Selasa, 17 November 2009

Sementara itu si nona sudah mengisi dua cawan arak. Sesudah meneguk salah sebuah cawan,
ia berkata sambil tertawa, Nah! Arak ini tidak beracun. Kau boleh minum dengna hati lega!
Seraya berkata begitu, ia menaruh cawan yang isinya sudah dicicipinya di hadapan Boe Kie.
Ada urusan apa nona mengajak aku kemari, tanya Boe Kie.
Minum dulu tiga cawan baru kita bisa bicara, jawabnya. Untuk kehormatanmu, aku minum
lebih dahulu. Ia mengangkat dan mengeringkan isi cawannya. Boe Kie pun segera
mengangkat cawannya. Tiba-tiba hidungnya mengendus bau yang sangat harum. Di bawah
sinar lampu di pinggir cawan, samar-samar ia melihat tapak bibir yang berwarna merah. Dari
bau harum itu, duri Yanciekah? Dari badan si nonakah? Hatinya berdebar-debar tapi ia segera
meneguk cawannya.
Kita minum dua cawan lagi, kata Tio Beng. Kutahu kau selalu curiga. Maka itu isi setiap
cawan akan lebih dahulu dicicipi olehku.
Boe Kie membungkam. Di dalam hati, ia memang merasa jeri terhadap nona Tio yang
mempunyai banyak akal bulus, ia merasa senang bahwa setiap cawan yang disuguhkan
kepadanya diminum lebih dahulu oleh si nona sehingga dengan demikian ia tak usah
menempuh bahaya. Tapi minum arak yang sudah diteguk oleh seorang wanita mengakibatkan
perasaan yang sukar dilukiskan dalam hatinya. Ketika ia mengangkat muka, si nona ternyata
sedang mengawasi dengna bibir tersungging senyum dan pipi berwarna dadu. Buru-buru Boe
Kie melengos.
Thio Kauwcoe, Kata Tio Beng dengan suara perlahan, Apa kau tahu siapa sebenarnya aku?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 977
Boe Kie menggelengkan kepala.
Hari ini aku akan berterus terang, katanya pula. Ayahku ialah Jie lam ong yang berkuasa atas
seluruh angkatan perang kerajaan. Aku wanita Mongol, namaku Mingming Temur. Tio Beng
adalah nama Han yang dipilih olehku. Hong-siang telah menganugerahkan aku gelar
Siauwbeng Koen-coe.
Kalau bukan sudah diberitahukan oleh Hoan Yauw, Boe Kie tentu akan merasa kaget. Bahwa
si nona sudah bicara terus terang adalah sangat luar biasa. Sebagai manusia yang tidak bisa
berpura-pura pemuda itu tidak menunjukkan rasa kaget.
Tio Beng heran, Mengapa kau tenang saja? tanyanya. Apa kau sudah tahu?
Bukan, sahutnya. Tapi sejak awal aku sudah menduga. Kau seorang wanita muda belia tapi
kau bisa menguasai tokoh-tokoh ternama dalam Rimba Persilatan. Sejak awal aku sudah
menduga bahwa kau bukan sembarang orang.
Nona Tio mengusap-usap cawan arak. Untuk beberapa saat, ia tidak mengeluarkan sepatah
kata. Akhirnya ia berkata dengan suara perlahan, Thio Kongcoe, aku ingin mengajukan
sebuah pertanyaan dan kuharap kau suka menjawab dengan setulus hati. Bagaimana sikapmu
apabila aku membunuh Cioe Kauwnio?
Cioe Kauwnio tidak berdosa terhadapmu, jawabnya dengan suara heran. Mengapa kau mau
bunuh dia?
Ada orang-orang yang tidak disukai aku dan aku segera membunuh mereka, kata si nona. Apa
kau kira aku hanya membunuh orang yang berdosa terhadapku? Ada manusia yang berdosa
terhadapku tapi aku tidak membunuh mereka. Seperti kau sendiri, apakah dosamu terhadapku
belum cukup besar? Sambil berkata begitu, sinar matanya menunjukkan sinar bercanda.
Boe Kie menghela nafas, Tio Kauwnio, katanya. Aku berdosa terhadapmu karena terpaksa.
Aku bagaimanapun selalu tak dapat melupakan budimu yang sudah menolong Sam soe-peh
dan Liok soe-siok ku.
Tio Beng tertawa dan berkata, Kau seorang yang berotak miring. Jie Thay Giam dan In Lie
heng terluka karena perbuatan orang-orangku. Tapi kau bukan saja tidak menyalahkan aku
bahkan kau menghaturkan terima kasih.
Sam soe-peh terluka kira-kira dua puluh tahun yang lalu dan pada waktu itu kau belum lahir,
kata Boe Kie.
Tapi biar bagaimanapun juga, orang-orang itu adalah kaki tangan ayahku dan kalau mereka
kaki tangan ayahku merekapun menjadi kaki tanganku, kata si nona. Ah! Kau coba
menyimpang dari pokok pembicaraan. Aku Tanya, jika aku membunuh untuk membalas sakit
hati?
Boe Kie berpikir sejenak, Aku tak tahu, jawabnya.
Mengapa tak tahu? desak si nona. Kau tidak mau bicara terus terang bukan?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 978
Ayah dan ibuku mati karena didesak orang, kata Boe Kie dengan suara berduka. Hari itu di
gunung Boe tong san, di hadapan jenazah kedua orang tuaku, aku telah bersumpah bahwa di
kemudian hari sesudah aku besar, aku akan membalas sakit hati. Aku mengingat muka orangorang
Siauw liem, Go bie, Koen loen dan Khong tong-pay yang waktu itu berada di Boe tong.
Saya masih kecil dan hatiku penuh dengan kebencian. Tapi sesudah aku besar, sesudah aku
memperoleh lebih banyak pengetahuan, sakit hatiku kian lama kian berkurang.
Pada hakekatnya aku tak tahu siapa yang sebenarnya sudah mencelakai kedua orang tuaku.
Saya tidak boleh menuduh Khong tie Siansoe, Thie kim Sianseng dan tokoh-tokoh lain. Aku
tidak boleh menuduh kakek atau pamanku (In Ya Ong), aku bahkan tidak pantas menuduh
orang-orangmu seperti A-toa, A-jie, Hian-beng Jie lo dan yang lainnya. Selama beberapa hari
aku merenungkan hal itu dalam pikiranku. Apabila manusia tidak saling bunuh, apabila semua
manusia hidup damai dan bersahabat, bukankah kehidupan akan menjadi lebih berarti
daripada sekarang ini? Pikiran itu sudah lama berada dalam otaknya tapi sebegitu jauh belum
pernah ia utarakan kepada orang lain. Malam itu entah bagaimana ia membuka isi hatinya
kepada Tio Beng dalam rumah makan kecil itu. Sesudah bicara, ia sendiri malah merasa heran
mengapa ia sudah bicara begitu.
Tio Beng tahu bahwa Boe Kie bicara sungguh-sungguh. Hatimu sangat mulia, katanya
sesudah berdiam beberapa saat. Manusia seperti aku tidak bisa berbuat seperti kau. Kalau ada
orang membinasakan ayah dan kakakku, aku bukan saja akan menumpas keluarganya tapi
bahkan membasmi sahabat-sahabat dan kenalan-kenalannya.
Aku pasti akan merintangi.
Mengapa begitu?
Karena lebih banyak kau membunuh manusia, lebih besar dosamu dan lebih berbahaya
keadaanmu. Tio Kauwnio, bilanglah terus terang, apa kau pernah membunuh orang?
Sampai kini, belum. Tapi sesudah aku lebih tua, aku akan membunuh banyak sekali manusia.
Leluhurku Kaisar Genghiz Khan, Kubilai-khan dan yang lain. Sungguh sayang aku seorang
wanita. Kalau lelakihuh huh! Aku pasti akan melakukan sesuatu yang maha besar. Ia
menuang arak ke cawannya dan meneguk isinya. Setelah itu, ia tertawa dan berkata pula, Thio
Kongcoe, kau belum menjawab pertanyaanku.
Bila kau membunuh Cioe Kauwnio atau salah seorang sahabatku maka aku takkan
menganggapmu sebagai sahabat lagi, jawabnya. Aku tak mau bertemu muka lagi selamalamanya
dan jika bertemu juga aku takkan mau bicara lagi denganmu.
Dengan demikian, kau kini menganggapku sebagai sahabatmu, bukan? tanya si nona dengan
suara dingin.
Andaikata aku membenci kau, aku tentu sungkan minum bersama kau di tempat ini, sahutnya.
Hai!...Aku merasa sukar untuk membenci orang. Di dunia ini, manusia yang paling dibenci
olehku adalah Hoen-goan Pel lek-cioe Seng Koen. Tapi setelah dia mati aku berbalik merasa
kasihan di dalam hati, seolah-olah aku mengharap supaya dia tak mati.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 979
Bagaimana perasaanmu, andaikata besok aku mati? tanya Tio Beng. Di dalam hatimu kau
tentu berkata, Terima kasih kepada Langit dan Bumi, musuh yang kejam sudah mampus dan
aku boleh tidak usah terlalu pusing. Kau tentu berpikir begitu bukan?
Tidak! Tidak! Aku sama sekali tak mengharapkan kematianmu. Tidak! Wie Hok Ong hanya
menakut-nakuti kau, mengancam untuk menggores mukamu. Bicara terus terang, aku merasa
sangat kuatir. Tio Kauwnio, kuharap kau tidak menyulitkannya lebih lama. Lepaskanlah
tokoh-tokoh keenam partai itu. Marilah kita hidup damai. Bukankah kehidupan begitu lebih
bahagia daripada bermusuhan yang berlarut-larut?
Bagus! Akupun mengharapkan itu. Kau seorang Kauwcoe dari Beng-kauw. Perkataanmu
berharga bagaikan emas. Pergilah kau memberitahukan supaya mereka semua mengabdi
kepada kerajaan. Ayahku akan melaporkan kepada Hong-siang agar mereka diberi anugerah.
Boe Kie menggelengkan kepala dan berkata dengan suara perlahan, Kami bangsa Han
mempunyai suatu tekad. Tekad itu ialah mengusir kekuasaan Mongol dari bumi bangsa kami.
Tiba-tiba si nona bangkit. Apa? tegasnya. Kau berani mengeluarkan kata-kata itu? Apakah itu
bukan berarti pemberontakan?
Aku memang sudah memberontak, jawabnya, Apa kau belum tahu?
Lama sekali si nona mengawasi wajah Boe Kie. Perlahan-lahan sinar kegusaran menghilang
dari paras wajahnya dan berganti dari sinar kedukaan dan putus harapan. Perlahan-lahan ia
duduk dan berkata dengan suara parau, Aku sudah tahu. Aku hanya ingin dengar kepastiannya
dari mulutmu sendiri.
Boe Kie berhati lemah. Melihat kedukaan si nona ia terus merasa berduka. Kalau dapat, ia
bersedia untuk menuruti segala kemauan nona Tio. Hanya urusan itu adalah urusan nusa dan
bangsa maka ia harus tetap kokoh pada pendiriannya, ia tak tahu bagaimana caranya
menghibur Tio Beng dan ia membungkam sambil menundukkan kepala.
Selang beberapa lama ia berkata, Tio Beng Kauwnio, sekarang sudah larut malam. Biarlah
aku mengantar kau pulang.
Apakah kau tak sudi menemani aku duduk-duduk di sini lebih lama lagi?
Bukan! Kalau kau masih ingin minum dan berbicara aku bersedia untuk menemani terus.
Tio Beng tersenyum, Kadang-kadang aku melamun, katanya. Andaikata aku bukan seorang
Mongol, bukan seorang putri pangeran tapi hanya seorang wanita Han biasa seperti Cioe
Kauwnio, mana yang lebih cantik.
Boe Kie terkejut, ia tak duga si nona bakal mengajukan pertanyaan begitu. Tapi hal ini tidak
mengherankan. Tio Beng adalah seorang Mongol yang beradat polos. Tanpa merasa pemuda
itu mengawasi wajah si nona yang sangat ayu dan tanpa merasa pula ia berkata, Tentu saja
kau lebih cantik.
Mata Tio Beng bersinar girang, ia menyodorkan tangan kanannya dan mencekal tangan Boe
Kie. Thio Kongcoe apakah kau merasa senang jika kau sering-sering bertemu denganku?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 980
tanyanya dengan suara lemah lembut. Apakah kau sudi datang pula jika aku mengundang kau
minum arak lagi di rumah ini?
Jantung Boe Kie memukul keras. Sesudah menentramkan hatinya ia menjawab, Aku tidak
bisa berdiam lama-lama di sini, beberapa hari lagi aku harus pergi ke Selatan.
Perlu apa kau pergi ke Selatan?
Kurasa kau bisa menebak sendiri. Kalau aku memberitahukan maksudku kau tentu akan
gusar.
Tio Beng mengawasi keluara jendela memandang sang rembulan dengan sinarnya yang putih
bagaikan perak. Tiba-tiba ia berkata, Thio Kongcoe kau telah berjanji untuk melakukan tiga
permintaanku. Apa kau masih ingat?
Tentu saja masih ingat. Nona boleh memberitahukan dan dalam batas kemampuanku, aku
akan melakukan perintahmu.
Si nona menatap wajah Boe Kie dan berkata, Sekarang aku baru mempunyai sebuah
permintaan, aku minta kau mengambil golok To-liong to.
Boe Kie tahu bahwa permintaan yang diajukan Tio Beng pasti bukan permintaan yang mudah
dilakukan. Tapi ia sama sekali tak menduga bahwa permintaan pertama sudah begitu sukar.
Melihat paras Boe Kie yang menunjukkan rasa susah hati. Tio Beng bertanya, Bagaimana?
Apa kau tak sudi melakukan permintaanku? Apakah dilakukannya permintaan itu melanggar
sifat kesatriaan dalam Rimba Persilatan?
Sebagaimana kau tahu, To-liong to adalah milik ayah angkatku, Kim mo Say Ong Cia Tayhiap.
Tak dapat aku mengkhianati Giehoe dan menyerahkan golok itu kepadamu.
Aku bukan menyuruh kau mencuri, merampas atau menipu. Akupun bukan ingin memiliki
golok itu. Aku hanya minta kau meminjamnya dari ayahmu dan memberikannya kepadaku
supaya aku bisa bermain-main dengan golok itu untuk satu jam lamanya. Sesudah satu jam,
aku akan memulangkannya kepada Cia Tay-hiap. Kalian berdua adalah ayah dan anak. Apa
bisa jadi Cia Tay-hiap akan tak sudi untuk meminjamkannya dalam jangka waktu hanya satu
jam. Aku bukan ingin merampas harta benda atau membunuh manusia. Apakah hal itu
melanggar kesatriaan dalam Rimba Persilatan?
Biarpun namanya tersohor, To-liong to sebenarnya tidak terlalu luar biasa hanya lebih berat
dan lebih tajam dari golok biasa.
Dalam Rimba Persilatan terdapat kata-kata sebagai berikut. Boe lim cie coen po to to liong,
hauw leng thian hee boh kam poet ciong, ie thian poet coet swee ie ceng hong (Yang termulia
dalam Rimba Persilatan, golok mustika membunuh naga, perintahnya di kolong langit tiada
manusia yang berani tidak menurut, ie thian tidka keluar siapa yang bisa melawan
ketajamannya). Ie thian kiam berada dalam tanganku terlihat seperti To-liong to. Kalau kau
tidak percaya padaku untuk melihat golok mustika itu, kau boleh berdiri di sampingku.
Dengan memiliki kepandaian yang begitu tinggi kau tak usah takut bahwa aku main gila
terhadapmu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 981
Mendengar keterangan itu, Boe Kie berpikir. Sesudah rombongan keenam partai tertolong
memang ia juga ingin segera berangkat untuk mengajak ayah angkatnya pulang ke Tiongkok
supaya orang tua itu bisa menduduki kursi Kauwcoe. Kalau nona Tio hanya ingin melihatlihat
golok itu dalam waktu satu jam biarpun dia mau main gila, dengan penjagaan yang hatihati
mungkin tak kan terjadi sesuatu yang tak diinginkan, ia ingat bahwa menurut ayah
angkatnya di dalam golok tersebut bersembunyi rahasia pelajaran ilmu silat yang sangat
tinggi. Ayahnya telah mendapatkan To-liong to sebelum kedua matanya buta. Tapi sebegitu
lama orang tua itu, yang berotak sangat cerdas masih belum bisa memecahkan rahasia
tersebut. Maka itu, dalam waktu satu jam nona Tio rasanya takkan bisa berbuat banyak. Selain
itu, ayah angkatnya dan ia sudah berpisah kurang lebih sepuluh tahun. Mungkin sekali dalam
sepuluh tahun ayah angkat itu sudah berhasil menembus tabir rahasia dari To-liong to.
Melihat Boe Kie belum juga menjawab, Tio Beng tertawa. Kau tidak sudi meluluskan?
tegasnya. Terserah padamu, aku ingin mengajukan permintaan lain, permintaan yang lebih
sukar.
Boe Kie tahu bahwa Tio Beng pintar dan banyak akalnya. Apabila nona itu mengajukan
permintaan lain yang lebih sulit, ia lebih takkan bisa memenuhi janji. Maka itu, buru-buru ia
menjawab, Baiklah! Aku bersedia untuk meminjamkan To-liong to kepadamu. Tapi kita
berjanji pahit dulu, aku hanya meminjamkan dalam jangka waktu satu jam. Manakala kau
berani main gila, berani coba-coba merampasnya, aku tentu takkan tinggal diam.
Akur! Aku tak bisa bersilat dengan golok. Perlu apa aku inginkan golok yang berat itu?
Andaikata kau menghadiahkannya kepadaku dengan segala kehormatan, belum tentu aku sudi
menerimanya. Kapan kau mau berangkat untuk mengambilnya?
Dalam beberapa hari ini.
Bagus. Akupun akan segera berkemas. Jika kau sudah menetapkan tanggalnya, harap kau
segera memberitahukan padaku.
Boe Kie terkejut, Kau mau ikut? tanyanya.
Tentu saja, kudengar ayah angkatmu berdiam di sebuah pulau terpencil. Jika orang tua itu
tidak mau pulang, apakah kau mesti berlayar berlaksa li untuk mengambil golok itu dan
menyerahkannya kepadaku dalam jangka waktu satu jam dan kemudian kau harus melakukan
perjalanan berlaksa li lagi untuk memulangkannya dan sesudah itu pulang ke Tiong goan? Itu
terlalu gila!
Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. Pelayaran menyeberangi samudera penuh dan
masih merupakan sebuah pertanyaan, apa ia bisa mencapai pulau Peng hwee to atau tidak.
Sekali jalan saja masih belum tentu, apalagi sampai tiga kali. Perkataan Tio Beng mungkin
sekali benar. Sesudah berdiam di pulau itu selama puluhan tahun, juga belum tentu ayah
angkat mau pulang ke Tiong goan. Sesudah berpikir beberapa saat ia berkata, Angin dan
ombak samudera tidak mengenal kasihan. Perlu apa nona pergi menempuh bahaya itu?
Kalau kau boleh menempuh bahaya, mengapa aku tidak boleh? si nona balas bertanya.
Apakah ayahmu sudi meluluskan?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 982
Ayah menyuruh aku memimpin jago-jago Kang ouw dan selama beberapa tahun aku pergi ke
berbagai tempat tanpa pengawalan ayah.
Mendengar keterangan Tio Beng ayah menyuruh aku memimpin jago-jago Kang ouw tibatiba
Boe Kie ingat sesuatu.
Dalam usaha menyambut Gie hoe entah kapan aku bisa kembali, pikirnya. Jika dia
menggunakan tipu memancing harimau dari gunung dan dengan menggunakan kesempatan
itu dia menyerang Beng-kauw secara besar-besaran keadaan bisa berbahaya. Tapi kalau dia
ikut aku, kaki tangannya pasti tidak akan berani bergerak sembarangan. Berpikir begitu lantas
saja mengangguk dan berkata, Baiklah, begitu aku sudah menetapkan tanggal keberangkatan,
aku akan segera memberitahu kau.
Belum habis ia bicara, dari jendela mendadak terlihat sinar api yang kemerah-merahan diikuti
dengan teriak-teriakan di tempat jauh.
Tio Beng melongok keluar. Celaka! ia mengeluh. Menara Ban hoat sie kebakaran! Kouw Taysoe!
Kouw tay-soe! ia berteriak berulang-ulang tapi Kouw Tauw-too tak muncul. Ia pergi ke
ruang depan ternyata pendeta itu sudah tidak kelihatan lagi baying-bayangnya. Menurut
keterangan pengurus rumah makan, Kouw Tauw-too sudah pergi lama sudah kira-kira dua
jam. Bukan main rasa herannya si nona tapi ia masih belum menduga bahwa si pendeta telah
mengkhianatinya.
Sementara itu, melihat sinar api yang berkobar-kobar di atas menara. Boe kIe jadi kuatir akan
keselamatan paman-pamannya dan tokoh lain yang baru saja kembali Lweekang mereka. Tio
Kauwnio, aku tak bisa menemani lebih lama lagi, katanya. Seraya berkata begitu, ia melompat
ke luar jendela.
Tunggu! Aku ikut! seru si nona. Tapi ketika ia keluar dari jendela, Boe Kie sudah hilang dari
pandangan.
Sekarang marilah kita lihat Lok Thung Kek yang sesudah Koen-coe dan Kouw Tauw-too
berlalu, dengan hati lega ia merangkul Han-kie ke kamar Yoe liong coe, yang terletak di
tengah-tengah lantai ketujuh. Kau tunggu di luar, tak seorangpun boleh masuk ke sini, kata si
kakek kepada muridnya. Begitu Yoe liong coe keluar, ia segera membuka bungkusan dan
mengeluarkan Han-kie yang paras mukanya pucat dan sinar matanya menunjukkan duka
besar. Sesudah berada di sini, kau tak usah takut, bujuk si kakek. Aku tentu akan
memperlakukan kau baik-baik. Ia belum berani membuka jalan darah si cantik sebab kuatir
dia berteriak. Sesudah menaruh Han-kie di ranjang Yoe liong coe, ia menurunkan kelambu
dan kemudian mengambil satu kasur yang lalu dibungkus dengan sprei yang tadi
membungkus tubuh si cantik. Ia menaruh bungkusan itu di samping ranjang.
Lok Thung Kek adalah orang yang sangat berhati-hati. Buru-buru ia keluar dari kamar itu dan
memesan Yoe liong coe bahwa tak seorangpun boleh masuk ke dalam kamar. Ia tahu
muridnya sangat taat kepadanya dan pesan itu pasti takkan dilanggar.
Sesudah beres menyembunyikan Han-kie, ia lalu memikirkan tindakan selanjutnya. Bila aku
mau Kouw Tauw-too menutup mulut, aku harus membalas budi kepadanya, pikirnya. Jalan
satu-satunya adalah melepaskan si nenek kecintaannya dan anak perempuannya. Untung juga
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 983
Kauwcoe Mo-kauw telah mengacau di sini dan pengacau itu ada sangkut pautnya dengan
Cioe Kauwnio. Sesudah menolong, aku bisa mengatakan bahwa kedua orang itu ditolong oleh
si Kauwcoe Mo-kauw. Koen-coe pasti takkan curiga dan tak akan menyalahkanku sebab
Kauwcoe memang mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Sesudah mengambil
keputusan, ia segera pergi ke kamar tahanan Biat Coat Soethay.
Semua murid wanita Goe bie-pay ditahan di lantai empat sedang Biat Coat sendiri mengingat
kedudukannya sebagai seorang ciang boen jin, ditahan sendirian di dalam sebuah kamar.
Lok Thung Kek memerintahkan penjaga membuka pintu dan ia lantas masuk ke dalam.
Pendeta wanita itu ternyata sedang bersemedi seraya memejamkan matanya. Biat Coat
Soethay, apa kau baik? tegur si kakek.
Perlahan-lahan Biat Coat membuka kedua matanya. Baik apa? katanya dengan suara dongkol.
Kau sangat keras kepala, kata Lok Thung Kek. Coe jin mengatakan bahwa tak guna kau diberi
hidup lebih lama lagi dan ia sudah memerintahkan aku untuk mengirim kau ke dunia baka.
Baiklah, kata si nenek dengan suara tawar. Tapi tak perlu tuan turun tangan sendiri. Aku
hanya ingin meminjam sebatang pedang pendek. Di samping itu, sebagai keinginanku terakhir
kuminta tuan sudi memanggil muridku Cioe Cie Jiak. Aku ingin bicara dengannya.
Lok Thung Kek mengiyakan. Ia keluar dan memerintahkan seorang penjaga untuk membawa
nona Cioe. Cinta ibu dan anak memang tak sama dengan cinta lain, pikirnya.
Beberapa saat kemudian, Cie Jiak sudah datang. Lok Sianseng, kata Biat Coat. Kumohon kau
keluar dulu. Pembicaraan kami tidak memakan waktu yang lama.
Sesudah si kakek berlalu, Cie Jiak merapatkan pintu lalu menubruk gurunya. Ia menangis
sesegukan. Biarpun Biat Coat berhati besi tapi pada saat itu, pada detik-detik perpisahan
untuk selama-lamanya hatinya seperti disayat sembilu. Ia mengusap-usap rambut muridnya.
Nona Cioe tahu bahwa gurunya takkan bicara panjang-panjang. Maka itu, lebih dulu ia
menceritakan bagaimana caranya ia sudah ditolong Boe Kie dan kedua kawannya.
Alis si nenek berkerut. Selang beberapa saat ia berkata, Mengapa ia hanya menolong kau,
tidak menolong yang lain?
Muka si nona berubah merah, Entahlah, jawabnya.
Hmm! Bocah itu terlalu jahat, kata sang guru dengan suara gusar. Dia kepala siluman dari
kawanan siluman Mo-kauw. Tak mungkin dia mempunyai hati yang baik. Dia memasang
jaring untuk menjaring kau.
Dia memasang jaring apa? tanya si nona dengan suara heran.
Kita adalah musuh kawanan Mo-kauw, terang sang guru. Dengan Ie thian kiam aku telah
membunuh banyak sekali siluman. Mereka sangat membenci Go bie-pay. Mana bisa jadi
mereka benar-benar mau menolong? Siluman she Thio itu jatuh hati kepadamu, diam-diam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 984
dia menyuruh orang menangkap kita dan kemudian untuk mengambil hati, dia sendiri yang
menolong kau.
Tapi Soehoe, kata si nona dengan suara lemah lembut. Kulihat ia tidak berpura-pura.
Si nenek lantas naik darah. Apa kau kata? bentaknya, Rupanya kau telah mengikuti contoh si
binatang Kie Siauw Hoe dan sudah jatuh cinta kepada siluman itu. Kalau aku masih
bertenaga, dengan sekali hantam aku sudah mengambil jiwamu.
Cie Jiak ketakutan, dengan tubuh gemetar ia berkata, Murid tak berani.
Apa sungguh-sungguh tidak berani atau kau hanya mencoba memperdaya gurumu?
Murid sungguh-sungguh tak berani melanggar ajaran Soehoe.
Kalau begitu, kau berlututlah dan bersumpah.
Nona Cioe segera menekuk kedua lututnya tapi ia tak tahu sumpah apa yang harus diucapkan
olehnya.
Kata Biat Coat, Kau harus bersumpah begini. Aku, Cie Jiak bersumpah kepada Langit bahwa
kalau di kemudian hari aku jatuh cinta kepada Kauwcoe Mo-kauw Thio Boe Kie dan menjadi
suami istri dengan dia, maka roh kedua orang tuaku yang sekarang berada di alam baka akan
merasa tidak aman. Sedang guruku Biat Coat Soethay akan menjadi setan yang jahat dan akan
mengganggu aku seumur hidup. Apabila dari perkawinan itu terlahir anak maka semua anak
lelaki akan menjadi budak, anak perempuan akan menjadi pelacur.
Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Ia orang yang berwatak lemah lembut dan di dalam lubuk
hatinya terdapat kasih sayang terhadap sesama umat manusia.
Jilid 54______________
Tapi sekarang ia harus mengucapkan sumpah yang begitu hebat. Sumpah yang menyebut roh
kedua orang tuanya, sumpah yang menyeret juga anak-anaknya yang belum lahir. Tapi
melihat sinar mata gurunya yang berkilat-kilat, ia tidak berani membantah. Dengan kepala
puyeng dan dengan suara parau, ia mengucapkan kata-kata yang diucapkan Biat Coat.
Sesudah muridnya itu bersumpah begitu berat, paras si nenek berubah lunak, “kau bangunlah,
katanya.
Dengan air mata bercucuran, Cie Jiak lantas bangun berdiri.
Sesaat kemudian, Biat Coat berkata pula dengan suara halus bercampur rasa terharu yang
sangat besar. “Cie Jiak, aku bukan sengaja menekan kau. Setiap tindakanku adalah untuk
kebaikanmu sendiri. Kau masih berusia muda dan mulai dari sekarang, gurumu tidak bisa
memilik kau lagi. Apabila kau mengikuti contoh Kie Soecimu, maka di alam baka, gurumu
tak akan merasa senang. Disamping itu, ada sesuatu yang sangat penting. Apapula gurumu
sekarang ingin menyerahkan tanggung jawab yang sangat berat di atas pundakmu, sehingga
kau sedikitpun tak bisa berlaku sembarangan. Seraya berkata begitu, ia mencabut sebuah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 985
cincin besi dari telunjuk kirinya dan berdiri tegak, “Murid wanita Go Bie Pay, Cioe Cie Jiak,
kau berlututlah untuk menerima amanat! katanya dengan suara angker.
Cie Jiak terkejut dan segera menekuk lututnya.
Sambil mengangkat cincin besi itu tinggi-tinggi, Biat Coat Soethay berkata pula.
“Ciang Boen Jin Go Bie Pay turunan ketiga pendeta wanita Biat Coat, dengan ini
menyerahkan kedudukan Ciang Boen Jin kepada murid wanita turunan keempat, Cioe Cie
Jiak.
Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Sedang kepalanya masih pusing sebagai akibat
pengucapan sumpah yang berat itu, ia mendapat lain kekagetan hebat. Ia hanya mengawasi
sang guru dengan mulut ternganga dan mata membelalak.
“Cioe Cie Jiak, keluarkan tangan kirimu untuk menerima cincin besi sebagai tanda Ciang
Boen Jin dari partai kita, kata pula si nenek.
Bagaikan seorang linglung, si nona menyodorkan tangan kirinya dan sang guru segera
memasukkan cincin itu ke telunjuknya.
Sekarang baru Cie Jiak bisa membuka suara, “soehoe katanya dengan suara bergemetar,
teecoe masih sangat muda dan belum lama belajar ilmu, cara bagaimana teecoe bisa memikul
beban yang begitu berat? Soehoe jangan berkata begitu, dengan sesungguhnya teecoe tak
dapat… “ ia tak dapat meneruskan perkataannya dan sambil menangis ia memeluk kedua betis
gurunya.
Mendengar suara tangisan, Lok Thung Kek yang sudah sangat tidak sabaran, lantas saja
mengetuk pintu, “Hei! Apa belum beres? teriaknya.
“Jangan rewel! bentak Biat Coat. Ia mengawasi si murid dan berkata dengan suara
menyeramkan, “Cie Jiak, apakah kau membantah perintah gurumu? tanpa menunggu
jawaban, ia segera menyebutkan peraturan dan larangan bagi seorang Ciang Boen Jin Go Bie
Pay dan menyuruh murid itu menghafal larangan tersebut.
Nona Cioe jadi makin bingung. Dengan air mata bercucuran, ia berkata, “soehoe, teecoe….
Sungguh-sungguh…. Tak…. Sanggup… “
“Cie Jiak! bentak si nenek dengan gusar. “Apa benar-benar kau mau membantah perintahku?
Seorang murid yang melawan kemauan guru adalah murid yang menghina guru, tapi
meskipun suaranya keras hatinya sedih seperti tersayat pisau. Ia merasa kasihan terhadap
muridnya itu. Ia bakal segera meninggalkan dunia ini dan secara mendadak ia menaruh beban
seberat itu di atas bahu seorang wanita muda yang lemah. Memang mungkin sekali Cie Jiak
tidak menunaikan tugasnya secara memuaskan. Akan tetapi ia tahu, bahwa diantara muridmurid
Go Bie Pay, nona Cioe-lah yang paling cerdas otaknya. Demi kepentingan dan
kemakmuran Go Bie Pay, hanyalah dia seorang yang pantas menjadi Ciang Boen Jin. Ia dapat
membayangkan, bahwa sesudah ia pulang ke alam baka, murid kecil itu akan menghadapi
macam-macam kesukaran dan penderitaan. Mengingat begitu, bukan main rasa dukanya.
Dengan kedua tangan ia membangunkan Cie Jiak yang lalu dipeluknya. “Cie Jiak, katanya
dengan suara lembut. “kau dengarlah, bahwa aku sudah menyerahkan kedudukan Ciang Boen
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 986
Jin kepadamu dan bukan salah seorang dari para kakak seperguruanmu adalah bukan karena
aku memilih kasih. Sebab musababnya ialah seorang Ciang Boen Jin partai kita harus
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi yang dapat bersaing dengan lain-lain partai.
“tapi soehoe, kata Cie Jiak. “ilmu silat teecoe kalah jauh dari para suci.
Biat Coat tersenyum, “kepandaian mereka sangat terbatas, katanya. “Sesudah mencapai batas
tertentu, mereka sukar bisa maju lebih jauh. Inilah soal bakat yang tak dapat diubah dengan
tenaga manusia. Biarpun sekarang ilmu silatmu masih kalah jauh dari para sucimu, tapi di hari
kemudian kepandaian yang bakal dimiliki olehmu tak dapat diukur bagaimana tingginya,
Hm… tak dapat diukur bagaimana tingginya.
Dalam bingungnya. walaupun mendengar, Cie Jiak tak bisa menangkap maksud perkataan
sang guru.
Sesaat kemudian Biat Coat mendekati muridnya dan berbisik di kuping si nona. “kau
sekarang Ciang Boen Jin partai kita dan adalah kewajibanku untuk memberitahukan suatu
rahasia besar kepadamu. Couwsoe pendiri partai kita ialah Kwee Liehiap, puteri kedua Tay
Hiap Kwee Ceng. Pada waktu tentara goan merampas kota Siang Yang, dalam peperangan
yang sangat hebat, Kwee Tayhiap gugur untuk nusa dan bangsa. Sebelum melepaskan
napasnya yang penghabisan, ia memberitahukan rahasia besar ini kepada Couwsoe Kwee
Liehiap. Pada jaman itu, nama Kwee Tayhiap menggetarkan seluruh dunia. Ia memiliki dua
rupa ilmu yang sangat istimewa, pertama ilmu perang dan kedua ilmu silat. Isteri Kwee
Tayhiap adalah Oey Yong, Oey Liehiap seorang wanita yang pintar luar biasa. Siang-siang ia
sudah menduga, bahwa kota Siang Yang pasti akan dirampas oleh tentara goan yang sangat
kuat. Kedua suami isteri itu telah mengambil keputusan untuk membalas budi negara dengan
mengorbankan jiwa. Inilah keputusan yang biasa diambil oleh kesatria-kesatria yang bersetia
kepada negara. Tapi bukankah sayang sekali apabila dua rupa ilmu Kwee Tayhiap turut
menjadi musnah? Apapun Oey Liehiap sudah menduga, bahwa orang mongol akan menguasai
Tiongkok dan hal itu pasti akan menimbulkan rasa penasaran dalam hati segenap bangsa Han.
Disatu waktu bangsa Han tentu akan memberontak untuk menggulingkan pemerintah
penjajahan. Pemberontakan itu akan merupakan peperangan hebat. Manakala saatnya tiba,
maka kedua ilmu Kwee Tayhiap akan berguna besar, Oey Liehiap merundingkan hal ini
dengan suaminya. Akhirnya mereka mengambil suatu keputusan. Ia mengundang tukang yang
pandai betul dalam pembuatan senjata. Tukang itu melebur Hian Tiat Kiam, milik Yo Ko Tay
Hiap, dan dengan menambahkannya dengan emas murni dari daerah barat, ia membuat Ie
Thian Kiam.
Cie Jiak terkejut, ia mengenal Ie Thian Kiam dan sudah lama ia mendengar nama To Liong
To. Tapi baru sekarang ia mengetahui sejarah kedua senjata mustika itu.
Biat Coat melanjutkan penuturannya. “Dengan menggunakan waktu sebulan, Oey Liehiap dan
Kwee Tayhiap menulis ilmu perang dan ilmu silat yang kemudian disembunyikan dalam
pedang dan golok itu. Yang disembunyikan di dalam To Liong To adalah ilmu perang. Golok
itu dinamakan To Liong. Nama itu mengandung arti bahwa di kemudian hari, orang bisa
mendapatkan kitab ilmu perang di dalam golok tersebut harus mengusir Tat Coe dan
membunuh kaisar Tat Coe. Yang disembunyikan di dalam Ie Thian Kiam ialah kitab ilmu
silat, antaranya yang paling berharga adalah Kioe Im Cin Keng dan Hang Liong Sip Pat
Ciang. Kedua suami isteri mengharap, supaya di belakang hari, orang yang mendapatkannya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 987
bisa berbuat kebaikan terhadap sesama manusia, bisa menumpas kejahatan dan menolong
rakyat.
“Sesudah pembuatan pedang dan golok mustika itu selesai. Oey Liehiap menyerahkan To
Liong To kepada Kwee Kong (paduka Kwee) Poh Louw dan Ie Thian Kiam kepada Kwee
Couw Soe. Tak usah dikatakan lagi, Kwee Couw Soe telah mendapat pelajaran ilmu silat dari
ayah dan ibunya, sedang Kwee Kong Poh Louw mendapat pelajaran ilmu pedang dari kedua
orang tuanya. Tapi Kwee Kong Poh Louw gugur bersama-sama ayah dan ibunya. Bakat Kwee
Couw Soe tidak sesuai dengan pelajaran ilmu silat dari ayahandanya. Maka itulah sebabnya
mengapa ilmu silat partai kita berbeda dari ilmu silat Kwee Tayhiap.
Dari para kakek seperguruannya, Cie Jiak memang sudah mendengar cara bagaimana
berbagai partai persilatan berebut To Liong To, sehingga belakang mereka naik ke Boe Tong
dan sebagai akibatnya, kedua orang tua Boe Kie sampai membunuh diri. Sekarang baru ia
tahu, bahwa pedang dan golok itu mempunyai sangkut paut yang sangat rapat dengan Go Bie
Pay.
Sementara itu, Biat Coat Soethay melanjutkan penuturannya. “selama kurang lebih seratus
tahun, di dalam rimba persilatan timbul gelombang hebat. Beberapa kali, pedang dan golok
itu menukar majikan. Belakangan orang hanya tahu, bahwa To Liong To adalah “Boe Lim
Cie Coen (yang termulia dalam rimba persilatan) dan yang dapat menandinginya hanyalah Ie
Thian Kiam, tapi orang tak tahu mengapa golok itu dipandang sebagai “Boe Lim Cie Coen
Kwee Kong Poh Louw mati muda. Ia tak punya keturunan dan tak punya murid yang bisa
mewarisi kepandaiannya dan rahasia besar itu. Maka itulah, hanya Couw Soe seorang yang
tahu rahasia itu. Selama hidupnya, Couw Soe telah beruasaha sekuat tenaga untuk mencari To
Liong To, tapi semua usahanya tinggal sia-sia.
Pada waktu mau meninggal dan CouwSoe telah memberitahukan rahasia ini kepada Insoe
(guruku yang besar badannya) It Ceng SoeThay. Insoe adalah seorang yang sangat mulia dan
lemas hatinya. Ia mempunyai seorang murid durhaka. Belakangan bukan saja To Liong To
tidak dicari, bahkan Ie Thian Kiam dicuri oleh soecieku itu yang mempersembahkannya
kepada kaisar Goan. Insoe sangat berduka dan mati mereras. Sebelum menutup mata, ia juga
memerintahkan supaya aku mengambil pulang kedua senjata mustika itu.
“Ah, kalau begitu teecoe mempunyai seorang soepeh yang kurang baik. Kata Cie Jiak.
Paras muka Biat Coat lantas saja berubah dingin bagaikan es. “Kau masih memanggil Soepeh
kepada manusia pengkhianat itu? katanya dengan suara gusar.
Si nona menundukkan kepalanya dan tidak berani menjawab.
“Akhirnya murid pengkhianat itu tidak terlolos dari tanganku. Kata pula Biat Coat. “Karena
hatinya jahat, ilmu silatnya tak terlalu tinggi. Kau boleh merasa bangga bahwa gurumu tak
menyia-nyiakan pesan Soecouw-mu. Pada akhirnya aku berhasil membersihkan rumah tangga
kita. (membersihkan rumah tangga kita berarti menyingkirkan kejahatan dalam kalangan
sendiri)
“Membersihkan rumah tangga kita? menegas si nona.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 988
Paras muka Biat Coat berkelebat sinar kebanggaan dan kekejaman. “Benar, katanya dengan
suara angkuh. “Di kaki gunung Gak Louw San, di daerah kota Tiang See, aku menyandak
manusia durhaka itu dan dengan pukulan Pwee Hoa Pwee Yan (bukan bunga, bukan asap) aku
menikam jantungnya. Dahulu, dialah orang yang mengajarkan pukulan itu. Dia pernah
mengejek diriku dengan mengatakan, bahwa seumur hidup, aku tidak akan bisa menggunakan
pukulan tersebut. Pada malam itu, di bawah sinar rembulan, aku sebenarnya sudah bisa
mengambil jiwanya dalam dua ratus jurus.
Tapi sebab aku bertekad untuk membinasakannya dengan Pwee Hoa Pwee Yan, maka
sesudah bertempur kurang lebih tiga ratus jurus, barulah aku berhasil. Huh! Huh!... itulah
kejadian dua puluh tahun berselang.
Cie Jiak bergidik. Entah mengapa, di dalam lubuk hatinya muncul perasaan kasihan terhadap
soepeh yang berkhianat itu.
Tiba-tiba Lok Thung Kek memukul-mukul pintu. “Hei! Sudah beres belum? teriaknya. “aku
tidak bisa menunggu lagi.
“Tak lama lagi, sahut Biat Coat. “kau tunggulah. Sesudah itu, ia berkata lagi di kuping
muridnya. “Waktu sudah mendesak, kita tak dapat membicarakan lagi hal yang penting.
Belakangan, Ie Thian Kiam dihadiahkan kepada Jie Lam Ong oleh kaisar Goan. Aku berhasil
mencurinya dari gedung raja muda itu. Hanya sungguh sayang, aku terjebak dan pedang itu
jatuh ke tangan Mo Kauw.
“Bukan, membantah si murid. “Ie Thian Kiam dirampas oleh Tio Kouw Nio.
Biat Coat mendelik. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia berkata. “Apa kau tidak tahu
bahwa perempuan she Tio itu adalah kawannya si Kauw Coe Mo Kauw? Apa sampai pada
detik ini kau masih tidak percaya perkataan gurumu?
Nona Cioe memang tidak percaya, tapi ia tidak berani membantah lagi.
“Cie Jiak, kau dengarlah, kata pula sang guru. “Dalam memilih kau sebagai Ciang Boen Jin,
gurumu mempunyai suatu maksud yang dalam. Aku jatuh ke dalam tangan orang jahat,
sehingga nama besarku yang didapat selama puluhan tahun musnah laksana disapu air. Aku
sendiri memang tak sudi keluar dari menara ini dengan masih bernapas, penjahat cabul she
Thio itu punya niatan tidak baik atas dirimu. Tapi menurut pendapatku, dia tidak akan
mengambil jiwamu. Sekarang aku memerintahkan kau untuk berlagak membalas cintanya dan
kemudian begitu mendapat kesempatan, kau rampas pedang Ie Thian Kiam. Golok To Liong
To ada di tangan Cia Soen, ayah angkat penjahat she Thio itu. Biar bagaimana jua pun, bocah
itu tidak akan membuka rahasia dimana adanya Cia Soen. Tapi di dalam dunia terdapat
manusia yang bisa memaksa dia mengambil golok tersebut.
Cie Jiak tahu, bahwa seorang manusai itu dimaksudkan dirinya sendiri. Ia kaget bercampur
malu, girang bercampur takut.
“Orang itu adalah kau sendiri, kata pula sang guru. Aku memerintahkan kau mengambil
pulang pedang dan golok mustika itu dengan menggunakan kecantikanmu. Aku tahu, tindakan
ini memang bukan tindakan seorang kesatria. Akan tetapi dalam usaha besar, orang tak perlu
menghiraukan soal-soal remeh. Cobalah kau pikir, Ie Thian Kiam berada dalam tangan si
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 989
perempuan She Tio, sedang To Liong To jatuh ke dalam tangan bangsat Cia Soen. Jahat
bertemu dengan jahat, pedang bertemu dengan golok. Apabila mereka berhasil mengambil
ilmu perang dan ilmu silat Kwee Tayhiap, betapa besar penderitaan umat manusia di kolong
langit ini. Disamping itu usaha mengusir penjahat Tat Coe pun akan menjadi lebih sukar lagi.
Cie Jiak, kutahu, bahwa beban yang ditaruh di atas pundakmu terlampau berat. Sebenarbenarnya
aku merasa tak tega untuk memerintahkan kau memikul yang berat itu. Tapi apakah
adanya maksud tujuan orang-orang seperti kita dalam mempelajari ilmu silat? Cie Jiak, demi
kepentingan rakyat di seluruh negeri, aku memohon kepada kau. Seraya berkata begitu, ia
berlutut di hadapan muridnya.
Tak kepalang kagetnya nona Cioe. Buru-buru iapun menekuk kedua lututnya dan berseru
dengan suara parau, “soehoe!... “
“Ssst! Perlahan sedikit, jangan sampai penjahat di luar mendengarkan pembicaraan kita. Apa
kau sudi meluluskan permintaanku? Sebelum kau meng-iya-kan aku, aku tidak akan bangun.
Cie Jiak merasa kepalanya puyeng. Dalam waktu sependek itu, gurunya telah mengeluarkan
tiga perintah sulit. Pertama, ia diperintah untuk mengangkat sumpah berat, bahwa ia tidak
akan mencintai Boe Kie. Kedua, ia diperintah menerima kedudukan Ciang Boen Jin dari Go
Bie Pay. Akhirnya ia diperintah memancing Boe Kie dengan kecantikannya untuk merampas
pulang To Liong To dan Ie Thian Kiam. Sebagai seorang wanita muda belia yang berarti
sangat lemah, ia sungguh-sungguh tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Kepalanya
berrputar, matanya berkunang-kunang, ia hampir pingsan. Cepat-cepat ia memejamkan kedua
matanya dan menggigit bibir untuk coba mempertahankan diri.
Tiba-tiba ia merasa bibirnya sakit dan ia membuka kedua matanya. Sang guru masih terus
berlutut. “Soehoe… bangunlah! katanya sambil menangis.
“Apakah kau sudi meluluskan permintaanku? tanya Biat Coat pula.
Dengan air mata mengucur, si nona menggut-manggutkan kepalanya.
Biat Coat mencekal pergelangan tangan muridnya erat-erat dan berbisik. “Sesudah merampas
pulang To Liong To dan Ie Thian Kiam, kau harus segera pergi ke tempat sepi, ke tempat
yang tak ada manusianya. Dengan sebelah tangan mencekal golok dan sebelah tangan
memegang pedang, kau harus mengerahkan tenaga dalam dan saling membacokkan kedua
senjata itu. Bacokan itu akan mematahkan atau memutuskan golok dan pedang dengan
berbareng. Sesudah itu, barulah kau bisa mengambil pit-kip (kitab) yang disembunyikan di
dalam kedua senjata itu. Cie Jiak, inilah cara satu-satunya untuk mengambil kedua kitab yang
berharga itu. Sampai disitu tamatlah riwayat To Liong To dan Ie Thian Kiam. Apa kau ingat
pesananku? walaupun berbicara dengan suara berbisik-bisik, paras muka Biat Coat angker
dan kereng.
Si murid mengangguk.
“Cara itu, cara yang diambil kedua pit-kit merupakan rahasia terbesar dari partai kita. Kata
pula sang guru. “Semenjak Oey Liehiap mewariskan tentang rahasia kitab ini kepada Kwee
SoeCouw, hanyalah Ciang Boen Jin dari partai kita yang mengetahuinya. To Liong To dan Ie
Thian Kiam adalah senjata mustika. Andaikata seseorang bisa memiliki kedua senjata itu
dengan berbareng, ia pasti tak akan berlaku begitu gila untuk merusakkan kedua-duanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 990
Sesudah memiliki kitab ilmu perang, kau harus mencari seorang pecinta negeri yang berhati
mulia untuk mewarisi kitab tersebut. Sebelum menyerahkannya, kau harus menyuruh dia
bersumpah, bahwa dengan segala usaha dan kepandaiannya, dia akan mencoba untuk
mengusir kaum penjajah. Kitab ilmu silat harus dipelajari olehmu sendiri. Dalam seluruh
penghidupannya, gurumu mempunyai dua angan-angan, yang pertama adalah mengusir Tat
Coe dan merampas pulang negara kita. Yang kedua adalah mengangkat derajat Go Bie Pay
sedemikian rupa sehingga partai kita berada di sebelah atas Siauw Lim , Boe Tong dan lain
partai. Sehingga partai kita menjadi partai yang paling terutama dalam rimba persilatan.
Kedua angan itu memang sukar tercapai. Tapi sekarang kita sudah melihat satu jalanan.
Apabila kau mentaati pesan gurumu, belum tentu kau tidak akan berhasil, di alam baka
gurumu akan merasa sangat berterima kasih terhadapmu.
Baru ia sampai di situ, pintu sudah digedor oleh Lok Thung Kek.
“Masuklah! kata Biat Coat.
Pintu terbuka, tapi yang masuk bukan Lok Thung Kek. Yang masuk adalah Kouw Touwtoo.
Biat Coat tidak menjadi heran. Baginya Lok Thung Kek atau Kouw Touwtoo tidak berbeda,
“Bawa anak itu keluar, katanya sambil mengibaskan tangan. Ia tidak mau muridnya
menyaksikan waktu ia membunuh diri. Karena khawatir si murid tidak dapat
mempertahankan diri.
Namun diluar dugaan Kouw Touwtoo mendekati dan berbisik: “telanlah obat pemunah ini.
Sebentar, kalau di luar suara ribut, kau harus turut menerjang keluar.
Biat Coat heran dan bingung. “Siapa tuan? tanyanya. “Mengapa tuan menyerahkan obat
pemunah kepadaku?
“Aku dari Kong Beng Yoe Soe dari Beng Kauw dan aku bernama Hoan Yauw. Aku berhasil
mencuri obat ini dan aku sengaja datang untuk menolong Soe Thay, jawabnya.
Darah si nenek lantas saja meluap. “Penjahat Mo Kauw! bentaknya. “Sampai saat ini kau
masih coba mempermainkan aku?
Hoan Yauw tertawa, “Baiklah! katanya. “Aku tak membantah anggapanmu. Apa kau
mempunyai nyali untuk menelannya? Begitu masuk di perut, racun ini akan memutuskan isi
perutmu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nenek menyambut bubuk yang diangsurkan kepadanya,
membuka mulut dan lalu menelannya.
“Soehoe… soehoe!... teriak Cie Jiak.
“Jangan ribut! bentak Hoan Yauw. “Kaupun harus menelan racun ini.
Si nona terkejut, tapi ia tak berdaya karena badannya sudah dipeluk dan mulutnya dibuka.
Dengan cepat, Hoan Yauw memasukkan bubuk obat dan menuang air ke dalam mulut si nona
sehingga obat pemunah itu lantas saja masuk ke dalam perut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 991
Tak kepalang gusarnya Biat Coat. Matinya Cie Jiak berarti musnahnya segala harapan.
Dengan kalap, ia menubruk Hoan Yauw, tapi sebab tak punya tenaga dalam, ia segera kena
dirobohkan.
“Semua pendeta Siauw Lim dan jago-jago Boe Tong sudah menelan racunku itu. Kata Hoan
Yauw sambil menyeringai. “Apa orang Beng Kauw manusia jahat atau manusia baik, kau
segera akan mengetahui. Seraya berkata begitu, ia melompat keluar dan mengunci pintu.
Ajakan Tio Beng untuk mencari Boe Kie sangat membingungkan Hoan Yauw. Bagaimana ia
dapat menunaikan tugas untuk merampas obat pemunah? Maka itu, setelah mendapat permisi
dari Tio Beng untuk minum arak di ruangan depan, ia segera kabur ke Ban Hoat Sie. Tanpa
membuang waktu, ia mendaki menara sampai ke lantai paling atas, dimana ia bertemu dengan
Yoe Liong Coe yang sedang menjaga di luar kamar sendiri.
Melihat Hoan Yauw, Yoe Liong Coe menyambut dengan hormat, “Kouw Touwtoo, katanya
sambil membungkuk.
Hoan Yauw manggut-manggutkan kepalanya. “Kurang ajar si tua bangka, katanya di dalam
hati. “Muridnya disuruh menjaga di luar, sedang dia sendiri bercinta-cintaan dengan selir Ong
Ya. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini.
Ia melangkah berjalan melewati Yoe Liong Coe dan tiba-tiba, secepat kilat, jari tangannya
menotok jalan darah di kempungan murid kepala Lok Thung Kek. Jangankan Yoe Liong Coe
tidak berwaspada, sekalipun siap sedia, belum tentu ia bisa meloloskan diri dari totokan Hoan
Yauw. Begitu tertotok, badannya tak bisa bergerak lagi dan ia mengawasi si pendeta dengan
mata membelalak. Kedosaan apa yang sudah diperbuatnya? Apakah ia berlaku kurang
hormat?
Hoan Yauw segera mendobrak pintu dan melompat ke dalam. Sebelum kakinya hinggap di
lantai, tangannya menghantam tubuh yang berbaring di ranjang. Ia tahu, bahwa Lok Thung
Kek berkepandaian tinggi dan kalau ia tidak membokong dengan pukulan yang
membinasakan, ia harus melakukan pertempuran lama dan belum tentu ia bisa menang. Maka
itu, dalam pukulan itu, ia menggunakan seantero tenaganya.
“Buk! kasur pecah dan kapas berhamburan. Tapi waktu membuka kasur, ia kaget, sebab ia
hanya melihat sesosok tubuh, yaitu Han Kie yang sudah binasa dengan mengeluarkan darah
dari hidung dan mulutnya. Lok Thung Kek sendiri tak kelihatan bayangan-bayangannya.
Setelah memikir sejenak, buru-buru Hoan Yauw keluar dan menyeret masuk Yoe Liong Coe
yang kemudian digulingkan masuk ke kolong ranjang. Sesudah itu, ia merapatkan pintu dan
menunggu.
Beberapa saat kemudian, ia mendengar teriakan Lok Thung Kek. “Liong Jie! Liong Jie!
panggilnya dengan suara gusar.
“Kemana kau?
Sebagaimana diketahui, si kakek telah dijemur Biat Coat. Dengan mendongkol, ia menunggu
di luar kamar. Karena tak tahu sampai kapan si nenek baru selesai bicara dengan muridnya, ia
segera mengambil keputusan untuk menengok Han Kie dan sebentar kembali lagi. Setibanya
di depan kamar Yoe Liong Coe, ia marah besar karena murid itu tak mentaati perintahnya. Ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 992
menolak pintu. Hatinya agak lega karena di dlam kamar tak terjadi perubahan dan si cantik
masih berbaring di ranjang dengan tubuh tertutup kasur. Setelah menapal pintu, ia berkata
sambil tertawa, “Nona cantik, aku akan membuka jalan darahmu. Tapi aku mengharap kau tak
mengeluarkan suara. Seraya berkata begitu, ia memasukkan tangannya ke bawah kasur untuk
menotok punggung Han Kie.
Mendadak, mendadak saja, ia merasa pergelangan tangannya dicengkeram dengan jari-jari
tangan yang keras bagaikan besi dan berbareng tenaganya habis. Kasur tersingkap dan dari
bawah kasur keluar seorang pendeta rambut panjang, Kouw Touwtoo!
Dengan tangan kanan mencekal pergelangan tangan si kakek, Hoan Yauw segera menotok
sembilan belas hiat utama sekujur badan Lok Thung Kek, sehingga jago itu benar-benar tidak
berdaya lagi dan hanya bisa mengawasi musuh dengan mata melotot.
Sambil menuding hidung si kakek, Hoan Yauw berkata, “tua bangka! Aku tak pernah
mengubah she atau menukar nama. Aku adalah Kong Beng Yoe Soe dari Beng Kauw, Hoan
Yauw namaku. Kau sudah kena ditipu olehku dan Cuma-Cuma saja kau selalu
membanggakan diri sebagai manusia yang pintar dan cerdas. Sebetulnya kau tak lebih dan tak
kurang daripada manusia goblok. Kalau kini aku akan membunuhmu, aku mengampuni
jiwamu, jika kau mempunyai nyali, di belakang hari kau boleh mencari Hoan Yauw untuk
membalas sakit hatimu. Sebab kuatir Lok Thung Kek berhasil membuka jalan darahnya
dengan jalan menggunakan Lweekang sendiri. Sesudah berkata begitu, ia menghantam kaki
tangan si kakek sehingga tulang-tulangnya patah. Hoan Yauw adalah seorang anggota Beng
Kauw yang masih memiliki Sia Khie (sifat-sifat sesat) Sesudah mematahkan tulang si kakek,
ia masih belum merasa puas. Sambil menyeringai, ia membuka pakaian Lok Thung Kek dan
merendengkannya dengan mayat Han Kie kemudian menggulung dua sosok tubuh itu. Satu
manusia hidup, dan satu mayat dengan satu kasur. Sesudah itu, barulah ia mengambil kedua
tongkat Lok Thung Kek, membuka salah sebuah cabang tanduk menjangan dan menuang
semua obat pemunah. Dengan hati gembira, dia segera pergi ke berbagai kamar tahanan dan
membagi obat kepada Kong Boen Taysoe, Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, dan yang lainlain.
Dalam memberi pertolongan, beberapa kali ia harus menerangkan secara panjang lebar
kepada orang-orang yang bersangsi, sehingga ia harus menggunakan waktu banyak sekali.
Kamar yang paling akhir dikunjungi ialah kamar Biat Coat Soethay. Melihat sikap si nenek, ia
sengaja mengeluarkan kata-kata yang membangkitkan hawa amarah. Dengan berbuat begitu,
hatinya senang, sebab pada hakikatnya ia membenci pemimpin Go Bie Pay itu yang pernah
membinasakan banyak anggota Beng Kauw.
Tapi baru saja tugasnya selesai dan hatinya tergirang-girang, sekonyong-konyong di kaki
menara terdengar teriakan-teriakan ramai. Dengan kaget, ia mamasang kuping. Diantara suara
ramai-ramai itu, ia menangkap teriakan Ho Pit Ong. “Kouw Touwtoo mata-mata musuh!
Tangkap! Tangkap dia!
Hoan Yauw mengeluh. “Celaka! Siapa yang menolong bangsat itu? ia menengok ke bawah
dan melihat, bahwa menara itu sudah dikurung oleh Ho Pit Ong dan sejumlah besar boesoe.
Hampir berbareng, dua batang anak panah yang dilepaskan oleh Soem Sam Hwie dan Lie Sie
Coei menyambar dirinya. “Bangsat! Hebat sungguh kau menyiksa kami! caci Soem Sam
Hwie.
Siapa yang menolong ketiga orang itu? Dengan totokan Hoan Yauw, tanpa ditolong tak
gampang mereka bisa menolong diri sendiri. Yang menolong adalah rombongan boesoe
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 993
(pengawal) yang mencari Han Kie. Sebagaimana diketahui, rombongan itu telah menanyakan
Lok Thung Kek, tapi diusir oleh si kakek. Sesudah mencari di seluruh Ban Hoat Sie usaha
mereka tetap sia-sia. Beberapa orang mencurigai Lok Thung Kek yang dikenal sebagai
seorang yang gemar akan paras cantik.
Tapi semua orang merasa jeri terhadap si kakek. Siapa yang berani menepuk kepala harimau?
Belakangan sebab kuatir dimarahi Ong Ya. Pemimpin rombongan yang bernama Ali Chewa
mendapat satu tipu. Ia memerintahkan seorang boesoe yang berkedudukan rendah untuk
mengetuk kamar Lok Thung Kek. Ia menganggap bahwa orang yang berkedudukan tinggi
akan berlaku kejam terhadap orang yang bukan tandingannya. Dengan memberanikan hati,
boesoe itu mengetuk pintu. Diluar dugaan, sesudah diketuk beberapa kali dari dalam tak ada
jawaban. Sesudah menunggu beberapa lama, Ali Chewa jadi nekat dan mendobrak pintu.
Begitu pintu terbuka, ia terkesiap karena melihat tiga sosok tubuh Ho Pit Ong, Soem Sam
Hwie, dan Lie Sie Coei yang tergeletak di lantai. Ketika itu, Ho Pit Ong sudah hampir
membuka jalan Darahnya sendiri. Dengan bantuan Ali Chewa, jalan darah yang tertotok
segera terbuka. Sesudah Soem Sam Hwie dan Lie Sie Coei tertolong, dengan kegusaran yang
meluap-luap Ho Pit Ong segera mengajak rombongan boesoe itu pergi ke menara dan
mengurungnya. Dari bawah, ia berteriak-teriak menantang Kouw Touwtoo untuk bertempur
sampai ada yang binasa.
“Bangsat tua! Apa kau kira Hoan Yauw takut terhadapmu? Hoan Yauw balas mencaci.
Didalam hati ia merasa bingung. Rahasianya sudah terbuka, tapi ia tak akan bisa melawan
musuh yang jumlahnya begitu besar, sedang anggota keenam partai yang baru saja menelan
obat dan belum pulih tenaga dalamnya. Untuk sementara waktu belum bisa memberikan
bantuannya.
“Tauw Too jahanam! Kalau kau tidak mau turun, akulah yang akan naik ke atas! teriak pula
Ho Pit Ong.
Tiba-tiba Hoan Yauw mendapat akal. Ia masuk ke kamar Yoe Liong Coe dan keluar pula
dengan membungkus tubuh Han Kie dan Lok Thung Kek. Sambil mengangkat kasur itu
tinggi-tinggi, ia berteriak, “Tua bangka, begitu kau bertindak masuk pintu menara, begitu aku
melemparkan tubuh lelaki dan perempuan cabul ini!
Para boesoe mengangkat obor dan lapat-lapat mereka bisa melihat muka Lok Thung Kek dan
Han Kie. Bukan main kagetnya Ho Pit Ong. “Soeko! Soeko! Bagaimana kau? teriaknya. Lok
Thung Kek tidak menyahut. Hati Ho Pit Ong mencelos. Ia menduga, bahwa kakak
seperguruannya telah dibinasakan Hoan Yauw. “Tauw Too bangsat! teriaknya bagaikan
kalap. “Kau sudah membinasakan kakakku, aku bersumpah tak akan hidup bersama-sama
dengan kau di dunia ini.
Mendengar itu, Hoan Yauw segera membuka ah-hiat (jalan darah yang mengakibatkan gagu)
si kakek yang lantas saja mencaci. “Tauw Too bangsat! Aku bersumpah mencincang badanmu
seperti perkedel!... “ Baru mencaci sampai di situ, ah-hiat sudah ditotok lagi.
Sesudah mendapat bukti bahwa soeheng-nya belum mati. Ho Pit Ong merasa lega dan demi
keselematan jiwa sang kakak. Ia tidak berani maju lebih jauh.
Untuk beberapa lama, Ho Pit Ong dan rombongan boesoe tidak berani bergerak. Hoan Yauw
sendiri tentus saja sebiswa mungkin ingin mempertahankan keadaan itu. Ia perlu mendapat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 994
waktu supaya tokoh-tokoh keenam partai yang baru mendapat obat keburu pulih tenaga
dalamnya. Sambil tertawa terbahak-bahak, ia berteriak.
“tua bangka she Ho! Sungguh besar nyali soehengmu. Dia berani menculik selir Ong Ya. Aku
sudah menangkap kedua-duanya. Tua bangka! Apa kau berani melindungi soehengmu yang
kotor itu? Ali Chewa Cong Koan, mengapa kau tak lantas membekuk tua bangka itu? Dia dan
kakaknya berdosa besar dan harus mendapat hukuman mati. Dengan membekuk dia, kau akan
mendapat hadiah besar.
Ali Chewa melirik Ho Pit Ong. Ia niat turun tangan, tapi ia merasa jeri kepada jago tua yang
berkepandaian tinggi itu. Di dalam hati, ia merasa heran Kouw Touwtoo tiba-tiba bisa bicara.
Ia tahu, bahwa kejadian itu mesti ada latar belakangnya. Tapi iapun tidak dapat mengabaikan
bukti yang nyata dan dengan mata kepala sendiri ia telah melihat Lok Thung Kek dan Han
Kie di dalam selembar kasur. Sesudah memikir sejenak, ia berseru, “Kauw Tay Soe, kau
turunlah! Mari kita pergi kepada Ong Ya supaya bisa memutuskan siapa yang salah siapa
yang benar. Kalian bertiga adalah Cianpwee yang berkedudukan tinggi. Terhadap siapapun
SiauwJin tidak berani bertindak.
Hoan Yauw adalah seorang pemberani. Ia segera menghitung-hitung untung ruginya usul Ali
Chewa. Ia merasa bahwa dengan menghadap Jie Lam Ong, ia bisa mengulur waktu sampai
tenaga dalam tokoh-tokoh keenam partai pulih kembali. Maka itu, ia lantas saja berteriak,
“Bagus! Bagus! Aku justru ingin minta hadiah, dari Ong Ya. Ali Cong Koan, tahanlah tua
bangka she Ho itu, jangan sampai dia kabur.
Tapi baru saja Hoan Yauw habis bicara, sekonyong-konyong terdengar suara tindakan kuda
yang sangat ramai dilain saat. Sejumlah penunggang kuda menerobos masuk ke pekarangan
kelenteng dan terus menghampiri menara.
Para boesoe serentak membungkuk dan berseru, “Siauw Ong Ya! (Siauw Ong Ya – Raja
Muda Kecil berarti putera Jie Lam Ong)
Hoan Yauw mengawasi ke bawah. Ia mendapat kenyataan bahwa yang mengepalai
rombongan itu adalah seorang pemuda yang mengenakan jubah sangat indah dengan topi
emas dan menunggang seekor kuda bulu putih yang kelihatannya sangat garang. Ia mengenali
bahwa pemuda itu bukan lain daripada kkt, alias Ong Po Po, putera Jie Lam Ong.
“Mana Han Kie? bentak pangeran muda “Hoe Ong marah besar, beliau memerintahkan aku
menyelidi sendiri.
Ali Chewa segera menerangkan bahwa Han Kie diculik Lok Thung Kek yang sekarang sudah
dibekuk Kouw Touwtoo.
“Dusta! teriak Ho Pit Ong. “siauw ong ya, Kouw Touwtoo mata-mata musuh dan dia telah
mencelakai soehengku…. “
Alis Ong Po Po berkerut, “Sudahlah, katanya, “Semua orang turun dan kita bisa bicara dengan
perlahan.
Sebagai seorang yang sudah berdiam lama di gedung raja muda. Hoan Yauw mengenal Ong
Po Po sebagai seorang yang cerdik dan pandai. Kepandaian pemuda itu bahkan melebihi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 995
ayahnya sendiri. Ia bisa mendustai orang lain, tapi tak mungkin mengelabui tuan muda itu.
Kalau ia turun, hampir boleh dipastikan rahasianya terbuka dan begitu lekas topengnya
tercopot, ia pasti akan dikepung. Satu Ho Pit Ong saja sudah sukar dilayani, apalagi begitu
banyak orang? Selain begitu, tokoh-tokoh keenam paratai juga sukar bisa ditolong lagi.
Sesudah memikir beberapa saat, ia lantas saja berteriak, “Siauw Ong Ya, Ho Pit Ong sangat
membenci aku, sebab aku sudah membekuk soehengnya. Kalau aku turun, dia tentu akan
membunuhku.
“Kau turunlah, aku tanggung Ho Sianseng tidak akan menyerang kau, kata Ong Po Po.
Hoan Yauw menggeleng-gelengkan kepalanya. “Disini lebih selamat, katanya. “Siauw Ong
Ya, selama hidup Kouw Touwtoo tidak pernah bicara. Hari ini karena terpaksa, aku membuka
mulut untuk membalas budi Ong Ya yang sangat besar dan untuk memperhatikan
kesetiaanku. Kalau kau tidak percaya, lebih baik aku melompat dari sini dan membenturkan
kepala di tanah supaya Siauw Ong Ya bisa membuktikan kesetiaanku.
Mendengar perkataan yang mencurigakan itu, Ong Po Po segera dapat menebak, bahwa si
pendeta sedang menjalankan siasat mengulur waktu, “Ali Cong Koan, bisiknya. “Kurasa ia
sedang menjalankan tipu dan mencoba untuk mengulur waktu. Apa kau tahu, siapa lagi yang
ditunggu olehnya?
“siauwjin tak tahu. Jawabnya.
“Siauw Ong Ya, penjahat itu telah merampas obat pemunah dari tangan soehengku, kata Ho
Pit Ong. “Ia mau menolong kaum pemberontak yang ditahan di menara.
Ong Po Po lantas saja tersadar. “Kouw Touwtoo! teriaknya, “aku tahu kau sangat berjasa,
turunlah! Aku akan memberi hadiah besar untukmu.
“Siauw Ong Ya,aku tidak bisa jalan. “aku kena ditendang Lok Thung Kek dan kedua tulang
betisku patah. Tunggulah sebentar, aku akan mengerahkan lweekang untuk mengobati lukaku.
Begitu lekas aku bisa berjalan, aku pasti akan segera turun.
“Ali Cong Koan! bentak pangeran itu. “Kirim seseorang naik ke atas untuk memapah Kouw
Tay soe.
“Tidak bisa! teriak Hoan Yauw. “Kalau badanku bergerak, kedua kakiku tak akan bisa
digunakan lagi.
Sekarang Ong Po Po tidak bersangsi lagi. Ia menarik kesimpulan, bahwa pendeta itu seorang
musuh yang berselimut. Sesudah Han Kie dan Lok Thung Kek berada dalam satu kasuran.
Andaikata mereka tidak main gila, ayahnya tentu tak akan menerima selir itu. Maka itu, ia
lantas saja berkata dengan suara perlahan, “Ali Cong Koan, bakar menara itu dan siapkan
sepasukan pemanah. Binasakan setiap orang yang melompat turun.
Ali Chewa membungkuk dan segera menjalankan perintah itu. Dalam sekejab, menara itu
sudah dikurung oleh para boesoe yang bersenjata gendewa dan anak panah, sedang sejumlah
boesoe lainnya mengambil rumput kering, kayu serta bahan api.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 996
Ho Pit Ong kaget tak kepalang, “Siauw Ong Ya, katanya dengan suara bingung. “Kakakku
berada di atas.
Tauw Too itu tidak bisa dibiarkan berdiam di atas selama-lamanya. Kata Ong Po Po dengan
suara tawar. “Begitu lekas kaki menara dibakar, ia akan turun sendiri.
“bagaimana kalau dia melemparkan Soehengku ke bawah? tanya Ho Pit Ong. “Siauw Ong
Ya, janganlah membakar.
Ong Po Po hanya mengeluarkan suara di hidung dan tidak meladeninya.
Tak lama kemudian para boesoe sudah menumpuk rumput dan kayu kering di seputar menara
dan lalu mulai menyulutnya.
Ho Pit Ong adalah seorang ternama besar dalam rimba persilatan. Dengan mendapat
undangan yang disertai segala kehormatan ia bekerja kepada Jie Lam Ong dan selama banyak
tahun ia dihormati oleh majikan dan rekan-rekannya. Siapa duga hari ini, ia bukan saja ditipu
oleh Kouw Touwtoo, tapi juga sudah tidak dipandang sebelah mata oleh Ong Po Po Karena
kakaknya sedang menghadapi bahaya, ia menjadi kalap. Tanpa memperdulikan suatu apa lagi,
sambil mengangkat kedua pitnya yang berbentuk patuk burung ho, ia melompat dan
menendang dua orang boesoe yang tengah menyulut tumpukan kayu. Hampir berbareng,
kedua boesoe itu terpental dan roboh di tanah.
“Ho Sianseng! Bentak Ong Po Po. “apa kau mau mengacau?
“Aku takkan mengacau, jika kau tak membakar menara, jawabnya.
“Bakar! teriak Ong Po Po dengan gusar. Seraya membentak, ia mengibaskan tangan kirinya.
Hampir berbareng dari belakang pangeran muda itu melompat keluar lima orang Hoan ceng
yang mengenakan baju merah. Mereka mengambil obor dari lima boesoe dan lalu menyulut
tumpukan kayu. Perlahan-lahan api berkobar-kobar.
Ho Pit Ong bingung bukan main. Dari tangan seorang boesoe, ia merampas sebatang tombak
yang lalu digunakan untuk memukul-mukul api.
Ong Po Po naik darah, “Tangkap! bentaknya.
Kelima Hoan Ceng baju merah itu lantas saja menghunus golok dan mengurung. Ho Pit Ong
melemparkan tombaknya dan coba merampas golok hoan Ceng yang berdiri di sudut kiri.
Tapi pendeta itu bukan sembarang orang. Dengan sekali membalik tangan, ia mengegos
sambaran tangan Ho Pit Ong dan terus membacok. Baru saja Ho Pit Ong berkelit, dua golok
sudah menyambar pula punggungnya.
Kelima Hoan Ceng (pendeta asing) itu adalah orang-orang kepercayaan Ong Po Po dan
mereka termasuk di dalam Thian Liong Sip Pat Po (delapan belas jago Thian Liong) Pemuda
itu suka sekali pesiar seorang diri dengan menunggang kuda. Tapi kemanapun ia pergi, dari
sebelah kejauhan ia selalu diikuti oleh delapan pengawal pribadinya. Thian Liong Sip Pat Po
terdiri dari Ngo To, Ngo Kiam, Sie Thung, dan Sie Poa (lima golok, lima pedang, empat
tongkat, dan empat cecer) Lima Hoan ceng yang bersenjata adalah Ngo To Sin (malaikat lima
golok) biarpun lihai kalau satu lawan satu, mereka bukan tandingan Ho Pit Ong. Tapi dengan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 997
bekerja sama, mereka telah membuat Ho Pit Ong jadi ripu sekali. Tapi keteternya si tua
sebagian disebabkan oleh rasa bingungnya dalam memikirkan nasib kakak seperguruannya.
Sesudah Ho Pit Ong dirintangi oleh kelima Hoan Ceng, sejumlah boesoe segera bantu
menyalakan api yang makin lama jadi makin besar.
Melihat musuh menggunakan api, Hoan Yauw bingung bercampur kuatir. Sesudah menaruh
kasur yang membungkus Lok Thung Kek dan hk di lantai, buru-buru ia masuk ke beberapa
kamar tahanan. “Tat Coe membakar menara! teriaknya, “apa lweekang kalian sudah pulih
kembali?
Tapi teriakannya tidak mendapat jawaban. Ia mendapat kenyataan bahwa Song Wan Kiauw,
Jie Lian Cioe, dan yang lain-lain sedang bersemedi. Mereka semua memejamkan mata dan
tidak memberi jawaban. Hoan Yauw tahu bahwa mereka berada pada detik yang sangat
penting yaitu detik menjelang pulihnya tenaga dalam mereka.
Sementara sejumlah boesoe yang menjaga di beberapa lantai telah dirobohkan dan dilontarkan
ke bawah oleh Hoan Yauw sehingga mereka binasa seketika. Juga ada penjaga yang
melompat turun sendiri.
Tak lama kemudian api sudah membakar lantai ketiga. Yang dikurung di lantai ini adalah
rombongan Hwa San Pay yang terpaksa lari ke lantai empat. Api terus membakar keras.
Orang-orang Khong Tong Pay yang ditahan di lantai keempat juga terpaksa naik ke lantai
lima bersama-sama rombongan Hwa San Pay.
Makin lama Hoan Yauw jadi makin bingung. Sekonyong-konyong mereka mendengar
teriakan seseorang. “Hoan Yoe Soe! Sambutlah!
Hoan Yauw girang. Itulah teriakan Wie It Siauw yang berdiri di atas wuwungan gedung
belakang Ban Hoat Sie. Dengan sekali menghuyun tangan, terbanglah seutas tambang yang
lalu disambut Hoan Yauw. “Ikatlah dilainkan supaya menjadi jembatan tambang! teriak pula
Wie Hok Ong.
Tapi baru saja Hoan Yauw mengikat tambang itu, Tio It Siang salah seorang dari Sin Cian Pat
Hiong sudah memutuskannya dengan anak panah. Wie It Siauw dan Hoan Yauw mencaci
kalang kabut, tapi mereka tahu, bahwa tak guna mencobanya lagi. “Bangsat! Kau sungguh
sudah bosan hidup! teriak Wie It Siauw seraya menghunus senjata dan melompat turun. Ia
menggunakan sepasang gaetan berbentuk kepala harimau yang jarang sekali digunakan
kecuali dalam detik-detik berbahaya. Begitu kakinya hinggap di bumi. Lima Hoan Ceng yang
berbaju hijau dan bersenjata pedang lantas saja mengepungnya. Kelima pendeta asing itu ialah
Ngo Kiam Ceng dari Thian Liong Sip Pat Po.
Sedang api terus berkobar-kobar, dengan rasa bingung Ho Pit Ong bertempur mati-matian.
“Siauw Ong ya! teriaknya. “Kalau kau tak mau memadamkan api, aku takkan berlaku
sungkan lagi terhadapmu.
Ong Po Po tidak meladeninya. Empat Hoan yang bersenjata tongkat lantas berdiri di seputar
majikan mereka untuk menjaga serangan di luar dugaan. Ho Pit Ong jadi nekat. Tiba-tiba
dengan kedua pit, ia membabat dengan pukulan Hoang Siauw Cian Koen(menyapu ribuan
tentara) karena serangan itu hebat luar biasa, tiga hoan ceng terpaksa melompat mundur.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 998
Dengan menggunakan kesempatan itu, Ho Pit Ong melompat tinggi dan bagaikan seekor
elang, kedua kakinya hinggap di payon lantai menara tinggi yang pertama itu. Melihat api
yang berkobar-kobar, kelima pendeta asing itu tidak berani mengejar.
Sambil mengempos semangat, Ho Pit Ong naik ke atas. Waktu ia tiba di lantai keempat, Hoan
Yauw yang berdiri di lantai ke tujuh, mengangkat kasur tinggi-tinggi sambil berteriak, “tua
bangka she Ho, berhenti kau! Kalau kau maju setindak lagi, badan soehengmu akan hancur
bagaikan perkedel.
Diancam begitu, benar-benar Ho Pit Ong memberhentikan semua tindakannya. “Kouw Thay
Soe! teriaknya dengan suara memohon. “Soehengku belum pernah berbuat kedosaan
terhadapmu dan kita belum pernah bermusuhan, mengapa kau begitu kejam? Kalau kau mau
menolong kecintaan Biat Coat Soethay, dan puterimu Cioe Kouw Nio, kau boleh menolong.
Kami pasti takkan menghalang-halangi.’
Sekarang marilah kita menengok Biat Coat Soethay. Setelah menelan bubuk yang diberikan
Hoan Yauw, ia menduga bahwa ia akan segera mati. Ia tidak takut mati. Yang membuat
perasaannya berduka ialah turut matinya Cioe Cie Jiak. Dengan matinya murid itu, habislah
harapannya. Selagi berada dalam kedukaan besar, sekonyong-konyong ia mendengar suara
ribut-ribut di kaki menara disusul dengan caci mencaci antara Kouw Touwtoo dan Ho Pit
Ong. Sesudah itu, Ong Po Po memerintahkan dibakarnya menara. Semua kejadian itu
didengar jelas olehnya. Ia merasa heran dan berkata di dalam hati. “apa tak bisa jadi touwtoo
bangsat itu benar-benar menolong aku? sambil memikir begitu, ia mencoba mengerahkan
tenaga dalamnya. Sekonyong-konyong ia merasakan naiknya seperti hawa hangat dari bagian
tan-tian (pusar). Ia terkesiap. Inilah tanda bahwa tenaga dalamnya mulai pulih.
Dengan wataknya yang sangat keras. Biat Coat menolak untuk memperlihatkan
kepandaiannya di hadapat Tio Beng dan telah mogok makan enam tujuh hari sehingga
perutnya kosong. Karena perut kosong, obat pemunah bisa bekerja lebih cepat. Berkat
lweekangnya yang sangat kuat maka racun Sip Hian Joan Kin san segera terdorong ke luar.
Inilah sebabnya mengapa begitu lekas ia mengerahkan tenaga dalam, hawa hangat lantas saja
naik ke atas. Tak kepalang girangnya si nenek. Cepat-cepat ia bersila dan mengatur jalan
napasnya. Belum cukup setengah jam, kira-kira separuh lweekangnya sudah pulih kembali.
Sambil bersemedi, ia terus memasang kuping. Mendadak ia mendengar perkataan Ho Pit Ong
yang tajam bagaikan pisau, “… kalau kau menolong kecintaanmu, Biat Coat Soethay, dan
puterimu, Cioe Kouw Nio, kau boleh menolong…. “
Biat Coat adalah gadis yang putih bersih. Di waktu masih muda ia bahkan tidak pernah
menemui orang lelaki. Dengan demikian dapatlah dibayangkan betapa besar kegusarannya.
Dengan mata merah, ia berbangkit dan menghampiri lankan. “Bangsat! Apa kau kata?
teriaknya.
“Toosoethay, Ho Pit Ong berkata dengan suara memohon. “bujuknya… sahabatmu.
Lepaskanlah soehengku. Aku tanggung keluargamu yang terdiri dari tiga orang akan bisa
keluar dari kelenteng ini dengan selamat. Hian Beng Jie Loo tidak pernah menjilat ludah
sendiri.
“Apa itu keluarga dari tiga orang? teriak pula Biat Coat .
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 999
Walaupun tengah menghadapi bencana Hoan Yauw tertawa terbahak-bahak. “Loo Soethay!
teriaknya, “dia mengatakan bahwa aku adalah kecintaanmu dan Cioe Kouw Nio adalah puteri
kita berdua.
Paras muka si nenek berubah merah padam. Dengan disoroti sinar api, muka itu sungguh
menakuti. “penjahat she Ho! bentaknya. “Naik kau! Mari kita bertempur sampai ada yang
mampus!
Di waktu biasa, Ho Pit Ong pasti akan segera menyambut tantangan itu. Sedikitpun aku tidak
merasa takut terhadap Ciang Boen Jin Go Bie Pay. Tapi sekarang kakaknya berada dalam
tangan musuh dan ia tidak berani mengubar napsu amarahnya.
“Kouw Touwtoo, itulah keterangan yang diberikan olehmu sendiri, katanya.
Hoan Yauw kembali tertawa besar. Baru saja ingin mengejek si nenek, di kaki menara
terdengar suara ribut yang sangat hebat. Cepat-cepat ia melongok ke bawah. Diantara musuh
diringi suara gemerencengnya senjata-senjata yang jatuh di tanah. Orang itu Kauw Coe Thio
Boe Kie.
Begitu lekas Boe Kie turun tangan, lima batang pedang dari kelima hc yang mengurung Wie
It Siauw lantas saja terpental ke tengah udara. Wie Hok Ong girang tak kepalang. Dengan
sekali melompat, ia sudah berada di samping Boe Kie dan berbisik, “Kauw Coe, aku mau
pergi ke gedung Jie Lam Ong untuk melepas api. Boe Kie mengerti maksudnya dan segera
mengangguk. Ia tahu, bahwa dengan beberapa orang kalau pihaknya tidak berhasil dalam
waktu cepat, musuh segera mengirim bala bantuan maka usaha menolong tokoh-tokoh
keenam paratai bisa gagal semua. Didalam hati, ia memuji siasat Ceng Ek Hok Ong yang
sangat lihai. Begitu lekas Ong Hoe kebakaran, para boesoe pasti akan buru-buru pulang untuk
melindungi keluarga raja muda itu. Dilain saat, dengan sekali berkelabat, Wie Hok Ong sudah
berada di atas tembok kelenteng yang tinggi.
Sesudah Wie It Siauw berlalu. Boe Kie menengadah dan berteriak, “Hoan Yoe Soe,
bagaimana kau?
“Celaka besar! jawabnya, “Jalanan turun terputus, aku tidak dapat meloloskan diri lagi!
Sesaat itu, empat belas anggota Thian Liong Sip Pat Po serentak menerjang dan mengepung
Boe Kie dari berbagai jurusan. Melihat jumlah musuh yang sangat besar, pemuda itu
berpendapat bahwa jalan satu-satunya adalah membekuk pemimpin rombongan yang
memakai topi emas untuk memaksa dia memadamkan api. Dengan sekali melompat, ia sudah
menoblos dari kepungan bagaikan gerakan seekor ikan. Dilain saat dia sudah berhadapan
dengan Ong Po Po. Tapi sebelum ia sempat bergerak, sebatang pedang menyambar dadanya.
“Thio Kauw Coe, jangan lukai kakakku! kata orang yang menikam yang bukan lain daripada
Tio Beng. Sambaran pedang itu disertai dengan hawa yang sangat dingin dan Boe Kie tahu,
bahwa ia berhadapan dengan Ie Thian Kiam. Bagaikan kilat, ia berkelit ke samping.
“Lekas kau perintah orang memadamkan api dan melepaskan semua tahanan, kata Boe Kie.
“Kalau tidak, aku tak akan berlaku sungkan lagi.
“Thian Liong Sip Pat Po! teriak Tio Beng. “Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Kepung
dia dengan barisan Thian Liong Tin!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1000
Tanpa diberitahukan, kedelapan belas hc itu sudah tahu kelihaian Boe Kie. Mereka lantas saja
bergerak dan merupakan semacam tembok manusia di antara Boe Kie dan kedua majikan
mereka. Melihat cara bertindak yang sangat aneh dari kedelapan belas lawan itu, Boe Kie tahu
bahwa Thian Liong Tin tidak boleh dipandang enteng. Tiba-tiba saja kegembiraannya muncul
dan ia mengambil keputusan sebelum ia bergerak. Sekonyong-konyong terdengar suara
gedubrakan dan sepotong balok yang apinya berkobar-kobar jatuh ke bawah.
Boe Kie mengawas ke atas. Api sudah membakar lantai ke enam dan di antara sayap ia
melihat dua orang yang sedang bertempur mati-matian. Mereka itu adalah Biat Coat Soethay
dan Ho Pit Ong. Lantai jatuh yaitu lantai yang tertinggi penuh dengan manusia tokoh-tokoh
keenam paratai. Lweekang mereka belum pulih semua, tapi biarpun dalam keadaan sehat,
mereka tidak akan bisa melompat dengan selamat dari tempat itu yang tingginya beberapa
puluh tombak. Jika mereka melompat juga, mereka pasti celaka. Kalau tidak binasa,
sedikitnya patah tulang.
Dalam waktu beberapa detik, Boe Kie mengasah otak. “kalau aku mencoba untuk
memecahkan Thian Liong Tin, usaha itu meminta waktu, pikirnya. “Apapula andaikata Thian
Liong Tin pecah, lain-lain jago pasti akan turun mengepung. Tak gampang untuk aku
membekuk pangeran itu, Biat Coat Soethay dan Ho Pit Ong sudah bertempur lama juga dan
belum ada yang kalah. Tenaga dalam si nenek sudah pulih kembali. Dengan demikian
lweekang toasupeh dan lain-lain cianpwee-pun sudah pulih. Kalau belum semua sedikitnya
sebagian besar. Hanya sayang menara itu terlampau tinggi dan kalau melompat mereka pasti
celaka. Tiba-tiba ia mendapat satu ingatan baik dan ia segera mengambil keputusan apa yang
harus diperbuatnya. Sambil membentak keras, ia lari berputar-putar. Kedua belah tangannya
bekerja bagaikan kilat. Dalam sekejab, Sin Cian Pat Hiong roboh dan gendewa mereka
dirampas atau dipatahkan. Lain-lain boesoe yang bersenjata gendewa dan anak panah pun
diserang. Ada yang senjatanya dipatahkan, ada yang dipukul roboh dan adapula yang ditotok
jalan darahnya. Sesudah pasukan anak panah tidak berdaya, Boe Kie mendongak pula dan
berteriak, “Para cianpwee yang berada di atas! Lompatlah! Aku akan menyambut kalian.
Mendengar teriakan itu, orang-orang yang di atas terkejut. Anjuran pemuda itu tak mungkin
dilaksanakan. Dengan melompat dari tempat atas menara yang sangat tinggi, tenaga jatuh
hebat bukan main. Sedikitnya ribuan kati. Bagaimana dia bisa menyambutnya? Beberapa
orang Khong Tong dan Koen Loen lantas saja berteriak-teriak menolak anjuran itu.
“Tak bisa! Terlalu tinggi!
“Jangan kena diakali oleh bocah itu!
“Kalau kita menurut, badan kita akan hancur luluh!
Dengan hati berdebar-debar, Boe Kie mengawasi ke atas. Api sudah mulai menjilat lantai ke
tujuh. Waktu sudah mendesak. Ia jadi semakin bingung. “Boh Cit Siok! Teriaknya dengan
suara memohon. “budimu besar bagaikan gunung. Apa mungkin Siauw Tit mencelakai
citsiok! Citsiok, kau lompatlah lebih dulu!
Boh Seng Kok adalah seorang yang bernyali sangat besar. Dengan segera ia mengambil
keputusan. Daripada mati terbakar, memang lebih baik mati terjatuh. “baiklah! Teriaknya
seraya melompat ke bawah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1001
Boe Kie mengawasi dengan mata tajam. Pada detik tubuh Boh Cit Hiap terpisah kira-kira
empat kaki dari bumi, dengan menggunakan tenaga dan gerakan Kian Koen Tay Lo Sin Kang
paling tinggi, ia menepuk pinggang sang paman. Begitu “dimuntahkan sin kang memunahkan
tenaga jatuhnya cit hiap dan mendorongnya ke atas, sehingga tubuh pendekar itu mengapung
ke atas kira-kira setombak tingginya.
Tenaga dalam Boh Seng Kok sudah pulih sebagian. Berbareng dengan mengapungnya, ia
mengerahkan lweekang dan mengeluarkan ilmu ringan badan, sehingga di lain saat ia
melayang ke bawah dan kedua kakinya hinggap di tanah dengan selamat. Tiba-tiba seorang
boesoe menyerang. Dengan sekali menghantam, Boh Seng Kok sudah merobohkan
pembokong itu. “toasoeko, jiesoeko, siesoeko! teriaknya dengan girang, “Lekas lompat!
Berhasilnya Boh Seng Kok disambut dengan sorak sorai oleh semua jago yang sedang
dikepung api. Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai anaknya, Song Wan Kiauw
berkata, “Ceng Soe, kau lompatlah lebih dahulu! sedari keluar dari kamar tahanan, Song Ceng
Soe terus mendampingi Cioe Cie Jiak. Mendengar anjuran ayahnya, ia segera berkata kepada
si nona, “Cioe Kouw Nio, kau lebih dahulu.
Cie Jiak menggelengkan kepala, “aku tunggu soehoe, katanya.
Sementara itu, satu demi satu tokoh-tokoh keenam partai melompat turun dengan disambut
Boe Kie. Sebagai ahli-ahli silat kelas utama, biarpun tenaga dalam mereka baru pulih
sebagian, mereka sudah bukan tandingan boesoe biasa. Boh Seng Kok dan yang lain-lain
segera merampas senjata dan mereka berdiri di seputar Boe Kie untuk melindungi pemuda itu
dalam menyambut orang-orang yang melompat turun. Kaki tangan Ong Po Po yang coba
menyerang Boe Kie dengan mudah dipukul mundur. Setiap orang melompat turun berarti
penambahan tenaga bagi pihak Boe Kie. Sedari ditangkap, dikurung, dan dihina bahkan ada
beberapa orang yang diputuskan jari-jari tangannya. Sakit hati mereka bertumpuk-tumpuk.
Sekarang mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan sakit hati itu. Mereka berkelahi
bagaikan harimau edan dan dalam sekejab, berpuluh-puluh boesoe sudah menggeletak tanpa
bernyawa.
Melihat bahaya, Ong Po Po segera berkata, “panggil pasukan anak panah yang menjadi
pengawal pribadiku!
Tapi sebelum Ali Chewa berlaku untuk menjalankan perintah itu, sekonyong-konyong di
sebelah tenggara terlihat api yang berkobar-kobar. Ali Chewa terkejut, “Siauw Ong Ya!
katanya, “Ong Hoe kebakaran! Kita harus melindungi Ong Ya.
Ong Po Po mengangguk, “adikku, katanya kepada Tio Beng. “Aku pulang lebih dulu. Kau
harus berhati-hati. Tanpa menunggu jawaban, ia mengedut les kuda dan segera berangkat
dengan dilindungi oleh sejumlah pengiring.
Berlalunya Ong Po Po berarti berlalunya Thian Hoan Sip Pat Po dan sejumlah boesoe.
Melihat kebakaran di gedung Ong Hoe, boesoe lainnya yang masih bertempur juga tidak bisa
berkelahi dengan hati tenang.
Dengan cepat, terutama setelah turunnya tokoh-tokoh Siauw Lim Sie, keadaan jadi berubah.
Pihak Boe Kie jadi lebih kuat. Tio Beng tahu, jika ia bertahan lebih lama lagi, ia sendiri bisa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1002
menjadi orang tawanan. Maka itu, ia lantas saja berseru, “Semua orang keluar dari Ban Hoat
Sie!
Ia lalu menengok kepada Boe Kie dan berkata pula sambil tersenyum, “besok magrib aku
mengundang lagi kau minum arak.
Boe Kie terkejut, sebelum ia sempat menjawab, si nona sudah berlalu dan mundur ke bagian
belakang Ban Hoat Sie.
Sekonyong-konyong di atas menara terdengar teriakan Hoan Yauw, “Cioe Kouw Nio, lekas
lompat! Api akan segera membakar alismu, apa kau mau menjadi gadis tanpa alis?
“Aku ingin menemani soehoe, jawabnya.
Ketika itu, Biat Coat dan Ho Pit Ong tengah melakukan pertempuran mati-matian. Tenaga
dalam si nenek belum pulih semua, tapi ia sudah tak memikir hidup. Dengan kalap, ia
menyerang tanpa memperdulikan pembelaan diri. Di lain pihak, sebab memikiri keselamatan
soeheng-nya, Ho Pit Ong tidak bisa berkelahi dengan hati mantap. Selain begitu, sesudah
kena racun Boe Kie, tenaga dan gerak-geriknya pun tak seperti biasa lagi. Maka itulah,
sesudah bertempur beberapa lama, keadaan kedua belah pihak masih berimbang.
Jilid 55___________________
Mendengar perkataan muridnya, Biat Coat berkata, “Cie Jiak, lekas turun, jangan perdulikan
aku! Penjahat ini terlalu mengejek aku. Tak bisa aku mengampuni jiwanya.
Ho Pit Ong mengeluh. Ia ingin menolong soehengnya dan di luar dugaan, si nenek menyerang
secara nekat-nekatan. “Biat coat Soethay! teriaknya. “Omongan itu berasal dari Kouw
Touwtoo, bukan karanganku.
Sambil menghantam Ho Pit Ong dengan telapak tangan, Biat Coat menengok dan bertanya,
“Touwtoo bangsat, apa benar kau yang mengeluarkan omongan gila-gila itu?
“Omongan apa? Hoan Yauw balas menanya. Dengan menanya begitu, ia ingin si nenek
mengulangi ejekannya, bahwa ia dan Biat Coat adalah kecintaan dan bahwa Cie Jiak adalah
anak mereka. Tapi si nenek tentu saja tidak dapat mengulangi kata-kata itu. Mendengar nada
suara Ho Pit Ong, ia tahu bahwa musuh itu tidak berdusta. Darahnya bergemetaran.
Sesaat itu, selagi Biat Coat menengok kepada Hoan Yauw, segulung asap tiba-tiba
menyambar. Ho Pit Ong sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Sambil melompat
menerjang ia menghantam punggung si nenek.
“Soeboe, hati hati! teriak Cie Jiak.
“Niekouw tua, hati hati! seru Hoan Yauw.
Bagaikan kilat Biat Coat berbalik dan menangkis. Tangan kirinya menyambut tangan kiri Ho
Pit Ong, tapi ia tidak keburu menangkis tangan kanan musuh yang memukul dengan Hian
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1003
beng Sin Ciang. Begitu punggungnya terpukul, badan si nenek bergoyang-goyang, hampirhampir
ia jatuh terguling. Cie Jiak terkesiap, ia melompat dan memeluk gurunya.
“Manusia licik! bentak Hoan Yauw dengan gusar. “Tak bisa kau dan kakakmu diberi hidup
lebih lama lagi, seraya berkata begitu, ia melemparkan ke bawah kasur yang menggulung
tubuh Lok Thung Kek dan Han kie. Hati Ho Pit Ong mencelos. Tanpa memikir lagi, ia turut
melompat tapi kasur itu sudah melayang agak jauh dan ia hanya bisa menjambret ujungnya.
Dengan kecepatan luar biasa, ia pun turut melayang ke bawah.
Karena teraling asap dan api, Boe Kie tak tahu apa yang terjadi di puncak menara. Tiba-tiba ia
melihat jatuhnya serupa benda dan seorang manusia. Ia tak tahu apa adanya benda itu, tapi ia
segera mengenali, bahwa manusia itu adalah Ho Pit Ong. Kakek itu adalah musuh besar yang
sudah menyebabkan banyak penderitaannya. Bahkan kebinasaan kedua orang tuanya pun
adalah gara-gara Hiam beng Jie lo. Tapi ia seorang berhati mulia yang tak bisa mengawasi
kebinasaan dengan berpeluk tangan. Pada detik itu, dengan melupakan sakit hatinya, ia
melompat ke atas dan menepuk dengan kedua tangannya, sehingga kasur dan Ho Pit Ong
terpental ke kiri-kanan kurang lebih tiga tombak jauhnya.
Sesudah berjungkir balik, kedua kaki Ho Pit Ong hinggap di tanah. “Hah! Sungguh berbahaya
katanya. Ia tak pernah mimpi, bahwa Boe Kie akan membalas kejahatan dengan kebaikan.
Tapi ia tidak sempat memikir lain dan segera menengok ke sana sini untuk mencari
soehengnya. Tiba-tiba ia terkejut, karena kakak itu menggeletak di tumpukan api. Dalam
usaha untuk menolong, kali ini Boe Kie harus menggunakan kedua tangannya. Menggunakan
kedua tangan tentu saja lebih berat daripada menggunakan sebelah tangan. Apa pula karena di
dalam kasur itu terdapat dua manusia, maka tenaga jatuh kasur itu pun jadi lebih hebat. Oleh
karena itu waktu menepuk kasur, ia tidak bisa memperdulikan lagi arahnya. Begitu tertepuk
kasur terbuka dan dua sosok tubuh manusia ambruk di tumpukan api. Karena jalan darahnya
tertotok, Lok Thung kek tak bisa bergerak dan rambutnya lantas saja terbakar.
“Soeko! teriak Ho Pit Ong seraya menubruk dan memeluk tubuh kakaknya. Selagi ia
melompat keluar dari api yang berkobar-kobar waktu kedua kakinya belum keluar dan
menginjak bumi. Jie Lian Cioe memapaki dengan pukulan pada pundaknya. “Sambutlah!
bentak pendekar Boe tong itu. Ho Pit Ong tidak dapat menangkis dan coba berkelit dengan
miringkan pundaknya, tapi telapak tangan Jie Lian Cioe menyusul ke bawah. “Plak! badan si
kakek she Ho bergemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Sambil menggigit gigi ia
melompat ke atas tembok.
Sesaat itu sebatang balok yang berkobar2 jatuh dan menimpa tubuh Han kie yang lantas saja
terbakar.
Sementara itu semua orang yang sudah berada di bawah mendongak mengawasi ke atas
sambil berteriak-teriak.
“Turun! Hayo, lekas!
“Lompat! Lompat!
Di antara api dan asap Hoan Yauw kelihatan melompat kesana sini untuk meloloskan diri dari
kobaran api. Satu demi satu balok balok jatuh ke bawah diiringi meluruknya genteng dan
bata. Puncak menara mulai goyang-goyang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1004
“Cie Jiak lompatlah! bentak Biat coat.
“Soeboe, sesudah kau, baru aku, jawabnya.
Sekonyong-konyong si nenek melompat dan menghantam pundak Hoan Yauw. “Bangsat Mo
kauw mampus kau! teriaknya.
Sambil tertawa nyaring Hoan Yauw berkelit dan menerjun ke bawah. Boe Kie segera
menyambutnya dengan tepukan Kian kun tay lo ie Sin kang. “Hoan Yoesoe, kau telah
berhasil dan kami menghaturkan terima kasih, kata Thio Kauwcoe.
“Ini semua bukan jasaku, jawabnya dengan merendahkan diri. “Kalau Kauwcoe tak menolong
dengan sin kang, semua orang akan menjadi babi panggang di puncak menara.
Melihat Hoan Yauw sudah melompat ke bawah, sambil menghela napas Biat coat memeluk
pinggang muridnya dan segera meninggalkan puncak menara yang hampir roboh. Waktu
terpisah kira-kira setombak dari bumi, mendadak ia mendorong dengan kedua tangannya,
sehingga tubuh nona Cioe mengapung ke atas kurang lebih setombak, sedang tenaga jatuh si
nenek sendiri jadi makin hebat.
Sambil mengawasi dengan mata tajam, Boe kie menepuk pinggang Biat coat dengan Kian
koen tay loe ie sin kang. Di luar dugaan, Biat coat yang telah mengambil keputusan untuk
mati dan sungkan menerima budinya Beng kauw, sekonyong-konyong menghantam dengan
seantero sisa tenaganya. Dengan bentroknya kedua tangan Sin kang terdorong ke lain arah
dan “bruk si nenek ambruk di tanah dengan patah beberapa tulangnya, Boe kie sendiri merasa
dadanya menyesak dan ia terhuyung beberapa tindak. Ia sungguh tidak mengerti sikap si
nenek, karena pukulannya itu berarti membunuh diri sendiri.
Cie Jiak menubruk dan memluk tubuh gurunya, “Soeboe… soeboe…., jeritnya dengan suara
menyayat hati. Para murid Go bie segera mengerumuni sang guru.
Perlahan lahan Biat coat Soethay membuka kedua mata. “Cie Jiak, katanya dengan suara
lemah, “mulai hari ini kau menjadi Ciang boenjin dari partai kita. Apakah kau masih mau
berjanji untuk menaati perintahku?
“Ya… soeboe…
Si nenek tersenyum. “Kalau begitu, bisiknya, “aku bisa mati dengan mata meram…
Sesaat itu Boe Kie menghampiri dan memegang nadi si nenek untuk melihat apa orang tua itu
masih bisa ditolong. Tiba tiba Biat coat membalik tangannya dan mencengkeram pergelangan
Boe Kie. “Murid cabul Mo kauw! bentaknya. “Jika kau menodai kesucian muridku, biarpun
sudah menjadi setan aku tak akan mengampuni… Ia tak bisa meneruskan perkataannya dan
segera menghembuskan napas yang penghabisan, tapi jari-jari tangannya masih tetap
mencekal pergelangan tangan Boe Kie.
Mendadak terdengar teriakan Hoan Yauw, “Semua orang ikut aku! Kita keluar dari pintu kota
sebelah barat. Kalau terlambat tentara musuh bangsat itu akan mengepung kita.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1005
Sambil mendukung jenazah Biat coat, Boe Kie berkata, “Baiklah kita berangkat sekarang. Cie
Jiak menyodorkan kedua tangannya dan menyambut jenazah gurunya dari tangan Boe Kie.
Sesudah itu tanpa mengeluarkan sepatah kata ia bertindak keluar dari Ban hoat sie.
Sementara itu, orang2 Koen loen, Khong tong dan Hwa san pay sudah keluar lebih dahulu.
Yang terus berdiam menemani Boe kie adalah Kong boen dan Kong tie. Setelah rombongan
lain lain partai berangkat semua, sambil merangkap kedua tangannya menghaturkan terima
kasih kepada Boe Kie yang menjawabnya dengan kata kata merendahkan diri. Akhirnya
bersama pendekar2 Boe tong dan Boe kie, Kong boen dan Kong tie juga turut meninggalkan
Ban hoat sie.
Berjalan belum beberapa jauh, Boe Kie ternyata telah terlalu lelah, karena dalam menolong
rombongan keenam partai, ia sudah terlalu banyak mengeluarkan tenaga dan bentrokan
dengan Biat coat juga telah melukai bagian dalam dari tubuhnya. Boh Seng Kok segera
menggendong keponakannya yang sambil digendong, perlahan-lahan mengerahkan Kioe yang
sin kang untuk memulihkan tenaga dalamnya.
Waktu fajar menyingsing rombongan itu tiba di pintu kota sebelah barat. Dengan tak banyak
sukar, mereka mengusir tentara yang menjaga pintu. Di tempat yang jauhnya beberapa li dari
pintu kota, Yo Siauw telah menunggu dengan kuda kuda dan kereta. Sambil tertawa ia
memberi selamat kepada orang2 yang baru saja terlolos dari lubang jarum.
“Tanpa pertolongan Thio Kauwcoe dan anggota2 Beng kauw, rombongan keenam partai pasti
menemui kebinasaan, kata Kong boen Taysoe. “Untuk budi yang besar itu, kami hanya bisa
menghaturkan banyak terima kasih. Kini kita harus memikiri tindakan selanjutnya dan
kuharap Thio Kauwcoe suka memutuskannya.
“Aku yang rendah berpengetahuan sangat cetek, kata Boe Kie. “Dalam hal ini, aku mohon
perintah Hong thio.
Tapi, biarpun dipaksa, Kong boen Taysoe menolak untuk memegang pimpinan.
“Tempat ini tak jauh dari kota raja, kata Thio Siong kee. Sesudah kita mengacau hebat, raja
muda pasti tidak akan menyudahi saja. Dia pasti akan segera mengirim tentara yang kuat
untuk mengejar kita. Biar bagaimana pun jua kita tak boleh berdiam lama lama di sini dan
harus pergi ke tempat lain.
“Paling baik bila raja muda bangsat itu mengirim tentaranya, kata Ho Thay ciong. “Kita bisa
menghajar mereka sepuas hati.
Thio Siong kee menggelengkan kepala. “Aku tidak setuju, katanya. “Lweekang kita belum
pulih seanteronya dan pada hakekatnya kita masih mempunyai banyak waktu untuk
menghajar Tat coe. Pada saat ini, jalan yang paling baik ialah menyingkirkan diri.
“Thio Shiehiap benar, kata Kong boen. “Kalau bertempur, biarpun kita bisa membinasakan
banyak Tat coe, pihak kitapun pasti akan menderita kerusakan besar. Memang sebaiknya kita
menyingkir untuk sementara saat.
Sesudah Kong boen menyatakan pendapatnya, yang lain tak berani membantah lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1006
“Thio Siehiap, menurut pendapatmu, kemana kita harus pergi? tanya Kong boen.
“Tat coe tentu menduga, bahwa kita pergi ke selatan atau ke tenggara, jawabnya. “Untuk
menyelesaikannya, kita menyingkir ke tempat yang tidak diduga mereka. Sebaiknya kita pergi
ke Monggolia. Bagaimana pendapat kalian?
Semua orang kaget. Monggolia adalah negeri Tat coe. Cara bagaimana mereka mau diajak
masuk ke sarang musuh?
Tapi Yo Siauw menepuk nepuk tangan dan berkata sambil tertawa. “Tepat benar pendapat
Thio Siehiap. Monggolia sedikit penduduknya dan digurun pasir yang luas, dengan mudah
kita mencari tempat sembunyi. Tat coe tentu menganggap kita bakal kembali ke Tiong goan.
Mereka tak akan mimpi, bahwa kita berbalik menyatroni sarang mereka.
Sekarang semua orang tersadar. Diam diam mereka memuji kecerdasan Thio Siog Kee.
Semua orang lalu menunggang kuda atau naik kereta dan segera berangkat ke arah utara.
Sesudah melalui kira kira lima puluh li, rombongan itu berhenti di sebuah selat gunung. Yo
Siauw segera mengeluarkan makanan kering dan arak yang memang sudah disediakannya.
Sambil beromong omong, tokoh keenam partai menyatakan rasa terima kasihnya terhadap
Boe Kie dan Hoan Yauw yang sudah menolong jiwa mereka.
Sementara itu, Cioe Cie Jiak dan murid murid Go bie lainnya menggali lubang dan
menguburkan jenazah guru mereka. Kong boen, Kong tie, Sen Wan Kiauw, Boe Kie dan yang
lain2 bersembahyang dan memberi hormat terakhir kepada si nenek. Biat coat soethay adalah
salah seorang pendekar kenamaan pada jaman itu. Biarpun adatnya aneh, ia seorang jujur dan
selama hidupnya banyak menolong sesama manusia, sehingga segenap Rimba Persilatan
menghormatinya. Waktu bersembahyang para murid Go bie menangis sedu sedan, sedang
jago jago keenam partai turut merasa sedih.
“Orang yang mati tak bisa hidup kembali, kata Kong boen taysoe dengan suara nyaring. “Para
pendekar Go bie janganlah terlalu berduka. Asal kalian bisa penuhi mendiang gurumu, maka
biarpun Soethay sudah meninggal dunia, ia seperti juga masih hidup di dalam dunia. Kali ini
musuh menggunakan racun dan kita semua sama sama menderita. Kong seng Soetee dari
partai kami juga binasa dalam tangan Tat coe. Sakit hati ini pasti mesti dibalas. Cara
bagaimana kita harus membalasnya, kita sekarang harus berunding masak masak.
“Benar, menyambung Kong tie. “Dalam waktu yang lampau enam partai bermusuhan keras
dengan Beng kauw. Tak dinyana Thio Kauwcoe membalas kejahatan dengan kebaikan dan
sudah menolong kita semua. Mulai dari sekarang kedua belah pihak meniadakan permusuhan
dan melupakan segala apa yang sudah terjadi. Hari ini dengan meminjam kesempatan dari
kumpulnya semua partai, loolap ingin mengajukan sebuah usul. Usul itu ialah kita beramai
ramai mengangkat Thio Kauwcoe sebagai Beng coe (kepala perserikatan) dari perserikatan
partai2 Rimba Persilatan di wilayah Tiong goan. Dengan berserikat dan bekerja sama dan
bersatu padu, kita berusaha untuk mengusir Tat coe dari tanah air kita.
Usul itu disambut dengan sorak sorai gegap gempita oleh para hadirin. Hanya Cioe Cie Jiak
seorang yang tidak mengeluarkan sepatah kata. Ia menunduk dan memikirkan janji yang telah
diberikannya kepada sang guru.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1007
Boe Kie kaget. Ia menggoyang goyangkan kedua tangannya dan menggeleng gelengkan
kepala. “Tidak bisa! Tidak bisa! katanya dengan suara gugup. “Dalam Rimba Persilatan, sejak
dulu Siauw lim pay selalu dianggap sebagai tetua. Dan mengenai perseorangan yang paling
tua dan paling dihormati dapat dikatakan ialah Thay soehoeku, Thio Cinjin. Disamping itu,
Boe Kie Coe hiap (para pendekar Boe tong) adalah paman pamanku. Biar bagaimanapun juga,
tak dapat aku si bocah menduduki kursi Bengcu secara melampaui orang orang tua yang
berkedudukan banyak lebih tinggi daripada aku.
“Boe Kie, kata Song Wan Kiauw. “Bahwa hari ini kita beramai ramai mengangkat kau
sebagai Bengcoe, memang juga sebagian disebabkan oleh pertolonganmu. Tapi selain itu,
pengangkatan ini adalah demi kepentingan umat manusia di kolong langit. Dengan
pengangkatan ini kita semua mengharap supaya berbagai partai bisa bekerja sama tidak saling
bermusuhan dan lagi bersatu padu dalam menghadapi kaum penjajah. Kalau Rimba persilatan
Tiong goan tak punya pemimpin umum, mungkin sekali usaha mengusir Tat coe tak gampang
diwujudkan.
“Boe Kie, usul kedua Sen ceng Siauw lim pay keluar dari hati yang sejujurnya, Siong Kee
turut membujuk. “Thay soehoemu sudah berusia begitu lanjut. Apakah kau ingin beliau
memikul beban yang berat itu?
Berganti ganti lain lain tokoh partai coba membujuk, tapi Boe Kie tetap menolak. “Aku masih
terlalu muda dan berpengetahuan terlalu cetek, katanya. “Apa yang aku mempunyai hanyalah
ilmu silat. Tanggung jawab seorang Bengcoe yang sangat berat hanya dapat dipikul oleh
orang orang seperti Hong thio Seng ceng dari Siauw lim pay atau Song soepeh.
“Kauwcoe, kata Yo Siauw, “kalau kesempatan ini lewat dengan cuma cuma, kita tidak akan
mendapatkan lagi. Adalah maunya Tuhan, bahwa hari ini tokoh tokoh Rimba Persilatan
berkumpul disini dan semua bersamaan pendapat. Apabila Kauwcoe tetap menolak
kedudukan Bengcoe, maka tiada orang lain yang bisa disetujui dengan suara bulat oleh
segenap orang orang gagah. Kalau mereka sudah berpencaran, adalah sangat sukar untuk
mengumpulkannya kembali. Hari itu, di atas Kong beng teng, Kauwcoe menghendaki supaya
kita mengakhiri permusuhan dengan keenam partai dan bekerja sama dengan satu hati.
Apakah Kauwcoe sudah melupakan itu.
“Kauwcoe! teriak Hoan Yauw dengan suara tak sabaran. “Menjadi Bengcoe bukan menjadi
kaisar. Kami bukan ingin menjual lagak dan mengunjuk keangkeranmu. Kami mengangkat
kau demi kepentingan nusa dan bangsa. Kami ingin kau memikul beban penderitaan rakyat.
Apa kau bukan seorang lelaki? Mengapa kau terus menolak untuk memikul beban yang berat
itu? Dengan menganggap kau sebagai seorang gagah, Hoan Yauw rela mengabdi di bawah
perintahmu. Sungguh tak nyana, dalam menghadapi tugasmu, kau menyembunyikan kepala
dan buntut!
Mendengar teguran pedas itu, muka Boe Kie berubah merah. Sambil merangkap kedua
tangannya dan membungkuk, ia berkata. “Hoan Yoesoe benar. Aku menghaturkan terima
kasih untuk teguran itu. Memang juga seorang lelaki yang hidup di antara langit dan bumi
tidak melarikan diri dari kesukaran dan penderitaan. Seraya menyoja semua orang, ia berkata.
“Aku tak menolak lagi kecintaan Coe wie (tuan tuan). Semoga usaha kita akan berhasil dan
cita cita kita akan tercapai dalam waktu yang sesingkat2nya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1008
Sorak sorai dan tepuk tangan yang menyambut pernyataan Boe Kie itu, menggetarkan seluruh
selat.
Yo Siauw segera mengambil sebuah kantong kulit yang berisikan arak, menggores jari
tangannya dan meneteskan darahnya ke dalam arak. Satu persatu, para tokoh persilatan
menuruti contoh itu dan kemudian menceguk arak yang tercampur darah. Upacara tersebut
merupakan suatu sumpah, bahwa mulai hari itu mereka bersepakat, bersatu padu dan bekerja
sama untuk mengusir penjajah dari bumi Tiong kok.
Boe Kie girang bercampur kuatir. Ia berkuatir karena bebannya sungguh sungguh berat. Tapi
mengingat perkataan Hoan Yauw, hatinya menjadi tenang. Seorang laki laki tidak boleh
melarikan diri dari tugasnya. Seorang manusia hanya bisa berusaha sekuat kuatnya dengan
seantero tenaga. Apa usaha itu akan berhasil atau tidak, terserah kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Selama beberapa bulan, Boe Kie telah menghadapi macam2 gelombang. Hari ini, waktu
menerima kedudukan Bengcoe, di dalam hati ia merasa terlebih tenang daripada waktu
menerima kedudukan Kauwcoe dari Bengkauw. Hari ini, ia menjadi Bengcoe dengan tujuan
yang nyata dan tekad yang bulat. Hari itu, ia rasa bimbang sebab ia mengenal Bengkauw
sebagai agama yang lurus tercampur jahat.
Sesudah selesai upacara membentuk perserikatan, Boe Kie berkata. “Sekarang dunia berada
dalam ketakutan. Para anggota Bengkauw telah disebar keempat penjuru untuk menunggu
ketika yang baik guna memulai usaha kita. Aku mengharap para tetua berbagai partai
menturuti tindakan murid murid Bengkauw dalam membentuk pasukan pasukan sukarela.
Aku mengharap supaya semua menyampingkan kepentingan pribadi dan menyingkirkan
setiap kemungkinan yang bisa mengakibatkan permusuhan antara kawan sendiri. Jika terjadi
suatu perselisihan, orang yang tersangkut harus melaporkan kepada Ciang boen jin dari
partainya. Maka soal itu tidak dapat dibereskan oleh Ciangboen tersebut, maka dengan
bantuan para tetua partai, aku sendiri yang akan coba membereskannya.
Semua orang mengiakan permintaan Bengcoe.
“Sesudah urusan ini mendapat keberesan, aku perlu kembali ke kota raja guna sebuah urusan
pribadi, kata pula Boe Kie. “Di sini saja aku meminta diri. Dalam beberapa tahun bakal
datang dengan bahu membahu, kita harus melakukan pertempuran mati hidup melawan Tat
coe.
Dengan sorak sorai seluruh rombongan mengantarkan Bengcoe sampai di luar selat. Waktu
mau berpisahan Yo Siauw berkata, “Kauwcoe! Kau adalah harapan orang orang gagah di
seluruh negeri. Kuharap kau bisa menjaga diri.
“Aku akan perhatikan pesanan saudara, kata Boe Kie sambil mencambuk kudanya yang
segera lari ke arah selatan.
Waktu sudah dekat dengan kota raja, Boe Kie ingat bahwa sesudah terjadinya pertempuran di
Ban hoat sie, ia tentu dikenali oleh banyak kaki tangan Jie lam ong. Jika bertemu dengan
mereka mungkin sekali ia akan menghadapi banyak kesukaran. Mengingat begitu, ia segera
mampir di rumah seorang petani, membeli seperangkat pakaian petani, memakai tudung dan
memoles mukanya dengan tanah liat. Sesudah itu ia barulah masuk ke dalam kota.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1009
Setibanya di depan rumah penginapan di See shia, sesudah mengamat amati keadaan barulah
ia masuk ke kamarnya. Siauw Ciauw kelihatan berduduk di samping jendela. Ia sedang
menjahit. Melihat masuknya seorang muka coklat, si nona terkejut dan sesaat kemudian
barulah ia mengenali Boe Kie. Dengan paras berseri-seri, ia berkata, Kauwcoe, kau membuat
aku kaget sekali. Kukira seorang petani tolol kesalahan masuk ke kamar ini.
“Kau jahit apa? tanya Boe Kie.
Paras muka si nona berubah merah, buru-buru ia menyembunyikan pakaian yang sedang
dijahitnya dibelakangnya. “Tak apa-apa, jawabnya serta menyelipkan pakaian itu di bawah
bantal. Ia lalu menuang teh untuk Boe Kie dan berkata sambil tertawa, “Apa Kongcoe mau
cuci muka?
“Tidak, sahutnya sambil mengangkat cangkir teh. Sambil meneguk teh ia berpikir, “Tio
Kauwnio ingin aku menemaninya untuk meminjam To liong-to. Aku tidak bisa menolak.
Pertama, sebagai laki laki aku tidak bisa menarik pulang janji dan kedua aku memang ingin
menyambut Gie hoe pulang ke Tiong goan. Gie hoe mempunyai musuh dan sesudah kedua
matanya buta, ia pasti tak akan bisa membela dirinya sendiri. Tapi sekarang sesudah
berserikatnya berbagai partai, semua permusuhan lama sudah disingkirkan. Asal aku berada
sama2 orang pasti tak akan mengganggu Gie hoe. Tapi pelayaran sangat berbahaya. Siauw
Ciauw tidak boleh mengikut. Bagaimana baiknya? Hmm.. ya begini saja. Aku akan minta
bantuan Tio Kauwnio supaya Siauw Ciauw bisa dititipkan di Ong hoe untuk sementara waktu.
Dengan berdiam di gedung raja muda keselamatannya lebih terjamin daripada di tempat lain.
Memikir begitu, ia tersenyum.
“Kongcoe, mengapa kau tertawa? Kau lagi pikir apa? tanya si nona.
“Aku mau pergi ke sebuah tempat yang sangat jauh, jawabnya. “Tak bisa aku membawa kau.
Aku telah memikir sebuah tempat, dimana kau bisa berdiam sementara waktu.
Paras muka Siauw Ciauw lantas saja berubah. “Kongcoe, kemanapun kau pergi aku mau
mengikut, katanya. “Siauw Ciauw sudah biasa melayani kau setiap hari. Aku tidak mau
berdiam di tempat orang yang belum dikenal.
“Aku mengambil keputusan itu untuk kebaikanmu sendiri, Boe Kie membujuk. “Tempat itu
sangat jauh dan perjalanan penuh dengan bahaya. Aku sendiri tak tahu, sampai kapankah aku
kembali.
“Kongcoe, waktu berada di gua di Kong beng teng, Siauw Ciauw telah mengambil keputusan
untuk terus mengikuti kau, kemana juga kau pergi. Kau hanya bisa menolak tekadku dengan
membunuh aku. Kongcoe, apakah kau merasa sebal terhadapku dan tidak mau aku terus
mengikuti?
“Tidak! Kau tahu, bahwa aku sangat menyayang kau dan aku hanya tidak mau kau menempuh
bahaya yang sebenarnya tidak perlu ditempuh. Begitu lekas kembali, aku akan mencarimu.
Si nona menggeleng-gelengkan kepala. “Aku bersedia untuk menghadapi bahaya apapun jua,
katanya dengan suara mantap.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1010
Boe Kie terharu. Sambil memegang tangan si nona, ia berkata dengan suara lemah lembut.
“Siauw Ciauw, aku tidak mau mendustai kau. Aku telah meluluskan permintaan Tio Kouwnio
untuk mengawani dia dalam menyeberangi lautan. Kau tahu, pelayaran penuh bahaya. Tapi
aku mesti pergi juga. Aku sungguh tak mau kau turut menghadapi bahaya.
Paras muka Siauw Ciauw bersemu merah. “Kalau kau pergi bersama2 Tio Beng, lebih-lebih
aku mesti mengikut, katanya. Sesudah berkata begitu, ia kelihatan kemalu-maluan dan air
mata berlinang-linang di kedua matanya.
“Mengapa kau lebih2 mau mengikut?
“Karena Tio Kouwnio seorang yang hatinya beracun. Kita tidak bisa menaksir apa yang akan
diperbuatnya terhadapmu. Dengan berada bersama-sama, aku bisa turut mengamat-amati
keselamatanmu.
Tiba-tiba jantung Boe Kie melonjak. “Ah! Apa Siauw Ciauw jatuh cinta kepadaku? tanyanya
di dalam hati. Sesudah memikir beberapa saat, ia berkata sambil tertawa. “Baiklah, kau boleh
ikut. Tapi kau tak boleh menyesal.
Tak kepalang girangnya si nona. “Kalau aku menyusahi kau dengan pernyataan menyesal,
kau boleh melemparkan diriku ke lautan supaya aku dimakan ikan besar, katanya sambil
tersenyum.
Boe Kie tertawa nyaring. “Bagaimana kau tega berpisahan dengan kau? katanya.
Persahabatan antara Boe Kie dan Siauw Ciauw sudah berjalan lama. Di dalam perjalanan,
kalau rumah penginapan kekurangan kamar, kadang-kadang mereka terpaksa tidur dalam satu
kamar. Tapi belum pernah mereka berbicara atau melakukan sesuatu yang melampaui batas2
kepantasan. Siauw Ciauw selalu menempatkan dirinya sebagai pelayan, sedang Boe Kie yang
bersikap sebagai seorang kakak, belum pernah mengeluarkan perkataan yang tidak pantas.
Sekarang, begitu perkataan “bagaimana aku tega berpisahan dengan kau keluar dari mulutnya,
begitu ia merasa bahwa ia telah kesalahan omong. Mukanya berubah merah dan buru-buru ia
memalingkan muka ke jurusan lain.
Siauw Ciauw menghela napas.
“Mengapa kau menghela napas? tanya Boe Kie.
“Ada banyak orang yang tak tega kau berpisahan. Cioe Kouwnio dari Go bie pay. Tio
Kouwnio dari gedung Jie lam ong dan di hari kemudian, entah masih ada berapa banyak
orang lagi. Di dalam hatimu, mana bisa jadi kau memikiri seorang pelayan kecil seperti aku?
“Siauw Ciauw, kau selalu berlaku sangat baik terhadapku. Apa aku kira aku tak tahu? Apakah
aku seorang manusia yang tak ingat budinya orang? Waktu bicara begitu, suara Boe Kie
mengunjuk, bahwa ia berbicara dari lubuk hatinya yang putih bersih.
Si nona malu bercampur girang. Sambil menundukkan kepala, ia berkata dengan suara
perlahan. “Aku belum pernah melakukan sesuatu yang berharga untukmu. Asal saja kau
mempermisikan aku untuk melayani selama-lamanya, asal aku bisa menjadi pelayanmu
seterusnya, hatiku sudah merasa puas. Kongcoe, semalam suntuk kau tak tidur. Kau tentu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1011
capai. Pergilah tidur. Sehabis berkata begitu, ia membuka kasur. Boe Kie merebahkan diri,
maka ia sendiri menjahit di bawah jendela. Tak lama kemudian Boe Kie tertidur.
Sampai magrib, Boe Kie baru tersadar dari pulasnya. Sesudah makan semangkok mie, ia
berkata, Siauw Ciauw, aku mau ajak kau pergi menemui Tio Kouwnio untuk meminjam Ie
thian kiam guna memutuskan rantai yang mengikat kaki tanganmu.
Di tengah jalan, mereka bertemu dengan banyak tentara Mongol dan penjagaan sangat ketat.
Boe Kie tahu, bahwa diperketatnya penjagaan adalah akibat kekacauan semalam.
Tak lama kemudian mereka tiba di rumah makan kecil yang semalam. Setelah masuk, Tio
Beng sudah berada di situ. Ia sedang minum arak sendirian. Ia berbangkit dan berkata sambil
tertawa, “Thio Kongcoe, kau seorang yang boleh dipercaya.
Boe Kie mengawasi nona Tio. Ia mendapat kenyataan, bahwa paras si nona tenang tenang
saja, sedikitpun tak mengunjuk rasa gusar. Dengan meja sudah tersusun dua pasang sumpit.
Sesudah membungkuk Boe Kie segera duduk di sebuah kursi dan Siauw Ciauw sendiri berdiri
menunggu di tempat yang agak jauh.
Sambil menyoja Boe Kie berkata, “Tio Kouwnio, dalam kejadian semalam, aku telah berdosa
terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan.
“Aku merasa sangat sebal melihat Hankie yang seperti siluman, kata si nona. “Bahwa kau
sudah menyuruh orang untuk membunuhnya, aku sebenarnya harus menghaturkan terima
kasih. Ibu memuji kau sebagai pemuda pintar.
Boe Kie terkejut.
Nona Tio tersenyum dan berkata pula, “Bahwa kau sudah menolong orang-orang itu, pada
hakekatnya kau tak merasa keberatan. Mereka tak suka menakluk. Perlu apa aku menahan
lama-lama. Sesudah kau menolong mereka, mereka tentu merasa sangat berterima kasih
terhadapmu. Di dalam Rimba Persilatan kau sekarang menjadi orang gagah yang terutama.
Semua orang merasa berhutang budi terhadapmu. Thio Kongcoe, untuk itu aku memberi
selamat dengan secawan arak, ia tertawa dan mengangkat cawannya.
Sesaat itu tiba2 berkelebat bayangan manusia dan Hoan Yauw bertindak masuk. Lebih dulu ia
memberi hormat kepada Boe Kie dan kemudian berlutut di hadapan Tio Beng. “Kongcoe,
katanya, “Kouw Tauwtoo mohon meminta diri.
Tio Beng tak membalas pemberian hormat itu. “Kouw Taysoe, katanya dengan suara dingin.
“Hebat sungguh kau mendustai aku.
Hoan Yauw bangun berdiri dan berkata sambil membungkuk. “Kouw Tauwtoo she Hoan
bersama Yauw Kong beng Yoeseo dari Bengkauw. Karena kerajaan memusuhi Beng kauw,
maka waktu masuk ke gedung Jia lam ong, aku terpaksa menyamar. Koen Coe telah
memperlakukan aku secara baik sekali, sehingga oleh karenanya, aku sekarang menghadap
Koencoe untuk berpamitan.
“Kau mau pergi boleh pergi, kata Tio Beng. “Tak usah kau unjuk banyak peradatan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1012
“Seorang lelaki harus berlaku terus terang, kata Hoan Yauw. “Mulai dari sekarang, aku yang
rendah merupakan seorang musuh dari Koencoe. Kalau aku tidak bisa memberitahukan secara
terang terangan, hatiku merasa tak enak dan aku berbuat tak pantas terhadap Koencoe yang
sudah memperlakukan aku secara pantas.
Tio Beng menengok pada Boe Kie dan berkata, “Ilmu apa yang dimiliki olehmu, sehingga
orang-orangmu semua rela membela kau dengan jiwa mereka?
“Kami bekerja untuk negara, untuk rakyat, untuk menolong sesama manusia dan untuk
mempertahankan gie khie (semangat persahabatan yang paling tinggi). Hoan Yoesoe dan aku
belum kenal satu sama lain. Tapi begitu bertemu, kita lantas menjadi sahabat karib. Kita
mempunyai pendapat dan tujuan yang sama. Dengan demikian usaha kita untuk
mempertahankan gie kie dan kawan kawan sendiri, tidaklah tersia-sia.
Hoan Yauw tertawa terbahak-bahak. “Kauwcoe, katanya, “perkataanmu memang cocok
sungguh dengan apa yang dipikir olehku. Kauwcoe, kuharap kau menjaga diri baik-baik.
Nona ini sangat lihay. Dia bukan wanita biasa. Kuharap Kauwcoe suka berwaspada.
Tio Beng tertawa. “Terima kasih untuk pujian Kouw Taysoe, katanya.
Sesudah mengangguk, Hoan Yauw segera berlalu. Waktu lewat di depan Siauw Ciauw, ia
kelihatan terkejut, paras mukanya berubah pucat dan seolah-olah ia melihat sesuatu yang
sangat menakutkan. “Kau… kau!… katanya.
“Mengapa aku? tanya Siauw Ciauw.
Hoan Yauw mengawasi dengan mata membelalak. Selanjutnya ia menggeleng gelengkan
kepala dan berkata, “Bukan… bukan… aku… aku salah lihat. Ia menolak pintu dan berjalan
keluar, sedang mulutnya berkata, “Sungguh sama… sungguh sama…
Tio Beng dan Boe Kie saling mengawasi. Mereka merasa heran dan tak tahu siapa yang
dimaksudkan oleh Hoan Yauw.
Sekonyong konyong di tempat jauh terdengar suara dan teriakan tiga kali panjang, dua kali
pendek. Suara itu nyaring dan tajam, seperti seseorang memanggil kawan. Tiba-tiba Boe Kie
terkejut. Ia ingat, bahwa teriakan itu tanda rahasia Go bie pay dalam mengumpulkan kawan.
Waktu bertemu dengan rombongan Biat coat Soethay di See hek, beberapa kali ia pernah
mendengar tanda rahasia itu untuk menghadapi Beng kauw. “Mengapa Go bie pay kembali
lagi di kota raja? tanyanya di dalam hati. “Apa mereka bertemu dengan musuh?
Sebelum ia mengambil keputusan apa yang harus diperbuatnya, Tio Beng sudah berkata, “Ah,
itulah tanda Go bie pay. Mereka rupa2nya sedang menghadapi persoalan yang sangat
mendesak. Mari kita menyelidiki. Apa kau setuju?
“Bagaimana kau tahu teriakan itu tanda rahasia Go bie pay? tanya Boe Kie.
“Mengapa aku tak tahu? kata si nona sambil tersenyum. “Di See hek, sebelum mendapat
kesempatan untuk turun tangan, empat hari dan empat malam, dengan orang-orangku aku
menguntit mereka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1013
“Baiklah, aku setuju untuk menyelidiki, kata Boe Kie. “Tapi Tio Kouwnio lebih dahulu aku
ingin meminta pinjam Ie thian kiam.
Si nona tertawa. “Sungguh jempol ilmu hitungmu. Sebelum aku meminjam To liong to, kau
sudah mendahului meminjam Ie thian kiam, katanya seraya membuka tali ikatan pedang dan
menyodorkannya kepada Boe Kie.
Sambil menghunus senjata mustika itu, Boe Kie berkata, “Siauw Cie Coe kemari!
Siauw Ciauw menghampiri dan dengan beberapa kali membabat semua rantai yang mengikat
kaki tangannya sudah terputus. Ia berlutut dan berkata, “Terima kasih Kongcoe, terima kasih
Koencoe.
Boe Kie segera memasukkan Ie thian kiam ke dalam sarung dan memulangkannya kepada Tio
Beng. Ketika itu teriakan-teriakan Go bie pay makin menghebat.
“Mari kita pergi! kata Boe Kie.
Tio Beng mengeluarkan sepotong emas dan melemparkannya di atas meja, bersama Boe Kie
dan Siauw Ciauw ia segera berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Karena kuatir ilmu mengentengkan badan Siauw Ciauw masih terlalu cetek dengan tangan
kanan Boe Kie menarik tangan si nona sedang tangan kirinya mendorong pinggang. Sambil
memberi bantuan itu, ia mengikuti di belakang Tio Beng. Sesudah berlari lari beberapa puluh
tombak, ia merasa bahwa badan Siauw Ciauw sangat enteng dan tindakannyapun sangat
cepat. Ia heran dan menarik pulang bantuannya. Tapi biarpun sudah tidak dibantu, nona itu
masih terus dapat merendenginya. Walaupun waktu itu Boe Kie menggunakan ilmu ringan
badan yang paling tinggi, tindakannya sudah cukup cepat. Bahwa Siauw Ciauw dapat
mengikutinya merupakan bukti bahwa kepandaian si nona tidak dapat dipandang rendah.
Tak lama kemudian sesudah melewati beberapa jalanan kecil mereka tiba di luar sebuah
tembok tua yang sudah runtuh disana sini. Tiba-tiba Boe Kie mendengar pertengkaran antara
beberapa orang wanita dan ia tahu, bahwa murid-murid Go bie berada di dalam tembok itu.
Sambil menarik tangan Siauw Ciauw ia melompati tembok dan hinggap di antara rumput
alang-alang. Ia mendapat kenyataan, bahwa mereka berada di dalam sebuah taman yang
sudah lama tidak terurus. Di lain saat, Tio Beng menyusul dan mereka bertiga lalu
bersembunyi di antara rumput tinggi.
Di sebelah utara taman terdapat sebuah pendopo rusak dimana terlihat bayangan beberapa
belas orang. Sekonyong-konyong terdengar suara seorang wanita. “Kau adalah murid termuda
dalam partai kita. Baik dalam nama atau kepandaian, tak pantas kau jadi Ciangboenjin dari
partai kita…
Boe Kie segera mengenali bahwa yang berbicara adalah Teng Bin Koen. Dengan merangkak
ia maju mendekati pendopo itu dan menyembunyikan diri pada jarak beberapa tombak.
Malam itu malam tak berbulan dan di langit hanya terdapat bintang-bintang yang berkelap
kelip. Tapi mata Boe Kie sangat awas. Sayup2 ia melihat murid-murid Go bie pay ada kepala
Biat coat soethay. Di samping murid kepala itu berdiri seorang wanita yang bertubuh agak
jangkung dan mengenakan baju warna hijau. Orang itu adalah Cioe Cie Jiak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1014
Teng Bing kun terus mendesak dengan suara menyeramkan. “Coba kau bilang… Bilang,
lekas bilang!…
“Apa yang dikatakan Teng soecie memang tak salah, kata nona Cioe. “Siauw moay adalah
murid termuda dari partai kita. Baik dalam nama, maupun dalam ilmu silat, kepandaian,
kecerdasan dan kemuliaan siauwmoay tidak pantas untuk menjadi Ciangboenjin. Pada waktu
Siansoe (mendiang guru) menyerahkan beban yang berat ini, siauwmoay telah menolak
sekeras-kerasnya. Tapi siansoe marah besar. Beliau memaksa supaya siauwmoay bersumpah
berat untuk tidak melanggar kemauannya.
“Memang benar, kata seorang wanita yang mengenakan pakaian pendeta. “Memang benar,
ketika siansoe mau berangkat pulang ke alam baka beliau telah mengatakan bahwa Cioe
Soemoay harus menjadi Ciangboenjin dari partai kita. Pesanan itu telah didengar oleh kita
semua. Bahkan para orang gagah dari Siauw lim, Boe tong, Koen loen, dan Khong tong pun
bisa menjadi saksi.
“Siansoe adalah seorang yang sangat cerdas dan berpemandangan jauh, menyambung seorang
murid pria yang berusia setengah tua. “Dengan menghendaki bahwa Cioe soemoay menjadi
pemimpin kita, beliau tentu mempunyai maksud yang mendalam. Kita semua telah menerima
budi Siansoe yang sangat besar dan adalah selayaknya jika mentaati pesanan siansoe. Kita
harus menunjang Cioe soemay dalam usaha menaikkan derajat partai kita.
Teng Bin Koen tertawa dingin. “Pang soeko mengatakan, bahwa Siansoe pasti mempunyai
maksud yang mendalam, katanya dengan nada mengejek. “Kata-kata itu, siansoe pasti
mempunyai maksud yang mendalam adalah tepat sekali. Bukankah semua orang, baik yang di
atas maupun di bawah menara telah mendengar perkataan Kouw Tauwtoo dan Ho Pit Ong?
Siapa ayah dan ibunya Cioe soemoay? Mengapa siansoe memilih kasih? Apakah kita semua
masih mengerti?
Sebagaimana diketahui, sebagai guyon guyon Hoan Yauw telah mengatakan bahwa Biat coat
soethay adalah kecintaannya dan bahwa Cioe Jiak adalah anak mereka. Hoan Yauw memang
gila-gilaan dan masih memiliki sie khie (sifat2 yang sesat). Tapi perkataan Ho Pit Ong telah
terdengar oleh banyak orang. Biar bagaimanapun jua, mendengar itu, banyak orang jadi
bersangsi, karena percintaan lelaki dan perempuan, tak peduli siapa adanya mereka, adalah
kejadian yang lumrah di dalam dunia. Dengan demikian, tuduhan Teng Bin Koen, bahwa Biat
coat memilih kasih sebab Cie Jiak adalah anaknya sendiri, memang kedengarannya beralasan
juga. Maka itulah, sehabis perempuan itu melepaskan racunnya, murid2 Go bie pay
membungkam semua.
Tak kepalang gusarnya nona Cioe. Dengan suara bergemetaran, ia berkata. “Teng Soecie! Jika
kau tak setuju siauwmoay menjadi Ciangboenjin, kau boleh mengatakan terang2an. Tapi
dengan menjatuhkan fitnah membabi buta kepada Siansoe dan merusak nama Siansoe yang
putih bersih, kau berdosa besar. Mendiang ayah she Cioe bernama Coe Ong, sedang
mendiang ibuku seorang she Sie. Atas pertolongan Cinjin dari Boe tong pay, siauwmoay
berguru kepada Siansoe. Sebelum itu, siauwmoay belum pernah mengenal siansoe. Teng
Soecie! Kau telah menerima budi Siansoe, tapi hari ini sedang tulang belulangnya Siansoe
belum menjadi dingin, kau sudah berani melontarkan tuduhan yang sangat keji itu… Ia tak
meneruskan perkatatannya dan air matanya mulai mengucur.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1015
Teng Bin Koen tertawa dingin. “Siapapun juga tahu, bahwa kau sangat mengilar untuk
menjadi Ciangboenjin, katanya. “Tapi sebelum disetujui saudara2 kita, kau telah coba2
mengunjuk keangkeranmu dan menjual lagak galak. Merusak nama Siansoe! Berdosa sangat
besar! Kau ingin menghukum aku bukan? Kini aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan;
“Sesudah menerima pesan Siansoe untuk menjadi Ciangboenjin, kau sebenarnya harus segera
pulang ke Go bie guna mengurus urusan2 partai. Tapi mengapa kau kembali ke kota raja?
Sesudah Siansoe meninggal dunia di dalam partati terdapat banyak sekali urusan yang harus
segera diurus. Aku tanya, mengapa kau balik ke kota raja?
“Siauwmoay kembali ke kota raja untuk menunaikan tugas berat yang diberikan Siansoe,
jawabnya.
“Tugas apa? mendadak si perempuan she Teng bertanya. “Kita berada di antara saudara
saudara sendiri, kau boleh memberitahukan terang terangan.
“Tugas ini merupakan rahasia besar bagi partai kita, sahut nona Cioe. “Rahasia itu hanya
boleh diketahui oleh seorang Ciangboenjin. Aku menyesal tak bisa memberitahukan kepada
siapapun jua.
Teng Bin Koen mengeluarkan suara di hidung. “Huh! Huh! katanya. “Kau mau coba
berlindung di balik pangkat Ciangboenjin. Huh! Tak bisa kau memperdayai aku. Partai kita
bermusuhan hebat dengan Mo kauw. Banyak sekali saudara saudara kita yang binasa di dalam
tangan Mo kauw dan orang orang Mo kauw yang mampus di bawah pedang Ie thian kiam
tidak bisa dihitung berapa banyaknya. Meninggalnya siansoe juga kalau beliau tak sudi
menerima pertolongan pemimpin Mo kauw. Tapi mengapa jenazah Siansoe masih belum
dingin, kau kembali ke kota raja untuk mencari penjahat cabul she Thio itu, si kepala
siluman?
Boe Kie menggigil. Sesaat itu, tiba-tiba pipinya dicolek orang. Ia menengok. Orang yang
mencoleknya ialah Tio Beng. Muka Boe Kie lantas berobah merah. “Apa benar Cioe
Kauwnio mencari aku? tanyanya di dalam hati.
Cie Jiak merasa dadanya seperti mau meledak. Sambil menuding ia membentak dengan suara
terputus-putus. “Kau!… kau!… bagaimana kau berani mengeluarkan kata kata itu?
Teng Bin Koen menyeringai. “Kau masih mau menyangkal? tanyanya. Kau menyuruh kami
pulang ke Go bie lebih dahulu. Waktu ditanya mengapa kau kembali ke kota raja, kau
menjawab secara tidak terang. Itulah sebabnya mengapa kami menguntit kau. Kau telah
menanyakan ayahmu, Kauw Tauwtoo, tentang tempat kediamannya si penjahat cabul. Apa
kau kira kami tak tahu? Kau telah pergi ke rumah penginapan untuk mencari penjahat cabul
itu. Apa kau rasa kami tak tahu?
Mendengar cacian “penjahat cabul yang dikeluarkan berulang ulang, biarpun sabar darah Boe
Kie meluap juga. Tiba-tiba ia merasa lehernya ditiup orang. Ia tahu bahwa nona Tio
mengejeknya kembali.
Sementara itu, si perempuan she Teng sudah menyemburkan lagi racunnya. “Siapa yang mau
dicari olehmu dan dengan siapa kau ingin bersahabat, orang luar memang tak dapat
mencampuri. Tapi penjahat cabul she Thio itu adalah musuh besar partai kita. Waktu orang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1016
mengangkat dia menjadi Bengcoe sebagai Ciangboenjin Go bie pay mengapa kau tidak
menentang? Biarpun kita kalah suara, tapi sedikitnya kita sudah menyatakan di hadapan
umum bahwa partai kita tidak menyetujui pengangkatan itu. Waktu itu aku memperhatikan
kau. Ah! Kau kelihatannya girang sungguh. Paras mukamu berseri seri. Waktu di Kong beng
teng, Siansoe memerintahkan kau membunuh penjahat cabul itu, dia sama sekali tidak coba
membela diri. Sebaliknya dari itu bermain mata dengan kau. Kau sengaja memberi tikaman
yang sangat enteng. Siapa bisa percaya bahwa kau tidak mempunyai perhubungan rahasia
dengan penjahat itu?
Kepala nona Cioe puyeng. Ia mendekap muka dan menangis. “Siapa… bermain mata…,
katanya dengan suara parau. “Mengapa kau memfitnah orang dengan kata-kata yang tidak
enak didengar itu?
Teng Bin Koen tertawa dingin. “Kata kataku tak enak didengar? ejeknya. “Tapi bagaimana
perbuatanmu? Perbuatanmu yang tidak enak dilihat, perkataanmu memang sedap sekali.
Huh… huh… misalnya tadi siang kau berkata begini kepada pengurus rumah penginapan.
Mohon tanya, apa disini ada seorang tamu she Thio? Kata kau lagi, ia berusia kira kira dua
puluh tahun, tubuhnya jangkung. Mungkin sekali ia menggunakan lain she. Kau mengatakan
itu semua dengan suara yang sungguh merdu. Dalam ejekannya itu, Teng Bin Koen meniru
suara Cioe Cie Jiak dengan lagak yang genit sekali. Di tengah malam yang sunyi sekali
suaranya membangunkan bulu roma.
Tak kepalang gusarnya Boe Kie. Hampir2 ia melompat keluar. Syukur juga ia masih dapat
mempertahankan diri, karena ia ingat bahwa ia tidak boleh mencampuri urusan dalam Go bie
pay dan jika ia turun tangan, tindakannya akan lebih merugikan nona Cioe. Dengan demikian
biarpun darahnya meluap ia tidak bisa bergerak.
Dalam Go bie pay semula terdapat sejumlah murid yang ingin mentaati kemauan guru mereka
dan menyokong Cie Jiak sebagai Ciangboenjin. Tapi sesudah mendengar perkataan Teng Bin
Koen, hati mereka menjadi goncang. Go bie pay dan Beng kauw memang bermusuhan keras
sedang mereka harus mengakui memang ada suatu perhubungan antara Cie Jiak dan Boe Kie.
Bagaimana kalau Cie Jiak menyerahkan Go bie pay ke dalam tangan Beng kauw? Itulah jalan
pikiran mereka.
Sementara itu, Teng Bin Koen berkata pula, “Cioe soemoay, kau masuk dalam partai kita atas
pujian Thio Cinjin dari Boe tong pay. Penjahat cabul she Thio itu adalah anaknya Thio Ngo
hiap dari Boe tong pay. Tak seorangpun bisa menanggung bahwa di dalam hal ini tidak
terselip suatu siasat yang aneh. Sehabis berkata begitu seraya berpaling kepada saudara
saudari seperguruannya, ia berteriak. “Saudara saudari sekalian! Memang Siansoe telah
memesan untuk mengangkat Cioe moay sebagai Ciangboenjin partai kita. Tapi beliau pasti
tak menduga, bahwa begitu beliau menutup mata Ciangboenjin kita lantas saja pergi mencari
Kauwcoe dari Mo kauw. Kejadian ini bersangkut paut dengan mati hidupnya partai kita.
Kejadian ini bukan kejadian kecil yang dapat dikesampingkan dengan begitu saja. Kalau
malam ini Siansoe masih hidup, beliau pasti akan mengangkat seorang lain. Cita2 Siansoe
adalah kegemilangan partai kita. Siansoe pasti tidak menghendaki bahwa partai kita musnah
di dalam tangan Mo kauw. Maka itulah menurut pendapat Siauwmoay, kita semua harus
berusaha untuk mewujudkan cita cita Siansoe yang sangat luhur itu. Kita sekarang menuntut
supaya Cioe Soemoay menyerahkan cincin Ciangboenjin supaya kita bisa mengangkat
seorang yang cocok untuk menjadi pemimpin kita, untuk menjadi Ciangboenjin dari Go bie
pay. Inilah usul Siauwmoay.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1017
Usul itu segera disetujui oleh lima enam orang.
“Aku telah menerima perintah Siansoe untuk menjadi Ciangboenjin dan tak dapat aku
menyerahkan cincin ini, kata Cie Jiak. “Sebenarnya aku tak kepingin untuk menjadi
Ciangboenjin, tapi aku sudah bersumpah berat dan aku pasti tak bisa menyia-nyiakan harapan
Siansoe.
“Kau mau serahkan atau tidak? bentak Teng Bin Koen. “Menurut peraturan partai, larangan
pertama tak boleh menghina guru dan larangan kedua tak boleh berjina. Dan kau masih mau
mengurus partai kita?
“Nonamu bakal celaka! bisik Tio Beng di kuping Boe Kie. “Jika kau suka memanggil aku
dengan kata-kata Ciecie yang baik, aku bersedia untuk menolong dia.
Boe Kie tahu, bahwa nona Tio yang sangat pintar tentu sudah mempunyai akal untuk
menolong Cie Jiak. Tapi karena ia berusia lebih tua, maka ia merasa agak jengah untuk
memanggil Ciecie kepadanya. Selagi ia bersangsi, Tio Beng berkata pula. “Kalau kau tak
suka terserahlah kepadamu. Aku sekarang ingin berlalu.
Dengan apa boleh buat, Boe Kie segera berkata dengan suara perlahan. “Ciecie yang baik…
Si nona tertawa, tapi baru saja ia mau melompat keluar, orang2 Go bie rupa rupanya sudah
merasakan bahwa sedang diintip orang. “Siapa disitu? bentak Teng Bin Koen.
Sekonyong konyong di luar tembok terdengar batuk batuk, diiringi dengan suara orang nenek
nenek. “Apa yang dilakukan oleh kamu di tengah malam buta? Di lain saat dua manusia lain
sudah berada di pendopo itu. Boe Kie segera mengenali bahwa nenek yang bertongkat adalah
Kim Hoa po po, sedangkan kawannya, seorang wanita yang bermuka jelek, bukan lain
daripada Coe Jie atau A-iee, saudara sepupunya sendiri.
Sebagaimana diketahui, pada waktu enam partai persilatan menyerang Kong beng teng Cie Jie
telah dibawa lari oleh Wie It Siauw. Waktu mendekati Kong beng teng dengan diuber oleh In
Ya Ong (ayah Coe Jie) dan Boe Kie, Wie Hok tong melepaskan si nona di lereng gunung, dan
belakangan, ketika ia mencarinya kembali Coe Jie sudah menghilang.
Semenjak perpisahan, Boe Kie seringkali memikiri nasib nona itu. Sekarang secara tak diduga
duga, ia muncul bersama Kim Hoa po po. Bukan main girangnya Boe Kie hampir2 ia
berteriak memanggilnya.
“Kim hoa po po, perlu apa kau datang ke sini? tanya Teng Bin Koen.
“Mana gurumu?
“Kemarin siansoe meninggal dunia. Huh! Kau sudah mencuri dengar di luar tembok, tapi kau
masih menanya juga.
“Ah! Biat Coat mati? Bagaimana matinya? Mengapa ia tak menunggu untuk bertemu
denganku? Hai! Sayang… sungguh sayang… Selagi berkata begitu, si nenek batuk tak
henti2nya. Sambil menumbuk numbuk punggung orang tua itu, Coe Jie menengok kepada
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1018
Teng Bin Koen dan berkata dengan suara tawar. “Siapa kesudian mencuri dengar
pembicaraan kamu? Po po dan aku lewat di sini. Secara kebetulan saya dengar suara
bicaranya manusia dan sebab aku mengenali suaramu, barulah kami masuk kesini. Po po
menanya kau, kau dengar tidak? Bagaimana cara matinya gurumu?
“Bukan urusan kamu! bentak Teng Bin Koen dengan gusar.
Sesudah batuknya agak mereda, Kim hoa po po berkata dengan suara lebih sabar. “Selama
hidupku baru pernah satu kali aku kalah dalam pertempuran. Aku kalah dari gurumu.
Kekalahan itu bukan lantaran lebih unggulnya ilmu silat gurumu, tapi sebab tajamnya Ie thian
kiam. Selama beberapa tahun aku mencari cari senjata mustika untuk bertempur lagi melawan
Biat coat. Aku menjelajah empat penjuru dunia dan pada akhirnya dapat dikatakan capai
lelahku tak tersia2. Seorang sahabat lama bersedia untuk meminjamkan sebatang golok
mustika kepadaku. Belakangan aku mendengar bahwa orang-orang Go bie pay telah ditawan
oleh kerajaan dan dikurung di kelenteng Ban hoat sie. Aku segera mengambil keputusan
untuk menolong gurumu supaya kita berdua bisa menjajal lagi kepandaian yang
sesungguhnya. Siapa nyana menara di Ban hoat sie yang digunakan sebagai penjara gurumu
sudah berubah menjadi tumpukan puing. Hai!.. itulah maunya nasib. Seumur hidup Kim hoa
po po tak akan dapat mencuci lagi hinaan atas dirinya itu. Biat Coat! Mengapa tidak bisa
menunggu sehari dua?
Teng Bin Koen tertawa dingin. “Jika soehoe masih hidup, apa yang akan didapat olehmu
hanyalah kekalahan yang kedua kalinya, katanya. “Sesudah keok untuk kedua kalinya, kau
pasti tak akan merasa penasaran lagi…
“Plak!…plak!…plak!…plak!…, tiba tiba terdengar suara gaplokan. Pipi Teng Bin Koen
digaplok empat kali beruntun, sehingga matanya berkunang-kunang dan hampir2 ia jatuh
terguling. Empat gaplokan itu dikirim secara cepat luar biasa, dalam gerakan yang sangat
aneh dan Teng Bin Koen sama sekali tidak dapat membela diri.
Ia kaget bercampur gusar, menghunus pedang dan menuding si nenek. “Pengemis tua!
bentaknya, “Apa kau sudah bosan hidup?
Tapi Kim hoa po po seolah olah tidak mendengar cacian itu dan tidak memperdulikan pedang
yang ditudingkan kepadanya. Dengan suara menyesal dan putus harapan, ia bertanya lagi.
“Cara bagaimana matinya gurumu?
“Tak perlu aku memberitahukan kepadamu, jawab Teng Bin Koen.
Si nenek menghela napas dan berkata, “Biat coat Soethay, selama hidup kau adalah salah
seorang gagah dalam jaman ini dan merupakan juga salah seorang tokoh paling terkemukan
dalam Rimba Persilatan. Sungguh sayang, sesudah kau mati murid muridmu tolol semua.
Apakah kau tak punya murid yang mendingan untuk mewariskan kedudukan Ciangboenjin?
Tiba-tiba seorang pendeta wanita setengah tua yang bertubuh jangkung maju setindak. Sambil
merangkapkan kedua tangannya, ia berkata:
“Pie-pie Congsoe menghadap kepada Po po. Pada waktu Siansoe mau menutup mata, beliau
telah mengangkat Cioe Cie Jiak Cioe Soe moay sebagai Ciangboenjin partai kami. Kami
disini karena masih ada sejumlah saudara seperguruan yang merasa tidak setuju dengan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1019
pengangkatan itu. Bahwa Siansoe sudah keburu meninggal dunia dan Po po tidak dapat
mencapai keinginan yang sudah dikandung lama, memang juga adalah maunya nasib.
Manusia tidak bisa melawan takdir. Karena urusan Ciangboenjin partai kami masih belum
beres, maka kami masih belum bisa membuat janjian apapun juga dengan Po po. Tapi sebagai
salah sebuah partai besar dalam Rimba Persilatan, Go bie pay tidak dapat menjatuhkan nama
besarnya Siansoe. Jika Po po mau memberi pesanan apa apa, berikanlah sekarang. Di hari
kemudian, sesuai dengan peraturan peraturan dalam Rimba Persilatan, Ciangboenjin kami
pasti akan pergi menemui Po po. Akan tetapi, jika dengan mengandalkan kekuatan sendiri Po
po mau menghina kami, maka biarpun pada saat ini Go bie pay masih berkabung, kami pasti
akan melayani Po po sampai pada titik darah yang penghabisan.
Boe Kie dan Tio Beng merasa kagum akan perkataan niekouw itu yang diucapkan secara
tetap dan sopan santun.
Sambil menyapu murid murid Go bie dengan kedua matanya, si nenek berkata, “Pada waktu
gurumu mau menutup mata, ia telah mengangkat seorang Ciangboenjin. Itulah bagus. Siapa
adalah Ciangboenjin itu? Aku ingin bertemu dengan dia, sesudah berkata begitu, nada suara
Kim hoa po po sudah banyak lebih lunak daripada waktu ia bicara dengan Teng Bin Koen.
Cioe Cie Jiak lantas saja maju sambil memberi hormat. “Po po, selamat bertemu, katanya.
“Ciangboenjin turunan keempat dari Go bie pay memberi hormat kepada Po po.
“Tak malu kau! bentak Teng Bin Koen. “Kau berani menamakan diri sendiri sebagai
Ciangboenjin turunan keempat!
Coe Jie tertawa dingin. “Cioe Ciecie adalah seorang yang sangat baik, katanya. “Waktu
berada di See hek, ia telah memperlihatkan kasih sayangnya terhadapku. Jika ia tidak pantas
menjadi Ciangboenjin, apakah kau kira dirimu cocok untuk menjadi Ciangboenjin? Di
hadapan Po po, kau jangan banyak tingkah. Apakah kau mau digaplok lagi?
Teng Bin Koen meluap darahnya. Ia menghunus pedang dan menikam si nona yang lidahnya
tajam. Coe Jie berkelit seraya menggaplok. Gerakannya menyerupai gerakan si nenek, tapi
banyak lebih lambat. Teng Bin Koen buru-buru menundukkan kepalanya, sehingga telapak
tangan Coe Jie menyampok angin, tapi tikamannyapun jatuh di tempat kosong.
Si nenek tertawa, “Bocah! katanya. “Aku telah mengajar kau berulang kali, tapi kau masih
belum mampu juga dalam menggunakan pukulan yang begitu gampang. “Lihatlah! Seraya
berkata begitu, tangan kanannya menyambar dan mampir tepat di pipi kanan Teng Bin Koen.
Hampir berbareng ia membalik tangan dan menggaplok pipi kiri, setelah pipi kiri, pipi kanan
pula dan sesudah pipi kanan pipi kiri lagi – semuanya empat gaplokan. Gerakan tangan si
nenek tak begitu cepat dan bisa dilihat nyata oleh semua orang. Tapi Teng Bin Koen sendiri
merasakan, bahwa dirinya ditindih… dengan semacam tenaga yang tak kelihatan, sehingga
kaki tangan tak bisa bergerak.
“Po po, aku sudah mahir dalam pukulan itu, kata Coe Jie sambil tertawa. “Aku hanya tak
mempunyai tenaga dalam yang besar. Coba kujajal lagi!
Sesaat itu Teng Bin Koen masih berada di bawah kekuasaan si nenek dan ia masih belum bisa
bergerak. Melihat sambaran telapak tangan Coe Jie, bahna gusarnya, ia merasa seolah olah
dadanya mau meledak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1020
Pada detik terakhir, tiba-tiba Cioe Jiak melompat dan menangkis tangan Coe Jie. “Ciecie,
tahan! katanya. Ia berpaling dan berkata pula. “Po po, barusan Cengcoe Soecie telah
menyatakan, bahwa biarpun ilmu silat kami tidak bisa menandingi Po po, tapi kami tidak bisa
membiarkan Po po menghina kami.
Si nenek tertawa dan berkata, “Lidah perempuan she Teng itu sangat beracun. Dia menentang
kau sebagai Ciangboenjin, tapi kau masih mau melindungi dia.
“Orang luar tidak dapat mencampuri urusan dalam dari partai kami, kata nona Cioe. “Aku
yang rendah telah menerima warisan Siansoe dan meskipun berkepandaian cetek, tak bisa aku
mempermisikan orang luar menghina saudari seperguruanku.
Si nenek tertawa terbahak-bahak. “Bagus! Bagus! katanya. Baru saja berkata begitu, ia batukbatuk
lagi dengan hebatnya. Buru-buru Coe Jie menyodorkan sebutir pel yang lalu ditelannya
dengan napas tersengal.
Beberapa saat kemudian, sesudah batuknya mereda, kedua tangan si nenek tiba-tiba
menyambar, sebelah tangannya menekan punggung dan sebelah tangan menindih dada Cie
Jiak. Gerakan itu dilakukan dalam kecepatan kilat dan nona Cioe tidak berdaya lagi, karena
jari-jari tangan Kim hoa po po sudah menempel pada jalan darahnya yang membinasakannya.
Dengan mata membelalak, Cie Jiak mengawasi lawannya.
Jilid 56_________________
“Cioe Kouwnio, kepandaianmu masih sangat rendah, kata si nenek. “Apa bisa gurumu
menyerahkan kedudukan Ciang boenjin kepadamu?
Cioe Jiak tahu, bahwa begitu si nenek menekan dengan tenaga dalam, jiwanya akan
melayang. Tapi begitu ingat gurunya, semangatnya berkobar2. Sambil mengacungkan
tangannya, ia berkata dengan suara nyaring, “Popo, inilah cincin besi tanda Ciang boenjin yg
dimasukkan kejari tanganku oleh Siansoe sendiri. Apa kau masih bersangsi?
Si nenek tersenyum, "Tugas seorang Ciang boenjin dari Go Bie Pay adalah sangat berat,"
katanya. "Setiap Ciangboenjin harus memikul pikulan yg tidak enteng. Apakah soal itu tidak
diberitahukan kepadamu oleh gurumu? Kurasa belum tentu."
"Tentu saja Siansoe memberitahukan soal itu kepadaku," kata Cie Jiak. Berbareng dengan
jawabnnya, jantung nona Cioe melonjak. "Mengapa dia tahu rahasia partaiku?" tanyanya
didalam hati.
Sementara itu dengan hati berdebar2 Boe Kie memperhatikan semua perkembangan. Melihat
kekerasan Cie Jiak, ia berkuatir bahwa dalam gusarnya, Kim Hoa Popo akan turunkan tangan
jahat. Dalam bingungnya, ia bergerak untuk melompat keluar, tapi tangannya dicekal Tio
Beng yg melarangnya sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Sekonyong2 si nenek tertawa terbahak bahak. "Biat Coat Soethay tidak salah mata," katanya.
"Biarpun ilmu silatnya cetek, Ciangboen jin yg dipilihnya adalah seorang yg berwatak keras.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1021
Benar, ilmu silat memang dapat dipertinggi dengan pelajaran dan latihan. Sungai dan gunung
mudah diubah, tapi watak manusia susah di ubah."
Sebenarnya Cioe Cie Jiak sendiri sudha ketakutan setengah mati dan keberaniannya muncul
karena ia ingat pesan sang guru. Sementara itu dimata saudara saudari seperguruannya derajat
nona Cioe naik tinggi. Ia sudah memperlihatkan kemuliaan hatinya bahwa dengan
menyampingkan kepenting pribadi ia sudah menolong Teng Bin Koen. Ia pun sudah
membuktikan wataknya yg kuat dalam menghadapi kebinasaan.
Mendadak Ceng coe mengibaskan pedangnya dan memberi komando dengan teriakan. Para
murid Go bie lantas saja berpencaran, menghunus senjata dan mengurung pendopo itu.
"Apa kau mau?" tanya si nenek sambil tertawa.
"Apa maksud popo dengan menculik cian boenjin partai kami?" Ceng Coe balas menanya.
Si nenek batuk2. "Apa kamu mau menekan aku dengan jumlah yg lebih besar?" tanyanya
dengan suara memandang rendah. "Huh, huh.... Di mata Kim Hoa popo, sepuluh kali lipat
lebih besar dari jumlahny ini masih belum masuk hitunganku." Mendadak ia melepas Cie
Jiak, badannya berkelebat dan tahu2 jari2 nya menyambar mata Ceng Coe. Nie Kauw itu
menangkis dengan pedangnya, tapi hampir berbareng dengan teriakan kesakitan dan seorang
sumoi sudah terguling disampingnya. Gerakan Kim hoa popo cepat sekali dan aneh.
Berbareng dengan serangannya kepada Ceng Coe, kaki kirinya menendang pinggang seorang
murid Go Bie yg lain. Di lain saaat tubuh nenek itu berkelebat kelebat diseputar pendopo dan
diantara suara batuk2 kaki tangannya menyambar nyambar. Dengan nekad para murid Go Bie
melawan dengan senjata mereka. Tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. Dalam sekejap tujuh
delapan orang sudah roboh dengan jalan darah tertotok. Totokan si nenek hebat luar biasa.
Mereka menjerit jerit dan berguling ditanah.
Beberapa saat kemudian, sambil menepuk kedua tangannya, Kim hoa popo sudah kembali
kependopo. Cioe Kauwnio bagaimana pendapatmu? tanyanya. “Apa ilmu silat Go Bie atau
ilmu silat Kim Hoa popo yg lebih unggul?
“Tentu saja ilmu silat kami yg lebih unggul, jawabnya. “Apa popo sudah lupa kekalahan
dalam tangan Siansoe?
Mata si nenek melotot. “Biat coat loo nie menang berkat Ie thian kiam, bentaknya dengan
gusar. “Dia bukan menang sewajarnya.
“Popo, kata Cie Jiak, “Cobalah kau bicara menurut perasaan hatimu, dengan sejujurnya. Siapa
yg lebih unggul andaikata Siansoe dan Popo bertanding dengan tangan kosong?
Si nenek tidak lantas menjawab. Untuk sejenak ia mengawasi muka si nona. Akhirnya ia
menggelengkan kepala dan berkata.
“Entahlah. Aku datang kekota raja justru untuk mendapat keputusan siapa diantara kita yg
lebih unggul. Hai! Sesudah Biat coat Soethay meninggal. Rimba persilatan kehilangan
seorang tokoh yg berkepandaian tinggi. Hai! Mulai dari sekarang, Go Bie pay menjadi partai
yg lemah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1022
Selagi mereka berbicara, murid2 Go Bie yg tertotok jalan daranya terus berteriak2. Ceng Coe
coba menolong, tapi tidak berhasil.
Ternyata ilmu totok Kim hoa popo bebeda dari ilmu totok yg dikenal di rimba persilatan dan
hanyalah yg sudah mempelajarinya barulah bisa membukanya. Sebagai seorang yg pernah
menolong sejumlah jago yg dilukai sinenek, Boe Kie sudah mengenal kelihaian nya orang tua
itu.
“Cioe Kaownio, bagaimana? Apa kau sudah merasa takluk terhadapku? tanya nenek itu.
Ilmu silat partai kami sangat dalam bagaikan lautan dan seseorang yg mempelajarinya tak bisa
berhasil dalam waktu yg singkat, jawab si nona. “Kami masih berusia muda tertu saja kami
belum bisa menandingin popo. Tapi dikemudian hari, kemajuan kami tiada batasnya.
Si nenek tertawa, “Bagus! katanya. “Kalau begitu, sekarang Kim hoa Popo meminta diri.
Dihari kelak, kapan ilmu silatmu telah tidak terbatas, barulah kau membuka jalan darah dia.
Sehabis berkata begitu, ia menuntun tangan Coe Jie, memutar badan dan berjalan pergi.
Cie Jiak terkejut. Kalau si nenek pergoi, saudara saudari seperguruannya pasti akan binasa.
“Popo, tahan dulu! katanya. “Aku memohon popo suka menolong sucie dan suhengku.
“Aku bersedia untuk menolong, asal saja kau mau berjanji, bahwa mulai kini orang2 Go Bie
pay harus menyingkir dari tempat2, dimana aku dan Coe Jie berada,jawabnya.
Nona Cioe mengawasi si nenek dengan rasa mendongkol. Sebagai Ciang boenjin, mereka
pasti tidak bisa memberi janji itu yg berarti runtuhnya Go Bie pay.
Kim hoa popo tertawa. “Kalau kau tidak mau menurunkan keangkeran Go Bie pay, aku pun
tak mau memaksa, asal saja kau suka meminjamkan Ie thian kiam kepadaku, katanya. “Begitu
lekas kau menyerahkan pedang itu kepadaku, aku akan segera menolong suci dan suhengmu.
“Sebagaimana popo tahu, karena ditipu oleh kerajaan, kamu, guru dan murid, telah tertawan
dan terkurung dimenara kelenteng Ban hoat sie, kata si nona. “Cara bagaimana Ie thian kiam
masih bisa berada di dalam tangan kami?
Si nenek memang sebenarnya telah menduga hal itu. Dalam mengajukan permintaan, dia tahu
harapannya sangat tipis. Tapi mendengar jawabannya Cie Jiak,paras mukanya lantas saja
terlihat sinar putus harapan. Tiba2 ia membentak, “Cioe Kouwnio! Jika kau mau melindungin
nama Go bie pay, kau tidak melindungi jiwamu sendiri… Ia mengeluarkan sebutir pel dan
berkata pula, “Inilah racun yang bisa memutuskan usus manusia. Setelah kau menelannya,
aku segera akan menolong mereka.
Sambil menyubiti pel itu, Cie Jiak berkata didalam hatinya, “Suhu memerintahkan aku untuk
menipu Tio Kongcu dan aku sebenarnya tak bisa berbuat begitu. Daripada hidup menderita,
memang lebih baik aku lantas mati.
“Cioe sumoi, jangan telan racun itu ! teriak Cengcoe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1023
Melihat keadaan mendesak, Boe Kie segera bergerak untuk melompat keluar, tetapi lagi2
tangannya dicekal Tio Beng. “Anak tolol! bisik si nona. “Pel itu bukan racun Boe Kie terkejut
dan Cie Jiak telah menelan pel tersebut.
Semua murid Go Bie mencelos hatinya. Mereka segera bergerak untuk menyerang.
“Jangan banyak tingkah! bentak si nenek.
“Racun ini tidak lantas bekerja Cioe Kouwnio, ikutlah aku. Jika kau dengar kata, mungki
sekali aku pasti akan memberikan obat pemunah Sehabis berkata begitu, ia menepuk
badannya murid2 Go Bie yang tertotok. Rasa sakit mereka lantas saja hilang, tapi untuk
sementara waktu belum bisa bergerak, sebab kaki tangannya masih kesemutan. Melihat
kegagahan dan kemuliaan nona Cioe yg telah menolong mereka dengan menelan racun, bukan
main rasa terima kasihnya. “Terima kasih, Cioe sumoi, teriak seorang.
Sementara itu, seraya menarik tangan Cie Jiak, Kim hoat popo berkata dengan suara lemah
lembut. “Anak baik, ikutlah aku. Popo takkan mencelakaimu.
Sebelum ia sempat menyahut, nona Cioe merasa dirinya di betot dengan tenaga yg sangat
besar dan tanpa merasa, ia melompat.
Ceng coe berteriak. “Cioe sumoi!... Ia melompat untuk mencegat. Tiba2 ia merasa sambaran
angina tajam. Itulah serangan Cioe Jie. Dengan cepat ia menangkis dengan tangan kirinya.
Tapi pukulan Cioe Jie hanya pukulan gerak.
“Plak! yg benar2 di gaplok adalah pipi Teng Bin Koen. Pukulan itu yg diberi nama Cie Tang
Tah say (Menunjuk ke Timur, memukul ke Barat) adalah salah satu pukulan lihai dari Kim
hoa popo. Sesudah menggaplok, sambil tertawa nyaring, Coe Jie melompati tembok.
“Ubar! kata Boe Kie sambil mencekal tangan Siauw Ciauw. Mereka lantas saja melompati
tembok. Melompat munculnya tiga orang lain, murid2 Go bie pay tentu saja merasa kaget dan
dilain saat, merekapun melompat untuk mengejar. Tapi ilmu ringan badan Kim hoa popo dan
Boe Kie bukan ilmu ringan badan yg sembarangan. Waktu murid2 Go Bie melompati tembok
mereka tak kelihatan bayang2annya lagi.
Sesudah ubar2an beberapa puluh tombak, Kim hoa popo membentak, “Siapa!
“Serahkan Ciang boen kami! Setelah kau menyerahkan aku mengampuni jiwamu, teriak Tio
Beng yg kemudian berbisik dikuping Boe Kie, “Kau mengamat2i dari kejauhan. Jangan
munculkan diri. Sehabis berkata begitu ia mengempos semangat dan tubuhnya melesat
beberapa tombak. Dengan pukulan Kim Teng hoed kong (Sinar Budha di Kim teng) yaitu
salah satu pukulan dari Kim hoat Go bie pay ia menikam punggung si nenek. Dengan
memiliki kecerdasan yg luar biasa, dari latihan dikelenteng Ban hoat sie ia sudah bisa
menggunakan ilmu pedang Go Bie pay. Biarpun tenaga dalamnya masih belum cukup tapi
serangannya itu yg dikirim dengan Ie Thian Kiam sudah cukup hebat.
Mendengar sambaran angin yg luar biasa si nenek buru2 melepaskan Cioe Jiak dan berkelit
sambil memutar tubuh. Dengan beruntun Tio Beng mengirim beberapa serangan tapi
semuanya di punahkan secara mudah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1024
Melihat senjata yg digunakan si nona adalah Ie Thian Kiam, Kim hoa popo kaget tercampur
girang. Ia merangsek dan terus menyerang sesudah bergebrak memakai beberapa jurus, tiba2
Tio Beng memutar pedangnya dan menyerang dengan pukulan Soan hong chioe (angin
puyuh) dari Koen loen pay. Dalam pertempuran itu , si nenek menganggap bahwa Tio Beng
adalah murid Go bie pay dan diperhatikan ialah kiam hoat Go bie pay. Pada detik itu ia justru
sedang melompat untuk menangkap pergelangan tangan si nona dan merampas Ie Thian
Kiam. Serangan mendadak dengan pukulan Koen loen pay benar2 diluar dugaannya. Ia
terkesiap tapi sebagai orang yg memiliki kepandaian tinggi, dalam bahaya ia tidak jadi
bingung dan secepat kilat ia menggulingkan badannya ditanah. Tapi walaupun ia dapat
menyelematkan jiwa, tangan bajunya tak urung kena disambar jg dan robek.
Bukan main gusarnya Kim hoa popo. Begitu melompat bangun, ia menyerang dengan
hebatnya. Tio beng mengerti bahwa ilmu silatnya masih kalah jauh dari si nenek! Dalam
pertempuran yg lama ia pasti bakal dirobohkan.
Dengan secepat ia mengubah siasat. Sekarang ia menyerang berbagai ilmu pedang, sebentar
dengan kim hoat Khong tong pay, sebentar dengan kiam goat Hwa san pay, Koen loen pay,
atau Siauw lim pay dan yg digunakannya selalu pukulan2 yg paling hebat. Berkat Ie thian
kiam, serangan2an itu dahsyat luar biasa dan Kim hoat popo tidak berlaku sembrono. Coe Jie
jengkel. Ia menghunus pedangnya dan melontarkannya kepada sang popo. Karena orang itu
itu menyambuti senjata tersebut, tapi baru bertanding sembilan jurus, dengan satu suara,
“kres! pedangnya putus dua.
Paras muka si nenek berubah. Ia melompat keluar dari gelanggang dan membentak. “Bocah!
Siapa kau sebenarnya?
Tio Beng tertawa. “Mengapa kau tidak mencabut To liong to? tanyanya
“Kurang ajar! Jika aku memegang To Liong to kau sama sekali bukan tandinganky. Apa kau
berani mengikuti kami untuk menjajal jajal?
Mendengar disebutnya To Liong to, Boe Kie merasa heran.
“Nenek pergilah kau ambil To liong to, kata si nona sambil tertawa. “Aku tunggu kau dikota
raja. Sesudah kau bersenjatakan golok itu, kita boleh bertempur lagi.
“Balik kepalamu kemari! Aku mau lihat lebih tegas mukamu, kata si nenek dengan gusar.
Tio Beng memutar badan, mengeluarkan lidahnya dan memejamkan sebelah matanya,
sehingga mukanya tidak keruan macam. Si nenek mengutuk dan meludahi muka si nona.
Sesudah itu dengan menuntung Coe Jia han Cie Jiak, ia berlalu.
“Ubar lagi!, kata Boe Kie
“Tak perlu tergesa gesa. Aku tanggung keselamatan Cioe Kauwniomu tidak akan terganggu.
“Mengapa tadi kau menyebut2 To liong to?
“Waktu berhadapan dengan murid2 Go Bie pay nenek itu mengatakan bahwa seorang sahabat
lama bersedia untuk meminjamkan sebatang golok mustika kepadanya dan dengan golok itu,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1025
ia ingin bertempur lagi denagn Boat coat soethay, Ie thian poe coet, swee ie ceng hong (kalau
ie thian tidak keluar, siapa lagi yg bisa melawan ketajamannya?) untuk melawan In thiam
Kiam, orang harus menggunakan To Liong to. Aku bertanya dalam hatiku, apakah dia sudah
berhasil meminjam to liong to dari ayah angkatmu, Cia locianpwee? Maka itulah, tadi aku
menyerang dengan Ie Thian kiam dan maksudku adalah untuk memaksa supaya ia
mengeluarkan to liong to. Tapi ternyata ia tdiak membawa golok mustika itu dan hanya
menantang supaya aku mengikuti dia untuk menjajal Ie thian kiam dengan to liong to. Dari
perkataannya itu mungkin sekali ia sudah tahu dimana adanya to liong to, tapi belum bisa
mendapat, katanya.
“Mendengar keterangan itu, Boe kie mengmanggutkan kepalanya. “Ya benar sekali bahwa
golok itu berada dalam tangan Gie Hoe, katanya.
“Menurut dugaan ia segera akan pergi ke pantai untuk menyebrangi lautan guna mencari
golok itu, kata pula Tio Beng. “kita harus mendahului, supaya Cia locianpwee yg buta dan
berbaik hati tak sampai kena di perdayai oleh perempuan tua itu.
Darah Boe Kie bergolak. “Benar! Benar! Katamu! katanya dengan tergesa gesa. Waktu
meluluskan permintaan Tio Beng yg mau meminjam To liong to, ia hanya mempertahankan
sifatnya lelaki yg takkan menjilat ludah sendiri. Tapi sekarang mengingat keselamatan ayah
angkatnya, ia ingin sekali mempunyai sayap supaya ia bisa segera terbang untung melindungi
ayah angkat itu.
Tanpa membuang buang waktu lagi Tio Beng segera mengajak Boe Kie dan Siauw Ciauw
kegunung Ong hoe. Ia tak masuk kedalam dan hanya bicara dangan penjaga pintu yg sesudah
mendengari pesanan sang majikan, buru2 masuk ke dalam keluar lagi dengan menuntun
sembilan ekor kuda yg jarang kelihatannya dan menenteng buntalan yg berisi emas dan perak.
Tio Beng bertiga lantas saja melompat kepunggung tunggangan itu yang terus dikaburkan
kearah timu. Enam ekor kuda lainnya mengikuti dibelakang dan ditunggang dengan
bergantian supaya mereka tak terlalu capai.
Pada keesokan paginya, kesembilan kuda itu dapat dikatakan sudha tak bisa lari lagi. Dengan
memperlihatkan kin pay (tanda perintah) Jie lam ong, Tio beng menemui pembesar setempat
dan menukar kuda2 itu dengan tunggangan yg masih segar. Malam itu, mereka tiba di kota
pesisi. Malam2 notan Tio menemui pembesar dikota itu dan memerintahkan supaya ia segera
menyediakan sebuah perahu besar yg kuat dan lengkap segala2nya. Ia pun memerintahkan
supaya semua perahu yg berada di pelabuhan segera berlayar kearah selatan dan disepanjang
pantai kota itu dalam jarak seratus li, tak boleh berlabuh perahu apapun juga.
Belum cukup sehari, segala apa sudah siap sedia. Tio beng, Boe Kie dan Siauw Ciauw segera
menukar pakaian pelaut, memasang kumis palsu, memoles muka mereka dengan semacam cat
air sehingga warna kulit jadi berubah dan terus turun ke perahu untuk menunggu Kim Hoa
popo.
Lihai sungguh tebakan Beng beng koencoe. Kira2 magrib, sebuah kereta tiba dipantai dengan
diiring oleh Kim hoa popo yang menuntun Cie Jiak dan Coe Jie. Si nenek segera pergi ke
perahu itu kendaraan air satu2nya yg berlabuh di pesisir dan minta menyewanya. Anak buah
kapal yg sudah menerima pesanan Tio Beng, semula menolak dan sesudah Kim hoa popo
menyerahkan sepotong emas dengan sikap apa boleh buat, barulah pemimpin kapal
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1026
meluluskan permintaannya. Begitu lekas si nenek begitu turun kapal segera memasang layar
dan berangkat ke arah timur.
Di atas samudra seolah2 tidak berbatas sekuat perahu berlayar kearah tenggara.
Perahu itu sangat besar bertingkat dua, diatas geladak dikepala perahu dan dikiri kanan nya
terdapat meriam. Perahu itu adalah sebuah perahu meriam Mongol. Bangsa Mongol pernah
berniat menyerang negeri Jepang dan mempersiapkan perahu2 perang. Diluar dugaan
angkatan laut itu diserang topan hingga berantakan dan niatan itu menjadi gagal. Jika
berlabuh di pantai, perahu itu karam kelihatannya. Tapi diatas samudra dia menyerupai
selembar daun yg terombang ambing merupakan tiupan angin.
Dengan menyamar sebagai anak buah Thio Boe Kie, Tio Beng dan Siauw Ciauw
bersembunyi dibagian bawah perahu.
Hari itu, waktu mau turun keperahu, Tio Beng kaget dan berkuatir. Ia sama sekalitak
menduga, pembesar setempat menyediakan sebuah perahu meriam dari angkatan laut Mongol.
Hal ini bisa membuka rahasia. Tapi sebgai seorang yg sangat pintar si nona lantas saja dapat
memikir satu jalan untuk memperdayai Kim hoa popo, ia segera memerintahkan supaya
perahu itu membawa sejumlah jala dan beberapa ton ikan basah. Dengan demikian nenek Kim
Hoa akan percaya bahwa lantaran sudah tua maka perahu perang itu telah diubah menjadi
semacam perahu penangkap ikan.
Ketika tiba dipantai sebab tak mendapatkan lain kendaraan air tanpa curiga Kim hoa popo
segera menyewa perahu tersebut.
Dari lubang jendela, Boe Kie dan Tio Beng memperhatikan jalannya matahari dan rembulan
yg selalu naik dari sebelah kiri perahu. Mereka tahu, bahwa perahu sedang berlayar ke arah
selatan. Waktu itu sudah masuk musim dingin dan angin utara meniup dengan hebatnya,
sehingga perahu berlayar dengan kecepatan luar biasa.
“Gie hoe berada di pulau Penghwee to, di daerah Kutub utara, kata Boe Kie. “Untuk
mencarinya, kita harus berlayar kearah utara. Mengapa Kim hoa popo memerintahkan perahu
ini menuju ke selatan?
“Si nenek tentu mempunyai niatan yang belum di ketahui kita, jawab Tio Beng. “Sekarang ini
angin selatan belum waktunya turun, sehingga biar bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa
berlayar ke jurusan utara.
Pada hari ketiga, diwaktu lohor, salah seorang anak buah memberi laporan kepada Tio Beng,
bahwa Kim hoa popo sangan paham dengan jalanan air yg digunakan mereka. Si nenek tahu
mana ada pulau yg ditempat apa bakal ada batu karang yg menonjol keatas dia bahkan lebih
paham daripada anak buah perahu itu.
Tiba tiba Boe Kie ingat sesuatu. “Ah! serunya dengan suara tertahan. “Apa dia bukan mau
pulang ke pulau Leng coat to?
“Leng coat to apa? menegas si nona.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1027
“Kim hoa popo bersarang di pulau Leng coat to, jawabnya. “Mendiang suaminya dikenal
sebagai Gin yap sian seng. Pada banyak tahun berselang, Kim hoa dan Gin yap dari Leng coat
to mengentarkan dunia Kang ouw. Apa kau tidak tahu?
Si nona tertawa. “Kau hanya lebih tua beberapa tahun daripada aku, tapi dalam pengalaman
kau seperti seorang kakek, katanya.
Boe Kie turut tertawa, “Beng Kauw dikenal sebagai agama siluman dan anggota2 Beng Kauw
memang sedikit, lebih berpengalaman daripada seorang kauwcoe yg dikeram didalam gedung
raja muda, katanya.
Mereka berdua adalah musuh besar. Dengan masing2 pemimpin sejumlah jago beberapa kali
mereka telah mengukur tenaga. Tapi sekarang sesudah bergaul beberapa hari dalam sebuat
perahu dengan Kim hoa popo sebagai musuh umum mereka dari musuh mereka telah berubah
menjadi sahabat.
Sesudah memberi laporan anak buat itu buru2 kembali ke tempat kemudi.
“Toa kauwcoe kata Tio Beng. “Apakah kau sudah menceritakan sepak terjang Kim hoa dan
Gin yap kepada seorang budak kecil yang di keram didalamg edung raja muda?
Boe Kie menyeringai, “Mengenai Gin yap Sian seng, aku tidak mempunyai pengetahuan apa
pun jua, jawabnya. “Tapi dengan si nenek aku pernah bertemu dan pernah menyaksikan
sendiri sepak terjangnya. Ia segera menuturkan pengalamannya di Ouw Tiep Kok, Ie Sian
Ouw Ceng Goe untuk minta di obati, cara bagaimana nenek dikalahkan oleh Biat coat suthay
dan akhirnya cara bagaimana Ouw Ceng Coe dan Ong Len Kouw binasa dalam tangan nenek
itu. Sehabis bercerita kedua matanya mengembang air mata, biar pun Ouw Ceng Coe berada
aneh, orang itu itu telah memperlakukannya dengan baik sekali dan telah banyak memberi
pertolongan kepadanya. Ia merasa sangan berduka, bahwa orang tua itu dan istrinya telah
dibinasakan secara menggenaskan dan jenazah mereka di gantung di pohon oleh si nenek Kim
Hoa. Ia hanya tidak menceritakan ajakan Coe Jia supaya ia turut pergi ke Leng coat to dank
arena tampikannya sebelah tangannya sudah digigit oleh nona itu. Mungkin sekali ia merasa
jengah untuk menuturkan peristiwa yg kecil itu.
Sesudah mendengarkan cerita Boe Kie dengan paras sungguh2 Tio Beng berkata, “Thio kong
coe semuda aku hanya menganggap nenek itu sebagai seorang yg ilmu silatnya sangat tinggi.
Tapi dalam penuturannya, aku menarik kesimpulan, bahwa dia orang yg sangat cerdik dan
bukan lawan yg enteng. Kita tidak boleh memandang rendah kepadanya.
Boe Kie tertawa, “Koencoe nio nio seorang Boen boe song coan dan bukan saja begitu, ia
bahkan memimpin sejumlah orang gagah yang berkepandaian sangat tinggi, katanya. “Maka
itu menurut pendapatku menghadapi seorang nenek sama sekali tidak menjadi soal baginya.
“Hanya yg di lautan ini aku tidak bisa memanggil para boesoe dan hoenceng.
Boe Kie tersenyum, “Tukang masak dan anak buah yg menarik layer bukan sembarang orang,
katanya. “Biarpun mereka bukan jago kelas satu mereka pasti bisa termasuk dalam kalangan
jago jago kelas dua.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1028
Si nona berkesiap. Sesudah berdiam sejenak ia tertawa geli. “Aku menyerah kalah! Menyerah
kalah! katanya. “Dengan sesungguhnya Toa kauwcoe mempunyai mata yg sangat awas.
Ternyata waktu pulang ke Ong hoe untuk mengambil kuda dan emas perak diam2 Tio Beng
telah memesan boesoe penjaga pintu supaya sejumlahorang sebawahannya menyusul ke
pesisir untuk ikut berlayar. Orang2 itu menggunakan kuda, tapi mereka ketinggalan kira2
setengah hari dari majikan mereka. Mereka menyamar sebagai tukang masak dan anak buah
perahu dan terdiri dari orang yang tidak turut dalam pertempuran di Ban hoat she. Tapi
sebagai ahli2 silat, sinar mata sikap dan gerak gerik mereka berbeda dari orang biasa. Dan
Boe Kie yang bermata tajam tidak kena di kelabui.
Kenyataan itu mengkuatirkan hati si nona. Kalau Boe Kie masih belum bisa diakali, apalagi
Kim Hoa popo yang berpengalaman luas. Tapi untung juga pihaknya berjumlah banyak lebih
besar sehingga kalau sampai mesti bergerak dengan bantuan Boe Kie ia pasti tak akan kalah.
Selama beberapa hari yg paling mengganggu pikiran Boe Kie ialah keselamatan Cie Cioe Jiak
yg telah menelan pel ‘racun’. Didalam hati ia selau bertanya2, kapan racun itu mengamuk?
Tio Beng yg pintar lantas saja dapat menebak rahasia hatinya. Setiap kali alis pemuda itu
berkerut setiap kali ia memerintahkan orang pergi keatas untuk menyelidiki dengan berlagak
membawa air atau teh. Orang it lalu kembali dengan laporan yg menyenangkan, nona Cioe
sehat2 saja. Sesudah kejadi ini berulang beberapa kali Boe Kie merasa jengah sendiri.
Sementara itu lain peringatan sering mengganggu pikiran Boe Kie. Saban ia termenung
seorang diri, ia ingat peristiwa itu diatas salju didaerah see hek. Ia ingat pengalamannya
dengan Coe Jie. Ia ingat, cara bagaimana dengan Ho thay Ciong, Boe liat dan yang lain2, ia
pernah berkata begini, “Nona dengan setulus2 hati aku bersedia, untuk menikah dengan kau.
Aku hanya mengharap kau jangan mengatakan, bahwa aku tidak setimpal dengan dirimu.
Dilain saat sambil mencekal tangan si nona, ia berkata pula, “Aku ingin berusaha supaya kau
bisa hidup beruntung supaya kau melupakan penderitaanmu yg dulu2. Tak peduli ada berapa
banyak orang yg mau menghina kau, aku bersedia untuk mengorbankan jiwa demi
keselamatanmu. Ia ingat itu semua (Kisah pembunuh naga jilid 14, halaman 44) dengan mulut
berkumak kumik, ia mengulangi perkataan2 itu. Mukanya lantas berubah merah.
Tiba2 terdengar suara tertawanya Tio Beng “Hai! kata si nona “Lagi2 kau memikiri Cioe
Kouwnie mu!
“Tidak!
“Kau memikiri apa dia tidak memikiri dia sedikitpun tiada sangkut pautnya dengan diriku.
Aku hanya merasa menyesal, seorang laki2 gagah sudah berdusta dihadapan seorang wanita.
“Perlu apa kau berdusta? Dengan sesungguhnya aku bukan memikiri Cioe Kouwnio.
“Dusta! Kalau ingat Kouw Tauwto Wie It Siauw atau lain2 manusia muka jelek, paras
mukamu tidak nanti mengunjuk sinar yang begitu lemah lembut yang penuh kasih saying,
yang kemerah2an. Omong kosong kau!
Boe Kie tertaw. “Kau sungguh lihai, katanya. “Kau dapat membaca hati orang, apa dia sedang
memikiri orang yg cantik atau yg jelek. Tapi aku mau menerangkan dengan sesungguh2nya,
bahwa orang yg kuingat pada detik ini sedikitpun tak ada yg berparas cantik.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1029
Mendengar nada suara yg sungguh2 si nona tersenyum dan tidak menggoda lagi. Biarpun
pintar, ia sama sekali tidak menduga, bahwa yang diingat Boe Kie adalah Coe Jie yg mukanya
tak keruan macam.
Mengingat, bahwa jeleknya muka Coe Jie adalah akibat latihan Cian Coe Ciat Hoe Chie, Boe
Kie menghela napas. Waktu si nona muncul pada malam itu diantara murid2 Go Bie, ia
mendapat kenyataan bahwa muka Coe Jie lebih hebat daripada dulu. Ia merasa menyesal,
karena ia merasa, bahwa makin mendalam Coe Jie melatih diri dalam ilmu silat itu, makin
besar bahaya bagi dirinya. Ia kuatir akan keselamatan si nona, baik jasmani maupun rohani.
Dengan rasa terima kasih, ia ingat budi nona itu. Sesudah berada di Kong Beng Teng dan
menjadi Kauw coe karena repot, ia tak sempat memikiri segala urusan pribadi. Tapi biarpun
begitu ia pernah meminta bantuak Leng Kiam untuk mencarinya diseluruh Kong Beng Teng.
Ia pernah meminta pertolongan Wie It Siauw untuk bantu menyelidiki tapi usahanya tinggal
tersia sia. Coe Jie menghilang bagaikan batu yg tenggelam di lautan.
Tiba2 si nona muncul, tak usah dikatakan lagi. Ia merasa sangat girang. Diam2 ia mengutuk
dirinya sendiri, Coe Jie begitu baik mengapa dia sendiri bersikap begitu tawar? Tapi pada
hakekatnya pemuda itu bukan manusia yg tidak mengenal budi. Sikap tawarnya itu adalah
karena ia selalu memikiri bebannya yang sangat berat. Sebagai Kauw Coe dari Beng Kauw
dan Bengcoe dari perserikatan segenap Rimba Persilatan. Ia tak sempat untuk mengurus
kepentingan pribadi.
Mendadak Tio Beng tertawa nyaring, “Eh! Mengapa kau menghela napas? tanyanya.
Sebelum Boe Kie menjawab diatas perahu sekonyong2 terdengar teriakan2. Sesaat kemudian
seorang anak buah dating melapor, “Disebelah depan terlihat daratan dan nenk itu
memerintahkan supaya perahu dijalankan terlebih cepat.”
Boe Kie dan Tio Beng segera mengitip dari lubang jendela. Pada jarak beberapa li, mereka
melihat sebuah pulau yg besar, dengan pohon2 yg hijau disebelah timur terlihat beberapa
gunung yg menjulang tinggi keangkasa. Dengan angin yg bagus, perahu itu berlayar dengan
epsar dan dengan waktu kira2 semakanan nasi, dia sudah tiba di depan pulau. Dibagian timur
pulau, tidak terdapat pesisir yg lazim dari pasir cetek. Batu gunung di bagian itu termasuk
masuk ke dalam ari yg tak diketahui berapa dalamnya. Perahu ditujukan kejurusan timur dans
segera menempel pada batu gunung yg menjulang keatas dari pinggir air.
Baru saja perahu itu melepas jangkar diatas gunung sekoyong2 terdengar teriakan atau jeritan
dahsyat yg menyerupai auman harimau dan jeritan Naga. Teriakan itu yg berulang2 seolah2
menggetarkan seluruh gunung.
Mendengar teriakan itu, Boe Kie tercampur girang, karena dia mengenali karena itulah
teriakan ayah angkatnya, Kim Mo Say Ong Cia Soen. Sesudah berpisah belasan tahun
keangkeran Gie Hoe ternyata masih seperti dahulu. Tanpa memikir panjang2 lagi, buru2 ia
mendaki tangga dan naik diatas geledak di belakang perahu. Ia menengadah dan mengawasi
puncak bukt atau gunung kecil itu. Ia melihat empat pria bersenjata sedang mengepung sorang
yg bertubuh tinggi besar dan orang itu, yg bertangan kosong memang bukan lain dari ayah
angkatnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1030
Biarpun buta dan biarpun dikerubuti berempat Cia Soen tidak jatuh dibawah angin. Boe Kie
yg belum pernah melihat ayah angkatnya yg sedang ramai bertempur dia merasa kagum
sekali. Tak heran nama Kim mo say ong Cia Soen menggetarkan Rimba Persilatan. Ilmu
silatnya lebih tinggi daripada Ceng Ek Hok Ong, Wie It Siauw dan kira2 setanding dengan
kakeknya.
Tapi ke empat musuh itupun bukan lawan enteng. Karena jauh, Boe Kie tidak bias melihat
dengan jelas muka mereka. Tapi dilihat dari pakaian mereka yg compang camping dan karung
yg menggemblok dipunggung mereka sudah dapat dipastikan mereka adalah anggota
Kaypang. Tiga orang lain berdiri menonton, kalau empat kawannya kalah, mereka tentu turut
turun tangan.
Tiba2 teriakan seseorang, “Serahkan To liong to! Golok tukar dengan jiwa!”
Meskipun kuping nya tajam, Boe Kie tidak bias menangkap semua perkataan itu. Tapi ia
sudah tahu, bahwa musuh itu dating menyateroni untuk merebut To liong to!
Cia Soen tertawa terbahak bahak, “To liong to ada disini! Ambillah sendiri, kalau kau
mampu!” teriaknya. Sedang mulutnya berbicara, perlawanannya sedikitpun tak menjadi
kendor.
Dengan sekali berkelebat, Kim hoa popo sudah medarat. Sambil batuk2 ia berteriak, “Para
pendekar Kaypang! Apa maksud kalian? Tanpa bicara dulu dengan si nenek, kalian
mengganggu tamu terhormat dari Leng coa to.”
Sekarang Boe Kie mendapat kepastian, bahwa pulau itu benar Leng coa to. Ia merasa sangat
heran. Dulu ayah angkatnya menolak untuk kembali ke Tong Goan. Mengapa kini ia suka
mengikuti Kim hoa popo? Cara bagaimana si nenek tahu, bahwa ayah angkatnya berada di
Peng Hwee To?
Mendengar teriakan nyonya rumah, keempat orang itu rupa2nya menjadi bingung. Dalam
usaha untuk menjatuhkan Cia Soen secepat mungkin, mereka memperhebat serangan. Tapi
dengan berbuat begitu, mereka melakukan kesalahan besar. Dia orang buta, Cia Soen
melawan dengan mengandalkan kupingnya. Ia menangkis setiap serangan dengan mendengar
sambaran angin dari pukulan2 musuh. Dengan memperhebat serang mereka2, sambaran2 jadi
makin keras dan hal ini bahkan memunahkan perlawanan Cia Soen. Dilain saat, seraya
membentak keras Cia soen meninju dan tinju itu mampir didada salah seorang musuh. Orang
berteriak dan roboh tergelincir kebawah, akan kemudian jatuh diatas batu, sehingga kepalanya
hancur.
Melihat begitu, salah seorang yang nonton lantas saja membentak, “Mundur!” Ia melompat
dan meninju, Ia meninju dengan tenaga yg “seperti ada dan seperti tidak ada” sehingga Cia
soen tak bias membedakan arah sambarannya. Waktu tinju hanya terpisah beberapa dim dari
tubuhnya, barulah ia bisa merasakan sambarannya dan menangkis dengan terburu2. sementara
itu, ketiga orang yg tadi mengerubuti sudah melompat keluar dari gelanggang. Dilain saat
seorang kakek lain yg tdai menonton turut membantu kawannya. Ia pun menyerang dengan
pukulan2 “lembek” sehingga baru saja bertempur beberapa jurus Cia Soen sudah jd report
sekali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1031
“Kie Tiangloo! The Tiangloo!” teriak Kim hoat popo. “Kim mo say ong buta matanya.
Dengan menyerang secara licik cuma2 saja kalian mempunyai nama besar dalam dunia Kang
Ouw.” Seraya berkata begitu, bagaikan terbang ia terus mendaki gunung. Dengan
menggunakan seantero tenaganya Coe Jie mengikuti dari belakang.
Sebab kuatir akan keselamatan ayah angkatnya, Boe Kie jg segera menyusul. Tio Beng
memburu dan menyandaknya. “Dengan adanya nenek itu kau tak usah kuatir,” bisiknya.
“Yang paling penting kau tak boleh memperkenalkan dirimu.”
Boe Kie menganggung dan sambil mencekap tangan si noan ia terus berlari lari di belakang
Coe Jie. Sambil mengikuti dengan rasa kagum ia mengawasi potongan badan Coe Jie yg
langsing dan gemulai. Kalau mukanya tidak jelek karena latihan ilmu yg sesat, nona itu pasti
tidak kalah dengan Tio Beng, Cie Jiak atau Siauw Ciauw. Mengingat begitu, jantungnya
memukul keras. Dilain detik, ia mengutuk dirinya sendiri. “Boe Kie! Boe Kie! Kau benar
edan!” katanya didalam hati. “Sedang ayah angkatmu menghadapi bencana, kau masih bisa
memikir yg gila2!”
Tak lama kemduia ia sudah tiba di pinggang gunung. Ia mendapat kenyataan, bahwa ayah
angkatnya melawan dengan pukulan2 pendek. Itulah siasat untuk membela diri. Ia
memunahkan serangan2 musuh dengan Siauw kim na chioe (ilmu menyengkram dan
membantung dengan jarak pendek) Dengan menggunakan siasat itu, untuk sementara waktu
Cia Soen memang bisa menyelamatkan diri, tapi ia sukar bisa memperoleh kemenangan.
Dengan menyembunyikan diri dibawah sebuah pohon siong, Boe Kie mengawasi ayah
angkatnya. Pada muka orangtua itun terlihat lebih kerutan sedang rambutnya sudah hampir
putih semua. Rupa2nya, selama berada di pulau Peng hwee to belasan tahun, ia banyak
menderita, sehingga ia cepat tua. Boe Kie ikut menderita. Ia ingin sekali turut menyerbu untuk
menghajar musuh. Ia ingin sekali memeluk orang tua itu dan memperkenalkan dirinya. Tio
Beng mengerti, apa yg di pikirkan pemuda itu. Ia memegan tangan Boe Kie erat2 dan
mengeleng2kan kepalanya.
Sekonyong2 Kim hoa popo berkata dengan suara nyaring. “Kie Tangloo, Im san ciang Liok
Kioe sudah tersohor dalam dunia Kang Ouw. Mengapa kau malu2 kucing dan
menyembunyikan dalam pukulan Sin Ciang? Ah! The Tiang Loo lebih tolol lago. Dia
menyembunyikan Hoei hong Hoed lioe koen didalam Patkwa koen. Apa kau kira Cia tayhiap
tak tahu? Oh oh oh … oh oh … uh.. uh …” Ia batuk2. “Dahulu, kaypang adalah sebuah partai
besar yg dihormati sebagai partai yg selalu menolong sesama manusia….. oh oh oh … saying,
sungguh saying! … makin lama jadi makin busuk…”
Karena tak bisa melihat pukulan musuh yg sangat licik, Cia Soen memang lagi bingung.
Mendengar petunjuk si nenek ia girang. Pada detik The Tiangloo mau mengubah pukulannya,
ia membarengi dengan tinjunya. Hampir berbareng dengan ebradunya kedua tinju kanan The
Tiangloo terhuyung satu dua tindak. Untung jg iapun memiliki kepandaian tinggi sehingga ia
tak sampai roboh. Sebelum Cia Soen bisa mengirim serangan susulan, Cia Tiangloo sudan
merangsek untuk menolong kawanya.
Boe Kie mendapat kenyataan, bahwa Kie Tiangloo bertubuh kate gemuk dan dengan
mukanya yg bersinar merah, ia menyerupai seperti seorang tukang potong babo. Dilain pihak
the Tiangloo berbadan kurus kering. Disebelah kejauhan berdiri seorang pemuda yg berusia
kurang lebih tiga puluh tahun. Iapun mengenakan pakaian kaypang dengan perbedaan, bahwa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1032
pakaiannya yg rombeng kelihatan bersih. Di punggungnya menggemblok delapan lembar
karung. Bahwa seorang muda seperti dia bisa menjadi tiangloo (tetua) dengan pertandaan
delapan karung, adalah kejadian yg luat biasa. Beberapa kali Boe Kie mengawasi dia, ia
merasa, bahwa ia pernah bertemu dengan orang itu, tapi ia lupa dimana dan lagi kapan
pertemuan itu terjadi.
Tiba2 pemuda itu berkata, “Kim hoa popo, terang2an kau tidak membantu Cia Soen, tapi
gelap2an kau membantu jg. Apa kau tidak curang?”
“Apakah tuan tiangloo dari kay pang?” Tanya si nenek dengan suara tawar. “Maaf, nenekmu
belum pernah bertemu muka denganmu.”
“Tentu saja popo tidak mengenal aku, sebab belum lama aku menduduki kursi tiangloo,”
jawabnya. “Aku she Tan, namaku Yoe Liang.”
Tan Yoe Liang! Boe Kie lantas saja ingat. Waktu Thay suhu mengajaknya ke Siauw Lim sie
untuk berobat, salah seorang murid Siauw Lim telah menghafal Boe Teng Kioe yang kang
dengan hanya sekali membaca. Murid Siauw lim itu bukan lain drpd Tan Yoe Liang.
Bagaimana ia sekarang menjadi tiangloo dari partai pengemis? Tapi hal itu tidak tetlalu
mengherankan. Memang juga ada banyak anggota lain partai yg masuk kedalam kaypang.
Bahwa ia bisa menjadi tiangloo bukan kejadian luar biasa. Ia berotak cerdas. Dengan
memiliki ilmu silat Siauw lim sie dan Boe tong Kioe yang kang, tak heran kalau dia
menduduki kedudukan penting didalam partai itu.
“Apa murid Boe tong pun masuk kedalam kaypang?” bentak Kim hoa popo.
Dari suara Tan Yoe Liang, Boe Kie tahu bahwa orang itu memilki lweekang boe tong pay.
Dia ternyata sudah melatih diri dalam Boe tong kioe yang kang yg dicurinya. Mendengar
bentakan si nenek, Boe Kie mendongkol bukan main. “Tak tahu malu!” katanya didalam hati.
Berbareng dengan itu, iapun akan merasa kagum atas ketajaman Kim Hoa Popo.
Tan Yoe Liang tertawa, “Sungguh lucu?” katanya. “Aku murid Siau Lim, tapi si nenek kukuh,
bahwa aku anggota dari partai lain. “keras,” disertai Siaw Lim Kioe yang kang.
Boe Kie terkejut. Orang itu sudah mempelajari Kioe yang kang dari Siauw lim dan Boe tong
dan benar2 lihai.
Mendadak terdengar bentakan keras dan lengan kiri The Thiangloo kembali dengan tinjunya
Cia Soen. Tiga murid kay pang yg tadi mundur dari gelanggang, dengan serentak menerjang
pula dengan senjata mereka. Ilmu silat ketiga orang itu kalah jauh dari kedua tiangloo tapi
penyerbuan mereka sangan menambah kerepotan Cia Soen. Orang tua itu bukan saja tidak
bisa melihat, tapi semenjak kedua matanya buta iapun belum pernah bertempur, sehingga ia
tidak punya pengalaman. Hari ini pertama kali ia berhadapan dengan lawan2 berat dan
berkelahi dengan hanya mengandalkan ketajaman kupingnya. Dengan bertambahnya musuh,
bersenjata ia lantas jatuh dibawah angina sebab ia sukar membedakan yg mana sambaran tinju
yg mana sambaran senjata tajam. Dalam sekejap bahunya sudah terbacok.
Melihat bahaya Boe Kie bersiap untuk menolong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1033
“Kim hoa popo tidak bisa tidak menolong” bisik Tio Beng sambil mencekal erat2 tangan
pemuda itu.
Tapi si nenek masih tenang2 saja. Sambil bersandar dengan tongkatnya ia hanya bersenyum
dingin.
Dilain detik, betis Cia Soen kena tendangan Tiangloo. Tendangan itu sangat hebat, sehingga
Cia Soen terhuyung hampir2 ia roboh. Kelima anggota kaipang itu jadi girang. Sambil
berteriak mereka memperhebat serangan.
Boe Kie sudah siap sedia. Sebelah tangannya sudah memegang tujuh butir batu kecil. Pada
detik yg sangat berbahaya, ia menimpuk dan tujuh butir batu itu menyambar kearah lima
musuh. Tapi sebelum batu2 itu mampir pada sasarannya, mendadak terlihat berkelebatnya
sehelai sinar hitam. “Trang!” tiga senjata putus empat sosok tubuh manusia jg putus dan jatuh
ke lereng gunung? Antara kelima musuh itu hanya The tiangloo yg masih hidup dan Cuma
putus lengan kanannya. Ia menggeletak ditanah dengan punggung tertancap sebutir batu yg di
timpukkan oelh Boe Kie. Keempat musuh yg sudah binasa jg tak luput dari sasaran batu. Tapi
batu2 itu sudah didahului dengan babatan golok, sehingga bantuan Boe Kie sebenarnya sudah
tidak perlu lagi.
Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Dilain detik, Cia Soen kelihatan berdiri sambil
mencekal sebatan golok yg berwarna hitam. Golok itu bukan lain daripada “Boe lim Cie
Coen” To liong to! Sambil melintangkan senjatanya, Kim mo berdiri tegak dengan semangat
bergelora dan keangkeran yg tiada taranya sehingag ia seolah2 malaikat yg baru turun dari
atas langit.
Sedari kecil Boe Kie sudah sering melihat golok mustika itu, tapi ia tak pernah menduga
bahwa To liong to sedemikian hebat.
“Boe lim cie coen… po to To liong!... boa lim coen po to To lion!” (yang termulia dari rimba
persilatan adalah golok mustika To liong).
Sementara itu The tiangloo yg putus lengannya terus berteriak2. Dengan paras muka pucat
Tan YOe Liang berkata,
“Cia Tayhiap, aku akan merasa sangat takluk dengan ilmu silatmu. Aku mohon kau suka
mengampuni jiwa The tiangloo dan membiarkan dia turun gunung. Aku bersedia untuk
menggantikan jiwanya dengan jiwaku sendiri. Cia Tayhiap kau turun tanganlah!”
Semua orang kaget. Mereka tak sangka pemuda itu mempunya “gie kie” (perasaan
persahabatan) yg begitu besar. “Gie” adalah sesuatu imlu silat yg sangat hebat dalam Rimba
persilatan dan tiada bandingannya dikolong langit ini.
***
“Aku akan mempelajari ilmu silat yg lebih tinggi dan sepuluh tahun kemudian, aku akan
menemui Cia tayhiap lagi.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1034
Kalau mau, dengan sekali membabat Cia Soen bisa membinasakan Tan Yoe Liang dan
menyingkirkan ancaman di hari kemudian. Tapi ia seorang yg bernyali sangat besar dan
sedikit pun ia tak merasa jeri terhadap ancaman itu. “Baiklah,” katanya.
“Jika lohu masih hidup, sepuluh tahun kemudian lohu akan meminta pelajaran mengenai
sinkang dari Siauw Lim dan Boe Tong.”
Tan Yoe Liang merangkap kedua tangannya dan sambil membungkuk ia berkata kepada Kim
Hoa popo. “Kay pang telah mengacau dipulau ini dan aku meminta maaf.” Sesudah itu
mendukung The tiangloo, ia berlalu.
Seperginya Tan Yoe liang, dengan mata melotot Kim hoa popo mengawasi Boe Kie. ”Boca
imlu menimpuk mu lihai jg!” katanya. “Tapi mengapa didalam kedua tanganmu, kau
memegang tujuh butir batu? Apakah sebutir untuk Tan Yoe Liang dan sebutir lagi untuk aku
sendiri?”
Boe Kie terkejut karena is nenek sudah dapat menebak niatnya. Ia tak bisa segera menjawab
dan hanya tersenyum.
“Bocak!” bentak Kim hoa popo dengan gusar. “Siapa kau? Mengapa kau menyamar sebagai
anak buah kapal? Mengapa kau menguntit nenekmu. Bocah! Dihadapaan Kim hoa popo, kau
tidak boleh main gila.”
Dibentak begitu, Boe Kie yg tidak bisa berdusta jadi gugup. Untung jg Tio Beng lantas
menolong. Dengan mengubah suaranya, si nona berkata. “Kini orang2 Kie kengpang memang
biasa berdagang tanpa modal dilautan terbuka, popo telah mengeluarkan banyak uang untuk
menyewa kapal itu. Halangan apa kalau katai mengantar popo? Melihat kay pang menghina
orang mengandalkan jumlahnya yg besar, saudara ku sudah membantu. Maksudnya baik
sekali. Diluar dugaan Cia tayhiap memiliki kepandaian yg begitu tinggi, sehingga bantuan itu
sebenarnya tidak perlu.” Ia berbicara dengan nada seorang pria yg agak terlalu nyaring. Baik
jg si nenek tidak memperhatikan keganjilan itu.
Cia Soen mengibaskan tangan kirinya dengan berkata “Terima kasih. Kalian pergilah. Hai!...
Kim Mo Say Ong telah jatuh di tanah datar dan hai ini ia mesti menerima bantuan Kim keng
pang. Selama berpisahan dengan dunia kang ouw kira2 duapuluh tahun, dalam rimba
persilatan telah banyak muncul iorang pandai. Hai!... sebenarnya, perlu apa kau kembali di
Tiong goan?” ia mengeluarkan kata2 itu dengan suara berduka. Timpukan Boe Kie telah
mengejutkan hatinya, karena dari sambaran angin ia tahu, bahwa orang yg menimpuk adalah
seorang yg berkepandaian sangat tinggi, yg jarang terdapat didalam dunia. Disamping itu ia
telah berhasil membinasakan musuh2nya hanya karena bantuan To liong to. Tanpa merasa ia
ingat kegagahannya pada duapuluh tahun berselang, pada ia mengamuk di pulau Ong poan
san. Mengingat berbedaan antara dahulu dan sekarang, ia jadi berduka.
“Cia Hiantee,” kata Kim hoa popo, “Aku tidak membantu kau, sebab kutahu, bahwa kau dan
aku selamanya tidak suka dibantu irang. Cia Hiantee, apa kau tidak gusar?”
Mendengar si nenek memanggil ayah angkatnya dengan istilah “hiantee” (adik) Boe Kie
kager tercampur heran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1035
“Tak usah sebut gusar, atau tidak gusar,” kata Cia Soen. “Bagaimana dengan hasil
penyelidikanmu? Apakah kau sudah mendapat kabar tenang anakku Boe Kie?”
Boe Kie terkesiap. Hampir berbareng ia merasa tangannya dipijit Tio Beng. Ia tahu bahwa si
nona melarang ia bergerak. Tadi ia karena ia tidak menghiraukan nasihat Tio Beng, hampir2
ia berurusan dengan si nenek karena urusan batu. Maka it ia sekarang tidak berani berlaku
sembrono lagi dan sebisa2 menahan hatinya.
“Belum! Aku tidak berhasil,” jawab si nenek.
Cia Soen menghela napas. Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata “Han Hoejin, kita
berdua adalah saudara. Tak boleh kau menipu aku sebab mataku buta. Bilanglah! Apakah
anakku Boe Kie masih hidup?”
Sebelum si nenek keburu menjawab, mendadak Coe Jie mendahului. “Cia Tayhiap…” Tapi ia
tidak bisa meneruskan perkataannya, karena tangannya di pijit nenek Kim hoa yang menatap
wajahnya dengan melotot.
“In Kauwnio,” kata Cia Soe tergesa gesar. “Omong terus! Hayo…. Apa popo menipu aku.
Dia berdusta bukan?”
Air mata si nona mengalir turun di kedua pipi nya. Dengan muka menyeramkan, si nenek
menempelkan telapak tangannya pada batok kepala Coe Jie. Si nona tahu, bahwa kalau ia
berani bicara secara bertentangan dengan kemauan popo nya, ia bakal binasa seketika. “Cia
tayhiap,” katanya. “Popo tidak menipu kau. Kami tidka mendapat kabar apapun jua tentang
Thio Boe Kie.”
Paras muka si nenek berubah terang, ia mengangkat tangannya dari batok kepala Coe Jie, tapi
tangan kirinya maish tetap mencekal pergelangan tangan nona itu.
“Apa saja yg didengar olehmu?” tanya pula Cia Soen. “Bagaimana dengan bengkauw?
Bagaimana dengan sahabat2 lama?”
“Tak tahu,” jawab si nenek. “Aku tidak memperdulikan urusan Kang Ouw. Yang penting
bagiku adalah mencari Biat Coat suthay untuk membalas sakit hati. Urusan lain tidak menarik
hatiku.”
“Bagus!” teriak Cia Soen dengan gusar. “Han Hoejin, apa yg dikatakan olehmu pada hari itu
dipulau Teng Bwe to? Kau mengatakan, bahwa Thio Ngo tee suami istri telah membunuh diri
di Boetongsan. Kau mengatakan bahwa anakku Boe Kie telah yatim piatu yg terhina2 (Red:
kalau tidak salah) dalam dunia Kang Ouw dan dimana2 dihina orang. Kau mengatakan,
sungguh kasihan anak itu! Bukankah kau mengatakan itu semua?”
“Benar!”
“Kau mengatakan bahwa anakku itu kena pukulan Hian beng sin ciang, sehingga siang dan
malam ia menderita kedinginan. Kau mengatakan juga bahwa di Ouw Hiap kok, kau telah
bertemu dengan dia. Kau coba membawa dia ke leng coat to, tapi ia menolak. Taulah yg
dikatakan olehmu, bukan?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1036
“Benar! Jika aku menipu kau, biarlah aku dikutuk langit dan bumi. Kalau akau berpesta
biarlah Kim hoa popo menjadi manusia hina dina dalam Rimba Persilatan.”
“Koawmo, aku ingin mendapat keteranganmu,” kata Cia Soen.
“Memang benar apa yg di katakan popo,” kata Coe Jie. “Aku telah membujuk ia untuk
mengikut ke leng coa to. Ia bukan saja menolak, ia bahkan menggigit belakang tanganku.
Sampai sekarang masih ada tandanya. Aku tidak berdusta.”
Mendengar keterangan itu, tiba2 Tio Beng memijit tangan Boe Kie, sedang pada kedua
matanya terlihat sinar mengejek dan mendongkol. Maka Boe Kie lantas saja berubah merah.
Sekonyong konyong si nona mengangkat tangan Boe Kie kemulutnya dan menggigit belakang
tangan si pemuda itu. Darah lantas saja mengalir keluar. Karena gigitan itu, kio yang sin kang
yg berada di dalam tubuh Boe Kie lantas saja bergerak secara wajar untuk melawan seraogna
luar, sehingga sebagai akibatnya, bibir si nona pecah dan berdarah. Tapi sambil menahan sakit
mereka tidak mengeluarkan suara. Dengan rasa heran Boe Kie mengawasi nona Tio. Ia tidak
tahu mengapa nona itu menggigit tangannya. Di lain pihak, nona Tio balas mengawasi dengan
sinar mata tertawa dan paras muka kemerah2an. Dalam keadaan begitu, biarpun mulutnya
berlepotan darah dan biarpun diatas bibirnya terdapat kumis palsu, ia kelihatannya cantik luar
biasa.
Mendadak terdengar teriakan Cia Soen. “Bagus! Han hanjin, hanyalah sebab memikiri nasih
anakku Boe Kie, maka aku rela berlalu dari Peng hwee to dan pulang ke Tionggoan. Kau
berjanji akan mencari anakku itu. Mengapa sekarang kau tidak menepati janjimu itu?”
Boe Kie tidak bisa menahan rasa sedihnya lagi. Air matanya lantas saja mengucur. Sekarang
ia tahu, bahwa ayah angkatnya sudah rela menempuh segala bahaya, rela menghadapi musuh2
yg berjumlah besar dengan kedua mata tidak bisa melihat, karena memikiri dirinya.
"Apa kau lupa perjanjian kita?" Tanya Kim hoa popo. "Aku mencari Thio Boe Kie dan kau
meminjamkan To liong to kepadaku. Ciah Hian tee, begitu lekas kau menepati janjimu, aku
pun akan segera menyelidiki anak itu secara sungguh2. Perkataan Kim hoa popo berat
bagaikan gunung. Tak nanti aku mungkin janji."
Cia Soen menggeleng2kan kepala. "Bawa dulu Boe Kie kehadapanku, barulah aku
menyerahkan To Liong to," katanya.
"Apa kau tidak percaya aku?"
"Dalam dunia ini banyak terjadi kejadian yg tidak dapat diramalkan lebih dahulu. Bahkan
diantara orang2 yg mempunyai hubungan seperti bapak dan anak, seperti saudara kaundung jg
sering terjadi kejadian melanggar kepercayaan."
Boe Kie tau, bahwa dengan berkata begitu ayah angkatnya ingat kebusukan Seng Koen.
"Apa benar kau tidak suka meminjamkan to liong to kepadaku?" Tanya si nenek dengan suara
mendongkol.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1037
"Sesudah aku melepaskan Tan Yoe Lang aku bakal terus disetaroni musuh," jawabnya.
"Entah berapa banyak musuh2ku akan dtg kesini untuk mencari aku. Keadaan kim mo say
ong tidak seperti dahulu. Kecuali to liong to aku tak punya lain pembantu. Huh huh!..." Tiba2
ia tertawa dining. "Han Hoejin, waktu lima musuh mengepung aku, orang gagah dari Kie
keng pang telah menyediakan tujuh butir batu. Apakah aku tidak boleh merasa curiga juga?
Huh huh. rupa2nya kau mengharap supaya aku binasa didalam tangannya orang2 Kaypang.
Sesudah aku mampus dengan mudah kau bisa merampas golokku. Mata Cia Soen buta, tapi
hatinya tidak buta. Han Hoe jin aku mau tanya, kedatangan Cia Soen ke leng coa to dan
senjata2 yg dipakai dirahasiakan. Mengapa rahasia itu bocor? Mengapa orang2 kaypang
sampai menyateroni aku disini?
"Hal itu justru diselidiki olehku."
Cia Soen tersenyum getir dan lalu memasukkan to liong to kedalam jubahnya. "Jika kau tak
mau menyelidiki anakku Boe Kie, akupun tidak bisa memaksa," katanya. "Jalan satu2nya bagi
Cia Soen ialah masuk pula dalam dunia Kang Ouw dan melakukan pula perbuatan2 yg
menggemparkan." Ia menengadah bersiul nyaring dan kemudian berlari2 turun dari tanjakan
disebelah barat. Biarpun buta ia bisa berlari dengan cepat menuju sebuah gunung kecil yg
terletak disebelah utara pulau. Dipuncak gunung terdapat sebuah gubuh kecil. Gubuk itu
rupa2nya gubuh Cia Soen.
Sesudah Kim mo say ong berlalu sambil mengawasi Boe Kie dan Tio Beng dangan mata
melotot Kim hoa popo membentak, "Pergi!"
Nona Tio segera menarik tangan Boe Kie dan mereka lalu kembali ke kapal.
Baru saja tiba di kapal, Boe Kie berkata, "Aku mau menengok Gie hoe"
"Apa kau tidak lihat sinar mata si nenek yg sangat ganas?" kata Tio Beng.
"Aku tidak takut padanya."
"Aku merasa bahwa pulau ini diliputi macam2 rahasia. Mengapa orang2 kaypang yg bisa dtg
kesini? Cara bagaimana Kim hoa popo tahu tempat bersembunyi ayah angkatmu? Cara
bagaimana dia bisa mencari ayah angkatmu di Peng hwee to? Banyak pertanyaan masih
belum terjawab. Memang sukar untuk membinasakan nenek itu. Tapi begitu lekas dia binasa,
semua teka teki tidak bisa dipecahkan lagi."
"Akupun bukan mau membinasakan Kim hoa popo. Aku hanya ingin menemui Gie Hoe
karena melihat penderitaannya aku merasa sangat tidak tega."
Nona Tio menggeleng2kan kepala. "Dengan ayah angkatmu, kau sudah berpisah belasan
tahun," katanya. "Kau harus bisa menahan sabar sehari dua, Tio kong coe aku ingin
mengajukan sebuah pertanyaan. Apakah kita harus berwaspada terhadap Kim hoa popo atau
harus lebih berjaga2 terhadap Tan Yoe Liang?"
"Menurut pendapatku, Tan Yoe Liang adalah seorang laki2 tulen yg sangat mengutamakan
persahabatan."
"Thio Kong coe, apa kau tidak coba menipu aku? Apa jawabanmu jawaban setulus hati?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1038
"Menipu kau? Tan Yoe Liang rela menerima kebinasaan untuk menggantikan The tiang loo.
Apa itu bukan perbuatan yg suka dilakukan? Apakah kita tidak harus menghormatinya
sebagai seorang laki2 sejati?"
Tio beng menatap wajah Boe Kie. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal.
"Thio kong coe! Kau seorang kauwcoe dari bengkauw yg harus memimpin begitu banyak
orang gagah, ku tak nyana kau bisa ditipu orang secara begitu mudah?"
"Ditipu orang?"
"Terang2 Tan Yoe Liang menipu Cia tayhiap. Kau sendiri melihat dengan matamu. Apa kau
tak sadar akan adanya tipu itu?"
Boe kie berjingkrak. "Dia menipu Gie hoe?" ia menegas.
"Dengan sekali membabat, Cia tayhiap telah membinasakan orang dan melukakan seorang
jago kaypang. Namun andai kata saja Tan Yoe Liang memiliki ilmu silat yg lebih tinggi lagi,
ia pasti tidak akan bisa meloloskan diri dari To liong to. Dalam keadaan begitu, seorang
manusia biasa hanya melihat dua jalan. Melawan dengan nekad untuk membinasakan atau
menekuk lutut dan minta ampun. Cia Tayhiap tidak ingin lain orang tahu tempat
bersembunyinya. Biarpun Tan Yoe Liang berlutut tiga ratus kali, belum tentu ayah angkatmu
bersedia mengampuni jiwanya. Tapi Tan Yoe Liang seorang manusia luar biasa. Dengan
otaknya yg sangat cerdas, segera menempuh jalan hidup satu2nya yaitu berlagak seperti
seorang ksatria, berlagak menjadi seorang laki2 tulen yg mengutamakan Gie Khie. Thio
kongcoe sebagai manusia yg sangat pintar, mustahil kau tidak bisa melihat tipu daya yg
sangat licik itu?" Sambil memberi keterangan, si nona menempelkan koyo pada luka ditangan
Boe Kie karena gigitannya dan kemudian membalutnya dengan menggunakan sapu tangannya
sendiri.
Jilid 57___________________
Keterangan Tio Beng sangat beralasan tp mengingat sikap dan suara Tan Yoe Liang yg wkt
itu sangat bersungguh2, Boe Kie menyangsikan kebenaran penafsiran si nona.
“Baiklah,” kata pula nona Tio. “Sekarang aku ingin mengajukan lain pertanyaan. Waktu Tan
Yoe Liang bicara dengna Cia Tayhiap, bagaimana sikap kedua tangan dan kedua kakinya?”
Boe Kie tertegun. Tak dapat ia menjawab pertanyaani tu. Waktu Tan Yoe Liang berbicara, ia
hanya memperhatikan paras muka pemuda itu dan paras muka ayah angkatnya. Ia tidak
memperdulikan tangan dan kaki Tan Yoe Liang. Ia melihat, tapi seperti juga tidak melihat.
Sekarang, dengan munculnya pertanyaan Tio Beng, didepan matanya terbayang kembali
peristiwa itu, terbayang sikap dan gerakan Tan Yoe Liang selagi dia mengeluarkan kata2
seorang ksatria.
Selang beberapa saat, barulah ia berkata. “Ya sekarang aku ingat. Tangan kanan Tan Yoe
Liang terangkat sedikit, tangan kirinya dilintangkan didepan dada. Ha! Itulah pukulan Say coe
pek touw (Anak singan menubruk kelinci) dari Boe tong pay. Kakinya…? Hm… ya! Kakinya
memasang kuda2 dari pukulan Hang tee tauw sit (Tendangan menakluki siluman) Hang mo
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1039
tee tauw sit adalah salah satu pukulan lihai dari Siauw Lim pay. Apakah ia hanya berlagak
mengeluarkan kata2 itu dan sebenarnya ia ingin membokong Gie Hoe? Tapi.. tapi tak bisa
jadi…”
Tio Beng tertawa dining. “Tio Kong coe, pengetahuanmy tentang hati manusia tinggi ilmu
silatnya Tan Yoe Liang? Mana mampu dia membokong Cia Tayhiap. Dia seorang yg sangat
pintar dan dia pasti tahu kemampuannya sendiri. Sekali lagi aku mau menanya. Andaikata
tipu muslihatnya diketahui Cia Tayhiap yg tidak mau mengampuninya, siapakah yg akan
ditendang olehnya dengan tendangan Hang mo tee sauw sit? Siapa yg akan diterkam dengan
Say boe Pek tauw?”
Boe Kie bukan manusia tolol. Sebab ia seorang baik dan menganggap bahwa semua manusia
sama mulianya seperti dia maka dia tidak bisa melihat kebusukan Tan Yoe Liang, tapi begitu
disadarkan, ia segera dapat memecahkan teka teki itu dalam keseluruhannya. Ia merasa seolah
olah di guyur dengan air es dan paras mukanya lantas saja berubah pucat. “Celaka…” ia
mengeluh. “Sekarang aku mengerti… ia akan menendang The Tiangloo yg rebah ditanah dan
menubruk In Kouwnio kearah Cia Tayhiap dan berbareng menubruk serta mendorong
sahabatmu In Kouwnio keadrah Cia Tayhiap jg. Denang tipu itu masih terdapat kemungkinan
untuk melarikan diri. Memang jg belum tentu ia berhasil, tapi kecuali itu, tidak ada lain jalan
yg lebih baik. Andaikata aku berada dalam kedudukannya, akupun akan berbuat begitu.
Sampai detik ini, aku belum dapat memikir jalan yg lebih baik. Ah!... bahwa dalam sekejap
mata manusia itu sudah bisa mendapatkan tipu tersebut, merupakan bukti, bahwa dia benar2
lihai.” Sehabis berkata begitu nona Tio menghela napas.
Boe Kie mendengari keterangan itu dengan hati berdebar2. Sedari kecil ia sudah mengalami
banyak perbuatan manusia2 busuk tp manusia yg selihai Tan Yoe Liang, ia belum pernah
menemui. Lewat beberapa saat barulah ia dapat membuka suara, “Tio Kouwnio dengan sekali
melirik kau sudah bisa melihat tipu muslihatnya. Hal ini membuktikan bahwa kau lebih
unggul daripada dia.”
“Apa kau menyindir aku?” tanya si nona dengan suara jengah. “Thio Kongcoe, jika kau kuatir
akan kelihaian atau kejahatanku lebih baik kau menyingkir jauh2.”
Boe Kie ketawa geli. “Tak usah” katanya. “Terhadap siasatmu aku masih bisa menjaga diri.”
“Apa benar?” tanya Tio Beng sambil tersenyum. “Apa benar kau mampu menjaga diri? Tapi
mengapa sampai pada detik ini, kau masih belum tahu, siapa yang menaruh racun di belakang
tanganmu?”
Boe Kie terkejut. Hampir berbareng ia merasa gatal2 pada lukanya. Buru2 ia membuka
balutan memeriksa lukanya dan mencium cium belakang tangannya. Ia mengendus bau harus
campur manis. “Celaka!” serunya. Ia tahu lukanya telah dilumas denga kie hye siauw kie san,
semacam racun yg merusak daging. Walaupun tidak berbahaya, racun itu memperhebat
lukanya dan sesudah luka itu sembuh, tapak gigi si nona akan melekat terus pada belakang
tangannya.
Buru2 Boe Kie pergi keburitan kapal dan mencuci lukanya dengan air bersih. Tio beng
mengikuti sambil tertawa hahahihi dan coba membantu pemuda itu. Dengan rasa mendongkol
Boe Kie mendorong pundak si nakal. “Jangan dekat2!” bentaknya. “Mengapa kau begitu
jahat? Apa kau kira tak sakit?” Racun itu sebenarnya mudah dikenali, tapi sebab dicampur
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1040
dengan yan cie dna luka itu dibalut dengan sapu tangan yg wangi, maka Boe Kie tak
mendusin bahwa dirinya diakali.
Sebaliknya dr gusar, Tio Beng tertawa berkakakan. “Kau benar2 tak mengenal kebaikan
orang” katanya. “Aku menggunakan itu sebab kuatir kau merasakan kesakitan yg terlalu
berat.”
Boe Kie tak mau meladeni dan uring2an, ia turun kebawah dan masuk kamarnya. Tio Beng
mengikuti. “Thio Kongcoe!” panggilnya. Boe Kie tidak menyahut. Ia pura2 tidur. Si nona
memanggilnya beberapa kali, tapi ia tetap tidak menggubris. “Ah, kalau tahu bakal begini tadi
benar2 menaruh racun dan mengambil jiwa anjingmu!” kata Tio Beng yang mulai hilang
sabarnya.
Boe Kie membuka matanya. “Mengapa kau mengatakan aku tak mengenal kebaikan orang?”
tanyanya. “Coba ceritakan.”
Nona Tio tertawa geli. “Bagaimana kalau keteranganku sangat beralasan dan kau menyetujui
kebenarannya keteranganku itu?” tanyanya.
“Kau memang pintar bicara. Dalam mengadu lidah, aku tak bisa menandingi kau.”
“Ha ha! Sebelum aku membuka mulut, kau sudah mengakui, bahwa maksudku memang
bagus sekali.”
“Fui! Dikolong langit mana ada maksud baik yg diperlihatkan secara begitu? Kau menggigit
tanganku dank au tidak meminta maaf. Itu masih tak apa. Kau bahkan melabur racun. Aku tak
suka menerima maksud baik yg semacam itu.”
“Hm… Thio Boe Kie, kini aku bertanya. Mana yg lebih hebat, apa gigitanmu, atau gigitan mu
pada tangan Kouw nio?”
Paras muka Boe Kie lantas saja berubah merah. “Itulah kejadian lama…. Perlu apa kau
menyebut2 lagi?” katanya.
“Biarpun telah lama, justru aku mau menanya. Jangan kau coba berkelat kelit.”
“Andai kata benar gigitanmu lebih hebat, aku mempunyai alasan untuk berbuat begitu. Ia
mencekal tanganku erat2. ilmu silatku belum bisa menandinginya. Aku berontak, tapi tidak
bisa meloloskan diri. Waktu itu, aku masih kanak2 dan dalam bingungku tanpa merasa aku
telah menggigit tangannya. Tapi kau bukan kanak2 dan akupun tidak mencekal tanganmu
untuk menyeret kau dating di Leng coa to.”
“Heran sekali. Dulu, In Kouwnio mencekal tanganmu untuk memaksa kau datang di Leng coa
to, tp kau menolak keras. Tapi mengapa kini kau datang dipulau ini, tanpa diundang siapapun
jua?”
Sekali lagi paras muka Boe Kie berubah merah. Ia tertawa dan menjawab. “Aku dtg disini
sebab di perintah olehmu!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1041
Mendengar jawaban itu, paras muka si nona pun berubah merah, sedang hatinya senang
sekali. Dengan menjawab begitu, Boe Kie seolah2 mengatakan begini. “Waktu dia memaksa
aku, aku menolak keras. Tapi diperintah olehmu aku lantas saja menurut.”
Untuk beberapa saat, mereka saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata dan
akhirnya masing2 memalingkan muka dengan sikap jengah.
Sambil menundukkan kepala, Tio Beng kemudian berkata dengan suara perlahan.
“Baiklah! Aku akan menjelaskan secara jujur. Dahulu kau mengigit tangan In Kouw nio.
Sesudah berselang begitu lama ia masih belum bisa melupakan kau. Didengar dari
perkataannya mungkin sekali seumur hidup ia tak akan melupakan kau. Sekarang akupun
menggigit tanganmy. Aku menggigit tanganmu supaya… supaya.. seumur hidup, kau tidak
melupakan aku.”
Jantung Boe Kie melonjak. Sekarang ia baru mengerti maksud si cantik yg sebenarnya.
Mulutnya seolah2 terkancing dan ia hanya mengawasi nona Tio dengan mata membelak.
Sementara itu Tio Beng berkata pula.
“Dengan melihat tanda luka ditangan In Kouw nio, kutahu lukanya sangat dalam. Karena
gigitanmu hebat, karena lukanya sangat dalam, maka peringatan In Kouwnio akan dirimu jg
sangat mendalam, pikirku. Semula aku ingin mengigit keras2 tanganmu, sama kerasnya
seperti gigitanmu pada tangan In Kouwnio. Tapi aku merasa tidak tega. Dilain pihak apabila
aku tidak menggigit keras2 mungkin sekali kau akan segera melupakan aku. Sesudah
menimbang2, aku segera mengambil jln yg plg baik. Aku tidak mengigit hebat. Gigitanku
hanya cukup untuk membuat sedikit luka dan pada luka itu aku melebur sedikit Kie hoe
Siauw kie san, supaya tanda gigitanku tidak bisa menghilang lagi dari tanganmu.”
Boe Kie merasa gelid an tercampur terharu. Dengan memberi pengakuan kanak2 yg tolol
kedengarannya si nona telah membuka hatinya dan menunjuk rasa cintanya yg sangat besar.
Ia menghela napas dan berkata, “ Sekarang aku tidak menggusari kau lagi. Akulah yg tidak
mengenal kebaikan orang. Kau memerlukan aku secara begitu. Sebenarnya tak perlu, sebab,
bagaimanapun jua, aku tidak akan melupakan kau.”
Mendengar perkataan Boe Kie, pada mata Tio Beng lantas saja berkelebat sinar
kenakalannya. Ia tertawa dan berkata, “Kau mengatakan, kau memperlakukan aku secara
begitu. Apa maksudnya? Apakah aku memperlakukan kau secara baik atau tidak baik? Tio
Kongcoe berulang kali aku melakukan perbuatan yg tidak baik terhadapmu dan belum pernah
aku berbuat sesuatu yg baik terhadapmu.”
“Sudahlah,” katanya seraya tersenyum. “Aku akan merasa girang, jika mulai sekarang kau
menjadi anak yg baik,” ia memegang tangan kiri si nona erat2 dan kemudian mengangkat
kemulut sendiri.
“Akupun inging menggigit tanganmu keras2, supaya seumur hidup kau tidak melupakan aku,”
katanya sambil tertawa.
Girang dan malu memenuhi dada si nona. Ia memberontak dan melarikan diri. Tapi baru ia
melangkah pintu, tiba2 ia kesamprok dengna Siauw Ciauw, “Celaka!” ia mengeluh. “Malu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1042
sungguh kalau pembicaraan didengar olehnya.” Dengan paras muka kemerah2an, ia naik
kegeladak kapal dengan tindakan lebar.
Siauw Ciauw menghampiri Boe Kie dan berkata, “Tio Kongcoe, tadi kulihat Kim hoa popo
dan nona muka jelek itu masing2 menggendong selembar karung besar. Apa maksud
mereka?”
Sehabis bersenda gurau dengan Tio Beng, Boe Kie merasa jengah dan untuk sejenak, ia tidak
bisa bicara. “Apakah mereka menuju kesebuah gubuh diatas gunung yg terletak disebelah
utara pulau ini?” tanyanya kemudian.
“Benar,” jawab Siauw Ciauw. “Sambil berjalan mereka bertengkar dan didengear dari
suaranya Kim hoa popo sedang bergusar.”
Boe Kie mengangguk. “Biarlah sebentar kita berdamai,” katanya. “Sebaiknya kita
menyelidiki maksud mereka.” Sehabis berkata begitu, ia segera naik keatas dan pergi ke
buritan kapal. Jauh2 ia melihat Tio Beng yg sedang berdiri termenung di kepala kapal. Ia
mengawasi si nona dengan pikiran bergelombang seperti turun naiknya ombak yg memukul
badan kapal. Lama ia berdiri disitu. Sesudah sang surya menyelam kebarat dan pulau Leng
Coa to diliputi kegelapan, barulah ia turun kebawah.
Sesudah makan malam, Boe Kie berkata kepada Tio Beng dan Siauw Ciauw. “Aku ingin
menengok Gie hoe. Kalian tunggu saja dikapal.”
“Jangan pergi sekarang,” kata Tio Beng. “Tunggu sejam lagi.”
Boe Kie menganggukkan kepala. Karena memikiri ayah angkatnya ia merasa jalannya sang
waktu lambat sekali. Sesudah berselang kurang lebih satu jam ia berbangkit dan sambil
tersenyum ia menghampiri pintu.
“Tunggu!” kata Tio Beng sambil membuka tali Ie Thian kiam dari pinggangnya.
“Tio Kongcoe, bawalah pedang ini unutk menjaga diri.”
Boe Kie terkejut. “Kau lebih memerlukan senjata itu untuk menjaga diri,” katanya.
“Tidak! Aku sangat berkuatir akan kepergianmu ini.”
“Mengapa berkuatir?”
“Entahlah. Kim hoa popo sukar ditebak maksudnya. Tan Yoe Liang banyak tipu muslihat.
Disamping itu ayah angkatmu jg belum tentu percaya, bahwa kau ada si anak Boe Kie. Hai!...
pulau ini dinamakan Leng coa (ular sakti). Mungkin sekali di pulau ini terdapat mahluk
beracun yg sangat lihai. Apapula..” ia tidak meneruskan perkataannya.
“Apapula apa?”
Tio beng tidak menjawab. Sambil tertawa dengan muka bersemu dadu, ia mengangkat sebelah
tangannya kemulut sendiri yg dibuka seperti orang mau menggigit. Bie Kie tahu, bahwa yg
dimaksud nona Tio adalah In Lee saudari sepupunya. Ia tersenyum dan lalu berjalan pergi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1043
“Sambutlah!” teriak Tio Beng seraya melontarkan Ie Thian Kiam.
Mau tak mau Boe Kie menyambuti. Jantung relaannya itu, sekali lagi Tio Beng menunjuk
rasa cintanya yg sangat besar.
Sesudah menyisipkan senjata mustika itu di punggungnya, dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan Boe Kie berlari lari ke arah gunung disebelah utara Leng coa to. Untuk
menghindarkan diri dari serangan binatang beracun, ia hanya menginjak batu2 gunung. Kira2
semakanan nasi, ia sudha tiba di kaki puncak. Ia mengadah dan sayup2 melihat gubuk ayah
angkatnya yg diliputi kegelapan. “Lampu sudha dipadamkan, apa Gie hoe sudah tidur?”
tanyanya didalam hati. Dilain saat ia ingat, bahwa ayah angkatnya tidak bisa melihat dan
sama sekali tidak memerlukan penerangan.
Mendadak dilereng gunung sebelah kiri lapat2 ia mendengar suara manusia. Dengan
merangkak ia maju untuk mencari suara itu yg tiba2 menghilang pula. Secara kebetulan, angin
dari sebelah utara meniup dengan kerasnya sehingga pohon2 bergoyang2. Dengan
menggunakan kesempatan itu, ia berlari2 kearah suara tadi. Sebelum angin berhenti, dalam
jarak empat limat tombak, ia sudah mendengar suara seorang yg berbicara sangat perlahan.
‘Mengapa kau tidak lantas bekerja? Mengapa kau main lambat2an?’ Itulah suara Kim hoa
popo.
“Popo, dengan berbuat begini kan berdosa terhadap seorang sahabat,” kata seorang wanita yg
bukan lain daripada In Lee. “Selama puluhan tahun Cia tayhiap bersahabat dengan popo,
maka dari peng hwee to ia telah datang disini.”
“Dia percaya aku? Jangan kau omong yg gila2! Kalua benar dia percaya mengapa dia tak sudi
meminjami tio liong to? Pulang nya ke tiong goan adalah untuk mencari anak angkatnya. Ada
sangkut paut apakah dengan diriku.” Boe Kie mengerti, bahwa nenek itu sedang mengatur
tipu untuk mencelakai ayah angkatnya guna merampas To liong to. Dengan hati2 ia maju lagi
beberapa tindak dan diantara kegelapan, ia melihat peta badan si nenek. Tiba2 ia mendengar
suara “tring” seperti logam beradu dengan batu. Lewat beberapa saat, suara itu terulang pula.
Ia merasa sangat heran tapi ia tidak berani maju terlebih jauh.
“Popo,” demikian tedengar suara In Lee. “Jika kau mau goloknya secara terang2an, seperti
caranya seorang gagah. Nama Kim Hoa dan Gin hiap dari Leng coato pernah mengantarkan
dunia Kang ouw kalau perbuatan popo sampai tersiar diluaran bukanlah popo akan di tertawai
oleh segenap orang gagah? Biarpun popo dapat merampas To Liong To dan mengalah kan
murid Go Bie Pay muka popo tak menjadi terlebih terang”
Bukan main gusarnya si nenek, “Budak kecil!” bentaknya. “Siapa yg sudah menolong jiwamu
dari bawah telapak tangan ayahmu? Sekarang kau sudah besar dank au tak suka mendengar
lagi perkataan. Cia Soen bukan sanakmu. Mengapa kau coba melindungi dia secara begitu
mati2an. Jawab! Jawab! Pertanyaan popo!” bergusar ia bicara dengan suara sangat perlahan
seperti juga ia kuatir perkataannya akan didengar oleh Cia Soen yg berada diatas pundak.
In Lee menghela napas. Ia melontarkan karung yg dipegangnya ketanah dan jatuhnya karung
disertain suara gemerincing,s edang ia sendiri mundur beberapa tindak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1044
“Oh, begitu?” bentak pula si nenek. “Ibarat burung sekarang bulumu sudah tumbuh semua
dan kau ingin terbang sendiri. Bukankah begitu?”
Diantara kegelapan Boe Kie melihat sinar mata si nenek yg dingin dan berkeredepan.
“Popo” kata In Lee dengan suara sedih, “aku takkan melupakan budimu yg sangat besar. Popo
sudah menolong jiwaku dan mengajar ilmu silat kepadaku. Akan tetapi Cia Tayhiap adalah
ayah angkatnya…”
Nenek Kim Hoa tertawa getir, “Aku Tanya nyana, bahwa didalam dunia ada manusia yg
begitu tolot seperti kau” katanya. “Bukan kah dengan kupingmu sendiri kau sudah mendenagr
pengakuan Boe Liat dan Boe Ceng Eng, bahwa bocah she Thio itu jatuh kedalam jurang yg
dalamnya berlaksa tombak di wilayah she hek? Pada waktu ini tulang2nya mungkin sudah
jadi tanah. Dan kau masih memikiri dia!”
“Tapi popo entah mengapa aku tetap tidak bisa melupakan dia,” kata si nona. “Mungkin
sekali… inilah apa yg pernah dikatakan popo tentang hutang pada penitisan yg lampau…”
Si nenek menghela napas dan paras mukanya jadi terlebih sabar. “Sudahlah! Hapuskan bocah
itu dari keringatmy!” katanya dengan membujuk. “Dia sekarang sudah mati. Andaikata kau
dan dia sudah jadi suami istri, kaupun tak bisa berbuat apapun jua. Hm… baik jg dia mati
siang2. kalau dia belum mati dan sekarang dia melihat mukamu apakah kau akan jatuh cinta
kepadamu? Untung dia sudah mampus. Kalau tidak kau harus menyaksikan dia bercinta2an
dan menikah dengan wanita lain. Apabila terjadi kejadian itu bukankah kau akan lebih
menderita daripada sekarang?”
In Lee tidak menjawab. Ia menundukkan kepala dan air mata meleleh turun dikedua pipinya.
“Kita tak usah menyebut wanita lain,” kata pula si nenek. “Lihat saja Cioe Kouwnio yg di
tawan kita. Dia cantik dan ayu bagikan bunga. Kalau she Thio itu masih hidup dan melihat
nona Cioe dia pasti akan jatuh cinta. Dan kau? Apa yg akan diperbuat olehmu? Apa kau akan
membunuh Cioe Kouwnio atau akan membunuh bocah she Thio itu? Huh! Huh! … Jika kau
tak melatih diri dalam Ciat hoe chioe kau akan menjadi seorang gadis yg sangat cantik. Tapi
skrg… segala apa sudah kasep.”
“Benar…” kata In Lee dengan suara sedih. “Orangnya sudah mati, sedang mukaku sudah
rusak. Tak guna bicara panjang2 lagi. Tapi Cia Tayhiap adalah ayah angkatnya. Popo, aku
hanya memohon belas kasihanmu dalam hal ini. Mengenai lain urusan, aku berjanji akan
menaati segala perintahmu.” Sehabis berkata begitu, ia berlutut dan menangis segak2 sambil
memanggut2kan kepalanya.
Dalam pelayaran ke Peng Hwee to untuk mengajak Cia Soen pulang ke Tiong goan, Kim hoa
popo dan In Lee telah menggunakan waktu sekarang lebih satu tahun. Belakangan, setelah
masuk kedalam dunia Kang Ouw, mereka tidak pernah berhubungan dengan tokoh Rimba
Persilatan. Itulah sebabnya mengapa sampai sekurang mereka belum tahu bahwa Boe Kie
telah menjadi Kauwcoe dari Beng Kauw.
Sesudah memikir beberapa saat, nenek Kim hoa berkata, “Baik kau bangunlah!”
“Terima kasih popo!” kata si nona dengan girang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1045
“Aku hanya meluluskan permohonanmu untuk tidak mengambil jiwanya. Tapi tekadku untuk
merampas To Liong to tidak dapat diubah lagi…”
“Tapi popo…”
“Jangan rewel! Jangan sampai darahku meluap!” Sehabis membentak, si nenek mengayun
tangannya “Cring!” demikian terdengar suara beradunya logam daengan batu. Sambil maju
dengan perlahan, ia mengayun tangannya berulang2 dan setiap nyanan tangan di iring dengan
suara “cring”. In Lee sendiri berduduk dibatu seraya menangis dengan perlahan.
Melihat kecintaan nona itu terhadap dirinya. Boe Kie merasa sangat terharu dan berterima
kasih.
Beberapa lama kemudian, dari jarak belasan tombak, si nenek membentak, “Bawa kemari!”
Mau tak mau In Lee berbangkit dan menjemput karungnya. Dengan menenteng karung itu, ia
menghampiri si nenek.
Boe Kie merangkak maju beberapa tindak. Tiba2 ia bergidik ia merasa punggungnya diguyur
dengan air es. Mengapa? Karena dibatu2 gunung dalam jarak dua tiga kaki, tertancap
sebatang jarum baja yg panjangnya kira2 delapan coen dengan tajamnya mendongak keatas.
Ah! Nenek Kim hoa benar2 jahat! Sebab kuatir tidak bisa menjatuhkan ayah angkatnya, dia
memasang “barisan jarum”. Rupa2nya Kim Hoa popo menganggap bahwa ia juga
menggunakan senjata rahasia, ia belum tentu bisa berhasil. Sebab Kim mo Say ong bisa
berkulit (Red: berkelit?) dengan mendengar sambaran angin.
Boe Kie seorang manusia yg sangat sabar. Tapi skrg darahnya meluap. Sebisa2 ia mencekam
hawa amarahnya karena ia tahu bahwa dengan mengumbar napsu ia bisa merusak urusan
besar. Semula ia ingin segera mencabut jarum itu dan melocoti topeng si nenek, tapi ia segera
membatalkan niatnya karena mendapat lain pikiran. “Nenek jahat itu memanggil Gie hoe
dengan istilah Cia Hiantee. Dahulu mereka tentu mempunya perhubungan yg lebih erat.
Sekarang kutunggu sampai ia bertengkar dengan Gie hoe dan pada saat yg tepat, aku
membuka topengnya. Hari ini langit menaruh belas kasihan sehingga secara kebetulan aku
berada di tempat ini. Gie Hoe pasti tidak akan mengalami bahaya apapun jua.”
Sesudah mengambil keputusan, dengan pikiran lebih tenang, ia segera duduk di atas sebuah
batu.
Sekonyong2 angin meniup dan di antara suara angina terdapat lain suara seperti jatuhnya
selembar daun. Tapi Boe Kie yang berkuping tajam sudah tahun bahwa suara itu adalah Tan
Yoe Liang yg tangannya memegang sebatang golok bengkok. Golok itu sangat tipis dan di
bungkus dengan selembar kain untuk menendang sinarnya. Melihat lagak orang yg seperti
maling, diam2 Boe Kie memuji, tepatnya tebakan Boe Kie. Dengan sesungguhnya dia bukan
manusia baik2, katanya didalam hati.
Mendadak terdengar seruan Kim Hoa Popo, “Cia Hiantee, penjahat anjing yg tak mengenal
mampus dtg menyatroni lagi!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1046
Boe Kie terkejut. Nenek Kim Hoa sungguh tidak boleh dibuat gegabah. “Apa dia jg sudah
tahu kedatanganku?” tanyanya pada diri sendiri. Ia melihat Tan Yoe Liang sendiri sudah
merebahkan diri dirumput, tanpa berani bergerak. Dengan sangat hati2 ia maju lagi beberapa
tombak. Ia ingin berada terlebih dekat dengan ayah angkatnya untuk merintangi setiap
bokongan dari si nenek.
Dilain saat orang yg bertubuh tinggi besar keluar dari gubuk. Orang itu adalah Cia Soen. Ia
berdiri tegak tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Cia hiantee, kau selalu bercuriga terhadap sahabat lama, tapi menaruh kepercayaan besar
terhadap orang luar,” kata Kim Hoa popo. “Tadi siang kau melepaskan Tan Yoe Liang dan
sekarang dia datang lagi.”
“Tombak yg terang gampang dikelit, anak panah gelap sukar dijaga,” jawabnya.
“Selama hidupnya Cia Soen paling sering menderita karena perbuatan orang sendiri. Kalau
Tan Yoe Liang mau mencari aku biarlah dia mencari aku.”
“Cia Hiantee, perlu apa kau meladeni manusia rendah itu?” kata si nenek. “Tadi siang waktu
kau mengampuni jiwanya, apa kau tahusikap kai dan tangannya? Hm… kedua tangannya
bersiap dengan pulukan Say coe Pek Tauw sie kakinya memasang kuda2 Heng mo Tee Tauw
sit dari Siauw lim pay. Ha, ha, … ha, ha…” suaranya tertawa yg menyerupai jeritan burung
hantu sangat menyeramkan.
Cia Soen kaget. Ia tahu bahwa Kim Hoa popo tidak berdusta. Karena tidak bisa melihat ia
sudah bisa diakali. “Cia Soen sudah sering dihina orang,” katanya dengan suara tawar.
“Dalam dunia Kang Ouw, jumlah manusia rendah seperti dia tidka bisa dihitung berapa
banyaknya. Membunuh atau tidak membunuh dia tidak menjadi soal. Han Hoe jin, kau adalah
seorang sahabat lama, waktu itu, mengapa kau tidak memberitahukan aku? Mengapa baru
sekarang kau mengatakan begitu? Apa maksudmu?”
Sehabis bertanya begitu, tiba2 badannya melesat dan dalam gerakan yg cepat luar biasa, ia
sudah berada dihadapan Tan Yoe Liang.
Dengan sekali menggerakkan tangan kirinya ia merampas golok bengkok, sedang tangan
kanannya memberi tiga gapelokan beruntun pada pipi Tan Yoe Liang. Sesudah itu sambil
mencengkeram leher pemuda itu, ia membentak: “Binatang! Aku bisa mengambil jiwamu
seperti mengambil jiwa ayam, tapi aku sudah meluluskan bahwa sepuluh tahun kemudian, kau
boleh datang lagi untuk mencari diriku. Dilain kali, jika kita bertemu pula, antara kira berdua
hanya terbuka jalan mati atau hidup.” Ia mengangkat tubuh Tan Yoe Liang dan
melontarkannya jauh2.
Apa mau, pemuda itu melayang jatuh ke arah “barisan jarum”. Si nenek kaget. Kalau Tan Yoe
Liang jatuh diatas jarum, rahasianya akan terbuka dan capai lelahnya akan tersia2. Secepat
kilat ia melompat dan menotok pingang pemuda itu dengan tongkatnya, sehingga tubuh yg
hampir ambruk ditanah terpental lagi beberapa tombak jauhnya. “Pergi!” bentaknya. “Kalau
kau berani menginjak lagi pulau Leng coa to, aku akan mengambil jiwanya seratus murid Kay
pang, Kim hoa popo tidak pernah omong kosong. Sekarang aku hanya menghadiahkan kau
dengan sekuntum bunga emas.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1047
Hampir berbareng sehelai sinar emas menyambar dan sekuntum bunga emas (kim hoa)
mampir tepat pada jalan darah dipipi Tan Yoe Liang sehingga untuk sementara waktu, dia
tidak dapat berbicara timpukan si nenek itu adalah untuk menjaga kalau2 Tan Yoe Liang
membuka rahasianya. Dilain pihak, pemuda itu sendiri lalu kabur sekeras2nya.
Karena menyerang Tan Yoe Liang, sekarang Cia Soen hanya terpisah beberapa tombak dari
‘barisan jarum’ dan Boe Kie berada disebelah belakangnya. Dengan memiliki lweekang yg
beberapa kali lipat lebih tinggi daripada Tan Yoe Liang, Boe Kie dapat menahan
pernapasannya begitu rupa, sehingga biarpun dia berada sangat dekat, Kim hoa popo dan Cia
Soen masih belum mengetahui.
“Cia hiantee, kau sungguh lihai,” memuji si nenek. “Kupingmu dapat menggantikan mata dan
kegagahanmu masih belum berkurang. Menurut pendapatku kau masih bisa malang melintang
dalam dunia Kang Ouw sedikitnya duapuluh tahun lagi.”
“Hm, tapi aku tak bisa mendengar Say Coe Pek Touw atau Hang Mo Tee Touw Sit Han Hoe
Jin, aku tidak mengharap banyak. Asal saja aku bisa tahu dimana adanya Boe Kie atau
mendapat kabar tentang keadaannya, biarpun mati, aku akan mait dengan mata meram.
Hutang darah Cia Soen berat bagaikan gunung. Ia pantas mati dengan menggenaskan.. huh
huh… janganlah bicara lagi dengan malang melintang dalam dunia Kangouw.”
Si nenek tertawa, “Cia Hian tee,” katanya. “Bagi Hoe kauw Hoat ong dari Beng Kauw,
membunuh beberapa orang tak menjadi soal. Cia Hiantee, pinjamkanlah To Liong to
kepadaku.”
Cia Soen tidak menyahut.
“Cia Hiantee,” kata pula si nenek, “tempat ini telah diketahui musuh dan kau tak bisa berdiam
lebih lama lagi. Aku akan mencari tempat lain yg lebih aman dan akan membawamu ke situ
untuk berdiam beberapa bulan. Serahkanlah To Lion To kepadaku. Setelah merobohkan Go
bie Pay, aku akan mencari Tio Kongcu dengan seantero tenagaku.”
Tapi Kim mo say ong tetap menggeleng2kan kepalanya.
“Cia Hiantee, apa kau masih ingat kata2 soe tay hoat ong, Cie peh kim ceng? Dahulu dibawah
pimpinan Yo Kauwcoe Eng ong, In Hian tee, Hong Ong, Wie Hiantee ditambah lagi dengan
kau dan aku berdua telah malang melintang dikolong langit tanpa menemui tandingan.
Sekarang biarpun badan kita sudah tua. Hati kita masih gagah seperti dahulu. Cia Hiantee
apakah kau tega membiarkan Cie San Lao, cie cie mu dihina orang?” (Soe tay hoat ong Cie
peh kim ceng, Empat hoe hauw Hoat ong, yaitu Cie san liong on. Peh bie Eng ong, Kim mo
say ong dan Ceng Ek Hok on!)
Boe Kie terkesiap, “Ah! Apa Kim hoa popo Cie San Lion ong?” tanyanya didalam hati.
“Sudahlah!” kata Cia Soen dengan suara tawar. “Itulah urusan dahulu. Perlu apa disebut2
lagi? Sudah tua! … kita sekarang sudah tua.”
“Cia hiantee, cie cie mu belum lamur. Apa aku tak bisa melihat, bahwa selama dua puluh
tahan kepandaianmu banyak bertambah? Perlu apa kau merendahkan diri? Kita hidup tidak
terlalu lama lagi. Menurut pendapatku, sementara Soe Tay hoat ong belum mati, kita
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1048
berempat haruslah bergandengan tangan pula dan melakukan sesuatu yg lebih hebat dan
menggemparkan didalam dunia.”
Cia Soen menghela napas, “In jieko dan Wie hantee belum tentu masih hidup,” katanya. “Apa
pula Wie Han tee yg didalam badannya mengeram racun dingin. Mungkin sekali ia sekarang
sudah tidak berada didalam dunia lagi.”
“Kalau salah, dengan sejujurnya aku memberitahukan bahwa disini waktu Peh bie Eng ong
dan Ceng ek Hok Ong berada di Kong Beng Teng.”
“Di Kong Beng Teng? Perlu apa mereka datang di Kong Beng Teng?”
“A lee telah melihat mereka dengan mata sendiri. A lee adalah cucu kandung dari In Hiantee.
Ia dimarahi oleh ayahnya dan ayahnya mau membunuh dia, pertama kali aku yg
menolongnya. Kedua kali ia ditolong Wie Hiantee yg membawanya ke Kong Beng Teng.
Tapi ditengah jalan diam2 aku meramasnya. A lee coba kau ceritakan kepada Cia Kong2 cara
bagaimana enam partai besar coba menyerang Kong beng teg.”
Dengan ringkas Alee segera memutarkan apa yg diketahui olehnya. Tapi karena sebelum tiba
di Kong Beng Teng ia sudah ditemukan dan dibawa pergi oleh Kim hoa popo, maka ia tidak
tahu kejadian2 di puncak gunung itu.
Makin mendengar Cia Soen jadi bingung, “Habis bagaimana? Habis bagaimana?” Ia bertanya
tak henti2nya. Akhirnya ia teriak dengan penuh kegusaran. “Han hoe jin! Karena berebut
kedudukan Kauw Coe kau tidak akur dengan saudara2 kita. Tapi pada waktu agama kita
menghadapi bahaya bagaimana kau tega untuk berdiri dengan berpeluk tangan? Lihatlah In
Jie ko Wie hianteeNgoi sian jin dan Ngo hen kie! Bukankah mereka semua datang di Kong
Beng Teng untuk membantu?”
“Tanpa To Liong to, aku hanya pecandu Biat Coat Loonie. Biapun datang di Kong Beng
Teng, aku tak ada muka untuk bertempur melawan dia. Apa pula waktu aku kebetulan
mendengar tempat sembunyianmu. Dengan tergesa2 aku serga berlayar ke Peng hwee to.”
“Bagaimana kau tahu tempatku? Apakah orang Boe tong yg memberitahukan kepadamu?”
“Bukan!” orang Boe tong tak tahu tempatmu.
Waktu didesak Coei San duami istri lebih suka membunuh diri dari pada membuka rahasia.
Orang Boe tong tak tahu tempat sembunyianmu. Baiklah, hari ini aku akan bicara terang2an.
Di See hek aku bertemu dengan seorang yg bernama Boe Liat. Secara kebetulan kau
mendengar pembicaraannya, dengan anak perempuan. Aku segera membekuk dia. Aku
menyiksa dia dan sebab tak tahan siksaan dia membuka rahasia.”
Sesudah berdiam beberapa saat, Cia Soen bertanya, “Bukankah orang she Boe itu pernah
bertemu dengan anak Boe Kie. Hm.. dia tentu menipu anakku dan mengorek rahasiaku dari
mulutnya.”
Bukan main rasa malu Boe Kie. Ia ingat cara bagimana ia sudah ditipu Coe Tiang leng dan
Coe Kioe Tin sehinga ia membuka rahasia. Kalau lantaran itu ayah angkatnya benar2 jadi
celaka, biarpun mati berlaksa kali, ia tak bisa menebus dosa.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1049
“Serangan enam partai terhadap Beng Kauw bukan urusan kecil,” kata pula Cia Soen.
“Bagaimana sebenarnya nasib kita? Mengapa kau tidak memberitahukan hal itu kepadaku,
waktu kita bertemu di Peng hwee to? Kau sudah pergi ke Tiong goan lagi dan aku percaya
bahwa kau sudah mendapat warta yg lebih jelas.”
“Apa faedahnya jika aku beritahukan kau kejadian itu pada waktu aku datang di Peng Hwee
to? Paling banyak kau mengoeml panjang pendek. Mati hidupnya Beng Kau tak ada sangkut
pautnya lagi dengan Kim hoa popo. Kau rupa2nya sudah lupa kejadian di Kong Beng Teng.
Waktu Kong Beng Co soe dan Kong Beng Yoe soe mengepung aku. Tapi si nenek masih
belum melupakan kejadian itu.”
“Hait….. Ganjelan pribadi adalah soal kecil, melindungi agama kita adalah soal besar. Han
hoejin dadamu sempit sekali.”
“Bagus!” bentak si nenek dengan gusar. “Kau laki2 gagah aku perempuan berpemandangan
sempit! Apa kau tidak tahu, bahwa aku sudha untuk memutuskan hubungan dengna Beng
Kauw? Kalau bukan begitu cara bagaimana Ouw Goe bisa memperlakukan aku sebagai orang
luar? Dia menuntut supaya aku bersumpah untuk kembali kepada Beng Kauw dan hanyalah
jika aku memenuhi tuntutannya barulah ia mengobati luka keracunan dari Gin yan sianseng.
Cia hian tee, sekarang aku berterus terang. Akulah yg membunuh Tiap kok Ie sien Ouw Ceng
Goe Cie san Liong ong sudah melanggar peraturan Beng Kauw yg paling penting. Mana bisa
aku berhubung lagi dengan orang Beng Kauw?”
“Cia Song menggeleng2kan kepalanya. “Han hoe jin, aku mengerti maksudmu yg
sebenarnya,” katanya. “Dengan meminjam To liong to, dimulut kau mengatakan untuk
melawan Go bie pay, tapi dihati, kau sebenarnya ingin menggunakan golok itu untuk
menggempur Yo Siauw dan Hoan Yauw. Tidak! Aku takkan meminjamkan golok ini.”
Kim hoa popo batuk2, “Cia hiantee, antara kita berdua, siapa yg berkepandaian tinggi?”
tanyanya.
“Keempat hoat ong masing2 mempunyai keunggulan sendiri2”.
“Apa sesudah matamu buta, kau masih berani bertanding dengan aku?”
“Kau mau coba merampas golokku dengan kekerasan, bukan? Dengan mempunyai To Liong
to biarpun buta, Cia Soen masih bisa meladeni kau.” Mendadak ia mendongak dan
mengeluarkan siulan nyaring. “Han Hoe jin!” bentaknya dengan gusar. “Dua puluh tahun
Giok Bin Hwee Kauw mengawani aku di Peng Hwe to. Mengapa kau membunuh dia dengna
racun? Aku selalu menahan sabar dan tidak menegur kau, apa kau kira aku tidak tahu?” (Giok
bin Hwee kauw, kera bulu merah, muka putih seperti batu giok).
Boe Kie terkesiap. Kera itu pernah menolong kedua orang tuanya. Diwaktu kecil, binatang itu
adalah kawan mainnya satu2nya. Mendengar kebinasaan binatang itu, ia seolah2 mendengar
meninggalnya seorang sahabat karib. Ia berduka tercampur gusar.
Si nenek tertawa dingin. “Aku benci kera kecil itu,” katanya. “Saban kali bertemu dia selalu
mengawasi aku dengan sorot mata beringas. Gerakannya sangat cepat dan kalau aku tidak
selalu berwaspada, bisa2 aku mampus dalam cekernya. Aku merendam beberapa buah tho
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1050
didalam air racun. Kalau dia benar sakti, dia tentu tahu apa buah itu beracun atau tidak,
pikirku. Tapi kera tetap kera. Nama besarnya hanya nama kosong. Dia gegares habis beberapa
buah tho itu dan bahkan dia menyoja2, mengucapkan terima kasih kepadaku.”
Boe Kie meluap darahnya. Hampir2 ia menerjang. Sebisa2 ia menahan sabar karena
mengingat bahwa biar bagaimanapun jua, si nenek adalah kepala dari keempat Hoe Kauw
Hoat Ong. Untuk mempertahankan ‘gie-khie’ ia harus berdaya untuk menaklukkan nenek yg
gagah itu.
Cia Soen menarik napas dalam2 dan maju setindak. Dengan sikap angker, kedua biji matanya
yg sudah tidak dapat melihat lagi menatap wajah nenek Kim Hoa. In Lee keder dan mundur
beberapa tindak. Dilain pihak, Kim hoa popo mencekal tongkatnya erat2 dan mengawasi Cia
Soen dengan waspada. Suasana tegang luar biasa, ibarat gendewa yg sudah terpentgan.
Diantara tiupan angin malam yg membangunkan bulu roma, kedua lawan itu saling
berhadapan dalam jarang kurang lebih setombak. Lama mereka berdiri, masing2 sungkan
untuk bergerak lebih dahulu.
Tiba2 Cia Soen berkata, “Han hoe jin, hari ini kau mendesak aku, sehingga aku tidak bisa
turun tangan. Hai! Kejadian ini melanggar sumpah saudara dari keempat Hoe kauw hoat ong.
Didalam hati, Cia Soen sangat menderita.”
“Cia Hiantee, hatimu memang lembek. Wkatu baru mendengar aku tidak percaya, bahwa kau
sudah membunuh begitu banyak jago2 Rimba Persilatan.”
Cia Soen menghela napas. “aku kalap karena terbinasanya keluargaku – ayah, ibu, istri dan
anak,” katanya. “Tapi kejadian yg membuat aku paling menyesal ialah, bahwa kau sudah
membinasakan Kongkian Seng ceng dengan pukulan Cit siang koen.”
Si nenek tekejut. “Apa benar2 kau membinasakan Kong kian Seng Ceng?” ia menegas. “Lagi
kapan kau belajar ilmu yg hebat itu?” Mendengar matinya Kong kian di dalam tangan Kim
mo say ong, hatinya keder.
“Kau tak usah takut. Waktu di pukul, Kong kian Seng ceng tidak membalas. Dengan
menggunakan ilmu Budha yg tiada batasnya, beliau berusaha untuk menuntun aku kejalan yg
benar. Hai! … aku membinasakannya dengan tiga belas pukulan…”
“Kini aku percaya. Kepandaianku tak bisa menandingi Kong Kian Seng Ceng. Kau
membinasakannya dengan tigabelas pukulan. Mungkin sekali, dengan sembilan atau sepuluh
tinju, kau sudah bisa membinasakan aku.”
Cia Soen mundur setindak. Mendadak suaranya berubah lunak. “Han Hoe jin,” katanya,
“Dahulu, waktu masih berada di Kong Beng Teng, Han Taoko dan kau telah memperlakukan
aku baik sekali. Ketika Siauwtee sakit, sebulan lebih kalian merawat aku. Budi ini takkan bisa
dilupakan.” Sambil menepuk2 bajunya yg berlapis kapas, ia berkata pula, “Dipulau peng
hwee to, aku mengenakan baju yg terbuat dari kulit binatang. Kau membuat pakaian yg sangat
cocok bagiku. Ini semua membuktikan, bahwa kecintaan persaudaraan masih belum hilang.
Kau membunuh Giok bin Hwee kauw dan hatiku sakit. Tapi apa yg sudah terjadi tak dapat
diubah lagi. Kau pergilah! Mulai sekarang, kita tak usah bertemu lagi. Aku hanya bisa mohon
pertolonganmu, supaya anak Boe Kie bisa datang disini untuk menemui aku. Jika kau sudi
meluluskan permohonanku, aku merasa sangat berhutang budi.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1051
Si nenek tertawa sedih. “Kalau begitu, kau masih ingat kejadian2 dahulu” katanya.
“Sementara Gin yap taoko meninggal dunia, aku sudah merasa tawar terhadap segala
keduniawian. Hanyalah karena masih ada beberapa urusan yg belum beres, aku masih belum
mau mati untuk mengikuti Gin yap taoko. Cia hiantee biarpun kepandaian mereka tinggi dan
akalnya banyak, semua jago di Kong beng teng tak dipandang sebelah mata olehku. Kecuali
satu2nya adalah kasu sendiri. Apa kau tau sebab musababnya?”
Sesudah memikir beberapa saat, Cia Soen menggelengkan kepala, “Tidak,” jawabnya. “Cia
Soen seorang bodoh dan tidak cukup berharga untuk dihargai oleh Hian Cie (kakakku yg
budiman).”
Si nenek berjalan beberapa tindak dan berduduk diatas sebuah batu besar. “Diseluruh Kong
Beng Teng, hanya nyonya Yo Kauwcoe dan kau sendiri yg dipandang mata oleh Cie san li
ong long,” katanya. “Waktu aku menikah dengan Gin Yap Siang seng, hanya kau bedua yg
tidak mengutuk aku, karena aku menikah dengan orang luar.”
Perlahan2 Cia Soen pun berduduk diatas sebuah batu besar. “Biarpun bukan penganut agama
kita, Han Taoko adalah seorang gagah sejati,” katanya. “Pemandangan saudara2 kita memang
sangat cupat. Hmm… bagaimana akibat serangan enam partai terhadap Kong Beng Teng?
Bagaimana nasih saudara2 kita itu?”
“Cia Hiantee, badanmu diluar lautan, hatimu tetap di Tiong goan. Manusia hanya hidup
beberapa puluh tahun. Dalam sekejap waktu itu lewat. Perlu apa kau memikiri orang lain?”
Mereka berhadapan dalam jarak beberapa kaki dan bisa saling mendengar jalan pernapasan
masing2. Karena si nenek selalu batuk2 diwaktu berbicara, Cia Soen lalu berkata, “Waktu
bertempur dengan orang2 Kaypang, dadamu tertikam pedang. Apa luka itu sampai sekarang
belum sembuh?”
“Saban hawa udara dingin, batukku menghebat. Hmm, sesudah batuk tigapuluh tahun, aku
sudah jadi biasa lagi. Cia Hiantee kudengar jalan pernapasanmu tidak begitu baik. Apakah
kau mendapat luka didalam waktu berlatih Cit siang koen? Cia hiantee kau hraus menjaga
diri.”
“Terima kasih atas perhatian Hian cie,” mendadak ia menengok kepada In Lee dan berkata,
“In Lee, kemari.”
Si nona mendekati.
“Coba kau totok aku dengan jari tangamu, dengan seantero tenagamu.”
In Lee terkejut, “Aku tak berani!” katanya.
Cia Soen tertawa. “Cia Kong Kong, kau dan popo adalah saudara angkat. Segala urusan bisa
dibereskan secara damai.”
Cia Soen tertawa sedih, “Cobalah totok aku,” katanya pula. “Kau tak usah takut. Kau di
perintah olehku.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1052
In lee tak bisa menolak lagi. Ia segera membalut telunjuk tangan kanannya dengan sapu
tangan dan kemudai menotok pundak Cia Soen. “Aduh!” ia menjerit, tubuhnya terpental
setombak lebih dan ia jatuh duduk. Ia merasa kesakitan hebat, seolah2 tulang2nya patah
semua.
“Cia Hiantee, kau sungguh beracun,” kata Kim Hoa popo. “Sebab takut aku mendapat
pembantu, kau bertindak untuk menyingkirkannya.”
Cia Soen tidak lantas menjawab. Selang beberapa saat barulah ia berkata, “Anak ini sangat
baik hatinya. Ia menotok hanya dengan menggunakan dua tiga bagian tenaga. Ia membungkus
jarinya dan tidak mengerahkan racun Cian coe, bagus2! Kalau dia tidak berhati mulia, racun
laba2 sekarang sudah menyebar jantungnya dan ia tentu sudah menjadi mayat.”
Mendengar itu, keringat dingin mengucur dari hati Boe Kie. Orang2 Beng Kauw memang
agak kejam, pikirannya. “Gie hoe yg begitu mulia, tak urung telengas juga.”
“A lee, mengapa kau begitu baik terhadapku?” tanya Ciao Soen.
”Sebab kau … kau …. Adalah ayah angkatnya. Sebab kau dengan kesini untuk
kepentingannya. Didalam dunia, hanya kita berdua, kau dan aku yg masih memperhatikan
dia.”
“Ah! Aku tak nyana kau begitu menyayangi Boe Kie. Hampir2 aku mengambil jiwamu. Mari!
Aku ingin membisikkan sesuatu dikupingmu.”
Perlahan2, sambil menahan sakit, In Lee bangun berdiri lalu menghampiri Cia Soen.
“Aku akan turunkan pelajaran semacam Lwee kang kepadamu,” bisik Cia Soen di kuping
nona. “Lwee kang didapatkan olehku di Peng hwee to dan merupakan hasil jerih payahku
selama seumur hidup.” Sebab berkata begitu ia segera membaca pelajaran tersebut, dari
kepala sampai di buntut. Tentu saja In Lee tidak bisa lantas mengerti dan ia hanya coba
menghafalnya. Sesudah membaca tiga kali beruntun Cia Soen bertanya “Apa kau sudah ingat
semua?”
“Ya” jawabnya.
“Kau harus berlatih terus dan sesudah berlatih diri selama lima tahun, kau akan memperoleh
hasilnya. Apa kau tahu maksudku yg sebenarnya dalam memberi pelajaran ini?”
Tiba2 In Lee mengangis segak seguk, “Aku tahu… tapi… hal itu tidak bisa terwujud,”
jawabnya dengan suara terputus2.
“Apa yang kau tahu? Mengapa tidak bisa terwujud?” sambil bertanya begitu Cia Soen
mengangkat tangannya. Jika In Lee memberi jawabyg tak menyenangkan, ia segera
membinasakannya. Seraya mendekap muka dengan kedua tangannya, si nona berkata, “Ku
tahu .. ku tahu, kau ingin aku mencari Boe Kie dan memberi pelajaran itu kepadanya.
Kutahu.. kau ingin aku memiliki lweekangmu yg sangat lihai itu supaya aku bisa melindungi
dia, supaya dia tak dihina orang. Tapi.. tapi…” ia tak bisa meneruskan kata2nya dan menangis
menggerung gerung.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1053
“Tapi apa?” bentak Cia Soen, “Apakah anakku Boe Kie…”
In Lee menubruk dan memeluk Cia Soen. Sambil menangis sedu sedan ia berkata, “Enam..
enam tahun yg lalu.. dia.. dia mati di See hek… terjerumus kedalam jurang!”
Badan Cia Soen bergoyang2. “Apa benar?” ia menegas dengan suara gemetar.
“Benar… Boe Liat dan anak perempuannya menyaksikan kebinasaannya dengan mata sendiri.
Tujuh kali aku totok mereka dengan Cian Coe Chioe dan tujuh kali aku menolong jiwanya.
Aku menyiksa mereka secara hebat luar biasa. Kupercaya mereka tidak berdusta.”
Sekonyong2 Cia Soen menengadah dan mengeluarkan jeritan menyayat hati sedang air
matanya mengucur turun dikedua pipinya.
Melihat kedukaan ayah angkatnya dan saudari sepupunya, hampir2 Boe Kie tak bisa
mempertahankan diri. Hampir2 ia melompat untuk memperkenalkan dirinya.
“Cia Hiantee,” kata nenek Kim hoa.
“Sesudah Thio Kongcoe meninggal dunia, perlu apa kau memegang terus to Liong to?
Bukankah lebih baik kau menyerahkannya kepadaku?”
“Hebat sungguh kau mendustai aku!” bentak Cia Soen dengan suara menyeramkan. “Kalau
kau maui golok ini, ambil dulu jiwaku!” Perlahan2 ia mendorong In Lee dan “brett” ia
merobek pakaiannya dan melontarkan robekan itu kepada si nenek. Inilah yg dinamakan
“Kwa pauw toan gie” (Merobek ppakaian, memutuskan persahabatan).
Waktu In Lee mau memberitahukan tentang “kebinasaan” Boe Kie, Kim hoa popo sebenarnya
ingin merintangi. Tapi ia mendapat lain pikiran. Ia tahu, warta jelek itu akan sangat
mendukakan Kim mo say ong, sehingga dalam pertempuran tenaganya akan berkurang,
pikirnya kalut dan lebih gampang dipancing masuk ke dalam ‘barisan jarum’. Memikir begitu,
dia hanya mengawasi sambil tersenyum dingin.
“Ah! Kini tiba waktunya unutk maju dan mencegah pertempuran,” kata Boe Kie didalam hati.
Tapi sebelum dia melompat keluar, kupingnya yg sangat tajam mengangkap suara
bernapasnya manusia diantar rumput2 tinggi.
Suara itu sangat perlahan dan pendek. Kalau bukan Boe Kie, lain orang pasti takkan bisa
mendengarnya. “Kalau begitu si nenek menyembunyikan pembantu yg sangat lihai,” pikir
Boe Kie. “Aku tak boleh lantas keluar.”
Sementara itu, setelah merobek pakaian nya sambil membentak keras Cia Soen memutar To
liong to yg bagaikan seekor naga hitam turun naik disekitar tubuhnya. Kim hoa popo
melayani dengan sangat hati2. dia bergerak diluar jarak samberan golok dan jika Cia Son
sengaja membuka lowongan barulah ia berani merangsek. Tapi begitu lekas tongkat nya
hampir beradu dengan To long to, dengan kecepatan luar biasa, ia menyingkir pula. Kedua
lawan itu saling mengenal ilmu silat masing2. Mereka tahu, bahwa keputusan tak didapatkan
dalam seratus atau duaratus yg kedua belah pihak mempunyai sesuatu yg menguntungkan. Cia
Soen mempunyai golok mustika, sedangkan si nenek menarik keuntungan karena Cia Soen
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1054
tidak bisa melihat. Dengan sedikit keuntungan itu, masing2 berusaha untuk mendapatkan
kemenangan. Pada hakekatnya mereka bukan mengadu ilmu silat tapi mengadu kepintaran.
Mendadak dua sinar emas menyambar. Nenek Kim Hoa menumpuk dengan bunga emasnya.
Cia Soen menyambut dengan goloknya dan … kedua senjata rahasia itu, menempel badan To
Liong to! Bunga emas tersebut terbuat dari baja murni yg dilapis emas. Sebab To liong to
terbuat daripada besi “hian tian” yg mengandung besi berani (sembrani) Kim Hoa popo
mendapat nama beasr nya karena senjata rahasia itu. Biarpun matanya bisa melihat, Cia Soen
harus menggunakan seantero kepandaiannya untukmenyelamatkan diri dari serangan Kim
Hoa. Diluar dugaan To Liong to justru penakluk senjata rahasia.
Dengan beruntun si nenek melepaskan tujuh delapan bunga emas akan tetapi semuanya
menempel di badan golok. Diantara kegelapan malam, bunga2 emas itu bagaikan kunang2 yg
menari2. Sekonyong2 sambil batuk2, si nenek melepaskan seraup kim hoa. Beberapa belas
bunga emas menyambar serentak. Cia Soen mengibas tangan baju kiri, sambil menyampik
dengan To Liong to. Delapan sembilan kim hoa menempel di golok, yg lainny amasuk
kedalam tangan baju.
“Han hoe jin,” kata Kim mo say ong. “Gelarmu Cie San liong on bertemu dengan golokku ini,
gelar itu sangat tidak baik.”
Kim Hoa popo bergidik. Pada jaman itu, diantara ahli2 silat yg setiap hari bermain senjata
masih banyak yg percaya akan takhayul mengenai nama senjata nama atau gelaran. Si nenek
bergelar “Liong Ong” (Raja Naga) sedang nama golok itu adalah “To Liong” (Membunuh
Naga). Sambil menekan rasa kedernya, ia tertawa dingin dan berkata, “Mungkin sekali
tongkat Sat say thung (Tongkat membunuh singa) lebih dulu membinasakan anak singa yg
matanya buta.” (Gelar Cia Soen Kim mo Say Ong yg berarti Raja Singa bulu emas).
Sehabis berkata begitu, dengan kecepatan luar biasa, ia menyamber pundak Cia Soen dengan
tongkatnya. Cia Soen coba mengegos, tapi ia terlambat dan pundaknya terpukul. “Aduh!”
teriaknya sambil terhuyung beberapa tindak.
Boe Kie kaget tercampur girang. Mengapa ia bergirang? Karena ia tahu, bahwa dengan
sengaja menerima pukulan, ayah angkatnya sedang menjalankan tipu. Pada waktu itu, ia
sudah menjadi seorang ahli silat yang berkedudukan sangat tinggi dan dalam menonton
pertempuran. Ia selalu bisa meramalkan pukulan2 yg bakal dikeluarkan oleh kedua belah
pihak. Setelah Cia Soen terpukul, ia berkata didalam hati. “Kalau Gie hoe menimpuk dengan
bunga emas yg tergulung dudalam tangan bajunya. Kim hoa popo pasti akan mundur
kesebelah kiri. Gie hoe tentu akan membacok dengan pukulan Cian san Bai soei loan pie hong
sit. Sebab takut akan ketajaman To lion to, si nenek pasti akan mundur dua kali, dia tidak bisa
mundur lagi. Kalau dengan menggunakan kesempatan itu, dengan lweekangnya Gie hoe
menimpuk dengan bunga emas yg menempel pada badan To Liong to. Kim hoa popo rasanya
akan terlalu berat.”
Sesuai dengan dugaan Boe Kie, tiba2 terlihat menyambar beberapa sinar emas. Cia Soen
benar2 menimpuk dengan kim hoa yang tergulung didalam tangan bajunya. Dan sesuai
dengan dugaan pemuda itu, nenek Kim hoa melompat mundur kesebelah kiri.
Mendadak Boe Kie mengeluh, “Celaka! Kim hoa popo menggunakan tipu!” ia mengeluh
karena ingat sesuatu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1055
Sementara itu, di gelanggang terus berlangsung pertempuran seperti yg ditaksir Boe Kie. Cia
Soen membacok dengan Cian Sen Ban Soei Loan pie hong sit. Si nenek melompat mundur
lagi kekiri dan Cia Soen lalu menimpuk dengan beralsan kim hoa yg menempel pada badan
golok.”Aduh!” teriak si nenek dan badannya sempoyongan.
Sesudah “merobek baju, memutuskan persahabatan,” Cia Soen tidak sungkan2 lagi. Sambil
membentak keras, ia melompat tinggi dan lagi tubuhnya melayang kebawah, ia mengayun
goloknya.
Mendadak terdengar teriakan In Lee, “Awas! Dibawah ada jarum!”
Cia Soen terkesiap. Kejadian inilah yg sudah dilihat Boe Kie, sehingga ia mengeluh.
Pada detik itu, belasan bunga emas menyambar. Kim hoa popo menimpuk selagi badan Cia
Soen masih berada ditengah udara supaya ia tidak bisa mundur lagi dan jatuh diatas ‘barisan
jarum’.
Kim mo say ong memang sudah tidak berdaya lagi. Ia hanya bisa menyelamatkan diri dari
serangan bunga2 emas dengan menyampok dengan To Liong to, tapi ia tidak bisa
menggelakkan hinggapnya diatas ‘barisan jarum’. Selagi dianya sedang ia menyampok dan
selagi badannya melayang turun tiba2 ia mendengar suara ‘tring trinh….’ Dilain detik kedua
kakinya hinggap diatas batu…. Dengan tak kurang suatu apa! Ia berjongkok dan meraba2 dan
tangannya menyentuh jarum tajam di batu2 sekitarnya. Tapi empat batang jarunm yg sedang
diinjaknya, hilang terpukul batu. Cia Soen gusar tercampur kaget. Ia tahu, bahwa ia sudah di
tolong oleh orang yg berkepandaian tinggi. Dengan mendengar sambaran batu, ia pun tahu,
bahwa yg menolong nya bukan lain daripada si pemuda yg mengaku sebagai kie keng pang
dan yg pernah coba menolong nya dengan timpukan tujuh butir batu. Hebat sungguh
kepandaian pemuda itu, pikirnya. Sudah lama dia menonton tanpa diketahui. Mengingat
begitu, keringat dingin mengucur di dahi Kim mo say ong.
“Sekarang kedua Hoe Kouw hoat ong dari Beng Kauw masing2 sudah berjalan kau tipu
Kouw jiok kee (tipu mempersakiti diri sendiri). Pundak Cia Soen sudah terpukul tongkat,
tubuh si nenek sudah kena bunga emas. Biarpun tidak berbahaya, luka itu jg tak enteng.
Sesudah batuk2, sambil mengawasi tempat bersembunyinya Boe Kie, Kim hoa popo
membentak, “Bocah Kie keng pang! Sekali lagi kau mengacau urusan nenekmu. Siapa
namamu?”
Sebelum Boe Kie menjawab mendadak menyambar sinar emas dan In Lee mengeluarkan
teriakan kesakitan. Kim hoa popo tahu, bahwa kepandaian Boe Kie tidak berada disebelah
bawahnya. Jika ia menyerang In Lee pemuda itu tentu akan merintangi. Maka itu, ia sengaja
berbicara dan pada saat Boe Kie tdk berwaspada ia menimpuk dengan tiga bunga emas yg
menancap tepat di dada si nona.
Tak kepalang kagetnya Boe Kie. Badannya melesat bagaikan anak panah dan selagi berada di
tengah udara, ia menyambut dua kim hoa yg menyambar. Begitu hinggap ditanah, ia memeluk
tubuh In Lee.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1056
Dealam keadaan setengah lupa si nona melihat seorang lelaki berkumis memeluk dirinya.
Secara wajar Ia menolak keras dengan kedua tangannya. Begitu menggunakan tenaga, ia
memuntahkan darah.
Boe Kie lantas saja mengerti mengapa In Lee menolak dirinya. Buru2 ia mengusap mukanya
beberapa kali untuk mencopot kumis palsu dan penyamarannya.
Di lain saat nona In mengawasi dengan mata membelak. “A Goe koko, apa kau?” tanyanya
dengan suara parau.
“Benar aku!” jawabnya.
Hati si nona lega dan ia pingsan. Karena lukanya sangat berat, Boe Kie tidak berani mencabut
senjata rahasia yg menancap dan hanya menotok beberapa jalan darah untuk melindungi
bagian2 terpenting dari tubuh In Lee.
“Dua kali tuan menolong Cia Soen dan Cia Soen takkan melupakan budi yg sangat besar itu,”
kata Kim mo Say ong.
Mata Boe Kie lantas saja mengembeng air. “Gie… mengapa…” katanya.
Sesaat itu, ditempat jauh mendadak terdengar suara “tring!” Suara itu aneh. Perlahan tapi
merdu dan menusuk kuping. Mendengar suara itu, jantung Kim hoa, Cia Soen dan Boe Kie
melonjak, seolah2 mendengar halilintar yg dahsyat. Mereka bertiga adalah orang yg memiliki
lwee kang yg tinggi. Kioe yang sin kang Boe Kie dapat dikatakan sudah sempurna dan ia
tidak bisa dilanggar lagi oleh segala kekotoran. Tapi heran, suara itu dapat menggetarkan
jantungnya. Ia bahkan merasa dirinya terombang ambing di angkasa. Itulah kejadian yg
benar2 luar biasa.
Di lain detik, suara itu terdengar pula, lebih dekat bberapa puluh tombak. Dalam sedetik suara
itu sudah berpindah sedemikian jauh. Sungguh hebat!
Tapi suara kedua berbeda dari yg pertama. Suara itu halus lemah lembut. Bagaikan bisikan
seorang bercintaan di tengah malam yg sunyi seolah2 tiupan angin yg silir. Akan tetapi
biarpun begitu, suara itu seperti membetot nyawa.
Boe Kie mengerti, bahwa ia sedang menghadapi seorang manusia luar biasa. Sambil memeluk
In Lee, ia berdidi tegak siap sedia untuk menyambut setiap serangan.
Sekonyong2 terdengar “tang!” yang sangat hebat, yg berkumandang diseluruh lembah.
Jilid 58_________________
Hampir bersamaan muncul tiga orang, semua mengenakan jubah putih. Dua diantaranya
bertubuh jangkung sedang yang di sebelah kiri seorang wanita. Mereka berdiri dengan
membelakangi rembulan sehingga Boe Kie tidak bisa melihat muka mereka. Tapi tak bisa
salah lagi mereka adalah anggota Beng-kauw, karena pada ujung jubah mereka tersulam
sebuah obor.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1057
“Seng hwee leng Beng-kauw sudah tiba,” kata si jangkung yang berdiri di tengah-tengah.
“Hoe kauw Liong ong, Say ong, mengapa kalian tidak menyambut dengan berlutut?” Ia
berbicara dalam bahasa Han yang sangat jelek dan kaku.
Boe Kie terkejut, “Menurut surat wasiat Yo Kongcoe, semenjak jaman Kongcoe ketiga puluh
satu, jaman Kauwcoe, Seng hwee leng jatuh ke dalam tangan Kay-pang dan sampai sekarang
belum bisa diambil kembali,” pikirnya. “Mengapa benda-benda itu berada di dalam tangan
mereka? Apa itu Seng hwee leng asli? Apa benar mereka murid Beng-kauw?” Bermacammacam
pertanyaan keluar masuk dalam otaknya.
“Aku sudah keluar dari Beng-kauw, perkataan Hoe kauw Liong ong jangan disebut-sebut
lagi,” kata Kim hoa po po. “Siapa nama tuan? Apa itu Seng hwee leng asli? Dari mana kalian
mendapatkannya?”
“Pergi!” bentak orang itu. “Kalau kau sudah keluar dari agama kami, perlu apa kau banyak
rewel? Pergi!”
Kim hoa po po tertawa dingin, “Kim hoa po po belum pernah dihina orang,” katanya,
“Bahkan Kauwcoe memerlukan aku dengan segala kehormatan. Apa kedudukanmu di dalam
Beng-kauw?”
Tiba-tiba ketiga orang itu bergerak dengan serentak mendekati dan tangan kiri mereka
mencoba mencengkram badan si nenek. Kim hoa po po menyapu dengan tongkatnya. Entah
bagaimana ketiga orang itu menggeser kaki tahu-tahu kedudukan badan mereka sudah
berubah. Si nenek menyapu angin dan belakang lehernya dicengkram dengan tiga tangan dan
segera dilontarkan jauh-jauh.
Astaga! Nenek Kim hoa adalah seorang ahli silat kelas utama. Andaikata ia dikepung oleh
tiga orang jago yang paling hebat belum tentu ia bisa dirobohkan dengan satu dua jurus. Tapi
ketiga orang itu sungguh-sungguh aneh gerakan kaki dan tangannya.
Tiba-tiba Boe Kie mengeluarkan teriakan “in!” Ia merasa bahwa gerakan badan, tangan dan
kaki ketiga orang itu tak lain dari gerakan Kian koen Tay lo ie. Apakah mereka bersama-sama
memiliki ilmu yang sangat tinggi itu?
Waktu mendengar suara “tang” yang ketiga kali, In Lee sadar dari pingsannya. Ia membuka
kedua matanya dan mendapati kenyataan bahwa ia masih dipeluk Boe Kie. Dadanya sakit luar
biasa dan sambil menahan sakit ia segera memejamkan kedua matanya.
Sesudah ketiga orang itu mengubah kedudukan, Boe Kie bisa melihat mukanya. Yang
bertubuh paling jangkung berjenggot dan matanya biru, sedang yang satunya lagi berambut
kuning dan berhidung bengkok seperti patuk elang. Kedua-duanya orang asing, yang wanita
berambut hitam dan mukanya tak berbeda dengan muka orang Tiong-hoa. Hanya biji matanya
tidak hitam. Ia berusia kurang lebih dua puluh tahun dan raut mukanya berbentuk kwa cie, ia
cantik. “Semua orang asing, tidak herean apabila mereka itu suaranya kaku dan bicaranya
seperti orang menghafal buku,” kata Boe Kie dalam hati.
“Melihat Seng hwee leng seperti bertemu dengan Kauwcoe,” teriak si jenggot. “Cia Soen
mengapa kau tidak menyambut dengan berlutut?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1058
“Siapa kalian?” Tanya Kim-mo Say-ong.
“Kalau kalian murid agama kita, Cia Soen pasti mengenal nama kalian. Kalau bukan murid
agama kami, kalian tidak bersangkut paut dengan Seng hwee leng.”
“Dari mana asalnya Beng-kauw?”
“Dari Persia.”
“Benar, aku adalah Lioe in soe (Utusan Awan) dari Beng-kauw yang berkedudukan di Persia.
Kedua kawanku ini adalah Biauw hong soe (Utusan Rembulan). Atas perintah Cong Kauwcoe
(Kauwcoe Pusat) dari Persia, kami bertiga datang ke Peng-goan.”
Cia Soen dan Boe Kie terkejut. Sesudah membaca buku gubahan Yo Siauw, Boe Kie tahu
bahwa Beng-kauw memang berasal dari Persia. Melihat ilmu silat ketiga orang itu, ia percaya
bahwa keterangan si jenggot bukan keterangan palsu. Ia tidak membuka mulut dan menunggu
jawaban ayah angkatnya.
“Kauwcoe kami mendapat kabar bahwa Kauwcoe cabang Tiong-goan hilang tanpa jejak,”
kata si rambut kuning Biauw hong soe. “Karena itu, murid-murid cabang Tiong-goan
bermusuhan satu sama lain dan saling bunuh. Ceng Kauwcoe memerintahkan Sam soe (tiga
utusan) In, Hong dan Goat datang ke Tiong-goan untuk membereskannya. Sesudah kami tiba
di sini, semua murid harus mendengar perintah kami.”
Boe Kie girang. “Bagus,” pikirnya, “Dengan begini aku terbebas dari pikulan yang berat.
Pengetahuanku memang sangat cetek dan bisa jadi aku akan menggagalkan urusan yang
sangat besar.”
“Meskipun benar Beng-kauw Tiong-goan berasal dari Persia, akan tetapi selama seribu tahun
lebih sudah jadi agama yang berdiri sendiri tanpa dikuasai Cong-kauw (pusat),” kata Cia
Soen. “Bahwa dari tempat jauh Sam wie datang ke sini, Cia Soen merasa sangat girang. Tapi
menyambut dengan berlutut adalah hal yang tidak beralasan.”
Lioe in soe merogoh saku dan mengeluarkan dua potong “pay” (potongan logam atau batu)
yang panjangnya kira-kira dua kaki. “Pay” itu bukan emasa dan bukan batu giok, entah
terbuat dari bahan apa. Begitu dikeluarkan kedua “pay” segera dipukulkan satu sama lain.
“Ting!” itulah suara aneh yang terdengar paling dulu. Dalam jarak dekat, kedengarannya lebih
hebat lagi.
“Inilah Seng hwee leng dari Beng-kauw cabang Tiong-goan,” kata Lioe in soe. “Mendiang
Kauwcoe Cio tak becus sehingga barang ini jatuh ke tangan Kay-pang. Untung juga kami
dapat merampasnya kembali. Semenjak dulu melihat Seng hwee leng seperti bertemu dengan
Kauwcoe sendiri. Cia Soen apa kau masih mau berkepala batu?”
Waktu Cia Soen masuk agama Beng-kauw, Seng hwee leng sudah lama hilang. Ia belum
pernah melihatnya tapi ia tahu sifat-sifatnya yang luar biasa. Dalam kitab-kitab Beng-kauw
“pay” yang dipegang oleh ketiga orang asing itu adalah Seng hwee leng asli. Apalagi mereka
memiliki kepandaian yang sangat luar biasa dan sekali gebrak mereka sudah bisa
melemparkan tubuh Kim hoa po po. Kepandaiannya sendiri kira-kira setanding dengan Kim
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1059
hoa po po sehingga andaikata ia mau melawan iapun takkan bisa melawan. “Aku percaya
omongan tuan,” katanya. “pesan apa yang mau disampaikan oleh kalian?”
Lioe in soe tak menjawab. Ia mengibaskan tangan kirinya. Biauw hoe soe dan Hwie goat soe
mengerti maksudnya. Dengan serentak ketiga orang itu melompat tinggi dan dalam sesaat
mereka sudah berhadapan dengan Kim hoa po po. Si nenek menimpuk dengan enam Kim hoa
tapi dengan mudah mereka bisa menyelamatkan diri. Hwie goat soe merengsek dan mencoba
menotok leher si nenek. Kim hoa po po menangkis dan memukul dengan tongkatnya. Tibatiba
tubuh si nenek terangkat tinggi, punggungnya sudah dicengkram oleh Lioe in soe dan
Biauw hong soe dan diangkat ke atas. Ia tidak berdaya sebab jalan darah dipunggung sudah
ditotok. Hwie goat soe maju dan dengan tangan kirinya ia menotok tujuh hiat di dada Cie San
Liong ong.
Jalan serangan ketiga orang itu licin dan lancer, “Ilmu silat mereka tidak luar biasa,” kata Boe
Kie dalam hati. “Yang luar biasa adalah kerjasama mereka. Hwie goat soe memancing si
nenek, kedua tangannya membekuk dengan membokong, ilmu silat mereka secara perorangan
belum tentu lebih tinggi dari Kim hoa po po.”
Sementara itu Lioe in soe melemparkan Kim hoa po po ke hadapan Cia Soen. “Cia Say ong,”
katanya, “Menurut peraturan Beng-kauw, seseorang yang sudah masuk agama itu tapi ia
meninggalkan agama kita maka dia telah menjadi murid pengkhianat. Penggal kepalanya!”
Cia Soen terkejut, “Beng-kauw di Tiong-goan tak punya peraturan begitu,” jawabnya.
“Mulai dari sekarang, Beng-kauw cabang Tiong-goan harus menurut Cong-kauw,” kata Lioe
in soe dengan suara dingin. “Nenek itu telah mengatur tipuan busuk untuk mencelakai kau
dan itu semua telah dilihat kami. Hidupnya dia merupakan bibit penyakit. Lekas binasakan
dia!”
“Dahulu Han hoejin telah memperlakukan aku baik sekali. Empat Raja Pelindung Beng-kauw
terikat pada tali persaudaraan. Biarpun hari ini dia memperlakukan aku dengan Poet ceng
(tanpa kecintaan) tapi aku tak bisa membalasnya dengan Poet hie (tanpa rasa persahabatan)
dan turun tangan untuk membinasakannya.”
Biauw hong soe tertawa terbahak-bahak. “Kau sungguh rewel!” katanya. “Caramu seperti
perempuan bawel. Dia berusaha untuk membinasakan kau tapi kau tidak mau mengambil
jiwanya. Mana ada aturan begitu? Heran! Aku sungguh tidak mengerti!”
“Aku bisa membunuh manusia tanpa terkesiap tapi aku tak bisa membunuh saudara
seagama,” kata Cia Soen dengan suara mantap.
“Tapi kau mesti membunuh dia,” kata Hwie goat soe, “Kalau kau menolak berarti kau
melanggar perintah. Kami akan lebih dulu mengambil jiwamu.”
“Baru datang di Tiong-goan Sam wie sudah mencoba memaksa Kim-mo Say-ong utnuk
membunuh Cie San Liong ong,” kata Cia Soen dengan suara mendongkol. “Apakah Sam wie
mau mencoba memperlihatkan keangkeran dengan menakut-nakuti aku?”
Hwie goat soe tersenyum, “Meskipun kau buta hati mengerti segalanya,” katanya, “Hayo!
Lekas turun tangan!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1060
Cia Soen menengadah dan tertawa nyaring sehingga suaranya berkumandang di seluruh
lembah, “Kim-mo Say-ong selamanya bekerja sebagai laki-laki,” katanya dengan suara keras.
“Aku tak sudi membunuh sahabat sendiri. Tapi andaikata nenek itu musuh besarku akupun
takkan turun tangan sebab dia sekarang sudah tidak bisa membela diri, Cia Soen belum
pernah membunuh manusia yang tidak bisa melawan lagi.”
Mendengar perkataan itu, Boe Kie merasa kagum sekali dan terhadap ketiga utusan itu ia
mulai merasa muak.
“Bagi setiap murid Beng-kauw melihat Seng hwee leng seperti melihat Kauwcoe sendiri,”
kata Biauw hong soe. “Say-ong, apa kau mau memberontak?”
“Cia Soen telah buta dua puluh tahun lebih. Biarpun kau menaruh Seng hwee leng
dihadapanku, aku tak bisa melihatnya. Maka itu, melihat Seng hwee leng seperti melihat
Kauwcoe sendiri tiada sangkut pautnya denganku.”
“Bagus!” bentak Biauw hong soe dengan gusar. “Benar-benar kau mau berkhianat?”
“Cia Soen tidak berani berkhianat, tapi tujuan Beng-kauw ialah melakukan perbuatanperbuatan
yang baik dan menyingkirkan segala kejahatan. Disamping itu Beng-kauw pun
sangat mengutamakan “gie kie”. Kepala Cia Soen boleh jatuh di tanah tapi Cia Soen tak boleh
melakukan perbuatan sebusuk itu.”
Nenek Kim hoa tidak bisa bergerak tapi ia mendengar tegas setiap perkataan Kim-mo Sayong.
Boe Kie tahu bahwa ayah angkatnya tengah menghadapi bencana. Perlahan-lahan ia
melepaskan In Lee di tanah.
“Semua anggota Beng-kauw di Tiong-goan yang tidak menghormati Seng hwee leng akan
mendapatkan hukuman mati,” bentak Lioe in soe.
“Aku adalah Hoe-kauw Hoat ong (Raja Pelindung Agama),” kata Cia Soen dnegan suara
lantang, “Biarpun Kauwcoe sendiri yang mau membinasakan aku, ia harus mengadakan
upacara kepada Langit dan Bumi dengan memberitahukan segala dosa-dosaku.”
Biauw hong soe tertawa. “Gila!” katanya. “Di Persia tidak ada peraturan begitu. Begitu
datang di Tiong-goan, Beng-kauw segera mempunyai aturan yang gila-gila.”
Mendadak Sam soe membentak kerasa dan menyerang dengan berbarengan. Cia Soen segera
memutar To liong to untuk melindungi diri. Sesudah menyerang tiga jurus tanpa berhasil
dengan serentak mereka mengeluarkan Seng hwee leng. Hwie goat soe merangsek dan
memukul batok kepala Cia Soen dengan Seng hwee leng yang dicekal dalam tangan kirinya.
Cia Soen menangkis dengan goloknya. “Trang!” Biarpun senjata mustika, golok itu tidak bisa
memutuskan Seng hwee leng. Hampir bersamaan, Lioe in soe menggulingkan diri di tanah
dan memukul betis Cia Soen sehingga ia terhuyung satu dua langkah. Pada detik yang
bersamaan Biauw hong soe berhasil menotok punggung Cia Soen dengan Seng hwee lengnya.
Mendadak ia merasa tangannya dibetot orang dan Seng hwee leng dirampas. Dengan hati
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1061
mencelos ia memutar badan. Yang merampas adalah seorang pemuda yang mengenakan
pakaian anak buah perahu.
Perampasan Seng hwee leng dilakukan Boe Kie dengan kecepatan luar biasa. Dengan gusar
Lioe in soe dan Hwie goat soe segera menyerang dari kiri dan kanan, untuk menyelamatkan
diri Boe Kie melompat mundur ke sebelah kiri. Diluar dugaan punggungnya kena dipukul
Hwie goat soe. Seng hwee leng adalah benda yang sangat keras dan pukulan itu disertai
Lweekang yang hebat. Maka Boe Kie berkunang-kunang. Untung juga dia memiliki Sin kang
dan sambil melompat ke depan ia mengempos semangat untuk menentramkan hatinya.
Sam soe tidak memberi nafas kepadanya dan segera mengurung. Sesudah serang menyerang
beberapa jurus dengan Seng hwee leng yang dipegang tangan kanannya, Boe Kie
mengirimkan pukulan gertakan kepada Lioe in soe dan berbarengan tangan kirinya
menjambret Seng hwee leng yang dicekal dalam tangan kiri Hwie goat soe. Baru saja mau
membetot mendadak Hwie goat soe melepaskan cekalannya sehingga buntut Seng hwee leng
itu membal ke atas dan memukul pergelangan tangannya. Jari-jari tangan Boe Kie kesemutan
sehingga mau tidak mau ia terpaksa melepaskan pula Seng hwee leng yang sudah
dipegangnya, Hwie goat soe lantas saja menyambutnya.
Semenjak memiliki Kian koen Tay loe ie dan mendapat petunjuk Thio Sam Hong mengenai
Thay kek keon, Boe Kie tidak pernah menemui tandingan. Diluar dugaan, dalam menghadapi
seorang wanita muda seperti Hwie goat soe, dua kali beruntun ia kena dipukul. Dalam
pukulan kedua, jika tidak memiliki Sin kang, pergelangan tangannya pasti sudah patah.
Sekarang ia tidak berani melayani kekerasan lagi. Sambil membela diri ia memperhatikan
serangan-serangan lawan untuk mencari jalan melawannya.
Dilain pihak, ketiga utusan itu merasa kaget. Belum pernah mereka menemui lawan seperti
Boe Kie.
Tiba-tiba Biauw hong soe menundukkan kepalanya dan menyeruduk. Inilah serangan luar
biasa yang bertentangan dengan peraturan ilmu silat. Menyeruduk dengan bagian tubuh yang
terpenting tidak pernah atau sedikitnya jarang digunakan oleh ahli-ahli silat di daerah Tionggoan.
Boe Kie berdiri tegak bagaikan gunung. Ia mengerti bahwa serudukan itu akan disertai
dengan serudukan susulan. Ketika batok kepala Biauw hogn soe hanya terpisah satu kaki dari
perutnya barulah ia menggeser kaki dan mundur selangkah. Mendadak Lioe in soe melompat
tinggi dan ketika tubuhnya turun, ia mencoba duduk di atas kepala Boe Kie. Inipun serangan
aneh. Buru-buru Boe Kie mengegos ke samping. Mendadak ia merasa dadanya sakit sebab
kena disikat Biauw hong soe tapi Biauw hong soe sendiri yang kena didorong dengan tenaga
Kioe yang Sin kang terhuyung beberapa langkah.
Paras Sam soe berubah pucat. Tapi mereka segera merangsek lagi. Selagi Hwie goat soe
membabat dengan kedua Seng hwee leng mendadak Lioe in soe melompat tinggi dan
menjungkir balik tiga kali di tengah udara. Ia heran melihat saltonya Lioe in soe dan cepatcepat
ia mengegos ke kiri, mendadak sinar putih berkelabat dan pundak kanannya terpukul
Seng hwee leng Lioe in soe. Ia terkesiap, itu pukulan yang sangat aneh. Bagaimana caranya
selagi bersalto Lioe in soe bisa memukul dirinya tanpa ia sendiri bisa mencegahnya? Pukulan
itu sangat hebat, meskipun seluruh tubuhnya dilindungi Sin kang, rasa sakit terasa di sumsum.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1062
Kalau bisa ia ingin mundur tapi ia tahu kalau ia mundur, ayah angkatnya akan binasa. Ia jadi
nekat, sesudah menarik nafas dalam-dalam ia melompat menghantam dada Lioe in soe dengan
telapak tangannya.
Pada detik yang bersamaan, Lioe in soe pun melompat ke depan sambil memukul kedua Seng
hwee lengnya. “Trang!” Selagi abdannya masih berada di udara, mendengar suara itu Boe Kie
merasa semangatnya terbetot keluar. Tiba-tiba Biauw hong soe terpental sebab didorong oleh
Kioe yang Sin kang. Hampir bersamaan Hwie goat soe sudah menghantam pundak Boe Kie
dengan Seng hwee leng.
Cia Soen tahu bahwa si pemuda Kie yang menolong jiwanya sedang menghadapi bencana, ia
merasa menyesal bahwa ia tak bisa membantu. Makin lama ia jadi makin bingung. Jika
bertempur sendirian ia bisa melawan dengan mengandalkan ketajaman kupingnya. Sekarang
ia tak bisa membedakan yang mana lawan yang mana kawan. Bagaimana jadinya kalau To
liong to sampai membinasakan kawan. Tapi ia tahu bahwa penolongnya sudah terpukul
beberapa kali. “Siauw hiap! Lekas menyingkir!” teriaknya. “Ini urusan Beng-kauw, bukan
urusan Siauw hiap bahwa Siauw hiap sudah sudi menolong Cia Soen merasa sangat berhutang
budi.”
“Aku…Lari! Lekas kau…lari!” seru Boe Kie dengan suara terputus-putus.
Mendadak Lioe in soe menghantam dengna Seng hwee leng. Boe Kie menangkis dengan
Seng hwee leng juga. “Trang!” Seng hwee leng Lioe in soe terlepas. Boe Kie segera
melompat tinggi untuk menangkapnya. Tiba-tiba “bret!” baju dipunggungnya robek sebab
jambretan Hwie goat soe. Goresan kuku mengeluarkan darah dan Boe Kie merasa perih pada
punggungnya. Karena serangan itu, gerakan Boe Kie jadi terhambat dan Seng hwee leng
keburu diambil kembali oleh Lioe in soe.
Sesudah bertempur beberapa lama, Boe Kie yakin bahwa Lweekang ketiga lawan itu masih
kalah jauh dari tenaga dalamnya. Yang sukar dilawan adalah ilmu silat, kerja sama dan
senjata mereka yang aneh. Mereka bekerja sama dalam cara yang sangat luar biasa. Boe Kie
tahu bahwa kalau ia bisa merobohkan salah seorang maka ia akan mendapatkan kemenangan
tapi hal itu tidak gampang dilakukan.
Dengan Sin kangnya, dua kali Boe Kie menghantam Biauw hong soe tapi lawan itu hanya
terhuyung beberapa langkah dan rupa-rupanya tidak mendapat luka yang berarti. Selain itu
setiap kali ia menyerang yang satu, dua yang lain segera menolong dengan cara yang tak
diduga-duga. Beberapa kali ia menukar ilmu silat tapi ia tetap tak bisa memecahkan kerja
sama mereka yang sangat erat.
Dilain pihak, Sam soe pun tak berani membenturkan kaki tangan atau badan mereka dengan
Boe Kie. Setiap kali mengadu kekuatan setiap kali pihak mereka yang menderita.
Mendadak, sambil membentak keras Cia Soen memeluk To liong to melompat masuk ke
gelanggang pertempuran dan mendekati Boe Kie. “Siauw hiap, gunakanlah golok ini!”
katanya. Seraya berkata begitu, ia menyodorkan To liong to.
Boe Kie menyambuti dan Cia Soen melompat mundur. Selagi melompat, punggungnya
terkena tinju Biauw hong soe yang menyambar tanpa bersuara sehingga ia tidak dapat
mendengarnya. “Aduh!” ia mengeluh. Ia merasa isi perutnya seperti terbalik.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1063
Sementara itu, sambil menggertak gigi Boe Kie membacok Lioe in soe. Si jenggot memapaki
kedua Seng hwee leng yang lantas menempel di badan To liong to. Tiba-tiba Boe Kie merasa
tangannya tergetar sehingga To liong to hampir terlepas.
Hatinya mencelos, buru-buru ia mengempos semangat dan menambah Lweekangnya.
Merampas senjata dengan Seng hwee leng adalah satu-satunya ilmu yang sangat diandalkan
oleh Lioe in soe. Dapat dikatakan ia belum pernah gagal. Kali ini ia tidak berhasil dan kaget
bukan main. Melihat itu, sambil membentak keras Hwie goat soe melompat dan
menempelkan kedua Seng hwee lengnya di badan To liong to. Sekarang empat Seng hwee
leng membetot golok dan tenaga membetot bertambah satu kali lipat.
Boe Kie sudah terluka beberapa kali dan biarpun bukan luka berat tenaganya berkurang.
Sesudah bertahan beberapa saat, ia merasa separuh badannya panas dan tangannya yang
mencekal golok gemetaran. Ayah angkatnya menyayangi To liong to seperti jiwa sendiri dan
bahwa orang tua itu sudah dengan rela meminjamkan kepada orang yang belum dikenal
merupakan bukti bahwa sang Gie hoe mempunyai gie kie yang sangat tebal. Kalau To liong to
sampai hilang dalam tangannya, mana ia ada muka untuk menemui sang ayah angkat lagi?
Berpikir begitu sambil membentak, ia mengerahkan seluruh Kioe yang Sin kang ke tangan
kanannya.
Paras muka Lioe in soe dan Hwie goat soe berubah pucat. Biauw hong soe kaget, ia melompat
dan turut menempelkan sebuah Seng hwee lengnya ke badan To liong to.
Sekarang satu melawan tiga dan berkat Sin kang, Boe Kie tetap bisa bertahan. Diam-diam ia
merasa syukur bahwa ia berhasil merampas sebelah “leng” dari tangan Biauw hong soe. Jika
Liok leng (enam leng) menekannya dengan bersamaan belum tentu ia bisa mempertahankan
diri.
Dengan tubuh tak bergerak, keempat orang mengerahkan Lweekang mereka yang paling
tinggi.
Mendadak saja Boe Kie merasa dadanya sakit seperti ditusuk dengan jarum halus. Tusukan
itu luar biasa hebat, terus menerobos ke dalam isi perutnya. Hampir bersamaan, To liong to
terlepas dari cekalannya dan ditarik oleh lima Seng hwee leng!
Boe Kie terkesiap tapi sebagai ahli silat kelas utama, dalam kagetnya ia tak menjadi bingung.
Ia menghunus Ie thiam kiam yang terselip dipunggungnya dan dengan Toan coan Jie ie
(berputar-putar menurut kemauan hati) salah sebuah pukulan Thay kek Kiam hoat, ia
membuat sebuah lingkaran dengan bersamaan membabat kepungan Sam soe. Cepat-cepat
ketiga lawan itu melompat mundur. Boe Kie memasukkan Ie thiam kiam ke dalam sarung dan
dengan sekali raih ia menangkap gagang To liong to.
Sungguh indah keempat gerakan melepaskan To liong to dan menghunus Ie thian kiam,
memasukkan pedang ke dalam sarung dan menangkap gagang To liong to. Tempo
kecepatannya bagaikan kilat dan gerakannya gemulai. Itulah gerakan-gerakan yang
dikeluarkan dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh.
Sam soe Persia mengeluarkan seruan kaget. Tak kepalang heran mereka. Lweekang mereka
kalah jauh dari Boe Kie. Karena mereka berteriak, tenaga bertahan mereka berkurang dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1064
kelima Seng hwee leng berbalik kena dibetot Boe Kie bersama-sama To liong to. Buru-buru
Sam soe mengempos semangat dan keadaan pulih seperti tadi, keempat orang saling bertahan
dan saling membetot.
Dilain saat, sekali lagi Boe Kie merasa dadanya sakit seperti ditusuk jarum.
Tapi sekarang karena sudah bersiap-siap, To liong to tidak sampai terlepas. Sehelai hawa
dingin telah menerobos masuk dari lapisan Kioe yang Sin kang yang melindungi seluruh
tubuh Boe Kie dan menyerang isi perutnya. Boe Kie mengerti bahwa itulah tenaga dalam Sam
soe yang menyerang dengan perantaraan Seng hwee leng. Pada umumnya manakala dingin
menyerang panas, belum tentu dingin mendapatkan kemenangan, tapi dalam hal ini Kioe yang
Sin kang melindungi seluruh tubuh sedang hawa dingin itu berkumpul menjadi satu dalam
bentuk sehelai benang tipis itu dan menikam bagaikan tikaman pisau. Itulah sebabnya
mengapa biarpun hebat, garis pertahanan Kioe yang dapat diterobos juga.
Serangan itu sebenarnya dilakukan oleh Hwie goat soe dan Lweekang yang digunakan Tauw
koet ciam (jarum yang bisa menembus tulang). Ia kaget dan heran karena Boe Kie dapat
mempertahankan diri terhadap serangan Lweekang Tauw koet ciam, ia ingin sekali merampas
Ie thian kiam tapi tak bisa berbuat begitu sebab kedua tangannya memegang Seng hwee leng.
Biauw hong soe pun ingin merebut pedang mustika itu dan tangan kirinya kosong, tapi karena
tenaganya sudah dikumpulkan di tangan kanan maka tangan kiri itu tidak bertenaga lagi.
Boe Kie mengerti bahwa dengan terus bertahan seperti itu dan setiap saat diserang dengan
hawa dingin pada akhirnya ia akan roboh. Tapi ia tidak berdaya untuk menolong dirinya.
Sementara itu ia mendengar suara nafas Cia Soen yang mendekati selangkah demi selangkah.
Ia tahu bahwa sang Gie hoe mau memberi bantuan.
Memang benar Kim mo Say ong telah mengambil keputusan untuk membantu “si pemuda Kie
keng pang”. Selagi keempat orang itu mengadu Lweekang, kalau ia memukul musuh seperti
juga memukul Boe Kie. Maka itu ia terus ragu dan belum berani turun tangan.
Boe Kie jadi bingung, “Yang paling penting Gie hoe harus menyingkir,” pikirnya, “Tapi
kalau ia tahu bahwa aku adalah Boe Kie, ia tidak mau menyingkir.” Berpikir demikian, ia
lantas saja berteriak, “Cia Tay hiap, walaupun Sam soe berkepandaian tinggi, kalau mau aku
bisa meloloskan diri dengan gampang sekali. Cia Tay hiap, kau menyingkirlah untuk
sementara waktu. Aku akan segera mengembalikan golok mustikamu.”
Sam soe terkesiap, menurut kebiasaan orang yang sedang mengadu Lweekang tidak boleh
bicara, begitu ia berbicara tenaga dalamnya buyar. Tapi Boe Kie bisa berbicara sambil
bertahan terus.
“Siapa nama she Siauw hiap yang mulia?” tanya Cia Soen.
Untuk sejenak Boe Kie ragu, tapi ia segera mengambil keputusan untuk tidak
memperkenalkan diri. Apabila ia menyebut namanya yang asli, ayah angkatnya pasti akan
mengadu jiwa dengan ketiga orang Persia itu. Berpikir begitu, ia lantas menjawab, “Aku yang
rendah she Can bernama A Goe. Mengapa Cia Tay hiap tidak mau segera pergi? Apa Cia Tay
hiap tidak percaya aku dan takut aku telan golok mustika ini?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1065
Cia Soen tertawa terbahak-bahak. “Siauw hiap, kau tak usah menggunakan kata-kata itu untuk
mengusir aku,” katanya dengan suara terharu. “Kutahu kau dan aku mempunyai nyali yang
sama. Cia Soen merasa bersyukur bahwa dalam usia tua ia bisa bertemu dengan seorang
sahabat seperti kau. Can Siauw hiap, aku ingin menghantam perempuan itu dengan Cit siang
koen. Begitu aku memukul, kau lepaskan To liong to.”
Boe Kie tahu kehebatan Cit siang koen, dengan mengorbankan golok mustika ternama itu
memang dengan sekali tinju ia bisa membinasakan Hwie goat soe. Tapi kejadian itu berarti
bahwa Beng-kauw Tiong goan akan bermusuhan dengan beng-kauw pusat. Kalau kini ia
menyetujui dibunuhnya seorang utusan pusat, bukankah perbuatannya tidak sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang Kauwcoe? Mengingat itu, buru-buru ia mencegah. “Tahan!”
Ia menengok kepada Lioe in soe dan berkata pula, “Mari kita berhenti untuk sementara waktu,
aku mau berbicara dengan Sam wie.”
Lioe in soe mengangguk.
“Dengan Beng-kauw aku mempunyai hubungan erat,” kata Boe Kie. “Dengan membawa
Seng hwee leng, kalian datang ke sini dan pada hakikatnya kalian adalah tamu kami. Untuk
segala perbuatan yang tidak pantas aku mohon kalian sudi memaafkan. Dengan bersamaan
kita menarik kembali tenaga dalam. Apa kalian setuju?”
Lioe in soe mengangguk lagi.
Boe Kie girang, ia segera menarik kembali Lweekangnya dan To liong to, dan ketiga
lawannya pun menarik kembali tenaga mereka.
Tapi mendadak, sangat mendadak, semacam tenaga dingin bagaikan pisau menikam Giok
tong hiat di dadanya. Nafas Boe Kie sesak dan ia tak bisa bergerak lagi. Pada detik itu di
dalam otaknya berkelabat pikiran, “Setelah aku mati, Gie hoe pun akan mati. Tak disangka,
utusan Cang kauw berbuat begitu. Bagaimana nasib In Lee piau moay? Bagaimana dengan
Tio kauwnio, Cioe kauwnio dan Siauw Ciauw? Hai! Bagaimana dengan impian Beng-kauw
untuk menolong rakyat dan merobohkan kerajaan Goan?” Selagi ia berpikir begitu, Lioe in
soe sudah mengangkat Seng hwee leng dan menghantam kepalanya, Boe Kie mencoba
mengerahkan Lweekang untuk membuka Giok tong hiat yang tertotok tapi sudah tidak keburu
lagi.
Pada saat yang sangat genting, tiba-tiba terdengar teriak seorang wanita, “Rombongan Bengkauw
dari Tiong goan sudah tiba di sini!”
Lioe in soe terkejut, Seng hwee leng berhenti di tengah udara.
Bagaikan kilat, satu bayangan abu-abu berkelabat ke arah Boe Kie, mencabut Ie thian kiam
dan menubruk Lioe in soe. Boe Kie mengenali orang itu adalah nona Tio, tapi dalam
girangnya ia kaget tak kepalang sebab si nona menyerang dengan sebuah pukulan Koen loenpay
yang bertujuan untuk mati bersama-sama musuh. Pukulan itu diberi nama Giok swee
Koen kong (batu giok hancur digunung Koen loen san). Meskipun Boe Kie tak tahu nama
pukulan itu tapi ia mengerti jika nona Tio berhasil melukai Lioe in soe, ia sendiri sukar luput
dari serangan lawan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1066
Lioe in soe mencelos hatinya. Ia tak pernah bermimpi bahwa sesudah memperoleh
kemenangan dengan jalan licik, ia bakal diserang dengan begitu. Dalam bahaya, ia menangkis
dengan Seng hwee leng dan menggulingkan dirinya di tanah. “Trang!” Ie thian kiam terpukul
balik, selagi bergulingan ia merasa dingin pada dagunya, tangannya basah lengket dan
dagunya perih. Ternyata kulit dagu bersama jenggotnya terpapas Ie thian kiam. Kalau Seng
hwee leng bukan senjata mustika, kepalanya pasti sudah terbelah dua.
Dilain pihak, ketika terpukul balik Ie thian kiam memapas pinggiran kopiah nona Tioa
sehingga sebagian rambutnya yang hitam terurai.
Tio Beng datang pada detik yang tepat karena hatinya tidak enak dan ia kuatir akan
keselamatan Boe Kie. Ia merasa bahwa Kim hoa po po banyak akalnya, Tan Yoe Liang bukan
manusia baik-baik dan pulau itu penuh dengan bahaya yang tersembunyi. Kian lama ia kian
kuatir dan akhirnya ia mengikuti Boe Kie dari belakang. Ia tahu bahwa ilmu ringan badannya
masih cetek dan kalau ia mendekat, Boe Kie tetap mengetahuinya.
Maka itu ia hanya menguntit dari kejauhan. Sesudah Boe Kie bertempur dengan ketiga utusan
Cong kauw barulah ia mendekat. Ia girang ketika Boe Kie mengadu Lweekang sebab ia
merasa pasti bahwa tenaga dalam ketiga orang itu tak akan bisa menindih Kioe yang Sin
kang. Penundaan pertempuran mengejutkan hatinya. Ia ingin mendekati Boe Kie supaya ia
waspada tapi sudah tak keburu. Demikianlah pada detik berbahaya ia melompat keluar. Ia
tahu bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi ketiga orang asing itu tapi ia sudah nekat
dan tidak berpikir panjang lagi. Ia mencabut Ie thian kiam dari pinggang Boe Kie dan
menyerang dengan jurus yang dapat membinasakan kedua belah pihak, yang diserang dan
penyerangnya sendiri.
Sesudah jurus pertama berhasil, ia membuat setengah lingkaran dan menubruk Biauw hong
soe dengan badannya sendiri. Itulah jurus Jin koei Tong touw (manusia dan setan jalan
bersama-sama), jurus Kong tong-pay yang mempunyai tujuan sama seperti Giok swee Koen
kong. Nona Tio menganggap bahwa ia ditakdirkan untuk binasa bersama-sama musuh. Giok
swee Koen kong dan Jin koei Tong touw bukan pukulan untuk memperoleh kemenangan
dalam kekalahan atau mencari hidup dalam jalan mati. Kedua jurus itu adalah jurus bunuh diri
sambil membunuh musuh. Ketika jago-jago Kong tong-pay dikurung di Ban hoat sie,
beberapa diantaranya yang adatnya keras sudah menyerang dengan jurus tersebut. Tapi karena
tidak mempunyai tenaga dalam serangan mereka gagal. Tio Beng yang menyaksikan serangan
itu segera menghafal dalam otaknya.
Dengan jurus itu Biauw hong soe terkesiap, keringat dingin mengucur dan ia berdiri terpaku.
Ternyata biarpun ilmu silatnya tinggi, ia bernyali kecil. Dalam menghadapi serangan yang
mematikan, ia ketakutan dan tak berdaya lagi.
Sebagai akibat tubrukannya tubuh Tio Beng lebih dulu membentur Seng hwee leng kemudian
barulah tangannya menikam dengan Ie thian kiam. Serangan jurus Jin koei Tong touw
memang harus dilakukan dengan begitu. Lebih dulu menabrak senjata musuh dengan tubuh
sendiri dan pada saat itu senjata itu menancap di tubuh, menikam musuh dengan senjata
sendiri. Diserang begitu, biarpun kepandaiannya tinggi, seseorang tak akan bisa meloloskan
diri. Biauw hong soe terpaku sebab ia segera melihat hebatnya pukulan itu. Untung besar bagi
Tio Beng Seng hwee leng bukan senjata tajam. Senjata itu tumpul dan berbentuk tongkat
pendek, maka itu biarpun terbentur badannya ia tidak terluka, dan untung juga bagi Biauw
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1067
hong soe karena sebelum Ie thian kiam mampir di tubuhnya, Hwie goat soe sudah keburu
memeluk badan Tio Beng dari belakang.
Karena dipeluk, noan Tio tak bisa menikam terus, ia tahu ia bakal celaka, tiba-tiba ia
membalikkan pedangnya dan menikam kempungnya sendiri.
Itulah jurus yang lebih hebat dari dua jurus tadi! Jurus pedang ini yang dinamakan Thian tee
Tong sioe (langit dan bumi bersamaan usianya) adalah jurus Boe tong-pay tapi bukan
gubahan Thio Sam Hong. Siapa penggubahnya? In Lie Heng. In Lie Heng yang menggubah
itu untuk membalas sakit hatinya terhadap Yo Siauw. Semenjak Kie Siauw Hoe meninggal
dunia, tekadnya yang bulat adalah membunuh Yo Siauw. Biarpun gurunya seorang ahli silat
yang paling terkemuka tapi karena bakatnya kurang, ia tak dapat memperoleh ilmu yang
paling tinggi. Ia sudah tidak berharap hidup maka itu ia menggubah tiga jurus silat pedang
yang bertujuan untuk mati bersama musuhnya. Satu waktu, selagi berlatih diam-diam,
latihannya dilihat Thio Sam Hong. Guru besar itu menghela nafas sebab ia tahu biarpun ia
coba mencegah, hasilnya akan sia-sia. Ia lalu memberi nama Thian tee Tong sioe kepada jurus
itu. Nama tersebut berarti bahwa sesudah seorang manusia meninggal dunia, rohnya akan
tetap hidup dan usia roh itu sama dengan usial langit dan bumi. Ketika dikurung di Ban hoat
sie, murid kepala In Lie Heng pernah menggunakan jurus itu tapi ia keburu ditolong Kouw
Touw too. Peristiwa tersebut disaksikan Tio Beng.
Thian tee Tong sioe adalah untuk menghabisi musuh yang tubuhnya berdempetan dengan
tubuhnya sendiri, misalnya pada waktu musuh memeluk. Tio Beng menikam kempungan
sendiri supaya Ie thian kiam menembus dan terus menikam kempungan Hwie goat soe seperti
sate.
Tapi Tio Beng dan Hwie goat soe belum ditakdirkan mati. Saat itu dengan Kioe yang Sin
kang Boe Kie sudah berhasil membuka jalan darahnya yang tertotok. Pada detik itu Boe Kie
berhasil mencegah tikaman itu. Tio Beng memberontak dan berhasil melepaskan diri dari
pelukan Hwie goat soe. Nona Tio adalah orang yang cerdas luar biasa, otaknya bisa bekerja
cepat sekali. Ia mengambil Seng hwee leng dari tangan Boe Kie dan melontarkannya jauhjauh.
“Ting!” benda itu jatuh di dalam “barisan jarum”.
Sam soe menyayangi Seng hwee leng seperti menyayangi dirinya sendiri, tanpa
memperdulikan keselamatan Biauw hong soe lagi, Lioe in soe dan Hwie goat soe segera
melompat dan berlari-lari ke arah “barisan jarum”. Karena gelap dan sekitar tempat jatuhnya
Seng hwee leng tumbuh rumput tinggi maka setibanya di “barisan jarum” mereka terpaksa
merangkak, mencabut jarum-jarum dan meraba-raba. Di saat itu Biauw hong soe tersadar,
seraya berteriak ia menyusul kedua kawannya.
Untuk menolong Boe Kie tadi Tio Beng menyerang dengan nekat. Sekarang, sesudah
kekuatannya pulih rasa takutnya muncul. Tiba-tiba sambil menangis keras ia menubruk Boe
Kie. Dengan rasa terima kasih yang berlimpah, Boe Kie memegang tangan si nona. Ia tahu
bahwa begitu Sam soe menemukan Seng hwee leng yang dilemparkan mereka akan segera
menyerang pula. Maka itu ia berkata, “Mari kita lari.” Ia melepaskan tangan Tio Beng,
mendukung In Lee yang terluka berat dan berkata kepada Cia Soen, “Cia Tay hiap, kita harus
menyingkir secepat mungkin.”
“Benar,” jawab Kim mo Say ong yang lalu membungkuk dan membuka jalan darah Kim hoa
po po. Boe Kie menganggap bahwa setelah mendapat pengalaman pahit, si nenek tentu akan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1068
mencoret permusuhan terhadap ayah angkatnya. Setelah ia berlari-lari beberapa tombak, ia
menyerahkan In Lee kepada si nenek sebab biarpun saudari sepupunya, ia merasa bimbang
untuk mendukung seorang gadis. Mereka lari sekencang-kencangnya, Tio Beng paling depan.
Cia Soen dan Kim hoa po po di tengah dan Boe Kie paling belakang sebagai pelindung.
Mendadak terdengar bentakan Kim mo Say ong yang lalu meninju punggung nenek Kim hoa.
Cie san Lion gong menangkis dan melemparkan In Lee di tanah.
Boe Kie terkejut dan mendekat.
“Han Hoe jin!” bentak Cia Soen. “Mengapa lagi-lagi kau coba membunuh In Kauwnio?”
Si nenek tertawa dingin, “Jangan turut campur urusanku,” jawabnya.
“Kularang kau membunuh orang secara serampangan,” kata Boe Kie.
“Apa belum cukup kau mencampuri urusan yang sebenarnya bukan urusanmu?” tanya Kim
hoa po po.
“Belum tentu bukan urusanku,” sahutnya. “Musuh akan segera mengejar, apa kau ingin
mati?”
si nenek mengeluarkan suara di hidung dan lari ke arah barat. Mendadak tiga kuntum bunga
emas menyambar ke kepala In Lee. Boe Kie mengebut tangannya dan senjata itu berbalik
menyambar majikannya dengan suara “ungg” yang lebih hebat dari suara menyambarnya
anak panah. Si nenek kaget, ia tak menyangka pemuda itu memiliki Lweekang yang begitu
dahsyat. Ia tak berani menyambuti dan buru-buru menggulingkan badannya di tanah. Ketika
Kim hoa lewat di atas punggungnya dan merobek pakaiannya, jantung si nenek melonjak dan
ia terus kabur tanpa menoleh lagi.
Selagi Boe Kie membungkuk untuk mendukung In Lee, tiba-tiba Tio Beng mengeluh dan
memegang kempungannya.
“Mengapa?” tanya Boe Kie sambil mendekati. Dengan terkejut ia melihat tangan si nona
berlepotan darah. Ternyata biarpun keburu ditolong, tikaman Thian tee Tong sioe telah
melukai kempungannya.
“Apa lukamu berat?” tanya Boe Kie dengan hati berdebar-debar.
Sebelum Tio Beng menjawab mendadak terdengar seruan Biauw hong soe, “Ini dia! Dapat!
Sudah dapat!”
“Jangan perdulikan aku,” kata nona Tio. “Pergi! Lekas pergi!”
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Boe Kie segera memeluk pinggang Tio Beng dan terus
kabur ke bawah gunung.
“Ke perahu…terus berlayar…,” bisik Tio Beng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1069
Boe Kie mengangguk. Dengan sebelah tangan mendukung In Lee dan sebelah tangan
mendukung Tio Beng, ia lari sekencang-kencangnya. Cia Soen yang melindungi dari
belakang merasa heran, sebab biarpun membawa dua orang dewasa, Boe Kie masih bisa lari
begitu cepat. Boe Kie sendiri lari dengan pikiran kusut. Ia sangat memikirkan keselamatan
kedua gadis itu. Kalau seorang saja tak dapat ditolong, ia akan menyesal seumur hidup.
Untung juga tubuh mereka tak berubah dingin.
Sementara itu, sesudah mendapatkan kembali Seng hwee leng, Sam soe terus mengejar. Tapi
ilmu ringan badan mereka tak bisa menandingi Boe Kie bahkan belum dapat merendengi Cia
Soen.
Sebelum tiba di perahu, Boe Kie sudah berteriak. O hei! Beng beng Koencoe memberi
perintah. Naikkan layer, angkat jangkar, siap untuk segera berangkat!”
Dengan demikian, waktu mereka naik di perahu layar-layar sudah terpentang. Tapi kapten tak
berani menjalankan perahu sebelum mendapat perintah Tio Beng. Ia menghampiri si nona dan
menanyakan sambil membungkuk.
“Dengar segala perintah Tio Kongcoe…,” kata nona Tio dengan suara lemah.
Dengan cepat perahu berangkat. Waktu Sam soe tiba di pesisir perahu itu sudah terpisah
beberapa puluh tombak dari daratan.
Boe Kie segera merebahkan Tio Beng dan In Lee di pembaringan dan dibantu Siauw Ciauw,
ia memeriksa luka mereka. Luka Tio Beng sendiri lebih dalam. Biarpun mengeluarkan darah,
luka-luka itu tak membahayakan jiwa. Yang terluka berat adalah In Lee. Ketig Kim hoa
menancap dalam dadanya. Apa nona In bisa ditolong masih merupakan teka-teki. Boe Kie dan
Siauw Ciauw menaruh obat dan membalutnya. In Lee terus pingsan sedangkan Tio Beng
menangis dengan perlahan.
Sesudah kedua gadis itu diberi obat, Cia Soen berkata, “Can Siauw hiap, di luar dugaan,
dalam usia tua Cia Soen masih bisa bersahabat dengan seorang ksatria yang begitu luhur budi
pekertinya.”
Boe Kie tidak menjawab. Ia mengambil kursi dan menyilakan ayah angkatnya duduk.
Sesudah itu ia berlutut, “Gie hoe!” katanya sambil menangis. “Anak Boe Kie tidak berbakti.
Anak tidak bisa menyambut lebih dulu sehingga Gie hoe banyak menderita.”
Cia Soen terkesiap, “Kau…apa katamu?” tegasnya.
“Anak adalah Boe Kie,” jawabnya.
Tentu saja orang tua itu tak percaya, mulutnya ternganga.
Boe Kie berkata, “Intisari dari ilmu silat adalah memusatkan semangat.…” Ia menghafal
kouwkoar (teori) yang Cia Soen pernah ajarkan di pulau Peng hwee to. Sesudah ia menghafal
seratus lebih dengan rasa kaget bercampur girang orang tua itu mencekal kedua tangannya
dan berkata dengan suara parau, “Apa…apa benar kau Boe Kie?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1070
Boe Kie bangkit dan memeluknya. Dengan ringkas ia menceritakan segala pengalamannya
sejak ia berpisah dengan ayah angkatnya itu. Hanya satu hal yang tidak diceritakannya yaitu
tentang kedudukannya sebagai Kauwcoe dari Beng-kauw. Kalau ia terangkan, orang tua itu
pasti akan menjalankan penghormatan terhadapnya.
Cia Soen merasa seperti mimpi tapi sekarang ia percaya apa yang didengarnya. Selagi Boe
Kie bercerita, berulang-ulang ia berkata, “Langit mempunyai mata! Langit mempunyai
mata!....”
Baru selesai Boe Kie menuturkan pengalamannya, mendadak di buritan perahu terdengar
teriakan beberapa orang anak buah, “Perahu musuh mengejar! O hoi! Perahu musuh
mengejar!”
Buru-buru Boe Kie pergi ke buritan kapal. Benar saja ia melihat sebuah perahu besar dengan
lima layar sedang mengejar dengan kecepatan luar biasa. Di antara kegelapan sang malam, ia
tak bisa melihat badan perahu itu, tapi layarnya yang putih sangat menyolok mata. “Padamkan
penerangan!” teriaknya. Ia mengambil mangkok teh juru mudi dan menimpuk lentera angina
yang terpancang di puncak tiang layar.
“Trang!” lentera hancur, apinya padam dan perahu gelap gulita. Tapi biarpun begitu karena
layar berwarna putih, perahu itu masih tetap tidak bisa menyembunyikan diri, saat layar-layar
diturunkan, perahu musuh akan segera menyandak.
Boe Kie bingung, perahu musuh lebih ringan dan makin lama makin mendekati. Ia tidak bisa
berbuat lain daripada menunggu kedatangan musuh. Ia berharap di dek perahu yang sempit
Sam soe tidak bisa bekerja sama sebaik di daratan. Cepat-cepat ia memindahkan Tio Beng
dan In Lee ke kamar yang lebih aman, kemudian ia pergi ke geladak kapal dan mengambil
tiga buah jangkar besar yang lalu ditaruh di kamar kedua gadis itu sebagai rintangan. Setelah
itu ia menunggu musuh untuk melakukan pertempuran hidup mati.
Tiba-tiba terdengar suara “dung!” yang sangat hebat dan perahu bergoncang keras dan diikuti
muncratnya air laut.
“Musuh menembak dengan meriam!” teriak anak buah di buritan perahu. Untung juga peluru
yang ditembakkan jatuh ke air di samping perahu tersebut.
Selagi Boe Kie kebingungan, Tio Beng menghampirinya. Ia mendekat.
“Jangan takut,” bisik nona Tio. “Kita pun mempunyai meriam.”
Boe Kie tersadar. Dengan berlari-lari ia naik ke geladak dan memerintahkan anak buah
perahu untuk segera menyingkirkan semua jala yang menutupi meriam. Dengan tergesa-gesa,
mereka mengisi meriam dengan obat peledak dan peluru dan menyulut sumbunya. “Dung!”
peluru menyambar musuh. Hanya sayang, tembakan itu meleset dan peluru jatuh di antara
kedua perahu, karena dalam rombongan anak buah perahu Goan, yang sebagian besar terdiri
dari boesoe gedung Jie lam ong, tak terdapat meriam. Tapi biarpun begitu, karena melihat
pihak Boe Kie juga memiliki meriam, perahu Persia itu tak berani terlalu mendekat. Beberapa
saat kemudian, perahu musuh melepaskan tembakan dan peluru jatuh di kepala perahu yang
segera saja terbakar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1071
Boe Kie segera memimpin sejumlah anak buah untuk memadamkan api. Tiba-tiba api
berkobar-kobar di ruangan tingkat atas. Dengan kedua tangan menenteng ember air, buruburu
Boe Kie naik ke atas dan setelah menendang pintu lalu menyiram api yang telah mulai
mengganas. Di antara asap, ia melihat sesosok tubuh wanita di atas pembaringan yang ketika
didekati ternyata tidak lain adalah Cioe Cie Jiak yang pakaiannya sudah basah kuyup. Boe
Kie terkesiap, ia melemperkan ember dan bertanya dengan suara gugup, “Cioe Kauwnio, apa
kau terluka?”
Si nona menggelengkan kepalanya. Melihat pemuda itu ia kaget tak kepalang. Ketika
tangannya bergerak terdengarlah suara gemerincing. Ternyata kaki dan tangannya dirantai
oleh si nenek Kim hoa. Boe Kie segera turun ke bawah mengambil Ie thian kiam dan
memutuskan rantai itu.
“Thio Kauwcoe,” kata nona setalh kaki tangannya terbebas, “Bagaimana kau bisa berada di
sini?”
Sebelum Boe Kie menjawab, perahu berguncang keras karena tembakan sehingga si nona
yang kaki tangannya masih kaku segera roboh menubruk Boe Kie. Pemuda itu segera
membangunkannya dan dari sinar api yang masuk dari jendela ia melihat dadu dan titik-titik
air kelihatan samara-samar membasahi pada paras yang pucat pasi sehingga muka cantik ayu
itu seolah-olah sekuntum bunga Coei-sian yang kena embun. Sesudah menentramkan hatinya,
ia berkata, “Mari kita turun ke bawah.”
Selagi mereka berjalan keluar dari pintu ruang atas mendadak perahu itu berputar-putar sebab
tembakan tadi telah menghancurkan kemudi di buritan perahu dan juru mudinya sendiri
tenggelam di laut.
Pemimpin penembak meriam jadi bingung. Ia sendiri lalu mengisi obat peledak, dengan
harapan bahwa dengan sekali tembak ia akan bisa menenggelamkan perahu musuh. Ia mengisi
sekuat tenaga dan kemudian menyodok-nyodok obat peledak itu dengan sepasang toya besi
supaya masuk sepadat-padatnya di dalam lubang. Sesudah merasa puas, ia mengambil obor
dan menyulut sumbu. Hampir bersamaan terdengar suara “dunggg!” yang dahsyat luar biasa,
diikuti melesatnya potongan-potongan baja. Meriam hancur dan semua anak buah penembak
meriam menemui ajal mereka secara mengenaskan! Karena obat peledak yang diisi beberapa
kali lipat lebih banyak dari takaran peluru maka peluru tidak bisa tertembak keluar dan obat
peledak yang meledak telah menghancurkan meriam.
Karena ledakan itu Boe Kie dan Cie Jiak yang sedang berjalan di geladak perahu terlempar
jauh dan disambar dengan hawa yang panas. Tanpa berpikir lagi Boe Kie meraih tambang
layar dengan tangan kanannya sedang tangan kirinya menangkap kaki Cie Jiak sehingga
mereka tak jatuh ke air. Sesaat itu seluruh perahu sudah diliputi api dan asap dan mulai
tenggelam dengan perlahan. Dengan hati berdebar-debar Boe Kie mengawasi sekitarnya
untuk mencari jalan hidup. Mendadak terlihat sebuah perahu kecil, perahu penolong yang
terikat di sisi perahu, “Cioe Kauwnio, loncatlah,” teriaknya.
Hampir bersamaan Siauw Ciauw yang mendukung In Lee dan Cia Soen yang menggendong
Tio Beng muncul di geladak perahu. Mereka naik ke atas perahu lantaran perahu berlubang
dan air sudah memenuhi bagian bawah perahu. Sesudah Cia Soen dan Siauw Ciauw duduk di
perahu dengan In thiam kiam Boe Kie membabat tali pengikat dan perahu itu segera jatuh dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1072
hinggap di permukaan air. Dilain detik, ia pun melompat ke perahu itu dan mengambil
sepasang dayung dan lalu mendayungnya.
Ia mendayung dengan sekuat tenaga. Perahu yang sedang terbakar menerangi permukaan laut
sampai pada jarak tertentu. Ia merasa bahwa perahu yang ditumpanginya harus cepat-cepat
berada di luar sinar terang supaya tidak dilihat Sam soe yang tentu akan menduga bahwa
semua orang mati terbakar dan tidak mencari lebih lanjut. Cia Soen mengerti maksud si anak
dan ia bantu mendayung dengan sepotong papan. Perahu itu melaju bagaikan anak panah dan
dalam sekejap dia sudah berada di luar lingkaran sinar terang.
Sementara itu di perahu meriam terjadi peledakan beruntun sebab terbakarnya obat peledak
yang disimpan di dalam gudang. Perahu Sam soe tidak berani datang mendekat hanya
mengamati dari kejauhan. Diantara boesoenya Tio Beng terdapat orang-orang yang bisa
berenang. Mereka menceburkan diri di air dan teriak-teriak minta tolong. Tapi sebaliknya dari
ditolong, mereka dibunuh Sam soe dan orang-orangnya.
Cia Soen dan Boe Kie tidak berani mengaso. Diantara mereka sedikitpun tidak merasa jeri.
Tapi di lautan dengan mereka di perahu kecil dan musuh berada di perahu meriam, dia pasti
akan binasa kalau sampai ditemukan musuh. Jika ditembak biarpun tidak kena tepat, perahu
kecil itu pasti akan karam kalau jatuh di tempat berdekatan. Untung juga Cia Soen dan Boe
Kie memiliki tenaga dalam yang sangat kuat sehingga meskipun harus bekerja sangat keras
selama setengah malam, mereka tidak merasa lelah.
Waktu fajar menyingsing, langit tertutup awan hitam dan di lautan muncul halimun tebal.
“Bagus!” kata Boe Kie dengan girang, “Kalau kita bisa kabur setengah hari lagi, musuh pasti
tak akan bisa mencari kita.”
Tapi sesudah berada agak jauh dari bahaya mereka menghadapi penderitaan lain. Pakaian
mereka basah dan mereka berada dalam musim dingin. Cia Soen dan Boe Kie yang
Lweekangnya kuat masih tak apa. Tapi Cie Jiak dan Siauw Ciauw yang menggigil lebih-lebih
kalau ditiup angin utara. Perahu kecil tak punya persediaan apapun juga dan mereka semua
tidak berdaya, Cia Soen dan Boe Kie hanya bisa membuka pakaian luar mereka yang lalu
digunakan untuk menyelimuti tubuh Tio Beng dan In Lee.
Di waktu lohor penderitaan bertambah hebat. Angin meniup keras dan hujan turun seperti di
tuang. Perahu melaju ke selatan karena ditiup angin dan dayung sudah tiada gunanya. Cia
Soen berempat membuka sepatu mereka untuk menyendok untuk menyendok dan membuang
air hujan yang masuk di perahu.
Karena bertemu dengan anak angkatnya, biarpun menghadapi bahaya dan sangat menderita,
Cia Soen sangat gembira dan diantara hujan angin ia terus berbicara dengan suara
menggeledek sambil tertawa. Siauw Ciauw yang sifatnya berandalan juga turut bicara dengan
setiap kali mengeluarkan suara tertawa nyaring. Hanya Cie Jiak yang terus membungkam.
Setiap kali sinar matanya bentrok dengan sinar mata Boe Kie, ia berpaling ke arah lain.
“Boe Kie,” teriak Kim mo Say ong. “Dahulu ketika aku dan kedua orang tuamu mengarungi
lautan, ditengah jalan kami diserang topan dan penderitaan itu lebih hebat dari sekarang.
Belakangan kami menggunakan sebuah gunung es sebagai perahu dan makan daging beruang.
Tapi waktu itu yang meniup adalah angin selatan dan kami ditiup sampai kutub utara. Apakah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1073
kareana membenci Cia Soen, Loo thian ya (langit) ingin menggiring aku ke gedung Lam kek
Sian ong (Dewa Kutub Selatan) supaya aku berdiam di situ dua puluh tahun lagi? Ha ha…Ha
ha ha….” Sesudah tertawa terbahak-bahak ia berkata, “Waktu itu kedua orang tuamu
merupakan pasangan yang serasi tapi sekarang kau membawa empat orang wanita muda.
Bagaimana kau bisa berbuat begitu? Ha ha ha ha ha….”
Paras muka nona Cioe berubah merah dan ia segera menundukkan kepala. Yang segera
membuka suara adalah Siauw Ciauw. “Cia Loo-ya coe, aku hanya seorang pelayan yang
melayani Kongcoe ya,” katanya dengan sikap wajar. “Aku tidak masuk hitungan.”
Tio Beng tersenyum. Ia terluka berat tapi ia tak tahan untuk tidak ikut bicara. “Cia Loo-ya
coe,” katanya. “Kalau kau masih terus mengaco belo, sesudah sembuh aku akan menggaplok
pipimu.”
Cia Soen tertawa nyaring. “Ah! Sungguh galak si nona!” katanya. Mendadak ia berhenti
tertawa dan berkata pula dengan suara sungguh-sungguh. “Hm, semalam kau telah menyerang
dengan tiga jurus nekat. Yang pertama Giok swee Koen kong dari Koen loen-pay. Yang
kedua, Jin koei Tong touw. Yang…yang ketiga…Aku si tua, memang sangat tolol, aku tak
dapat mendengar jurus yang ketiga itu.”
Nona Tio terkejut, ia tak pernah menduga bahwa meskipun matanya buta Kim mo Say ong
bisa menebak kedua jurus itu secara tepat. “Yang ketiga Thian tee Tong sioe dari Boe tongpay,”
katanya. “Jurus ini rupanya belum lama digubah sehingga tidaklah heran kalau tak
dikenal oleh Loo-ya coe.”
Kim mo Say ong menghela nafas, “Kau ingin menolong Boe Kie itu sangat baik, sangat
mulia,” katanya dengan suara terharu. “Tapi mengapa kau berlaku nekat?
Mengapa?...Mengapa nekat?”
Tio Beng menjawab, “Karena dia…dia….” Untuk sejenak ia ragu tapi kemudian meneruskan
juga perkataannya. “…karena…Siapa membunuh Thio Kongcoe, aku…aku tak mau hidup
lagi!” Sehabis berkata begitu air matanya mengucur.
Cia Soen dan yang lain-lain kaget tak kepalang. Tak seorangpun pernah menduga bahwa
seorang gadis seperti Tio Beng akan membuka rahasia hatinya di hadapan orang banyak. Tapi
mereka tak ingat bahwa nona Tio adalah seorang gadis Mongol yang jalan pikirannya dan
cara-caranya berlainan dengan wanita Han. Sebagai anak Mongol, ia berwatak polos. Kalau
mencintai ia mencintai terang-terangan kalau membenci ia juga membenci terang-terangan.
Apalagi keadaan waktu itu disaksikan banyak orang, tak seorangpun bisa mengatakan apa
mereka akan hidup terus atau mati di dasar lautan.
Perkataan nona Tio sangat mengejutkan dan mengharukan Boe Kie, ia tak sangka bahwa rasa
cinta gadis itu terhadapnya sedemikian besar. Sambil mencekal tangannya erat-erat ia
berbisik, “Biar bagaimanapun juga, lain kali kau tak boleh berkata begitu.”
Sesudah lidahnya terpeleset, nona Tio sebenarnya merasa menyesal. Ia merasa bahwa katakata
itu kurang pantas dikeluarkan oleh seorang gadis, tapi begitu mendengar bisikan Boe
Kie, ia kaget bercampur girang, malu bercampur bahagia yang sukar dilukiskan. Ia merasa
bahwa segala pengorbanannya dan segala penderitaannya tidaklah sia-sia.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1074
Perlahan-lahan hujan berhenti tapi halimun makin tebal. Mendadak seekor ikan yang beratnya
kira-kira tiga puluh kati melompat masuk ke dalam perahu. Dengan sekali totok, lima jari
tangan Cia Soen amblas di badan ikan. Semua orang girang, Siauw Ciauw mencabut pedang
dan memotong daging ikan menjadi potongan-potongan kecil. Mereka sangat lapar dan
sambil menahan nafas sebab bau amis, masing-masing lalu memakan sepotong daging. Cia
Soen makan dengan bernafsu, selama berada di Peng hwee to ia pernah menelan macammacam
untuk menahan lapar.
Tak lama kemudian, ombak mereda. Sesudah mengganjal perut, semua orang memejamkan
mata dan mengaso. Yang tertidur paling dulu adalah Siauw Ciauw. Tio Beng terus memegang
tangan Boe Kie dan beberapa saat kemudian karena hatinya tenteram, iapun pulas dengan
bibir tersungging senyuman. Sesudah melawan bahaya sehari dan semalam suntuk mereka
semua capai dan lelah. Cie Jiak dan Siauw Ciauw tidak ikut bertempur tapi merekapun
mengalami kekagetan yang tidak kecil. Demikianlah laut yang tenang sehingga perahu itu
merupakan ayunan yang berayun-ayun dengan perlahan, keenam penumpang itu tertidur
semua.
Selang empat-lima jam, Cia Soen yang berusia lanjut sadar lebih dulu. Dengan kasih ia
mendengar nafasnya kelima orang muda itu yang saling sahut dengan suara ombak. Nafas Cie
Jiak perlahan dan panjang. Yang luar biasa adalah suara nafas Boe Kie, suara nafas itu seperti
terputus seperti bersambung antara “ada” dan “tidak ada”. Bukan main rasa kagumnya Cia
Soen. “Seumur hidup aku belum pernah bertemu dengan manusia yang mempunyai
Lweekang begitu tinggi,” katanya di dalam hati. Nafas Siauw Ciauw pun sangat aneh,
sebentar cepat sebentar pelan. Itulah tanda bahwa si nona telah berlatih sesuatu yang mirip
Lweekang yang sangat luar biasa. Alis Kim mo Say ong berkerut. Ia ingat sesuatu hal.
“Heran!” pikirnya. “Apa dia….”
Jilid 59_____________________
Sekonyong-konyong terdengar bentakan In Lee. “Thio Boe Kie! Anak bau! Mengapa kau tak
mau mengikuti aku ke Leng Coa To?”
Boe Kie, Tio Beng, Cie Jiak, dan Siauw Ciauw lantas saja tersadar.
“Boe Kie!” bentak pula nona In. “aku hidup sebatang kara di pulau itu… Mengapa kau tidak
mau menemani aku? Kau… anak bau! Aku ingin memotong dagingmu jadi dua puluh tujuh
potong untuk dijadikan makanan ikan… kau.”
Boe Kie meraba pipi si nona. Paras membara! Ia mengaco karena dengan keras. Boe Kie
mengerti ilmu ketabiban, tapi di perahu itu ia tidak berdaya. Jalan satu-satunya hanyalah
merobek ujung bajunya, mencelupnya di air laut dan menaruhnya di pipi In Lee.
Si nona terus berteriak-teriak. “Thia-thia! Jangan!... Jangan bunuh ibu! Jie-nio dibunuh
olehku. Kau bunuhlah aku! Ibu tak campur-campur urusanku… Ibu mati!... mati!... akulah
yang mencelakainya… uh-uh-uh-uh…. “ Ia menangis keras, ia sesambat.
“Coe Jie! Coe Jie!” panggil Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1075
“Sadarlah ayahmu tidak berada di sini. Jangan takut!”
“Aku tak takut!” bentak si nona. “ayah yang salah, aku tak takut! Sesudah dia kawin dengan
ibuku, perlu apa dia mengambil jie-nio, sam-nio? … thia-thia, kau membuat aku sangat
menderita. Kau bukan ayahku… Kau lelaki curang… lelaki jahat… “
Boe Kie pucat mukanya. Perkataan In Lee seolah-olah pisau yang menikam hatinya, karena
tadi ia mimpi menikah dengan Tio Beng, dengan Cie Jiak, dengan In Lee sendiri yang telah
berubah cantik dan dengan Siauw Ciauw. Di waktu sadar ia tidak berani memikir yang tidaktidak.
Tapi di dalam mimpi, sesuatu yang tersimpan dalam alam pikirannya yang tidak sadar
terbayang tegas. Ia merasa bahwa keempat gadis itu cantik semuanya dan ia tidak dapat
berpisah dengan mereka. Selagi membujuk In Lee, di dalam otaknya masih teringat impian
yang sedap.
Sekarang mendengar cacian In Lee, ia lantas ingat peristiwa di kaki Kong Beng Teng yang
dilihatnya dengan mata sendiri dan kejadian-kejadian yang pernah didengarnya. Karena tak
tahan melihat hinaan terhadap ibu kandungnya In Lee telah membinasakan gundik ayahnya.
Karena perbuatan sadis itu, ibu kandungnya belakangan membunuh diri. In Ya Ong, ayah In
Lee, atau paman Boe Kie, gusar tak kepalang. Beberapa kali ia coba membunuh puterinya.
Karena peristiwa menyedihkan itu, karena gundik kesayangannya dibunuh puterinya sendiri,
untuk menghibur hatinya, In Ya Ong mengambil beberapa gundik lagi.
Itulah yang diingat Boe Kie. Sambil memegang tangan nona In, ia melirik Tio Beng dan
kemudian melirik Cie Jiak. Ia ingat impiannya dan ia merasa sangat jengah.
Sesudah mengucapkan perkataan-perkataan yang sukar ditangkap, In Lee berkata dengan
suara yang agak tegas. “Boe Kie… kau ikutlah aku. Kau telah menggigit tanganku, tapi aku
sedikitpun tidak membenci kau. Seumur hidup aku akan melayani kau, aku menganggap kau
sebagai majikanku. Jangan lah kau mencela romanku yang jelek. Apabila kau sudi menerima
aku, aku rela melemparkan seantero ilmu silatku, membuang racun Ciancoe yang berada
dalam diriku, supaya paras mukaku bisa pulih kembali seperti pada waktu kita baru
bertemu… “ Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan suara lemah lembut dan penuh kasih
sayang.
Boe Kie merasa sangat terharu. Ia tak nyana bahwa saudari sepupuhnya itu adatnya aneh,
mempunyai perasaan yang sangat halus.
“Boe Kie,” kata pula Nona In, “aku telah mencari kau di segala pelosok dunia. Belakangan
kudengar, bahwa kau mati lantaran jatuh di dalam jurang. Waktu berada di See-Hek, aku
bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Can A Goe. Dia berkepandaian tinggi,
orangnya sangat baik dan dia pernah mengatakan, bahwa dia bersedia mengambil aku sebagai
isteri… “
Tio Beng dan lain-lain tahu, bahwa Can A Goe adalah nama samaran Boe Kie. Dengan
serentak mereka melirik pemuda itu yang paras mukanya lantas saja berubah menjadi merah.
Dalam demam keras, In Lee tak dapat menahan lidahnya sendiri. Boe Kie tidak berani
menghentikannya dengan menotok jalan darah si nona, sebab kalau ditotok jiwa nona In lebih
terancam. Ia tidak berdaya waktu dilirik oleh Tio Beng, Cie Jiak, dan Siauw Ciauw, ia merasa
begitu jengah sehingga ia ingin sekali menyeburkan diri ke laut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1076
Sementara itu, In Lee terus mengaco, ‘A Gu koko pernah mengatakan begini kepadaku. Nona,
dengan setulus hati aku bersedia untuk menikah dengan kau. Aku hanya mengharap, kau tidak
mengatakan bahwa aku tidak setimpal dengan dirimu. Selanjutnya dia berkata, mulai detik ini
aku akan mencintaimu, akan melindungi kau dengan segenap jiwa dan raga. Tak perduli ada
berapa banyak orang yang mau mencelakai kau, tak perduli ada berapa banyak jago yang mau
menghina kau, aku pasti akan melindungi kau. Aku bersedia untuk mengorbankan jiwa demi
kepentinganmu. Aku ingin kau berbahagia dan melupakan segala penderitaanmu yang dulu.
(Kisah Pembunuh Naga Jilid 14 Halaman 744) Boe Kie, watak A Goe Koko baik, lebih tinggi
ilmunya dari orang-orang sepantarnya Biat Coat Soethay. Tapi sebab hatiku sudah diserahkan
kepadamu, Setan kecil yang pendek umurnya, maka aku tak meluluskan permintaan A Goe
Koko. Kau sudah mati, biarlah aku tak menikah seumur hidup. Boe Kie, cobalah bilang, apa
A Lee baik atau tidak baik terhadap dirimu? Hari itu kau tak memperdulikan aku, menolak
ajaranaku. Coba kau katakan dengan setulus hati, apa kau merasa menyesal atau tak merasa
menyesal?”
Mendengar kata-kata yang menyayat hati itu, tanpa merasa air mata Boe Kie mengalir turun
ke dua pipinya.
“Boe Kie” bisik nona In. “Apakah kau tak merasa kesepian di alam baka? Aku telah mengikut
Popo ke Peng Hwee To untuk mencari ayah angkatmu. Sesudah itu, aku ingin pergi ke Boe
Tong San untuk menyembahyangi kuburan kedua orang tuamu dan kemudian aku akan pergi
di See-hek untuk membuang diri di puncak es, dimana kau telah tergelincir jatuh, supaya aku
bisa menemani kau selama-lamanya di alam baka. Tapi aku baru bisa bertindak begitu
sesudah Popo meninggal dunia. Sekarang belum dapat aku mengawanimu. Tak bisa aku
meninggalkan Popo seorang diri di alam dunia yang luas ini. Popo sangat baik terhadapku.
Kalau ia tak menolong, siang-siang aku sudah mati dibunuh ayah angkatku. Aku telah
memberontak terhadap Popo. Ia sekarang sangat membenci aku, tapi aku selamanya takkan
dapat melupakan budinya dan akan coba membalas budi yang besar itu. Boe Kie, apakah
sikapku sikap yang benar?”
Sesudah itu, suaranya tak tegas dan tak teratur lagi. Sebentar ia berbisik, sebentar berteriak,
sebentar tertawa, sebentar menangis. Belakangan suaranya makin perlahan dan rupa-rupanya
karena capai, akhirnya ia tertidur.
Boe Kie berlima saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Masing-masing bicara
pada dirinya sendiri. Ombak laut memukul-mukul badan perahu, siliran angin meniup dengan
perlahan, sedang saug rembulan memancarkan sinarnya yang putih laksana perak. Boe Kie
menghela napas. Apa yang dilihatnya langit rembulan adalah abadi. Apa yang berubah-rubah
adalah manusia yang selalu diliputi dengan kedukaan dan penderitaan.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan dengan nyanyian yang sangat perlahan.
“Pada akhirnya badan manusia,
tak bisa lari dari hal itu,
hari ini ada kesenangan,
nikmatilah kesenangan itu,
siang dan malam seratus tahun,
yang berusia tujuh puluh sudah jarang ada,
sang waktu mengalir bagaikan air,
gelombang demi gelombang.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1077
Nyanyian itu ternyata keluar dari mulut In Lee yang masih terus mengaco.
Mendadak jantung Boe Kie memukul keras. Ia ingat, bahwa pada waktu terkurung di jalanan
rahasia di Kong Beng Teng sebab jalanan ditutup Seng Koen, Siauw Ciauw pun pernah
menyanyikan nyanyian itu. (Kisah Membunuh Naga Jilid 17, Halaman 890) Mau tak mau ia
melirik nona itu yang justru sedang mengawasi dirinya. Begitu dua pasang mata kebentrok, si
nona buru-buru memalingkan kepalanya.
Sementara itu, In Lee sudah menyanyi pula. Kali ini lagunya aneh, berbeda dengan lagu yang
biasa di daerah Tiong Goan. Boe Kie dan yang lain-lain memasang kuping untuk menangkap
kata-kata dalam nyanyian itu. Akhirnya mereka mendengar sajak yang maksudnya
menyerupai sajak yang pernah dinyanyikan Siauw Ciauw di Kong Beng Teng.
“Dengan bagaikan mengalirnya air,
pergi, laksana siliran angin,
entah dari mana datangnya,
entah di maan tujuannya!”
Ia mengulangi sajak itu berulang-ulang. Makin lama makin perlahan, sehingga akhirnya
menghilang di antara suara air dan suara angin.
Semua orang mendengar dengan termenung. Mereka merasa bahwa memang benar, seorang
manusia yang dilahirkan di dalam dunia tak diketahui darimana datangnya. Biarpun dia
gagah, biarpun di kosen, pada akhirnya dia tak bisa terluput dari kematian. Dengan mengikuti
siliran angin tak diketahui dimana tujuannya. Pada saat itu, Boe Kie merasa, bahwa tangan
Tio Beng yang dicekal olehnya dingin bagaikan es dan agak bergemetar.
Tiba-tiba kesunyaian dipecahkan oleh suara Cia Soen. “Ah! Lagu Persia diturunkan oleh Han
Hoejin kepadanya. Dua puluh tahun lebih yang lampau, pada suatu hari ketika berada di Kong
Beng Teng aku pernah dengar lagu ini. “Hai! Kutaknyana Han Hoejin bisa berlaku begitu
kejam terhadap anak ini.”
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng, “cara bagaimana Han Hoejin dapat menyanyikan lagu persia
itu. Apakah itu lagu Beng Kauw?”
“Beng Kauw berasal dari Persia dan meskipun bukan lagu Beng Kauw, lagu itu mempunyai
hubungan rapat dengan Beng Kauw,” jawabnya. “Lagu itu telah digubah pada dua abad lebih
yang lampau oleh seorang penyair Persia yang paling terkemuka yaitu Omar Khayyam.
Sepanjang cerita lagu itu dapat dinyanyikan hampir oleh setiap orang Persia. Dahulu waktu
aku mendengar nyanyian Han Hoejin, aku pernah menanyakan asal usul dan Han Hoejin telah
memberi keterangan jelas kepadaku. Ceritanya adalah begini: Alkisah pada jaman itu, Persia
terdapat seorang guru besar, Imam Mowfaak, ia mempunyai tiga orang murid terkemuka,
yaitu Omar Khayyam, Nizam Mulk, dan Ben Sabah.”
“Omar Khayyam mengutamakan ilmu sastra, Nizam Mulk mengutamakan ilmu politik sedang
Hasan unggul dalam ilmu silat. Mereka bertiga bersahabat erat dan belakangan mereka
bersumpah untuk sama-sama senang dan sama-sama susah.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1078
“Sesudah mereka keluar dari rumah perguruan, Nazam-lah yang paling beruntung dan ia
menjadi Vezer, atau menjadi seorang Menteri Pertama dari Sah Persia. Waktu kedua sahabat
karibnya datang padanya. Nazam merasa girang, dan memohon supaya Raja Persia memberi
pangkat kepada mereka itu. Hasan diberi pangkat dan menerimanya, tapi Omar menolak. Ia
hanya memintan tunjangan uang supaya ia bisa mempelajari ilmu bintang menyusun kalender
dan menulis sajak-sajak, tanpa harus memikiri soal penghidupannya. Dengan rasa menyesal,
Nazam meluluskan permintaan sahabat itu.
“Tapi Hasan seorang yang berangan-angan besar dan tidak bisa terus-menerus berada di
bawah kekuasaan orang lain. Ia memberontak dan setelah memberontaknya ditindas, ia
mengumpulkan orang-orang yang tidak karuan dan melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk
seperti membunuh dan sebagainya. Ia menjadi kepala dari sebuah gerombolan yang namanya
menggetarkan dunia dan diantara para pejuang salib, ia terkenal sebagai seorang tua dari
pegunungan. Di daerah barat banyak sekali manusia yang binasa di dalam tangan Hasan dan
pengikutnya.”
“Menurut keterangan Han Hoejin, di ujung daerah Barat terdapat sebuah negeri yaitu Negeri
Inggris. Raja Inggris ,Edward, dimusuhi si “orang tua dari pegunungan,” yang belakangan
mengirim orang untuk membunuh raja tersebut. Pengawal-pengawal raja tidak berhasil
memukul mundur orang-orangnya Hasan dan raja dilukai dengan golok beracun. Syukur
tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri, permaisuri memberi pertolongan dengan
mengisap luka sang suami dan menyedot keluar racun itu. Dengan demikian raja terluput dari
kebinasaan.”
“Hasan benar-benar jahat, belakangan ia bahkan memerintahkan orang untuk membunuh
Nizam Mulk, sahabat karib yang pernah memberi banyak bantuan kepadanya. Pada waktu
mau melepaskan napasnya yang penghabisan, Nazam telah mengucapkan dua baris sajak
yang tadi diucapkan oleh In KouwNio gubahan Omar Khayyam.”
“Akhirnya Han Hoejin memberitahukan, bahwa banyak pengikut Beng Kauw di Persia
mempelajari ilmu silat “si orang tua dari pegunungan” Ilmu silat Sam Soe sangat aneh.
Mungkin sekali ilmu silat mereka didapat dari cabang tersebut.”
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng. “sifat Han Hoejin menyerupai sifat si Orang tua dari
Pegunungan. Kau mencintai dia, tapi dia mencelakai kau.”
Cia Soen menghela napas. “Dalam dunia ini, membalas kebaikan dengan kejahatan, adalah
kejadian lumrah,” katanya dengan suara berduka. “Kau tak usah merasa heran.”
“Loo Ya Coe,” kata Nona Tio. “Han Hoejin berkedudukan sebagai kepala dari keempat Hoat
Ong. Tapi mengapa ilmu silatnya tidak lebih tinggi dari ilmu silat Loo Ya Coe? Mengapa
pada waktu dia diserang Sam Soe, dia tidak mengeluarkan ilmu silat Cian Coe Ciat Hoe
Chioe?”
SEDIKIT TENTANG BENG KAUW
Beng Kauw atau agama terang ialah Manichaesm atau Agama dari Mani.
Mani (terlahir dalam tahun 216) adalah puteranya seorang bangsawan. Penduduk Ecbatama.
Ia dididik baik oleh ayahnya dan dipelihara dalam lingkungan sekte Mandaens. Ketika ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1079
dilahirkan. Terdapat dua agama besar yang saling bertentangan, agama Kristen dan Mitraism.
Mani mempelajari kedua-duanya dan iapun mempelajari agama Magism dari Persia sendiri
(sekarang Iran) Agama Manichaeism memiliki bagian-bagian dari agama-agama tersebut.
Sepanjang cerita, ia memproklamirkan agamanya pada hari penobatan Raja Persia, Shapur I,
di istana raja. Ia berkelana di berbagai negeri untuk menyebarkan agamanya. Antara lain, ia
mengunjungi Transoxiana, Tiongkok Barat dan India. Belakangan ia kembali ke Persia dan
mendapat banyak pengikut, bahkan di dalam istana raja sendiri. Tapi ia dimusuhi Kasta
Magians. Shapur I sedikit banyak dipengaruhi ajaran Mani dan Hormizd, penggantinya adalah
seorang raja yang toleran dan menaruh perhatian kepada Manichaeism. Tapi pengganti
Hormizd, Barham I condong kepada Kasta Magians. Mani ditangkap dan diserahkan kepada
kasta tersebut (musuh Mani) yang lalu membinasakannya. Pemerintah Persia berusaha untuk
membasmi agama Mani tapi gagal.
Sistem Manichaeism adalah sistem dualisme (rangkap dua) Menurut Mani, terang ialah baik
dan gelap ialah jahat. Pengetahuan tentang agama berarti pengetahuan tentang alam dan
unsur-unsurnya dan penyelamatan ialah proses membebaskan unsur terang dari kegelapan.
Menurut Mani, dalam alam semesta terdapat dua kerajaan. Terang dan gelap, yang berdiri
berhadapan, Setan terlahir di kerajaan gelap.
Manusia pertama adalah ciptaan Setan, tapi dalam manusia itu juga terdapat unsur terang dari
Tuhan. Setan berusaha untuk mengikat manusia dengan kejahatan, roh-roh terang berusaha
untuk memerdekakannya.
Mani menamakan dirinya sebagai “Duta Terang.” Hanyalah dengan bantuannya dan bantuan
murid-muridnya yang terpilih, barulah terang bisa dipisahkan dari gelap.
Dalam masyarakat Manichaeism terdapat perbedaan antara penganut pilihan dan penganut
biasa. Penganut pilihan harus mentaati sepuluh larangan, antaranya larangan membunuh
makhluk berjiwa.
Mengapa Manichaeism pernah mendapat kemajuan besar dan menjadi sebuah agama besar?
Kekuatannya ialah: Manichaeism mempersatukan mitologi kuno dan dualisme materialtis
dengan cara bersembaHoan Yauwang sederhana dan larangan-larangan moral yang keras.
Kekuatan lainnya ialah organisasi sosial yang sederhana. Yang pintar dan yang bodoh, yang
sungguh-sungguh dan yang tidak sungguh, semua boleh masuk ke agama Mani.
Sepanjang catatan sejarah, Manichaeism hanya hidup pada abad ketiga belas.
1. Pada tahun 1690, Hasan merampas Alamut, di propinsi Rudbar, di daerah pengunungan
sebelah selatan Laut Kaspia.
2. Di benua Eropa, Hasan dan pengikutnya dinamakan “Assassin.” Mungkin sekali perkataan
“hashish,” semacam tumbuh-tumbuhan yang daunnya memabukkan, seperti madat dan yang
digunakan oleh manusia-manusia itu sebelum mereka melakukan perbuatan-perbuatan
terkutuk.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1080
“Cian Coe Ciat Hoe Chioe?” menegas Cia Soen. “Han Hoejin tak memiliki ilmu itu. Dia
seorang wanita yang cantik luar biasa. Mana mau dia mengorbankan paras mukanya untuk
ilmu begitu?”
Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak terkejut. Kim Hoa Popo jelek mukanya. Dilihat mukanya
yang sekarang, biarpun usianya lebih muda tiga puluh atau empat puluh tahun, ia tak nanti
bisa dikatakan sebagai wanita yang cantik luar biasa. Hidungnya pesek, bibirnya tebal,
mukanya persegi, kupingnya lebar bagaikan kipas. Itu semua takkan dapat diubah.
Tio Beng tertawa. “Loo Ya Coe,” katanya. “Kim Hoa Popo tak bisa dikatakan cantik.”
“Apa? Cie San Liong Ong cantik seperti bidadari dari kayangan. Pada dua puluh tahun lebih
yang lampau, ia adalah wanita cantik di seluruh rimba persilatan. Andaikata karena usianya
sudah lanjut, ia sekarang tak secantik dahulu, aku merasa pasti ia masih tetap
mempertahankan kecantikannya… hai! … hanya sayangaku tidak bisa melihat mukanya lagi.”
Mendengar jawaban yang sungguh-sungguh itu, nona Tio merasa bahwa di balik soal
kecantikan Kim Hoa Popo pasti bersembunyi satu latar belakang yang masih belum
diketahuinya. Nenek itu memang manusia luar biasa. Bahwa dia bisa menjadi Cie San Liong
Ong, kepala dari keempat Hoe Kauw Hoat Ong sudah luar biasa. Bahwa dia dinamakan
sebagai “wanita tercantik di seluruh rimba persilatan” lebih luar biasa lagi. Sesudah memikir
sejenak, Tio Beng berkata pula, “Loo Ya Coe, namamu menggetarkan dunia Kang Ouw.
Keangkeranmu di Ong Poan San diketahui oleh semua orang. Tingginya ilmu silatmu tidak
usah dibicarakan lagi. Peh Bie Eng Ong mendirikan agama sendiri dan selama kurang lebih
dua puluh tahun, ia bermusuhan dengan enam partai besar. Ceng Ek Hok Ong lihai seperti
setan, hari itu di Ban Hoat Sie ia menakut-nakuti aku. Juga ia telah mengeluarkan suatu
ancaman untuk menggores mukaku. Kalau ingat ancamannya, sampai sekarang aku masih
merasa jeri. Maka itu, menurut pendapatku, walaupun Kim Hoa Popo berkepandaian tinggi
dan banyak akalnya, belum tentu ia pantas untuk mengambil kedudukan di sebelah atas dari
ketiga Hoat Kong. Tapi mengapa ia bisa menjadi Cie San Liong Ong?”
“Karena In Heng, Wie Hian Tee dan aku bertiga rela mengalah terhadapnya,” jawab Kim Mo
Say Ong.
“Apa?” menegas si nona. Ia tertawa geli dan kemudian berkata pula. “Apakah karena ia
wanita tercantik, sehingga ketiga Enghiong rela berlutut di hadapannya?”
Boe Kie kaget. Tio Beng benar-benar otak. Terhadap Cia Soen, ia masih berani berguyon.
Tapi Cia Soen tidak menjadi gusar. Ia menghela napas dan berkata. “Yang menyerah kalah
dengan suka rela bukan hanya kami bertiga. Waktu itu dalam kalangan agama kami, paling
sedikit ada seratus orang lain yang mengagumi Taykis.”
“Taykis? Apa itu nama Han Hoejin? Kedengarannya aneh sekali.”
“Dia asal Persia. Nama itu nama Persia.”
Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak terkesiap. “Orang Persia?” menegas mereka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1081
“Apa kalian tak bisa melihat?” Cia Soen balas menanya. “Ia mempunyai darah campuran
puterinya seorang lelaki Tionghoa yang menikah dengan wanita Persia. Rambut dan biji
matanya hitam, tapi hidungnya mancung dan matanya dalam. Kulitnya yang putih laksana
salju juga berbeda dari kulit wanita Tiong Goan.”
“Tidak-tidak!” bantah Nona Tio. “Hidungnya melesak. Kedua matanya kecil. Berbeda jauh
dari penjelasan Loo Ya Coe. Thio Kong Coe, bukankah begitu?”
“Benar,” jawabnya. “Apakah Kim Hoa Popo bertindak seperti Kouw Tauwtoo merusak
mukanya sendiri?”
“Siapa Kouw Tauwtoo?” tanya Cia Soen.
“Kong Beng Yoe Soe Hoan Yauw,” jawab Boe Kie, yang dengan ringkas lalu menceritakan
sepak terjang orang gagah itu.
“Hoan Heng sangat berjasa kepada Beng Kauw,” kata Cia Soen sesudah menghela napas.
“Tindakannya itu tak akan bisa dilakukan oleh sembarang orang. Haei…. Bahwa ia sudah
bertindak begitu dapat dikatakan juga lantaran Han Hoejin…. “
Tio Beng jadi makin heran. “Loo Ya Coe.” Katanya. “janganlah kau bercerita sepotongsepotong.
Cobalah ceritakan dari awal sampai pada akhirnya.”
“Hmm… “ Cia Soen menengadah seperti orang yang mau mengumpulkan ingatan dan
kemudian ia berkata dengan suara perlahan. “Pada dua puluh tahun lebih yang lampau, Beng
Kauw berada di bawah pimpinan Yo Po Thian, Yo KauwCoe. Waktu itu, agama kami sedang
makmur-makmurnya. Pada suatu hari, tiga orang Persia tiba-tiba datang di Kong Beng Teng
dan mempersembahkan surat pribadi KauwCoe dari CongKauw kepada Yo KauwCoe. Surat
itu menerangkan bahwa di Congkauw terdapat seorang Cang San Soe Cie. Ia seorang
Tionghoa yang merantau ke Persia kemuidan menjadi penganut Beng Kauw. Ia banyak
berjasa untuk agama dan dari pernikahannya dengan seorang puteri. Pada tahun yang lalu,
kata surat itu, Cang San Soe Cie meninggal dunia. Waktu mau menutup mata, ia ingat akan
negerinya dan memesan supaya puterinya dikirim pulang ke Tiongkok. Maka itu, untuk
memenuhi pesanan tersebut, KauwCoe CongKauw mengirim nona itu ke Kong Beng Teng
dengan pengharapan supaya Yo KauwCoe sudi memeliharanya.”
“Yo KauwCoe lantas saja mengiakan dan meminta supaya nona itu dibawa masuk. Begitu dia
masuk, ruangan Toa Thia (ruangan besar) seolah-olah bersinar terang. Selagi ia memberi
hormat kepada Yo KauwCoe dengan berlutut, kami semua Kong Beng CoeSoe dan Yoe Soe,
ketiga Hoat Ong, Ngo Siong Jin dan kelima pemimipin Ngo Heng Kie mengawasinya dengan
mata membelalak dan hati berdebar-debar. Nona itu adalah Taykis. Ketiga utusan Congkauw
hanya menginap semalaman, pada keesokan paginya mereka pulang. Mulai dari waktu itu,
Taykis menetap di Kong Beng Teng.”
Tio Beng tertawa, “Loo Ya Coe, kau sendiri lantas jatuh cinta kepadanya, bukan?” tanyanya.
“Jangan malu-malu. Akuilah!”
Kim Mo Say Ong menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak!” jawabnya dengan suara parau.
“Waktu itu aku baru saja menikah dan isteriku sedang hamil. Dalam hatiku tak mungkin
timbul niatan serong.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1082
“Oh!” kata Tio Beng. Ia tahu, bahwa ia sudah kelepasan bicara. Anak isteri Cia Soen
dibinasakan Seng Koen dan tersentuhnya soal itu tentu saja mengingatkan kembali kejadian
dahulu. Buru-buru ia berkata pula. “Benar! Tak heran kalau si nenek mengatakan, bahwa pada
waktu ia menikah dengan Gin Yap Sianseng, hanya Kauwcoe dan Loo Ya Coe sendiri yang
tidak menentang. Kurasa nyonya Kauwcoe bukan saja cantik, tapi juga sangat lihai menakluki
suaminya.”
Cia Soen mengangguk. “dugaanmu tidak meleset,” katanya. “Yo KauwCoe seorang gagah
sejati yang adatnya sangat terbuka. Taykis masih sangat muda – pantas untuk menjadi
anaknya Yo KauwCoe. Apapula Kauwcoe dari Congkauw telah meminta supaya ia
memelihara nona itu seperti anak sendiri. Semenjak Taykis datang di Kong Beng Teng, Yo
KauwCoe selalu memperlakukannya dengan kasih sayang dari seorang ayah. Kutahu, Yo
KauwCoe sama sekali tidak punya niatan yang tidak-tidak, Yo Hoejin adik seperguruan Yo
KauwCoe atau Soesiok-ku (bibi seperguruan) sendiri. Yo KauwCoe, Seng Koen dan Yo
Hoejin adalah Soe Heng Moay (saudara dan saudari seperguruan) Sebagai toa Soepeh, Yo
KauwCoe sering memberi pelajaran ilmu silat kepadaku. Ia baik sekali terhadapku.”
Biarpun sakit hatinya terhadap Seng Koen tidak berkurang, tapi waktu menyebutkan nama
manusia terkutuk itu, Cia Soen tidak kalap lagi dan hanya menyebutkan dengan suara tawar.
Mendadak Tio Beng ingat sesuatu dan ia lantas saja berkata. “Menurut katanya orang, di masa
muda, Kong Beng Yoe Soe Hoan Yauw sangat tampan parasnya. Apakah ia tidak jatuh cinta
terhadap Taykis?”
“Dia jatuh cinta sedari pertama bertemu, malahan dia tergila-gila,” jawabnya sambil
mengangguk. “Tapi sebenarnya yang jatuh cinta bukan hanya Hoan Heng seorang.
Kupercaya, masih banyak orang lain. Tapi sebab Beng Kauw mempunyai peraturan yang
sangat keras dan juga karen Yo KauwCoe dihormati dan disegani oleh semua anggota agama
kami, maka orang-orang yang berani mengincar Taykis hanyalah jejaka yang belum menikah.
Diluar dugaan, hati Taykis dingin bagaikan es. Ia menyemprot setiap orang yang berani
menimbulkan soal cinta kepadanya. Yo Hoejin telah berusaha untuk merangkap jodohnya
dengan Hoan heng, tapi menolak keras. Belakangan di hadapan banyak orang, sambil
mencekal pedang, ia bersumpah untuk tidak menikah. Kalau dipaksa ia lebih suka binasa
daripada menunduk. Karena tindakannya yang sangat tandas itu, belakangan tak seorangpun
yang berani coba-coba mendekati lagi nona yang hatinya dingin itu.”
“Setengah tahun kemudian, pada suatu hari, seorang dari Leng Coa To datang di Kong Beng
Teng. Ia mengaku she Han, bernama Cian Yap, putera musuhnya Yo KauwCoe, dan
kunjungannnya ke Kong Beng Teng adalah untuk membalas sakit ayahnya. Macamnya
pemuda itu sama sekali tidak luar biasa. Bahwa dia sudah berani menantang Yo KauwCoe
dianggap sebagai kejadian lucu. Banyak diantara kami yang tak bisa menahan untuk tidak
tertawa.”
“Tapi Yo KauwCoe sendiri tak memandang enteng. Ia menyambut pemuda itu dengan segala
kehormatan dan menjamunya dalam perjamuan besar.”
“Latar belakang tantangan itu adalah begini. Karena salah paham, Yo KauwCoe telah
bertempur dengan ayah pemuda itu dan melukainya dengan pukulan Tay Kioe Thian Chioe.
Pecundang itu segera mengatakan, bahwa ia akan membalas sakit hati itu. Tapi sebab tahu,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1083
bahwa ia takkan bisa mendapat kemajuan lebih jauh dalam ilmu silatnya, maka ia
menjanjikan bahwa di kemudian hari ia akan mengirim anak lelaki atau anak perempuannya
untuk membalas sakit hati. Yo KauwCoe menjawab bahwa kalau anak itu datang, ia akan
mengalah dalam tiga pukulan. Ayah pemuda Cian Yap mengatakan bahwa dalam
pertandingan Yo KauwCoe tak usah mengalah tapi kalau disetujui, ia ingin sekali supaya
nanti anaknya boleh memilih cara bertanding. Yo KauwCoe lantas saja mengatakan tak
dinyana sesudah berselang belasan tahun, orang itu benar-benar mengirim puteranya untuk
menantang Yo KauwCoe.
“Waktu itu kepandaian Yo KauwCoe sudah sedemikian tinggi, sehingga biarpun ahli-ahli silat
yang paling jempolan belum tentu bisa melawannya. Han Cian Yap masih sangat muda.
Dalam usia yang belum seberapa itu ia tak mungkin memiliki kepandaian yang bisa
merendengi Yo KauwCoe. Melihat begitu, kami semua merasa lega. Yang dikuatirkan
hanyalah satu pertanyaan. Cara bertanding bagaimana yang akan dipilihnya?”
“Pada keesokan harinya, di hadapan kami Han Cian Yap menceritakan peristiwa itu, sehingga
Yo KauwCoe tak bisa mundur lagi. Cara bertanding yang dipilihnya ialah ia mau bertanding
di dalam Pek Soei Han Tam (kolam dingin yang airnya biru) yang terdapat di Kong Beng
Teng. Siapa yang kalah harus membunuh diri di hadapan orang banyak.”
“Tantangan itu bagaikan halilintar di tengah hari yang bolong. Semua orang mencelos
hatinya. Air kolam itu dingin bagaikan es. Jangankan pada waktu itu, di musim dingin, sedang
di musim panas pun tiada orang yang berani menceburkan diri di kobakan tersebut. Celakanya
Yo KauwCoe tak bisa berenang. Menerima tantangan itu berarti mengantarkan jiwa. Kami
semua gusar dan mencaci pemuda itu.”
“Gie Hoe,” kata Boe Kie. “Urusan ini sangat sulit. Perkataan seorang laki-laki sejati tak bisa
diubar oleh kuda yang paling keras larinya. Sesudah Yo KauwCoe mengiakan permintaan
Han Cian Yap, menurut pantas ia tak boleh menolak tantangan itu.”
Tio Beng tersenyum dan memijit tangan Boe Kie. “Benar.” Katanya. “Perkataan seorang lakilaki
sejati tidak bisa diubar oleh kuda yang larinya paling keras. Seorang kauwcoe dari Beng
Kauw tak bisa menjilat ludah sendiri. Setiap janji harus dipastikan.”
Kata-kata itu sebenarnya untuk menyindir Boe Kie, tapi Cia Soen tentu saja tidak mengetahui.
“Tak salah,” katanya. “Mendengar cacian kami, Han Cian Yap segera berkata dengan suara
nyaring. “Seorang diri aku datang di sini. Aku memang tak mengharap hidup. Para enghiong
boleh membunuh aku. Di sini hanya terdapat orang-orang Beng Kauw, sehingga pembunuhan
terhadap diriku tak akan diketahui oleh orang luar. Kalian boleh segera turun tangan!”
Mendengar omongan itu, kami tertegun.
“Sesudah memikir beberapa saat, Yo KauwCoe berkata, “Han Heng, memang benar dahulu
aku pernah membuat perjanjian dengan ayahmu. Seorang laki-laki tidak dapat menyalahi
janji. Aku mengaku kalah. Aku bersedia untuk segala keputusanmu.”
Tangan Han Cian Yap tiba-tiba bergerak dan sudah memegang sebatang pisau yang
ditudingkan ke arah jantungnya sendiri. “Pisau ini warisan ayahku,” katanya. “Aku hanya
meminta supaya Yo KauwCoe berlutut tiga kali kepada pisau ini.” Mana boleh kauwcoe kami
menerima hinaan sehebat itu? Tapi sesudah Yo KauwCoe menyerah kalah, menurut peraturan
Kang Ouw, ia tidak boleh menampik tuntutan itu. Suasana beruabah panas dan kepentingan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1084
memuncak. Han Cian Yap memang sudah tidak memikir hidup. Sesudah Yo KauwCoe
berlutut, ia pasti akan menancapkan pisau itu di jantungnya sendiri supaya tak usah binasa
dalam tangan jago-jago agama kami.
“Untuk beberapa saat, ruangan yang besar itu sunyi bagaikan kuburan. Siauw Yauw Jie Sian
(Yo Siauw dan Hoan Yauw) Peh Bie Eng Ong In Heng, Pheng Eng Giok Hwee Sio dan yang
lain-lain yang biasanya pintar sekarang menghadapi jalan buntu.
Pada saat yang genting, sekonyong-konyong Taykis melompat keluar dan berkata pada Yo
KauwCoe. “Thia-thia, orang lain mempunyai putera berbakti, apakah Thia-thia tak punya
anak perempuan yang berbakti juga? Hanya datang untuk membalas sakit hati ayahnya.
Biarlah Anak yang melayaninya. Yang lebih tua yang melayani yang tua. Yang lebih muda
berhadapan dengan yang lebih muda.”
“Semua orang kaget. Mengapa Taykis memanggil Thia-thia (ayah)? Tapi kami lantas saja
mengerti, bahwa untuk menyingkirkan marabahaya itu, Taykis sengaja mengakui Yo
KauwCoe sebagai ayahnya. Kami sangat kuatir. Kepandaian apa yang dimiliki nona itu? Apa
ia mampu berkelahi di dalam air yang sangat dingin seperti es?”
Sebelum Yo KauwCoe keburu menjawab. Han Cian Yap sudah berkata sambil tertawa dingin.
“Mewakili ayah menyambut lawan memang satu kepantasan, tapi kalau nona kalah aku tetap
menuntut bahwa Yo KauwCoe harus berlutut di hadapan pisau ini.” Dengan berkata begitu, ia
kelihatannya tidak memandang mata kepada Taykis. “tapi bagaimana kalau tuan yang kalah?”
tanya Taykis. “Nona boleh berbuat sesuka hati. Boleh bunuh, boleh apapun jua,” jawabnya.
“Baiklah. Mari, kita pergi ke Pek Soei Han Tam,” kata Taykis yang segera berjalan lebih
dahulu. Yo KauwCoe menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata. “Tidak! Kau tak usah
mencampuri urusan ini.” Taykis tersenyum, sikapnya tenang luar biasa. “Thia-thia, kau tak
usah kuatir,” katanya sambil berlutut. Berlututnya seolah-olah sebuah upacara mengangkat
ayah.
Ketenangan Taykis menunjuk bahwa ia mempunyai pegangan dan kepercayaan pada dirinya
sendiri. Yo KauwCoe tidak membantah lagi. Pada hakekatnya memang tak ada jalan lain yang
baik. Semua orang lantas saja menuju Pek Soei Han Tam yang terletak di sebelah utara
gunung. Ketika itu angin utara meniup dengan kerasnya. Beberapa orang yang tenaga
dalamnya tidak begitu kuat sudah menggigil. Mereka sudah menggigil dengan hanya berdiri
di pinggir kolam. Apapula kalau menerjun! Sebagian air sudah mengeras menjadi es dan air
yang berwarna biru ituseperti juga tiada dasarnya. Tiba-tiba Yo KauwCoe merasa bahwa ia
tak pantas membiarkan Taykis mengantarkan jiwa, “Anak,” serunya dengan suara nyaring.
“kutahu, hatimu sangat mulia. Tapi biarlah aku saja yang melayani Han Heng.” Seraya
berkata begitu, ia membuka jubah luarnya untuk segera menerjun ke air. Taykis tersenyum.
“Thia-thia,” katanya. “Anak pandai berenang semenjak kecil, anak selalu bermain-main di
laut.” Ia menghunus pedang dan bagaikan seekor walet, badannya melesat dan kedua kakinya
hinggap di atas es. Sesudah membuat lingkaran dengan pedangnya, ia melompat lagi dan
menerjun ke air!
Di depan mataku terbayang pula kejadian itu. Hari itu, Taykis mengenakan baju warna ungu
dan ketika ia berdiri di atas es, kecantikannya tak kalah dari kecantikan Dewi Leng Po.
Mendadak tanpa mengeluarkan suara, ia menerjun ke air. Kami semua terkejut, Han Cian Yap
pun kaget. Paras mukanya yang semula angkuh lantas saja berubah. Sambil mencekal pisau,
ia turut melompat ke kolam.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1085
Air kolam berwarna biru tua. Perkelahian tak dapat dilihat kami. Kami hanya melihat
bergoyang-goyangnya air. Kami semua merasa sangat kuatir. Beberapa lama kemudian di satu
sudut air kolam tercampur sedikit darah. Kami jadi lebih kuatir. Siapa yang terluka? Apa
Taykis? Tak lama kemudian air bergolak dan Han Cian Yap melompat keluar dengan napas
tersengal-sengal. Hati kami mencelos. “Mana Taykis?” tanyaku. Pemuda itu ternyata kosong
pisaunya tertancap di dadanya sendiri. Sedang kedua pipinya terdapat goresan luka. Selagi
jantung kami memukul keras, air tergolak pula laksana seekor ikan Taykis muncul di
permukaan air. Akan kemudian sambil memutar pedang untuk melindungi diri, melompat ke
daratan. Kami sorak sorai. Tanpa mengeluarkan sepatah kata bahna terharu. Yo KauwCoe
mencekal tangan Taykis. Mimpipun kami belum pernah mimpi, bahwa Taykis memiliki
kepandaian setinggi itu. Sementara itu, sambil melirik Han Cian Yap, Taykis berkata, “ilmu
berenang orang itu cukup baik. Mengingat kebaktiannya, anak harap Thia-thia suka
mengampuni jiwanya.” Yo KauwCoe lantas saja meluluskan permintaan itu dan
memerintahkan Ouw Ceng Goe untuk mengobati lukanya.
“Malam itu di atas Kong Beng Teng diadakan perjamuan yang besar.Taykis telah membuat
pahala yang sangat besar. Tanpa pertolongannya, habislah nama besar Yo KauwCoe. Yo
Hoejin menghadiahkan gelar “Cie San Liong Ong” yang berendeng dengan Eng-Ong. Say
Ong dan Hok Ong. Kami bertiga menyetujui pengangkatan itu. Kami rela menyerahkan
kedudukan pemimpin keempat Hoat Ong kepada gadis muda belia itu.”
“Tapi peristiwa itu mempunyai ekor yang tak diduga-duga. Han Cian Yap kalah berkelahi,
tapi menang total. Entah bagaimana, dia berhasil merebut hatinya Taykis. Rasa cinta Taykis
muncul waktu ia setiap hari menengok si pemuda she Han yang dirawat oleh Ouw Ceng Goe.
Sangat bisa jadi, rasa cintanya bersemi dari rasa kasihan dan menyesal, bahwa ia sudah
melukai pemuda itu. Biar bagaimanapun jua, setelah Han Cian Yap sembuh, sekonyongkonyong
Taykis memberitahukan Yo KauwCoe, bahwa ia mau menikah sama pemuda itu.
Pemberitahuan itu mengejutkan kami. Ada yang berduka, ada yang merasa putus harapan.
Ada pula yang bergusar. Han Cian Yap musuh besar agama kita, hinaannya terhadap Yo
KauwCoe tak dapat dilupakan. Sekarang tiba-tiba Taykis mau mnikah sama dia. Beberapa
saudara yang berangasan lantas saja mencaci. Tapi Taykis beradat keras. Ia menghunus
pedang dan sambil berdiri di ambang pintu, dia berteriak, “Mulai hari ini Han Cian Yap
menjadi suamiku. Siapa yang menghina dia boleh menjajal pedang Cie San Liong Ong.”
Melihat tekadnya dan nekadnya, kami semua tidak berdaya lagi.
“Upacara pernikahan dilangsungkan dengan sangat sederhana. Sebagian besar saudarasaudara
kami tidak menghadiri pesta. Karena mengingat jasanya, Yo KauwCoe dan aku
berusaha keras memenuhi keinginannya, sehingga pernikahannya bisa berlangsung tanpa
gelombang yang lebih hebat. Tapi masuknya Han Cian Yap di dalam Beng Kauw mendapat
tentangan yang terlalu hebat sehingga Yo KauwCoe sendiri tidak bisa menindih tentangan
itu.”
“Tak lama kemudian Yo KauwCoe hilang tanpa berbekas. Kami bingung dan coba
mencarinya ke segala pelosok Secara kebetulan, waktu sedang mencari Yo KauwCoe, Kong
Beng Yoe Soe Hoan Yauw melihat Han Hoejin keluar dari jalan rahasia.”
Boe Kie terkejut. “keluar dari jalanan rahasia?” ia menegas.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1086
“Ya,” jawabnya. “Peraturan Beng Kauw sangat keras. Hanya kauwcoe seorang yang boleh
masuk di jalanan rahasia itu. Dalam kaget dan gusarnya Hoan Yauw segera menegur. Jawab
Han Hoejin. “Aku sudah melanggar peraturan. Mau bunuh, silahkan bunuh! Sesukamu!”
“Malam itu kami mengadakan perhimpunan besar untuk membicarakan kedosaan Han Hoejin.
Tapi Han Hoejin tetap berkeras kepala. Pertanyaan mengapa ia masuk di jalanan itu tidak
dijawab. Ia mengatakan tak tahu dimana adanya Yo KauwCoe. Ia mengatakan, bahwa ia
bertanggung jawab sendiri untuk kedosaannya. Menurut peraturan, seorang anggota Beng
Kauw yang berani masuk ke jalanan rahasia itu harus membunuh diri atau dikutungkan
sebelah kaki atau sebelah tangannya. Mengingat kecintaannya yang dahulu, Hoan Yauw
berusaha keras untuk melindunginya. Akupun membantu supaya hukuman berat itu tak usah
dijalankan. Akhirnya semua orang menyetujui untuk memenjarakannya selama sepuluh tahun
supaya ia bisa merenungkan kedosaannya. Di luar dugaan, Han Hoejin melawan. Tanpa Yo
KauwCoe, siapa yang berani menghukum aku? Bentaknya.”
“Gie Hoe,” Boe Kie memotong pembicaraan ayah angkatnya. “Apa sebenarnya maksud Han
Hoejin dengan masuk di jalanan rahasia itu?”
“Kalau mau diceritakan panjang sekali.” Jawabnya. “Di dalam Beng Kauw, hanya aku
seorang yang tahu sebab musababnya. Waktu itu banyak yang menafsir, bahwa masuknya
Han Hoejin di jalanan rahasia itu ada sangkut pautnya dengan masalah mengenai hilangnya
suami isteri Yo KauwCoe.Aku menentang tapsiran itu. Kami bertengkar hebat sehingga
akhirnya Han Hoejin memutuskan semua hubungan dengan Beng Kauw. Ia adalah orang
pertama yang keluar dari agama kami. Hari itu juga bersama Han Cian Yap, ia turun gunung
dan tidak bisa ditemukanpula. Kami berusaha keras untuk mencari Yo KauwCoe, tapi usaha
itu tinggal tersia-sia. Berselang beberapa tahun, sebab perebutan kedudukan Kauwcoe,
keadaan jadi semakin hebat. In Heng meninggalkan Beng Kauw dan mendirikan Peh Bie
Kauw. Aku coba membujuknya, tapi ia tidak meladeni. Lantaran itu, aku dan dia jadi
bermusuhan. Maka itulah pada dua puluh tahun lebih yang lalu, pada waktu Peh Bie Kauw
memamerkan To Liong To untuk memperlihatkan keangkerannya, Kim Mo Say Ong turun
tangan. Pertama, memang aku inging merampas golok itu, dan kedua aku hendak
melampiaskan rasa dongkolku. Aku ingin memperlihatkan kepada In Heng, bahwa sesudah
keluar dari kekuasaan Beng Kauw ia tak akan dapat melakukan sesuatu yang besar. Hai!...
Sekarang aku merasa bahwa perbuatanku itu sangat keterlaluan.” Ia menghela napas dan paras
mukanya kelihatan sangat berduka.
Untuk beberapa saat, semua orang tidak berkata-kata.
“Loo Ya Coe,” kata Tio Beng. Sesudah peristiwa ini terjadi nama Gin Yap dan Kim Hoa
Popo menggetarkan dunia Kang Ouw. Mengapa orang-orang Beng Kauw tak dapat meraba,
bahwa Gin Yap dan Kim Hoa Popo sebenarnya suami isteri Han Cian Yap? Dan sebab apa
Gin Yap SianSeng mati kena racun?”
“Entahlah,” jawabnya. “Mungkin sekali dalam sepak terjang mereka di kalangan Kang Ouw,
mereka selalu menyingkirkan diri dari orang-orang agama kami.”
Tiba-tiba Boe Kie menepuk lutut. “Benar!” katanya. Kim Hoa Popo memang mengelakkan
pertemuan dengan orang-orang Beng Kauw waktu enam partai mengepung Beng Kauw.
Meskipun sudah tiba di Kong Beng Teng, ia tidak naik ke puncak untuk memberi bantuan.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1087
Alis Tio Beng berkerut. “Ada sesuatu yang tidak bisa ditembus olehku,” katanya. “Cie San
Liong Ong terkenal sebagai wanita yang sangat cantik. Mengapa sekarang mukanya jelek?
Mengapa mukanya rusak?”
“Menurut taksiranku ia telah menggunakan satu atau lain cara untuk mengubah paras
mukanya.” Kata Cia Soen. “Kau harus tahu, bahwa Han Hoejin beradat aneh. Kaupun harus
tahu, bahwa di dalam hati ia sangat menderita. Selama hidup, ia harus selalu menyingkirkan
diri dari orang-orang Cong Kauw yang coba mengubar dan mencarinya. Hai!... Tak dinyana
dalam usianya yang lanjut, ia masih belum bisa meluputkan diri. Pada akhirnya orang-orang
Cong Kauw dari Persia berhasil mencari dia.”
Mata Tio Beng terbuka lebar. “Mengapa orang Cong Kauw mencari dia?” tanyanya dengan
rasa heran.
“Inilah rahasia yang paling besar dari Han Hoejin,” jawabnya. “Sebenarnya aku tidak boleh
membuka rahasia. Tapi karena aku ingin kembali ke Leng Coa To untuk menolong dia maka
aku harus bicara seterang-terangnya.
“Kembali ke Leng Coa To?” menegas si nona. “Apa Loo Ya Coe rasa kita akan dapat
melawan Sam Soe?”
Cia Soen tidak menjawab. Sesudah menghela napas panjang, ia bercerita dengan suara
perlahan. “Selama ratusan tahun, kursi kauwcoe dari Beng Kauw di Tiong Goan diduduki
oleh seorang pria, tapi Kauwcoe Cong Kauw di Persia selalu seorang wanita. Bukan saja
seorang wanita, tapi juga seorang gadis yang tidak menikah. Menurut peraturan Cong Kauw
hanyalah seorang gadis yang masih suci yang boleh menjadi Kauw Coe supaya ia bisa
mempertahankan kesucian Beng Kauw. Setiap Kauw Coe yang baru memegang jabatan harus
memilih tiga gadis yang berkedudukan paling tinggi di dalam Cong Kauw, untuk meneliti di
sekeliling dan dijadikan Seng Lie (wanita suci) Sesudah diangkat menjadi Seng Lie dengan
sumpah yang berat. Mereka harus berkelana berbagai tempat untuk melakukan perbuatanperbuatan
baik demi kemakmuran dan kebesaran Beng Kauw. Apa bila kauwcoe meninggal
dunia, maka para tetua agama akan mengadakan pertemuan untuk memperbincangkan jasajasa
ketiga Seng Lie. Yang dianggap paling baik jasa akan diangkat menjadi Kauw Coe baru.
Kalau Seng Lie hilang kesuciannya, kalau dia menikah, maka dia akan dihukum bakar hiduphidup.
Tak perduli dia lari kemanapun jua, Cong Kauw akan memerintahkan orang-orang
yang berkepandaian tinggi untuk mencarinya…. “
“Oh!... “ memutus Tio Beng. “Apakah Han Hoejin salah seorang dari ketiga Seng Lie itu?”
Cia Soen mengangguk: “benar!” jawabnya. “Aku sudah tahu pada sebelum Hoan Yauw
memergokinya di mulut jalanan rahasia. Han Hoejin sendiri membuka rahasianya kepadaku,
yang dianggapnya sebagai seorang teman atau sahabat paling karib. Ia mengatakan, bahwa ia
jatuh cinta pada waktu bertempur dengan Han Cian Yap di kolam pshl. Belakangan sebab
sering menengok pemuda itu yang dirawat oleh Ouw Ceng Goe, rasa cintanya jadi makin
besar dan tidak dapat diobah lagi. Ia tahu, bahwa sesudah menikah ia pasti akan diubar oleh
orang-orang Cong Kauw. Harapan satu-satunya untuk menebus dosa ialah membuat suatu
pahala besar. Maka itu, dengan menempuh bahaya, ia masuk ke jalanan rahasia dengan
maksud untuk mencari kitab Kian Koen Tay Lo Ie. Di Cong Kauw kitab ilmu silat itu sudah
hilang lama dan yang masih memiliknya adalah Beng Kauw di Tiong Goan. Mengapa Cong
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1088
Kauw mengirim Taykis ke Kong Beng Teng? Sebab yang paling terutama ialah untuk
mencari dan mendapat kitab tersebut.”
“Ah!” Boe Kie mengeluarkan suara tertahan. Ia merasa, bahwa ada sesuatu yang tidak besar
tapi apa itu yang tidak beres tidak diketahui olehnya.
Cia Soen meneruskan ceritanya. “Beberapa kali Han Hoejin masuk ke jalanan rahasia tanpa
berhasil. Aku menasehati supaya menghentikan usaha itu, karena masuknya ke jalanan rahasia
merupakan rahasia besar yang sukar bisa diampuni.”
“sekarang kutahu,” memotong Tio Beng. “Han Hoejin memutuskan perhubungan Beng Kauw
supaya ia merdeka untuk masuk ke jalanan rahasia itu. Sesudah tak menjadi anggota Beng
Kauw, dia tidak terikat lagi dengan peraturan agama. Loo Ya Coe, bukankah begitu?”
“Tio Kouwnio sangat pintar.” Jawabnya sambil mengangguk. “Kong Beng Teng adalah pusat
agama kita dan aku tidak bisa mempermisikan orang keluar masuk sepenuh hati. Aku sudah
menebak niatan Han Hoejin. Sesudah dia turun gunung, aku sendiri menjaga di mulut jalanan
rahasia. Tiga kali dia menyatroni, tiga kali dia bertemu dengan aku. Akhirnya dia pergi
dengan putus harapan.” Sehabis berkata begitu, ia menengadah seperti orang memikir sesuatu.
Mendadak ia bertanya, “Bagaimanakah pakaian Sam Soe? Apa berbeda dari pakaian anggota
Beng Kauw di Tiong Goan?”
“Mereka mengenakan jubah putih dan pada ujung jubah tersulam obor merah,” jawab Boe
Kie. “Tapi… tapi… pada pinggiran terdapat lapisan kain hitam. Hanya itu perbedaannya.”
“Tak salah!” seru Cia Soen. “Kauwcoe Cong Kauw baru saja meninggal dunia! Bagi orangorang
See Hek, hitam adalah warna berkabung. Jubah putih dengan pinggiran hitam berarti
pakaian berkabung. Mereka mau memilih kauwcoe baru dan mencari Han Hoejin.”
“Ada satu hal yang aku kurang mengerti,” kata Boe Kie. “Han Hoejin berasal dari Beng Kauw
di Persia dan ia tentu mahir dalam ilmu silaat yang dipelajari dalam kalangan Cong Kauw.
Tapi mengapa dalam sejurus ia sudah dirobohkan Sam Soe?”
“Tolol!” kata Tio Beng sambil tersenyum. “Han Hoejin hanya berpura-pura untuk menutupi
asal-usulnya yang sebenarnya. Ia tidak boleh memperhatikan bahwa ia mengenal ilmu silat
ketiga utusan itu. Menurut dugaanku, jika Loo Ya Coe mengiring kehendak Sam Soe dan
coba membunuh dia, dia pasti tidak mempunyai daya untuk menyelamatkan diri.”
Cia Soen menggelengkan kepala. “Memang benar ia menutupi asal-usulnya,” katanya. “Tapi
kalau Tio Kouwnio berpendapat bahwa sesudah ditotok Sam Soe ia masih bisa meloloskan
diri, aku merasa kurang setuju. Belum tentu ia bisa meloloskan diri. Menurutku, Han Hoejin
lebih suka dibunuh olehku daripada dibakar hidup-hidup.”
Tiba-tiba terdengar suara beradunya gigi. Semua orang kaget. Ternyata In Lee kembali
menggigit keras dan giginya bercatrukan. Boe Kie meraba dahi si nona yang panas luar biasa.
Ia menghela napas. Penyakit nona In sangat berat.
“Gie Hoe,” kata Boe Kie setelah memikir sejenak, “anak mengambil keputusan untuk kembali
ke Leng Coa To. In Kouwnio harus bisa beristirahat sedapat mungkin Andai kata kita tak bisa
berhasil menolong Han Hoejin, kita sedikitnya harus menolong In Kouwnio.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1089
“Benar,” kata Cia Soen. “In Kouwnio begitu mencintai kau. Dia tak bisa tak ditolong, Tio
Kouwnio, bagaimana pikiranmu?”
“Luka In Kouwnio sangat berat, aku setuju untuk kembali.” Jawab Tio Beng.
Cie Jiak menjawab dengan suara dingin. “Terserah pada Loo Ya Coe.”
“Kita harus menunggu sampai halimun buyar dan berlayar dengan melihat bintang sebagai
pedoman.” Kata Boe Kie. “Gie Hoe, Lioe In Soe berhasil melukai aku dengan Seng Hwee
Leng pada waktu ia berjungkil balik di tengah udara. Mengapa bisa begitu? Ilmu silat apa
itu?”
Mereka lantas saja membicarakan ilmu silat ketiga utusan Cong Kauw itu. Tio Beng yang
mengenal banyak ilmu silat kadang-kadang turut mengantarkan pikirannya. Tapi sesudah
berunding berjam-jam mereka belum juga bisa menangkap inti sari ilmu silat Sam Soe yang
berdasarkan kerja sama antara mereka bertiga.”
Sesudah matahari keluar barulah halimun membuyar. “Semula kita menuju ke selatan dari
utara,” kata Boe Kie. “Maka itu, kalau mau kembali ke Leng Coa To, kita sekarang harus
mengambil jalan ke arah barat laut.”
Dengan bergiliran, Cia Soen, Boe Kie, Cie Jiak, dan Siauw Ciauw lalu mulai mendayung
perahu. Kalau tadi perahu melaju dengan bantuan angin, sekarang harus melawan angin.
Untung juga Cia Soen dan Boe Kie memiliki tenaga dalam yang sangat kuat, sedang kedua
nona itu pun mempunyai lweekang yang lumayan sehingga pekerjaan mendayung tak
dirasakan terlalu berat. Perlahan tapi tentu perahu itu bergerak ke jurusan utara.
Selama beberapa hari Cia Soen tak banyak bicara. Ia duduk termenung dengan alis berkerut
memikiri jalan untuk melawan ilmu Sam Soe yang sangat aneh.
Pada magrib hari keenam, tiba-tiba ia menanya Cie Jiak tentang ilmu silat Go Bie Pay. Nona
Cie segera memberitahukan tanpa tedeng-tedeng. Tanya jawab itu berlangsung sampai jauh
malam. Akhirnya dengan suara kecewa, Cia Soen berkata: ”ilmu silat Siauw Lim, Boe Tong,
dan Go Bie semua bersumber dari Kioe Yang Cin Keng dan tidak berbeda dengan ilmu silat
Boe Kie – semua berdasarkan Yang Kong (keras). Kalau Thio Sam Hong Cinjin, yang
memiliki Im Jioe dan Yang Kong (lembek keras) berada di sini, kita akan bisa merobohkan
Sam Soe. Dengan Im Jioe dari Thio Cinjin dan Yang Kong dari Boe Kie, kupercaya Sam Soe
dapat dikalahkan. Tapi Thio Cinjin berada di tempat jauh dan waktu sangat mendesak. Apa
daya kalau Han Hoejin sudah ditangkap Sam Soe?”
“Loo Ya Coe,” kata Cie Jiak. “Kudengar pada ratusan tahun yang lalu, sejumlah tokoh rimba
persilatan mengenal ilmu silat yang bersumber dari Kioe Im Cin Keng. Apa benar?”
Waktu berada di Boe Tong Sie, Boe Kie pun pernah mendengar nama Kioe Im Cin Keng dari
Thay Soehoenya. Ia tahun bahwa Kwee Ceng Kwee Tay Hiap (ayah Kwee Siang Liehiap,
pendiri Go Bie Pay) dan Siauw Tay Hiap Yo Ko adalah orang-orang yang telah mempelajari
ilmu silat Kioe Im Cin Keng. Tapi ilmu-ilmu di dalam kitab itu sangat sukar dipelajari,
sehingga Kwee Siang sendiri tidak dapat mempelajarinya. Ia terkejut waktu mendengar
pertanyaan Cie Jiak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1090
“Memang ada ceritera begitu, tapi benar setidaknya, aku tak tahu,” jawab Cia Soen. “Menurut
katanya orang-orang tua, ilmu silat Kioe Im Cin Keng lihai luar biasa. Kalau sekarang orangorang
memiliki ilmu silat itu dan ia bekerja sama dengan Boe Kie, Sam Soe pasti bisa
dirobohkan dengan sangat gampang.”
“Ya,” kata nona Cioe. Ia tak bisa berkata suatu apa lagi.
“Cioe Kouwnio, apakah dalam Go Bie Pay tidak ada orang yang mengenal ilmu silat Kioe Im
Cin Keng?” tanya Tio Beng.
Alis Cie Jiak berkerut dan ia menjawab dengan suara tawar. “Apabila Go Bie Pay mengenal
ilmu silat itu, Sian coe (mendiang guru) pasti tidak sampai mengorbankan diri di Ban Hoat
Sie.” Bagi Cie Jiak yang perasaannya halus. Kata-kata itu sudah sangat tajam. Ia tidak dapat
menghilangkan rasa sakit hatinya terhadap Tio Beng, sebab kebinasaaan gurunya yang
tercinta adalah gara-gara nona Tio.
Tapi Tio Beng tidak menjadi gusar. Ia hanya tersenyum.
Tak lama kemudian selagi enak mendayung, tiba-tiba Boe Kie berseru sambil menuding ke
jurusan barat laut. “Lihatlah! Di sana ada sinar api.” Semua orang menengok ke arah itu.
Benar saja, di garis antara langit dan laut rapat-rapat berkelebat-kelebatnya sinar api.
Meskipun tidak bisa melihat, Cia Soen turut bergirang.
Sinar itu kelihatan dekat, tapi sebenarnya jauh. Sesudah mendayung lagi setengah harian
barulah mereka bisa melihat tegas ke tempat terjandinya kebakaran itu. Tempat itu sebuah
pulau yang penuh gunung dan pulau itu bukan lain daripada Leng Coa To.
“Kita sudah tiba di Leng Coa To!” kata Boe Kie dengan girang.
Dengan penuh harapan semua orang mengawasi pulau yang menghijau itu. Mendadak Cia
Soen mengeluarkan teriakan tertahan. “Celaka! Mengapa terjadi kebakaran di Leng Coa To?
Apa mereka sudah membakar Han Hoejin?”
Teriakan itu disusul dengan robohnya Siauw Ciauw. Buru-buru Boe Kie membangunkannya.
Nona itu ternyata pingsan. Boe Kie menyadarkannya dengan totokan dan bertanya, “Siauw
Ciauw, mengapa kau?”
“Aku takut,” jawabnya sambil menangis. “Aku takut…. Mendengar hukuman bakar hiduphidup
terhadap sesama manusia.”
“Itu belum tentu,” bujuk Boe Kie. “Itu hanya dugaan Cia Loocianpwee. Andaikata Han
Hoejin sudah ditangkap, kurasa kita masih bisa menolong.”
Siauw Ciauw mencekal tangan Boe Kie erat-erat dan berkata dengan suara parau.
“Thio KongCoe, aku memohon… memohon supaya kau menolong Han Hoejin… “
“Tentu kita berusaha beramai-ramai,” jawabnya. Sehabis berkata begitu, ia kembali ke buritan
perahu dan mendayung sekuat tenaga, sehingga kendaraan air itu melaju bagaikan terbang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1091
Mendadak Tio Beng berkata dengan suara perlahan. “Thio KongCoe, sudah lama aku
memikiri dua soal yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan olehku. Aku ingin meminta
petunjukmu.”
Mendengar kata-kata yang sungkan, Boe Kie merasa heran. “soal apa?” tanyanya.
“Hari itu, waktu berada di Lek Lioe Chung, aku telah memerintahkan orang-orangku untuk
mengepung rombongan kakekmu,” menerangkan si nona. “Selagi rombongan terkepung, tibatiba
Siauw Ciauw Kouwnio maju dan memimpin pahlawan rombongan kakekmu. Memang
benar, bahwa dibawah seorang panglima yang pandai tak ada serdadu yang lemah. Tapi
bagiku, bahwa dibawah Kauw Coe Beng Kauw ada seorang pelayan yang mempunyai
kepandaian begitu tinggi, masih tetap mengherankan… “
“Kauwcoe Beng Kauw?” memutus Cia Soen.
Tio Beng tertawa, “Loo Ya Coe,” katanya. “Sekarang biarlah aku berterus terang. Anak
angkatmu bukan lain daripada kauwCoe yang tersohor dari agama Beng Kauw. Kau sendiri
salah seorang bawahannya.”
Cia Soen terkesiap. Mulutnya ternganga dan ia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata. Tapi,
di dalam hati ia masih bersangsi. Tio Beng meretapkan keterangannya, tapi ia tidak bisa
memberi penjelasan mengenai jalannya peristiwa yang berakhir dengan pengangkatan Boe
Kie sebagai KauwCoe. Karena didesak keras oleh ayah angkatnya Boe Kie tidak bisa
menyangkal lagi. Secara ringkas ia segera menceritakan segala kejadian.
Tak kepalang girangnya orang tua itu. Ia berlutut dan berkata dengan suara terharu.
“Orang sebawahan, Kim Mo Say Ong, Cia Soen, memberi hormat kepada KauwCoe.”
Tersipu-sipu Boe Kie balas berlutut. “Giehoe, janganlah menjalankan peradatan ini,” katanya
dengan air mata berlinang-linang. “Menurut surat wasiat mendiang Yo KauwCoe, Giehoe-lah
yang harus menjadi Kauwcoe untuk sementara waktu. Dalam menerima pengangkata, anak
selalu berkuatir kalau-kalau anak tidak kuat memikul beban yang sangat berat itu. Atas berkah
Thian, Giehoe pulang dengan tak kurang suatu apa. Inilah rejeki dari agama kita. Sepulangnya
dari Tiong Goan, kursi KauwCoe harus diduduki giehoe.”
“Biarpun ayah angkatmu sudah bisa pulang, tapi dengan kedua matanya sudah buta, kau tidak
bisa mengatakan bahwa ia pulang dengan tak kurang suatu apa,” kata Cia Soen dengan suara
sedih. “Mana bisa Beng Kauw mempunyai pemimpin yang matanya tidak dapat melihat? Tio
KouwNio, soal-soal apa yang tidak mengerti olehmu?”
“Aku merasa heran karena Siauw Ciauw Kouwnio memiliki kepandaian yang sangat luar
biasa,” jawabnya. “Aku ingin menanya, siapa yang mengajarinya dalama ilmu Kie boen Pat
Kwa dan Im Yang Ngo Heng? Cara bagaimana dalam usia yang begitu muda, ia sudah
mempunyai ilmu tersebut?”
“Itulah ilmu turunan dari keluargaku,” jawab Siauw Ciauw. “Ilmu itu tidak cukup berharga
untuk mendapat perhatian Koencoe Nio Nio.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1092
“Siapa ayahmu?” tanya pula Tio Beng. “Anaknya begitu lihai, ayah ibunya pasti tokoh-tokoh
yang namanya cemerlang.”
“Ayahku hidup dengan mengubur she dan namanya sendiri,” jawabnya. “Tak perlu Koencoe
menanyakannya. Apakah Koencoe mau memaksa aku dengan ancaman potong jari-jari
tangan?” Si gadis cilik ternyata tak sungkan-sungkan. Dengan menyebutkan ancaman potong
jari-jari tangan, ia rupa-rupanya ingin menarik tangan Cie Jiak untuk berdiri di pihaknya.
Tio Beng hanya tersenyum. “Thio Kongcoe,” katanya dengan suara tenang. “Malam itu di
kota raja, waktu kita bertemu di rumah makan untuk kedua kali, Kouw Tauwtoo Hoan Yauw
telah memberi selamat berpisah kepadaku. Waktu itu, ia kebetulan bertemu dengan Siauw
Ciauw KouwNio dan ia mengatakan sesuatu, apakah kau masih ingat perkataannya?”
Jilid 60__________________
Sebenarnya Boe Kie sudah melupakan kejadian tersebut. Sesudah memikir beberapa saat, ia
menjawab. “Hm… kalau aku tak salah ingat, Kouw Taysoe mengatakan bahwa paras muka
Siauw Ciauw mirip dengan salah seorang musuhnya.”
“Benar,” kata Tio Beng sambil mengangguk. “Apakah kau bisa menebak siapa yang
dimaksud Kouw Taysoe? Siauw Ciauw Kouwnio mirip siapa?”
“Bagaimana aku bisa menebak?” Boe Kie balas bertanya.
Selagi mereka bicara, perahu sudah makin mendekati Leng coa to. Mereka melihat, bahwa di
sebelah barat pulau berderet kapal2 Cong kauw yang layarnya terlukis gambar obor merah
dan pada setiap layar tergantung sehelai kain hitam.
Alis Boe Kie berkerut. “Cong kauw telah mengerahkan angkatan laut dan orang yang datang
kesini tidak berjumlah kecil,” katanya.
“Kita harus coba mendarat di pulau yang sepi dan aman,” kata Tio Beng.
Boe Kie mengangguk dan segera mendayung.
Sekonyong2 dari salah sebuah kapal terdengar bunyi terompet. “Dung.. dung..” dua peluru
menyambar, yang lain di sebelah kanan perahu, sehingga karena goncangan ombak, perahu
kecil itu hampir hampir tenggelam.
“O hoooi! Dengarlah…!” demikian terdengar teriakan dari arah kapal itu. “Perahu kecil itu
harus datang disini. Kalau tidak menurut akan ditenggelamkan.”
Boe Kie mengeluh. Kedua tembakan yang barusan adalah tembakan ancaman. Ia yakin bahwa
jika membantah perahu yang ditumpanginya akan segera ditenggelamkan, tanpa bisa
melawan. Sebab tak ada jalan lain, perlahan lahan ia mendayung ke arah kapal itu.
Meriam2 di tiga kapal Cong kauw bergerak dan menuding perahu Boe Kie. Waktu perahu
menempel dengan sisi kapal dari atas kapal segera diturunkan sebuah tangga tambang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1093
“Mari kita naik dan berusaha untuk merampas kapal ini,” bisik Boe Kie.
Cia Soen naik paling dulu disusul oleh Cie Jiak yang mendukung Tio Beng. Sesudah itu
Siauw Ciauw dan yang paling akhir adalah Boe Kie yang mendukung In Lee. Yang berada di
kapal itu orang2 Persia yang bertubuh tinggi besar berambut kuning dan bermata biru. Boe
Kie menyapu dengan matanya. Ia tak lihat Sam soe (Budi: Some parts missing here..) (PP:
That’s what’s in the book)
tas saja ia bertanya. “Siapa kamu? Ada urusan apa kamu datang kemari?”
“Kami mengalami bencana kapal kami tenggelam,” jawab Tio Beng. “Kami menghaturkan
terima kasih untuk pertolongan kalian.”
Orang itu setengah percaya setengah tidak. Ia berpaling kepada pemimpinnya yang berduduk
di kursi geladak kapal dan bicara dalam bahasa Persia. Selagi pemimpin itu bicara tiba2
Siauw Ciauw melompat dan menghantam dengan telapak tangannya. Dia kaget, berkelit dan
menjambret kursi yang lalu digunakan untuk memukul si nona. Boe Kie terkesiap. Ia tak
pernah menduga, bahwa Siauw Ciauw akan segera menyerang. Sambil melompat, ia menotok
dan pemimpin itu lantas saja roboh.
Puluhan orang Persia yang berada di situ lantas saja menjadi kalut. Mereka menghunus
senjata dan segera mengepung. Tapi biarpun mengenal ilmu silat kepandaian mereka masih
kalah
(Budi: Some parts missing here..) (PP: I think that’s OK)
Sambil mendukung In Lee erat erat dengan tangan kanannya, Boe Kie menyerang dengan
tangan kiri. Cia Soen memutar To Liong To, sedangkan Cie Jiak mengamuk dengan
pedangnya.
Ditambah dengan Siauw Ciauw yang lincah gerakannya dalam sekejap puluhan orang Persia
itu sudah dapat dibereskan. Belasan orang luka dan rebah di geladak kapal, tujuh delapan
orang jatuh di air dan sisanya tidak berdaya lagi karena ditotok hiatnya. Lain lain kapal Cong
Kauw lantas saja membunyikan terompet dan mulai mengurung.
Buru buru Boe Kie merebahkan In Lee di geladak menentang pemimping yang tadi
dirobohkannya dan lalu memanjat tiang layar. “Hai! Kalau ada yang berani datang kemari,
lebih dahulu aku membinasakan orang ini!” teriaknya.
Pemimpin itu ternyata mempunyai kedudukan tinggi, lantaran, biarpun mereka berteriak
Some parts missing here…
Boe Kie melompat turun, tapi baru saja melepaskan tawanannya di geladak tiba tiba ia
merasakan kesiuran angin yang sangat tajam. Secepat kilat ia berkelit dan menendang.
Sebelum ia sempat memutar badan, semacam senjata yang bukan lain daripada Seng hwee
leng menyambar dari samping kiri. Ia mengeluh. Ia tahu bahwa Sam soe sudah mulai
menyerang. “Semua mundur ke tenda (gubug) kapal!” teriaknya seraya menjemput si
pemimpin yang lalu digunakan untuk menyambut Seng hwee leng yang menyambar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1094
Orang yang memukul adalah Hwie goatsoe. Ia terkejut dan mati matian ia menarik pulang
senjatanya. Ia berhasil, tapi sebab senjata itu ditarik pulang secara mendadak, maka bagian
bawah tubuhnya jadi terbuka. Melihat lowongan itu Boe Kie menendang. Lioe in soe dan
siauw hong soe menolong dengan serangan dahsyat sehingga tendangan Boe Kie meleset dan
Hwie goat soe terluput dari bahaya. Sesudah lewat beberapa jurus tiba2 Biauw hong soe
menyabet dengan Seng hwee leng dengan pukulan yang sangat aneh. Boe Kie memapaki
senjata itu dengan tubuh si pemimpin dengan gerakan yang tak kurang anehnya. “Plak!” Seng
hwee leng mampir tepat di pipi kiri orang itu.
Tak kepalang kagetnya Sam soe. Muka mereka berubah pucat. Mereka mengeluarkan
beberapa buah perkataan dalam bahasa Persia dan kemudian membungkuk dengan sikap
hormat kepada pemimpin yang dicekal Boe Kie itu.
Siapa pemimpin itu?
Ia adalah salah seorang dari duabelas Po soe ong (Raja Pohon Mustika) dalam Cong kauw dan
ia bergelar Peng teng ong. Keduabelas raja itu menurut runtunannya, ialah Tay seng, Tio wi,
Siang seng, Sin sim, Jin jiok, Ceng tit, Kong tek, Cie sim dan Kie beng. Mereka dalah Keng
soe (guru dalam kitab suci) di bawah Kauwcoe dari Ceng kauw dan kedudukan mereka
menyerupai empat Soe kauw di wilayah Tionggoan.
Perbedaannya dari Soe kauw Hoat ong ialah, sebaliknya dari mementingkan ilmu silat,
mereka mengutamakan pelajaran keagamaan. Kecuali Tay seng Po soe ong, Siang seng Po
soe ong dan Kong tek Po soe ong yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, kepandaian yang
lainnya hanya biasa saja dan masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Sam soe. Kali ini
dalam usaha mencari Seng lie untuk pengangkatan Kauwcoe baru, kedua belas Po soe ong
turut datang di Tiong goan. Karena kedudukan yang sangat tinggi dari “raja raja” itu maka
biarpun tak disengaja, terpukulnya Peng teng ong dengan Seng hwee leng sudah mengejutkan
Sam soe, sehingga mereka tak berani menyerang lagi dan segera mengundurkan diri.
Boe Kie segera berduduk dan memangk Peng teng ong. Ia mengerti, bahwa orang itu
mempunyai kedudukan penting di dalam Cong kauw dan merupakan orang tanggungan
satu2nya yang bisa menolong rombongannya. Ia membungkuk dan memeriksa luka
tawanannya. Untung juga tidak membahayakan jiwa hanya bengkak pada bagian pipi.
Rupa2nya pada detik terakhir Biauw hong soe berusaha untuk menarik pulang senjatanya,
sehingga tenaga pukulannya banyak berkurang.
Sementara itu, Cie Jiak dan Siauw Ciauw bekerja keras untuk memindahkan korban2 yang
menggeletak di geladak kapal. Mereka mengangkat mayat2 ke gubuk belakang dan
mengumpulkan orang-orang yang terluka.
Dengan cepat kapal yang dikuasai rombongan Boe Kie sudah terkurung rapat oleh belasan
kapal Cong kauw. Semua meriam2 ditudingkan ke arah Boe Kie dan kawan2nya dan diatas
semua kapal penuh dengan orang2 Cong kauw yang memegang obor dan menghunus senjata.
Boe Kie jadi bingung. Tanpa meriam lawan yang berjumlah begitu besar sudah tak mungkin
dilawan. Dengan ilmu silatnya yang tinggi ia sendiri mungkin dapat selamat. Tapi bagaimana
dengan yang lain? Bagaimana dengan In Lee dan Tio Beng yang terluka berat?
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1095
Sekonyong konyong salah seorang berteriak dalam bahasa Tionghoa. “Kim mo Say-ong,
dengarlah! Dua belas Po soe ong dari Cong kauw berada di sini. Kedosaanmu terhadap Cong
kauw sudah diampuni oleh para Po soe ong. Lekas pulangkan anggota Cong kauw yang
berada di kapal itu! Sesudah memulangkan semua orang, kau boleh pergi tanpa diganggu.”
Cia Soen tersenyum. “Cia Soen bukan anak kemarin dulu!” teriaknya. “Begitu lekas kami
lepaskan semua tawanan, apakah meriam meriammu tidak lantas memuntahkan peluru?”
“Kurang ajar!” bentak orang itu dengan gusar. “Kalau kau tidak melepaskan mereka, apakah
meriam kami tidak bisa melepaskan tembakan?”
“Mana Seng li Tay Kie?” tanya Cia Soen. “Lepaskan dia lebih dahulu! Sesudah kamu
melepaskan dia, kita boleh bicara lagi.”
Orang itu segera berunding dengan orang yang berdiri di sekitarnya. Beberapa saat kemudian,
ia berteriak pula. “Tay Kie membuat pelanggaran hebat dan ia akan mendapat hukuman
dibakar hidup-hidup. Urusan ini urusan Cong kauw dan tidak bersangkut paut dengan Beng
kauw di daerah Tiong goan.”
Sesudah berpikir sejenak Cia Soen berkata pula, “Aku ingin mengajukan tiga syarat. Begitu
lekas kalian meluluskan, kami akan segera memulangkan semua orang.”
“Syarat apa?”
“Yang pertama, keduabelas Po soe ong harus berjanji, bahwa mulai kini Cong kauw dan
Tiong goan harus saling mengindahkan dan tak boleh mencampuri urusan masing-masing.”
“Hmm!... Yang kedua?”
“Lepaskan Tay Kie dan antarkan kemari. Bebaskan kedosaannya dan kalian harus berjanji
bahwa persoalan takkan ditimbulkan lagi.”
“Tidak bisa! Ini tidak bisa! Yang ketiga?”
“Sebelum kalian mengiyakan syarat kedua, perlu apa aku memberitahukan yang ketiga?”
“Syarat ketiga sangat mudah. Kalian mengirim sebuah perahu kecil yang harus mengikuti di
belakang kapal ini. Sesudah kami berada dalam jarak sedikitnya lima puluh li dan kami
mendapat kenyataan, bahwa kalian tidak mengejar, kami akan turunkan semua tawanan ke
perahu itu yang boleh segera kembali kepada kalian.”
Orang yang bicara dengan Cia Soen adalah Kie beng Po soe ong, “raja” kedua belas.
Mendengar syarat ketiga ia gusar tak kepalang. Sambil membentak keras, bersama Cie sim Po
soe ong, ia melompat ke kapal Boe Kie.
Boe Kie segera menyambut. Dengan telapak tangannya ia mendorong dada Cie sim ong.
Sebaliknya dari menangkis, “raja” itu balas menyerang. Tangan kirinya menyambar dan coba
mencengkeram kepala Boe Kie. Hampir berbareng, Kie beng ong menerjang dan menyambut
telapak tangan Boe Kie yang sudah hampir menyentuh dada Cie sim ong. Untuk
menghindarkan cengkeraman Cie sim ong, Boe Kie sendiri lantas melompat ke samping.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1096
Boe Kie kaget. Ilmu silat kedua lawan itu merupakan kerja sama yang sangat erat, sehingga ia
seperti menghadapi seorang lawan yang mempunyai empat tangan dan empat kaki.
Kepandaian mereka berdua agaknya masih kalah dengan Sam soe, tapi gerak geriknya sangat
aneh. Terang2 ilmu silat mereka bersamaan dengan Kian koen Tay lo ie, tapi dalam
menggunakannya mereka mengeluarkan perubahan2 luar biasa yang tak dapat diraba.
Sesudah bertempur puluhan jurus, barulah Boe Kie bisa berada di atas angin.
Selagi Boe Kie mengasah otak untuk mengalahkan kedua lawannya, mendadak Sam soe
membentak keras dan melompat pula mereka ke kapal Boe Kie. Sesudah mereka melakukan
Peng seng ong tanpa sengaja, mereka merasa sangat malu dan mereka sekarang mengambil
keputusan untuk merampas pulang “raja” yang keenam itu.
Cepat cepat Cia Soen mengangkat tubuh Peng seng ong dan memutarnya dalam bentuk
lingkaran. Sam soe tentu saja tidak berani sembarangan menyerang. Mereka hanya bisa
berlari lari mengikuti lingkaran itu untuk mencari lowongan guna menyerang.
Beberapa saat kemudian, mendadak terdengar teriakan kesakitan dari Kie beng ong yang
roboh tertendang Boe Kie. Baru saja Boe Kie membungkuk untuk menawannya, Lioe in soe
dan Hwie goat soe sudah menyerang dengan berbareng, sedang Biauw hong soe mendukung
raja itu yang lalu dibawa balik ke kapal sendiri. Sekarang Cie sim ong mengepung Boe Kie
bersama Lioe in see dan Hwie goat soe. Kerja sama mereka tidak seerat kerja sama Sam soe
dan dengan kekuatiran mereka akan keselamatan Kie beng ong, maka sesudah bertempur
beberapa jurus lagi, mereka segera mengundurkan diri.
Sesudah menenteramkan semangatnya, Boe Kie berkata. “Orang orang itu seperti juga pernah
mempelajari Kian Koen tay lo ie. Tapi heran sekali, pukulan-pukulannya berbeda dari ilmu
itu, mereka sungguh sukar dilawan.”
“Pelajaran Kian koen Tay lo ie sebenarnya bersumber dari Persia,” kata Cia Soen. “Tapi
semenjak beberapa ratus tahun yang lalu, sesudah Beng kauw tersiar ke Tionggoan, di Persia
sendiri ilmu itu bahkan tidak dikenal lagi. Menurut pendapatku, apa yang telah dipelajari
mereka hanyalah kulit dari Kian koen tay lo ie. Maka itulah mereka telah mengirim Tay Kie
ke Kong beng teng untuk mencuri kitab ilmu silat tersebut.”
Boe Kie menggelengkan kepala. “Anak berpendapat lain,” katanya. “Memang benar dasar
ilmu silat mereka masih sangat cetek dan benar mereka hanya memiliki kulit dari ilmu Kian
koen tay lo ie. Tapi dalam menggunakannya, mereka dapat menggunakan secara luar biasa
sekali. Di dalam ini pasti terselip satu sebab yang masih belum diketahui kita. Hm!... dalam
Kian koen tay lo ie tingkat ketujuh ada beberapa bagian yang belum dapat dipelajari oleh…
Apa.. apa ini sebab musababnya?... Sehabis berkata begitu, ia bersila dan memejamkan
matanya. Cia Soen dan yang lain lain menunggu tanpa membuka suara. Mereka tidak berani
mengganggu jalan pikiran pemuda itu.
Sekonyong konyong di sebelah kejauhan terdengar suara terompet yang berulang ulang.
Sebuah kapal besar mendatangi dengan perlahan. Di atas kapal kapal itu terpancang dua belas
bendera dengan sulaman benang emas, sedang di atas geladak teratur duabelas kursi dengan
alas kulit harimau. Antara keduabelas kursi itu, sembilan terisi dan tiga kosong. Begitu kapal
berhenti, Cie sim ong dan Kie beng ong lantas melompat naik dan menduduki dua kursi yang
paling akhir. Dengan demikian, hanya sebuah kursi keenam yang masih kosong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1097
Melihat begitu, Tio Beng tersadar. “Pakaian tawanan kita bersamaan dengan pakaian sebelas
orang itu,” katanya. “Apa ia bukan salah seorang dari keduabelas Po soe ong!”
“Kurasa memang begitu,” kata Boe Kie. “Tawanan kita berkedudukan sangat tinggi dan
kupercaya sedikitnya untuk sementara waktu, mereka tak akan berani menyerang….”
Pembicaraannya terputus dengan mendadak, karena ia tiba tiba melihat Sam soe menghampiri
sebelas “raja” itu dengan membawa seorang tangkapan.
Boe Kie dan yang lain terkejut. Mereka mengenali bahwa tangkapan itu, seorang nenek
bongkok yang memegang tongkat, adalah Kim hoa Po po.
Di lain saat, Toe hwie Po soe ong yang berduduk di kursi kedua mengajukan beberapa
pertanyaan dalam bahasa Persia dengan suara keras.
Si nenek miringkan kepalanya. “Apa yang kau katakan?” tanyanya. “Aku tidak mengerti.”
Tie hwie ong tertawa dingin. Ia bangun berdiri dan tangannya menyambar ke kepala si nenek.
Di lain saat, ia sudah memegang segumpal rambut palsu, sedang di atas kepala si nenek
terlihat rambut yang berwarna hitam dan mengkilat. Kim hoa Po po miringkan kepalanya, tapi
tangan kanan Tie hwie ong sudah mampir di mukanya dan membeset selapis topeng. Boe Kie
yang bermata tajam sudah melihat tegas, bahwa topeng yang terbeset itu adalah topeng muka
Kim hoa Po po. Hampir berbareng Kim hoa Po po menyalin rupa. Ia sekarang berubah
menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Jantung Boe Kie memukul keras. “Ah!...
Mukanya sungguh mirip sekali dengan muka Siauw Ciauw,” katanya di dalam hati.
Mendadak ia mendengar suara Tio Beng yang berkata, “Sama betul dengan Siauw Ciauw!”
Sesudah topengnya dilucuti, seraya tertawa dingin si nenek melemparkan tongkatnya. Tie
hwie ong lalu mengajukan pertanyaan pertanyaan dalam bahasa itu juga. Selama tanya jawab
itu berlangsung, paras muka kesebelas “Ong” kelihatannya sangat menyeramkan.
Boe Kie dan yang lain tentu saja tidak mengerti pembicaraan itu.
“Siauw Ciauw Kouwnio, apa yang mereka bicarakan?” tanya Tio Beng.
Air mata Siauw Ciauw lantas saja mengucur, “kau sangat pintar,” katanya. “Kau tahu segala
apa, tapi mengapa kau tidak mencegah Loo ya coe berkata begitu?”
“Mencegah Loo ya coe berkata apa apa?” tanya Tio Beng dengan rasa heran.
“Semula mereka tak tahu siapa adanya Kim hoa Po po”, menerangkan Siauw Ciauw.
“Belakangan mereka tahu bahwa Kim hoa Po po ialah Cie san Liong ong. Tapi mereka tak
pernah menduga bahwa Cie san Liong ong adalah Tay Kie. Po po telah menyamar dalam
waktu lama dengan pengharapan bisa mengelabui mereka. Di luar dugaan tanpa sengaja Loo
ya coe telah membuka rahasia dengan mengajukan syarat supaya mereka melepaskan Seng lie
Tay Kie. Maksud Loo ya coe memang mulia sekali. Tapi dengan begitu Tie hwie Po soe ong
jadi mendusin. Loo ya coe yang tidak bisa melihat tentu saja tak tahu lihaynya penyamaran Po
po yang dapat mengelabui siapapun jua. Tio Kauwnio, kau telah lihat terang terang dengan
matamu. Apa kau tidak bisa mikir sampai disitu?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1098
Inilah tuduhan yang paling tidak enak bagi Tio Beng, sebab nona itu memang tidak punya
niatan kurang baik. Sesudah mendengar cerita Cia Soen, ia tentu saja tahu bahwa Kim hoa Po
po adalah Seng lie Tay Kie. Tapi ia sungguh2 tidak pernah memikir bahwa penyamarannya
Tay Kie belum bisa ditembus oleh orang Persia. Orang-orang Cong kauw itu masih tak tahu,
bahwa si nenek muka jelek sebenarnya Tay Kie.
Bibir Tio Beng sudah bergerak untuk membalas dengan kata2 yang pedas, tapi melihat
kedukaan Siauw Ciauw ia mengurungkan niatnya. Ia menduga pasti, bahwa di antara si nenek
dan gadis cilik terdapat hubugan yang sangat erat dan ia merasa tidak tega untuk menyerang.
“Siauw Ciauw moay moay,” katanya, “jika aku mempunyai niat untuk mencelakai Kim hoa
Po po biarlah aku mati dalam jalan yang tidak benar.”
Cia Soen sendiri sangat menyesal. Ia tak mengatakan sesuatu apa, akan tetapi dalam hatinya
ia telah mengambil keputusan untuk menolong Tay Kie, jika perlu dengan mengorbankan
jiwa sendiri.
Sementara itu sambil menangis Siauw Ciauw berkata, “Mereka mengutuki Po po menikah dan
mengkhianati agama, Po po harus dihukum bakar hidup hidupan.”
“Siauw Ciauw, jangan bingung,” bujuk Boe Kie. “Begitu ada kesempatan, aku akan segera
menerjang untuk menolong Po po.”
Sebab sudah biasa menggunakan panggilan Po po, maka biarpun sekarang Cie san Liong ong
sudah tak memakai topeng ia masih tetap menggunakan istilah itu. Walaupun sudah berusia
setengah tua, dengan mukanya yang asli, kecantikan nyonya itu tak kalah dari Tio Beng dan
Cie Jiak. Awet muda dan kelihatannya seperti kakak Siauw Ciauw.
“Tak mungkin!” kata Siauw Ciauw dengan suara parau. “Kau takkan bisa melawan sebelas po
toe ong dan Sam soe. Kalau kau menerjang, kau seperti juga mengantarkan jiwa. Sekarang
mereka sedang berunding untuk merebut pulang Peng seng ong.”
Hmm!... Andaikata Peng seng ong bisa pulang dengan selamat, mukanya yang tercetak
beberapa huruf sudah tak keruan macam,” kata Tio Beng dengan suara mendongkol.
“Huruf apa?” tanya Boe Kie.
Jawab nona Tio, “Seng hwee leng yang memukul pipinya… agh!...” Tiba2 ia ingat sesuatu.
“Siauw Ciauw! Apa kau mengenal bahasa Persia?”
“Kenal”
“Coba lihat! Huruf apa yang tercetak di pipi Peng teng ong?”
Siauw Ciauw segera memeriksa pipi “raja” itu yang bengkak. Ia melihat tiga baris huruf
Persia yang tercetak di daging Peng teng ong. Ternyata pada setiap Seng hwee leng terdapat
ukiran huruf2 Persia dan pukulan itu sudah mencetak huruf2 tersebut. Tapi sebab hanya
sebagian senjata yang mampir di pipi, maka tak semua huruf tercetak di pipi Peng teng ong.
Sebagaimana diketahui, Siauw Ciauw pernah mengikut Boe Kie masuk di jalan rahasia Kong
Beng teng dan ia pernah menghafal Kian koen Tay lo ie. Maka itu meskipun tak mengerti dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1099
tak pernah melatih diri, ia tak melupakan pelajaran di kulit kambing itu. Begitu membaca ia
berseru,”Ah! Inilah pelajaran Kian koen Tay lo ie.”
“Pelajaran Kian koen tay lo ie?” menegas
Si nona tidak lantas menyahut. Sejenak kemudian barulah ia berkata. “Bukan! Bukan
pelajaran Kian koen tay lo ie. Sekelebatan aku menduga begitu, tapi ternyata bukan. Kalau
diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa, bunyinya seperti berikut, “Menyambut kiri berarti
depan menyambut kanan berarti belakang, tiga kosong tujuh berisi, ada di dalam tidak ada…
langit persegi bumi bulat… Yang disebelah bawah tak bisa dibaca lagi.”
Mendengar itu seperti juga merasa, bahwa diantara gumpalan awan awan hitam mendadak
berkelebat sinar kilat, tapi sesudah berkelebatnya sinar itu, keadaan kembali menjadi gelap.
Akan tetapi biar bagaimanapun jua sinar itu memberi harapan kepadanya. Bagaikan orang
linglung, ia menghafal “… menyambut kiri berarti depan, menyambut kanan berarti
belakang.” Menggunakan seantero kekuatannya otak dan kecerdasannya, ia berusaha untuk
mempersatukan beberapa baris kauw koat (teori ilmu silat) itu dengan pelajaran Kiam koen
tay lo ie yang sudah dimilikinya. Selang beberapa saat, ia merasa seperti sudah berhasil, tapi
belum berhasil. Ia merasa seperti sudah menembus halimun tapi kembali menemui rintangan.
Mendadak Siauw Ciauw berteriak, “Thio Kongcoe, awas! Mereka sudah mengeluarkan
perintah untuk menyerang. Sam soe akan menyerang kau sedangkan Kin sioe jin Jiok dan
Kong tek ong akan coba merebut Peng teng ong.”
Mendengar isyarat si nona, Cia Soen segera memeluk Peng teng ong dan melontarkan To
liong to ke arah Boe Kie. “Babat saja dengan To liong to!” katanya.
Tio Beng pun segera menyerahkan Ie thian kiam kepada Cie Jiak. Mereka sekarang berada
dalam satu perahu, nasib setiap orang berarti nasib seorang. Boe Kie menyambut golok
mustika itu dan menyisipkan di pinggangnya. Tapi mulutnya terus berkata kata… “tiga
kosong tujuh berisi ada di dalam tidak ada…”
“Anak tolol!” bentak Tio Beng. “Sekarang bukan waktu belajar silat. Kau harus bersiap!”
Hampir berbareng Kim sioe Jien jiok dan Kong tek ong melompat dan menyerang Cia Soen.
Sebab kuatir melukai Peng teng ong, maka dalam usaha merebut “raja” itu terpaksa merubah
serangannya dengan tangan kosong. Dengan mencekal Ie thian kiam Cie Jiak mendampingi
Cia Soen. Pada detik detik berbahaya, si nona menikam Peng teng ong sehingga ketiga “raja”
itu terpaksa merubah serangannya untuk meluputkan Peng teng ong dari tikaman.
Di lain pihak Boe Kie sudah bertempur melawan Sam soe. Sesudah mendapat pengalaman
dalam beberapa pertempuran mereka berempat tidak berani berlaku sembrono dan berkelahi
dengan hati-hati. Sesudah lewat beberapa jurus tiba-tiba Hwie goat ong memukul dengan
sebuah “Leng”. Menurut peraturan ilmu silat, senjata itu akan mampir di pundak kiri Boe Kie.
Tapi di luar dugaan, waktu menyambar di tengah udara Seng hwee leng tersebut mendadak
merubah haluan secara luar biasa dan menghantam belakang leher Boe Kie.
Boe Kie merasa kesakitan hebat, matanya berkunang kunang. Tapi karena pukulan itu,
otaknya tiba-tiba menjadi terang. “Menyambut kiri berarti belakang…” pikirnya. Sesaat
kemudian, tanpa terasa ia berteriak. “Sekarang aku mengerti! Benar!.... begitu…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar