Selasa, 17 November 2009

Tiba-tiba Boe Kie ingat sesuatu. Ia ingat perbuatan mendiang ibunya, In So so yang dengan
menyamar sebagai ayahnya telah membunuh beberapa pendeta Siauw lim dengan jarum
beracun sehingga ayahnya dituduh yang tidak-tidak. Tapi bentuk jarum emas Peh bie kauw
berbeda dari jarum perak yang digunakan untuk membinasakan Coan kang Tiangloo dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1335
racunnya pun tidak sama. Menurut dugaannya, racun jarum perak itu adalah “Sim it tiauw”
(jantung satu kali lompat) dari semacam serangan beracun. “Sim it tiauw” berarti bahwa
begitu racun itu bertemu dengan darah, jantung dari orang yang kena racun hanya bisa
berdenyut satu kali lagi. Tak perlu diragukan lagi bahwa si pembokong adalah konco Goan tin
yang coba menutup mulut Coan kang Tiangloo waktu tetua Kay pang itu mau menyebutkan
nama Goan tin.
Perintah Kong tie tidak diladeni, sejumlah pendeta hanya menyambut dengan, “O mie to
hoed” sambil merangkapkan tangan mereka.
“Siapa yang membunuh Soe Pangcoe sudah diketahui oleh berlaksa murid Kay pang!” teriak
Ciang pang Liong tauw, “Kalau kamu mau menutup mulut kami, kamu harus membunuh
semua anggota Kay pang. Hweeshio yang membunuh Pangcoe kami adalah Goan tin….”
Tiba-tiba Cian poen Liong tauw melompat seraya mengibaskan mangkok. Selagi kawannya
bicara, Ciang poen Liong tauw bersiaga. Begitu melihat berkelebatnya sinar putih, ia
melompat. Terlambat sedikit saja kawan itu tentu mati.
Hamper bersamaan, cepat luar biasa Kong tie melompat ke arah sembilan pendeta Tat motong
dan menendang roboh salah seorang pendeta tua. Ia mencengkram batang leher pendeta
itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Kong jie, kau!” bentaknya. Ia merobek jubah pendeta itu dan melontarkannya di tanah.
Dipinggang pendeta itu terdapat sebatang tabung kecil yang terbuat dari tembaga dan didalam
tabung itu dipasang per yang bisa menendang kalau alatnya dipijit sehingga dalam
melepaskan jarum orang tak usah mengayunkan tangan.
Dalam gusar, duka dan kagetnya, Ciang pang Liong tauw menyapu dengan toyanya dan
kepala Kong jie segera hancur. Sebagai pendeta yang sama tingkatannya (tingkatan “Kong”)
dengan keempat Seng ceng, Kong jie memiliki kepandaian tinggi. Tapi karena jalan darahnya
sudah ditotok Kong tie, maka ia tak berdaya meloloskan diri dari toya Ciang pang Liong
tauw.
Kong tie dongkol karena kekasaran tetua Kaypang itu. Dengan sorot mata gusar ia mengawasi
Ciang pang Liong tauw. Keadaan berubah kalut, banyak orang berteriak-teriak.
Mendadak dari luar masuk empat orang pendeta wanita yang masing-masing memegang
hudtim (kebutan). Salah seorang berteriak, “Cioe Cie Jiak, Ciang boen-jin Go bie-pay dengan
mengajak murid-murid Go bie, mengunjungi Koen boen Hong thio dari Siauw lim sie!”
“Masuklah!” kata Kong tie. Dengan sikap tenang seolah-olah tidak terjadi apapun jua, ia
keluar menyambut dengan diiringi oleh pendeta-pendeta Tat mo-tong yang sekarang
berjumlah delapan. Sesudah memberi hormat, keempat pendeta wanita itu memutar badan dan
berjalan keluar lagi untuk menyambut pemimpin mereka.
Begitu mendengar nama “Cioe Cie Jiak”, jantung Boe Kie memukul keras. Ia melirik Tio
Beng yang juga sedang mengawasi dirinya.
Rombongan Go bie-pay tidak segera masuk ke lapangan. Sesudah Kong tie keluar
menyambut, barulah mereka maju dalam barisan yang rapi. Barisan sebelah depan terdiri dari
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1336
delapan puluh atau sembilan puluh murid Go bie-pay yang mengenakan baju warna hitam.
Sebagian besar adalah pendeta wanita yang mencukur rambut. Sesudah mereka dalam jarak
kira-kira setombak mengikuti seorang wanita muda yang memakai baju warna hijau. Wanita
yang sangat cantik itu tidak lain adalah Cioe Cie Jiak. Dengan rasa malu Boe Kie mengawasi
muka nona Cioe yang pucat dan diliputi sinar kedukaan. Dibelakang Cie Jiak, barulah murid
pria yang jumlahnya duapuluh lebih dan mengenakan jubah panjang warna hitam. Setiap
murid pria membawa kotak kayu dalam berbagai ukuran, ada yang panjang, ada yang pendek.
Murid Go bie-pay tidak membawa senjata terang-terangan tapi dapat diduga bahwa kotakkotak
itu berisi senjata.
Sesudah semua orang Go bie duduk, Boe Kie menghampiri Cie Jiak. Sambil menyoja ia
berkata, “Cioe Ciecie, Thio Boe Kie memohon maaf.”
Belasan murid wanita bangun serentak dan mengawasi Boe Kie dengan sorot mata gusar.
“Thio Kauwcoe, untuk apa kau memberi hormat?” tanya si nona dengan suara tawar.
Sesudah menetapkan hatinya, Boe Kie berkata pula, “Cie Jiak, hari itu karena perlu menolong
Gie hoe, aku telah berbuat sesuatu yang tidak pantas dan aku merasa sangat malu dan
menyesal.”
Melihat diantara murid Go bie yang berdiri terdapat Cenghoei yang lengannya bunting, ia
maju dan menyoja. “Thio Boe Kie berdosa besar dan dia rela menerima hukuman,” katanya.
Ceng hoei memutar badan dan menolak penghormatan itu.
“Kudengar Cia Tayhiap jatuh ke tangan Siauw lim sie,” kata Cie Jiak. “Thio Kauwcoe
seorang gagah luar biasa, Thio Kauwcoe tentu sudah berhasil menolong Cia Tayhiap.”
Muka Boe Kie berubah merah. “Para pendeta Siauw lim sie berkepandaian tinggi dan
Bengkauw sudah menderita kekalahan dalam satu pertempuran,” jawabnya. “Karena
pertempuran itu, kakekku meninggal dunia.”
“Sungguh sayang! In Loo enghiong seorang gagah yang jarang tandingannya,” jawabnya.
Melihat sikap dan perkataan Cie Jiak yang sangat tawar, Boe Kie merasa jengah bercampur
dongkol. Tapi mengingat perbuatannya sendiri pada hari pernikahan, ia menahan sabar.
“Nanti aku ingin berusaha untuk menolong Giehoe,” katanya. “Dengan mengingat hubungan
dulu, kuharap kau sudi memberi bantuan.”
Sesudah berkata begitu, mendadak ia ingat bahwa selama kurang lebih setengah tahun,
kepandaian si nona mendapat kemajuan luar biasa. Dalam ruangan upacara pernikahan
bahkan orang seperti Hoan Yauw kena dipukul olehnya. Ia ingat juga bahwa Tio Beng yang
mengenal berbagai ilmu silat hampir kena dibinasakan. “Kalau dia sudi membantu mungkin
sekali aku akan bisa pecahkan Kim kong Hok mo coan,” pikirnya. Berpikir begitu hatinya
girang dan ia berkata dengan suara penuh harapan. “Cie Jiak, aku ingin minta
pertolonganmu.”
Paras muka Cie Jiak mendadak berubah. “Thio Kauwcoe,” katanya. “Kuharap kau tahu sopan
sedikit, antara lelaki dan perempuan terdapat larangan tertentu.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1337
“Apakah tak bisa kau menggunakan istilah dulu?” Ia menggapai ke belakang dan berkata
pula. “Ceng Soe, mari! COba kau beri penjelasan kepada Thio Kauwcoe.”
Seorang pria brewokan menghampiri dan berkata sambil menyoja. “Thio Kauwcoe selamat
bertemu!” Boe Kie mengenali bahwa suara itu memang suara Ceng Soe yang menyamar.
“Song Toako, selamat bertemu,” jawabnya sambil membalas hormat.
Ceng Soe tersenyum. “Sepantasnya aku harus menghaturkan terima kasih kepadamu,”
katanya. “Hari itu ketika Thio Kauwcoe mau menjalankan upacara pernikahan dengan
istriku….”
“Apa?” putus Boe Kie. Ia terkesiap ketika mendengar perkataan “istriku”
“Aku ingin mengatakan bahwa pernikahanku pada hakikatnya terjadi berkat bantuan
Kauwcoe,” jawabnya.
Jawaban itu bagaikan halilintar di siang bolong. Boe Kie terpaku, matanya berkunangkunang.
Selang beberapa saat lamanya ia merasa tangannya ditarik orang. “Thio Kauwcoe,
mari!” kata orang itu.
Boe Kie menoleh. Orang yang menarik tangannya adalah Han Lim Jie. Dengan paras muka
duka bercampur gusar, Han Lim Jie berkata, “Thio Kauwcoe, Kauwcoe kali ini adalah
seorang mulia. Hari itu sesudah terjadi salah paham tapi dia segera menikah dengan
e…hu…hu” Ia ingin mencaci Song Ceng Soe tapi mengurungkan niatnya sebab memandang
muka Cie Jiak.
Boe Kie masih berdiri terpaku. Ia merasa sakit, lebih sakit daripada tikaman pedang Cie Jiak
di atas Kong beng teng. Ia mencintai Tio Beng tapi iapun menganggap Cie Jiak sebagai
istrinya.
Hari itu demi menolong ayah angkatnya ia mengikuti Tio Beng. Ia menduga bahwa nona Cioe
yang beradat halus akan memaafkannya jika ia sudah menjelaskan penyebab tindakannya itu
dan meminta maaf. Ia tak pernah menduga bahwa dalam gusarnya Cie Jiak segera menikah
dengan Song Ceng Soe.
Sementara itu Ceng Soe sudah duduk disamping Cie Jiak. Sambil tersenyum ia berkata,
“Waktu menikah kami tidak mengundang orang dan yang memberi selamat hanyalah para
murid Go bie-pay. Dilain hari aku akan mengundang kau minum arak kegirangan.”
Boe Kie ingin menghaturkan terima kasih tapi mulutnya terkancing.
Mendengar ejekan itu, Han Lim Jie menarik tangan pemimpinnya. “Kauwcoe,” katanya.
“Jangan ladeni manusia itu!”
Ceng Soe tertawa terbahak-bahak. “Han Toako, kaupun harus minum arak kegirangan,”
katanya.
Han Lim Jie meludah, “Aku lebih suka minum kencing kuda daripada arak racunmu!”
bentaknya dengan mata melotot.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1338
Boe Kie tahu bahwa pemuda she Han itu beradat polos dan berangasan. Sebagai tamu, tidak
baik jika sampai terjadi bentrokan. Maka itu, sambil menghela nafas ia menarik tangan Han
Lim Jie dan balik ke gubuk Bengkauw.
Waktu itu Ciang pang Liong tauw sedang bercekcok dengan seorang pendeta Siauw lim sie.
Pembicaraan antara Boe Kie, Cie Jiak dan Ceng Soe dilakukan dengan suara perlahan di satu
sudut gubuk Go bie-pay sehingga tidak menarik perhatian orang yang sedang memperhatikan
pertengkaran antara Siauw lim-pay dan Kay pang.
“Aku sudah mengatakan bahwa Goan tin Soeheng dan Tan Yoe Liang tidak berada di kuil
kami,” kata seorang pendeta jubah merah. “Meninggalnya Coan kang Ciang loo sudah diganti
dengan Kong jie Soesiok. Mau apa lagi kau?”
“Siapa percaya omonganmu!” bentak Ciang pang Liong tauw. “Kami baru percaya setelah
menggeledah kuilmu.”
Pendeta itu tertawa dingin. “Kau mau menggeledah Siauw lim sie?” tanyanya dengan suara
memandang rendah. “Perkumpulan semacam Kay pang belum tentu bisa menggeledah kuil
kami!”
“Kurang ajar!” teriak Ciang pang Liong tauw. “Kau memandang enteng kepada Kay pang ya?
Baiklah, sekarang aku minta pelajaran.”
Panasnya suasana memuncak tapi Kong tie masih tetap berpeluk tangan.
Tiba-tiba Soema Cian Cong berteriak, “Hei! Dari tempat jauh kami datang ke sini bukan
untuk menyaksikan pertengkaran antara Siauw lim pay dan Kay pang!”
“Benar,” sambung Hee Cioe. “Ganjelan antara Kay pang dan Siauw lim-pay boleh ditunda
sementara waktu, kita harus lebih dulu membersihkan penjahat Cia Soen.”
“Mulutmu jangan terlalu busuk!” bentak Ciang pang Liong tauw. “Biar bagaimanapun juga,
Cia Tayhiap adalah salah seorang anggota dari keempat Hoe kauw Hoat ong.”
“Kalau kau takut pada Bengkauw, aku tak takut,” balas Hee Cioe. “Cia Soen lebih jahat dari
anjing. Apa aku harus menamakan dia seorang pendekar?”
Mendadak Yo Siauw melesat dari tempat duduknya dan tahu-tahu ia sudah berada di tengah
lapangan. Dengan menyoja ia berkata, “Aku Kongbeng Cosoe dari Bengkauw. Aku
mengutarakan pendapatku bahwa Cia Say ong membunuh orang memang harus diakui
sebagai satu kesalahan. Tapi kita orang-orang Kangouw setiap hari hidup diujung senjata,
diantara orang-orang yang berada di sini, siapa yang belum pernah membunuh sesama
manusia? Hee Loo enghiong, apa seumur hidupmu kau belum pernah mengambil jiwa
manusia?”
Jaman itu, akhir kerajaan Goan adalah jaman kalut dan pemberontak melawan penjajah.
Orang-orang Rimba Persilatan yang terlibat dalam kalangan Kangouw terpaksa membunuh
orang kalau tidak mau dibunuh. Yang tangannya dapat dikatakan bersih hanyalah pendeta
Siauw lim-pay, pendeta perempuan Go bie-pay atau orang-orang Rimba Persilatan yang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1339
menjauhkan diri dari kancah pergulatan. Sebagai jagoan Soecoan timur, Hee Cioe banyak
membunuh orang. Mendengar pertanyaan Yo Siauw, ia tertegun beberapa saat barulah ia bisa
menjawab.
“Orang jahat pantas dibunuh tapi orang baik tidak boleh dibunuh secara membabi buta. Cia
Soen manusia jahat luar biasa, aku ingin sekali mencincang dia. Huh huh! Orang she Yo, kau
juga bukan manusia baik.”
Mendengar itu, dari antara rombongan Bengkauw terdengar suara seseorang, “Hee Cioe,
menurut pendapatmu aku manusia baik apa manusia jahat?”
Hee Cioe menoleh ke arah suara, yang bicara seseorang berkepala lancip, mulut lancip dan
muka pucat pasi. “Siapa kau?” bentaknya. “Karena kau anggota Mokauw kau juga tentu
bukan manusia baik-baik.”
“Hee heng, kau tak kenal dia?” tanya Soema Cian Cong, “Dia Cengek Ho kong, salah seorang
dari keempat Hoekauw Hoat ong Mokauw.”
“Fui! Siluman tukang isap darah!” seru Hee Cioe.
Mendadak, mendadak saja terlihat kelebatan bayangan dan Wie it siauw sudah berhadapan
dengan Hee Cioe. Jarak mereka berdua ada belasan tombaki.
Entah bagaimana jarak itu bisa dilampaui dalam sekelebatan. Dilain detik Wie it siauw sudah
mengirim empat tamparan di muka Hee Cioe dan totokan sikut dikempungan. Sebenarnya
Hee Cioe bukan sembarang orang, kalau bertempur mungkin ia bisa dikalahkan Wie it siauw
sesudah limapuluh atau enampuluh jurus, ia roboh tanpa bisa melawan karena ilmu ringan
tubuh Ceng ek Hek ong yang sangat luar biasa.
Diantara seruan kaget dari para hadirin, dari gubuk Bengkauw tiba-tiba berkelebat lagi satu
bayangan putih. Bayangan itu tidak secepat Wie it siauw tapi toh cukup cepat. Begitu orang
itu berhadapan dengan Hee Cioe, selembar karung terbuka dan menelungkup tubuh jagoan
Soecoan itu. Sekarang semua orang bisa lihat bahwa dia itu adalah Po tay Hweshio swee poet
tek. Sambil menggendong karungnya dan tertawa ha ha hi hi ha ha, ia berkata, “Manusia baik!
Kau manusia baik! Aku akan bawa kau pulang dan perlahan-lahan masak dagingmu!”
Sambil berkata begitu dengan tenang ia kembali ke tempat duduknya.
Semua orang tertegun.
Selang beberapa saat, beberapa belas orang yaitu kawan-kawan dan murid-murid Hee Cioe
barulah menghampiri rombongan Bengkauw dengan sikap mengancam.
Swee poet tek membuka karung dan berkata sambil tertawa, “Kamu semua kembalilah!
Setelah pertemuan bubar, aku akan bebaskan dia. Kalau kamu tidak dengar aku akan
mengencingi dia. Kamu percaya atau tidak?”
Orang-orang itu percaya bahwa Swee poet tek akan membuktikan ancamannya. Apabila
sampai terjadi kejadian itu, untuk menghilangkan malu, sebagai seorang jago Hee Cioe akan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1340
bunuh diri. Maka itu, sesudah saling mengawasi sambil menahan marah mereka kembali ke
tempatnya masing-masing.
Sesudah menyaksikan kepandaian kedua jago Bengkauw, banyak orang kuatir. Mereka
merasa andaikan Cia Soen dibinasakan maka satu pertumpahan darah tidak akan bisa dicegah
lagi.
Sementara itu, dengan tangan kiri memegang cangkir dan tangan kanan mencekal poci arak,
Soema Cian Cong berjalan ke tengah lapangan dengan langkah sempoyongan. “Hari ini
benar-benar ramai,” katanya, “Ada yang mau membunuh Cia Soen, ada pula yang mau
menolong. Tapi apa benar Cia Soen berada di Siauw lim sie aku sendiri merasa ragu. Kong tie
Taysoe sebaiknya kau segera keluarkan Cia Soen agar kita bisa melihat mukanya. Sesudah itu
yang mau membunuh dia dan yang mau menolong boleh mengadu kepandaian. Ha ha!
Dengan demikian, bukankah kita bakal menyaksikan keramaian yang sangat menarik hati?”
Usul itu disambut dengan sorak sorai oleh para hadirin.
Melihat sambutan itu, Yo Siauw berpikir, “Cia Say ong terlalu banyak musuhnya. Kerjasama
antara Bengkauw dan Kay pang belum tentu bisa menghadapi orang-orang itu. Aku harus
menggunakan jalan dari sudut To liong to.” Berpikir begitu ia segera berkata, “Hari ini para
eng hiong berkumpul di Siauw lim pertama karena ada perhitungan yang belum dibereskan
dan kedua…hehe…mungkin karena ingin lihat bagaimana bentuk To liong to….”
“Jika kita ikuti usul Soema Sianseng maka kita ramai-ramai bertempur sekaligus dalam
rombongan. Apabila diadakan pertempuran begitu siapakah yang akhirnya memiliki To liong
to?”
Semua orang menganggap perkataan itu sangat beralasan. Mereka manggut-manggutkan
kepala. Diantara beberapa ribu tamu itu yang benar-benar sakit hati pada Cia Soen semuanya
hanya kira-kira seratus orang, yang lain begitu dengar pertanyaan Yo segera goyah hatinya.
Seseorang yang jenggotnya hitam berdiri dan bertanya, “Apa Yo Cosoe tahu dimana adanya
To liong to?”
“Tidak tau,” jawabnya. “Mengenai itu kita harus tanya Kong tie Taysoe.”
Kong tie tidak buka suara. Ia hanya menggelengkan kepala sehingga banyak orang merasa
tidak puas.
Seseorang setengah tua yang mengenakan jubah panjang warna kuning bangkit dan berkata,
“Kalau Kong tie Taysoe tidak tau, Cia Say ong tentu tahu. Sekarang kita minta agar dia
dikeluarkan untuk ditanya dan sesudah itu lalu diadakan pertandingan. Siapa yang menang,
dia menjadi Boe lim Cie coen (yang termulia dalam Rimba Persilatan). Siapapun juga yang
memegang To liong to harus menyerahkan golok mustika kepada Boe lim Cie coen itu.
Menurut pendapatku, kita harus lebih dulu menetapkan hal ini supaya tidak terjadi
pertengkaran dibelakang hari. Bagaimana pandapat kalian?”
Boe Kie segera mengenali bahwa yang bicara adalah salah seorang dari ketiga tokoh Ceng
hay-pay yang pernah menyerang tiga pendeta Siauw lim dipohon siong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1341
“Usul itu tak beda dari pah lai tay,” kata Soema Cian Ciong. “Kurasa tidak begitu tepat.” (Pah
lai tay – Adu silat diatas panggung)
“Dimana tidak tepatnya?” tanya si jubah kuning. “Kalau bukan adu silat apa mau adu minum
arak? Apa tuan mau gunakan bahwa siapa yang tidak mabuk atau siapa yang mabuk tapi tidak
mati dialah yang akan jadi Boe lim Cie coen?” (Gelar Soema Cian Ciong ialah “Coet poet
sie” atau “Mabuk arak tapi tidak mati”)
Sindiran itu disambut dengan gelak tawa oleh para hadirin.
“Tidak, tidak!” kata Soema Cian Ciong sambil menuang arak ke cangkir. “Dalam perebutan
gelar Cioe lim Cie coen (yang termulia dalam Rimba Arak) mungkin aku masih bisa ada
harapan.” Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi. “Dengan mengajukan usul itu, tuan tentu
memiliki kepandaian tinggi. Mataku lamur dan tidak mengenal tuan. Bolehkah aku tahu she
dan nama tuan yang mulia?”
“Aku Yap Tiang Ceng dari Ceng hay-pay. Dalam hal minum arak dan mengadu lidah aku
tidak menandingi tuan.” Dengan kata lain maksudnya adalah dalam ilmu silat ia lebih unggul.
Soema Cian Ciong mengerutkan alis dan miringkan kepala, “Ceng hay-pay?” tanyanya, “Aku
belum pernah dengar, Yap Tiang Ceng juga belum pernah dengar!”
Itu hinaan dan Yap Tiang Ceng dongkol sekali, “Kalau tuan anggap adu silat tidak tepat, adu
apakah yang lebih tepat?” katanya dengan gusar.
Jawab Soema Cian Ciong. “Hm…dulu waktu aku berada di Cee lam hoe….”
Mendengar tarik urat itu banyak orang habis kesabarannya, “Cioe poet sie, kau mundurlah!”
teriak seseorang.
“Yang penting soal Cia Soen dan To liong to!” teriak yang lain.
“Kong tie Siansoe, sebagai tuan rumah kau harus utarakan pikiran!” kata seseorang pula.
Seorang pendeta Tat mo tong yang berada dibelakang Kong tie bangun berdiri dan berkata,
“Siauw lim-pay menjadi tuan rumah tapi Hong thio mendadak sakit, kami merasa menyesal
dan minta maaf. Soal Cia Soen dan To liong to adalah dua soal yang bisa diurus sekaligus.
Menurut pendapat loolap, usul Yap Siecoe dari Ceng hay-pay adalah tepat, setiap orang
memperlihatkan kepandaiannya, Cia Soen dan To liong to diserahkan kepada orang yang
paling unggul. Dengan demikian semua orang merasa puas. Bukankah jalan ini jalan yang
paling adil?”
Dengan berbisik Boe Kie tanya Pheng Eng Giok siapa pendeta itu.
“Aku tak tahu!” jawabnya. “Pendeta itu tidak ikut menyerang Kong beng teng dan juga tidak
ikut ditawan oleh Koencoe Nionio. Tapi dengan berani bicara mendahului Kong tie, ia pasti
mempunyai kedudukan yang tinggi didalam Siauw lim sie.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1342
“Kuduga dia teman Goan tin,” bisik Tio Beng. “Mungkin sekali Kong boen Hong thio sudah
jatuh ke tangan Goan tin dan Kong tie Taysoe berada dibawah kekuasaan pemberontak, lihat
saja sikapnya yang sangat berduka.”
Hati Boe Kie berdebar-debar, “Pheng Soehoe bagaimana pendapatmu?” tanyanya.
“Dugaan Koencoe Nionio rasanya tepat. Dalam Siauw lim sie banyak sekali orang pandai
kalau benar Goan tin mengacau terang-terangan, nyalinya benar-benar tak kecil.”
“Goan tin sudah lama siap,” kata Boe Kie. “Dan ingin menjadi Ciang boen Hong thio.”
(Ciang boen Hong thio – Pemimpin Partai dan kepala kuil Siauw lim sie)
“Ciang boen Hong thio mungkin masih belum cukup,” kata Tio Beng.
“Siauw lim-pay adalah partai terutama dalam Rimba Persilatan,” kata Boe Kie. “Dengan
menjadi Ciang boen Hong thio, dia sudah menduduki tempat yang paling tinggi, tidak bisa
lebih tinggi lagi.”
“Bagaimana dengan Boe lim Cie coen?” tanya nona Tio. “Bukankah Boe lim Cie coen lebih
tinggi dari Ciang boen Hong thio Siauw lim-pay?”
Boe Kie tertegun, “Apa benar dia punya niatan itu!”
“Boe Kie Koko, karena Cioe Ciecie menikah dengan orang lain, kau jadi linglung,” kata si
nona sambil tertawa. “Kau tidak bisa menggunakan otakmu lagi.”
Mendengar tebakan yang jitu itu, muka Boe Kie segera berubah merah. Diam-diam ia
mengutuk dirinya sendiri yang lantaran memikirkan wanita cantik sudah lupa tugas menolong
ayah angkatnya.
Sesudah menentramkan pikirannya ia bertanya, “Beng moay, menurut kau siasat apa yang
dijalankan Goan tin?”
Jawab si nona, “Goan tin adalah orang yang sangat banyak akalnya….”
“Koencoe Nionio kepintaranmu tak kalah dengan Goan tin,” putus Cioe Tian.
“Kau memuji terlalu tinggi.”
“Tidak terlalu tinggi….”
Cioe heng memotong Pheng Eng Giok, “Jangan putuskan omongan Koencoe.”
“Kau sendiri jangan putuskan omonganku!” bentak Cioe Tian dengan dongkol.
Pheng Eng Giok tersenyum dan tidak berkata apa-apa lagi. Kalau ia bersuara, pertengkaran
tentu menjadi panjang.
“Memang dugaanku kalau Goan tin hanya bertujuan untuk merebut kedudukan Ciang boen
Hong thio, ia tak perlu mengadakan pertemuan besar ini,” kata Tio Beng. “Sesudah Cia
Tayhiap jatuh ke tangannya perlu apa ia menganjurkan pertandingan dengan orang gagah?
Boe Kie Koko, kalau kita bicara tentang ilmu silat di jaman ini mungkin tak ada orang yang
bisa menandingimu. Kenyataan ini tidak bisa tidak diketahui Goan tin. Maka itu tidaklah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1343
mungkin dia mengatur pertemuan ini untuk membiarkan kau merebut gelar Boe lim Cie coen,
memiliki To liong to dan membebaskan Cia Tayhiap.”
Boe Kie, Pheng Eng Giok dan Cioe Tian mengangguk. “Tapi bagaimana pendapatmu?” tanya
Boe Kie, “Siasat apa yang dijalankan Goan tin?”
Ketika itu Yo Siauw sudah kembali. “Aku pun anggap Goan tin mempunyai tujuan yang jahat
dalam menjalankan tipu muslihatnya. Goan tin musuh besar agama kita dan Koencoe Nionio
pernah menjadi musuh kita,” kata Cioe Tian. “Goan tin banyak akalnya. Mereka berdua kirakira
tak banyak bedanya.”
Tio Beng tersenyum. “Cioe Sianseng,” katanya. “Perkataan memang beralasan, sekarang mari
kita renungkan. Kalau aku jadi Goan tin, apa yang akan kuperbuat? Hm…pertama, aku akan
membujuk supaya Kong boen Hong thio mengundang orang-orang gagah dikolong langit
untuk berkumpul di Siauw lim sie, Kong boen Hong thio seorang beribadat, berhati murah
dan berilmu tinggi. Ia sebenarnya tak mau banyak urusan. Tapi kutahu bahwa untuk
membujuknya aku hanya perlu menyebutkan nasib Kong kian dan Kong Seng ceng.
Mengingat kecintaan kedua saudara seperguruannya itu, Kong boen Hong thio pasti akan
mengiyakan. Disamping itu, apabila Siauw lim sie membunuh Cia Tayhiap, sakit hati
Bengkauw besar bagaikan lautan. Dengan mengandalkan tenaga sendiri belum tentu Siauw
lim sie bisa melawan serangan Bengkauw. Dengan mengumpulkan orang-orang gagah
dikolong langit, Bengkauw tentu tidak bisa membunuh semua orang yang berjumlah beberapa
ribu.”
Boe Kie dan yang lain manggut-manggutkan kepala.
“Dalam Eng hiong Tayhwee aku sendiri takkan muncul,” kata nona Tio lagi. “Aku menyuruh
orang-orangku melepas umpan guna mengadu domba. Umpamanya Cia Tayhiap dan To liong
to. Didalam pertempuran tak peduli kalah atau menang sebagian tokoh Bengkauw pasti akan
celaka dan tenaga Bengkauw akan berkurang.”
“Benar, hal itu sudah dipikirkan olehku,” kata Boe Kie. “Tapi budi Giehoe berat bagaikan
gunung dan saudara-saudara dan Giehoe mempunyai hubungan persaudaraan selama puluhan
tahun. Mana bisa kita mengawasi dengan berpeluk tangan saja? Hai!...Baru saja berapa hari
kita dating disini kakek sudah meninggal dunia. Dengan bersembunyi di tempat gelap bangsat
Goan tin tentu bertepuk tangan.”
Tio Beng mengangguk. “Ya,” katanya, “Memang begitu, gelar ahli silat nomor satu dikolong
langit kebanyakan akan jatuh dalam tangan Thio Kauwcoe. Pendeta Siauw lim akan berkata
Thio Kauwcoe sudah berhasil mengalahkan para orang gagah dan kami memberi selamat,
kami menyerahkan Cia Tayhiap kepada Thio Kauwcoe.”
“Silakan Kauwcoe pergi ke puncak bukit dibelakang kuil kami untuk menyambutnya. Dengan
seorang diri, Thio Kauwcoe harus memecahkan Kim kong Hok mo coan. Kalau ada yang mau
membantu, teman-teman Goan tin pasti akan berkata Thio Kauwcoe yang sudah bisa
menindih orang gagah dikolong langit tidak berkaitan dengan orang luar. Tuan sebaiknya
jangan ikut campur, dalam merebut gelarnya, meskipun tidak sampai terluka, tenaga Thio
Kauwcoe pasti sudah berkurang banyak. Bagaimana ia bisa melawan ketiga pendeta itu?
Buntutnya Cia Tayhiap tidak dapat ditolong dan ia sendiri mati diantara pohon-pohon siong
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1344
tua. Jenazah Thio Kauwcoe, pendekar besar disuatu jaman hanay ditemani rembulan dan
angin dingin. Apa siasat itu tidak lihay?”
Mendengar keterangan itu, semua orang terkejut. Mereka merasa bahwa dugaan si nona
bukan tebakan kosong. Boe Kie orang yang beradat keras, biar bagaimana sukarpun ia pasti
berusaha untuk terus menolong Cia Soen. Dalam usaha itu ia rela mengorbankan jiwa.
Andaikan mesti mendaki gunung golok atau mencebur ke dalam kuali minyak mendidih, ia
pasti tak akan mundur.
Sesudah menghela napas, Tio Beng berkata, “Dengan demikian Bengkauw akan hancur lebur.
Sesudah itu Goan tin akan maju lebih jauh, ia akan meracuni Kong boen Hong thio dan
melimpahkan dosa di atas kepala Kong tie Taysoe. Tak sukar menjalankan siasat ini. Asal ia
membuat bukti palsu, para pendeta Siauw lim pasti akan percaya. Setelah Kong boen dan
Kong tie dirobohkan dengan bantuan teman-teman, ia tentu akan diangkat menjadi Hong thio.
Sesudah menjadi Hong thio ia akan memerintahkan penyerangan terakhir pada sisa Bengkauw
dan Bengkauw akan musnah dari bumi. Saat itu gelar jago nomor satu dikolong langit akan
jatuh pada dirinya. Kalau To liong to tak muncul lagi ya sudah saja. Tapi apabila golok
mustika itu kelihatan dalam kalangan Kangouw, semua orang menyetujui bahwa pemiliknya
yang sah adalah Goan tin Seng ceng Hong thio dari Siauw lim sie. Jika orang yang memegang
golok itu tak menyerahkannya kepada Goan tin, dia mungkin tak bisa hidup selamat dalam
waktu lama.”
Tio Beng bicara dengan bisik-bisik dan hanya bisa didengar oleh beberapa orang. Tapi
sesudah si nona selesai bicara, Cioe Tian segera menepuk lututnya keras-keras dan berkata
dengan suara nyaring. “Benar-benar siasat yang hebat!” Banyak orang menengok dan
mengawasi omongan Bengkauw.
“Siasat apa?” tanya Soema Cian Ciong, “Apa boleh loohoe tahu?”
“Tak bisa,” jawab Cioe Tian, “Aku ingin mengadu domba orang-orang gagah dikolong langit
agar mereka saling bunuh. Siasatku itu tak bisa diberitahukan kepada siapapun juga. Kalau
rahasia bocor, tak manjur lagi.”
“Bagus! Bagus!” kata Soema Cian Ciong sambil tertawa. “Tapi, bagaimana kau mau
mengadu domba orang-orang gagah?”
“Tipuku sangat hebat!” teriak Cioe Tian. “Aku mengatakan bahwa To liong to berada dalam
tanganku dan siapa yang ilmu silatnya paling tinggi akan mendapat golok mustika itu.”
“Bagus! Bagus!” teriak Soema Cian Ciong. “Bicara terus!”
“Kau ingin merebut To liong to untuk menjadi Boe lim Cie coen, Siecan dibunuh setan arak,
setan arak dibunuh hweeshio, si hweeshio dibunuh oleh too soe, si too soe dibunuh si nona
terus menerus drah mengucur, mayat memenuhi lapangan ini. Apa itu tak bagus?”
Semua orang terkesiap, mereka merasa bahwa biarpun seperti orang berotak miring, perkataan
Cioe sangat tepat.
Jie loo (tetua nomor dua) dari Khong tong-pay, Cong Wie hiap segera bangun berdiri dan
berkata, “Perkataan Cioe sianseng sangat beralasan. Ketika orang terang tidak bicara secara
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1345
gelap. Kita harus mengakui bahwa semua golongan ingin sekali memiliki To liong to, tapi
janganlah berebut karena golok mustika itu, banyak orang jadi celaka. Sekarang aku ingin
ajukan sebuah usul. Biarlah pertandingan ini merupakan pertandingan yang dinamakan
dengan ilmu silat mencari persahabatan. Kita tetapkan sebuah peraturan bahwa begitu salah
satu pihak kena disentuh, pertandingan harus segera dihentikan. Dengan demikian biarpun
kalah menang mendapat keputusan tidaklah sampai terjadi permusuhan yang tak diinginkan.
Bagaimana pendapat kalian?”
Sebagaimana diketahui Kong beng teng dikepung oleh enam partai, Boe Kie telah mengobati
luka Cong Wie Hiap yang didapat karena berlatih Cit siang koen. Jago tua itu merasa sangat
berterima kasih dan kedatangan Khong tong-pay kali ini di Siauw lim sie mengandung
maksud membantu Bengkauw dalam usaha menolong Cia Soen.
Soema dan Cian Ciong tertawa nyaring, “Kulihat kau manusia yang takut mati,” katanya.
“Kalau kau ada luka dan tak ada orang mati, adu silat mana enak dilihat?”
Siang Tek Cie, tetua keempat Khong tong-pay yang berangasan segera meluap darahnya,
“Tutup mulutmu,” bentaknya. “Melukai kau si setan arak sama gampangnya seperti orang
membalik tangan.”
“Ah! Aku hanya guyon,” kata si setan arak. “Mengapa Siang sianseng segera marah? Siapa
tidak kenal Cit siang koen dari Khong tong-pay? Bukankah Kong kian Seng ceng juga mati
karena pukulan Cit siang koen. Aku si setan arak mana bisa menyamai Kong kian Seng ceng.”
Semua orang diam-diam tertawa dalam hati. Mereka merasa heran bahwa setan arak yang
berbicara seenaknya saja bisa hidup terus sampai hari ini.
Cong Wie Hiap tidak meladeni dan berkata dengan suara nyaring, “Aku mengusulkan supaya
setiap partai, setiap perkumpulan atau golongan menunjuk dua wakil untuk maju ke
gelanggang pieboe. Siapa yang dapat kemenangan terakhir dialah yang akan mendapat Cia
Tayhiap dan To liong to.”
Usul itu disambut dengan sorak sorai dan tepuk tangan. Semua orang mengatakan bahwa usul
Cong Wie Hiap adalah jalan yang paling baik.
Diam-diam Boe Kie memperhatikan pendeta-pendeta yang berdiri dibelakang Kong tie. Ia
sadar bahwa banyak yang paras mukanya tak senang. Ia yakin sekarang bahwa dugaan Tio
Beng adalah tepat.
Seseorang setengah tua yang putih mukanya dan sebelah tangannya memegang kipas terbalut
emas bangun berdiri dan berkata, “Aku menyetujui usul Cong Jiehiap. Tapi biarpun diadakan
peraturan begitu ada yang tersentuh pertandingan segera dihentikan, kitapun harus ingat
bahwa senjata dan kaki tangan tidak ada matanya. Kalau ada yang salah tangan biarlah
dianggap saja bahwa kejadian itu adalah takdir. Sahabat-sahabat dari orang yang terluka atau
mati tidak boleh berusaha untuk membalas sakit hati. Tapi adanya ketetapan itu, pertandingan
mungkin akan berlarut-larut dan takkan ada habisnya.”
“Bagus! Bagus! Setuju!” demikian sambut para hadirin.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1346
“Kalau tidak salah, saudara yang berparas tampan itu adalah saudara Auwyang dari Heng
yang hoe di Ouwlan,” kata Soema Cian Ciong.
“Benar,” jawabnya sambil menggoyang-goyangkan kipas.
“Auwyang Heng tay dan aku seperti setan-setan liar,” kata Soema Cian Ciong pula. “Kita
tidak masuk didalam partai atau perkumpulan manapun juga. Aku suka arak (cioe), kau suka
paras cantik (sex). Alangkah baiknya bila kita berdua membentuk sebuah partai baru yang
dinamakan Cioe sex-pay, kita berdua menghadapi orang gagah dikolong langit. Apa kau
setuju?”
Semua orang tertawa terbahak-bahak. Orang yang bermuka putih itu bernama Auwyang Bok.
Ia mempunyai dua belas gundik dan biarpun ilmu silatnya tinggi ia jarang bergaul dengan
orang-orang kangouw.
Auwyang Bok turut tertawa. “Kalau aku menyatukan diri dengan kau dalam sebuah partai,
aku kuatir hartaku tak cukup untuk membiayai minum arakmu,” katanya. “Saudara bicara lagi
tentang pertandingan silat, kita sebaiknya mengangkat beberapa cianpwee yang berkedudukan
tinggi untuk menjadi juru pemisah guna menyingkirkan segala pertengkaran!”
“Aku setuju,” jawab Cong Wie Hiap. “Aku usulkan Kong tie Sengceng.”
Seraya menuding karung yang dipegang Swee Poet Tek, Soema Cian Ciong berkata, “Aku
usulkan Coan tong Tayhiap Hee Cioe Hee Loo eng hiong yang berada dalam karung itu.”
Swee Poet Tek mengangkat karungnya dan melontarkan ke arah Soema Cian Ciong, “Juru
pemisah datang,” teriaknya sambil tertawa.
Soema Cian Ciong menyambuti dan segera coba membuka ikatan mulut karung. Diluar
dugaan ikatan itu sangat istimewa dan ia tidak berhasil membukanya. Seraya tertawa hahahihi
Swee Poet Tek mengangkat karung itu dengan tangan kirinya dan beberapa gerakan tangan
mulut karung sudah terbuka. Dilain saat tubuh Hee Cioe sudah menggelinding keluar, cepatcepat
Soema Cian Ciong membangunkannya dan membuka jalan darahnya.
Bukan main malunya Hee Cioe, tiba-tiba ia mencabut pedang pendeknya dan menikam
dadanya. Soema Cian Ciong terkesiap. Untung juga ia masih sempat menangkap dan merebut
senjata itu. “Hee heng, mengapa kau berpandangan begitu sempit?” katanya dengan suara
membujuk.
“Aku usulkan Soen Looya coe dari Tiang pek-san!” teriak seorang pria kate gemuk.
“Siang gie (sepasang Gie) dari Ciat kang timur menggetarkan seluruh Kang lim!” seru
seorang wanita setengah tua. “Mereka berdua terkenal adil dan aku usulkan mereka sebagai
juru pemisah.”
Dengan cepat sudah diajukan belasan calon.
Mendadak dirombongan Go bie-pay terdengar suara seorang pendeta wanita tua, “Perlu apa
diadakan juru pemisah?” Suaranya yang dingin tak keras, tapi menusuk kuping, satu bukti
bahwa nenek itu memiliki Lweekang yang tinggi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1347
“Apa boleh aku tahu nama Soethay?” tanya Soema Cian Ciong, “Mengapa tak perlu juru
pemisah?”
“Yang menang hidup, kalah mati, juru pemisah yang tepat adalah Giam loo ong!” jawabnya.
Mendengar suara bernada dingin dan menyeramkan, banyak orang bangun bulu romanya.
“Dengan ilmu silat kita mencari persahabatan,” kata Soema Cian Ciong. “Antara kita tidak
terdapat permusuhan. Perlu apa kita berkelahi sampai ada yang mati? Seorang beribadat
berdiri diatas dasar belas kasihan. Dengan berkata begitu apakah Soethay tak kuatir
Hoedcouw (Sang Buddha) akan menjadi gusar?”
“Terhadap orang lain kau boleh menggoyang lidah secara gila-gilaan. Terhadap murid Go biepay,
kau harus tahu aturan sedikit.”
“Go bie-pay sangat hebat! Kata orang, lelaki tak boleh ribut dengan perempuan. Aku si setan
arak mau tarik urat dengan pendeta perempuan.” Seraya berkata begitu, ia mengangkat
cangkir arak untuk meneguknya. Tapi baru saja cangkir menempel dibibir tiba-tiba terdengar
suara “srr…srr…!” yang sangat tajam dan tiga peluru menyambar, satu menghantam cangkir,
satu memukul poci dan satu lagi menyambar dada.
Hampir bersamaan terdengar ledakan-ledakan keras, ketiga peluru itu meledak dan terbakar.
Cangkir dan poci arak hancur sedang dada Soema Cian Ciong berlubang besar. Badannya
terpental dan ambruk di tanah. Dengan hati mencelos Hee Cioe menubruk tapi Soema Cian
Ciong sudah tak bisa ditolong lagi. Bajunya hangus dan napasnya sudah berhenti tapi bibirnya
masih tersungging senyuman. Pada detik terakhir, ia masih belum tahu bahwa ia sedang
menghadapi maut.
Kejadian itu tentu saja mengejutkan semua orang. Orang-orang gagah yang berada disitu
adalah jago-jago berpengalaman luas. Tapi mereka tak tahu senjata rahasia apa yang
digunakan Go bie-pay.
“Celaka! Senjata apa itu?” teriak Cioe Tian dengan suara parau.
Jilid 74________________________________
“Kudengar di negeri asing ada semacam senjata rahasia yang menggunakan bahan peledak
dan dinamakan Pek-lek Loei hwee tan,” bisik Yo Siauw. “Mungkin sekali peluru itu semacam
Pek-lek Loei hwee tan.” (Pek-lek Loei hwee tan = Peluru geledek api atau granat).
Sementara itu, sambil memeluk jenazah Soema Cian Ciong, Hee Cioe berkata kepada
rombongan Go bie pay. “Walaupun dia sering suka guyon-guyon, Soema Hengtee seorang
yang berhati mulia. Selama hidup ia belum pernah melakukan sesuatu yang berdosa. Saudarasaudara
orang-orang gagah di kolong langit. Apakah di antara kalian ada yang pernah dengar
bahwa Soema Cian Ciong pernah mencelakai sesama manusia?”
Semua orang membungkam. Mereka turut berduka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1348
Sambil menuding niekouw tua itu, Hee Cioe berkata pula dengan suara keras! “Go bie pay
dikenal dikenal sebagai partai yang lurus bersih. Siapa nyana kamu menggunakan senjata
yang begitu beracun! Di dalam rimba persilatan, partai atau jago yang bagaimana tangguhpun
tidak boleh melewati batas yang dinamakan “li” (kepantasan). Apa aku boleh tahu nama
Soethay?”
“Aku Ceng kee, jago dalam karung. Mau apa kau?”
“Sebab kepandaian cetek, aku sudah dihina oleh kawanan iblis,” kata Hee Cioe dengan suara
parau. “Tapi biarpun tak punya kebecusan, si orang she Hee tidak menyeleweng dari jalan
kesatriaan. Ceng kee Soethay, kau begitu kejam! Kau sungguh berdosa terhadap Coawsoe Go
bie pay, Kwee Siang Kwee Liehiap.”
Mendengar disebutnya nama Couwsoe mereka, semua murid Go bie pay serentak bangun
berdiri. Sambil mengawasi Hee Cioe dengan alis berdiri Ceng kee membentak. “Apa nama
yang mulia dari Couwsoe kami boleh disebut-sebut begitu saja oleh telur busuk seperti kau?”
Banyak murid Go bie pay melakukan perbuatan tidak pantas dan menodai nama Couwsoe
mereka. Jangankan Kwee Liehiap, sekalipun Biat coat Soethay yang terkenal kejam, masih
belum pernah membunuh manusia yang tidak berdosa. Kau sudah sembarangan mengambil
jiwa sesama manusia yang tidak berdosa dan Ciang boenjin mu sama sekali tidak
menghiraukannya. Huh huh… apa dengan kekejaman itu Go bie pay masih ingin berdiri
dalam dunia Kangouw?”
“Tutup bacotmu! Kalau membacot lagi setan arak itu menjadi contohmu.”
Dengan paras muka merah padam Hee Cioe maju tiga tindak. “Kalau Ciang boenjin Go biepay
tidak membersihkan rumah tangganya, mulai dari sekarang Go bie pay akan dikutuk oleh
segenap orang gagah!” teriaknya.
Ribuan pasang mata murid-murid Go bie pay dan mata semua orang tamu ditujukan kepada
Cioe Cie Jiak. Perlahan-lahan Cie Jiak manggutkan kepalanya. Di lain saat sesudah dapat
permisi dari pemimpinnya, Ceng Kee melepaskan dua butir Pek Lek Loei hwee tan yang
menyambar bagaikan kilat. Dada dan kempungan Hee Cioe berlubang dan pakaiannya
terbakar. Tapi biarpun sudah binasa, ia masih berdiri tegak dan kedua tangannya masih
memeluk jenazah Soema Cian Ciong.
Semua orang tertegun. Selang beberapa saat, barulah keadaan berubah gempar dan ratusan
orang berteriak-teriak mencaci Go bie pay.
Wie It Siauw dan Swee poet tek saling mengawasi dan kemudian saling manggutkan kepala.
Sesudah saling memberi isyarat, mereka berlari-lari menghampiri jenazah Hee Cioe. Mereka
berlutut dan Swee poet tek berkata, “Hee looenghiong, kami berdua tak tahu bahwa kau
seorang ksatria yang berhati mulia. Tadi kami telah berlaku kurang ajar dan kami merasa
menyesal dan malu.” Sehabis berkata begitu ia menggapelok muka sendiri, diturut oleh Wie It
Siauw. Sesudah itu mereka memadamkan api yang membakar kedua jenazah dan kemudian
membawanya ke gubuk rombongan Beng kauw.
Melihat Cie Jiak berubah begitu kejam, bukan main rasa dukanya Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1349
Selagi orang berteriak-teriak, Cie Jiek bicara bisik-bisik kepada Soe Ceng Soe yang sesudah
menggangguk beberapa kali lalu berjalan ke tengah-tengah lapangan.
“Hari ini para orang gagah membuat pertemuan dan pertemuan ini bukan pertemuan untuk
menulis syair, menabuh tabu-tabuan atau minum arak,” katanya dengan suara nyaring.
“Pertemuan ini adalah pertemuan Rimba Persilatan dan dalam pertemuan begitu, soal luka
atau binasa adalah soal yang biasa saja. Hee Looenghiong mengatakan bahwa Soema Siau
Seng belum pernah melakukan perbuatan tidak baik dan mempersalahkan Cengkee Soethay
sebagai seorang yang sudah membunuh orang yang tak berdosa. Sesudah itu, kalian bikin
ribut ribut seperti juga tak merasa puas terhadap partai kami. “Apakah dalam pertandingan
silat kita harus lebih dulu mencari tahu riwayat setiap orang dan yang baik tak boleh dilukai
dan yang jahat barulah boleh dibinasakan?”
Pertanyaan itu telah membungkam semua orang. Banyak di antaranya lantas saja merasa
bahwa perkataan Song Ceng Soe memang beralasan.
Sesudah mendapat angin Song Ceng Soe berkata pula. “Kalau To liong to hanya boleh
dimiliki oleh orang yang mulia, tak perlu diadakan pertandingan silat lagi. Kalau benar begitu,
kita beramai-ramai harus pergi ke Shoatang dan mencari turunan nabi Khong Hoe Coe untuk
menyerahkan golok mustika itu kepadanya. Tapi kalau kita bicara tentang silat, maka dalam
pertempuran orang mungkin tak bisa memperhatikan lagi apa lawannya seorang tidak berdosa
atau berdosa.”
Banyak orang manggut2kan kepala bahkan ada yang lantas berteriak. “Benar!”
Suara Song Ceng Soe itu membangkitkan rasa sangsi di dalam hati Jie Sam Cioe dan In Lie
Heng. Suaranya mirip dengan suara Song Ceng Soe, tapi ia menggunakan istilah “partai
kami”, suatu tanda bahwa dia seorang anggota Go bie pay. Di samping itu, mukanya yang
berewokan tak sama dengan muka Song Ceng Soe.
Karena kesangsian itu, Jie Lian Cioe segera berbangkit dan bertanya, “Apa aku boleh
mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?”
Melihat pamannya, Ceng Soe jadi gentar. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab.
“Aku seorang muda yang tak terkenal, sehingga tiada harganya untuk Jie hiap mengenal aku.”
“Tuan telah bicara tentang pertandingan silat dan tuan tentu memiliki kepandaian tinggi,” kata
Jie Lian Cioe dengan suara keras. “Di waktu masih muda, guruku pernah menerima budi
Kwee Liehiap dari Go bie pay. Guruku telah memesan, bahwa murid2 Boe tong tak boleh
bertempur melawan murid Go bie, maka itu aku mau mencari keterangan se-jelas2nya, apa
benar tuan murid Go bie pay dan siapa adanya tuan. Seorang lelaki sejati harus terus terang,
tak boleh main sembunyi-sembunyi.”
Yang menjawab adalah Cioe Cie Jiak. “Jie-Jiehiap, aku tak mendustai kau,” katanya. “Dia
adalah suamiku, dia she Song bernama Ceng Soe. Dulu ia murid Boe tong sekarang sudah jadi
anggota Go bie pay. Kalau mau bicar, Jie hiap boleh bicara dengan aku.” Keterangan itu yang
diucapkan dengan suara nyaring dan dingin mengejutkan semua orang sehingga seluruh
lapangan jadi sunyi senyap.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1350
Di lain detik Song Ceng Soe mengusap mukanya dan terloncatlah topengnya. Ia sekarang
berubah menjadi seorang pemuda yang sangat tampan.
Mengingat kedosaan keponakan itu, darah Jie Lian Cioe bergolak-golak. Tapi sebagai orang
berilmu tinggi, walaupun amarahnya besar paras mukanya masih tetap tenang. Hanya
sepasang matanya yang tajam bagaikan pisau menyapu muka Song Ceng Soe, yang lantas saja
menunduk.
“Suamiku sudah keluar dari Boe tong dan masuk di Go bie,” kata Cie Jiak. “Hari ini secara
resmi aku mengumumkan hal itu di segenap orang gagah di kolong langit. Jie Jiehiap dengan
mengingat persahabatan lama, Thio Cinjin melarang murid murid Boe tong bermusuhan
dengan partai kami. Itulah gie khie dari Thio Cinjin. Tapi mungkin juga larangan ini
merupakan kepintaran Thio Cinjin dalam usaha mempertahankan nama besar Boe tong pay.”
Sampai di situ In Lie Heng tak bisa menahan sabar lagi. Ia melompat keluar dan sambil
menuding Cie Jiak ia membentak. “Cioe kauwnio, dahulu di waktu kau kecil waktu kau
terancam bencana, gurukulah yang sudah menolong jiwamu dan kemudian menyerahkan kau
kepada Go bie pay. Meskipun guruku sama sekali tidak mengharapkan pembalasan budi, tapi
kau sungguh keterlaluan, karena dalam omonganmu itu kau seperti juga mengatakan bahwa
Boe tong pay hanya punya nama kosong dan tidak bisa menandingi Go bie pay. Apa dengan
berkata begitu kau tidak merasa malu terhadap guruku?”
Cie Jiak tertawa datar. “Para pendekar Boe tong yang namanya menggetarkan Kang ouw
memang berkepandaian tinggi dan Song tayhiap sendiri adalah mertuaku,” katanya. “Mana
berani aku mengeluarkan celaan itu? Tapi Boe tong dan Go bie pay masing masing
mempunyai kepandaian sendiri-sendiri. Sukar dikatakan yang mana yang lebih tinggi dan
yang mana lebih rendah. Dulu, Kwee Couwsoe dari partai kami melepas budi kepada Thio
Cinjin. Belakangan Thio Cinjin menolong aku. Budi sudah dibalas dengan budi dan di antara
kedua partai tidak ada yang berhutang budi lagi, Jie Jiehiap, In Liok hiap! Peraturan bahwa
murid Boe tong tidak boleh kebentrok dengan murid Go bie, sebaiknya mulai dari sekarang
dihapuskan saja.”
Perkataan yang menantang itu mengejutkan semua orang. Nama Jie Lian Coe tersohor di
seluruh rimba persilatan. Mengapa Cie Jiak begitu berani? Apa dengan hanya mengandal
kepada peluru geledek Go bie pay mau menjagoi di dunia Kang ouw?
Darah In Lie Hong bergolak golak. Mengingat kebinasaan Boh Seng Kok air matanya lantas
saja mengucur. “Ceng Soe! Oh Ceng Soe!” teriaknya dengan suara parau. “Mengapa…
mengapa kau binasakan Cit siok mu…?”
Ia tidak dapat lagi meneruskan perkataannya dan menangis sedu sedu.
Semua orang saling mengawasi.
Jie lian Cioe mendekati dan sambil memegang pundak adik seperguruan. “Para enghiong,
dengarlah. Boe tong sangat tidak beruntung dan muncul Song Ceng Soe, seorang murid
pengkhianat dan durhaka. Cit tee ku, Boh Seng Kok, telah…” mendadak terdengar suara,
“srr… srr…” dua butir Pek Lek Loei Hwee tan menyambar dada Jie Lian Cioe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1351
“Celaka” seru Boe Kie. Ia tak duga Go bie pay bisa berbuat begitu. Ia mau melompat
menolong, tapi sudah tidak keburu lagi.
Jie Lian Cioe pun tidak pernah menduga bahwa dirinya bakal diserang secara begitu. Kalau ia
berkelit, granat itu pasti akan mencelakai murid-murid Kay pang yang berada di sebelah
belakangnya. Ia seorang ksatria tulen dan ia tidak mau kalau karena gara-garanya banyak
orang yang tidak berdosa mesti mengorbankan jiwa. Ketika pikiran itu berkelebat dalam
otaknya, kedua senjata rahasia itu sudah hampir menyentuh dadanya. Secepat kilat ia
membalik kedua telapak tangannya dan menyambut dengan In Chioe (Tangan awan), salah
satu ilmu dari Thay kek koen. Kedua granat itu lantas saja terputar-putar di kedua telapak
tangannya.
Semua orang serentak bangun berdiri dan ribuan pasang mata ditujukan ke arah kedua telapak
Jie Lian Cioe. Meledak atau tidak!... meledak atau tidak?... jantung mereka seolah olah
berhenti berdenyut.
Syukur! Granat itu tidak meledak.
Thay kek koen adalah ilmu silat “terlembek” di kolong langit. Bertahun-tahun Jie Lian Cioe
melatih diri dalam ilmu itu. Berkat ketekunannya ia berhasi mewarisi ilmu yang sangat tinggi
itu. Tadi melihat kebinasaan Soema Cian Ciong dan Hee Cioe, ia tahu bahwa peluru itu akan
meledak begitu terbentur dengan lain benda apapun juga. Dalam keadaan terdesak, ia terpaksa
mempertaruhkan jiwanya dan menggunakan ilmu “lembek” itu. Benar saja, “kelembekan”
dapat mengatasi kekerasan. Kedua peluru itu seperti masuk ke dalam sebuah kekosongan dan
hanya berputar putar.
Tiba tiba terdengar pula “srr… srr!...” dan dua butir granat kembali menyambar Jie Lian Cioe.
In Lie Heng yang berdiri di samping soehengnya lantas saja mengibaskan kedua tangannya.
Dengan Cioe hwie pi-pee sit (Tangan memetik pi pee, semacam tetabuhan seperti gitar), ia
menyambut kedua peluru itu dan kemudian, dalam Kim kee tok li pasat (ayam emas berdiri di
atas satu kaki, yaitu kaki kiri menginjak bumi dan kaki kanan terangkat ke atas tubuhnya
terputar-putar bagaikan kitiran cepatnya).
Mengapa ia berbuat begitu? In Lie Heng terkenal lihay dalam ilmu pedang, tapi dalam Thay
kek koen ia belum bisa menandingi Jie Lian Cioe. Ia lihat bahwa waktu menyambut Pek lek
Loei hwee tan, kakak seperguruannya telah menggunakan seantero kepandaiannya. Ia
mengerti bahwa apabila kelembekan kedua telapak tangannya mengandung sedikit saja tenaga
kekerasan, peluru itu akan lantas meledak. Maka itu, untuk memunahkan tenaga timpukan dan
mencegah peledakan, ia memutar mutar kedua peluru itu dengan iringan telapak tangan
dengan memutar mutar tubuhnya sendiri. Demikianlah, kalau Jie Lian Cioe bisa memunahkan
tenaga timpukan di telapak tangannya sendiri, In Lie Heng harus memunahkannya di tengah
udara. Pada hakekatnya kepandaian Jie Jiehiap lebih tinggi daripada In Lie Heng, tapi apa
yang diperlihatkan cara menyambut In Liok hiap banyak lebih indah daripada Jie Lian Cioe.
Sesudah In Lie Heng memutar-mutarkan tubuhnya kurang lebih tiga puluh putaran, di empat
penjuru lapangan terdengar sorak sorai gegap gempita.
Sekonyong-konyong terdengar lagi suara “srr…srrr….” Dan delapan Loei hwee tan
menyambar dengan saling susul.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1352
Sambil membentak keras dengan berbareng Jie Lian Cioe dan In Lie Heng menimpuk dengan
empat peluru yang berada dalam tangan mereka. Murid-murid Boe tong pay tidak pernah
belajar menggunakan senjata rahasia, tapi mereka telah berlatih diri dalam ilmu menyambut
senjata rahasia dan memulangkannya kepada lawan. Dengan sebuah senjata rahasia, seorang
murid Boe tong bisa memukul dua atau tiga senjata lawan. Maka itu, empat Loei hwee tan
yang dilontarkan oleh Jie Lian Cioe dan In Lie Heng dengan jitu sudah menghantam delapan
peluru yang sedang menyambar.
Hampir berbareng terdengar delapan perledakkan dahsyat dan seluruh lapangan penuh dengan
asap dan bau obat pasang. Sesudah menimpuk, kedua pendekar Boe tong melompat mundur
belasan tombak untuk menyingkir dari lain serangan Loei hwee tan.
Melihat lihaynya Pek lek Loei hwee tan, semua orang kaget dan cemas. Yang memiliki ilmu
seperti kedua pendekar Boe tong hanya beberapa orang saja. Dalam menghadapi granat itu
ilmu ringan tubuh tidak mencukupi, sebab kalau diserang dengan Boan thian Hoa ie (Hujan
bungan di angkasa yang berarti serangan dengan sejumlah besar peluru) dan peluru peluru
saling menyentuk dan meledak di tengah udara, maka orang yang ringan tubuhnya paling
lihaypun sukar terlolos dari bencana.
Sementara itu, di gubuk Hwa san pay kelihatan berdiri seorang yang bertubuh jangkung dan
yang segera berkata dengan suara nyaring. “Apakah dalam pertandingan silat Go bie pay
ingin memperoleh kemenangan dengan mengandalkan jumlah yang besar?” Yang bicara
adalah seorang dari Hwasan Jih Loo (dua tetua Hwa san pay). Dahulu di atas Kong beng teng,
ia pernah mengerubut Boe Kie bersama Ho Thay Cong dan Pan Siok Ham.
“Silat banyak sekali perubahan-perubahannya,” jawab Geng Kee Soethay. “Yang kuat
menang, yang lemah kalah. Kita bukan sebangsa sastrawan yang saban2 ributi soal
peraturan.”
Mendengar perkataan itu, orang hanya menggelengkan kepala. Murid Go bie pay kebanyakan
wanita, tapi sekarang ternyata mereka bahkan lebih sukar diajak berbicara daripada kaum
pria. Waktu bicara tetua Hwa san pay itu tidak berani datang dekat sebab kuatir diserang
dengan Pek Lek Loei hoei tan.
Boe Kie menyaksikan itu semua dengan rasa menyesal dan berduka. “Cie Jiak menikah bukan
karena mencintai Song Soeko,” katanya. Ia ingat pengalamannya di pulau kecil, ketika dia
dan si nona saling mengutarakan rasa cinta dan berjanji untuk hidup sebagai suami isteri.
Mana bisa janji suci itu dilanggar dengan begitu saja? Ia sungguh merasa bersalah. Waktu
menghadapi meja sembahyang, di hadapan orang banyak ia kabur bersama sama Tio Beng.
Cie Jiak adalah Ciangbunjin sebuah partai besar dan seorang wanita terhormat. Mana boleh ia
menghinakannya secara begitu hebat? Mana bisa Cie Jiak tidak sakit hati? “Hari ini Go bie
pay telah berbuat perbuatan perbuatan yang tidak pantas, tapi kalau mau diusut itu semua
adalah gara2ku,” katanya di dalam hati.
Makin dipikir, ia makin merasa menyesal. Akhirnya sambil menahan rasa jengah, ia pergi ke
gubuk Go bie pay dan berkata, “Cie Jiak, ini semua lantaran kedosaanku. Urusan Song Soeko
mencelakai Boh Citsiok harus ada pemberesannya. Menurut pendapatku, sebaiknya Song
Soeko ikut Jie Jiepeh dan To Lek Siok pulang ke Boe tong untuk memohon ampun, atau kalau
perlu menerima hukuman, dari Song Toa Soepeh.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1353
Cioe Cie Jiak tertawa dingin. “Thio Kauwcoe,” katanya, “dahulu kuanggap kau seorang lelaki
sejati. Hanya sepak terjangmu tolol tololan. Siapa nyana kau hanya seorang manusia rendah.
Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung segala akibatnya. Kau sudah
membinasakan Boh Cit hiap. Mengapa kau menimpakan kedosaan itu di atas kepala orang
lain?”
Boe Kie terkesiap. “Ah!... aku membinasakan Boh Citsiok?” ia menegas. “Aku?”
“Mengapa ayah dan ibumu binasa?” tanya Cie Jiak. “Sebab mereka berdosa. Mereka bunuh
diri sendiri, bukan?” Jie Thay Giam, Sam Soepehmu, adalah seorang gagah di jaman ini. Tapi
dia bercacat seumur hidup, karena dicelakai ibumu. Bukankah begitu? Ayahmu adalah murid
dari sebuah partai yang lurus bersih. Tapi dia mabuk dengan paras cantik, dan menikah
dengan perempuan siluman. Bukankah begitu? Thio Kauwcoe, kulihat kau sudah meneladani
semua perbuatan mulia dari ayah dan ibumu!”
Bahna gusarnya muka Boe Kie jadi merah padah dan tubuhnya bergemetaran, kalau Cie Jiak
hanya mencaci dirinya, ia takkan menghiraukan. Tapi sekarang yang dimaki adalah mendiang
ayah dan ibunya. Dengan kejadian itu, tiba-tiba saja mukanya berubah putih, pucat pasi sebab
menahan hawa amarah. Hampir hampir ia tak dapat mempertahankan diri. Untung juga dalam
kegusarannya ia ingat bahwa Cie Jiak menghina kedua orang tuanya justru untuk
membuatnya kalap dan melakukan perbuatan yang tidak pantas. Di samping itu iapun tidak
dapat melupakan kesalahannya sendiri. Mengingat begitu sambil menggigit bibir ia memutar
tubuh dan lantas berjalan pergi!
Sekonyong konyong dalam rombongan Go bie pay terdengar teriak seorang. “Tak disangka
Thio Kauwcoe hanya manusia rendah yang nyalinya kecil. Melihat kelihayan Pek lek Loei
hwee tan kita, dia kabur dengan menyeret buntutnya.”
Boe Kie menengok dan mendapat kenyataan bahwa niekouw yang berteriak begitu adalah
Cenghoat Soethay yang berlengan satu. Ia menghela napas dan berkata di dalam hati. Dia
kehilangan lengan juga sebab gara-garaku. Sudahlah! Perlu apa aku meladeni? Ia berjalan
terus tanpa menengok lagi, walaupun ia terus disoraki dan diejek oleh murid Go bie pay.
Yo Siauw tertawa dingin dan berkata dengan suara nyaring. “Pek Lek Loei hwee tan hanya
permainan kanak! Tidak ada harganya untuk disebut sebut. Kalau peluru itu tidak bisa
mencelakai kedua pendekar Boe tong, dia juga tak akan bisa mencelakai Thio Kauwcoe kami
ahli waris ilmu silat Boe tong. Hoh hah… kamu, orang-orang Go bie pay mau memperoleh
kemenangan mengandalkan jumlah besar. Baiklah, aku akan memberi pelajaran kepadamu
cara bagaimana orang bisa menarik keuntungan dengan mengandalkan jumlah yang besar.”
Seraya berkata begitu, ia mengulapkan tangan kirinya. Seorang kacung yang memakai baju
putih menghampiri dengan kedua tangan menggenggam sebuah rak kayu kecil dimana
tertancap puluhan bendera kecil yang terdiri dari lima warna.
Yo Siauw mencabut satu bendera putih dan melontarkannya. Bendera itu terbang dan
menancap di tengah-tengah lapangan.
Semua orang mengawasi dengan penuh rasa heran. Panjang bendera itu bersama-sama
gagangnya belum cukup dua kaki dan di tengah-tengah bendera tersulam sebuah gambar obor
yaitu pertanda Beng kauw.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1354
Selagi para hadirin coba menebak nebak, salah seorang yang berdiri di belakang Yo Siauw
maju ke depan dan melepaskan sebatang anak panah api yang berwarna putih.
Beberapa saat kemudian, dari luar terdengar suara tindakan kaki yang ramai dan masuklah
serombongan anggota Beng kauw yang memakai ikatan kepala putih. Jumlah rombongan itu
lima ratus orang. Begitu tiba di lapangan, mereka melepaskan anak panah menancap di
seputar bendera putih. Rombongan itu tidak lain daripada pasukan Swi kim kie yang dipimpin
oleh Gouw Kin Co.
Sebelum para orang gagah sempat bersorak, anggota anggota Swi kim kie itu sudah mencabut
tombak pendek yang diselipkan di punggung mereka maju beberapa tindak dan
melemparkannya ke tengah lapangan. Tombak-tombak itu menancap tepat di dalam lingkaran
anak panah.
Mereka maju lagi tiga tindak, mencabut kampak pendek kecil dari pinggang mereka dan
menimpuknya. Di lain saat, di tengah lapangan sudah terdapat tiga lingkaran senjata, yaitu
kampak, tombak dan anak panah. Semua orang mengawasi dengan rasa kagum tercampur jeri.
Seorang yang ilmu silatnya bagaimana tinggipun tak nanti bisa meloloskan diri dari serangan
1500 senjata.
Sebagaimana diketahui, di Seehek Swie kim kie pernah bertempur melawan Go bie pay
dengan menderita rusak besar, sedang Ciang kie soenya sendiri, yaitu Chung Ceng, binasa
dalam tangan Biat coat Soethay. Dalam waktu yang belakangan ini, semenjak Boe Kie
menjadi Kauwcoe, Beng Kauw mengadakan perbaikan ke dalam dan keluar. Ngo beng kie
disusun lagi dan diberikan latihan latihan baru. Sekarang jumlah anggota Swi kim sie sudah
4000 orang dan 500 orang yang diajukan ke Siauw lim sie itu adalah orang orang pilihan.
Mereka semua sudah memiliki dasar ilmu silat yang sangat baik sekali dan di bawah
pimpinan orang-orang yang pandai,mereka merupakan satu pasukan yang benar-benar
tangguh.
Sementara itu Yo Siauw sudah membentak. “Swie kim kie mundur! Kie bok kie maju!”
Lima ratus anggota Swi kim kie segera berlari-lari ke tengah lapangan, mengambil pulang
senjata mereka, menghampiri gubuk Beng kauw dan sesudah memberi hormat kepada Boe
Kie, dengan rapih dia meninggalkan lapangan.
Yo Siauw mengambil bendera hijau dan melemparkan ke tengah lapangan. Bendera itu
menancap di samping bendera putih.
Beberapa saat kemudian pasukan Kie bok kie yang memakai ikatan kepala warna hijau masuk
ke lapangan. Kekuatan pasukan itu juga 500 orang dan saban sepuluh orang membawa
sepuluh balok besar, yang beratnya kurang lebih seribu kati. Pada balok itu dipasangi gaetan
gaetan besi yang digunakan sebagai pegangan untuk membawanya.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan balok-balok tersebut dengan serentak dilemparkan ke
tengah udara, ada yang tinggi, ada yang rendah, ada yang ke kanan, ada juga yang ke kiri, dan
setiap balok membentur balok yang lain sehingga dengan demikian, dua lima pasang balok
saling membentur di tengah udara dan sesudah itu, dengan berbareng lima puluh balok itu
jatuh di muka bumi! Suara benturan balok balok itu hebat luar biasa dan siapapun jua yang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1355
kena terpukul pasti tak akan bisa meloloskan diri dari kebinasaan. Pasukan balok ini
sebenarnya dilatih untuk memecahkan pintu kota di dalam peperangan. Sesudah balok-balok
itu jatuh, lima ratus anggota Kie bok kie segera memburu dan mencekal lagi gaetan gaetan
besi siap sedia untuk melemparkan lagi.
“Kie bok kie mundur!” teriak Yo Siauw. “Dari kayu (tok) muncul api (bwee).” Ia
mengibaskan tangannya dan sebatang bendera merah menancap di tengah lapangan.
Sesudah pasukan Kie bok kie mundur, lima ratus anggota Liat hwee kie yang memakai ikatan
kepala merah, berlari-lari masuk ke lapangan. Setiap orang membawa sebatang semprotan dan
begitu tiba di tengah lapangan, mereka menyemprotkan minyak yang berwarna hitam. Hampir
berbareng Ciang kie soe pasukan itu melepaskan sebatang anak panah api dan begitu lepas
tersentuh api, minyak itu lantas saja berkobar-kobar. Minyak tanah adalah hasil bumi Kong
beng teng dan Beng kauw mempunyai sumber minyak yang tidak ada batasnya.
Yo Siauw berteriak lagi. “Liat hwee kie mundur! Ang soei kie maju!”
Bendera hitam dilontarkan dan 500 anggota Ang Soe kie yang memakai ikatan kepala hitam
masuk ke dalam lapangan. Perbekalan pasukan ini berbeda dari yang lain. Bebererapa puluh
orang yang berjalan di depan mendorong sepuluh gerobak kayu, diikuti oleh rombongan yang
membawa semprotan dan tahang tahang air. Hampir berbareng dengan teriakan Tong Yang,
Ciang kie soe Ang Soe Kie, sepuluh gerobak itu dibuka dan dari gerobak keluarlah dua puluh
ekor anjing ajak atau anjing hutan yang kelaparan! Begitu terlepas binatang2 itu
memperlihatkan sikap beringas dan bergerak untuk menubruk manusia2 di sekitarnya.
Semua orang kaget.
“Semprot!” bentak Tong Yang.
Seratus orang segera menyemprotkan air ke arah anjing2 itu. Begitu kena air, binatang2 itu
menyalak hebat, melompat lompat dan kemudian roboh dengan badan hangus! Ternyata yang
disemburkan adalah semacam air keras dengan campuran macam macam racun.
Melihat hebatnya pertunjukan itu, banyak orang bangun bulu romanya atau mengeluarkan
keringat dingin.
“Ang soei kie mundur!” seru Yo Siauw. “Houw touw kie bersihkan semua kotoran!” Seraya
berkata begitu, ia melemparkan bendera kuning. Gagang bendera itu ternyata dipasangi bahan
peledak, sebab begitu menyentuh tanah, begitu meledak.
Pasukan Houw touw kie yang mengenakan ikatan kepala kuning lantas saja masuk. Jumlah
mereka hanya seratus orang dan setiap orang menggendong sebuah karung besar yang berisi
sesuatu. Mereka tak maju ke tengah, tapi berlari-lari di pinggir lapangan. Sekonyong-konyong
terdengar suara keras dibarengi dengan muncratnya debu dan tanah di tengah-tengah lapangan
mendadak berlubang besar, dengan garis tengah kira-kira empat tombak panjangnya. Dalam
saat tanah di sekitar lubang bergerak-gerak dan dari bawah permukaan bumi keluar empat
ratus orang yang mengenakan topi besi dan memegang cangkul!
“Ah…” banyak orang mengeluarkan seruan tertahan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1356
Empat ratus orang itu ternyata sudah menunggu di dalam tanah dengan membuat terowongan
sedang lubang itupun dibuat terlebih dulu dan lapisan tanah di atas dipertahankan dengan
papan-papan. Begitu mendengar isyarat, orang yang menunggu di bawah menarik papanpapan
itu dan lapisan tanah di atas lantas saja ambruk ke bawah, berikut bangkai-bangkai
anjing dan lain-lain kekotoran. Seratus orang yang membawa karung lantas saja menuang isi
karung ke dalam lubang. Isi karung itu ialah batu dan pasir. Dengan sebadan teratur empat
ratus orang segera menggunakan cangkul mereka dan dalam sekejap lubang itu sudah tertutup
rapih dan seluruh lapangan menjadi bersih sekali. Sesudah itu mereka menghampiri Boe Kie
dan setelah memberi hormat meninggalkan lapangan dalam satu barisan panjang.
Pertunjukkan itu diterima berbagai cara oleh para hadirin. Ada yang girang, ada pula yang
jengkel, ada yang menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala, ada yang pucat mukanya
dan ada juga yang bersorak-sorai. Tapi semua mendapat dua macam perasaan yang sama, rasa
kagum dan jeri.
Sesudah selesai Yo Siauw lalu memulangkan bendera kepada si kacung yang berdiri di
belakangnya dan kemudian mengawasi Cie Jiak dengan sorot mata dingin.
Seluruh lapangan sunyi senyap.
Beberapa lama kemudian seorang pendeta tua dari Tat mo thong yang berada di belakang
Kong tie berbangkit dan berkata… “Tadi Beng kauw memperlihatkan latihan perang.
Kelihatannya memang bagus, tapi apa bisa digunakan atau tidak, kita tidak tahu sebab kita
bukan jenderal perang dan juga apa yang kita pelajari bukan ilmu perang.”
Semua orang mengerti, bahwa dengan berkata begitu, si pendeta hanya ingin mengecilngecilkan
kelihayan Ngo heng kie.
“Hwesio tua!” bentak Cioe Tian. “Kalau kau ingin tahu apa bisa digunakan atau tidak,
gampang sekali. Cobalah kau dan kawan-kawanmu maju ke lapangan untuk mencoba-coba.”
Tanpa meladeni tantangan itu, si pendeta menlanjutkan perkataannya. “Hari ini orang gagah
di kolong langit mengadakan pertemuan untuk saling belajar ilmu silat. Aku menyetujui usul2
yang telah diajukan oleh beberapa siecoe (tuan). Kita bertanding dengan satu lawan satu.
Menarik keuntungan dengan mengandalkan jumlah yang besar adalah bertentangan dengan
peraturan Rimba Persilatan.”
“Menarik keuntungan dengan mengandalkan jumlah yang besar memang bertentangan dengan
peraturan Rimba Persilatan,” kata Auwyang Bok. “Tapi bagaimana dengan Pek Lek Loei
hwoei tan? Apa permainan kanak-kanak itu boleh dipergunakan?”
Sesudah berdiam sejenak, si pendeta menjawab. “Orang yang bertanding tentu saja boleh
menggunakan senjata rahasia. Di antara orang-orang dari kalangan sesat banyak yang suka
menaruh racun pada senjata rahasia mereka. Kita tentu saja tidak bisa mencegah kesukaan
mereka. Yang harus dilarang adalah pembokongan oleh orang yang tidak turut bertanding.
Kita harus menghajar siapa juga yang berani melakukan serangan membokong. Apa kalian
setuju?”
Semua orang lantas menyatakan setuju.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1357
“Tapi aku ingin menambah dengan sebuah usul,” kata Tong beng liang dari Khong tong pay.
“Seorang yang menang dua kali beruntun harus diperbolehkan mengaso. Biar bagaimana
tinggi kepandaiannya seorang manusia yang tidak bisa tahan berkelahi terus menerus. Di
samping itu, setiap partai atau perkumpulan hanya boleh mengajukan dua wakil dan kalau
kedua wakil itu kalah, partai atau perkumpulan yang tersangkut tidak boleh mengajukan lain
jago lagi. Tanpa ketentuan ini, pieboe yang bakal dilakukan mungkin takkan selesai dalam
waktu tiga bulan dan Siauw lim sie akan kehabisan makanan untuk memiara kita.”
Diantar gelak tertawa para hadirin menyetujui usul itu. Mereka tak tahu bawah dalam
mengajukan usulnya, Tong boen liang sebenarnya ingin membalas budi Boe Kie yang pernah
menyambung tulangnya yang patah di atas Kong beng teng.
Ia tahu bahwa Boe Kie berkepandaian lebih tinggi dari semua orang yang ada di situ. Tapi
pemuda itu bisa roboh kalau memang berkelahi terus menerus tanpa istirahat.
Pheng Eng Giok tertawa dan berkata dengan suara perlahan. “Tong loosam baik sekali.
Sekarang kita boleh menghitung bantuan Khong tong pay. Di samping Kauwcoe, siapakah
yang akan diajukan?”
Semua tokoh Beng kauw ingin sekali turun ke gelanggang. Tapi mereka tahu, bahwa orang
yang dipilih memikul pertanggungjawaban yang sangat berat. Orang itu harus dapat
mengalahkan banyak lawan, lebih banyak lebih baik, supaya Kauwcoe mereka bisa
menyimpan tenaga untuk menghadapi beberapa lawan yang berat. Maka itulah, biarpun
semua orang ingin turut berkelahi tak satupun yang berani ajukan diri.
“Kauwcoe,” kata Cioe Tan. “Bukan Cioe Tan takut mati, tapi sebab kepandaianku masih
terlalu rendah kali ini aku tidak berani menonjolkan diri.”
Boe Kie mengawasi semua pembantunya. “Yo Cosoe, Hoan Yosoe, Wie Hok ong, Potay
Soehoe, Tiat koen Tootiang dan yang lain2 berkepandaian cukup tinggi dan setiap orang
sebenarnya boleh mewakili Beng kauw,” pikirnya. “Tapi di antara mereka Hoan Yosoe
mempunyai pengetahuan paling luas dalam macam-macam ilmu yang terdapat di Rimba
Persilatan. Ilmu silat apapun dilayani dan diatasi olehnya. Biarlah aku memilih dia.”
Memikir begitu, ia lantas berkata. “Sebenarnya saudara yang manapun juga boleh maju ke
gelanggang. Tapi Yo Cosoe sudah pernah membantu aku memukul Kim kong Hek mo coan,
Wie Hok ong dan Po tay Soehoe sudah mengeluarkan tenaga dalam menangkap Hee Cioe.
Kali ini biarlah aku meminta bantuan Hoan Yosoe.”
Hoan Yauw girang, ia sambil membungkuk berkata, “Terima kasih atas penghargaan
Kauwcoe.”
Para pemimpin Beng kauw mengenal kepandaian Hoan Yauw dan pilihan itu disetujui mereka
Tiba-tiba Tio Beng berkata, “Kauw Thay Soe, bolehkah aku meminta sesuatu dari kau?’
“Tentu,” jawabnya. “Koencoe boleh katakan saja.”
Semua orang segera mengawasi Tio Beng dengan sorot mata menanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1358
“Ganjelan antara Kong tie Taysoe dan kau belum dibereskan,” kata si nona. “Apa bila lebih
dahulu kau harus bertempur melawan Kong tie siapa menang, siapa kalah belum bisa
dipastikan. Andaikata kau menang, kemenangan itu akan diperoleh sesudah membuang
banyak sekali tenaga.”
Hoan Yauw manggut-manggutkan kepalanya. Ia mengakui, bahwa Kong tie bukan lawan
enteng.
“Aku usulkan supaya kau tantang dia untuk bertanding satu lawan satu di Ban hoat sie,” kata
Tio Beng.
“Bagus! Bagus!” kata Hoan Yauw dan Yo Siauw dengan berbareng.
Mereka insaf, bahwa dengan tipuan itu si nona menyingkirkan seorang lawan berat untuk
Beng kauw. Begitu lekas Kong tie menerima baik tantangan Hoan Yauw untuk bertempur di
lain waktu dan di lain tempat, ia tidak boleh maju dalam pertandingan yang sekarang.
Ketika itu di perbagai gubuk para pemimpin partai atau perkumpulan sedang berdamai untuk
mengangkat wakil.
Dengan menggunakan kesempatan tersebut Hoan Yauw menghampiri Kong tie dan berkata
sambil memberi hormat, “Kong tie taysoe, apakah kau mempunyai nyali? Apakah kau berani
datang di Ban hoat sie?”
Mendengar Ban hoat sie, muka Kong tie lantas saja berubah. “Apa?” ia menegas.
“Di Ban hoat sie kita menaruh ganjalan, di Ban hoat sie juga kita harus membereskan,”
jawabnya. “Taysoe mempunyai nama besar, akupun mempunyai sedikit nama. Kalau kita
bertanding sekarang dan Taysoe mendapat kemenangan, orang gatal mulut lantas saja berkata
bahwa Taysoe menarik keuntungan karena berada di sarang sendiri. Andaikata aku yang
menang, manusia-manusia rendah bisa menambah bumbu yang tidak tidak, yang merugikan
Siauw lim sie. Maka itulah, kalau Taysoe merasa tidak puas, di bawah terangnya rembulan
Pengwee Tiong cioe tahun ini, aku akan tunggu kau di menara Ban hoat sie untuk minta
pelajaran.” (Pengwee Tiong cie: bulan delapan tanggal lima belas, perayaan pertengahan
musim rontok denganmakan kue Tiong cioe phia).
Kong tie tahu, bahwa Hoan Yauw memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu ia sedang
berduka sebab terjadinya suatu perubahan hebat dalam Siauw lim sie dan ia tidak punya
kegembiraan untuk bertempur dengan tokoh Beng Kauw itu. Sebab itu ia lantas mengangguk
dan berkata, “Baiklah, pada hari Pengwee Tiong Cioe aku akan datang di Ban hoat sie.”
Hoan Yauw menyoja dan lalu kembali ke gubuk Beng kauw. Tapi baru berjalan tujuh delapan
tindak, ia dengar Kong tie berkata dengan suara perlahan. “Hoan Sie coe, hari ini karena mau
menolong Kim mo say ong, kau tidak mau bertempur dengan aku. Bukankah begitu?”
Hoan Yauw terkejut. Ia menghentikan tindakannya dan berkata dalam hatinya, “Pendeta itu
sudah bisa menebak dengan jitu.” Ia seorang yang beradat terbuka, ia lantas tertawa besar dan
berkata, “Aku tidak punya pegangan bahwa aku akan menang.”
Kong tie tersenyum, “Loolap juga tidak punya pegangan bahwa Loolap akan bisa
mengalahkan Sie coe,” katanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1359
Dalam Rimba Persilatan, ahli-ahli yang sudah mencapai tingkatan tinggi, saling menghargai
kata orang eng hiong menyayang eng hiong. Sambil mengawasi Hoan Yauw yang kembali ke
gubuk Beng kauw, Kong tie menghela nafas.
Beberapa saat kemudian si Pendeta memotong perkataan dengan suara nyaring. “Sekarang
kita boleh mulai dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Senjata dan kaki tangan tidak
punya mata. Siapa yang terluka atau binasa harus menerima nasib secara rela. Orang yang
berkepandaian paling tinggi akan memiliki Cia Soen dan To liong to.”
Boe Kie mendongkol bukan main. “Pandai betul dia mengadu domba,” pikirnya.
Beberapa jago lantas masuk ke lapangan dan mengajukan tantangan. Di lain saat enam orang
sudah mulai bertempur dalam tiga rombongan. Tak lama kemudian dua orang kalah dan dua
orang lain maju dan menggantikan. Pertandingan berlangsung terus dengan saban-saban
roboh dengan kaki luka berat atau enteng.
Boe Kie menyaksikan itu semua dengan rasa menyesal dan berduka. Ia tahu bahwa
permusuhan dalam Rimba Persilatan tidak dapat dielakkan lagi.
Beberapa lama kemudian dengan pedang seorang tosu Koen loen pay melukai lawannya dari
Kie keng pang dan Cie hong Tiangloo berhasil memukul tetua Hwa san pay yang bertubuh
katai, sehingga tetua itu muntah darah.
Melihat kakak seperguruannya terluka tetua Hwa san pay yang jangkung lantas saja mencaci,
“Pengemis bau!” Seraya memaki, ia melompat masuk ke lapangan.
Si katai buru-buru mencekal tangan si jangkung. “Soetee,” bisiknya, “Kau tak akan bisa
menang. Biarlah aku menelan hinaan ini.” Si jangkung tidak mau mengerti, tapi dia lantas
diseret kakak seperguruannya.”
Sesudah itu, Ciehoat Tiangloo berhasil merobohkan Tiang boen jin Bwe hoato dan sesudah
menang dua kali beruntun, ia segera mundur untuk beristirahat.
Sesudah pertandingan berlangsung dua jam lebih, matahari mulai mendoyong ke sebelah
barat dan ilmu silat orang-orang yang turun ke gelanggang makin lama jadi makin tinggi.
Banyak yang semula ingin memperlihatkan kepandaiannya mundur kembali sesudah melihat
kepandaian orang-orang itu.
Pada waktu sin sie (antara jam tiga dan lima sore), Ciang poen Liong touw dari Kay pang
telah menendang roboh Pheng Sie Nio, seorang tokoh Kay pang dari Ouwlam barat. Sesudah
menjatuhkan jago betina itu sambil mengawasi rombongan Go bie pay ia berkata,
“Perempuan bisa apa? Kalau bukan mengandal kepada jumlah yang besar, mereka tentu
berpegangan kepada senjata rahasia beracun. Wanita yang berkepandaian seperti Pheng Sie
Nio sudah jarang terdapat.”
Mendengar ejekan itu, Cie Jiak segera bicara bisik-bisik kepada Song Ceng Soe yang sesudah
mengangguk lantas saja berbangkit dan menghampiri Ciang poen Liong tauw. “Liong tauw
Toako,” katanya sambil menyoja. “Aku ingin meminta pelajaran.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1360
Melihat pemuda itu, darang Ciang poen Liang tauw meluap. “Manusia she Song!” bentaknya.
“Secara tak menganal malu kau menyusup ke dalam Kay pang. Mungkin sekali kau juga turut
mencelakai Soe pangcoe kami, dan kau masih ada muka untuk menemui aku?”
Song Ceng Soe tertawa dingin. “Dalam dunia Kang ouw, berusaha menyelidiki rahasia musuh
adalah kejadian lumrah,” katanya. “Kau harus sesali dirimu sendiri yang tidak punya mata dan
tidak bisa lihat siapa sebenarnya Song toaya.”
“Binatang!” teriak Ciang poen Liong tauw. “Partai sendiri dikhianati olehmu. Terhadap ayah
kau tidak berbakti. Kau pasti akan mengkhianati juga isterimu sendiri. Go bie pay bakal
hancur dalam tanganmu.”
Muka Song Ceng Soe sebentar pucat, sebentar merah. “Tutup bacotmu!” bentaknya dengan
suara gemetar.
Ciang poen Liong tauw tidak mencaci lagi. Sambil menggeram ia menghantam dengan
telapak tangannya. Song Ceng Soe berkelit dan balas menyerang dengan Kim teng Bian ciang
(pukulan kapas) dari Go bie pay.
Karena gusar, jago Kay pang itu menyerang mati-matian dan mengirim pukulan-pukulan yang
membinasakan. Diserang begitu, Song Ceng Soe lantas saja jatuh di bawah angin. Sebelum
menjadi anggota Kay pang, Ciang poen Liong tauw sudah mendapat nama besar dan dalam
Partai Pengemis, kedudukannya hanya berada di sebelah bawah Pangcoe, Coan kang dan Cie
hoat Tiangloo.
Di lain pihak Song Ceng Soe adalah murid Boe tong turunan ketiga, dan ia baru saja
mempelajari pukulan Kim teng Biau ciang. Sebab belum cukup berlatih, ia belum bisa
mempergunakan ilmu silat itu sebaik-baiknya. Demikianlah saban-saban terdesak, secara
wajar ia membela diri dengan Bian ciang dari Boe tong pay yang sudah dipelajari olehnya
sedari kecil. Antara Kim teng Bian ciang dan Bian ciang Boe tong pay memang banyak
persamaannya, sehingga orang luar bisa keliru.
Makin lama perut In Lie Heng jadi makin panas. “Song Ceng Soe!” ia akhirnya membentak.
“Mukamu sungguh2 tebal! Kau mengkhianati Boe tong pay, tapi kau gunakan ilmu silat Boe
tong pay untuk menolong jiwamu. Kau membelakangi ayahmu, tapi kau masih ada muka
untuk menggunakan ilmu silat yang diturunkan oleh ayahmu!”
Muka Ceng Soe berubah merah. “Apa jempolnya ilmu silat Boe tong pay?” teriaknya. “Kau
lihatlah!” Seraya berkata begitu, ia mengibaskan tangan kirinya di depan mata Ciang poen
Liong touw dan sesudah membuat tujuh delapan gerakan kilat, lima jari tangan kanannya
mendadak menyambar dan menancap di kepala pemimpin Kay pang itu. Semua orang
terkesiap. Di lain detik Song Ceng Soe mencabut jari-jari tangannya yang berlumuran darah
dan Ciang poen Liong touw roboh tanpa bernyawa lagi.
“Apa Boe tong pay mempunyai ilmu silat begini?” tanya Ceng Soe dengan suara dingin.
Di antara ribut suara orang, tujuh delapan anggota Kay pang melompat masuk ke lapangan.
Sebagian menggotong jenazah pemimpin mereka dan sebagian pula menerjang Song Ceng
Soe!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1361
Seorang hweeshio gemuk yang berduduk di belakang Kong tie lantas saja berteriak, “Hei,
tahan! Kay Pang tidak boleh langgar peraturan!”
“Mundur!” bentak Cie hoat Tiangloo. “Biar aku yang membalas sakit hatinya Ciang poen
Liong touw.”
Murid-murid Kaypang tidak berani membantah. Mereka kembali ke gubuk sambil mengawasi
Song Ceng Soe dengan sorot mata gusar. Banyak orang turut merasa gusar, mereka
berpendapat pemuda she Song itu terlalu kejam.
Bagi Boe Kie, kebinasaan Ciang poen Liong touw lantas saja mengingatkan dia kepada luka
di pundak Tio Beng dan kebinasaan mengenaskan dari suami isteri Tauw. “Yo Cosoe,
mengapa Go bie pay menggunakan ilmu silat yang sesat itu?” tanyanya dengan suara gemetar.
Yo Siauw menggelengkan kepala. “Akupun belum pernah lihat ilmu silat semacam itu,”
jawabnya. “Tapi Kwee liehiap, pendiri Go bie pay dijuluki sebagai ‘Siauw tong sia’. Maka itu
kita boleh tak usah heran kalau ilmu silat Go bie pay mengandung sesuatu yang sesat.” (siauw
tong sia: si sesat kecil dari timur).
Sementara itu, Song Ceng Soe sudah mulai bertempur dengan Cie hoat Tiangloo. Jago
Kaypang itu, yang bertubuh kurus kecil, sangat gesit geraknya. Dengan mementang sepuluh
jari tangannya, ia menyerang dalam ilmu Eng jauw kang (silat cakar elang) dan berusaha
menancapkan jari-jari tangannya itu di kepala Song Ceng Soe. Sesudah bertempur puluhan
jurus, tiba-tiba ia membentak, “Terimalah kebinasaanmu, anjing!” Hampir berbareng, lima
jari tangan kirinya sudah menyentuh kepala Song Ceng Soe. Tapi baru saja ia mengerahkan
Lweekang untuk menancapkannya, si orang she Song mendahului – bagaikan kilat jari-jari
tangannya amblas di tenggorokan Cie hoat Tiangloo! Tanpa bersuara lagi, tetua Partai
Pengemis itu roboh di tanah.
Begitu lekas Cie hoat terguling, Cioe Cie Jiak menggerakkan tangannya dan delapan murid
Go bie pay melompat masuk ke lapangan dengan pedang terhunus. Mereka terpecah jadi
empat rombongan dan berdiri di sekitar Song Ceng Soe dengan saling membelakangi, siap
sedia untuk menyambut serangan Kay pang.
“Tiga puluh enam murid Lo han tong, bersiaplah!” teriak seorang pendeta To mo tong, sambil
menepuk tangan tiga kali. Hampir berbareng, tiga puluh enam pendeta yang mengenakan
jubah pertapaan warna kuning melompat keluar. Separuh dari mereka bersenjata sian thung
dan separung lagi memegang golok. Setibanya di lapangan, mereka berpencaran dan berdiri di
tempat-tempat tertentu. “Murid-murid Lo han tong, dengarlah!” teriak pula si pendeta To mo
tong. “Atas perintah Kong tie Soesiok tiga puluh enam murid Lo han tong harus
mempertahankan peraturan-peraturan dalam pertemuan ini. Dalam pertandingan apa, bila ada
yang berani mengerubuti atau membokong dari luar gelanggang, maka murid-murid Lo han
tong harus segera mencegah. Sebagai tuan rumah, Siauw lim sie harus berlaku adil. Siapa
yang membantah boleh dibinasakan!”
Rombongan murid Lo han tong itu lantas saja mengiakan.
Demikianlah karena sudah ada penjagaan keras, orang-orang Kay pang tidak berani bergerak,
mereka hanya mencaci dan berteriak-teriak dan kemudian menggotong jenazah Cie hoat
Tiang loo keluar dari lapangan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1362
“Kauw Taysoe, aku tak nyana Go bie pay masih punya ilmu yang begitu hebat,” bisik Tio
Beng. “Di Ban hoat sie, biarpun harus mati, Biat coat Soethay menolak untuk bertanding!
Mungkin sekali inilah sebab musababnya.”
Hoan Yauw hanya menggelengkan kepala. Ia tak mau bicara sebab sedang mengasah otak
untuk mencoba memecahkan ilmu silat itu. Selang beberapa saat mendadak ia berkata,
“Kauwcoe, aku ingin meminta pelajaran.” Sehabis berkata begitu ia menggerak-gerakan jarijari
tangannya di atas meja. “Kauwcoe lihatlah!” bisiknya. “Dengan cara ini kedua tanganku
membuat serangan berantai. Aku akan berusaha untuk menangkap lengan bangsat kecil itu
dan mencopotkan sambungan-sambungan tulang lengannya. Kalau sambungan lengannya
sudah copot, biarpun lihay, jari-jari tangannya tidak bisa digunakan lagi!”
Boe Kie juga menggerakkan beberapa jari tangannya. “Kau harus berhati-hati,” katanya.
“Jagalah jangan sampai jari-jari tangannya menyentuh lenganmu.”
Hoan Yauw mengangguk. “Aku akan tangkap lengannya dengan Ki na choe dan menendang
bagian bawah tubuhnya dengan Wan yo Lian-hoe to,” katanya.
“Kalau serang dengan delapan puluh satu pukulan berantai supaya dia tidak bisa bernafas,”
kata Boe Kie.
Sambil membisik-bisik, mereka melanjutkan latihan silat itu dengan kecepatan luar biasa.
Tiba-tiba Hoan Yauw tersenyum dan berkata, “Kauwcoe, beberapa seranganmu itu terlampau
hebat. Kecuali jari tangannya, ilmu silat bangsat kecil itu tidak seberapa tinggi. Dan pasti
tidak bisa menyerang dengan pukulan-pukulan yang sehebat itu.”
Boe Kie turut tersenyum. “Kalau benar, kaulah yang akan memperoleh kemenangan,”
katanya.
Tiba-tiba jari tangan kirinya membuat dua lingkaran dan jari tangan kanannya menerobos dari
lingkaran itu dan menggaet jari tangan Hoan Yauw, akan kemudian tersenyum dan
mengawasi orang sebawahan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sesudah hilang kagetnya, Hoan Yauw berkata dengan suara girang. “Terima kasih atas
petunjuk Kauwcoe. Aku takluk. Empat pukulan itu sangat luar biasa dan membuka pikiranku
yang gelap. Aku merasa menyesal, bahwa aku tidak bisa mengangkat Kauwcoe sebagai guru.”
“Pukulan itu adalah Lian hoat koat, pukulan yang terdiri dari lingkaran-lingkaran Thay kek
Koen hoat, gubahan Thay soehoe,” kata Boe Kie. “Yang terpenting ialah lingkaran-lingkaran
yang dibuat dengan tangan kiri. Biarpun she Song itu keluar Boe tong, kurasa ia belum bisa
menyelami pukulan ini.”
Hoan Yauw adalah orang yang sangat cerdas dan berkepandaian tinggi. Begitu mendapat
petunjuk, ia lantas punya pegangan untuk merobohkan Song Ceng Soe. Tapi sesudah menang
dua kali beruntun, menurut peraturan Song Ceng Soe harus beristirahat, maka itu ia tidak bisa
berbuat lain dari untuk kedua kalinya.
Sementara itu dengan paras muka berseri-seri Tio Beng mengawasi Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1363
“Beng moay, mengapa kau kelihatannya begitu bergirang?” tanya Boe Kie.
“Kau mengajar Hoan Yoesoe beberapa jurus hanya itulah untuk mematahkan lengan,” kata si
nona. “Mengapa kau tidak menyuruh dia untuk ambil saja jiwa manusia she Song itu?”
“Biarpun dia menyeleweng, Song Ceng Soe putera Toa soepeh. Toa soepeh lah yang harus
menghukum dia. Jika aku memerintahkan Hoan Yoesoe mengambil jiwanya, aku berlaku tak
pantas terhadap Toa soepeh.”
“Tapi apabila dia mati, Cioe ciecie akan jadi janda dan kau akan mendapat kesempatan untuk
menikah dengannya. Bukankah baik begitu?”
Boe Kie mencekal tangan Tio Beng erat-erat dan bertanya sambil tertawa, “Apa kau suka
mempermisikan aku berbuat begitu?”
“Tentu! Sesudah menikah hatimu akan bercabang lagi dan Cioe ciecie pasti akan
melubangkan dadamu dengan jari-jari tangannya.”
Selagi kedua orang muda itu bergurau, dengan dilindungi oleh delapan murid wanita Go bie
pay, Song Ceng Soe sudah kembali ke gubuk Go bie pay untuk beristirahat.
Kekejaman Song Ceng Soe dalam membinasakan kedua tokoh Kay pang sudah mengejutkan
semua orang. Seluruh lapangan menjadi sunyi dan para hadirin menunggu perkembangan
selanjutnya dengan hati berdebar-debar.
Sesudah mengaso sebentar, Song Ceng Soe maju lagi ke gelanggang. “Aku sudah
beristirahat,” katanya sambil merangkap kedua tangannya. “Siapa lagi yang mau memberi
pelajaran kepadaku?”
“Aku!” teriak Hoan Yauw. “Aku ingin berkenalan dengan ilmu silat Go bie pay.”
Tapi baru saja ia mau melompat keluar, satu bayangan manusia mendadak berkelebat dan
tahu-tahu sudah berdiri di depan Song Ceng Soe. “Hoan sianseng, biarlah aku yang maju
lebih dulu,” katanya. Orang yang bicara dengan suara menyeramkan itu adalah Boe tong Jie
hiap Jie Lian Cioe.
Sedari kecil Ceng Soe takuti pamannya itu. Melihat paras muka sang paman ia tahu, bahwa ia
sekarang menghadapi satu pertempuran mati hidup dan hatinya jadi gentar.
Jie Lian Cioe menyoja dan berkata, “Song Siauwhiap, mulailah!” Kata-kata itu membuktikan
bahwa ia tidak memandang rendah lawannya dan juga tidak lagi menganggap Song Ceng Soe
sebagai orang separtai. Song Ceng Soe tidak menjawab, ia hanya membungkuk untuk
membalas hormat dan Jie Lian Cioe lantas saja menyerang.
Boe tong Jie hiap sudah mendapat nama besar selama tiga puluh tahun lebih, tapi dalam
Rimba Persilatan hanya beberapa orang yang pernah menyaksikan kepandaiannya. Orangorang
Kangouw mengenal ilmu silat Boe tong pay sebagai ilmu yang dengan “kelembekan”
melawan “kekerasan” dan pukulan2nya yang perlahan mengandung aneka perubahan
beraneka warna. Di luar dugaan, serangan2 yang dikirim Jie Lian Cioe cepat bagaikan kilat
dan dalam beberapa saat saja, pinggang dan lutut Song Ceng Soe sudah kena terpukul.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1364
Tak kepalang kagetnya Song Ceng Soe. “Thay soehoe dan Thia thia ingin mengangkat aku
menjadi Ciang boenjin Boe tong pay turunan ketiga, sehingga tak mungkin mereka
merahasiakan apapun juga,” pikirnya. “Tapi serangan Jie jiesiok, biarpun dia menggunakan
ilmu silat Boe tong, tapi sangat berbeda dari kebiasaan.” Dia mau menguba cara berkelahinya
dengan ilmu yang diturunkan Cioe Cie Jiak, tapi Jie Lian Cioe tidak memberi kesempatan dan
terus mengirim serangan-serangan berantai.
Para hadirin menyaksikan pertandingan itu sambil menahan napas. Biarpun Jiehiap sudah
berada di atas angin, mereka merasa kuatir sebab tadi kedua pimpinan Kay pang yang sudah
dibinasakan juga lebih dahulu berada di atas angin.
Makin lama serangan Jie Jiehiap jadi makin cepat, tapi setiap pukulannya dapat dilihat dengan
nyata sekali, seperti juga setiap kata kata penyanyi kenamaan masih bisa didengar tegas
walaupun dia menyanyi dengan tempo yang ama cepat. Di antara orang-orang gagah yang
berduduk di bagian belakang, banyak yang berdiri di kursi atau meja. Semua orang kagum
dan mengakui bahwa nama besar Boe tong Jiehiap bukan nama kosong.
Untung juga Song Ceng Soe sudah mempelajari intisari daripada ilmu silat Boe tong pay,
sehingga sedikitnya untuk sementara waktu ia masih dapat mempertahankan diri. Begitu
hebat pertempuran itu, sehingga debu mengepul ke atas dan tubuh kedua jago itu seolah-olah
dikurung dengan awan yang berwarna kuning.
Tiba-tiba terdengar “plak!” suara beradunya tangan dan kedua lawan melompat ke belakang
dengan berbareng. Baru kakinya menginjak bumi, tubuh Jie Lian Cioe sudah melesat lagi ke
depan dan mengirim pukulan dahsyat.
Karena kuatir akan keselamatan kakak seperguruannya, In Lie Heng maju sampai ke
perbatasan lapangan. Dengan tangan memegang gagang pedang, ia terus memperhatikan
jalannya pertempuran tersebut. Sebagai murid Boe tong, ia tahu bahwa setiap pukulan adalah
pukulan yang membinasakan dan ketegangan yang dirasakannya lebih hebat daripada yang
dirasakan orang lain. Untung juga Jie Lian Cioe sekarang sudah banyak lebih unggul daripada
lawannya. In Lie Heng mengerti, bahwa apabila sang kakak tidak berjaga-jaga terhadap
totokan lima jari yang sangat lihay, siang-siang Song Ceng Soe sudah dapat dibinasakan.
Boe Kie pun tidak kurang kuatirnya. Diam-diam ia mencekal dua “seng hwee leng”. Kalau Jie
Lian Cioe menghadapi bahaya, tanpa memperdulikan segala peraturan, ia pasti akan
membantu.
Sesudah lewat sekian jurus lagi, sekonyong-konyong Song Ceng Soe mementang lima jari
tangannya dan coba mencengkeram pundak lawannya. Inilah pukulan yang ditunggu-tunggu
Jie Lian Cioe. Waktu Song Ceng Soe membinasakan kedua tetua Kay pang, pukulan itu telah
diperhatikan sungguh-sungguh oleh Jiehiap. Manakala belum ada contoh, andaikata tidak
mati, Jie Lian Cioe sedikitnya terluka hebat. Tapi sekarang ia sudah bersiap sedia dan sudah
menghitung-hitung cara bagaiman untuk menghadapinya. Di lain pihak, sebab berlatih belum
lama, Song Ceng Soe belum berhasil menyelami inti sari daripada pukulan itu dan gerakgerakannya
tidak banyak berbeda dari gerak-gerakan dalam dua pukulan yang dikeluarkannya
waktu mengambil jiwa kedua pemimpin Kay pang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1365
Demikianlah begitu lima jari tangan Song Ceng Soe menyambar, Jie Jiehiap mengegos ke
samping dan tangan kirinya membuat beberapa lingkaran di tengah udara.
“Ih!” Hoan Yauw mengeluarkan seruan tertahan. Itulah gerakan Lian hoan koat! Ia tahu
pemuda she Song itu tengah menghadapi bencana.
Sekonyong-konyong Song Ceng Soe menyodok tenggorokan Jie Lian Cioe dengan lima jari
tangan kanannya.
Boe Kie gusar bukan main. “Memang kurang ajar!” cacinya dengan suara perlahan. Sodokan
itu adalah sodokan yang digunakan untuk mengambil jiwa Cie hoat Tiangloo.
Hampir berbareng, kedua tangan Jie Lian Cioe membuat dua lingkaran dan mengeluarkan dua
macam tenaga dari ilmu Liok hap kin. Tak ampun lagi kedua lengan Song Ceng Soe
terkurung oleh lingkaran itu, dan “krek..krek..” sambungan tulang lengannya patah. Begitu
berhasil, Jie Lian Cioe mengirim Song hong koan nie (dua angin menerobos kuping) dengan
memukul kedua kuping Song Ceng Soe dengan kedua tinjunya. Tanpa mengeluarkan suara,
anak durhaka itu roboh.
Sebelum tubuh Song Ceng Soe roboh, Jie Lian Cioe sudah mengangkat kaki untuk
menendangnya dan menghabiskan jiwanya. Tapi tiba-tiba satu bayangan hijau berkelebat dan
ujung cambuk menyambar mukanya, secepat kilat Jie Jiehiap melompat ke belakang dengan
dikejar oleh beberapa sabetan. Orang yang menyerang bukan lain daripada Ciang boenjin Go
bie pay, Cioe Cie Jiak.
Pukulan-pukulan cambuk itu luar biasa. Dalam tiga pukulan saja, tubuh Jie Lian Cioe sudah
terkurung. Mendadak cambuk ditarik pulang dan Cie Jiak berkata dengan suara dingin.
“Kalau aku ambil jiwamu sekarang, kau tentu penasaran. Ambil senjatamu!”
In Lie Heng menghunus pedangnya. Ia maju dan berkata, “Biarlah aku yang melayani
Kouwnio,” katanya.
Cie Jiak mendelik dan lalu menghampiri suaminya. Kepala Song Ceng Soe pecah, matanya
melotot, darah keluar dari lubang-lubang anggota badannya dan sepuluh-sembilan ia tak dapat
hidup lagi. Tiga murid lelaki sudah masuk ke lapangan dan menggotongnya.
Cie Jiak memutar tubuh. Ia menuding Jie Lian Cioe dan membentak, “Sesudah binasakan kau,
aku baru ambil jiwa manusia she In itu!”
Serangan Cioe Cie Jiak sangat mengejutkan Jie Lian Cioe. Dengan rasa cintanya yang sangat
besar terhadap si adik, ia berpikir. “Biarlah aku yang maju lebih dahulu. Andaikata aku mati,
Lak tee sedikitnya bisa memperhatikan ilmu silatnya dan mungkin sekali ia akan bisa
meloloskan diri dari kebinasaan.” Ia segera mendekati In Lie Heng untuk mengambil
pedangnya.
Tapi rasa cinta In Lie Heng pun tak kalah dari kakaknya.
Jilid 75________________________________
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1366
Merasa bahwa meskipun mengerubuti, mereka belum tentu bisa menjatuhkan Cioe Cie Jiak.
Seperti soehengnya, ia rela berkorban supaya sang kakak bisa memperhatikan ilmu silat
cambuk itu dan dengan demikian, masih ada kemungkinan bahwa Jie Lian Cioe bisa
menolong diri. Memikir begitu, ia tidak menyerahkan pedangnya dan berkata, "Soeko, biarlah
aku yang maju lebih dahulu."
Jie Jie hiap mengawasi sang adik. Selama puluhan tahun mereka belajar bersama-sama
mereka seperti hubungan tangan dan kaki. Tiba-tiba saja darah Jie Lian Cioe bergolak-golak
dan rasa terharu datang seperti gelombang. Ia ingat bahwa Jie Thay Giam bercacat. Thio Coei
san bunuh diri, Bo Seng koh dibinasakan orang sehingga Boe tong Cithiap hanya ketinggalan
empat orang saja. Dan hari ini dua diantaranya, untuk beberapa saat, ia mengawasi muka si
adik.
"Kalau aku mati lebih dahulu, Laktee pasti tak akan bisa membalas sakit hatiku,” pikirnya.
"Tapi ia pasti tak akan lari dan kami berdua akan mengorbankan jiwa bersama sama, tanpa
mampu membalas. Kalau dia mati lebih dahulu mungkin sekali dengan memperhatikan silat
wanita itu, aku masih bisa binasa dengan mengambil juga jiwanya musuh. "Memikir begitu ia
segera mengangguk dan berkata. "Lak-tee pertahankan dirimu sedapat mungkin.”
Mengingat isterinya Yo Pit Hwie sedang hamil, tanpa merasa In-Liok hiap mengawasi Yo-
Siauw dan Boe Kie. Tapi ia merasa jengah sendiri. Ia tahu. andaikata ia mati, isteri dan
anaknya pasti tak akan terlantar. Perlu apa ia bersikap seperti seorang perempuan yang berhati
lemah.
Dilain saat ia sudah mengangkat pedang dan dengan kedua mata mengawasi ujung pedang, ia
memusatkan semangat dan pikiran. "Ciangboen jin, silahkan!" ia mengundang. Ia berusia
banyak dan lebih tua daripada Cie Jiak, tapi karena nyonya itu seorang Ciang boen jin, maka
ia menjalankan tata kehormatan itu.
Melihat si adik seperguruan memasang kuda-kuda Thay kek kiam, sambil menghela napas
Jie-Jiehiap mundur.
"Kau mulailah," kata Cie Jiak.
Mengingat gerakan nyonya itu cepat bagaikan kilat, sehingga kalau dia menyerang lebih
dahulu dia mendapat banyak lagi keuntungan, maka dari itu tanpa sungkan-sungkan lagi In
Lie Heng lalu menggeser kaki kirinya dan menikam dengan pukulan Sam hoau To goat ( Tiga
lingkaran memeluk rembulan).
Waktu menikam ujung pedang menggetar dan mengeluarkan suara, suatu tanda, bahwa
tikaman itu disertai dengan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga para hadirin
menyambutnya dengan tepukan tangan. Cie Jiak berkelit dan In Lie Heng mengirim lagi
serangan berantai Bintang Tay hwie chee dan Yan coe Tiauw soen (Anak walet terbang diatas
air). Dengan egosan yang indah Cie Jiak memunahkan kedua serangan itu. “In Liok hiap, aku
mengalah dalam tiga jurus untuk membalas budi kecintaanmu waktu aku berada di Boe tong
pai,” katanya. Hampir berbareng, ujung cambuk menyambar dada In Lie Heng. Pendekar Boe
tong itu melompat ke samping dan membabat dengan pedang dalam pukulan Hong Ho yap (
Angin menyapu daun teratai ). "Tak!" cambuk dan pedang kebenterok dan In Lie Heng
merasa telapak tangannya seperti terbeset, sehingga pedangnya hampir-hampir terlepas. Ia
kaget.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1367
Ia tak menyana bahwa Cie Jiak memiliki Lweekang yang begitu kuat. Buru-buru ia
mengempos semangat dan menyerang pula dengan memusatkan seantero pikirannya.
Cambuk Cie Jiek seolah-olah selembar benang sutera, sedang tubuhnya berkelebat-kelebat
dan terputar-putar tak henti-hentinya. Gerakan-gerakan itu baik cambuk maupun manusianya
seperti juga bukan gerakan manusia biasa.
Tiba-tiba HoanYauw berbisik. "Dia setan! Dia bukan manusia!"
Mendengar perkataan itu Boe Kie menggigil. Kalau waktu itu ia bukan berada ditengah
tengah ribuan orang.ia mungkin akan merasa bahwa yang dilihatnya adalah roh Cioe Cie Jiak.
Ia mengenal dan pernah melihat macam-macam ilmu silat, tapi belum pernah menyaksikan
ilmu yang seaneh itu. “Apa dia memiliki ilmu siluman?" tanya didalam hati.
Tapi biarpun Cioe Cie Jiak lihay, Thay kek Kiam hoat yang digubah oleh Thio Sam Hong
dapat dikatakan suatu ilmu pedang tertinggi di dalam dunia. Maka itu, meskipun tak bisa
melukai lawan, sedikitnya untuk sementara waktu In Lie Heng masih dapat mempertahankan
diri. Hanya banyak orang sudah lihat, bahwa pendekar Boe tong itu akan kalah, apa ia kalah
dengan masih hidup atau kalah membuang jiwa adalah suatu yang masih belum bisa
diramalkan.
Tiba tiba terdengar teriakan nyaring. "Celaka! Song Ceng soe hampir putus jiwa. Cioe Toa
ciangboen ! Kalau kau tak menemani lakimu waktu putus jiwa kau bakal jadi janda yang
kurang terhormat."
Semua orang menengok kearah suara itu, Yang teriak bukan lain dari pada Cioe Tian. Ia tahu
bahwa berkat latihannya seorang jago Boe tong-pay sangat pandai dalam mempertahankan
pemusatan pikirannya, hingga andaikan gunung Tay san roboh, paras mukanya bisa tak
berubah.
Melihat In Lie Heng jatuh dibawah angin ia coba membantu pendekar Boe tong itu dengan
mengacaukan pemusatan pikiran Cioe Cie Jiak Tapi nyonya muda itu tenang2 saja dan terus
bertempur tanpa memperdulikan teriakan itu.
"Hai! Cioe Kauwnio dari Go bie pay !" teriak pula Cioe tian. "Lakimu sudah hampir putus
jiwa. Dia mau memberi pesanan kepadamu. Dia kata, dia punya tiga kali tujuh dua puluh satu
anak diluaran. Sesudah dia mati, dia minta kurawat anak2 itu supaya dia bisa mati dengan
mata meram. Cioe Kauwnio! Apa kausuka meluluskan permintaan lakimu itu?"
Mendcagar ocehan itu, banyak orang tertawa terpingkal-pingkal tapi Cioe Jiak tetap tak
menghiraukan.
"Aha!” Cioe Tian teriak pula. "Biat coat Soet hay! Sudah lama kita tak pernah bertemu. Apa
kau baik?"
Mendadak tanpa memutar tubuh Cie Jiak melompat kebelakang beberapa tombak jauhnya dan
dengan berbareng menyabetkan cambuknya yang bagaikan seekor naga menyambar kemuka
Cioe Tian. Si semberono yang sama sekali tak duga bakal diserang secara begitu, kaget tak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1368
kepalang dan dalam kagetnya ia berdiri terpaksa sebab ujung cambuk tahu-tahu sudah hampir
menyentuh mukanya.
Untung juga, Yo Siauw yang berdiri didekat Cioe Tian dan yang selalu berwaspada, keburu
mengangkat sebuah meja dan melontarkannya, "Plak! plak!" meja itu terbelah karena terpukul
cambuk.
Sesudah itu Cie Jiak lantas saja molompat balik dan menyerang In Lie heng lagi.
Sesudah memperhatikan beberapa lama, Jie lian Cioe masih juga belum bisa menangkap
intisari daripada silat cambuk itu, "Andai kata aku yang maju, aku tak akan bisa
mengeluarkan Tay kek Kiam hoat yang lebih baik dari Laktee.” pikirnya. "Dalam
pertandingan jangka panjang perempuan itu mungkin akan kecapaian dan Lak
tee mungkin akan memperoleh kemenangan." Melihat kelihayan Thay kek Kiam hoat, ia
merasa bangga dan ia percaya, bahwa adiknya tak akan kalah.
Perubahan-perubahan paras muka Jie Lian Coe yang sebentar jengkel, sebentar girang tidak
terlepas dari mata Cioe Cie Jiak, "Jie jiesiok kau jangan bergirang dulu!" katanya dengan
mendadak. Aku sengaja mengalah dalam dua ratus dan sesudah duaratus jurus, barulah
kuambil jiwanya supaya nama besarnya tak hancur lebur. Sebentar jika kau yang maju, dalam
tiga puluh jurus aku akan ambil jiwamu!" Tiba-tiba cambuk bergemetar dan membuat
lingkaran-lingkaran besar dan kecil yang lantas saja mengurung In Lie Heng. Sebagaimana
diketahui, gerakan Tay kek koen dan Tay kek Kiam hoat juga berdasarkan lingkaranlingkaran.
Perbedaannya ialah, lingkaran yang dibuat Cioe Cie jiak puluhan kali lebih cepat
daripada lingkaran In Lie Heng. sebab tenaga pedang kena ditarik, tanpa merasa tubuh In Lie
Heng berputar beberapa kali dan .... pedang itu mendadak terlepas dari tangannya.
Bagaikan ular ujung cambuk menyambar batok kepala In Lie Heng, Jie Lian Cioe mencelos
hatinya. Tanpa menghiraukan jiwa sendiri, ia melompat dan coba menangkap senjata musuh.
Cie jiak menendang dan tendangan itu mampir tepat dipinggang Jie Jiehiap.
Pada detik yang sangat berbahaya, satu bayangan manusia berkelebat dan menangkis sabetan
cambuk. Orang yang menolong adalah Boe Kie. Dengan Kian koen Tay loie. ia memindahkan
tenaga cambuk. Tapi perubahan Cie Jiak aneh dan cepat. Mendadak ia melepaskan
cambuknya dan dengan dua telapak tangan ia memukul dada Boe Kie. Kalau Boe Kie
memindahkan tenaga pukulan itu dengan Kian koen Tay lo ie, maka tenaga itu akan jatuh di
muka In Lie Heng, sebab tangan kanannya masih dilibat ujung cambuk, maka ia segera
mengangkat tangan kirinya dan menyambut dengan keras juga.
Diluar dugaan begitu lekas tiga telapak tangan kebentrok, Boe Kie mendapat kenyataan
bahwa kedua telapak tangan Cie Jiak tidak berisikan Lweekang. "Celaka!" ia mengeluh.
"Sesudah melawan In liok siok duaratus jurus lebih Lweekangnya habis, jika aku meneruskan
pukulan ini jiwanya mesti melayang". Sebab tahu, kelihayan Cie jiak, maka waktu
menyambut pukulan itu, ia telah menggunakan seantero tenaga Lweekangnya. Untuk
menolong jiwa Cie Jiak ia harus secara menarik pulang tenaga itu. Hal ini bertentangan
dengan peraturan ilmu silat. Jika seorang menarik pulang Lweekang yang ba ru saja
dikeluarkan, maka itu berarti bahwa tenaga dalam tersebut akan menghantam dirinya sendiri.
Tapi Lweekang Boe Kie sudah mencapai tingkat tertinggi, sehingga tenaga yang memukul
balik itu paling banyak akan membuat dadanya sesat. Tapi alangkah kagetnya, baru saja ia
menarik pulang tenaga itu, tiba-tiba ia merasakan serangan tenaga Cie Jiak yang menghantam
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1369
bagaikan "gelombang dahsyat." Dak!” kedua telapak tangan Cie Jiak mampir tepat di
dadanya. Dengam demikian ia seperti juga menerima pukulan berbareng dari dua musuh.
Biarpun kuat, Kioe yang Sin kang tidak cukup kuat untuk melindungi tubuhnya dari serangan
itu. Apa pula pukulan Cie Jiak tiba pada detik yang "kosong,” yaitu pada detik tenaganya baru
saja digunakan dan tenaga baru belum keburu dikerahkan. Tak ampun lagi Boe Kie
terjengkang, matanya gelap dan ia muntah darah. Cie Jiak tahu, bahwa dalam pertandingan
biasa ia bukan tandingan Boe Kie. Maka itu begitu berhasil dengan bokongannya ia segera
mementang jari-jari tangan kirinya dan coba mencengkeram dada Boe Kie.
Untung sungguh meskipun terluka berat, pikirannya anak ini tidak menjadi kalut. Melihat
sambaran tangan, mati-matian ia menggeser tubuhnya. "Bret!" bajunya dibagian dada robek
semakin membesar. Cie jiak lantas saja mementang jari-jari tangan kanannya dan bergerak
untuk menancapkannya didada itu.
Pada saat itu, Boe Kie sudah tidak bisa ditolong atau menolong diri. Jie Lian Cioe tertendang
hiatnya dibagian lutut dan tidak bisa bergerak, sedang ln Lie Heng tidak keburu menolong
lagi.
Tangan Cie Jiak terangkat - . - tapi tangan itu mendadak berhenti ditengah udara. Mengapa?
Sebab matanya melihat bekas luka didada itu dan dalam otaknya lantas berkelebat peristiwa
diatas Kong beng teng, waktu ia melukai Boe Kie dengan Ie thian kiam. Mengingat itu, rasa
kemanusiaannya mendadak muncul dan gerakan tangannya terhenti.
Dilain detik In Lie Heng, Wie It Siauw, Yo Siauw dan Hoan Yauw menubruk dengan
berbareng. Wie It Siauw menghadang didepan pemimpinnya, Yo Siauw dan Hoan Yauw
menyerang Cie Jiak dari kiri dan kanan, sedang In Lie Heng lalu mendukung Boe Kie dan
membawanya ke luar lapangan.
Keadaan jadi kalut. Murid murid Go bie dan pendeta2 Siauw lim berteriak-teriak dan
menyerbu dengan senjata terhunus. Melihat Boe Kie sudah disingkirkan, Yo Siauw dan Hoan
Yauw lantas mengundurkan diri. Wie It Siauw lalu mendukung Jie Lian Cioe dan kembali ke
gubuk Beng kauw.
Muka dan pakaian Boe Kie berlumuran darah. Orang yang paling kaget adalah Tio Beng,
sehingga mukanya berubah pucat pasi. Boe Kie tersenyum dan berkata dengan suara perlahan,
"Tak apa-apa," ia segera bersila dilantai dan perlahan-lahan mengerahkan Kioe yang Cin khie
untuk mengobati lukanya.
"Siapa lagi yang mau memberi pelajaran kepadaku?" teriak Cie Jiak.
Hoan Yauw segera mengencangkan ikatan pinggangnya dan bertindak keluar gubuk. "Hoan
Yoe soe!" seru Boe Kie. "Aku memerintahmu - . - kau tidak boleh bertanding. Kita - - - kita
menyerah kalah,” Sehabis berkata begitu ia muntah darah lagi.
Hoan Yauw tidak berani membantah. Jika ia keluar juga, luka sang Kauwcoe pasti akan
bertambah berat. Apapula satu pertandingan melawan Cie Jiak hanya berarti kebinasaannya.
Beberapa kali Cie Jiak menantang tanpa mendapat jawaban. Bahwa Boe Kie terluka sebab
menarik pulang tenaganya sendiri, tidak diketahui oleh orang lain. Para hadirin hanya
menganggap bahwa nyonya itu lebih tinggi ilmunya dan bahwa dia sudah mengampuni jiwa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1370
Boe Kie. Apa yang diketahui orang hanyalah, bahwa Cie Jiak sudah merobohkan tiga tokoh
kelas utama dalam Rimba persilatan, sehingga oleh karenanya orang2 yang semula masih
ingin mengukur tenaga sudah mengurungkan niatnya.
Sesudah Cie Jiak menunggu beberapa lama lagi si pendeta tua dari Tat mo tong maju ke
depan dan berkata seraya merangkap kedua tangannya. "Song Hoejin, Ciang boen jin Go bie
pay memiliki ilmu silat nomor satu dikolong langit. Siapa yang tidak mufakat?" Ia
mengajukan pertanyaan itu tiga kali beruntun, tanpa mendapat tantangan. "Kalau begitu,” kata
si pendeta akhirnya. "Sesuai dengan persetujuan yang sudah dicapai, Kim mo Say ong Cia
Soen diserahkan kepada pertimbangan Song Hujin. Selain itu, siapapun juga yang sekarang
memegang To liong to harus menyerahkan kepada Song Hujin. Hal ini sudah disetujui oleh
segenap orang gagah dan tidak dapat dibantah lagi."
Ketika sipendeta bicara, Boe Kie sedang mengerahkan Kioe yang Cin kie dan seantero
semangat pikirannya berada dalam suatu "kekosongan." Mendadak kupingnya menangkap
kata-kata Kim mo Say ong Cia Soen diserahkan kepada pertimbangan Song Hoejin. Ia
terkejut hampir ia muntah darah lagi. Tio Beng yang terus berwaspada lihat perubahan pada
paras muka pemuda itu dan ia mengerti sebab musababnya. "Kita boleh merasa girang apa
bila Giehoe diserahkan kepada pertimbangan Cioe Cie
cie. Ia tak tega membinasakan kau dan ini membuktikan bahwa ia masih mencintai kau. Ia
masih mengharap pemulihan hubungan dengan kau dan ia pasti tidak akan mencelakai
Giehoe. Legakanlah hatimu," Boe Kie menyetujui pendapat itu dan ketenangannya pulih.
Sementara itu matahari sudah menyelam kebarat dan seluruh lapangan mulai diliputi dengan
kegelapan malam.
"Kim mo say ong Cia soen dipenjarakan di belakang gunung," kata pula sipendeta Tatmo
tong. "Lantaran sekarang sudah malam dan kalian sudah lapar, maka besok tengah hari saja
kita berkumpul lagi disini dan loolap akan mengantar Song Hojein kepenjara untuk
melepaskan Cia Soen. Besok kita akan menyaksikan ilmu silat Song Hoejin yang tiada
tandingannya dikolong langit.
Boe Kie,Yo Siauw dan Hoan Yauw mengawasi Tio Beng. Didalam hati, mereka memuji
tebakan si nona yang sangat jitu. Serombongan pendeta Siauw lim itu ternyata sudah
menetapkan tipu untuk mencelakai jago-jago nomer satu.
Biarpun berkepandaian tinggi, Cie Jiak tentu tak bisa melawan Touw ok bertiga. Mungkin
sekali nyonya muda itu akan membuang jiwa dalam pertempuran.
Sementara itu Cie Jiak kembali ke gubuk Go bie pay dan menengok suaminya.
Sesudah berdiam sejenak, sipendeta berkata lagi. "Para enghiong, dengarlah! Kalian datang
berkunjung dikuil kami dan kalian adalah tamu kami yang terhormat. Jika diantara kalian
terdapat ganjelan, maka kami harap dengan memandang muka kami yang tipis, janganlah
kalian coba membereskan ganjelan itu ditempat ini, Sesudah makan malam, kalian boleh
berjalan-jalan disegala tempat, kecuali ditempat untuk menyimpan kitab-kitab yang terletak
dibelakang kuil kami.
Sesudah itu semuta orang bubar dari lapangan dan kembali ketempat peristirahatan. Boe Kie
didukung Hoan Youw dan rombongm Beng kauw pulang kepesanggrahan mereka. Boe Kie
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1371
terluka berat, tetapi sesudah menelan sembilan butir pil buatannya sendiri dan sesudah
mengerahkan hawa Kioe yang, kira-kira tengah malam, sehabis memuntahkan darah hitam,
lukanya sudah sembuh seluruhnya. Yo Siauw, Hoan Yauw, Jie Lian Cioe, In Lie Heng dan
lain-lain semuanya kaget tercampur girang. Mereka memuji Lweekang Boe Kie yang sangat
luar biasa. Kalau orang lain yang terluka begitu berat dia sedikitnya harus beristirahat satu dua
bulan, biarpun diobati oleh tabib yang paling pandai-
Sehabis makan dua mangkok nasi dan mengaso lagi, Boe Kie berbangkit dan berkata, “Aku
mau keluar sebentar." Ia seorang Kauwcoe dan meskipun ia tidak memberitahukan
maksudnya, tak seorangpun berani menanya.
“Kau baru sembuh, harus berhati hati," kata In Lie Heng.
Boe Kie mengaagguk. Melihat paras muka Tio beng yang mengunjuk kekuatiran besar ia
tersenyum, seperti juga ia mau mengatakan, "Jangan kuatir!"
Ia keluar dari pesanggrahan dan menengadah. Rembulan memancarkan sinarnya yang gilang
gemilang dan langit terang dengan bintang-bintang. Diluar kuil ia bertemu dengan seorang tie
kekeong. “Aku ingin bertemu dengan Ciang soe jia Go bi pay,” katanya. Kumohon Taysoe
suka mengantar."
Melihat orang yang bicara adalah Kauwcoe dari Beng kauw, pendeta itu membungkuk dan
mengiakan. Ia lalu berjalan kearah barat dan sesudah melalui kira-kira satu li, ia menuding
serentengan gubuk seraya berkata, "Itulah tempat Go bie pay. Lelaki dan perempuan tidak
boleh bertemu sembarangan, Siauw Ceng hanya bisa mengantar sampai disini." Sebenarnya
apa yang dtakuti olehnya adalah pertempuran aotara Boe Kie dan Cie Jiak. Kalau terjadi
begitu, ia bisa terbawa-bawa.
“Jika kau memberitahukan hal ini kepada orang lain, banyak orang bakal jadi kaget,” kata
Boe Kie sambil tersenyum. Bagaimana kalau aku totok jalan darahmu supaya kau menunggu
aku disini."
“Siauwceng akan menutup mulut," kata si pendeta tergesa-gesa. "Kauwcoe tak usah kuatir."
Ia memutar tubuh dan lalu berjalan cepat-cepat.
Boe Kie mendekati gubuk-gubuk itu. Mendadak dua bayangan berkelebat dan dua pendeta
wanita mencekal pedang terhunus, menghadang didcpannya. "Siapa?" bentak salah seorang.
"Beng Kauw Thio Boe Kie." jawabnya. "Aku minta bertemu dengan Song Hoejin."
Kedua nikouw itu terkesiap. "Thio... Thio Kauwcoe tunggu ... aku akan melaporkan," kata
yang satu dengan suara gemetar. Ia memutar tubuh dan sesudah berjalan beberapa tindak, ia
meniup suitan bambu.
Hari ini adalah hari kegemilangan Go bie pay, dihidapan ribuan enghiong, ciang bun jin Go
bie pay telah megalahkan tiga tokoh terutama pada jaman ini. Sejmenjak Go bie pay
didirikan, inilah suatu kejadian yang pertama kali. Tapi, sesudah membunuh dua pemimpin
Kay pang, menjatuhkan dua pendekar Boe tong dan melukai Kauwcoe dari Beng kauw, Go
bie pay mendapat banyak musuh. Lagi pula sesudah merebut gelar jago silat aomor satu di
kolong langit, Cie Jiak dibuat iri hati oleh entah berapa banyak orang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1372
Maka itulah, malam ini Go bie pay membuat penjagaan yang sangat keras. Hampir berbareng
dengan tanda pendeta wanita itu dari empat penjuru muncul empat puluh orang lebih yang
mencekal pedang terhunus. Boe Kie tenang-tenang saja. Dengan menaruh kedua tangannya di
belakang, ia berdiri tegak.
Pendeta wanita yang meniup suitan segera masuk kedalam untuk memberi laporan. Beberapa
saat kemudian, ia keluar lagi dan berkata. “Ciang boen jin kami mengatakan, bahwa karena
lelaki dan perumpuan tidak boleh bertemu dengan begitu saja ditengah malam buta, maka
Ciang boen jin kami mempersilahkani Thio Kauwcoe balik kembali."
"Aku mengerti ilmu ketabiban dan aku coba mengobati Song Ceng Soe Siauw hiap" kata Boe
Kie. "Aku tidak mengandung lain maksud.”
Pendeta itu kelihatannya kaget. Ia masuk lagi. Sesudah agak lama, baru dia keluar lagi.
"Ciang boen jin undang Thio Kauwcoe masuk." katanya.
Sesudah menepuk-nepuk pinggangnya untuk memperlihatkan, bahwa ia tidak membawa
senjata, Boe Kie segera mengikut pendeta wanita itu masuk kedalam. Setibanya diruangan
tengah, ia lihat Cie Jiak sedang duduk termenung sambil menopang dagu. Mendengar
tindakan kaki, nyonya itu tidak menengok atau berkisar. Sehabis menuang teh dan menaruh
cangkir di depan Boe Kie, pendeta wanita itu lalu meninggalkan ruangan tersebut.
Dibawah sinar lilin, untuk beberapa saat Boe Kie mengawasi bekas tunangannya yang
mengenakan baju warna hijau. Diantara kesunyian suasana diliputi dengan peringatanperingatan
masa yang lampau, dan sewaktu Boe Kie merasa sangat berduka. “Bagaimana
dengan luka Song Soeko?” tanyanya. "Boleh aku menengoknya?"
Cie Jiak tetap tidak menengok. “Tulang kepalanya hancur," jawabnya dengan suara dingin.
"Lukanya sangat berat. Rasanya tak bisa hidup lagi. Entahlah apa dia bisa melewati malam
ini."
"Kau tahu bahwa ilmu ketabibanku tidak terlalu jelek. Aku bersedia untuk menolongnya
sedapat mungkin.”
"Mengapa kau mau menolong dia?"
Boe Kie terkejut. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab. “Aku bersalah terhadap mu
dan aku merasa sangat malu. Apalagi hari ini kau sudah menaruh belas kasihan dan
mengampuni jiwaku. Adalah sepantasnya saja jika aku pun berusaha untuk menolong Song
Soeko."
“Kaulah yang lebih dahulu mengampuni jiwaku. Apa kau kira aku tak tahu? Jika kau berhasil
menolong Song Toako balasan budi apa yang di pinta olehmu?"
"Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Aku datang untuk minta kau menolong Gie hoe.”
Cie Jiak menuding kedalam. "Ia berada disitu," katanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1373
Ketika Boe Kie menolak kamar, kamar itu gelap gulita. Ia segara mengambil ciak tay, tempat
menancap lilin. Cie Jiak tetap tak bergerak.
Boe Kie membuka kelambu. Ia lihat Song Ceng Soe berada dalam keadaan pingsan, napasnya
lemah, kedua matanya melotot dan paras mukanya menakutkan. Ia lalu memeriksa nadi.
Ketukan nadinya kalut, sebentar cepat sebentar perlahan kulit tubuhnya dingin dan memang
juga, kalau tidak keburu ditolong, dia sukar melewati malam itu. Perlahan-lahan ia merabaraba
batok kepala Ceng Soe. Ia mendapat kenyataan bahwa pada bagian depan dan bagian
belakang kepala ada empat potong tulang yang hancur. Pukulan song hong Koan nyie yang
dikirim Jie Lian Cioe yang disertai dengan sepuluh bagian tenaga dalam dan kalau Song Ceng
Soe sendiri tidak memiliki Lweekang yang kuat, ia siang2 sudah binasa.
Boe Kie lalu menutup kelambu, menaruh ciak tay dimeja dan duduk dikursi bambu sambil
mengasah otak untuk mencari jalan guna mengobatinya. Sebagai murid tiap kok ie sian,
kepandaiannya dalam ilmu ketabiban sudah jarang ada tandingannya. Tapi luka Ceng Soe
terlampau berat, sehingga ia sama sekah tak punya pegangan.
Sesudah duduk disitu kira2 semakanan nasi, ia berjalan keluar dan berkata: "Song Hoe-jin,
aku tak bisa mengatakan apa aku akan berhasil dalam usaha mengobati Song-soeko. Apakah
kau suka mempermisikan untuk aku mencoba-coba."
"Kalau kau tak bisa menolong, didalam dunia tak ada orang lain yang akan bisa menolong."
"Andaikata aku berhasil, muka dan ilmu silatnya mungkin tak bisa pulih seperti kala.
"Kau bukan dewa. Kutahu kau akan berusaha sedapat mungkin untuk menolong jiwanya
supaya kau bisa menjadi koenma dengan tidak usah malu sendiri." ( Koen-ma - suami seorang
puteri raja muda ).
Jantung Boe Kie memukul keras. Ia sama sekali tak mempunyai maksud begitu, tapi merasa
tak enak untuk bertempur dengan tunangannya itu. Ia lalu kembali kekamar Ceng-soe, mem
buka selimut dan menotok delapan "hiat" pada tubuh pemuda itu. Kemudian, dengan tangan
yang hampir tulang-tulangnya patah atau hancur dan akhirnya melabur tulang-tulang itu
dengan semacam koyo hitam yang dikoreknya dari sebuah kotak emas. Koyo itu bukan lain
dari pada Hek giok Toan siok ko-Koyo untuk mengobati tulang patah dari Siauw lim boen di
See-hek. Sebagaimana diketahui, Koyo itu diberikan oleh Tio Beng untuk mengobati Jie Thay
Giam dan In Lie Heng dan masih ada lebihnya: Sesudah itu, ia dengan secepat mungkin
segera mengerahkan Kioe yang Cin khie dan mengirim hawa yang hangat kedalam otak Song
Ceng Soe.
Sesudah tulang2nya disambung dan kepalanya dilabur obat, paras muka Song Ceng soe
tak berubah jadi lebih jelek, Boe Kie girang di dalam hatinya timbul harapan besar. Sebab ia
sendiri baru saja terluka, maka sehabis mengerahkan Lweekang, napasnya lantas saja tersengal2.
Untuk beberapa lama ia berdiri didepan ranjang dan menenteramkan jalan
pernapasannya.
Sesudah itu ia meninggalkan Song Ceng soe dan menaruh ciak tay diatas meja. Dari sinar lilin
ia melihat muka Cie Jiak yang pucat pasi. Diluar lapat2 terdengar suara tindakan kaki. Ia tahu,
bahwa itulah suara tindakan murid2 Go-bie pay yang jaga malam.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1374
“Song soeko mungkin sekali bisa ditolong,” kata Boe Kie. "Legakanlah hatimu.”
"Kau tak punya pegangan pasti dalam menolong dia, akupun tak pumya pegangan pasti dalam
menolong Cia Tayhiap," kata Cie Jiak.
Boe Kie tahu bahwa yang dikatakan Cie Jiak memang sebenarnya. Biarpun dibantu oleh dua
jago Go bie pay Cie Jiak belum tentu berhasil. Bahkan mungkin dia membuang jiwa. "Apa
kau tahu dimana Giehoe dipenjarakan dan bagaimana penjagaannya ?" tanyanya.
"Tidak" jawabnya. "Penjagaan apa yang diatur Siauw lim pay?"
Boe Kie segera menceritakan apa yang ia tahu dan segala pengalamannya dalam pertempuran
melawan tiga pendeta Siauw lim.
"Kalau kau tidak berhasil akupun lebih tak kan berhasil," kata Cie Jiak sesudah Boe Kie
selesai menutur.
"Cie Jiak," kata Boe Kie dengan bernafsu, "apabila kita berdua bekerja sama kita pasti
berhasil. Dengan tenaga Soen yang (keras) aku melibat cambuk ketiga pendeta itu sedang kau
sendiri bisa menerjang dengan tenaga Im-Jioe (lembek). Begitu kau menerobos masuk ke
dalam Kim kong Hok mo coan, kita menyerang dari dalam dan dari luar dan kita pasti akan
berhasil."
Cie Jiak tertawa dingin. “Dahulu, kita pernah memadu janji untuk menjadi suami isteri,"
katanya, "Kini jiwa suamiku berada dalam bahaya- Hari ini aku mengampuni jiwamu. Orang
luar tentu akan bilang bahwa aku berbuat begitu sebab aku sukar melupakan kecintaan. Tapi
apabila kau meminta bantuan dalam memukul Kim kong Hok mo can, orang-orang gagah
dikolong langit tentu akan mencaci aku sebagai perempuan yang tak tahu malu.”
"Perduli apa omongan orang luar?” kata Boe Kie. “Kita hanya perlu menanya hati sendiri,
apakah kita ada yang berbuat sesuatu yang memalukan atau tidak."
“Bagaimana kalau aku menanya dalam hati sendiri, aku merasa, bahwa aku telah berbuat
sesuatu yang memalukan?" kata Cie Jiak.
Boe Kie tertegun. "Kau... kau..." katanya.
"Thio Kauwcoe," memutus Cie Jiak. "Bahwa kita berdua berada bersama-sama ditengah
malam buta, sudah sangat tak pantas. Thio Kauwcoe kau pergilah !"
Boe Kie menyoja sambil membungkuk, "Song Hoejin, sedari kecil kau berlaku sangat baik
kepadaku," katanya. "Kumohon kali ini kau suka berbuat baik lagi kepadaku. Selama Thio
Boe Kie masih hidup, dia takkan melupakan budimu yang sangat besar."
Cie Jiak membungkam. Ia tidak menjawab "ya" atau "tidak". Iapun tidak pernah menengok,
sehingga Boe Kie tidak bisa lihat paras mukanya. Baru saja Boe Kie mau memohon lagi,
nyonya muda itu tiba-tiba berteriak, "Ceng hoei Soe cie, antarkanlah tamu kita."
Pintu terbuka dan Ceng hoei Soethay berdiri diambang pintu dengan mencekal pedang
terhunus. Dengan mata berapi pendeta wanita itu mengawasi Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1375
Mendadak Boe Kie menekuk kedua lututnya dan berlutut. Ia menyampingkan segala perasaan
malu sebab mati hidupnya sang ayah angkat tergantung atas kemauan Cie Jiak untuk memberi
pertolongan. Sesudah memanggutkan kepala empat kali ia berkata, “Song-hoejin, memohon
belas kasihanmu.”
Cie Jiak tetap duduk bagaikan patung.
"Thio Boe Kie, Ciang boenjin menyuruh kau pergi!" bentak Ceng hoei. Kalau kau masih
rewel, kau benar-benar manusia rendah yang tak mengenal malu!" Ia mencaci begitu karena
menduga Boe Kie minta menikah dengan Cie Jiak sesudah Song Ceng Soe mati.
Boe Kie menghela napas. Ia bangkit dan terus berjalan keluar.
Setibanya digubuk Beng kauw, Tio beng menyambutnya dengan berkata. "Song Ceng soe
dapat ditolong bukan? Kau jadi orang mulia dengan menggunakan Hek hiok Toan siok koku."
"Beng moay, kau sungguh pintar! Tapi aku tidak bisa katakan, apa dia bisa ditolong atau
tidak.”
"Hmm... Kau coba menolong Song ceng soe untuk ditukar dengan Cia Tay hiap. Boe Kie ko
ko makin lama otakmu makin tidak beres!"
"Mengapa begitu? Aku tak mengerti maksud mu.”
"Dengan seantero kepandaianmu, kau berusaha untuk menolong Song ceng soe. Itu berarti
bahwa kau sedikitpun tak ingat lagi kecintaan Cioe Ciecie. Coba pikir, bagaimana dia tidak
jadi mendongkol?"
Boe Kie terkejut. Tak dapat ia menjawab perkataan si nona. Tak bisa jadi Cie Jiak merasa
senang kalau suaminya binasa. Tapi ia ingat perkataan nyonya itu. “Kutahu, kau akan
berusaha sedapat mungkin untuk menoloug jiwanya, supaya kau bisa menjadi koenma dengan
tak usah merasa malu sendiri" Perkataan itu mengunjuk bahwa didalam hati Cie Jiak merasa
mendongkol.
Melihat Boe Kie membungkam, Tio beng berkata pula. "Apakah kau merasa menyesal
sesudah menolong jiwa Song ceng soe?" Sehabis bertanya begitu, tanpa menunggu jawaban ia
masuk kedalam. Boe Kie duduk diatas batu. Sambil mengawasi rembulan, pikirannya
melayang kemasa lampau. Ia ingat bahwa sebelum setahun sesudah meninggalkan Peng hwee
to, kedua orang tuanya meninggal dunia. Semenjak itu ia hampir diliputi kedukaan. Banyak
kali ia coba berbuat, tapi akibatnya jadi sebaliknya. "Ah... kalau tahu bakal begini lebih baik
berdiam terus di Peng hwee to dan hidup tenteram bersama ayah ibu dan Giehoe,” katanya
didalam hati.
Pada keesokan paginya para enghiong kembali berkumpul dilapangan yang kemarin, kali ini
si pendeta Tat mo tong yang berlaku sebagai juru bicara tanpa minta permisi dari Kong tie.
“Para enghiong dengarlah,” teriaknya. “Dalam pie boe kemarin Song hoejin dari Go bie pay
telah memperoleh kemenangan terakhir, sehingga sebagai mana sudah disetujui, hari ini kami
mengundang ia untuk pergi kebelakang gunung guna melepaskan Kim mo Say ong Cia Soen.
Mari." Sehabis berkata begitu ia berjalan lebih dahulu sebagai penunjuk jalan, diikuti oleh
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1376
rombongan Go bie pay dan lain-lain. Melihat Cie Jiak tidak mengenakan pakaian berkabung
Boe Kie tahu, bahwa jiwa Song Ceng Soe dapat dikatakan sudah tertolong.
Setibanya dipuncak bukit, sipendeta Tat mo tong segera berkata. "Ini penjara dibawah tanah
diantara ketiga pohon siong itu. Penjaga penjara ialah ketiga tetua dari partai kami. Sesudah
mengalahkan ketiga tetua kami itu, Song Hoejin boleh lantas mengambil Cia Soen.
Melihat paras muka Boe Kie yang penuh kebingungan Yo Siauw berbisik. "Kauwcoe tak usah
kuatir, Wie Hok kiong dan Swe Poet Tek sudah mempersiapkan Ngo heng kie dikaki bu-kit2.
Apabila Go bie pay tidak mau menyerahkan Cia Soen, kita boleh segera mengunakan
kekerasan.”
Alis Boe Kie berkerut. “Tindakan itu melanggar persetujuan dan kita akan kehilangan
kepercayaan,” katanya.
"Untuk menolong Cia Say ong, kita tidak bisa terlalu memperhatikan hal yang sedemikian,"
kata Yo Siauw.
"Musuh Cia Tayhiap terlalu banyak," sela Tio Beng. "Kita harus menjaga juga senjata gelap."
"Benar," kata Boe Kie. "Hoan Yoesoe Tiat koen Too tiang, Cioe heng, Pheng Tay Soe,
kuminta kalian berdiri ditempat sudut dan menjaga serangan gelap."
“Boe Kie Koko," bisik nona Tio, "kuingin ajukan sebuah usul. Jika ada orang menggunakan
senjata rahasia, kita boleh segera menggunakan itu untuk merampas Cia Thayhiap. Dengan
demikian, tidak seorang pun bisa mengatakan, bahwa kita melanggar janji. Kalau tidak ada
yang membokong, sebaiknya Yo Cosoe memerintahkan salah seorang untuk melepaskan
senjata rahasia, supaya didalam kekalutan kita bisa turun tangan.
Yo Siauw tertawa. "Bagus! tipu itu sungguh lihay.” katanya. Ia segera berlalu untuk mengatur
persiapaan.
Boe Kie merasa, bahwa siasat itu bukan cara seorang ksatria. Tapi untuk menolong jiwa ayah
angkatnya, ia tidak bisa terlalu menghiraukan soal itu lagi. Diam-diam ia merasa sangat
berterima kasih terhadap Tio Beng. “Beng moay dan Yo Cosoe adalah orang-orang pandai
pada jaman ini," katanya didalam hati. Sungguh untung aku bisa mendapat bantuan mereka."
Sementara itu Cioe Cie Jiak sudah maju menghampiri ketiga pohon siong dan berkata sambil
membungkuk. "Sam wie adaiah tetua Siauw-lim pay yang memiliki kepandaian sangat tinggi!
Jika dengan sendirian aku melawan Sam wie, aku bukan saja berlaku tidak adil, tapi juga
tidak menghormat kalian."
"Song Hoejin boleh mengambil pembantu,” si pendeta Tat mo tong.
"Karena mengalahnya para enghiong, secara kebetulan aku merebut kemenangan," kata Cie
Jiak. Dalam memperoleh kemenangan itu, aku mengandalkan ilmu silat mendiang guruku,
Biat coat Soethay. Jika tiga lawan tiga biarpun menang, kemenangan itu belumlah cukup
untuk memperlihatkan hasil yang jerih payah mendiang guruku dalam mengajar aku. Kalau
satu lawan tiga, aku jadi berlaku kurang hormat terhadap tuan rumah. Begini saja. Aku akan
meminta bantuannya seorang Bocah yang kemarin jatuh di-dalam tanganku dan yang lukanya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1377
sampai sekarang belum sembuh betul, Bocah itu dahulu pernah muntah-muntah darah karena
dipukul Siansoe (mendiang guruku). Kejadian ini diketahui oleh semua orang. Dengan
meminta bantuannya aku tidak merugikan nama baik Sian soe."
Mendengar perkataan itu, Boe Kie jadi girang sekali. "Benar saja dia meloloskan
permohonanku,” katanya didalam hati.
Sementara itu Cie Jiak sudah berseru. Thio Boe Kie kau keluarlah!"
Kecuali Yo Siauw dan beberapa pemimpin lain, para anggauta Beng Kauw tidak tahu mau
Kauwcoe mereka, mereka merasa sangat gusar. Tapi diluar dugaan, sang Kauwcoe kelihatan
girang dan menghampiri dengan paras muka berseri-seri. Sambil menyoja, ia berkata.
“Terima kasih atas belas kasihan Song Hoejin yang kemarin sudah meagampuni jiwaku."
Untuk menebus dosa dahulu hari dan demi keselamatan ayah angkatnya, ia sudah mengambil
keputusan untuk menelan segala hinaan.
"Sebab lukamu belum sembuh, akupun bukan sungguh2 mengharapkan bantuanmu," kata Cie
Jiak.
“Aku hanya menanti perintah," jawab Boe Kie.
Dengan sekali menggerakkan tangan kanannya, Cie Jiak membuat belasan lingkaran besar
dan kecil dengan cambuknya. Hampir berbareng ia membalik tangan kirinya dan tahu2 ia
sudah memegang sebilah golok pendek yang bersinar hijau. Para orang gagah yang kemarin
sudah menyaksilcan kelihayan cambuk tak pernah menduga bahwa jago betina itu akan
menggunakan juga lain snnjata. Kedua senjata itu sangat berlainan sifatnya, yang satu panjang
yang lain pendek, yang satu lemas yang lain keras. Bahwa Cie Jiak dapat menggunakan kedua
senjata itu dengan berbareng, merupakan bukti bahwa ia benar2 memiliki kepandaian tinggi.
Para enghiong lantas saja terbangun semangatnya dan merasa pasti bahwa mereka akan
menyaksikan pertempuran yang luar biasa.
Boe Kie segera merogoh saku dan mengeluarkan dua batang Seng hwee leng. Ia maju ke
gelanggang. Tiba-tiba tindakannya limbung dan ia sengaja batuk-batuk seperti orang yang
masih menderita luka berat. Ia bertekad untuk menyerahkan semua jasa pada Cie Jiak.
Perlahan-lahan Touw ok bertiga mengangkat tambang mereka, siap sedia untuk menyambut
serangan lawan.
Cie Jiak mendekati Boe Kie dan berbisik, "Kau pernah bersumpah untuk membalas sakit hati
piauw moaymu. Kalau si pembunuh ayah angkatmu, apakah kau masih mau menolong dia.”
Boe Kie terkejut, “Kadang-kadang Giehoe, dia terserang penyakit kalap dan ia bisa
melakukan perbuatan yang sebenarnya tidak diinginkan olehnya" jawabnya.
Sesaat itu dilereng bukit sekonyong-konyong terdengar suara khim dan seruling. Boe Kie
girang, Dilain saat dengan diiringi oleh tiga suara tali khim empat nona yang mengenakan
baju putih dan masing-masing memegang satu khim muncul dipuncak bukit. Beberapa detik
kemudian dengan iringan suara seruling, empat gadis baju hitam yang masing-masing
membawa sebatang seruling, memperlihatkan diri. Delapan wanita muda itu lantas saja berdiri
didelapan penjuru dan mulai memperdengarkan sebuah lagu yang sangat merdu. Diantara
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1378
iringan lagu itu seorang gadis cantik yang menggunakan baju warna kuning muda perlahanlahan
mendaki puncak bukit. Benar saja wanita itu bukan lain daripada si nona baju kuning
yang pernah ditemui Boe Kie diantara orang-orang
di Kay pang di Louw liong.
Begitu melihat, Pangcoe Kay pang Soe Kong Sek lantas saja memburu dan menubrukdan
memeluk sibaju kuning, "Yo Ciecie!" teriaknya. "Tetua dan Liong tauw kami dibinasakan
orang. Ia menuding Cie Jiak dan berteriak pula, "Dari Go bie pay dan Siauw lim pay yang
turun tangan jahat.”
Si baju kuning manggut-manggut. "Aku sudah tahu," katanya. Hmm.. Kioe im pek koet jiauw
belum tentu merupakan ilmu yang paling tinggi." ( Kioe im Pek koet jiauw - cengkeraman
tulang putih dari kitap Kioe im Cin-keng ).
Munculnya si baju kuning sudah menarik perhatian semua orang dan perkataan itu didengar
oleh semua kuping. Para enghiong yang berusia lanjut dan berpengalaman terkejut di dalam
hari. Mereka bertanya-tanya, “Kioe im pek koet jiauw? Apakah Kioe im pek koet jiauw yang
pada seabad yang lalu dikenal sebagai ilmu silat sangat jahat dan yang belakangan hilang dari
Rimba persilatan?
Sementara itu dengan bergandengan tangan si baju kuning dan Soe hong Sek menuju ke
rombongan Kay pang, Nona aneh itu kemudian duduk disebuah batu besar.
"Siapa wanita itu?" tanya Cie Jiak. "Aku baru pernah ketemu sekali," jawab Boe Kie. Aku
tahu nama dan asal usulnya".
"Dia she Yo!"
"Kau tak salah.”
Cie Jiak mengeluarkan suara dihidung. “Mulailah!” katanya seraya mengedut cambuknya
yang lantas saja meayambar Touw ok dan dengan menuruti gerakan itu tubuhnya melesat
keatas, akan kemudian, hinggap diantara tiga pohon siong. Serangan dan lompatan itu yang
sangat cepat dan indah mengagumkan semua orang. Dilain saat, cambuknya sudah beradu
dengan tambang Touw lan. Touw ok dan Touw ciat buru-buru mengangkat senjata mereka
dan menyerang dari kiri kanan. Boe Kie segera melompat untuk menolong, tapi begitu lekas
kakinya hinggap ditanah tubuhnya terhuyung, Banyak orang mengeluarkan seruan tertahan.
Mereka menduga pemuda itu sudah tak punya tenaga untuk berkelahi.
Mereka tak tahu, bahwa Boe Kie sedang menggunakan ilmu Seng hwee leng yang sangat
aneh. Selagi terhuyung Seng hwee leng menghantam dada Touw lan yang "terikat" dengan
cambuk Cie Jiak dan sukar meinbela diri. Melihat bahaya Touw ok dan Touw ciat lantas saja
merubah arah serangannya terhadap Cie jiak dan kedua tambang menyambar Boe Kie seperti
dua ekor naga. Sekali lagi semua orang terkesiap. Pada detik yang sangat berbahaya, Boe Kie
menggulingkan diri kearah Touw ok yang menyambutnya dengan totokan jari kepundak.
Dengan Kian koen Tay lo ie, Boe Kie memunahkan totokan dan hampir berbarengan
tubuhnya bergulingan kejurusan Touw ciat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1379
Demikianlah Boe Kie terus menggunakan ilmu Seng hwee leng yang aneh. Ia bergulingan
kesana-sini. Ia kelihatannya bingung, repot dan terdesak. Tapi pada detik terakhir serangan2
berbahaya, ia selalu dapat meloloskan diri dari bencana.
Sesudah lewat puluhan jurus, orang-orang gagah yang berpengalaman mulai merasa bahwa
Boe Kie sedang menggunakan ilmu silat luar biasa, misalnya sebangsa ilmu Coei pat-sian
(Delapan dewa mabuk ). Tapi ilmu itu banyak lebih sukar dan mengandung perubahanperubahan
yang lebih sulit daripada segala ilmu yang dikenal dalam wilayah Tionggoan.
Pada hakekatnya silat Persia kuno itu digunakan untuk melawan hanya seorang dari ketiga
tetua Siauw lim, dengan mudah Boe Kie bisa memperoleh kemenangan. Kekuatan ketiga
ketua itu terletak pada kerja sama mereka yang sangat erat. Sesudah mempelajari Kim kong
Hok-mo coan bersama-sama selama puluhan tahun, pikiran mereka sudah terjalin menjadi
satu. Kalau yang satu menghadapi bahaya, dua yang lain segera membantu secara wajar.
Maka itulah, sesudah bertempur kira-kira duapuluh jurus, Boe Kie belum juga bisa mendapat
kemajuan.
Pada dasarnya sebagian kecil silat Seng hwee leng termasuk di jalanan sesat sedang Kim kong
Hok mo coan berdasarkan ilmu Sang Buddha menaklukan segala apa yang sesat.
Dengan demikian sesudah bertempur beberapa lama lagi, sifat iblis dari ilmu Seng hwee leng
itu mulai mempengaruhi Boe Kie. Dibawah tekanan ilmu yang bersih suci, pikiran Boe Kie
mulai kalut. Tanpa diketahui oleh para hadirin ia menghadapi bencana. Andaikata tidak
terpukul dalam seratus jurus lagi ia bakal roboh sendiri. Bahwa Beng kauw sering dinamakan
orang sebagai "Agama iblis" ( Mo kauw ), bukan sama sekali tidak beralasan, sedang ilmu
silat Seng hwee leng adalan gubahan "si Orang tua dari Pegunungan," "si raja iblis yang bisa
membunuh manusia tanpa berkedip. Pada waktu meyakinkan ilmu itu, Boe Kie tidak melihat
dan tidak merasakan apapun juga. Tapi sekarang dalam menghadapi musuh besar yang
menggunakan ilmu lurus bersih, bagian yang berbabaya dari ilmu tersebut menonjolkan diri.
Tiba tiba ia tertawa-tertawa berkakakan yang bernada "iblis" dan membangunkan bulu roma.
Mendadak, sehabis tertawa itu, dari dalam tanah diantara ketiga pohon siong terdengar suara
orang menghafalkan kitab-Budha. Boe Kie kaget dan mengenali, bahwa yang menghafalkan
kitab bukan lain dari pada ayah angkatnya. Ia mengerti, bahwa sedari dipenjarakan, setiap hari
orangtua itu mendengari penghafalan kitab suci yang dilakukan oleh ketiga pendeta Siauwlim.
Sang ayah angkat pernah menolak untuk melarikan diri karena ia merasa mempunyai
alasan dosanya terlalu besar: "Apakah sesudah mendengari pembacaan kitab suci selama
beberapa bulan, Giehoe mendusin?" tanya Boe Kie didalam hati.
Sementara itu, tekanan tambang ketiga pendeta itu mulai berkurang.
Cia Soen menghafal terus.
Boe Kie belum menyelami intisari dari pada pelajaran Budha. Tapi kata-kata yang diucapkan
oleh Cia Soen dimengerti olehnya dan kira-kira berarti begini: Segala sesuatu didalam dunia
merupakan kekosongan. Aku sama sekali tidak memikiri badanku atau badan orang lain.
Kalau ada orang membunuh aku atau menyembelih aku, akupun tak merasa gusar, karena aku
tak menganggap tubuhku sebagai milik sendiri."
"Apakah sesudah berdiam disini beberapa bulan Giehoe benar-benar sudah mencapai tingkat
yang bebas dari rasa kaget, rasa takut dan kuatir?” tanya Boe Kie didalam hati. "Apakah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1380
memang benar-benar ingin menasehati supaya tidak memikiri lagi keselamatannya tidak usah
menolong lagi jiwanya?"
Ilmu Kim kong Hok mo coan bersumber dan digubah dari kitab suci Kim kong beng. Pada
tingkat yang paling tinggi, kitab itu tidak membedakan lagi antara kau dan aku antara hidup
dan mati, sedang segala apa dialami ini di pandang sebagai suatu khayal atau kekosongan.
Biarpun ilmunya tinggi. Pada waktu berhadapan dengan lawan, ketiga pendeta Siauw lim itu
masih mempunyai keinginan untuk menindih lawan dan memperoleh kemenangan. Mereka
bisa melupakan soal mati atau hidup, tapi belum bisa membedakan perbedaan antara kau dan
aku. Itulah sebabnya mengapa mereka belum mencapai puncak tertinggi dari Kim kong Hok
mo coan dan kekuatan Lingkaran (Coan) itu belum mempunyai tenaga yang sebesar-besarnya.
Apa yang selama beberapa bulan didengar Cia Soen bukan lain dari hafalan Kim kong keng.
Sementara itu sambil bertempur Boe Kie memikiri hafalan ayah angkatnya dan sedikit banyak
ia dapat menangkap arti Kim kong keng. Karena maksudnya pengaruh pelajaran Buddha
perlahan-lahan pengaruh iblis dalam alam pikirannya jadi kurang. Dengan kekurangan
pengaruh iblis itu, kelancaran silat Seng hwee-leng juga turut berkurang. Tiba-tiba pundaknya
tersabet tambang. Tanpa terasa BoeKie mengerahkan Kian lioen Tay lo ie Sin kang dan Kioe
yang Sin kang untuk memunahkan pukulan itu. "Hm! .... sesudah aku tidak berhasil dengan
ilmu Seng hwee leng, mengapa aku tidak mau mencoba Kian koen dan Kioe yang?" pikirnya.
Ia melirik dan mendapat kenyataan bahwa Cie Jiak memperlihatkan gejala kalah. "Sudahlah!"
ia mengambil keputusan. Kalau sekarang aku tidak mengeluarkan semua tenaga, begitu lekas
Cie Jiak kalah, Giehoe tidak akan dapat ditolong.
Memikir begitu sambil membentak keras, ia segera menyerang dengan Kian koen Tay lo ie.
Namun Cia Soen masih terus menghafal Kim kong keng, tapi ia tidak bisa memperhatikan
lagi sebab seluruh semangatnya di tumplek kepada Kian koen Tay lo ie. Dengan gerakan2
kilat ia menyambut dan menerima pukulan-pukulan ketiga lawan, supaya Cie Jiak mendapat
kesempatan untuk menerobos masuk ke dalam lingkaran.
Karena adanya serangan yang hebat itu yang disertai Lweekang yang dahyat. ketiga ketua
Siauw lim juga lantas menambah Lweekang mereka untuk melawannya.
Semua orang lihat perubahan itu, makin lama pertempuran jadi makin hebat. Perlahan-lahan
diatas kepala ketiga pendeta muncul uap putih, satu tanda mereka sudah mengerahkan tenaga
dalam yang sebesar-besarnya. Diatas kepala Boe Kie juga terlihat uap air, tapi uap itu halus
dan tidak buyar, seolah-olah selembar benang. Inilah bukti bahwa Lweekang Boe Kie lebih
tinggi dari pada tenaga dalam ketiga lawannya.
Para enghiong menyaksikan kejadian itu dengan perasaan kagum. Kemaren Boe Kie terluka
berat. Siapa nyana, dalam waktu semalaman saja, ia sudah sembuh seluruhnya! Lweekang
pemuda itu sungguh-sungguh sudah tiba di tingkat yang tak dapat diukur lagi. Sekarang
semua orang tahu bahwa tadi ia hanya berlagak payah.
Selama pertempuran itu, Cie Jiak belum pernah benar2 mengadu tenaga. Ia hanya berkelahi
dari luar lingkaran tambang. Ia baru menerjang kalau terdapat lowongan dan baru ia buruburu
melompat mundur jika mendapat serangan balasan. Cara berkelahi itu segara
memperlihatkan perbedaan antara kepandaiannya dan kepandaian Boe Kie. Para hadirin lantas
saja saling mengutarakan pendapat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1381
"Kata orang ilmu silat kauwcoe dari Beng kauw tiada tandingannya di dunia ini! Sekarang
aku mengakui, bahwa nama besar itu bukan nama kosong!"
Kemarin ia sengaja mengalah terhadap Song Hoe jin. Inilah yang dinamakan laki-laki sejati
sungkan berkelahi melawan wanita."
"Bukan begitu! Dahulu Song Hoe jin tunangan Thio Kauwcoe! Apa kau tak tahu? Ini yang
dinamakan golok tua masih ingat kecintaan lama."
Dan banyak lagi pendapat lainnya.
Sesudah bertempur kira-kira setengah jam lagi, paras muka ketiga pendeta Siauw lim berubah
merah dan jubah pertapaan mereka jadi melembung, seperti di tiup angin dari sebelah dalam.
Dilain pihak pakaian Boe Kie masih tetap seperti biasa.
Pada waktu itu, Kioe yang Cin khie dalam tubuh Boe Kie sudah banyak lebih kuat dari pada
beberapa waktu berselang. Kekuatan itu di tambah lagi dengan latihan pernapasan Thay kek
koen yang diturunkan oleh Thio Sam Hong. Dengan demikian, Boe Kie mempunyai keuletan
luar biasa. Ia masih bisa bertanding satu atau dua jam lagi tanpa merasa lelah. Inilah
keuntungan yang mau digunakan olehnya. Ia mengambil keputusan untuk bertempur dalam
jangka panjang sampai ketiga lawannya kecapaian.
Ketiga pendeta itu juga tahu kenyataan tersebut. Mereka mengerti bahwa kelelahan yang lama
akan merugikan pihaknya. Maka itu beberapa saat kemudian, seraya membentak keras mereka
memperhebat serangan! Ketiga tambang berkelebat seperti kilat dalam macam-macam
serangan dan tenaga.
Boe Kie kaget. Ia mengempos semangat dan menyambut setiap serangan. "Biarpun ilmu silat
Cie Jiak luar biasa, ia belum berlatih cukup sehingga kerja sama dengan dia tidak bisa
menyamai kerja sama dengan Gwa-kong dan Yo Co soe,” pikirnya. Dengan sendirian aku tak
akan bisa mempertahankan diri. Rasanya aku bakal kalah lagi dan hari ini tidak akan bisa
menolong Gie hoe. Hai ! ... Bagaimana baiknya?"
Sebab pikirannya bingung tenaganya lantas saja berkurang. Ketiga pendeta sungkan menyianyiakan
kesempatan itu. Mereka menyerang dengan hebatnya. Tiba-tiba satu ingatan
berkelebat dalam otaknya Boe Kie. Ia ingat kecintaan ayah angkatnya di Pheng hwee to. Ia
ingat bahwa demi kepentingan dirinya orang tua itu rela menceburkan diri kedalam dunia
Kang ouw dan menghadapi rupa-rupa bahaya. Didetik itu juga ia mengambil keputusan
bahwa apabila sang Giehoe tidak dapat ditolong, ia sendiri sungkan hidup sendirian didunia
ini.
Selagi otaknya bekerja tahu-tahu tambang Touw lan menyambar punggungnya. Mendadak
saja ia mengeluarkan pukulan aneh. Ia mengangkat tangan kiri, membiarkan tambang
memukul lengan dan memunahkan tenaga pukulannya itu dengan Kian koen Tay lo ie,
berbareng dengan itu ia menangkis tambang Touw ok dan Touw-ciat dengan Seng hwee leng
yang dicekal dalam tangan kanannya. Tiba-tiba, bagaikan seekor burung, tubuhnya melesat
keatas dan dengan sekali memutar ditengah udara ia sudah melibat tambang Touw lan
dipohon siong yang diduduki itu.
Itulah perbuatan yang tidak pernah diduga orang. Sesudah melibat, Boe Kie menarik
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1382
tambang itu erat-erat. Tak kepalang kagetnya Touw lan yang lantas saja menarik tambangnya
dengan sekuat tenaga. Sebagaimana diketahui, batang pohon siong itu telah dilubangkan oleh
ketiga pendeta untuk digunakan sebagai berduduk. Oleh karena itu biarpun besar,
kekuatannya kurang. Maka itulah begitu ditarik oleh Boe-Kie dan Touw lan dengan satu suara
"krekek," batang itu patah dan pohonnya roboh.
Boe Kie menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Selagi Touw ok dan Touw ciat
tertegun, kedua tangannya mendorong pohon yang diduduki Touw ok, dengan seluruh
tenaganya. Pohon itu kalah kuat dan lantas patah. Dengan suara ribut kedua pohon itu jatuh
menimpa pohon yang diduduki Touwciat, dan menendang pohon ketiga itu yang sudah
bergoyang-goyang lantas turut roboh.
Keadaan berubah gempar suara dengan robohnya pohon dicampur teriakan-teriakan para
hadirin.
Secepat kilat Boe Kie menimpuk Touw ok dan Touw ciat dengan kedua Seng hwee leng.
Biarpun kepandaian tinggi, kedua pendeta itu jadi bingung karena harus menyelamatkan diri
dari tindihan batang pohon dan dari sambaran Seng hwee leng. Dilain detik Boe Kie
menggulingkan diri dan masuk kedalam lingkaran Kim kong Hok mo coan. Dengan lewat
dikolong batang pohon yang sedang roboh. Dengan sekali mendorong, ia sudah mengisarkan
batu yang menutup lobang penjara.
"Giehoe lekas keluar!" teriaknya. Sebab kuatir ayah angkatnya menolak, tanpa menunggu
jawaban, tangannya mencengkeram baju orang tua itu dan mengangkatnya keatas.
Pada detik itu, tambang Touw ok dan Touw ciat sudah menyambar. Buru-buru Boe Kie
melepaskan ayah angkatnya, mengambil dua Seng hwee leng dari sakunya dan menimpuk.
Begitu menimpuk, kedua tangannya menangkap ujung tambang yang menyambar. Baru saja
kedua pendeta itu mau mengerahkan Lweekang untuk membetot tambang mereka, kedua
Seng hwee leng sudah hampir menyentuh muka. Karena terpaksa, mereka melepaskan
tambang dan melonpat mundur untuk menyelamatkan jiwa dari timpukan itu.Hampir
berbareng dengan mundurnya Touw ok dan Touw ciat, Touw lan sudah menerjang dan tangan
kirinya menghantam dada Boe Kie.
"Cie Jiak, tahan dia!" teriak Boe kie sambil melompat kesamping dengan mendukung Cia
Soen.
Kalau ia bisa membawa keluar ayah angkatnya dari kalangan ketiga pohon siong, ia sudah
berhasil dalam usahanya. Cie Jiak kelihatan bersangsi.
"Anakku Boe Kie," kata Cia Soen, "dosaku sangat besar dan ditempat ini dengan mempelajari
kitab suci, hatiku tenang. Guna apa kau menolong aku?" Sehabis berkata ia coba
memberontak.
Boe Kie tahu ayah angkatnya berkepandaian tinggi dan kalau orang tua itu tak mau pergi ia
sukar membantah. Maka itu ia lantas saja berkata. "Giehoe, anak mohon.maaf!" Hampir
berbareng jari tangannya menotok beberapa "hiat" hingga Kim mo Say ong tak bisa bergerak
lagi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1383
Karena kelambatan sedetik dua itu, ketiga pendeta sudah keburu datang dan menyerang.
"Lepaskan dia!" bentak Touw ok.
Pukulan ketiga pendeta itu hebat bukan main. Sebelum pukulannya sampai, tekanan angin
sudah menindih dari empat penjuru. Boe Kie terpaksa melepaskan lagi ayah angkatnya dan
menangkis pukulan itu, "Cie Jiak, lekas bawa Gi hoe!” serunya. Dengan meng-gerak2kan
kedua tangannya kian kemari, Boe Kie menahan pukulan ketiga lawannya. Itulah ilmu Kian
koen Tay lo ie yang paling tinggi. Lweekang pemuda itu bergerak-gerak kian kemari dengan
berbareng menahan dan menyedot tenaga pukulan ketiga pendeta. Dalam menggunakan ilmu
itu, Boe Kie harus mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, karena aduan tenaga ini banyak
lebih berat dari pada adu Lweekang satu lawan satu. Sebab tangkisan itu ketiga pendeta
"terikat" dan tak bisa memperhatikan Cia Soen lagi.
Boe Kie tahu bahwa ia tak bisa mempertahankan diri dalam waktu lama. Tapi ia pun tak
memerlukan waktu yang lama. Begitu lekas Cie Jiak sudah membawa ayah angkatnya
ketempat yang selamat ia bisa berusaha untuk meloloskan diri.
Sekarang Cie Jiak tak bersangsi lagi. Ia melompat mendekati Cia Soen.
"Fui... perempuan hina!..." bentak Kim-mo Say ong. Ia tak bisa melanjutkan perkataan sebab
keburu ditotok "hiat" dagunya.
“Manusia she Cia!" Cie Jiak balas membentak. “Aku mau menolong, mengapa kau mencaci
aku. Dosamu sangat besar dan jiwamu sekarang berada di tanganku. Apa kau rasa aku tak bisa
ambil jiwamu?” Sehabis berkata begitu ia mengangkat tangan kanannya, mementang lima jari
dan bergerak untuk menepuk batok kepala Cia Soen.
"Cie Jiak! Jangan...!" teriak Boe Kie dengan suara parau.
Ketiga pendeta Siauw lim sedikitpun tak punya niatan untuk mencelakai Boe Kie. Tapi
pertandingan itu adalah aduan tenaga mati atau hidup. Kedua belah pihak menggunakan koat
(teori) “menempel” dan sebelum ada yang kalah, masing-masing sukar melepaskan
"tempelan" itu. Begitu lekas Boe Kie berteriak dengan hati mencelos, hawa tulennya lantas
saja berkurang dan ia lantas saja merasakan tindihan tenaga lawan yang menyerang bagaikan
gelombang. Cepat-cepat ia mengempos serangan untuk mempertahankan diri.
Tapi Cie Jiak tidak lantas turunkan tangan. Sambil melirik Boe Kie ia tertawa dingin. "Thio
Boe Kie," katanya. "Hari itu waktu di kota Hauw coe kau telah meninggalkan aku dari
upacara pernikahan, apakah kau pernah memikir, bahwa kau akan menemui kejadian di hari
ini ?"
Boe Kie bingung dan karena kebingungan itu, ia menghadapi bencana. Keringat mengucur
dari tubuhnya.
Jilid 76__________________________________
Melihat keadaan Boe Kie, To Siauw, Hoan Yauw, Wie It Siauw, Hwee Poet Tek, Jie Lian
Cioe, In Lie Hong dan yang lain2 kaget tak kepalang. Mereka adalah orang2 yg memiliki “gie
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1384
khie” (rasa persahabatan) yang sangat tinggi. Untuk menolong Boe Kie mereka rela
mengorbankan jiwa. Tapi mereka tahu, bahwa lweekang mereka kalah jauh dari orang2 yg
sedang bertanding itu. Kalau mereka menyerang, dengan mudah ketiga pendeta itu
menyerang, dengan mudah ketiga pendeta itu bisa mengalihkan tenaga serangan ketubuh Boe
Kie, sehingga sebaliknya dari membantu mereka berbalik menekan pemuda itu.
Tong Boen Lian, Cong Wie Hiap dan Siang Keng Cie dari Khong tong Ngoolo yang pernah
ditolong Boe Kie juga turut bingung.
Sekonyong2 diantara kesunyian yang penuh ketegangan, terdengar seruan Kong tie, “Son-wie
Susiok, Thio Kauwcoe, pernah melepas budi kepada partai kita. Melukai dia adalah poet-gie
melupakan persahabatan. Mohon Sam-wie Susiok menaruh belas kasihan.”
Mendengar seruan itu, orang2 Beng Kauw merasa sangat berterima kasih. Pada hakekatnya
seruan kong tie tidak berguna dan tidak perlu karena kedua belah pihak tidak bisa
menangkapnya dan karena kedua belah pihat memang berniat saling mencelakai. Tapi dalam
aduan tenaga itu, mereka seolah2 menunggang harimau dan suka untuk turun lagi.
Tiba2 Wie It Siauw melompat dan tahu2 ia sudah berhadapan dengan Cioe Cie Jiak. Tapi
dalam jarak setombak ia berdiri terpaku. Jari2 tangan Cie Jiak sudah hampir menyentuh balok
kepala Cia Soen, sehingga kalau ia bergerak, jari2 tangan itu tentu akan menobloskan batok
kepala. Dan apabila Cia Soen binasa, Boe Kie juga akan menemui ajalnya.
Pada detik itu, seluruh lapangan sunyi senyap bagaikan kuburan dan semua manusia seperti
juga patung batu.
Tiba2 kesunyian dipecahkan oleh suara tertawanya Cioe Tan yang sambil tertawa berjalan
mendekati gelanggang pertandingan.
Yo Siauw terkejut. “Cioe-heng, jangan sembrono!” teriaknya. Tapi si sembrono tidak
meladeni dan berjalan terus.
“Sam-wie Taysoe,” katanya seraya tertawa ha ha hi hi sesudah berhadapan dengan ketiga
pendeta itu. “Apa kau sudah makan daging anjing?” Ia merogoh saku, mengeluarkan sepotong
lutut anjing yang memang sudah dimasak dan menggoyang2kannya didepan muka Touw Ok,
Cioe Tian adalah seorang yang sangat doyan arak dan daging. Selama berdiam beberapa lama
di Siauw Lim, ia terpaksa makan makanan cia cay (tidak berjiwa). Kemarin diam2 ia
menangkap seekor anjing dan memasak dagingnya. Sepotong lutut anjing yang tidak habis,
masih disimpan dalam sakunya. Karena terpaksa ia sekarang menggunakan lutut anjing untuk
memecahkan pemusatan semangat tiga pendeta itu. Kalau pendeta itu bergusar, Boe Kie akan
mendapat kemenangan. Melihat begitu Yo Siauw dan kawan2nya jadi girang sekali.
Tapi ketiga tetua Siauw Lim itu tidak menggubris.
Cioe Tian segera memasukkan lutut itu kedalam mulutnya. “Aduh wangi betul!” katanya.
“Samwie Touwee shio apa kalian tidak mau turut mencoba?” Ia mencabut lutut itu dari
mulutnya dan lalu menyodorkannya kemulut Touw Ok.
Beberapa orang lantas berteriak2, “Hei! Gila! Mundur kau…!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1385
Tapi baru saja lutut anjing menyentuh bibir Tauw Ok, lengan Cioe Tian, begemetar separuh
tubuhnya kesemutan dan makanan itu jatuh ke tanah. Ternyata seluruh badan Touw Ok
diliputi lweekang yg bisa memukul balik setiap tenaga yang dtg dari luar.
“Aduh! Aduh! Sungguh hebat!” teriak Cioe Tian, “Kalau kau tak mau makan daging anjing
yah sudah saja! Perlu apa kau melontarkannya sehingga menjadi kotor! Ganti! Hayo aku
minta ganti!” Ia berteriak2 sambil mementang2 tangan.
Tapi ketiga pendeta itu benar2 tinggi ilmunya. Mereka tetap tak dapat diganggu.
Mendadak si sembrono menghunus golok pendek, “Hei! Kau dengarlah!” teriaknya. “Apabila
kau tetap tak mau makan daging anjing akan mengadu jiwa denganmu.” Seraya berkata begitu
ia menggores mukanya sendiri lantas saja mengucur darah.
Semua orang terkesiap tapi ketiga pendeta itu seperti juga berada di dunia lain.
“Sudahlah,” teriak pula Cioe Tian dengan suara parau “Toa hweeshio, jika kau tidak mau
ganti daging anjingku biarlah aku binasa dihadapanmu.” Ia mengangkat tangan dan
mengacungkan golok di ulu hatinya.
Itulah Cioe Tian! Seorang gila2an yang berjiwa “tiong gie” (Setia kepada raja dan sahabat).
Untuk menolong Kauwcoenya, ia reala membunuh diri guna mengacaukan pemusatan pikiran
ketiga pendeta itu.
Pada detik terakhir satu bayangan kuning, bayangan manusia yang menyambar bagaikan kilat
berkelebat dan merampas golok Cioe Tian. Sehabis menolong si sembrono tubuh orang itu
melesat lagi, mementang lima jari tangan kanan yang lalu ditancapkan kekepala Cie Jiak.
Dalam serangan itu ia menggunakan gerakan yang menyerupai gerakan Song Ceng Soe, pada
waktu pemuda itu membinasakan tetua kaypang. Waktu diserang jari2 tangan Cie Jiak hanya
terpisah kira2 satu kaki dari batik kepala Cia Soen. Tapi sebab serangan itu ia datang dengan
kecepatan luar biasa, ia tidak keburu lagi turun tangan jahat terhadap Cia Soen dna untuk
menolong jiwa sendiri, ia terpaksa lantas saja menangkis.
Kekuatan lweekang Boe Kie tidak kalah dari ketiga lawannya. Ia hanya kalah dalam ilmu,
“melupakan segala apa”. Ia belum bisa menulikan kuping dan membutakan mata terhadap
segala sesuatu. Maka itu, ancaman Cie Jiak terhadap Cia Soen dan gangguan Cioe Tian
terhadap ketiga pendeta telah memecahkan pemusatan pikirannya. Ia sudah pusing dan
beberapa detik lagi ia akan muntah darah. Syukur beribu syukur pada saat yang sangat
berbahaya, bayangan kuning itu bukan lain daripada nona baju kuning menolong Cioe Tian
dan Cia Soen.
Begitu lekas hatinya mantap, lweekang Boe Kie lantas saja bertambah, sehingga pertandingan
sekali lagi jadi berimbang. Bertambahnya lweekang Boe Kie tapi sesudah lweekangnya
bertambah, Boe Kie tidak balas menyerang dan hanya mempertahankan diri. Itulah
kesempatan yang paling baik untuk menyudahi keadaan, “menunggang harimau” dari kedua
belah pihak. Dengan perkataan lain, perubahan tenaga dalam itu merupakan kesempatan
untuk masing2 menarik pulang lweekang dan menghentikan pertandingan. Ketiga pendeta itu
yang perasaannya dapat dihubungkan satu sama lain tanpa bicara (secara telepati) lantas saja
menarik pulang sebagian tenaga2 mereka. Boe Kie girang dan segera menarik pulang
sebagian lweekangnya. Demikianlah, sebagian demi sebagian kedua belah pihak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1386
memperkurang tenaga dalam mereka dan kira2 seminuman teh, pertandingan sudah dapat
dihentikan. Keempat jago itu tertawa terbahak2. Boe Kie menyoja sampai kedua tangannya
menyentuh bumi dan ketiga pendeta itu membalas hormat dengan merangkap kedua tangan
mereka.
Ketika itu si baju kuning sudah bertempur hebat dengan Cioe Cie Jiak. Meskipun Cie Jiak
menggunakan dua senjata dan lawannya bertangan kosong, ia kelihatan keteter. Ilmu silat si
baju kuning menyerupai ilmunya Cie Jia. Perbedaannya hanya terletak pada cara bergeraknya
si baju kuning lurus bersih, sedang Cie Jiak “sesat bernada iblis”. Kalau mau
diperumpamakan, yang satu bagaikan dewi, yang lain bagaikan memedi. Dengan sekali lirik
saja Boe Kie sudah tahu bahwa si baju kuning lebih unggul dan ayah angkatanya berada
dalam keselamatan. Dalam pertempuran itu, si baju kuning tidak lantas turunkan pukulan
yang memutuskan dan ia seoalh2 mau mengunjuk kepada lawannya, bahwa kepandaian lawan
itu masih terlalu cetek. Kalau mau, dalam beberapa gebrakan saja, ia sudah bisa merobohkan
Cie Jiak.
“Thio Kauwcoe,” kata Touw Ok. “Meskipun kau tidak bisa mengkan kami bertiga, kami juga
tidak bisa menangkan kau. Cia Kiesoe sekarang kau boleh pergi kemana suka!” sehabis
berkata begitu, ia membuka jalan darah Cia Soen yang tertotok. “Cia Kie Soe,” katanya pula.
“Letakkanlah golokmu dan jadilah manusia yang baik. Pintu agama Budha terbuka lebar.
Didalam dunia tidak ada manusia yang tidak bisa disebrangkan. Banyak hari kau dan aku
berdiam bersama2 dipuncak bukit ini. Hal ini juga merupakan suatu jodoh.”
Cia Soen bangun berdiri, “Sang Budha welas asih,” katanya. “Cia Soen sangat berterima
kasih kepada sam wie taysoe yang sudah memberi petunjuk kejalan terang.”
Sekonyong2 terdengar bentakan nyaring dan tahu2 si baju kuning sudah merampas cambuk
Cie Jiak. Sesudah itu ia menyikut dada lawan yang lanta saja tidak bisa bergerak lagi. Sambil
mementang jari tangan kanannya diatas kepala Cie Jiak ia membentak, “Aoakah kau ingin
rasakan enaknya Kioe Im Pek Koet Jiauw?”
Cie Jiak meram dan menunggu kebinasaan.
Biarpun kedua matanya buta, Cia Soen tahu apa yang telah terjadi. Ia maju beberapa tindak
dan berkata sambil menyoja, “Nona sudah menolong jiwa kami ayah dan anak dan kami
merasa berhutang budi. Apabila Cioe Kouw nio tidak mendusin dan terus melakukan
perbuatan2 yg tidak pantas, ia tentu akan mendapat pembalasan yang setimpal. Tapi sekarang
aku mohon nona suka mengampuninya.”
“Kim mo Say ong bisa berubah cepat sekali,” kata si baju kuning sambil melompat mundur.
Boe Kie menghampiri dan mencekal tangan ayah angkatnya. Baru saja ia mengajak orang tua
itu berlalu, mendadak Cia Soen berkata, “Tahan dulu!” Sehabis berkata begitu ia menudin
salah soerang pendeta tua dari rombongan Siauw Lim Pay, “Hoek Goen pek lek chioe Seng
Koen, keluar kau!” bentaknya. “Biarlah dihadapan enghiong kita membuat satu perhitungan!”
Semua orang terkejut dan menengok kearah yang di tuding Cia Soen. Pendeta itu yang
mukanya jelek dan bongkok punggungnya menggenakan jubah compang camping dan
sedikitpun tidak menyerupai Seng Koen. Baru saja Boe Kie mau memberitahukan hal itu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1387
kepada ayah angkatnya, Cia Soen sudah berkata: “Seng Koen, kau bisa mengubah muka, tapi
kau tak bisa mengubah suara. Begitu mendengar batukmu, aku lantas tahu kau siapa?”
Si tua menyeringai, “Manusia buta, kau jangan bicara sembarangan!” katanya.
Begitu mendengar suaranya, Boe Kie lantas saja mengenali bahwa dia itu memang benar
Seng Koen. Waktu berada didalam karung diatas Kong Beng Teng, ia pernah mendengar
pembicaraan manusia jahat itu. Ia lantas saja melompat dan mencegat jalan mundur musuh
besar itu, “Goan tin Tay soe, Seng Koen Cianpwee,” katanya. “Seorang laki2 harus berani
berterus terang. Mengapa kau menyembunyikan mukamu dri orang banyak?”
Dengan menyamar, banyak tahun Seng Koen bersembunyi di Siauw Lim Sie. Banyak tahun ia
mengatur siasat dan mengumpulkan kaki tangan untuk merebut kekuasaan. Menurut
rencananya, hari ini ia akan mengadu domba para orang gagah, mencari tahu dimana adanya
To Liong To, membinasakan Cia Soen dan akhirnya merampas kedudukan Hong thio Siauw
Lim Sie, sesudah membunuh Kong beon dan Kong tie Seng ceng. Tapi diluar semua
perhitungannya, muncullah si baju kuning. Waktu nona she Yo itu merobohkan Cie Jiak,
hatinya mencelos dan tanpa merasa, ia batuk2 sewajarnya. Apa mau suara batuk itu didengar
dan dikenali Cia Soen.
Melihat Cia Soen memotong jalanan mundurnya, ia tahu semua rencananya telah hancur.
“Para pendeta Siauw Lim dengarlah!” teriaknya. “Mo Kauw mengacau tempat yang suci ini
dan menghina partai kita. Hajar mereka! Bunuh mereka!” Kaki tangan Seng Koen lantas saja
menghunus senjata dan bergerak untuk menyerang.
Selama beberapa hari Kong tie menahan sabar dan berduka sangat, sambil memikiri
keselamatan suhengnya yang sudah jatuh kedalam tangan kaum pemberontak. Sekarang
begitu mendengar perintah Seng Koen ia tahu, bahwa banyak orang akan mengorbankan jiwa.
Ia menganggap, bahwa keselamatan Kong Boen seorang adalah soal kecil, jika dibandingkan
dengan keselamatan ribuan manusia. Maka itu ia lantas saja berteriak, “Tahan! Murid2 Siauw
lim tidak boleh bergerak. Dengarlah! Kong boen Hong thio sudah jatuh kedalam tangan
pengkhianat Coan tin. Bekuk dia! Sesudah itu barulah kita menolong Hong Thio.”
Dalam sekejap keadaan berubah kalut.
Kaki tangan Seng Koen ciut nyalinya.
Diantara kekalutan, Boe Kie lihat Cie Jiak tetap berduduk di tanah sambil menundukkan
kepala. Ia merasa tak tega dan lalu menghampiri, akan kemudian coba membangunkannya.
Tapi Cie Jiak mengibaskan tangannya dan buru2 kembali ke rombongan Go bie pay.
Sementar itu Cia Soen sudah bicara dengan nyaring, “Segala kejadian yang terjadi di hari ini
adalah gara2 Seng Koen dan aku. Segala urusan, segala hutang piutang haruslah dibereskan
oleh kami berdua, suhu, semua kepandaianku diberikan suhu, Seng Koen, seluruh keluargaku
dibinasakan olehmu. Kau adalah guruku dan musuhku. Hari ini kita perhitungan.”
Melihat usahanya untuk menjadi Hong thio Siauw Lim sie sudah gagal, didalam hati Seng
Koen lantas saja muncul lain tipu daya. “Cia Soen banyak dosanya, sehingga jita tidak bisa
mengalahkannya, aku bisa menumplek semua kedosaan diatas kepadalnya,” pikirnya. “Semua
kepandaiannya didapat dari aku dan kedua matanya buta. Mustahil aku tidak bisa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1388
merobohkannya.” Memikir begitu ia segera membentak, “Cia Soen banyak orang gagah
binasa dalam tanganmu. Hari ini, bersama iblis2 Mo Kauw dan coba mengacau tempat suci
ini. Biar bagaimanapun juga aku berkewajiban membersihkan rumah tangga itu sendiri dan
menghukum murid durjana,” dengan tindakan lebar, ia lalu menghampiri Cia Soen.
“Para enghiong, dengarlah perkataanku!” teriak Cia Soen. “Ilmu silat Cia Soen memang
didapat dari Seng Koen. Tapi sebab maksudnya untuk memperkosa istriku tidak ada
kesempatan, Seng Koen sudah membunuh ayah, ibu, istri dan anakku. Sekarang aku mau
tanya, apakah pantas atau tidak pantas, jika aku mencari dia untuk membalas sakit hati?”
Pertanyaan itu disambut dengan teriakan bergemuruh, “Pantas! Pantas!”
Diantara teriakan2 itu Seng Koen, mengirim pukulan kekepala Cia Soen, Cia Soen
mengengos dan “plak!” pukulan itu jatuh dipundaknya. “Seng Koen,” katanya dahulu, waktu
kau mengajar pukulan Tiang Hong Keng thian (Bianglala membentang langit), kau
menggunakan Hoen Goan It khie kang untuk melukai musuh. Mengapa kau tidak
mengerahkan lweekang itu. Apakah lantaran kau sudah terlalu tua dan tidak bisa
mengeluarkan tenaga itu lagi?”
Memang Seng Koen tidak mengeluarkan Hoan Goan It khie kang dan sebabnya begini, dia
tahu Cia Soen memiliki kepandaian tinggi, sehingga pukulan pertama itu lebih banyak
pukulan gertakan untuk menjajal2. Diluar dugaan Cia Soen tidak berkelit. Sebab ia tidak
menggunakan lweekang Cia Soen tidak terluka.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata Seng Koen mengirim pukulan kedua. Cia Soen hanya
mengengos, ia masih belum membalas. Begitu lekas tangannya memukul angin, Seng Koen
mengirim tendangan berantai yang mampir tepat dibawah iga.
Tendangan itu disertai tenaga dalam yang hebat, sehingga tubuh Cia Soen bergoyan2 dan
muntah darah.
“Gie Hoe, balaslah! Mengapa Gie Hoe tidak mau membalas?” teriak Boe Kie.
Cia Soen tertawa getir, “Dia guruku,” jawabnya. “Sebagai murid aku pantas menerima satu
pukulan dan dua tendangan.” Tiba2 ia mengirim pukulan geledek.
Mereka lantas saja bertempur mati2an. Cia Soen tidak bisa melihat, tapi bertempur melawan
Seng Koen, ia tak usah menggunakan matanya. Sebagai murid ia paham semua ilmu silat
gurunya. Sesudah pukulan ini, ia tahu persis pukulan apa yang bakal menyusul. Perbedaan
diantara mereka banyak terletak di tenaga dalam. Cia Soen lebih muda belasan tahun sehingga
dalam tenaga ia lebih kuat dan lebih ulet. Diamping itu ia pernah melatih diri di pulau Peng
hwee to yang sangat dingin. Latihan dihawa yang dingin itu banyak manfaatnya. Maka itulah,
sesudah bertanding kira2 seratus jurus, ia belum jatuh dibawah angin.
Sesudah pertempuran mencapai dua ratus jurus lebih, sekonyong2 Cia Soen berteriak keras
dan mengirim tinjunya.
“Cia siong koen!” seru Siang Cie, tetua Khong tong pay.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1389
Melihat pukulan2 Cia Soen, semua tetua Khong tong pay kaget tercampur heran. Cit siang
dicuri dari Khong tong pay. Tapi sekarang pukulan2 yang dikeluarkan Cia Soen banyak lebih
dahsyat dari apa yang dapat dikeluarkan oleh para tetua Kong Thong pay sendiri. Begitu lekas
Cia Soen menggunakan Cit siang koen, Seng Koen mundur berulang2 sehingga saban2
terdengar sorak sorai gegap gempita. Permusuhan antara guru dan murid itu dan perbuatan
Seng Koen banyak diketahui orang. Maka itu biarpun Cia Soen banyak dosa nya dan sering
membunuh orang simpati para hadirin masih tetap diberikan kepada dirinya dan semua
mengharap ia bisa mendapat kemenangan.
Sedang orang lain bergirang, Boe Koe kaget dan berkuatir. “Celaka,” ia mengeluh. “Seng
Koen menggunakan Siauw Lim Kioe yang kang yang didapatinya sesudah berguru dengan
Kong kian Seng ceng. Gie Hoe belum mengenal ilmu itu.”
Dalam melatih Cit Siang koen tergesa2 Cia Soen memang sudah mendapat luka didalam. Hal
ini diketahui oleh Seng Koen. Ia berlagak keteter dengan saban2 mengeluarkan Siauw Liom
Kioe yang kang. Acap kali Cia Soen memukul, ia segera menangkis.
Dengan Kioe yang kang, ia memunahkan tujuh bagian tenaga pukulan itu dan memulangkan
yang tiga bagian ketubuh Cia Soen. Demikianlah, diluar Cia Soen kelihatannya berada diatas
angin, tapi sebenarnya makin lama lukanya jadi makin hebat.
Bukan main bingungnya Boe Kie. Kesempatan membalas sakit hati sudah dicari2 ayah
angkatnya selama puluhan tahun. Tapi sekarang sesudah mendapat kesempatan itu, sang
Giehoe berbalik menghadapi maut. Ia tahu bahwa dalam puluhan gebrakan lagi, sang ayah
angkat akan muntah darah dan binasa.
“Goan tin,” kata Kong tie denga suara dingin. “Apakah suhengku mengajar Kioe yang kang
kepadamu supaya kau menggunakannya untuk mencelakai manusia?”
Seng Koen tertawa dingin. “In soe binasa dibawah pukulan Cit sing koen,” jawabnya. “Hari
ini aku akan membalas sakit hati In soe!”
“Binatang Seng Koen!” mendadak Tio Beng berteriak. “Kioe yang kang Kong kian Seng ceng
banyak lebih kuat dari yang dimiliki oleh mu. Mengapa dia tidak bisa tertahan terhadap cit
siang koen? Kong kian Tay soe sudah dicelakai olehmu. Kaulah yang menipu ia membujuk
supaya ia suka mendamaikan permusuhanmu dengan Cia Tayhiap. Kau sudah menipu ia,
supaya ia suka menerima pukulan2 tanpa lantas. Huh huh… Lihat! Lihat! Siapa yang berdiri
dibelakangmu dengan muka berlumuran darah. Kong kian Seng ceng! Ya memang Kong kian
Seng ceng yg berdiri dibelakangmu.”
Seng Koen tahu bahwa Tio Beng berdusta. Tapi sebab ia memang berdosa, perkataan2 itu
sudah membangunkan bulu romanya. Tiba2 pukulan menyambar ia menangkis dan
membalas. Tubuhnya bergoyang dan sekali ini ia tidak mundur. Ternyata dalam rasa
seramnya karena mendengar perkataan nona Tio, ia tidak bisa menggunakan Siauw Lim Kioe
yang kang. Ia merasa darah didadanya bergolak2 buru2 ia menggunakan taktik berlari2
diseputar Cia Soen sambil menentramkan jalannya pernapasannya.
“Kong kian sengceng, jangan lepaskan dia,” teriak pula nona Tio. “Tiup belakang lehernya.
Benar! Kau mati ditagnan murid, dia juga harus mampus ditangan muridnya. Ini hal yang
dinamakan membayar hutang. Langit ada matanya.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1390
Jantung Seng Koen berdenyut lebih keras. Tiba2 ia merasa lehernya ditiup angin. Dipuncak
itu memang banyak angin tapi bagi Seng Koen usapan angin itu menyeramkan hatinya.
Melihat perubahan pada sikap Seng Koen, Tio Beng lantas saja berteriak, “Ha,ha…! Seng
Koen, coba kau menengok dan liaht siapa dibelakangmu! Kau tidak berani? Lihatlah
bayangan hitam diatas bumi. Mengapa diatas bumi terdapat tiga bayangan manusia sedang
yang berkelahi hanya dua orang.”
Mendadak tinju Cia Soen menyambar. Seng Koen tidak keburu mengerahkan Kioe yankang ia
menangkis dengan lweekang biasa. Begitu kedua tangan kebentrok, tubuh ketua lawan
bergoyang2 dan masing2 terhuyung beberapa tindak. Sekarang Seng Koen baru mendapat
lihat bahwa, “bayangan manusia” yang ketiga sebenarnya bayangan batang pohon siong yang
patah.
Melihat lihainya si murid, makin lama Seng Koen jadi makin bingung. Menurut pendapatnya
jika ia mau meloloskan diri, jalan satu2nya ialah menjatuhkan Cia Soen. Tiba2 bayangan
batang pohon memberi ilham kepadanya. Dengan tindakan tidak bersuara, ia mundur dua
tindak ke arah batang pohon itu. Cia Soen merangsek, dia mundur lagi. Ia ingin memancing
lawan ke pohon itu.
“Giehoe, hati2 dibawah kaki!” teriak Boe Kie.
Cia Soen terkejut buru2 ia melompat kesamping. Tapi karena keterlambatan itu Seng Koen,
mendapat kesempatan baik. Ia segera mengirim pukulan yang tak bersuara kedada dan begitu
lekas telapak tangannya menyentuh dada, ia mengeluarkan lweekang yang sehebat2nya
hingga tanpa ampun lagi Cia Soen robih terjengkang!
Dengan girang Seng Koen melompat dan menendang kepala muridnya. Pada detik terakhir
Cia Soen menggulingkan diri dan kemudian melompat bangun. Mulutnya mengeluarkan
darah dan mukanya menakutkan. Sambil berdiri tegak perlahan2 Seng Koen mengirim
pukulannya. Sebagaimana diketahui, Cia Soen menangkis setiap pukulan dengan
menggunakan kupingnya, dengan mendengari sambaran angin dari pukulan musuh. Serangan
Seng Koen mengirim pukulan yang tak bersuara dan ia tak berdaya. Sekali lagi ia kena
dipukul pundaknya. Ia menghadapi bencana. Banyak berteriak terian mencaci. Seng Koen
yang licik, tapi manusia itu tidak meladeni.
Pakaian Boe Kie basah dengan keringat. Ia mencekal tangan Tio Beng dan berkata dengan
suara gemetar. “Beng moay, tolong lekas jalan apa?”
“Asal kau setuju menggunakan senjata rahasia untuk membutakan kedua mata manusia itu?”
tanya nona Tio.
Boe Kie menggelengkan kepala. “Biarpun mesti mati, Giehoe pasti tak suak aku melakukan
perbuatan itu,” jawabnya.
Sementara itu, perlahan2 cuaca berubah gelap.
Tiba2 terdengar teriakan, “Thian kauw makan matahari. Thian kauw makan matahari.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1391
Boe Kie menengadah. Ia lihat matahari sompelak separoh. Itulah gerhana matahari. Keadaan
berubah kalut sebagian orang mendongak keatas, sebagian terus menonton pertempuran dan
sebagian pula berlutut kearah matahari sambil manggut2 kepala.
“Bangsat! Seng Koen!” caci Tio Beng. “Kau terlalu jahat, sehingga Lou hian ya (langit)
esndiri tidak bisa mengampuni kau lagi. Lihatlah! Langit mengunjuk keangkerannya untuk
menumpas kau. Hari ini kau harus mampus, rohmu akan dilemparkan kegunung golok dan
digodok dalam kuali minyak mendidih dan sepanjang masa kau tidak akan bisa dilahirkan lagi
didalam dunia!”
Melihat perubahan dilangint itu dan makin lama cuaca makin gelap Seng Koen yang memang
sudah goncang hatinya jadi ketakutan. Ia menyerang mati2an dengan maksud mencari
lowongan untuk kabur kebawah gunung. Tapi Cia Soen yang bertekad untuk membalas sakit
hatinya, tidak memperdulikan apapun juga dan terus mendesak sehebat2nya, sehingga ia tak
mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Sekonyong2 terdengar berkokoknya ayam jago dibukit dan beberapa saat kemudian, seluruh
permukaan matahari sudah ditutup oleh bayangan rembulan. Keadaan berubah jadi gelap
gulita. Ditempat jauh terdengar geram pekik dan jeritan macam2 binatang buas, di campur
dengan menyalaknya kawanan anjing. Keadaan benar2 menyeramkan. Orang2 yang berada
disitu adalah jago2 rimba persilatan, tapi tak urung bulu roma mereka bangun semua. Gerhana
matahari sekali ini memang luar biasa, langit gelap gulita seperti malam.
Dengan adanya perubahan alam ini Seng Koen yang matanya terang jadi gelap seperti buta.
Dengan hati keder ia menggunakan siasat mundur, tapi Cia Soen tidka memberi hati
kepadanya. Beberapa saat kemudian ia berteriak “Aduh!”, sebab dadanya kena pukulan Cit
siang koen yang hebat. Tapi memang dia bukan manusia bodoh. Sesudah kena pukulan hebat,
ia mundur dengan mengubah cara berkelahi. Ia sekarang mengugnakan Siauw kin hanchioe
yaitu ilmu mencengkram, memiting, membanting dan sebagainya dalam perkelahian rapat.
Dengan ilmu itu ia tak perlu menggunakan mata.
Sambil menggeram Cia Soen pun melawan ilmu yang serupa. Dalam kegelapan para hadirin
hanya mendengar suara bentrokan2 tanyan nyaring dahsyat.
Boe Kie mendengari dengan hati berdebar2. ia tidak bisa membantu dan juga tidak bisa
melihat jalan perkelahian.
Dengan mendengar teriakan “Thian kauw makan matahari” Cia Soen tahu apa yang sudah
terjadi. Ia sendiri sudah buta selama dua puluh tahun lebih. Ia sudah biasa dengan kebutaan itu
dan kupingnya sedikit banyak sudah bisa menggantikan peranan mata. Dilain pihak, Seng
Koen tidak pernah bertempur dengna kegelapan total, dalam keadaan diaman kedua matanya
tidak bisa digunakan. Cia Soen tahu bahwa selama kegelapan total ia memang diatas angin.
Ia tidak boleh membuang wkatu dan ia segera menyerang denga sehebatnya, dengan seantero
kepandaian dan tenaganya. Waktu Seng Koen menyerang dengan Siauw na-chioe iapun
segera menggunakan ilmu tersebut.
Sesudah beberapa gebrakan, mendadak, mendadak Cia Soen mementangkan kedua tangannya
dan mencoba mengacip iga musuhnya. Seng Koen girang “Kena!” ia berteriak sambil
menusuk kedua mata Cia Soen denga dua jari tangannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1392
Itulah pukulan Siang Liong Chioe Coe.
Pukulan ini tidak luar biasa, tapi kalai digunakan dalam Siauw kin na chioe, bahayanya sangat
besar. Jika musuh mengegos, si penyerang bisa mengirim pukulan susulan dengan tangan
kirinya dan kedua pukulan itu pasti akan menghantam kepala. (Siang liong Chioe coe
Sepasang naga berebut mutiara).
Tapi diluar dugaan Ciao Soen tidak berkelit. Ia pun membentak “Kena!” dan menusuk mata
Seng Koen dengan pukulan Siang liong chioe coe juga. Pada detik kedua jarinya amblas
dimata Cia Soen, hati Seng Koen mencelos karena tanpa tercegah lagi, kedua matanya pun
kena tusukan jari.
Ketika itu matahari mulai mengintip dan diantara cuaca remang2, pada hadirin bisa melihat
kedua lawan itu sekarang berdiri seperti patung dengan mata mengucurkan darah. Seng Koen
sudha jadi orang buta, sedang Cia Soen yang memang sudah buta, hanya mendapat luka biasa.
“Enak jadi orang buta?” tanya Cia Soen dengan suara dingin dan hampir berbareng, ia
menghantam dengan tinjunya. Pukulan Cit siang koen kena tepat di dada Seng Koen. Dengan
tinju kiri ia mengirim tonjokkan kedua. Seng Koen terhuyung, tubuhnya membentur batang
siong dna mulutnya memuntahkan darah.
“Segala apa ada pembalasannya! Siancai! Siancai!” seru Touw Ok.
Cia Soen terkejut. Tinjunya yang sudah terangkat diturunkan lagi, “Sebenarnya aku ingin
menghadiahkan kau dengan tiga belas pukulan Cit Siang Koen,” katanya. “Tapi sebab
sekarang kau sudah musnah dan kau sudah menjadi orang bercacat, maka aku tak bisa
turunkan sebelas pukulan lagi.”
Melihat Cia Soen mendapat kemenangan para hadirin bersorak sorai.
Mendadak Cia Soen bersila ditanah dan tulang2nya mengeluarkan suara peratak perotok.
Boe Kie terkesiap. Ia tahu ayah angkatnya sedang membalik aliran hawanya untuk
memusatkan (Red: ‘memusnahkan’ mungkin harusnya?) kepandaiannya sendiri.
“Gie hoe, jangan!” teriaknya. Ia memburu tapi baru saja ia menempelkan telapak tangannya
dipunggun sang ayah angkat untuk mengirim Kioe yang cin khie, Cia Soen sudah melompat
bangun dan memukul dadanya sendiri, sehingga ia lantas saja muntah darah. Buru2 Boe Kie
mencekal tangan orang tua itu. Dengan hati mencelos, ia mendapat kenyataan, bahwa sang
Gie hoe tidak bertenaga lagi. Semua ilmu silatnya sudah musnah dan sukar dipulihkan lagi.
“Seng Koen,” kata Cia Soen. “Kau sudah membinasakan semua keluargaku. Hari ini aku
membalas sakit hati dengan membutakan kedua matamu dan membinasakan ilmu silat suhu,
ilmu silatku diberikan olehmu. Hari ini aku memusnahkannya dan memulangkannya
kepadamu. Mulai saat ini, antara kita berdua sudah tidak ada sangkutan lagi. Semua budi dan
semua sakit hati sudah dibayar lunas. Kau selamanya tak akan bisa melihat aku, sedang
akupun tak akan bisa melihat mukamu lagi.”
Seng Koen menutup mata dengan kedua tangan dan tidak mengeluarkan sepatah kata.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1393
Para orang gagah saling mengawasi. Mereka tak nyana, bahwa permusuhan antara guru dan
murid itu akan berakhir secara begitu.
Sementar itu Cia Soen sudah bicara dengan suara nyaring! “Aku Cia Soen berdosa besar dan
aku sama sekali tidak duga, bahwa aku bisa hidup sampai hari ini. Sekarang, jika diantara
para enghiong ada yang sanak keluarganya dibinasakan olehku, maka ia boleh lantas saja
maju untuk ambil jiwaku. Boe Kie, kau jangan merintangi dan juga tidak boleh membalas
sakit hati, supaya kau tidak menambah kedosaanku.”
Dengan air mata berlinang, si anak mengangguk.
Untuk beberapa saat seluruh lapangan sunyi senyap. Sesudah melihat apa yang terjadi, banyak
orang yang menganggap, bahwa turun tangan terhadap Cia Soen diwaktu itu bukan perbuatan
seorang ksatria.
Tiba2 seorang pria maju dan berkata: “Cia Soen, ayahku, itu Cie Tin Cin Lam Khoe Loo
Hiong binasa dalam tanganmu. Aku ingin membalas sakit hatinya.”
“Benar, Koe Heng boleh lantas turun tangan,” jawabnya.
Orang she Khoe itu segera menghunus golok.
Bukan main bingungnya Boe Kie. Ia serba salah. Tubuhnya gemetaran dan tanpa merasa ia
maju beberapa tindak.
“Anak Boe Kie!” bentak sang Gie Hoe, “Kalau kau merintangi, artinya kau anak tidak
berbakti. Sesudah aku mati, kau boleh periksa penjara diddalam tanah dan kau akan tahu
segala apa.”
Orang she Khoe itu mengangkat goloknya sampai dibatas dada. Tiba2 air matanya mengucur.
Ia meludahi muka Cia Soen dan berkata dengan suara parau, “Diwaktu hidup, Sian hoe
(mendiang ayah) seorang gagah. Jika tokhnya angker, ia tentu tidak setuju jika aku
membinasakan seorang buta yang tidak bisa melawan lagi…” Goloknya jatuh dan sambil
menekap muka dengan kedua tangannya, ia lari balik ke orang banyak.
Seorang wanita setengah tua maju dan berkata: “Cia Soen, aku ingin membalas sakit hati
kakakku. Im Yang Pan Koan Cin Peng Hoei.” Ia mendekati, meludahi dan berlalu sambil
menangis.
Melihat ayah angkatnya dihinakan tanpa bergerak, hati Boe Kie seperti disayat pisau.
Dalam Rimba Persilatan hidup atau mati di pedang kecil. Yang dianggap sebagai urusan besar
ialah hinaan. Kata orang.
“Orang gagah boleh dibunuh, tak boleh dihina.” Meludahi muka adalah salah satu hinaan
terhebat, tapi Cia Soen menelannya dengan segala kerelaan. Ini merupakan bukti, bahwa ia
sungguh2 merasa menyesal akan perbuatannya yang dulu2.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1394
Demikianlah seorang demi seorang maju menghampiri untuk membalas sakit hati sanak
keluarganya. Ada yang meludahi, ada yang menggelepok, ada pula yang mencaci. Cia soen
menerima itu semua dengan kepala menunduk dan mulut membungkam.
Sesudah tigapuluh orang lebih melampiaskan ganjelannya, majulah seorang imam yang
jenggotnya panjang. “Pinto membuktikan bahwa Cia thay sebenarnya seorang mulia. Pintu
sendiri pernah membinasakan banyak orang baik, orang2 jalanan putih maupun orang2
jalanan hitam. Apabila Pinto membalas sakit hati terhadap Cia thay hiap, lain2 orang juga
tentu akan mencari pinto untuk membalas dendam sakit hati mereka.” Sesudah berkata begitu,
ia menghunus pedang, mementil badan pedang yang lantas patah dua dan melemparkan
gagang senjata itu ditanah. Sesudah memberi hormat dengan membungkuk, ia berlalu sambil
menundukkan kepala.
Para hadirin lantas saja mengutarakan pendapat mereka dengan bisik2. nama Thay hie coe
tidak banyak kenal orang. Tak dinyana, ia mempunyai kepandaian tinggi. Apa yang sangat
mempengaruhi orang adalah sikapnya dan dada yang lapang. Sesudah mendengar teguran
Thayhie coe, rasanya tak ada orang lagi yang menghina Cia Soen.
Tapi diluar dugaan, dari rombongan Co bie pay keluarlah seorang pendeta tua. Ia
menghampiri Cia Soen dan berkata, “Kau sudah membunuh suamiku, tapi cukuplah jika aku
meludahi mukamu,” ia lantas saja menyemburkan ludahnya kemuka Cia Soen. Orang yang
berkuping tajam lantas bisa mendengar bahwa dalam semburan ludah itu mengandung
sesuatu. Cia Soen bahwa sebatang paku sedang menyambar. Ia tidak berkilat dan hanya
berkata didalam hati, “ Kalau aku mati sekarang, aku mati agak terlambat.”
Pada saat yang sangat penting mendadak tubuh si baju kuning melesat dan tangan bajunya
menggulung senjata rahasia itu. “Soe thay siapa namanu!” bentaknya.
Niekouw it terkesiap, “Aku Ceng ciauw” jawabnya.
“Hm.. Ceng Ciauw.. Ceng Ciauw! Sebelum kau menjadi pendeta siapa suamimu? Cara
bagaimana Cia Thayhiap membinasakan dia?”
“Perlu apa kau bertanya begitu melit?”
“Cia Thayhiap menyesal akan perbuatannya yang dulu2. Kalau yang maju adalah orang yg
benar2 mau membalas sakit hati ayah atau sanak lain biarpun di cincang, Cia Thayhiap akan
menerima dengan rela dan orang luar tidak boleh mencampuri. Tapi mana kala yang turun
tangan merupakan manusia yang mau memancing ikan di air keruh yang mau membunuh
untuk mulut orang, maka siapapun juga, boleh mencampuri.”
“Dengan Cia Thayhiap aku tak punya permusuhan. Perlu apa aku membunuh orang untuk
menutup…” Ceng Ciauw tidak meneruskan perkataan! Ia tahu bahwa dalam kaget dan
takutnya, ia sudah kesalahan omong. Paras mukanya pucat pasi dan ia melirik Cioe Cie Jiak.
“Benar!” kata si baju kuning. “Dengan Cia tayhiap kau tidak mempunyai permusuhan apa kau
membunuh orang untuk menutup mulutnya? Hm.. dua belas pendeta wanita Go Bie Pay dari
tingkatan Ceng hiaom, Ceng hie, ceng ciauw semuanya menjadi pendeta sedari masih gadis.
Dari mana datangnya suami?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1395
Tanpa menjawab Ceng Ciauw balik kerombongannya.
“Mana boleh kau berlaku begitu saja?” bentak si baju kuning sambil melompat. Dengan
beberapa lompatan ia sudah mencegah nikouw it. Ia menotong pinggang dan menendang
sehingga Ceng Ciauw lantas saja roboh.
Si baju kuning tertawa dingin. “Ciauw Kauw nio, susah membunuh orang untuk menutup
mulutnya!” katanya.
“Jangan omong kosong kau!” kata Cie Jiak dengan suara dingin. “Ceng ciauw suci memang
mau membalas sakit hatinya.”
Ia mengibaskan tangannya dan berkata pula. “Banyak murid partai lurus bersih tak
membedakan lagi mana yang lurus mana pula yang sesat dan sudah rela bersatu padu dengan
kawanan siluman. Go Bie Pay tak boleh turut masuk diair kotor. Hayo kita pulang!” Semua
murid Go Bie lantas saja bersiap untuk berangkat. Beberapa anara mengawasi Ceng Ciauw
yang rebah ditanah. Mereka tak tahu apa Ciang beon jin mereka akan menolong atau akan
membiarkan saja saudara seperguruannya yang roboh itu.
Sementara itu terdengar bentakan Kong tie, “Goantin! Lekas perintahkan kaki tanganmu
melepaskan Hong thio! Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, kedosaanmu akan lebih besar
lagi.”
Seng Koen terawa getir. “Sesudah urusan sampai disini biar kita mati bersama2,” katanya.
“Andaikata mau sekarang akupun tak bisa menolong lagi si hweesio tua Kong boen. Apa kau
buta? Apa kau tak lihat sinar api?”
Kong tie tekrjut. Ia mengawasi kebawah bukit dan benar saja dikuil Siauw Lim sie terlihat
berkobar api. “Celaka! Ta mo tong terbakar,” serunya. “Lekas padamkan api!”
Semua pendeta Siauw Lim yang berada disitu lantas bergerak untuk turun bukit guna
memadamkan api. Tiba2 terlihat semburan2 air yang panjang seperti naga putih dan tak lama
kemudian api sudah dapat dikuasai.
Kong tie merangkap kedua tangannya, “Kuil kami terbebas dari kemusnahan.”
Beberapa saat kemudian dua pendeta mendaki bukit dengan berlari2. “Melaporkan kepada
Soesiok couw,” kata yang satu kepada Kong tie “Kaki tangan Goan tin telah membakar Tot
mo tong. Syukur beribu syukur, para enghiong dari Ang soei kie keburu menolong dan
sekarang sudah dipadamkan.”
Kong tie menghampiri Boe Kie dan merangkap kedua tangannya. “Bahwa kuil siauw lim sie
terbebas dari kemusnahan adalah karena pertolongan Thio Kauwcoe yang sangat besar,”
katanya. “Semua anggota Siauw Lim tak akan melupakan budi yang sangat besar itu.”
Boe Kie membalas hormat. “Hal ini hanya sepantasnya saja dan Taysoe tak usah berkata
begitu,” jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1396
“Kong beon suheng dikurung di tat mo ih oleh murid2 itu,” kata pula Kong tie. “Walaupun
kebakaran sudah dipadamkan, aku masih belum tahu nasib suheng. Thio Kauwcoe dan yang
lain2 tunggulah sebenaran disini, loolap ingin pergi menyelidiki.”
Seng koen tertawa terbahak2. “Tubuh Kong boen dilabur minyak kerbau dan minyak babi,”
katanya. “Begitu api berkobar, begitu ia tamat riwayatnya. Ang soei kie bisa menolong Tat
mo ih, tapi tak akan mampu menolong situa.”
“Kalau Angsioe kie tak bisa, masih ada Houw Touw kie!” kata seorang yang sedang mendaki
puncak bukit. Orang itu adalah Hoan Yauw. Ia muncul bersama Gan Hoan (Ciang kie see
Aouw touw kie) dan seorang pendeta tua yang dipapah mereka. Orang2 tahu, bahwa pendeta
yang dipapah itu bukan lain dari pada Hong thio seng ceng. Mereka mendapat luka dan
pakaian mereka terbakar disana sini.
Kong tie membuta dan memeluk suhengnya, “Suheng!...” katanya dengan suara
parau.”Sutemu tak punya kebecusan dan berdosa besar.”
Kong boen tersenyum. “Kalau Hoan Siecoe dan Gan Siecoe tidak keburu muncul dari
terowongan, aku tak akan bisa bertemu lagi dengan kau masih bernapas,” katanya.
“Kepandaian Hauw towu kie dalam membuat terowongan tiada bandingannya didalam
dunia,” kata Kong tie dengan suara kagum dan berterima kasih. Ia berpaling kepada kedua
penolong itu dan membungkuk. “Hoan Siecoe,” katanya pula, “loocang pernah berlaku tak
pantas terhadapmu dan aku harap kau sudi memaafkan. Looceng sekarang membatalkan
perjanjian bertemu di Ban hoat sie. Looceng tidak berani pergi kesitu.”
Dalam Rimba Persilatan, tak menempati janji dipandang sebagai hal yang lebih memalukan
daripada kalah berkelahi. Bahwa Kong tie rela menarik pulang janjinya dan menyerah kalah.
Merupakan bukti, bahwa ia merasa sangat berhutang budi kepada Hoan Yauw. Kedua tokoh
itu memang saling menghargai. Mulai dari waktu itu mereka menjadi sahabat karib.
***
Dalam usaha busuknya. Seng Koen sudah membuat rencana yang diperhitungkan masak2.
Sebelum pembukaan Enghiong Tay hwee ia berhasil membokong Kong boen dengan totokan
dna kemudia mempenjarakan pemimpin itu di ruangan Tay moin, yang diisi dengan rumput,
kayu kering, tahan2 api. Ruang itu lalu kemudian dijaga oleh kaki tangannya yg setia. Dengan
Kong boen sebgai tanggungan, ia berhasil menundukkan Kong tie. Ia mengancam bahwa jiwa
Kong tie membantah perintahnya, Kong boen akan segera dibakar.
Sesudah usahanya gagal, ia memberi isyarat supaya kaki tangannya segera membakar Tat mo
ih. Ia mengharap selagi para enghiong dan para pendeta berusaha memadamkan api,
kawan2nya akan bisa ditolong dirinya.
Tapi dalam pada itu telah terjadi sesuatu yang tak pernah diduga olehnya. Begitu tiba dikaki
gunung Sauw sit san, pada sebelum bertemu dengan Boe Kie, Yo Siauw memerintahkan
Houw tauw kie membuat terowongan kekuil Siauw Lim sie. Tujuannya ialah untuk menolong
Cia Soen. Tapi belakangan ternyata bahwa Cia Soen bukan dipenjarakan didalam kuil.
Penukaran patung Tat mo Couw soe dalam Tat mo ih dilakukan oleh orang2 Houw Touw kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1397
Waktu Seng koen terlocot topengnya. Tio Beng dan Yo Siauw lantas bisa menduga apa yang
akan terjadi. Sesudah berdamai, mereka minta Hoan Yauw memimpin Ang soei dan Houw
tauw kie untuk memadamkan kan kebakaran dan menolong Kong boen di Tat mo ih. Tapi
karena rapihnya persiapan, maksud menolong tercapai, Houw touw kie menderita kerusakan
dan ketiga anggotanya mengorbankan jiwa. Kalau Hoan Yauw dan Gian Hoan tidak
menggunakan terowongan waktu kabur dengan membawa Kong hoen maka mereka bertiga
pun akan binasa. Kebakaran itu hanya merusak Tat mo ih dan beberapa bangunan lain.
Tay hiong po thian ceng keng dok loohan hion dan lain2 gedung dapat diselamatkan.
***
Sesudah berdamai dengan Kong tie, Kong Boen segera mengeluarkan perintah supaya semua
kaki tangan Seng Koen dipenjarakan dibelakang kuil menunggu keputusan, Seng Koen sudah
berdiam lama di Siauw lim sie dan konco2nya berjumlah tidak sedikit. Tapi melihat kepala
mereka sudah dirobohkan Hong thio ketolongan, orang2 itu tidak berani melawan dibawah
pimpinan Sioe co lo han tong mereka digiring turun bukit.
Sesudah itu Boe Kie mendapat kenyataan bahwa dalam kekalutan, Cie Jiak dan
rombongannya sudah berlalu, dengan meninggalkan Ceng Ciauw yang masih rebah ditanah.
Boe Kie menghampiri si baju kuning dan sambil menyoja, ia berkata: “Dua kali Thio Boe Kie
menerima pertolongan cie cie. Untuk itu aku hanya menghaturkan banyak2 terima kasih.
Disamping itu, aku mohon tanya she dan nama cici yang mulia, supaya siang malam aku bisa
mengingatkannya.”
Si nona tersenyum. Ia menjawab dengan kata yg merupakan sajak: “Dibelakang gunung
Ciong lam san, terdapat kuburan Mayat Hidup, Burung Rajawali sakti dan pasangan pendekar
tak muncul lagi dalam dunia Kangouw.” Seraya berkata begitu, ia membalas hormat dan
kemudian, ia mengulapkan tangan kearah delapan pengiringnya. Sesaat kemudian, bersama
delapan wanita baju putih dan hitam itu, ia turun bukit.
Boe Kie memburu, “Cici tahan dulu!” serunya.
Si nona tidak meladeni dan berjalan terus. “Yo Cici! Yo Cici!” panggil Soe Heng Sek.
“Segala urusan kay pang kumohon bantuan kauwcoe,” kata si baju kuning sambil berjalan
terus.
“Boe Kie menerima perintah.”
“Terima Kasih!” Perkataan “terima kasih” itu terdengar jauh sekali karena si nona sudah
menggunakan ilmu mengentengkan tubuh.
Sesudah itu, Boe Kie mendekati Cia Soen. “Gie Hoe,” panggilnya. Air matanya mengucur.
“Anak edan,” kata sang Gie hoe sambil tertawa. “Atas petunjuk Sam wie ko ceng aku
sekarang baru mendusin. Segala hutang2ku telah dibereskan. Kau sebenarnya harus merasa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1398
girang. Mengapa kau berduka? Sebab ilmu silatku musnah? Apakah kau ingin aku
menggunakan lagi ilmu iut untuk melakukan perbuatan2 berdosa?”
“Giehoe benar,” kata si anak dengan suara perlahan.
Cia Soen lalu menghampiri Kong boen dan berlutut. “Tee coe berdosa besar dan memohon
Hong thio sudi menerima teecu sebagai murid,” katanya.
Sebelum Kong boen menjawab, Touw Ok mendahului: “Mari! Biar looceng saja yang
mengambil kau sebagai murid.”
“Teecu tidak berani mengharap begitu besar,” kata Cia Soen.
Cia Soen berkata begitu sebab jika ia mengangkat Kong Boen sebagai guru, ia berada
ditingkatan “goan” sedang jika ia mengambil kedudukan tingkatan “Kong” yang bersamaan
tinggi denga Kong boen dan Kongtie.
“Fui!” bentak Touw Ok. “Kong kosong. “Goan” juga sama kosongnya. Kau sungguh tolol!”
Cia Soen tertegun, tapi ia lantas mendusin. “Guru kosong, murid kosong, tak ada dosa, tak
ada mulia, tak ada jasa,” katanya.
Touw Ok tertawa terbahak2. “Sekarang kau sudah menjadi anak murid kami,” katanya.
“Kamu tak usah mengubah nama. Kau mengerti maksudku?”
“Mengerti,” jawabnya. “Segala apa hanya merupakan bayangan kosong. Jangankan nama
sedangkan tubuhpun pada hakekatnya sesuatu yang tak ada.”
Cia Soen seorang yang “boen-boe-coan-cay” (paham surat dan silat). Sesudah mendapat
petunjuk Touw Ok, ia segera dapat menangkan intisari dari pada pelajaran sang Budha.
Belakangan ia menjadi salah seorang pendeta suci.
Boe Kie menyaksikan dan mendengar itu semua dengan rasa girang tercampur duka.
“Mari!” kata Touw Ok akhirnya sambil menuntun tangan Cia Soen dan bersama kedua
saudara seperguruannya, ia turun bukti. Kong-boen, Kong-tie, Boe Kie dan yang lain2
memberi hormat dengan membungkuk. Tigapuluh tahun yang lalu Kim mo say ong
melakukan perbuatan2 yang menggemparkan dunia Kang Ouw. Sekarang ia masuk di “pintu
kosong”. Mengingat itu semua, banyak orang menghela napas dengan rasa terharu.
Sesudah ketiga pendeta dan Cia Soen berlalu sambil merangkap kedua tangannya, Kong Boen
berkata. “Kami merasa malu, bahwa berhubung dengan terjdinya pengkhianatan kami tak bisa
melayani para enghiongnya secara pantas. Sekarang kita berkumpul. Entah kapan kita bisa
berkumpul pula. Mengingat itu kami memberanikan diri untuk mengundang kalian guna
mengaso sehari dua hari dikuil kami.”
Bersama tuan rumah, para tamu lantas saja kembali ke kuil siauw lim sie, dimana sudah
disediakan makanan cia cay. Sesudah itu diadakan sembahyang untuk rohnya orang2 gagah
yang membuang jiwa dalam pertempuran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1399
Untuk Boe Kie, selesainya Enghiong Tayhwee belum berarti hilangnya banyak tanda2
didalam hatinya. Masih banyak hal yang belum terang baginya. Cia Soen sudah berlalu
sebelum memberi keterangan. Boe Kie merasa bahwa banyak pertanyaan yang belum
terjawab, mempunyai sangkut paut dengan Cie Jiak. Ia seorang mulia dan ia masih belum
melupakan kecintaan dahulu. Maka itu ia menghibur diri sendiri dengan memikir, bahwa
soal2 itu sebaiknya jangan diselidiki terlalu mendalam supaya nama Cie Jiak jangan jadi lebih
rusak.
Sesduah bersantap, ia pergi ketempat Kaypang untuk membicarakan soal2 partai pengemis
denga Soe Hong Sek dan nama Tingloo. Selagi beruntun, mendengar swee poet. Tak
menerobos masuk dan berkata. “Kaucoe, Boe tong siehiap datang berkunjung. Ia mengatakan,
ada urusan penting yang mau dibicrakan.”
Boe Kie terkejut. “Apa ada sesuatu yg terjadi atas diri Thay suhu?” tanyanya didalam hati.
Buru2 ia keluar menyambut. Sesudah memberi hormat dengan berlutut, hatinya baru agak
lega sebab lihat paras muka thio Siauw Koe tenang2 saja. “Apa Thay suhu baik?” tanyanya.
“Tak kurang suatu apa,” jawabnya. “Di Butong san aku mendapat warta bahwa dua laksa
tentara Goan sedang menuju ke Siauw Lim sie dengan maksud yang tidak baik terhadap eng
hiong tayhwee. Maka itu, baru2 aku datang disini.”
“Mari kita beritahukan Hong thio,” kata Boe Kie.
Mereka segera pergi keruangan bealkang dan menemui Kong boen.
Sesudah berpikir sejenak, Kong Beng berkata, “Soal ini sangat besar. Kita harus berdamai
dengan para orang gagah.” Ia segera memerintahkan dibunyikannya lonceng dan
mengumpulkannya semua orang di Tay hiong Pothan dan mendengar laporan Thio Siong Kee
semua orang terkejut dan beberapa antaranya lantas saja mengutarakan pikiran Yang berdarah
panas mengusulkan supaya mereka turun gunung dan melabrak tentara musuh. Yang lebih
tenang mengenakan, bahwa gerakan tentara Goan itu belun tentu ditujukan kepada Siauw Lim
Sie.
“Aku mengerti bahwa Mongol,” kata Thio Siong Kee. “Aku dengar dengan kuping sendiri
bahwa pasukan itu benar2 mau menyerang Siauw Lim sie.”
“Menurut pendapatku, tentara kerajaan menyerang karena mereka menduga bahwa
berkumpulnya kita disini mempunyai tujuan untuk merusakan mereka,” kata Kong Boen.
“Kita paham ilmu silat dan kita tak takut kawanan Tai coe, musuh datang harus disambut. Air
datang harus dibendung. Kita tak usah takut…” Belum habis Kong boen bicara beberapa
orang sudah menepuk2 tangan untuk menyatakan persetujuannya.
Sesudah sambutan mereda,Kong ben selanjutnya! “Akan tetapi kita orang2 Rimba Persilatan,
biasa bertempur satu melawan satu. Kita berkelahi dengan tangan kosong atau dengan senjata
rahasia! Berkelahi dengan menunggang senjata panjang seperti tombak dan sebagainya, kita
belum punya pengalaman. Maka itu menurut pikiran loolap, sebaiknya para neghiong bubar
dan pulang kemasing2 tempatnya.”
Mendengar saran itu untuk beberapa saat semua orang membungkam.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1400
“Aku sendiri tidak setuju,” kata Boe Kie. “Pertama kalau kita bubar Tat coe akan mengatakan
bahwa kita tkut terhadap mereka. Kedua bagaimana dengan para suhu yang berdia dikuil ini?”
Kong boen tersenyum. “Kalau tentara Goan lihat bahwa yang berada disini hanya para
pendeta2 dan bukan orang2 kangouw, mereka tentu tak akan berbuat apa2,” katanya.
Semua orang mengerti bahwa Kong boen berkata begitu karena tidak mau merembet orang.
Para tamu datang atas undangan Siauw Lim Sie. Kong Boen tak mau mereka mengorbankan
jiwa karea gara2 orang Siauw Lim Sie. Tapi orang2 yg berada disitu adalah laki2 sejati. Mana
bisa mereka mundur dalam menghadapi musuh?
“Dihadapan Hong thio dan para enghiong aku yang rendah sebenarnya tidak boleh banyak
mulut,” kata Yo Siauw. Pada hakekatnya setiap orang yang berada disini mempunyai
kewajiban untuk melawan musuh menurut pikiranku kita sebaiknya mencari daya untuk
memancing Tat coe dimana bisa menggempur mereka. Sedapat mungkin janganlah kuil yang
bersejarah ini dijadikan medang perang.”
Semua orang lantas saja menyetujui usul itu.
Tiba2 diluar terdengar suara kaki kuda yang dikaburkan secepat2nya dan kemudian berhenti
didepan kuil. Beberapa saat kemudian masuk dua partai dengan diantara oleh seorang Tie Kek
Ceng. Dari pakaiannya mereka ternyata anggota Beng Kauw.
Sesudah memberi hormat, salah seorang berkata, “Melaporkan kepada Kauw coe, bahwa
pasukan depan Tat coe yang berjumlah lima ribu orang sedang menerjang ke Siauw Lim Sie.
Mereka mengatakan bahwa para suhu mengumpulkan orang untuk melakukan
pemberontakan. Mereka sesumbar mau injak Siauw Lim sie sampai jadi bumi rata dan mereka
mau membinasakan setiap kepala.” Ia berhenti ditengah jalan.
Kong Boen tersenyum. “Kau mau mengatakan kepada gundul bukan?” tanyanya. “Tak usah
ragu2. Katakanlah segala perkataan yang harus dikatakan.”
Orang itu mengangguk. “Disepanjang jalan kami mendapat kenyataan bahwa sudah banyak
pendeta yang dibinasakan Tat coe,” katanya pula. “Tat coe mengatakan begini, ‘kepala gundul
bukan orang baik.’ Siapa yang membawa senjata harus dibunuh. Itulah pendirian pasukan
latcoe.”
Semua orang meluap darahnya. Banyak yang lantas berteriak2 dan mengusulkan turun
gunung untuk menggempur musuh. Semenjak orang Mongol berkuasa di Tiongkok pencinta2
negeri diseluruh Rimba persilatan memang menganggap penjajah sebagai musuh dan dalam
cara2nya sendiri berusaha untuk mengusir penjajah. Gerakan Beng Kauw merupakan sebuah
usaha mereka.
Melihat besi sedang panas, Boe Kie segera berkata dengan suara lantang. “Saudara saudara!
Hari ini merupakan kesempatan yang paling baik untuk memperlihatkan bahwa laki2 sejati
yang bisa berkurban demi kepentingan negara. Nama Siauw Lim Eng hiong tay hwee akan
tercatat dalam buku sejarah dan akan diingat orang untuk selama2nya.”
Pidato bersemangat itu disambut dengan sorak sorai gegap gempita.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1401
“Sekarang biarlah kita minta Kong boen Hong thio memegang pemimpin,” kata pula Boe Kie.
“Kami dari Beng Kauw akan mentaati semua perintah.”
“Mana bisa begitu?” kata Kong boen seraya merangkap kedua tangnnya. “Walaupun benar
kami pernah belajar dan mengerti sedikit ilmu sialt, kami sama sekali tidak mengenal ilmu
perang. Semenjak beberapa tahun lalu Beng Kauw sudah memulai suatu usaha besar diketahui
oleh semua orang. Menurut pendeta loolap, hanya tentara Beng Kauw yang akan dapat
melawan tnetara Tat coe. Maka itu loolap mengusulkan untuk mengangkat Thio Kauwcoe
sebagai Boe lim beng coe (kepala perserikatan dari Rimba Persilatan) guna memimpin kita
dalam peperangan melawan Tat coe.”
Sebelum Boe Kie keburu membuka mulut, para hadirin sudah menyambut usul itu dengan
tepuk tangan dan sorakan.
Biarpun Boe Kie masih muda dan sepang terjangnya dalam Rimba Persilatan belum cukup
untuk menakluki hati orang, ilmu silatnya yang sangat tinggi sudah disaksikan segenap orang
gagah. Disamping itu, panglima2 tentara Beng Kauw, seperti Han San Tong. Cie Sioe Hwee,
Coe Coan Ciang dan lain lalu, telah mendapat kemenangan2 dalam peperangan disepanjang
sungai Hway ho di Holam, Ouwpak dan sebagainya. Oleh karena itu para orang gagah yakin,
bahwa selain Beng Kauw, tak ada parti yang lebih cocok untuk memimpin pertempuran dan
memegang komando sebagai Beng coe.
“Tanggung jawab Beng coe berat luar biasa,” kata Boe Kie dengan suara merendah. “Aku
tidak punya kemampuan dan kuminta kalian suka memilih lain orang yg lebih pandai.”
Sekonyong2 terdengar suara ribut yang bergemuruh dan dilain saat dua anggota Swie kim kie
menerobos masuk keruangan musyawarah. “Tentara Mongol sudah menerjang kegunung ini!”
teriak salah seorang.
Sampai disitu Boe Kie tidak bisa berlaku sungkan lagi. “Swie kim kie, Ang Soe kie maju
dimuka untuk menyambut musuh!” katanya dengan suara angker. “Cioe Tian Sianseng, Tiat
koan To tiang, kalian berdua bantu mereka dengan masing2 membawa saut bendera.”
Cioe Tian dan Tiat koen Toojin membungkuk dan segera berlalu untuk menjalankan tugas.
“Swee Poet Tek suhu,” kata pula Boe Kie. “Kuminta kau pergi ke berbagai tempat yang
berdekatan untuk meminta bala bantuan dengan membawa Seng hwee leng sebagai tanda
kepercayaan.” Tanpa menyia2kan waktu Swee Poet Tek segera berangkat.
Para enghiong yg berada disitu rata2 berkepandaian tinggi, tapi mereka merupakan tenaga
yang belum terlatih dalam peperangan. Sesudah Boe Kie mengeluarkan beberapa perintah,
mereka segera menghunus senjata dan bergerak untuk menyambut musuh.
Jilid 77__________________________
“Kauwcoe,” bisik Yo Siauw, “Jika mereka tidak dipimpin, sekali gebrak saja mereka bakal
dipukul hancur.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1402
Boe Kie mengangguk. Ia segera keluar lebih dulu dan pergi ke pendopo di depan kuil untuk
mengamat-amati musuh. Ia menyadari bahwa pasukan Mongol yang di depan, yang terdiri
dari seribu jiwa lebih sudah tiba dilereng gunung. Tetapi mereka sudah dipukul mundur oleh
Swie kim ie yang menggunakan senjata gendewa dan anak panah serta tombak di sebelah
bawah gunung yang lebih jauh, ia lihat pasukan demi pasukan merayap naik dengan teratur.
Jaman itu keangkeran tentara Mongol sudah tidak bisa manyamai jaman Genghis khan. Tapi
biar bagaimanapun juga tentara pilihan Mongol masih merupaka tentara yang tiada tandingan.
Selagi Boe Kie mengasah otak untuk memundurkan tentara musuh di sebelah kiri mendadak
terdengar teriakan-teriakan yang dibarengi dengan munculnya sejumlah pendeta wanita dan
laki-laki muda yang berlari-lari ke atas gunung. Mereka adalah rombongan Go bie pay. Tak
salah lagi dalam perjalanan pulang mereka bertemu dengan tentara Mongol yang memukul
mereka balik ke atas gunung. Dilain saat Boe Kie dan kawan-kawannya melihat Cioe Cie
Jiak, Ceng-hoei Ceng Ciauw dan beberapa pendeta lain berkelahi sambil mundur dengan
tubuh berlumuran darah, tak jauh dari situ belasan pria yang memikul sebuah tandu sedang
dikepung oleh sejumlah serdadu Mongol. Berulang kali Cie Jiak dan kawan-kawannya
menerjang dan berhasil membinasakan puluhan serdadu musuh tapi mereka belum juga
berhasil menolong kawan-kawan yang terkepung itu.
“Celaka!” seru Boe Kie. “Yang berada dalam tandu pasti Song soeko!” Ia berpaling dan
berseru pula. “Liat hwee kie melindungi dari kedua samping, Wie heng Hoan Yo Jiesoe ikut
aku.” Seraya memberi perintah ia berlari-lari dan menerjang musuh. Dua serdadu memapaki,
dengan tombak rampasan ia menerjang pasukan musuh diikuti oleh Yo Siauw, Hoan Yauw
dan Pheng Eng Giok.
Sesudah mengamuk beberapa lama, Hoan Yauw bertemu dengan seorang Siehoe thio
(pangkat perwira Mongol). Dengan sekali pukul ia menghancurkan perwira itu dan kemudian
sesudah merobohkan beberapa musuh ia berhasil merampas seorang yang terluka parah dan
rebah di dalam sebuah tandu. Ia lalu menggendongnya, dan kabur ke tempat yang lebih aman.
Sementara itu dengan muka penuh darah Cie Jiak menerjang pula ke arah rombongan musuh.
“Cie Jiak balik! Song Toako sudah tertolong!” teriak Boe Kie.
Cie Jiak tidak meladeni, ia terus menyerang dengan cambuknya. Tapi, karena jalanan gunung
yang sangat sempit dan penuh dengan manusia, terjangannya tidak berhasil.
Beberapa saat kemudian Boe Kie lihat kedua anggota Go bie pay, yang memikul sebuah tandu
yang lain dikepung musuh.
“Apa Song Soeko berada dalam tandu itu?” tanya Boe Kie dalam hati. Ia segera menghampiri
dengan berlari. Tapi saat masih terpisah setombak lebih dari tandu itu, kedua murid Go bie itu
sudah kena bacokan golok dan anak panah bersama-sama tandu yang dipikulnya, mereka
menggelinding ke bawah gunung.
Boe Kie terkejut. Ia melompat dan menggunakan tombak yang dipegang oleh tangan kirinya
untuk menahan tergelincirnya tandu. Ia menyadari bahwa orang yang berada di dalam tandu
itu dibungkus dengan kain putih dan hanya kelihatan mukanya. Orang itu memang tidak lain
adalah Song Ceng Soe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1403
Ia segera melemparkan senjatanya dan mendukung Ceng Soe. Ia merasa heran karenga
tubuhnya berat luar biasa dan sesudah mendukungnya ia menyentuh sesuatu yang keras.
Rupa-rupanya di dalam kain putih yang membungkus tubuh Ceng Soe terdapat suatu benda
yang berat dan keras. Tapi saat itu ia tidak sempat berpikir panjang lagi. Karena kuatir
menggetarkan tulang-tulang kepala Ceng Soe yang belum lama disambung, ia tidak berani
bertempur dengan serdadu-serdadu yang mencegatnya dan hanya berkelit sana sini, sambil
berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Untung juga tak lama kemudian ia
bertemu dengan Thio Siong Kee dan In Lie Heng yang lalu melindungi dari serangan musuh.
Sementara itu pasukan Mongol yang lain dengan kekuatan beberapa ratus orang sudah mulai
merangsek ke atas.
“Liat hwee kie turun tangan,” teriak Pheng Eng Giok.
Tentara Liat hwee kie segera menyemprotkan minyak tanah dan panah api sehingga dua ratus
lebih serdadu Mongol yang berada di depan segera saja terbakar dan yang lainnya terpaksa
mundur.
Dilain pihak, Ang soe kie yang menyemburkan air beracun juga sudah berhasil
membinasakan serangan musuh. Dengan menggunakan kesempatan yang baik itu, para orang
gagah turut menerjang dan membasmi musuh sepuas hati.
Melihat gelagat tidak baik, Ban hon thio yang memimpin tentara Mongol buru-buru
memerintahkan dibunyikannya gendering untuk menarik mundur pasukan. Dilain saat,
pasukan depan Mongol berubah menjadi pasukan belakang dibawah perlindungan tentara
yang bersenjata anak panah mereka mundur ke bawah gunung dengan teratur.
Melihat begitu Pheng Giok menghela napas dna berkata, “Tentara Mongol benar-benar bukan
tentara sembarangan. Mereka kalah tapi tak jadi kalut.”
Setibanya di kaki gunung tentara Mongol diatur seperti kipas dan membuat persiapan untuk
beristirahat.
Sesudah musuh menghentikan serangan, Boe Kie segera mengeluarkan perintah.
“Swie Kim, Ang Soei dan Liat hwee, tiga bendera, menjaga di tempat-tempat yang penting
Kie bok dan Hong touw kie harus menebang pohon dan membuat benteng-benteng untuk
menahan terjangan musuh yang selanjutnya.”
Kelima bendera itu segera berpencar untuk melakukan tugas mereka.
Pertempuran itu memberi pelajaran dan membuka mata para orang-orang gagah dari Rimba
Persilatan. Sekarang mereka mengerti bahwa perang lain dari pertandingan satu lawan satu
atau pertempuran antara beberapa orang yang biasa terjadi dalam kalangan Kang ouw.
Sekarang mereka mengakui bahwa Lweekang, Gwakan, senjata rahasia dan ilmu silat tinggi
dari seseorang tidak banyak artinya dalam peperangan, di mana beribu atau puluhan ribu
manusia bertempur secara besar-besaran. Sekarang mereka yakin bahwa tanpa bantuan Nio
heng kie, hari itu mereka semua terhitung kuil Siauw lim tentu sudah musnah. Tanpa Ngo
heng mereka tak akan bisa melawan dua laksa serdadu Mongol yang terlatih baik.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1404
Sesudah musuh mundur semua, Boe Kie meletakan Song Ceng soe di tanah dan meraba
dadanya. Pemuda she Song itu ternyata masih bernapas. Ia menengok untuk memanggil Cie
Jiak, tapi nyonya itu tak kelihatan batang hidungnya. “Mana Song Heng jie?” tanyanya
kepada beberapa murid Go bie pay yang berada di situ.
Mereka semua menggeleng-gelengkan kepala. Dengan repotnya melawan musuh, para
enghiong pun tidak memperhatikan nyonya muda itu.
Karena kuatir Song Ceng soe terluka, Boe Kie segera membuka kain putih yang membungkus
tubuh pemuda itu.
Bungkusan itu tak kurang dari tiga lapis. Begitu lapisan ketiga terbuka, terdengar suara
kerontangan dan empat potong senjata jatuh di tanah. Boe Kie terkesiap, “To liong to! Ie thian
kiam!” teriaknya. Mendengar teriakan itu semua orang memburu.
Di atas tanah menggeletak dua potong Ie thian kiam dan dua potong To liong to.
Boe Kie mengambil salah sepotong To liong to. Ia berdiri terpaku dan kedua matanya
mengeluarkan sinar kedukaan. Ia ingat bahwa ayah dan ibunya meninggal karena golok
mustika itu. Ia ingat bahwa selama dua puluh tahun lebih banyak orang bermusuhan,
berkelahi dan hilang jiwa gara-gara golok itu. Ia ingat pula bahwa perkumpulan para
enghiong di kuil Siauw lim sie juga disebabkan oleh To liong to. Sekarang golok tersebut
muncul dalam keadaan patah dua dan tidak ada gunanya lagi.
Ia angkat potongan itu dan menyadari bahwa di tengahnya berlubang. Ie thian kiam pun
demikian. Mungkin sekali di dalam lubang itu telah disembunyikan sesuatu, tapi isinya sudah
diambil orang.
Yo Siauw menghela napas, “Kauw coe!” katanya. “Sudah lama sekali aku coba memecahkan
teka teki sumber ilmu silat Cioe Kauwnio sekarang aku bisa mengatakan bahwa ilmu Cioe
Kauwnio didapat dari pedang dan golok itu.”
Boe Kie bukan orang tolol. Iapun sudah bisa meraba-raba kejadian yang sebenarnya. Ia
sekarang dapat membayangkan bahwa malam itu waktu berada di sebuah pulau kecil. Cie
Jiaklah yang sudah mencuri Thian kiam dan To liong to. Entah dengan jalan bagaimana ia
menyingkirkan Tio Beng, membinasakan In Lee dan lalu saling membacok kedua senjata itu
sehingga Ie thian kiam dan To liong to yang tersohor patah dua-duanya. Sesudah itu ia ambil
pit kip (kitab ilmu) yang disembunyikan dalam kedua senjata itu dan melatih diri secara diamdiam.
Makin lama Boe Kie berpikir makin jelas duduk persoalan. “Benar,” katanya di dalam hati.
“Di pulau itu waktu aku mencoba mengusir racun dari tubuhnya dengan menggunakan Kioe
yang Sing kang aku merasakan munculnya semacam tenaga luar biasa yang melawan Sin
kang. Belakangan tenaga itu jadi lebih kuat. Hai…karena tergesa-gesa ia tak pelajari dasardasar
Lweekang yang sejati tapi melatih diri dalam ilmu luar yang beracun, yang bisa
memberi hasil dalam waktu singkat. Sungguh sayang….”
Selagi ia termenung, Gouw Kia Co Ciang kie soe, Swi kim kie mendekati dan berkata seraya
membungkuk. “Kauwcoe, aku jadi pandai besi (tukang besi). Aku bisa membuat macamTo
Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1405
macam senjata. Mungkin sekali pedang dan golok mustika itu masih dapat disambung.
Apakah Kauwcoe setuju kalau aku mencobanya?”
Yo Siauw girang, “Ilmu membuat pedang dari Gouw Sioe soe tiada tandingannya dikolong
langit,” katanya. “Kauwcoe boleh mengijinkannya.”
Boe Kie mengangguk. “Baiklah,” katanya. “Memang sangat sayang jika kedua senjata ini
tidak bisa digunakan lagi. Gouw Kioe soe, kau cobalah.”
“Heesheng,” kata Gouw Kin Co kepada Hee Yam, Ciang kie soe, “Liat hwee kie, membuat
pedang golok mempunyai kaitan yang erat dengan api. Dalam hal ini, aku memerlukan
bantuanmu. Untuk sementara waktu Tat coe mungkin tidak berani segera menyerang lagi.
Bagaimana kita mencoba sekarang juga.”
Hee Yam tertawa. “Mupakat,” jawabnya. “Soal api memang bidangku.”
Kedua pemimpin bendera itu segera membuat persiapan. Mereka membuat sebuah dapur yang
sangat tinggi dan pada dapur itu hanya terbuka sebuah lubang yang panjangnya belum cukup
satu kaki. Dalam Liat hwee kie selalu tersedia macam-macam bahan baker, sehingga dalam
waktu singkat api sudah berkobar-kobar di dapur itu.
Dengan penuh perhatian Gouw Kin Co mengawasi api. Di atas tanah berjejer belasan golok.
Sesudah api berubah warnanya ia mengambil beberapa batang golok dan memasukkannya ke
dalam dapur untuk menilai “sifat” dari api yang tengah berkobar-kobar itu. Beberapa lama
kemudian, api yang tadi berwarna hijau berubah menjadi putih. Ia segera mengambil jepitan
baja menjepit dua potongan To liong to menyambungnya satu degan yang lain dan kemudian
memasakkannya ke dalam dapur.
Dengan rasa kagum semua orang menyaksikan cara kerja pandai besi itu. Ia tidak memakai
baju dan keringat mengucur terus dari tubuhnya yang berotot. Hawa panas dari dapur itu
hebat luar biasa dan bunga api yang selalu muncrat keluar jatuh di tubuhnya. Tapi ia seolaholah
tidak merasakan semua itu. Dengan menumpahkan seluruh perhatian, ia berdiri bagaikan
patung dengan kedua tangan memegang jepitan baja yang menjepit dua potong To liong to.
Mendadak dua anggota Liat hwee kie yang memompa hong shia roboh pingsan. Hee Yam dan
Ciang kie Hoe soe (wakil pemimpin) Liat hwee kie melompat menyeret kedua orang korban
itu dan kemudian mereka sendirilah yang menggantikannya. Mereka adalah orang-orang yang
memiliki Lweekang yang kuat. Begitu lekas hong shia ditarik mereka, api berkobar makin
besar. (Hong shi – Alat berbentuk kotak untuk memompa angin ke dalam dapur).
Selang beberapa lama tiba-tiba Gouw Kin Co berseru, “Gagal!” ia melompat mundur dengan
paras muka pucat. Kedua jepitan bajak yang dicekalnya sudah mulai melumer tapi To liong to
masih tidak bergeming. “Kauwcoe, anak buahmu tak punya kebecusan,” katanya dengan
suara memohon maaf. “Nama besar To liong to benar-benar bukan nama kosong.”
Hee Yam dan Ciang ki Hoe soe Liat hwe kie juga turut mundur. Pakaian mereka sudah basah
dengan keringat.
“Boe Kie koko,” kata Tio Beng dengan tiba-tiba, “Bukankah Seng hwee leng juga logam
mustika dan bahkan tidak dapat diputuskan oleh To liong to?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1406
“Benar!” kata Boe Kie. “Hampir kulupa.” Ia mempunyai enam Seng hwee leng, tapi yang satu
sudah diberikan kepada Swee Poet Tek untuk memanggil bala bantuan.
Ia segera merogoh saku dan mengeluarkan kelima batang “leng” yang lalu diserahkan kepada
Gouw Kin Co. “Kalau golok dan pedang itu sukar disambung, Gouw heng tak usah
memaksakan diri,” katanya. “Swee heng leng adalah mustika dari agama kita. Sebisa mungkin
jangan sampai rusak.”
Gouw Kin Co menyambut dan menelitinya sambil mengerutkan alis.
“Apabila Gouw heng tak punya pegangan sebaiknya jangan menempuh bahaya,” kata Boe
Kie.
“Swee heng leng ini terbuat dari emas putih, besi Hian tiat, pasir Kim Kong dan bahan
istimewa lain,” terang Gouw Kin Co. “Benda luar biasa ini tak akan bisa dilumerkan dengan
api. Apa yang aku tak dapat pikirkan adalah bagaimana Seng hwee leng dulu dibuat.”
“Sudahlah, untuk apa Gouw heng memikirkan hal itu,” kata Hee Yam. “Paling baik kita
segera mencoba.”
Gouw Kin Co mengangguk, “Kauwcoe tidak usah kuatir,” katanya. “Meskipun api yang
dibuat Hee heng cukup hebat, kulit Seng hwee leng tidak akan rusak.” Sehabis berkata begitu
ia menjepit sepotong To liong to dengan dua “leng” dan potongan yang lain dengan dua
“leng” pula. Kemudian dengan dua jepitan baja yang baru ia menjepit keempat “leng” itu
yang lalu dimasukkan ke dalam dapur. Seperti tadi, gas memompa angin dilakukan Hee Yam
dan Ciang kie Hoesoe dari Liat hwee kie.
Makin lama api berkobar makin tinggi, selang setengah jam Gouw Kin Co, Hee Yam dan
Ciang kie Hoe soe sudah kelihatan payah sekali dan hampir tidak bisa mempertahankan diri
lagi dari serangan hawa panas.
Melihat itu, Hoan Yauw memberi isyarat kepada Cioe Tian dengan lirikan mata dan gerakan
tangan. Dengan bersamaan mereka melompat dan menggantikan pekerjaan Hee Yam dan
kawannya. Begitu angin dalam hong shia dipompa oleh dua tenaga baru yang memeiliki
Lweekang sangat tinggi, api yang berwarna putih segera menghembus ke atas.
Mendadak Gouw Kin Co berteriak, “Kouw heng, sekarang kau boleh turun tangan!”
Kouw Beng Louw, Ciang kie Hoe soe dari Swie kim kie lari mendekati dapur dan…, ia
menggores dada Gouw Kin Co dengan goloknya.
Semua orang terkesiap dan menggeluarkan seruan tertahan.
Darah segera mengucur dari dada Gouw Kin Co yang telanjang dan jatuh di atas To liong to.
Jatuhnya darah itu mengeluarkan suara ces…ces…dibarengi dengan naiknya uap putih dari
badan golok.
“Selesai!” teriak Gouw Kin Co pula. Ia mundur beberapa langkah dan jatuh duduk di atas
tanah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1407
Semua mata ditujukan ke arah To liong to, dua potongan golok itu sudah tersambung.
Sekarang semua orang baru sadar bahwa dalam tekadnya untuk menyambung golok mustika
itu, Gouw Kin Co sudah lebih dulu mengadakan persetujuan dengan Kouw Beng Louw untuk
menggunakan darahnya sendiri, apabila cara yang biasa mendapat kegagalan. Menggunakan
darah manusia dikenal sebagai suatu cara di jaman purba untuk melumerkan logam yang tidak
bisa dilumerkan dengan api biasa. Sepanjang cerita, dalam usaha membuat sepasang pedang
mustika, dahulu sepasang suami istri Kan Ciang dan Bok Yo telah mengorbankan jiwa
dengan melompat ke dalam dapur.
Dengan rasa haru Boe Kie menubruk bawahannya itu dan memeriksa lukanya. Luka itu tidak
berbahaya, ia segera mengeluarkan obat dan menaburnya di dada Gouw Kin Co. “Gouw heng,
mengapa kau berbuat begitu?” katanya dengan suara parau. “Golok itu bisa disambung atau
tidak, sama sekali tak menjadi soal. Untuk apa kau menyakiti diri sendiri?”
Melihat sang pemimpin tidak memperdulikan Seng hwee leng atau To liong to dan lebih dulu
memeriksa lukanya, Gouw Kin Co merasa berterima kasih. “Luka ini hanya dikulit,” katanya.
“Kauwcoe tak usah kuatir.” Ia bangun berdiri dan mengambil To liong to. Ternyata dua
potong golok itu tersambung dengan sempurna dan pada sambungannya hanya terlihat sehelai
tanda bekas darah. Dengan rasa bangga ia menyerahkan kepada Boe Kie yang baru saja
mengambil kembali keempat “leng” yang tadi digunakan untuk menjepit potongan golok.
Keempat “leng” itu tidak kurang apapun.
Sesudah mengawasi golok mustika itu beberapa saat, Boe Kie menyabetkannya ke arah
sepasang tombak Mongol. “Tak!” dua tombak itu putus menjadi empat potong.
Para hadirin bersorak sorai. Sementara itu, Gouw Kin Co memegang dua potong Ie thian kiam
dengan mata merenung. Di depan matanya terbayang mendiang Cung ceng Ciang Kie soe
Swee kim-kie dan puluhan saudara lain yang dibinasakan dengan pedang itu.
Perlahan-lahan air matanya mengalir turun, “Kauwcoe,” katanya dengan suara perlahan.
“Pedang ini telah mengambil jiwa Chung To do dan banyak saudara lain. Gouw Kin Co
membencinya sampai ke tulang-tulang. Dengan sangat menyesal, aku tak sanggup
menyambungnya kembali. Aku bersedia menerima segala hukuman.” Sehabis berkata begitu
ia menangis tersenguk-senguk.
“Gouw heng sama sekali tidak berdosa,” kata Boe Kie dengan suara lemah lembut.
“Itu hanya menunjuk “gie hie” Gouw heng yang sangat tebal.” Ia mengambil dua potong
pedang itu dari tangan Gouw Kin Co dan menghampirinya. “Ceng hoei! Pedang ini adalah
milik Go bie pay,” katanya. “Kuminta Soe thay sudi mengambilnya untuk kemudian
diserahkan kepada Cioe…kepada Song Hoe jin.” Ceng hoei mengambilnya tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Untuk beberapa lama Boe Kie mencekal To liong to sambil mengerutkan alis. Akhirnya ia
berpaling kepada Kong boen dan berkata, “Hong thio, golok ini didapatkan oleh Giehoeku.
Sekarang Giehoe sudah menjadi seorang pendeta dan murid Siauw lim. Sudah sepantasnya
kalau To liong to disimpan oleh Siauw lim pay.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1408
Kong boen menggoyang-goyangkan tangannya. “Golok itu telah menemukan majikannya,”
katanya. “Dari berlaksa tentara, Thio Kauwcoe telah merebut kembali To liong to. Hal ini
disaksikan oleh semua orang. Belakangan Gouw Toako menyambungnya kembali dengan
mengucurkan darah sendiri. Disamping itu, segenap anggota Rimba Persilatan telah
mengangkat Thio Kauwcoe sebagai Boe lim Beng coe, baik dilihat dari sudut kepandaian dan
kebijaksanaan, maupun dari sudut kebajikan dan kedudukan yang tinggi, To liong to harus
berada dalam tangan Thio Kauwcoe. Menurut pendapat loolap hal ini adalah yang paling
adil.”
Semua orang menyetujui pendapat Kong boen dan beramai-ramai mendesak supaya Boe Kie
sudi menerimanya.
Karena tidak bisa menolak lagi, mau tak mau Boe Kie lalu menggantungkan To liong to
dipinggangnya. “Apabila dengan golok ini aku bisa menguasai enghiong Timba Persilatan
untuk mengusir Tat coe, aku akan merasa girang sekali,” pikirnya.
Semua orang merasa girang. Banayk yang lalu menghafal kata-kata yang dikenal sejak seratus
tahun yang lalu. “Boe lim cie coen, po to to liong, hauw leng, thiat hoe, boh kam poet ciong!”
atau Yang mulia dalam Rimba Persilatan adalah golok mustika To liong. Memerintah di
kolong langit, tak ada yang berani tidak menurut. Disebelah bawah masih ada perkataan, “le
jian poet coet, swee ie kiam ceng hiong?” apabila Ie thian kiam tidak keluar, siapakah yang
berani mengadu ketajaman dengan dengannya? Melihat Ie thian kiam sudah tidak dapat
disambung lagi, orang-orang yang menghafal tidak menyebutkan lagi delapan perkataan yang
terakhir itu. Pihak yang merasa paling puas karena rusaknya Ie thian kiam adalah anggotaanggota
Swie kim kie, sebagaimana diketahui banyak orang, bendera itu telah dibinasakan
dengan pedang menggunakan pedang mustika tersebut.
Sesudah penyambungan golok selesai, sejumlah anggota Ang soe kie menggotong keluar
sebuah kuali besar dari dalam kuil dan sesudah mengisi minyak dalam kuali itu segera
menarihnya di atas dapur. Minyak panas itu akan digunakan untuk menyemprot tentara
Mongol jika mereka menyerang pula.
Sore itu, kecuali tentara Ngo beng kie dan sejumlah pendeta Siauw lim yang menjaga di luar,
semua orang bersantap di dalam kuali itu. Sehabis makan Boe Kie memanjat satu pohon besar
dan mengamat-amati gerakan musuh di kaki gunung. Ia lihat tentara Mongol terpencar di sana
sini di seputar gunung dan asap putih mengepul di berbagai tempat yang merupakan satu
tanda bahwa serdadu-serdadu itu sedang menanak nasi.
Boe Kie melompat turun dari pohon. “Wie heng,” katanya kepada Wie It siauw. “Saat malam
menjelang kau selidiki keadaan musuh kalau-kalau mereka ingin menyerang di waktu
malam.”
Wie it Siauw mengiyakan dan segera berlalu.
“Kauwcoe,” kata Yo Siauw, “Menurut pendapatku, sesudah dihajar di depan gunung hari ini,
Tatcoe tidak akan menyerang lagi. Yang kita harus jaga adalah bokongan dari gunung.”
“Benar,” kata Boe Kie. “Mari kita mengamati dari atas bukit.” Bersama Yo Siauw, Hoan
Yauw dan Gan Hoan, ia segera berangkat ke bukit di belakang gunung di mana Cia Soen
pernah dipenjarakan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1409
“Aku ikut!” kata Tio Beng.
Dari puncak bukit, mereka mengawasi ke bawah, keadaan tenang-tenang saja. Sama sekali tak
ada petunjuk dari gerakan tentara. Sambil mengusap-usap tiga batang siong yang
dirubuhkannya, Boe Kie ingat pengalamannya yang sangat hebat. Tiba-tiba dalam otaknya
teringat peringatan, “Ah, hampir kulupa,” katanya di dalam hati. “Gie hoe telah berpesan agar
kuperiksa keadaan di dalam lubang.”
Batu penutup lubang masih belum dikembalikan ke tempat asalnya. Ia segera melompat turun.
Ternyata dasar lubang itu merupakan sebuah kamar dengan garis tengah kira-kira setombak.
Cuaca sudah mulai gelap dan keadaan di lubang itu lebih gelap lagi. Ia mengeluarkan bibit api
untuk menerangi keadaan lubang. Dengan bantuan sinar api, ia lihat empat gambar di empat
penjuru dinding batu. Gambar-gambar itu dilukis engan menggunakan potongan batu tajam,
sederhana tapi cukup terang.
Gambar di sebelah timur memperlihatkan dua wanita – yang satu tidur di tanah, yang lain
menotok wanita yang tidur dengan jari tangan kirinya, sedang tangan kanannya merogoh saku
yang sedang tidur itu. Di sisi gambar terdapat tulisan yang berbunyi “mengambil obat”.
Gambar di sebelah selatan menunjuk sebuah gambar kapal dan seorang wanita yang
melemparkan seorang wanita lain ke kapal itu. Pada gambar itu terdapat tulisan “mengusir”
Boe Kie mengeluarkan keringat dingin. “Benar-benar begitu kejadiannya!” pikirnya. “Cie
Jiak menotok jalan darah Beng moay dan mencuri Sip hiong Joan kin san untuk meracuni
Giehoe dan aku. Sesudah itu ia melemparkan Beng moay ke kapal Persia. Tapi mengapa ia
tidak membunuhnya? Hmm…ya! Kalau dibunuh, ia tidak bisa menimpakan dosa diatas
pundak Beng moay. Kalau begitu piauw moay pun dicelakai olehnya.”
Di bawah gambar itu dilukiskan dua orang lelaki. Yang satu sedang tidur pulas, yang lain
yang rambutnya panjang tengah memasang kuping. Boe Kie kaget. Ia sekarang menyadari
bahwa semua perbuatan Cie Jiak diketahui oleh ayah angkatnya. “Giehoe sungguh bisa
menahan sabar dan di pulau itu ia sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia
sudah tahu pengkhianatan Cie Jiak,” katanya dalam hati.
“Ia memang harus berlaku begitu. Ketika itu ia dan aku sudah menelan Sip hiang Joan kin-san
dan jiwa kami berada dalam tangan Cie Jiak. Tak heran kalau Giehoe menuduh Beng moay
dengan sungguh-sungguh. Ia tahu aku seorang jujur, apabila aku ragu, rahasia bisa bocor.”
Pada gambar ketiga, di sebelah barat terlihat Cia Soen yang sedang duduk dan dibokong dari
belakang oleh Cie Jiak, sedang dari luar menerobos masuk sejumlah anggota Kay pang.
Gambar ini sama dengan apa yang terlihat dalam arak-arakan di kota raja.
Baru saja Boe Kie mau memeriksa gambar keempat, api padam. “Beng moay, kemari,”
serunya. “Kupinjam api.”
Tio Beng melompat turun.
Gambar keempat memperlihatkan dibawanya Cia Soen oleh belasan pria, sedang di kejauhan
dari belakang pohon mengintip seorang wanita muda. Lukisan keempat gambar itu sangat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1410
baik muka orangnya kecuali muka Cia Soen yang tidak menyerupai orang-orang itu. Boe Kie
mengerti bahwa hal itu sudah terjadi karena Cia Soen buta sejak puluhan tahun berselang dan
belum pernah melihat muka orang-orang yang dilukisnya.
Sambil menuding wanita muda yang bersembunyi di balik pohon, Boe Kie bertanya, “Siapa
wanita itu? Kau atau Cie Jiak?”
“Aku,” jawabnya. “Seng Koen merampas Cia Tayhiap dari tangan Kay pang dan kemudian
mengirimnya ke Siauw lim sie. Tapi ia sendiri membuat tanda-tanda Beng kauw sehingga kau
mengubar-ubar tanda-tanda itu dalam sebuah lingkaran besar. Sering aku ingin merebut Cia
Tayhiap tapi selalu tidak kesampaian. Belakangan aku mencoba juga tapi gagal dan aku hanya
bisa mengambil segenggam rambut Cia Tayhiap untuk dijadikan barang bukti guna mencegah
pernikahanmu dengna Cie Jiak. Saat melakukan itu aku merasa tak enak hati dan merasa
bersalah terhadapmu.”
Boe Kie mengawasi si nona dengan mata merenung. Selama beberapa bulan, nona yang ayu
itu kurus banyak, pipinya menjadi agak pucat dan ia merasa sangat kasihan. Tiba-tiba ia
memeluk erat-erat. “Beng moay…aku yang bersalah.” Karena pelukan itu api segera padam
dan gua itu gelap gulita. “Beng moay,” kata Boe Kie pula. “Jika kau kurang pintar, mungkin
sekali aku sudah membunuhmu. Kalau sampai terjadi begitu….”
Si nona tertawa. “Apa kau tega mengambil jiwaku?” tanyanya. “Waktu kau bertemu dengan
aku di kota raja, mengapa kau tidak segera membunuh aku?”
Boe Kie menghela napas. “Beng moay, rasa cintaku terhadapmu telah membuat aku tidak
berdaya,” katanya. “Jika piauw moay benar-benar dibinasakan olehmu, aku tak tahu apa yang
harus kulakukan. Sekarang semuanya sudah menjadi jelas. Disamping rasa menyesal untuk
Cie Jiak, aku harus mengakui bahwa diam-diam aku merasa girang.”
Mendengar pengakuan yang setulus hati itu, si nona girang bukan main hatinya. Dia segera
menyusupkan kepalanya di dada yang lebar. Lama mereka berada dalam keadaan begitu,
tanpa mengucapkan sepatah kata! Akhirnya Tio Beng menengadah. Ia lihat bulan seperti sisir
tergantung di sebelah timur sedang keadaan di sekitar sunyi bagaikan kuburan. Ia tahu Yo
Siauw, Hoan Yauw dan Gan Hoan sudah menyingkir ke tempat lain supaya tidak
mengganggu mereka.
“Boe Kie Koko,” kata si nona, “Apa kau masih ingat pertemuan kita di Lek boe San chung?
Kita bersama-sama jatuh ke dalam penjara di bawah tanah. Bukankah kejadian itu menyerupai
kejadian sekarang ini?”
Boe Kie tertawa. Ia mencekal kaki kiri Tio Beng dan sepatunya.
Tio Beng tertawa geli! “Kau tak tahu malu!” bentaknya, “Lelaki menghina perempuan!”
“Kau bukan perempuan biasa. Akal bulusmu sangat banyak. Sepuluh lelaki belum tentu bisa
menandingi kau seorang.”
“Aku yang rendah tak sanggup menerima pujian begitu tinggi dari Thio Kauwcoe yang
mulia.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1411
Sampai di situ mereka terbahak-bahak. Kata-kata itu telah diucapkan mereka waktu berada
dalam lubang jebakan di Lek hoe chung. Kalau dulu mereka berhadapan sebagai musuh
sekarang sebagai kekasih.
Mendadak sayup-sayup terdengar bentakan-bentakan, satu tanda dari terjadinya pertempuran.
Mereka memasang kuping.
“Mari kita lihat!” kata Boe Kie sambil memegang tangan Tio Beng dan dengan sekali
menggenjot tubuh, mereka sudah berada di muka bumi. Di tempat yang jauh mereka lihat tiga
bayangan manusia berlari-lari ke jurusan timur dengan kecepatan luar biasa. Dari gerakangerakannya
dan cara berlarinya, ketiga orang itu adalah ahli-ahli silat kelas satu.
Yo Siauw muncul, ia mendekati Boe Kie dan berkata, “Mereka bukan orang kita.”
“Yo Cosoe,” kata Boe Kie. “Bersama Yoesoe kau berdiam di sini. Aku kuatir musuh
menggunakan tipu, memancing harimau keluar dari gunungnya. Aku mau mencoba selidiki
mereka.”
Yo Siauw menerima perintah itu dengan membungkuk.
Boe Kie segera memeluk pinggang Tio Beng dengan sebelah tangannya dan sambil menjejak
bumi ia mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Toga bayangan di depan itu ternyata sedang
kejar-kejaran, satu kabur dua mengudak. Boe Kie menambah tenaga, kakainya bekerja makin
cepat sehingga Tio Beng merasa seperti dibawa terbang dengan menunggang awan. Sesudah
mengejar satu li lebih dengan bantuan sinar bulan yang reman-remang, mereka segera
mengenali bahwa kedua orang yang mengejar itu tak lain adalah Lok Thung Kek dan Ho Pit
Ong.
Mendadak Pit Ong menimpuk dengan poan kaon pitnya yang berujung patok burung. Orang
yang dikejar melompat ke samping dan menangkis senjata musuh dengan pedangnya. Dengan
sedikit kelambatan itu, Lok Thung sudah menyandak dan menikam dengan tongkatnya yang
bercagak seperti tanduk menjangan.
Orang itu menghindar dan membalas dengan pukulan telapak tangan, Boe Kie dan Tio Beng
mengeluarkan seruan tertahan. Ia adalah Cioe Cie Jiak, mukanya pucat seperti kertas dan
rambutnya terurai. Segera Boe Kie menarik tangan Tio Beng dan bersembunyi di belakang
pohon.
Sesudah menyambut pit-nya yang jatuh, Ho Pit Ong segera merangsek dan mengepung Cie
Jiak bersama kakak seperguruannya.
“Setan tua!” bentak Cie Jiak. “Untuk apa kau mengejar aku?”
“Hari ini Thio Boe Kie merebut To liong to dan In thian kiam,” kata Lok Thung Kek.
“Dengan mata sendiri kami lihat bahwa ilmu pit kip, ilmu silat yang terdapat dalam kedua
senjata itu sudah tidak ada lagi. Pit kip itu pasti berada di tangan Song Hoejin.”
Boe Kie terkejut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1412
“Pit kip memang ada,” jawab Cie Jiak. “Tapi sesudah selesai dan berhasil latihanku, aku
segera membakarnya.”
Lok Thung Kek mengeluarkan suara di hidung. “Enak saja menggoyangkan lidah!” katanya.
“To liong to dan Ie thian kiam dikenal sebagai yang termula dalam Rimba Persilatan. Semua
ahli silat di kolong langit ingin sekali mendapatkannya. Mana bisa pit kip dalam kedua senjata
itu dapat dipelajari dalam waktu singkat? Biarpun tinggi, ilmu Song Hoejin belum mencapai
puncak tertinggi. Kalau Song Hoejin sudah selesai dalam latihan semua pelajaran yang tertera
dalam pit kip itu, maka dalam sekejap mata kau bisa mengambil jiwa kami berdua. Mengapa
kau main kejar-kejaran?”
“Kalau kau tak percaya, terserah,” kata Cie Jiak. “Aku tak punya waktu untuk bicara lamalama.”
Seraya berkata begitu, ia melompat untuk lari.
“Tahan!” bentak Lok Thung Kek. Dengan bersamaan kedua kakek itu menyerang dari kiri
kanan.
Cie Jiak memutar pedangnya bagaikan titiran dan menyambut serangan-serangan Hian beng
Jieloo. Di siang hari Boe Kie telah menyaksikan Cie Jiak telah menggunakan cambuk dan kin
dengan rasa kagum ia menonton silat pedang indah. Sesudah belasan jurus, biarpun dikerebuti
Lweekang yang lebih kuat mungkin sekali mereka sudah dijatuhkan. “Sungguh sayang,” kata
Boe Kie dalam hati. “Jika Cie Jiak bersenjata Ie thian kiam, Hian beng Jieloo tidak akan bisa
berbuat banyak, dengan pedang biasa ia kalah Lweekang dan kalah ulet. Paling banyak ia bisa
pertahankan diri dalam dua ratus jurus.”
Sesudah lewat dalam beberapa jurus lagi Cie Jiak mengeluarkan pukulan-pukulan aneh. Boe
Kie tahu bahwa itulah usaha untuk melarikan diri. Dengan serangan nekat-nekatan itu kalau
untung bagus, memang Cie Jiak bisa berhasil. Tapi salah sedikit saja ia bisa celaka. Perlahanlahan
Boe Kie keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati gelanggang pertempuran.
Kalau perlu, ia mau menolong.
Mendadak seraya membentak keras Cie Jiak mengirim tiga tikaman berantai kepada Lok
Thung Kek. Karena sedikit terlambat, tikaman ketiga merobek baju dan pundak si kakek turut
tergores pedang, pada waktu itu Ho Pit Ong mendadak menimpuk punggung Cie Jiak dengan
kedua pitnya. Dalam menghadapi musuh, kalau tidak terpaksa, Ho Pit Ong belum pernah
menggunakan timpukan itu. Tapi sekarang, karena kuatir datangnya bala bantuan musuh yang
bisa menggagalkan usaha merebut pit kip, ia menggunakan pukulan yang diberi nama Siang
ho Lee kong (sepasang burung ho berbunyi di angkasa). Begitu kedua poan-koan pit yang
ditimpuk beradu di tengah udara dengan mengeluarkan suara nyaring dan satu di atas dan satu
di bawah, menyambar kepala dan pinggang Cie Jiak.
Dilain pihak, begitu merasakan sambaran angin di punggung, Cie Jiak berkelit. Tapi diluar
dugaan, sesudah terbentrok di tengah udara dengan pit itu mengubah arah serangan. Ketika itu
dapat menolong diri dari pit yang menyerang kepala, tak keburu mengelak pit yang
menyambar pinggang.
Pada detik yang sangat berbahaya Boe Kie melompat dan menjambret pit itu sambil
menangkis timpukan Ho Pit Ong dengan sebelah tangan yang lain.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1413
Cie Jiak yang menduga bahwa ia bakal mati sudah pejamkan kedua matanya. Selagi Boe Kie
menangkis serangan Ho Pit Ong, tangan Lok Thung Kek menyambar dan menjambret di
kempungannya. Itulah Hian beng Sin ciang yang menggetarkan Rimba Persilatan. Begitu
kena, napas Cie Jiak sesak dan ia roboh.
Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Dengan kagetnya Boe Kie melemparkan poan
koan pit Ho Pit Ong, mendukung pinggang Cie Jiak dan melompat setombak lebih jauhnya.
“Hian beng Jieloo,” bentaknya. “Kau sungguh tak tahu malu!”
Lok Thung Kek tertawa terbahak-bahak.
“Kukira siapa, tak tahunya Thio Toakouw coe,” katanya dengan suara mengejek. “Di mana
Koen coe ku? Ke mana kau bawa Koen coe?”
Tio Beng menghampiri dan mengambil Cie Jiak dari tangan Boe Kie. Ia tertawa dan berkata,”
Lok Sianseng, siang malam kau tak bisa melupakan aku. Apa kau tak takut ayahku marah?”
“Perempuan siluman!” bentak si kakek dengan gusar. “Huh huh…kau mencoba
merenggangkan aku dengan soeteeku. Dengan ayahmu kami sudah putuskan semua
hubungan. Jie lam ong marah atau tidak, tak ada sangkut pautnya dengan kami lagi.”
Boe Kie menatap wajah kedua kakek itu dengan darah meluap. Mendengar cacian terhadap
Tio Beng dan melihat pukulan terhadap Cie Jiak, ia segera ingat perbuatan mereka terhadap
dirinya di waktu ia masih kecil, “Beng moay,” katanya. “Kau mundurlah. Hari ini aku akan
beri pelajaran kepada mereka.”
Melihat Boe Kie bertangan kosong, Lok Thung Kek segera menyimpan senjatanya.
Boe Kie maju selangkah dan sesudah membentak “sambutlah!” ia memukul dengan Lok ciak
hwee dengan mendorong kedua telapak tangannya. Pukulan yang dikirim dengan gerakan
perlahan adalah Thay kek Koen hoat, tapi pada kedua tangannya tersembunyi tenaga Kioe
yang Sin kang. Ia telah mengambil keputusan untuk menggunakan tenaga Soen yang (panas)
yang paling murni untuk menghadapi tenaga Soen im (dingin) dari Hian beng Sin ciang.
Di jaman sekarang Thay kek koen sudah jadi ilmu silat yang biasa saja. Tapi pada akhir
kerajaan Goan, waktu baru dirubah oleh Thio Sam Hong di dalam Rimba Persilatan jarang
sekali terlihat ilmu tersebut. Karena kuatir Boe Kie menyembunyikan sesuatu di balik pukulan
yang enteng lemas itu, Thung Kek tak berani menyambut dan lalu melompat ke samping. Boe
Kie memutar tubuh sambil mengirim pukulan kedua pada Ho Pit Ong.
Beberapa kali Boe Kie pernah bertempur dengan Hian beng Jieloo dan ia tahu bahwa
kepandaiannya melebihi kedua kakek itu. Tapi kedua lawan itu bukan orang sembarangan.
Ia tak boleh begitu sembrono atau memandang enteng. Kesalahan kecil bisa berakibat hebat.
Dengan menggunakan Thay kek Koen hoat, yang mengirimkan pukulan dalam bentuk
lingkaran, ia berada dalam kedudukan tegak dengan garis pembelaan yang hampir tak bisa
ditembus. Pada hakikatnya Thay kek Koen hoat adalah ilmu silat yang mengerahkan tenaga.
Pada lingkaran-lingkaran Thay kek itu ia menyelipkan tenaga Kioe yang Sin kang sehingga
hawa panas yang murni menekan hawa dingin dari Hian beng Sin ciang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1414
Makin lama gerakan-gerakan Boe Kie jadi makin lancar. Ia mengerti bahwa kedua kakek itu
adalah jago-jago yang jarang tandingannya dalam dunia. Sesudah merobohkan mereka, tak
mudah ia bisa bertemu lagi dengan lawan yang setimpal, yang bisa digunakan sebagai kawan
berlatih silat. Maka itu ia tidak tergesa-gesa.
Sesudah bertempur seratus jurus lebih, secara kebetulan waktu menengok ia melihat tubuh
Tio Beng gemetaran dan hampir tak kuat menyangga tubuh Cie Jiak lagi. “Celaka!” ia
mengeluh. “Cie Jiak kena pukulan Hian beng Sin ciang, yang ia latih adalah tenaga dingin.
Tenaga dingin ditambah lagi dengan tenaga dingin yang sangat beracun, Beng moay juga
kena akibatnya dan tak tahan lagi.”
Buru-buru ia menambah tenaga dengan pukulan-pukulan hebat, ia mencoba menindih Lok
Thung Kek. Si kakek dapat menangkap maksudnya, sambil berkelit ia berseru, “Soetee!
Berkelahi dengan siasat gerilya. Perempuan she Cioe itu sudah hampir mampus, jangan
biarkan dia menolong.”
“Baik,” jawab Ho Pit Ong sambil melompat keluar dari gelanggang menjemput kedua pitnya
dan kemudian menyerang dengan kedua senjata itu. Boe Kie mendongkol. Ia merangsek dan
mengirim pukulan geledek yang disertai dengan sepuluh bagian tenaga Kie yang Sin kang
sehingga napas Ho Pit Ong sesak. Tanpa memperdulikan keselamatan soeteenya, Lok Thung
Kek mengeluarkan toyanya dan menikam pinggang Boe Kie dengan senjata itu.
Biarpun menggunakan senjata, Hian beng Jieloo tak bisa merobohkan Boe Kie tetapi dengan
senjata, sedikitnya untuk sementara waktu mereka dapat mempertahankan diri.
Dilain pihak, dalam menghadapi senjata, Boe Kie menukar ilmu silat. Ia sekarang
menggunakan Liong jiauw Kin nan chioe yang diturunkan oleh Kong seng Seng ceng (Liong
jiauw Kin nan chioe, Silat cakar naga).
“Sungguh bagus Liong jiauwmu!” seru Lok Thung Kek. “Sebentar lagi dapat digunakan
untuk menggali.”
“Menggali lubang?” tanya Ho Pit Ong.
Lok Thung Kek tertawa nyaring, “Ya, menggali lubang untuk mengubur Cioe Kauwnio,”
jawabnya. Karena bicara, pemusatan tenaga si kakek terpecah. Mendadak Boe Kie
menendang lutut kirinya, dia gusar dan lalu menyerang bagaikan angin dan hujan.
Sambil bertempur, Boe Kie menengok beberapa kali. Gemetar tubuh Cie Jiak dan Tio Beng
makin hebat. “Beng moay, bagaimana?” tanyanya.
“Dingin luar biasa!” jawabnya.
Boe Kie terkesiap. Sesudah berpikir sejenak, ia mengerti sebabnya. Tak salah lagi, karena
baik hati Tio Beng mengerahkan Lweekang dan coba membantu Cie Jiak untuk melawan
hawa dingin. Tapi lantaran tenaga dalamnya masih rendah, sebaliknya dari berhasil ia sendiri
diserang hawa dingin. Boe Kie segera menyerang sehebat-hebatnya untuk menjatuhkan
lawannya secepat mungkin. Tapi Hian beng Jieloo menukar siasat. Mereka terus mundur
dengan berpencaran dan menyerang balik kalo Boe Kie mencoba mendekati Cie Jiak dan Tio
beng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1415
Boe Kie bingung. “Beng moay!” teriaknya. “Lepaskan Cioe Kauwnio!”
“Aku…aku…tak bisa!”
“Mengapa?”
“Punggungnya menempel keras di telapak tanganku,” ia bicara dengan gigi gemeretukan dan
tubuh bergoyang-goyang.
Boe Kie jadi lebih bingung.
“Thio Kauwcoe,” kata Lok Thung Kek. “Cioe Kauwnio berhati kejam, ia mengirim hawa
dingin ke tubuh Cocoe Nio nio. Cocoe Nio nio menghadapi bahaya, apa tak baik kita
berdamai saja?”
“Berdamai bagaimana?”
“Kita hentikan dulu pertempuran ini. Kami akan mengambil dua jilid kitab yang berada pada
Cioe Kauwnio sedang kau bebas untuk menolong Koencoe.”
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung, ia tak dapat menyetujui usul itu. Ilmu silat Hian beng
Jieloo sudah sangat tinggi. Jika memperoleh kedua kitab itu kepandaian mereka akan
mencapai tingkat yang tak akan bisa ditaklukkan oleh siapapun juga. Ia menengok dan lihat
muka Tio Beng yang putih berubah menjadi hijau, sedang parasnya menunjukkan penderitaan
hebat. Ia mengerti bahwa ia tak boleh berpikir lebih lama lagi, tiba-tiba ia melompat mundur,
mencekal telapak kanan si nona dengan tangan kirinya dan mengirim Kioe yang Cin khie.
“Serang!” teriak Lok Thung Kek. Sebatang tongkat dan dua poan-koan pit segera
menghantam bagaikan hujan dan angin.
Begitu mendapat aliran Kioe yang Cin khie, Tio Beng yang darahnya sudah hampir membeku
segera merasakan kehangatan yang sangat nyaman. Boe Kie mengerahkan seluruh tenaganya
dan melawan dengan nekat. Tapi dengan cepat ia merasa tak tahan sebab ia harus
menggunakan sebagian besar tenaga dalamnya untuk menekan hawa dingin Hian beng Sin
ciang dari kedua kakek dan Kioe im dari Cioe Cie Jiak dan bersamaan itu ia harus
menggunakan Lweekang untuk melayani dua jagao kelas utama. Sesudah bertempur beberapa
lama, kaki celana di bagian lututnya dirobek dengan poan koan pit dan darah mulai mengucur.
Ia terdesak dan menghadapi bencana. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh Lweekang dan
berteriak memanggil Yo Siauw dan kawan-kawannya. Tapi di lain saat ia mendengar
bentakan-bentakan Yo Siauw dan Hoan Yauw serta suara beradunya senjata. Ia tahu bahwa
mereka pun dikepung musuh.
Karena kuatir datangnya bala bantuan, Hian beng Jieloo memperhebat serangan mereka.
Sambil menggeram Lok Thung Kek mengirim tiga serangan berantai ke arah mata Boe Kie.
Dengan telapak tangan Boe Kie berhasil menangkis serangan lawan, mendadak Ho Pit Ong
menggulingkan diri di tanah dan menotok pinggangnya dengan poan koan pit kiri. Boe Kie
tak keburu berkelit lagi, karena itu ia terpaksa mengerahkan Kian koen Tay lo ie utnuk
memindahkan totokan itu, tapi karena si kakek menggunakan Lweekang yang sangat dahsyat,
ia tidak bisa memastikan bahwa ia akan berhasil. “Tak!” pinggangnya tergetar
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1416
tapi…heran!...ia tidak merasa sakit. Dilain detik ia mengerti bahwa totokan itu jatuh pada To
liong to yang tergantung di pinggangnya. Dalam pertempuran, Boe Kie biasanya tidak
menggunakan senjata. Paling banter ia menggunakan Seng hwee leng. Ia tak pernah
membawa senjata sehingga ia sama sekali tak ingat bahwa sebatang golok mustika tergantung
di pinggangnya.
Sekarang ia sadar dan girang, sambil membentak keras ia menendang dan Ho Pit Ong buruburu
mundur bagaikan kilat. Ia menghunus To liong to dan membabat tongkat Lok Thung
Kek yang menyambar dada “Sret!” kepala menjangan tongkat itu putus dan jatuh di tanah.
“Celaka!” seru si tua.
Dua pit Ho Pit Ong menikam bersamaan dan sekali lagi Boe Kie membabat dengan To liong
to. Hampir bersamaan dengan dua poan koan pit berubah menjadi empat potong. Semangat
Boe Kie terbangun dan memutar golok mustika itu seperti titiran sehingga Hian beng Jieloo
tidak berani mendekati lagi.
Dibawah perlindungan To liong to, sekarang Boe Kie bisa menggunakan seluruh Kioe yang
Cin khie untuk menekan hawa dingin. Dalam beberapa saat saja hawa dingin beracun dari
Hian beng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh Tio Beng dan Cioe Cie Jiak sudah terusir
semuanya menjadi bersih. Sesudah racun Hian beng Sin ciang musnah, tanpa diketahui Boe
Kie, terjadi satu perkembangan baru. Apabila dua hawa “im” (dingin) dan “yang” (panas)
bertempur dalam tubuh manusia, maka yang lebih kuat selallu memusnahkan yang lebih
lemah. Demikianlah sesudah hawa Hian beng Sin ciang terusir, Kioe yang Cin khie lalu
menekan tenaga Kioe im yang dimiliki Cie Jiak.
Sesudah mendapatkan Kioe im Cin keng yang disembunyikan dalam Ie thian kiam, Cie Jiak
berlatih diam-diam secara tergesa-gesa. Karena kuatir diketahui Cia Soen dan Boe Kie, ia
hanya berani berlatih di waktu malam dan karena waktu sudah mendesak, ia tak sempat
mempelajari dasar-dasar kitab ilmu silat itu dan terpaksa memilih ilmu rendah yang lebih
mudah dilatih diantaranya Kioe im Pek koet jiauw. Dulu jilid kedua Kioe im Cin keng dicuri
oleh Tan Hian Hong dan Bwee Tiauw Hong (keduanya muruid Oey Yok Soe dari tangan
Tong sia Oey Yok Soe). Apa yang dipelajari oleh kedua murid murtad itu juga Kioe im Pek
koet jiauw. Dapat dimengerti bahwa ilmu yang dilatih tergesa-gesa tak bisa mempunyai dasar
Lweekang yang kuat, begitu bertemu dengan lawan tangguh tenaga dalamnya akan segera
tertindih. Setelah kena racun Hian beng Sin ciang, Cie Jiak lalu memasukkan hawa beracun
ke dalam usaha mengusirnya dari tubuhnya. Sesudah Boe Kie menolong barulah ia merasa
nyaman. Tapi baru saja ia mau melepaskan diri dari telapak tangan Tio Beng, semacam
tenaga yang sangat kuat telah menyedot dan ia tak bisa melepaskan dirinya lagi. Tadi Tio
Beng yang tak bisa melepaskan diri dari punggungnya tapi sekarang ia sendiri yang tak bisa
memberontak diri telapak tangan Tio Beng. Ini sudah terjadi karena adanya perbedaan
kekuatan tenaga.
Boe Kie terus mengirim Kioe yang Cin khie karena ia masih merasakan perlawanan hawa
dingin yang kelaur dari telapak tangan Tio Beng. Ia hanya menduga bahwa racun Hian beng
Sin ciang belum terusir semuanya. Ia tak tahu bahwa hawa dingin itu adalah Kioe im Cin khie
dari Cie Jiak. Makin lama Kioe im Cin khie yang didapatkan Cie Jiak dengan susah payah
makin berkurang. Cie Jiak mengeluh tapi ia tak berani buka suara sebab sekali bicara, ia akan
muntah darah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1417
Untung juga, sesudah keadaan badannya pulih kembali, Tio Beng tertawa dan berkata, “Boe
Kie Koko, aku sudah sembuh. Sekarang boleh kau layani kedua tua bangka itu!”
“Baiklah!” kata Boe Kie sambil menarik kembali tenaga dalamnya.
Cie Jiak seperti orang yang baru mendapat pengampunan. Sesudah tenaga menyedot hilang, ia
merasa bahwa hawa racun Hian beng Sin ciang sudah terusir dari tubuhnya tapi tenaga
dalamnya sendiri berkurang banyak. Satu dua detik ia mengawasi Boe Kie yang sedang
memutar golok dan menyerang Hian beng Jieloo dengan hebatnya. Mendadak ia mementang
lima jari tangannya yang lalu ditancapkan ke batik kepala Tio Beng.
“Aduh!” teriak nona Tio.
Totokan dan teriakan itu disertai dengan suara “krek” dari patahnya tulang. Yang patah adalah
tulang-tulang jari tangan Cie Jiak yang segera kabur secepatnya.
Boe Kie terkesiap. Ia menengok dan berseru, “Beng moay….”
Si nona meraba-raba kepalanya dengan tangan gemetaran.
Boe Kie melompat mundur dan dengan tangan kanan memutar golok, ia meraba kepala Tio
Beng dengan tangan kirinya. Ia merasa lega karena biarpun tangannya menyentuh darah yang
basah lengket, tapi batok kepala nona Tio tidak mendapat kerusakan. “Beng moay, jangan
takut!” katanya. “Hanya luka di kulit.”
Gagalnya serangan Cioe Cie Jiak dan patahnya jari-jari tangannya adalah karena di dalam
tubuh Tio Beng masih terdapat Kioe yang Cin khie dan tenaga dalam Cie Jiak sudah
berkurang banyak.
Sambil bertempur, Boe Kie merasa bahwa dengan menggunakan golok mustika itu biarpun
menang, kemenangan itu bukan kemenangan gemilang. “Yo Cosoe! Hoan Yoe soe!
Bagaimana keadaan kalian?” teriaknya.
“Tiga sudah roboh, masih ada tujuh,” jawab Hoan Yauw. “Kauwcoe tak usah kuatir!”
Mendengar jawaban yang disertai dengan Lweekang yang kuat. Boe Kie tahu bahwa keadaan
mereka memang tak usah dikuatirkan, ia segera menyerahkan To liong to kepada Tio Beng
dan kemudian memindahkan pukulan Ho Pit Ong ke arah lain dengan Kian koen Tay lo ie
tingkat ketujuh. Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh adalah ilmu yang sangat sulit dan tak
boleh digunakan secara sembarangan. Salah sedikit saja ilmu itu bisa membakar diri yang
menggunakannya. Maka itulah, pada waktu mesti menolong Tio Beng dan Cie Jiak dari hawa
dingin, biarpun keadaannya berbahaya ia tak berani menggunakan ilmu tersebut. Hian beng
Jieloo adalah tokoh-tokoh kelas utama, Kian koen Tay lo ie tingkat rendah takkan berhasil
terhadap mereka.
Sekarang sudah selesai menolong Tio Beng dan Cie Jiak, barulah ia berani menggunakan
ilmu tersebut.
“Plak!” pukulan Ho Pit Ong pindah arah dan menghantam pundah Lok Thung Kek.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1418
Lok Thung Kek terkejut. “Soetee, mengapa kau begitu?” tanyanya dengan gusar.
Ho Pit Ong orang yang otaknya tumpul dan dalam setiap urusan ia harus berpikir lama
sebelum bisa menangkap artinya. Dalam kejadian ini ia merasa heran dan bingung biarpun di
dalam hati ia tahu bahwa Boe Kie yang melakukannya. Ia berpendapat bahwa jalan satusatunya
untuk minta maaf dari soehengnya adalah menyerang musuh sehebat-hebatnya.
Demikianlah ia segera menendang dengan seluruh tenaganya. Boe Kie mengibaskan tangan
kirinya dan tendangan itu menyambar tan tian (di bawah pusar) Lok Thung Kek. Tan tian
adalah pusat penting dalam tubuh manusia untuk mengerahkan hawa. Lok Thung Kek
terkesiap. Secepat kilat ia berkelit dan membentak, “Soetee, apa kau gila?”
“Benar Ho Sianseng!” seru Tio Beng. “Bekuk soehengmu yang berdosa dan cabul! Ayahku
akan memberi hadiah besar kepadamu.”
Boe Kie geli di dalam hati. Semula ia ingin menggunakan Kian koen Tay lo ie untuk
menuntun serangan Ho Pit Ong ke arah Lok Thung Kek dan Lok Thung Kek ke arah Ho Pit
Ong. Tapi sesudah mendengar perkataan Tio Beng, ia hanya menuntun pukulan-pukulan Ho
Pit Ong ke arah Lok Thung Kek dan terhadapa Lok Thung Kek ia tetap melayani dengan
Thay kek koen. “Ho Sianseng, kau tak usah kuatir,” katanya. “Kita berdua pasti bisa
menumpas manusia she Lok ini. Jie lam ong akan mengangkat kau sebagai…sebagai…”
“Ho Sianseng!” Tio Beng menolong. “Pangkatmu sudah ada di sini. Ia merogoh saku,
mengeluarkan segulung kertas dan mengibas-ngibaskannya. “Dengarlah!” teriaknya pula.
“Kau akan dianugerahkan pangkat Thay goan Hoe kok Yang Wie Tay ciang koen.”
Saat itu pukulan Boe Kie menolak Lok Thung Kek ke samping kiri. Secara kebetulan selagi
terhuyung si tua dipapaki oleh pukulan Ho Pit Ong yang arahnya dialirkan dengan Kian koen
Tay lo ie sehingga kakek she Lok itu tergencet di antara dua pukulan yang menyambar dari
kiri dan kanan.
Selama puluhan tahun Lok Thung Kek dan Ho Pit Ong tak pernah berpisah dan mencintai
seperti saudara kandung sendiri. Lok Thung Kek tak percaya bahwa adik seperguruannya
akan menjual dia tapi sesudah lima kali beruntun diserang dengan pukulan yang
membinasakan ia jadi kalap. “Binatang,” teriaknya. “Aku tak sangka karena pangka kau
melupakan giekhie.”
Ho Pit Ong kebingungan. “Aku…aku…,” katanya dengan suara terputus-putus.
“Benar,” sambung Tio Beng. “Kau berbuat begitu sebab terpaksa, karena kau akan menjadi
Hoe kok Yang Wie Tay ciang koen.”
Selagi si nona bicara, Boe Kie mengerahkan sepuluh bagian tenaganya. Begitu pukulan Ho Pit
Ong menyambar, ia mengalihkan dengan Kian koen Tay lo ie dan “plak” pukulan itu jatuh
tepat di pundak Lok Thung Kek. Lok Thung Kek balas memukul dan beberapa gigi Ho Pit
Ong yang masih tinggal rontok semua. Sebagai seorang tua, Ho Pit Ong sangat menyayangi
beberapa gigi itu sehingga dapatlah dimengerti kalau darahnya segera meluap. “Soeko! Kau
keterlaluan,” bentaknya. “Aku memukul kau tanpa senjata.”
“Omong kosong!” teriak Lok Thung Kek.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1419
Biarpun berkepandaian tinggi, Hian beng Jieloo tak mengenal Kian koen Tay lo ie tingkat
ketujuh. Dalam silat Tionggoan memang terdapat ilmu “meminjam tenaga dan empat tahil
memukul ribuan kati” tapi orang yang berkepandaian seperti mereka tak gampang-gampang
bisa diserang ilmu begitu. Maka itu, Lok Thung Kek sama sekali tak pernah menduga bahwa
serangan-serangan adik seperguruannya adalah karena perbuatan Boe Kie.
Jilid 78__________________________
Di dalam hati Ho Pit Ong tahu bahwa Boe Kie lah yang main gila. “Setan! Kurang ajar kau!”
cacinya.
“Benar, tak usah panggil dia soeko lagi!” menyambung Tio Beng. “Memang dia setan!”
Sesaat itu Boe Kie menarik pukulan Ho Pit Ong ke pipi Lok Thung Kek, yang begitu kena
lantas saja bengkak.
“Boe Kie Koko, mari kita bantu Yo Co Soe,” kata Tio Beng.
Melihat kalapnya Lok Thung Kek, Boe Kie tahu bahwa siasatnya sudah berhasil. “Ho Sian
seng, aku serahkaan penjahat cabul itu kepadamu,” katanya seraya melompat keluar dari
gelanggang pertempuran.
“Ho Sianseng,” kata Tio Beng, “sesudah kau membekuk soeko mu, kau boleh pinjam pit kip
To Liong To selama sebulan.”
Sesudah Boe Kie dan Tio Beng berlalu, kedua kakek itu bertempur terus sampai keduaduanya
terluka. Ho Pit ong coba membersihkan diri, tapi Lok Thung Kek tak bisa percaya
sehingga akhirnya mereka menjadi musuh.
Dengan mengikuti suara beradunya senjata, Boe Kie dan Tio Beng pergi ke tempat
pertempuran Yo Siauw dan kawan-kawannya. Di atas tanah menggeletak lima mayat, Yo
Siauw melayani tiga orang, Hoan Yauw dan Gan Hoan dia bertanding dengan seorang lawan.
Antara lima musuh itu yang paling berat adalah lawannya Hoan Yauw. Meskipun
berkepandaian tinggi, Hoan Yauw tidak bisa berbuat banyak dan hanya lebih unggul sedikit di
dalam pukulan-pukulan. Boe Kie tidak turun tangan, ia hanya menonton. Beberapa saat
kemudian Yo Siauw merobohkan seorang, melihat bahaya dua lawan Yo Siauw lantas kabur,
diturut oleh lawannya Gan Hoan. Selagi musuhnya lari, Gan Hoan melepaskan pasir beracun
dan orang itu sambil berteriak kesakitan lantas saja roboh binasa. Di lain saat hanyalah lawan
Hoan Yauw yang masih berkelahi dengan mati-matian.
“Saudara, kulihat kau seorang gagah,” kata Hoan Yauw. “Lebih baik kau menyerah saja.”
“Apakah manusia yang menyerah kepada musuh masih bisa dinamakan orang gagah!” tanya
orang itu dengan gusar.
“Benar,” kata Boe Kie seraya maju ke depan dan menyabet beberapa kali dengan To Liong
To. Berbareng dengan sabetan-sabetan itu, di tengah udara berterbangan rambut manusia.
“Hoan heng, lepaskan dia!” kata Boe Kie sambil tersenyum.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1420
Sebab merasa dingin, orang itu mengusap kepala dan mukanya. Mendadak saja ia berdiri
terpaku dengan mulut ternganga. Ternyata sebagian rambut dan jenggotnya telah terpapas
habis. Ia menyoja kepada Boe Kie dan berkata, “Aku takluk dan rela menerima segala
hukuman.”
Boe Kie tertawa. “Saudara boleh berlalu,” katanya.
Orang itu menghela nafas, memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu.
“Apa mereka semua boesoe gedung Jie lam ong?” tanya Boe Kie kepada Tio Beng. “Siapa
dia?”
“Dia pemimpin wie soe (pengawal) dari kakakku,” jawabnya. “Namanya, Kioejian koen
Louw Sian Kek. Waktu ini dialah jago utama dalam gedung ayahku.” (Kioejian koen – silat si
jenggot).
“Si jenggot jadi janggut licin,” kata Yo siauw sambil tertawa. “Rasanya, dia tidak bisa
berdiam lebih lama lagi di gedung Ong hoe.”
Selagi mereka bicara, sejumlah pendeta Siauw lim dan anggota Beng kauw memburu ke
tempat pertempuran Hian beng Jieloo. Melihat datangnya banyak orang, kedua kakek itu
lantas berlalu sambil terus bertempur di sepanjang jalan.
Setibanya di kuil Siauw lim sie, Boe Kie memeriksa luka Tio Beng yang sama sekali tidak
berbahaya. Mendadak Boe Kie ingat dan ia berkata, “Beng moay, secara kebetulan kau
membawa kertas, sehingga Lok Tung Kek tidak bisa tidak percaya.”
Si nona tertawa manis. Ia merogoh saku, mengeluarkan segabung kertas tipis dan mengulap
ulapkannya di muka Boe Kie. “Coba kau tebak kertas apa ini?” katanya.
Boe Kie tertawa. “Kalau kau yang suruh, seumur hidup aku takkan bisa menebak,” jawabnya.
Kertas itu terdiri dari dua gabung dan si nona lalu memecahnya dan menaruh dua gabung itu
di kedua telapak tangannya.
Boe Kie mengawasi. Yang dilihat seperti kertas itu ternyata bukan kertas, tapi sutera setipis
sayap tonggeret. Di atas lembaran lembaran sutera itu terdapat huruf huruf yang sangat halus.
Ia menjemput gabungan yang satu. Pada halaman muka terdapat tulisan “Boe Bok Ie soe”
(kitab peninggalan Gak Hoei). Dalam kitab itu – lembaran lembaran kitab itu – lembaran
lembaran sutera itu memang bukan lain daripada kitab – terdapat ilmu perang yang serba
lengkap. Ia mengambil kitab yang lain, yang di atasnya tertulis “Kioe im cin keng” (kitab
ilmu silat Kioe im). Kitab itu berisi macam-macam ilmu silat yang aneh-aneh dan pada
halaman halaman terakhir terdapat pelajaran Kioe im pek koei jiauw, Coei sim ciang, dan
sebagainya.
Boe Kie meneliti itu semua dengan jantung memukul keras. “Dari… dari mana… kau
dapatkan ini?” tanyanya dengan suara terputus-putus.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1421
“Selagi dia tidak bisa bergerak, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik,” jawabnya.
Aku tak sudi belajar ilmu-ilmu beracun, sebaiknya kitab ini dibakar saja. Perlu apa
ditinggalkan di dalam dunia untuk mencelakai manusia?” (dengan “dia” Tio Beng maksudkan
Cioe Cie Jiak).
Boe Kie membalik-balik beberapa lembaran cinkeng. Ia mendapat kenyataan bahwa isinya
sangat dalam dan tak bisa lantas dipecahkan olehnya. Di samping itu ia mendapat bukti bahwa
bagian depan bukan terdiri dari ilmu silat keleas rendah. “Beng moay, kau salah,” katanya.
“Kioe im cin keng berisi ilmu ilmu yang sangat tinggi. Kalau dipelajari dan dilatih menurut
aturan, dalam sepuluh atau dua puluh tahun, orang akan memperoleh hasil menakjubkan.
Memang juga, kalau orang tergesa-gesa dan mempelajari kulit-kulitnya saja yang memberi
hasil cepat, ia akan memperoleh ilmu ilmu yang sifatnya beracun.” Ia terdiam sejenak dan
kemudian berkata lagi. “Cie cie yang mengenakan baju kuning itu mempunyai ilmu silat yang
sejalan dengan Cioe kauwnio. Tapi pukulan dan gerakannya memperlihatkan suatu ilmu yang
lurus bersih. Tak bisa salah lagi, iapun mendapatkan ilmunya dari Kioe im cin keng.”
“Boe Kie koko,” kata Tio Beng. “Cie cie itu mengatakan di belakang gunung Ciong lim san
terdapat kuburan mayat hidup, burung rajawali sakti dan pasangan pendekar tak muncul lagi
dalam dunia Kangouw. Apa artinya ini?”
Boe Kie menggelengkan kepala. “Tak tahu,” jawabnya. “Nanti kita boleh tanya Thay
soehoe.”
Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, karena musuh tidak membuat gerakan apa apa
lagi, semua orang lantas pergi tidur.
Pada keesokan paginya, Boe Kie memanjat satu pohon besar untuk menyelidiki keadaan
musuh. Ia mendapat kenyataan, bahwa jumlah musuh bertambah dengan kira-kira selaksa
orang dan dilihat dari gerakannya, mereka sedang mempersiapkan gerakan baru. Di antara
gerakan gerakan bendera dan serdadu, sayup sayup terdengar bunyi terompet yang tak
berhenti hentinya. Persiapan tentara Goan itu telah membuat hati orang gagah jadi merasa
keder.
“Beng moay…” kata Boe Kie sesudah turun dari pohon.
“Hem… ada apa?” tanya si nona.
“Tak apa apa… aku hanya ingin memanggil namamu.” Boe Kie sebenarnya ingin meminta
pikiran gadis yang pintar itu dalam usaha mengundurkan musuh. Tapi di dalam saat itu ia
ingat, bahwa Tio Beng tersebut adalah seorang puteri Mongol, yang karena cinta sudah
mengkhianati orang tuanya sendiri. Kalau sekarang ia minta si nona menelurkan siasat untuk
membasmi bangsanya sendiri, ia anggap permintaan itu agak keterlaluan.
Tapi dengan melihat paras muka Boe Kie dan nada suaranya, Tio Beng sudah bisa membaca
isi hati pemuda itu. “Boe Kie koko, aku merasa terima kasih, bahwa kau mengerti
kesukaranku,” katanya. “Dalam hal ini sebaiknya aku tidak bicara banyak.”
Dengan merasa masgul Boe Kie masuk ke kamarnya. Ia mengasah otak, tapi sesudah
beberapa lama, belum juga ia mendapatkan jalan yang baik. Dalam pekatnya ia membalik
lembaran kedua kitab yang diberikan Tio Beng. Sesudah Kioe im cin keng, tanpa sengaja ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1422
membaca kalimat “terkepung di gunung Goe tauw san” dalam Boe bok lesoe. Ia kaget dan
membaca terus.
Ternyata di bagian itu Gak Hoei menceritakan pengalamannya pada waktu ia dan tentaranya
dikepung oleh tentara Kim yang berjumlah besar di gunung Goe tauw san, cara bagaimana ia
menjalankan siasat menggeret musuh dari dalam dan luar sehingga mereka memperoleh
kemenangan besar.
Tiba-tiba Boe Kie menepuk meja. “Langit membantu aku,” serunya. Biarpun keadaan Siauw
sit san sekarang berbeda dari keadaan Goe tauw sasn dahulu, ia merasa ia masih bisa jalan
untuk mendapatkan kemenangan.
Makin lama ia kelihatan makin gembira. “Gak Boe bok sungguh sungguh manusia luar
biasa,” katanya seorang diri. “Dalam keadaan begitu berbahaya, seorang manusia tak akan
berdaya lagi… Memang… memang ilmu perang seperti ilmu silat. Kita harus ada petunjuk
dari orang pandai…” Ia mencelup telunjuknya di air teh dan membuat peta bumi di atas meja.
Ia tahu, bahwa keadaan sangat berbahaya, tapi ia yakin bahwa dengan bantuan Tuhan, Siauw
Lim sie masih dapat ditolong. Dalam perang, yang berjumlah kecil sukar melawan musuh
yang berjumlah besar dan di dalam peperangan ini, ia tidak boleh mengadu kekuatan, tak
boleh mengadakan pertempuran berhadap-hadapan.
Tak lama kemudian ia sudah mempunyai gambaran tegas tentang apa yang harus
dilakukananya. Tanpa menyia nyiakan waktu, ia segera pergi ke Tay hiong Po thian dan minta
Kong boen Hong Thio mengumpulkan para orang gagah.
Sesudah semua enghiong berkumpul, Boe Kie berkata dengan suara nyaring. “Sekarang ini
tentara Tat coe berkumpul di kaki gunung dan mungkin sekali mereka akan segera menyerang
pula. Walaupun kemarin kita mendapat kemenangan kecil dan sudah menurunkan semangat
musuh, tapi kalau menyerang lagi dengan mati-matian, kita yang berjumlah lebih kecil sukar
melawan mereka yang berjumlah sangat besar.” Ia berdiam sejenak, kedua matanya yang
sangat tajam menyapu seluruh ruangan. “Aku ini adalah seorang yang tidak punya
kemampuan, tapi atas kecintaan kalian sudah mengangkat aku sebagai Boe lim Beng boe dan
untuk sementara waktu, aku terpaksa menerima keangkatan itu,” katanya pula. “Hari ini kita
harus bersama-sama membasmi musuh. Demi kepentingan kita beramai-ramai, kuminta
kalian suka mentaati segala perintah.”
Pidato pendek itu disambut dengan sorak sorai gegap gempita. Semua orang berjanji akan
turut segala perintah Beng coe.
Boe Kie girang. “Terima kasih!” katanya. “Nah, marilah kita mula. Gouw Kin Co!”
Begitu namanya dipanggil, pemimpin Swie kim kie itu maju dan memberi hormat dengan
membungkuk.
“Aku menugaskan kau dan saudara saudara dari benderamu untuk mempertahankan undang
undang ketentaraan,” kata Boe Kie. “Siapapun juga yang tak mentaati perintah harus dapat
hukuman mati dengan timpukan tombak dan kapak Swie kim kie. Peraturan ini berlaku untuk
semua orang. Tertua dari agama kita, tetua rimba persilatan tidak terkecuali.”
“Baik!” kata Gouw Kin Co seraya merogoh saku dan mengeluarkan bendera putih kecil.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1423
Dalam rimba persilatan, nama Gouw Kin Co belum begitu dikenal. Tapi pada waktu diadakan
pameran kekuatan Nio beng kie, semua orang tahu bahwa bendera putih itu tak dibuat
permainan. Orang yang ditimpuk dengan bendera itu berarti diserang dengan lima ratus anak
panah dan lima ratus kapak pendek. Biarpun mempunyai kemampuan tinggi, dia tak usah
harap bisa terlolos dari serangan itu.
Boe Kie mengeluarkan perintah tersebut sebab pada halaman pertama dari Boe Ie soe, ia
membaca nasehat seperti berikut. “Dalam memimpin tentara yang terpenting adalah peraturan
yang keras.” Ia tahu bawa para Enghiong dalam rimba persilatan biasanya sangat bangga
dengan kepandaian sendiri dan tak sudi menunduk di bawah perintah orang. Manakala
kebiasaan itu dipraktekkan dalam menghadap tentara Goan, mereka semua akan termusnah.
Sehabis mengeluarkan titah pertama, sambil menuding tembok di luar ruangan musyawarah,
Boe Kie berkata pula, “Para enghiong siapa yang mempunyai ilmu ringan tubuh tinggi dan
bisa melompat tembok itu, kuminta supaya perlihatkan kepandaian.”
Banyak orang lantas saja kurang puas, bahkan di antara para cianpwee ada yang mendongkol
karena merasaa bahwa dengaan mengajukan pertanyaan itu, Boe Kie menghina mereka.
Selagi orang saling mengawasi, Thio Siong Kee maju dan berkata, “Aku bisa!” Dengan sekali
menjejak bumi, ia sudah melompati tembok yang tinggi itu. Tee in ciong dari Boe tong pay
tersohor di kolong langit. Bagi Thio Siong Kee, melompati tembok itu sama mudahnya seperti
membalik tangan sendiri.
Sesudah Thio Siong Kee, dengan beruntun Jie Lian Cioe, In Lie Heng, Yo Siauw, Wie It
Siauw, In Ya Ong dan lain-lain memperlihatkan kepandaiannya. Contoh itu segera diturut
oleh orang-orang gagah dari lain partai. Dalam sekejap empat ratus orang lebih sudah berhasil
melompati tembok itu. Yang lain sebab rupa rupanya tidak ungkulan, tidak mencoba.
Para enghiong yang menghadiri pertemuan itu rata-rata memiliki kepandaian istimewa. Ilmu
mengentengkan tubuh hanya merupakan salah satu cabang dari ilmu silat yang banyak
coraknya. Sering kejadian, bahwa seorang yang mempunyai ilmu luar biasa tidak tinggi ilmu
ringan tubuhnya. Dalam dunia persilatan, ada kalanya seorang tokoh menggunakan seluruh
hidupnya untuk melatih jari tangannya.
Maka itulah, tinggi rendah dalam ilmu mengentengkan tubuh tidak menjadi ukuran dari tinggi
rendah kepandaian orang yang tersangkut, hal ini diketahui oleh semua ahli silat. Dengan
demikian orang orang yang tidak bisa melompati tembok itu sama sekali tidak merasa malu.
Boe Kie mendapat kenyataan, bahwa di antara empat ratus orang itu, pendeta Siauw Lim sie
berjumlah kurang lebih sembilan puluh orang. “Nama besar Siauw Lim sie memang bukan
nama kosong,” katanya di dalam hati. “Dalam ilmu ringan tubuh saja, tokoh-tokoh Siauw Lim
sie berjumlah lebih besar dari lain partai.”
“Jie jiepeh, Thio Siepeh, In liok siok, kuminta kalian bertiga memimpin para enghiong yang
sudah melompati tembok,” kata Boe Kie. “Kalian harus memancing musuh dengan berlagak
seperti orang yang melarikan diri dari kuil ini. Apabila musuh berhasil dipancing dan mereka
menguber kalian, maka hasil itu merupakan pahala nomor pertama. Sesudah kalian lari,
sampai di belakang gunung kalian harus…”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1424
Petunjuk selanjutnya diberikan dengan bisik bisik saja dan tidak dapat didengar oleh orang
lain.
“Koe koe,” kata Boe Kie selanjutnya. “Kau bersama Yo cosoe, Hoan Yauw soe dan Wie Hok
ong, empat orang kuminta suka membantu aku. Kita mengambil kedudukan di tengah tengah
guna mengawasi jalan pertempuran dan memberi bantuan kepada pihak yang
memerlukannya.”
Dengan ringkas dan tegas Boe Kie mengeluarkan berbagai perintah – siapa yang harus
bersembunyi untuk memotong jalan musuh, siapa yang harus melindungi bagian belakang
pasukan sendiri, bagaimana harus menyerang dari depan, bagaimana harus menyerang dari
samping dan sebagainya.
Melihat kepandaian pemimpinnya, Yo Siauw takluk dan kagum. Ia tak tahu bahwa semua
pengaturan itu berdasarkan siasat dalam Boe bok ie soe.
Akhirnya Boe Kie berkata. “Kong boen Hong thio, Kong tie Seng ceng, aku minta kalian
berdua memimpin para enghiong dari Go bie pay untuk menolong orang-orang yang terluka
dan mengubur yang mengorbankan jiwa.”
Sebagaimana diketahui rombongan Go bie tidak punya pemimpin sebab Cie Jiak tidak berada
di situ. Lantaran ada ganjalan, Boe Kie merasa tidak enak untuk memerintah mereka. Sebab
itu ia meminta bantuan Kong boen dan Kong tie, dua orang tua yang mempunyai nama besar
dan kedudukan tinggi. Ia merasa bahwa tindakannya itu akan tidak ditentang oleh murid
murid Go bie, benar saja semua anggota Go bie pay menerimanya tanpa mengeluarkan
sepatah katapun juga.
Di luar dugaan Kong boen dan Kong tie saling mengawasi dan kemudian saling mengangguk.
“Lo ceng sangat takluk akan kepandaian Beng coe,” kata Kong boen sambil membungkuk.
“Sebenarnya looceng tidak boleh mengeluarkan bantahan terhadap pengaturan Beng coe. Tapi
lantaran terpaksa kami berdua ingin memohon sesuatu.”
“Hong thio tak usah berlaku sungkan,” kata Boe Kie. “Katakanlah apa yang dipikirkan Hong
thio.”
“Kami berdua hanya memohon supaya kami diperbolehkan untuk menjaga kuil ini,” kata
Kong boen.
Boe Kie mengerutkan alis. Sesudah memikir sejenak, ia dapat menangkap latar belakang
permintaan itu. Tipu yang sedang dijalankan adalah tipu meninggalkan Siauw Lim sie,
berlagak kabur ke belakang gunung untuk memancing musuh dan kemudian membasminya.
Tapi ini didasarkan siasat Gak Hoe waktu jenderal itu terkepung di Goe tauw san. Tapi
keadaan Goe tauw san berbeda dengan Siauw sit san. Goe tauw san adalah sebuah gunung
yang gundul, tidak ada sesuatu yang berharga. Dilain pihak, di atas Siauw sit san berdiri kuil
Siauw Lim sie yang berusia ribuan tahun, sebuah pusat agama Buddha yang suci. Ada
kemungkinan bahwa apabila kuil itu ditinggalkan tanpa terjaga, tentara musuh akan
merusaknya bahkan mungkin juga akan membakarnya. Lantaran itulah Kong boen dan Kong
tie minta permisi untuk menjaganya. Mereka bertekad untuk mati hidup bersama sama di kuil
Siauw Lim sie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1425
“Baiklah,” kata Boe kie sambil mengangguk. “Aku merasa sangat kagum akan tekad Jie wie
taysoe, kalian boleh menjaga kuil ini.”
Para enghiong merasa heran. Semula mereka menduga bahwa Boe Kie akan menolak
permintaan itu. Melihat pemimpin mereka diperbolehkan menjaga kuil, sejumlah murid
Siauw Lim lantas saja ingin mengikuti jejak itu.
“Undang-undang ketentaraan keras dan harus dipatuhi!” teriak Kong boen dengan suara
keras. “Murid partai kami yang berani membantah akan segera dicoret namanya sebagai
murid Siauw lim pay.”
“Hari ini dengan bersatu padu saudara saudara wilayah Tionggoan melayani Tat coe,” kata
Boe Kie. “Kuminta para Soehoe yang mengurus tambur dan lonceng yang membangunkan
semangat menggetarkan seluruh kuil.” Dengan darah bergolak para enghiong mengusap usap
senjata mereka.
Sebagai tindakan pertama, hampir berbareng dengan komando Hee Yam, para anggota Liat
hwee kie mengeluarkan kayu bakar dan rumput yang lalu ditumpuk di samping kuil kemudian
di bakar. Dalam sekejap api sudah berkobar kobar.
Mendengar suara tambur dan melihat berkobarnya api, tentara Goan yang berada di kaki
gunung lantas saja menduga bahwa orang-orang di Siauw Lim sie sudah membakar kuil dan
akan segera kabur.
Dengan sekali mengibaskan tangan Jie lian cioe memimpin seratus lima puluh orang lebih
yang berlari lari ke bawah mencari sebelah kiri Siauw sit san. Sebelum mereka tiba di lereng,
tentara musuh mulai menyerang ke atas sambil bersorak sorai. Para orang gagah segera lari
berpencaran supaya tentara Goan tidak dapat membasmi mereka dengan anak panah.
Rombongan kedua yang dipimpin oleh Thio Siong Kee dan rombongan ketiga di bawah
pimpinan In Lie Heng, dengan beruntun muncul dan lari ke bawah, setiap orang
menggendong sebuah bungkusan besar yang berisi papan atau seprei, selimut tebal. Dimana
serdadu Goan mengira mereka adalah orang orang yang kabur dengan penuh ketakutan,
dengan membawa sedikit bekal yang masih keburu dibawa. Padahal bungkusan bungkusan itu
adalah tameng untuk melindungi diri dari anak panah Mongol yang sangat lihay.
Sesudah mengawasi beberapa lama, pemimpin tentara Goan segera memerintahkan selaksa
serdadu untuk mengejar dan selaksa lainnya tetap menjaga kedudukan mereka.
“Yo Cosoe, pemimpin tentara Tat coe seorang pandai,” kata Boe Kie. ”Dia tidak
mengerahkan seluruh tentara.”
“Benar,” jawab Yo Siauw. “Kewaspadaan itu bisa membahayakan kita.”
Tiba-tiba di kaki gunung terdengar suara terompet yang berulang ulang dan dua ribu tentara
berkuda Goan mulai menerjang ke atas dari kiri dan kanan. Dengan mata tidak berkedip, Boe
Kie mengawasi kemajuan musuh. Jalanan gunung penuh bahaya dan berliku-liku, tapi kudakuda
Mongol yang terlatih bisa maju terus tanpa menemui banyak kesukaran. Begitu lekas
rombongan musuh yang terdepan mendekati pendopo kuil. Boe Kie memberi isyarat dengan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1426
mengibaskan tangannya. Hampir berbareng pasukan Liat hwee kie bergerak dan bersembunyi
di rumput rumput tinggi. Pada saat musuh berada dalam jarak kurang lebih seratus tombak,
Hie Yam memberi komando. Minyak segera menyembur, anak panah api menyambar. Kuda
kuda berjingkrak keras, tentara Goan berteriak teriak seluruh pasukan berubah kalut, banyak
kuda dan manusia roboh tergelincir ke bawah gunung dengan badan berkobar kobar.
Tapi tentara Goan memang tentara jempolan. Pasukan depan terpukul, pasukan belakangnya
tidak bergeming. Dengan rapih mereka turun dari tunggangan mereka dan menerjang ke atas
dengan berjalan kaki. Liat hwee kie terus menyemprotkan minyak dan api. Beberapa ratus
musuh binasa, tapi yang lainnya merangsek terus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar