berurusan dengan Boe Kie, kawanan Peh Bie Kauw telah membuat
parit di pesisir dan sudah mengurung rombongan musuhnya. Perkerjaan itu dilakukan tanpa di
ketahui oleh siapapun jua, karena perhatian semua orang ditujukan kepada Biat Coat dan Boe
Kie.
Paras muka semua orang lantas saja berubah pucat. Dengan melihat mata anak panah yang
berwarna biru, mereka tahu, bahwa senjata itu mengandung racun. Sekali In Ya Ong memberi
perintah, kecuali beberapa orang yang berkepandaian tinggi, mereka semua akan binasa.
Diantara orang2 lima partai yg berada disitu, Biat Coatlah yang berkedudukan paling tinggi.
Maka itu semua oran gmengawasinya dan menunggu keputusannya.
Si nenek adalah manusia keras kepala. Biarpun ia menarik, bahwa pihaknya telah menghadapi
bencana, sikapnya tetap tidak berobah. Bocah kau tidak boleh menyalahkan orang lain untuk
nasibmu, katanya kepada Boe Kie. Dilain saat tulang2 dlm tubuhmu berkerotokan seperci
kacang di goreng, dan kemudian dengan telapak tangan menepuk dada Boe Kie.
Pukulan itu pukulan terlihat Go Bie Pay dan dikenal sebagai Hoedkong Po-tiaw (Sinar Budha
menyorot diselebar dunia). Menurut kebiasaan ilmu silat, setiap pukulan berisi sejumlah jurus
yg saling susul seperti mata2 rantai dan saban jurus mengandung pula perubahan2 yang tidak
sedikit jumlahnya. Tapi Hoedkong Po-tiauw hanya sejurus dan jurus itu tidak ada
perubahannya. Biarpun begitu jurus tunggal itu lihai bukan main. Tak nanti ada manusia yang
dapat mengelakkannya. Tenaga dahsyat terdapat didalamnya adalah Go Bie Kioe yang kang.
Pada jaman itu dalam kalangan Go Bie Pay hanya Biat Coat soerang yg dapat menggunakan
pukulan tersebut.
Semula si nenek hanya ingin memukul tantian Boe Kie, supaya ia pingsan untuk sementara
waktu. Tapi sesudah munculnya In Ya Ong, ia mengambil keputusan untuk tidak malu
kasihan lagi. Menurut anggapannya, jika ia menaruh belas kasihan kepada Boe Kie it artinya
takut menghadapi In Ya Ong. Demikianlah ia mengirim Hoedkon Po Tiauw dengan seantero
tenaga Go Bie Kioe yang kang.
Mendengar suara berkerotoknya tulang2 si nenek, Boe Kie mengerti, bahwa ia akan di serang
dengan pukulan membinasakan. Ia tahu jiwanya tergantung atas selembar rambut. Pada detik
itu untuk menolong jiwa, ia hanya mempunyai satu pegangan, yaitu perkataan yg terdapat
dalam Kioe yang cie keng. Biar dia jahat, biar dia ganas, bagiku, cukuplah jika aku sekali
menyedot hawa tulen.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 675
Maka itulah tanpa menghiraukan segala apa ia segera mengerahkan pernapasannya dan
mengumpulkan hawa tulen didadanya.
Plak! telapak tangan Biat coat mampir tepat di dada Boe Kie!
Semua orang terkesikap, beberapa antaranya mengeluarkan seruan tertahan. Mereka menduga
tulang2 pemuda itu akan hancur. Tapi muka Boe Kie kelihatan seperti orang kaget. Tapi ia
tetap berdiri tegak diatas pasir, sedang paras Biat Coat pucat pasi bagaikan mayat, tanggannya
yang barusan memukul bergetar.
Apa yang sudah terjadi?
Tenaga pukulan Hoed kong Po tiauw adalah Go bie Kioe yang kang. Yang digunakan Boe
Kie tenaga Kioe yang sin kang, Go Bie Kioe yang kang digubah Kwee Siang sesudah
mendengari Kak Wan Tay Soe menghafal Kioe yan Cin Keng. Karena hanya mendengar satu
kali, maka dapatlah di mengerti, jika Kwee Siang tidak dapat menangkap isi kitab itu. Maka
itu, Go Bie Kioe yang kang tidak dapat dibandingkan dengan Kioe yang Sin kang dari Boe Jie
yang mendapatkannya dengan membaca kitabnya sendiri. Dengan lain perkataan Kioe yang
Sin kang Boe Kie yang lebih tulen dan lebih murni terlebih kuat daripada Go Bie Kioe yang
kang yg di miliki Biat Coat. Sebagai akibatnya, begitu lekas kedua tenaga kebentrok, Go Bie
Kioe yang kang hilang bagaikan batu jatuh di laut.
Untuk sedetik Boe Kie merasa dadanya tergetar, tapi dilain saat, seluruh tubunya berubah
nyaman dan semangatnya bertambah besar.
Mengapa?
Karena Go Bie Kioe yang kang dihisap Kioe yang sin kang dan tenaga Go Bie Kioe yang
kang berbalik menambah tenaga Boe Kie. Pemuda itu tak sengaja menghisap tenaga si nenek.
Itu semua sudah terjadi secara wajar, sebab kedua rupa tenaga bersamaan sifatnya, sehingga
yang lebih kuat menyedot yang lebih lemah.
Dalam pukulan pertama kedua Biat coat tak menggunakan Go Bie yang kang dan Boe Kie
sudah terluka.
Sebab musabab dair ini semua tak di ketahui oleh siapapun jua. Semua orang Rimba
persilatan sudah mendengar bahwa didalam dunia terdapat Kioe Im Cin Keng. Tapi semenjak
kerajaan Lam Song, Kioe Im menghilang dari Rimba persilatan. Disamping Kioe Im ada Kioe
Yang cin kang. Tapi kecuali kak wan tay soe, belum pernah ada manusia yang dapat
melihatnya,s ehingga secara aneh dan kebetulan, Boe Kie mendapatkannya dari perut seekor
kera. Maka itu kenyataan Go Bie Kioe yang sin kang tidak di ketahui oleh siapapun jua,
bahkan tak diketahui pula oleh Biat Ciat sendiri yang hanya menggangap bahwa pemuda itu
memiliki Lweekang yang sungguh2 luar biasa.
Sebab mempunyai Lweekwang yg sangat tinggi biarpun dalam bentrokan itu tenaga Go Bie
Kie yang kang telah terhisap, lweekang Biat Coat tidak menjadi rusak dan ia sama sekali tak
mengunjuk tanda ygn jelek. Maka itu, ratusan orang yang menyaksikan peristiwa itu memberi
tafsiran yg beraneka warna. Ada yg menduga si nenek menaruh belas kasihan, ada yg
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 676
menduga dia tak mau mencelakai jiwa ratusan lawan dan ada juga yg menduga berayali kecil
dan takut akan ancaman In Ya Ong.
Sementara itu Boe Kie menyoja sambil membungkuk. Terima kasih atas belas kasihan Soe
thay, katanya.
Biat Coat mengeluarkan suara dihidung. Ia malu bercampur gusar. Ia sekarang serba salah,
kalau memukul lagi, sebagai seorang cianpwee ia tak menepati janji. Kalau menyudahi saja,
ia seperti jug mukuek lutut dibawah ancaman Peh Bie Kauw.
In Ya Ong tertawa terbahak2. Orang yang bisa melihat selatan adalah seorang gagah katanya.
Tak mau Biat Coat menjadi sorang yg berkedudukan tinggi pada jaman ???. Ia mengibas
tangannya dan membentak Mundur semua!
Dengan serentak dan rapi, pasukan anak panah Peh Bie Kauw menghilang dalam parit.
Biat Coat malu besar, tapi orang tentu tidak mau percaya, jika ia mengatakan, bahwa barusan
ia memukul sungguh2. orang tentu menggangap, bahwa ia takut akan ancaman In Ya Ong.
Maka itu ia hanya mengawasi Boe Kie dengan sorot mata gusar. Sesaat kemudian, ia berseru,
In Ya Ong! Jika kau ingin menjadi pukulanku, marilah!
Sesudah hari ini menerima budi Soethay, aku tak berani membuat kdeosaan lagi, jawabnya.
Di hari kemudia masih ada kesempatan untuk bertemu pula.
Si nenek mengibas tangannya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengajak
murid2nya pergi ke arah barat. Rombongan Koen Loen Hwasan dan Kongtong bersama In lie
Heng dan Song Ceng Soe lantas berangkat.
Coe Jie yang masih belum bisa jalan lantas saja berteriak A Go koko! Bawalah aku pergi dari
sini!
Tunggu sebentar, kata Boe Kie yang inign bicara dengan In Ya Ong. Ia mendekati dan
berkata. Terima kasih atas budi cianpwee, Boanpwee takkan dapat melupakannya.
Sambil mencekal tangan pemuda itu dan mengawasi mukanya dengan mata tajam. In Ya Ong
bertanya. Apa benar kau she Can?
Didalam hati Boe Kie ingin sekali menubruk dan memeluk pamannya, tapi sebisa bisa ia
mempertahankan diri. Bahwa terharu, kedua matanya mengembang air.
Kata orang, Melihat paman seperti melihat ibu sendiri. Sesudah kedua orang tuanya
meninggal dunia, selama belasan tahun, baru sekarang Boe Kie berjumpa dengan keluarga
sendiri sehingga dapatlah di mengerti, jika ia merasa sangat terharu. Di lain pihak, In Ya Ong
hanya menafsirkan menangisnya pemuda itu sebgai suatu tanda berterima kasih. Tiba2 ia
melihat Coe Jie yg rebah di tanah dan ia terus saja tertawa dingin. A lee, tegurnya. Apa kamu
sudah tidak mengenal aku?
Paras si nona lantas saja berubah. Thi! katanya dengan suara bergemetar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 677
Boe Kie terkejut dan berbareng ia melihat segala apa yg semula gelap baginya. "Ah! Kalau
begitu ia putrinya Koekoe dan saudari sepupuku," pikirnya. "Ia telah membunuh ibu tirinya,
menyebabkan meninggalnya ibu kandungnya sendiri dan ia mengatakan, bila bertemu
ayahnya, akan membunuh dirinya.... Ah! Ia membinasakan In Boe Lok dengan Cian coe Ciat
hoe cioe. Mungkin sekali ketiga orang itu pernah menyakiti hatinya. Biarpun membenci In
Boe Hok dan In Boe Sioe tidak berani melawan dia dan lari dengan membawa mayat Boe
Lok...." Ia mengawasi si nona dan berkata pula dalam hatinya. "Tak heran ia agak mirip
dengan ibu. Tak dinyana, ibuku adalah bibinya sendiri."
Sementara itu, seraya tertawa dingin In Ya Ong berkata. "Hm!... kau masih memanggil aku
'thi'. Kukira sesudah mengikuti Kim hoa Popo, kau tak memandang sebelah mata lagi kepada
Peh Bie kauw. Kau tiada bedanya denagn ibumu. Hm!... mempelajari Ciaon coe ciat hoe cioe.
Ambillah kaca pandang mukamu yg tak keruan macam. Apakah didlm keluarga In ada
manusia yg beroman seperti memedi?"
Coe Jie ketakutan dan menggigil. Tiba2 ia mendongak dan menatap wajah ayahnya. "Thia"
katanya dengan nyaring. "Jika kau tak menyebutkan kejadian dahulu hari, akupun takkan
menggusik usiknya. Tapi sesudah kau menyebutkan itu, kini aku ingin menanya. Ibu telah
menikah denganmu dan telah merawat engkau sebagai mana mesti. Tapi kenapa kau
mengambil istri kedua?"
"Kurang ajar kau!" bentak sang ayah. "Orang lelaki manakah yang tak mempunyai beberapa
istri dan gundik? Kau berdosa besar... tak guna kau coba membela diri dengan pertanyaan2
kurang ajar... hm... Kim hoa Popo... Gin hip Sian Seng... sedikit pun kau tak memandang mata
kepada Peh bie kauw". Sambil menengok kepada In Boe Hok dan In Boe Sioe, ia berkata,
"Bawa budak ini!"
"Tahan!" kata Boe Kie. "In... Cian pwee, perlu apa kau membawa dia?"
"Budak ini adalah anakku sendiri," jawabnya dengan mendongkol. "Dia meracuni ibu tirinya
sehingga mati dan diapun menyebabkan matinya ibu kandungnya sendiri. Perlu apa manusia
binatang itu dibiarkan hidup didalam dunia?"
"Waktu itu In Kouwnio masih sangat muda dan sebab jengkel melihat ibunya dihina orang. Ia
sudah melakukan perbuatan yg tak pantas," kata pula Boe Kie. Dengan mengingat kecintaan
antara ayah dan anak, aku mengharap Cianpwee suka mengampuninya."
In ya Ong tertawa terbahak2. "Bocah! Siapa sebenarnya kau, sehingga kau berani campur2
urusan rumah tanggaku? Apakah kau seorang Boe Lim Cie Coen?"
Didalam hati Boe Kie ingin menjawab, "Aku bukan orang luar, aku keponakanmu," tapi
perkataan itu yang sudah hampir keluar ditelan lagi.
Sesudah berdiam sejenak, In Ya Ong berkata pula, "Bocah secara mujur, hari ini jiwamu
ketolongan. Tapi jika kau tidak mengubah adat, jika kau terus coba2 campur urusan orang,
biarpun kau mempunyai sepuluh jiwa juga tak cukup." Ia mengibas tangannya dan In Boe
Hok serta In Boe Siong segera mengangkat Coe Jie dan menaruhnya dibelakang In Ya Ong.
Boe Kie mengerti, bahwa begitu lekas si nona dibawa oleh ayahnya, jiwanya pasti akan
melayang. Dalam bingungnya, ia melompat merampasnya. Alis In Ya Ong berkerut. Bagaikan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 678
kilat tangannya menyambar dan mencengkram dada Boe Kie yang lalu dilontarkan. "Bruk!" ia
ambruk di pasir kuning. Dengan Kie yang Sin Kang melindungi dirinya. Ia tidak dapat
mendapat luka; tapi muka dan pakaiannya gelepotan pasir. Dengan cepat ia merangkak
bangun dan lekas mengulangi usaha untuk merampas Coe Jie.
"Bocah!" bentak In Ya Ong. "Barusan aku menaruh belas kasihan. Tapi sekali lagi aku tak
akan menaruh sungkan."
"In... cian pwee," meratap Boe Kie. "Dia adalah anak kandungmu sendiri. Dahulu kau sedang
mendukung ida... kau pernah menyintainya... Dengan mengingat kecintaan itu, ampunilah
dia..."
Mendengar ratapan itu, hati In Ya Ong tergerak jg. Ia mengawasi puterinya, tapi begitu
melihat muka Coe Jie yg tak keruan macamnya, darahnya meluap lagi. "Minggir!" bentaknya.
Sebaliknya daripada menyingkir, Boe Kie melompat pula merebut si nona.
"A Goe Koko," kat Coe Jie. "Kau tak usah mempedulikan aku!" Aku takkan melupakan
budimu. Pergilah! Kau bukan tandingan ayahku."
Pada saat itulah mendadak muncul seorang pria yang mengenakan jubah berwarna hijau.
Dengan kedua tangan ia mencekal belakang leher In Boe Hok dan In Boe Sioe dan lalu
membentrokkan kepala kedua orang itu yang lantas saja menjadi pingsan. Hampir berbareng,
dengan kecepatan kilat, ia mendukung tubuh Coe Jie dan segera kabur.
"Ceng ek Hong ong!" bentak In Ya Ong dengan gusar. "Kau juga mau campur2 urusanku!"
Ceng ek Hok ong Wie It Siauw tertawa dan terus lari dengan secepat2nya. Sesuai dengan
namanya "It Siauw" (Sekali tertawa), tertawa2nya nyaring dan panjang luar biasa.
In Ya Ong dan Boe Kie lantas saja mengubar. Kali ini Ceng ek Hok ong tak lari berputaran
tapi terus menuju kejurusan tenggara. Dia sungguh lihai. In Ya Ong adalah seorang ahli silat
kelas utama yg mempunyai lweekang sangat tinggi, sedang Boe Kie memiliki Kioe yang sin
kang. Tapi makin lama mereka mengejar, Wie It Siauw yang mendukung orang, mereka
ketinggalan makin jauh, sehingga si Raja Kelelawar tidak kelihatan bayang2nya lagi.
Bagaikan kalap, In Ya Ong mengubar terus. Diam2 dia merasa heran karena Boe Kie bisa
terus merendenginya. Sesudah tak punya harapan menyusul musuh ia sekarang ingin menjajal
kepandaian pemuda itu. Ia segera menggunakan seantero tenaga dalamnya dan lari bagaikan
anak panah yg baru terlepas dari busurnya. Tapi pundak Boe Kie tetep berendeng dengan
pundaknya. Tiba2 pemuda itu berkata, In cianpwee, meskipun Ceng ek Hong bisa lari sangat
cepat, lweekang nya belum tentu seberapa tinggi. Cobalah kita mengubar terus untuk
mencoba kekuatannya.
In Ya Ong kaget bukan main. Dengan lari secepat ini, aku telah menggunakan seantero tenaga
dalamku, pikirnya. Jangankan berbicara, bernapas salahpun sudah tak boleh. Tapi anak ini
bisa berbicara dengan kecepatan lari yg tidak berubah. Apa dia mempunyai ilmu siluman?
Mendadak ia menghentikan tindakan dan dalam sedetik itu, tubuh Boe Kie sudah melesat
belasan tomak jauhnya. Buru2 pemuda itu berhenti dan menghampiri In Ya Ong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 679
Saudara Can, kata In Ya Ong, Siapakah gurumu?
Tidak tidak. Kata Boe Kie tergugu. In Cianpwee, janganlah kau memanggil aku dengan istilah
saudara. Panggil saja namaku A Goe. Aku tak punya guru.
Mendengar jawaban itu, serupa ingatan tidak baik mendadak muncul dalam hati In Ya Ong.
Bocah ini memiliki kepandaian yang sangat aneh, pikirnya. Kalau dia hidup terus, dia bisa
jadi bibit penyakit. Sebaiknya sekarang saja aku mangambil jiwanya.
Sekonyong-konyong di tempat jauh terdengar suara terompet yang terbuat daripada keong
raksasa. Itulah tanda bahaya dari Peh bie kauw.
Alis In Ya Ong berkerut.
Tak salah lagi Ang soei dan Liat Hwee yang cari lantaran, pikirnya. mereka rupanya marah
sebab aku tidak membantu Swie kim kie. Kalau sekarang aku menyerang dan tidak
membinasakan bocah itu dengan satu kali pukul, aku mesti bertempur lama, sedang aku tak
banyak waktunya. Aah. Lebih baik aku meminjam tenaga orang, biarlah dia mampus dalam
tangan Wie It Siauw. Memikir begitu, ia lantas saja berkata. Peh bie kauwsedang menghadapi
musuh, dan aku harus segera kembali. Kau saja yang pergi mencari Wie It Siauw. Manusia itu
sangat lihay dan jahat. Kalau bertemu, kau mesti turun tangan lebih dulu.
Kepandaianku sangat cetek, bagaimana aku bisa melawan dia? kata Boe Kie Musuh dari
manakah yang menyerang pihakmu?
Sesaat itu terdengar suara terompet keong.
Benar2 Ang soei, Liat Hwee dan Houw touw yang menyerang. Kata In Ya Ong.
kalian semua adalah dari satu golongan Mo kauw, tapi mengapa kalian saling bunuh? tanya
Boe Kie.
Paras muka In Ya Ong berubah, Tahu apa Kau! bentaknya seraya memutar tubuh dan lalu
berlari lari ke arah datangnya suara terompet.
Sesudah berada sendirian, Boe Kie segera teringat keselamatan Coe Jie. Kalau lehernya
digigit dan darahnya dihisap, dia tentu lantas mati pikirnya. Mengingat begitu, ia bingung dan
segera mengerahkan Lweekang, ia mengubar pula.
Untung juga, walaupun Wie It Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi, tapi
sebab mendukung orang, ia tidak bisa menghilangkan tapak kakinya di atas pasir. Dengan
demikian, walaupun manusianya sudah tidak kelihatan, Boe Kie masih dapat mengikutinya. Ia
mengambil keputusan untuk mengjar terus tanpa mengaso dan ia percaya dalam beberapa hari
ia akan dapat menyusulnya.
Tapi mengubar orang berhari2 dibawah teriknya matahari bukan pekerjaan mudah. Sesudah
mengubar samapi magrib, mulutnya kering dan keringat membasahi pakaiannya. Tapi
sungguh heran, ia bukan saja tidak merasa lelah bahkan kekuatan kakinya tidak berubah.
Tenaga Kioe Yang Sin Kang yang telah dilatihnya selama beberapa tahun, sekarang
memperlihatkan manfaatnya yang tiada batasnya. Makin banyak tenaga digunakan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 680
Semangatnya makin berkobar2. kalau haus, ia hanya meminum air dari kobakan yang terdapat
di pinggir jalan dan sesudah minum ia mengejar lagi.
Waktu mengubar sampai tengah malam, dengan hati berdebar2 ia mengawasi rembulan. Ia
sangat berkuatir. Ia kuatir Coe Jie keburu dibinasakan.
Sekonyong2 ia mendengar suara tindakan di belakangnya, tapi waktu menengok, tak terlihat
siapapun jua. Ia lari terus. Sesaat kemudian suara tindakan terdengar pula. Ia heran bukan
main dan segera memutar tubuh. Tapi ia tetap tidak melihat bayangan manusia. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia mengawasi pasir. Diatas pasir terdapat tiga renteng tapak kaki,
yang satu tapak Wie It Siauw, yang lain tapak kakinya sendiri, sedang yang ketiga tapak
orang itu. Tapi siapakah dia? Ia memutar badan dan mengawasi ke sebelah depan. Didepan
hanya terdapat serentetan tapak yaitu tapak kaki Wie It Siauw. Dengan lain perkataan, orang
itu hanya mengikuti dari belakang. Siapa dia? Apa siluman? Apa dia seorang berilmu yang
bisa menghilang?
Dengan rasa heran dan sangsi, ia mengubar lagi. Lagi lagi di sebelah belakang terdengar suara
tindakan!
Siapa? teriak Boe Kie.
Siapa? kata orang di belakangnya.
Boe Kie terkesiap.
Apa kau manusia atau setan? tanya pemuda itu.
Apa kau manusia atau setan? mengulangi suara itu.
Bagaikan kilat Boe Kie memutar badan. Kali ini ia melihat berkelebatnya bayangan manusia.
Sekarang ia tahu, bahwa seseorang yang gerakannya cepat luar biasa sedng mempermainkan
dirinya.
Perlu apa kau mengikuti aku? teriaknya.
Perlu apa kau mengikuti aku? tanya orang itu.
Boe Kie tertawa. Bagaimana kutahu, katanya. Aku justru mau menanya kau,
Bagaimana kutahu? Aku justru mau menanya kau, mengulangi orang itu.
Boe Kie tahu orang itu tidak mengandung maksud jahat. Kalau mau dengan mudah dia bisa
mengambil jiwanya. Siapa namamu? tanyanya pula.
Tak bisa diberitahukan, jawabnya.
Mengapa tidak bisa diberitahukan? mendesak pemuda itu.
Tidak bisa diberitahukan, tidak bisa diberitahukan. Jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 681
Keterangan apa lagi yang bisa diberikan kepadamu? Eh siapa namamu?
Aku..aku Can A Goe, jawab Boe Kie.
Justa! bentak orang itu.
Justa ya Justa jawabnya. Eh sekarang aku yang mau menanya kau. Perlu apa kau berlari2
seperti orang edan di tengah malam buta?
Boe Kie mengerti, bahwa ia sedang manghadapi sesorang yang memiliki kepandaian sangat
tinggi. Maka itu, ia lantas saja menjawab. Salah seorang sahabatku telah ditawan oleh Ceng
ek Hok ong dan aku mau coba menolongnya
Kau takkan mampu menolong sahabatmu kata orang itu.
Mengapa? tanya Boe Kie.
Ilmu silat Ceng ek Hok ong banyak lebih tinggi dari pada kepandaianmu. Kau takkan dapat
menandinginya
Biarpun kalah aku mesti tetap melawan dia.
Bagus! Semangatmu harus dipuji. Sahabatmu seorang wanita, bukan?
Benar. Bagaimana kau tahu?
Kalau bukan wanita, tak mungkin seorang pemuda rela mengorbankan jiwa untuk
menolongnya. Apa dia cantik?
Sangat jelek.
Kau sendiri? Apa mukamu bagus?
Mari. Datanglah dihadapanku. Kau bisa lihat sendiri
Tak perlu kulihat mukamu. Apa nona itu mengerti ilmu silat.
Cukup pandai. Dia adalah putrinya In Ya Ong Cianpwee dari Peh Bie Kauw. Dia pernah
berguru pada Kim Hoa popo dari Leng coa to.
Tak guna kau mengubar. Wie It Siauw pasti tak akan melepaskan dia.
Mengapa?
Orang itu mengeluarkan suara dihidung. Kau sungguh tolol, katanya.
Pernah apa In Ya Ong kepada In Thian Ceng?
Mereka adalah Ayah dan anak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 682
Antara Peh bie Eng ong dan Ceng ek Hok ong, siapa yang lebih tinggi ilmu silatnya?
Tak tahu. Bagaimana pendapat Cianpwee.
Akupun tak tahu. Antara mereka berdua pengaruh siapakah yang lebih besar?
Eng ong adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw. Kurasa ia lebih berpengaruh
Benar. Itulah sebabnya, mengapa Wie It Siauw sudah menawan cucu perempuannya In Thian
Ceng. Ia ingin menggunakan nona itu sebagai semacam barang tanggungan untuk mendesak
In Thian Ceng guna kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya, mengapa menurut pendapatku
Wie It Siauw tak akan melepaskan tawanannya.
Boe Kie menggeleng-gelengkan kepalanya. Maksud itu tak akan tercapai. Katanya. Ian Ya
Ong Cianpwee ingin sekali mebunuh putrinya itu.
Apa? menegas orang itu dengan suara heran.
Boe Kie lantas saja menceritakan riwayatnya Coe Jie, cara bagaimana nona itu telah meracuni
ibu tirinya, sehingga belakangan ibu kandungnya sendiri turut binasa.
Tak dinyana! Tak dinyana! Sunguh2 bakat yang baik! memuji orang itu.
Mengapa bakat yang baik? tanya Boe Kie.
Dia masih begitu muda, tapi dia sudah bisa meracuni ibu tirinya dan ibu kandungnya sendiri
sampai turut binasa,jawabnya Disamping itu dia telah mendapat pelajaran dari Kim hoa popo.
Aku sungguh menyanyang nona yang jempolan itu. Sekarang kutahu, Wie It Siauw mau
mengambilnya sebagai murid.
Boe Kie kaget. Bagaimana kau tahu? tanyanya.
Wie It Siauw adalah sahabatku, jawabnya. Aku mengenal adatnya
Pemuda itu terkesinap. Celaka! teriaknya dan lari sekeras-kerasnya.
Orang itu tertawa dan mengikuti dari belakang.
Sambil berlari2 Boe Kie bertanya. Mengapa kau terus menguntit aku?
Aku ingin menonton keramaian, jawabnya Perlu apa kau mengubar Wie It Siauw?
Coe Jie sudah berhawa sesat, aku tak akan mengijinkan dia berguru kepada Wie It Siauw.
Jawabnya dengan suara gusar. Celaka sungguh kalau dia menjadi siluman yang menghisap
darah manusia!
Apa kau menyukai dia?
Tidak.Hanya.hanya dia mirip dengan ibuku.
Kalau begitu, ibumu seorang wanita yang bermuka jelek.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 683
Jangan ngaco! Ibuku sangat cantik.
Orang itu tertawa. Sesaat kemudian, ia berkata sambil menghela nafas. Sayang! Sayang
sungguh!
Sayang apa?
Semangatmu cukup baik, nyalimu cukup besar. Hanya sayang, dalam sekejap kau akan
menjadi mayat yang tidak ada darahnya lagi.
Boe Kie kaget. Didalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan orang itu. Andaikata Wie It
Siauw dapat disusul, ia tetap tak akan dapat menolong Coe Jie. Bukan saja begitu, ia malah
akan membuang jiwa secara Cuma2. maka ia lantas memohon. Cianpwee apa bisa kau bantu
aku?
Tak bisa, jawabnya. Pertama. Wie It Siauw adalah sahabatku dan kedua, belum tentu aku bisa
menandingi dia.
Wie It Siauw adalah manusia siluman yang suka menghisap darah manusia, kata Boe
KieKalau dia sahabatmu, mengapa kau tidak coba membujuknya, supaya dia tidak melakukan
perbuatan yang terkutuk itu?
Orang itu menghela nafas. Tak guna aku membujuk dia, katanya dengan suara duka. Dia
bukan kepingin menghisap darah secara suka2. Dia berbuat itu karena terpaksa. Kutahu, ia
sendiri sangat menderita.
Karena terpaksa menegas Boe Kie dengan heran. Apa i-ia?
Dahulu waktu berlatih Lweekang, ia telah berbuat kesalahan besar, menerangkan orang.
Belakangan, setiap kali menggunakan Lweekang ia harus minum darah manusia, sebab, jika
tidak, sekujur badannya kedinginan dan jika tidak tertolong, ia akan mati beku.
Boe Kie berpikir sejenak dan kemudian berkata Bukankah penyakit itu sudah terjadi karena
ketidakberesan pada pembuluh darah Sam-in?
Ih! Bagaimana kau tahu? tanya orang itu dengan heran.
Aku hanya menebak2, jawabnya.
Tiga kalo aku mendaki gunung Tiang pek san untuk menangkap kodok api guna mengobati
penyakitnya, kata orang itu. Ia menghela nafas dan berkata pula. Ketiga2 kalinya tidak
berhasil. Dalam usaha yang pertama, aku bertemu seekor kodok api, tapi tidak berhasil
menangkapnya. Dalam usaha yang kedua dan ketiga, kodok itu tidak terlihat bayangannya.
Sesudah kesulitan yang serasa dapat diatasi, aku ingin pergi ke Tiang pek san lagi.
Apa boleh aku mengikuti? tanya Boe Kie.
Hm Lwekangmu sudah boleh juga, tapi ilmu ringan badan masih belum cukup, jawabnya
Nanti saja, kalau waktunya tiba, kita bicara lagi. Eh! Perlu apa kau mau membantuku?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 684
Kalau berhasil, kita bukan saja akan bisa menolong Wie It Siauw, tapi juga bisa membantu
lain2 orang yang dihinggapi penyakit yang sama. Jawabnya. Cianpwee, dia sudah pergi begitu
lama dan sudah menggunakan banyak tenaga dalam. Apakah mungkin, sebab terpaksa, ia
menghisap darah Coe Jie?
Mungkin.memang sangat mungkin, jawabnya.
Boe Kie sangat kuatir dan ia lari makin keras. Tiba2 orang itu berteriak. Hei! Coba lihat, ada
apa dibelakangmu?
Pemuda itu menengok ke belakang. Mendadak matanya gelap dan tubuhnya terangkat dari
bumi. Ia merasa badannya masuk ke dalam karung yang kemudian diangkat dan digendong di
punggung orang itu. Dengan hati mendongkol ia mencoba merobeknya. Ia kaget sebab tak
berhasil. Karung itu terbuat dari semacam kain yang a lot dan kuat luar biasa.
Plak! orang itu memukul pantat Boe Kie. Ia tertawa lantas berkata. Bocah, jangan kau banyak
lagak dalam karungku. Ku akan bawa kau ke suatu tempat yang menyenangkan. Kalau kau
bersuara dan diketahui oleh lain orang, aku takkan bisa menolong jiwamu lagi.
Kemana kau akan membawaku? tanya Boe Kie.
Orang itu tertawa. Setelah kau masuk ke dalam karung Kian koen tay apa kau rasa bisa lari
jika aku benar2 maui jiwamu? tanyanya. Asal kau dengar kata, tidak bergerak dan tidak
bersuara, kau akan mendapat keuntungan.
Boe Kie merasa, bahwa orang itu bicara sebenarnya dan tidak bergerak lagi.
Sekonyong2 orang itu melontarkan karungnya ditanah dan tertawa terbahak2.
Bocah! Kalau kau bisa keluar, kau benar2 lihay, katanya.
Pemuda itu segera mengerahkan Lweekang dan kedua tangannya mendorong ke depan
sekeras2nya. Tapi karung dan a lot tu tetap utuh. Ia menendang dan memukul kalang kabutan.
Karung itu tetap tak bergeming.
Selang beberapa lama. Orang itu tertawa dan bertanya Kau menterah?
menyerah. Jawabnya.
Bahwa kau bisa masuk ke dalam karungku adalah rejekimu yang besar, kata orang itu seraya
mengangkat tangannya, menggendong di punggung dan lalu berlari2.
Bagaimana dengan Coe Jie? tanya Boe Kie.
mana aku tahu? jawabnya. Bila rewel aku akan melemparkan kau keluar dari karungku.
Boe Kie ingin sekali orang itu membuktikan ancamannya, tapi ia tak berani membuka mulut
lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 685
Orang itu berlari-lari dengan kecepatan luar biasa. Selang beberapa jam, pemuda itu
merasakan hawa yang hangat. Ia tahu matahari sudah keluar. Ia juga dapat merasakan, bahwa
ia sedang dibawa ke atas gunung. Sesudah lewat kira2 2 jam lagi, hawa udara berubah dingin.
Hm sudah tiba di puncak yang tertutup salju, pikirnya. Mendadak, ia merasa kurang begitu
mengapung keatas dan tubuhnya seolah2 terbang di angkasa. Ia terkesiap dan berteriak. Dilain
detik, orang itu sudah hinggap di tanah. Ia mengetahui, bahwa orang itu sedang melalui
puncak yang berbahaya dan harus melompat kian kemari. Sekali meleset, habislah! Baru saja
memikir begitu, karung sudah mengapung lagi keatas.
Ia memeramkan matanya dan menyerahkan segala apa kepada nasib.
Tiba2 di sebelah kejauhan terdengar teriakan orang. Swee Poet Tek! Hey! Mengapa kau baru
datang?
ditengah jalan aku menemui sedikit urusan jawab orang yang menggendong Boe Kie. apa Wie
It Siauw sudah datang?
Belum jawab suara yang jauh itu. Heran sungguh. Swee Poet Tek, apa kau bertemu dengan
dia? seraya menjawab orang itu datang.
Boe Kie tersadar. Sekarang ia tahu, orang itu bernama Swee Poet Tek. Tak heran, pada waktu
ia menanyakan namanya, orang itu menjawab Swee Poet Tek, yang berarti Tidak dapat
diberitahukan. Mengapa namanya begitu aneh?
Tian koan Soeheng, kata Swee Poet Tek.
Mari kita cari saudara Wie. Kukuatir terjadi sesuatu yang hebat? kata Tiat koan Toojin, Ceng
ek Hok ong seorang pintar dan berkepandaian tinggi,
Tapi aku tetap merasa tak enak kata Poet Tek.
Sekonyong2 dari sebuah lembah di bawah puncak terdengar teriakan Hweesio bau Swee Poet
Tek! Tua bangka Tiat koan! Lekas kemari! Bantulah aku. Aduh celaka benar!
Cioe Tian! teriak kedua orang itu, hampir berbareng.
Dia seperti mendapat luka, kata Swee Poet Tek. Mengapa suaranya begitu lemah? tanpa
menunggu jawaban, ia segera melompat lompat ke bawah sambil menggendong karung.
Ah! Kata Tiat koan yang mengikuti di belakang, Lihat! Siapa yang digendong Cioe Tian? Apa
Wie It Siauw?
Cioe Tian jangan bingung! teriak Swee Poet Tek. Kami akan membantu kau.
Cioe Tian tertawa, Kurang ajar bentaknya Bingung apa? Yang hampir mampus ialah si
kelelawar penghisap darah!
Saudara Wie? menegas Swee Poet Tek dengan kaget. Mengapa dia? Seraya bertanya, ia
mempercepat tindakannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 686
Boe Kie merasa dirinya seperti terbang ke angkasa jadi ketakutan dan berbisik. Cianpwee
lepaskan aku untuk sementara waktu. Yang penting adalah menolong orang.
Swee Poet Tek tak menyambut. Tiba2 ia mengikat karungnya yang lalu diputar2 beberapa
kali. Bukan main kagetnya Boe Kie. Kalau terlepas jiwanya bisa melayang. Bocah! Aku
bicara terang2an kepadamu. Aku adalah Poet thay Hweesio Swee Poet Tek. Yang
dibelakangku Tiat Koan Toojin Thio Thiong. Orang yang berada di lembah itu bernama Cioe
Tian. Kami bertiga dengan Leng bian Sianseng Leng Kiam dan Pheng Eng Giok Pheng
Hweesio dikenal sebagai Bgo sian jin dari Mo Kouw. Apa kau tahu apa yang dinamakan Mo
Kauw?
Tahu. Jawabnya Kalau begitu taysoe adalah anggota Mo kauw.
Aku dan Cioe Tian tidak suka membunuh orang. Kata pula Swee Poet Tek. Tapi Tit koan
Toojin, Leng bian Sianseng dan Pheng Hweesio bisa mebunuh manusia tanpa berkedip. Kalau
mereka tahu kau berada dalam karungku, sekali hajar saja, tubuh bisa hancur luluh,
kata Boe Kie. Aku tak berdosa, mengapa?
Apa kau anggap Tiat koat Toojin membunuh orang dengan lebih dulu menanyakan
kedosaannya? memutus Swee Poet Tek. Aah! Kalau kau masih ingin hidup, mulai dari
sekarang tak dapat kau mengeluarkan sepatah katapun. Mengerti?
didalam karung Boe Kie manggut2kan kepala.
Eh! Mangapa kau tak menjawab? tanya Swee Poet Tek.
Bukankah kau melarang aku bicara? Boe Kie balas menannya.
Swee Poet Tek tersenyum. Bagus kalau kau tahu. Katanya. Hei! Bagaimana keadaan Wie?
perkataan yang belakangan itu ditujukan kepada Cioe Tian.
Dia.dia.celaka besar!....celaka besar! jawab Cioe Tian dengan suara terputus2.
Hm...saudara Wie masih bernafas, yang menolongnya?
sebelum Cioe Tian keburu menjawab, Tiat Koan Toojin mendahului Cioe Tian, apa kau luka?
Mengapa mukamu pucat?
Tadi aku ketemu si kelelawar yang menggeletak seperti mayat, nafasnya sudah hampir putus,
menerangkan Cioe Tian. Aku segera mengerahkan Lweekang untuk menolongnya. Diluar
dugaan, racun dingun dalam tubuh si kelelawar benar2 lihay. Begitulah duduk persoalannnya.
Cioe Tian kali ini kau telah melekukan auatu perbuatan mulia, kata Swee Poet Tek.
Cioe Tian mengeluarkan suara di hidung. peduli apa mulia, atau jahat, katanya Si kelelawar
sangat beracun dan aneh dari biasanya aku sangat membenci dia. Tapi kali ini dia melakukan
perbuatan yang cocok dengan hatiku. Maka itu, aku coba menolongnya. Aku tak nyana, bukan
saja aku tak berhasil, malah racun itu berbalik masuk ke dalam badanku. Celaka sungguh!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 687
Mungkin sekali jiwaku akan turut melayang. Ia berdiam sejenak dan berkata pula.
Penghabisan!......ini namanya pembalasan si kelelawar dan Cioe Tian seumur hidup belum
pernah melakukan perbuatan baik. Sekali berbuat baik, bencana datang.
Jilid 37_______________
Perbuatan baik apakah yang dilakukan saudara Wie? tanya Swee Poet Tek.
Sesudah menggunakan Lweekang, racun dingin dalam tubuhnya mengamuk hebat dan
menurut kebiasaan, dia bisa menolong diri sendiri dengan mengisap darah manusia, terang
Cioe Tian. Ketika itu di sampingnya terdapat seorang gadis. Tapi dia lebih suka mati daripada
menghisap darah nona itu. Melihat itu aku berkata, si Kelelawar berlaku aneh, akupun mau
berlaku aneh. Baiklah, Cioe Tian coba tolong dia. Aku lantas saja bekerja dan beginilah
hasilnya.
Boe Kie kegirangan, tanpa merasa tubuhnya bergerak.
Siapa wanita itu? tanya Swee Poet Tek sambil menepuk karungnya. Ke mana dia sekarang?
Akupun bertanya begitu kepada si Kelelawar, sahutnya. Ia mengatakan bahwa nona itu
bernama In Lee, cucu perempuannya si tua bangka Peh Bie. Karena sudah menerima si nona
sebagai muridnya, maka si Kelelawar tidak bisa lagi menghisap darahnya.
Swee Poet Tek dan Tiat Koan Toojin menepuk tangan. Perbuatan Wie heng (saudara Wie)
yang mulia itu mungkin akan merupakan titik kebangkitan kembali dari agama kita, kata
Swee Poet Tek. Kelelawar hijau dan Eng (burung Eng) putih bisa bergandengan tangan,
kekuatan Beng-kauw akan bertambah banyak, seraya berkata begitu, ia menyambut tubuh
Wie It Siauw dari tangan Cioe Tian. Badannya sudah dingin seperti es, katanya dengan suara
kaget. Bagaimana baiknya?
Itu sebabnya mengapa aku minta kau datang lebih cepat, kata Cioe Tian. Dalam sepuluh
bagian, si Kelelawar sudah mati sembilan bagian. Kalau bangkai Kelelawar bergandengan
tangan dengan Peh Bie Eng-ong, bagi Beng-kauw tak ada kebaikannya sedikitpun juga.
Kalian tunggulah di sini, kata Tiat Koan. Aku akan turun gunung untuk membekuk seorang
manusia hidup guna dijadikan minuman bagi Wie heng, seraya berkata begitu, ia
mengayunkan tubuh untuk melompat ke bawah.
Tahan! teriak Cioe Tian. Tua bangka, kau sungguh tak punya otak! Gunung ini sangat sepi,
hampir tak ada manusianya. Kalau mesti menunggu kau, Wie It Siauw (Wie sekali tertawa)
sudah menjadi Wie Poet Siauw (Wie tidak tertawa). Swee Poet Tek, paling baik kau
keluarkan bocah yang berada dalam karungmu untuk menolong saudara Wie.
Mendengar itu, Boe Kie ketakutan setengah mati.
Tak bisa, kata Swee Poet Tek. Dia telah berbudi sangat besar kepada agama kita. Jika Wie
heng membinasakan dia, Ngo Beng-kie (Lima Bendera) sudah pasti tak mau. Sehabis berkata
begitu, dengan cepat ia segera menuturkan bagaimana pemuda itu sudah menolong jiwa
berpuluh-puluh anggota dari pasukan Swie Kim-kie. Waktu itu aku menyusup di dalam
pasukan Peh Bie-kauw dan dengan mataku sendiri, aku menyaksikan semuanya, katanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 688
Dengan berhutang budi yang begitu besar, Ngo Beng-kie pasti akan membela dia matimatian.
Apakah kau ingin menggunakan bocah itu untuk menaklukkan Ngo Beng-kie? tanya Tiat
Koan.
Tidak bisa diberitahukan! Tidak bisa diberitahukan! jawabnya. Bagaimanapun juga, ini
kenyataaan bahwa sekarang di dalam Beng-kauw sudah terjadi keretakan hebat. Pada saat
menghadapi bencana, Peh Bie-kauw telah bentrok dengan Ngo Beng-kie. Untuk
menyelamatkan diri dari kemusnahan, jalan satu-satunya adalah bersatu padu. Bocah yang
berada dalam karungku mempunyai arti penting dalam usaha mendamaikan orang-orang kita.
Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangan kanannya dan menempelkan Leng Tay-hiat
di punggung Wie It Siauw. Kemudian ia mengerahkan hawa murni untuk membantu
menindih racun dingin yang sedang mengamuk dalam tubuh Wie It Siauw.
Cioe Tian menghela nafas, Swee Poet Tek, aku tentu tidak bisa mengatakan apapun juga, jika
kau rela menjual jiwa demi kepentingan seorang sahabat, katanya.
Biar kubantu kau, kata Tiat Koan Toojin sambil menempelkan telapak tangan kanannya pada
telapak tangan kiri Swee Poet Tek. Disaat itu, bagaikan gelombang, dua hawa murni
menerjang masuk ke dalam tubuh Wie It Siauw.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw merintih dengan perlahan dan sesaat kemudian ia
tersadar, tapi giginya masih gemeletukan. Ia membuka kedua matanya dan berkata, Cioe Tian,
Tiat Koan Tooheng terima kasih atas pertolongan kalian. Ia tidak menghaturkan terima kasih
kepada Swee Poet Tek sebab mereka berdua mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga
pernyataan terima kasih memang tidak perlu. Tiat Koan dan Swee Poet Tek yang sedang
mengeluarkan tenaga untuk melawan racun dingin tidak bisa lantas memberi jawaban.
Tiba-tiba di puncak gunung sebelah timur sayup-sayup terdengar suara Khim.
Leng Bian Sianseng dan Pheng Hweeshio sudah tiba, kata Cioe Tian yang lalu mendongak
dan berteriak sekeras-kerasnya. Leng Bian Sianseng! Pheng Hweeshio! Ada seorang terluka.
Kemari!
Suara Khim berhenti dengan mendadak, suatu tanda teriakan itu sudah didengar.
Siapa yang terluka, demikian terdengar teriak Pheng Hweeshio.
Setan tak sabaran! caci Cioe Tian dengan suara perlahan. Sedikitpun ia tidak bisa menunggu.
Sementara itu Pheng Hweeshio terus memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang
saling susul. Siapa yang terluka?...Apa Swee Poet Tek? Apa Tiat Koen heng?.... Hampir
berbareng dengan selesainya pertanyaan-pertanyaan itu ia tiba di hadapan rombongan Cioe
Tian.
Aduh! serunya. Kalau begitu Wie It Siauw yang terluka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 689
Perlu apa kau begitu tergesa-gesa? kata Cioe Tian, Saudara Leng Kiam, mengapa kau
membungkam saja?
Leng Kiam hanya menyahut hm. Ia sungkan membuang tenaga sia-sia. Biarlah Pheng
Hweeshio yang minta keterangan. Benar saja pendeta itu segera menghujani Cioe Tian
dengan berbagai pertanyaan dan pada waktu Cioe Tian selesai memberi penjelasan, Swee
Poet Tek dan Tiat Koan pun sudah selesai memasukkan hawa murni ke dalam tubuh Wie It
Siauw.
Aku datang dari timur laut, kata Pheng Hweeshio. Kudengar Cian Boenjin Siauw Lim-pay,
Kong Boen Taysoe bersama soeteenya, Kong Tie Taysoe dan seratus lebih murid-muridnya
sedang menerjang ke Kong Beng-teng.
Di sebelah timur Boe Tong Ngo hiap! kata Leng Kiam yang paling tidak suka bicara panjangpanjang.
Enam partai sudah mulai mengurung dan Ngo Beng-kie yang sudah bertarung dengan mereka
beberapa kali selalu mendapat pukulan, kata Pheng Hweeshio pula. Menurut pendapatku, kita
harus pergi ke Kong Beng-teng secepat mungkin.
Omong kosong! bentak Cioe Tian, Bocah Yo Siauw tidak mengundang kita, apakah Bengkauw
Ngo Sian-jin harus menyembah dia?
Cioe Tian, sekarang Beng-kauw sedang menghadapi bencana, kata Pheng Hweeshio dengan
suara membujuk. Jika mereka berhasil menghancurkan Kong Beng-teng dan memadamkan
api suci, apakah kita masih bisa menjadi manusia? Memang benar Yo Siauw telah berbuat
tidak pantas terhadap Ngo Sian-jin, tapi bantuan kita adalah untuk Beng-kauw dan bukan
untuk kepentingan Yo Siauw.
Aku menyetujui pendapat Pheng Hweeshio, sambung Swee Poet Tek. Biarpun Yo Siauw
sangat kurang ajar, kita harus ingat kepentingan agama kita yang lebih besar daripada
kepentingan pribadi.
Omong kosong! teriak Cioe Tian. Dua keledai gundul sama-sama omong kosong! Tiat Koan
Toojin, Yo Siauw pernah menghancurkan pundak kirimu, apa kau masih ingat?
Tiat Koan tidak menyahut. Lewat beberapa saat barulah ia berkata, Melindungi agama kita
dan memundurkan musuh adalah hal yang sangat penting. Perhitungan dengan Yo Siauw
dapat dibereskan sesudah musuh dipukul mundur. Dengan Ngo Sian-jin bersatu padu, tak
usah kuatir bocah itu tidak tunduk.
Cioe Tian mendengus, Leng Kiam, bagaimana pendapatmu? tanyanya.
Kaupun rela bertekuk lutut di hadapan Yo Siauw? tegas Cioe Tian. Dahulu kita pernah
bersumpah bahwa Ngo Sian-jin tak akan memperdulikan lagi urusan Beng-kauw. Apakah
sumpah itu hanya omong kosong?
Semua omong kosong! kata Leng Kiam.
Cioe Tian gusar tak kepalang, ia melompat bangun dan berteriak, Kamu semua manusia
berotak miring!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 690
Kita harus bertindak cepat, kata Tiat Koan tanpa menghiraukan kegusaran kawannya. Mari
kita berangkat.
Cioe heng, bujuk Pheng Hweeshio, Dahulu kita bermusuhan karena tak mendapat kecocokan
dalam urusan memilih Kauwcoe. Memang benar Yo Siauw berpandangan sempit. Tapi bila
dipikir-pikir, Ngo Sian-jin pun ada salahnya.
Dusta! teriak Cioe Tian, Kita berlima tak sudi menjadi Kauwcoe. Salah apa?
Biarpun kita bertengkar setahun, kita tak dapat membereskan soal siapa salah siapa benar,
kata Swee Poet Tek. Cioe Tian, kau jawablah pertanyaanku. Apakah kau bukan murid Beng
Coen Thian-seng? (Beng Coen Thian-seng pemimpin Beng-kauw)
Benar, aku muridnya Beng Coen Thian-seng, jawabnya.
Pada saat ini agama kita tengah menghadapi bencana dan bila kita terus berpangku tangan,
apakah dalam baka kita ada muka untuk bertemu dengan Beng Coen Thian-seng? tanya Swee
Poet Tek. Jika kau takut, biarlah kami berempat yang pergi ke Kong Beng-teng. Setelah kami
binasa, kau boleh mengubur mayatku.
Cioe Tian jadi kalap. Seraya melompat, ia mengayunkan tangan. Plok! tangannya memukul.
Swee Poet Tek tidak bergerak dan juga tak mengeluarkan sepatah kata. Perlahan-lahan ia
membuka mulut dan menyemburkan belasan gigi yang rontok akibat pukulan itu. Sebelah
pipinya berubah merah dan bengkak.
Pheng Hweeshio dan yang lain terkejut, sedang Cioe Tian sendiri mengawasi hasil
pukulannya dengan mata membelalak. Ilmu silat Swee Poet Tek dan Cioe Tian kira-kira
sebanding. Jika Swee Poet Tek berkelit atau menangkis, pukulan itu pasti takkan melukainya.
Diluar dugaan, ia diam dipukul.
Cioe Tian merasa sangat tak enak. Swee Poet Tek, pukullah aku! teriaknya, Bila kau tidak
mau, kau bukan manusia.
Swee Poet Tek tersenyum tawar. Tenagaku hanya digunakan terhadap musuh dan takkan
dipakai terhadap orang sendiri, sahutnya.
Cioe Tian gusar bercampur malu. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dan menghantam
pipinya sendiri. Sesaat kemudian, iapun menyemburkan belasan gigi dari mulutnya.
Cioe Tian, mengapa kau berbuat begitu? tanya Pheng Hweeshio dengan suara kaget.
Tak pantas aku memukul Swee Poet Tek, jawabnya. Aku suruh dia membalas, dia tidak mau.
Tak bisa lain, aku harus turun tangan sendiri.
Cioe Tian, hubungan antara kita seperti antara saudara kandung, kata Swee Poet Tek. Kami
berempat sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan jiwa di atas Kong Beng-teng.
Kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Apa ada masalah jika memukul aku sekali dua
kali?
Bukan main rasa terharunya Cioe Tian dan ia lantas saja mengucurkan air mata. Sudahlah!
katanya, Akupun akan ikut. Biarlah perhitungan dengan Yo Siauw dibereskan belakangan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 691
Pheng Hweeshio dan yang lain jadi girang sekali.
Mendengar pembicaraan itu, Boe Kie berkata dalam hatinya, Mereka berlima bukan saja
berkepandaian tinggi tapi juga mempunyai budi pekerti yang sangat luhur. Apakah orangorang
seperti itu sesat semua? Sesaat kemudian ia merasa karung diangkat dan semua orang
mulai berangkat ke Kong Beng-teng. Setelah mengetahui bahwa Coe Jie tak kurang suatupun,
hati pemuda itu memikirkan soal pertarungan antara enam partai Tiong-goan dan Beng-kauw.
Siapa yang akan menang? Dilain saat, ia ingat bahwa setibanya di Kong Beng-teng, ia akan
bertemu dengan Yo Poet Hwie. Apakah si nona masih mengenali dirinya?
Setelah berjalan sehari semalam, tiba-tiba Boe Kie merasa karung itu menyentuh-nyentuh
tanah. Semula ia tak mengerti sebab musebabnya. Belakangan, waktu ia mengangkat kepala,
kepalanya terbentur batu yang menyerupai dinding. Sekarang ia baru tahu bahwa ia sedang
berada di dalam terowongan, di bawah tanah, yang hawanya sangat dingin. Berselang kirakira
satu jam barulah mereka keluar dari terowongan. Mereka terus naik ke atas dan tak lama
kemudian masuk ke dalam terowongan lain. Sesudah keluar masuk lima terowongan, tiba-tiba
terdengar teriakan Cioe Tian, Yo Siauw, si Kelelawar dan Ngo Sian-jin datang untuk
menemuimu!
Lewat beberapa saat barulah terdengar jawaban. Aku sungguh tak menyangka Hok-ong dan
Ngo Sian-jin sudi datang berkunjung. Yo Siauw tak bisa menyambut dari tempat jauh dan
harap kalian sudi memaafkan.
Jangan berlagak bicara manis-manis, kata Cioe Tian. Di dalam hati, kau tentu mencaci kami.
Kau tentu mencaci kami sebagai badut yang sudah bersumpah tak mau naik lagi ke Kong
Beng-teng dan tak mau ikut campur lagi urusan Beng-kauw, sekarang datang tanpa diundang.
Tidak, tidak begitu, kata Yo Siauw. Siauw tee justru sedang kebingungan. Enam partai besar
telah mengurung Kong Beng-teng dan Siauw tee seorang diri. Dengan memandang muka
Coen Thian-seng, Hok-ong dan Ngo Sian-jin datang berkunjung untuk memberi bantuan. Ini
benar-benar rejekinya Beng-kauw.
Bagus kalau kau tahu, kata Cioe Tian.
Yo Siauw segera mengajak tamu-tamunya masuk ke dalam dan seorang pelayan
menyuguhkan teh.
Tiba-tiba si pelayan mengeluarkan teriakan menyayat hati. Boe Kie tak tahu sebabnya, tapi
teriakan itu membangunkan bulu romanya.
Beberapa saat kemudian, Wie It Siauw tertawa dan berkata, Co soe cia, kau telah
membinasakan pelayanmu. Aku pasti akan membalas budimu itu. Ia mengucapkan kata-kata
itu dengan suara lantang dan bersemangat. Boe Kie terkejut, sekarang ia tahu bahwa si
Kelelawar telah membunuh dan menghisap darah pelayan itu.
Di antara kita tak ada soal budi, kata Yo Siauw dengan tawar. Bahwa Hok-ong sudi datang ke
sini merupakan bukti bahwa ia menghargai aku.
Ketujuh orang itu adalah jago utama dari Beng-kauw. Walaupun di antara mereka terdapat
perselisihan tapi pertemuan yang terjadi pada saat Beng-kauw menghadapi musuh-musuh
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 692
berat telah membangunkan semangat. Sehabis makan kue-kue mereka segera merundingkan
usaha untuk melawan musuh.
Swee Poet Tek menaruh karung di samping kakinya. Boe Kie lapar dan haus tapi ia tak berani
bersuara atau bergerak. Yang hadir berjumlah tujuh orang tapi seperti enam karena Leng
Kiam tak pernah membuka mulut.
Sesudah berunding beberapa lama, Pheng Hweeshio berkata, Cie san Liong-ong dan Kim mo
Say-ong tak ketahuan ke mana perginya, sedang mati hidupnya Kong beng Yoe-soe juga
belum dapat dipastikan. Mereka bertiga tak usah dimasukkan ke dalam perhitungan. Di pihak
kita, bentrokan antara Ngo Beng-kie dan Peh Bie-kauw yang makin lama makin hebat dan
kedua belah pihak menderita kerusakan besar. Andaikata mereka bisa berdamai dan bisa
datang ke sini, jangankan hanya enam, dua belas atau delapan belas partaipun pasti akan dapat
dipukul mundur.
Seraya menyentuh karung dengan ujung kaki, Swee Poet Tek berkata, Bocah ini berada di
dalam Peh Bie-kauw dan iapun telah berbudi besar kepada Ngo Beng-kie. Mungkin sekali
dikemudian hari ia akan memainkan peranan penting dalam usaha mendamaikan permusuhan
di antara kita.
Wie It Siauw tertawa dingin. Sebelum Kauwcoe dipilih, perselisihan dalam kalangan agama
kita pasti tak akan bisa dibereskan, katanya.
Manusia yang paling tinggi kepandaiannya tak akan berhasil mendamaikan kita. Co-soe cia,
aku yang rendah ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu. Sesudah musuh dipukul
mundur, siapakah yang akan didukung olehmu untuk menjadi Kauwcoe?
Siapa yang bisa mendapatkan Seng Hwee-leng dialah yang jadi Kauwcoe, jawabnya tawar.
Ini adalah peraturan agama kita. Perlu apa kau bertanya lagi?
Wie It Siauw tertawa nyaring. Seng Hwee-leng sudah hilang kira-kira seratus tahun, katanya.
Apakah sebegitu lama Seng Hwee-leng tidak muncul, sebegitu lama juga Beng-kauw tidak
mempunyai Kauwcoe? Bahwa enam partai persilatan sudah berani menyerang adalah karena
mereka tahu terjadinya perpecahan di dalam Beng-kauw.
Wie heng, kau benar, kata Swee Poet Tek. Po-tay Hweeshio tidak miring ke manapun juga.
Aku bukan orang partai In, juga bukan dari partai Wie. Siapapun juga menjadi Kauwcoe
disetujui olehku. Yang penting, kita harus mempunyai Kauwcoe. Andaikata belum ada
Kauwcoe, untuk sementara waktu, boleh juga diangkat seorang wakil Kauwcoe. Kalau tak ada
orang yang memegang tampuk pimpinan, bagaimana kita bisa melawan musuh secara teratur?
Aku menyetujui pendapat Swee Poet Tek, kata Tiat Koan Toojin.
Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, Apa maksud sebenarnya kedatangan kalian?
tanyanya. Apa kalian mau membantu atau mau menyusahkan aku?
Cioe Tian tertawa terbahak-bahak. Yo Siauw, katanya. Apa kau rasa aku tak tahu maksudmu
mengapa kau tetap tak mau memilih seorang Kauw coe? Sebegitu lama Beng-kauw belum
punya Kauwcoe, begitu juga kau sebagai Kong Beng Co-soe, yang mempunyai kedudukan
paling tinggi. Huh-huh!...bukankah benar begitu? Tapi meskipun kau menduduki kursi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 693
tertinggi, tak seorangpun mau mendengar segala perintahmu. Apa gunanya? Apa kau bisa
memerintah Ngo Beng-kie? Apa kau mampu menyuruh keempat Hoe kauw Hoat-ong? Kami,
kelima Ngo Sian-jin hidup bagaikan awan bebas dan burung ho liar. Bagi kami, Kong Beng
Co-soe tidak berarti apapun.
Mendadak Yo Siauw bangkit. Dalam menghadapi musuh dari luar, Yo Siauw tidak
mempunyai waktu bersilat lidah dengan kalian, katanya dingin. Apabila kalian rela
mengawasi hidup matinya Beng-kauw dan berpangku tangan, silakan kalian turun dari Kong
Beng-teng! Kalau Yo Siauw masih bernafas, dikemudian hari ia akan melayani kalian satu
demi satu.
Yo Co-soe, kau jangan marah, bujuk Pheng Hweeshio. Serangan enam partai kepada Bengkauw
mengenai setiap murid dari agama kita. Urusan ini bukan urusan kau seorang.
Tapi mungkin dalam agama kita ada orang-orang yang mengharapkan matinya aku, sindir Yo
Siauw. Matinya Yo Siauw berarti tercabutnya paku biji mata mereka.
Siapa orang itu? bentak Cioe Tian.
Siapa kepotong, dia merasa perih, jawabnya. Tak perlu aku menyebutkan namanya.
Kau maksudkan aku? teriak Cioe Tian dengan gusar.
Yo Siauw tidak menghiraukannya. Ia memandang ke arah lain.
Melihat kegusaran kawannya, Pheng Hweeshio buru-buru membujuk. Kata orang, saudara
berkelahi, yang lain tertawa. Meski kita cekcok dan berkelahi seperti langit roboh dan bumi
terbalik, kita tetap merupakan saudara sendiri. Menurut pendapatku, sementara waktu kita
tunda saja soal pemilihan Kauwcoe. Sekarang ini kita harus merundingkan siasat untuk
melawan musuh.
Eng Giok Taysoe memang tahu urusan, puji Yo Siauw. Pendapatnya tepat sekali.
Bagus! teriak Cioe Tian. Kepala gundul she Pheng tahu urusan, Cioe Tian tidak tahu urusan!
Ia sudah kalap dan tanpa memperdulikan apapun ia berteriak pula. Kauwcoe kita harus dipilih
hari ini juga! Aku mengusulkan Wie It Siauw. Si Kelelawar berkepandaian tinggi dan banyak
tipu dayanya. Dalam Beng-kauw, siapa yang bisa menandingi dia? Sebenarnya antara Cioe
Tian dan Wie It Siauw tidak ada hubungan erat. Tapi sekarang, dalam gusarnya ia
mengusulkan Ceng ek Hok-ong sebagai Kauwcoe untuk mengganggu Yo Siauw.
Yo Siauw tertawa terbahak-bahak, Menurut pendapatku, paling baik kita angkat Cioe Tian
sebagai Kauwcoe, katanya. Sekarang Beng-kauw sudah berantakan dan kalau dijungkir
balikkan oleh Kauwcoe besar Cioe Tian, agama kita akan lebih sedap dipandangnya.
(Perkataan Tian dari Cioe Tian bisa berarti juga kacau atau gila)
Bukan main gusarnya Cioe Tian. Bangsat! ia membentak sambil menghantam Yo Siauw.
Pada belasan tahun berselang, pertengkaran dalam urusan pemilihan Kauwcoe, Ngo Sian-jin
telah bersumpah untuk tidak menginjak Kong Beng-teng. Secara mendadak mereka datang
pula. Sedari tadi, Yo Siauw memang sudah curiga dan selalu waspada. Begitu Cioe Tian
memukul, ia segera menarik kesimpulan bahwa dengan mengajak Wie It Siauw, Ngo Sian-jin
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 694
memang sengaja ingin mengepung dia. Maka itu, dengan penuh kegusaran ia segera
menangkis dengan tangan kanannya.
Melihat tangkisan itu Wie It Siauw terkejut, sebab pada telapak tangan Yo Siauw terlihat sinar
hijau, yaitu serupa pukulan yang dinamakan Ceng Tiok-cioe (pukulan bamboo hijau). Ia tahu
bahwa sesudah menolong dirinya, tenaga dalam Cioe Tian belum pulih kembali sehingga
kawannya itu pasti tidak akan bisa menyambut pukulan tersebut. Maka itu, bagaikan kilat ia
mendahului menangkis. Kedua tangan bentrok tanpa mengeluarkan suara dan segera
menempel keras satu sama lain.
Ternyata, biarpun sedang gusar, tapi mengingat bahwa Cioe Tian adalah saudara seagama
maka waktu memukul Yo Siauw tidak menggunakan segenap tenaga. Tapi dilain pihak
pukulan Han peng Bian-ciang (pukulan kapas yang dingin bagaikan es) dari Wie It Siauw
bukan main dahsyatnya.
Begitu bentrok, Yo Siauw merasa tangannya gemetar dan semacam hawa yang sangat dingin
menerobos masuk ke dalam dagingnya. Ia kaget dan buru-buru mengerahkan Lweekang yang
lebih besar sehingga kedua lawan itu lantas saja mengadu tenaga dalam.
Orang she Yo! bentak Cioe Tian. Sambutlah lagi pukulanku! sambil membentak tangannya
menghantam dada Yo Siauw.
Cioe Tian, tahan! teriak Swee Poet Tek.
Yo Co-soe! Wie Hok-ong! Berhentilah! Kalian tidak boleh berkelahi dengan kawan sendiri,
sambung Pheng Eng Giok sambil mengangkat tangannya utnuk menyambut pukulan Cioe
Tian.
Tapi Yo Siauw sudah lebih dulu miringkan badannya dan mengangsurkan lengannya dan
telapak tangan kirinya lantas saja menempel dengan telapak tangan kanan Cioe Tian.
Cioe Tian, dua lawan satu bukan perbuatan seorang gagah, kata Swee Poet Tek. Ia meraih
pundak Cioe Tian untuk ditarik mundur. Tapi sebelum tangannya menyentuh pundak,
mendadak ia melihat badan kawannya gemetaran. Ia kaget tak kepalang. Ia tahu bahwa di
dalam kalangan Beng-kauw, Yo Siauw memiliki kepandaian yang tinggi. Apakah dengan
hanya sekali beradu tangan, Cioe Tian sudah terluka berat?
Cioe Tian, di antara saudara sendiri perlu apa mengadu jiwa? katanya sambil menarik pundak
sang kawan. Yo Co-soe, harap kau menaruh belas kasihan, katanya lagi. Ia berkata begitu
sebab kuatir Yo Siauw mengirim serangan susulan.
Diluar dugaan, begitu ditarik badan Cioe Tian bergoyang-goyang tapi tangannya tidak bisa
lepas dari Yo Siauw. Hampir berbarengan, Swee Poet Tek merasakan serangan semacam
hawa dingin yang menerobos masuk dari telapak tangan terus ke ulu hati. Ia terkesiap. Ia tahu
bahwa Wie It Siauw mempunyai pukulan Han peng Bian-ciang yang tersohor di kolong
langit. Apakah Yo Siauw juga memiliki pukulan itu? Buru-buru ia mengerahkan Lweekang
untuk melawan hawa dingin itu. Tapi serangan hawa dingin itu makin lama jadi makin hebat
dan lewat beberapa saat, giginya sudah gemeletukan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 695
Mau tak mau, Tiat Koan Toojin dan Pheng Eng Giok maju juga, yang satu membantu Cioe
Tian, yang lain menolong Swee Poet Tek. Dengan mempersatukan Lweekang keempat Sianjin
barulah hawa dingin bisa ditahan.
Tenaga yang keluar dari telapak tangan Yo Siauw seakan-akan bergelombang pasang surut,
sebentar enteng sebentar berat. Keempat orang itu tidak berani melepaskan tangannya sebab
mereka kuatir Yo Siauw akan menyerang pada detik mereka melepaskan tangan. Kalau
sampai terjadi begitu, andaikan tidak mati mereka sedikitnya akan mendapat luka berat.
Sesudah bertahan beberapa lama, Swee Poet Tek berkata, Yo Tay hiap, terhadap kau kami,
perkataannya putus di tengah jalan karena mendadak ia merasa darahnya seperti mau
membeku. Ternyata waktu bicara tenaga dalamnya tidak dapat lagi menahan serangan hawa
dingin. Cepat-cepat ia memperbaiki keadaannya.
Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw dan keempat Sian-jin sudah payah sekali tapi Yo
Siauw masih tenang-tenang saja. Leng Kiam yang masih tetap menonton makin lama jadi
makin heran. Meskipun berkepandaian tinggi, kepandaian Yo Siauw hanya kira-kira
sebanding dengan kepandaian Wie It Siauw, pikirnya. Sepantasnya Wie It Siauw dan empat
kawanku pasti akan dapat merobohkannya. Tapi mengapa dia yang lebih unggul? Benar-benar
heran. Ia seorang yang sangat cerdas tapi sesudah mengasah otak beberapa lama, belum juga
ia dapat memecahkan teka-teki itu.
Setan maka dingin pukul punggungnya, kata Cioe Tian terputus-putus.
Tapi Leng Kiam yang belum dapat menebak sebab dari keanehan itu masih tak mau turun
tangan. Antara Ngo Sian-jin, hanya ia seorang yang belum turut bertanding dan hanya ia
seorang pula yang dapat menyingkirkan malapetaka. Jika ia turut mengerubuti sebelum dapat
memecahkan teka-teki itu, belum tentu pihaknya mendapat kemenangan.
Lewat beberapa saat, muka Cioe Tian dan Pheng Eng Giok sudah berubah biru dan mereka
tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Leng Kiam tahu, kalau racun dingin masuk ke dalam
isi perut mereka bisa celaka, ia segera merogoh saku dan mengeluarkan lima batang pit (pena
Tionghoa) kecil yang terbuat dari perak murni.
Lima pit ini akan menghantam Kim tie, Kie koet, Yang kee, Ngo lie dan Tiong touw hiatmu,
katanya. Kelima hiat itu terletak di tangan dan kaki dan bukan hiat yang membinasakan. Ia
sengaja mengatakan begitu supaya Yo Siauw tahu bahwa maksudnya hanya untuk
menghentikan pertandingan.
Yo Siauw hanya tersenyum, ia tidak memperdulikan.
Maaf! teriak Leng Kiam seraya mengayunkan kedua tangannya dan dengan berbaring, lima
sinar putih menyambar.
Mendadak Yo Siauw menekuk lengan kirinya dan Cioe Tian berempat lantas saja tertarik ke
depannya. Hampir berbarengan, Pheng Hweeshio dan Cioe Tian mengeluarkan teriakan
kesakitan karena lima batang pit itu mampir tepat di badan mereka, dua di badan Cioe Tian
dan tiga di badan Pheng Eng Giok. Untung juga Leng Kiam memang tidak bermaksud untuk
mencelakai orang. Ia melempar tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan lemparan itu tidak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 696
ditujukan ke arah jalan darah yang berbahaya sehingga luka kedua orang itu tidak
membahayakan jiwa.
Kiam koen Tay lo-ie! bisik Pheng Eng Giok (Kiam koen Tay lo-ie, memindahkan langit dan
bumi).
Mendengar perkataan itu Leng Kiam tersadar.
Di dalam sejarah Beng-kauw, Kiam koen Tay lo-ie adalah ilmu yang terhebat, dasarnya ilmu
itu sederhana saja, yaitu berdasarkan ilmu meminjam tenaga untuk memukul tenaga dan ilmu
empat tahil memukul ribuan hati. Tak usah dikatakan lagi, dalam dalil yang sangat sederhana
itu terdapat perubahan-perubahan yang menakjubkan dan tidak bisa ditaksir oleh manusia
biasa. Selama banyak tahun dalam kalangan Beng-kauw ilmu itu belum pernah disebut-sebut
orang, maka tidaklah mengherankan jika Ngo Sian-jin dan Wie It Siauw tidak segera
mengenalinya.
Dengan Kiam koen Tay lo-ie, Yo Siauw menggunakan Han peng Bian ciang dari Wie It
Siauw untuk menyerang keempat Sian-jin dan tenaga keempat Sian-jin untuk menghantam
Wie It Siauw. Ia sendiri di tengah-tengah dan tanpa mengeluarkan tenaga, mengadu domba
kedua tenaga dari lawannya.
Kiong hie! kata Leng Kiam. Kami tidak bermaksud jahat. Hentikanlah pertandingan.
Leng Bian Sianseng adalah orang yang selalu bicara sedikit mungkin. Kiong hie berarti itu
memberi selamat yang sudah tidak dikenal selama kurang lebih seabad kepada Yo Siauw,
disamping sungkan bicara banyak-banyak, Leng Kiam pun orang jujur sehingga jika ia
mengatakan tidak bermaksud jahat, mereka tentu tidak bermaksud jahat. Sebagai bukti lima
pit perak itu hanya digunakan untuk menghentikan pertandingan dan bukan digunakan untuk
mencelakai orang. Mengingat itu, Yo Siauw lantas saja tertawa terbahak-bahak. Wie heng,
Soe wie Sian-jin, katanya, Sesudah aku menghitung satu, dua, tiga, kalian tarik pulang tenaga
dengan berbarengan supaya tak sampai terluka.
Wie It Siauw dan keempat Sian-jin lantas saja menganggukkan kepala.
Yo Siauw tersenyum dan menghitung, Satu! dua!...tiga! Berbarengan dengan perkataan tiga ia
menarik pulang Kiam koen Tay lo-ie Sin-kang. Mendadak saja ia merasa punggungnya dingin
dan semacam totokan hampir tepat di Sim to hiat punggungnya.
Yo Siauw mencelos hatinya. Ia menduga Wie It Siauw yang main gila. Baru saja mau
membalas tiba-tiba badan Ceng ek Hok-ong terkulai dan terus jatuh terguling. Tak salah lagi,
Wie It Siauw pun dibokong orang! Selama hidupnya Yo Siauw sudah kenyang mengalami
gelombang hebat. Maka itu, meskipun sudah terpukul, ia tak jadi bingung. Bagaikan kilat ia
melompat ke depan dan lalu memutar tubuh. Ia mendapati kenyataan bahwa Cioe Tian, Pheng
Eng Giok, Tiat Koan Toojin dan Swee Poet Tek juga sudah roboh, sedangkan Leng Kiam
tengah menyerang seseorang yang mengenakan jubah warna abu-abu. Orang itu menangkis
dan Leng Bian Sianseng mengeluarkan suara heh seperti orang kesakitan.
Buru-buru Yo Siauw menarik nafas dalam-dalam dan lalu melompat untuk membantu Leng
Kiam. Sekonyong-konyong merasakan serangan semacam hawa dingin yang naik dari Sim to
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 697
hiat dan terus menerjang ke Sin cu, To to, Toa toei Hong hoe dan lain-lain hiat di seluruh
tubuh.
Yo Siauw tahu ia sedang menghadapi bencana. Orang itu bukan saja berkepandaian tinggi
tapi juga sangat licik dan beracun yang membokong pada detik Wie It Siauw, keempat Sianjin
dan ia sendiri menarik pulang tenaga Lweekang. Sekarang ia tak bisa berbuat lain daripada
segera mengerahkan hawa dingin itu. Ia merasa hawa dingin itu berlainan dengan hawa Han
peng Bian-ciang dari Wie It Siauw. Hawa itu lebih halus, tapi jalan darah yang diserang lantas
saja kesemutan. Dalam keadaan waspada dan dengan tenaga dalam yang melindungi dirinya,
Yo Siauw takkan bisa diserang dengan totokan apapun juga. Tapi sekarang ia sudah
dibokong. Melihat Leng Kiam dalam bahaya, ia segera mengambil keputusan untuk menolong
dengan menahan sakit.
Tapi baru saja bertindak dan menggerakkan tangan, ia sudah menggigil dan tenaganya
menghilang.
Waktu itu Leng Kiam sudah bertempur dua puluh jurus lebih dan ia sudah tak dapat
mempertahankan diri lagi. Yo Siauw bingung. Dilain saat Leng Kiam tertendang. Musuh
melompat dan menotok lengan Leng Kiam yang lantas saja jatuh terjengkang. Yo Siauw
kaget bercampur gusar. Ia menganggap bahwa karena Leng Kiam bisa meladeni musuh dalam
dua puluh jurus lebih. Maka kepandaian musuh itu belum tentu lebih tinggi daripada
kepandaiannya. Tapi celakanya, ia sudah dibokong dan tak berdaya.
Boe Kie yang berada di dalam karung sudah mendengar semua kejadian itu. Waktu Yo Siauw
dan keempat Sian-jin, ia kuatir kedua belah pihak terluka berat. Ia ingin sekali menyaksikan
pertandingan itu tapi dalam karung gelap gulita. Ia girang waktu Leng Kiam berhasil
menghentikan pertandingan. Tak disangka datang musuh yang membokong. Ia tahu Yo Siauw
masih berdiri tegak tapi mendengar gemeletukan gigi dan beratnya nafas, iapun mengerti
bahwa jago itu sudah tak bertenaga lagi.
Untuk beberapa detik, keadaan sunyi senyap.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari dalam berlari-lari keluar.
Thia! Siapa yang datang? Mengapa kau tak memperkenalkan mereka kepadaku? Itu suara
seorang wanita. Jantung Boe Kie memukul keras.
Adik Poet Hwie! katanya dalam hati.
Pergi,pergi,Lebih jauh lebih baik, seru Yo Siauw dengan nafas tersengal-sengal.
Melihat keadaan dalam ruangan itu, Poet Hwie terkejut. Thia apa kau terluka? tanyanya. Ia
berpaling kepada si jubah abu-abu dan bertanya, Apa kau yang melukai ayahku?
Orang itu tidak menyahut, ia hanya tertawa dingin.
Poet Hwie! teriak Yo Siauw. Turutilah perintah ayah! Ayo pergi!
Poet Hwie sebenarnya ingin menyerang si jubah abu-abu, tapi ia ragu dan kemudian ia
mendekati dan memeluk ayahnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 698
Bocah, pergi! bentak si jubah abu-abu dengan suara menyeramkan.
Si nona tidak menghiraukannya, Thia, katanya. Mari kita istirahat.
Yo Siauw tertawa getir. Kau pergilah lebih dahulu, jawabnya. Ia mengerti bahwa ia tidak akan
bisa meloloskan diri dengan begitu mudah. Poet Hwie mengawasi si jubah abu-abu seraya
berkata, Hweeshio, mengapa kau membokong ayahku?
Orang itu tertawa tawar. Bagus! katanya. Matamu sangat tajam. Kau bisa mengenali bahwa
aku seorang hweeshio. Hm aku tak bisa mengampuni kau lagi! Ia mengibaskan tangannya dan
lalu menotok Peng hong hiat si nona.
Hati Yo Siauw mencelos. Jika kena, putrinya pasti akan binasa. Pada detik berbahaya,
walaupun Lweekangnya belum pulih, dengan nekat ia menyikut dada si hweeshio.
Jari tangan kiri orang itu menyambar dan menotok Siauw hau hiat, di bawah siku Yo Siauw
tapi karena serangan itu, sambaran jari tangan kanannya agak mirip dan tidak kena pada jalan
darah yang membinasakan si nona.
Sebagai seorang ayah yang sangat menyintai putrinya, sambil menahan dingin, Yo Siauw
menendang hingga tubuh si nona terbang keluar dari ruangan itu kemudian ia berdiri di
tengah-tengah pintu supaya si pendeta tidak bisa mengejar.
Bocah itu sudah kena It im cieke, katanya dengan suara dingin. Belum tentu dia bisa hidup
tiga hari tiga malam lagi. Ia mengawasi Yo Siauw dan berkata pula, Nama besar dari Kong
Beng Soecia memang bukan nama kosong. Sudah kena dua totokan, kau masih bisa berdiri.
Kong Kian Taysoe, pendeta suci dari Siauw Lim adalah seorang yang welas asih dan mulia
hatinya, kata Yo Siauw. Sungguh tak disangka ia mempunyai seorang murid yang terkutuk
seperti kau. Kau tentulah seorang murid dari deretan Goan. Goan apa namamu?
Si jubah abu-abu terkejut. Hebat! Sungguh hebat! ia memuji. Matamu benar hebat. Kau sudah
bisa melihat asal usulku. Pinceng bernama Goan-tin. (Pinceng - Aku si pendeta yang miskin)
Boe Kie kaget tak kepalang. Orang itu telah menghajar Siauw Lim Kioe-yang kang kepadaku,
pikirnya. Dia tahu bahwa dalam tubuhku mengeram racun Hian beng Sin-ciang tapi dia
sengaja membuka pembuluh darahku sehingga racun dingin itu sukar diusir dari dalam
badanku. Dilihat begini, dia bukan saja berilmu tinggi tapi juga sangat jahat. Dalam enam
partai persilatan, mungkin sekali dia yang paling hebat. Hm kali ini Beng-kauw harus
menerima nasib.
Sementara itu Yo Siauw sudah berkata pula, Dalam permusuhan antara enam partai dan bengkauw,
sebagai laki-laki sejati kita harus bertempur dengan senjata secara berhadap-hadapan
tapi kau, ia tidak bisa meneruskan perkataannya, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk di
lantai.
Goan-tin tertawa terbahak-bahak, Semenjak jaman purba, di dalam peperangan orang menarik
keuntungan dengan siasat luar biasa dan dalam memimpin tentara orang memang biasa
menggunakan tipu daya, katanya. Aku Goan-tin seorang sudah bisa merobohkan tujuh jago
utama dari Beng-kauw. Apakah kamu masih penasaran?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 699
Bagaimana kau bisa mencuri masuk di Kong Beng-teng? tanya Yo Siauw. Bagaimana kau
bisa mengenal jalan-jalan rahasia di gunung ini? Jika kau mau memberitahukan, biarpun mati
Yo Siauw akan mati dengan mata meram.
Berhasilnya Goan-tin dalam serangan ini tentu saja disebabkan oleh kepandaiannya yang
tinggi. Tapi disamping itu masih ada sebab lain yang lebih penting, yaitu pengetahuannya
mengenai jalan-jalan rahasia sehingga ia bisa meloloskan diri dari pengawasan belasan
rombongan penjaga dan akhirnya berhasil membokong ketujuh jago itu.
Goan-tin tertawa dan menjawab, Orang-orang Mo-kauw menganggap bahwa Kong Beng-teng
yang mempunyai tujuh puncak dan tiga belas tebing sebagai tempat yang tak akan bisa
dilewati manusia. Tapi di mata pendeta Siauw Lim, tempat itu hanyalah jalanan raja yang
tidak ada rintangannya. Kamu semua sudah kena totokan It im cie. Dalam tempo tiga hari,
semua akan berpulang ke alam baka. Sesudah itu aku akan mendaki puncak Co Bong-hong
dan menanam beberapa belas kati obat pasang kemudian pinceng akan mencoba
memadamkan api siluman dari Mo-kauw. Peh Bie-kauw, Ngo Beng-kie dan lain-lain akan
mencoba menolong, Belendung, obat pasang itu meledak dan seluruh Mo-kauw musnah tiada
bekas! Inilah yang dinamakan dengan seorang diri pendeta Siauw Lim memusnahkan Bengkauw,
tujuh siluman Kong Beng-teng bersama-sama pulang ke See thian. (See thian Langit
Barat berarti alam baka)
Mendengar itu, Yo Siauw bingung tak kepalang. Ia mengerti bahwa ancaman itu bukan gertak
sambal. Bahwa ia akan mati adalah urusan kecil, tapi apakah Beng-kauw yang mempunyai
sejarah selama tiga puluh turunan akan musnah dalam tangan seorang pendeta Siauw Lim?
Sesudah berdiam sejenak, sambil tersenyum-senyum Goan-tin berkata pula, Di dalam Bengkauw
terdapat banyak sekali orang pandai. Jika kalian tidak saling bunuh, tidak saling makan,
Beng-kauw takkan menghadapi bencana seperti hari ini. Lihatlah kejadian yang sekarang.
Karena kalian bertujuh berkelahi maka dengan mudah pinceng bisa naik sampai di sini. Kalau
bukan lantaran begitu, mana bisa pinceng berhasil dengan begitu gampang? Ha-ha-ha!...Tak
disangka Beng-kauw yang dulu begitu hebat, sesudah matinya Yo Po Thian lantas menjadi
runtuh.
Yo Siauw dan yang lainnya tertegun. Mereka lantas ingat kejadian-kejadian semenjak kurang
lebih dua puluh tahun. Semua merasa menyesal. Dalam hati kecil mereka mengakui bahwa
apa yang dikatakan Goan-tin memang tak salah.
Yo Siauw! teriak Cioe Tian, Aku benar-benar pantas mati! Aku telah melakukan banyak
perbuatan tidak pantas terhadapmu. Walaupun kau tidak terlalu baik tapi kalau kau menjadi
Kauwcoe, keadaan kita akan lebih baik daripada tidak punya Kauwcoe sama sekali.
Yo Siauw tertawa getir. Apa kemampuanku sehingga aku berani menjadi Kauwcoe? katanya.
Dalam urusan ini, kita semua bersalah. Kita salah membuat keadaan menjadi sedemikian
kacau dan agama kita akhirnya akan musnah sehingga di alam baka, kita takkan punya muka
untuk menemui para Beng coen Kauwcoe.
Kamu menyesalpun sudah tak berguna, kata Goan-tin sambil tertawa. Pada waktu Yo Po
Thian mengepalai Mo-kauw, keangkerannya meluap-luap. Hanya sayang, dia mati terlalu
cepat sehingga ia tak bisa menyaksikan kehancuran Mo-kauw.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 700
Bangsat! caci Cioe Tian. Tutup mulutmu! Jika Yo Kauwcoe masih hidup, kami semua akan
menaati segala perintahnya. Kepala gundul macam kau mana bisa membokong kami?
Goan-tin tertawa dingin dan berkata dengan suara mengejek, Tak perduli Yo Po Thian mati
atau hidup aku tetap mempunyai cara untuk menghancurkan Mo-kauw. Mendadak terdengar
suara Plak! dan Goan-tin mengeluarkan suara kesakitan sebab punggungnya kena dipukul
Wie It Siauw. Hampir berbarengan Wie It Siauw pun kena ditotok Goan-tin pada Tian tiong
hiatnya, di bagian dada. Mereka mundur sedikit dan kemudian roboh bersamaan.
Wie It Siauw adalah orang yang berakal budi. Sesudah kena totokan pertama, biarpun luka
berat, berkat Lweekangnya yang sangat tinggi ia sebenarnya masih dapat melawan. Tapi ia
berlagak dan pada waktu Goan-tin sedang girang dan tidak berjaga-jaga ia menyerang dengan
segenap tenaganya. Untuk menolong Beng-kauw, ia bertekad untuk mati bersama-sama
musuh. Ceng ek Hok-ong adalah salah seorang dari keempat Hoat-ong dalam kalangan Bengkauw
dan kepandaiannya sebanding dengan In Thian Ceng atau Cia Soen. Maka itu,
meskipun hebat, Goan-tin tak dapat mempertahankan diri terhadap pukulan yang dikirim
secara nekat. Demikianlah begitu kena, tenaga Han peng Bian-ciang segera menerobos masuk
ke dalam tubuhnya dan ia merasa dadanya sesak. Beberapa kali ia mengerahkan Lweekang
tapi sebaliknya daripada berhasil, kepalanya pusing. Kemudian ia menjatuhkan diri dan
bersila untuk mengerahkan hawa murni untuk menolak hawa dingin dari Han peng Bianciang.
Dilain pihak, sesudah tertotok dua kali oleh It in cie, Wie It Siauw tergeletak tanpa bisa
bergerak dan nafasnya tersengal-sengal.
Ruangan itu berubah sunyi. Delapan jago terluka berat tapi yang terluka paling berat adalah
Yo Poet Hwie yang roboh di luar ruangan itu. Goan-tin dan tujuh tokoh Beng-kauw samasama
menjalankan pernafasan dan mengerahkan Lweekang. Mereka tahu bahwa siapa yang
tenaganya pulih lebih dulu, dialah yang akan memperoleh kemenangan terakhir. Andaikata
Goan-tin yang bisa bergerak lebih dulu, dengan menggunakan pedang ia bisa membunuh
ketujuh musuhnya dan bisa mengobati lukanya belakangan. Sebaliknya kalau Beng-kauw ada
yang lebih dulu pulih tenaganya maka dengan mudah ia akan bisa membunuh Goan-tin.
Mengingat jumlahnya, ketujuh tokoh Beng-kauw itu kelihatannya mempunyai harapan yang
lebih besar. Akan tetapi, tenaga dalam Ngo Sian-jin agak cetek dan sesudah kena It im cie,
tenaganya musnah semua. Yo Siauw dan Wie It Siauw yang Lweekangnya lebih tinggi
masing-masing sudah kena dua totokan. Pada hakekatnya kehebatan Hen peng Bian-ciang dan
It im cie kira-kira sebanding. Tapi Wie It Siauw memukul setelah terluka sehingga tenaganya
lebih kurang daripada Goan-tin yang belum terluka. Maka itu, ditinjau dari sini kelihatannya
Goan-tin yang bisa bergerak lebih dahulu.
Yo Siauw dan yang lainnya menjadi bingung, tapi dalam menjalankan pernafasan dan
mengerahkan tenaga dalam untuk mengobati luka, seseorang tak bisa memaksakan diri.
Makin dia bingung, makin mudah celaka. Sebagi ahli Lweekee, Yo Siauw dan kawankawannya
tentu mengerti kenyataan itu.
Sesudah beberapa kali berusaha, Leng Kiam tahu bahwa ia takkan bisa mendahului Goan-tin.
Harapan satu-satunya adalah masuknya salah seorang anggota Beng-kauw ke dalam ruangan
itu. Orang itu tak usah memiliki ilmu silat yang tinggi bahkan ia tak perlu mengerti ilmu silat.
Dengan sepotong kayu, ia bisa membinasakan Goan-tin yang sudah tak berdaya.
Tapi sesudah menunggu lama, di luar ruangan tak terdengar suara apapun juga. Waktu itu
sudah tengah malam dan para anggota Beng-kauw telah pada tidur sedang mereka yang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 701
bertugas hanya menjaga di tempat-tempat penjagaan tertentu. Tanpa dipanggil, mana berani
masuk ke dalam ruangan Gie soe teng (ruangan rapat)? Yo Siauw mempunyai beberapa
pelayan pribadi, tapi setelah yang satu diisap darahnya oleh Wie It Siauw, yang lainnya lantas
menyingkir jauh-jauh. Jangankan tak dipanggil sedangkan dipanggilpun belum tentu dia
berani menghampiri.
Boe Kie yang berada di dalam karung juga mengerti bila kesunyian itu kesunyian yang sangat
tegang. Selang beberapa lama, tiba-tiba Swee Poet Tek berkata, Sahabat yang berada dalam
karung harus menolong kami.
Bagaimana menolongnya? tanya Boe Kie.
Pada detik itu, hawa murni Goan-tin justru telah mulai mengalir bebas di bagian tan tiannya.
Mendengar pembicaraan itu, ia kaget bukan main dan hawa murni itu berbalik lagi sehingga
ia kembali menggigil keras. Dalam tekadnya dan kesibukannya untuk membasmi jago-jago
Beng-kauw mimpipun ia tak pernah bahwa di dalam karung ada manusianya. Habislah
jiwaku, ia mengeluh di dalam hati.
Mulut karung dijerat mati dan kecuali olehku sendiri, siapapun juga tak akan bisa
membukanya, terang Swee Poet Tek. Tapi kau bisa berdiri di dalam karung.
Baiklah, kata Boe Kie yang segera bangkit dan berdiri di dalam karung.
Saudara kecil! kata Swee Poet Tek tanpa memperdulikan keselamatan jiwanya, kau sudah
menolong beberapa puluh saudara dari Swie Kim-kie. Kesatriaanmu dikagumi oleh semua
orang. Sekarang, kamipun mengandalkan bantuanmu. Pergilah ke tempat pendeta bangsat itu
dan hantam dia sampai mati.
Boe Kie berpikir keras, ia tidak segera menjawab.
Cara yang licik, pendeta jahat itu membokong orang, kata Swee Poet Tek. Cara bangsat itu
telah didengar oleh kau sendiri. Kalau kau tidak membinasakan ia, maka berlaksa-laksa
anggota Beng-kauw akan musnah dalam tangannya. Jika membunuh dia, kau melakukan
perbuatan yang sangat mulia.
Pemuda itu tetap ragu.
Aku sudah tidak bisa bergerak lagi, kata Goan-tin. Apabila kau mengambil nyawaku dalam
keadaan begitu, kau akan ditertawai oleh seluruh orang gagah di kolong langit.
Kepala gundul, tutup mulutmu! bentak Cioe Tian. Siauw Lim-pay menyebut diri sebagai
partai yang lurus bersih. Tapi kau, diam-diam telah membokong orang. Apakah perbuatan itu
semua tak ditertawai semua orang gagah di kolong langit?
Boe Kie maju selangkah tapi segera berhenti lagi. Swee Poet Tek Taysoe, katanya, Aku sama
sekali tak tahu sebab dari permusuhan agamamu dengan enam partai persilatan. Aku sangat
ingin membantu kalian tetapi akupun tak mau mencelakai pendeta Siauw Lim-pay itu.
Saudara kecil, ada satu hal belum dipikirkan kami tapi akan mengambil nyawamu juga.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 702
Goan-tin tertawa, Dengan saudara kecil itu aku tidak bermusuhan, katanya. Di samping itu,
iapun bukan anggota Mo-kauw, tak bisa salah lagi, ia ditangkap Po-tay Hweeshio dengan
maksud jahat. Memang, orang-orang Mo-kauw memang biasa berlaku kejam dan melakukan
perbuatan-perbuatan terkutuk.
Boe Kie jadi serba salah. Ia tahu bahwa Goan-tin bukan manusia baik tapi ia tak ingin
membinasakan orang. Selain itu, bila ia turun tangan maka dengan sendirinya ia berdiri di
pihak Mo-kauw. Dengan sendirinya, ia bermusuhan dengan keenam partai persilatan,
bermusuhan dengan Thaysoehoe (Thio Sam Hong), Boe Tong, Liok hiap, Cioe Jiak dan yang
lainnya. Di mata orang-orang rimba persilatan, Mo-kauw dianggap sebagai agama sesat,
semacam agama siluman. Perbuatan Wie It Siauw yang suka mengisap darah manusia dan
perbuatan ayah angkatnya yang sering membunuh sesama manusia secara sembarangan
merupakan bukti-bukti dari perbuatan-perbuatan yang tak pantas. Thaysoehoe pernah
berpesan bahwa biar bagaimanapun juga ia tak boleh bergaul atau berhubungan dengan
orang-orang Mo-kauw supaya dia tidak usah menghadapi bencana yang tak perlu. Dia ingat
juga pengalaman mendiang ayahnya. Karena sang ayah menikah dengan ibunya yang Mokauw,
maka ayahnya mati bunuh diri. Ia ingat pula bahwa Goan-tin adalah murid Kong Kian
Taysoe. Dalam usaha untuk menuntun ayah angkatnya ke jalan lurus, pendeta suci itu telah
rela menerima tiga belas pukulan Cit siang-koen sehingga akhirnya mengorbankan nyawanya.
Itulah pengorbanan yang sangat mulia yang jarang terjadi dalam dunia luas ini. Apakah ia bisa
membunuh murid seorang yang begitu mulia? Selain itu, iapun ingat bahwa sesudah
menerima ajaran Siauw Lim Kioe-yang kang dari Goan-tin, hubungan mereka adalah murid
dan guru. Memang benar dengan membuka pembuluh darahnya pendeta itu mengandung
maksud kurang baik. Tapi biar bagaimanapun juga aku toh tak jadi mati, katanya di dalam
hati.
Boe Kie adalah seorang manusi aygn tidak bisa melupakan kebaikan orang. Jika seseorang
menyakiti dirinya, sesudah lewat beberapa lama ia selalu mencari-cari alasan untuk
mengentengkan arti jahat dari perbuatan itu. Misalnya perbuatan Ho Thay Ciong Coe Tiang
Leng dan Cioe Tin adalah perbuatan-perbuatan yang sangat kurang ajar tapi tanpa diminta di
dalam hatinya ia sudah memaafkan orang-orang itu. Terhadap Goan-tin pun ia tak punya
dendam lagi.
Berulang kali Sweet Poet Tek mendesaknya tapi ia tetap tak bergerak. Akhirnya ia berkata,
Swee Poet Tek Taysoe, cobalah kau mencari suatu cara supaya aku tak usah
membinasakannya dan ia pun tak bisa mencelakai kalian.
Swee Poet Tek tak menyahut. Mana ada cara yang begitu?
Beberapa saat kemudian, Pheng Eng Gioklah yang membuka mulut, Saudara kecil, kau
seorang yang sangat mulia dan kami semua merasa sangat kagum. Sekarang begini saja,
tolong kau totok Giok tong hiat di dada Goan-tin. Totokan ini takkan membahayakan dirinya.
Ia hanya tak bisa mengerahkan Lweekang untuk beberapa jam. Aku akan memerintahkan
orang untuk mengantarnya turun dari Kong Beng-teng dan kami berjanji bahwa kami takkan
mengganggu selembar rambutnya.
Sebagai orang yang ahli ilmu pengobatan, Boe Kie mengerti bahwa totokan pada Giok tong
hiat hanya mencegah naiknya hawa murni dari bagian tian dan takkan mencelakai jiwa orang
yang ditotok.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 703
Siauw sie coe, jangan kena diakali oleh mereka, kata Goan-tin. Totokan pada Giok tong hiat
memang tak membahayakan jiwaku tapi begitu tenaga mereka pulih, mereka pasti akan
membinasakan aku. Bagaimana kau bisa cegah mereka?
Tutup mulutmu! teriak Cioe Tian. Kami sudah berjanji untuk tak mencelakai kau. Apakah
perkataan Ngo Sian-jin dari Beng-kauw tidak dapat dipercaya?
Boe Kie menganggap bahwa Yo Siauw dan Ngo Sian-jin adalah orang-orang berkedudukan
tinggi yang kejujurannya tak diragukan lagu. Hanya Wie It Siauw seorang yang masih
diragukannya. Maka itu ia lantas saja bertanya, Wie Cianpwee bagaimana dengan kau?
Kali ini akupun tak akan menyerang dia, jawabnya dengan suara gemetar. Tapi kalau bertemu
di lain kali, kami pasti akan mengadu jiwa dengannya.
Baiklah, kata Boe Kie. Kong Beng Soecia, Ceng ek Hok-ong dan Ngo Sian-jin adalah orangorang
gagah pada jaman ini dan mereka tentu tak akan menjilat lagi ludah yang sudah
dibuang. Goan-tin Taysoe, maafkan boanpwee terpaksa berbuat begini terhadapmu.
Sesudah belasan langkah barulah ia berhadapan dengan pendeta Siauw Lim itu.
Giok tiong hiat terletak di bagian dada manusia satu coen enam hoen di bawah Cie kiong hiat
atau satu coen enam hoen di atas Tian tiang hiat.
Pada hakekatnya hiat itu bukan hiat yang dapat membinasakan jiwa manusia tapi karena
kedudukannya berada di jalan darah yang harus dilewati oleh hawa di dalam tubuh, maka
kalau hiat tersebut tertotok aliran hawa murni di dalam tubuh segera terhenti.
Dengan mendengar suara nafas, Boe Kie tahu bahwa ia sudah berada dalam jarak kurang
lebih dua kaki dari pendeta itu. Goan-tin Taysoe, katanya, Untuk kebaikan kedua belah pihak,
boanpwee terpaksa harus bertindak begini. Mohon Taysoe tidak menjadi gusar. Seraya
berkata begitu, perlahan-lahan ia mengangkat tangannya.
Goan-tin tertawa getir, Badanku tidak bisa bergerak, rasakanlah, katanya.
Semenjak binasanya Tiap-kok Ie-sian Ouw-Cena Goe, kepandaian Boe Kie mengenai jalan
darah dapat dikatakan tidak ada duanya dalam dunia. Walaupun ia berada di dalam karung
tidak dapat melihat sasarannya, jari tangannya menuju tepat kepada Giok tiong hiat.
Celaka! mendadak terdengar suara Yo Siauw, Leng Kiam dan Swee Poet Tek.
Hampir bersamaan pemuda itu merasa semacam hawa yang sangat dingin menerobos masuk
ke dalam dirinya dari telunjuk yang digunakan untuk menotok Giok tiong hiat. Sambil
mengigil ia mendengar cacian Cioe Tian dan Tiat Koan Toojin kepada Goan-tin. Ia lantas
mengerti bahwa meskipun tubuhnya tidak bisa bergerak Goan-tin masih mempunyai sedikit
tanaga yang dipusatkan pada jari tangannya. Waktu ia menotok, pendeta itu menaruh jari
tangannya di Giok tiong hiat dan karena tidak melihat ia sudah menotok terus. Sebagai
akibatnya begitu kedua jari tangan terbentur, tenaga It im cie menerjang masuk ke dalam
badannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 704
Boe Kie terluka tapi Goan-tin pun mendapat pukulan keras. Barusan ia memusatkan segenap
sisa tenaganya pada jari tangannya. Dengan digunakannya tenaga itu, sekujur tubuhnya segera
bergemetar keras, mukanya pucat pasi dan badannya kaku seperti mayat.
Cioe Tian yang paling berangasan terus mencaci maki tapi Yo Siauw dan yang lainnya
menganggap bahwa perbuatan Goan-tin itu sudah sepantasnya. Ia berhak penuh untuk
membela diri. Dilain pihak walaupun terpukul keras, diam-diam Goan-tin merasa girang. Ia
menganggap bahwa sebagai orang yang masih muda, Lweekang Boe Kie tidak seberapa
tinggi dan sesudah kena It im cie pemuda itu pasti akan binasa dalam waktu cepat. Ia tahu
bahwa dalam waktu satu jam, hawanya yang buyar akan berkumpul kembali dan sesudah
tenaganya pulih, ia akan bisa membinasakan musuh-musuh itu.
Dengan sembilan orang terluka semua, ruangan itu kembali sunyi. Berselang kira-kira
setengah jam, api empat batang lilin padam hampir bersamaan. Dalam gelap gulita Yo Siauw
mendengar jalan pernafasan Goan-tin yang tersengal-sengal sudah berubah tenang. Ia
mengerti bahwa hawa murni dalam tubuh pendeta itu sudah berkumpul kembali. Berulang
kali ia sendiri mengerahkan Lweekang tapi dalam setiap usaha, hawa dingin dari It im cie
selalu menerjang ke tan tian-nya dan tanpa dapat dicegah ia menggigil. Ia menghela dan
harapannya sirna. Rasa putus asa itu juga dirasakan oleh kawannya yang lain.
Jilid 38___________________
Sesudah menganggap, bahwa mereka takkan bisa lolos dari kebinasaan, sekarang mereka
mengharap supaya tenaga Goan tin lekas2 pulih. Mereka merasa lebih lekas mati lebih baik,
jangan disiksa lebih lama. Antara mereka itu, hanya Swee Poet Tek dan pheng Hweeshio
yang masih merasa penasaran. Mereka adalah pendeta, tapi dalam hati merekalah yang
mempunyai cita2 paling besar, cita2 untuk melakukan sesuatu yang menggemparkan dunia.
Pheng Hweeshio, kata Swee Poet Tek. Banyak tahun kita tercapai lelah dalam usaha untuk
mengusir orang2 mongol dari negara kita. Tak dinyana, semua usaha berpikir dengan
kegagalan. Hai! Mungkin sekali beribu-ribu dan berlaksa-laksa rakyat memang harus
menderita lebih lama.
Sesaat itu, Boe Kie sedang mengerahkan hawa panas dalam tubuhnya untuk melawan hawa
dingin dari It im cie, tapi setiap perkataan Swee Poet Tek tidak terlolos dari pendengarannya.
Dia mau mengusir bangsa Mongol? tanyanya didalam hati, dengan rasa heran. Apakah Mo
Kauw yang nmanya begitu busuk bertujuan untuk menolong rakyat?
Swee Poet Tek, demikian terdengar suara Pheng Hweesio, Siang2 aku sudah mengatakan,
bahwa dengan sendirian saja, Beng Kauw takkan bisa mengusir bangsa Mongol. Kalau mau
berhasil kita harus bisa berserikat dengan orang2 gagah di kolong langit dan bergerak dengan
serempak. Soehengmu dan soeteeku. Cioe Coe Ong, telah coba memberontak, tapi akhirnya
mereka terbasmi..
Boe Kie terkejut. Cioe Coe Ong? tanyanya didalam hati. Apakah Cioe Coe Ong bukan ayah
nona Coe Cie Jiak? dalam kagetnya, perkataan Peng Hweesio yang selanjutnya tidak didengar
lagi olehnya.
Jangan ribut! tiba2 terdengar bentakan Cioe Tian. Sedang kebinasaan sudah didepan mata,
perlu apa kamu rewel2? Semua omong kosong! Siapa yang salah? Kita sendiri. Beng Kauw
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 705
sendiri yang terpecah belah. Pheng Hweesio kau sungguh gila! Kau mengatakan ingin
berserikat dengan orang2 gagah di kolong langit, artinya dengan partai2 yang dinamakan
lurus bersih. Huh!....sekarang mereka justru mau membasmi kita. Kau mau berserikat dengan
mereka?
Kalo Yo Kauwcoe masih hidup, dengan mudah kita bisa menaklukkan enam partai yang
menyerang kita, Tiat Koan menyela.
Cioe Tian tertawa terbahak2. Hidung kerbau! Kau lebih gila lagi, bentaknya. Kalu Yo
Kauwcoe masih hidup, segala apa tentu berjalan licin. Perlu apa disebutkan lagi?....Aduh Ia
tak bisa meneruskan perkataannya karena hawa It im cie menerjang ke dalam isi perutnya.
Diam! teriak Leng Kiam mendongkol. Bentakan itu sangat berpengaruh dan semua orang
segera menutup mulut.
Sementara itu Boe Kie jadi bingung dan bersangsi. Didalam hatinya timbul banyak
pertanyaan. Kalau didengar, Beng Kauw bukan semata-mata terdiri dari segundukan manusia
yang biasa melakukan perbuatan tidak baik. Maka itu ia lantas saja bertanya Swee Poet Tek
taysoe, apakah aku boleh mendapat tahu tujuan yang sebenarnya dari agama kalian?
Ah! Kau belum tahu? jawabnya. Jika kau mesti hilang jiwa karena gara2 agama kami, kami
sesungguhnya merasa tak enak hati. Kau sekarang hanya bisa hidup beberapa jam lagi, biarlah
sebelum mati, kau mendengar rahasia agama kami. Leng Sian Sianseng, apa boleh aku
menceritakan?
Ceritakanlah! jawabnya.
Saudara kecil, ia mulai, Beng Kauw dimulai di negeri Tay Sit Kok dan pada zaman kerajaan
Tong barulah masuk ke Tionggoan. Pada masa itu, kaisar Tong telah mendirikan kuil2 untuk
agama kami. Beng Kauw mwnyamaratakan semua pengikutnya dan mereka itu jika berharta,
diharuskan menolong rakyat miskin. Kamipun tidak diperbolehkan makan makanan berjiwa
atau arak. Oleh karena selama beberapa turunan agama kami selalu digencet oleh pembesar2
rakus, maka kerap kali saudara2 kami memberontak. Misalnya saja sedari zaman Phoe Lap,
Phoei kauwcoe di masa Pak Song (Song utara), entah sudah berapa kali pemberontakkan
Beng Kauw.
Mendengar samapi disitu, Boe Kie ingat, kalau Phoei merupakan salah seorang dari emapt
pemberontakan besar di zaman Pak Song dab namanya berendeng dengan orang2 seperti
Song Kang dan Tian Kouw.
Kalau begitu Phoei Lap adalah kauwcoe agamamu? tanyanya.
Benar, jawabnya. Dalam tahun Kian Yam di zaman Lam Song Song selatan- , Ong Cong Sek
kauwcoe memberontak di Sin cioe, sedang dalam tahun Siauw hin, Ie Ngo Po memberontak
di Kioe Cioe. Sesudah itu, dalam tahun Siauw Teng, pada zaman kaisar Lee Cong, Thio Sam
Ciang kauwcoe memberontak di daerah Kangsay dan Kwitang. Sebab Bengkauw sering sekali
bermusuhan dengan pembesar negeri dan menimbulkan pemberontakan2, maka kalangan
pembesar negeri menamakan agama kami sebagai Mo kauw dan melarangnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 706
Untuk mempertahankan kehidupan, maka kami terpaksa bekerja dengan bersembunyi.
Kamipun bermusuhan dengan partai2 lurus bersih dan permusuhan kian lama kian menghebat
sehingga mereka dan kami seakan2 api dan air.
Tentu saja diantara anggota2 Beng kauw terdapat juga manusia2 yang rendah martabatnya.
Mereka itu sering digunakan oleh partai2 lurus bersih sebagai bukti bahwa agama kami adalah
agama yang sesat. Dengan demikian, nama Beng kauw jadi makin merosost.
Swee Poet Tek, apakah kau maksudkan aku? memutus Yo Siauw.
Namaku Swee Poet Tek dan sesuatu yang tak boleh dikatakan aku tentu takkan
mengatakannya jawabnya. Siapa kepotong dia perih. Siapa berdosa dia tahu dalam hatinya.
Yo Siauw mengeluarkan suara di hidung dan tidak bicara lagi.
Tiba2 Boe Kie kaget sebab badannya sudah tak dingin. Tadi waktu baru kena It im cie rasa
dingin meresap ke tulang2, tapi sekarang serangan itu sudah menghilang.
Sebagaimana diketahui, waktu masih kecil sekali ia kena racun dingin dari pukulan Hian beng
Sin ciang dan sesudah mencapai usia 17 tahun, barulah semua racun terusir dari badannya.
Selama kurang lebih 7 tahun siang malam tubuhnya bertempur melawan hawa dingin
sehingga perlawanan tubuhnya terhadap setiap serangan hawa dingin sudah terjadi secara
wajar. Disamping itu, iapun telah makan kodok merah dan telah melatih diri dengan ilmu
Kioe Yang Sin Keng. Oleh karena adanya beberapa sebab itu maka hawa yang (hawa panas)
didalam tubuhnya hebat luar biasa. Sehingga racun It im cie sudah terusir keluar, tanpa ia
mesti mengeluarkan banyak tenaga.
Sementara itu Swee Poet Tek melanjutkan penuturannya. Sedari kerajaan Song direbut oleh
bangsa Mongol, permusuhan antara Beng kauw dan kerajaan makin menghebat. Selama
beberapa keturunan, pemimpin2 agama kami telah menugaskan diri sendiri untuk mengusir
kaum penjajah dengan mempersatukan semua orang gagah di seluruh negeri. Sayang
sungguh, dalam tahun2 yang belakangan Beng kauw tidak mempunyai pemimpin dan sebab
memperebutkan kedudukan sebagai Kauwcoe, tokoh2 Beng kauw jadi saling bunuh. Antara
pentolan2 kami ada yang mengasingkan diri dan ada pula yang mendirikan agama lain dan
mengangkat diri sebagai Kauwcoe. Sesudah Beng kauw berantakan, permusuhan dengan
partai2 lurus bersih makin besar dan sebagai akibatnya kau bisa lihat sendiri. Kami sekarang
sedang menghadapi bencana. Goan tin Hweeshio, bagaimana pendapatmu? Apakah aku
berjusta?
Goan tin mengeluarkan suara di hidung. Tidak kau tak berdusta, jawabnya. Sesudah berada
begini dekat dengan kebinasaan, perlu apa kau berjusta? seraya berkata begitu, perlahan2 ia
berdiri dan melangkah setindak.
Ah!....seru Yo Siauw dan yang lain2. biarpun sudah menduga, bahwa tenaga Goan tin akan
pulih terlebih dahulu mereka sama sekali tidak menaksir, bahwa pendeta itu memiliki
Lweekang yang begitu tinggi dan tenaganya pulih secara begitu cepat.
Dilain saat, dengan badan tetap, Goan tin telah melangkah lagi setindak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 707
Yo Siauw tertawa dingin. Murid Kong kian taysoe benar2 hebat, katanya. Eh! Aku telah
mengajukan satu pertanyaan yang belum dijawab olehmu. Apakah jawabannya memalukan
kau, sehingga kau tak berani membuka mulut?
Goan tin tertawa terbahak bahak dan maju lagi setindak. Aku tahu, bahwa sebelum aku
menjawab, kau tak bisa mati dengan mata meram, katanya. Kau tanya, mengapa aku tahu
jalanan2 rahasia dari Kong Beng Teng. Mengapa aku bisa sampai disini tanpa diketahui oleh
siapapun jua. Baiklah aku akan menjawab dengan sejujur2nya. Jawabanku ialah Yo Po Thian
kauwcoe, pemimpin agamamu sendiri berdua istri yang pernah membawaku kemari.
Yo Siauw terkesinap. Sebagai seorang yang berkedudukan dan berkepandaian tinggi, pendeta
itu pasti tak berdusta. Tapi mana bisa kejadian yang seperti itu?
Keledai gundul! Jangan dusta kau! caci Cioe Tian. Jalanan rahasia Kong beng teng adalah
sebuah rahasia besar. Tempat itu adalah tempat suci dari agama kami. Biarpun Yo cosoe
seorang Kong beng Soe cia, walaupun Wie toako berkedudukan sebagai Hoe kauw Hoat tong.
Mereka belum pernah menggunakan jalanan itu. Hanyalah kauwcoe seorang yang boleh
menggunakannya. Mana bisa jadi Yo kauwcoe mengajak kau seorang luar berjalan dijalan
itu?
Goan tin menghela nafas dan untuk beberapa saat, kedua matanya mengawasi ke tempat yang
jauh, Jika kau mendesak juga, aku harus menceritakan peristiwa yang terjadi pada 25 tahun
berselang, katanya dengan suara berduka. Baiklah. Biar bagaimanapun juga, kamu takkan bisa
turun dari gunung ini dengan masih bernyawa. Kamu takkan bisa membocorkan rahasia. Hai!
Cioe Tian, tak salah apa yang dikatakan olehmu. Jalanan rahasia itu adalah tempat suci dari
agamamu. Memang, hanya kauwcoe yang boleh masuk kesitu. Siapa yang melanggar dosa
besar. Tapi orannya Yo Po Thian telah masuk kesitu. Yo Po Thian telah melanggar peraturan
agama. Secara diam2 dia membawa Yo hoejin masuk kesitu.
Dusta! Dusta besar. Teriak Cioe Tian.
Cioe Tian, diam kau! bentak Pheng hweshio.
Goan tin melanjutkan perkataannya. Bukan saja begitu, Yo hoejin telah membawaku masuk
kesitu.
Bangsat! Bangsat besar! Dusta! caci Cioe Tian.
..aku bukan anggota Beng kauw. Biarpun masuk dijalanan itu, aku tidak melanggar peraturan
agama. Kata Goan tin dengan sedih.
Mengapa Yo Hoejin mengajak kau masuk dijalanan itu? tanya Tiat koan Tojin.
Hmmm! Itulah kejadian yang terjadi sudah lama sekali. Jawabnya. Sekarang loolap sudah
berusia 70 tahun lebih. Diwaktu masih muda.Baiklah, loolap akan menceritakan rahasianya.
Apa kalian tahu siapa adanya loolap? Yo Po Thian adalah Soehengku, Yo Hoejin adalah
Soemoyku. Pada sebelum menjadi pendeta, loolap she Seng bernama Koen, bergelar Hoen
goan Pek Leng chiu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 708
Mendengar keterangan itu, bukan main kagetnya Yo Siauw dan yang lain2, sedang Boe Kie
hampir berteriak. Pemuda itu lantas saja ingat penuturan ayah angkatnya pada suatu malam di
pulau Peng Hwee to. Pada waktu itu Cia Soen menceritakan cara bagaimana gurunya telah
membunuh semua anggota keluarganya, cara bagaimana untuk memaksa keluarnya guru itu,
ia telah membunuh banyak orang gagah dalam Rimba persilatan dan cara bagaimana sesudah
ia melukai pendeta suci Kong kian. Seng koen tidak menepati janji untuk munculkan diri.
Tiba2 Boe Kie tersadar dan berkata didalam hatinya. Tak bisa salah lagi, pada waktu itu
bangsat tua Seng Koen telah mengangkat Kong kian Seng ceng pendeta suci kian- sebagai
guru. Untuk menghilangkan permusuhan itu, pendeta suci itu rela menerima 13 pukulan Cit
Siang koen dari Giehoe. Siapa nyana Seng Koen malah sudah mendustai gurunya sendiri,
sehingga Kong kian Taysu meninggal dunia dengan penasaran.
Mengingat sampai disitu, Boe Kie lantas saja iangat perkataannya sendiriyang diucapkan pada
malam itu. Giehoe, orang yang membinasakan seantero keluargamu bernama Hoen goan Pek
lek chioe, bukan? Baiklah, Boe Kie akan mengingat nama itu. Dibelakang hari, anak tentu
akan mewakili ayah untuk membalas sakit hati.
Dengan gusar, ia kemudian berkata didalam hati. Kalapnya Giehoe sehingga ia sering
membunuh orang yang tidak berdosa, kedatangan dan desakan berbagai partai di Boe Tong
san sehingga kedua orang tuaku terpaksa membunuh diri semua adalah gara2nya bangsat tua
Seng Koen.
Makin diingat, darah pemuda itu makin meluap. Tiba2 ia merasa sekujur badannya panas,
seperti dibakar. Karung Kian Koen It Khie tay dari Swee Poet Tek tertutup rapat dan hawa
udara tidak bisa keluar masuk. Menurut pantas, sesudah berdiam dalam karung begitu lama,
Boe Kie sebenarnya sudah mesti mati. Tapi ia kerena memiliki lweekang yang sangat tinggi
dan hawa yang dikeluarkan dari pernafasan sangat sedikit, maka ia masih dapat
mempertahankan diri. Tapi sekarang, dalam gusarnya, Cioe yang Cin khie (hawa tulen Kioe
Yang) tak dapat dikuasai lagi dan lalu mengamuk hebat. Beberapa saat kemudian, ia merasa
badannya seperti masuk dalam perapian, sehingga ia mengeluarkan teriakan keras.
Saudara kecil! bentak Cioe Tian, Kita semua tengah menghadapi kebinasaan dan sama2
menanggung penderitaan hebat. Tapi seorang yang gagah tidak boleh memperlihatkan
kelemahannya dan berteriak2 seperti kau.
Benar! kata Boe Kie yang lalu menentramkan jalan pernafasannya dengan ilmu yang terdapat
dalam Kioe yang cin keng. Biasanya ilmu itu bermanfaat sekali. Tapi kini, usahanya gagal.
Tulang2nya sakit dan jalan darah diseluruh tubuhnya seperti juga ditusuk dengan jarum2
ribuan yang panas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar