Selasa, 17 November 2009

Coei San terkejut. "Orang ini benar-benar tak mengenal Tuhan," katanya didalam hati.
"Hanya karena sepatah kata yang diucapkan oleh seorang dijaman dulu, dia rela menjadi
pembongkar kuburan. Andai kata ada orang yang berdosa terhadapnya, ia pasti membalas
sakit hati sehebat-hebatnya"
waktu mendongak, ia lihat sebuah lukisan yang tergantung didinding gubuk perahu. Dilihat
dari warnanya yang sudah agak suram, lukisan San Coei (gunung dan air) itu sudah tua sekali,
tapi lukisannya sendiri hidup, indah dan angker luar biasa.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 192
Melihat pemuda itu mengawasi tanpa berkesip Cia Soen segera berkata: "Lukisan itu adalah
buah tangan Thio Ceng Yoe dari jaman kerajaan Liang. Aku telah mencurinya dari istana
kaizar. Menurut orang, kalau melukis naga, ia tak pernah melukis mata naga itu, sebab, jika
dilukis, gambar naga lantas saja hidup dan terbang kelangit sesudah mendobrak tembok.
Tentu saja cerita itu omong kosong belaka dan hanya digunakan untuk memberi pujian
kepada lukisan naga Thio Ceng Yoe yang indah luar biasa. Menurut pendapatku, duapuluh
empat huruf yarg ditulis olehmu ditembok batu tidak kalah indahnya dari lukisan San soei
itu."
"Boanpwee hanya mencorat coret secara serampangan, mana bisa dibandingkan dengan
pelukis kenamaan dijaman dulu" Coei San merendahkan diri.
Demikianlah, mereka beromong omong tentang sastra dan lain-lain ilmu jaman dulu dan
jaman sekarang dengan tuan rumah bicara sebagai seorang sasterawan besar. Coei San merasa
sangat kagum akan pengetahuan Cia Soen, tapi hatinya tetap diliputi kegusaraaan karena
mengingat kekejaman orang itu. Beberapa lama kemudian, ia mulai merasa sebal dan lalu
memandang keluar jendela, dengan membiarkan si nona bicara terus dengan tuan rumah.
Tiba-tiba ia lihat matahari sore yang tengah menyelam ditepian laut dan yang memancarkan
sinar emas yang gilang gemilang. Selagi mengawasi dengan pikiran melayang layang,
mendadak ia terkejut. "Mengapa matahari menyelam disebelah balakang perahu ?" tanyanya
didalam hati. Ia menengok seraya berkata : "Cia cianpwee, juru mudimu telah mengambil
jalanan yang salah. Kita menuju kearah timur."
"Tidak salah, kita memang sedang menuju ke timur," jawabnya.
In So So juga kaget. "Disebelah timur adalah lautan besar. Kemana kita mau pergi?"
tanyanya.
Cia Soen tidak segera memberi jawaban, tapi pelan-pelan menuang secawan arak dan lain
mengendus endusnya dengan paras muka berseri-seri."Arak ini adalah Lie tin, Tin cioe dari
Siauwhin," katanya sambil bersenyum. "Usianya paling sedikit sudah dua puluh tahun dan Jie
wie tak boleh memandang rendah."
"Aku bukan bicarakan soal arak," kata si nona dengan suara tidak sabaran. "Perahu salah jalan
dan kau harus memerintahkan jurumudi memutar kemudi."
"Bukankah waktu masih berada di pulau Ong poan san aku sudah memberitahukan kalian
seterang-terangnya?" kata Cia Soen, "Sesudah mendapatkan To liong to, aku ingin mencari
sebuah tempat yang terpencil, dimana aku bisa menggunakan tempo beberapa tahun untuk
coba memecah kan teka teki sekitar golok mustika itu. Aku ingin mencari tahu, mengapa To
liong to dikatakan sebagai senjata yang paling dihormati dalam Rimba persilatan dan apa
benar pemiliknya dapat menguasai segenap orang gagah dikolong langit, Daratan Tiong-goan
adalah tempat yang sangat ramai. Begitu lekas orang tahu bahwa aku memiliki golok itu,
mereka ramai ramai tentu akan menyateroni untuk coba merebutnya dari tanganku. Dengan
adanya gangguan itu, mana bisa aku memusatkan pikiran? Kalau yang datang pentolanpentolan
seperti Thio Sam Hong Sianseng atau Peh bie kauwcoe atau yang lain lain, belum
tentu aku dapat menandinginya. Itulah sebabnya, mnengapa aku ingin cari sebuah pulau yang
kecil dan terasing ditengah-tengah lautan, guna dijadikan tempat tinggalku selama beberapa
tahun."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 193
"Kalau begitu, kau antarkan kami pulang lebih dulu," kata So So.
Cia Soen tertawa. "Begitu lekas kalian kembali di Tiong goan, apakah rahasiaku tidak
menjadi bocor?" tanyanya.
Mendadak Coei San melompat dan berseru dengan suara keras: "Habis apa yang kau mau?"
"Aku tak dapat berbuat lain daripada meminta kalian berdiam bersama-sama aku dan
melewati hari-hari secara riang gembira selama beberapa tahun," jawabnya. "Begitu lekas aku
dapat menembus rahasia To liong to, kita bertiga segera kembali kedaratan Tiong goan
bersama-sama."
"Bagaimana kalau sampai sepuluh tahun kau masih juga belum berhasil?" tanya pula Coei
"Kalian harus mengawani sehingga sepuluh tahun," jawabnya dengan tenang. "Andaikata
seumur hidup, aku tidak berhasil, kalianpun harus menemani aku seumur hidup."
"Kau adalah sepasang orang muda yang setimpal dan aku mengerti, bahwa kalian mencintai
satu sama lain. Nah ! Kalian boleh menikah dan berumah tangga dipulau itu. Apa itu tidak
cukup menyenangkan ?"
Coei San gusar bukan main. "Jangan ngaco kau !" bentaknya.
Ia melirik So So dan ternyata si nona sedang menunduk dengan paras muka kemalu-maluan.
Ia bingung bukan main. Ia merasa, bahwa ia tengah menghadapi beberapa lawan yang
tangguh dengan berbareng. Cia Soen lawan pertama, si nona lawan kedua, sedang dirinya
sendiri merupakan lawan ketiga. Dengan berdampingan dengan wanita cantik itu, belum tentu
ia dapat menguasai diri terus menerus.
Terdapat kemungkinan besar sekali, bahwa pada akhirnya, ia akan rubuh dibawah kaki In
SoSo.
Jilid 10_______________
Memikir begitu, sambil menahan amarah ia segera berkata: "Cia Cianpwee, aku adalah
seorang yang selamanya memegang teguh kepercayaan. Aku pasti tidak akan membocorkan
rahasia Cianpwee. Aku bersumpah, bahwa aku takkan bicara dengan siapapun jua tentang
kejadian dihari ini."
"Aku percaya segala perkataanmu," kata Cia Soen "Thio Ngohiap adalah seorang pendekar
yang kenamaan dan setiap perkataanmu berharga ribuan tail emas. Hanya sayang, pada waktu
berusia dua puluh lima tahun, aku pernah bersumpah berat. Lihatlah jeriji tanganku."
Ia mengangkat tangan kirinya dan mementang jari-jarinya. Ternyata, ditangan itu hanya
ketinggalan tiga jeriji.
Dengan paras muka dingin, Coei San berkata pula: "Pada tahun itu, seorang yang paling
dipercaya dan paling dihormati olehku, telah menipu dan mencelakakan aku, sehingga
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 194
namaku rusak, rumah tangga berantakan, anggauta-anggauta keluargaku binasa dalam sekejap
mata. Waktu itu, aku membacok jari tangan dan bersumpah, bahwa selama hidup, tak nanti
aku percaya manusia lagi. Sekarang aku berusia empatpuluh lima tahun. Selama duapuluh
tahun, aku ingin bergaul dengan kawanan binatang. Aku percaya binatang, tidak percaya
manusia. Selama duapuluh tahun, aku membunuh manusia, tidak membunuh binatang."
Coei San bergidik. Sekarang ia mengerti, mengapa lagu Ko leng san begitu menyayat hati dan
mengapa, biarpun berkepandaian sangat tinggi, nama orang itu tidak dikenal dalam dunia
Kangouw. Sekarang ia mengerti, bahwa kejadian hebat yang terjadi pada dua puluh tahun
berselang, telah mengubah sifat-sifatnya Cia Soen. sehingga dia membenci dunia dan segenap
penghuninya. Dengan munculnya pengertian itu, rasa gusarnya agak mereda dan didalam
hatinya malah timbul rasa kasihan. Sesudah bengong sejenak, ia berkata dengan suara halus:
"Cia Cianpwee, bukankah sakit hatimu sudah terbalas ?"
"Belum" jawabnya. "Ilmu silat orang yang mencelakakan aku, luar biasa tinggi dan aku tak
dapat melawannya."
Tanpa merasa, hampir berbareng, Coei San dan So So mengeluarkan suara tertahan: "Masih
ada manusia yarg lebih lihay dari padamu?" tanya si nona. "Siapa dia?"
"Perlu apa aku memberitahukan namanya kepadamu?" Cia Soen balas menanya. "Jika bukan
karena gara-gara sakit hati ini, apa perlunya aku marebut To liong to? Guna apa aku berusaha
untuk memecahkan teka teki sekitar golok itu? Thio Ngohiap, begitu bertemu denganmu, aku
lantas saja merasa suka. Jika menuruti kebiasaanku, siang-siang jiwamu sudah melayang.
Bahwa aku membiarkan kalian hidup beberapa tahun lebih lama sebenarnya sudah melanggar
kebiasaanku, sehingga mungkin sekali, pelanggaran itu akan mengakibatkan kejadian yang
tidak baik bagi diri ku."
"Apa artinya perkataanmu?" menegas So So "Mengapa kau mengatakan, hidup beberapa
tahun lebih lama?"
"Sesudah aku berhasil memecahkan rahasia To liong to, pada waktu mau meninggalkan pulau
itu aku akan mengambil jiwamu," jawabnya dengan tawar. "Satu hari belum berhasil, satu
hari kalian masih boleh hidup."
Si nona mengeluarkan suara dihidung. "Hmm! Menurut pendapatku, golok itu hanyalah golok
yang berat luar biasa dan tajam tuar biasa," katanya. "Kata-kata tentang siapa yang
memilikinya akan menguasai orang-orang gagah di kolong langit rasanya hanya omong
kosong belaka."
"Kalau benar begitu, biarlah kita bertiga berdiam dipulau itu seumur hidup," kata Coei San.
Tiba-tiba menghela napas dan paras mukanya diliputi dengan awan kedukaan.
Perkataan si nona kena tepat pada hatinya. Memang mungkin sekali To liong to hanya sebuah
golok yang tajam dan jika benar sedemikian, sakit hatinya yang sangat besar tidak akan dapat
dibalas lagi.
Melihat paras Cia Soen yang penuh dengan kesedihan, Coei San ingin coba menghibur. Tapi
sebelum ia keburu membuka mulut, Cia Soen su dah meniup lilin seraya berkata: "Tidurlah !"
ia kembali menghela napas dan suara helaan napas itu kedengarannya bukan seperti suara
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 195
manusia, tapi bunyi binatang yang sudah menghembuskan napasnya yang penghabiskan. Dan
suara yang menyeramkan itu jadi lebih menyeramkan lagi karena bercampur dengan arus
ombak ditengah lautan. Mendengar itu jantung Coei San dan So So memukul keras.
Angin laut yang dingin menderu deru. Sesudah lewat beberapa lama, si nona yang hanya
mengenakan selembar pakaian tipis, tak dipat mempertahankan diri dan ia mulai menggigil.
"In kauwnio, apa kau dingin?" bisik Coei San "Tak apa." jawabnya.
Coei San segera membaka jubah panjangnya dan berkata: "Kau pakailah."
Sinona merasa sangat berterima kasih. "Tak usah, kau sendiri juga kedingnan," Ia menolak
sambil memaksakan diri untuk bersenyum. Tapi biarpun mulutnya menolak. tangannya
menyambuti juga jubahnya itu yang lalu digunakan untuk menyelimuti pundaknya. Begitu
merasakan hawa hangat dari jubah itu, ia bersenyum dengan rasa beruntung.
Sementara itu, Coei San sendiri mengasah otak untuk mencari jalan guna meloloskan diri.
Sesudah memikir bulak balik, ia berpendapat, bahwa jalan satu-satunya adalah membunuh
Cia Soen.
Ia memasang kuping dan diantara suara gelombang, ia mendengar suara mengerosnya Cia
Soen yang sudah pulas nyenyak, ia heran dan berkata dalam hatinya: "Orang itu telah
bersumpah untuk tidak percaya manusia. Tapi bagaimana ia bisa tidur pulas dalam sebuah
perahu bersama sama aku dan In Kauwaio? Apa dia tidak takut aku turunkan taugan jahat?
Atau, apakah, karena menganggap kepandaiannya sudah sangat tin6gi, ia tidak memandang
sebelah mata kepadaku? Sudahlah ! Biar bagaimanapun jua, aku harus berani menempuh
bahaya. Orang ini sudah pasti akan melakukan apa yang dikatakannya. Kalau terlambat, bisabisa
aku harus menemani dia dipulau kecil sampai masuk dilubang kubur," Memikir begitu,
perlahan-lahan ia mendekati In So So untuk membisiki niatannya.
Tapi diluar dugaan, sebelum ia keburu membuka mulut, didalam kegelapan apa mau si nona
memutar kepala sehingga tanpa tercegah lagi, bibir pemuda itu menyentuh pipinya.
Tak kepalang kagetnya Coei San! Ia sangat ingin menyatakan kepada sinona, bahwa kejadian
itu adalah kejadian kebetutan dan ia sama sekali tidak berniat untuk berlaku kurang ajar tapi
mulutnya terkancing dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Dilain pihak sinona girang bukan main dan lalu merebahkan kepalanya dipundak pemuda itu.
Sesaat itu, So So melupakan segala bahaya yang tengah mengancam dan pada detik itu, ia
merasa dirinya, sebagai manusia yang paling beruntung dalam dunia. Tiba-tiba ia dengar
bisikan Coei San: "In Kouwnio, aku harap kau tidak jadi gusar."
Dengan paras muka bersemu merah dan dengan suara terputus-putus, ia berkata: "Kau....
menyintai aku.... Aku.... sangat.. girang."
In So So adalah memedi perempuan yang dapat membunuh manusia tanpa berkedip. Tapi
dalam keadaan begitu, ia tiada bedanya seperti wanita lain. Jantungnya memukul keras,
mukanya panas, rasa malu, kaget dan girang tercampur menjadi satu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 196
Kalau bukan berada dalam kegelapan, mungkin sekali ia tak berani mengucapkan kata-kata
itu yang menumplek isi hatinya kepada pemuda yang dicintainya.
Mendengar jawaban si nona, sekali lagi Coei San terkesiap, ia tidak duga, bahwa permintaan
maafnya sudah memancing pengakuan cinta. Biar bagaimana jua, ia adalah manusia biasa,
manusia yang masih berusia muda. Maka itu, jantungnyapun memukul keras dan ia jadi
bingung bukan main. Tiba-tiba, jiwa kesatrianya memberontak. "Coei San!" Ia mengeluh.
"Mengapa kau begitu lemah? Apa kau sudah lupa pesanan In soe?. Biarpun ia mencintai aku
dan ia pernah melepas budi kepada Samko, tapi ia seorarg dari agama yang menyeleweng
dengan sepak terjangnya yang tidak dapat dibenarkan. Andaikata aku ingin menikah
dengannya, terlebih dahulu aku harus memberitahukan In soe untuk minta permisi. Mana
boleh aku bercinta-cintaan ditempat gelap?"
Memikir begitu, dengan perlahan ia mendorong tubuh sinona dan berbisik: "Kita harus
berusaha untuk menakluki orang itu guna meloloskan diri."
Mendengar bisikan itu, So So terkejut. "Apa?" Ia menegas.
"Biarpun berada dalam bahaya, kita barus bertindak secara tenang," Menerangkan pernuda
itu. "Kalau kita menyerang selagi dia pulas, perbuatan kita bukan perbuatan kesatria. Aku
akan membangunkannya dan akan menantangnya untuk mengadu kekuatan. Selagi aku
bertanding, kau harus melepaskan jarum emas kejalan darahnya. Meskipun kita mengerubuti
dan kemenangan kita bukan kemenangan yang gemilang, tapi apa boleh buat, karena ilmu
silatnya banyak lebih tinagi daripada kita."
Coei San membisikkan dengan suara yang sangat halus dan bibirnya hampir menempel
dengan kuping si nona. Tapi diluar dugaan, baru saja ia selesai, Cia Soen yang tidur digubuk
belakang sudah tertawa terbahak-bahak "Kalau kau membokong, mungkin sekali kau masih
mempunyai harapan." katanya dengan suara nyaring. "Tapi dengan ingin mengambil jalanan
yang terang, untuk mempertahankan nama baik partaimu, kau cari celaka sendiri."
Dilain saat berbareng dengan berkelebatnya bayangan manusia ia sudah berada dihadapan
Coei San dan lalu menghantam dada pemuda itu dengan telapak tangannya.
Selagi Coei San bicara, Coei San sudah mengempos semangat dan mengerahkan Lweekang.
Begitu lekas lawan menyerang, ia segera menyambut dengan tangan kanannya dan balas
mengirim serangan deagan tenaga Bin ciang (Pukulan kapas). Begitu lekas tangannya
kebentrok dengan tangan lawan, ia merasa dadanya tergetar dan tenaga lawan menindih hebat
bagaikan gelombang.
Sebelum tangan lawan menyambar, Coei San, yang tabu keunggulan orang itu, sudah
mengerahkan seluruh Lweekang untuk membela diri. Maka itu, waktu angin pukulan
menyambar, ia menarik pulang lengannya kira-kira delapan dim dan dengan garis pembelaan
yang lebih pendek itu, ia mendapat banyak keuntungan, sehingga, walau pun Cia Soen terus
menambah tenaganya, ia masih dapat mempertahankan diri.
Sesudah mendorong tiga kali, Cia Soen merasa heran, sebab meskipun Lweekang lawannya
banyak lebih rendah, tapi ia tidak berhasil untuk menghancurkannya. Ia terus menambah
tenaga, tapi Coei San masih tetap dapat mempertahankan diri. Selagi mereka mengadu
kekuatan secara mati-matian, papan perahu mengeluarkan suara "krekekkrekek", karena tidak
kuat menahan tindihan tenaga kedua orang yang tengah bertanding itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 197
Tiba-tiba Cia Soen mengangkat tangan kirinya dan menghantam kepala Coei San, yang buruburu
menangkis dengan tangan kirinya dengan pukulan Hoeu kee kim liang (Memasang
penglari emas).
Sesudah kedua-dua tangannya beradu dengan kedua tangan lawan, Coei San merasa dadanya
di tindih dengan tenaga Im jioe (tenaga lembek), sedang tenaga yang menindih dari atas
kepala adalah tenaga Yang kong (tenaga keras). Bahwa seseorang dapat menyerang dengan
dua macam tenaga dengan berbareng adalah kepandaian yang sungguh jarang terdapat dalam
Rimba Persilatan. Untung juga ilmu silat Boe tong pay sangat mengutamakan Lweekang,
sehingga biarpun kalau dalam pertempuran biasa kepandaian Coei San masih jauh, tapi dalam
pertandingan Lweekang sedikitnya untuk sementara waktu, dengan menggunakan "ilmu
meminjam tenaga, memidahkan tenaga" dan Sie nio po cia kin, ia masih dapat
mempertahankan diri.
Dalam sekejap, keringat membasahi pakaian pemuda itu. "Mengapa In Kauwnio masih belum
turun tenaga?" tanyanya didalam hati. "Jika In Kouw nio menyerang, dia pasti akan berkelit
dan waktu dia berkelit, aku bisa menggunakan kesempatan untuk menyerang."
Kemungkinan itu juga rupanya sudah diingat oleh Cia Soen sendiri. Waktu baru menyerang,
ia menduga, bahwa dengan sekali pukul, ia akan dapat merubuhkan pemuda itu. Tapi diluar
dugaan, sesudah seminuman teh, Coei San masih dapat mempertahankan diri. Ia mengerti,
bahwa jika sinona turun tangan, ia bisa celaka. Maka itu, sambil bertanding, kedua lawan
tersebut terus memperhatikan gerak-gerik In So So.
Karena sedang mengerahkan seluruh Lweekang nya, Coei San tidak berani bicara. Tapi Cia
Soen Yang Lweekangnya sudah mencapai puncak tertinggi masih dapat bicara. "nona kecil,
aku menasehati kau jangan coba-coba turun tangan," katanya. "Begitu kau melepaskan jarum
emas, aku akan segera menghantam dengan sekuat tenaga kecintaanmu tidak dapat hidup
lebih lama lagi "
"Cia Cianpwee, tarik pulang seranganmu," kata sinona.
"Kamu akan menghatur maaf?" tanya Cia Soen.
Coei San tidak berani menjawab, karena begitu membuka suara, tenaganya akan habis. Ia
mendongkol bukan main karena So So tidak melepaskan jarumnya.
"Cia Cianpwee, lekas tarik pulang tenagamu!" teriak nona In dengan suara bingung "Apa kau
mau aku turun tangan?"
Sebenar-benarnya didalam hati Cia Soen pun sangat berkuatir. Didalam kegelapan dan
ditempat yang sangat sempit, ia sukar menolong diri, jika si nona menyerang dengan jarum
emas yang berjumlah besar dan halus itu, ia juga tidak bisa menangkis jarum-jarum itu
dengan kedua tangannya yang tengah beradu deagan kedua tangan Coei San. Maka itu, jika
So So menyerang, mungkin sekali mereka bertiga akan binasa atau terluka berat bersamasama.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 198
Karena adanya kekuatiran itu, ia segera berkata: "Nona kecil, aku sebenarnya tidak
mempunyai niatan kurang baik, aku bersedia untuk mengampuni jiwanya, jika kau bersumpah
atas nama nya."
sesudah memikir sejenak, So So berkata: "Thio Ngoko, kita bukan tandingan Cia Cianpwee.
Tiada lain jalan daripada menurut perintahnya dan menemani dia satu dua tahun. Kurasa,
sebagai seorang yang sangat cerdas otaknya, tak sukar untuk Cia Cianpwee memecahkan
rahasia To liong to. Ngo ko boleh aku bersumpah atas namamu?"
Coei San tetap tidak berani menyahut. Didalam hati ia mendongkol bukan main karena si
nona masih juga tidak mau melepaskan senjata rahasianya.
Melihat kecintaannya terus membungkam, sinona segera berkata: "Aku In So So bersama
Thio Coei San berjanji akan mengawani Cia Cianpwee disebuah pulau sampai Cia Cianpwee
dapat memecahkan rahasia To liong to. Jika kami mempunyai hati bercabang, biarlah kami
mati dibawah pedang atau golok "
Cia Soen tertawa, "Bagi orang-orang Rimba Persilatan, mati dibawah senjata bukan soal
penting," katanya.
Si nona menggertak gigi. "Baiklah," katanya dengan suara gusar. "Kalau aku melanggar janji,
biarlah aku tidak bisa hidup sampai dua puluh tahun. Apa kau puas?"
Cia Soen tertawa terbahak-bahak dan lalu menarik pulang tenaganya. Begitu lekas tindihan
tenaga lawan disingkirkan, Coei San yang sudah habis tenaganya lantas saja rubuh diatas
papan perahu. Melihat muka pemuda itu pucat bagaikan kertas dan napasnya tersengai-sengal,
bukan main bingungnya si nona yang lantas saja menubruk sambil mengucurkan air mata.
"Murid Boe tong sungguh-sungguh bukan mempunyai nama kosong," memuji Cia Soen. "Tak
malu mereka menjagoi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan."
Sementara itu, So So sudah mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti keringat yang
membasahi Coei San. Melihat si nona menangis sedu sedan, kemendongkolan pemuda itu
lantas saja hilang dan didalam hatinya timbul perasaan sangat berterima kasih. Baru saja ia
ingin menghaturkan terima kasih, tiba-tiba matanya gelap. Sayup sayup ia mendengar teriakan
So So: "Orang she Cia jika kakakku mati, aku akan mengadu jiwa dengan mu!"
Dilain saat dalam keadaan lupa ingat, ia mendengar suara menderunya angin dan badannya
terayun-ayun. Mendadak ia merasa badannya basah dan air asin masuk kedalam mulutnya.
Sesaat itu juga ia tersadar dan hatinya bingung, karena ia duga perahu itu sedang karam.
Cepat-oepat ia bangun berdiri, tapi ia tak dapat berdiri tegak, sebab perahu kembali miring
kekiri dan gelombang menghantam perahu. Angin menderu-deru dan gelombang sebesar
bukit menerjang dengan saling susul.
Dalam keadaan ribut dan kacau, mendadak ia dengar teriakan Cia Soen: "Thio Coei San, lekas
pergi kebelakang perahu dan pegang kemudinya. Tanpa memikir lagi, ia berlari-lari
kebelakang perahu. Ombak lagi-lagi menghantam perahu miring kekiri kanan dan sebuah
perahu kecil, yang semula ditaruh diatas perahu layar itu, terbang keatas beberapa tombak
tingginya, akan kemudian tenggelam kedasar laut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 199
Sebelum Coei San tiba ditempat kemudi, gelombang-gelombang besar mengamuk, sehingga
perahu terputar-putar dan terpental kian kemari. Buru buru ia mengempos semangat dan
menancap kedua kakinya dipapan perahu, sehingga meskipun perahu terombang-ambing,
badannya tidak bergerak. Beberapa saat kemudian, sesudah serangan gelombang agak
mereda, ia merangkak dan dengan kedua tangannya ia memegang kemudi erat-erat.
Sekonyong-konyong terdengar beberapa kali suara gedubrakan yang keras bukan main dan
badan perahu bergoyang goyang, Ternyata, dengan menggunakan Long gee pang, Cia Soen
telah merubuhkan tiang layar tengah dan depan dan kedua tiang itu bersama-sama kain
layarnya yang berwarna putih, jatuh kedalam laut
Topan yang menyerang benar-benar hebat. Meskipun hanya ketinggalan sebuab layar
belakang, perahu itu masih tetap miring kian kemari seperti orang mabok arak. Menghadapi
serangan alam yang hebat, Cia Soen yang gagah tak berdaya. Ia mengawasi langit dergan
paras muka mendongkol dan beberapa kali hampir-hampir ia tergelincir di sapu angin.
Akhirnya, dengan apa boleh buat, ia mengangkat pula Long gee pang dan menghantam tiang
yang terakhir.
Sesudah semua tiang layar rubuh, perahu itu lantas saja terombang ambing tanpa tujuan. Tibatiba
Coei San ingat So So. "In Kouwnio!" teriaknya. "Dimana kau? Dimana kau? In Kouwnio
!" Ber ulang-ulang ia berteriak, tapi sedikitpun ia tidak mendapat jawaban, sehingga dalam
teriakan-teriakan yang belakangan, dalam suaranya terdapat nada seperti orang menangis.
Mendadak ia merasa lututnya seperti dipeluk orang dan berbareng, sebuah gelombang yang
besar telah menyambar badannya.
Sambil mengempos semangat, ia mencekal kemudi erat-erat, tapi tak urung tubuhnya
bergoyang goyang karena dahsyatnya ombak itu. Pada detik itu, orang yang barusan memeluk
lututnya sudah merangkul pinggangnya. "Thio Ngoko, terima kasih," demikian terdengar
suara So So yang lemah lembut: "Kau sangat memperhatikan keselamatanku."
Coei San girang bukan, main. "Oh, Tuhan ! Terima kasih untuk perlindunganMu!" bisiknya
sambil memeluk pinggang sinona.
Angin terus mengamuk dan amarah lautan masih tetap belum mereda.
Diantara pukulan-pukulan gelombang, mendadak Coei San melihat sebuab kenyataan. Ia
sekarang mengakui, bahwa didalam bahaya, ia lebih memikiri keselamatan So So daripada
keselamatan diri nya sandiri.
"Thio Ngoko, biarlah kita mati bersama-sama," bisik pula si nona.
Dalam keadaan biasa, biarpun kedua orang muda itu menyintai satu sama lain mereka pasti
tak akan menumplek isi hati mereka secara begitu cepat dan terang-terangan. Tapi pada saat
itu pada detik mereka bersama-sama menghadapi kebinasaan, segala perasaan main dan
jengah telah dikesampingkan. Didalam kegelapan dan diantara badai, badan perahu tak
hentinya mengeluarkan suara "krekek" dan bisa hancur luluh disetiap saat, tapi didalam hati
kedua orang muda itu terdapat rasa beruntung yang tiada batas.
Sesudah mengadu tenaga dengan Cia Soen, Coei San sebenarnya merasa lelah bukan main.
Tapi rasa cinta yang kini tengah memenuhi dadanya telah memberi tenaga baru kepadanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 200
Dengan tangan kanan, mencekal kemudi tangan kiri memeluk pinggang si nona, ia
mengempos semangat dan mengerahkan seluruh Lweekang untuk mempertahankan diri dari
serangan-serangan topan dan gelombang.
Semua anak buah perahu sudah habis disapu air. Jika Cia Soen, Coei San dan So So tidak
memiliki ilmu tinggi, siang-siang merekapun sudah ditelan laut.
Untung juga, perahu itu sangat kuat buatannya, sehingga, walaupun diserang begitu hebat,
tidak sampai jadi berantakan.
Dilain saat, untuk penambahan penderitaan, hujan turun seperti dituang tuang.
Sementara itu, sesudah merubuhkan semua tiang layar, sambil merangkak Cia Soen pergi
kebelakang perahu. "Thio Heng tee, terima kasih untuk bantuanmu," katanya. "Serahkan
kemudi kepadaku dan pergilah kalian mengaso digubuk perahu."
Coei San lalu menyerahkan kemudi kepadanya dan sambil menuntun tangan si nona, ia
menuju kegubuk perahu. Tapi baru berjalan beberapa tindak, se-konyong2 sebuah gelombang,
sebesar bukit menghantam dengan dahsyatnya. Karena serangan itu datang secara sangat
mendadak,
sekali ini Coei San tidak dapat mempertahankan dirinya lagi. Badan mereka tersapu dan
terpental keluar perahu .
Dilain detik tubuh Coei San sudah berada ditengah udara dan melayang turun keatas
gelombang! Dalam bingungnya, ia berhasil menjambret pergelangan tangan So So. Pada saat
itu, ia hanya ingat untuk binasa bersama dengan si nona
Tapi baru saja tangan kirinya mencekal pergelangan tangan nona In, sekonyong-konyong
sehelai tambang menyambar dan melibat lengan tangan kanannya. Hampir berbareng, ia
merasa badannya ditarik kebelakang, akan kemudian, bersama sama So So, jatuh diatas papan
perahu. Yang menolong mereka adalah Cia Soen sendiri. Pada saat yang sangat genting, Cia
Soen menjemput seutas tambang layar yang kebetulan menggetetak didekat kakinya, sehingga
pada detik terakhir, jiwa kedua orang muda itu ketolongan.
Itulah kejadian yang sangat diluar dugaan, "Sungguh berbahaya !" mengeluh Cia Soen. Kalau
tambang itu tidak kebetulan berada didekatnya, biarpun mempunyai kepandaian yang sepuluh
kali lipat lebih tinggi, ia tentu tidak berdaya.
Dengan merangkak, Coei San dan So So lalu masuk kedalam gubuk perahu. Perahu terus ter
ombang-ambing, sebentar seperti berada dipuncak gunung dan sebentar seperti masuk
kedalam lembah. Tapi bagi mereka yang seolah-olah baru saja bangun dari kuburan, semua
bahaya itu tidak ada artinya lagi. "Ngoko," bisik nona In. "Jika kita bisa hidup terus, aku tak
mau berpisahan dengan kau untuk selama-lamanya."
"Akupun justeru begin mengatakan begitu," kata Coei San. "Langit diatas, bumi dibawah,
diantara manusia dan didasar lautan, kita akan tetap bersama-sama."
Si nona menghela napas. "Benar," bisiknya pula. "Langit diatas, bumi dibawah, diantara
manusia dan didasar lautan, kita akan tetap bersama-sama."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 201
Sementara itu, Cia Soen mengemudikan perahu sambil mengomel panjang pendek. Dalam
menghadapi badai dan gelombang, kepandaiannya yang sangat tinggi tidak banyak menolong.
Sesudah mengamuk tujuh jam lamanya, barulah topan mereda. Awan hitam perlahan-lahan
buyar dan bintang-bintang mulai muncul lagi diatas langit. Coei San dan So So keluar dari
gubuk perahu. "Cia Cianpwee, terima kasih banyak untuk pertolonganmu," kata pemuda itu.
"Tak usah rewel," jawabnya. "Kita bertiga hampir-hampir mampus."
Coei San menghela napas dan lain menggantikan memegang kemudi. Sesudah bertahan mati
matian hampir semalam Cia Soen pun sudah lelah sekali dan ia segera pergi kegubuk perahu
untuk mengaso.
So So duduk didamping kecintaannya dan dongak mengawasi bintang Paktauw yang tengah
memancarkan sinaraya. "Ngoko, perahu ini tengah menuju kejurusan utara," katanya.
"Benar," jawabnya. "Aku ingin sekali dia menuju kebarat supaya kita bisa pulang"
"Kalau dia berbalik ketimur, entah kemana kita akan pergi," kata pula nona In.
"Ketimur masuk bilangan samudera," kata Coei San. "Kalau kita berada ditengah lautan tujuh
delapan hari saja, tanpa air, kita akan...."
"Kudengar di lautan Tanghay tardapat sebuah pulau dewata," memutus si nona. "Orang kata,
dipulau itu terdapat dewa-dewi yang hidup abadi. Siapa tahu, kalau kita mendarat dipulau itu,
kita akan tertemu dengan para dewa dan dewi ....."
Sambil mengawasi bima sakti yang membentang dilangit, ia berkata pula: "Mungkin sekali
perahu ini akan berlayar terus, sehingga tiba dibimasakti dan kita dapat menyaksikan
pertemuan diatas jembatan burung antara Goe Long dan Cit Lie." ( Bima-sakti adalah sehelai
sinar terang diwaktu malam yang membentang dilangit, terdiri daripada rangkaian bintangbintang).
"Ya," kata Coei San. "Kita boleh menyerahkan perahu ini kepada Goe Long, supaya ia dapat
menemui Cit Lie disembarang waktu dan tidak usah menunggu Cit gwee Cit sek (tanggal
tujuh Cit lie)."
Si nona bersenyum. "Ngoko, jika perahu dihadiahkan kepada Goe long, alat pengangkutan
apakah yang dapat digunakan kita jika kita ingin bertemu ?" tanyanya.
"Langit diatas, bumi dibawah, sekali bersama sama, kita telah bersama-sama," jawabnya.
"Perlu apa kita menyeberangi bima-sakti ?"
In So So tertawa, paras mukanya seakan-akan sekuntum bunga yang baru mekar Dengan
sikap kemalu-maluan, ia mencekal erat-erat tangan Coei San.
Kedua orang mula itu saling mencekal tangan dengan rasa bahagia. Banyak sekali yang ingin
dikatakan mereka, akan tetapi, mereka tak tahu apa yang harus dikatakan terlebih dahulu.
Memang juga, manakala dua manusia sedang mencintai satu sama lain, kata-kata tidak perlu
sama sekali.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 202
Dengan lirikan mata saja, mereka sudah bicara banyak, karena dalam keadaan sedemikian,
yang satu tahu apa yang mau dikatakan oleh yang lain.
Entah sudah selang berapa lama barulah Coei San menunduk dan melirik kecintaannya. Ia
terkejut, karena kedua mata si nona kelihatan basah dan paras mukanya penuh kedukaan.
"Mengapa kau menangis ?" bisiknya.
"Diantara manusia atau dibawah lautan mungkin sekali aku dapat berkumpul dengan kau."
jawabnya perlahan. "Tapi dihari kemudian, sesudah kita meninggal dunia, kau masuk di
surga, aku... aku ....akan masuk keneraka !"
"Omong kosong!" bentak Coei San dengan suara menyinta.
So So menghela napas dan berkata dengan suara menyesal: "Aku sendiri mengerti ......aku
mengakui, bahwa aku telah melakukan banyak sekali perbuatan jahat dan banyak membunuh
manusia secara sembarangan."
Coei San terkejut. Diam diam dia merasa, bahwa memang benar dia tidak pantas menikah
dengan seorang wanita yang sepak terjangnya menyeleweng seperti So So. Akan tetapi karena
rasa cintanya sudah mendalam dan juga sebab dalam menghadapi bahaya besar, orang tidak
menghitung hitung kejadian dihari kemudian, maka ia lantas saja membujuk dengan suara
lemah lembut:
"Jika kau ingin memperbaiki kesalahanrnu, sekarang masih belum terlambat. Mulai dari
sekarang, kau harus berbuat kebaikan guna menebus segala dosamu." So So tidak menyahut.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia menyanyi dengan perlahan.
Yang dinyanyikannya adalah lagu Sam poyang, sebuah lagu rakyat yang sangat terkenal pada
jaman kerajaan Goan. Lagu itu biasa dinyanyikan rakyat dari selatan sampai diutara, hanya
kata katanya banyak berbeda satu sama lain.
Sambil menahan napas Coei San mendengar nyanyian itu yang seperti berikut
"Dia dan aku,
Aku dan dia.
Diantara kita, terdapat binyak rintangan.
Bagaimana dapat mencapai sebuah pernikahan?
Akhirnya mati didepan keraton Giam ong.
Ai ya ! Biarkanlah !
Mengambil alu untuk menumbuknya.
Mengambil gergaji untuk menggargajinya.
Mengambil penggilingan untuk menggilingnya,
Mengambil kuali untuk menggorengnya.
Ai ya ! Biarkanlah !
Apa yang terlihat, manusia, hidup mendapat hukuman,
Belum pernah terlihat, setan jadi perantaian.
Ai ya ! Biarkanlah !
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 203
Alis terbakar, perhatikan saja mata,
Alis terbakar, perhatikan saja mata."
Nyanyian itu disambut dengan sorak sorai Cia Soen dari dalam gubuk perahu. "Bagus ! Bagus
sungguh nyanyian itu !" teriaknya "In Kouwnio, kau lebih menyocoki aku daripada Thio
Siang kongmu yang berlagak mulia !"
"Ya, aku dan kau adalah manusia-manusia jahat dan kita pasti akan mati secara tidak baik,"
kata si nona.
"Kalau kau mati secara tidak baik, akupun begitu," bisik Coei San.
So So kaget tercampur girang. Ia mengawasi pemuda itu dan hanya dapat mengeluarkan
sepatah kata: "Ngoko ...."
Pada esokan paginya, dengan menggunakan Long gee pang, Cia Soen membinasakan seekor
ikan Yang beratnya belasan kati dan yang dapat menangsal perut selama dua hari. Karena
lapar, biar pun ikan mentah, mereka makan dengan bernapsu. Untung toya itu yang dipasangi
paku-paku seperti gaetan merupakan alat yang sangat cocok untuk memukul ikan. Biarpun
diatas perahu sudah tidak ketinggalan setetes air tawar, tapi dengan menelan minyak dan
cairan yang keluar dari badan ikan mereka masih dapat mempertahankan diri.
Arus air terus mengalir keutara dan siang malam, mereka dapat melihat bintang kutub Utara
yang memancarkan sinarnya berhadapan dengan kepala perahu.
Diwaktu siang, matahari muncul dari sebelah kiri perahu dan diwaktu sore, menyelam dari
sebelah kanan.
Selama belasan hari. keadaan berlangsung seperti itu tanpa perobahan.
Semakin lama hawa udara jadi semakin dingin. Dengan memiliki Lweelang yang tinggi, Cia
Soen dan Coei San masih dapat mepertahankan diri. Tapi tidak begitu dengan In So So. Ia
kedinginan, sehingga mukanya berubah pucat. Cia Soen dan Coei San membuka jubah
panjang mereka dan memberikannya kepada sinona, tapi pakaian yang tidak seberapa tebal
itu, tidak banyak menolong.
Dengan sekuat tenaga si nona coba menguatkan diri bertahan dan sebisa-bisanya harus
memperlihatkan paras gembira. Tapi Coei San yang tahu, bahwa kegembiraan itu adalah
kegembiraan yang dibuat-buat, jadi makin bingung. Ia mengerti, kalau perahu terus menuju
keutara beberapa hari lagi, kecintannnya bakal mati ke dinginan.
Tapi benar juga orang kata, Langit tidak memutuskan jalanan manusia.
Secara tidak diduga duga, perahu berpapasan dengan sekelompok biruang dan dengan
menggunakan Long gee pang, Cia Soen telah membinasakan beberapa antaranya.
Kulit biruang merupakan selimut hangat, sedang dagingnya dapat dimakan. Tak usah
dikatakan, mereka tertiga jadi girang bukan main.
Malam itu, mereka berkumpul dikepala perahu sambil mengawasi langit.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 204
"Bintang apa yang paling berfaedah dalam dunia ini?" tanya So So sambit tertawa.
Cia Soen dan Coei San tertawa geli. "Biruang" jawab mereka hampir berbareng.
Sesaat itu tiba-tiba terdengar suara "ting tung ting tung !"
Serentak meraka memasang kuping, mendadak paras muka Cia Soen berubah pucat. "Es Es
yang mangambang !" katanya deagan suara parau. Ia memukul mukul air dengan senjatanya
dan terdengar suara terpukulnya kepingan-kepingan es.
Hati mencelos, dingin bagaikan es. Mereka tahu, bahwa jika perahu terus menuju keutara,
pada akhirnya dia akan terjepit diantara balokan balokan es dan tidak dapat bergerak lagi. Itu
akan berarti, bahwa merekapun tak akan bisa hidup lebih lama lagi. Malam itu mereka tak
dapat pulas, kuping mereka terus mendengari "ting tung ting tung" yang tak henti hentinya.
Pada esokan paginya, kepingan-kepingan es sudah jadi lebih besar, sudah sebesar mangkok,
sedang suaranya pun makin nyaring, Cia Soen tertawa getir seraya berkata: "Hai! Aku
bermimpi ingin membuka rahasia To liong to. Tapi siapa nyana, sebelum berhasil, aku sudah
jadi manusia es."
Jantung sinona berdebar debar. Ia mencekal tangan Coei San erat-erat.
Tiba-tiba Cia Soma mengangkat To liong to dan membentak dengan suara gusar. "Paling
benar lebih dulu aku mengantarkan kamu kekeraton Raja Naga!" Tapi sudah mengangkat
golok, ia tak tega dan sambil menghela napas, ia pergi kegubuk perahu untuk menaruh golok
mustika.
Empat hari lewat lagi dan selama empat hari Itu, perahu terus menuju keutara. Balokan es jadi
semakin besar, sekarang sebesar meja atau rumah kecil. Mereka merasa, bahwa kebinasaan su
dah berada didepan mats dan dalam menghadapi kebinasaan, mereka jadi nekad dan tak mau
memikir panjang-panjang lagi. Malam itu kira-kira tengah malam, sekonyong-konyorg
terdengar suara gedubrakan dan perahu bergoncang hebat. "Bagus ! Bagus sungguh !" teriak
Cia Soen, "Gunung es !"
Coei San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum getir. "Inilah saat terakhir!" pikir
mereka. Tiba-tiba mereka saling memeluk erat erat. Mereka ingin mati dalam keadaan begitu,
dilain saat, mereka merasa air es sampai dilutut. "Tamatlah! perahu sudah pecah !"
Sekonyong-konyong terdengar teriakan Cia Soen: "Naik keatas gunung es! Bisa hidup sehari,
biar kita hidup sehari! Langit mau membinasakan aku, aku melawan!"
Kedua orang muda itu tersadar. Buru buru mereka melompat kekepala perahu. Disamping
perahu berdiri sebuah gunung es yang dibawah sinar rembulan, memancarkan sinar hijau yang
dingin luar biasa. Itulah pemandangan yang indah tapi menakuti.
Cia Soen berdiri disebuah undakan, dibagian bawah gunung es itu, dan ia menyodorkan
senjata nya untuk menyambut kedua orang muda itu. Dengan tangan kiri So So menekan
Long gee pang bersama sama Coei San, ia melompat naik ke gunung es itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 205
Perahu itu ternyata terlubang besar dan selang kira-kira seminuman teh, sudah tenggelam
kedalam laut.
Cia Soen segera menggelar selembar kulit biruang diatas es dan mereka bertiga lantas saja
duduk dengan berendeng pundak. Jika berada di atas bumi, besar gunung es itu kira-kira
bersamaan dengan sebuah bukit kecil, dengan garis tengah kurang lebih delapan belas tombak
dan tingginya kira-kira lima tombak.
Cia Soen mendongak sambil mengeluarkan teriak nyaring, seolah-olah sedang menantang
musuh, "Berdiam diperahu yang sempit, dadaku menyesak," katanya. "Tempat ini lebih cocok
untuk aku melemaskan urat," berkata begitu, ia berjalan mundar mandir dan sungguh heran,
kakinya tidak terpeleset meskipun permukaan es licin luar biasa.
Coei San mengerti, dia sedang menantang Langit yang dianggapnya sangat tidak adil
terhadapnya. Dalam menghadapi kebinasaan, rasa penasarannya semakin menjadi.
Dengan menuruti tiupan angin dan arus air, gunung es itu terus bergerak kejurusan utara.
Pada suatu hari, selagi mereka bertiga duduk terpekur, tiba-tiba Cia Soen tertawa terbahak
bahak dan berkata dengan suara mengejek: "Langit telah mengirim sebuah perahu untuk
menyambut kita guna bertemu dengan Pak kek Siang ong (Dewa Kutub Utara)."
Mendengar itu So So hanya bersenyum. Ia tidak menghiraukan andaikata langit bakal rubuh
asal saja kecintaannya berada didampingnya. Tapi Coei San mengerutkan alis dan pada paras
mukanya terlukis sinar kedukaan.
Selang tujuh delapan hari, sinar es yang disoroti matahari adalah demikian hebat
berkilauannya sehingga mata mereka dirasakan sakit sekali. Oleh karena begitu, diwaktu
siang mereka menyelimuti kepala dengan kulit biruang sambil merebahkan diri diatas es dan
diwaktu malam, barulah mereka bangun untuk menangkap atau memburu biruang.
Sungguh heran, semakin keutara siang hari jadi
semakin panjang, sehingga belakangan, jangka waktu dimalam hari hanya beberapa jam saja.
Makin lama Coei San dan So So jadi makin lelah dan paras muka mereka makin pucat. Cia
Soen sendiri kelihatan seperti seorang lupa ingatan dan pada kedua matanya terlihat sinar luar
biasa. Kadang-kadang, kalau datang kalapnya, ia menuding-nuding tangan dan mencaci-caci,
seolah-olah manusia edan.
Pada suatu malam, karena tak dapat pulas di waktu siang, Coei San tidur sambil menyender di
es, tiba-tiba dalam pulasnya, ia mendengar jeritan So So: "Lepas Lepas!" Ia tersadar dan
melompat bangun dan melihat Cia Soen sedang memeluk kecintaannya dengan mulut
mengeluarkan suara "ho ho ho," seolah olah bunyi binatang buas.
Sesudah menyaksikan lagak Cia Soen yang luas biasa selama beberapa hari Coei San merasa
sangat berkuatir. Hanya ia tak nyana bahwa orang itu dapat berbuat begitu rupa terhadap So
So. "Lepas !" bentaknya dengan gusar, sambil melompat maju.
Cia Soan tertawa terbahak-bahak. "Dalam menghadapi kebinasaan, aku tak mergenal segala
peraturan bau," katanya. "Waktu masih berada diatas bumi, aku sudah tidak mengenal Lie gie
liam tie. Apa lagi sekarang?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 206
Lie gie liam tie berarti adat istiadat, pribudi putih bersih tak korup dan mmgenal malu, yaitu
empat prinsip dari Kwan Tong.
"Lepas!" teriak pula Coei San dengan gusar. "Jika tidak, aku akan mengadu jiwa denganmu."
"Apamu dia? Jangan campur-campur urusanku!" jawabnya dengan suara dingin. Ia
mengeraskan pelukannya, sehingga So So mengeluarkan jeritan kesakitan.
"Dia isteriku," kata Coei San dengan bingung. "Cia Cianpwee, seorang laki-laki lurus berjalan
lurus. Biarpun kita sekarang berada diatas gunung es, tapi janganlah kau melakukan perbuatan
yang hanya akan memalukan diri sendiri."
Cia Soen tertawa terbahak-bahak. "Aku si orang she Cia belum pernah menghiraukan jahat
atau baik," katanya. Andai kata benar kau suami nya, kau tetap tidak boleh campur-campur
dan harus turut segala perintahku. Jika berani membandal, aku akan hajar kau."
Coei San tak dapat menahan sabar lagi. Baiklah, biar kita bertiga mampus bersama sama!"
bentaknya seraya menghantam punggung Cia Soen yang menangkis dengan tangan kirinya.
Tubuh Coei San bergoyang-goyang dan karena licinnya es, ia tak dapat berdiri tetap dan
lantas saja terguling. Cia Soon mengangkat kaki kanannya dan menendang pinggang pemuda
itu. Tapi Coei San pun bukan anak kemarin dulu. Ia menekan es dengan satu tangannya dan
melompat bangun, sedang tangan yang lain menotok jalan darah dilutut Cia Soen. Pada detik
yang berbahaya, cepat bagaikan tandangannya, tangan kanannya memukul kepala Coei San,
sedang tangan kirinya memeluk pinggang si nona.
Sesaat itu tangan kiri So So mendapat kemerdekaan, maka buru-buru ia menggunakan dua
jerijinya untuk menotok jalan darah Soei touw hiat ditenggorokan orang. Tapi, diluar dugaan,
tanpa menghiraukan serangan itu, Cia Soen terus mengerahkan Lweekang dan memukul
kepala Coei San. Dengan kedua tangan, pemuda itu menangkis dan ia terkesiap, karena
pukulan itu berat luar biasa, sehingga dadanya menyesak.
Dilain pihak, nona In pun tidak kurang kaget nya. Kedua jerijinya yang menotok Soei touw
hiat seperti membentur benda yang licin dan serta didorong balik dengan serupa tenaga yang
tidak kelihatan. Si nona mencelos hatinya, sebab, walaupun seorang yang mempunyai ilmu
weduk Kim ciong to atau Tiat po san tak akan dapat menahan totokannya itu. Dari sini dapat
dibayang kan, betapa tinggi kepandaian Cia Soen.
Waktu itu, badan So So dan tangan kanannya di peluk keras-keras dan hanya tangan kirinya
yang merdeka. Sesudah totokannya gagal, dengan pertolongan sinar es, ia lihat muka Coei
San yang kedua matanya berwarna merah seperti darah dan seolah-olah mengeluarkan api.
Pada detik itu. mendadak ia ingat pengalamannya waktu mengikuti ayahnya memburu
harimau dihutan. Ia ingat bahwa kedua mata seekor harimau yang terluka juga berwarna
merah darah. Sepulangnya dari perburuan, sering-sering ia merasa kasihan terhadap binatang
itu.
Sekarang, melihat Cia Soen yang menyerupai macan edan rasa kasihannya timbul dan ia
berkata pada dirinya sendiri: "Dia biasanya ramah tamah dan sopan santun. Ia beradat aneh,
tapi keanehan itu adalah akibat pengalaman getir dalam penghidupannya. Tapi biar
bagaimanapun juga, ia seorang luar biasa mahir ilmu surat dan ilmi silat. Bahwa sekarang ia
kalap adalah karena otaknya yang kurang beres." Selagi memikir begitu, tiba-tiba disebelah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 207
utara muncul sinar berkredepan yang beraneka warna dan indah luar biasa. "Cia Cian pwee,"
katanya dengan suara lemah lembut. "Kau mengasolah. Lihatlah! Ditepian langit muncul sinar
yang sangat luar biasa!"
Cia Soen menengok kearah yang ditunjuk si nona. Ternyata, diantara kegelapan disebelah
utara itu muncul ribuan, bahkan laksaan, sinar terang yang sangat aneh, sebentar besar,
sebentar kecil, sedang warnanya yang kuning campur ungu dan dalam sinar ungu itu
berkredepan sinar keemas emasan.
Cia Soen terkesiap, ia melepaskan pelukannya dan menarik pulang tangannya yang menindih
ke dua tangan Coei San. Dilain saat, sambil menggendong tangan, ia berjalan kepinggir
gunung es dan memandang kearah utara dengan mata membelalak. Ternyata, mereka sudah
mendekati Kutub Utara. Sinar yang luar biasa itu adalah pemandangan yang hanya terdapat
didaerah kutub. Pada jaman itu belum pernah ada orang Tionghoa yang pernah melihat
pemandangan tersebut.
Sambil mencekal tangan kecintaannya, Coei San mengiwasi orang anah itu dengan hatiri
berdebaran. Malam itu, Cia Soen tidak mengganggu lagi. Lama sekali ia berdiri terpaku disitu
sambil menikmati sinar-sinar menakjubkan itu.
Pada keesokan paginya, sinar-sinar itu menghilang dari pemandangan. Cia Soen rupanya
merasa jengah karena kejadian semalam, sehingga seharian suntuk ia tak pernah berani
melirik sinona, sedang gerak-geriknya pun kelihatan kikuk sekali.
Beberapa hari kembali lewat dan mereka terus berlayar kejurusan utara. Sementara itu,
gilanya Cia Soen mulai kumat lagi. Semakin hari caciannya terhadap langit jadi semakin
hebat. Sedang dari matanya keluar pula sinar mata binatang buas. Coei San dan So So
memperhatikan perubahan perubahan itu dengan hati berkuatir dan mereka selalu berwaspada
untuk menghadapi segala kemungkinan.
Hari itu sudah lewat jam tujuh malam, tapi matahari yang menyerupai sebuah bola merah
masih tergantung ditepian laut sebelah barat dan tak juga mau menyelam. Mendadak Cia Soen
melompat bangun dan sambil menuding matahari, ia membentak: "Kau juga mau menghina
aku? Oh, matahari jika aku memiliki busur dan anak panah, dengan sekali memanah, aku
dapat menembuskan badan mu!" Tiba-tiba, dengan tinjunya ia menghantam es yang jadi
somplak dan kemudian, dengan sekuat tenaga, ia menimpuk matahari dengan potongan es itu,
yang terbang puluhan tombak dan kemudian jatuh dilaut. Ia mengutangi lagi perbuatan itu,
sehingga dalam tempo tidak terlalu lama, ia sudah melontarkan tujuh puluh lapis potongan es.
Sesudah itu, sambil berteriak-teriak, ia menginjak injak gunung es itu, sehingga kepingankepingan
es pada muncrat keatas.
"Cia Cianpwee, kau mengasolah dulu," membujuk So So dengan suara lemah lembut. "Jangan
kau meladeni matahari itu."
Cia Soen menengok dan dengan mata merah, ia menatap wajah si nona. So So ketakutan, tapi
ia memaksakan diri untuk bersenyum.
Sekonyong konyong sambil berteriak keras Cia Soen melompat dan memeluki nona.
"Mampus kau! Mampus!" jeritnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 208
So So memberontak, tapi sedikitpun tidak bergeming. Coei San kaget bukan main dan tanpa
mengeluarkan sepatah kata. ia menghantam jalan darah Sin tohiat dipunggung Cia Soen. Tapi
tinju yang hebat itu seolah-olah memukul besi. Sementara itu, sambil mengeluarkan suara "ho
ho ho" seperti bunyi binatang buas, Cia Soen mengeraskan pelukannya.
"Lepas! Jika kau tak lepas, aku akan menggunakan senjata !" teriak Coei San.
Tapi orang kalap itu tetap tidak meladeni.
Cepat bagaikan kilat Coei San mencabut Poan koan pit dari pinggangnya dan lalu menotok
jalan darah Kian kin hiat dipundak kanan serta Siauw hay hiat pada lengan kiri Cia Soen. Tapi
dia sungguh-sungguh lihay. Jika seorang ahli silat biasa kena totokan itu, sudah pasti kedua
tangannya tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi ia hanya merasa kesemutan dan dengan
sekali menjambret, ia berhasil merampas Poan koan pit yang lalu dilontarkan kelaut.
Tapi serangan Coei San bukan tidak ada hasilnya. Totokan itu melonggarkan pelukan Cia
Soen. Nona in memberontak dan berhasil memerdekakan dirinya. Tapi hampir berbareng,
sambil mengbantam leher Coei San dengan telapak tangan kirinya, Cia Soen coba
menyengkeram badan sinona dengan tangan kanan. Dengan satu suara "bret!" kulit biruang
yang menyelimuti badan So So, menjadi robek. Coei Saa tahu, bahwa jika ia melompat
mundur, kecintaannya pasti akan tertangkap lagi. Maka itu sambil mengerahkan seantero
Lwee kangnya, ia menyambut tangan lawan dengan pukulan Bian ciang.
Begitu lekas kedua tangan kebentrok, ia merasa tangannya diisap dengan semacam tenaga
yang
dahsyat luar biasa, sehingga tidak dapat dilepaskan lagi. Ia tidak dapat berbuat lain dari pada
mengempos semangat untuk coba melawan. Tiba tiba ia merasakan menyerangnya semacam
hawa yang sangat panas dari tangan lawan sehingga pikirannya kalang-kabut dan kepalanya
pusing.
Inilah untuk ketiga kalinya Coei San mengadu tenaga dengan Cia Soen. Dalam dua
pertandingan yang lebih dulu, ia belum pernah mengalami serangan yang seaneh itu.
Dilain detik, dengan satu tangannya terus menempel pada tangan pemuda itu, Cia Soen
miringkan badannya dan coba menjambret si nona. Dengan cepat nona In melompat
kebelakang. Selagi tubuhnya masih berada ditengah udara. tiba-tiba Cia Soen menendang es,
sehingga beberapa keping terbang dan mengenakan lutut kanan si nona, yang sambil
mengeluarkan teriakan kesakitan, rubuh terguling. Hampir berbareng, Cia Soen mengebas
tangannya yang menempel dengan tangan Coei San, sehingga pemuda itu terlempar beberapa
tombak jauhnya dan jatuh dipinggir gunung es, ia terpeleset dan tergelincir kedalam air.
"Celaka !" Coei San mengeluarkan seruan tertahan. Tapi berkat kepandaiannya yang sudah
mencapai taraf sangat tinggi dalam keadaan yang sangat berbahaya, ia masih keburu
mencabut Gin kauw dari pinggangnya yang lalu digunakan untuk menotok es, dan dengan
meminjam tenaga , badannya kembali melesat keatas.
Selagi kedua kakinya hinggap diatas es, hatinya berdebar-debar, karena ia merasa pasti,
bahwa So So akan jatuh lagi kedalam tangannya orang edan itu.
Tapi diluar dugaan dibawah sinar rembulan, ia lihat Cia Soen sedang menekap kedua matanya
dengan tangan sambil mengeluarkan suara kesakitan, sedang So So sendiri menggeletak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 209
diatas es. Buru buru Coei San membangunkannya. Sambil memeluk leher pemuda itu, si nona
berbisik : "Aku.... aku telah lukakan matanya."
Mendadak, sambil mengaum bagaikan harimau, Cia Soen menubruk, tapi untung juga, sambil
memeluk kecintaanaya dan dengan bergulingan Coei San dapat menyelamatkan diri. Tiba-tiba
terdengar beberapa kali suara keras dan kedua tangan Cia Soen kelihatan amblas didalam es
yang beratnya seratus kati lebih. Ia berdiri diam sambil memasang kuping untuk mendengar
dimana adanya kedua orang muda itu, Coei San dan So So mengerti apa artinya itu, perlahanlahan
menyenubunyikan diri didalam sebuah lubang yang terdapat di gunung es itu dan
mengawasi si orang edan sambil menghela napas. Melihat darah mengalir dari kedua mata
Cia Soen, Coei San mengerti, bahwa pada saat berbahaya, So So sudah menimpuk dengan
jarum emasnya dan sekarang orang itu sudah menjadi buta.
Tapi, biarpun sudah tak dapat melihat, kuping orang kalap itu tajam luar biasa. Lama ia
berdiri bagaikan patung. Jika kedua orang muda itu mengeluarkaw suara sedikit saja, ia pasti
akan menyerang sehebat-betatnya
Untung juga suara gelombang, angin dan suara terbenturnya balokan balokan es pada gunung
es itu telah menutupi suara napas mereka. Andaikata mereka berada dalam sebuah kamar
tertutup diatas daratan sudah boleh dipastikan mereka tak akan terlolos dari tangan Cia Soen.
Sesudah memasang kuping beberapa lama tanpa berhasil, dalam kegusaran, kesakitan dan
ketakutan, Cia Soen kalap lagi. Sambil berteriak-teriak, ia memukul-mukul dan menendangnendang,
sambil menimpuk kian kemari dengan potongan-potongan es. Dengan paras muka
pucat, Coei San dan So So saling peluk dalam lubang itu. Mereka yakin, sepotong es saja
sudah cukup untuk mengambil jiwa mereka.
Cia Soen mengamuk kurang lebih setengah jam, tapi kedua orang muda itu merasakan seperti
juga setengah tahun. Beberapa saat kemudian, ia berhenti dan mendadak berkata dengan suara
lemah lembut: "Thio Siangkong, In Kauw Nio, barusan aku kalap dan telah melakukan gilagila.
Kuharap kalian sudi memaafkan"
Sudah berkata begitu. ia duduk untuk menunggu jawaban.
Thio Coei San adalah seorang yang mulia dan murah hati, tapi iapun seorang pintar yang
sangat hati-hati, sehingga tidak gampang diakali orang. Nona In yang licin dan banyak
akalnya, lebih-lebih sukar diabui. Mereka tidak meladeni perkataan Cia Soen dan tetap
berwaspada sambil bernapas pelan-pelan. Sesudah mengulangi perkataannya beberapa kali,
Cia Soen menghela napas panjang seraya berkata: "Jika kalian tak sudi memberi maaf,
akupun tidak bisa memaksa lagi," Sehabis berkata begitu, ia menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba dalam otak Coei San berkelebat satu peringatan. Ia ingat, bahwa sebelum
mengeluarkan jaritannya yang dahsyat dipulau Ong poan San, Cia Soen telah menarik napas
seperti itu. Hatinya mencelos, menyumbat kuping sudah tidak keburu lagi. Dengan cepat ia
membetot tangan sinona dan melompat kedalam air.
Sebelum si nona mengerti maksudnya, Cia Soen sudah mengeluarkan teriakannya yang
dahsyat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu membetot pula tangan kecintaannya
dan mereka menyelam kedalam air.
Dengan Gin kauw yang dicekel di tangan kiri, Coei San menggaet pinggiran gunung es,
sedang tangan kanannya memegang tangan nona In.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 210
Tapi, biarpun kepala berada dibawah permukaan
air, kuping mereka masih mendengar juga teriakan-teriakan yang hebat luar biasa. Gunung es
terus maju keutara. Diam-diam Coei San bersyukur, bahwa yang dilemparkan Cia Soen
adalab Poan koan pit, sehingga ia masih dapat menggunakan Gin Kauw untuk menggaet
gunung es itu. Andaikata ia kehilangan Gin Kauw, maka meskipun dapat menyelamatkan diri
dari teriakan Cia Soen, mereka pasti akan mati didalam air, sebab ditinggalkan gunung es itu
yang terus bergerak maju.
Sesudah lewat. beberapa lama, mereka menim but dipermukaan air untuk menyedot hawa
udara yang segar. Cia Soen pun sudah berhenti berteriak.
Teriakan-teriakan itu rupanya telah meminta banyak tenaga dan dengan letih, ia bersila diatas
es sambil menjalankan pernapasannya. Coei San lantas saja menarik tangan So So dan pelan
pelan mereka merayap naik keatas.
Sesudah duduk ditempat agak jauh dari Cia Soen, mereka mencabut bulu biruang untuk
menyumbat kuping.
Mereka mengerti, bahwa setiap detik mereka menghadapi bahaya besar.
Matahari belum juga menyelam karena mereka sudah berada didaerah kutub, dimana siang
dan malam berbeda jauh dengan lain bagian bumi.
Beberapa saat kemudian, So So yang basah kuyup tak dapat mempertahankan dirinya lagi.
Badannya bergemetaran dan giginya bercakrukan.
Tentu saja suara itu segera terdengar Cia Soen, yang sambil membentak keras, lalu
menghantam dengan Long gee pang. Buru-buru mereka menyingkirkan diri. Dengan satu
suara nyaring luar biasa, gunung es itu somplak dan tujuh delapan balokan es jatuh kedalam
laut.
Sesudah gagal dengan pukulannya yang pertama, Cia Soen segera memutar senjatanya
bagaikan titiran. Begitu diputar, senjata itu yang panjangnya setombak lebih segera
mengeluarkan tenaga mendorong yang sangat hebat dalam jarak tujuh delapan tombak.
Coei San dan So So terpaksa mundur terus dan dalam sekejap mereka sudah berdiri di pinggir
gunung es.
Cia Soen teruı mendesak .....
"Bagaimana baiknya?" bisik si nona dengan suara parau.
Sekali lagi Coei San membetot tangan si nona dan mereka segera melompat pula kedalam air.
Selagi badan mereka masih berada ditengah udara, terdengar suara nyaring dan beberapa
kepingan es menghantam punggung mereka yang dirasakan sakit sekali. Hampir berbareng
dengan jatuhnya mereka kedalam air, sebalok es, sebesar meja, jatuh didekat mereka. Dengan
cepat Coei San menjambretnya dan dilain saat, mereka sudah duduk diatas balokan es itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 211
Bagaikan seorang gila, Cia Soen menimpuk kalang kabut dengan potonngan-potongan es, tapi
sebab matanya buta dan balokan es yang diduduki kedua orang muda itu terus bergerak maju,
maka timpukannya meleset semua.
Karena balokan es itu banyak lebih kecil dari gunung es, maka jalannyapun banyak lebih
cepat, sehingga tak lama kemudian, Coei San dan So So sudah meninggalkan Cia Soen jauh
sekali. Tapi karena kecilnya, balokan es itu tak dapat menahan berat badan dari dua orang dan
sebagian tubuh mereka masuk kedalam air.
Untung juga, tak lama kemudian mereka bertemu dengan sebuah gunung es Cepat-cepat
mereka menggayu dengan menggunakan tangan untuk mendekati gunung es itu dan kemudian
merapat naik keatasnya.
"Langit tidak memutuskan jalanan orang, tapi langit telah memberikan sangat banyak
penderitaan kepada kita," kata Coei San sambil tertawa getir. "So So bagaimana keadaanmu?"
"Sayang sungguh kita tidak membekal daging biruang," kata sinona. "Apa Gin Kauwmu
hilang?"
Dilain saat, mereka tertawa geli, karena mereka baru merasa, bahwa bulu biruang yang
digunakan untuk menyumbat kuping, belum dicabut, sehingga masing-masing tidak dapat
mendengar apa yang dikatakan oleh pihak lain.
"So So," kata Coei San sesudah mereka mencabut bulu biruang dari kuping mereka.
"Andaikata kita mesti mati kitapun tak akan berpisahan lagi."
"Ngoko," kata sinona dengan suara aleman. "Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan.
Kuharap kau akan menjawab dengan sejujurnya. Apakah kau akan tetap mencintai aku,
andaikata kita betada didaratan, tanpa mengalami penderitaan yang hebat ini ?"
Coei San tertegun. Beberapa saat kemudian, barulah ia dapat menjawab: "Aku rasa, kita tidak
akan bisa bersahabat begitu cepat. Juga .... juga .... kita pasti akan mendapat banyak rintangan.
kita barasal dari lain partai...."
So So manghela napas, "Akupun berpendapat begitu," katanya. "Itulah sebabnya, mengapa
pada waktu kau bertanding pertama kali dengan Cia Soen, aku sudah tidak mau melepaskan
jarum emas, biarpun didesak berulang-ulang olehmu."
"Ya, tapi mengapa begitu?" tanya Coei San dengan rasa heran, "Aku semula menduga, bahwa
kau menolak untuk melepaskan jarum, karena kuatir melukakan aku yang waktu itu sedang
bertanding ditempat gelap."
"Bukan, bukan begitu," bisik sinona. "Kalau waktu itu aku melukakan dia dan kita dapat
kembali kedaratan, kau tentu akan meninggalkan aku!"
Coei San kaget mendengar pengakuan. itu. "So So!" serunya.
"Mungkin kau akan gusar," kata sinona. "Tapi tujuanku yang satu-satunya adalah supaya
tidak berpisahan dengan kau. Keinginan Cia Soen supaya kita mengawaninya dipulau yang
terpencil, cocok sekali dengan keinginanku,"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 212
Bukan main rasa terima kasihnya Coei San. Ia tak pernah menduga, bahwa rasa cinta sinona
adalah demikian besar. "So So, sedikitpun aku tidak gusar," bisiknya.
Nona In dongak mengawasi pemuda itu dan berkata pula dengan suara lemah lembut: "Langit
telah mengirim aku keneraka dingin ini, tapi sebaliknya daripada penasaran aku merasa
beruntung sekali. Aku mengharap kita jangan kembali keselatan untuk selama-lamanya. Hm
... Jika kita pulang ke Tiong goan gurumu tentu akan membenci aku, sedang ayah mungkin
sekali akan membunuh kau ..."
"Ayahmu ?" menegas Coei San.
"Ya, ayah adalah Peh bie Eng ong In Thian Ceng," jawabnya. "Ia adalah pendiri dan
pemimpin Peh bie kauw."
"Oh, begitu ?" kata Coei San. "So So, kau tak usah takut. Aku pasti akan tetap berada bersama
sama kau. Aku yakin, biarpun ayahmu ganas, ia tentu tidak akan membunuh puteri dan
mantunya sendiri."
Mendengar perkataan itu, paras si nona bersinar terang, sedang mukanya bersemu dadu. "Apa
kau bicara setulus hati?" tanyanya.
"So So, biarkan sekarang saja kita terangkap
menjadi suami isteri," kata Coei San.
Mereka lantas saja berlutut dengan berendeng diatas es dan Coei San berkata dengan suara
nyaring : "Raja Langit menjadi aksinya, bahwa hari ini tee coe Thio Coei San terangkap jodoh
menjadi suami isteri dengan In So So. Biarlah senang dan susah bersama-sama dan cinta
mencinta selama-lamanya!"
Jilid 11_______________
Sesudah Coei San si nonapun berdoa perlahan: "Aku mohon supaya Langit melindungi kami
berdua, supaya dari satu ke lain penitisan kami bisa terus menerus menjadi suami isteri." Ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Andaikata dibelakang hari kami bisa kembali di
Tiong goan, tee coe akan mencuci hati dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dulu. Tee
coe akan bertobat dan bersama-sama suamiku, tee coe akan berusaha untuk melakukan
perbuatan-perbuatan balk. Tee coe tak akan membunuh manusia lagi secara sembarangan.
Jika tee coe melanggar sumpah ini, biarlah Langit dan manusia menghukum tee coe."
Coei San girang tak kepalang. Ia tak pernah menduga, bahwa tanpa diminta, sang isteri telah
bertobat dan bersumpah untuk menjadi manusia balk. Sesudah selesai dengan upacara
pernikahan itu, sambil saling mencekal tangan dan duduk berendeng diatas es. Pakaian
mereka basah dan hawa dingin menyerang dengan hebat. Akan tetapi, hati mereka hangat
bagaikan hangatnya muslin semi yang penuh kebahagiaan dan keindahan.
Lewat beberapa lama, baru mereka ingat, bahwa sudah sehari suntuk, perut mereka belum
ditangsal. Kedua senjata Coei San sudah hilang dilaut, tapi So So masih mempunyai pedang
yang tergantung dipinggangnya. Coei San lalu menghunus pedang isterinya, membungkus
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 213
ujung pedang dengan kulit biruang dan kemudian, sambil mengerahkan Lwee kang sampai di
jeriji tangan, ia menekuknya sehingga ujung pedang itu menjadi bengkok seperti gaetan. Tak
lama kemudian, dengan menggunakan gaetan itu, ia berhasil menangkap seekor ikan yang
cukup besar. Ikan diwilayah Kutub Utara gemuk dan banyak minyaknya, sehingga biarpun
baunya sangat amis dapat menambahkan tenaga dan menghangatkan badan.
Demikianlah siang malam, gunung es itu terapung-apung kejurusan utara, Mereka mengerti,
bahwa kemungkinin pulang ke Tionggoan hampir tidak ada, tapi hati mereka tenang dan
damai. Ketika itu, siang sudah berubah sangat panjang, sedang malam sangat pendek dan
mereka tak dapat mengbitung hari lagi. Pada suatu hari, mendadak mereka lihat mengepulnya
asap hitam disebelah utara. So So yang melihat lebih dulu, mencelos hatinya dan paras
mukanya berubah pucat. "Ngo ko!" teriaknya sambil, menuding asap hitam itu.
"Apa disitu terdapat manusia?" tanya sang suami dengan rasa kaget tercampur girang. Tapi
biarpun sudah tertampak dalam pandangan mata, tempat mana asap itu keluar masih terpisah
jauh sekali, Sesudah lewat lagi satu hari, asap itu jadi makin besar dan makin tinggi
kelihatannya dan diantara asap terlihat sinar api.
"Siapa itu?" tanya So So.
Sang suami tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Ngoko, ajal kita sudah hampir tiba," kata si isteri dengan suara gemetar. "Itu pintu nereka."
Coei San terkejut, tapi ia segera membujuk: "Mungkin juga disana ada manusia yang sedang
membakar hutan."
"Kalau membakar hutan, bagaimana asap dan apinya begitu tinggi?" tanya sang isteri.
"So So, sesudah tiba disini, biarlah kita menyerahkan segala apa kepada Langit," kata Coej
San. "Kalau Langit tidak mau kita mati kedinginan dan ingin kita mati terbakar, biarlah kita
menerima nasib."
Dengan perlahan tapi tentu, gunung es itu terus menuju kearah asap dan api. Coei San dan So
So yang tidak mengerti sebab musababnya, merasa sangat heran dan mereka hanya
menganggap, bahwa apa yang bakal terjadi, baik kecelakaan maupun keselamatan, adalah
takdir.
Apa yang dilihat mereka sebenarnya adalah sebuah gunung berapi yang bekerja, sehingga
sebagai akibat, air laut diseputar gunung itu menjadi hangat dan air yang hangat mengalir
kejurusan selatan. Dengan demikian, secara wajar, air yarg dingin atau es terbetot kearah
utara.
Sebagaimana diketahui, angin dan gelombang yang saling terjadi ditengah lautan adalah
karena perbedaan antara air dingin dan panas dalam hawa dan air.
Sesudah terapung-apung lagi sehari semalam, gunung es itu tiba dikaki gunung.
Ternyata gunung berapi itu berada diatas sebuah pulau yang sangat besar. Disebelah barat
terdapat sebuah puncak dengan batu yang bentuk dan macamnya sangat aneh. Selama
berkelana di daerah Tionggoan, Coei San sudah kenyang mendaki gunung-gunung yang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 214
kenamaan, akan tetapi, belum pernah ia melihat puncak yang begitu luar biasa. Ia mengawasi
itu semua dengan mata membelalak dan kegirangan meluap-luap didalam hatinya. Ia tak tahu
bahwa puncak itu adalah tumpukan lahar yang disemprotkan gunung berapi selama ratusan
atau ribuan tahun. Disebelah timur terdapat tanah datar yang sangat luas. Tanah datar itupun
muncul disitu karena bekerjanya gunung berapi. Abu yang disemprotkan oleh gunung itu
jatuh ke dalam laut dan lama-lama, mungkin dalam tempo ribuan tahun, air laut teruruk dan
muncullah tanah datar yang sangat luas.
Biarpun tempat itu sudah mendekati Kutub Utara, tapi karena gunung berapi masih bekerja,
maka hawa dipulauitu menyerupai hawa digunung Tiang pek san atau daerah Hek Liong
kang. Dipuncak-puncak yang tinggi terlihat salju, tapi ditempat yang rendah, pohon-pohon
menghijau, pohon siong, pek dan lain-lain yang tidak terdapat diwilayah Tionggoan.
Sesudah memandang beberapa lama dengan mata tidak berkesip, tiba-tiba So So melompat
dan memeluk suaminya. "Ngoko ! Kita sudah tiba ditempat dewa !" bisiknya dengan suara
serak.
Kegirangan Coei San pun sukar dilukiskan. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata dan hanya
balas memeluk isterinya yang tercinta.
Lama mereka saling peluk dengan disaksikan oloh sejumlah menjangan yang sedang makan
rumput dengan tenang diatas pulau itu. Kecuali asap api yang agak menakuti, segala apa yang
tertampak disitu adalah tenang, damai dan indah.
Mandadak terdengar teriakan So So: "Celaka ! Kita tak dapat mendarat!" Ternyata gunung es
itu, yang terpukul dengan air yang hangat, mulai bergerak meninggalkan pulau.
Coei San pun tidak kurang kagetnya. Buru-buru
mengerahkan Lweekang dan menghantam es yang lantas saja somplak sebesar balok. Sesudah
itu, sambil memeluk balokan es itu, mereka melompat kedalam air dan dengan menggunakan
tangan dan kaki sebagai penggayu, mereka akhir nya mendarat dipulau itu.
Melihat kedatangen manusia, manjangan-menjangan yang sedang makan rumput mendongak
dan mengasi, tapi mereka tidak memperlihatkan rasa takut sedikit jua. Perlahan lahan So So
mendekati, menepuk-nepuk punggung salah seekur. "Kalau disini terdapat juga beberapa ekor
burung ho, aku pasti akan mengatakan, bahwa tempat ini adalah tempatnya dewa Lam kek
Sian ong," katanya seraya tertawa.
Karena letih, mereka segera merebahkan diri diatas lapangan rumput dan pulas nyenyak untuk
beherapa jam lamanya. Waktu tersadar, matahari masih belum menyelam. "Sekarang mari
kita menyelidiki pulau ini untuk mendapat tahu apa ada manusia atau binatang buas," kata
sang suami.
"Aku rasa tak mungkin ada binatang buas," kata So So.
"Lihat saja menjangan-menjangan itu yang hidup damai dan tenteram."
So So adalah seorang wanita yang sangat memperhatikan dandanannya. Biarpun menghadapi
bahaya diatas gunung es, ia tetap berpakaian rapi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 215
Sekarang sudah berada diatas bumi, begitu tersadar, ia membereskan pakaian dan rambutnya
dan kemudian membantu sang suami menyisir rambut. Sesudah itu, harulah mereka berangkat
untuk menyelidiki pulau tersebut.
Untuk menghadapi segala kemungkinan, So So mencekal pedangnya yang sudah bengkok,
sedang Coei San sendiri lalu mematahkan cabang pohon untuk dijadikan semacam tongkat.
Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka berlari-lari dari selatan keutara
yang panjangnya lebib dari duapuluh lie. Apa yang dilihat mereka di sepanjang jalan, selain
pohon pohon yang tinggi kate, adalah binatang kecil, burung dan pohon-pohon bunga yang
kebanyakan tidak dikenal mereka.
Belakangan, sesudah melewati hutan besar, dari
jauh mereka lihat sebuah gunung batu dan dikaki gunung itu terdapat sebuah guha. "Ah!
Sungguh bagus tempat ini !" teriak sang isteri sambi1 lari-lari.
"Hati hati!" teriak Coei San.
Belum rapat mulutnya, dari dalam guha mendadak berkelebat satu bayangan dan seekor
biruang putih yang sangat besar menerjang keluar. Biruang itu yang panjang bulunya seolaholah
seekor kerbau.
Dengan kaget So So melompat mundur. Biruang itu berdiri diatas kedua kakinya seperti
manusia dan menghantam kepala So So dengan satu telapak kakinya. Nyonya itu menyambut
dengan sabetan pedang, tapi apa mau, karena pedang bengkok itu sudah jadi lebih pendek,
sabetannya meleset. Baru saja ia mau membabat lagi, binatang itu sudah menubruk dan
menghantam senjatanya yang lantas saja jatuh diatas tanah.
"So So, mundur!" teriak Coei San seraya melompat dan menotok lutut biruang itu dengan
tongkatnya. Cabang kayu itu patah, tapi tulang kaki binatang itu hancur dan dia mengeluarkan
jeritan hebat dan menyeramkan.
Buru-buru So So menjemput pedangnya untuk memberi bantuan.
"Lekas lontarkan pedarg itu keudara!" teriak Coei San. Sang isteri terkejut, tapi ia nenurut apa
yang diperintahkan suaminya.
Dengan menotol tanah dengan kakinya, Coei San melompat tinggi dengan menggunakan ilmu
Tee in ciong dan sekali menjambret, ia menangkap pedang itu. Dengan tangan kiri mencekal
tongkat pendek, ia sekarang seperti juga ber senjatakan Gin kauw dan Poan kian pit. Ia
mengangkat tangan kanannya dan menyabet dari atas kebawah dengan gerakan huruf "Hong"
(tajam). Pukulan tersebut diberikutkan dengan Lweekang yang sangat dahsyat dan tongkat
pendek itu amblas tujuh delapan dim dikepala binatang itu yang sesudah ngamuk dan
menggeram hebat, lantas saja rubuh tanpa berkutik lagi.
So So menepuk-nepuk tangan sambil tertawa. "Indah sekali ilmu ringan badan itu!" teriaknya.
"Hebat sungguh totokan itu!"
Tapi, baru babis ia berteriak begitu tiba-tiha Coei San berseru : "Awas! Lari!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 216
Mendengar teriakan suaminya dengan cepat ia melompat kedepan. Begitu menengok
kebelakang, ia terkesiap karena dibelakangnya sudah berbaris tujuh ekor biruang putih yang
memperlihatkan sikap menakutkan.
Coei San mengerti. bahwa mereka berdua tak akan dapat melawan tujuh binatang buas itu.
"Lari !" bisiknya dan mereka lantas saja kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan.
Meskipun badannya besar, binatang-binatang itu bisa lari cepat sekali, tapi kecepatan mereka
masih kalah dengan ilmu ringan badan Coei San dan So So, sehingga sesudah mengubar
beberapa lama, mereka ketinggalan agak jauh. Tapi mereka terus mengejar dari belakang.
"Jalan satu-satunya lari ke air," kata Coei San "Apa biruang tidak bisa berenang?" tanyanya.
"Entahlah," jawab So So sambil menggelengkan kepala.
"Harap saja mereka tidak bisa berenang."
Sambil bicara mereka lari terus secepat-cepat nya.
"Celaka!" mendadak So So mengeluh.
"Mengapa ?" tanya Coei San.
"Apa kau tahu apa makanan biruang putih?" sang isteri balas menanya. "Menurut katanya
seorang jurumudi. biruang makan madu tawon dan ikan."
"Makan ikan" menegas Coei San sambil menghentikan tindakannya. "Kalau benar binatang
itu makan ikan, mereka pasti bisa berenang."
Sebelum mereka dapat berdamai terlebih jauh,
sekonyong konyong So So berteriak: "Ih! Mengapa mereka berada didepan kita ?"
Dengan hati berdebar-debar mereka mengawasi enam ekor biruang yang mendatangi dari
sebelah depan.
"Bukan. Mereka bukan biruang yang tadi," kata Coei San. "Kita sekarang dicegat dari depan
dan dari belakang," Sehabis berkata begitu, buru burn ia melompat keatas satu pohon siong
yang sangat besar .
Sesudah berada diatas, ia menggaetkan kedua kakinya dicabang pohon, sehingga badannya
menggelantung kebawah dan kedua tangannya menyambut-tangan sang isteri yang turut
melompat keatas. "Aku harap saja mereka tak dapat memanjat pohon," kata So So sesudah
mereka duduk disatu cabang.
"Biarpun mereka, bisa manjat kita tak usah kuatir," kata sang suami. "Maju satu, kita
binasakan satu. Asal saja tidak dikurung, kita masih dapat melayani."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 217
Sesaat kemudian, enam ekor biruang yang datang dari depan dan tujuh ekor dari belakang
sudah berkumpul dibawah pohon. Mereka mendongak dan menggeram hebat sambil
memperlihat gigi mereka.
Coei San mematahkan sebatang cabang kecil yang lain digunakan untuk menimpuk mata
seekor biruang.
Timpukan itu mengenakan tepat pada sasarannya dan sambil menggeram serta me lompatlompat
bahna sakitnya, binatang itu menyeruduk pangkal pohon dengan kepalanya. Melihat
hasil pertama, Coei San segera mengulangi perbuatannya. Tapi kawanan binatang itu ternyata
pintar sekali dan mereka semua menundukkan kepala dan mulai mengeragoti pohon. Oleh
karena begitu, Coei San hanya dapat menimpuk punggung mereka yang kulitnya tebal,
sehingga serangan itu tidak dirasakan sama sekali. Tak lama kemudian, pangkal pohon itu
sudah somplak sebagian dan jika di dorong beramai-ramai, sudah pasti akan roboh.
Coei San menghela napas. "Aku tak nyana, sesudah berhasil menyelamatkan diri dari lautan,
kita bakal jadi makanan kawanan biruang," katanya.
Dengan jantung memukul keras, So So mengawasi satu pohon siong yang terpisah kira-kira
tujuh delapan tombak. "Ngoko," bisiknya. "Dengan ilmu mengentengkan badan, sekali lompat
kau bisa turun kebawah dan dengan sekali lompat lagi, kau bisa naik kepohon itu."
Sang suamipun sudah lihat kemungkinan itu. Memang, kalau seorang diri, ia dapat berbuat
begitu. Tapi dengan membawa isterinya, mereka tentu akan tercegat ditengah jalan. Maka itu
sambil menggeleagkan kepala, ia berkata: "Tidak dapat. Tak dapat aku berbuat begitu."
"Ngoko, tak usah kau pikiri aku," kata pula sang istiri. "Tidak perlu kita mati berdua-dua."
"Kita sudah bersumpah, bahwa Langit diatas bumi dibawah, kita tak akan berpisahan untuk
selama-lamanya." jawab sang suami. "Mana dapat aku meninggalkan kau dengan begitu saja
?"
Bukan main rasa terharunya nyonya itu, sehingga air matanya lantas saja berlinang-linang. Ia
ingin coba membujuk lagi, tapi mu!utnya seearti terkancing.
Sesaat itu, tiba-tiba pohon bergoyang-goyang, karena didesak dengan berbareng oleh
kawanan biruang itu.
Hati So So mencelos, sehingga tanpa merasa, ia mengeluarkan teriakan perlanan. Ia tahu.
beberapa detik lagi, pohon itu pasti akan rubuh.
Pada saat yarg sangat berbahaya, disebelah kejauhan sekonyong konyong terdengar suara
yang sangat tajam. Suara itu tidak begitu keras, tapi aneh sekali, seperti bunyi burung malam,
seperti bunyi khim, seperti angin meniup daun bambu dan seperti bunyi genta.
Begitu mendengar suara itu, ketigabelas biruang berhenti serentak dalam usahanya untuk
merubuhkan pohon dan berdiri diam sambil memasang kuping. Dari sikap mereka, seolah
olah suara itu adalah suara yarg paling menakuti didalam dunia. Apa yang paling
mengherankan lagi, sesaat kemudian, seekor demi seekor menundukkan kepala dan
mendekam diatas tanah tanpa bergerak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 218
Walaupun tak tahu apa artinya itu, Coei San dan So So girang tak kepalang dan harapan besar
muncul dalam hati mereka. "Tolong! Tolong!" jerit So So. "Tolong....! Biruang mau
mencelakakan manusia."
Jeritan itu disambut dengan suara yang tadi, yang mendatangi dengan kecepatan luar biasa,
lebih cepat dari terbangnya burung.
Sesaat kemudian, didepan mereka berkelebat satu bayangan merah, seolah-olah sebuah bola
api yang menyambar dari satu pohon disebelah depan dan kemudian hinggap didahan pohon
dimana Coei San dan So So sedang menyembunyikan diri.
Sekarang baru mereka bisa melihat nyata. Yang hinggap didahan itu adalah seekor kera yang
bulu nya merah, tingginya kira-kira tiga kaki, mukanya putih seperti batu giok, sedang kedua
matanya yang berkilat-kilat mengeluarkan sinar keemas emasan.
Bahwa binatang yang datang kesitu adalah seekor
kera yang begitu menarik, tidak diduga-duga mereka. Waktu berteriak untuk meminta
pertolongan, So So menaksir, bahwa binatang yang mengeluarkan suara begitu adalah
binatang buas yang sangat menakuti.
Tapi karena sedang menghadapi bahaya besar, mau tidak mau, ia berteriak juga. Maka itu,
dengan kegirangan yang meluap-luap, ia segera mengangsurkan tangannya kearah kera itu.
Biarpun belum pernah melihat manusia kera itu ternyata pintar luar biasa. Ia rupanya mengerti
maksud persahabatan itu dan segera mengulur satu tangannya dan menyentuh tangan si
nyonya. Sambil menuding kawanan biruang itu, So So ber kata: "Mereka mau mencelakakan
kami. Apa kau dapat menolong?"
Melihat gerakan So So, seraya memekik kera itu melompat turun dan menghampiri salah
seekor biruang. Dengan sekali menggerakkaa tangan, jari-jarinya amblas kedalam kepala
biruang itu dan dilain saat, tangannya sudah memegang otak biruang. Ia melompat naik pula
dan dengan sikap hormat, mengangsurkan otak biruang itu kepada So So.
Coei San dan isterinya kaget bakan main. tenaga binatang yang sehebat itu sungguh-sungguh
belum pernah didengar mereka. So So sebenarnya tidak sanggup menelan otak mentah itu.
Tapi sebab tidak mau membangkitkan kegusaran tuan penolong itu, dengan apa boleh buat, ia
menyambutinya. Ia menggigit sebagian otak itu, dan menyerahkan sisanya kepada Coei San.
Diluar dugaan, otak biruang itu lezat luar biasa, lebih enak dari makanan apapun jua yang
pernah dimakannya. Sambil bersenyum, ia lalu mengambilnva kembali dari tangan suaminya
dan menghabis kan semuanya.
"Terima kasih, terima kasih," katanya sambil memanggut-manggutkan kepala.
Dilain saat kera itu sudah melompat turun lagi dan mengambil pula dua otak biruang yang
lalu dimakannya. Sungguh mengherankan, kawanan biruang itu bukan saja tidak berani
melawan, tapi juga tidak berani lari Mereka terus mendekam diatas tanah, seperti orang yang
sedang menerima hukuman.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 219
So So tertawa nyaring. "mampuskan semua biruang itu," katanya. "Kalau kau tidak keburu
datang, kami berdua tentu sudah masuk kedalam perut mereka." Sambil memekik kera itu
melompat turun lagi dan dalam sekejap ia sudah membinasakan semua biruang itu.
Coei San dan So so lantas saja turut melompat turun. Melihat tiga belas bangkai binatang itu,
Coei San merasa tidak tega dan ia berkata dengan suara menyesal: "Sebenarnya tak usah
membinasakan mereka semua. Cukup jika mereka diusir pergi."
Mendengar perkataan suaminya, So So yang sedang mencekal lengan si kera agak terkejut.
"Ngoko tentu mencela aku," katanya didalam hati. "Ya... aku harus berusaha untuk mengubah
adatku yang kejam." Tapi biarpun hatinya menyesal, ia tertawa seraya berkata: "Hm. . .
sekarang Ngoko merasa kasihan terhadap biatang-binatang buas itu. Kalau saudara kera tidak
datang menolong, apakah biruang-biruang itu akan menaruh belas kasihan terhadap kita?"
"Kalau kita sama kejamnya seperti binatang, bukankah kita tiada beda seperti binatang?" kata
sang suami.
"Binatangpun ada juga yang baik," kata So So sambil tertawa. "Lihatlah saudara kera ini.
Kepandaiannya lebih tirggi dan rupanya lebih tampan daripada kau."
Coei San tertawa terbahak-bahak. "Ai ya?" seru nya. "Kau membuat aku cemburu."
Sesudah terlolos dari lubang jarum. mereka bergembira sekali dan beromong-omong dengan
tertawa-tawa. Kera merah itupun tidak kurang gembiranya dan dia melompat-lompat kian
kemari.
"Kawanan biruang itu mungkin mempunyai anak, coba kita tengok," kata Coei San.
Dengan So So menutun kera, mereka lalu masuk kedalam guha. Sesudah berjalan-jalan kirakira
sembilan tombak, ditengah-tengah guha itu terbuka sebuah lubang, sehingga sinar terang
menyorot masuk kedalam. Hanya sayang, guha yang sebenar nya sangat nyaman itu berbau
busuk sebab penuh dengan kotoran dan air kencing biruang. "Kalau tidak berbau busuk,
tempat ini cocok sekali untuk menjadi tempat meneduh kita," kata So So sambil menekap
hidung.
"Kita dapat mernbersihkannya," kata sang suami.
"Sesudah lewat sepuluh hari atau paling lama setengah bulan, kurasa bau itu akan hilang
sendirinya"
So So mengawasi Coei San dengan hati girang tercampur duka, karena ia ingat, babwa mulai
hari itu, ia akan berdiam dipulau tersebut bersama sama Coei San untuk selama-lamanya.
Sementara itu, Coei San sudah mematahkan cabang-cabang poloh yang lalu dibuat menjadi
sebuah sapu. Dengan dibantu oleh isterinya, ia lalu menyapu kotoran biruang. Dengan
gembira sikera coba membantu, tapi biarpun pintar, kera tetap kera dan sebaliknya daripada
membantu, ia mengacau pekerjaan orang. Karena mengingat budinya, Coei San dan So So
membiarkan ia mengunjuk kenakalannya. Sesudah bekerja berat, guha itu akhirnya bersih,
tapi bau busuknya belum mau menghilang juga.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 220
"Alangkah baiknya jika kita dapat mencuci dengan air," kata So So. "Hanya sayang kita tak
punya tahang."
Sesudah memikir sejenak, Coei San berkata: "Ada jalan," Buru-buru ia mendaki gunung dan
mengambil beberapa balok es yang lalu ditaruh dibatu-batu yang agak tinggi dalam guha itu.
"Ngoko, lihay sungguh otakmu!" memuji sang isteri sambil menepuk-nepuk tangan.
Tak lama kemudian, balokan es itu mulai melumer dan airnya mangalir kebawah, sehingga
guha itu seolah-olah disiram.
Sedang suaminya mencuci guha, dengan menggunakan pedang bengkok, So So memotong
daging biruang yang kemudian ditumpuk menjadi satu. Walaupun dipulau itu terdapat gunung
berapi tapi karena berada dalam wilayah Kutub Utara, maka hawanya masih sangat dingin.
Maka itu, sesudah diuruk dengan potongan-potongan es, daging itu rasanya tak akan rusak
dalam tempo lama.
Sesudah selesai bekerja, So So menghela napas seraya berkata: "Manusia selalu merasa tidak
puas. Jika sekarang kita dapat menyalakau api dan membakar telapak kaki biruang, kita akan
dapat mencicipi makanan yang sungguh luar biasa."
(Telapak kaki biruang semenjak jaman purba sudah diakui sebagai salah satu makanan yang
paling enak).
"Api ada, hanya terlalu besar," kata Coei San sambil mengawasi asap yang mengepul dari
gunung berapi. "Perlahan-lahan kita harus berdaya untuk mengambil api itu."
Malam itu mereka makan otak biruang dan tidur diatas pohon.
Pada esokan paginya, baru saja membuka mata, So So sudah berteriak : "Aduh! Wangi
sungguh !" Ia melompat turun dari pohon dan mendapat tahu, bahwa bau wangi itu darang
dari dalam guha.
Bersama suaminya, ia berlari-lari kedalam guha, dimana terdapat tumpukan-tumpukan bunga
yang tengah dilontarkan kian kemari oleh sikera sambil melompat-lompat, So So yang sangat
suka akan bunga jadi girang bukan main dan mengawasi lagak kera itu sambil menepuk
nepuk tangan.
Coei San. "Aku hendak bicarakan serupa soal
denganmu."
Melihat paras suaminya yang bersungguh-sungguh
ia agak terkejut. "Ada apa?" tanyanya.
"Aku ingin berdamai bagaimana kita bisa mendapatkan api." jawabnya,
"Ah, orang edan kau!" bentak stag isteri seraya tertawa . "Kukira ada urusan penting. Ambil
api!
Aku setuju. Lekas beritahukan rencanamu."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 221
"Dimulut gunung berapi, hawanya luar biasa panas dan kita tak akan dapat mendekatinya,"
menerangkan Coei San. "Maka itu menurut pendapatku, jalan satu-satunya ialah membuat
tambang yang panjang dari kulit pohon. kemudian menjemur tambang itu dan ....."
"Bagus!" memutus sang isteri. "Kemudian mengikat sebutir batu diujung tambang,
melontarkan tambang itu kemulut gunung barapi dan menariknya kembali sesudah ujung
tambang terbakar. Bukankah begitu maksudmu?"
Coei San mengangguk seraya memuji kepintaran isterinya.
Karena ingin sekali makan daging matang, tanpa menyia-nyiakan tempo lagi, mereka segera
bekerja. Selang dua hari, mereka sudah membuat tambang yang panjangnya seratus tombak
lebih dan yang lalu dijemur dibawah sinar matahari. Pada hari ke empat, dengan membawa
tambang itu, mereka lalu pergi ke gunung berapi.
Walaupun kelihatannya dekat, gunung itu terpisah empat puluh li lebih dari tempat mereka.
Makin dekat dengan gunung itu, hawa makin panas. Keringat mengucur dari tubuh mereka
dan diseputar itu tidak terdapat pohon-pohonan lagi. Apa yang mereka menemuinya hanyalah
batu-batu yang gundul.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, hawa panas jadi makin hebat. Melihnt muka isterinya
yang merah kepanasan, Coei Scan yang menggendong jadi tak merasa tega. "Kau tunggu
disini, biar aku saja yang pergi kesitu," katanya.
"Jangan rewel!" bentak sang isteri. "Kalau kau banyak bicara, aku tak akan meladeni lagi.
Paling banyak seumur hidup kita tidak mengenal api lagi, seumur hidup makan makanan
mentah."
Coei San besenyum dan mereka teuns mendaki gunung itu. Sesudah berjalan lagi kurang lebih
satu li, napas mereka tersengal-sengal dan hampir tak dapat bertahan lagi. Coei San memiliki
Lweekang yang sangat tinggi, tapi iapun merasa matanya ber kunang-kunang dan kupingnya
berbunyi. "Sudahlah," katanya. "Dari sini saja kita melontar kan tambang ini. Jika tidak
menyala. hem...kita..."
So So tertawa dan menyambungi: "Kita jadi suami isteri orang hutan..." Belum habis
perkataannya, badannya bergoyang-goyang dan ia pasti rubuh jika tidak buru-buru mencekal
pundak suaminya.
Dari atas tanah Coei San menjemput sebutir batu yang lalu diikatkan keujung tambang.
Sesudah itu, sambil berlari-lari dan mengerahkan Lweekang, ia melontarkan tambang dengan
sekuat tenaga.
Bagaikan seekor ular, tambang itu terbang di tengah udara, kemudian jatuh dipermukaan
bumi. Akan tetapi, sebab jarak dengan mulut gunung yang mengeluarkan api, masih terlalu
jaub, maka sesudah mereka menunggu beberapa lama, tambang itu belum juga menyala.
Sementara itu, mereka merasakan hawa panas semakin hebat, sehingga mata mereka seolaholah
mengeluarkan api. Coei San menghela napas seraya berkata: "Orang-orang dulu
membuat api dengan menggosok kayu atau memukul batu. Sudahlah! Menggunakan tambang
tidak berhasil. Biarlah kita cari lain jalan saja."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 222
Dengan rasa kecewa, So So manggutkan kepalanya.
Selagi ia mau memanggil sikera merah, yang selalu mengikuti kemanapun juga mereka pergi,
tiba-tiba ia lihat binatang itu menjemput sebutir batu dan dengan menyontoh cara Coei San,
dia berlari-lari, kemudian melontarkan batu itu. Dia gembira bukan main dan kelihatannya tak
takut akan hawa panas.
Melihat begitu, tiba tiba So So mendapat satu
pikiran. "E eh, kera itu kelihatannya tidak takut api." katanya didalam hati. Ia segera bersiul
dan
berkata: "Saudara kera, apakah kau dapat menolong untuk membawa ujung tambang ke api
dan menyalahkannya ?" Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat dengan tangannya.
Kera itu ternyata pintar luar biasa. Baru saja So So memberi isyarat dua tiga kali, ia sudah
mengerti apa maksudnya dan seraya berbunyi keras, dengan belasan kali lompatan saja, dia
sudah melalui seratus tombak lebih dan sesudah menjemput ujung tambang, dia berlari
kemulut gunung bagaikan kilat cepatnya.
Melihat begitu, Coei San dan So So merasa menyesal, karena mereka kuatir dia tercemplung
di dalam lubang api. "Kauw jie! Kauw jie!" teriak So So. "Balik! Hayo balik!"
Baru saja ia berteriak begitu, jauh-jauh terlihat mengepulnya asap diujung tambang yang
kemudian ditarik dengan cepat oleh si kera dan beberapa saat kemudian ujung tambang yang
menyala sudah berada dihadapan Coei San dan So So. Bukan main girangnya mereka, So So
melompat dsn memeluk binatang itu, sedang Coai San lalu mengambil cabang-cabang kayu
kering yang diikat menjadi satu sebagai semacam obor dan kemudian menyulutnya dengan
api ditambang itu.
Apa yang sangat mengherankan bagi mereka ialah, jangankan badannya sedangkan bulu si
kera sedikitpun tidak berubah.
Dengan hati gembira, kedua suami isteri itu segera kembali keguha biruang bersama-sama
sikera merah.
Mereka segera mengumpulkan cabang-cabang kayu dan rumput kering untuk membuat
sebuah perapian. Didalam dunia, dapat dikatakan semua binatang sangat takuti api. Tapi
sikera merah adalah lain dari yang lain.
Sambil mengeluarkan bunyi yang menggelikan dan dengan lagak nakal, ia bergulingan
beberapa kali diatas perapian yang berkobar-kobar.
Mendadak Coei San ingat apa yang pernah dituturkan oleh gurunya dan tanpa merasa, ia
mengeluarkan seruan "ah !"
"Ada apa ?" tanya sang isteri.
"Soehoe pernah memberitahukan aku, bahwa di dalam dunia hidup semacam tikus yang
dinamakan tikus api," jawabnya. "Tikus itu dapat masuk bedalam api tanpa terbakar bulunya
yang panjangnya satu dim lebih, dapat dibuat menjadi semacam kain yang diberi nama kain
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 223
asbes. Kalau kain itu kotor, cara mencucinya adalah memasukannya kedalam api dan begitu
dikeluarkan dari api, warnanya sudah putih kembali seperti sediakala. Menurut pendapatku,
kera itu tidak banyak berbeda dengan tikus yang dituturkan Soehoe."
So So tertawa. "Jika bulu Saudara Kauw jie rontok, aku akan membuat kain untukmu!" kata
nya. "Tapi paling sedikit kau harus berusia dua atau tiga ratus tahun."
Sesudah mempunyai api, segala apa beres, mereka masak air, memasak daging dan membuat
satu dua rupa masakan. Sedari perahu tenggelam, belum pernah mereka merasakan makanan
matang. Sekarang secara tidak diduga duga, mereka dapat makan telapak kaki biruang yang
kesohor lezat dan dapatlah dibayangkan kegembiraan mereka. Si kera merah yang tidak
makan lain daripada otak biruang, pergi kehutan untuk mencari buah-buahan.
Madam itu, sesudah makan kenyang, Coei San dan So So tidur didalam guha diantara bau
wangi dari berbagai macam bunga yang luar biasa.
Keesokan paginya, Coei San keluar dari guha dan dengan hati lapang ia memandang ketempat
jauh.
Tiba-tiba ia melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri tegak diatas batu cadas
dipinggir laut. Ia kaget bukan main, karena orang itu bukan lain dari pada Cia Soen! Sesudah
mengalami penderitaan yang sangat hebat, ia dan isterinya mendarat dipulau yang indah itu.
Tapi baru saja menikmati penghidupan bahagia dan tenteram beberapa hari, si memedi sudah
muncul lagi.
Dilain saat, ia lihat Cia Soen jalan mendatangi dengan badan bergoyang goyang. Ternyata,
sesudah matanya buta, ia tidak dapat menangkap ikan atau membunuh biruang, sehingga
sedari hari itu, ia tak pernah menangsal perut dan biarpun badannya kuat luar biasa, ia tak
dapat mempertahankan diri lagi.
Sesudah berjalan belasan tombak, badannya kelihatan bergemetar dan rubuh diatas tanah.
Buru-buru Coei San kembali keguha. Begitu melihat suaminya, So So bersenyum seraya
berkata: "Ngo .."
Ia tidak meneruskan perkataannya sebab melihat paras sang suami yang suram.
Sesudah berhadapan dengan isterinya, Coei San berkata dengan suara perlahan: "Si orang she
Cia ada disini!"
So So melompat bangun seperti orang dipagut ular. "Dia sudah lihat kau ?" bisiknya. Tapi
saat itu juga ia ingat, bahwa Cia Soen sudah buta dan hatinya jadi lebih tenang. "Ngoko, kau
tak usah takut," katanya pula. "Masakan kita berdua, ditambah lagi dengan Kauw jie, tidak
dapat melawan seorang buta?"
Coei San manggut-manggutkan kepalanya. "Dia rubuh pingsan karena kelaparan" katanya.
"Mari kita tengok," kata sang isteri sambil merobek ujung bajunya kemudian dirobek lagi jadi
empat potong kecil. Dua segera dimasukkan ke dalam kupingnya dan yang dua lagi
diserahkan kepada suaminya. Dengan tangan kanan mencekal pedang dan tangan kiri
menuntun si kera merah, ia segera mengikuti Coei San untuk menengok Cia Soen.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 224
Sesudah berada dekat, Coei San berteriak: "Cia Cianpwee. apa kau mau makan ?"
Dalam keadaan lupa ingat, Cia Soen mendengar teriakan itu dan pada paras mukanya lantas
saja terlukis sinar harapan. Tapi dilain saat, ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara Coei
San dan paras mukanya lantas saja berubah menyeramkan. Selang beberapa lama, barulah ia
mengangguk.
Coei San segera melontarkan sepotong daging seraya berteriak: "Sambutlah !"
Cia Soen bangun sambil menekan tanah dengan tangan kiri dan dengan pertolongan
kupingnya yang sangat tajam, dengan tangan lainnya ia menangkap daging itu yang lalu
dimakan perlahan-lahan.
Melihat seorang yang begitu gagah perkasa telah menjadi lemah dalam hati Coei San lantas
saja timbul perasaan kasihan. Tapi So So mempunyai pendapat lain. Ia sangat tidak mupakat
dengan tindakan suaminya yang sudah memberi makanan kepada Cia Soen.
"Hmm! Sesudah kuat, mungkin dia akan membinasakan kita berdua," katanya didalam hati.
Tapi karena sudah bersumpah untuk menjadi orang baik maka meskipun hatinya mendongkol,
ia menutup mulut.
Sesudah makan sepotong daging itu. Cia Son lantas saja pulas diatas tanah. Coei San segera
menyalakan sebuah perapian didekatnya untuk mengusir hawa dingin dan mengeringkan
pakaian Cia Soen yang basah kuyup. Sampai lohor barulan si buta sadar.
"Tempat apa ini?" tanyanya.
Melihat gerakan mulutnya, Coei San dan So So, yang menungguinya, segera mencabut satu
sumbatan kuping untuk mulai bicara, tapi mereka sangat berwaspada dan siap sedia untuk
menyumbat kuping jika terlihat gerakan yang luar biasa.
"Pulau ini adalah pulau yang tidak ada manusia." jawab Coei San.
Cia Soen mengeluarkan suara dihidung. Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata: "Katau
begitu kita tak akan bisa pulang."
"Hal itu lebib baik kita menyerahkan saja ke pada kebijaksanaan langit," kata pula Coei San.
Mendadak Cia Soen meluap darahnya dan bagaikan kalap ia mulai mencaci langit. Sesudah
kenyang memaki maki ia meraba-raba satu batu besar dan lalu duduk diatasnya. "Apa yang
kamu ingin berbuat terhadapku ?" tanyanya.
Coei San melirik isterinya yang segera memberi isyarat, bahwa ia menyerahkan keputusan
kepada sang suami. "Sesudah memikir sejenak, pemuda itu lalu berkata dengan suara nyaring:
"Cia Cianpwee, kami berdua suami isteri ..."
"Hm..... " Cia Soen memotong pembicaraan orang. "Kamu sudah menjadi suami isteri?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 225
Paras muka, So So lantas saja bersemu dadu, sedang hatinya girang. "Dalam pernikahan kami,
dapat dikatakan Cianpweelah yang menjadi comblang," katanya seraya tertawa. "Untuk itu.
kami harus menghaturkan terima kasih."
Cia Soen kembali mengeluarkan suara dihidung.
"Baiklah. Apa yang kamu mau berbuat terhadapku?" tanyanya pula.
"Cia Cianpwee," kata Coei San. "Kami merasa sangat menyesal, bahwa kami telah
membutakan kedua matamu. Tapi karena hal itu sudah terjadi kami meminta maaf pun tiada
gunanya. Jika kits ditakdirkan untuk berdiam dipalau ini seumur hidup dan tak bisa kembali
lagi di Tionggoan maka satu-satunya yang dapat diperbuat kami yalah merawat Cianpwee
seumur hidup."
Cia Soen mengangguk. "Ya.. begitu saja," kata nya.
"Kami berdua sangat mencintai satu sama lain dan akan hidup atau mati bersama-sama," kata
pula Coei San. "Jika penyakit Cianpwee kumat lagi dan mencelakakan salah seorang diantara
kami, maka orang yang masih hidup sudah pasti tak akan mau hidup lebih lama lagi."
" Kau ingin mengatakan, bahwa jika kalian berdua mati, akupun tak bisa hidup seorang diri di
pulau ini. Bukankah begitu?" tanya Cia Soen
"Benar," jawab Coei San.
"Kalau begitu, perlu apa kalian menyumbat kuping?" tanya pula Cia Soen.
Coei San dan So So saling mengawasi sambil bersenyum dan lalu mencabut potongan kain
yang masih menyumbat kuping kiri mereka. Mereka merasa kagum bukan main, karena
walaupun sudah tak dapat melihat, Cia Soen masih dapat mengetahui segala apa dengan
kupingnya yang sangat tajam.
Sesudah beromong omong sedikit, Coei San lalu meminta orang tua itu memberi nama
kepada pulau mereka. "Di pulau ini terdapat es yang ribuan tahun tak pernah melumer dan
terdapat pula api yang laksaan tahun tak pernah padam." kata Cia Soen. "Maka biarlah kita
menamakannya pulau Pang hwee to saja." Pang hwee to berarti Pulau es dan api.
Demikianlah. Mulai waktu itu, tiga manusia dan seekor kera menjadi penghuni dari pulau
terpencil itu.
Untuk keperluan hidup, Coei San dan So So bekerja keras. Mereka membuat piring mangkok
dengan membakar tanah liat, membuat dapur dengan menumbuk tanah dan batu, membuat
kursi meja dan lain-lain perabotan rumah tangg. Biarpun buatannya sangat kasar, alat-alat dan
perabotan itu dapat memenuhi keperluan mereka. Saban-saban ada tempo yang luang, mereka
menanam pohon-pohon bunga disebelah kiri guha itu.
Cia Soen juga tidak pernah rewel dan hidup dengan tenteram. Setiap hari ia duduk termenung
sambil mencekal To liong to. Ia rupanya terus mengasah otak untuk memecahkan rahasia
yang bersembunyi dalam golok mustika itu. Mereka membujuk supaya ia jangan memutar
otak lagi. "Aku pun mengerti bahwa andaikata aku dapat memecahkan rahasia ini, aku tak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 226
akan dapat berdiam disebuah tempat yang terpencil dan tak punya harapan untuk bisa kembali
ke Tionggoan," jawabnya dengan suara getir. "Akan tetapi, karena aku tak punya kerjaan dan
merasa sangat kesepian maka biarlah aku mengasah otak untuk menghilangkan tempo."
Mendengar jawaban yang sangat beralasan, mereka mengangguk dan tidak membujuk lagi.
Kira-kira setengah li dalam guha biruang, terdapat sebuah guha lain yang lebih kecil. Sesudah
bekerja keras kurang lebih sepuluh hari, Coai San mengubah guha itu menjadi sebuah kamar
yang kecil, yang lalu diserahkan kepada Cia Soen untuk dijadikan kamar tidurnya.
Beberapa bulan telah terlalu dengan cepatnya. Pada suatu hari, bersama sikera merah, Coei
San dan So So pesiar kesebelah utara pulau itu. Di luar dugaan mereka, pulau itu sangat
panjang dan sesudah melalui seratus li lebih, mereka belum wencapai ujungnya.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, disebelah depan menghadang sebuah hutan yang sangat
besar. Mereka mendekati hutan itu, tapi baru saja Coei San ingin masuk, si kera merah
berbunyi keras dan memperlihatkan sikap ketakutan. So So jadi kuatir dan berkata: "Ngo ko,
kau tak boleh masuk, Kauw jie kelihatannya saungat ketakutan."
Coei San merasa heran tercampur kuatir, karena si isteri yang biasanya sangat bergembira jika
menemui sesuatu yang luar biasa, pada waktu waktu
belakangan sangat lesu kelihatannya. "So So, mengapa kau?" tanyanya. "Apa badanmu
kurang enak."
Ditanya begitu, So So kelihatannya kemalu maluan, sehingga paras mukanya barubah merah.
"Tidak apa-apa," jawabnya dengan suara perlahan.
Sang suami jadi makin heran dan terus mendesak. Akhirnya, sambil menunduk ia berkata
dengan suara perlahan: "Langit rupanya tahu, bahwa kita terlalu kesepian dan akan mengirim
seorang manusia lain datang kepulau ini."
Coei San terkesiap dan dilain saat, kegirangannya meluap-luap. "Kita akan punya anak?"
tanyanya.
"Sts! Perlahan sedikit!" bentak si isteri, tapi dilain saat ia tertawa geli karena baru ia ingat
bahwa disekitar hutan itu tiada lain manusia.
Siang malam terbang bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Cuaca berubah agi,
siang makin pendek dan malam makin panjang, sedang hawa udarapun makin dingin.
Sesudah hamil, So So gampang capai, tapi ia tetap melakukan pekerjaan sebari-hari seperti
masak, menambal pakaian dan menyapu lantai.
Malam itu ia sudah hamil hampir sepuluh bulan. Sesudah menyalakan perapian didalam guha,
kedua suami isteri lalu duduk beromong-omong. "Ngoko. coba kau tebak, apa anak kita lelaki
atau perempuan?" kata So So.
"Perempuan seperti kau, lelaki seperti aku, bagi ku sama saja." jawab sang suami.
"Aku lebih suka anak lelaki." kata pula So So. "Coba kau pilih satu nama untuknya."
Coei San hanya mengeluarkan suara "hmmm" dan tidak menjawab perkataan isterinya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 227
"Ngoko, apa sedang dipikir olehmu?" tanya pula sang isteri. "Dalam beberapa hari ini kau
kelihatannya agak bingung."
Coei San bersenyum. "Tak apa-apa, mungkin karena kegirangan bakal menjadi ayah, aku
kelihatannya tolol," jawabnya.
Tapi nyonya itu yang sangat pintar tak dapat
diakali. Ia sudah melihat bahwa pada mata suaminya terdapat sinar kekuatiran. "Ngoko, jika
kau tidak berterus terang, aku akan jengkel sekali." katanya dengan suara lemah lembut. "Ada
apa yang mendukakan hatimu?"
Coei San menghela napas. "Aku harap saja penglihatanku keliru," katanya. "Dalam beberapa
hari ini, kulihat perubahan pada paras muka Cia Cianpwee."
So So mengeluarkan seruan tertahan dan berkata dengan suara berkuatir : "Benar, akupun
sudah lihat perubahan itu. Paras mukanya makin hari jadi makin ganas dan mungkin sekali ia
bakal kalap lagi."
Coei San manggut-manggutkan kepalanya. "Dia rupanya jengkel karena tidak dapat
menembus rahasia yang meliputi To liong to." katanya.
Tiba-tiba air mata So So mengucur, sehingga suaminya terkejut. "Aku sedikitpun tidak
merasa halangan kalau kita mati bertempur dan mati bersama-sama dia," katanya dengan
suara sedih. "Tapi.... tapi....."
Dengan rasa terharu, Coei San memeluk istrinya.
"Benar sesudah mempunyai anak, kita tak boleh sembarangan mengadu jiwa," katanya "Kalau
dia kumat lagi kalapnya, tiada jalan lain dari pada membinasakannya. Kedua matanya sudah
buta dan aku merasa pasti, dia tak akan bisa mencelakakan kita."
Mendengar niatan suaminya untuk membunuh Cia Soen, badan nyonya itu bergemetaran.
Sebagaimana diketahui, waktu masih ia kejam luar biasa dan dapat membunuh puluhan
manusia tanpa berkesiap. Tapi sesudah hamil, entah mengapa hatinya jadi berubah mulia.
Pernah kejadian pada suatu hari Coei San menangkap seekor biang menjangan yang diikut
oleh dua anaknya sampai diguba. So So merasa tak tega dan berkeras supaya suaminya
melepaskan betina menjangan itu. Ia lebih suka makan buah buahan saja daripada
membunuhnya.
Melihat istrinya menggigil, Coei San tertawa seraya berkata dengan suara menyinta: "Aku
harap saja dia tidak kalap lagi. So So, berikan saja nama Liam Coe (Langit Welas asih)
kepada anak kita. Apa kau setuju? Aku ingin supaya kalau sudah besar, dia akan terus ingat,
bahwa ibunya mempunyai hati yang welas asih. Perem puan atau lelaki, kita berikan saja
nama itu."
So So mengangguk dengan perasaan beruntung. "Dulu, setiap kali aka membunuh manusia,
hati ku merasa girang," katanya. "Tapi sekarang, dengan mengatahui, bahwa dalam hatiku
telah muncul perasaan kasih terhadap sesama manusia, aku merasa bahagia dan kebahagiaan
itu berbeda jauh dengan kegirangan diwaktu dulu, waktu aku membunuh manusia."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 228
Sang suami manggut-manggutkan kepalanya. "Aku sungguh girang mendangar pengutalanmu
ini," katanya. "Orang kata, bibit mencelakakan manusia tidak boleh ditanam didalam hati,
bibit menolong manusia harus dipupuk."
"Benar," kata So So. "Tapi bagaimana kita harus bertindak, kalau benar dia kalap lagi.
Dengan adanya saudara Kauw jie sebagai pembantu, kekuatan kita bertambah besar."
"Tapi kurasa kita tidak dapat terlalu mengandalkan kera" kata sang suami. "Dia memang
pintar sekali, tapi belum tentu dia mengerti kemauan kita. Kita harus mencari daya upaya
yang lebih semgurna."
"Begini saja," So So mengajukan usulnya. "Waktu momberikan makanan kepadanya, kita
menaruh racun.... Tidak! Tidak boleh begitu! Belum tentu dia kalap lagi dan mungkin sekali
kita menduga keliru."
"Aku mempunyai serupa akal yang rasaaya dapat digunakan," kata Coei San. "Mulai besok
kita pindah kebagian sebelum guha ini dan membuat sebuah lubang jebakan dibagian luar dan
diatas lubang itu, kita tutup dengan rumput dan daun daun kering."
"Akal itu sangat baik, hanya aku kuatir kau akan dicegat dia ditengah jalan waktu kau
memburu binatang," kata So So.
Coei San tertawa. "Tak usah kau kuatirkan keselamatanku," katanya, "Begitu lekas melihat
gelagat kurang baik, aku bisa lantas melarikan diri. Dengan memanjat batu-batu cadas dan
tebing, kurasa dia tak akan dapat menyandak aku."
Keesokan paginya, Coei San lalu mulai menggali lubang dibagian luar guha itu. Karena tidak
mempunyai cangkul besi, ia terpaksa menggunakan potongan kayu, sehingga pekerjaan itu
memerlukan tenaga yang sangat besar. Tapi berkat Lweekangnya yarg sangat tinggi, sesudah
bekerjaa keras tujuh hari lamanya, ia berhasil menggali lubang yang dalamnya sudah kira-kira
tiga tombak.
Sementara itu, makin hari Cia Soen makin gila lagaknya. Sering-sering ia menari-nari
ditempat terbuka sambil mencekal To liongto. Coei San bekerja makin keras. Sesudah
menggali lima tombak, ia berniat menancapkan potongan-potongan kayu tajam didasar
lubang. Menurut rencananya, guha itu bermulut lebar dan berdasar sempit sehingga jika Cia
Soen jatuh kedalamnya, ia bukan saja akan terluka, tapi sukar dapat melompat keluar karena
badannya bakal terjepit.
Hanya sayang, sebelum ia selesai mengali sampai lima tombak, penyakit Cia Soen sudah
keburu kumat lagi.
Hari itu, sesudah makan tengah hari, Cia Soen jalan mundar-mandir didepan guha. Coei San
tidak berani bekerja, karena kuatir suara menggali tanah akan menimbulkan kecurigaannya. Ia
juga tidak berani meninggalkan isterinya dan terus berdiam diluar mulut guha sambil
menahan napas dan berwaspada.
Tiba-tiba Cia Soen mulai mencaci. Ia mencaci langit, Bumi, dewa-dewa dan malaikatmalaikat.
Sesudah itu ia mencaci kaizar-kaizar dan orang orang ternama dijaman purba.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 229
Sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi, maki-makiannya di sertai dengan kutipankutipan
sejarah sehingga Coei San yang mendengarnya jadi merasa ketarik sekali.
Sesudah puas menyikat orang-orang dulu, ia mulai mencaci pentolan pentolan dalam Rimba
Persilatan. Tatmo Couw soe dari Siau lim pay, Gak Boe Bok (Gak Hoi), jago-jago dan yang
lain - lain bintang dilangit persilatan semua disikat bersih. Ia mencaci orang-orang gagah dari
satu kelain jaman dan apa yang sangat menarik, caciannya bukan membuta tuli, tapi di sertai
juga dengan kupasan-kupasan pedas tajam mengenai kekurangan dari ilmu silat setiap partai
atau perseorangan. Waktu memaki orang-orang gagah dijaman buntut Lam song (Kerajaan
Song Selatan), yang disikat olehnya adalah Tong sia, See tok, Lam tee, Pay kay dan Tiong sin
thong dan sesudah lima jago itu, ia mencaci juga Kwee Ceng dan Yo Ko. Akhirnya, tibalah
giliran Thio Sam Hoag, pendiri dari Boe tong pay dan sampai disitu, Coei San tak dapat
menahan sabar lagi.
Dengan darah meluap, Coei San membuka mulutnya untuk balas memaki. Tetapi sebelum
perkataannya keluar, tiba-tiba Cia Soen berteriak : "Thio Sam Hong bukan manusia!
Muridnya. Thio Coei San, juga bukan manusia! Paling benar aku mampuskan dulu bininya!"
Sambil berteriak begitu, ia melompat masuk kedalam gua.
Coei San lantas saja turut melompat, tapi hampir berbareng, ia dengar suara gedubrakan,
sebagai tanda, bahwa orang edan itu sudah terjeblos kedalam jebakan.
Tapi karena didasar lubang belum dipasang kayu-kayu tajam, maka biarpun terguling. Cia
Soen tidak sampai terluka dan sesudah hilang kagetnya, ia segera melompat keatas.
Sementara itu, Coei San sudah menjemput potongan kayu yang digunakan untuk menggali
tanah dan begitu lihat munculaya badan Cia Soen, ia segera menghantam kayu itu. Mendengar
sambaran angin tajam, bagaikan kilat Cia Soen menangkap kayu itu dengan tangan kirinya
dan membetotnya keras-keras. Coei San tak kuat menahan betotan yang sangat hebat itu,
sehingga bukan saja kayu terlepas, tapi telapak tangannyapun terbeset dan mengeluarkan
darah. Tapi karena pukulan tersebut, tubuh Cia Soen kembali jatuh kedalam lubang.
Pada saat itu, tanpa diketahui sang suami, So So sebenarnya sudah hampir melahirkan anak.
Waktu si edan mondar mandir didepan gua perutnya sudah sakit.
Tapi ia tidak berani memanggil suaminya karena kuatir didengar Cia Soen. Sekarang, melihat
senjata suaminya direbut, sambil menahan sakit ia mengambil pedangnya yang lalu
dilontarkan ke pada Coei San.
"Kepandaian orang itu sepuluh kali lipat tinggi dari padaku dan jika aku mem bacok, pedang
ini pasti akan direbut olehnya," pikir Coei San. Mendadak ia ingat, bahwa sesudah kedua
matanya buta, Cia Soen menganggap potongan kayu tadi dengan mendengar sambaran angin
pukulan. Maka itu, pasti akan berhasil jika bisa menyerang tanpa menerbitkan sambaran
angin.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak bahak disusul dengan melompatnya si kalap
kemulut lubang hua. Coei San segera menudingkan ujung pedang yang sudah diluruskan
setelah mereka mendarat dipulau itu kearah siedan yang sedang melesat keatas. Ia tidak
menikam atau membacok, ia hanya menunggu. "Crass" ujung pedang menancap dikepala Cia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 230
Soen. Karena tak ada sambaran angin, Cia Soen yang sedang melompat keatas tentu saja tak
menduga, bahwa ia akan dipapaki dengan senjata tajam.
Masih untung ia mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dan dapat bergerak luar biasa
cepat. Begitu ujung pedang menggores batok kepalanya begitu ia melenggakkan kepala
seraya menangkap badan pedang dan mengerahkan tenaga Ciankie toei (ilmu untuk
menambah berat badan), sehingga tubuhnya jatuh lagi kedalam lubang dengan kecepatan luar
biasa. Tapi, biarpun dapat menyelamatkan jiwanya, ia sudah terluka agak berat dan darah
mengucur dari kepalanya.
Begitu jatuh, ia segera mencabut pedang yang
menancap dibatok kepalanya dan sesudah menghunus To liong to, untuk ketiga kalinya ia
melompat pula sambil memutar golok mustika itu guna melindungi kepalanya.
Kali ini Coei San menimpuk dengan satu batu besar, tapi batu itu dipukul terpental dengan To
liong to. Begitu kedua kakinya hinggap dipinggir lubang, Cia
Soen menerjang seperti orang gila. Sambil melompat mundur, hati Coei San mencelos. Ia
ingat, bahwa hari itu ia dan So So akan berpulang kealam baka, tanpa melihat lagi anaknya
yang belum terlahir.
Biarpun sedang kalap didalam perkelahian, Cia Soen ternyata masih dapat menggunakan
otaknya. Ia merasa, bahwa yang paling penting adalah menjaga supaya Coei San dan So So
tidak dapat keluar dari guha itu. Begitu lekas mereka keluar, ia tak akan dapat mencarinya.
Maka itu, dengan tangan kanan mencekal golok dan tangan kiri memegang pedang, ia
memutar kedua senjata itu bagaikan titiran cepatnva, sehingga mulut guha tertutup dengan
sambaran sambaran senjata yang sangat hebat.
Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya bagi dirinya kedua suami isteri itu, didalam guha
terdengar suara menangisnya bayi. Cia Soen terkesiap dan ia berhenti bergerak. Bayi itu
menangis terus.
Pada saat itu, walaupun tahu, bahwa bencana sudah berada diatas kepalanya, Coei San tidak
menghiraukan orang edan itu lagi. Dengan perasaan yang tak dapat dilukiskan, mata Coei San
dan So Sa mengawasi bayi itu yang menggerak-gerakkan kaki tangannya sambil menangis
keras. Mereka mengerti, bahwa dengan sekali membabat, Cia Soen dapat membinasakan
mereka bersama bayi yang baru terlahir itu. Tapi mereka tidak menghiraukan. Didalam hati,
mereka bersyukur, bahwa sebelum mati, meraka masih dapat melihat wajah anak itu.
Mereka sama sekali tak pernah mimpi, bahwa tangisan bayi itu mempunyai pengaruh yang
sangat luar biasa. Dengan tiba-tiba saja, Cia Soen tersadar dan kalapnya hilang seketika,
seperti daun disapu angin. Didepan matanya lantas saja terbayang peristiwa pada puluhan
tahun berselang, waktu keluarganya dianiaya. Istrinya belum lama melahirkan dan bayi yang
baru lahir itu tidak luput dari keganasan musuh. Dalam otaknya berkelebat- kelebat
peringatan-peringatan yang menyayat hati, kecintaan suami istri, kekejaman musuh,
dibantingnya bayi yang baru lahir, usahanya untuk me
nambah kepandaian, tapi kepandaian musuh bertambah lebih cepat, didapatinya To liong to
dan kegagalannya untuk menembus rahasia golok mustika itu. Lama ia berdiri terpaku,
sebentar bersenyum, sebentar mengertak gigi.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 231
"Lelaki atau perempuan ?" mendadak terdengar
pertanyaan Cia Soen.
"Lelaki." jawab Coei San.
"Apa arinya sudah digunting?" tanyanya pula.
"Benar! Aduh, kulupa!" jawab Coei San.
Cia Soen segera memutar pedang yang dicekalnya dan menyodorkan gagangnya kepada Coei
San yang segera menyambuti dan memotong ari bayi itu. Sesaat itu ia terkesiap, karena
barulah ia ingat bahwa si edan berada dekat sekali dengan mereka.
Tapi begitu melirik muka Cia Soen, ia merasa lebih lega, karena kekalapannya sudah
menghilang dan paras mukanya terlukis perasaan menyayang.
"Berikan kepadaku," kata So So dengan suara lemah.
Sang suami segera mengangkat bayi itu dan menaruhnya kedalarn dukungan isterinya.
"Apa kau sudah masak air untuk memandikannya ?" tanya Cia Soen dengan suara perlahan.
Coei San tertawa. "Aku benar gila!" katanya. "Aku sudah melupakan segala apa." Seraya
berkata, ia segera bertindak keluar untuk memasak air. Tapi baru satu dua tindakan, ia
berhenti karena sangsi.
Cia Soen rupanya dapat menebak kekuatiran pemuda itu "Kau berdiam saja disini menemani
isterimu," katanya. "Biar aku yang masak air."
Ia segera memasukkan To liong to kedalam sarung dan berjalan keluar sambil melompati
lubang jebakan. Tak lama kemudian, ia sudah kembali dengan membawa sepaso air panas dan
Coei San lalu memandikan bayinya.
"Bagaimana macamnya bayi itu?" tanya Cia Soen.
"Seperti ibunya atau seperti ayahnya ?"
Coei San beriseyum "Lebih banyak menyerupai ibunya,"
jawabnya "Tidak gemuk, mukanya potongan kwaci"
Cia Soen menghela napas panjang. Sesudah termenung sejenak, ia berkata dengan suara
perlahan: "Aku mendoakan, supaya sesudah besar ia jangan bernasib jelek. Aku mendoakan
supaya ia banyak rezeki dan umur panjang, jauh dari segala penderitaan."
"Cia Cianpwee, apakah nasib anak ini kurang baik?" tanya So So.
"Bukan begitu," jawabnya, "Kudengar, anak itu menyerupai kau. Kalau benar, ia berparas
terlampau ayu. Orang kata, orang yang terlalu ayu sering bernasib jelek sehingga aku kuatir,
jika dihari kemudian anak ini masuk dalam dunia pergaulan, ia akan menemui banyak
kesukaran."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 232
"Cia Cianpwee, kau memikir terlalu jauh," kata Coei San sambil tertawa. "Kita berempat
berada dipulau yang terpencil ini, sehingga mana dapat anak kami masuk kedalam dunia
pergaulan ?"
"Tidak!" bentak So So. "Kita boleh tak usah kembali ke Tionggoan, tapi anak ini tidak dapat
dibiarkan berdiam di sini terus menerus, seumur hidupnya. Sesudah kita bertiga mati, siapa
yang akan meagawaninya? Sesudah dia dewasa, dimana ia harus mencari isteri ?"
Semenjak kecil In So So berada diantara orang-orang Peh bie kauw dan apa yang dilihatnya
ialah perbuatan-perbuatan yang kejam sehingga sesudah besar, sifatnya jadi ganas sekali. Tapi
sesudah bersuami isteri dengan Thio Coei San, sifat nya berubah dengan perlahan. Sekarang
setelah menjadi ibu, rasa cinta yang wajar terhadap anaknya memenuhi lubuk hatinya dan ia
rela berkorban demi kepentingan bayi yang baru lahir itu.
Mendengar perkataan sang isteri, Coei San berduka sekali. Dengan berada dipulau itu, yang
terpisah laksaan li dari wiiayah Tionggoan, dan dengan tak memiliki alat pengangkutan, mana
dapat mereka kembali kedalam dunia pergaulan? Tapi ia membungkam, karena kuatir
isterinya putus harapan.
"Tak salah perkataan Thio Hoejin." kata Cia Soen. "Bagi kita bertiga, tidak halangannya
untuk berdiam disini seumur hidup. Tapi anak ini, tidak! Tak dapat kita membiarkan dia
berdiam disini seumur hidupnya tanpa mencicipi kesenangan dunia. Thio Hoejin, kita bertiga
harus berusaha sedapat mungkin supaya anak itu bisa kembali ke Tiong goan."
Bukan main girangnya So So. Ia berusaha untuk bangun berdiri. Buru-buru Coei San
mencekal lengannya seraya berkata: "So So, kau mau apa ? Rebahan saja!"
"Ngoko," jawabnya, "Kita berdua harus berlutut dihadapan Cia Cianpwee guna menghaturkan
terima kasih untuk kebaikannya terhadap anak kita."
Cia Soen menggoyang-goyangkan tangannya seraya mencegah: "Tak usah! Tak usah! Apa
anak itu sudah di beri nama ?"
"Secara sembarangan kami sudah memilih satu nama, yaitu Liam Coe," jawab Coei San. "Cia
Cianpwee seorang yang berpengetahuan tinggi, makaa bolehlah Cianpwee memilih lain nama
yang lebih cocok untuknya!"
Cia Soen memikir sejetak. "Thio Liam Coe.. Thio Liam Coe.... " katanya. "Namanya itu
sudah cukup baik. Tak usah diubah"
Tiba-tiba So-co mendapat satu pikiran. "Orang aneh itu kelihatannya menyayang sekali
anakku," katanya didalam hati "Paling benar aku memberikan anak ini sebagai anak
pungutnya, supaya ia tidak turunkan tangan jahat kalau kalapnya datang lagi." Memikir
begitu, it lantas saja berkata: "Cia Cianpwee, untuk kepentingan anak ini, aku akan
mengajukan suatu permohonan kepadamu dan ku harap kau tidak menolaknya."
"Permohonan apa ?" tanyanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 233
"Aku ingin menyerahkan Liam Coe kepadamu untuk dijadikan anak angkat," jawabnya.
"Biarlah kalau sudah besar, ia dapat merawat kau seperti ayahandanya sendiri. Dengan berada
dibawah perlindunganmu seumur hidupnya ia tentu tak akan dihina orang. Ngoko, bagaimana
pendapatmu?"
"Bagus!",kata Coei San. "Aku harap Cia Cianpwee tidak menolak permohonan kami berdua."
Paras muka Cia Soen mendadak berobah dan diliputi dengan sinar kedukaan yang sangat
besar. "Anak kandungku sendiri telah dibanting orang sehingga jadi perkedel," katanya
dengan suara perlahan. "Apa kau tidak lihat?"
Jilid 12_________________
Coei San dan Sa So saling melirik dengan perasaan berkuatir, karena perkataan itu seperti
keluar dari mulıtnya seorang edan. Dalam kekuatiran merekapun merasa kasihan terhadap
orang yang bernasib malang itu. Sesudah berdiam sejenak, Cia Soen berkata pula: "Kalau dia
hidup, sekarang sudah berusia delapan belas tahun. Aku Cia Soen pasti akan turunkan semua
baik ilmu surat maupun ilmu silat kepadanya. Huh huh! Dia belum tentu kalah dari Boe tong
Cit hip atau Siauw lim Sam gie."
Kata-kata itu, yang kedengarannya angkuh, bernada sedih dan mengutarakan perasaan dari
seorang yang hatinya sangat kesepian. Mendengar itu, Coei San dan So So turut berduka dan
mereka merasa menyesal, bahwa karena terpaksa, kedua mata orang itu telah dibikin buta.
"Kalau dia masih dapat melihat, bukankah kita berempat bisa hidup senang di pulau ini ?"
kata Coei San didalam hati.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu tidak mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya
kesunyian dipecahkan oleh Coei San yang berkata dengan suara tetap: "Cia Cianpwee, kau
terimalah anak ini. Kami akan menukar she nya jadi she Cia."
Mendadak, sehelai sinar terang berkelebat di muka Cia Soen yang suram. "Apa benar ?"
tanyanya dengan suara kurang percaya. "Kau rela dia menukar she ? Cia Liam Coe....Cia
Liam Coe.... Namun itu cukup baik. Tapi anakku yang mati bernama Boe Kie."
"Kalau Cia ciapwee menghendaki, anak kami boleh dinamakan Boe Kie," kata Coei San.
Tak kepalang girangnya Cia Soen, tapi dalam kegirangan itu, ia merasa sangsi, kalau-kalau ke
dua suami isteri itu sedang menipu dia. "Kalian memberikan anakmu kepadaku, tapi
bagaimana kau sendiri ?" tanyanya pula.
"Tak perduli dia she Cia atau she Thio, kami berdua akan tetap menyintainya," kata Coei San.
"Di belakang hari, ia harus mengunjuk kebaktian kepada Cianpwee dan kepada kami sendiri.
Bukan kah itu baik sekali ? So So, bagaimana pendapat mu?"
"Aku setuju apa yang dikatakan olehmu," jawab So So dengan suara agak bersangsi. "Makin
banyak orang menyintainya, makin bagus untungnya anak itu."
Dengan air mata berlinang-linang Cia Soen menyoja sambil membungkuk. "Aku
menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada kalian," kata nya dengan suara terharu.
"Sakit hati membuta kan mata mulai sekarang sudah dihapuskan, Cia Soen kehilangan anak,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 234
tapi hari ini dia mendapat pula seorang anak. Di hari kemudian, nama Cia Boe Kie akan
menggetarkan dunia dan biarlah orang tahu, bahwa ayahnya adalah Thia Coei San, ibunya In
So So, sedang ayah angkatnya adalah Kim mo Say ong Cia Soen"
Barusan So So agak bersangsi karena Cia Boe Kie yang tulen telah binasa seperti perkedel,
sehingga ia kuatir nama itu kurang baik, untuk anak nya. Tapi melihat kegirangan Cia Soen
yang begitu besar, ia merasa tak tega untuk mengutara kan kesangsiannya. Ia yakin, bahwa
anak itu tentu akan sangat dicinta Cia Soen dan hal ini merupakan keberkahan untuk anak itu.
"Cia Cianpwee apa kau mau mendukungnya?" tanyanya sambil mengangsurkan anak itu.
Cia Soen menyambuti dan memeluknya dengan hati-hati. Mendadak, karena terlalu girang,
kedua tangannya bergemetaran dan air matanya mengalir. "Kau...kau.. ambilah
pulang,"katanya. "Melihat mukaku, dia bisa ketakutau setengah total."
"Jika masih senang, kau boleh mendukungnya terlebih lama," kata So So sambil bersenyum.
"Dikemudian, hari kaulah yang harus mengajak ia bermain-main." Sehabis berkata pegitu ia
menyambuti anak itu.
,
"Baik! Baik!" kata Cia Soen sambil tertawa debar.
Mendengar si bayi menangis keras ia ber kata pula: "Tetekkanlah. Dia ]apar. Aku mau keluar
dulu." Coei San dan So So bersenyum. Dengan matanya yang sudah buta, biarpun So So
sedang menyusukan, ia sebenarnya boleh berdiam terus disitu. Tadi dalam kalapnya, ia begitu
ganas. Tapi sekarang, ia begitu mengenal adat.
Sebelum ia bertindak keluar, Coei San sudah mendului: "Cia Canpweee...."
"Tidak! Sesudah kita jadi orang sendiri, kau tak dapat menggunakan istilah Cianpwee lagi,"
katanya. "Apa kalian setuju jika kita sekarang mengangkat saudara? Tali kekeluargaan ini
akan banyak baiknya untuk anak kita!"
"Cianpwee adalah seorang yang berusia banyak lebih tua dan berkepandaian banyak lebih
tinggi, sehingga mana bisa kami berdua berdiri berendeng dengan Cianpwee?" kata Coei San.
"Fui!" bentak Cia Soen. "Kau adalah seorang dari Rimba Persilatan dan aku sungguh tak
mengerti mengapa kau begitu, rewel ? Ngotee, Soe moay, apakah kau berdua bersedia untuk
memanggil aku Toako (kakak paling tua) ?"
"Baiklah, biar aku yang lebih dulu memanggil Toako." kata So So. "Kalau dia tetap mau
panggil kau Cianpwee, maka terhadap akupun, dia harus memanggil Cianpwee."
"Kalau begitu, biarlah siauwtee menurut perintah Toako," kata Coei San.
"Sesudah kita mencapai persetujuan, beberapa hari lagi, sesudah aku lebih kuat, barulah kita
bersembahyang dan memberitahukan kepada Langit dan bumi, akan kemudian menjalankan
peradatan mengangkat ayah dan mengikat tali persaudaraan," kata SoSo.
Cia Soen tertawa terbahak-bahak. "Satu laki laki tak akan menarik pulang perkataannya. Perlu
apa bersembahyang kepada langit? Aku sudah membenci Langit !" Sehabis berkata begitu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 235
dengan tindakan lebar ia berjalan keluar. Beberapa saat kemudian, Coei San dan So So
mendengar suara tertawanya yang panjang dan nyaring. Sedari bertemu, belum pernah mereka
melihat dia begitu bergembira.
Demikianlah, dengan penuh perhatian, ketiga orang itu merawat dan memelihara Cia Boe Kie.
Sebagai seorang yang bergelar Kim-mo Say ong, kepandaian Cia Soen dalam ilmu
menangkap dan melatih binatang dapat dikatakan tidak bandingannya didalam dunia. Coei
San mengajak ia pergi keberbagai pelosok pulau itu dan sekali pergi, ia tidak melupakan lagi
jalanan jalanannya.
Dalam pembagian pekerjaan, Cia Soen bertanggung jawab untuk menyediakan daging kepada
keluarganya, menangkap menjangan atau memburu biruang.
Kadang-kadang sikera merah mengikut, tapi karena cara kera itu membinasakan biruang
terlalu mudah, maka Cia Soen berbalik tidak merasa gembira. Semula ia masih suka
mengajaknya untuk dijadikan penunjuk jalan, tapi sesudah mengenal jalanan, ia tidak
mempermisikan lagi dia mengikut dan memerintahkannya berdiam untuk ber main-main
dengan Boe Kie.
Beberapa tahun telah lewat dengan aman sentosa. Bayi itu bertubuh kuat, tidak pernah
mengenal penyakit, dan dengan cepatnya sudah menjadi seorang anak yang mungil dan subur.
Diantara ketiga orang tua itu, Cia Soen lah yang paling memanjakannya. Setiap kali Coei San
atau So So mau nenghukumnya, karena ia terlalu nakal, Cia Soen selalu datang disama tengah
dan menghalang halangi. Dengan demikian, saban-saban ayah dan ibu kandungnya bergusar,
ia tentu lari ketempat sang ayah angkat untuk meminta pertolongan. Kedua orang tuanya
hanya dapat menggeleng-geleng kan kepala dan menggerutu, bahwa anak itu terlalu dimanja
oleh sang toako.
Waktu Boe Kie berusia empat tahun, So So lalu mulai mengajar ilmu surat kepadanya. Pada
hari ulang tahunnya yang kelima, Coei San berkata: "toako, anak kita sudah boleh belajar
silat. Mulai hari ini, kurasa kau sudah boleh mengajarnya. Apa Toako setuju?"
Sang kakak menggelengkan kepalanya. "Tak bisa," jawabnya. "Ilmu silatku terlampau dalam.
Jika sekarang aku yang mengajarnya, ia tak mengerti. Sebaiknya, lebih dulu kau menurunkan
ilmu Boe tong Sim hoat dan sesudah is berusia delapan tahun, barulah aku yang mengajarnya.
Sesudah aku mengajar dua tahun, kamu sudah boleh pulang!
So So kaget dan heran. "Apa? pulang? Pulang ke Tionggoan?" menegasnya.
"Benar." jawabnya. "Selama beberapa tahun, sehari aku memperhatikan arah angin dan arus
air. Aku mendapat kenyataan, bahwa saban tahun pada malam yang paling panjang, turunlah
angin yang meniup keras terus menerus sampai beberapa puluh malam. Sebelum waktu itu
tiba, kita dapat membuat sebuah getek yang besar, memasang layar dan jika Langit tidak
mengacau, mungkin sekali kalian bisa ditiup angin sampai di Tionggoan."
"Kami?" tanya pula So So. "Apa kau tidak turut serta?"
"Mataku sudah tidak bisa melihat, perlu apa aku pulang ke Tionggoan?" jawabnya.
"Jika kau tidak ikut, kami pasti tak akan mempermisikan kau berdiam sendirian dipulau"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 236
kata So So. "Anak kitapun tak akan mau mengerti, Ka1au bukan Gie hoe (ayah angkat), siapa
lagi yang bisa menyayangnya?"
Cia Soen menghela napas dan paras mukanya kelihatan berduka. "Aku sudah menyayangnya
sepuluh tahun. cukuplah," katanya. "Langit selama nya mengacau penghidupanku. Jika anak
kita berdampingan terlalu lama denganku, Langit mungkin akan menggusari dia dan dia bisa
celaka."
Coei San dan So So bingung. Tapi sesaat kemudian, mereka manganggap, bahwa sang kakak
bicara sembarangan saja dan hati mereka jadi lebih lega.
Mulai hari itu, Coei San mulai memberi pelajaran Lweekang kepada puteranya. Ia
menganggap bahwa bagi anaknya yang masih begitu kecil, pelajaran Lweekang untuk
menguatkan diri sudahlah cukup.
Disamping itu, dengan berdiam dipulau tersebut, anak itu sebenarnya tidak perlu memiliki
ilmu silat, karena tidak ada kemungkinan untuk berkelahi. Mengenai kesempatan pulang ke
Tionggoan tidak pernah disebut-sebut lagi oleh Cia Soen, sehingga Coei San dan So So
menganggap, bahwa kakak mereka sudah berkata begitu secara sembarangan saja.
Waktu Boe Kie berusia delapan tahun, benar saja Cia Soen mengajukan untuk memberi
pelajaran ilmu silat. Tapi ia mengadakan peraturan, bahwa waktu ia menurunkan pelajaran,
baik Coei San maupun So So tidak boleh turut menyaksikan. Peraturan itu yang sudah lazim
dalam Rimba Persilatan, tidak pernah dibantah oleh mereka. Mereka tahu, bahwa sang kakak
akan memberi pelajaran yang sebaik baiknya kepada Boe Kie.
Sang tempo lewat dengan cepat dan tahu-tahu Boe Kie sudah menerima pelajaran setahun
lebih dari ayah pungutnya. Semenjak terlahirnya anak itu, karena hatinya bahagia dan
mempunyai tugas tertentu, Cia Soen tak pernah memperhatikan lagi To liong to. Pada suatu
malam, karena tak dapat pulas. Coei San keluar dari guha dan jalan-jalan diseputar situ. Tibatiba
ia lihat Cia Soen sedang bersila diatas satu batu besar sambil mencekal golok mustika
dengan kepala menunduk.
Baru saja ia mau menyingkir diri, sang kakak yang sudah mendengar suara tindakannya sudah
keburu berseru: "Ngotee, kurasa kata-kata Boe lim coe-coan, poto To liong hanya kata-kata
kosong belaka."
Coei San menghampiri seraya berkata: "Di dalam Rimba Persilatan memang banyak sekali
tersiar omongan-omongan yang tidak boleh dipercaya. Toako adalah seorang yang
berpengetahuan tinggi, sehingga aku sesungguhnya tidak mengerti, mengapa kau percaya
omongan itu?"
"Ngotee, aku bukan percaya secara serampangan saja," jawabnya. "Keterangan itu dapat dari
Kong kian Taysoe, seorang pendeta dari Siauw limpay."
"Ah!" Coei San mendadak mengeluarkan seruan tertahan. "Kong kian Taysoe! Kudengar ia
adalah Soeheng (kakak seperguruan) dari Kong boen Taysoe, Ciangboejin Siauw limpay. Ia
sudah meninggal dunia lama sekali."
"Benar," kata Cia Soen. "Akulah yang membinasakannya!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 237
Tak kepalang kagetnya Coei San. Dalam dunia Kangouw terdapat kata yang seperti berikut:
"Siauw lim Seng ceng, Kian Boen Tie Seng," (Pendeta suci dari Siauw lim pay yalah Kian,
Boen, Tie dan Seng). Kata-kata itu adalah untuk mengunjuk keempat Hweeshio lim sie, yaitu
Kong kian, Kong boen, Koug tie dan Kong seng. Belakangan ia dengar dari gurunya, bahwa
Kong kian telah meninggal dunia dan tak dinyana, sekarang ia mendapat tahu, bahwa pendeta
suci itu telah dibinasakan oleh kakaknya.
Cia Soen telah menghela napas panjang dan paras mukanya berubah sedih. "Kong kian
manusia tolol," katanya. "Ia membiarkan aku memukulnya tanpa membalas. Ia mati sesudah
dipukul tigabelas kali"
Coei San jadi lebih kaget lagi. Seorang yang kuat menerima tigabelas pukulan Cia Soen,
harus mempunyai kepandaian yang luar biasa tinggi.
Sementara itu, paras muka Cia Soen jadi semakin suram dan terdapat sinar kemenyesalan
yang sangat dalam.
Coei San mengerti, bahwa dibalik kebinasaan Kong kian Taysoe bersembunyi peristiwa yang
sangat mendukakan. Ia yakin bahwa kebinasaan pendeta suci itu bukan kejadian yang biasa
saja. Biarpun sudah delapan tahun mereka hidup bersama-sama dipulau itu sebagai saudara
angkat, dalam rasa menghormat kepada kakak, dalam hati Coei San juga terdapat rasa jerih. Ia
tidak berani menanya melit-melit, karena kuatir membangunkan peringatan tidak enak dari
masa dahulu.
"Selama hdupku, orang yang dihargai olehku hanya beberapa gelintir saja," kata pula Cia
Soen dengan suara perlahan. "Orang yang seperti guru mu, yaitu Thio Cinjin, aku hanya
mendengar nama dan belum pernah bertemu dengan beliau. Kong kian Taysoe sungguh
seorang pendeta suci. Meskipun nama besarnya tidak begitu dikenal seperti adik adik
seperguruannya, seperti Kong tie dan Kong seng, tapi menurut pendapatku, kepandaian kedua
Taysoe itu tak dapat menandingi Kong kian Taysoe"
Semenjak bertemu dengan Coei San, Cia Soen selalu memandang rendah kepada semua
pentolan pentolan dunia. Maka itu, Coei San heran tak kepalang ketika mendengar pujian
terhadap Kong kian Taysoe.
"Mungkin sekali karena orang tua itu selalu hidup menyembunyikan diri didalam kelenteng,
maka tak banyak orang mengenal kapandaiannya." kata Coei San.
Cia Soen tidak kedengaran menjawab. Ia bengong dan kedua matanya mengawasi ketempat
jauh.
"Sayang!..... Sungguh sayang!....." katanya pada dari sendiri, "Manusia yang begitu luar biasa
telah binasa dalam tanganku! Jika waktu itu ia membalas, aku Cia Soen tentu tak bisa hidup
sampai sekarang,"
"Apakah Kepandaian pendeta itu lebih tinggi daripada Toako ?" tanya Coei San.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 238
"Mana bisa aku dibandingkan dengan beliau ?" jawabnya. "Ilmu silat murid-muridnya juga
lebih tinggi daripada aku." Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan nada penyesalan yang tiada
taranya.
Coei San jadi makin heran. Ia hampir tak percaya keterangan kakaknya. Gurunya sendiri,
Thio Sam Hong, adalah salah seorang luar biasa pada jaman itu. Tapi ia yakin, bahwa Jika
gurunya mesti bertanding dengan Cia Soen, paling banyak sang guru lebih unggul setengah
tingkat. Jika Kong kian lebih unggul dari pada Cia Soen, bukankah gurunya sendiri tak akan
dapat menandingi Kong kian? Tapi iapun mengenal kakaknya sebagai manusia yang sangat
angkuh. Jika ia tak benar-benar merasa takluk, ia pasti tak akan membuat pengakuan itu.
Cia Soen rupanya dapat membaca apa yang dipikir oleh adiknya. "Baiklah. Panggil Boe Kie
sekarang. Katakan padanya, bahwa aku ingin menceritakan sebuah cerita dahulu."
Walaupun merasa, bahwa membangunkan anak itu tengah malam buta bukan seharusnya,
Coei San tak berani membantah perintah sang kakak. Maka itu, ia segera kembali keguhanya
dan membangunkan arak itu. Mendengar ayah angkatnya mau bercerita, Boe Kie jadi girang
dan mengia kan dengan suara keras-keras, sehingga ibunya turut tersadar. Maka itu, mereka
bertiga lantas saja pergi keguha Cia Sam untuk mendengari ceritera yang dijanjikan.
Sesudah semua orang berkumpul, Cia Soen segera mulai: "Anak, tak lama lagi kau akan
pulang ke Tionggoan"
"Apa? Ke Tionggoan ?" memutus Boe Kie.
Cia Soen menggoyangkan tangan supaya anak itu jangan memutuskan omongannya dan
berkata pula "Jika getek kita tenggelam dilaut atau ditiup angin ke samudera yang luas, maka
kita boleh tak usah bicara lagi. Tapi andaikata kita kembali ke Tiongggoan, aku ingin
memberitahukan suatu hal kepadamu. Ingatlah hati manusia didalam dunia sangat jahat dan
kau tidak boleh main percaya kepada siapapun jua kecuali ayah dan ibu sendiri. Aku nyesa1,
bahwa diwaktu masih muda, tak pernah ada orang yang memberi nasehat itu kepadaku. Tapi
biarpun ada yanh menasehati, waktu itu aku tentu tidak mau percaya."
"Pada waktu aku berusia sepuluh tahun, secara, kebetulan aku telah bisa berguru dengan
seorang yang mempunyai nama besar dalam Rimba persilatan. Karena melihat bakatku yarg
sangat baik, Soehoe sangat menyayang aku dan telah menurunkan ilmu-ilmu silat yang
istimewa kepadaku, sehingga dengan demikian, perhubungan kami adalah bagaikan ayah dan
anak. Ngotee, pada waktu itu, rasa cinta dan rasa hormat ku terhadap Soehoe kira-kira
bersamaan seperti rasa cinta dan rasa hormatmu terhadap gurumu. Aku keluar dari rumah
perguruan dalam usia dua puluh tiga tahun. Tak lama kemudian, aku menikah, dan
mempunyai seorang anak. Penghidupan kami sangat beruntung."
"Selang dua tahun, waktu lewat di kampung kelahiranku. Soehoe mampir dan berdiam berapa
hari dirumahku. Aku girang bukan main dan seluruh keluarga melayaninya dengan sepenuh
perhatian. Dengan menggunakan kesempatan itu, guru ku juga memberikan berbagai petunjuk
pada kekurangan-kekurangan dari ilmu silatku. Tapi siapa nyana.... seorang tokoh yang
termasyhur dalam Rimba Persilatan sebenarnya mempunyai hati binatang! Pada tanggal lima
belas Bulan tujuh, sesudah minum arak, tiba-tiba ia coba memperkosa isteriku ..."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 239
Dengan berbareng Coei San dan So So mengeluarkan seruan kaget. Guru menodai
kehormatan isteri muridnya adalah suatu kejahatan langka dalam Rimba Persilatan.
"Isteriku memberontak dan berteriak-teriak minta tolong." Cia Soen melanjutkan
penuturannya. "Mendengar teriakan itu, ayahku menerjang masuk kedalam kamar. Melihat
rahasianya terbuka, guruku memukul ayahku yang lantas saja binasa. Sesudah itu, dia
membinasakan juga ibuku dan membanting Cia Boe Kie, anakku yang berumur belum cukup
setahun ...."
"Cia Boe Kie ?" memotong si bocah dengan suara heran.
"Jangan rewel! Dengari cerita Gie-hoe!" bentak Coei San.
"Benar," jawab sang ayah pungut. "Itulah anak kandungku yang namanya bersamaan dengan
namamu. Guruku membantingnya keras-keras, sehigga dia jadi perkedel!"
"Gie-hoe ! Apa.... .apa dia masih bisa hidup ?" tanya Boe Kie.
"Tak bisa! Tak bisa hidup lagi!" jawabnya dengan suara parau.
So So mendelik sambil menggoyang goyangkan tangannya untuk melarang anak itu untuk
menanya lagi.
Sesudah bengong beberapa saat, barulah Cia Soen berkata lagi: "Melihat kejadian itu
nyawaku terbang separuh dan aku berdiri terpaku sambil mengawasi dengan mata
membelalak. Tiba-tiba guruku me!ompat dan meninju dadaku, sehingga aku rubuh terguling
dalam keadaan pingsan. Ketika aku tersadar, guruku sudah menghilang, sedang diseputar
rumahku penuh mayat. Mayat ayah dan ibuku, isteriku, anakku, isteri adikku dan bujangbujangku,
semuanya berjumlah tigabelas jiwa. Ia tidak memukul aku lagi, sebab rupanya ia
duga aku sudah mati"
"Sebab terluka, berduka dan bergusar secara melampaui batas, aku mendapat sakit berat
sekali. Sesudah sembuh, siang malam aku melatih diri dan selang lima tahun, aku mencari
guruku untuk membalas sakit hati. Tapi kepandaianku masih kalah terlalu jauh, sehingga
dapat hinaan yang sangat lebar. Bia bagaimana pun sakit hati tiga belas orang tak dapat di
sudahi dengan begitu saja. Aku segera berkelana untuk mencari guru yang pandai. Selama
sepuluh tahun, aku telah bertemu dengan tiga orang berilmu yang menurunkan kepandaiannya
kepadaku. Dengan dugaan bahwa kepandaianku sudah cukup tinggi, sekali lagi aku mencari
guruku. Tapi di luar taksiran, sedang kupandaianku bertambah, kepandaiannya bertambah
lebih banyak lagi. Demikianlah untuk kedua kalinya, aku pulang dengan terluka berat"
"Sekali lagi aku melatih diri tanpa mengenal capai. Kali ini aku melatih Lweekang dari Cit
siang koen (ilmu pukulan Tujuh Luka) dan sesudah berlatih tiga tahun lamanya, barulah aku
berhasil. Aku menganggap, bahwa dengan memiliki kepandaian itu, aku sudah boleh
berendeng dengan ahli ahli silat kelas utama dan jika guruku tidak mendapat lain-lain ilmu
yang lebih tinggi, ia pasti tidak akan bisa melawan aku. Untuk ketiga kalinya, aku
menyatroninya rumahnya, tapi bakan main rasa kecewaku, karena ia sudah pindah ketempat
lain. Aku lalu berkelana dalam kalangan Kangnuw untuk mencarinya, tapi ia tetap tak
kelihatan mata hidungnva Rupanya, untuk menyingkir dari bencana, ia telah kabur ketempat
jauh. Dunia begini luas, dimana aku mencarinya ?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 240
"Sesudah itu, dengan sakit hati yang makin lama makin mendalam dan kegusaran yang
meluap-luap, aku lalu mengamuk. Aku memperkosa wanita, merampok, membunuh dan
membakar rumah. Setiap kali bekerja, aku selalu meninggal kan nama guruku !"
"Ah!" Coei San dan So So mengeluarkan seruan kaget dengan berbareng.
"Apa kau tahu siapa guruku?" tanya Cia Soen. So So manggat-mangaut kepalanya seraya
berkata: "Kalau, begitu, Toako adalah murid Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen." (Hoen
goan Pek lek chioe - si tangan geledek).
Ternyata pada belasan tahun berselang didalam Rimba Persilatan mendadak terjadi
gelombang yang sangat hebat. Dalam tempo setengah tahun, dari Liao tong sampai di
Lenglam dengan beruntun-runtun terjadi peristiwa-peristiwa besar. Tiga puluh lebih orangorang
gagah kenamaan telah dibunuh dan si pembunuh meninggalkan nama Hoen goan Pek
lek chioe Seng Koen. Orang yang dibunuh, kalau bukan Ciang boenjin suatu partay, tentulah
juga seorang gagah yang mempunyai pergaulan luas.
Seluruh Rimba Persilatan telah mengerahkan tenaga untuk menyelidiki pembunuhan itu dan
atas perintah guru mereka. Boe tong Cit hiap turun gunung untuk membantu, tapi sesudah
membuang banyak tempo dan tenaga, meraka tetap tidak berhasil dalam usahanya. Tak
seorangpun tahu, siapa pembunuh yang kejam itu. Semua orang mengerti bahwa ada seorang
yang sengaja mau mencelaka kan Seng Koen, karena sebegitu jauh Seng Koen dikenal
sebagai manusia baik-baik dan beberapa orang yang telah dibinasakan, adalah sahabat-sahabat
baiknya.
Orang satu satunya yang mungkin tahu siapa, pembunuh itu, adalah Seng Koen sendiri. Tapi
jago itu mendadak menghilang tanpa meninggalkan bekassehingga, biarpun semua orang
gagah dalam dunia Persilatan ingin membantu, mereka tidak berdaya sebab tidak tahu siapa
penjahatnya.
Sekarang, sesudah mendengar pengakuan Cia Soen barulah Coei San dan So So mengetahui
latar belakang dari kejadian-kejadian yang hebat itu.
Sesudah berdiam beberapa saat, Cia Soen melanjutkan penuturannya: "Kau harus tahu, bahwa
tujuan dari sepak terjangku itu adalah untuk memaksa keluarnya Seng Koen. Dengan dicari
oleh ribuan atau sedikitnya ratusan orang, menurut dugaanku, ia pasti akan dapat ditemukan."
"Tipu Toako memang sangat bagus," kata So So. "Akan tetapi sungguh kasihan orang-orang
itu yang sudah dibunuh tanpa berdosa."
"Hm! Apakah kau tidak merasa kasihan terhadap orang tua dan anak istriku yang juga sudah
dibunuh tanpa berdosa!" tanya Cia Soen dengan suara getir. "Dulu kulihat kau seorang yang
sangat polos terbuka. Tetapi sesudah menikah sepuluh tahun dengan Ngote, kau jadi bawel
seperti nenek tua,"
So So melirik suaminya sambil bersenyum, "Toako, bagaimana buntutnya? Apa kau berhasil
mencari Seng Koen?" tanyanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 241
"Tidak, tidak berhasil," jawabnya. "Belakangan, waktu berada di Lokyang, aku bertemu
dengan Song Wan Kiauw."
Coei San terkesiap. "Song Wan Kiauw, Toa soekoku ?" ia menegas.
"Benar, Song Wan Kiauw, kepala dari Boe tong cit hiap." jawabnya. "Sesudah aku
mengamuk, Rimba Persilatan jadi kacau balau dan kalang kabutan. Tapi guru ...."
"Gie-hoe," memutus Boe Kie. "Dia begitu jahat, mengapa masih memanggil guru kepadanya
?"
Cia Soen tertawa getir. "Sudah kebiasaan sedari kecil," jawabnya. "Sebagian besar ilmu
silatku didapat daripadanya. Dia jahat, akupun bukan manusia baik. Mungkin sekali, segala
kejahatanku juga didapat daripadanya. Maka itu, aku tetap memanggil guru kepadanya."
Mendengar penuturan sang kakek yang sedemikian hebat. Coei San jadi merasa kuatir, bahwa
ceritera itu akan memberi pengaruh kurang baik kepada Boe Kie. Diam-diam dia mengambil
keputusan untuk memberi penerangan dan penjelasan lebih jauh kepada bocah itu.
Sementara itu, Cia Soen sudah menyambung pula penuturannya: "Melihat guruku belum juga
muncul, aku berpendapat, bahwa kalau aku tidak melakukan perbuatannya yang
menggemparkan dunia, ia pasti tak akan keluar. Sebagaimana kau tahu, daiam Rimba
Persilatan, yang paling dihormati orang adalah partai Siauw lim dan Boe-tong."
"Menurut pendapatku, aku baru bisa berhasil jika membunuh seorang pentolan Siauw lim atau
Boe tong. Hari itu, ditaman Bouw tan wan, depan kuil Ceng hie koan di Lokyang, aku telah
menyaksikan cara bagaimara Song Wan Kiauw menghajar seorang hartawan jahat. Aku
mendapat kenyataan, bahwa ia benar-benar berkepadaian tinggi dan pada saat itu juga, aku
segera mengambil keputusan untuk membinasakannya."
Walaupun tahu, bahwa pada akhirnya Song Wan Kiauw tidak terbunuh, Coei San merasa
terkejut juga. Ia yakin, bahwa kepandaian Cia Soen banyak lebih tinggi dari saudara
seperguruannya, sehingga kalau diserang, Toasoehengnya pasti akan dijatuhkan, So So yang
juga tahu, bahwa Song Wan Kiauw tidak dibinasakan, lantas saja berkata: "Toako, masih
untung kau tidak tega turunkan tangan jahat, Jika kau binasakan Song Tayhiap. Thio Ngohiap
pasti akan mengadu jiwa denganmu dan kita tak bisa mengangkat saudara lagi."
Cia Soen mengeluarkan suara dari hitung. "Tidak tega? Mana boleh tidak tega?" katanya.
"Kalau sekarang, aku tentu tak akan memusuhi orang orang Boe tong. Tapi pada waktu itu,
jangankan Song Wan Kiauw, sedangkan Ngote sendiripun, jika bertemu denganku, aku pasti
akan coba membinasakannya tanpa ragu ragu lagi."
"Gie hoe. mengapa kau mau membunuh ayah?" Boe Kie menyelak.
"Aku hanya menyebutkan suatu perumpamaan dan bukan benar-benar mau membunuh
ayahmu," jawab sang ayah angkat sambil tersenyum.
"Oh begitu?" kata si bocah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 242
Sambil mengusap-usap kepala anak itu, Cia Soen berkata pula dengan suara perlahan:
"Meskipun langit sering menyakiti batiku, kali ini aku merasa syukur bahwa pada akhirnya,
aku tidak membunuh Song Wan Kiauw. Memang benar, jika Song Wan Kiauw sampai
dibunuh olehku, kita tak akan bisa mengangkat saudara." Ia berdiam sejenak dan kemudian
berkata lagi: 'Malam itu, sesudah bersantap, aku segera bersemedhi didalam kamar untuk
mengumpulkan semangat dan tenaga. Aku mengerti, bahwa sebagai kepala dari Cit hiap, song
Wan Kiauw mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Jika dengan sekali pukul aku tidak
dakat membinasakannya dan ia bisa melarikan diri, maka rahasiaku akan bocor dan usaha
mencari guruku akan gagal sama sekali. Bukan saja begitu, aku malah bakal dikepung oleh
orang-orang gagah dikolong langit. sehingga, biarpun aku mempunyai tiga kepala enam
tangan. Aku pasti tak kan dapat melawannya. Aku mati tak menjadi soal tapi jika aku mati
begitu rupa, sakit hati yang begitu besar itu akan dibawa kelubang kubur."
"Gie hoe," tiba Boe Kie menyelak lagi." Matamu tidak bisa melihat. Tunggulah sampia aku
besar. Sesudah mempunyai kepandaian tinggi, aku akan membalas sakit hati Gie hoe."
Perkataan itu mengejutkan Cia Soen dan Coei San yang dengan serentak bangun berdiri.
Dengan mata yang tak dapat melihat, Cia Soen "mengawasi" anak angkatnya dan berkata
dengan suara perlahan: "Boe Kie, apa benar kau menpunyai niatan begitu?"
Coei San daa So Sa jadi bingung. Sekarang mereka berada disebuah pulau terpencil didaerah
Kuub Utara, sehingga belum tentu mereka bisa kembali ke Tiong goan. Akan tetapi, didalam
Rimba Persilatan orang sangat mengutamakan kepercayaan. Sekali berjanji seumur hidup tak
dapat ditarik lagi. Begitu lekas Boe kie menyanggupi untuk membalas sakit hati Cia Soen,
maka ia segera memikul beban yang luar biasa berat diatas pundaknya. Sedang Cia Soen yang
memiliki kepandaian sedemikian tinggi masih belum mampu membalas sakit hatinya,
bagaimana anak itu bisa memenuhi janjinya ?
Menurut kebiasaan Rimba Persilatan, walaupun anak itu masih kecil, dalam urusan itu, ia
harus mengambil keputusan sendiri dan orang tua nya tidak boleh mempengaruhi pikirannya.
Maka itu, meskipun sangat berkuatir, Coei San dan So So tidak berani mengeluarkan sepatah
kata.
"Gie hoe," kata anak itu dengan suara nyaring "Orang yang membinasakan serentero
keluargamu, bernama Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen, bukan? Baiklah Boe Kie akan
mengingat nama itu. Dibelakang hari, anak tentu mewakili ayah untuk membalas sakit hati
dan akan membasmi seluruh keluarganya, tak satupun yarg diberi hidup!"
"Boe Kie ! Jangan ngaco kau!" bentak Coed San dengan gusar. "Satu orang yang berbuat, satu
orang yang harus bertanggung jawab, Biarpun dosanya Seng Koen lebih besar lagi, hanya dia
seorang yang harus mendapat hukuman. Lain orang yang tidak berdosa tidak boleh diganggu
selembar rambutnya!"
"Ya, ya . . . Thia thia," katanya dengan suara ketakutan dan ia tidak berani membuka suara
pula.
"Orang yang sudah mati tak tahu suatu apa," kata Cia Soen. "paling hebat yalah hidup
sendirian didalam dunia sesudah seluruh keluarga dibinasakan orang...."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 243
"Toako, bagaimana kesudahan usahamu untuk bertempur dengan Toasoeheng," Coei San
memotong perkataan kakaknya. Ia berbuat begitu karena kuatir Cia Soen bicara terlalu
panjang mengenai penderitaannya, sehingga dapat memberi pengaruh yang lebiih besar pada
anaknya.
"Sungguh heran Toasoeheng be1um pernah memberitahukan kejadian itu kepada kami"
"Song Wan Kiauw belum pernah mimpi bahwa ia pernah men jadi bulan-bulanan," jawabnya.
"Mungkin sekali, ia malah belum pernah mendengar nama kin mo Say ong Cia Soen.
Mengapa ? Karena pada akhirnya, aku tidak jadi cari padanya."
Coei San menarik napas lega. "Terima kasih Langit, terima kasih bumi." katanya.
"Mengapa kau mengaturkan terima kasih kepada langit dan bumi?" tanya So So sambil
tertawa. "Yang harus menerima pernyataan terima kasihmu adalah Cia Toako."
Mendengar itu, Coei San dan Boe Kie turut tertawa.
Cia Soen tidak turut tertawa. Paras mukanya berubah jadi duka dan ia berkata dengan suara
perlahan: "Kejadian malam itu masih diingat tegas olehku, seperti juga baru terjadi kemat in.
Aku duduk diatas pembaringan batu dan menjalankan pernapasan, melatih Cit siang koen
beberapa kali. Ngote, kau belum pernah menyaksikan pukulan Cit siang koen. Apa kau ingin
melihatnya ?"
"Ilmu pukulan itu tentulah hebat luar biasa," mendahului So So "Toako, mengapa kau tidak
cari Song Tayhiap ?"
"Kalau tidak hebat, bagaimana pukulan itu bisa dinamakan Cit siang koen?" kata Cia Soen
sambil tersenyum dan lalu jalan mendekati satu pohon besar. Ia mengangkat tangan seraya
menbentak keras, menghantam dahan pohon itu.
Dengan Lweekang yang dimilikinya, biarpun ia tak dapat merubuhkan pohon itu, sedikitnya
tinju Cia Soen akan amblas didahan. Tapi diluar dugaan, pohon itu bergoyangpun tidak,
sedang kulit nya tetap utuh. So So merasa menyesal dan berkata didalam hati: "Sesudah
berdiam disini sembilan tahun, ilmu silat Toaka merosot banyak. Hal itu tak heran, karena ia
memang tak pernah berlatih lagi." Tapi walaupun hatinya berduka, mulutnya bersorah sorai.
"Se moay sorakanmu tidak keluar dari hati yang setulusnya," kata sang kakak. "Kau anggap
ilmu sllatku sudah tidak seperti dulu, bukan."
"Dengan berdiam dipulau terpencil ini dan kita berempat adalah orang sekeluarga, memang
tak perlu kita berlatih silat lagi," kata So So.
"Ngotee, apa kau bisa melihat lihaynya pukulanku?" tanya Cia Soen tanpa menghiraukan So
So.
"Waktu menyambar, pukulan itu sangat dahsyat, sehingga aku tidak mengerti, mengapa
pohon itu tidak bergeming, malah daunnya tidak bergoyang," kata Coei San. "Aku percaya
malah Boe Kie dapat menggoyang dahan itu."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 244
"Aku bisa!" teriak sibocah sambil berlari-lari dan kemudian meninju dahan pohon itu. Benar
saja pohon yang besar itu bergoyang keras. Kedua suami isteri girang bukan main, karena
putera mereka sudah memiliki tenaga yang begitu besar. Mereka mengawasi Cia Soen dan
menunggu penjelasan sang kakak.
Cia Soen bersenyum seraya berkata: "Tiga hari kemudian semua daun akan menjadi kering
dan rontok dan selewatnya tujuh hari, pohon itu akan mati berdiri. Aku sudah memutuskan
nadi pohon "
Kedua suami isteri kaget dan heran, tapi mereka tidak menyangsikan keterangan itu, karena
sang kakak belum pernah berdusta.
Tiba-tiba Cia Soen menghunus To liong to dan menyabet putus dahan yang tadi dipukulnya.
Dengan suara gedubrakan, pohon itu rubuh ditanah. "Mari, lihatlah," kata sang kakak. "Kalian
boleh manyaksikan lihaynya Cit siang koen."
Coei San bertiga lantas saja menghampiri. Ternyata "hati" pohon sudah menjadi rusak, ada
"urat-urat" yang hancur dan ada juga yang putus, suatu tanda, bahwa pukulan itu mengandung
beberapa macam tenaga. Bukan main rasa kagumnya Coei San dan So So. "Toako, hari ini
kau telah membuka mata siauwtee," kata Coei San.
"Dalam pukulanku itu terdapat tujuh macam tenaga," kata sang kakak dengan suara bangga.
"Tenaga keras, tenaga lembek dalam keras, keras dalam lembek dan sebagainya. Seorang
musuh dapat menahan tenaga pertama, tak dapat menahan tenaga kedua, yang dapat menahan
tenaga kedua, tak akan dapat menahan tenaga ketiga dan begitu seterusnya. Maka itulah,
pukulan tersebut diberi nama Cit-siang koen. Huh huh ! Mungkin sekali kau akan mengatakan
bahwa Cit-siang koen terlalu kejam."
"Gie hoe, bolehkah kau turunkan Cit siang koen kepadaku?" tanya Boe Kie.
"Tak bisa!" jawabnya seraya menggeleng-geleng kan kepala, sehingga bocah itu merasa
sangat kecewa.
"Boe Kie, kau benar edan!" kata So So. "Pukulan Giehoemu itu tak akan dapat dipelajari
sebelum mempunyai Lweekang yang sangat tinggi."
Si bocah mengangguk seraya berkata: "Baiklah nanti kalau sudah memiliki Lweekang tiaggi,
barulah Boe Kie mengajukan permintaan pula ke pada giehoe."
"Tidak boleh, tak nanti aku turunkan Cit siang koen kepadamu," kata Cia Soen. "Dalam tubuh
setiap manusia. bukan saja terdapat hawa Im dan yang (negatif dan positif ) tapi juga lima
Heng yaitu Kim, Bok, Soei, Ho dan Touw (emas, kayu, air, api, dan tanah). Misalnya saja,
paru-paru termasuk dalam Kim, buah pinggang termasuk dalarn Soei, nyali termasuk dalam
Touw dan sebagainya. Begitu lekas seorang melatih diri dalam pukulan Cit siang coen, tujuh
bagian isi perutnya yang sangat penting akan terluka. Makin tinggi kepandaiannya, makin
hebat luka didalam itu. "Cit siang" atau "tujuh luka", lebih dulu melukai diri sendiri.
Kemudian baru melukai musuh. Sabah musabab mengapa aku sering kalap adalah karena
latihan Cit siang koen"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 245
Coei San dan So Sal terkejut. Baru sekarang mereka tahu, mengapa Cia Soen yang boen boe
song Coei (pandai ilmu surat dan ilmu silat) acap kali berlaku seperti binatang buas.
"Jika aku melatih Cit siang koen sudah memiliki Lweekang yang sama tingginya sepertt Lwee
kang Kong kian Taysoe atau Thio Cinjin dari Boe tong pay, mungkin sekali aku tidak sampai
terluka, luka itu tidak menjadi halangan," kata pula Cia Soen. "Aku sudah tidak menghiraukan
segala bencana karena didorong oleh keinginan untuk membalas sakit hati secepat mungkin.
Tahun itu, sesudah membinasakan tujuh orang, barulah aku dapat merampas kitab Cit siang
koen dari tangan Kong tong pay dan dengan tergesa-gesa segera melatih diri menurut
petunjuk-petunjuk kitab itu. Aku berbuat begitu, sebab kuatir guruku keburu mati dan aku
tidak bisa membalas sakit hati. Sesudah kasep dan tidak bisa diubah lagi, barulah aku
mendusin, bahwa aku sudah mendapat luka didalam. Aku sama sekali tidak memikir untuk
lebih dulu menyelidiki, mengapa dalam kalangan Kong tong pay sendiri tidak ada orang yang
mempelajari ilmu pukulan itu. Disamping itu, masih ada lain sebab, mengapa aku segera
melatih diri dalam Cit siang koen. Pukulan itu mempunyai sifat-sifat yang dahsyat dap
menyeramkan dan bagiku, hal itu merupakan keuntungan besar. Su moay, apakah kau
mengerti maksudku."
So So memikir sejenak. "Apakah Toako maksud kan bahwa Cit siang koen agak mirip dengan
ilmu silat Pek lek chioe." tanya si adik.
"Benar!" jawabnya. "So moay, kau sungguh pintar. Guruku bergelar Hoen goan Pek lek chioe,
atau si Tangan geledek, dan ilmu silatnya mengandung pengaruh angin dan geledek yang
sangat hebat. Jika aku menyerang dengan Cit siang koen, ia pasti akan menduga, bahwa aku
menyerang dengan ilmu silatnya sendiri, ia akan mendusin sesudah pukulanku mampir
dibadannya, tapi sudah kasep. Ngotee, jangan kau mengatakan, aku licik dan kejam, Guruku
adalah salah seorang yang paling hati-hati dan paling kejam didunia. Jika kau tidak
menggunakan racun untuk melawan racun, sakit hatiku pasti tidak akan terbalas.
Hai! Ngotee, aku sudah melantur terlalu jauh sehingga melupakan soal Kong kian Taysoe
yang mau dituturkan olehku. Malam itu, sesudah melatih diri dalam Cit siang koen, aku
segera berangkat untuk cari Song Wan Kiauw."
"Selagi melompat keluar dari tembok, sedang kedua kakiku belum hinggap dibumi, tiba-tiba
pundakku ditepuk orang. Aku kaget bukan main. Bahwa badanku disentuh orang tanpa aku
mampu menangkis, adalah kejadian yang belum pernah terjadi, Boe Kie, cobalah kau pikir.
Jika orang itu menepuk dengan menggunakan Lweekang, bukan kah aku sudah
mendapatkanluka berat? Aku balas memukul dan begitu lekas kaki kiriku hinggap ditanah,
aku memutar badan. Saat itu sekali lagi aku merasa punggungku ditepuk orang dan hampir
berbareng terdengar hela napas dan suara seorang: "Lautan penderitaan tiada terbatas,
menengok kebelakang melihat tepian."
Boe Kie gembira sekali, ia tertawa terbahak bahar. "Gie hoe," katanya. "Apa orang itu main
main denganmu?" Coei San dan So So sudah menebak, bahwa orang itu Kong kian Taysoe
adanya.
"Waktu itu aku begitu kaget, sehingga sekujur badan dingin semua," Cia Soen melanjutkan
panturannya. "Dengan kepandaian yang sedemikian tinggi, dengan mudah orang itu bisa
mengambil jiwaku. Tapi delapan perkataan yang diucapkan nya bernada lemah lembut, penuh
kasih dan sayang. Begitu memutar badan. kulihat seorang pendeta yang mengenakan jubah
putih berdiri dalam jarak empat tombak lebih. Dengan demikian, sesudah menepuk
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 246
punggungku, ia sudah melompat kurang lebih empat tombak jauhnya dan kecepatan gerakan
itu sungguh-sungguh luar biasa."
"Pada waktu itu, aku hanya menarik suatu kesimpulan, bahwa yang berdiri dihadapanku
bukan manusia, tapi setan penasaran dari seorang yang telah diburuh olehku. Aku menarik
kesimpulan itu, karena, menurut pendapatku, seorang manusia biasa tak nanti mampu
bergerak begitu cepat. Sebab menduga begitu, nyaliku jadi besar lagi dan aku segera
membantak: Setan siluman! Pergi kau! Aku tidak takut Langit dan bumi, apalapi kau!"
"Pendeta itu merangkap kedua tangannya seraya berkata: Cia Kiesoe, Looceng Kong kian
memberi hormat. Begitu mendengar perkataan 'Kong kian' aku terkesiap. Sudah lama
kudengar 'Siauw lim Sang ceng, Kian, boen, tie seng yang tersiar luas didalam Rimba
Persilatan. Kong kian Taysoe adalah kepala dari empat pendeta nabi (Sengceng ) Siauw lim
sie sehingga tidaklah heran jika ia memiliki kepandaian yang begitu tinggi."
Mendengar sampai disitu, hati Coei San dan So So merasa sangat tidak enak, karena mereka
tahu, pada akhirnya Kong kian binasa karena tiga belas pukulan Cia Soen.
Sesudah berdiam sejenak, Cia Soen berkata pula: "Aku mengawasinya seraya bertanya: Apa
kah aku sedang berhadapan dengan Kong kian Seng ceng dari Siauw lim sie? Ia jawab:
Perkataan Seng ceng aku tidak dapat menerima tapi memang benar loolap ialah Kong kian
dari Siaw Lim sie. Aku kata: Aku dan Taysoe belum pernah mengenal satu sama lain, tapi
mengapa Taysoe mempermainkan aku? kata Kong kian: Mana berani loolap mempermainkan
Kiesoe? Aku hanya ingin menanya: Kemana Kiesoe mau pergi? Ku jawab: Kemana kumau
pergi tiada sangkut pautnya dengan Taysoe! Ia menghela napas dan berkata dengan suara
perlahan: Malam ini Kiesoe ingin membunuh Song Wan Kiauw Tayhiap dari Boe tong pay.
Bukankah begitu? Sekali lagi aku terkesiap."
"Ia mengawasi aku dengan mata tajam dan berkata pula: Kiesoe ingin melakukan perbuatan
yang menggemparkan Rimba Persilatan untuk memancing keluar Hoen goan Pek lek chioe
Seng Koen guna membalas sakit hati.... Aku heran dan kaget tak kepalang. Aku belum pernah
memberitahu perbuatan guruku kepada orang lain dan gurukupun tak pernah membuka
rahasia busuknya itu ?"
"Begitu mendengar Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen, tubuhku menggigil. Jika Taysoe
sudi mengunjuk dimana adanya dia, aku rela menjadi kerbau atau kuda untuk kepentingan
Taysoe, kata ku. Ia menghela napas dan berkata dengan suara menyesal: Perbuatan Seng
Koen memang suatu kedosaan yang sangat besar. Akan tetapi, dalam kegusarannya, Kiesoe
sudah membunuh begitu banyak orang dan perbuatan Kiesoe itu juga merupakan kedosaan
yang tidak kecil."
"Aku mendongkol dan sebenarnya ingin sekali menyemprotnya. Tapi karena tahu, bahwa aku
bukan tandingannya, maka sambil menahan amarah, aku berkata: Aku berbuat begitu sebab
tidak ada jalan lain. Seng Koen menyembunyikan diri dan aku tidak dapat mencarinya."
"Ia manggut-manggutkan kepala seraya berkata: Aku mengerti, aku sangat merasakan
perasanmu. Sakit hatimu besar luar biasa dan aku tidak dapat melampiaskan, akan tetapi,
Song Tay hiap adalah murid pertama Thio Sam Hong Cinjin dan jika kau membinasakannya,
bakal muncul gelombang yang tidak kecil. "
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 247
"Aku tersenyum getir. Itu memang tujuanku,jawabku. Makin dahsyat gelombang yang
diterbitkan olehku, makin baik lagi, karena hanyalah itu yang bisa memaksa keluarnya Seng
Koen dari tempat persembunyiannya."
"Sesudah itu, aku dan Kong Kian bicara seperti berikut: Cia Kiesoe, jika kau membinasakan
Song Tayhiap, memang Seng Koen tidak bisa tidak keluar dari tempat persembunyiannya.
Akan tetapi, Seng Koen sekarang bukan Seng Koen dulu. Terang terang aku mengatakan,
bahwa kepandaian Kie soe masih belum dapat menandinginya. Biar bagaimanapun jua,
Kiesoe tak akan bisa membalas sakit hatimu. "
"Seng Koen adalah guruku. Aku lebih mengenal kepandaiannya daripada Taysoe."
"Tidak, tidak begitu. Ada halnya yang tidak di ketahui Kiesoe. Seng Koen telah mendapat
guru yang sangat lihai dan selama tiga tahun ia telah memperoleh kemajuan lvar biasa pesat.
Biarpun Kiesoe mahir dalam ilmu Cit siang koen dari Khong tong pay Kiasoe tak akan dapat
melukakannya"
"Untuk sekian kalinya aku terkejut. Kong kian Taysoe belum pernah bertemu denganku, tapi
gerak gerikku diketabui begitu jelas olehnya. Aku mengawasinya dengan mata membelalak.
Sesudah menenteramkan hatiku yang berdebar-debar, aku bertanya: Bagaimana Taysoe tahu?
Ia menjawab: Seng Koen sendiri yang memberitahukan kepadaku"
Coei San, So So dan Boe Kie mengeluarkan suara tertahan dengan berbareng.
"Kalian heran, tapi aku lebih heran lagi. Aku melompat bahna kagetku, dan membentak:
Bagaimana dia tahu? Kong kian menjawab dengan suara perlahan: Selama beberapa tahun, ia
selalu mendampingi Kiesue. Hanya karena ia selalu selalu menyamar, maka Kiesoe tak
mendapat tahu. Tak mungkin! teriakku. Tak mungkin! Aku mengenalnya. Biarkan dia sudah
menjadi abu, aku masih dapat mengenalinya."
"Kong kian menggelengkan kepala seraya berkata deagan suara lemah lembut: Cia Kie soe,
kau bukan seorang semberono. Akan tetapi, karena kau hanya ingat soal membalas sakit hati,
maka kau tidak memperhatikan keadaan disekitarmu. Kau ditempat terang, dia ditempat
gelap. Tak heran jika kau tidak mengenalinya."
"Aku tidak bisa tidak percaya keterangan itu. Kong kian taysoe adalah seorang pendeta suci
yang namanya terkenal dikolong langit, sehingga tak mungkin ia berdusta. Kalau begitu,
bukankah lebih baik baginya jika ia membunuh aku dengan membokong? kataku. Jika ia
ingin mengambil jiwa, ia dapat melakukannya seperti membalik tangan sendiri, Kata Kong
kian: Cia Kiesoe, dua kali kau coba membalas sakit hati, dua kali telah dikalahkan. Jika ia
memang mau menghendaki jiwamu, mengapa waktu itu ia tidak turun tangan? Pada waktu
kau coba merampas kitab Cit siang koen, kau telah mengadu Lweekang dengan tiga tetua dari
Kong tong pay. Sebagai mana kau tahu, partai itu mempunyai lima orang tetua. Kemana
perginya dua tetua yang lain? Mengapa kedua orang itu tidak turut mengerubuti kau? Kalau
Ngo lo (Lima tetua) turun tangan dengan berbareng, apakah Kiesoe masih bisa hidup terus?"
"Untuk kesekian kalinya, aku terkejut. Memang benar, waktu aku melukakan Khong tong
Sam loo (Tiga tetua Khong tong pay), aku mendapat tahu, bahwa dua tetua yang lain, yang
tidak turut bertempur, juga mendapat luka berat. Hal itu selalu merupakan teka teki yang tidak
dapat dipecahkan olehku. Apakah kedua tetua itu berkelahi dengan kawan sendiri? Apakah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 248
aku dibantu oleh seorang yang berilmu tinggi? Sekarang, mendengar perkataan Kong kian
Taysoe, aku bertanya didalam hati. Apakah dua tetua itu dilukakan oleh Seng koen ?"
Coei San dan So So adalah orang oraag mempunyai pengalaman, pergaulan dan pendengaran
luas. Mereka sudah kenyang mendengar cerita cerita aneh dalam Rimba persilatan, tapi belum
pernah ada yang seaneh cerita Cia Soen. Sesudah bergaul lama, mereka tahu, bahwa Cia Soen
bukan lihat ilmu silatnya saja, tapi juga lihay otaknya. Tapi Hoen Goan Pek lek chioe Seng
Koen kelihatannya lebih lihay dari pada saudara angkat itu.
"Toako." kata So So. "Apa benar kedua tetua Khong tong pay dilukakan oleh gurumu?"
Cia Soen mengangguk seraya menjawab "Benar. Akupun tetah mengajukan pertanyaan begitu
kepada Kong kian. Cia Kiesoe, apa kau lihat mukanya kedua tetua itu ? tanyanya. Bagaimana
paras muka mereka? Aku tidak lantas menjawab dan mengingat-ingat beberapa saat, barulah
aku berkata: Kalau begitu, Khong tong jie loo benar telah dilukakan oleh guruku. Aku
terpaksa mengakuinya, karena kuingat, bahwa pada waktu
Khong tong Jie loo menggeletak ditanah, muka mereka penuh dengan bintik-bintik merah
darah. Itu merupakan petunjuk, bahwa mereka telah menyerang dengan menggunakan tenaga
Im kin (Tenaga lembek), tapi telah dipukul balik dengan ilmu Hoen goan kong. Setahuku,
disamping akibat pukulan Hoen goan kong, bintik-bintik merah di muka ialah tanda dari
penyakit cacar atau sebangsanya. Tak mungkin Jie loo mendapatkan penyakit cacar, karena
pada hal itu, ketika aku baru bertemu dergan Khong tong Ngo loo, mereka semua segar bugar.
Aku juga tau, bahwa didalam Rimba Persilatan. Hoen goan kong hanya dimiliki oleh
guruku dan aku saja."
"Kong kian Taysoe manggut-manggutkan kepala. Ia menghela napas seraya berkata: Dalam
keadaan mabuk, memang gurumu telah melaku kan perbuatan sangat hebat. Sesudah tersadar
dari mabuknya, ia malu dan menyesal bukan main. Dua kali kau mencarinya untuk membalas
sakit hati, dua kali ia tidak mengambil jiwamu.Ia malah tidak ingin melukakan kau. Tapi
kerena kau menyerang secara nekad bagaikan orang edan, ia tak bisa meloloskan diri tanpa
melukakan kau. Sesudah itu ia terUs membayangi kau dari belakang dan tiga kali diam-diam
ia sudah menolong kau dari bencana."
"Aku segara mengingat ingat dan memang benar, selain dari peristiwa pertempuran melawan
para tetua Khongtongpay, dua kali aku terlolos dari bahaya secara mengherankan."
"Sesudah berdiam sejenak, Kong kian Taysoe berkata pula: karena tahu, bahwa kedosaannya
terlalu besar, ia tidak berani memohon ampuh. Ia hanya mengharap, bahwa lama-lama kau
akan melupakan sakit hati itu. Tapi diluar dugaan, gelombang yang diterbitkan olehmu makin
lama jadi makin besar dan jumlah manusia yang dibinasakan olehmu jadi makin banyak. Hari
ini jika kau membinasakan Song Tayhiap, suatu bencana besar tak akan dapat dielakkan lagi."
"Mendengar itu, aku segera berkata: Baiklah, aku tak akan cari orang she Song itu, Tapi aku
harap Taysoe suka minta guruku menemui aku. Jawab kong kian Taysoe: ia tak mempunyai
muka untuk bertemu dengan kau dan iapun tak berani menemui kau. Disamping itu, Cia
Kiesoe, bukan loolap mau memandang rendah kepadamu, andaikata kau bertemu dengan
gurumu, kaupun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dibandingkan dengan dia, kepandaianmu
masih terlalu rendah. Kurasa kau tak akan mampu membalas sakit hatimu."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 249
"Aku mata sangat mendongkol dan segera berkata: Taysoe adalah seorang pendeta suci yang
mempunyai perasaan adil. Apakah dengan berkata begitu Taysoe ingin aku menyudahi saja
urusan ini? Ia mengawasi aku dengan sorot mata kasihan."
"Aku dapat merasakan hebatnya penderitaan Kiosoe. katanya. Akan tetap, kau harus ingat,
bahwa perbuatan gurumu dilakukan dalam keadaan mabuk arak dan ia sebenarnya sama
sekali tidak berniat begitu. Apa pula ia sungguh2 nerasa malu dan menyesal. Maka itu, loolap
memohon pertimbangan Kiesoe mengingat kecintaan antara guru dan murid pada masa yang
lampau."
"Mendengar bujukan itu, sambil menahan amarah aku segera berkata dengan suara kaku!
Kalau kali ini aku tidak bisa memenang kan dia, biarlah dia binasakan aku. Jika aku tidak bisa
membalas sakit hati, akupun tak sudi hidup lebih lama lagi didalam dunia."
"Kong kian mengawasi aku dengan paras muka berduka. Lama ia berdiri termenung tanpa
menegeluarkan sepatah kata. Cia Kiesoe, katanva dengan suara perlahan, ilmu silat gurumu di
waktu sekarang berbeda jauh dari pada diwarktu dulu. Biarpun kau mempunyai pukulan Cit
siang koen, tak dapat kau melukakannya. Jika kau tak percaya, cobalah jajal pukulan itu
terhadap diri loolap."
"Aku dan Taysoe sama sekali tidak mempunyai permusuhan, mana berani aku melukakan
Taysoe? kataku, Walaupun berkepandaian rendah, kurasa Cit Siang koen tak mudah dilawan
orang. Mendengar jawabanku, ia mengawasi aku sejenak dan kemudian berkata dengan suara
tetap: Cia Kiesoe, marilah kita bertaruh. Gurumu telah membinasakan tigabelas anggauta
keluargamu dan kau boleh memukulku tigabelas kali. Jika kau berhasil melukakan aku, aku
tak akan campur lagi urusan ini dan gurumu akan keluar untuk menemui kau. Tapi jika kau
tak dapat melukakan aku, kau harus melupakan sakit hatimu. Cia Kiesoe, bagaimana
pendapatmu? Apa kau setuju pertaruhan ini."
"Aku tidak lantas menjawab. Kutahu pendeta itu memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan
biarpun lihay, Cit siang koen belum tentu dapat melukainya. Kalau aku tidak bisa melukainya,
apakah sakit hatiku boleh disudahi saja?"
"Sementara itu, Kong kian sudah berkata: Sekarang aku mau bicara terang-terangan kepada
Kiesoe. Sesudah mencampuri urusan ini, loolap pasti tidak akan mempermisikan kau
membinasakan lagi kawan-kawan Rimba Persilatan yang tak berdosa. Jika mulai dari
sekarang Kiesoe menghentikan perbuatan kejam itu, aku bersedia untuk melupakan segala
perbuatan perbuatan dulu-dulu.
"Cia Kiesoe, kau mencari musuhmu untuk membalas sakit hati. Apakah kau kira kelurga atau
murid-murid dari orang-orang yang dibunuh olenhmu tidak akan mencarimu untuk membalas
sakit hati?"
"Mendengar perkataan itu yang diucapkan dengan suara keren amarahku meluap. Baiklah aku
akan pukul kau tiga belas kali! teriakku. Jika merasa tidak tahan, Taysoe boleh segera
berteriak. Seorang laki-laki tak akan melanggar janji sendiri. Kalau kalah, Taysoe harus
meyuruh guru menemui aku."
"Kong kian bersenyum seraya berkata: Kiesoe boleh segera mulai. Melihat badannya yang
kate kecil, rambut dan alisnya yang sudah putih, dan paras mukanya yang welas asih, aku
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 250
sungguh merasa tak tega untuk turun tangan. Maka itu, dalam pukulan pertama, yang
ditujukan kedadanya aku hanya menggunakan tiga bagian tenaga"
"Gie hoe," memotong Bu Kie, "apakah kau menggunakan Cit siang koen yang dapat memutus
kan nadi pohon?"
"Tidak," jawabnya. "Dalam pukulan pertama aku menggunakan Pek lek chioe dari guruku.
Begitu terpukul, badan Kong kian Taysoe bergoyang goyang. Ia mundur setindak, Didalam
hati, aku memandang rendah kepadanya. Dengan mengguna kan tiga bagian tenaga saja, ia
sudah terhuyung setindak. Aku menduga, bahwa jika aku memukul dengan Cit siang koen,
dalam tiga kali pukul mengambil jiwanya. Dalam pukulan kedua aku menambah tenaga.
Badannya bergoyang goyang pula dan dia mundur setindak lagi. Pukulan yang ketiga pun
mengeluarkan hasil yang sama"
"Diam-diam aku merasa heran. Dalam pukulan ketiga, aku kembali menambah tenrga, tapi ia
tetap dapat menerimanya dengan sikap acuh tak acuh. Selain begitu, akupun merasa heran,
karena tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga yang melawan tenaga pukulanku."
"Aku segera menarik kesimpulan, bahwa untuk merubuhkannya aku perlu menggunakan
seantero tenaga. Akan tetapi, jika aku menggunakan seluruh tenaga, ia tentu akan terpukul
mati, atau sedikitnya terluka berat. Biarpun aku seorang jahat dan kejam, tapi terhadap Kong
kian Tayso yang rela berkorban untuk kepentingan orang lain, aku menaruh hormat yang
sangat besar. Maka itu, aku lantas berkata: Taysoe, kau menerima pukulan tanpa membalas.
Aku tak tega memukul lagi. Kau sulah dipukul tiga kaii. Baiklah aku sekarang berjanji tak
akan cari Song Wan Kiauw."
"Tapi bagaimana dengan sakit hatimu terhadap Seng Koen ? tanyanya. Dengan bernapsu aku
menjawab: Aku dan Seng Koen tidak bisa hidup bersama-sama dikolong langit. Kalau bukan
dia, akulah yang binasa. Aku berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: Tapi sesudah
Taysoe tampil kemuka, dengan memandang Taysoe aku berjanji, bahwa mulai dari sekarang
aku tak akan membunuh lagi kawan-kawan dalam Rimba Persilatan. Tujuanku hanya Seng
Koen dan keluarganya!"
"Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: Atas nama kawan-kawan Rimba Persilatan,
aku menghaturkan terima kasih untuk janji Kiesoe itu. Tapi loolap sudah mengambil
keputusan untuk mendamaikan sakit hati ini, sehingga oleh karenanya, lebih baik Kieso
meneruskan pukulan itu"
"Diam-diam aku menghitung-hitung. Memang paling baik aku melakukannya dengan Cit
siang koen untuk memaksa keluarnya guruku. Untung juga, aku sudah mahir dalam pukulan
itu, sehingga berat entengnya, mengirimnya atau menarik pulangnya dapat dilakukan sesuka
hatiku. Dengan demikian, kurasa aku akan dapat mengimbangi pukulanku supaya tidak
sampai mengambil jiwa pendeta yang mulia itu. Memikir begitu, aku segera berkata: Baiklah
dan lalu mengirim pukulan Cit siang koen. Begitu lekas tinjuku menyentuh dadanya, dada itu
agak melesak dan ia maju setindak."
Boe Kie menepuk-nepuk tangan. "Heran sungguh !" katanya sambil tertawa. "Kali ini, sebaik
nya dari pada mundur, Hweeshio tua itu maju kedepan."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 251
"Toako, bukankah Kong kian Taysoe menyambut pukulanmu dengan ilmu Kim kong Poet
hoay tee (ilmu malaikat untuk membebaskan tubuh manusia dari sega1a kerusakan) dari
Siauw lim pay?" tanya Coei San.
Cia Soen mengangguk beberapa ka1i. "Ngotee, kau ternyata mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang luas sekali," ia memuji. "Memang benar Kong kian Taysoe menggunakan
ilmu itu. Kali ini, berbeda dari pada waktu menyambut tiga pukulan yang pertama, dari dalam
tubuhnya keluar tenaga berbalik, sehingga isi perutku tergoncang hebat. Aku mengerti, bahwa
Kong kian Taysoe sudah terpaksa mengeluarkan ilmu tersebut. Jika tidak, ia tak akan dapat
menyambut pukulan Cit siang koan. Sudah lama kudengar, bahwa Kim kong Poet hoey tee
dari Siauw lim pay adalah salah satu dari lima ilmu ajaib yang tertinggi dalam Rimba
Persilatan. Sekarang baru aku tahu ilmu itu sungguh-sungguh hebat. Aku segera mengirim
tinju kelima dengan menggunakan tenaga im-jioe (Tenaga lembek). Ia menyambutnya dengan
maju lagi setindak dan aku sendiri lalu mengerahkan Lweekang untuk mempunahkan tenaga
im-jioe yang berbalik menghantam diriku..."
"Giehoe," Boe Kie memutus pula perkataan ayah angkatnva," pendeta tua itu telah melanggar
janji. Ia berjanji tidak akan membalas, tapi mengapa ia menghantam balik tenaga Im-jioemu?"
Cia Soen mengusap usap kepala bocah itu dan berkata pula dengan suara halus: "Sesudah aku
mengirim tinju kelima, Kong kian Taysoe berkata: Cia Kiesoe, aku tak nyana Cit siang koen
sedemikian hebat. Jika aku tidak mengerahkan Lweekang untuk menolak tenagamu, aku tak
akan dapat bertahan."
"Tidak apa, kataku. Bahwa Taysoe sudah tidak membalas dengan pukulan, aku sudah merasa
amat sangat berterima kasih."
"Bagaikan huyan angin aku segera mengirim pukulan keenam, ketujuh, kedelapan dan
kesembilan. Kong kian Taysoe sungguh-sungguh lihay. Ia menyambut setiap pukulan dengan
sikap tenang dan apa yang paling mengherankan, ia dapat membedakan lebih dulu tenaga
tenaga yang digunakan olehku."
"Awas! teriakku seraya mengirim tinju yang kesepuluh."
Jilid 13_______________
Ia mengangguk sedikit dan lalu mendului maju dua tindak kedepan.
"Dalam pukulan yang kesepuluh aku telah menggunakan seantero tenaga dan aku terhuyung
kebelakang beberapa tindak sebab terbentur dengan tenaga menolak yang sangat dahsyat. Aku
tidak bisa melihat mukaku sendiri."
"Tapi kutahu mukaku sudah pucat bagaikan kertas, sedang napas Kong kian Taysoe pun
tersengal sengal. Cia Kiesoe, kau harus mengaso dulu sebelum mengirim pukulan kesebelas,
katanya. Aku adalah seorang yang sungkan mengaku kalah, tapi pada saat itu, benar-benar ku
tak sanggup segera mengirim pukulan."
Coei San dan So So mengawasi sang kakak dengan perasaan tegang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 252
"Giehoe, lebih baik kau jangan memukul lagi," kata Boe Kie dengan tiba tiba.
"Mengapa?" tanya Cia Soen.
"Pendeta tua itu sangat mulia hatinya," jawab nya. "Jika Giehoe melukakannya, hati Giehoe
tentu merasa tak enak. Jika Giehoe terluka kejadian itu sama tidak baiknya."
Coei San dan So So saling melirik. Mereka merasa girang, bahwa Boe Kie yang masih begitu
kecil sudah mempunyai pemandangan jauh. Terutama Coei San merasa sangat terhibur,
karena ia mendapat kenyataan, bahwa puteranya mempunyai pribudi yang luhur dan dapat
membedakan apa yang benar, apa yang salah.
Cia Soen menghela napas panjang. "Ya? Aka hidup berpuluh tahun dengan cuma-cuma dan
pikiranku tak bisa menandingi pikiran anak kecil," katanya dengan suara menyesal. "Tapi
pada waktu itu, dengan adanya tekad bulat untuk membalas sakit hati, aku tidak
menghiraukan apapun juga. Aku merasa, bahwa jika aku memukul tiga kali lagi, salah
seorang pasti akan binasa atau luka berat. Tapi aku tidak perduli. Aku segera mengerahkan
seluruh lweekang dan mengirim pukulan yang kesebelas. Kali ini ia melompat, sehingga tinju
yang ditujukan kedadanya. mengenakan kempungan. Aku mengerti maksudnya yang sangat
mulia. Jika aku memukul dadanya, tenaga mendorong dari dada itu hebat luar biasa dan ia
kuatir aku tak kuat menerimanya. Tapi dengan memasang kempungan, ia sangat menderita.
Begitu kena, ia mengerutkan alis, seperti orang sedang menahan sakit."
"Untuk sejenak aku berdiri terpaku dan mengawasi dengan mata mendelong. Taysoe,
kedosaan guruku sangat besar dan tak lebih dari pada pantas jika ia menerima hukuman mati,
kataku dengan suara terharu. Mengapa Taysoe rela mengorbankan diri yang berharga
bagaikan emas dan giok untuk menolong manusia yang berdosa itu?"
"Ia tidak lantas menjawab. Untuk beberapa saat, ia berdiri tegak dan mengatur jalan
pernapasan. Sesudah itu, ia tertawa getir seraya berkata: Dua pukulan lagi . . . dan . . .
permusuhan akan cepat dibereskan . Melihat begitu tiba-tiba dalam otakku berkelebat serupa
ingatan. Ternyata pada waktu mengerahkan tenaga Kim long Poet hay tee, ia tidak boleh
bicara. Mengapa aku tidak memancing supaya ia bicara dan dengan berbareng mengirim
pukulan mendadak ?"
"Mengingat begitu segera aku berkata : Kalau dalam tigabelas pukulan, aku berhasil
melukakan Taysoe, apakah Taysoe tanggung bahwa guruku bakal datang untuk menemui
aku? Seorang beribadat tak akan berdusta, jawabnya. Meskipun Taysoe berjanji, tapi apakah
Taysoe mempunyai pegangan, bahwa ia pasti akan muncul ? tanyaku pula. Ia menjawab: ia
sendiri yang mengatakan begitu kepadaku."
"Pada detik itulah, sebelum ia bicara habis dengan mendadak dan bagaikan kilat cepatnya,
aku mengirim pukulan yang kedua belas kearah kempungannya. Aku merasa pasti bahwa ia
tak akan keburu mengerahkan tenaga Kim kong Poeti hay tee !"
"Tapi diluar dugaan, ilmu itu dapat digunakan menurut kemauan hati. Begitu lekas tinjuku
menyentuh kempungannya, tenaga malaikat dari Kim kong Poet hoay tee sudah berada
diseluruh tubuh nya. Tiba-tiba aku merasa langit berputar dan bumi terbalik, sedang isi
perutku seolah-olah mau meledak. Aku terhuyung tujuh delapan tindakkan. Sesudah
punggungku membentur pohon, barulah aku bisa berdiri tegak."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 253
"Hatiku hancur dan mendadak aku mendapat pikiran jahat. Sudahlah! teriakku. Sakit hati ini
sukar bisa dibalas. Guna apa Cia Soen hidup lebih lama didalam dunia ? Seraya berkata
begitu, aku mengangkat tangan untuk menghantam batok kepalaku."
"Lihay ! Sungguh lihay tipu itu!" seru Boe Kie. "Tapi Giehoe, apakah siasatmu itu tidak
terlalu kejam?"
"Melihat apa kau?" tanya Coei San,
"Melihat Giehoe mau membunuh diri dengan rnenghantam batok kepala sendiri, Hweeshio
tua itu pasti akan berteriak untuk mencegah dan akan coba menolong," jawab Boe Kie.
"Giehoe pasti akan turun tangan pada saat pendeta itu tidak berjaga-jaga. Tapi ia begitu baik
terhadapmu dan Giehoe tentu tidak boleh melukakannya. Bukankah begitu? "
Bukan main herannya Coei San dan So So. Mereka memang tahu, bahwa anak itu sangat
cerdas otaknya. Tapi mereka sama sekali tak pernah menduga, bahwa dalam tempo sekejap
mata, ia sudah bisa melihat akal khianatnya Cia Soen. Mereka sendiri adalah orang-orang
yang terkenal pintar dan mempunyai banyak pengalaman dalam dunia Kangouw. Tapi dalam
kecepatan berpikir, mereka ternyata masih kalah setingka t dari anak itu.
Paras muka Cia Soen berubah sedih dan sesudah menghela napas, ia berkata dengan suara
parau: "Benar. Aku justru ingin menyalah gunakan kemuliaan Kong kian Tayso! BoaeKie,
tebakanmu tepat sekali. Biarpun benar gerakanku itu merupakan suatu akal busuk, tapi pada
waktu aku mengayun tangan untuk menepuk batok kepalaku, aku menghadapi bahaya yang
sangat besar. Kalau aku tidak menghantam sungguh-sungguh dengan sepenuh tenaga, Kong
kian tentu bisa melihatnya dan ia pasti tak akan coba, menolong."
"Dari tiga belas pukulan hanya ketinggalan satu pukulan saja. Cit siang koen memang lihay,
tapi sudah ter bukti, bahwa itu tak bisa menghancurkan Kim kong Poet hoay tee yang
melindungi seluruh tubuhnya. Maka itu, dengan pukulan biasa, tak usah diharap aku bisa
berhasil dan aku boleh tak usah mimpi untuk membalas sakit hati ini. Demikianlah, ibarat
orang berjudi, pada detik itu aku tengah melemparkan dadu yang penghabisan kali. Aku
menghantam dengan sekuat tenaga. Jika ia tidak menolong, maka aku akan binasa dengan
kepala hancur. Memang, kalau aku tidak bisa membalas sakit hati, memang labih baik aku
binasa"
"Melihat sambaran tanganku, Kong kian Taysoe berteriak: Hei! Jangan ... Seraya berteriak, ia
melompat dan nenangkis tanganku. Pada detik itulah aku mengirim tinju kiri kebawah
dadanya. Buk ! Tinjuku mampir tepat pads sasarannya. Kali ini ia benar sekali tidak berjaga
jaga. Tubuh manusia terdiri dari darah dan daging tentu saja tak bisa menerima pukulan Cit
sang koen yang sehebat itu. Tanpa bersuara, pendeta yang sangat rnulia itu rubuh ditanah!"
"Aku mengawasinya sejenak dan tiba tiba rasa kemanusiaanku mengamuk hebat. Aku
memeluknya dan rnenangis keras. Kong kian Taysoe, Cia Soen tak mengenal pribadi, lebih
hina daripada babi dan anjing! kataku dengan suara parau."
Coei San bertiga tidak rnengeluarkan sepatah kata. Mereka sangat berduka akan kebinasaan
pendata yang berhati begitu mulia.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 254
"Melihat aku menangis, Kong kian Taysoe bersenyum." kata pula Cia Soen. "Ia menghibur
aku dengaan berkata: Setiap manusia didunia harus pulang kealam baka! Kiesoe tak usah
begitu sedih. Tak lama lagi gurumu akan tiba disini dan kau harus menghadapinya dengan
penuh ketenangan."
"Nasehat itu menyadarkan aku. Barusan, sesudah megirimkan tiga belas pukulan, tenaga ku
dapat di katakan habis. Sekarang dalam menghadapi lawan berat, tak boleh aku terlalu
berduka, karena hal itu dapat merusak semangat. Aku segera bersila dan mengatur jalan
pernapasan. Tapi sesudah lewat sekian lama, guruku belum juga datang. Aku melirik kong
kian Taysoe dan melihat bahwa pada paras mukanya terlukis rasa heran."
"Sesaat itu, napas Kong kian Taysoe sudah sangat lemah. Iapun mengawasi aku dan berkata
dengan suara terputus putus. Tak dinyana .... ia tidak.....tidak..... boleh dipercaya. Apa dia
tertahan karena urusan lain ?"
"Aku gusar tak kepalang. Kau menipu aku! bentakku. Kau menipu aku, sehingga aku
membinaskan kau. Sampai sekarang guruku masih belum muncul!"
"Ia mengeleng gelengkan kepala. Aku tidak menipu katanya. Aku merasa bersalah
terhadapmu."
"Dalam kegusaran yang meluap-luap, aku mencacinya. Tiba-tiba selagi memaki, aku terkejut
sebab ingat kenyataan yang sebenarnya. Andaikata ia menipu aku, tipunya merupakan
pengorbanan jiwa dan baginya tak ada keuntungan apa pun jua, pikirku. Sesudah
mengorbankan jiwa, ia malah meminta maaf kepadaku."
"Bukan main rasa maluku dan aku segera berlutut di sampingnya. Taysoe, apakah kau
mempunyai keinginan yang belum ditunaikan? tanyaku dengan suara parau. Katakan saja.
Aku pasti akan melakukannya."
"Ia bersenyum seraya berkata dengan berbisik: Aku hanya mengharap, bahwa jika kau mau
membunuh orang, ingatlah loolap."
"Kong kian Taysoe bukan saja seorang pendeta suci yang memiliki ilmu silat sangat tinggi,
tapi juga seorang budiman dan bijaksana yang dapat menyelami perasaanku. Ia mengerti,
bahwa jika ia meminta supaya aku menyudahi permusuhan dan mengubah menjadl orang
baik, aku tentu tak akan dapat melakukannya. Ia tahu bahwa permintaan begitu bakal sia-sia
saja. Maka itu, ia hanya memesan, supaya jika mau membunuh orang, biarlah aku ingat
pengorbanannya."
"Ngote, hari itu, pada waktu itu mengadu tenaga didalam perahu, aku tidak mengambil
jiwamu, sebab, secara mendadak, aku ingat Kong kian Taysoe."
Coei San tercengang. Sedikitpun ia tak pernah menduga bahwa jiwanya ditolong oleh seorang
pendeta yang sudah tidak ada lagi dalam dunia. Ia menghela napas dengan rasa kagum dan
rasa hormat yang tiada batasnya.
"Giehoe, mengapa kau mengadu tenaga dengaa Thia-thia?" Boe Kie menyelak..
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 255
"Mereka hanya main-main untuk menjajal Lwee kang siapa yang lebih tinggi," So So
mendahului.
Bocah itu tak percaya. "Giehoe," katanya pula. "Apa waktu itu kedua matamu sudah bute"
"Boo Kie ! Jangan ngaco!" bentak sang ibu dengan rasa terkejut.
Cia Soen bersenyum. "Belum, waktu itu aku belum buta," jawabnya. "Mengapa kau menanya
begitu?"
Mendengar jawaban ayah angkatnya, Boe Kie segera berkata lagi: "Kalau begitu, mungkin
sekali karena ayah tidak bisa mengalahkan Giehoe, maka ibu sudah turun tangan dan
membutakan ke dua matamu...."
"Boe Kie!" bentak Coei San dan So So denngan berbareng sehingga anak itu ketakutan dan
tidak berani membuka suara lagi.
"Tak boleb kamu menakut-nakuti anak itu," kata sang kakak, "Boe Kie, tebakanmu tak salah.
Bagaimana kau dapat rnenebaknya?"
Bocah itu mengawasi kedua orang tuanya dan menjawab dengan suara terputus-putus: "Aku...
aku...."
"Kau benar," kata sang ayah angkat. "Waktu itu, sebab ayahmu tidak bisa mengalahkan aku,
ibumu sudah turun tangan dan menimpuk kedua mataku. Tapi kejadian itu sudah terjadi lama
sekali dan orang yang bersalah adalah aku sendiri. Aku sama sekaili tidak menjadi gusar.
Apakah kau dengar dari ibumu ?"
Ia tahu, bahwa So So tak mungkin menceritakannya kepada puteranya, tapi ia sengaja
mengajukan pertanyaan itu supaya Coei San dan So So tidak bisa mencegah penjelasan si Boe
Kie.
"Tidak ! Ayah dan ibu sama sekali belum pernah menuturkan kejadian itu kepadaku," jawab
Boe Kie. "Beberapa hari yang lalu ibu mengatakan, bahwa ia mau mengajar aku menimpuk
dengan jarum emas, tapi pada esok harinya, ia membatalkan janji. Menurut dugaanku,
ayahlah yang sudah melarang ibu, karena ia kuatir hal itu mengingatkan Giehoe akan kejadian
kejadian yang lampau."
Cia Soen tertawa terbahak bahak. "Ngote, So moay, anak kita lebih pintar lima kali lipat dari
pada aku dan lebih cerdas sepuluh kali lipat dari pada kamu berdua," katanya dengan suara
girang dan bangga, "Hmm . . .! Aku tak bisa menebak kelihayannya dibelakang hari ."
Tanpa terasa Coei San dan So So mengulur tangan mereka dan mencekal tangan sibocat erat
erat. Mereka merasa sangat girang. tapi kegirangan itu tercampur dengan rasa kuatir. Coei San
kuatir, bahwa karena terlalu pintar dihari kemudian anak itu akan menyeleweng. Sedang So
So sendiri kuatir puteranya tidak bisa berumur panjang.
"Giehoe," kata pula Boe Kie sambil tertawa. "Dengan berkata begitu, bukankah Giehoe lebih
pintar dua kali lipat daripada ayah dan ibu ?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 256
"Lebih daripada dua kali lipat," jawabnya di susul dengan tertawa nyaring.
"Giehoe, bagaimana dengan pendeta tua itu ? Apa ia dapat diselamatkan jiwanya ?" tanya
pula si bocah.
Cia Soen menghela napas. "Tidak, tak dapat disembuhkan lagi," jawabnya. "Napasnya makian
lama jadi makin lemah. Dengan mati matian aku menekan jalanan darah Leng tayhiatnya
sambil mengempos Lweekang untuk coba menolong jiwanya. Tiba-tiba ia menarik napas
panjang-panjang dan berkata dengan suara berisik: Apa gurumu belum datang? Belum!
jawabku. Kalau begitu, ia tidak akan datang,katanya lagi."
"Taysoe, legakanlak hatimu"' kataku. "Aku berjanji, bahwa aku tak akan membunuh orang
lagi secara serampangan untuk memancing dia. Untuk mencarirya, aku akan menjelajahi
seluruh dunia."
"Ia mengangguk dan berkata dengan suara terputus putus: Bagus bagsus... Hanya sayang ilmu
silatmu belum bisa menadinginya .... kecuali....kecuali..... "
"Sampai disitu, suaranya hampir tak dapat didengar lagi. Aku menempelkan kupingku
dimulutnya. Sesaat kemudian ia berkata pula: Kecuali..... kau dapat mencari To liong to......
mencari golok itu punya pit......... Ia hanya dapat mengeluarkan perkataan 'pit'. Napasnys
menyesak dan lalu menghambuskan napas penghabisan!"
(Penerusan "pit" yalah "bit". Pit bit berarti "rahasia".
Sekarang Coei San dan So So baru rnengerti mengapa kakak itu berusaha untuk mengorek
rahasia To liong to, mengapa ia kadang-kadang kalap seperti binatang buas dan mengapa ia
selalu
diliputi kedukaan. Sesudah mengangkat saudara sepuluh tahun. baru malam itu mereka
mengetahui asal usul Cia Soen.
"Sesudah mencari dibanyak tempat. belakangan barulah aku dengar dimana adanya golok
mustika itu," kata pula Cia Soen. "Buru-buru aku pergi kepulau Ong poan san untuk
merebutnya. Kejadian selanjutrya sudah diketahui kamu dan tak perlu aku mengulangi lagi.
Sebelum mendapat golok itu, aku berusaha mati-matian meacari Seng koen. Tapi sesudah
memiliki, aku berbalik takut di cari olehnya. Maka itu, aku rnemerlukan sebuah tempat yang
jauh dan tak dikenal manusia untuk coba memecahkan rahasia yang tersembunyi dalam golok
itu. Karena kuatir kamu membocorkan rahasiaku, maka aku sudah membawa kamu datang
disini. Tak dinyana kita sudah berdiam disini tak kurang dari sepuluh tahun. Cia Soen ... ah....
Cia Soen! Setiap usahamu selalu menemui kegagalan!"
"Menurut Toako, perkataan Kong kian Taysoe , belum selesai diucapkan," kata Coei San. "Ia
mengatakan: Kecuali bisa mencari To liong to punya pit ... Mungkin sekali ia mempunyai
maksud lain"
Cia Soen menghela napas. "Selama sepuluh tabuh siang malam aku mengasah otak," katanya.
"Tapi aku tetap gagal. Tidak bisa salah lagi, didalam golok itu bersembunyi rahasia besar.
Hanya otakku tidak cukup tajam untuk menembus kabut yang menyelimuti rahasia itu. Boe
Kie, kau jauh lebih pintar daripada aku. Dikemudian hari mungkin sekali kau akan berhasil
dimana aku mengalami kegagalan."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 257
"Gie hoe, berapa usia Seng Koen sekarang?" tanya si anak.
Paras muka Cia Soe lantas saja berubah, "Tak salah kau, nak," katanya. "Dia sekarang sudah
berumur enampuluh lima tahun. Sakit hatiku kebanyakan tidak bisa terbalas Hai! Langit!
Langit! Kau telah membuat aku sangat menderita!"
Coei San dan So So mengerti apa yang dipikir kakak mereka. Andaikata dibelakang hari Boe
kie berhasil memecahkan rahasia To liong to, andaikata ia memperoleh ilmu yang dapat
merubuhkan Seng Koen, andaikata ia bisa pulang ke Tionggoan dan mencari Seng Koen, hal
itu tentunya bakal terjadi dalam duapuluh atau tigapuluh tahun kemudian. Pada waktu itu,
sepuluh sembilan harapan, Seng Koen sudah berpulang kealam baka.
Sesudah beromong-omong lagi beberapa lama, fajar mulai menyingsing. "Boe Kie," kata Cia
Soen. "Kau jangan tidur lagi. Giehoe akan mengajarkan kau semacam ilmu silat. "
Coei San dan So So saling melirik, tapi mereka tidak berani membantah dan lalu kembali
keguha mereka.
Cia Soen tak pernah menyebut-nyebut lagi urusan itu, hanya caranya mendidik Boe Kie jadi
berubah. Ia sekarang menurunkan pelajaran dengan lebih bengis dan keras.
Boe Kie baru saja berusia sembilan tahun dan biarpun otaknya sangat cardas, bagaimana ia
dapat menyelami pelajaran Cia Soen yang begitu tinggi dalam tempo begitu pendek? Tapi
sang ayah angkat tidak menghiraukan pertimbangan itu. Setiap kali bocah itu tidak memenuhi
pengharapannya, ia bukan saja mencaci tapi juga memukulnya.
Sering kali So So melihat tanda-tanda biru bekas pukulan ditubuh puteranya, ia merasa
kasihan dan tempo-tempo berkata : "Toako, tak dapat Boe Kie mempelajari semua ilmu
silatmu dalam tempo pendek. Kita berdiam dipulau yang terpencil dan kita mempunyai
banyak sekali tempo. Kurasa Toako tak usah begitu tergesa-gesa."
"Aku bukan menyuruh dia melatih diri dalam pelajaran-pelajaran yang diturunkan olehku,"
jawab sang kakak. "Aku hanya memerintahkan supaya dia mengingat dan menghafal semua
pelajaran itu didalam otaknya."
So So tak mengerti maksud Cia Soen. Ia hanya tahu, bahwa kakak itu seorang aneh dengan
cara-caranya yang aneh pula. Ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan sang kakak
bertindak semaunya.
Apa yang dapat dilakukannya hanyalah membujuk Boe Kie jika dia mendapat hajaran keras.
Tapi anak itu sedikitpun tidak menjadi jengkel. "Ibu, maksud Giehoe sangat baik," katanya.
"Makin keras ia memukul, makin cepat aku menghafal pelajaran."
Demikianlah setengah tahun yang pertama telah lewat. Pada suatu pagi, tiba-tiba Cia Soen
berkata: "Ngotee, So-moay, empat bulan lagi angin dan arus laut akan membeluk keselatan.
Mulai hari ini kita sudah boleh membuat getek."
Coei San kaget tercampur girang. "Toako, apa kah kau maksudkan, bahwa sesudah membuat
getek, kita akan bisa kembali ko Tionggoan?" tanyanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 258
"Tergantung atas kebijaksanaan Langit," jawabnya dengan suara tawar. "Ini yang dinamakan.
manusia berusaha, Langit berkuasa. Kalau untung baik, pulang ketempat sendiri, kalau nasib
malang, tenggelam didasar laut."
Jika mereka menuruti keinginan So So, mereka tak usah menempuh bahaya besar itu. Mereka
hidup bahagia dan bebas merdeka dan So So sudah merasa sangat puas. Akan tetapi,
disamping itu masih terdapat lain pertimbangan yang sangat berat. Mereka memikirkan nasib
Boe Kie. Dengan siapa anak itu akan menikah ? Apa tidak kasihan, jika ia harus hidup
selama-lamanya dipulau yang terpencil itu? Demi kepentingan Boe Kie, jika masih ada jalan,
biar bagaimana jua mereka harus berusaha untuk kembali ke dunia pergaulan.
Demikianlah, dengan bersemangat mereka lantas saja mulai bekerja. Untung juga di pulau itu
terdapat banyak pohon besar, sehingga soal bahan tidak menjadi soal lagi. Cia Soen dan Coei
San menebang pohon, So So membuat layar dan tambang dari serat kulit kayu, sedang Boe
Kie dan si kera putih pun turut membantu atau mengacau.
Biarpun Cia Soen dan kedua suami isteri itu orang-orang yang berkepandaian tinggi tapi
karena kekurangan alat, pekerjaan mereka main dengan lambat sekali dan mereka harus
menggunakan lebih banyak tenaga daripada seharusnya. Di waktu menebang pohon atau
mengikat balok-balik untuk dijadikan getek. Cia Soen selalu memerintahkan Boe Kie berdiri
disampingnya dan ia mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pelajarannya. Coei San dan
So So tidak diharuskan lagi menyingkir dan mereka bisa mendengar tanya jawab antara ayah
dan anak angkat itu. Mereka merasa heran , karena tanya jawab itu hanya mengenai Kouw
koat (teori) dari berbagai ilmu silat.
Ternyata Cia Soen hanya menyuruh anak menghapal teori ilmu silat tangan kosong, ilmu
golok, ilmu pedang dan sebagainya, tanpa memberi pelajaran mengenai cara-cara
menggunakan teori itu. Dengan lain perkataan, Boe Kie hanya menghapal teori secara
membeo, seperti anak sekolah jaman dulu menghapal kitab Soe sie dan Ngo keng tanpa
mengerti maksudnya.
So So yang mendengari sambil bekerja, merasa kasihan pada puteranya. Jangankan seorang
bocah cilik seperti Boe Kie, sedang seorang dewasapun tak akan bisa ingat Kouw-koat yang
sulit itu tanpa mempelajari pukulan pukulannya.
Sebagai guru, Cia Soen bengis bukan main. Salah satu perkataan saja. Boe Kie dicaci atau di
gaplok. Biarpun ia menampar tanpa mengerah Lweekang, tapi karena kerasnya, muka Boe
Kio sering menjadi bengkak.
Sesudah menggunakan tempo dua bulan lebih barulah getek itu selesai dibuat. Untuk
memasang tiang layar, mereka barus bekerja kira kira setengah bulan lagi. Sesudah itu,
mereka memburu binatang. mengasini daging dan menjahit kantong kantong kulit untuk
dijadikan tempat air.
Mereka harus mempersiapkan sebaik baiknya karena tak dapat diramalkan berapa lama
mereka harus belayar ditengah samudara yang luas.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 259
Waktu segala persiapan beres, siang hari sudah pendek dan malam sangat panjang, tapi arah
angin masih belum berubah. Sambil menunggu perobahan angin, mereka membuat sebuah
gubuk dipinggir laut untuk menempatkan getek itu.
Sekarang Cia Soen tidak pernah berpisaran lagi dengan Boe Kie dan diwaktu malam, mereka
tidur bersama sama. Dengan bengis dan tidak mengenal lelah, ia terus mengisi pelajaran
pelajaran terakhir kedalam otak anak angkat itu.
Pada suatu malam, waktu mendusin. tiba tiba Coei San mendengar suara angin yang agak
aneh. Ia melompat bangun dan ternyata, angin rnulai meniup dati sebelah utara. Buru burn ia
manggoyang goyangkan tubuh istrinya seraya berkata dengan suara girang: "So So, kau
dengarlah !" Sebelum istrinya tersadar diluar sudah terdengar teriakan Cia Soen: "Angin utara
datang!" Ditengah malaria buta, teriakan itu yang seperti tangisan kedengarannya
menyeramkan sekali.
Pada esokan paginya, dengan rasa girang tercampur haru, Coei San, So So berkemas karena
adanya harapan besar untuk kembali kewilayah Tiong goan dan terharu sebab mereka harus
segera berpisahan dengan pulau yang indah itu dimana mereka sudah berdiam kira-kira
sepuluh tahun lamanya. Kira-kira tengah hari barulah semua bekal selesai dipindahkan keatas
getek. Sesudah itu, mereka bertiga mendorong getek tersebut keatas air. Orang yang
melompat keatas getek paling dulu adalah Boe Kie yang mendukung si kera putih, diikuti oleh
sang ibu. "Toako, mari melompat bersama-sama," kata Coei San sambil mencekal tangan
sang kakak.
"Ngotee," tiba-tiba Coei San berkata dengan suara parau. "Mulai saat ini, kita berpisah untuk
selama-lamanya! Aku harap kau bisa menjaga diri."
Kagetnya Coei San bagaikan disambar halilintar ditengah hari bolong. Ia menatap wajah
kakaknya dengan mata membelalak dan berkata dengan suara terputus-putus :
"Toako....kau....kau..."
"Ngotee, kau seorang yang berhati mulia dan kau pasti akan hidup beruntung." kata Cia Soen.
"Tapi nasib manusia sukar ditebak dan kemauan Langit sukar diketahui. Maka itu , dalam
tindakan-tindakamu, kau haruslah berhati-hati. Boe Kie telah medapat seantero kepandaianku.
Ia berotak sangat cerdas dan dihari kemudian ia pasti bisa berada disebelah atas kita berdua.
Mengenai So moay, biarpun ia seorang wanita, ia gagah dan pintar sehingga ia pasti tak akan
di hina orang. Ngotee, orang yang aku kuatirkan adalah kau sendiri."
"Toako, jangan kau ngaco!" kata Coei San dengan bingung. "Apa aku....kau..... tidak mau ikut
kami ?"
Sang kakak bersenyum sedih. "Pada beberapa tahun berselang, aku sudah mengatakan begitu
kepadamu," katanya. "Apa kau lupa ?"
Coei San terkejut. Memang benar Cia Soan pernah mengatakan begitu, akan tetapi karena soal
itu tidak disebut-sebut lagi, Coei San dan So So tidak mengangapnya sungguh-sungguh.
Selama membuat getek dan mempersiapkan bekal, sang kakak juga tidak pernah
mengutarakan niatannya itu. Tak dinyana pada saat mau berangkat barulah ia
memberitahukan keputusannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 260
"Toako, mana boleh kau berdiam dipulau ini", kata pula Coei San dengan suara memohon,
"Ayolah !" Seraya berkata begitu, ia membetot tangan kakaknya, tapi kedua kaki Cia Scam
seolah berakar didalam tanah.
"So moay! Boe Kie kemari ! Toako tidak mau mengikut," teriak Coei San.
So So dan Boe Kie tentu saja kaget dan buru buru mereka melompat balik kedaratan.
"Giehoe, mengapa kau tidak mau turun ?" tanya si bocah, "Jika kau tidak turut, akupun tidak
turut."
Tak usah dikatakan lagi, Cia Soen pun merasa sangat berat untuk berpisahan dengan mereka.
Ia mengerti, bahwa perpisahan itu adalah untuk selama-lamanya. Akan tetapi, sesudah
merenungkan masak-masak dalam tempo lama, ia telah mengambil keputusan untuk tidak
kembali ke Tiorggoan. Mengapa? Karena, jika ia mengikut, keluar, Coei San akan
menghadapi bencana yang tidak habis-habisnya. Biarpun ia mempunyai riwayat yang
berlamuran darah dan ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan kejam, tapi semenjak
mengangkat saudara dengan Coei San dan So So, ia mencintai ketiga orang itu seperti
mencintai diri sendiri. Dan kecintaannya terhadap Boe Kie tidak kurang daripada
kecintaaanya pada anak kandung sendiri.
Ia mengerti, bahwa diatas pundaknya tertumpuk dengan beban hutang darah. Baik dalam
kalangan Kangouw, maupun dalam kalangan Liok
li (Rimba hijau kalangan perampok), entah berapa banyak jumlahnya musuhnya yang ingin
membalas sakit hati. Apa pula, sesudah merniliki To liong to, bakal makin banyak orang yang
menghendaki jiwa dan goloknya.
Dulu sedikitpun ia tidak merasa gentar. Tapi sekarang, sesudah kedua mata nya buta, ia
merasa tak sanggup untuk melayani begitu banyak musuh. Sebagai orang gagah sejati, jika ia
dikerubuti, Coei San dan So So sudah pasti tak akan berdiri dengan berpeluk tangan. Maka
itu, kalau ia mengikut, bukan saja ia sendiri tspi kedua saudara augkat dan anak pungutnya
pun akan turut menjadi korban. Demikianlah, sesudah memikir baik-baik, ia mengambil
keputasan itu.
Mendengar perkataan Boe kie, ia terharu bukan main. Sambil memeluk anak angkat itu, ia ber
kata dengan suara serak: "Boe Kie, kau dengarlah perkataan Giehoe! Giehoe sudah tua, mata
buta dan sudah enak hidup disini. Kalau kembali ke Tionggoan, Giehoe akan menderita.
"Sesudah kembali ke Tionggon anak akan melayani Giehoe dan tidak akan berpisahan lagi
dengan Giehoe," kata Boe Kie. " Giehoe mau makan atau mimum apa, anak akan segera
menyediakan nya. Bukankah penghidupsn begitu sama senangnya seperti penghidupan
disini?"
Cia Soen menggelengkan kepala, "Tidak, aku lebih senang berdiam terus disinl," katanya.
"Kalau begitu, anakpun lebih senang hidup terus disini," kata pula bocah itu. "Thia, kita
batalkan saja keberangkatan ini."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 261
"Toako, jika kau mempunyai lain pendapat, lebih baik tau mengutarakan saja terang-terangan
supaya kita beramai dapat mengatasinya" kata So So. "Biar bagaimanapun jua, kita tak nanti
meninggalkan kau disini seorang diri"
"Toako," Coei San menyambungi, "apakah karena mempunyai banyak musuh, kau kuatir
akan merembet-rembet kami? Sepulangnya di Tiong goan, kita boleh mencari sebuah tempat
yang sepi dan kita boleh hidup menyendiri tanpa bergaul dengaa manusia lain. Menurut
pendapatku, paliang benar kita berdiam di Boe tong san. Tak seorang pun yang akan
menduga, bahwa Kim-mo Say-ong berada digunung itu."
"Hmm.... " Cia Soen mengeluarkan suara dihidung. "Biarpun kakakmu seorang bodoh, tak
usah ia menyembunyikan diri dibawah perlindungan Thio Cinjin!'
Coei San terkejut. Ia tahu bahwa ia sudah kesalahan bicara dan buru buru berkata pula .
"Bukan, bukan begitu maksudku. Kepandaian Toako tidak barada disebelah bawah Soehoe
dan tentu saja Toako tak perlu berlindung dibawah perlindungan Soehoe. Di wilayah Tiong
goan terdapat banyak sekali tempat yang terpencil dan jauh dari dunia pergaulan. misalnrya
Hoei kiang, Tibet, daerah gurun pasir dan sebagainya. Kita berempat boleh pergi kesitu dan
menuntut
penghidupan yang tenteram "
"Kalau mau mencari tempat yang jauh dari pergaulan manusia, tempat inilah yang paling
baik!" Kata sang kakak. "Eh, katakan saja, apa kamu mau pergi atau tidak?"
"Tanpa kau, kami tak akan berangkat," jawab So So dan Boe Kie dengan berbareng.
Cia Soen menghelas napas "Baiklah"' katanya "kita semua jangan pergi. Sesudah aku mati,
kamu masih mempunyai banyak tempo untuk pulang ke Tiong goan."
"Benar, kita sudah berdiam disini sepuluh tahun dan tak usah kita tergesa-gesa." kata Coei
San.
"Bagus!" bentak Cia Soen. "Sesudah aku mampus, aku mau lihat apa kamu masih mau
berdiam disini." Seraya berkata begitu, mendadak ia menghunus To liong to dan mengayun
kelehernva.
Semangat Coei San terbang. "Jangan celakakan Boe Kie!" teriaknya. Ia mengerti, bahwa ia
tak akan mampu mencegah niat kakaknya sehingga jalan satu-satunya adalah berteriak begitu.
Benar saja Cia Soen terkejut. Goloknya berhenti ditengah udara dan ia, bertanya: "Apa?"
"Toako jika kau sudah mengambil keputusan pasti siauwtee tidak dapat berbuat lain dari pada
meminta diri," katanya dengan suara parau dan lalu berlutut dihadapan sang kakak.
"Giehoe!" teriak Boe Kie. "Jika kau tidak pergi akupun tidak pergi. "Kalau kau bunuh diri,
akupun bunuh diri"
Cia Soen kaget. Ia tahu, bocah yang luar biasa pincar itu sekarang balas menggeretaknya.
Buru buri ia memasukan To liong to kedalam sarung dan membentak: "Setan kecil! Jangan
ngaco kau!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 262
Tiba tiba, ia mencengkeram punggung Boe Kie dan melemparkannya kegetek dan kemudian
melontarkan juga Coei San dan So So. "Ngotee! So moay! Boe Kie!" teriaknya dengan suara
duka. "Semoga perjalananmu diiring dengan angin baik dan siang-siang kembali di Tiong
goan."
Melihat majikannya sudah berada digetek, si kera putihpun buru-buru melompat kegetek itu.
"Giehoe! Giehoe!" sesambat Boe Kie.
Cia Soen mencabut pula To liong to dengan membentak dengan suara angker: "Jika kamu
turun lagi, Kamu akan temukan mayatku!"
Karena terpukul arus air, perlahan lahan getek itu meninggalkan pulau. Makin lama bayangan
Cia Soen jadi makin kecil. Coei San dan So So mengerti bahwa keputusan kakak mereka
sudah tak dapat diubah lagi. Mereka tak bisa berbuat lain daripada nengulap-ulapkan tangan
dengan rasa sedih dan berterima kasih tak habisnya.
Sesudah berada dilautan terbuka Coei San bertiga tidak mengenal arah dan membiarkan getek
itu berlayar semau maunya. Apa yang diketahui
mereka, ialah setiap pagi matahari naik dari sebelah kiri dan setiap sore, turun dari sebelak
kanan. Saban malam, mereka bisa melihat bintang Pak kek dibelakang getek. Siang malam,
dengan perlahan getek itu bergerak maju.
Selama kurang lebih dua puluh hari, Coei san tak berani memasang layar sebab kuatir getek
itu membentur dengan gunung es. Tanpa layar, walau pun terbentur, benturan itu tidak keras,
dia tak akan mencelakakan. Sesudah berpisahan dengan gunung es, barulah mereka
menaikkan layar.
Dengan bantuan angin utara yang meniup tak henti-hentinya, getek itu mulai maju kearah
selatan dengan pesat sekali. Dasar nasib baik, ditengah parjalanan mereka tidak pernah
bertemu dengan badai dan dilihat tanda tandanya, mungkin mereka akan bisa pulang dengan
selamat.
Selama sebulan Coei San dan So So tak pernah menyebut-nyebut Cia Soen, karena kuatir
menbangkitkan kedukaan Boe Kie. Pada suatu hari sambil mengawasi permukaan air, tanpa
merasa So So berkata "Toako benar-benar seorang luar biasa. Ia bukan saja tinggi ilmu silat
nya, tapi juga paham lain-lain ilmu "
"Ibu, menurut katanya Giehoe, selama setengah tahun angin meniup keselatan dan setengah
tahun lagi meniup ke utara," kata Boe Kie. "Biarlah lain tahun kira kembali ke Peng hwee to
untuk menengok Giehoe."
"Benar," kata Coei San "Sesudah kau besar, kita beramai-rarnai mengunjungi lagi pulau itu."
"Apa itu?" So So memutuskan perkataan suaminya seraya menuding keselatan.
Jauh-jauh, digaris pertemuan antara angit dan laut, terlihat dua titik hitam.
Coei San terkesiap. "Apa ikan paus ?" katanya dengan suara ditenggorokan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 263
Susudah mengawasi beberapa lama, So So ber kata: "Bukan, bukan ikan paus. Aku tak lihat
semburan air."
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus memperhatikan kedua titik hitam itu. Berselang
kurang lebih satu jam, tiba tiba Coei San berseru dengan suara girang: "Perahu ! Perahu !"
Bahna girangnya, ia melompat bangun dan berjungkir balik. Boe Kie tertawa terbahak-bahak
dan lalu mengikuti ayahuya yang sedang kegirangan. So So sendiri buru buru mengambil
kayu bakar, menuang minyak ikan diatasnya dan lalu menyulutnya.
Sesudah lewat kira-kira satu jam lagi, sedang matahari mulai mendoyong kebarat, mereka
sudah bisa melihat tegas dua buah perahu diatas permukaan air. Mendadak So So kelihatan
menggigil dan paras mukanya berubah pucat.
"Ibu, ada apa ?" tanya Boe Kie dengan perasaan heran.
Sang ibu tidak menjawab, tapi bibirnya bergemetar. Dengan paras muka kuatir, Coei San
mencekal kedua tangan isterinya. So So menghela napas. "Baru pulang, sudah bertemu,"
katanya.
"Apa?" menegas sang suami.
"Lihat layar itu," jawabnya sambil menuding kesebuah perahu.
Coei San mengawasi keperahu yang berada di sebelah kiri. Ia mendapat kenyataan, bahwa
pada layarnya terpeta sebuah tangan berdarah dengan lima jeriji yang terpentang lebar. "Layar
itu aneh sekali, apa kau tahu perahu siapa?" tanyanya.
"Perahu Peh bie kauw dari ayahku !" jawabnya dengan suara perlahan.
Coei San tertegun. Sesaat itu rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat diotaknya. "Ayah So So
seorang jahat dan kejam, bagaimana aku harus berbuat jika bertemu dengannya ? Bagaimana
si Insoe terhadap pernikahanku ini tanyanya di dalam hati. Kedua tangan isterinya yang
dicekelnya agak bergemetar. Ia mengerti, bahwa sang isteripun sedang memikiri berbagai soal
yang tengah dihadapi mereka.
"So So," katanya dengan suara membujuk. "Kita sudah menikah dan anak kita sudah begini
besar. Langit diatas, bumi dibawah apapun yang akan terjadi kita tak akan berpisah lagi. Kau
tak usah kuatir."
So So mengangguk dan bersenyum. "Aku ha nya mengharap kau tidak menyesalkan aku,"
katanya dengan suara perlahan.
Boe Kie yang belum pernah melihat perahu, tidak menghiraukan pembicaraan antara ayah
darn ibunya dan matanya terus mengawasi kedua perahu itu, yang kelihatannya sangat
berdekatan, seolah-olah menempel satu sarna lain. Jika tidak ada perobahan arah, getek
mereka akan perpapasan dengan kedua perahu itu dalam jarak puluhan tombak.
"Apa kita perlu memberi isyarat ?" tanya Coei San.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 264
"Tak perlu" jawab So So. "Susudah tiba di Tiong goan, aku akan mengajak kau, dan Boe Kie
pergi menemui ayah."
"Baiklah," kata sang suami.
Mendadak Boe Kie berteriak: "Hei! Lihat! Orang-orang itu sedang berkelahi!"
Coei San dan So So terkejut dan lalu melihat kedua perahu itu. Benar saja mereka melihat
berkelebat-kelebatnya senjata dan empat lima orang sedang bertempur.
"Apa ayah berada disitu ?" kata So So dengan rasa kuatir.
"Sesudah terlanjur bertemu, ada baiknya kita menengok sebentar," kata Coei San. Ia segera
mengubah kedudukan layar dan membelokan kemudi sehingga getek mmbelok kekiri, menuju
ke arah kedua perahu itu.
Berselang kira-kira setengah jam barulah getek mendekati kedua perahu itu. "Pelancong yang
tidak ada urusan jangan datang dekat !" demikian terdengar terlakan dari perahu Peh bie
kauw.
"Aku adalah Hio coe dari Congto !" teriak So So. "Tocoe dari bagian mana yang sedang
memasang hio?"
Mendengar teriakan itu yang menggunakan istilah rahasia dari Peh bie kauw, orang yang
barusan berteriak lantas saja berubah sikapnya'. "Maaf! Kami tak tahu, bahwa yang datang
adalah Hio coe dari Congto," katanya dengan sikap hormat. "Kami adalah rombongan Lie Hio
coe dari Thian sie tong yang memimpin Hong Tan coe dari Sin
coa tan dau Thia Tancoe dari Ceng liong tan. Bolehkah kami mendapat tahu, Hio coe dari
mama yang, datang kesini ?"
"Hio coe dari Cie wie tong," jawab So So.
Hampir berbareng dengan jawaban So So, keadaan diperahu Peh bie kauw menjadi kalut.
Beberapa orang berlari-lari, rupanya untuk memberitahukan pemimpin mereka, sedang
belasan orang berteriak dengan suara kaget dan girang: "In Kouwnio pulang ! In Kouwnio
pulang !"
Biarpun sudah menjadi suami isteri sepuluh tahun, So So belum pernah membicarakan Peh
bie kauw dengan suaminya. Sedang Coei San pun belum pernah menanyakan. Sesudah
mendengar tanya jawab itu, barulah Coei San tahu, bahwa kedudukan Hio coe dari Cie wie
tong lebih tinggi dari pada kedudukan Tancoe. Waktu berada di pulau Ong poan san, ia
pernah menyaksikan kepandaian Tancoe dari Hian boe tan dan Coe ciak tan yang lebih
unggul dari pada ilmu silat So So. Ia mengerti bahwa isterinya bisa menjadi Hiocoe adalah
karena So So puteri pemimpin besar dari Peh bie kauw. Maka itu, dapatlah diduga, bahwa Lie
Hiocoe dart Thian sie tong seorang yang berkepandaian sangat tinggi.
Tiba-tiba dari perahu Peh bie kauw terdengar suara seorang tua: "Menuiut laporan, In Kauw
nio sudah kembali. Bagaimana kalau kita menghentikan pertempuran untuk sementara waktu?
"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 265
"Baiklah !" jawab seorang yang suaranya nyaring bagaikan genta. "Hentikan Pertempuran!"
Dengan serentak suara beradunya senjata terhenti dan semua orang melompat keluar dari
gelanggang pertempuran.
Mendengar suara yang nyaring itu, jantung Coei San memukul keras. "Apa Jie Lian Cioe
Soeko?" teriaknya.
Jawab orang itu: "Aku Jie Lian Cioe. Ah...... Kau .... Kau ..."
"Siauwtee ..Coei San..." jawabnya dengan suara terputus-putus bahna terharunya. Sesaat itu
jarak antara getek dan perahu Jie Lian Cioe belasan tombak. Dengan tergesa-gesa Coei San
menyambar sepotong papan yang lalu dilontarkan keatas air, akan kemudian ia melompat
kepapan itu dan sekali menotol dengan satu kakinya untuk meminjam tenaga, tubuhnya sudah
melesat kekepala perahu Jie Lian Cioe.
Jie Lian Cioe menubruk dan memeluk Soeteenya. Sesudah mereka berpisahan sepuluh tahun
dapat dimengerti perasaan mereka pada sesaat itu. Si adik berseru dengan suara parau:
"Jieko'" Sang kakak berbisik "Ngotee!" Mata mereka basah.
Dilain pihak, orang-orang Peh bie kauw menyambut In So So dengan segala upacara. Empat
buah terompet yang dibuat dari keong laut raksasa ditiup dengan serentak. Li Hiocoe berdiri
paling depan dengan Hong Tancoe dan Thia Tancoe di belakangnya, dan dibelakang ketiga
pemimpin itu berdiri kurang lebih seratus pengikut Peh bie kauw.
Diantara perahu besar dan getek dipasang selembar papan dan getek itu digaet dengan gala
gaetan oleh beberapa anak buah perahu, supaya tetap pada tempatnya. Sambil menuntun Boe
Kie, So So menyeberang perahu dengan melewati papan itu.
Didalam kalangan Peh bie kauw, orang yang berkedudukan paling tinggi ialah Kauwcoe
(pemimpin agama), Peh bie Eng ong In Thian Ceng. Di bawah Kauwcoe terdapat Lwee sam
tong (Tiga "Tong" Dalam) dan Gwa ngo tan (Lima "Tan" Luar) yang bantu pemimpin para
pengikut Peh bie kauw.
Lwee sam tong terdiri dari Thian-wie tong, Cia wie tong dan Thian sie tong, sedang Gwa ngo
tan yalah Sin coa tan, Ceng liong tan, dan (peep: the other three not specified )
Hiocoe (pemimpin) Thian wie tong yalah putera sulung In Thian Ceng yang bernama In Ya
Ong. Hiocoe Thian sie tong yalah Lie Thian Hoan, Soetee (adik seperguruan) In Thian Ceng.
Walau pun berkepandaian sangat tinggi dan tingkatannya lebih tua daripada So So, dengan
memandang muka Kauwcoe, ia berlaku sangat hormat terhadap nyonya muda itu.
Melihat So So menuntun seorang bocah dan pakaiannya, yang terbuat daripada kulit binatang,
mesum dan compang campicg. Lie Thian Hoan terkejut. Tapi dengan paras muka berseri, ia
tertawa neraya berkata: "Terima kasih kepada Langit, terima kasih kepada Bumi, akhirnya
kau pulang juga. Selama sepuluh tahun, bukan main jengkelnya ayahmu."
So So memberi hormat dengan berlutut. "Soe siok selamat bertemu pula!" katanya. Ia
menengok kepada puteranya dan berkata pula: "Lekas berlutut dihadapan Soe-siok-couwmu."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 266
Boe Kie buru buru menekuk kedua lututnya dengan mata mengawasi Lie Thian Hoan dan
ratusan orang yang berdiri dibelakang kakek paman guru Soe siok couw itu.
"Soesiok," kata So So sambil bangun berdiri. "anak ini adalah anak tit lie (keponakan
perempuan) bernama Boe Kie."
Lie Hiecoe terkesiap, tapi sejenak kemudian, tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus!"
serunya. "Ayah mu pasti akan kegirangan. Bukan saja puterinya pulang dengan selamat, tapi
juga sudah mendapatkan sang cucu yang tampan dan pintar."
Melihat noda-noda darah dan beberapa mayat yang menggeletak digeledak perahu, So So
bertanya dengan suara perlahan: "Perahu siapa itu? Mengapa kalian berkelahi?"
"Orang-orang Boe tong pay dan Koen loan pay," jawab Thian Hoen.
Melihat suaminya sedang berpelukan dengan salah seorang dari perahu itu, So So
mengerutkan alis dan berkata pula: "Lebih baik kita menghentikan dulu pertempuran ini dan
tit-lie akan berusaha untuk mendamaikan!"
"Baiklah," jawab sang Soesiok.
Walaupun secara pribadi, tingkatan Lie Thian Hoan sebagai Soesiok (paman guru) lebib
tinggi daripada So So, akan tetapi secara resmi, didalam kalangan Peh bie kauw,
kedudukannya lebih rendah daripada nyonya muda itu, karena is memimpin "tong" ketiga,
sedang So So menjadi Hiocoe "tong" kedua.
"So So, Boe Kie kemari! Temui Soekoku !" demikian terdengar teriakan Coei San.
Sambil rnenuntun Boe Kie, So So segera pergi keperahu Boe tong. Lie Thian Hoan, Hong dan
Thia Tancoe bingung, tapi tanpa merasa mereka lalu mengikuti nyonya muda itu.
Diatas geladak perahu Boetong terdapat tujuh delapan orang dan salah seorang yang berusia
kira kira empatpuluh tahun dan bertubuh jangkung kurus sedang berpegangan tangan dengan
Coei San. "So So, inilah Jie Soeko yang namanya sering di sebut-sebut olehku," kata Coei
San sambil bersenyum, "Jieko, inilah teehoemu (teehoe isteri dari adik lelaki) dan
keponakanmu Boe Kie."
Semua orang kaget bukan main. Peh bie kauw dan Boe tong pay sedang bertempur matimatian.
Tak nyana, dua orang penting dari kedua belah pihak telah terangkap menjadi suami
isteri dengan sudah mempunyai seorang putera.
Jie Lian Cioe mengerti, bahwa kejadian itu banyak latar belakangnya dan penjelasannya
meminta tempo. Secara bijaksana, ia lebih dahulu memperkenalkan kawan kawsnnya kepada
Coei San dan So So.
Seorang Toosoe tua yang berbadan kate gemuk yalah See hoa coe dari Koen loan pay, sedang
seorang wanita setengah tua yang masih berparas cantik diperkenalkan sebagai Soemoay
(adik seperguruan) dari Soe hoa coe. Ia itu bukan lain dari pada San tian chioe (si Tangan
kilat) Wie Soe Nio, yang dalam kalangan kang ouw dikenal sebagai Son tian Nio. Beberapa
orang lainnya juga jago jago kosen Koen loan pay, hanya nama mereka tidak begitu terkenal
seperti See hoa coe dan Wie Soe Nio.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 267
Meskipun sudah berusia lanjut, See hoa coe masih berangasan. "Thio Ngohiap, dimana
adanya bangsat jahat Cia Soen?" tanyanya. "Kau mesti tahu!"
Coei San bingung tak kepalang. Sebelum mendarat, ia sudah menghadapi dua soal sulit.
Pertama partainya sendiri bermusuhan dengan Peh bie kauw dan kedua, begitu membuka
mulut, orang
sudah menanyakan tempat bersembunyinya Cia Soen. Ia merasa sukar untuk menjawab
pertanyaan imam itu dan segera berkata sambil berpaling kepada Jie Lian Coe: "Jieko ada
apakah sehingga kalian mesti bertempur?"
See hoa coe mendongkol. "Hai ! Apa kau tak dengar pertanyaanku?" bentaknya. "Di mana
adanya bangsat Cia Soen ?" Sebagai seorang yang gampang marah, dalam Koen loan pay Soe
hoa coe berkedudukan tinggi dan lihay ilmu silatnya, sehingga ia sudah biasa main bentakbentak
terhadap orang-orang separtainya.
Hong Tancoe, pemimpin Sin coa tan, adalah seorang yang sangat "berbisa". Dalam
pertempuran tadi dua orang muridnya telah binasa dibawah pedang See hoa coe, sehingga ia
merasa sangat sakit hati.
Maka itu, begitu mendengar bentakan si Toosoe, ia lantas saja menggunakan kesempatan baik
itu. "Huh ! Jangan banyak lagak kau !" katannya deagan suara dingin. "Thio Ngohiap adalah
menantu dari Peh bie kauw. Tidak boleh kau bicara begitu kasar terhadapnya"
Soe hoa coe lantas saja meluap darahnya. "Tutup rnulutmu !" bentaknya. "Mana bisa seorang
baik baik menikah dengan perempuan siluman dari agama yang menyeleweng ? Dalam
pernikahan itu pasti terdapat latar belakarg yang busuk."
"Jangan mengacao kau !" Hong Tancoe tertawa dingin. "Buktinya Kauwcoe kami sudah
mempunyai cucu."
Dengan kalap See hoa coe berteriak: "Perempuan siluman itu ... "
"Soeheng jangan tarik urat dengan manusia itu" memotong Wie Soe Nio. "Dalam urusan ini
kita menyerahkan saja kapada Jie hiap." Ia sudah melihat maksud Hong Tancoe untuk
mengadu domba Boe tong pay dengan Koen loan pay.
Mendengar perkataan Soe moaynya, See hoa coe juga tersadar dan sambil menahan amarah,
ia menutup mulut.
Sambil mengawasi Coei San dan So So, Jie Lian Coe merasa bingung dan didalam otaknya
berkelebat-kelebat banyak pertanyaan. "Paling baik kita bicara digubuk perahu," katanya
sesudah memikir beberapa saat. "Saudara-saudara kedua pihak yang mendapat luka harus
ditolong terlebih dahulu."
Dalam perahu Jie Liam Coe, Peh bie kauw merupakan tamu dan orang yang berkedudukan
paling tinggi dalam "agama" itu ialah In So So, Hio coe Cie wie tong. Maka itu, sambil
menuntun Boe Kie, So So masuk paling dulu kedalam gubuk perahu, diikuti oleh Lie Hiocoo
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 268
dan kedua Tancoe. Selagi Hong Tancoe baru mau masuk, mendadak ia merasakan kesiuran
angin yang menyambar pinggangnya.
Sebagai seorang yang berpengalaman, ia tahu bahwa dirinya dibokong See hoa coe.
Sebaliknya dari menangkis, ia menubruk kedepan seraya berteriaknya: " Celaka! Aku
dibokong!" Dengan gerakannya itu, ia sudah mempunahkan pukulan Sam in Coat houw chioe
dari See hoa coe. Mendengar teriakan itu, semua orang menengok mengawasi Hong Tancoe
dan See hoa coe yang muka nya berubah marah seperti kepiting direbus.
Dengan rasa jengah, Wie Soe Nio deliki Soe hengnya. Pada saat itu, Hong Tancoe ialah
seorang tamu terhormat dan bokongan terhadapnya bukan saja melanggar peraturan, tapi juga
memalukan.
Didalam gubuk perabu, So So menduduki kursi tamu yang pertama dengan Boe Kie berdiri
didampingnya, sedang Jie Lian Cioe duduk dikursi pertama dari pihak tuan rumah. Sambil
menunjuk sebuah kursi disebelah belakang kursi Wie Soe Nio, Jie Lian Cioe berkata:
"Ngotee, kau duduk disitu." Coei San mengangguk dan lalu duduk di kursi yang ditunjuk,
sehingga kedua suami isteri duduk sebagai tuan rumah dan tamu.
Selama sepuluh tahun, sesudah Thio Coei San menghilang dan Jie Thay Giam tidak pernah
keluar karena lukanya, yang bergerak dalam Rimba Persilatan haayalah lima pendekar Boe
tong pay dan selama sepuluh tahun itu, nama mereka jadi makin cemerlang. Biarpun
kedudukan mereka adalah murid turunan kedua dari Boe tong pay, tapi dalam Rimba
Persilatan mereka sudah bisa berendeng dengan pendeta-pendeta Siauw lim sie yang
berkeduduka n tinggi. Selama tahun-tahun yang belakangan, orang- orang Kangouw makin
menghargai dan menghormati Boe tong Ngo hiap. Maka itu lah, biarpun tingkatannya tinggi.
Soe hoa coe dan Wie Soe Nio mempersilahkan Jie Liam Cioe duduk dikursi utama.
Beberapa murid segera menyuguhkan teh dan sambil mengundang para tamunya minum teh.
Jie Lian Cioe menimbang-nimbang perkataan apa yang harus diucapkannya terlebih dahulu.
Perangkapan jodoh antara Coei San dan puteri In Kauwcoe adalah kejadian yang sangat diluar
dugaan dan ia merasa bahwa jika ia menanyakan langsung persoalan itu dihadapan orang
banyak. Coei San tentu akan merasa jengah dan tidak akan mau bicara seterang-terangnya.
Memikir begitu ia lantas saja berkata dengan suara nyaring: "Sebagnimana kita tahu, Siauw
lim, Koen loen. Go bie, Khong thong dan Boe tong, lima "pay". Sin koen, Ngo hong to dan
lain lain, berjumlah sembilan "boen", Hay see, Kie keng dan sebagainya, tujuh "pang",
sehingga semuanya duapuluh satu partai atau golongan, telah salah mengerti dengan Peh bie
kauw karena usaha kita untuk mencari Cia Soen. In Kouwnio dan Soeteeku, Coei San. Salah
mengerti itu telah berbuntut dengan bentrokan, sehingga selama telah bertahun tahun jatuh
banyak korban yang binasa dan terluka . . ."
Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Sungguh syukur, secara tidak diduga duga,
In Kouwnio dan Thio Soetee pulang dengan selamat. Peristiwa yang sudah terjadi selama
sepuluh tahun itu tidak dapat dibereskan dalam tempo pendek. Maka itu menurut pendapatku,
sebaiknya kita menunda dulu permusuhan dan pulang kemasing-masing tempatnya. Biarlah In
Kouwnio melaporkan segala pengalamannya kepada In Kauw coe, sedang Thio Soetee
memberi pertanggungan jawab dihadapan guru kami. Sesudah itu, kita boleh mengadakan
pertemuan pula untuk coba membereskan soal-soal kita. Adalah kejadian yang sangat di
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 269
harap-harapkan, jika dalam pertemuan itu kita dapat menyudahi permusuhan yang sudah
berlarut-larut ini "
"Dimana adanya bangsat Cia Soen ?" See-hoa coe memutus perkataan Lian Cioe. " Tujuan
kita yang terulama adalah mencari bangsat Cia Soen." Coei San kelihatan berduka sekali. Ia
merasa sangat tidak enek, karena, gara-gara mencari orang yang hilang dalam Rimba
Persilatan telah muncul gelombang yang begitu besar dan yang sudah meminta sangat banyak
korban. Mendengar pertanyaan See hoa coe, ia jadi serba salah. Jika ia memberitahukan
terang-terangan, sejumlah besar pentolan Rimba Persilatan sudah pasti akan meluruk ke Pang
hwee to untuk mencari kakaknya. Jika ia membungkam ..... bagaimana ia dapat
membungkam?
Selagi ia bimbang, tiba-tiba terdengar suara So So: "Bangsat Cia Soen yang jahat dan
membunuh manusia secara serampangan sudah mampus sembilan tahun yang lalu,"
Semua orang kaget. "Sudah mati ?" mereka menegas serentak.
"Benar," jawabnya. "Pada suatu malam, yaitu ketika aku melihatnya anakku, bangsat Cia
Soen mendadak kalap. Selagi mau membunuh Ngoko dan aku, tiba-tiba dia dengar suara
tangisan bayi ku. Penyakitnya kambuh dan bangsat itu mati dengan mendadak."
Coei San mengerti maksud isterinya. Dengan, mengatakan, bahwa "Cia Soen yang jahat
sudah. mati." So So tidak berdusta, karena, bagai mendengar tangisan Boe Kie, kekalapan dan
kekejaman "Cia Soen yang jahat" menghilang dan mulai dari detik itu, ia berubah menjadi
seorang baik, dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sembilan tahun berselang , "Cia
Soen yang jahat" sudah mati dan Cia Soen yang baik menjelma dalam dunia.
See hoa coe mengeluarkan suara dihidung. Ia tidak percaya keterangan So co yang
dianggapnya sebagai perempuan menyeleweng dari "agama,
yang menyeleweng pula.
"Thio Ngohiap, apa benar bangsat Cia Soen sudah mampus?," tanyanya dengan suara keras.
"Benar, bangsat Cia Soen yang jahat sudah mati pada sembilan tahun berselang," jawab Coei
San dengan suara sungguh-sungguh.
Sekoyong-konyong Boe Kie menangis keras "Giehoe bukan bangsat jahat!" teriaknya.
"Giohoe tidak mati! Giehoe tidak mati! "
Biarpun berotak sangat cerdas, Boe Kie masih terlalu kecil dan belum berpengalaman. Rasa
cintanya terhadan Cia Soen tidak kurang dari rasa cintanya terhadap kedua orang tuanya
sendiri.
Maka itu, dapatlah dimengerti, jika ia tidak tahan mendengar tanya jawab itu dan caciancacian
yang ditujukan terhadap ayah angkatnya.
Semua orang terkesiap dan tertegun. Dalam gusarnya. So So menggapelok muka puteranya.
"Diam!" bentaknya dengan bengis. "Ibu, mengapa kau mengatakan Giehoe sudah mati?"
tanya bocah itu dengan suara serak "Bukankah ia masih hidup segar bugar?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 270
"Jangan campur-campur urusan orang tua !" bentak sang ibu "Yang sudah mati adalah Cia
Soen, si penjahat jahat, bukan Giehoemu."
Boe Kie bingung, tapi ia tidak berani membuka rnulut lagi.
See hoa coe tertawa dingin. "Saudara kecil," katanya kepada Boe Kie. "Cia Soen ayah
angkatmu bukan? Dimana dia sekarang ?"
Si bocah mengawasi muka kedua orang tuanya. Sekarang ia mengerti, bahwa perkataan yang
tadi dikeluarkanuya mempunvai arti yang sangat penting. Ia menggelengkan kepala seraya
menjawab: "Tidak, aku akan beritahukan kau." Dengan tidak sengaja, jawaban itu merupakan
bukti yang lebih kuat, bahwa Cia Soen sebenarnya belum mati .
Sambil mengawasi Coei San dengan mata men delik, See hoa coe membentak: "Thio
Ngohiap! Apa benar In Kouwnio isterimu ?"
"Benar, dia isteriku!" jawabnya dengan suara nyaring.
"Dua orang murid partai kami telah celaka dalam tangan isterimu." kata pula See hoa coe
sambil menahan amarah. "Mereka mati tidak, hidup pun tidak. Bagaimana kita harus
memperhitung kan perhitungan ini ?"
Coei San dan So So terkejut.
"Jangan ngaco!" bentak nyonya muda itu.
"Dalam hal ini mungkin terselip salah mengerti," kata Coei San, "Sudah sepuluh tahun karni
berdua meninggalkan wilayah Tionggoan. Cara bagai man kami bisa mencelakakan murid
partai kalian"'
"Huh huh! " See hoa coe menggeram. "Memang.....memang Ko Cek Seng dan Chio Tauw
sudah menderita lebih dari sepuluh tahun lamanya."
"Ko Cek Seng dan Chio Tauw ?" menegas So So.
"Apa Thio Hoejin masih ingat kedua orang itu?" ejek See hoa coe. "Aku kuatir kau sudah
tidak ingat lagi karena kau telah membunuh ter lalu banyak manusia."
"Mengapa mereka?" bentak So So. "Mengapa kau menuduh aku secara membuta tuli ?"
"Menuduh membuta tuli! Membuta tuli...!" teriak Soe hoa coe. "Ha ha ha ! .... Mereka se
karang sudah jadi gila..... sudah hilang ingatan.. Tapi mereka masih ingat namanya satu
manusia. Mereka masih ingat, bahwa yang mencelakakan mereka adalah In So So!" Seraya
mengatakan begitu, ia menatap wajah nyonya Coei San dengan mata beringas.
"Tutup mulutmu !" bentak Hong Tancoe. "Kau tidak berhak untuk menyebutkan nama
terhormat dari Hiocoe Cie wie tong kami. Apakah kau tidak tahu adat-istiadat Rimba
Persilatan? Cian pwee apa kau ? Thia Hiantee, apakah dalam dunia ini ada hal yang lebih
memalukan dari pada itu?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 271
"Tak ada," jawab Thia Tancoe. "Aku sungguh tak mengerti, mengapa sebuah partai yang
begitu tersohor mempunyai murid ugal-ugalan seperti dia. Sungguh memalukan ?"
Di ejek begitu, See hoa coe jadi kalap. "Binatang ! Siapa yang memalukan ?" teriaknya seraya
mencekal gagang pedangnya.
Hong Tancoe tetap tenang, bahkan melirikpun tidak. "Thia hiantee," katanya pula. "Seseorang
yang sudah memiliki beberapa jurus ilmu pedang kucing kaki tiga sebenarnya harus mengenal
kesopanan manusia. Bagaimana pendapatmu ?"
Thia Tancoa mengangguk seraya menjawab "Benar. Semenjak Giok hie Too tiang meninggal
dunia, makin lama mereka makin tidak keruan macam."
Giok hie Too tiang adatah Soe peh (paman guru) See hoa coe. Imam yang beribadat itu bukan
saja tinggi ilmu silatnya, tapi juga sangat mulia hatinya, sehingga ia dihormati sangat dalam
Rimba Persilatan.
Paras muka See hoa coe berubah merah padam. Tak dapat ia menjawab sindiran itu. Jika ia
membantah. bukankah ia jadi menhina Soe pehnya sendiri yang namanya telah menggetarkan
seluruh negeri ?
Tiba tiba ia bangun, badannya berkelebat dan ia sudah berdiri diluar pintu gubuk perahu,
"Srt!" Ia menghunus pedang. "Bangsat!" teriaknya. "Kalau kau mempunyai nyali, keluarlah!"
Ejekan kedua pemimpinan Peh bie kauw itu terhadap See hoa coe adalah untuk menolong in
So So dari desakan. Mereka menganggap. bahwa dengan pernikahan Coei San dan So So,
perhubungan antara Boe tong pay dan Peh bie kauw sudah berubah. Meskipun Jie Lian Cioe
dan Thio Coei San tidak sampai turun tangan untuk membantu pihaknya, kedua orang itu juga
pasti tidak akan menyerang Peh bie kauw. Menurut perhitungan mereka, tanpa campur
tangannya pihak Boe tong, mereka akan dapat mengalahkau orang orang Koen loan pay yang
hanya terdiri dari tujub delapan orang.
Perhitungan Peh bie kauw itu sudah dapat ditebak oleh Wie Soe Nio yang bisa berpikir
dengan otak dingin. "Soeko!" teriaknya. "Mereka yang berada diperahu ini adalah tamu tamu
kita. Kita harus turut segala keputusan Jie Jie hiap "
Dengan berkata bergitu, San-tian Nio nio telah berlaku bijaksana. Jie Lian Cioe adalah
seorang pendekar yang tulus bersih, sehingga ia pasti tidak akan berlaku curang.
Tapi diluar dugaan dalam gusarnya, See-hoa coe yang tolol tidak mengerti maksud Soe-moay
nya. "Omongan kosong!" teriaknya. "Boe tong pay dan Peh bie kauw sudah terikat famili.
Mana bisa dia berlaku sama tengah lagi!"
Jilid 14_____________
Jie Lian Cioe adalah seorang yang sabar dan panjang pikirannya. Ia jarang memperlihatkan
rasa girang atau gusar pada paras mukanya. Perkataan See hoa coe yang sangat menusuk tidak
dijawab olehnya dan ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 272
"Soeka, jangan kau menggoyang lidah sembarangan," kata Wie Soe Nio cepat-cepat dengan
rasa mendongkol. "Semenjak dulu, Boe tong dan Koen loan mempunyai hubungan yang
sangat erat. Dalam sepuluh tahun, dengan bahu membahu kita bersama sama melawan musuh.
Jie Jiehiap alalah seorang jujur yang sangat dihormati dalam kalangan Kang-ouw, sehingga
tidak mungkin ia mengeloni pihak yang salah."
See hoa coe mengeluarkan suara dari hidung, "Belum tentu," katanya
Bukan main rasa mendongkolnya Wie Soe Nio yaag diam diam mencaci kakak yang tolol itu:
"Soeko!" bentaknya. "Jika tanpa sebab kau cari cari urusan dengan Boe tong Ngohiap dan kau
di gusari oleh Ciangboen soesiok, aku tak akan campur campur lagi urusanmu."
Mendengar ancaman itu, barulah See hoa coe menutup mulut.
"Urusan ini telah menyeret berbagai partai dan golongan dalam Rimba Persilatan," kata Jie
lian Coe. "Aku seorang bodoh maka tidak berani mengambil keputusan sendiri. Apa pula,
karena sudah berlarut larut selama sepuluh tahun, persoalan ini tentu sukar dibereskan dalam
tempo pendek. Aku telah mengambil keputusan untuk pulang ke Boe tong bersama-sama Thio
Soe tee guna memberi laporan kepada Insoe dan Toa soeheng dan meminta petunjuk Insoe."
See hoa coe tertawa dingin, "Sungguh lihay pukulan Jie hong Soo pit Jie Jiehiap." ejeknya.
"Jie-hong Soe-pit," (Seperti tutupan seperti kurungan) adalah serupa pukulan Boe-tong-pay
untuk membela diri yang sangat terkenal dalam Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu See
hoa coe bukan saja mengejek Jie Lian Cioe pribadi tapi juga menghina pukulan Boe tong pay
itu yang digubah oleh Thio Sam Hong sendiri. Biarpun sabar, darah Jie Lian Cioe meluap
juga. Syukur sebelum mengumbar napsu, ia keburu ingat segala akibatnya, sehingga, sambil
menarik napas, ia menindih hawa amarahnya dan hanya menyapu muka See hoa coe dengan
sinar mata berkilat-kilat. "Jika See hoa Toheng mempunyai pendapat lain, aku bersedia untuk
mendengamya." katanya dengan suara dingin.
Setelah disapu dengan sorot mata gusar, See hoa coe jadi keder. "Soemoy," katanya,
"bagaimana pendapatmu? Apakah sakit hati Ko Cek Seng dan Chio Tauw boleh disudahi
dengan begitu saja ?"
Sebelum Wie Soe Nio menjawab, disebelah selatan sekonyong-konyong terdengar suara
terompet dan sesaat kemudian seorang murid Koen Loen masuk seraya berkata: "Kawankawan
dari Khong tong pay dan Go bie pay sudah tiba untuk menyambut kita."
Lie Thian Hoan dan dua kawannya saling melirik. Paras muka mereka agak berubah.
Dilain pihak, See hoa coe dan Wie Soe Nio jadi girang. "Jie Jiehiap." kata San tian Nionio,
"kurasa kita sebaiknya minta pendapat pihak Khong tong dan Gobie."
"Baiklah," jawab Lian Cioe.
Kedatangan orang orang Khong tong dan Go bie menambah kejengkelan Coei San. Partai Go
bie masih tidak apa, tapi Khong tong pay mempunyai permusuhan yang sangat hebat dengan
kakaknya, yang sudah melukakan Khong tong Ngoloo dan merampas kitab Cit siang koen. Ia
merasa pasti, bahwa orang-orang Khong tong tak akan mau mengerti jika ia tidak
memberitahukan di mana adanya Cia Soen.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 273
Sementara itu, So So memikir dari yang lain. Disatu pihak ia mendongkol terhadap puteranya,
tapi dilain pihak ia ingat, bahwa anak itu belum mengerti kejustaan dan rasa cintanya terhadap
Cia Soen tak dapat diukur dalamnya. Maka itu, bahwa dia menangis dan membantah
pernyataan orang tentang kematian ayah angkatnya adalah hal yang sangat dapat dimengerti.
Memi kirbegitu, ia merasa menyesal sudah menggaploknya begitu keras dan lalu memeluk
Boe Kie sambil mengusap-usap pipi sibocah.
"Ibu. Giehoe tidak mati, bukan?" bisik Boe Kie dikuping ibunya.
"Tidak, tidak mati, aku hanya mempedayai mereka," jawab sang ibu "Mereka adalah orang
orang jahat yang ingin mencelakakan Giehoemu."
Boe Kie tersadar. Dengan mata gusar, ia me nyapu Jie Lian Coei dan semua orang yang
berada disitu, Mulai hari itu, kedua kakinya menginjak dunia Kangouw dan mulai saat itu, ia
mengerti akan kekejaman manusia.
Beberapa saat kemudian, orang-orang Khongtong dan Go bie masing-masing pihak berjumlah
enam tujuh orang sudah masuk kegubuk perahu. Pemimpin rombongan Khong tong adalah
Kat-ie Loojin, seorang tua yang bertubuh kurus kering, sedang kepala rombongan Go bie
adalab seorang Niekouw (pendata wanita) setengah tua. Melihat Lie Thian Hoan dan kawankawannya,
mereka kaget dan heran.
"Tong Samko! Ceng hie Soe thay!" teriak See hoa coe. "Boe tong pay dan Peh bie kauw
sudah bergandengan tangan. "Kali ini kita rugi besar."
Orang yang dipanggil "Tong Samko" adalah Kat-ie Loojin Tong Boe Liang, salah seorang
dari Khong thong ngoo loo, sedang Ceng hie
Soethay yalah murid turunan keempat dari Go bie pay dan dalam Rimba Persilatan, pendeta
wanita itu mempunyai nama yang cukup besar.
Mendengar teriakan See hoa coe, mereka tercengangang, Ceng hie Soethay yang berpikiran
panjang dan mengenal adat See hoa coe tidak mau lantas percaya. tapi Tong Boen Liang
lantas saja naik darahnya, "Jie Jie hiap, apakah benar begitu?" tanyanya dengan suara keras.
Sebelum Jie Lian Cioe keburu menjawab, See hoa coe sudah mendahului: "Boe tong pay dan
Peh bie kauw sudah jadi cinkee (besan). Thio Coei San, Thio ngohiap, sudah menjadi
menantu In Toakauwcoe..."
"Thio Ngohiap yang sudah menghilang sepuluh tahun yang lalu?" tanya Tong Boen Liang
dengan heran.
"Benar, itulah adikku Coei San," jawab Lian Cioe seraya menunjuk Ngohiap. "Ngotee, inilah
Tong Boen Liang, Tong Samya, seorang Cianpwee dari Khong tong pay."
Boe Liang dan Coei San saling membungkuk dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri.
See hoa coe yang sudah tak dapat menahan sabar lagi, lantas saja berkata pula: "Thio Ngo
hiap dan In Kauwnio tahu tempat persembunyiannya Kim mo Say ong Cia Soen, tapi mereka
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 274
menolak untuk memberitahukannya kepada kami. Mereka malah berdusta dan mengatakan,
bahwa bangsat Cia Soen sudah mampus."
Begitu mendengar nama Kim mo Say ong Cia Soen, darah Tong Boen Liang meluap.
"Dimana dia sekarang ?" tanyanya dengan suara keras,
"Dalam urusan ini, lebih dulu aku harus melaporkan kepada In soe dan aku mohon maaf
karena tak dapat segera memberitahukan kepada kalian." jawab Coei San.
Kedua mata Tong Boen Liang seolah-olah mengeluarkan api. "Dimana adanya bangsat Cia
Soen?" teriaknya. "Dia telah membinasakan keponakanku. Aku tak mau hidup bersama-sama
dia dalam dunia. Dimana dia? Katakan saja! Kau mau memberitahukan atau tidak?"
Perkataan-perkataan itu yang dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan dan tanpa mengenal
kesopanan sudah menggusarkan So So yang lantas saja
berkata dengan suara dingin : "Mengapa kau tidak menceritakan juga, bahwa dia sudah
melukakan Kong tong Ngoolo dan merampas kitab Cit siang Koen?"
Dalam melukakan Ngoolo dan merampas kitab Cit siang koen, Cia Soen telah menggunakan
nama Seng Koen. Hal yang sebenamya baru diketahui Khong tong pay pada kira-kira lima
tahun berselang. Tapi, karena kejadian tersebut menodai nama partay maka orang-orang
Khong tong pay selalu meenutupkan rapat. Bagaimana nyonya muda itu bisa tahu rahasia
tersebut?
Paras muka Kat-ie Loojin lantas saja berubah pucat dan sambil mementang sepuluh jarinya, ia
mengangkat kedua tangannya untuk menyerang. Tapi dilain detik, ia ingat, bahwa sebagai
seorang tua, tak pantas ia turun tangan lebih dahulu terhadap seorang wanita muda yang
kelihatannya begitu lemah lembut sehingga tangan yang sudah terangkat itu berhenti ditengah
udara.
Sambil menahan amarah, ia berpaling kepada Coei San dan bertanya: "Siapa dia ?"
"Isteriku," jawabnya.
"Puterinya In Toakauwcoe dari Peh bie kauw," menyelak See hoa coe.
Peh bie Eng ong In Thian Ceng memiliki ilmu silat yang tidak dapat diukur tingginya dan
sehingga waktu itu, seorangpun belum pemah dapat melayaninya dalam sepuluh jurus.
Mendengar, bahwa nyonya Coei San adalah puteri In Thian Ceng, Tong boen Liang lantas
saja merasa keder dan berkata dengan suara terputus-putus : "Oh!... begitu"
Sesaat itu, Ceng hie Soethay yang sedang masuk kegubuk perahu belum pemah bicara, baru
membuka mulut. "Sebaiknya kita minta Jie Jiehiap menerangkan seluk beluk kejadian ini,"
katanya.
"Urusan ini berbelit belit dan sudah menyeret banyak sekali orang," kata Lian Cioe.
"Disamping itu, permusuhan sudah berjalan lama sekali, sudah kurang lebih sepuluh tahun,
sehingga dapatlah dimengerti, jika kita tak akan dapat mengupasnya dalam tempo pendek.
Begini saja, tiga bulan kemudian partai kami akan mengadakan perjamuan di Hong ho lauw
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 275
dan mengundang wakil-wakil berbagai partai serta golongan. Dalam pertemuan itu, kita akan
merundingkan persoalan ini sedalam-dalamnya. Bagaimana pendapat kalian ?"
"Aku setuju," jawab Ceng hie seraya mengangguk.
"Siapa benar, siapa salah, boleh dibicarakan tiga bulan lagi," kata Tong Boen Liang. "Tapi
tempat sembunyinya Cia Soen harus diberitahukan sekarang juga."
Coei San menggelengkan kepala. "Sekarang tidak bisa," katanya dengan suara tetap. Tong
Boen Liang gusar tak kepalang, tapi sebisa bisanya ia menahan sabar, karena ia mengerti
bahwa jika Boe tong pay sampai bersatu padu dengan Peh bie kauw, akibat bakal hebat sekali.
Maka itu, dengan muka merah padam, ia bangun berdiri dan mengangkat kedua tangannya:
"Baiklah. Kita akan bertemu kembali tiga bulan kemudian."
"Tong Samya, bolehkah kami menumpang di perahumu ?" tanya See hoa coe.
"Mengapa tidak ?" jawabnya.
"Bagus! Soemoay, ayolah !" mengajak See hoa coe. Orang orang Koen loan datang ketempat
pertempuran dengan menggunakan perahu Boe tong dan dengan sikapnya itu, terang terang
See hoa coe sudah memandang Boe tong pay sebagai lawan.
Tapi Jie Lian Cioe tetap bersikap tenang. Dengan manis budi ia mengantar semua tamu
kekepala perahu. "Sepulangnya kami ke Boe tong dan sesudah kami memberi laporan kepada
Insoe, kami akan segara mengirim surat undangan," katanya sambil membungkuk.
Baru saja See hoa coe mau menyebrang keperahu Khong tong, tiba-tiba So So berkata: "See
hoa Tootiang, tahan dulu! Aku mau menanyakan serupa hal."
"Ada apa ?" tanya siberangasan sambil memutar tubuh.
"Tootiang," kata pula si nyonya sambil bersenyum. "tak henti-hentinya kau mengatakan,
bahwa agama kami agama menyeleweng, agama sesat. sedang aku sendiri perempuan
siluman. Bolehkah aku tahu dimana sesatnya dan dimana sifat silumannya?"
Untuk sejenak See hoa coe tertegun. Sesudah menenteramkan hati, ia menjawab: "Agamamu
bukan agama tulen, tapi menyeleweng dan tersesat dari jalan yang lurus. Kecantikanmu
seperti kecantikan siluman rase yang jahat dan cabul. Itu jawabanku. Perlu apa kau rewel
rewel. Kalau kau bukan siluman, bagaimana seorang laki laki sejati Thio Ngohiap bisa
terpincuk ! Hu-hu !"
"Terima kasih untuk penjelasan itu," kata So So.
See hoa coe girang dan bangga, menganggap nyonya muda itu sudah dijatuhkan dengan kata
katanya yang tajam. Sambil bersenyum, ia menindak kepapan untuk menyeberang keperahu
Tong Boen
Liang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 276
Perahu Boe tang dan Khong tong adalah perahu perahu besar dengan tiga layar sehingga
walaupun berdempetan, jarak antara kedua perahu itu, yang dihubungkan dengan papan masih
kira kira dua tombak.
Karena harus bicara dulu dengan So So, See hoa coe jadi ketinggalan dan sesudah semua
orang berada diperahu Tong boen Liang, ia sendiri baru mulai menyeberang. Baru berjalan
beberapa tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin luar biasa dibelakangnya. Meskipun
berangasan dan pendek pikiran, ia berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas. In tahu
dirinya dibokong dan begitu memutar badan, tangannya sudah mencekal pedang.
Mendadak, mendadak saja, ia merasa kedua kakinya menjeblos kebawah. Papan
penyeberangan putus jadi dua! Sebisa-bisanya ia berusaha untuk menolong diri, tapi karena
jarak keperahu Khong tong masih agak jauh, maka tanpa ampun lagi ia tercebur kedalam air.
Sial sungguh, ia tidak bisa berenang, sehingga dalam sekejap, ia sudah minum beberapa
ceguk air asin. Selagi ia kebingungan dan memukul serta menendang air dengan tangan dan
kaki,tiba-tiba melayanglah seutas tambang. Cepat cepat ia mencekalnya dan dilain saat, ia
merasa badannya terangkat naik keatas permukaan air.
Ia menengadah dan melihat bahwa yang mengangkatnya adalah Thia Tancoe yang paras
muka nya seperti tertawa, tapi bukan tertawa.
Tak usah dikatakan lagi, itu semua kerjaan So So. Karena mendongkol, diam-diam ia
memerintahkan Hong dan Thia Tancoe "mengerjakan." si berangasan itu. Tigapuluh enam
golok terbang dari Hong Tancoe terkenal dalam kalangan Kang ouw. Golok itu yang tipis dan
tajam luar biasa, jarang meleset dari sasarannya. Selagi So So bicara dengan See hoa coe,
dengan sekali menimpuk, Hoag Tancon telah memotong papan itu dengan hoei to nya dan
meninggalkan sebagaian kecil supaya tidak lantas jatuh kedalan air dan baruakan patah jika
diinjak.Thia Tancoe sendiri siapa sedia deagan seutas tambang, tapi pertolongannya baru
diberikan sesudah See hoa coe minum banyak air.
Wie Soe Nio, Tong Boen Liang dan yang lain lain menyaksikan itu dengan mata membelalak,
tapu mereka tidak dapat segera menolong, karena berada dalam jarak yang agak jauh.
See hoa coe merasa dadanya seperti mau meledak, tapi dalam keadaan tidak berdaya, sedapat
dapatnya ia menahan amarah. Celaka sungguh, baru mengangkat kira kira satu kaki dari
permukaan air, Thia Tancoe berseru. "Toheng," katanya, "jangan kau bergerak. Tenagaku
tidak cukup. Jika kau bergerak tambang ini bisa terlepas !"
See hoa coe bingung bukan main. Kalau dilepas, ia bisa celaka, atau sedikitnya bakal minum
lebih banyak air asin.
Tiba tiba Thia Tancoe berteriak: "Hati hati!" Dengan sekali menyentak, tubuh See hoa coe
terayun kebelakang tujuh delapan kaki dan kemudian, ia melemparkan bandulan manusia itu
keperahu seberang.
Begitu kedua kakinya hinggap diatas geladak perahu Khong tong, See hoa coe kalap bahna
gusarnya. Kegusarannya lebih meluap-luap, karena orang-orang Peh bie kauw dengan
serentak bersorak-sorai. Karena pedangnya sendiri sudah hilang didalam air, bagaikan kilat ia
menghunus pedang Wie Soe Nio dan melompat kekepala perahu untuk menerjang musuh.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 277
Tapi, jarak antara kedua perahu itu sudah sangat jauh, sehingga apa yang dapat dibuatnya
hanyalah mencaci habis-habisan.
Semua perbuatan So So telah dilihat oleh Jie Lian Cioe, yang diam-diam mengakui, bahwa
wanita itu benar mempunyai sifat-sifat yang sesat dan kurang tepat untuk menjadi pasangan
adiknya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "In Hio coe dan Lie Hio coe, kuharap kalian suka
menghadapi pertemuan di Oey ho lauw pada tiga bulan kemudian. Sekarang kita berpisah
saja. Ngotee, mari ikut aku pergi menemui Insoe."
"Baiklah," kata Coei San dengan perasaan tidak enak.
So So mengerti, bahwa dengan berkata begitu. Lian Cioe berusaha untuk memisahkan diri
dari sang suami. Dengan paras muka duka, ia mendongak mengawasi langit dan kemudian
menunduk, memandang geladak perahu.
Coei San lantas saja mengerti maksud isterinya, yang ingin mengingatkan sumpahnya sendiri
yaitu "Langit diatas. Bumi dibawah, kita tak akan berpisahan lagi."
Maka itu, ia lantas saja berkata: "Jieko, aku ingin sekali mengajak teehoemu dan anakku pergi
menemui Insoe lebih dulu dan sesudah mendapat perkenan beliau, barulah aku mengunjungi
Gakhoe (mertua). Bagaimana pendapatmu?"
"Begitupun baik," jawab sang kakak sambil pengangguk.
So So girang. "Soesiok", katanya kepada Lie Thian hoan, "aku mohon kau suka memberitahu
kan Thia thia (ayah), bahwa anaknya yang tidak berbakti telah bisa pulang kebali, dan
didalam beberapa hari, kami akan pulang ke Cong to untuk menemui beliau."
"Baiklah." kata Lie Hiocoe seraya manggutkan kepala. "Kami akan menunggu kalian di Cong
to." Ia bangun berdiri dan berpamitan.
"Bagaimana dengan kakakku?" tanya So So sebelum Lie Thian hoan berlalu.
"Bagus, sangat bagus!" jawabnya. "Selama bebarapa tahun ini, ilmu silat kakakmu telah
mendapat kemajuan luar biasa, sehingga aku sendiri sudah ketinggalan sangat jauh."
"Ah! Soesiok selamanya suka guyon-guyon dengan anak anak." kata So So sambil tertawa.
"Tidak, aku tidak bicara main-main," kata sang paman dengan suara sungguhısungguh.
"Kemajuan kakakmu malah telah dipuji juga oleh ayahmu sendiri."
"Ah Soesiok!" kata nyonya Coei San. "Janganlah memuji orang sendiri dihadapan orang luar.
Aku kuatir Jie Jie hiap akan tertawa."
"Sesudah Thio Ngohiap menjadi Kouw-ya (menantu), apakah Jie Jie hiap masih dipandang
sebagai orang luar" kata Lie Thian Hoan seraya tertawa dan kemudian, sesudah memberi
hormat, bersama dengan kawannya, ia lalu meninggalkan perahu Boe tong. Mendengar tanya
jawab itu, Lian Cioe merasa kurang senang, tapi ia hanya mengerutkan alis dan tidak
mengatakan apa-apa.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 278
Begitu lekas orang-orang Peh hie kauw berlalu, Coei San segera bertanya dengan tergesa-gesa
: "Jieko, bagaimana dengan keadaan Samko ? Apa..apa.. lukanya sudah sembuh?'
Lian Cioe menghela napas, ia tidak lantas menjawab pertanyaan adiknya.
Jantung Coei San berdebar keras. Dengan mata membelalak, ia mengawasi muka sang kakak.
"Samtee tidak mati," kata Lan Coei akhimya. "Tapi, hampir tiada beda dengan mati. Ia telah
menjadi orang bercacad, kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi. Jie Thay Giam Jie Sam
hiap..hm....dunia Kangouw tak akan melihatnya lagi."
Air mata Coei San lantas saja mengucur. " Apa kah sudah diketahui siapa yang
mencelakakannya?" tanyanya dengan suara parau.
Lian Cioe tidak meniawab. Mendadak ia mutar kepala dan sinar matanya yang seperti kilat
menatap wajah So So. "In Kauwnio, apa kau tahu siapa yang melakukan Jie Samtee?"
tanyanya dengan suara tajam .
So So menggelengkan kapala. "Kudengar Jie Samhiap kena pukulan Kim kong cie dari Siauw
lim sie," jawabnya.
"Benar! Tapi apa kau tahu siapa yang melakukan serangan itu?" tanya pula Lian Coe.
"Tidak, aku tak tahu," jawabnya.
Lian Cioe tidak mendesak lagi, tapi menengok kepada Coei San seraya berkata: "Ngotee,
menurut Siauw lim pay kau telah membinasakan keluarga Liang boan Piauw kiok dan
beberapa pendata. Siauw lim sie. Apa benar?"
Coei San tergugu dan menjawab dengan suara terputus-putus : "Ini... ini .."
"Kejadian itu tiada sangkut pautnya dengan dia ", menyelak So So. "Akulah yang sudah
membunuh mereka."
Lian Cioe melirik nyonya muda itu dengan sorot mata gusar, tapi sejenak kemudian, paras
mukanya udah berubah sabar kembali. "Aku memang tahu bahwa Ngo tee tak akan
membunuh orang secara serampangan." katanya. "Semenjak kau menghilang antara partai
kita dan Siauw lim pay telah terjadi sangketa. Kita mengatakan, bahwa mereka telah
melukakan Samko, tapi mereka sebaliknya menuduh kau sebagai orang yang telah membunuh
puluhan orang Siauw lim. Karena tak ada saksi, maka urusan itu sehingga sekarang masih
belum bisa dibereskan. Untung juga Kong boen Tay-soe Ciang boen jin dari Siauw-lim pay,
adalah seorang yang berpandangau jauh dan menghormati Insoe. Dengan sekuat tenaga, ia
sudah melarang murid-muridnya menimbulkan gelombang. Itulah sebabnya mengapa selama
sepuluh tahun, Boe-tong dan Siauw lim belum pernah terjadi bentrokan senjata."
"Diwaktu muda aku telah bertindak semberono dan sekarang aku merasa sangat menyesal"
kata So So. "Tapi apa mau dikata beras sudah menjadi nasi. Jalan satu satunya adalah
menyangkal tuduhan mereka,"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 279
Paras muka Lian Cioe lantas saja berubah. Ia sungguh tak mengerti, bagaimana adiknya yang
begitu mulia bisa menikah dengan wanita sesat itu.
Dilain pihak, So So pun merasa kurang senang terhadap Lian Cioe, karena Jie-hiap ini
bersikap dingin tapi juga terus memanggil dengan panggilan "In Kouwnio" (nona In) dan
tidak menggunakan "teehoe" (isteri dari adik lelaki). Maka itu, ia lantas saja berkata dengan
suara tawar: "Siapa yang berbuat, ia yang harus bertanggung-jawab,
urusan ini, aku pasti tak akan menyeret-nyeret pihak Boe tong pay. Suruh saja Siauw lim pay
cari Peh bie kauw."
Lian Cioe jadi gusar dan berkata dengan suara nyaring: "Dalam kalangan Kangouw, yang
paling diutamakan adalah keadilan. Jangankan Siauw lim pay sebuah partai besar, anak
kecilpun tak boleh dihina dengan mengandalkan kekuatan."
Jika teguran pedas itu diberikan pada sepuluh tahun berselang, So So tentu sudah menghunus
pedang. Tapi sekarang, biarpun darahnya meluap, sebisa-bisa ia menahan napsu.
"Ajaran Jieko sedikitpun tak salah," kata Coei San seraya membungkuk.
"Aku tak kepingin dengar ajaranmu," kata So So didalam hati dan sambil menarik tangan Boe
Kie, ia bertindak keluar. "Boe Kie, mari kita meninjau perahu besar ini yang belum pemah
dilihat olehmu," katanya.
Sesudah isteri dan puteranya berlalu dari gubuk perahu, Coei San segera berkata dengan suara
jengah. "Jieko, selama sepuluh tahun ini, aku...."
"Ngotee," sang kakak memotong perkataannya sambil mengebas tangan. "Kecintaan antara
kau dan aku adalah kecintaan darah daging. Dalam bahaya apapun juga, aku akan tetap berdiri
didampingmu untuk hidup dsn mati bersama-sama. Urusan pernikahanmu, kau tak usah
membicarakan dengaku. Sesudah kemali di Boe tong, kau boleh melaporkan kepada Soehoe,
Jika Soehoe gusar dan lalu menjatuhkan hukuman, kita beramai, Boe tong Cit hiap, akan
berlutut dihadapan Soehoe untuk memohon pengampunan. Puteramu sudah begitu besar dan
aku tidak percaya, bahwa Soehoe akan cukup tega untuk memisahkan kau dengan anak
isterimu."
Bukan main rasa girang dan terima kasihnya Coei San. "Terima kasih atas kecintaan Jieko,"
katanya dengan suara terharu.
Jie Lian Cioe adalah seorang yang diluarnya kelihatan menyeramkan dan keras, sedang
didalamnya, lembek dan mulia. Diantara Boe tong Cit hiap ialaj yang paling jarang berguyon,
sehingga adik-adik seperguruannya lebih takut terhadapnya daripada terhadap Song Wan
Kiauw. Tapi selain ditakuti, ia juga sangat dicintai, karena ia sangat mencintai saudarasaudara
seperguruannya. Hilangnya Coei San mendukakan hatinya, sehingga hampir-hampir
ia menjadi kalap. Pertemuan dengan si adik pada hari itu merupakan kejadian yang luar biasa
menggirangkan, tapi ia tidak memperlihatkan kegirangannya itu pada paras mukanya dan
malah sudah menegur So So dengan kata-kata keras.
Sesudah berada berduaan, barulah ia mengutarakan isi hatinya dihadapan si adik. Apa yang
paling dikuatirkan olehnya adalah keselamatan So So yang sudah membunuh begitu banyak
murid Siauw lim sie dan ia merasa, bahwa peristiwa itu tidak mudah dapat dibereskan dengan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 280
jalan damai. Tapi diam-diam ia sudah mengambil keputusan bahwa jika perlu, ia rela
mengorbankan jiwanya sendiri, demi kepentingan dan keutuhan keluanga Soe teenya.
"Jieko apakah bentrokan kita dengan Peb-bie kauw karena gara gara siauwtee?" tanya pula
Coei San. "Siauw tee sungguh merasa tidak enak."
"Bagaimana sebenamya kejadian dalam pertemuan Ong-poan-san ?" Lian Cioe balas
menanya, tanpa menjawab pertanyaan siadik.
Coei San lantas saja menuturkan segala pengalamannya, cara bagaimana malam malam ia
masuk kegedung Long boen Piauw kiok, bagaimana ia mengenal So So, bagaimana ia turut
menghadiri pertemuan di Ong poan san, bagaimana Cia Soen membunuh orang, merampas To
liong to dan akhirnya menawan ia dan So So. Sesudah mendengar penuturan itu, Lian Cioe
lalu meminta penjelasan mengenai nasib Ko Cek Sang dan Chio Tauw. Sesudah segala apa
jelas baginya, ia menghela napas seraya berkata: "Jika kau tidak pulang, entah sampai kapan
rahasia ini baru bisa diketahui."
"Benar," kata Coei San, "Saudara angkatku .....hmm. Pada hakekatnya, Cia Soen sebenarnya
bukan manusia jahat. Ia telah melakukan
banyak kedosaan sebab mengalami pengalaman hebat dan mendendam sakit hati yang hebat
pula. Pada akhimya, aku telah mengangkat saudara dengan ia."
Lian Cioe hanya manggut manggutkan kepalanya.
"Dengan teriakannya yang maha dahsyat, Gie heng (saudara angkat) telah merusak urat syaraf
semua orang yang berada dipulau itu." kata pula Coei San. "Ia mengatakan, bahwa andaikata
orang orang itu tidak menjadi mati, mereka akan kehilangan ingatan dan dengan begitu,
barulah rahasia To liong to tidak sampai menjadi bocor."
"Didengar dari penuturanmu, biarpun sangat kejam, Cia Soen adalah manusia luar biasa," kata
Lian Cioe. "Sepak terjangnya sangat hati-hati, tapi ia masih terpeleset dan melupakan satu
orang."
"Siapa?" tanya Coei San.
"Pek Kwie Sioe," jawabnya.
"Ah! Tancoe dari Hian boe tan," kata Coei San dengan kaget.
Lian Cioe mengangguk. "Menurut keteranganmu, diantara jago-jago yang berkumpul dipulau
Ong poan san pada hari itu, Pek Kwie Sioe-lah yang memiliki Lweekang yang tinggi,"
katanya. "Karena diserang dengan semburan arak oleh Cia Soen, ia telah jatuh pingsan. Jika ia
tidak berada dalam keadaan pingsan, mungkin sekali ia tak dapat mempertahankan diri pada
waktu Cia Soen mengeluarkan teriakannya yang dahsyat itu."
"Benar!" Coei San memotong perkataan Soe hengnya sambil menepuk lutut. "Waktu itu
memang Pek Kwie Sioe belum tersadar, sehingga oleh karenanya ia tak mendengar teriakan
Gie heng dan secara kebetulan berhasil menyelamatkan dirinya. Benar! Gieheng seorang yang
berpikiran panjang, tapi ia tidak bisa berpikir sampai di situ."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 281
Lian Cioe menghela napas, "Yang masih hidup hanya Pek Kwie Sioe dan kedua murid Koen
loen pay itu," katanya pula, "Sebagaimana kau
tau Lweekang Koen loen pay sangat luar biasa dan walaupun tenaga dalamnya masih belum
cukup tinggi, Ko Cek Sang dan Chio tauw bisa terlolos juga dari kebinasaan. Tapi mereka
hilang ingatan, seperti orang menderita penyakit urat syaraf. Setiap kali ditanya, siapa yang
mencelakakan mereka, mereka hanya menggeteng-gelengkah kepala, Ko Cok Sang hanya
menyebutkan nama seorang, yaitu nama 'In So So'...Hmmm".
Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata lagi . "Sekarang baru aku mengerti, bahwa si orang
she Ko menyebut-nyebut nama Teehoe, karena ia tidak dapat melupakan kecantikan Teehoe.
..hm. Jika dilain kali See hoa coe mengeluarkan kata-kata yang kurang ajar, entah bagaimana
aku harus menjawabnya. Pihaknya sendiri yang tidak benar, tapi dia masih mau menyalahkan
orang."
"Jika Pak Kwie Sioe tidak kurang suatu apa, dia tahu dari seluk beluk dari segala kejadian di
Ong poan san," kata Coei San.
"Tapi dia tetap menutup mulut," kata Lian Cioe. "Apa kau bisa menebak sebab musababnya?"
Siadik memikir sejenak. "Ya." jawabnya, sesaat kemudian. "Mereka menutup mutut karena
masih mengharap bisa merampas To liong to "
"Benar," kata Lian Cioe. "Permusuhan dalam Rimba Persilatan berpangkal disitu. Koen loan
pay menuduh, bahwa In So So mencelakakan Ko Cek Seng dan Chio Tauw, sedang pihak kita
menganggap kau sudah dibunuh oleh orang orang Peh bie kauw"
"Apakah hadirnya Siauwtee dipulau itu telah diberitahukan oleh Pek Kwie Sioe ?" tanya Coei
San.
"Bukan," jawabnya. "Pek Kwie Sioe membungkam tidak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Bersama Sie tee dan Cit tee, aku telah membuat penyelidikan dipulau itu. Kami tahu
kehadiranmu, sebab melihat duapuluh empat huruf yang di tulis olehmu ditembok batu
dengan menggunakan Tiat pit. Kami, segera mencari Pek Kwie Sioe dan menanyakan tentang
dirimu. Karena jawabannya kurang ajar, kita bertempur dan dia kena satu pukulanku. Tak
lama kemudian orang orang Koen loen pay minta keterangan dari Peh bie kauw dan berbuntut
dengan pertempuran. Malam pertempuran itu, Koen loen pay menderita kerugian dua orang
dipihaknya binasa dan permusuhan menghebat. Srlama sepuluh tahun, dendaman sakit hati ini
jadi makin mendalam."
Coei San sangat berduka. "Karena gara gara siauwtee suami isteri, berbagai partai menemui
bencana " katanya. "Siauwtee sungguh merasa sungguh sangat tak enak. Sesudah memberi
laporan kepada Insoe, siauwtee akan mengunjungi berbagai partai untuk coba mendamaikan
dan siauw tee rela menerima hukuman apapun jua."
Lian Cioe menghela napas. "Dalam urusan orang ridak dapat menyalahkan kau," katanya.
"Jika hanya karena persoalan kau berdua suami istri yang terseret dalam permusuhan, paling
banyak hanya Koen loan, Boe tong dan Peh bie kauw, Tapi, dalam keinginannya untuk
merampas To liong to, Peh bie kauw tidak pernah menyebut nyebut nama Cia Soen, sehingga
dengan begitu, Kie keng pang, Hay see pay dan Sin koen boon sudah menumplek kedosaan
diatas kepala Peh bie kauw. Mereka menganggap, bahwa orang orang Peh Bie kauwlah yang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 282
sudah membinasakan pemimpin-pemimpin mereka. Itulah sebabnya, mengapa Peh bie kauw
sudah dikeroyok oleh begitu banyak partai dan golongan"
Coei San menggoyang-goyangkan kepalanya. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa
kebaikannya To liong to, sehingga Gakhoe (mertua lelaki) rela menerima segala tuduhan yang
tidak-tidak itu," katanya.
"Aku sendiri belum pernah bertemu muka dengan mertuamu," kata Lian Cioe. "Tapi
kepandaiannya dalam memimpin orang-orangnya untuk melawan begitu banyak musuh,
sangat dikagumi oleh semua orang."
"Jieko, ada hal lain yang tidak dimengerti olehku," kate pula Coei San. "Go bie dan Khong
tong tidak turut hadir dalam pertemuan di Ong Poan San, mengapa mereks juga bermusuhan
dengan Peb bie kauw?"
"Sebab musababnya berpangkal pada Giehengmu, Cia Soen, " jawabnya. "Dalam usahanya
untuk mendapatkan To liong to Peh bie kauw tetah mengirim perahu-parahu Cia Soen
diberbagai pulau. Kau harus mengetahui bahwa rahasia tak mungkin ditutup selama-lamanya.
Meskipun Pek Kwie Sioe tetap membungkam, lama-lama rahasia itu bocor juga. Dangan
menggunakan name Hoen-Goan Pek lek chioe Seng Koen, Gie-hengmu telah melakukan
lebih dari tiga puluh pembunuhan yang menggemparkan. Banyak jago dari berbagai partai
yang binasa ditangannya. Apa kau tahu kejadian ini?"
Coei San manggutkan kepala. "Kalau begitu, orang akhirnya tahu, bahwa itu semua telah
dilakukan olehnya," katanya dengan suara perlahan.
"Setiap kali membunuh orang, diatas tembok ia menulis huruf-huruf besar yang
berbunyi:Yang membunuh ialah Hoen goan Pek-lek-chioe Seng Koen," Lian Cioe
melanjutkan penuturannya.
"Kejadian kejadian itu sedemikian hebatnya, sehingga aku dan lain-lain saudara pernah
menerima perintah insoe untuk turun gunung guna bantu menyelidiki. Semula, tak satu
manusiapun yang dapat menebak siapa penjahatnya, sedang Seng Koen sendiri tak pernah
muncul. Tapi, sesudah rahasia Pak bie kauw bocor, orang-orang pandai berbagai partai lantas
saja bercuriga dan mulai menebak-nebak. Cia Soen adalah murid tunggal dari Hoen-goan Pek
lek Chie. Orang juga tahu meskipun tak tahu sebab sebabnya bahwa, belakangan Cia Soen
bermusuhan hebat dengan gurunya. Maka itu, orang lantas saja menduga bahwa yang
menggunakan nama Seng Koen adalah Cia Soen."
"Jumlah manusia yang dibunuh Cia Soen sudah terlalu besar dan jumlah partai yang punya
dendam sudah terlalu banyak. Bahkan seorang yang berkedudukannya paling tinggi dalam
Siauw lim-pay, yaitu Kong kianTaysoe, juga binasa dalam tangannya . Coba kau menaksirnaksir
berapa jumlah orang yang ingin membalas sakit hati terhadapnya"
Paras muka Coei San berubah. pucat sekali, "Ya... Gie heng telah kembali kejalan lurus, tapi
kedua tangannya berlumuran terlalu banyak darah." katanya dengan suara parau. "Jieko ..
Pikiranku terlalu kusut dan aku tidak dapat memikir lagi."
"Dengan demikian semua orang mengeroyok Peh bie kauw," kata pula Lian Coe. "Karena
kau, aku dan saudara-saudara mencari Peh bie kauw, karena Ko Cek Seng dan Chio Tauw,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 283
Koen loan pay mencari Peh bie kauw, karena kebinasaan pemimpinnya. Kie keng pang
mencari Peh bie kauw. Siauw lim pay dan lain-lain golongan mencari Peh bie kauw sebab
mau menanyakan dimana tempat sembunyinya Cia Soen. Selama beberapa tahun sudah
terjadi lima kali pertempuran besar dan jumlah pertempuran kecil tak dapat dihitung lagi.
Dalam pertempuran-pertempuran besar, pihak Peh bie kauw selalu jatuh dibawah angin. Akan
tetapi, dengan kecerdikannya, Gak hoemu selalu dapat menolong rombongannya, sehingga
tidak sampai menjadi hancur. Mau tidak mau semua orang orang mengakui, bahwa dia benar
benar manusia luar biasa. Selama persoalan belum jelas dan masih banyak hal yang
meragukan, Siauw lim, Koen loen, boe tong dan lain-lain pengurus tidak mau bertindak
keterlaluan. Tapi golongan-golongan Kang ouw yang lainnya tidak sungkan-sungkan lagi.
Kali ini, kami mendapat warta bahwa Hiocoe dari Thian sie tong telah berlayar dengan sebuah
perahu besar. Kami lantas saja menguntip. Lie Hiocoe gusar dan pertempuran lantas saja
terjadi. Jika kau tidak keburu datang, jumlah korban pasti akan lebih besar"
Bukan main rasa menyesalnya Coei San. Dengan sorot mata duka ia mengawasi kakak
seperguruannya yang kelihatannya banyak lebih tua daripada sepulah tahun berselang. "Jieko
selama sepuluh tahun, kau sungguh menderita..." katanya dengan suara berbisik. "Sesudah
bisa bertemu lagi dengan kau, matipun aku rela...aku..."
"Ngotee, tak usah kau terlalu sedih," memotong kakak. "Berkumpulnya kembali Boe tong Cit
hiap adalah kejadian yang sangat menggembirakan. Semenjak Samtee terluka dan kau
menghilang, orang-orang Kangouw mengubah panggilan menjadi Boe tong Ngo Hiap. Huh
huh! Hari ini Cit Hiap berkumpul kembali....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, sebab
mendadak ia ingat, bahwa biarpun Cit hiap masih lengkap tujuh orang, tapi sebenarnya tidak
begitu, karena Jie Thay Giam sudah tak dapat menunaikan lagi tugasnya sebagai seorang
pendekar.
Sesudah berlayar belasan hari, mereka tiba dimulut Sungai Tiang kang. Mereka segera
menukar perahu yang lebih kecil dan meneruskan perjalanan disungai itu. Coei San dan So So
sudah menukar pakaian yang pantas dan mereka sungguh merupakan pasangan yang setimpal
yang satu tampan, yang lain cantik. Boe Kie pun mengenakan baju baru dan sebagian
rambutnya dibuat menjadi dua kuncir yang diikat dengan sutera merah.
Dengan parasnya yang tampan, kegesitan dan kecerdasannya, ia sungguh seorang bocah yang
menarik.
Dalam sibuknya mempelajari ilmu silat, Lian Cioe tidak menikah dan ia sekarang menumplek
kasih sayangnya kepada putera Soeteenya itu. Boe Kie yang pintar mengetahui, bahwa
Soepeh yang parasnya menyeramkan itu sangat mencintai nya, sehingga, saban-saban Lian
Cioe mempunyai waktu luang, ia selalu mendekati sang paman untuk menanyakan ini dan itu.
Sebagai anak yang bisa bidup dipulau terpencil, pengalaman bocah itu sangat terbatas sekali
banyaknya, sehingga hampir segala apa yang dilihatnya merupakan suatu yang baru baginya.
Lian Cioc tidak pemah merasa bosan untuk menjawab penjelasan penjelasan yang seperlunya.
Sering-sering dengan mendukung Boe Kie, ia berdiri dikepala perahu untuk menikmati
pemandangan alam bersama sama keponakannya itu.
Hari itu, perahu tiba dikaki gunung Teng koan san, daerah Tong leng dalam propinsi An hoei.
Diwaktu magrib, perahu itu berlabuh didekat sebuah kota kecil dan juragan perahu mendarat
untuk membeli daging dan arak. Coei San suami isteri dan Jie Lian Cioe beromong-omong
digubuk perahu sambil minum teh, sedang Boa Kie main-main sendirian dikepala perahu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 284
Didarat, duduk didekat perahu itu, kelihatan seorang pengemis tua yang lehemya dilibat
seckor ular hijau, sedang kedua tangannya bermain-main dengan seekor ular besar yang
badannya hitam dengan titik putih.
Karena belum pemah melihat ular, Boe Kie menonton permainan sipengemis dengan mata
membelalak. Melihat si bocah, pengemis itu mengangguk sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba
sekali ia mengebas tangan, ular hitam itu melesat keatas, jungkir batik ditengah udara
beberapa kali dan kemudian jatuh didadanya. Boo Kie heran bukan main dan terus mengawasi
dengan mata tidak berkedip. Sipengemis tertawa dan menggapai-gapai sebagai undangan.
Tanpa memikir panjang Boe Kie segera melompat kedarat dan mendekatinya, Pengemis itu
mengambit sebuah kantong kain yang menggemblok dipunggungnya dan sambil membuka
mulut kantong, Ia berkata seraya berkata: "Didalam kantong ini terdapat serupa benda yang
lebih menarik. Coba kau lihat."
"Benda apa?" tanya Boe Kie.
"Sangat menarik, kau lihat saja sendiri," jawabnya.
Boe Kie membungkuk dan mengawasi kedalam kantong itu, tapi ia tak dapat melihat apapun
just. Ia maju setindak lagi untuk melihat dengan lebih jelas. Mendadak, bagaikan kilat, kedua
tangan si pengemis bergerak, menungkup kepala Boe Kie. Bocah itu hanya dapat
mengeluarkan teriakan di tenggorokan, karena mulutnya sudah dibekap dan badannya
diangkat keatas.
Teriakan Boe Kie memang sangat lemah. Tapi Lian Cioe dan suami isteri Coei San adalah
ahli kelas satu yang kupingnya tajam luar biasa.
Seketika itu mereka tahu, bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik. Dengan serentak
mereka berlari lari kekepala perahu dan melihat Boe Kie yang sudah menjadi tawanan si
pengemis. Baru saja mereka mau melompat kedarat, pengemis itu sudah membentak: "Jangan
bergerak! Kalau kau masih sayang akan jiwa anak ini, jangan bergerak!"
Seraya mengancam, ia merobek baju Boe Kie dibagian pinggang dan mengangsurkan mulut
ular hitam itu kedekat kulit punggung si bocah.
Melihat begitu, bukan main bingung dan gusarnya So So. Tanpa memikir lagi tangannya
bergerak untuk melepaskan jarum emas.
"Jangan!" bentak Lian Cioe dengin suara perlahan. Ia sudah mengenali, bahwa ular hitam itu
adalah salah satu dari delapan belas macam ular paling berbisa didalam dunia. Ular tersebut
yang mengambil kedudukan kesebelas, diberi nama Cit lie seng. Makin hitam warnanya dan
makin halus titik-titik putihnya, makin hebat bisanya. Ular sipengemis itu, yang hitamnya
mengkilap dan titik putihnya bersinar terang, kelihatan membuka mulutnya yang besar, dalam
mana terdapat empat batang caling, siap sedia untuk memagut punggung Boe Kie yang putih
bersih.
Sekali dipagut, bocah itu pasti akan segera binasa. Andaikata pengemis itu bisa lantas
dibinasakan dan obat pemunah bisa lantas didapatkan, masih belum tentu jiwa Boe Kia
keburu ditolong dengan obat itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 285
Itulah sebabnya, mengapa Lian Cioe mencegah niatan So So Dengan paras muka tidak
berubah, ia bertanya: "Sebab apa tuan menawan anak itu ?"
"Sebelum aku menjawab, kau lebih dulu harus menolak perahumu sampai kira-kira delapan
tombak dari tepi sungai," kata sipengemis.
Lian Cioe mengerti, bahwa sesudah perahu terpisah jauh dari tepian, Boe Kie makin sukar
ditolong. Tapi karena anak itu menghadapi bencana, ia tidak dapat berbuat lain daripada
menurut. Ia lalu menjemput rantai sauh dan sekali menyentak, sauhnya yang beratnya kirakira
lima puluh kati sudah melompat keluar dari permukaan air.
Melihat Lweekang Jie Jiehiap yang sangat tinggi itu, paras muka si tua agak berubah.
Dengan jantung berdebar keras, Coei San mengambil gala dan menotol tanah, sehingga
perahu itu lantas saja bergerak ketengah sungai.
"Lebih jauh sedikit ?" teriak pengemis itu.
"Apa belum delapan tombak ?" tanya Coei San dengan mendongkol.
"Waktu mengangkat sauh Jie Jiehiap telah memperlihatkan Lweekang yang begitu tinggi,"
kata si tua sambil tertawa "Maka itu, biarpun sudah terpisah delapan tombak, aku yang rendah
masih sangat kuatir,"
Apa boleh buat, Coei San mendorong pula sejauh beberapa tombak.
"Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia ." tanya Lian Cioe sambil
menyoja.
"Aku yang rendah hanyalah seorang perajurit yang tidak masuk hitungan dalam Kay pang
(Partai pengemis), sehingga namaku hanya akan mengotor kuping Jie Jiehiap," jawabnya.
Melihat pengemis itu menggendong enam buah karung, Lian Cioe merasa heran, sebab
seorang pengemis yang membawa karung sebanyak itu mempunyai kedudukan yang cukup
tinggi. Disamping itu. sepanjang pengetahuannya, Kay pang adalah sebuah partai yang selalu
melakukan perbuatan perbuatan mulia, sedang Pangcoe dari partai itu adalah sahabat karib
dari Toa seekonya, Song Wan Kiauw.
Selagi ia berpikir, tiba tiba So So berkata: "Apakah, Boe san pang dari Soe coan timur sudah
dipersatukan dengan Kay pang? Kalau tidak salah, dalam partai pengemis tidak terdapat orang
yang seperti tuan."
Si tua mengeluatkan seruan tertahan, bahna kagetnya. Sebelum ia menjawab, So So sudah
berkata pula : "Ho Loosam, kau jangan main gila. Jika kau mengganggu selembar rambut
anakku, aku akan mencincang tubuh Bwee Ciok Kian !"
Pengemis itu kaget tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. Sesaat kemudian,
sesudah dapat menenteramkan hatinya, ia berkata: "In Koawnio mempunyai mata yang sangat
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 286
tajam dan dapat mengenali Ho Loosam, Atas perintah Bwee Pangcoe, aku datang kemari
untuk menyambut Kongcoe."
"Singkirkan ular itu !" bentak So So dengan gusar. "Hu hu! Gerombolan Boe san pang yang
tiada artinya berani menyentuh kepala Peh bie kauw!"
"In Kouwnio, kau salah," bantah Ho Loosam "Sedikitpun kami tidak mempunyai niatan untuk
melanggar keangkeran Peh bie kauw. Asal saja In Kouwnio sudi menjawab pertanyaanku,
bukan saja aku akan segera mengembalikan Kongcoe, tapi Bwee Pangsoe sendiripun akan
datang berkunjung untuk meminta maaf."
"Pertanyaan apa ?" tanya So So.
"In Kouwnio sendiri mungkin sudah mendengar, bahwa putera satu satunya dari Bwee Pang
coe telah binasa didalam tangan Cia Soen." jawab nya. "Bwee Pangcoe memohon supaya
Thio Ngo hiap dan In Kouwnio .... aku salah ... supaya Thio Ngo Hiap dan Thio Hoejin sudi
menaruh belas kasihan dengan memberitahukan tempat bersembunyinya Cia Soen. Untuk
budi yang sangat besar itu, seluruh partai akan merasa sangat berterima kasih."
So So mengerutkan alis. "Kami tak tahu " katanya.
"Kalau begitu, kami memohon supaya kalian suka mendengar dengarkan dimana adanya Cia
Soen, sedang dipihak kami, kami akan merawat Kongcoe baik baik" kata pula sipengamis.
"Nanti sesudah kalian mendapat tahu tempat sembunyinya Cia Soen. Bwee Pangcoe sendiri
akan mengembalikan Kongcoe."
Melihat caling ular hanya terpisah beberapa dim dari punggung puteranya, hati So So
berdebar debar. Jika ia dapat mengambil keputusan sendiri, ia tentu akan segera membuka
rahasia. Ia menengok dan mengawasi muka suaminya. Sesudah menjadi suami isteri sepuluh
tahun, is mengenal adat sang suami yang keras dan mulia. Ia tahu, bahwa apapun jua yang
akan terjadi Coei San pasti tidak akan menghianati Cia Soen. Ia mengerti, bahwa jika ia
membuka rahasia dan Cia Soen binasa oleh karenanya, perhubungan mereka sebagai suami
isteri sudah pasti tak bisa dipertahankan lagi. Maka itulah melihat paras muka Coei San yang
menyeramkan, ia terpaksa menutup mulut.
"Baiklah, kau boleh menawan anakku," kata Thio Ngohiap dengan suara nyaring. "Seorang
laki-laki tak akan menjual sahabat. Ho Loosam, kau terlalu memandang rendah kepada Boe
tong Cit hiap."
Si pengemis terkejut, itulah jawaban yang tidak diduga-duga. Semula ia menaksir, bahwa
begitu cepat Boe Kie tertawan, Coei San dan So So pasti akan memberitahukan tempat
sembunyinya Cia Soen. Dengan rasa kagum, sambil berpaling kearah Lian Cioe, ia berkata:
"Jie Jiehiap, Cia Soen adalah manusia berdosa yang kedosaannya bertumpuk tumpuk
bagaikan gunung. Boe tong pay selalu mengutamakan keadilan dan pendirian yang sangat
dihormati dalam Rimba Persilatan. Aku mengharap Jiehiap suka membujuk Ngohiap"
"Mengenai urusan ini, aku dan Ngotee sekarang justeru ingin pulang ke Boe tong untuk
melaporkannya kepada Insoe dan meminta keputusannya," kata Lian Cioe, "Tiga bulan
kemudian, kami akan mengadakan pertemuan di Hong ho lauw. Aku harap Bwee Pangcoe
dan tuan juga suka menghadiri pertemuan itu, supaya kita beramai bisa berunding untuk
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 287
mendapatkan suatu penyelesaian yang memuaskan. Sekarang aku minta kau suka melepaskan
anak itu."
Lian Cioe bicara dengan suara perlahan dari jarak belasan tombak. Tapi setiap perkataannya
dapat didengar jelas oleh Ho I.oosam yang jadi kagum bukan main. "Boe tong Cit hiap yang
namanya mengetarkan seluruh negeri sunguh-sungguh bukan nama kosong." katanya didalam
hati. "Kali ini aku sudah menanam bibit permusuhan bagi Boe san pang. Tapi, biar
bagaimanapun juga, sakit hati Bwee Pangcoe tidak bisa tidak dibalas."
Ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Kalau begitu, aku memohon beribu maaf dari
kalian. Tidak ada jalan lain dari pada aku mengajak Thio Kongcoe pulang ke Tongcoa."
Karena Ho Loosam merangkap kedua tangannya, maka mulut ular yang dicekal dengan salah
satu tangannya jadi tepisah agak jauh dari pungung Boe Kie. Biarpun kepalanya berada
didalam karung, bocah itu telah mendengar jelas semua pembicaraan. Begitu lekas ia merasa
tangan sipengemis terlepas dari dirinya, bagaikan kilat ia menepuk jalanan darah Leng tay
hiat, dipunggung Ho Loosam, dan dengan berbareng, ia menendang seraya melompat. Karena
kuatir musuh melepaskan ular, tanpa membuka karung yang masih menutup kepalanya, ia
meloncat beberapa kali deagan sekuat tanaga.
Sesudah kabur belasan tombak, barulah ia mencabut karung dari kepalanya. Ia heran sebab
melihat pengemis tua itu rebah ditanah tanpa bergerak.
Sementara itu, cepat-cepat Coei San menolak perahunya ketepi sungai dan kemudian,
bersama isterinya dan kakaknya, ia melompat kedaratan. Bagaikan terbang So So berlari-lari
kearah puteranya, yang lalu dipeluk dengan rasa girang yang meluap-luap.
Coei San sendiri segera menghunus pedang dan membunuh kedua ular berbisa itu.
Sesudah itu, barulah ia membungkuk dan memeriksa keadaan Ho Loosam yang mulutnya
terus mengeluarkan darah dan kelihatannya sedang menderita kesakitan hebat,
"Ngotee," kata Lian Cioe dengan perasaan heran, "apa mungkin tepukan Boe Kie yang begitu
enteng bisa mengakibatkan luka yang begitu berat ?" Ia mengangsurkan tangan dan coba
mengangkat lengan kiri situa, tapi lengan itu kaku, seperti orang yang tertotok jalanan
darahnya. Melihat begitu, ia segera mengurut jalanan darah Tau tiong hiat, dibagian dada, dan
Toa twie hiat, dibelakang leher Ho Loosam.
Diluar dugaan, begitu diurut, sipengemis mengeluarkan teriakan menyayat hati. "Aduh! Mau
bunuh, lekas bunuh .... Jangan kau ... menyiksa!" Ia sesambat. Seluruh tubuhnya menggigil
dan giginya bercetukan.
Lian Cioe kaget tak kepalang, karena dengan urutan itu, ia bermaksud untuk menolong. Tan
tiong hiat ialah pusat, atau sumber dari hawa tubuh manusia, sedang Toa twie hiat adalah
tempat berkumpulnya jalanan darah besar dibagian kaki tangan manusia. Maka itu, jika kedua
jalanan darah sudah mengalir baik, lain lain jalanan darah yang tertutup akan terbuka kembali.
Tapi diluar dugaan, akibatnya justeru sebaliknya. Melihat Ho Loosam menderita kesakitan
yang begitu hebat, Lian Cioe segera menotok jalanan darah dipundaknya untuk
mengurangkan penderitaannya dan keemudian berpaling mengawasi Coei San.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 288
Tapi Coei San pun tidak mengerti sebab musababnya. "Sumoay," katanya. "Apakah kau
melukakan dia dengan jarum emas?"
"Tidak," jawabnya. "Mungkin dia kena dipagut ulamya sendiri."
Sambil menahan sakit, si tua berkata: "Tidak... anakmu yang menghantam punggungku..." Ia
melirik Boe Kie dengan sorot mata heran dan takut.
So So senang hatinya. "Boe Kie," katanya dengan suara bangga, "benarkah kau sendiri yang
menghajamya ? Bagus! Bagus sekali!"
"Jalan darah apa yang harus dibuka untuk menolongnya?" tanya Coei San dengan suara
jengah. Ia merasa main, bahwa sebagai ayah ia tidak dapat menolong orang yang dihajar oleh
puteranya sendiri, sehingga pertanyaan itu tidak langsung ditujukan kepada Boe Kie.
So So tertawa geli. "Anak," katanya. "Thia thia menyuruh kau membuka jalanan darahrnya.
Tolonglah dia! Sekarang dia sudah mengena lihaynya Cia Boe Kie."
Mendengar perkataan Cia Boe Kie, Lian Cioe merasa heran. "Cia Boe Kie ?" menegasnya.
"Ya," jawab Coei San sambil mengangguk. "Siauwtee telah menyerahkan anak itu kepada
Gieheng dan sedari dilahirkan ia telah mengguna kan she Cia."
Boe Kie menggelengkan kepalanya. "Aku tak bisa," katanya.
"Mengapa tak bisa?" tanya sang ayah.
"Giehoe hanya mengajar aku untuk menotok orang, tapi tidak memberitarukan cara
bagaimana harus membuka totokan itu," jawabnya. Ia diam sejenak dan kemudian berkata
pula: "Waktu menurunkan pelajaran itu kepadaku, Giehoe mengatakan, bahwa jika pukulan
mengenai Tai-yang, Tan-tiong, Toa-twie dan Leng tay, empat jalanan darah besar, orang yang
terpukul bisa lantas binasa. Aku segera menanyakan bagaimana caranya menolong orang
yang terpukul. Ia nneagerutkan alis dan berselang beberapa saat, barulah ia menjawab begini:
Didalam dunia, ilmu ini hanya dikenal olehku dan olehmu berdua orang. Perlu apa kau belajar
cara menolongnya? Kau hanya boleh memukul musuh dengan pukutan ini. Dan kalau yang
dipukul musuh, perlu apa kita menolongnya? Apakah kau mau memberi kesempatan
kepadanya, supaya dibelakang hari dia bisa membalas sakit hati? Itulah jawab Giehoe
terhadap pertanyaanku."
Coei San dan isterinya mengakui bahwa suara itu, memang suara Cia Soea yang tangannya
kejam dan kalau membabat, selalu membabat sampai diakarnya.
Biar bagaimanapun jua, Ho Loosan seorang laki laki yang keras kepala. "Jie Jiehiap, Thio
Ngohiap, dalam hal ini, yang bersalah memamg aku sendiri," katanya. "Hatiku tidak baik dam
memang pantas aku mendapat pembalasan yang tidak baik. Sekarang aku memohon supaya
kalian cepat cepat mengambil jiwaku, supaya aku tidak menderita terlalu lama."
Lian Cioe menggelengkan kepala. "Tidak, kedosaanmu tidak pantas mendapat hukuman
mati," katanya. "Aku meminta maaf untuk keponakanku yang sudah turun tangan tanpa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 289
mengetahui berat entengnya tangan itu. Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk
menolong jiwamu," sehabis berkata begitu, ia mendukung Ho Loosam dan menaruhnya
didalam gebuk perahu.
Sesudah itu ia kembali kedaratan dan bertanya kepada Boe Kie: "Apa namanya pukulan yang
telah digunakan olehmu ?"
Melihat paras sang paman yang menyeramkan, bocah itu jadi ketakutan dan lantas saja
menangis. "Aku bukan sengaja mau membinasakannya," jawabnya "Dia... dia mengancam
aku dengan ular ... Aku takut, aku ... sangat takut ...."
Lian Cioe menghela napas. Dengan rasa cinta ia mendukung keponakannya dan mensusutan
matanya. "Jiepeh tidak menyalahkan kau," katanya dengan suara halus. "Jika dia mengancam
Jiepeh dengan ular, akupun akan menghajar dia."
Sesudah dibujuk dan dielus elus, barulah Boe Kie berhenti menangis "Menurut katanya
Giehoe pukulan itu yalah pukulan yang sudah hilang dari Rimba Persilatan," Ia menerangkan.
"Namanya Hang liong Sip pat ciang (Delapanbelas pukulan untuk menaklukkan naga)"
Begitu mendengar perkataan Hang liong Sip pat ciang, paras muka Lian Cioe berubah dan ia
lalu menurunkan sibocah dari dukungannya.
Hang liong Sip pat ciang adalah ilmu silat yang sangat tersohor dari Ang Cit Kong, Pangcoe
partai pengemis pada akhir jaman kerajaan Lam tong, Di samping ilmu itu Ang Cit Kong,
melirik ilmu silat tongkat yang diberi nama Tah kauw Pang hoat. (Ilmu silat tongkat untuk
memukul anjing ), yang juga sudah menggetarkan Rimba Persilatan dan sangat disegani oleh
jago-jago pada masa itu, Tah kauw Pang hoat adalah ilmu yang hanya diturunkan kepada
Pangcoe dari Kaypang dan sampai pada waktu itu masib dikenal orang. Tapi Han-liong Sip
pat ciang sudah lama menghilang dari dunia persilatan.
Ilmu itu telah diturunkan oteh Ang Cit Kong kepada Kwee Ceng, tidak terdapat orang yang
berbakat cukup untuk mempelajarinya. Sin tiauw Tay hiap Yo Ko adalah seorang yang
mengenal macam-macam ilmu silat antaranya Hang liong Sip pat ciang, tapi lantaran
belakangan satu lengannya putus ia tidak dapat menggunakan ilmu itu yang harus digunakan
dengan kedua-dua tangan. Maka itulah, selama kira-kira seratus tahun, Rimba Persilatan
hanya mendengar nama, tapi belum pernah melihat ilmu silat tersebut. Diluar dugaan, Boe
Kie telah mendapatkannya dari Cia Soen.
"Apa benar kau memukul Ho Loosam dengan Hong liang Sip pat ciang?" mendesak Lian
Cioe yang masih tidak percaya akan keterangan keponakannya.
Boe Kie mengangguk. "Menurut kata Giehoe pukulan itu diberi nama Sin liong Pa bwee
(Naga sakti menyabet dengan buntutnya)." jawabnya.
Lian Cioe dan Coei San lantas saja ingat bahwa waktu menceritakan Hong liang Sip pat
ciang, guru mereka memang pemah menyebutkan nama "Sin-liong Pa bwee," tapi Thio Sam
Hong sendiri tidak mengenal pukulan itu. Mengingat bahwa dalam usianya yang masih begitu
muda, Boe Kie sudah melukakan Ho Loosam begitu berat, keterangannya tentang Hang-liong
Sip pat ciang mungkin tidak palsu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 290
"Waktu Boe Kie menerima pelajaran dari Gie hang, Siauwtee berdua isteri dilarang
mendekat," menerangkan Coei San. "Siauwtee tak nyana Giehoe sudah menurunkan ilmu
yang luar biasa itu"
"Giehoe mengatakan, bahwa ia hanya mengenal tiga dari delapanbelas pukulan itu dan ia
mendapatkannya dari seorang ahli yang sudah mengasingkan diri dari dunia Kangouw." kata
Boe Kie, "Giehoe juga mengatakan, ia merasa bahwa dalam perubahan perubahan ketiga
pukulan itu ada sesuatu yang kurang tepat. Mungkin sekali, ahli itu sendiri belum dapat
menyelami isi pukulan pukulan itu sampai kedasar dasarnya."
Jie Lian Cioe dan Thio Coei San jadi bengong. Mereka kagum bukan main akan lihaynya jago
jago dijaman dulu. Cia Soen yang hanya memdapat oleh beberapa pukulan, sudah begitu
hebat. Maka itu, lihaynya Ang Cit Kong dan Kwee Ceng hanya dapat dibayang bayangkan.
Antara ketiga orang itu, So So lah yang paling bunga hatinya. Sebagai seorang ibu, ia sangat
bangga bahwa dalam pukulannya yang pertama puteranya yang masih begitu kecil sudah
memperlihatkan kepandaian yang tinggi itu, Dalam girangnya, ia tidak memperhatikan
pembicaraan antara suami dan Jiepehnya.
"Kurasa, selain Ho Loosam, Boe san pang juga mengirim lain orang untuk memyantu," kata
Coei San. "Sebaiknya kita lekas lekas menyingkir dari tempat ini"
"Benar," ka'a Lian Cioe. "Aku sudah memberikan obat Tok bing sinsan kepada Ho Loosam.
Harap saja obat itu dapat menolong jiwanya."
Mereka berempat lantas kembali keperahu. Napas Ho Loosam sangat lemah dan mulutnya
masih mengeluarkan darah.
"Boe Kie," kata Cioe San dengan suara keren. "Kali ini, aku tidak menyalahkan kau. Lantaran
adanya ancaman hebat, kau terpaksa turun tangan. Tapi lain kali, kecuali jika terlalu terdesak,
tak boleh kau sembarangan bertempur. Lebih lebih, aku melarang kau menggunakan tiga
pukulan dari Hang liong Sip liong itu. Kau mengerti ?"
"Baiklah. Anak tak akan melupakan pesan ayah," jawab sibocah.
Melihat paras muka ayah nya yang menyeramkan, air mata lantas saja berlinang linang
dikedua matanya dan sesaat kemudian, ia lantas saja menangis keras.
Tak lama kemudian, juragan perahu sudah kembali dengan membawa arak dan daging, Lian
Cioe segera memerintahkannya untuk menjalankan perahu.
Jilid 15_______________
Malam itu, sesudah bersantap, Lian Cioe bersila dengan tangan menekan jalanan darah
Toatwie hiat dibelakang leher Ho Loosam dan kemudian mengempos Lweekangnya untuk
bantu mengobat sipengemis.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 291
So So sangat tak puas akan cara-cara Jiepehnya itu yang dianggapnya seperti nenek2.
Menurut jalan pikirannya, manusia semacam Ho Loosam bukan saja tidak pantas ditolong,
malah harus dilemparkan kedalam air.
Sesudah mengalirkan Lweekangnya beberapa jam, Lian Cioe merasa lelah dan Coei San lalu
menggantikannya. Diwaktu fajar menyingsing, pengemis tua itu tidak mengeluarkan darah
lagi dan pada mukanya mulai terdapat sinar dadu.
"Jiwamu sudah ketolongan," kata Lian Cioe dengan girang. "Hanya mungkin ilmu silatmu
tidak bisa pulih kembali "
"Budi Jie-wie tak akan dilupakan olehku si orang she Ho," kata Ho Loosam. "Akupun tak ada
muka untuk menemui lagi Bwee Pangcoe. Mulai dari sekarang, aku akan menyingkir dari diri
pergaulan dan tidak akan berkeliaran lagi di dalam kalangan Kangouw."
Waktu perahu tiba di An keng, pengemis itu berpamitan dan berlalu.
Sesudah berpisahan sepuluh tahun dengan guru dan saudara-saudara seperguruannya, Coei
San ingin sekali tiba di Boe tong secepat mungkin. Ia merasa sangat tidak sabar akan
perlahannya perahu, maka sesudah melewati An keng, ia mengajukan usul untuk mengambil
jalanan darat dengan menunggang kuda.
"Ngotee, kurasa kita lebih baik terus menggunakan perahu," kata sang kakak. "Biarpun lebih
lambat beberapa hari, kita lebih selamat. Diwaktu ini, entah berapa banyak orang ingin
menyelidik tempat sembunyinya Cia Soen."
"Dengan berjalan bersama-sama Jiepeh, apakah masih ada manusia yang berani mencegat kita
?" kata So So.
"Kalau kami tujuh saudara semua berkumpul, mungkin sekali orang akan sangsi untuk
mengganggu," kata Lian Cioe. "Tapi dengan hanya bertiga, tak bisa kita menghadapi begitu
banyak orang pandai. Disamping itu, tujuan kita yalah untuk menyelesaikan urusan ini secara
damai. Perlu apa kita menanam lebih banyak bibit permusuhan?"
Coei San mengangguk "Tak salah apa yang di katakan Jieko" katanya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Boe hiat, wilayah Oawpak. Malam itu, setibanya di
Hok-tie-kouw, perahu itu melepas sauh dan bersiap untuk bermalam disitu.
Tiba-tiba Lian Cioe mendengar suara kaki kuda digili-gili dan ia mendongok keluar dari
gubuk perahu. Secara kebetulan, dua penunggang kuda sedang membelokkan tunggangannya
yang lalu dikaburkan kearah kota. Dengan begitu ia tidak bisa melihat muka kedua orang itu.
Tapi dilihat dari gerak-geraknya yang gesit dan lincah, mereka pasti bukan sembarang orang.
Lian Cioe melirik adiknya dan berkata dengan suara perlahan: "Kurasa ditempat ini bakal
terjadi sesuatu. Lebih baik kita berangkat sekarang juga."
"Baiklah," kata Coei San dengan rasa berterima kasih.
Semenjak Boe tong Cit-hiap turun gunung. dengan memiliki kepandaian tinggi dan sepak
terjangnya selalu menuruti jalan yang lurus, mereka tak pernah menyingkir dari orang lain.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 292
Selama beberapa tahun yang paling belakang, nama Jie Lian Cioe naik makin tinggi, sehingga
malah para Ciang boen jin dari partai-partai ternama, seperti Koen loan, Khong dan
sebagainya, menaruh hormat terhadapnya. Tapi, malam itu, ia tak mau berdiam lama-lama di
Hoktie kouw karena melihat bayangan dua orang yang tidak ternama. Coei San mengerti
bahwa sikap sang kakak itu adalah demi keselamatan keluarganya.
Sementara itu, Lian Cioe sudah memanggil juragan perahu. Sambil mengangsurkan sepotong
perak yang beratnya lima tahil, ia minta supaya perahu diberangkatkan sekarang juga.
Meskipun lelah, melihat uang yang berjumlah besar itu, ia jadi girang dan mengiakan.
Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Boe Kie sudah
menggeros, sedang ayah bundanya bersama sang Jiepeh minum arak dikepala perahu sambil
menikmati pemandangan malam yang sangat indah itu. Dengan hati lapang, mereka minum
sambil beromong-omong.
"Tak lama lagi Insoe berulang tahun yang ke seratus," kata Coei San. "Bahwa siauwtee
keburu pulang untuk turut serta dalam pertemuan yang langkah itu merupakan bukti bahwa
Langit menaruh belas kasihan atas diri siauwtee."
"Hanya sayang kita tidak bisa menyediakan antaran yang sepantasnya," menyambungi si
isteri.
Lian Cioe tertawa seraya berkata: "Teesoe, apakah kau tahu, siapa diantara tujuh muridaya
yang paling dicintai Insoe?"
"Tentu saja Jiepah," jawabnya sambil bersenyum.
Lian Cioe tertawa. "Teehoa nakal sekali," katanya. "Kau tahu, tapi kau sengaja mengatakan
begitu. Diantara kami bertujuh orang, yang paling dicintai Insoe adalah suamimu yang
tampan."
So So girang bukan main. "Aku tak percaya," katanya dengan paras muka berseri-seri.
"Diantara kami bertujuh setiap orang mempunyai keunggulan sendiri-sendiri," menerangkan
Lien Cioe. "Toasoeko mempelajari kitab Ya keng dan sebagai manusia, ia rendah hati,
sederhana besar jiwanya dan luas pemandangannya. Samtee seorang hati-hati dan pandai
bekerja. Pekerjaan yang diberikan Insoe belum pernah digagalkan olehnya. Sietee berotak
cerdas luar biasa. Lioktee unggul dalam ilmu pedang dan Cit tee belakangan ini telah
mempelajari juga Gwakang (ilmu silat luar), sehingga ia akan mahir dalam ilmu dalam dan
ilmu luar serta akan dapat menangkap tenaga keras dan tenaga lembek."
"Bagaimana dengan Jiepeh sendiri?" tanya So So.
"Aku berotak tumpul dan tak mempunyai keunggulan dalam apapun jua," jawabnya," jika Tee
hoe ingin tahu juga, boleh dikatakan bahwa dalam pelajaran yang diturunkan oleh Soehoe,
akulah yang paling giat mempelajarinya."
So So bertepuk tangan. "Aku memang tahu, bahwa diantara Boe tong Cit hiap, Jiepeh yang
ilmu silatnya paling tinggi," katanya sambil tertawa. "Tapi Jiepeh sangat merendahkan diri
dan suka mengakuinya."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 293
"Memang, diantara kami bertujuh, memang Jie ko yang berkepandaian paling tinggi," kata
Coei San. "Hai! .... Selama sepuluh tahun Siauwtee tak pernah menerima pelajaran In soe dan
diwaktu ini, siauwtee pasti menduduki kursi yang paling buncit." Waktu mengucapkan katakata
itu, suaranya bernada sedih.
"Akan tetapi, diantara kita bertujuh, kaulah yang Boen boe coan cay," kata Lian Cioe, "Tee
hoe, aku sekarang ingin membuka suatu rahasia. Pada lima tahun berselang, ketika Soehoe
merayakan ulang tahunnya yang kesembilan puluh lima, tiba-tiba paras muka beliau berubah
sedih Sesudah menghela napas, beliau berkata: Diantara tujuh muridku, yang otaknya paling
cerddas dan boen boe song coan hanyalah Coei San seorang. Aku sebenarnya mengharap,
hahwa dihari kemudian ia akan bisa menjadi ahli warisku. Ah! .. Hanya sayang rejeki anak itu
tipis sekali dan selama lima tahun, belum diketahui bagaimana nasibnya. Mungkin....
mungkin sekali ia sudah mendapat kecelakaan"
"Kau dengarlah, Teehoe. Apakah keliru, jika aku mengatakan, bahwa Ngotee paling disayang
oleh Soehoe?"
Mendengar itu, Coei San merasa berterima kasih dan terharu, sehingga air matanya lantas saja
berlinang-linang.
"Sekarang Ngotee sudah kembali dengan selamat dan pulangnya bersama-sama kalian, sudah
merupakan antaran yang paling berharga untuk Soehoe," kata pula Lian Cioe.
Bicara sampai disini sekonyong konyong terdengar suara kaki kuda yang di kaburkan digili
gili sungai. Kuda-kuda itu mendatangi dari sebelah timur dan menurut kearah barat. Ditengah
malam yang sunyi, suaranya terdengar tegas sekali dan dari suara tindakan bisa diketahui,
bahwa jumlahnya empat ekor kuda.
Lian Cioe bertiga saling mengawasi. Didalam hati mereka tahu, bahwa empat penungang
kuda itu yang datang ditengah malam buta, kebanyakan mempunyai sangkut paut dengan
mereka.
Meskipun mereka sungkan mencari urusan, mereka bukan orang-orang yang takut mendapat
urusan. Maka itu, biarpun bercuriga, mereka tenang tenang saja dan tidak membicarakan
kejaran empat pengunggang itu.
"Pada waktu aku turun gunung, Soehoe sedang menutup diri dan bersemedhi," kata pula Lian
Cioe. "Menurut perhitungan, setibanya kita di Boe-tong, beliau sudah selesai."
"Dulu ayah pernah memberitahukan kepadaku, bahwa selama hidup ia hanya mengagumi
Thio Cinjin dan Kian boen tie seng, empat pendeta suci dari Siauw lim-pay," kata So So.
"Tahun ini Thio Cinjin sudah mencapai usia seratus tahun dan dalam keagamaan, mungkin ia
tidak mempunyai tandingan lagi didunia ini. Apakah beliau sedang mempelajari ilmu untuk
hidup abadi?"
"Bukan, Insoe sedang merenungkan ilmu silat," jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 294
So So agak kaget. "Dalamnya ilmu silat yang dimiliki beliau sudah tak dapat diukur lagi,"
katanya. "apa lagi yang ingin dipelajari? Apakah pada jaman ini beliau masih mempunyai
tandingan?"
"Semenjak usia sembilan puluh lima tahun, saban tahun in Soe menenutup diri sembilan bulan
lamanya," menerangkan Lian Cioe. "Beliau sering mengatakan, bahwa intisari daripada ilmu
silat Boe tong terletak didalam kitab Kioe yang Cin keng. Hanya sayang, pada waktu Kak
wan Couw soe menghafal isi kitab itu, Insoe masih terlalu muda dan sesudah lewat sekian
tahun, ia sudah tidak ingat lagi seluruh isinya. Maka itulah, dalam ilmu silat kami masih
terdapat kekurangan-kekurangan."
"Kioe yang Cin keng adalah warisan Tat mo Couw soe Insoe mengatakan, bahwa makin lama
beliau merenungkan, makin beliau merasa, bahwa dalam ilmu silat kami masih terdapat
terlalu banyak kekurangan, seolah hanya merupakan separoh dari sebuah keseluruhan. Beliau
mengatakan, bahwa untuk mencapai keseluruhan itu, orang harus mendapatkan dan
mempelajari Kioe im Cin keng. Hanya sayang, sedang Kioe yang Cin keng saja masih belum
lengkap, dimanakah orang harus mencari Kioe im Cin keng ? Disamping itu, apakah didalam
dunia benar-benar terdapat kitab Kioe im Cin keng, masih merupakan sebuah teka teki."
"Tat mo Couw soe adalah seorang luar biasa dari negeri Thian tiok (India). Dalam kecerdasan
dan bakat belum tentu Insoe kalah dari Tat mo Couw soe. Maka itu, sedang Cin keng tak
mungkin didapatkan, apakah Insoe sendiri tidak mampu mengubah ilmu silat yang sempurna?
Pertanyaan itu tidak bisa menghilang dari otak Insoe. Maka itulah, beliau lalu menutup diri
untuk mempelajari dan merenungkan ilmu silat kami guna mencapai suatu kesempurnaan."
Mendengar keterangan itu, bukan main rasa kagumnya Coei San dan So So.
"Yang turut mendengar Kak wan Couwsoe menghafal Kioe yang Cin keng ada tiga orang."
Lian Cioe melanjutkan penuturannya. "Yang satu Insoe sendiri, yang kedua Boe sek Taysoe
dari Siauw lim sie, sedang yang ketiga seorang wanita yaitu Couwsoe Goe bie pay, Kwee
Siang Kwee Lie hiap. Kecerdasan, bakat dan kepandaian mereka berlainan satu sama lain.
Yang ilmu silatnya paling tinggi pada waktu itu adalah Boe sek Taysoe, Kwee Lie hiap ialah
puteri Kwee Tayhiap dan Oey Yong, Oey Pangcoe. Sebagai puterinya ahli-ahli silat kelas
utama pada jaman itu, beliau sudah memiliki ilmu silat yang beraneka warna. Insoe sendiri
pada waktu itu dapat dikatakan belum mengenal ilmu silat. Tapi sebab itulah ilmu silat Boe
tong menjadi ahli waris yang paling bersih dari pada kitab Kioe yang Cin keng."
"Belakangan mengenai ilmu-ilmu silat Siauw Lim, Go bie dan Boe tong, orang memberi
julukan Ko (tinggi) kepada Siauw lim. Pok (luas) kepada Go bie dan Soen (bersih) kepada
Boe tong. Ketiga partai masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan juga mempunyai
kekurangan kekurangan."
"Kalau begitu, Kak wan Couw soe memiliki ilmu silat yang paling tinggi pada jaman itu,"
kata So So.
"Tidak !" jawabnya. "Kak wan Couw soe tidak mengerti ilmu silat. Dalam kuil Siauw lim sie,
ia bekerja sebagai pengurus Cong keng kok (gedung perpustakaan). Ia seorang kutu buku
yang membaca segala rupa kitab dan menghafalnya. Secara kebetulan ia mendapatkan Kioe
yang Cin-keng Yang lalu dibacanya dan dihafalnya. Ia sama sekali tak tahu, bahwa dalam
kitab itu terdapat ilmu silat yang sangat tinggi."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 295
Lian Cioe selanjutnya menuturkan cara bagaimana kitab itu hilang dan tidak dapat ditemukan
lagi. Coei San sendiri sudah pernah mendengar cerita itu dari gurunya, tapi So So yang baru
pertama kali mendengarnya, merasa ketarik bukan main.
Lian Cioe seorang pendiam dan biasanya sangat jarang bicara. Tapi sekarang, dalam
kegembiraannya karena sudah bertemu pula dengan adiknya yang disangka mati, ia berbicara
banyak sekali, bahkan berguyon. Sesudah bergaul belasan hari dengan So So, ia merasa,
bahwa si Teehoe sebenarnya bukan manusia jahat. Ia yakin, bahwa kekejaman So So pada
masa yang lampau, adalah akibat daripada suasana dan pergaulannya. Kata orang, mendekati
bak (tinta) keluaran hitam, mendekati coe see (bubuk merah) berlepotan merah. Sedari kecil,
apa yang dilihat dan didengar So So adalah perbuatan-perbuatan sesat dan kejam, sehingga
sesudah besar, ia tidak dapat membedakan lagi apa yang benar, apa yang salah dan biasa
membunuh manusia secara serampangan. Tapi sesudah menikah dengan Soeteenya, adat yang
kejam itu perlahan-lahan berubah. Itulah kesimpulan Lian Cioe.
Baru saja Coei San ingin menanyakan Soehengnya tentang kemajuan yang telah dicapai oleh
gurunya dalam usaha menyempurnakan ilmu silat Boe-tong, sekonyong konyong suara
tindakan kuda tadi terdengar pada kali ini dari menuju ketimur dan tidak lama kemudian
mereka lewat diatas gili gili dekat perahu.
Coei San agak terkejut, tapi ia tidak menggubris. "Jieko" katanya. "jika Insoe mengundang
tokoh-tokoh Siauw lim dan Gobie untuk bersama2 menyempurnakan ilmu silat, kurasa ketiga
partai ini sama-sama akan memperoleh keuntungan yang sangat besar."
Lian Cioe menepuk lututnya. "Kau benar !" katanya dengan bersemangat. "Perkataan Soehoe,
bahwa dihari kemudian kau bakal menjadi ahli warisnya sungguh tepat sekali."
"Perkataan itu kurasa sudah dikeluarkan karena Insoe selalu mengingat Siauwtee yang tidaak
diketahui kemana perginya," kate Coei San. "Bukankah seorang anak durhaka yang
bergelandangan di luaran lebih dipinggirkan oleh ibunya daripada anak berbakti yang selalu
berdampingan dengan sang ibu? Pada waktu ini, janganlah dibandingkan dengan Toako, Jieko
dan Sieko, sedangkan dengan Lioktee dan Cit tee pun, ilmu silat Sauwtee masih belum bisa
menempil."
"Bukan, tafsirannya bukan begitu," kata Lian Cioe sambil meggelengkan kepala. "Sebegitu
jauh mengenai ilmu silat, memang juga Ngotea tidak bisa menandingi aku. Akan tetapi,
seorang ahli waris Insoe mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk
memperkembangkan ilmu silat. Insoe sering mengatakan, bahwa dalam dunia yang lebar ini,
soal gemilang atau suramnya Boe tong pay sebagai partai persilatan adalah soal remeh. Soal
yang penting ialah seorang ahli silat harus menunaikan tugasnya sebagai seorang anggota dari
Rimba Persilatan. Jika ia bisa mempelajari menyelami rahasia ilmu silat dan kemudian
menurunkan pelajarannya itu kepada orang lain, supaya ilmu silat seorang koen coe (manusia
utama) berbeda dengan ilmu silat seorang Siauwjin (manusia rendah). Jika ia dapat
mempersatukan pencinta-pencinta negeri untuk mengusir penjajah dan merampas pulang
negeri yang sedang dijajah, maka dapatlah dikatakan, bahwa ia sudah menunaikan tugasnya
yang sangat mulia. Itulah penedapat Insoe mengenai tanggung jawab seorang ahli silat. Maka
itulah seorang ahli warisnya, pertama harus mempunyai batin yang luhur dan kedua harus
memiliki kesadaran. Mengenai batin, kita bertujuh tiada banyak bedanya. Tapi mengenai
kesadaran, Ngotee lah yang paling unggul."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 296
Coei San menggoyangkan tangannya. "Tapi siauw tee masih tetap berpendapat, bahwa
perkataan itu sudah dikeluarkan Insoe karena beliau terlalu memikirkan siauwtee," katanya
dengan suara ter haru. "Andaikata benar Insoe mempunyai niat begitu, biar bagaimanapun
jua, siauwtee tak akan dapat menerimanya."
Mendadak Lian Cioe berpaling kearah So So. Ia bersenyum seraya berkata: "Teehoe pergilah
kau melindungi Boe Kie, supaya ia tak jadi kaget. Urusan diluar akan diurus olehku dan
Ngotee."
So So memandang kedarat, tapi ia tak dapat melihat sesuatu yang luar biasa. Selagi ia
bersangsi, Lian Cioe berkata pula: "Diantara pohon pohon itu bersembunyilah orang dan
diantara rumput alang-alang disebelah depan pasti bersembunyi perahu-perahu musuh"
So So membuka rnatanya lebar-lebar dan mengawasi keempat penjuru, tapi ia tetap tak
melihat apapun jua. Diam-diam dia menduga mata sang Jiepeh kabur.
Sekonyong konyong Lian Cioe berteriak: "Boe tong san Jie Jiehiap dan Thio Ngo hiap
numpang lewat ditempat ini. Kami memohon kalian sudi memaafkan, jika kami melanggar
kesopanan. Kami mengundang kalian untuk naik keperahu ini guna minum bersama-sama."
Teriakan Lian Cioe diikuti dengan suara air yang terpukul dayung dan sesaat kemudian, dari
antara rumput alang-alang muncullah enam buah perahu kecil yang didayung cepat sekali dan
yang kemudian berbaris dan menghadang dari satu tepi kelain tepi sungai. Dari salah sebuah
perahu itu terdengar suara "uuu...uuu..." dan dilepaskan sebatang anak panah pertandaan,
yang mengeluarkan suara nyaring. Hampir berbareng, dari antara gerombolan pohon pohon
melompat keluar belasan orang yang ringkas dan badannya semua mengenakan pakaian
warna hitam dan semua mencekal senjata. Sedang muka mereka ditutup dengan topeng kain
yang berwarna hitam juga.
So So kagum tak kepalang. "Nama besar Jie peh sungguh bukan nama kosong," pikirnya.
Melihat jumlah musuh yang besar cepat cepat ia masuk kedalam gubuk perahu untuk
melindungi puteranya. Anak itu ternyata sudah mendusin. Sesudah merapikan pakaiannya ia
berbisik "Anak kau jangan takut!"
"Sahabat dari mama yang akan berkunjung?" tanya Lian Cioe. "Boe tong Jie Jie dan Thio Ngo
hiap menyampaikan salam persahabatan."
Tapi tak satu manusiapun yang muncul dari perahu-perahu itu dan pertanyaan Jiehiap tetap
tidak mendapat jawaban.
"Celaka!" Lian Cioe mengeluarkan seruan tertahan dan lalu melompat keair. Ia kelahiran
Kang lam dan rumah tinggalnya berdekatan dengan sungai, sehingga semenjak kecil ia sudah
mahir dalam ilmu berenang.
Ia menyelam dan melihat empat orang sedang berenang mendekat, ia mengerti maksud
mereka yaitu ingin membor dasar perahu supaya perahu itu karam.
Jie Lian Cioe segera bersembunyi disamping badan perahu. Begitu lekas keempat orang itu
datang dekat, kedua tangannya bergerak dan dua orang sudah tertotok jalanan darahnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 297
Hampir berbareng ia mengirim tendangan dan jalanan darah Cit sit hiap, dipinggang orang
ketiga, kena tertendang. Musuh yang keempat coba melarikan diri, tapi Lian Cioe keburu
menjambret pergelangan kakinya dan lalu melontarkannya keatas perahu. Mengingat, bahwa
ketiga musuhnya pasti bakal mati kalelap jika tidak ditolong, ia segera melemparkan mereka
satu persatu kekepala perahu dan kemudian barulah ia sendiri meloncat keatas perahu.
Sementara itu sesudah bergulingan, musuh keempat melompat bangun dan lalu menikam dada
Coei San dengan bornya. Melihat ilmu silat orang itu biasa saja, tanpa berkelit. Coei San
menangkap pergelangan tangannya yang mencekal senjata kemudian menotok jalanan darah
didada dengan sikutnya. Tanpa mengeluarkan teriakan, dia rubuh diatas geladak perahu.
"Diantara yang berkumpul didarat kelihatannya terdapat beberapa orang yang berkepandaian
tinggi", kata Lan Cioe. "Sesudah berhadapan, tak dapat kita berlaku sungkan lagi."
Coei San mengangguk dan lalu memerintahkan juragan perahu untuk menjalankan kendaraan
air itu. Karena mesti melawan arus air, jalanannya perahu perlahan sekali. Begitu berdekatan
dengan enam perahu musuh, Lian Cioe mengangkat keempat tawanannya, membuka jalanan
darah mereka dan lalu melemparkannya keperahu yang paling dekat. Tapi sungguh heran dari
enam perahu itu sama sekali tidak terdengar suara manusia, belasan orang yang berkumpul
didaratanpun tidak mengeluarkan sepatah kata, seolah-olah mereka semua gagu, sedang
keempat orang yang barusan dilontarkan juga tak muncul lagi.
Tiba-tiba, selagi perahu Lian Cioe mau melewati keenam perahu itu, seorang pendayung dari
perahu musuh yang paling dekat mengayun tangannya dan hampir berbareng, dengan dua kali
suara ledakan, kemudi perahu Lian Cioe terbakar dan perahunya sendiri terputar badannya.
Yang dilemparkan oleh sipendayung yalah semacam dinamit yang biasa digunakan oleh para
nelayan untuk mendinamit ikan. Hanya karena barang peledak itu dibuat luar biasa besar
maka tenaganyapun jauh lebih bear daripada dinamit yang biasa.
Dengan paras muka tetap menunjuk ketenangan, Lian Cioe melompat keperahu musuh.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyalinya sangat besar dan sampai pada saat itu, ia
masih tetap tidak bersenjata.
Kedatangan Jiehiap tidak digubris oleh sipendayung. "Siapa yang melemparkan dinamit?"
bentak Lian Cioe. Tapi orang itu tidak menjawab dan lagaknya seperti orang gagu dan tuli.
Lian Cioe segera masuk kegubuk perabu, dimana terdapat dua orang laki-laki yang duduk
pada sebuah meja, tapi merekapun tidak bergerak dan tidak bersuara.
Dengan mendongkol ia mencekal tengkuk salah seorang dan lalu mengankatnya tinggi-tinggi.
"Hai! Kau jangan main gila!" bentaknya. tapi orang itu merarnkan kedua mata nya dan tetap
menutup mulut.
Sebagai seorang kenamaan dari Rimba Persilatan, Lian Coe sungkan mengunjak kegarangan
terhadap seorang yang bukan tandingannya. Ia lalu melepasakan orang itu dan pergi
kebelakang perahu, dimana ia bertemu dengau Coei San dan So So yang mendukung Boe Kie.
Tiba-tiba So So berteriak "Awas! Penjahat menenggelamkan perahu!" Sesaat itu, air sudah
mulai mencapai geladak perahu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 298
Ternyata, musuh yang berdiam diperahu itu sudah membuat persiapan dan begitu lekas Lian
Cioe berempat pindah keperahu mereka, orang-orang itu lalu membuka sumbat lubang lubang
di dasar perahu. Lian Cioe berempat lantas melompat keparaha yang kedua, tapi perahu
itupun mulai kalam.
"Ngotee, sekarang tak bisa tidak, kita mendarat juga," katanya. Ia mengerti, bahwa musuh
telah membuat keenam perahu itu sebagai papan loncatan untuk mengundang tamu-tamu naik
kedaratan. Beberapa saat kemudian, mereka sudah berada diatas gili-gili.
Belasan lelaki yang mengenakan pakaian hitam itu berdiri dalam garis setengah lingkaran,
sehingga Lian Cioe berempat separuh terkurung. Sabagain besar diantara mereka
bersenjatakan pedang sedang yang lainnya mencekal sepasang golok atau Joanpian (cambuk).
Tak satupun yang membawa senjata berat.
Jiehiap berdiri tegak dengan paras muka dingin dan sepasang matanya yang bersinar terang
menyapu musuh-musuh yang menghadang itu.
Mendadak, seorang musuh yang berdiri ditengah-tengah mengebas tangan kanannya dan
barisan setengah lingkaran itu segera terpecah dua dan membuka jalan ditengah-tengah.
Mereka berdiri dengan badan separuh membungkuk, ujung senjata mereka ditudingkan
kebumi, sedang kedua tangan mereka dirangkap sebagai tanda memberi hormat. Sesudah
membalas hormat, Lian Cioe bertindak maju. Begitu Jiehiap lewat sekonyong-konyong ujung
kedua barisan kembali menyambung menjadi satu dan menutup jalanan keluar, sehingga Coei
San, So So dan Boe Kie lantas saja terkurung.
Ngohiap tertawa terbahak-bahak. "Kalau begitu, yang dikehendaki kalian adalah aku, seorang
she Thio," katanya. "Terima kasih atas perhatian kalian yang begitu besar."
Musuh yang berdiri ditengah tengah, yang rupanya menjadi pemimpin rombongan, kelihatan
bersangsi. Ia menundukkan pedangnya dan sekali lagi membuka jalan.
"So So, kau jalan lebih dulu !" memerintah sang suami.
Sambil mendukung Boe Kie, si isteri segera bertindak maju.
Sekonyong-konyong selagi mau melewati kedua barisan, lima orang bergerak bagaikan kilat
dan pedang mereka menuding Boe Kie. Dengan kaget So So bertindak mundur, tapi kelima
musuh itu mengikuti dan pedang mereka tetap berada dalam jarak kira-kira satu kaki dari
tubuh si bocah.
Lian Cioe yang sangat berwaspada sudah lantas melihat kejadian itu. Sekali menotol tanah
dengan kedua kakinya, tubuhnya terbang dan masuk ke dalam kurungan musuh. Bagaikan
kilat, kedua tangannya menepuk empat kali, saban tepukan mengenakan pergelangan tangan
musuh yang mencekal pedang dan empat batang pedang hampir berbareng terpental ketengah
udara. Sesudah itu, tangan kirinya menyambar pergelangan tangan musuh yang kelima.
Begitu mencekal, ia merasa tangan musuh halus luar biasa, seperti juga tangan seorang
wanita. Buru-buru ia menotok jalanan darah orang dan buru-buru pula ia melepaskan
cekalannya. Tangan orang itu lantas saja lemas dan pedangnya jatuh ditanah.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 299
Sesudah pedang mereka terlepas, kelima orang itu cepat-cepat melompat mundur.
Dilain saat, dua batang pedang menyambar Lian Cioe. Kedua senjata itu menikam lurus dari
kiri dan kanan. Jiehiap lantas saja mengenali bahwa serangan itu yalah pukulan Tay mo pang
see (Pasir yang rata digurun pasir) dari Koen loen pay.
Lian Cioe menunggu sampai ujung pedang hanya terpisah kira-kira tiga dim dari dadanya dan
pada saat yang tepat, ia menarik sedikit dadanya kebelakang, sedang telunjuk tangan kiri dan
tangan kanan menyentil badan kedua pedang itu.
Kedua sentilan itu kelihatannya tidak bertenaga, tapi sebenarnya hebat luar biasa disertai
dengau Lweekang yang sangat tinggi. Menurut kebiasaan senjata lawan pasti akan terlepas.
Tapi kali ini begitu telunjuknya nenyentuh badan pedang, ia merasakan sambutan dari tenaga
Jioa kin (tenaga lembek), sehingga Lweekangnya kena dipunahkan. Tapi kedua musuh itu tak
dapat mempertahankan diri, satu terhuyung tiga tindak dan badannya bergoyang-goyang
sedang yang lain, sesudah mengeluarkan teriakan kesakitan, muntah darah.
Semenjak mencegat, tak satupun mengeluarkan suara dan teriakan itu adalah suara pertama.
Sungguh heran, teriakan itu tajam dan nyaring, seperti teriakan seorang wanita.
Melihat kelihayan Lian Cioe, pemimpin rombongan mengebas tangannya dan belasan orang
itu lantas saja mundur, akan kemudian menghilang di antara pohon-pohon. Lian Cioe
mengawasi bayangan mereka deugan mata tajam. Ia mendapat kenyataan, bahwa hampir
semuanya bertubuh langsing dan gerak-gerik mereka yang gemulai menyerupai gerak-gerik
wanita.
"Jie Jie dan Thio Ngo dari Boe tong pay menghaturkan maaf kepada Thie khim Sianseng! "
teriak Lian Cioe.
Orang-orang itu tidak menjawab, hanya sayup sayup terdengar tertawanya seorang wanita.
Sesudah bahaya lewat, So So menurunkan Boe Kie dari dukungannya dan sambil terus
mencekal tangan puteranya, ia berkata. "Jiepeh, orang-orang itu rasanya orang perempuan.
Apa mereka orang orang Koen loen pay?"
"Bukan," jawabnya "mereka orang Go bie pay."
"Go bie pay?" menegas Coei San dengan perasaan heran. "Bukankah tadi Jieko menyebut
nama Thie khim Sianseng?"
Lian Cioe menghela napas, "Mereka tidak bersuara dan muka mereka ditutup dengan topeng
itu semua menandakan bahwa mereka sungkan dikenali orang," katanya. "Lima pedang yang
mengancam Boe Kie ialah Han bwee kiam tin (Barisan pedang bunga Bwee) dari Koen loen
pay, sedang kedua orang yang menikam aku juga menggunakan pukulan Tay mo pang see
data Koen loen pay. Karena mereka menyamar sebagai orang Koen loen, aku sungkan
membuka rahasia mereka dan sengaja menyebutkan nama Thie khim Sianseng, Ciang boenjin
dari Koen loen pay."
"Bagaimana Jiepeh tahu mereka orang Go bie pay?" tanya So So. "Apa diantaranya ada yang
dikenal?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 300
"Tidak," jawabnya. "Dilihat dari Lweekangnya yang tidak seberapa dalam, mereka mungkin
cucu cucu murid Biat coat Soe thay, Ciang boenjin Go bie pay. Dengan lain perkataan,
mereka adalah murid turunan keempat dari partai tersebut. Diantara mereka, tak satupun yang
dikenal aku. Tapi pada waktu mereka coba mempunahkan sentilanku dengan tenaga Jio kin,
aku segera mengenali, bahwa ilmu yang digunakan lima Go bie pay. Sebagaimana kau tahu,
tidaklah terlalu sukar untuk meniru pukulan-pukulan partai lain. Tapi begitu lekas seseorang
menggunakan Lweekang, tak dapat tidak, topengnya terlocot."
Coei San mengangguk. "Sebenarnya mereka tak akan terluka berat, jika mereka tidak
melawan dan segera melepaskan senjata waktu disentil Jieko," katanya. "Aku tahu, kalau
Jieko memandang mereka semua seperti musuh, kedua bocah itu tentu sudah hilang jiwanya.
Hanya aku merasa heran, mengapa hari ini mereka mencegat kita, sedang biasanya orangorang
Go bie pay selalu berlaku sungkan terhadap kita."
"Di waktu muda. Insoe pernah menerina budi Kwee Siang Liehiap Couw soe dari Go bie
pay." menerangkan Lian Cioe. "Oleh karena begitu, In soe sering memesan, supaya kami
jangan sampai kebentrok dengan murid-murid Go bie, supaya persahabatan lama dapat
dipertahankan terus. Sesudah sentilanku mengenakan pedang, barulah aku tahu, bahwa
mereka tak akan bisa bertahan. Aku ingin menarik pulang Lweekang, tapi sudah tidak keburu
lagi, sehingga kedua orang itu terluka juga. Biarpun tidak disengaja, aku sudah melanggar
pesanan Insoe."
So So tertawa. "Baik juga Jiepeh menyebutkan nama Thie khim Sianseng, sehingga, jika
bersalah, kesalahan itu tidak ditujukan langsung terhadap Go bie pay."
Sementara itu, keenam perahu kecil sudah karam semua, sedang perahu yang ditumpangi Lian
Cioe berempat sudah pergi jauh. Anak buah perahu perahu kecil itu dengan basah kuyup
mulai merangkak naik digili-gili.
"Apa mereka semua orang-orang Go bie?" tanya So So.
"Bukan." bisik Lian Cioe. "Kurasa mereka orang orang Liang coan pang dari Cauw ouw."
Melihat lima batang pedang Go bie yang sangat bagus menggeletak ditanah, So So
membungkuk untuk menjemputnya.
"Jangan ganggu!" melarang sang Jiepeh. "Jika dipedang itu diukir nama, dihari kemudian kita
tak akan bisa menyangkal lagi. Hayolah kita meneruskan perjalanan."
Sekarang So So sudah merasa takluk terhadap Jiepeh yang mulia dan lihay itu. "Baiklah,"
katanya sambil berjalan dengan menuntun tangan Boe Kie.
Sesudah melewati gerombolan pohon pohon sekonyong-konyong Boe Kie berteriak dengan
suara girang: "Kuda! Lihat!"
Benar saja, dibawah sebuah pohon lioe tampak tertambat tiga ekor kuda yang besar dan
garang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 301
Cepat cepat mereka menghampiri dan didahan pohon tercantum selembar kertas. Coei San
mengambil kertas itu yang tertulis perkataan seperti berikut: "Mempersembahkan tiga ekor
kuda untuk menebus dosa."
"Mereka ternyata berlaku sungkan sekali terhadap kita," kata Lian Cioe. Mereka segera
menunggang kuda-kuda itu dengan Boe Kie duduk di depan ibunya. Sibocah yang belum
pernah menunggang kuda jadi girang tak kepalang.
"Sesudah banyak orang mengetahui gerak-gerik kita, kurasa menumpang perahu atau
menumpang kuda tiada banyak bedanya," kata Coei San.
"Benar," jawab sang kakak: "Kita tentu akan menghadapi lebih banyak gelombang. Kalau
bukan terlalu terpaksa, kita tidak boleh turunkan tangan terlampau berat." Ia berkata begitu,
karena mengingat terlukanya kedua murid Go bie dan hatinya tetap merasa tidak enak.
Diam-diam So So merasa sangat malu. Karena kesalahan yang begitu kecil, Jiehiap sudah
merasa begitu menyesal. Betapa jauh perbedaan antara dirinya sendiri yang pernah
memandang jiwa manusia seperti jiwa semut dan sang Jiepeh yang sedemikian mulia hatinya.
Ia merasa bahwa orang yang berdosa harus bertanggung jawab dan ia tak pantas menyukarkan
Jie Lian Cioe lagi. Karena memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Jiepeh, tujuan mereka ialah
kami berdua suami istri. Sedang terhadap Jiepeh, mereka berlaku hormat sekali. Jika didepan
ada rintangan lagi, biarlah teehoe yang menyambutnya lebih dulu dan jika aku kalah, barulah
Jiepeh menolong."
"Ah, mengapa Teehoe berkata begitu"" kata Lian Coe. "Dengan berkata begitu, Teehoe
menganggap aku seperti orang luar. Kita sekarang sudah terikat pamili, mati dan hidup
haruslah bersama-sama."
So So tidak berani membantah lagi. "Terang terang mereka tahu, bahwa Jiepeh berada
bersama sama kami, tapi mengapa mereka berlaku begitu ceroboh dan mengirim saja muridmurid
turunan keempat yang ilmu silatnya belum seberapa?" tanyanya pula.
"Mungkin sekali karena persiapan mereka dilakukan dengan tergesa-gesa, sehingga tidak
keburu memanggil orang orang lebih pandai," jawab Lian Cioe.
Karena menduga, bahwa pencegatan Go hie pay bertujuan untuk menyelidiki tempat
sembunyinya Cia Soen, Coei San lantas berkata: "Baru sekarang kutahu, bahwa Gieheng
bermusuhan dengan Go bie pay. Selarna berada di Peng hwee to, ia tidak pernah menyebutnyebut
itu."
"Ya, semula akupun merasa heran," kata Lian Cioe. "Go bie pay adalah sebuah partai
persilatan yang menjaga keras peraturannya, sedang murid muridnya sebagian terbesar terdiri
dari kaum wanita. Biat coat Soethay selamanya tidak mempermisikan murid-murid Go bie
berkelara dalam dunia Kangouw. Mereka kebanyakan menjadi pendata, mengasingkan diri
dari pergaulan atau menikah dan mengurus rumah tangga. Waktu Go bie pay mengirim orang
untuk bertempur dangan Peh bie kauw kamipun merasa heran. Belakangan baru kami tahu
latar belakangnya. Pada suatu malam Phoei Peng, Phoei Loo eng hiong, siorang jago tua
dipropinsi Holan, dibunuh orang dan diatas tembok tertulis huruf-huruf yang berbunyi: Si
pembunuh ialah Hoen goan Pek lek chioe Seng Koen."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 302
"Apakah Phoei Peng anggauta Go bie pay ?" tanya So So.
"Bukan," jawabnya. Sesudah berdiam beberapa saat, barulah Jie Lian Cioe memberi
penjelasan: "Sebenarnya adalah kurang pantas untuk membicarakan soal-soal pribadi dari
orang-orang yang tingkatannya lebih atas. Sepanjang keterangan, di waktu muda, Biat coat
Soethay adalah salah seorang wanita tercantik dalam Rimba Persilatan. Belakangan,
mendadak beliau mencukur rambut dan menjadi pendeta, sedang Phoei Loo enghiong
memutuskan sebuah lengannya sendiri, dan sampai mati ia tidak pernah menikah."
Hampir berbareng, Coei San dan So So mengeluarkan seruan tertahan. Baru sekarang mereka
tahu, bahwa Ciang boen jin Go bie pay yang tersohor itu pernah mengalami kegagalan dalam
percintaan. Mereka mengerti, kalau Biat coat Soethay sedapat mungkin ingin membalas sakit
hatinya orang yang dicintainya.
"Jiepeh, apakah Phoei Loo enghiong seorang baik atau seorang jahat'?" tanya Boe Kie.
"Tentu saja seorang baik," jawabnya. "Sesudah mengutungkan lengan sendiri, ia bercocok
tanam, membaca kitab-kitab dan menyembunyikan diri dari pergaulan manusia."
"Hai! Perbuatan Giehoe memang sangat tidak pantas," kata Boe Kie dengan suara duka. "Ia
tak boleh membunuh manusia secara serampangan saja"
Lian Cioe jadi girang sekali. Ia mengangkat anak itu dan lalu mengusap kepalanya, "Anak kau
sekarang tahu, bahwa seorang manusia tidak boleh sembarangan membunuh sesama manusia"
katanya dengan suara halus. "Jiepeh sungguh merasa girang. Orang yang sudah mati tidak
bisa hidup kembali. Maka itu, biarpun terhadap seorang yang sangat jahat, kita masih tidak
boleh segera membunuhnya. Kita harus memberi kesempatan supaya dia bisa membelok
kejalanan yang lurus."
"Jiepeh, aku ingin ajukan satu permintaan, bolehkan" tanya Boe Kie.
"Permintaan apa?" menegas sang paman.
"Jika mereka mencari Giehoe, aku minta jie peh suka membujuk mereka supaya mereka tidak
membinasakannya karena Giehoe sudah buta dan tidak dapat melawan mereka," kata si
bocah.
Lian Cioe bersangsi. Sesudah memikir sejenak, ia menjawab: "Tak dapat aku meluluskan
permintaanmu. Tapi aku berjanji, bahwa aku sendiri tak akan membunuh Giehoemu"
Boe Kie mengawasi Jiehiap dengan mata membelalak dan air matanya berlinang-linang.
Waktu fajar menyingsing, mereka tiba disebuah kota kecil, dimana mereka mengaso setengah
harian dan diwaktu lohor segera meneruskan perjalanan.
Selang beberapa hari, tibalah mereka dikota Hankouw. Hari itu selang mendekati kota Anlok.
Ditengah jalan mereka bertemu dengan belasan orang yang lari lintang pulang dari sebelah
depan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 303
Begitu bertemu dengan rombongan Lian Cioe mereka berteriak-berteriak: "Balik! Balik!
Jangan menuju terus! Disebelah depan serdadu Tat coe (serdadu Mongol, Goan) sedang
membunuh dan merampok".
Sambil mengawasi So So, salah seorang berkata "Kau sungguh berani mati. Kalau bertemu
dengan mereka, kau bakal celaka."
"Ada berapa banyak?" tanya Lian Cioe,
"Belasan orang," jawabnya dan mereka segera lari terus kejurusan timur.
Musuh terbesar dari Boe tong Cit-hiap ialah serdadu Goan yang sering berbuat sewenangwenang
terhadap rakyat. Dalam mendidik murid-muridnya, Thio Sam Hong memegang
peraturan keras dan selamanya melarang murid-murid itu sembarangan turun tangan. Tapi
jika menghajar serdadu Goan yang sedang merampok atau membunuh rakyat, mereka bukan
saja tidak ditegur malah dipuji. Maka itu, mendengar rombongan musuh hanya berjumlah
belasan orang, Lian Cioe lantas saja mengeprok tunggangannya dan maju kedepan diikut oleh
Coei San bertiga.
Benar saja, sesudah berjalan kira-kira tiga mereka mendengar sesambat rakyat. Belasan
serdadu yang bersenjata golok dan tombak tengah mengunjuk kegarangannya dan diatas tanah
sudah menggeletak beberapa mayat.
Bukan main gusarnya Coei San. Ia menyerang dan melompat dari punggung kuda. Sebelum
kedua kakinya hinggap dibumi, tinjunya menghantam dada seorarg serdadu yang mau
menenteng satu anak kecil. Tanpa mengeluarkan suara serdadu itu roboh ditanah. Kawannya
gusar dan menikam punggung Coei San dengan tombaknya.
Coei San memutar badan dan ujung tombak hanya terpisah kurang lebih setengah kaki dari
dadanya. Sambil bersenyum ia menangkap ujung senjata dan lalu mendorongnya keras-keras,
sehingga gagang tombak menghantam dada serdadu itu yang lantas saja roboh pingsan.
Melihat kelihaian Coei San, sambil berteriak teriak belasan serdadu lantas saja mengurung. So
So buru-buru melompat turun dari tunggangannya. Ia merampas sebatang tombak dan
membinasakan dua orang musuh. Serdadu-serdadu itu jadi keder dan mereka lalu melarikan
diri. Tapi sambil lari disepanjang jalan mereka masih mengunjuk kekejaman dan mrlukakan
beberapa orang penduduk,
"Cegat! Cegatlah mereka!" teriak Lian Coei yang cudah meluap darahnya. Seraya berkata
begitu, ia mengubar dan mencegat empat orang serdadu. Coei San dan So So pun turut
mengejar dan masing-masing memotong jalanan lari dari sejumlah musuh.
Walaupun garang, serdadu Goan kebanyakan tidak memiliki ilmu silat tinggi, sehingga Coei
San dan So So tidak kuatir akan keselamatan Boe Kie.
Boe Kie juga melompat turun dari punggung kuda. Melihat paman dan kedua orang tuanya
sedang mengamuk diantara belasan musuh, ia kegirangan dan menepuk nepuk tangan seraya
berteriak-teriak: "Bagus! Bagus!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 304
Sokonyong-konyong, serdadu Goan yang tadi disodok Coei San dengan gagang tombak dan
roboh pingsan, melompat bangun dan memeluk Boe Kie. Si bocah, terkesiap lalu
menghantam dengan pukulan Sin liong Pa bwee. Karena melihat paman dan kedua orang
tuanya mengamuk tanpa mengenal kasihan lagi, ia menggunakan pukulan itu dengan seantero
tenaga.
Di luar dugaan serdadu Goan itu hanya mengeluarkan suara "heh!" terlahan, badannya tidak
bergenting dan dengan sekali menotol tanah dan dengan kedua kakinya, ia melompat keatas
punggung kuda yang lalu dikaburkan keras-keras.
Lian Cioe, Coei San dan So So kaget tak kepalaug, cepat-cepat mereka mengubar. Dengan
beberapa lompatan Jiehiap sudah menyandak dan tangan kirinya menghantam punggung
serdadu itu. Tanpa menengok, serdadu itu menangkis. "Plak!", kedua tangan beradu. Lian
Cioe merasa tenaga musuh dahsyat luar biasa, seolah-olah gelombang besar, sehingga
dadanya menyesak, tubuhnya bergoyang-goyang dan terhuyung beberapa tindak. Tunggangan
serdadu itu tak kuat bertahan, keempat kakinya bergemetaran dan dia jatuh berlutut. Sambil
mendukung Boe Kie, serdadu itu melompat turun dan terus kabur dengan menggunakan ilmu
ringan badan. Dalam sekejap ia sudah lari puluhan tombak jauhnya.
Melihat paras muka Lian Cioe yang pucat pasir Coei San tahu, bahwa kakak seperguruan itu
telah mendapat luka yang tidak enteng.
Buru-buru in menghampiri dan memeluknya. Sementara itu, dengan nekad So So mengejar
terus, tapi musuh berkepandaian tinggi, makin lama jarak antara mereka makin jauh sehingga
belakargan, sesudah membelok disebuah tikungan, serdadu itu menghilang dari
pemandangan. Tapi So So yang sudah kalap mengejar terus.
"Minta Teehoe balik." kata Lian Cioe dengan suara perlahan. "Kita harus..... berusaha dengan
perlahan"
"Bagaimana luka Jieko?" tanya si adik sambil menikam dua serdadu yang menerjang dengan
tombaknya.
"Tak apa-apa," jawabnya, "Yang paling penting panggillah Teehoe."
Karena kuatir diantara sisa serdadu itu masih terdapat orang pandai, Coei San segera
mengubar kian kemari dan sesudah mengusir mereka, barulah la melompat kepunggung kuda
dan menyusul isterinya.
Sesudah membedal tunggangannya belasan li, barulah ia bertemu dengan So So yang tengah
berlari-lari dalam keadaan kalap dan dengan tindakan limbung, suatu tanda, bahwa nyonya
muda ini sudah kehabisan tenaga. Coei San memeluknya dan menaikkannya kepunggung
kuda.
Sambil menangis sedu-sedan, So So berkata "Anak kita hilang ! Tidak kecandak ..... tidak
kecandak....." Tiba-tiba matanya mendelik dan ia pingsan dalam pelukan sang suami.
Karena memikir keselamatan saudara seperguruannya, cepat-cepat Coei San memutar kuda
dan lari balik ketempat tadi. Jauh-jauh ia melihat tiga serdadu Goan yang bersenjata tombak
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 305
sedang mendekati Lian Cioe. Biarpun Soehengnaya duduk menyender dipohon ketiga serdadu
itu, yang sudah berkenalan dengan kelihayannya Jiehiap tidak berani lantas menyerang.
"Tat-coe, serahkan jiwamu!" teriak Coei San sambil menerjang dengan kaburkan
tunggangannya. Dilain saat, dua diantaranya sudah roboh, sedang musuh yang ketiga lari
lintang-pulang. Sambil membentak keras, Ngohiap menimpuk dengan tombaknya. Dalam
kegusarannya sebab putranya diculik, Soehengnya terluka dan isterinya pingsan, ia menimpuk
dengan sepenuh tenaga. Tombak itu terbang dengan mengeluarkan suara mengaung dan
"jres!" serdadu itu terpaku ditanah
Sementara itu, So So sudah mendusin. "Boe Kie!", ia sesambat.
Sesudah menjalankan pernapasan beberapa lama, Lian Cioe mengambil sebutir pel Thay it
Tok beng tan yang lalu ditelannya. Beberapa saat kemudian, pada mukanya terlihat sinar
merah. Ia membuka matanya seraya berkata perlahan "Sungguh hebat tenaga orang itu!"
Coei San lega hatinya. Ia tahu, bahwa jiwa soe hengnya sudah terlolos dari bahaya, tapi ia
masih tidak berani mengajak bicara. Perlahan-lahan Jie hiap bangun berdiri. "Apa sudah tidak
kelihatan bayangan bayangan lagi?" tanyanya dengan suara perlahan.
"Jiepeh....bagaimana baiknya?' tanya si Tee hoe dengan suara parau.
"Legakan hatimu, Boe Kie tidak kurang suatu apa," jawabnya. "Orang itu berkepandaian
sangat tinggi. Aku merasa pasti bahwa seorang yang berkepandaian setinggi itu tak akan
mencelakakan anak kecil yang tidak berdosa."
Air mata So So kembali mengucur. "Tapi... tapi... Boe Kie sudah diculik," katanya. Lian Cioe
mengangguk. Ia memeramkan kembali kedua matanya dan mengasah otak.
Sesaat kemudian, ia membuka, matanya seraya berkata: "Aku tidak dapat menebak asal usul
orang itu. Jalan satu satunya kita harus menanyakan Soehoe."
So So bingung bukan main. "Jiepeh, yang paling penting kita harus memikiri daya untuk
merampas pulang Boe Kie," katanya memohon.
"Asal usul orang itu dapat diselidiki belakangan"
Lian Cioe tidak menyahut, ia hanya menggeleng gelengkan kepala.
"So moay, Jieko mendapat luka berat, sedang orang itu berkepandaian begitu tinggi," kata
Coei San. "Andai kata kita sekarang dapat mencarinya, kitapun tidak dapat berbuat banyak,"
"Apa kita menyudahi dengan begitu saja ?" tanya si isteri dengan suara mendongkol.
"Kita tak perlu cari dia," jawabnya. "Dialah yang pasti akan cari kita."
So So adalah seorang wanita yang sangat pintar. Hanya karena puteranya diculik, pikirannya
kalut dan ia tidak dapat berpikir dengan otak dingin. Mendengar perkataan sang suami, ia
tersadar dan mengerti maksud Coei San. Serdadu Goan itu memiliki kepandaian begitu tinggi,
sehingga Lian Cioe sendiri sampai terluka. Dia pasti seorang tokoh Rimba Persilatan yang
menyamar. Jika mau, sesudah Lian Cioe terluka, dia bisa membinasakan Coei San bertiga.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 306
Tapi dia hanya menculik Boe Kie. Dari kenyataan itu, dapatlah di tebak, bahwa tujuan orang
itu ialah ingin menekan, supaya Coei San dan isterinya mau mem buka rahasia mengenai
tempat sembunyinya Cia Soen.
Coei San lalu mendukung dan menaikkan Jieko nya keatas punggung kuda dan perlahanlahan
mereka meneruskan perjalanan. Setibanya di An lok, mereka menginap disebuah rumah
penginapan kecil dan sesudah bersantap, mereka segera mengunci pintu.
Lian Cioe segera bersila dan mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya. Coei San
duduk didekatnya, sedang So So menyender disebuah kursi panjang. Kira-kira tengah malam,
Lian Cioe turun dari pembaringan dan berjalan perlahan lahan, memutari kamar, untuk
mengendorkan otot ototnya. "Ngotee." katanya. "Selama hidup, kecuali Soehoe sendiri, belum
pernah aku bertemu dengan manusia yang memiliki Lweekang begitu hebat."
Pada waktu disodok dengan gagang tombak oleh Coei San, "serdadu" itu berlagak pingsan
sehingga Coei San bertiga tidak memperhatikannya. Sekarang mereka mengingat ingat wajah
dan potongan badan orang itu. Kalau tak salah, dia brewokan, tiada banyak bedanya dengan
kebanyakan serdadu Goan.
"Dia menculik Boe Kie pasti dengan tujuan untuk menyelidiki Gieheng," kata So So. "Ah!
Apakah anak itu akan membuka rahasia?"
"Boe Kie pasti tidak akan membuka rahasia," kata sang suami dengan suara tetap. "Kalau dia
membuka rahasia, dia bukan anak kita,"
"Benar," kata si isteri. " Dia parti tidak membuka rahasia.,"
Tiba-tiba nyonya Coei San menangis pula.
"Mengapa kau menangis?" tanya sang suami.
"Kalau..... Boe Kie menutup ....... .mulut, penjahat itu pasti akan ......mempersakitinya."
jawabnya terputus-putus. "Mungkin..... mungkin dia turunkan tangan beracun."
Coei San dan Lian Cioe menghela napas. "Batu kumala yang tidak digosok, tidak akan jadi
barang yang berguna," kata Coei San. "Biarlah dia merasakan sedikit penderitaan. Mungkin
sekali penderitaan itu banyak faedahnya dihari kemudian."
Walaupun mulutnya berkata begitu hatinya sakit sekali. Ia ingat bahwa pada saat itu Boe Kie
sedang menderita siksaan atau sedang tidur nyenyak di atas pembaringan. Kalau dia sedang
tidur nyenyak, dia tentu sudah membuka rahasia dan sudah menjadi manusia yang tak punya
pribudi.
"Dari pada jadi manusia rendah, lebih baik dia mati," kata Coei San didalam hatinya. Ia
melirik isterinya yang kelihatan berduka bukan main. Pada ke dua mata si isteri terlihat sinar
mohon belas kasihan. Jantungnya memukul keras. Ia merasa. bahwa jika penjahat itu
menekan So So dengan mengancam jiwa Boe Kie mungkin sekali si-isteri akan menakluk.
Ia menghela napas dan berkata "Jieko, bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa enakan ? "
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 307
Semenjak kecil, mereka berdua bersama-sama belajar silat, sehingga yang satu sudah bisa
rnembaca isi hati yang lain. Melihat sikap dan mendengar pertanyaan si adik, Lian Cioe sudah
mengerti maksudnya. Ia mengerti, bahwa Coei San kuatir penjahat itu akan rnenyateroni dan
coba menaklukkan So So dengan menyiksa Boe Kie. "Baiklah, kita meneruskan perjalanan
malam ini juga."
Sesudah membayar uang sewa kamar dan santapan, mereka segera berangkat dan berjalan
dengan mengambil jalanan kecil. Mereka bukan takut mati. Yang dikuatirkan yalah penjahat
itu akan menyiksa Boe Kie didepan mata mereka, untuk memaksa mereka membuka rahasia.
Mereka meneruskan perjalanan tanpa bertemu dengan rintangan lagi. Tapi So So jatuh sakit
karena duka, Coei San segera menyewa dua kereta keledai untuk So So dan Lian Cioe, sedang
ia sendiri melindungi dengan menunggang kuda.
Sesudah melewati Siangyang, pada suatu malam mereka menginap disebuah rumah
penginapan dikota Tay-pang-liam. Baru saja Coei San mengucapkan selamat malam kepada
Soehengnya dan ingin kembali kekamarnya, tiba-tiba seorang lelaki menyingkap tira daa
menyelonong masuk.
Dia mengenakan baju hijau dan celana pendek, sedang tangannya menyekal cambuk,
sehingga macamnya seperti seorang kusir kereta. Begitu masuk, dia mengawasi Lian Cioe dan
Coei San dengan mata melotot dan sesudah tertawa dingin, lalu memutar badan berjalan
keluar.
Coei San tahu, bahwa orang itu mengandung maksud tidak baik. Sikap orang itu yang kurang
ajar menggusarkan sangat hatinya. Sesaat itu,
tirai kain yang didorong oleh orang itu, terayun kedepan Coei San. Ia segera menangkap
ujung tirai dan sambil mengerahkan Lweekang, menimpuknya kepunggung orang itu. "Ptak !"
dia terhuyung, akan kemudian roboh dilantai. Cepat-cepat dia bangun berdiri, "Penjahatpenjahat
Boe-tong pay !" bentaknya, "Sedang kebinasaan sudah berada diatas kepalamu, kau
masih mengunjuk keganasan !" Mulutnya mencaci, tapi kakinya lari dan dari tindakannya
yang limbung, ia bukan terluka enteng.
Lian Cioe tidak mengatakan suatu apa.
"Jieko, apa tidak baik kita jalan terus?" tanya Coei San.
"Tidak!" jawab sang kakak deagan suara lantang. "Besok pagi baru kita terangkat."
Coei San mengerti jalan pikiran kakak seperguruannya dan semangatnya lantas saja meluap
luap "Benar!" katanya. "Dari tempat ini, dua hari lagi kita akan tiba digunung kita. Biarpun
kita tolol, tak dapat kita merosotkan derajat dan keangkeran Boe tong pay. Di bawah kaki Boe
tong san, masa boleh kita lari ngiprit?"
Sang kakak bersenyum. "Sesudah orang tahu siapa kita, biarlah mereka tahu, bagaimana
murid murid Boe tong menghadapi kebinasaan yang sudah berada diatas kepala," katanya
dengan suara angkuh.
Lian Cioe lantas saja mengikut kekamar Coei San dimana mereka duduk bersila diatas
pembaringan batu dengan berendeng pundak sambil memeramkan mata dan menjalankan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 308
pernapasan. Malam itu, tujuh delapan orang berkeliaran diluar kamar dan diatas genteng, tapi
mereka tidak berani menerjang karena merasa jerih terhadap nama besarnya Boe tong pay.
Pada esokan harinya, meskipun duduk dikereta. Lian Cioe memerintahkan supaya kusir
menyingkap semua tirai, sehingga ia dapat mengamat amati keadaan diseputarnya. Sesudah
meninggalkan Tay pong tiam beberapa li dari sebelah timur kelihatan mengejar tiga
penunggang kuda yang kemudian mengintildebelakang kereta dalam jarak belasan tombak.
Sesudah berjalan lagi beberapa li, disebelah depan menunggu empat penunggang kuda. Begitu
lekas rombongan Lian Cioe lewat, mereka segera mengikuti dari belakang. Beberapa lama
kemudian, jumlah "pengiring" bertambah lagi empat orang.
Kusir kereta jadi ketakutan. "Tuan, apakah mereka penjahat?" Ia tanya Coei San dengan suara
perlahan.
"Jangan takut," jawab Ngohiap. "Mereka bukan mau merampas uang"
Kira kira tengah hari, jumlah yang mengikuti bertambah lagi dengan enam orang. Pakaian
mereka beraneka warna, ada yang mewah dan ada yang buruk.
Mereka semua membekal senjata dan mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah suara. Dilihat
dari potongan badan mereka yang kecil, mungkin sekali mereka penduduk Tiongkok Selatan.
Sesudah lewat tengah bari, jumlah mereka bertambah lagi dengan duapuluh satu orang.
Beberapa antaranya yang bernyali besar, mendekati kereta sampai jarak kira-kira tiga tombak.
Lian Cioe sendiri terus duduk sambil meramkan mata, seolah-olah tidak memperhatikan
mereka.
Diwaktu magrib, dari sebelah depan mendatangi dua penunggang kuda, yang satu seorang tua
dengan jenggotnya yang panjang, sedang yang lain seorang wanita muda yang berparas
cantik. Si kakek bertangan kosong, tapi wanita itu bersenjatakan sepasang golok. Begitu tiba
didepan kereta, mereka segera menghadang ditengah jalan.
Coei San naik darahnya. Sambil mengangkat tangan ia berkata: "Boe-tong Jie Jie dan Thio
ngo numpang lewat dijalanan ini. Dapatkah kami menanya she dan nama tuan yang mulia?"
Orang tua itu bersenyum. "Dimana Cia Soen?" tanyanya. "Jika kau sudi memberitahukan,
kami pasti tidak akan mengganggu murid2 Boe tong."
"Dalam hal ini, aku lebih dulu ingin meminta petunjuk Insoe," jawab Coei San.
"Jie Jie terluka, Thio Ngo sebatang kara." kata si tua. "Dengan sendirian, kau bukan tandingan
kami." Seraya berkata begitu, ia meraba pinggangnya dan mengeluarkan sepasang Poan koan
pit (Senjata yang menyerupai pit, pena Tionghoa), Senjata itu agak berbeda dengan yang
biasa, karena ujungnya berbentuk kepala ular.
Coei San bergelar Gin kauw Tiat hoa dan salah sebuah senjatanya yalah Poan koan pit. Maka
itu dapat dikatakan ia mengenal semua jago yang menggunakan Poan koan pit. Begitu melihat
senjata si kakek, ia terkejut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 309
Waktu masih belajar silat, gurunya pernah cerita, banwa dinegeri Ko lee (Korea) terdapat
sebuah pay yang menggunakan Poan koan pit berujung kepala ular. Silat partai itu berbeda
dengan silat Tiam hiat (menotok jalan darah) yang di gunakan oleh ahli-ahli silat Tionggoan
yang menggunakan poan koan pit. Silat partai itu katanya licin dan telengas. Partai tersebut
dinamakan Sin liong pay (Partai Naga malaikat), sedang salah seorang tokohnya she Coan,
tapi Thio Sam Hong sendiri tak tahu namanya.
Mengingat itu, ia lantas saja menyoja seraya berkata: "Bukankah Cianpwee dari Sin liong pay
di Ko lee? Bolehkah aku mendapat tahu nama besar dari Coan Looy coe?"
Orang tua itu, yang bernama Coan Kian Lam, bukan lain daripada Ciangboenjin dari Sin
Liong pay. Dengan memberi hadiah besar, Pangcoe Sam kang pang di Lang lam telah
mengundangnya dari negeri Ko lee. Ia sebenarnya ingin merahasiakan dirinya, tapi diluar
dugaan, begitu bertemu Coei San, rahasianya terbuka.
Sambil mengebas kedua pitnya, ia menjawab : "Loohoe Coan Kian Lam "
"Sin liong pay dan Rimba persilatan dari wilayah Tionggoan belum pernah berhubungan."
kata Coei San "Bolehkah aku mendapat tahu, apa kesalahan Boe tong pay terhadad Coan Loo
eng hiong ."
"Loohoe dan tuan memang tidak mempunyai permusuhan apapun jua." kata si tua, "Kami,
orang Ko lee, juga tahu bahwa di Tionggoan terdapat Boe tong pay dengan tujuh pendekarnya
yaug selalu melakukan perbuatan-perbaatan muila. Loohoe hanya ingin mengajukan satu
pertanyaan dimana tempat persembunyiannya Cia Soen"
Biarpun cukup sopan, perkataannya sangat mendesak. Disamping itu, begitu lekas ia
mengebas kedua senjatanya, orang-orang yang berkumpul di belakang kereta lantas saja
berpencaran dan mengurung dari sebelah kejauhan. Maka itu, jadilah terang, bahwa jika
mereka tidak mendapat jawaban memuaskan, satu pertempuran tidak dapat dielak kan lagi.
"Bagaimana jika aku menolak untuk menjawab?" tanya Coei San
"Thio Ngohiap memiliki kepandaian tinggi, sehingga biarpun berjumlah besar, kami tentu
tidak dapat menahan kau," kata sikakek. "Tapi Jie Jiehiap telah luka dan isterimu sedang
sakit. Dengan menggunakan kesempatan pada waktu orang berada dalam bahaya, kami akan
menahan mereka berdua. Jika mau, Ngohiap boleh berlalu sekarang." Ia bicara dalam bahasa
Tionghoa yang tidak lancar dan nadanya tajam, sehingga suaranya sangat menusuk kuping.
Mendengar kata-kata 'menggunakan kesempatan pada watu orang berada dalam bahaya' katakata
yang sangat tidak mengenal malu, Coei San lantas saja berkata: "baik, Kalau begitu, tak
bisa lain daripada aku meminta pelajaran dari Coan Loo enghiong. Tapi bagaimana, jika Coan
Loo enghiong menjadi pihak yang kalah dalam pertempuran?"
"Jika aku kalah, kawan-kawanku akan mengerubuti kamu." jawabnya.
Coei San mengerti, tak guna bicara lagi. Tujuan satu satunya adalah coba membekuk Coan
Kian Lam, supaya kawan-kawannya tidak berani menyerang. Ia segera melompat turun dari
tunggangannya dan waktu kedua kakinya hinggap diatas bumi, tangan kirinya sudah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 310
mencekal gaetan perak yang berkepala harimau, sedang tangan kanannya memegang Poan
koan pit.
"Kau tamu, maka aku mengundang kau menyerang lebih dulu," kata Ngohiap.
Jilid 16_____________
Coan Kian Lam juga sudah turun dari kuda nya dan sambil mengebas kedua senjatanya, ia
melompat kesamping Coei San.
"Hari ini aku dan So So bertempur demi kepentingan Gie heng," pikir Coei San. "Sebagai
saudara angkat, hal itu hal yang wajar. Tapi Jie ko belum pernah mengenal Gie heng,
sehingga tidaklah pantas jika ia menerima hinaan karena gara-gara Gie heng." Memikir
begitu, ia lantas saja mengambil suatu keputusan.
Sesaat itu, si tua sudah menotok dengan pit nya dan Coei San lalu menangkis dengan hanya
menggunakan dua bagian tenaganya. Begitu kedua senjata kebentrok, badan Thio ngohiap
kelihatan bergoyang goyang. Kian Lam jadi girang bukan main. Ia tak nyana pendekar Boe
tong yang begitu di sohorkan, sedemikian 'empuk'. Ia segera bertekad untuk merubuhkan
Ngohiap dalam pertempuran satu lawan satu supaya dalam segebrakan saja, namanya bisa
naik tinggi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan.
Sambil membela diri, Coei San memperhatikan ilmu silat musuh. la mendapat kenyataan si
kakek gesit dan licin gerakannya dan caranya menotok jalan darah berbeda dengan ilmu
totokan Tionggoan.
Sesudah bertempur beberapa lama, Coei San mengetahui bahwa Poan koan pit musuh yang di
cekel ditangan hanya menotok jalanan jalanan darah dibagian punggung dari Leng thay hiat
kebawah, sedang Poan koan pit yang disebelah kanan menotok jalanan jalanan darah dibagian
pinggang dan lutut seperti Ngo kie hiat, Wie to hiat, Kie kauw biat dan lain lain,
"Soehoe pernah mengatakan, bahwa walaupun lihay, Tiamhiat dari San liong pay tidak usah
ditakuti," pikirnya. "Hari ini baru aku melihat buktinya," Sesudah dapat meraba ilmu silat
musuh, pembelaan diri jadi makin sederhana, karena ia hanya perlu menjaga jalanan-jalanan
darah tertentu yang dicecer dengan totokan totokan.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, cepat bagaikan kilat, Coei San
menyerang dengan Coretan huruf "Liong" (naga) dengan gaetannya "Srt!" Ginkauw
menggores jalan darah Hong say biat dilutut kanan si tua.
Seraya mengeluarkan teriakan kesakitan, Kian Lam berlutut. Seperti arus kilat, dengan
menggunakan coretan huruf "Hong" (tajam ), Ngohiap monotok belasan jalanan darah, yaitu
jalanan-jalanan darah yang biasa jadi bulan bulanan sikakek sendiri.
"Sudahlah! Sudahlah!" mengeluh Kian Lam. "Andaikata dia patung, aku masih tak mampu
menotok belasan jalanan darahnya dalam tempo sekejap mata. Celaka sungguh! Aku bahkan
masih belum pantas untuk menjadi muridnya!"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 311
Seraya menempelkan Ginkauw di leher Kian Lam, Coei San membentak: "Tuan tuan,
mundurlah! Sesudah Coan Loo eng hiong mengantar kami sampai dikaki Boe tong san, aku
akan membuka jalanan darahnya dan mengembalikannya kepada kalian!" Ia merasa pasti,
bahwa orang orang yang mengepung akan segera mundur.
Tapi diluar dugaan, si wanita muda mengangkat sepasang goloknya dan berteriak: "Serbu!"
"Tahan !" bantak Ngohiap. "Maju setindak lagi kakek ini akan menjadi mayat !"
Wanita itu tertawa dingin. "Serbu!" teriaknya pula. Ia mengeprak kuda dan menerjang,
sedikitpun tidak menghiraukan nasib Coan Kian Lam.
Wanita itu adalah salah seorang Tocoe dari Sam kang pang dan tujuan mereka yalah
menawan, Jie Lian Cioe dan So So untuk memaksa Coei San memberitahukan tempat
sembunyinya Cia Soen. Coan Kian Lam seorang luar yang hanya menjadi tamu, sehingga
mati hidupnya tidak begitu dihiraukan.
Coei San kaget bukan kepalang. Ia mengerti, bahwa tak ada gunanya membunuh si kakek.
Sesaat itu, tujuh delapan orang sudah mengurung kereta So So, delapan sembilan musuh
mengepung kereta Lian Cioe, sedang ia sendiri dikurung oleh si wanita bersama enam tujuh
orang.
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba Lian Cioe berteriak dengan suara nyaring: "Liok tee, beres
kan Orang-orang itu!"
Coei San tercengang. Apa kakaknya tengah menggunakan siasat "kota kosong"?
Sekonyong- konyong ditengah udara terdengar siulan yang panjang dan nyaring. "Ngoko!
Setengah mati aku memikir kau!" teriak seorang. Hampir berbareng dari atas sebuah pohon
besar melompat turun satu bayangan manusia yang lantas saja menerjang sambil memutar
pedang. Orang itu memang bukan lain dari pada In Lie Heng.
Hati Coei San meluap dengan kegirangan, "Liok tee !" serunya.
Beberapa orang dari Sam kam pang segera menceggat Lie Heng. Pedang Boe tong Liokhiap
berkelebata kelebat dibarengi dengan suara jatuhnya sejumlah senjata, karena setiap kali
pedang berkelebat ujungnya menggores jalanan darah Sin boen hiat, dipergelangan tangan
musuh.
Wanita itu gusar tak kapalang dan membentak: "Siapa kau ?" Ia tak dapat bicara terus, sebab
kedua goloknya hampir berbareng jatuh di tanah.
"Ilmu Sin boen Sip sam kiam yang digubah Soehoe sudah sempurna!" teriak Coei San
kegirangan.
Sin boen Sip sam kiam atau "Tiga belas jurus pedang Sin boen" terdiri dari tiga belas macam
jurus yang berbeda beda gerakannya, tapi setiap jurus mengarah jalanan darah Sin boen Hiat
dipergelangan tangan lawan. Pada sepuluh tahun berselang, waktu Coei San berada di Boe
tong san, Thio Sam Hong pernah mengutarakan niatnya untuk menggubah ilmu pedang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 312
tersebut. Tapi, karena adanya berbagai kesukaran, pada waktu itu sang guru belum berhasil
mencapai maksudnya. Sekarang Coei San dapat melihat kelihayan Sin boen Sip sam kiam.
Melihat gelagat tidak baik, wanita itu berseru "Angin keras! Mundur!" Semua kawannya
tantas saja kabur lintang pukang, beberapa antaranya malah tidak keburu menunggang kuda.
Sementara itu, Coei San sudah membuka jalanan darah Coan Kian Lam yang tertotok. Ia
menjemput kedua Poan koan pit pecundangnya dan menyelipkannya dipinggang si kakek.
Dengan kemalu maluan, si tua buru-buru berlalu.
Sesudah memasukkan pedang kedalam sarung sambil mencekal tangan kakak
seperguruannya, Lie Heng berkata: "Ngoko, aku sungguh menderita dalam memikiri
nasibmu!"
Sang kakak tertawa. "Liok tee, kau sudah besar sekali," katanya. Waktu mereka berpisahan,
In Lie Heng baru berusia delapan belas tahun. Selang sepuluh tahun. adik yang tadinya kurus
kecil itu sudah berubah menjadi pemuda jangkung yang tampan parasnya.
Sambil menuntun tangan Lie Heng, Coei San mengajak adik itu menemui isterinya. So So
yang tengah menderita sakit yang tidak enteng manggut manggutkan kepala seraya
bersenyum, "Lioktee!" katanya dengan suara perlahan.
"Bagus!" kata Lie Hang. "Ngoso juga she In. Aku bukan saja mendapat enso, tapi juga
memperoleh kakak."
"Jieko sungguh lihay," kata Coei San. "Aku tak mimpi kau bersembunyi dipohon, tapi ia
sudah mengetahuinya."
Lie Heng lantas saja menuturkan cara bagaimana ia bisa datang kesitu untuk menyambut
kakaknya. Ternyata, pada waktu Siehiap Thio Siong Kee turun gunung untuk membeli barang
guna perayaan ulang tahun gurunya, ia telah bertemu dengan dua orang Kangouw yang
sikapnya sangat mencurigakan.
la curiga lalu menguntit mereka. Dengan mendengari pembicaraan mereka, ia tahu, bahwa
Coei San sudah pulang dan sudah mempersatukan diri dengan Lian Cioe. Disamping itu, ia
juga tahu, bahwa Sam kang-pang dan Ngo hong to ingin mencegat kedua saudara itu untuk
menanyakan tempat sembunyinya Cia Soen.
Cepat-cepat ia pulang ke Boe tong san, tapi di tempat gurunya ia hanya bertemu dengan In
Lie Heng seorang. Mereka segera turun gunung untuk menyambut kedua saudara itu.
Sedikitpun mereka tidak merasa kuatir. Mereka menganggap, bahwa orang dari partai-partai
kecil tidak akan bisa berbuat banyak terhadap Lian Cioe dan Coei San. Tapi karena mereka
ingin sekali bertemu dengan Coei San selekas mungkin, maka mereka berjalan dengan
secepat-cepatnya, mereka tak tahu tentang terlukanya Lian Cioe, sebab kedua orang kangouw
itu sama sekali tidak membicarakannya.
Ditengah perjalanan Siong Kee mengusir orang pandai dari Ngo hong to, sedang tugas
menghajar orang orang Sam kang pang diserahkan kepada In Lie Heng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 313
Lian Cioe menghela napas. "Kalau Sietee tidek berwaspada, mungkin sekali hari ini Boe tong
pay ambruk namanya." katanya.
"Benar," menyambungi Coei San dengan suara jengah. "Siauwtee sendiri pasti tak akan dapat
melindungi Jieko. Hai! Sesudah meninggalkan rumah perguruan sepuluh tahun lamanya
kepandaian Siauwtee sungguh-sungguh kacek terlalu jauh dari saudara."
"Janganlah Ngoko berkata begitu," kata Lie Heng seraya tertawa. "Barusan Ngoko telah
memperlihatkan pukulan yang sangat lihay waktu merobohkan si tua bangka dari Ko lee kok.
Sesudah kau pulang, Soehoe pasti akan menurunkan berbagai ilmu kepadamu. Mengenai Sin
boen Sip sam kiam, sekarang juga siauw tee bersedia untuk memberi penjelasan kepadamu."
Malam itu, mareka menginap disebuah rumah penginapan di Sian Jan touw. In Lie Heng
minta tidur bersama sama Coei San. Permintaan itu disambut dengan rasa girang oleh sang
kakak, yang juga merasa sangat kangen dengan adiknya itu.
Dalam runtunan Boe tong Cit hiap, Boh Seng Kok yang berusia paling muda. Tapi walaupun
berusia lebib muda, lagak lagu Boh Seng Kok lebih tua dari pada Lie Heng. Semenjak dulu,
Coei San sangat mencintai Lie Heng yang usianya tidak kacek seberapa dengannya dan
mereka berdua biasa bergaul rapat sekali.
"Ngotee sudah mempunyai isteri," kata Lian Cioe sambil tertawa. "Jangan kau
mempersarnakan dia seperti pada sepuluh tahun yang lalu. Ngotee, pulangmu sungguh
kebetulan. Sesudah minum arak panjang umur dari Sohoe, kau akan segera minum arak
kegirangan (arak pesta pernikahan) dari Lioktee."
Coei San girang tak kepalang. Ia menepuk nepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. "Bagus
! Sungguh bagus. Siapa pengantin perempuannya?" tanyanya.
Paras muka si adik lantas saja berubah merah.
"Mutiara (puteri) dari Kim pian Kie Loo eng hiong di Hian yang," kata Lian Cioe.
"Bagus! Kalau Lioktee natal, Kim pian (cambuk emas) akan menghantam kepalamu." katanya
sambil tertawa geli.
Lian Cioe bersenyum, tapi pada mukanya berkelebat sehelai sinar suram. "Kie Kouwnio
menggunakan pedang..." katanya. "Kuharap diantara wanita-wanita bertopeng yang mencegat
kita di tengah sungai, tidak terdapat Kie Kouwnio."
Coei San kagat. "Kalau begitu ia murid Go bie?" tanyanya.
Lian Cioe mengangguk seraya berkata "Waktu kita bertempur dipinggir sungai, semua
anggauta rombongan Go bie berkepandaian biasa saja sehingga tak mungkin Kie Kouwnio
turut serta dalam rombongan itu. Jika ia berada disitu untuk kepentingan Ngo teehoe, aku bisa
berdosa terhadap Liok teehoe dan orang bisa mengatakan aku memilih kasih. Ngotee, Liok
teehoe kita berparas cantik, berkepandaian tinggi dan sebagai murid dari sebuah partai yang
tersohor, ia benar-benar merupakan pasangan yang setimpal dengan adik kita ...."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 314
Mendadak ia berhenti bicara, karena tiba-tiba ia ingat bahwa In So So adalah puteri seorang
pemimpin 'agama' yang sesat, sehingga dengan memuji nona Kie, seperti juga mengejek
isterinya Coei San. Selagi mencari perkataan untuk memperbaiki kesalahannya, sekonyongkonyong
datang seorang pelayan yang lantas saja berkata: "Jie ya, ada beberapa orang, yang
mengaku sebagai sahabatmu, datang berkunjung "
"Siapa?" tanya Lian Cioe.
"Mereka memperkenalkan diri sebagai murid murid Ngo-hong-to" jawab sipelayan.
"Jumlahnya enam orang."
Lian Cioe bertiga terkejut. Apakah Siong Kee yang bertanggung jawab untuk mengusir orang
orang Ngo-hong-to, mendapat kecelakaan?
"Aku akan menemui mereka," kata Coei San yang kuatir keselamatan Lian Cioe yang masih
belum sembuh dari lukanya.
"Undang mereka masuk," kata Jiehiap kepada si pelayan.
Beberapa lama kemudian, masuklah enam pria dan seorang wanita. Coei San dan Lie Heng
berdiri disamping Lian Cioe siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan. Tapi tamutamu
itu kelihatan berduka tercampur malu dan merekapun tidak membekal senjata.
Begitu masuk, seorang yang rupanya menjadi pemimpin dan yang berusia kira-kira empat
puluh tahun, merangkap kedua tangannya dan berkata dengan sikap hormat: "Apakah kalian
Jie Jiehiap, Thio Ngohiap dan In Liok hiap dari Boe-tong-pay? Aku, Ben Ceng Hooey, murid
Ngo-hong-to memberi hormat."
Lian Cioe bertiga lantas sajs membalas hormat. "Beng Loosoe, selamat bertemu," kata Lian
Cioe. "Kalian duduklah."
Beng Ceng Hoey tidak lantas berduduk, tapi berkata pula: "Partai kami yang berkedudukan di
Ho tong, propinsi San see, hanyalah sebuah partai kecil yang tidak ada artinya. Sudah lama
kami mendengar nama besarnya Thio Cinjin dan Boe tong Cit hiap, hanya sebegitu jauh, kami
belum mendapat kesetempatan untuk bertemu muka. Hari ini kami tiba dikaki Boe tong san.
Menurut pantas, kami haruslah naik gunung untuk menemui Thio Cinjin. Tapi mendengar,
bahwa beliau sudah berusia seratus tahun dan selalu hidup dengan mengasingkan diri, kami
orang-orang kasar tidak berani mengganggu ketenteraman beliau. Kalau nanti sudah pulang
kegunung kami mengharap Sam wie suka memberitahukan beliau, bahwa murid-murid Ngo
hong to memberi selamat dan berdoa agar beliau dikurniani dengan rejeki dan umur panjang
oleh Tuhan Yang Maha kuasa."
Mendengar pemberian selamat kepada gurunya, Lian Cioe yang duduk diatas pembaringan
batu sebab lukanya belum sembuh, buru-buru memegang pundak In Lie Heng dan turun dari
pembaringan.
"Terima kasih atas pemberian selamat dan doa itu," katanya seraya membungkuk.
"Sehagai penduduk kampung. kami seperti kodok didalam sumur," kata pula Beng Ceng
Hoey. "Kami tak tahu bagaimana luasnya langit dan lebarnya bumi. Dengan berani mati, kami
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 315
datang ketempat kalian. Tapi dengan jiwa yang sangat besar, para pendekar Boe tong berbalik
menolong kami, untuk itu kami berterima kasih tidak habisnya. Kedatangan kami pertama
untuk menghaturkan terima kasih yang tak terhingga. Kedua untuk meminta maaf dan kami
memohon agar Sam wie tidak mencatat kedosaan kami"
Sehabis berkata begitu, Beng Ceng Hoey kelihatan bingung, seolah-olah merasa takut untuk
bicara terus.
"Beng Loosoe boleh bicara saja tanpa ragu ragu," kata Lian Cioe dengan manis.
"Terlebih dulu aku memohon janji Jiehiap, bahwa Boe tong pay tak akan menggusari kami,
supaya kami bisa memberi laporan kepada soehoe," katanya.
Lian Cioe tersenyum. "Apakah kunjungan kalian untuk menyelidiki tempat bersembunyinya
Kim mo Say ong Cia Soen?" tanyanya. "Kedosaan apa yang telah diperbuat Cia Soen
terhadap partai kalian?"
"Saudaraku, Beng Ceng Jin, telah binasa dalam tangan Cia Soen !" jawabnya.
Lian Cioe kaget. "Oleh karena adanya kesukaran yang tidak dapat diatasi kami tidak bisa
memberitahukan kalian mengenai tempatnya Cia Soen," katanya. "Tentang soal menggusari
kalian, baik lah jangan disebut-sebut lagi. Kalau nanti kalian pulang dan bertemu dengan Ouw
Loo yacoe, katakanlah, bahwa Jie Jie, Thio Ngo dan In Liok menanyakan kesehatan beliau."
"Kalau begitu, kami ingin meminta diri," kata Beng Ceng Hoey. "Di hari kemudian, andaikata
Boe tong pay memerlukan tenaga kami, biarpun Ngo hong to bertenaga sangat kecil, muridmurid
Ngo hong to pasti tak akan menolak tugas sebagai pesuruh."
Sehabis berkata begitu ia mengangkat kedua tangan, diturut oleh kelima kawannya, dan
kemudian meninggalkan kamar itu.
Baru berjalan beberapa tindak, yang wanita mendadak memutar badan dan lalu berlutut
dilantai, "Aku yang rendah sudah bisa mempertahankan kesucian diri berkat pertolongan para
pendekar Boe tong," katanya dengan suara perlahan. "Selama hidup, aku tak akan melupakan
budi yang sangat besar ini."
Biarpun sangat kepingin tahu duduknya persoalan, tapi mendengar perkataan "kesucian diri."
Lian Cioe bertiga tidak berani menanya lebih jelas. Sesudah berlutut beberapa kali, ia lalu
berjalan keluar untuk menyusul rombongannya.
Beberapa saat sesudah rombongan Ngo hong to berlalu, tirai mendadak tersingkap dibarengi
dengan masuknya seorang yang segera menubruk dan memeluk Coei San.
"Sieko!" teriak Coei San, bagaikan kalap bahna girangnya.
Orang itu yalah Siehiap Thio Siong Kee. Sesudah berpelukan beberapa lama, Coei San
berkata: "Sieko, kau sungguh pintar dan berakal budi. Kau sudah berhasil mengubah sikap
orang orang Ngo-hong-to dari lawan menjadi kawan."
"Ah! itulah sudah terjadi karena kebetulan saja", sang kakak merendahkan diri.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 316
Siong Kee lantas saja menuturkan latar belakang kejadian itu.
Wanita cantik itu seorang she Ouw, puteri kedua dari Ciangboenjin Ngo-hong-to. Suaminya
ialah Beng Ceng Hoey. Kali ini, kedua suami isteri bersama empat orang Soetee dan Soetit
telah datang di Ouwpak untuk menyelidiki Cia Soen. Ditengah jalan mereka bertemu dengan
Tocoe Sam-kang-pang yang memberitahukan, Coei San dari Boe-tong pay mengetahui
dimana adanya Kim mo Say-ong. Ouw-sie lantas saja mengusulkan untuk membekuk Coei
San guna memaksakan pengakuan.
Beng Ceng Seng biasanya sangat takut isteri, tapi kali itu ia menolak. la mengatakan, bahwa
murid Boe-tong-pay lihay luar biasa, dan jalan yang paling baik yalah menanyakan dengan
memakai peradatan. Kalau tidak diluluskan, coba mencari daya upaya lain. Ouw-sie kukuh
pada pendapatnya, ia mengatakan, bahwa jika Coei San sudah pulang ke Boe-tong-san,
mereka tak akan dapat menangkapnya lagi.
Karena tidak sependapat, kedua suami isteri itu lantas saja bercekcok, sedang kawankawannya
yang lain tidak berani campur mulut.
Ouw-sie jadi sangat gusar "Setan nyali tikus!" teriaknya. "Kan usul itu untuk membalas sakit
hati saudaramu, bukan untuk kepentinganku. Hmmm! Kapan kau begitu takut terhadap muridmurid
Boe tong! Andai kata dia Thio Coei San memberitahukan tempat sembunyinya Cia
Soen, apakah kau mempunyai nyali untuk mencari musuhmu. Menikah dengan manusia nyali
tikus benar-benar celaka besar!"
Beng Ceng Hoey tidak berani bertengkar lagi, tapi ia tetap tidak menyetujui usul isterinya
untuk menggunakan song-han-yo (obat pulas) guna membekuk Coei San dan So So. Dalam
gusarnya, malam itu, selagi suaminya pulas, ia menghilang.
Nyonya muda itu pergi dengan niatan membekuk Coei San dan So So supaya ia bias
mengejek suaminya. Diluar dugaan, gerak geriknya diketahui oleh seorang Tocoe dari Sam
kang pang. Melihat kecantikan Ouw Sie, Tocoe itu mendapat pikiran jahat dan lalu menguntit,
sehingga akhirnya, bukan Coei San dan So So yang kena Bong han yo, tapi, Ouw Sie sendiri.
Siong Kee yang terus mengintip gerak-gerik keenam orang Ngo hong to, itu, lalu memberi
pertolongan. Sesudah dihajar dan diperingati keras, ia mengusir Tocoe Sam kang pang itu.
Pada Ouw sie, Siong Kee tidak memperkenalkan nama. Ia hanya mengatakan, bahwa ia
adalah murid Boe tong Pay.
Dengan malu besar, Ouw sie kembali kepada suaminya dan menceritakan segala apa yang
sudah terjadit. Dengan demikian, Boe tong pay berbalik menjadi tuan penolong.
Sesudah berdamai, mereka segera mengunjungi Lian Cioe bertiga untuk menghaturkan terima
kasih dam meminta maaf. Supaya Ouw sie tidak terlalu jengah, sesudah mereka berlalu,
barulah Siong Kee muncul.
"Menghajar Tocoe Sam kang pang itu memang bukan pekerjaan sukar," kata Coei San. "Tapi
tindakan Sieko yang selamanya memberi kesempatan kepada orang-orang yang berdosa,
sangat sesuai dengan pendirian Soehoe."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 317
Siong Kee tertawa. "Sesudah sepuluh tahun tak bertemu, begitu bertemu Ngotee
menghadiahkan topi tinggi kepadaku." katanya.
Malam itu keempat saudara seperguruan tidur disatu pembaringan dan mereka beromongomong
terus sampai pagi.
Meskipun pintar dan berakal budi, Stong Kee tidak dapat menebak siapa adanya orang yang
menyamar seperti serdadu Goan, menculik Boe Kie dan melukakan Lian Cioe.
Pada esok paginya sesudah Siong Kee menemui So So, mereka lalu meneruskan perjalanan.
Sesudah menginap lagi semalaman ditengah jalan, barulah mereka mulai mendekati Boe tong
san.
Sesudah berpisahan sepuluh tahun. Coei San kembali kegunung itu yang menjadi tempat
tinggalnya sedari kecil. Mengingat bahwa ia akan segera bertemu dengan guru dan saudarasaudaranya,
biar pun isteri sakit dan anak hilang, kegirangannya melebihi rasa dukanya.
Setibanya diatas gunung mereka melihat delapan ekor kuda tertambat didepan kuil.
"Ada tamu," kata Siong Kee. "Kita masuk saja dari pintu samping."
Sambil menuntun isterinya, Coei San beramai masuk dari pintu samping. Melihat kembalinya
Ngohiap, segenap penghuni kuil dari imam sampai pesuruh jadi girang bukan main. Begitu
masuk, Coei San segera ingin menemui gurunya, tapi kacung yang merawat sang guru
memberitahukan bahwa Thio Sam Hong masih menutup diri. Karena itu, ia hanya bisa
berlutut didepan kamar sang guru.
Sesudah itu, ia pergi kekamar Jie Thay Giam. Kacung yang menjaga Jie Samhiap berkata:
"Samsoe siok pules. Apakah mau dibanguni?"
Coei San menggoyangkan tangannya dan masuk kedalam kamar dengan indap-indap. Dengan
hati tersayat, ia mengawasi kakak seperguruannya yang pucat dan perok mukanya, dengan
kulit membungkus tulang. Keangkeran dan kegagahannya sepuluh tahun berselang sudah tak
kelihatan lagi bayangan bayangannya. Mengingat pengalamannya yang dulu, bagaimana pada
waktu baru naik gunung, ia telah menerima banyak pelajaran dari kakak itu, air mata Coei San
lantas saja mengucur deras.
Sesudah mengawasi beberapa saat, sambil mendekap muka ia berjalan keluar. "Mana
Toasoepeh dan Citsoesiok?" tanyanya kepada si kacung.
"Lagi menemani tamu di toathia (ruang besar)," jawabnya.
Ia lalu pergi keruangan belakang untuk menunggu Toasoeko dan Citsoeteenya. Tapi sesudah
menunggu agak lama, kedua saudara itu belum juga muncul. Kepada seorang toojin yang
membawa teh, ia menanya: "Siapa tamu itu?"
"Kelihatannya seperti orang dari Piauwkiok," jawabnya.
Sesaat kemudian, In Lie Heng yang masih sangat kangen pada saudaranya menyusul
keruangan belakang dan Coei San lantas saja menanyakan asal usul tamu itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 318
"Tiga orang Cong piauw tauw," jawab si adik. "Yang satu Kie Thian Pioe, Congpiauwtauw
Houw-po-Piauwkiok di Kim leng, yang satu lagi In Ho Congpiauwtauw Chin-yang-
Piauwkiok di Thaygoan, yang ketiga Kiong Kioe Kee, Congpiauwtauw Yan-in-Piauwkiok
dikota raja."
Coei San terkejut. "Perlu apa mereka datang kemari?" tanyanya. Ia tahu, bahwa dalam
kalangan Piauwkiok diwilayah Tionggoan, ketiga Piauw kiok itulah yang mempunyai nama
paling besar.
In Lie Heng tertawa. "Mungkin sekali ada piauw yang kena dirampok dan si perampok sangat
lihay sehingga mereka minta pertolongan Toasoeko," jawabnya.
"Ngoko, selama beberapa tahun ini. Toasoeko makin mulia sepak terjangnya. Kalau di Kong
ouw terjadi sesuatu, mereka lantas pada datang menemui Toasoeko."
"Toako memarg berhati mulia seperti Budha." kata Coei San "la tak pernah merasa bosan
untuk menolong sesama manusia. Hai! Sesudah berpisahan sepuluh tahun, apa Toasoeko
tampak banyak lebih tua?"
Sesudah berkata begitu, hatinya seperti dibetot dan ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
"Lioik tee," katanya, "mari kita pergi kebelakang sekosol supaya aku bisa segera melihat
wajah Toako dan Cit tee."
Indap-indap ia masuk ke toa thia dan mengintip dari belakang sekosol. Song Wan Kiauw dan
Boh Seng Kok yang sedang duduk dikursi tuan rumah tengah bicara dengan tamu tamunya.
Wan Kiauw mengenakan Jubah iman, parasnya tenang, tiada banyak bedanya seperti dulu
hari, hanya rambut dibawah kundainya sudah berawarna abu abu."
Toako itu sebenarnya bukan seorang toosoe, tapi karena sang guru seorang toosoe dan juga
sebab ia menetap didalain kuil, maka kalau berada di kuil, ia kebanyakan mengenakan jubah
imam dan barulah menukar pakaian biasa bila turun gunung.
Tubuh Boh Seng Kok jauh lebih jangkung dan besar daripada sepuluh tahun berselang.
Meskipun masih berusia muda, mukanya penuh brewok, sehingga ia kelihatannya lebih tua
daripada Coei San.
Tiba tiba terdengar suara Boh Seng Kok yang keras: "Toasoekoku tidak pernah menjusta,
perkataannya satu - satu. dua - dua. Apakah kalian masih tidak percaya?"
Coei San kaget. Adat Soetee itu yang berangasan ternyata belum berubah. Mengapa ia
bergusar?
la lalu mengawasi ketiga tamu itu. Mereka semua berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Yang satu kelihatan angker dan garang, yang satunya lagi jangkung kurus, sedang yang ketiga
yang duduk dikursi paling buncit kelihatannya seperti orang sakit. Dibelakang mereka berdiri
lima orang lain, mungkin murid murid mereka.
"Kami tentu tidak bisa menyangsikan perkataan Song Toahiap," kata sijangkung kurus. "Tapi
apakah kami boleh mendapat tahu, kapan Thio Ngohiap akan pulang?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 319
Mendengar perkataan Thio Ngohiap, Coei San terkesiap. "Apa mereka datang untuk
menyelidiki Gieheng?" tanyanya didalam hati.
Sementara itu, Boh Seng Kok sudah menjawab: "Biarpun kami bertujuh berkepandaian sangat
rendah, tapi dalam hal menolong sesama manusia kami selalu tidak mau ketinggalan. Kawan
kawan dikalangan Kangouw telah menghadiahkan kami dengan julukan Boe tong cit hiap.
Kami sebenarnya merasa malu mendapat julukan itu. Akan tetapi, sesudah terlanjur
menerimanya kami lebih berhatii hati setiap tindakan kami. Thio Ngoko seorang yang halus
budi pekertinya baik adatnya dan seorang yang boen boe coan cay. Maka itu, omong kosong
jika Ngoko dituduh membunuh keluarga Liong boen Piauw kiok."
Sekarang baru Coei San tahu maksud kedatangan tamu-tamu itu.
"Nama besar Boe tong Cit hiap memang sudah dikenal dalam Rimba Persilatan," kata orang
yang sikapnya garang, "Boh Cit hiap tak usah mengagulkan diri!"
Mendengar perkataan yang menusuk itu, Seng kok segera berkata: "Apa sebenarnya
keinginan Kie Cong piauw tauw. Kau boleh bicara saja terang-terangan "
Orang itu, Kie Thian Pioe, lantas saja berkata dengan suara gusar: "Aku tidak menyangsikan,
bahwa Boe tong Cit hiap omong satu-satu, omong dua-dua. Tapi, apakah pendeta suci dari
Siauw lim sie berjusta? Dengan mata sendiri, pendeta Siauw lim telah menyaksikan cara
bagaimana keluarga Liong boen Piauw kiok tetah binasa oleh Thio Ngo hiap...." Perkataan
"hiap" diucapkan dengan suara luar biasa nyaringnya dan nadanya mengejek.
Bukan main gusarnya In Lie Heng. Selagi ia mau melompat keluar untuk menghadapi
piauwsoe itu, Coei San mencekal tangannya dan mengawasinya dengan sorot mata berduka.
Si-adik tidak berani membantah. la kagum akan kesabaran kakak seperguruannya.
Dengan mata berapi, Seng Kok berkata: "Ngoko sekarang belum pulang, Boh Seng Kok dan
Coei San mati hidup bersama-sama."
Boh Seng Kok bangun berdiri. "Urusannya adalah urusanku. Jika Sam wie ingin cari Coei San
carilah aku. Sam wie memastikan bahwa Ngoko sesudah membunuh keluarga Liong boen
Piauwkiok! Baiklah, pembunuhan itu sama juga telah dilakukan olehku sendiri. Kalau mau
membalas sakit hati, balaslah kepadaku, Boh Seng Kok adalah Thio Coei San, Thio Coei San
adalab Boh Seng Kok. Dalam kepintaran dan kepandaian, aku tak nempel dengan saudaraku
yang kelima itu. Maka boleh dikatakan, untung besar kau bertemu dengan aku."
Kie Thian Pioe juga meluap darahnya. Ia melompat bangun seraya membentak: "Kalau tujuan
kami benar untuk mengacau di Boe tong san, orang sedunia akan mentertawai kami sebagai
manusia-manusia yang tak tahu diri. Akan tetapi, sakit hatinya keluarga Touw Tay Kim
sehingga sekarang belum terbalas. Hal itu tak dapat ditelan oleh kami. Waktu naik kegunung,
karena menghargai Thio Cinjin, kami tidak berani membekal senjata. Sekarang biarlah aku
menerima kebinasaan dibawah kaki dan tangan Boh Cit hiap." Sehabis berkata begitu, dengan
tindakan lebar ia berjalan ketengah ruangan.
Melihat pertempuran akan segera terjadi, Song Wan Kiauw yang sedari, tadi terus
membungkam, mencekal tangan adiknya seraya berkata: "Dari tempat jauh kalian datang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 320
kemari dengan membawa tuduhan bahwa Ngotee telah membunuh keluarga Liong boen
Piauwkiok. Untung juga, tak lama lagi Ngotee akan pulang. Maka itu, menurut pendapatku,
sebaiknya kalian menunggu sampai Ngotee kembali dan menanyakan soal-soal itu kepadanya
sendiri."
Tamu yang seperti orang sakit, pemimpin Yan in Piauwkiok Kiang Kioe Kee yang berakal
budi, lantas saja berkata: "Kie Congpiauwtauw, sabar. Duduklah dulu. Memang juga, sebelum
Thio Ngohiap pulang, urusan ini sukar mendapat penyelesaian yang memuaskan. Sebaiknya
kita sekarang menemui Thio Cinjin untuk meminta jawaban. Beliau adalah gunung Thay san
atau bintang Pak tauw dari Rimba Persilatan dan dihormati oleh segenap orang gagah. Maka
itu, tak mungkin beliau melindungi diri murid sendiri tanpa melihat siapa yang benar siapa
yang salah,"
Perkataan itu yang diucapkan secara sopan, lihay bukan main dan Boh Seng Kok tentu saja
mengerti maksudnya. "Guruku sedang menutup diri dan sampai sekarang belum keluar "
katanya. "Disamping itu, selama beberapa tahun ini, segala urusan selalu diurus oleh Toa
soeko dan kecuali orang yang sangat kenamaan dalam Rimba Persilatan, Soehoe boleh
dikatakan tidak pernah menerima tamu." Dengan berkata begitu, Boh Cit hap mau
mengatakan, bahwa ketiga Congpiauw tauw tersebut belum cukup tinggi kedudukannya untuk
berjumpa dengan Thio Sam Hong.
Tamu yang bertubuh jangkung kurus, yaitu In Ho dari Chin-yang piauwkiok, tertawa dingin:
"Urusan-urusan dalam dunia memang sering terjadi secara kebetulan," katanya: "Secara
kebetulan, kedatangan kami terjadi pada saat Thio Cinjin sedang menutup diri. Tapi soal tujuh
puluh jiwa lebih dari keluarga Liong boen Piauwkiok sukar dielakkan dengan alasan menutup
diri."
Dengan perkataan yang sangat berat itu, buru-buru Kiong Kioe Kee mengedipkan matanya.
Boh Seng Kok gusar tak kepalang. "Kau mau mengatakan, bahwa guruku menutup diri karena
merasa jeri terhadap kamu?" bentaknya. In Ho tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin.
Biarpun sabar, hinaan terhadap gurunya yang sangat dihormati umum, sangat mendongkolkan
hati Song Wan Kiauw. Selama banyak tahun, belum pernah ada orang berani mengucapkan
kata kata kurang ajar untuk alamat Thio Sam Hong dihadapan Boe tong Cit hiap. Maka itu, ia
segera berkata dengan suara perlahan.
"Sam wie adalah tamu kami dan kami tidak berlaku kurang sopan. Marilah kami mengantar
kalian keluar dari kuil ini."
Seraya berkata begitu, ia mengebas dengan tangan jubahnya dan ........loh! tiga cangkir teh
yang berada dihadapan Kie Thian Pioe, In Ho dan Kiong Kioe Kee serentak terbang dan
kemudian perlahan-lahan turun dihadapan Wan Kiauw.
ltulah pertunjukan Lweekang yang dahsyat luar biasa. Begitu Wan Kiauw mengebas, Kie
Thian Pioe bertiga merasa dada mereka menyesak, tapi sejenak kemudian, rasa sesak itu
menghilang. Paras muka ketiga orang itu berubah pucat bagaikan kertas. Mereka tahu bahwa
jika mau Song Toahiap dengan mudah dapat mengambil jiwa mereka seperti orang membalik
telapak tangannya sendiri.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 321
Antara mereka, Kie Thian Pioe lah yang paling polos. Sambil merangkap kedua tangannya ia
berkata: "Terima kasih atas belas kasihan Song Toahiap. Kami minta permisi!"
Wan Kiauw dan Seng Kok mengantar tamunya sampai diluar kuil.
"Cukuplah, kalian tak usah mengantar lebih jauh lagi," kata Kie Thian Pioe.
"Kami menghaturkan banyak terima kasih atas kunjungan kalian," kata Wan Kiauw. "Dilain
hari, kami akan balas mengunjungi pianwkiok kalian di kotaraja, Thay goan dan Kim leng."
"Itulah kehormatan yang kami tidak berani menerima." sahut Kie Thian Pioe.
Selagi mereka meagucapkan kata kata sungkan, tiba tiba datang orang setengah tua yang
bertubuh kecil. "Sietee, berkenalanlah dengan ketiga sahabat ini." kata Wan Kiauw.
Sesudah diperkenalkan sambil tertawa Thio Siong Kee berkata: "Sungguh kebetulan Samwie
datang di sini. Aku justru ingin menyerahkan beberapa rupa barang." la merogoh sakunya
mengeluarkan tiga bungkusan kecil yang lalu di bagikan kepada ketiga tamu itu.
"Barang apa ini?" tanya Kie Thian Pioe.
"Jangan buka disini," kata Siong Kee. "Sesudah turun gunung, barulah kalian boleh
membukanya."
Sesudah ketiga tamu itu berlalu, Boh Seng Kok berkata dengan tergesa-gesa: "Sieko. Mana
Ngo ko? Apa ia sudah pulang?"
"Pergilah kau menemui Ngotee," kata Siong Kee seraya bersenyum. "Aku dan Toako akan
menunggu kembalinya ketiga piauwsoe itu."
"Kembalinya ketiga piauwsoe?" menegas Seng Kok dengan heran. "Mengapa begitu ?" Tapi,
sebab ia ingin lekas-lekas bertemu dengan Coei San tanpa menunggu jawaban, ia lantas
masuk dengan berlari-lari.
Benar saja, baru Boh Cithiap masuk kedalam, Kie Thian Pioe bertiga sudah kembali dengan
terburu-buru dan begitu berhadapan dengan Wan Kiauw dan Siong Kee, mereka berlutut.
Wan Kiauw dan Siong Kee membalas hormat dan membangunkan ketiga orang itu.
"Kemuliaan para pendekar Boe tong baru sekarang diketahui aku, si orang she In." Kata In
Ho. "Barusan aku telah mengeluarkan kata-kata yang menghina Thio Cinjin dan aku sungguh
lebih hina dari pada anjing atau babi."
Sehabis berkata begitu, ia menggapelok mukanya sendiri belasan kali, sehingga jadi bengkak
dan matang biru.
"In Congpiauwtiauw adalah seorang laki-laki gagah yang mempunyai cita-cita besar," kata
Siong Kee. "Cita-cita untuk merampas pulang, sungai dan gunung (negara) dari tangan
penjajah, mendapat sokongan sepenuhnya dan segenap orang gagah diseluruh negeri. Bantuan
sekecil itu yang diberikan kami adalah selayaknya saja. Perlu apa In Congpiauwtauw berlaku
sampai begitu rupa?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 322
"Jiwa seluruh keluargaku telah ditolong oleh Coe hiap (para pendekar)," kata pula In Ho.
"Selama lima tahun, aku seperti orang mimpi. Untuk kedosaanku, aku harap beliau suka
menghajar aku, supaya hatiku jadi lebih enak."
Siong Kee tertawa. "Urusan yang sudah lewat sebaiknya jangan disebut-sebut lagi," katanya.
"Andai kata Soehoe sendiri mendengar perkataan In Congpiauwtauw yang sangat mulia,
beliaupun tak merasa tersinggung," Tapi In Ho yang masih merasa sangat malu, terus mencaci
dirinya sendiri.
Song Wan Kiauw yang tidak mengerti duduknya persoalan, hanya mengeluarkan perkataanperkataan
merendahkan diri. Selain In Ho, Kie Thian Pioe dan Kiong Kioe Kee juga tak
hentinya menghaturkan terima kasih. Menurut penglihatan Wan Kiauw, Siong Kee bersikap
sangat manis dan hangat terhadap In Ho, tapi terhadap Kie dan Kiong Congpiauwtauw, ia
bersikap sedang-sedang saja. Mereka bertiga memohon permisi untuk memberi hormat
didepan kamar Thio Sam Hong dan menghaturkan maaf kepada Beh Sang Kok, tapi
permintaan itu semua ditolak dengan manis oleh Wan Kiauw berdua.
Sesudah ketiga orang itu berlalu, Siong Kee berkata seraya menghela napas: "Biarpun mereka
merasa sama sekali tidak menyebutkan soal Liong boen Piauwkiok. Dengan lain perkataan,
budi tinggal budi, tapi urusan itu masih belum beres."
Baru saja Wan Kiauw ingin meminta penjelasan, Coei San sudah muncul sambil berlari-lari.
Begitu berhadapan dengan kakaknya, ia berlutut seraya berkata "Toako ....."
Song Wan Kiauw halus budi pekertinya. Walaupun terhadap adik seperguruannya, apa pula
dalam keadaannya ini, seperti sekarang selagi hatinya berdebaran, ia tidak dapat melupakan
akal budinya itu, maka ia membalas hormat sambil berlutut juga. la pun berkata "Ngo tee, oh
akhirnya kau pulang juga !"
"Ya, Toako," menyahut adik seperguruannya yang nomor lima itu.
Coei San lantas menuturkan hal ikhwalnya semenjak perpisahan mereka.
Boh Seng Kok yang tidak sabaran, menyelak: "Ngoko, ketiga piauwsoe itu sangat kurang ajar,
mereka tetap menuduh kaulah yang membinasakan seantero keluarga Liong boen Piauw kiok
di Lim an, kenapa kau berlaku demikian sabar dan tidak hendak pergi menghajar adat kepada
mereka ?"
Mendengar itu, Coei San menghela napas, romannyn sangat berduka.
"Tentang soal, itu berliku-liku duduknya, tidak dapat dituturkan dengan sepatah dua patah
kata," katanya. "Tunggu saja sampai Sha-ko sudah mendusin, nanti aku menjelaskan semua.
Bahkan aku masih hendak memohon saudara-saudara membantu memikirkan suatu daya yang
sempurna."
"Jangan kuatir, Ngoko," berkata In Lie Hang. "Tidak layak perbuatannya Liong boen Piauw
kiok yang mengantarkan Sha-ko pulang dalam keadaan bercacad seumur hidupnya! Andai
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 323
kata benar Ngoko telah membinasakan seluruh keluarga nya, itulah disebabkan kecintaan
terhadap saudara sendiri. karena kemurkaanmu pada satu saat...."
"Liok tee, kau ngaco !" bentak Lian Cioe. "kalau Soehoe mendengar kata-katamu ini, pastilah
kau bakal dikurung selama tiga bulan! Membinasakan seantero keluarga, tua dan muda, itu
artinya memusnahkan satu rumah tangga, perbuatan demikian itu mana dapat kita lakukan ?"
Kelima orang itu lantas mengawasi Thio Coei San, roman siapa tampak sangat berduka.
"Keluarga Liong boen Piauw kiok itu, seorang pun tidak ada yang kubunuh," berkata Coei
Sani selang sesaat. "Aku tidak berani melupakan ajaran Soehoe dan tidak berani juga
menyeret-nyeret semua saudara."
Mendengar ini lega hati mereka. Tadinya mereka menyangsikan saudara seperguruan ini.
Mereka tidak percaya saudara mereka melakukan perbuatan sangat terlengas itu. Tetapi pihak
Siauw lim menuduh pasti pembunuhan itu dilakukan Coei San dan mereka itu mengatakan
melihatnya dengan mata kepala sendiri, sedang ketika piauwsoe tadi datang, Coei San tidak
mangajukan dirinya untuk menyangkal atau menegur mereka toh bercuriga.
Tapi sekarang, sesudah mendengar pernyataan Coei San, hati mereka lega. Mereka lantas
berpikir. "Didalam urusan ini tentu ada kesulitannya, akan tetapi tidak apalah asal jangan dia
yang melakukan pembunuhan. Biar bagian apapun jua, akhirnya pasti soal itu akan dapat
dibikin terang dan didamaikan."
Kemudian Boh Seng Kok menanyakan tentang ketiga piauwsoe itu.
"Diantara mereka bertiga, in Ho yang omongnya kasar adalah yang perlakuannya paling
baik," kata Siong Kee, "diwilayah Shoa say dan Siam say, dia sangat tersohor, Diam-diam dia
telah berserikat dengan orang-orang gagah dikedua propinsi itu, dengan tujuan untuk
merobohkan kerajaan Goan."
"Itulah bagus!" berseru Song Wan Kiauw berlima.
"Tidak disangka dia sedemikian bersemangat," kata Boh Seng Kok dengan rasa kagum, "dia
harus dihormati dan dipuji Sieko, kau jangan bicara terus dulu, kau tunggu sampai aku sudah
kembali." Setelah berkata begitu, ia pergi keluar sambil berlari lari.
Thio Siong Kee benar-benar berhenti menutur, sebaliknya ia menanyakan Coei San tentang
pulau Peng hwee to.
Coei San lantas bercerita tentang si kera putih yang cerdik luar biasa, sehingga keempat
saudaranya menjadi heran dan kagum.
"Sebenarnya kami berniat membawa pulang kera itu," kata Coei San pula. "Sesudah berlayar
berapa hari, ia agaknya tidak biasa dengan hawa udara yang hangat, mendadak dia menerjun
ke air, dan berenang kearah utara, mungkin dia niat pulang kepulau Peng hwee to."
"Sayang, sayang," kata In Lie Heng.
"Kera sedemikian kecil, tetapi begitu kuat, itulah hebat," kata Wan Kiauw.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 324
"Mungkin kera itu bukan bangsa kera asli," Coei San mengutarakan dugaannya, "Mungkin dia
berjenis tersendiri disebabkan terlahirnya di pulau yang hawa udaranya sangat luar biasa. "
Wan Kiauw mengangguk. "Mungkin," katanya. "Ditanah pegunungan dan rimba-rimba
kitapun terdapat binatang binatang yang istimewa."
Selagi mereka bicara, Boh Seng Kok kembali dengan berlari-lari. "Aku telah menyusul In
Piauw soe untuk menghaturkan maaf dan aku telah memujinya sebagai seorang laki-laki
sejati!" katanya.
Senang saudara-saudaranya mendengar keterangan itu. Mereka memang telah menduga
kemana perginya saudara itu barusan. Sebagai seorang jujur, Boh Seng Kok tak
menghiraukan perjalanan maafnya itu, sebab kalau tidak, ia bakal tidak dapat tidur tenang.
"Cit tee," kata In Lie Hang, "penuturan Sieko ditunda sebab musti menantikan kau, tetapi
ceritanya Ngoko tentang si kera cerdik lebih menarik hati Iagi."
"Oh, begitu?" Seng Kok berjingkrak.
Siong Kee menyelak "Rencananya In Ho itu sudah diatur rapi..."
"Sieko maaf," Seng Kok memotong, "tunggu sebentar!...."
"Dasar Cit tee!" Coei San tertawa yang terpaksa mengulangi ceritanya tentang si kera putih.
"Benar benar aneh, benar-benar aneh!" seru Seng Kok. "Nah, Sieko giliranmu!"
Siong Kee bersenyum, ia berkata: "Rencana In Ho itu sudah rapi, dia tinggal menanti harinya
untuk bergerak ditiga tempat ialah Thay goan, Thay tong dan Hoen yang. Siapa tahu, diantara
kawan serikat mereka, ada seorang pengkhianatnya. Tiga hari sebelum bergerak, dia telah
pergi membuka rahasia kepada pihak Mongolia sambil menyerahkan juga daftar nama-nama
rancana gerakan In Ho itu."
"Ah, itulah hebat!" seru Seng Kok.
"Tapi disana telah terjadi sesuatu yang kebetulan." kata Siong Kee tertawa. "Ketika itu aku
berada di Thay goan, maksudku mencari Tiekoan Thay goan untuk mengajar adat kepada nya.
Pada tengah malam itu, aku mendapatkan si Tiekoan asyik berbicara dengan si pengkhianat,
merundingkan cara untuk membeber rahasia itu kepada kaizar serta daya untuk mengirim
tentara guna menyapu bersih kawanan pencinta negara itu. Tanpa ayal lagi, aku melompat
masuk dari jendela. Aku bunuh Tiekoan dan si pengkhianat, kemudian aku merampas daftar
nama-nama rencana kerja itu yang terus dibawa pulang olehku ke Selatan. Di pihak In Ho,
orang bingung dan berkuatir sekali karena lenyapnya daftar dan rencana mereka. Mereka
mengerti, bahwa selain kuatir mereka akan gagal, juga mereka serta keluarga mereka
terancam bahaya kemusnahan. Mereka lantas bekerja mengirim orang untuk memberi kisikan,
agar keluarga mereka pada pergi mengumpatkan diri. Celakanya, tindakan inipun mendapat
halangan, yaitu pintu kota telah ditutup dan pesuruh-pesuruh ini tidak dapat keluar dari kota."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 325
"Besoknya pagi kekuatiran mereka ditambah dengan tersiarnya berita pembunuhan atas diri
Tie koan, pembunuhan mana sangat menggemparkan, sebab pembesar negeri mengambil
tindakan menutup pintu kota sambil berbareng melakukan penggledahan luas untuk mencari
dan membekuk si pembunuh gelap. In Ho semua bagaikan rombongan semut di atas kwali
panas. Mereka terutama berkuatir akan keselamatan semua kawan mereka dikedua propinsi.
Untuk beberapa hari mereka hidup seperti tersiksa. Selama itu tidak terjadi sesuatu dan
sipembunuh Tiekoanpun tidak kedapatan. Akhirnya, urusan menjadi reda. Ketika mereka
mengetahui bahwa sipangkhianatpun terbunuh didalam kantor Tiakoan, mereka menduga ada
pertolongan tersembunyi untuk pihak mereka. Mereka tidak tahu siapa penolong itu.
Merekapun sama sekali tidak menduga aku"
"Jadi yang tadi kau serahkan pada In Ho itu ialah daftar nama-nama dan rencananya itu?"
"Benar." jawabnya.
"Bagaimana dengan Kiong Kioe Kee ?" Lie Heng tanya pula. "Bagaimana Sie ko membahtu
dia ?"
"Kioo Kee cukup-tinggi ilmu silatnya, hanya dalam hal sifat, ia tidak dapat disamakan dengan
In Ho," menyahuti Siong Kee, "Pada enam tahun dulu ia mengantar piauw ke propinsi Inlam.
Setibanya di Koen beng is diminta bantuannya membawa barang barang permata untuk
Pakkhia, harganya semua enampuluh laksa tail. Ia mesti membawanya secara diam-diam.
Tiba di propinsi Kang say, is mendapat susah, ialah ditepi telaga Po yang ouw, ia dicegat dan
dikepung oleh tiga anggauta Poyang Soa gie, empat orang gagah dari Po yang ouw, dan
piauwnya dirampas. Meskipun dia menjual harta bendanya semua, tidak nanti Kioe Kee dapat
mengganti kerugian. Inipun mengenai nama baik dari Yan in Piauw kiok yang sangat kesohor
untuk wilayah utara. Karena kejadian itu, pasti perusahaan Piauw kioknya bakal roboh. Selagi
berada dirumah penginapan, saking putus asa, ia nekad hendak menghabiskan jiwanya
sendiri. Po yang Soe gie bukan orang Rimba Hijau, mengapa mereka merampas piauw itu? Ini
pun ada sebabnya. Saudara meraka yang tertua lagi mendapat susah, saudara itu dikurung
dalam penjara di kota Lam Ciang, setiap waktu bisa menjalankan hukumannya, hukuman
mati. Dua kali Soe gie coba menolong. Mereka membongkar penjara, dua kalinya gagal.
Akhirnya mereka terpaksa mencari uang, untuk menyogok pembesar-pembesar di Lam ciang
itu, cukup asal hukuman kakak mereka diperenteng. Aku mendapat tahu perkara mereka itu,
aku tahu juga bahwa Po yang Soe gie orang baik-baik. Aku lantas bekerja uptuk menolong
kakak mereka, supaya piauwnya Kioe Kee dikembalikan kepada piauwsoe itu. Wajah Kioe
Kee memuakkan dan cara bicaranya juga tidak menyenangkan, tetapi ia belum pernah
melakukan sesuatu kejahatan dan iapun tidak pernah mengganggu rakyat, maka aku pikir, ada
baiknya juga aku menolong jiwanya. Hanya dalam menolong dia, aku meminta Po yang Soe
gie jangan menyebut nyebut namaku. Piauw itu dipulangkan, melainkan bungkusan
sulamannya yang aku tahan. Dan barusan aku memberikan pulang bungkusan itu, maka kau
tentulah telah mengerti sendiri." i
Lian Cioe mengangguk angguk.
"Bagus perbuatanmu itu, Sie tee." ia memuji. "Kiang Kioe Kee itu dapat dimaklumkan dan Po
yang Soe gie juga tak ada celaannya."
"Eh, Sieko," tanya Seng Kok. "Barang apa itu yang kau serahkan pada Kie Thian Pioe?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 326
"itulah sembilan biji Toan hoen Gouwkong piauw," jawabnya.
Jawaban ini membuat lima saudara itu terperanjat. Untuk dunia Kang ouw, piauw itu ialah
semacam senjata rahasia yang kesohor sekali. Itulah senjata yang membikin naik namanya
Gouw It Beng dari Liang Cioe.
"Mengena piauw itu, aku bertindak dengan terlalu berbesar hati," Siong Kee mengakui.
"Kalau sekarang aku mengingatnya, aku merasa bersyukur sekali bahwa aku telah lolos dari
marabahaya. Ketika itu Kie Thian Poe mengantar piauw lewat dikota Tong kwan, diluar
tahunya ia berbuat keliru terhadap satu muridnya Gouw It Beng. Dalam pertempuran, Thian
Pioe merobohkan dan melukakan parah murid orang itu. Setelah kejadian, baru Thian Pioe
menginsyafi bahwa ia telah menerbitkan onar. Maka lekas-lekas ia menyelesaikan tugas nya
sebab ia ingin segera pulang ke Kim leng guna mengumpul kawan yang bersedia menghadapi
It Beng itu. Ia baru sampai di Lok yang, ketika di sana ia dicandak It Beng. Maka tarjadilah
janji ,akan bertarung besoknya di luar pintu barat kota Lok yang "
"Gouw It Beng lihay, tak ada disebawahan kita, bagaimana Kie Thian Pioe dapat menandingi
dia ?" tanya In Lie Heng.
"Memang. Thian Pioe sendiri merasa bahwa ia tidak unggulan melawan musuhnya, maka itu
ia minta bantuannya persaudaraan Kiauw dikota Lok yang itu," Siong Kee menerangkan.
"Atas permintaan itu, pihak parsaudaraan Kiauw menjawab: Kau bukan tahu sendiri, Kie
Toako, kami bukan lawan Gouw It Beng. Bukankan kau hanya menghendaki kami membantu
memberikan suara saja? Baiklah, besok pagi kami pasti datang diluar kota barat itu !"
"Persaudaraan Kiauw pandai menggunakan senjata rahasia, dengan Thian Pioe dibantu
meteka, artinya tiga lawan satu, mungkin It Beng dapat dilawan bingga berimbang
kekuatannya," berkata Seng Kok. "Bagaimana dengan Gouw It Beng, apakan ia mempunyai
kawan atau tidak ?"
"It Beng tidak punya kawan," kata Siong Kee. "Yang aneh yalah dua saudara Kiauw itu. Pagi
pagi sekali besoknya Thian Pioe telah pergi kerumah mereka, terutama untuk memastikan
cara menghaadapi It Beng Ketika tiba, ia bertemu dengan penjaga pintu yang berkata: Toaya
dan Jieya mempuayai urusan yang penting yang mendadak, mereka telah pergi ke Tongcioe.
Aku dipesan untuk memberitahukan Kie Looya agar Looya tidak usah menantikannya.
Mendengar itu, Thian Pioe kaget dan mendongkol bukan main. Beberapa tahun yang lalu,
tempo dua saudara Kiauw itu nampak kesukaran di Kanglam, Thian Pioe telah membantunya,
tetapi sekarang, mulut mereka manis, kaki mereka ngacir. Thian Pioe menginsyafi bahaya,
tetapi ia tidak mau salah janji, dari itu ia kembali kehotelnya untuk menulis pesan terakhirnya.
Sesudah memesan seperlunya kepada sekalian pembantunya, seorang diri ia pergi keluar pintu
kota barat."
"Semua kejadian itu tidak lolos dari mataku," Siong Kee melanjutkan setelah berhenti
sejenak. "Aku sudah lantas pergi keluar pintu kota itu, Disana aku bercokol dibawah sebuah
pohon. Sengaja aku menyamar sebagai seorang pengemis. Aku melihat It Beng dan Thian
Pioe datang saling susul, terus mereka bertempur. Baru beberapa jurus. It Beng telah habis
sabar, ia lantas menyerang dengan sebatang piauwnya yang liehay. Thian Pioe putus asa, ia
meraimkan matanya menanti kebinasaan. Disaat itu aku melompat maju. Aku menanggapi
piauw maut itu. It Brng kaget, heran dan gusar. Ia lantas saja menegur aku dan menanya aku
orang dari partay Pengemis atau bukan. Aku tertawa saja, tidak menjawab: Dalam gusar dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 327
penasarannya, delapan kali beruntun ia menyerang aku dengaa sepasang senjata rahasia nya
itu, yang semua aku tanggapi dengan berhasil. Dia benar-henar lihay. Sedang aku, aku tidak
berani menanggapi dengan menggunakan ilmu silat kita. Aku takut ia mengenali aku.
Begitulah aku berpura pura pincang sebelah kakiku dan mati tanganku yang kanan, aku
menggunakan saja tangan kiri, dan ilmu yang digunakan olehku ialah ilmu silat Siauw lim
pay. Semua senjata itu aku bekap, hampir telapakan tanganku terluka piauw yang ke tujuh.
Dia lantas membentak, menanyakan aku muridnya Siauw lim sie yang mana. Aku tetap
membungkam dan berlagak tuli. Aku bicara ah an uh uh saja. It Beng mengerti bahwa ia tidak
akan sanggup melawan aku, ia lantas ngeloyor pergi dengan mendongkol. Setibanya di
Liangcoe, di rumahnya, seterusnya ia menutup pintu, selama beberapa tahun ini ia tidak
pernah muncul lagi dalam dunia Kang ouw."
Seng Kok jujur dan polos, ia tidak mengerti sikapnya kakak seperguruan itu yang menolong
Kioe Kee dan menentang It Beng. Thio Coei San sebaliknya tahu, bahwa dengan itu Siong
Kee hendak meredakan permusuhan yang disebabkan pembunuhan keluarga Liong boen
Piauw kiok. Houw po Piauw kiok adalah piauwkiok paling ternama uptuk Kang Lam. Untuk
wilayah Utara yalah Yan in Piauwkiok, dan di Barat daya yaitu Chin yang Piauw kiok.
Dengan terjadinya pembunuhan pada keluarga Liong boen Piauwkiok itu, dua yang lainnya
tentulah bakal turun tangan, maka Song Kee diam-diam menumpuk perbuatan baik atau budi,
yang diaturnya sedemikian rupa hingga orang tidak akan menyangka bahwa itulah usaha
berencana.
"Sieko," kata Coei San akhirnya sambil menangis sesenggukan, "kita berada diantara saudara
sendiri, tidak usah aku menghaturkan terima kasih lagi padamu. Semua itu ialah sembrononya
iparmu, yang bertindak menuruti hawa amarahnya hingga mendatangkan bahaya besar."
Sampai disitu, tanpa tedeng aling aling, Coei San menuturkan perbuatan isterinya, So So yang
menyamar menjadi ia dan sudah menyatroni dan membunuh keluarga Liong boen Piauwkiok
di waktu malam. Kemudian ia menambahkan: "Sieko, bagaimana urusan ini dapat
diselesaikan di kemudian hari? Aku memohon pikiranmu."
Thio Siong Kee berdiam untuk berpikir. "Aku pikir dalam urusan ini perlu kita mengundang
Soehoe turun gunung, supaya Soehoe yang
memberi petunjuk," katanya. "Perkara telah terjadi, orang yang sudah mati tidak dapat hidup
kembali, sedang Tee hoe sudah menginsyafi kesalahan nya dan mengubahnya. Ia sekarang
bukan lagi si wanita pembunuh yang telengas. Maka itu, perlu kita mengerti maksudnya
pepatah kuno: tahu bersalah dan dapat mengubahnya, itulah paling baik. Kau lihat, Toako
bukankah ini benar?"
Song Wan Kiauw, yang ditanya itu, berdiam saja. Soal itu menyangkut perkara jiwanya
beberapa puluh orang. Itulah perkara sangat besar, ia
ragu-ragu
"Tidak salah." Jie Lian Cioe menalangi kakak seperguruannya. Ia mengangguk.
Ketika In Lie Heng mendengar suaranya kakak she Jie ini, bukan main luga hatinya. la
memang paling jeri terhadap ini kakak seperguruan
yang nomor dua, yang saking jujurnya, membenci perbuatan jahat seperti dia membenci
musuhnya yang dalam segala pertimbangan tidak mengenal urusan peribadi. Tadinya ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 328
berkuatir untuk So So, isterinya Coei San itu, iparnya. Siapa nyana, demikian singkat dan
bijaksana putusannya Jieko itu.
"Benar", ia lantas turut bicara. "Kalau nanti ada orang luar yang menanyakan, Ngoko, kau
jawab saja bahwa bukan kau yang membunuh mereka itu. Kau bukan mendusta, sebab
memang bukan kau yang membunuhnya,"
Song Wan Kiauw melotot terhadap adik seperguruan ini, katanya: "Dengan menyangkal
begitu, mana hati Ngotee bisa tenang? Kita menamakan diri kita orang-orang gagah mulia.
Apakah kita bisa merasakan tenteram ?"
"Habis bagaimana ?" tanya Lie Heng;
"Menurut pikiranku, kita harus berbuat begini", berkata sang Toako. "Paling dulu kita menanti
sampai selesai perayaan ulang tahun Soehoe. Setelah itu kita pergi mencari anaknya Ngotee.
Habis itu pada rapat besar di Hong ho lauw kita membereskan urusannya Kim mo Say ong
Cia Soen. Lalu sesudah itu, kita berenam saudara dibantu oleh Ngo tee hoe, berangkat ke
Kang lam. Didalam tempo tiga tahun, kita masing-masing harus melakukan perbuatanperbuatan
baik sebanyak sepuluh macam "
"Akur! Akur!" Thio Siong Kee berseru menepuk-nepuk tangan. "Liong boen Piauwkiok
kematian tujuh puluh jiwa, kita bertujuh melakukan masing-masing sepuluh rupa kebaikan.
Asal kita semua bisa menolong seratus sampai duaratus orang yang bersengsara atau terfitnah,
maka dengan itu dapatlah kita menebus jiwanya tujuh puluh orang yang mati kecewa itu!"
"Pikiran Toako sangat sempurna," Jie Lian Cioe memuji. "Aku percaya soehoe pun akan
menyetujuinya. Kalau tidak demikian, untuk tujuhpuluh jiwa itu, Teehoe mengganti dengan
satu jiwanya. Apakah artinya penggantian satu jiwa itu ?"
Coei San girang berbareng terharu.
"Nanti aku bicara padanya!" katanya. Ia maksudkan isterinya. Lantas ia lari masuk kedalam
untuk menuturkan semua itu kepada So So.
Mendengar keterangan suamiana, So So menjadi bersemangat. Ia percaya lihaynya enam jago
Boe tong pay itu, maka ia percaya juga yang Boe kie, anaknya, bakal dapat dicari. Ia
memangnya bukan sakit berat, ia hanya bersusah hati. Sekarang ia terbuka hatinya, dan
sakitnya lalu berkurang setiap hari.
===========================
Lewat beberapa hari maka tibalah Sie gwee Cap pee, tanggal delapan bulan keempat. Tanpa,
bersangsi lagi, Thio Sam Hong membuka pintu kuilnya. Besok adalah hari ulang tahunnya
yang ke seratus, murid-muridnya pasti bakal datang untuk merayakannya. Sebenarnya,
sesudah Jie Thay Giam terluka bercacad dan Thio Coei San lenyap, ia sangat berduka. Tetapi,
bahwa ia telah bisa memasuki usia seratus tahun, adalah hal yang tak dapat dilewatkan dengan
begitu saja.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 329
Selain itu, ia juga yakin, bahwa lima silatr Thay kek Sin kang sudah mencapai
kesempurnaannya, itu artinya, di dalam ilmu silat, ia telah membuat suatu jasa yang tak
kurang daripada jasanya Tatmo Couwsoe dari Siauw-lim-sie.
Pagi pagi Thio Sam Hong membuka kedua daun pintu kamarnya. Untuk herannya, orang yang
pertama ia lihat bukan lain daripada Thio Coei San, muridnya yang telah hilang sepuluh
tahun. Ia mengucek matanya, kuatir nanti keliru melihat.
Coei San sendiri sudah lantas menuju untuk menubruk gurunya itu.
"Soehoe !" serunya sambil menangis sesenggukan. Saking terharunya, ia lupa berlutut untuk
menjalankan kehormatan.
Song Wan Kiauw berlima lantas turut maju. "Selamat, Soehoe !" berseru mereka. "Saudara
yang kelima sudah pulang!"
Thio Sam Hong sudah berumur seratus tahun, itu artinya ia telah belajar silat dan melatihnya
selama delapan puluh tahun. Ppengalamannya luas dan hatinya sudah terbuka. Akan tetapi
dengan ketujuh murid muridnya ini ia bergaul sangat erat, seperti ayah dan anaknya.Mmaka
begitu melihat Coei San, tak tahan ia akan rasa terharunya. Ia pun memeluk erat erat dan air
matanya mengucur turun.
Segera setelah itu, keenam murid itu melayani guru mereka menyisir rambut, mencuci muka
dan mulut serta berdandan, kemudian mereka duduk memasang omong. Coei San tidak berani
omong perihal segala apa yang dapat memusingkan kepala, maka ia menuturkan saja
mengenai pulau Peng hwee to, tentang yang indah dan menarik hati, juga perihal ia sudah
menikah.
Jilid 17_______________
Girang guru itu mengetahui muridnya sudah beristeri. "Mana isterimu itu?" katanya. "Lekas
ajak ia menemui aku!"
Coei San lantas saja berlutut didepan gurunya.
"Soehoe, muridmu bernyali besar," katanya. "Untuk menikah, dia tidak memberitahukan
terlebih dulu kepada Soehoe... "
Sang guru mengurut kumisnya dan tertawa.
"Kau berada dipulau Peng hwee to selama sepuluh tahun dan tidak dapat pulang, apakah kau
mesti menanti sepuluh tahun dan sesudah memberitahukan aku baru kau menikah?" katanya.
"Ngaco, ngaco! Lekas bangun, tidak usah kau memohon maaf. Mana Thio Sam Hong
mempunyai murid yang tidak tahu aturan!"
Tetapi Coei San tetap berlutut.
"Tapi muridmu beristerikan orang yang asal usulnya sesat," katanya pula. "Dia ..... dialah
gadisnya In Kauwcoe dari Peh bie kauw ....."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 330
Kembali guru itu mengurut kumisnya.
"Apakah halangannya itu?" katanya sambil bersenyum. "Asal kelakuan isterimu tidak ada
celaannya, sudah cukup! Atau umpama kata pribadinya tidak baik, setelah dia naik kegunung
kita, apakah dia tidak dapat dididik untuk menjadi baik? Pula, apa artinya Peh bie kauw? Coei
San, yang terutama untuk menjadi manusia ialah jangan cupat pandangan ! Jangan kita
menganggap, sebab diri kita dari golongan sejati lantas kita memandang enteng kepada lain
orang! Dua huruf sejati dan sesat itu, sulit untuk dibedakannya. Murid golongan sejati juga,
kalau hatinya tidak lurus, ia menjadi sesat, dan murid pihak sesat, apabila hatinya benar, dia
dapat menjadi seorang koencoe!"
Bukan main girangnya Coei San. la tidak menyangka ganjalan hatinya selama sepuluh tahun
itu, yang sangat menguatirkannya sekarang buyar dalam sedetik dengan kata-kata bijaksana
gurunya.
Maka ia lantas berbangkit dengan wajahnya riang gembira.
"Mertuamu itu. In Kouwcoe, adalah sahabatku," kata sang guru kemudian. "Aku mengagumi
ilmu silatnya. Dialah seorang laki-laki yang luar biasa. Walaupun sifatnya agak sesat, dia
bukan seorang buruk. Maka kami dapat menjadi sahabat satu dengan yang lain."
Kembali kata-kata ini melegakan hati Coei San. Wan Kiauw dan yang lainnyapun berpikir:
"Sungguh Soehoe sangat mencintai muridnya yang ke lima ini hingga sekalipun mertuanya,
siraja iblis, dia senang menjadikannya sahabatnya."
Selagi guru dan murid-muridnya itu berbicara, seorang kacung masuk untuk menyampaikan
kabar. "In Kauwcu dari Peh bie kauw mengirim orang membawa hadiah untuk Ngo soesiok!"
"Mertuamu mengirim bingkisan!" berkata Thio Sam Hong sambil tertawa "Coei san, pergi
kau sambut tamu!"
"Baik soehoe !" jawab murid itu.
"Nanti aku ikut bersama !" kata In Lie Heng.
Thio Siong Kee tertawa dan berkata: "Yang mengirim bingkisan bukannya Kim pian Kie Loo
enghiong. Buat apa kau repot tidak keruan?"
Mukanya Lie Heng menjadi merah tetapi ia diam saja, terus ia mengikuti Coei San.
Di toa thia, ruang depan, terlibat dua orang yang usianya sudah lanjut. Mereka berdandan
sebagai bujang tetapi pakaian mereka rapi. Begitu mereka melihat Coei San, mereka maju
beberapa tindak untuk memberi hormat sambil berlutut seraya berkata: "Thio Kouwya baik !
Terimalah horrnat kami In Boe Hok dan In Boe Lok!"
Coei san membalas hormat kedua orang itu dengan mengangguk.
"Silahkan koankee bangun," katanya (Koankee itu kuasa rumah). Meski begitu, ia heran dan
berkata didalam hatinya: "Nama mereka ini aneh. Orang biasa memakai nama Pang An dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 331
lain-lain sebagainya untuk bujang. Kenapa mereka memakai nama Boe Hok dan Boe Lok
yang berarti tidak punya rejeki dan tidak jaya?"
Ia memandang kedua pegawai mertuanya itu, dimana terlihat olehnya pada muka In Boe Hok
ada tapak bacokan golok yang panjang, dari jidat kanan turun kebawah, mengenai hidung dan
bibir kiri, sedang In Boe Lok bekas diserang cacar. Terang wajah mereka buruk sekali. Usia
mereka masing-masing sudah lima puluh tahuh lebih.
"Apa kedua mertuaku baik ?" tanya Coei San. "Setelah ada ketikanya, bersama nonamu aku
akan pergi menjenguknya. Tidak disangka, sekarang kedua orang tua itu telah mendahului
mengirim bingkisan. Bagaimana aku dapat menerimanya? Kamu baru datang dari tempat
yang jauh, silahkan duduk dan minum teh."
Boe Hok dan Boe Lok tidak berani duduk. Mereka hanya menyerahkan daftar barang- barang
bawaannya itu. Sikapnya sangat menghormat. Kata mereka: "Looya dan Thay thay kami
mengatakan agar ini sedikit barang sukalah kouwya menerimanya tanpa dibuat tertawaan."
Mereka itu menyebut kouwya, atau baba mantu.
"Terima kasih!" berkata Coei San yang lantas membeber daftar itu, melihat mana, ia
terperanjat. Ia mendapatkan belasan helai daftar dengan huruf air emas yang menyebutkan
nama namanya dua ratus rupa barang yang menjadi hadiah itu, umpamanya sepasang singasingaan
kemala, sepasang burung hong batu hijau, alat tulis dari bulu serigala serta bak dan
bakhinya yang istimewa. Rupanya Peh bie Kauwcoe mengetahui mantunya mengerti ilmu
sastra, maka ia mengirim perabot tulis yang berhanga mahal itu. Yang lainnya tarnyata rupa
pakaian, kopia, rupa-rupa perhiasan dan lain lainnya, yang lengkap sekali.
Selama itu Boe Hok telah pergi keluar untuk kembali bersama sepuluh tukang pikul yang
memikul barang-barang itu.
Coei San ragu-ragu.
"Aku biasa hidup melarat dan sederhana, untuk apa semua barang mewah ini?" pikirnya.
"Tapi mertuaku mengirimnya dari tempat demikian jauh. Kalau aku menampik, aku jadi
berlaku tidak hormat"
Maka terpaksa ia menerimanya. Sekali lagi ia mengucapkan terima kasih.
"Nona kamu habis melakukan perjalanan jauh, kesehatannya sedikit tenganggu," katanya
kepada kedua pesuruh itu. "Maka itu, koankee, lebih baik kamu berdiam dulu disini untuk
beberapa hari, nanti baru kamu menemui nona kamu itu,"
"Looya dan Thay thay sangat kangen kepada Kouwnio. Mereka mengharuskan kami pulang
hari ini juga untuk menyampaikan balasan kabar," kata Boe Hok. "Kalau Kouwnio kurang
sehat, kami hanya memohon untuk bertemu saja sebentar guna menghaturkan hormat kami,
habis ltu kami segera berangkat pulang."
"Kalau begitu, harap tunggu sebentar," berkata Coei San. Ia lantas masuk, untuk menemui
isterinya, guna menyampaikan warta girang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 332
So So girang sekali lekas lekas ia menyisir rambutnya dan berdandan, lalu ia pergi keruang
samping untuk menemui kedua pegawai ayahnya itu. Ia menanyakan kesehatan orang tua
serta kakaknya, setelah mana, ia minta mereka dahar dan minum dulu.
Boe Hok dan Boe Lok lantas meminta diri untuk segera berangkat pulang.
Sesaat Coei San bersangsi ataukah kedua pesuruh itu harus diberi persen, tapi ia tak punya
uang. Biarpun semua uang digunung itu dikumpulkan masih belum cukup untuk
menhadiahkan mereka berdua. Dasar polos, sembari tertawa, ia berkata: "Nona kalian
menikah dengan orang miskin yang tidak bisa memberi persen pada kalian, harap kalian
maklum saja!"
Boe Hok dan Boe Lok merendahkan diri.
"Tidak apa," kata mereka. "Kamipun tidak berani menerima. Malah kami bersyukur selalu
telah dapat melihat wajahnya Boe tong Ngohiap!"
"Mereka bicara rapi sekali, mereka tentu mengerti baik ilmu surat," pikir Coei San selagi ia
mengantar orang sampai dipintu. "Cukup Kouw ya. Kami hanya mengharap Kouwya dan
Kouwnio lekas datang menjenguk agar Looya dan Thaythay tidak terlalu lama mengharap
harap. Semua anggauta kami juga mengharap sekali dapat melihat wajah Kouwya!"
Atas itu, Coei San melainkan bersenyum.
"Ah! hampir aku lupa!" kata In Boe Lok tiba-tiba. "Hal ini perlu disampaikan kepada
Kouwya. Dalam perjalanan kemari, dirumah penginapan di Siangyang kami bertemu dengan
tiga piauwsioe, sambil berbicara mereka itu menyebut nyebut nama Kouwnio...."
"Oh begitu!" Kata Coey San. "Apakah kata mereka?"
"Kata yang seorang," berkata Boe Lok "Meskipun Boe tong Cit hiap telah melepas budi besar
terhadap kita, akan tetapi soal jiwanya tujuh puluh lebih orang-orang Liong boen Piauw kiok
tidak dapat dibikin habis secara begini saja. Bicara lebih jauh mereka mengatakan, biarpun
mereka tak dapat memperhatikan lagi urusan itu tetapi mereka hendak pergi pada Sin Chio
Tin Pat hong Tam Loolonghiong di kota Kay hong untuk minta biarlah jago tua itu sendiri
yang berurusan dengan Kouwya."
Mendengar itu, Coei San hanya mengangguk. Ia tidak mengatakan suatu apa.
In Boe Lok merogo sakunya, mengeluarkan tiga batang bendera kecil berbentuk segitiga.
Sembari mengangsurkan itu kepada Coei San dengan kedua tangannya, ia berkata pula: "Oleh
karena mendengar ketiga piauwsoe itu bernyali demikian besar, berani membentur kepalan
batu, maka urusan ini kami telah mengalihkan kepada Peh bie kauw."
Coei San terkejut melihat ketiga bendera tiga itu. Yang pertama bersulamkan harimau galak,
kepalanya dimiringkan, mulutnya dipentang lebar, dan tubuhnya lagi nongkrong. Itulah
benderanya Houw po Piauwkiok. Bendera yang kedua bergambar sulaman seekor burung ho
putih lagi terbang ditengah udara, itulah benderanya Chin Yang Piauwkiok, sebab burung itu
diartikan in Ho, ketua piauwkiok itu. Bendera yang ketiga yang disulam juga, sulamannya
merupakan sembiIan ekor burung walet (yan). Terang itulah bendera Yan In Piauwkiok,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 333
sebab disitu ada huruf yan itu, yang berarti "walet" sedang "sembilan" walet, bilangan
"sembilan" (kioe) diambil dari namanya Kiong Kioe Kee.
"Kenapa kau mengambil bendera mereka itu?" ia tanya dengan heran.
"Kouwya toh baba mantunya Peh bie kauw!" menyahut In Boe Lok. "Dan Kie Thian Pioe dan
Kiong Kioe Kee ketiga orang itu makhluk-makhluk macam apa? Mereka tahu bahwa mereka
hutang budi kepada Boe tong Cit hiap, kenapa mereka masih mau pergi kepada Sin chio Tin
pat hong, si tua bangka she Tam di Kay hong itu? Agar si tua bangka datang berurusan
dengan Kouw ya? Bukankah itu terlalu tidak pantas? Sebenarnya Looya dan Thay thay hanya
menugaskan kepada kami untuk mengantar hadiah kepada Kouwya, tetapi setelah dapat
mendengar kata kata ketiga orang piauwsoe itu yang kurang ajar....."
"Sebenarnya mereka tidak kurang ajar..." kata Coei San.
"Benar, sebab Kouwya sangat bijaksana dan pemurah," kata Boe Hok, "Tetapi kami yang
tidak dapat menahan sabar sudah lantas membereskan mereka semuanya dan mengambil
sekalian bendera mereka ini....."
Thio Coei San terkejut. Ia tahu Kie Thian Pioe bertiga adalah Piauwsee piauwsoe kenamaan.
Meskipun mereka itu bukan orang Rimba Persilatan nomor satu, mereka mempunyai masing
masing kepandaian sendiri sendiri. Kenapa dua orang sebawahan In Thian Ceng ini
memandang mereka enteng sekali?
Umpama In Noe Hok ngoceh saja, toh bendera ketiga piauwkiok itu telah berada ditangan
mereka berdua. Bukankah jangan kata mengambilnya dengan berterang, dengan jalan
mencuripun sukar? Maka itu, apa mungkin mereka merobohkan tiga Piauwsoe itu dengan
obat atau hio pulas?
"Bagaimana caranya bendera ini diambil dari tangan mereka?" akhirnya ia tanya.
"Ketika itu Jie tee Boe Lok menantang mereka", Boe Hok memberikan keterangan. "Tempat
yang dipilih yalah pintu luar kota selatan. Mereka bertiga, kamipun bertiga."
"Pertaruhan kita yalah jikalau mereka yang kalah, mereka mesti menyerahkan bendera mereka
dengan mereka mesti mengutungkan sebelah tangan sendiri serta untuk selanjutnya tidak
dapat mereka menaruh kaki, sekalipun satu tindak di wilayah propinsi Ouw pak."
Coei San jadi bertambah heran. Hebat pertaruhan itu. Ia jadi semakin tidak berani memandang
enteng kepada kedua Koankee itu.
"Bagaimana kemudian jadinya?" ia tanya pula.
"Kemudian tidak ada apa apa yang aneh" kata Boe Hok. "Mereka itu menyerahkan bendera
mereka serta masing-masing menabas kutung lengan mereka yang kanan seraya mengatakan
untuk seumur hidupnya mereka tidak akan menginjak pula wilayah Ouw pak."
Diam-diam giris hatinya Coei San. Pikirnya: "Benar-benar telengas orang-orang Peh bie kauw
itu..."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 334
Boe Hok berkata pula: "Seandainya Kouwya menganggap turun tangan kami terlalu enteng,
sekarang juga kami pergi menyusul mereka, untuk mengambil kepala mereka!"
"Bukannya enteng, bahkan berat!" berkata Coei San cepat-cepat.
"Kamipun berpikir," kata Boe Hok pula. "kami datang untuk mengantar hadiah kepada
Kouwya. Itu artinya girang dibalik girang, maka jikalau kami mengambil jiwa orang, itulah
berarti alamat tidak baik."
"Benar, kamu memikir sempurna sekali," Coei San memuji. "Barusan kamu menyebut kamu
datang bertiga, mana dia satu lagi?"
"Dialah saudara kami, In Boe Sioe," menyahut Boe Hok.
"Sesudah mengusir ketiga piauwsoe itu, kami berdua lantas berangkat kemari menjeguk
kouwya, sedang saudaraku itu terus berangkat ke Kayhong. Kami kuatir situa bangka she Tam
nanti keburu mendapat kabar dan lantas datang untuk banyak rewel. Ya, Boe Sioe meminta
kami mewakilkan menyampaikan hormatnya kepada Kouwya."
Habis berkata, koankee itu berlutut dan mengangguk untuk memberi hormat.
Coei San membalas dengan menjura. Ia merendah dan berkata bahwa tidak dapat ia menerima
kehormatan itu.
Didalam hatinya, baba mantunya Peh bie Kauwcoe lantas memikirkan jago tua Tam Soei Lay,
yang oleh dua saudara Boe ini menamakan "si tua bangka she Tam". Ia bergelar Sin Chio Tin
Pat Hong, artinya ia jago ilmu silat yang menggetarkan delapan penjuru negara. Ia tahu orang
itu telah menjagoi selama empatputuh tahun. Dengan perginya In Boe Sioe seorang diri, ia
berkuatir. Siapapun yang akan terluka diantara mereka berdua, hatinya tidak senang.
"Sudah lama aku mendengar nama Tam Soei Lay," katanya. "Ia seorang Koencoe. Maka
Jiewie tolong kamu lekas pergi menyusul ke Kayhong, untuk minta toako Boe Sioe... Bukan!
Untuk berbicara dengan Soei Lay. Jikalau mereka berdua sama-sama besikap keras dan jadi
bentrok, itulah tidak bagus."
"Jangan Kouwya merasa kuatir", berkata Boe Lok dengan tawar. "Tua bangka she Tam itu
tidak nanti berani melawan Shatee Boe Sioe. Jikalau Shatee memberitahukan dia untuk jangan
usilan, pasti dia akan mendengar kata."
"Begitu?" tanya Coei San bersangsi. Ia pikir mungkin Tam Soey Lay sendiri sudah tua dan
dapat berlaku sabar, tetapi bagaimana dengan orang orang didalam rumahnya? Sedikitnya
Soei Lay mempunyai duapuluh murid yang sudah lihay, mana mereka jeri terhadap Boe Sioe?
Boe Hok dapat melihat roman ragu ragu dari baba mantu majikannya. Ia berkata: "Pada
duapuluh tahun yang lalu, tua bangka she Tam itu ialah pecundangnya Boe Sioe. Juga ada
sesuatu yang penting yang berada ditangan kami. Maka Kouwya jangan kuatir. Harap
Kouwya tetap baik!" tambahnya dan bersama saudaranya ia lantas memberi hormat untuk
meminta diri dan berangkat pergi.
Coei San membiarkan mereka itu berlalu. Tangannya masih memegang ketiga helai bendera
piauwkiok. Pikirannya bekerja. Tadinya ia memikir untuk minta dua orang itu pergi
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 335
mendengar dengar halnya Boe Kie, anaknya, tetapi berat untuk ia mengatakannya. Ia kuatir
merusak nama kakaknya yang nomor dua. Maka diakhirnya, dengan ayal-ayalan ia kembali
kekamarnya.
In So So duduk menyender diatas pembaringan sambil memeriksa daftar barang-barang
bingkisan ayah dan ibunya. Disamping itu, ia berduka dan berkuatir untuk Boe Kie yang
dibawa lari musuh. Sekarang ini entah bagaimana nasib anak itu. Ketika ia melihat suaminya
masuk, ia heran melihat roman suaminya itu tidak tenang.
"Kenapa eh ?" tanyanya.
"Sebenarnya Boe Hok, Boe Lok dan Boe Sioe itu orang macam apa?" sang suami balik
menanya.
Sudah 10 tahun So So menikah dengan Coei San. Ia tahu suami itu tidak menyukai Peh bie
kauw, kumpulan agama yang dipimpin ayahnya. Dari itu, mengenai agamanya itu serta rumah
tangganya, tidak mau ia membicarakannya, sedang suaminyapun tidak pernah
menanyakannya. Maka itu, heran juga ia mendengar pertanyaan suaminya ini. Tapi ia
menjawab: "Mereka bertiga, pada duapuluh tahun yang sudah adalah penjahat-penjahat besar
yang telah malang melintang diwilayah barat daya. Pada suatu hari mereka kena dikepung
serombongan jago, sampai mereka tidak berdaya untuk melawan atau melolos kan diri.
Kebetulan ayahku lewat di situ dan melihatnya. Senang ayah melihat keberanian mereka yang
tidak sudi menyerah kalah. Maka ayah lantas mengulurkan tangan, menolong mereka.
Lantaran itu, mereka jadi sangat bersyukur dan mereka bersumpah bahwa seumurnya mereka
rela menjadi hamba-hamba ayah. Mereka membuang she dan nama mereka. Mereka memakai
nama yang sekarang: In Boe Hok, Boe Lok dan Boe Sioe. Sejak kecil aku berlaku baik
kepada mereka, tidak berani aku memandang rendah. Mereka tidak diperlakukan sebagai
bujang-bujang biasa. Ibu pernah memberitahukan aku, mengenai kepandaian mereka.
Walaupun ahli silat yang kenamaan belum tentu gampang-gampang dapat menandingi
mereka"
"Begitu!" kata Coei San yang terus menuturkan cerita Boe Kok tentang bertempuran dengan
ketiga piauwsoe itu, yang benderanya dirampas serta bagaimana ketiga piauwsoe itu
mengutungi lengannya sendiri.
Mendengar itu, In So So mengerutkan alis.
"Dengan berbuat begitu, mereka sebenarnya bermaksud baik," kata si isteri. "Aku tidak
menyangka bahwa kelakuan orang-orang yang menyebut diri dari kalangan sejati, mirip
dengan orang kaum sesat. Ngoko, urusan ini dapat menambah kepusingan untukmu. Ah, aku
tidak tahu bagaimana baiknya ini diatur....."
Ia berhenti sejenak, untuk kemudian menambahkan: "Biarlah nanti setelah Boe Kie dapat
dicari, kita balik lagi ke Peng Hwee to ...."
Belum lagi Coei San menanggapi kata-kata isterinya itu, diluar terdengar suara berisik dari In
Lie Heng yang berseru: "Ngoko, Mari lekas! Kau ambil pit besar. Lekas kau menulis lian dan
lain lainnya!" Kata-katanya itu lantas disusul dengan: "Ngo so, jangan kau menyesalkan aku
yang mengajak Ngo ko keluar! Siapa suruh dia dijuluki Ginkauw Tiat hoa?"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 336
Maka keluarlah Coei San, untuk selanjutnya lohor itu bekerja berenam, mengepalai saudarasaudaranya
menghias kuil mereka, terutama untuk memajang banyak lian pilihan Song Wan
Kiauw yang ditulis oleh Coei San. (peep: lian = ???)
Besoknya pagi-pagi, Wan Kiauw semua berdandan rapi dengan pakaian baru mereka. Disaat
mereka hendak memayang Jie Thay Giam, untuk diajak pergi keluar memberi selamat kepada
guru mereka, tiba-tiba datang satu tootong, yaitu kacung imam, yang membawa sehelai karcis
nama.
Song Wan Kiauw yang menyambuti, tetapi mata Thio Siong Kee yang liehay sudah lantas
membaca tulisan diatasnya, bunyinya: "Ho Thay Ciong yang muda dari Koen loen san beserta
sekalian muridnya memberi selamat kepada Thio Cinjin. Semoga panjang umur sebagai
gunung Selatan!" Maka heranlah ia dan lantas ia berkata: "Ketua dari Koen loen pay datang
sendiri memberi hormat kepada Soeho! Ia datang dari tempat jauh selaksa ialah suatu
pemberian muka terang yang tak kecil!"
Wan Kiau pun berkata: "Tetamu kita ini bukan tetamu sembarangan, harus kita minta Soe hoe
sendiri yang menyambutnya!" Maka ia lantas lari masuk guna memberitahukan gurunya.
"Ciangboenjin dari Koen loen pay Ini kabarnya belum pernah datang ke Tionggoan. Maka
luar biasa yang ia mendapat tahu hari ulang tahunku," berkata sang guru, yang lantas
memimpin keenam muridnya melakukan penyambutan.
Ho Thay Ciong mengenakan jubah kuning, romannya ramah dan agung, agaknya tepat ia
menjadi ketua sebuah partai persilatan. Ia diiringi deIapan muridnya antaranya terdapat See
hoa coe serta Wie Soe Nio.
Thio Sam Hong menyambut sambil menjura dan lantas menghaturkan terima kasihnya. Song
Wan Kiauw berenam memberi hormat sambil berlutut.
Ho Thay Ciong membalas hormatnya tuan rumah, sedang hormatnya Wan Kiauw beramai di
balas dengan setengah kehormatan. "Nama Boe tong Liok hiap tersohor sekali, maka itu
hormatmu itu tidak dapat aku menerimanya," katanya.
Tetamu itu lalu diundang keruang tengah, dimana ia dipersilahkan duduk dan disuguhkan teh.
Belum lama, satu tootong datang pula dengan selembar karcis nama. Ketika Wan Kiauw
menerimanya, ternyata itulah kartu nama dari rombongan Khong tong pay.
Didalam kalangan persilatan masa itu, Siauw lim pay yang namanya paling tersohor, Koen
loen pay dan Go bie pay yang kedua, baru Khong Tong pay. Maka itu, kedudukannya orang
Khong tong pay ini seimbang dengan Song Wan Kiauw. Akan tetapi Thio Sam Hong manis
budi, ia berbangkit seraya berkata kepada tetamunya: "Ada tetamu dari Khong tong pay,
hendak aku menyambutnya, dari itu minta sudilah Ho looyoe menanti sebentar."
Ho Thay Ciong mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya ia berkata: "Yang datang hanya
orang Khong tong pay, cukup kalau mereka disambut saja oleh seorang murid....."
Tidak lama muncullah Khong tong Ngo loo bersama muridnya. Ho Thay Ciong menemui
mereka itu tanpa berbangkit, ia melainkan membungkuk sambil berduduk.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 337
Tidak lama pula datanglah lain-lain tetamu, Seperti dari partai Sin koen boen, Hay see pay,
Kie keng pang, Boe san pay dan lainnya. Maka repotlah Wan Kiauw dan saudara-saudaranya.
Mereka ini bermaksud bersuka-ria bersama gurunya saja. Siapa tahu telah datang demikian
banyak tetamu.
Thio Sam Hong juga tidak gemar ramai-ramai. Ketika ia berulangtahun usia tujuhpuluh,
delapan puluh dan sembilan puluh, ia telah memesan murid muridnya untuk jangan
memberitahukan itu pada banyak orang. Maka ia tidak menyangka kali ini ia kedatangan
begitu banyak tetamu, sehingga tidaklah heran, kursipun sampai kekurangan hingga terpaksa
Wan Kiauw beramai menggunakan batu-batu bundar sebagai gantinya.
Semua ketua partai dapat duduk dikursi, tetapi murid murid mereka terpaksa duduk dibatu
bundar itu. Untuk minum teh juga, cawan kehabisan dan sebagai gantinya dipakai mangkok
nasi.
Selagi Thio Siong Kee dan Thio Coei San beara dikamar sebelah timur, sang kakak menanya
adik seperguruannya: "Ngo tee, apakah kau dapat melihat sesuatu?"
"Agaknya mereka telah berdamai Iebih dulu," berkata Coei San. "Lihatlah sikap mereka di
waktu mereka baru bertemu satu pada yang lain. Beberapa orang tampaknya heran tetapi
terang itulah berpura-pura belaka."
"Kau benar. Mereka ini bukannya bersungguh hati datang untuk memberi selamat kepada
Soehoe," kata Siong Kee kemudian.
"Memberi selamat hanya alasan. Yang benar mereka datang untuk menegur!" Kata Coei San.
"Bukan, bukan menegur." kita Siong Kee. "Perkara jiwa keluarga Liong boen Piauw kiok
tidak nanti dapat mengundang Ho Thay Ciong dari Koen loen pay."
"Habis apakah itu untuk urusannya Kim mo Say ong Cia Soen ?" tanya Coei San.
Siong Kee tertawa dingin.
"Hmm! Mereka memandang terlalu enteng pada Boe tong pay!" katanya. "Walauputn mereka
mengandalkan jumlah yang banyak untuk memperoleh kemenangan, apakah mereka
menyangka murid-murid Boe tong pay dapat menjual sahabatnya? Ngo tee, meski Cia Soen
itu jahat tak berampun, tidak nanti saudaramu membuka mulut untuk memberitahukan hal
dia."
"Sieko benar. Sekarang bagaimana kita harus bertindak ?"
Siong Kee berdiam untuk berpikir. "Sekarang ini kita berhati-hati saja," sahutnya. "Cukup
asal kita bersatu padu, Boe tong Cit hiap sudah kenyang menghadapi badai dan gelombang
dahsyat, dari itu mana kita jeri terhadap mereka ini?"
Siong Kee tetap menyebut Boe tong Cit hiap, tujuh jago dari Boe tong pay, walaupun Jie
Thay Giam telah bercacad. Ia tidak ingin gurunya sampai turun tangan, terutama sebab guru
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 338
itu lagi merayakan ulang tahunnya yang keseratus. la menghibur saudaranya itu meski ia
merasa urusan sulit sekali.
Selanjutnya, Wan Kiauw bertiga Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang melayani tetamu-tetamu
di toathia, ruang besar. Mereka merasa semakin pasti bahwa sikap sekalian tetamu itu luar
biasa.
Selagi orang berbicara, kembali ada kacung yang masuk dengan wartanya: 'Murid kepala dari
Go bie pay, Ceng hian Soe thay, datang bersama lima Soetee dan Soemaynya untuk memberi
selamat kepada Soe couw !"
Mendengar warta itu, Wan Kiauw dan Lian Cioe bersenyum. Keduanya memandang Lie
Heng. Justeru itu Boh Seng Kok pun tampak masuk bersama sembilan tetamunya yang baru
tiba, sedang Thio Siong Kee dan Thio Coei San baru muncul dari dalam. Mereka ini juga
mendengar warta itu, mereka turut memandang Lie Heng sambil bersenyum.
Saudara she In ini menjadi merah mukanya, likat sikapnya. Tapi tanpa memperhatikan itu,
Coei-San menarik tangannya Soe tee itu, untuk diajak keluar sambil tertawa, ia kata: "Mari,
mari... Mari kita menyambut tetamu!"
Diluar terlihat Ceng hian Soe Thay tengah menanti bersama lima adik seperguruannnya.
Bhiksuni itu berusia empatpuluh lebih, tubuhnya tinggi dan besar, romannya gagah. Ia
seorang wanita, tetapi tubuhnya lebih tinggi daripada kebanyakan pria. Dari lima saudara
seperguruannya, satu adalah seorang pria kurus, usia tigapuluh tahun, dua yang wanita, satu
antaranya yalah Ceng hie Soe thay, yang Coei San pernah ketemukan didalam perahu
ditengah laut. Dua wanita lainnya, yang satu yalah nona umur kurang lebih duapuluh tahun,
yang mulutnya senantiasa tersungging senyuman, dan yang lainnya berkulit halus, tubuhnya
jangkung, romannya cantik. Dia ini, terus menunduk kan kepala dan tangannya selalu
membuat main ujung bajunya. Sebab ialah Nona Kie yang menjadi tunangannya In Lie Heng.
Bersama Lie Heng, Coei San menyambut tetamu dari Go bie san yang mereka pimpin masuk
ke dalam. Selama itu, Lie Heng tidak berani mengawasi Siauw Hoe, tunangannya. Hanya
setibanya dipaseban, selagi yang lainnya sudah berada disebelah depan, baru ia berpaling,
justeru si nona pun melirik kearahnya. Dengan begitu bentroklah sinar mata mereka.
Adik seperguruan Siauw Hoe melihat langak soe cienya ini, dia berdehem, sehingga kedua
muda mudi itu menjadi kemalu-maluan, keduanya lantas berpaling kelain arah. Soemoay itu
tertawa geli dan berkata: "Soecie, lihat, In Soeko lebih pemaluan dari padamu!"
Hati Siong Kee lega juga karena datangnya rombongan Go Bie pay. Ia percaya, kalau sampai
terjadi sesuatu, Ceng hian Soe thay tentu bakal membantu pihaknya, mengingat Nona Kie
tunangannya Lie Heng.
Sedang tetamu datang begitu banyak, pihak Giok hie koan tidak bersiap siaga. Mana bisa di
adakan perjamuan besar? Maka juga pihak imam ini hanya bisa menyuguhkan masing-masing
tetamu semangkok nasi putih campur sayur tauwhoe dan kwacay.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 339
Wan Kiauw berulang ulang minta maaf karena dia tidak dapat menjamu semua tetamunya
lebih dari pada itu. Sebaliknya kawanan tetamu itu sembari dahar mereka saban-saban
memandang ke arah luar seperti juga mereka lagi menantikan orang.
Diam diam Song Wan Kiauw dan saudara saudaranya memperhatikan gerak gerik mereka.
Semua ciang boen jin atau Pangcoe tidak ada yang membekal senjara, tetapi banyak murid
mereka membawa senjata. Hanya murid-murid Go bie pay, Koen loan pay dan Khong tong
pay yang bertangan kosong.
Boe tong pay belum lama didirikan, di kaki gunung belum dipasang "Kay Kiam Giam", yaitu
batu tanda untuk meletakkan pedang. Dengan "pedang" diartikan pelbagai macam senjata
tajam. Karena itu, meskipun ada yang membawa pedang naik kegunung dan termasuk
perbuatan kurang pantas, sekalian tetamu itu tidak dapat dilarang kedatangannya. Tuan rumah
sendiripun tidak dapat menegur. Cuma di dalam hati merasa tidak puas. Kata Wan Kiauw
didalam hatinya: "Kalian datang untuk memberi selamat pada guruku, mengapa kalian diamdiam
membekal senjata?"
Ada lagi yang tidak memuaskan pihak Boe tong pay, yang membikin terlebih nyata bahwa
tetamu-tetamu itu mengandung sesuatu maksud. Pelbagai bingkisan yang dibawa oleh
mereka, mieshoa dan lainnya, semua barang pembelian sambil lalu disusun di kaki gunung
Boe tong san, semua dibeli secara kesusu. Bingkisan semacam itu tidak saja tidak tepat untuk
Thio Sam Hong, juga tidak sesuai dengan derajatnya pelbagai tetamu golongan ketua itu.
Melainkan bingkisan Go bie pay yang tepat, ialah enam belas perabot kumala berikut
sepotong jubah warna merah yang sekalian disulamkan seratus huruf "Sioe" (umur) pelbagai
model.
Thio Sam Hong girang sekali. Ia mengucapkan terima kasih. Ia memuji kepandaian
menyulam itu. Murid murid Go bie pay bukan hanya pandai silat, katanya.
Selagi gurunya itu berkata kata, Siong Kee terus berpikir: "Entah semua orang ini masih
menantikan siapa lagi.... Soehoe tidak gemar akan keramaian. Maka juga sahabat-sahabat Boe
tong pay tidak ada yang diundang. Kalau tidak, tidaklah kita menjadi mencil semacam ini
hingga kita tidak mempunyai bala bantuan....."
Thio Sam Hong biasa merantau. Tujuh murid nya juga banyak perbuatan baiknya. Jikalau
melepas undangan mendatanglah banyak sahabat yang liehay.
Jie Lian Cioe, yang berpikir seperti Siong Kee, berbisik pada adik seperguruannya itu: "Kita
sudah pikir sehabis ulang tahun Soehoe, akan melepas undangan guna rapat orang gagah di
Lauw teng Hong ho lauw, siapa tahu karena kita berayal, sekarang kita mengalami kegagalan
ini."
Ia bermaksud didalam rapat itu memberi ketika kepada Thio Coei San untuk menjelaskan,
bahwa Coei San tidak menjual sahabat agar dia bebas, atau kalau ada yang mendesaknya,
pihaknya mungkin memperoleh simpati dan bantuan dari banyak hadirin lainnya. Diluar
dugaan, pihak "musuh" telah mendahului, sekarang mereka meluruk datang.
"Sekarang kita cuma dapat berkelahi mati-matian," berbisik Siong Kee kemudian.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 340
Diantara Boe tong Cit hiap, Siong Kee yang paling pandai berpikir. Setiap ada kesulitan,
saban-saban ialah yang memperoleh pikiran baik. Maka itu, mendengar suaranya Soetee ini,
Jie Lian Cioe kata didalam hatinya: "Sampaipun Soetee tidak berdaya, rupanya enam murid
Boe tong pay harus mengucurkan darahnya diatas gunungnya ini."
Coba orang berkelahi satu demi satu, hanya Thie khiem Siang seng Ho Thay Ciong yang
dapat menandingi Boe tong Liok hiap. Tetapi orang pasti akan mengepung, itu artinya bukan
satu lawan duapuluh tetapi satu lawan empatpuluh.
Siong Kee menarik ujung baju Lian Cioe untuk diajak kebelakang ruang. Ia kata pada
kakaknya yang nomor dua itu: "Kalau sebentar pembicaraan memuncak kesuasana buruk, kita
mesti menantang satu lawan satu. Syukur kalau siasat kita ini kesampaian. Kalau tidak, terang
mereka bakal main keroyok ...." Lian Cioe mengangguk.
"Dalam kesulitan ini, paling perlu kita menolong Shatee," katanya. "Kita mesti jaga hingga ia
tidak terjatuh kedalam tangan musuh, supaya ia tidak menderita pula, baik bathin maupun
lahir. Tugas ini aku serahkan padamu. Ngo teehoe telah sembuh tetapi ia belum pulih benar
kesehatannya, maka itu kau mintalah Ngotee yang melindunginya. Untuk menyambut,
tugasnya terjatuh padaku dan Toako berempat."
Siong Kee mengangguk. "baik," katanya. Ia berdiam sejenak, lantas ia berkata pula:
"Mungkin ada jalan untuk kita lolos dari bahaya..."
"Apakah itu, Soetee? Biar kita mesti menerjang bahaya dulu, tidak apa."
"Aku memikir untuk menggunakan siasat, ialah kita berenam masing-masing meyerbu satu
lawan" Siang Kee mengutarakan pikirannya. "Didalam satu jurus, kita mesti berhasil
membekuk musuh itu agar musuh lainnya menjadi jeri dan tidak berani mendesak kita..."
Lian Cioe ragu ragu: " Yang lainnya tetntulah bakalan mengepung kita. Juga umpamanya kita
berhasil, masih ...."
"Dalam saat berbahaya begini, jangan pikir banyak banyak," kata Siong Kee. "Kita gunakan
saja jurus cengkeraman naga Liong jiauw Ciat hoe cioe!"
"Hari ini hari ulang tahun Soehoe," kata Lian Cioe, "artinya hari ini hari baik. Apakah tidak
terlalu telengas untuk menggunakan jurus itu?"
Jago Boe tong yang nomor dua itu bersangsi oleh kerena ia mengenal baik jurusnya itu,
semacam jurus Kim na Coei hoat atau menangkap tangan sedang Liong jiauw Ciat hoat cioe
itu berarti "kuku naga memutuskan." Itulah jurus paling lihay dalam Boe tong pay. Ketika
Lian Cioe berhasil dengan jurus itu, ia masih kurang puas. Sebahnya ialah kalau musuh lihay,
masih dapat meloloskan tangannya dari tangkapan, maka dengan kecerdikannya, ia
mengolahnya. Dan ia berhasil menambah itu, menciptakan duabelas jurus hubungannya.
Dalam memilih murid, Thio Sam Hong memperhatikan juga kecerdasan setiap murid. Maka
itu murid-muridnya dapat menggunakan otak mereka, dimana perlu mereka bisa mengubah
ilmu silat yang diajarkan gurunya untuk disempurnakan. Ketika Lian Cioe berhasil dengan
ciptaannya, ia menjalankan itu didepan gurunya. Sang guru cuma mengangguk, tidak
mengiakan juga tidak menolak. Melihat sikap guru itu Lima Cioe tahu rupanya masih ada
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 341
cacad dalam ciptaannya itu, ia lantas meyakinkan terus. Selang beberapa bulan, kembali ia
mempertunjukkannya didepan gurunya. Kali ini Thio Sam Hong menghela napas dan
berkata:"Lian Cioe, ciptaanmu ini jauh lebih lihay dari pada jurus yang aku ajarkan, hanya
sambaranmu pata pinggang tidak peduli siapa yang menjadi korban, dia bakal terluka didalam
hingga putus daya turunannya. Apakah kau menganggap ajaranku, yaitu ilmu silat sejati
masih kurang, hingga kau menghendaki jurus yang membikin, hanya dengan satu serangan,
lawan lantas tidak berkutik pula?"
Mendengar perunturan itu. Lian Coe mengeluaran keringat dingin, ia bergidik seorang diri.
Seberapa hari selewat itu, Thio Sam Hong mengumpulkan ketujuh muridnya dan bicara
kepada mereka tentang ciptaan Lian Cioe itu, kemudian dia menambahkan: "Ciptaan Lian
Cioe yang menjadi duabelas jurus berkat ketekunannya adalah suatu ilmu pukulan yang
istimewa. Kalau ilmu itu dibuang karena kata-kataku satu orang, itulah sayang, maka itu
kamu pergilah belajar pada Lian Cioe, untuk mempelajari itu, supaya masing-masing bisa
menggunakannya. Aku melainkan hendak memesan, kecuali kalau bertemu saat mati hidup,
janganlah itu sembarang dipakai. Sekarang di bawah nama Liong Jiauw itu, aku
menambahkan dua huruf 'Ciat hoe', yang berarti 'menutup pintu'. Ingatlah kamu, akibatnya
serangan pukulan ini dapat membuat musuh putus turunannya, jadi inilah jurus yang
mematikan!"
Semua murid itu menerima baik pesanan guru mereka. Maka yang enam lantas belajar pada
Lian Cioe. Mereka telah meyakinkan ilmu itu, tetapi mereka belum pernah menggunakannya,
sebab mereka taat kepada pesan guru mereka. Adalah sekarang ini, karena keadaan sangat
berbahaya, Siong Kee mengajukan pikirannya itu yang membuat si orang she Jie ragu-ragu.
"Memang dengan terkena serangan kita, lawan bakal putus turunannya," kata Siong Kee
kemudian. "tetapi kita masih mempunyai jalan lain. Ialah kita mencari lawan dalam dirinya
seorang pendeta imam, atau kalau tidak, kita hajar lawan-lawan yang usianya sudah tujuh atau
delapanpuluh tahun.
Mendengar itu, Lian Cioe tertawa. "Sungguh cerdik kau, Soetee!" Ia memuji. "Memang
pendeta atau imam tidak bakal mempunyai anak!"
Sampai disitu, mereka sudah mencapai persetujuan, maka keduanya lantas mencari empat
saudara yang lainnya, untuk mengisik, supaya mereka masing-masing menghadapi satu lawan
yang tangguh atau kenamaan. Tanda untuk turun tangan, ialah kalau Thio Siong Kee sudah
berseru.
Jie Lian Cioe sendiri sudah lantas memilih bakal mangsanya yaitu anggauta paling tua dari
Khong tong Ngo too, sedang Thio Coei San mengincar See hoa coe dari Koen loen pay.
Habis orang bersantap, semua mangkuk, sumpit dan cawan lantas dibenahkan. Setelah itu
Thio Siong Kee, dengan suaranya yang terang dan lancar, lalu berpidato. Dia kata:
'"Cianpwee serta para sahabat! Hari ini hari peringatan ulang tahun guru kami memasuki usia
seratus tahun. Atas kunjungan Cianpwee dan sahabat sekalian, kami sangat bersyukur, hanya
kami mohon dimaafkan untuk pelayanan yang tidak sempurna ini. Sebenarnya guru kami
hendak mengundang para Cianpwee dan sahabat untuk pertemuan di Hong ho lauw, untuk
minum bersama hingga puas, dari itu pelayanan bari ini biarlah diperbaiki kelak, dikemudian
hari."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 342
"Hari inipun saudara seperguruan kami, Thio Coei San, baru saja kembali dari perjalanan jauh
yang memakan waktu sepuluh tahun. Dia belum sempat menuturkan kepada guru kami
tentang parjalanan dan pengalamannya itu. Inilah di sebabkan pesta ulang tahun guru kami
ini. Maka itu, kalau umpama dalam suasana begini kita berbicarakan tentang budi atau
permusuhan kaum Rimba Persilatan, itulah tidak dapat, itulah juga alamat tidak bagus."
"Dengan begitu maksud para Cianpwee dan sahabat datang memberi selamat lantas dengan
sendirinya berubah menjadi hal yang tidak-tidak. Maksud baik itu berubah menjadi masud
buruk. Oleh karena itu, tuan-tuan, setelah tuan tuan datang ke Boe tong pai, mari aku yang
rendah mengundang tuan-tuan melihat-lihat gunung ini bagian depan dan belakangnya."
Hebat siasatnya Siong Kee. Pertama-tama ia telah lantas menyumbat mulut orang. Dengan itu
ia mau mengatakan, orang pastilah bermaksud bermusuh jika hendak membicarakan urusan
Cia Soen dan Liong boen Piauw kiok. Sebab hari itu, hari pesta ulang tahun, adalah hari baik.
Sekalian tetamu itu mendaki gunung Boe tong san untuk bicara, untuk mendesak menanyakan
dimana adanya Kim mo Say ong Cia Soen. Tapi nama Boe tong pay angker sekali. Tidak ada
yang berani memulai. Siapa yang mengajukan diri, berarti dialah yang mengundang
permusuhan. Sebaliknya, untuk segera menyerang sendiri juga tidak ada yang berani
memulai. Itupun berarti, siapa maju paling dulu, ada harapan dialah yang celaka paling dulu
juga. Maka itu tidak ada yang mau menjadi musuh Boe tong pay serta tidak sudi juga menjadi
korban pertama. Mereka itu saling mengawasi satu pada yang lain.
Dengan sendirinya suasana menjadi tegang tidak keruan junterungannya.
Akibatnya See hoa coe dari Koen loen pay berbangkit untuk bicara. Ia bukannya menerima
undangan Siong Kee, hanya berkata nyaring: "Thio Sie hiap, tidak usah kau mengatakan
sesuatu yang artinya lain. Kita terang-terang tidak melakukan apa apa yang gelap. Kita mau
bicara dengan mementang jendela lebar-lebar! Kali ini kami datang kemari dengan maksud,
pertama tama yalah untuk memberi selamat kepada Thio Cinjin. Yang kedua yaitu guna
mencari tahu tentang dimana beradanya Cia Soen sekarang ini."
Boh Seng Kok sudah lama sekali menahan hatinya. Mendengar perkataannya Sea hoa coe, ia
tidak dapat pula menguasai dirinya.
"Bagus! Kiranya begitu!" katanya dengan tertawa dingin. "Tidak heran ! Tidak heran."
See hoa coe mendelik. "Apa yang tidak heran ?" tanyanya bengis.
Dengan nyaring Seng Kok berkata: "Tidak heran sebab mulanya aku menyangka tuan-tuan
datang kemari untuk memberi selamat kepada guru. Tetapi ditubuh kamu masing-matsng
disembunyikan senjata tajam. Mulanya aku heran sekali, di dalam hatiku aku bertanya tanya
apakah tuan-tuan hendak menghadiahkan senjata tajam kepada guruku? Sekarang barulah
terang duduknya hal! Kiranya bingkisan ini bingkisan macam begini!"
See hoa coe menjadi mendongkol sekali. Ia menepuk-nepuk tubuhnya, terus ia meloloskan
jubahnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 343
"Bok Cit hiap lihatlah biar terang!" ia berseru. "Kau masih muda sekall, jangan kau
menyembur orang dengan darah! Lihatlah tubuhku ini! Siapakah yang menyembunyikan
senjata tajam?"
"Bagus! Memang tidak ada!" berkata Seng Kok dengan tertawa. Dengan sebat, dengan jari
tangannya ia sodok dua orang yang berada disamping, Ketika ia menarik, putuslah tali baju
dua orang itu, karena mana dengan menerbitkan suara nyaring berisik jatuhlah dua batang
golok pendek yang berkilauan. Mereka benar telah menyembunyikan senjata disebelah dalam
bajunya itu.
Menyaksikan itu, banyak hadirin yang air mukanya menjadi berubah.
"Benar!" See hoa coe berseru. Sekarang ini ia tidak main pernik lagi. "Thio Ngo hiap jikalau
kau tidak menunjukkan kami dimana adanya Cia Soen, maka entah kita bakal menggerakkan
golok atau pedang!"
Thio Siong Kee tengah menantikan ketika untuk mengasi dengar seruan. Ia melihat ketikanya
itu telah sampai. Hanya disaat itu hendak membuka mulutnya, tiba-tiba terdengar suara pujian
"Omie too hoed!" yang datangnya dari arah luar pintu. Suara itu tegas sekali dan halus
nadanya masuk ketelinga orang. Suara itu datang dari tempat jauh akan tetapi seperti dari
sampingnya setiap orang.
Thio Sam Hong yang semenjak tadi berdiam saja lantas berkata: "Kiranya Kong tie Siansoe
dari Siauw Lim pay datang! Lekas sambut!"
Ketika itu dipintu luar lantas terdengar pula suara: "Hong thio Kong boen dari Siauw lim sie
dengan mengajak soeteenya, Kong tie dan Kong seng serta murid muridnya memujikan agar
Thio Cinjin panjang umur!"
Kong boen bersama Kong tie dan Kong-seng adalah tiga diantara pendeta-pendeta kenamaan
dari Siauw lim-sie. Oleh karena saudara mereka yang tertua, Kong-Kian, telah berpulang ke
Tanah Barat (meninggal) sekarang tinggal mereka saja. Karena kedatangan mereka yang tiba
tiba itu batal lah Siong Kee berseru. Pula lantas ia mengerti, dengan datangnya ketiga pendeta
Siauw lim-sie ini, gagallah rencananya untuk menyengap lawan.
Ho Thay Ciong dari Koen loen pay sudah lantas menyambut dengan berkata: "Sudah lama
aku mendengar nama besar dari keempat pendeta berilmu dari Siauw lim-sie. Sekarang kita
dapat bertemu di sini, aku merasa beruntung sekali. Dengan begini berarti juga tidaklah sia sia
belaka kedatanganku kemari!"
Dari luar lantas terdengar satu suara dalam, suatu tanda bahwa yang mengeluarkannya yalah
seorang yang usianya telah lanjut. Katanya: "Tuan tentunya Ho Sianseng yang menjadi
Ciangboenjin dari Koen-loen-pay. Maka aku berbahagia sekali dengan pertemuan ini. Thio
Cinjin, aku sipendeta tua telah datang terlambat untuk memberi selamat padamu, itulah
perbuatan kurang hormat, maaf !"
Atas itu Thio Sam Hong berkata, dengan merendah: "Hari ini di Boe tong san telah
berkumpul hanyak tetamu tetamu ku yang mulia. Aku girang sekali! Aku si imam hanya
berhasil hidup sampai umur seratus tahun. Bagaimana aku berani membuat Soehoe yang
agung datang kemari.... "
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 344
Sembari berkata begitu, ia mengajak murid muridnya pergi kepintu untuk menyambut tetamu
tetamunya yang dipandang suci itu dan dihormati nya.
Kedatangan rombongan Siauw-lim pay ini luar biasa. Pihak mereka dengan pihak Boe tongpay
tuan rumah, bicara dari jarak yang jauh. Kedua pihak sudah menggunakan suara dari
tenaga dalam. Mereka masih terpisah jauh tetapi mereka bagaikan lagi bicara berhadapan.
Ceng hian Soethay dari Go bie pay kalah mahir tenaga dalamnya. Dia tidak berani campur
bicara. Yang lain-lain terlebih pula sampai hati mereka ciut dan malu sendirinya.
Ketika Thio Sam Hong dan murid-muridnya muncul diluar, rombongan Siauw-lim-pay, yang
jalannya perlahan, baru sampai didepan pintu. Ketiga pendeta tua itu datang bersama
sembilan murid mereka yang telah memasuki usia pertengahan.
Kong-boen Taysoe beralis putih yang panjang sampai turun kematanya, hingga dia mirip
dengan Tiang-bie Loo-han, arhat yang alisnya panjang. Kong-seng bertubuh besar dan
romannya gagah. Adalah Kong-tie yang beroman meringis dan mulutnya monyong kebawah.
Melihat romannya Kong-tie ini, Siong Kee heran, hingga dia berpikir; "Aku dapat melihat
wajah orang, siapa beroman seperti pendeta ini, kalau dia bukan umurnya pendek, pasti dia
mati celaka, maka heran, kenapa dia dapat berumur panjang dan dihormati banyak orang?
Mungkinkah ilmu khoamia dari aku masih sangat terbatas?"
Thio Sam Hong dan Kong-boen semua adalah guru-guru silat ternama dan asalnya satu
golongan. Akan tetapi mereka belum pernah mengenal satu dengan lain. Didalam hal umur,
Sam Hong lebih tua kira-kira tiga atau empat puluh tahun. Ia berasal dari Siauw lim sie,
karena gurunya yalah Kak wan Taysoe. Ia berderajat atau bertingkat dua lipat lebih tinggi
daripada Kong boen bertiga. Hanya ia tidak menjadi pendeta dan masuknya menjadi murid
Siauw lim sie pun tanpa upacara resmi. Ia cuma murid perseorangan dari Kak wan. Karena
ini, pertemuan dengan Kong boen bertiga dilakukan sebagai orang-orang dari sesama derajat
dan tingkat. Karenanya, Wan Kiauw dan saudara saudaranya menjadi berada ditingkat sebelah
bawah tetamu-tetamu itu.
Setelah kedua pihak saling memberi hormat, Sam Hong mengundang sekalian tetamunya ke
dalam dimana mereka itu bertenau dengan Ho Thay Ciong dan Ceng hian Soethay sekalian.
Kong boen halus gerak geriknya. Ia memberi hormat sekalipun terhadap anak-anak muda.
Habis minum teh, Kong boen berkata: "Thio Cinjin, menurut usia dan tingkat loolap adlah
pihak yang lebih muda. Akan tetapi mengingat kedudukan Boe tong dan Siauw lim sederajat,
dan loolap justeru menjadi Ciangboenjin dan Siauw lim pay, harap kau mengijinkan loolap
bicara terus terang dan sukalah loolap diberi maaf."
Thio Sam Hong dapat menduga maksud orang. Karena ia memang jujur, ia lantas berkata
"Sam wie yang suci, apakah kedatangan Sam wie ini untuk Thio Coei San, muridku yang
nomor lima?"
" Benar", menjawab Kong boen. "Ada urusan yang hendak didamaikan dengan Thio Ngo
hiap"
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 345
"Pertama yaitu halnya Thio Ngo hiap sudah membinasakan tujuh puluh dua jiwa keluanga
Liong boen Piauwkiok serta enam jiwa murid Siauw lim sie. Bagaimana harus diputuskan
mengenai tujuh puluh delapan jiwa itu? Yang kedua yaitu mengenai Soeheng kami, Kong
kian Taysoe. Ialah seorang yang pemurah dan bijaksana, seumurnya belum pernah ia ribut
dengan siapapun juga tetapi ia telah dicelakai Kim mo Say ong Cia Soen hingga ia mati
secara sangat menyedihkan. Kami mendengar Thio Ngo-hiap mengetahui dimana beradanya
Cia Soen itu, maka kami mohon sukalah Ngo hiap memberikan petunjuknya. Pasti kami dari
Siauw lim sie akan mengingat budi itu."
Mendengar itu, Thio Coei San lantas berbangkit tanpa menanti gurunya bicara. Ia berkata
tegas: "Kong-boen Taysoe, tujuh puluh delapan jiwa keluanga Liong boen Piauwkiok dan
pendeta Siauw lim sie yang dimaksudkan itu bukannya dibunuh olehku. Seumur hidupku,
Coei San telah menerima budi dan ajaran guruku yang berbudi luhur. Walau pun aku bodoh,
tidak berani aku mendusta. Hanya halnya siapa siapa yang telah menyebabkan lenyapnya
tujuh puluh delapan jiwa itu, dapat aku terangkan bahwa aku mengetahui orangnya. Cumalah
tidak ingin aku memberitahukannya. Inilah jawabanku untuk urusan yang pertama itu.
Mengenai urusan yang kedua, kematiannya Kong kian Taysoe, siapapun di kolong langit ini
tidak ada yang tidak merasa berduka akan tetapi Cia Soen itu yalah sahabat dan saudara
angkatku, maka hal dimana beradanya dia sekarang, meski aku ketahui, tak dapat aku
menerangkan. Kita kaum Rimba Persilatan, kita paling mengutamakan kehormatan. Dari itu
aku Thio Coei San, leherku boleh kutung dan darahku boleh muncrat, tetapi alamatnya kakat
angkatku itu tidak bisa aku menerangkannya. Urusanku ini tidak ada sangkut pautnya dengan
guruku yang berbudi luhur, juga tidak ada hubungannya sama sekalian saudaraku
sepenguruan. Jadi semua itu aku yang bertanggung jawab sendiri. Terserah kepada Taysoe
bila hendak membinasakan aku, silahkan turun tangan! Aku si orang she Thio, seumurku aku
belum pernah aku melakukan sesuatu yang dapat membikin malu guruku, juga belum pernah
aku lancang membunuh seorang baik-baik. Jikalau tuan-tuan hendak memaksa aku melakukan
perbuatan tidak terhormat, bagianku yalah mati, lain tidak!"
Coei San bicara dengan bersemangat sekali hingga Kong boen memuji: "Omie toohoed!" dan
berpikir: "Mendengar suaranya, ia tidak mendusta. Bagaimana sekarang"
Justeru ruang sunyi, dari luar jendela terdengar suara bocah memanggil. "Ayah!"
Coei Sin terkejut. Ia mengenali suara anaknya.
"Boe Kie, kau pulang!" serunya. Dan ia berlompat untuk lari keluar.
Dua orang masing-masing dari Boe san pay dan Sin koen boen yang berdiri dimuka pintu,
menduga orang hendak melarikan diri. Sambil membentak "Kau hendak lari ke mana?"
mereka mengulur tangannya, mencekuk.
Coei San keras memikirkan anaknya. Ia mementang kedua tangannya, maka dua perintang itu
lantas terpental ke samping kiri dan kanan dan roboh tenguling. Ketika ia telah melompat
keluar jendela, di situ ia tidak melihat suatu apa.
"Boe Kie!! Boe Kie!" ia terus memanggil berulang ulang kali.
Tidak ada penyahutan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 346
Dari dalam memburu belasan orang. Apabila mereka mendapatkan orang bukannya lari,
merera berdiri diam mengawasi saja.
"Boe Kie ! Boe Kie !" Coei San memanggil manggil lagi.
Tetapi ia tidak memperoleh jawaban, sebaliknya, sejenak kemudian, disitu muncul In So So.
Isteri itu baru sembuh dan berada diruangan dalam ketika ia mendengar suaminya memanggil
manggil anak mereka.
"Boe Kie pulang?" tanya isteri ini kegirangan.
"Barusan aku seperti mendengar suaranya. Ketika aku memburu keluar, aku tidak
melihatnya." sahut sang suami.
So So kecele.
"Mungkin disebabkan kau terlalu memikirannya, barusan kau salah mendengar." katanya
perlahan,
Coei San berdiam, lalu ia menggelengkan kepana nya dengan keras.
"Terang aku mendengarnya," katanya. "Pergilah kau masuk!"
Coei San kuatir isterinya bertemu sama sekalian tetamu dan nanti ada ekornya. Seberlalunya
isteri itu, ia kembali ke dalam, terus ia memberi hormat pada Koen boen seraya meminta maaf
untuk kepergiannya barusan tanpa perkenan lagi.
"Siancay, siancay!" Kong tie memuji, "Thio Ngohiap demikian menyayang anak. Kau sampai
seperti lupa ingatan. Maka itu. begitu banyak jiwa yang dicelakai Cia Soen, apakah mereka itu
tidak mempunyai ayah atau ibu, isteri atau anak ?"
Pendeta itu bertubuh kecil dan kurus akan tetapi suaranya nyaring bagaikan genta, menderu
ditelinga para hadirin. Coei San lagi kalut pikirannya, ia tidak memberikan penyahutannya.
Kong boen mengawasi kedua soeteenya, Kong tie dan Kong sang mengangguk. Maka ia
lantas menghadapi tuan rumah dan berkata: "Thio Cinjin, bagaimana urusan ini hendak
diputuskan, kami memohon petunjuk Cinjin saja."
"Muridku tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Walaupun demikian tidaklah nanti dia
berani memperdayai gurunya," berkata Sam Hong. "Maka itu, aku percaya tidak nanti dia
berani mendustakan samwie. Seperti dia katakan, jiwanya orang-orang Liong boen Piauwkiok
serta murid-muridmu itu bukanlah dia yang membunuhnya. Sedang tentang tempat
kediamannya Cia Soen sudah terang dia tidak hendak memberitahukannya."
Kong tie tertawa dingin.
"Tetapi ada orang yang melihat dengan matanya sendiri Thio Ngo hiap membunuh murid
murid kami itu!" katanya mengejek. "Mustahilah murid-murid Boe tong pay tidak dapat
mendusta tetapi murid Siauw lim pay dapat."
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 347
Dia lantas mengibas dengan tangan kirinya dan dua pendeta usia pertengahan dibelakangnya
lantas maju kedepan
Dibelakang dua pendeta ini mengintil seorang pendeta lain tetapi sebab ia bertubuh kecil dan
kate tubuhnya itu teraling dan tidak segera terlihat. Tiga-tiga mereka picak mata kanannya.
Mereka bukan lain daripada Goan sim, Goan im dan Goan hiap, ketiga pendeta Siauw lim pay
yang ditepi telaga di Lim an telah terhajar jarum emasnya in So So.
Coei San telah melihat mereka itu dan mengenalinya. Ia menduga pasti mereka bakal
dijadikan saksi untuk peristiwa ditepi telaga Seeouw itu. Sekarang dugaannya itu jitu. Ia tidak
takut. Ialah bukan si pembunuh, si pembunuh adalah So So yang telah menjadi isterinya.
Bagaimana ia bisa tidak melindungi isterinya itu? Hanya, bagaimana ia harus melindunginya
?
Diantara tiga pendeta itu yang bernama berhuruf 'Goan', Goan im yang tabiatnya paling keras.
Sebenarnya menurut adatnya, begitu bertemu Coei San, ingin ia menerjang. Tetapi karena ada
gurunya, ia menahan sewot. Sekarang setelah gurunya memanggil, ia lantas muncul untuk
terus berkata: "Thio Coei San, ditepi telaga See ouw di Lim an, kau telah menerjang Hoei
bong dengan jarummu. Jarum mana masuk dari mulut, mengambil jiwanya! Aku melihat itu
dengan mataku sendiri! Apakah aku memfitaah kau? Dan mata kanan kamipun disarang
jarum beracun itu. Apakah kau masih hendak menyangkal?"
Didalam keadaan seperti itu, Coei San mesti menyangkal terus. Ia kata: "Kami dari kaum Boe
tong pay, benar kami mempelajari senjata rahasia dan jumlah macamnya bukan sedikit. Akan
tetapi semua itu sebangsa piauw dan panah tangan! Kami bertujuh sudah lama sering
merantau, cobalah tanya, apa pernah ada yang melihat kami menggunakan jarum, baik jarum
emas maupun jarum perak? Maka tentang jarum beracun tak usah disebut-sebut lagi!"
Dunia Rimba Persilatan memang tahu golongan Boe tong pay golongan lurus, maka itu
banyak yang tidak percaya bahwa Thio Coei San menggunai jarum jahat seperti itu. Tidak
demikian dengan Goan im yang menjadi sangat gusar.
"Apakah kau tetap menyangkal"" dia membentak: "Bersama-sama soetee Goan giap aku
melihat sendiri kau menyerang Hoei hong dengan jarum. Jikalau itu bukannya kau, habis
siapakah?"
"Aku tahu siapa dia, tetapi aku tidak hendak memberitahukan kepada kamu!" menyahut Coei
San. "Apakah kau kira murid-murid Boe tong pay dapat kau main paksa "
Coei San pandai bicara. Ia membuatnya darah Goan im meluap. Maka itu, adu mulut mereka
berkesudahan dari unggul si pendeta jatuh dibawah angin.
"Goan im Soeheng," Thio Siong Kee turut bicara," tentang siapa sebenarnya yang
membinasakan murid-murid Siauw lim itu, untuk sekarang ini sulit buat dibikin terang. Akan
tetapi Soe heng kami, Jie Thay Giam, terang sudah telah dilakukan dengan Kim kong cie dari
Siauw Lim pay! Maka itu kebetulan sekali kunjungan tuan tuan semua, sekarang aku mohon
menanya, sebenarnya siapakah yang telah melukai Sam soe heng kami itu?"
"Itulah bukan aku," Goan sim menyangkal cepat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 348
"Aku juga tahu bukannya kau!" kata Siong Kee tertawa dingin. "Aku juga tidak percaya kau
mampu meyakinkan ilmu itu!"
Ia berdiam sejenak, lalu melanjuti: "Jikalau Soeheng kami itu bertubuh sehat dan ia bertempur
dengan orang partaimu yang kosen secara laki-laki, kalau ia sampai dilukakan dengan Kim
kong cie, harus disesalkan saja kepandaiannya belum sempurna. Kalau pertempuran sampai
terjadi orang terluka atau binasa apa mau dibilang lagi? Orang toh tidak biasanya membuat
perjanjian sebelum pertandingan dimulai untuk mempertanggungkan keselamatan bulu atau
rambutnya? "
" Akan tetapi Soeheng kami itu justeru lagi menderita sakit berat, tubuhnya tidak dapat
digerakkan. Justeru begitu tuan pendeta itu sudah menggunakan pukulan Kim kong cie. Dia
memaksa Soehengku menerangkan tentang golok mustika To liong to!"
Sampai disitu, dengan mengeraskan suaranya, Siong Kee menambahkan: "ilmu silat Siauw
lim pay telah menjagoi dikolong langit ini, Siauw lim pay telah menjadi jago Rimba
Persilatan. Dari itu apa perlunya dia menghendaki juga golok mustika itu? Di sebelah itu,
golok tersebut pernah dilihat satu kali oleh Soehengku itu! Kenyataannya ia telah dipaksa,
bukankah perbuatan itu terlalu kejam? Jie Thay Giam mempunyai juga sedikit nama dalam
Kang Ouw. Ia biasa melakukan perbuatan perbuatan mulis. Dengan begitu ia jadinya pernah
melakukan jasa jasa baik untuk kaum Rimba Persilatan. Tetapi sekarang ia dianiaya pihak
Siauw lim pay hingga ia bercacad seumur hidupnya. Untuk sepuluh tahun ia rebah saja diatas
pembaringan. Maka itu sekarang kami mau memohon pertimbangan dari tiga Taysoe yang
mulia"
Urusan terlukanya Jie Thay Giam dan kebinasaan keluarga Liong boen Piauw kiok itu telah
menjadi bahan perselisihan selama sepuluh tahun. Hanya karena lenyapnya Thio Coei San
suami isteri perkara tinggal tengantung. Sekarang pihak Siauw lim pay menimbulkannya pula
dan Thio Siong Kee menggunakan ketikanya akan turut menggugatnya.
"Tentang itu pernah loolap menyelidiki," berkata Kong boen. "Loolap telah memeriksa
sekalian murid Siauw lim sie, tapi tidak ada satupun yang melakukan penganiayan itu."
Mendengar jawaban itu, Thio Siong Kee merogo sakunya. untuk mengeluarkan sepotong
emas goan po. Pada uang itu ada tapak jari tangan. Sambil menunjuki itu, ia berkata dengan
nyaring: "baiklah semua orang gagah dikolong langat ini mengetahui. Orang yang menyiksa
Soeheng kami itu yatah pendeta Siauw lim pay yang tapak jati tangannya berada diatas uang
goanpo ini ! Kecuali dengan Kim kong cie, ada partai mana lagi yang dapat membikin tanda
diatas uang seperti ini?
Goan-im bertiga menuduh Thio Coei San hanya dengan kata-kata. Sekarang Siong Kee
membalas dengan ada buktinya, inilah hebat.
"Siancay, siancay!" memuji Kong boen Taysoe: "Diantara orang partai kami yang
meyakinkan Kim kong cie, kecuali kami bertiga cuma lima Tiang Loo dari Tat mo tong. Akan
tetapi, kelima Tiang loo itu tidak pernah keluar dari kuil kami lamanya sudah tiga sampai
empat puluh tahun. Maka dari itu cara bagaimana mereka dapat melukai Jie Sam Hiap?"
jilid 18_______________
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 349
Mendengar itu, Boh Seng Kok menyelak: "Barusan Taysoe tidak percaya perkataannya Ngo
Soeko kami. Taysoe mengatakannya omong disatu pihak saja. Habis bagaimana sekarang,
apakah kata kata Taysoe juga bukan hanya kata kata sepihak?"
Kong boen sabar luar biasa, walaupun ditanggapi demikian rupa, ia tidak menjadi gusar.
"Jikalau Boh Cit hiap tidak percaya loolap, ya apa boleh buat!" katanya.
"Mana berani boanpwee tidak percaya Taysoe?" berkata Seng Kok. "Hanyalah didalam dunia
ini segala sesuatu gampang sekali berubab, sukar untuk menerkanya dan segala yang benar
dan tidak benar tak dapat dipastikan. Tuan tuan cuma ketahui beberapa pendeta Siauw lim pay
itu telah terbinasa ditangan Soeheng kami. Sebaliknya kami menyatakan, Sam Soeheng
dianiaya pihak Siauw lim pay. Siapa tahu jikalau didalam perkara ini ada sesuatu yang
tersembunyi? Maka kalau menurut Cianpwee urusan harus diurus dengan sabar, supaya tidak
mengganggu persahabatan diantara kedua partai. Jikalau kita bertindak sembrono, kemudian
dibelakang hari urusan dapat dibikin terang, bukankah kita akan menyesal sesudah kasep."
"Boh Cit hiap benar," berkata Kong boen mengangguk.
Sedang saudaranya itu berlaku demikian sabar, Kong tie berteriak dengan mendadak: "Habis
apa kah sakit hatinya Soeheng Kong kian dapat dibiarkan saja? Thio Ngohiap, urusan
Liongboen Piauw kiok untuk sementara boleh kita biarkan saja, tetapi tentang Cia Soen si
jahat itu, itulah lain! Mengenai dia itu, hari ini kami menghendaki kau memberitahukannya
biarpun kau tidak suka, kau mesti bicara juga!"
Song Wan Kiauw membungkam sekian lama. Sekarang ia melihat suasana tegang, terpaksa ia
campur bicara. Ia kata nyaring "Jikalau golok mustika itu tidak ada ditangannya Cia Soen, apa
kah Taysoe tetap begini bernafsu hendak mengetahui dimana beradanya dia?"
Kata kata itu singkat tetapi maksudnya dalam sekali. Kong tie telah ditegur dan dituduh ingin
memiliki golok mustika itu.
Kong tie menjadi gusar sekali. Tangannya menepuk meja! Maka celakalah meja itu yang
menjadi hancur! Tapi inipun menandakan lihaynya tangan itu. Ia sampai terkejut sendirinya.
Tapi ia lagi murka, ia tidak menghiraukannya. Ia bahkan berkata nyaring: "Sudah lama kami
mendengar yang ilmu silatnya Thio Cinjin asalnya dari Siauw lim pay. Bahwa orang Rimba
Persilatan mengatakan, hijau itu asalnya dari biru, tetapi yang hijau akhirnya menjadi lebih
menang dari pada biru. Kamipun sudah lama mengaguminya, hanya kami tidak lagi tahu
sampai dimana kebenarannya pembilangan itu. Apakah itu tidak melebihkan dari kenyataan
hari itu? Hari ini dihadapan orang orang gagah diseluruh negara ini, ingin aku belajar kenal.
Aku mengharap tidaklah Cinjin pelit untuk mengajarnya!"
Perkataan itu mengejutkan orang banyak berbareng menarik hati. Thio Sam Hong menjagoi
pada tujuh puluh tahun yang lampau. Orang-orang sepantarannya yang pernah bertempur
dengannya sudah pada mati. Jadi sekarang ini belum ada yang mengetahui sampai dimana
lihaynya dia. Kecuali tujuh muridnya, belum pernah ada yang menyaksikan ia bersilat. Hanya
dengan melihat dari kegagahannya Song Wan Kiauw bertujuh, bisalah ditaksir kelihayannya
itu. Kali ini orang-orang mendengar ketua Boe tong pay itu ditantang, semua orang menjadi
gembira, rata rata ingin menyaksikan pertempurannya jago jago utama.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 350
Semua mata lantas saja diarahkan kepada Thio Sam Hong. Semua orang ingin sekali
mendengar tantangan itu diterima atau tidak. Tapi orang mendapatkan orang tua itu melainkan
hanya bersenyum. Sekali tidak menolak tetapi juga tidak menerima.
"Ilmu silat Thio Cinjin sangat lihay. Dikolong langit ini tidak ada tandingannya," berkata
Kong boen Taysoe. "Begitu juga kami ketiga pendeta dari Siauw lim sie. Kami bukannya
tandingannya Cinjin, hanyalah sekarang, keadaan memaksa sekali! Perselisihan diantara
murid kedua pihak, jikalau tidak dibereskan dengan kekuatan tenaga, untuk memastikan siapa
kuat dan siapa lemah, sungguh sukar untuk diselesaikan. Maka itu kami bertiga menjadi tidak
tau diri, kami bersedia bekerja sama bertiga meminta Cinjin sukalah memberi pengajaran
kepada kami. Cinjin berderajat dua tingkat lebib tinggi dari pada kami. Jikalau kita bertempur
satu lawan satu, itu artinya terhadap Cinjin kami berlaku sangat tidak hormat!"
Kata-kata ini didengar orang banyak, mereka itu pada berkata didalam hatinya: "Perkataanmu
sangat merendah, enak dldengarnya, tetapi itu artinya tiga melawan satu! Thio Sam Hong
boleh liehay sekali, tetapi sekarang ia sudah berusia seratus tahun. Tenaganya tentu telah
berkurang banyak sekali. Maka itu, dapatkah ia melayani tiga jago dari Siauw lim sie itu ?"
Song Wan Kiauw sudah lantas berbangkit. "Hari ini adalah hari perayaan ulang tahun guruku.
Mana dapat hari ini orang mengadu kepandaian ?" katanya.
Mendengar sampai disitu para hadirin menduga Boe tong pay takut menyambut tantangan.
Tapi orang belum bicara habis, Wan Kiauw berkata terus: "Laginya benar seperti kata
Kongboen Taysoe barusan. Tingkat derajat diantara guruku dan Taysoe bertiga berlainan,
tidak seimbang. Jikalau pertempuran sampal terjadi, bukankah itu sama dengan yang tua
menghina yang muda? Akan tetapi Siauw lim pay sudah menantang. Boe tong pay tidak dapat
tidak menyambutnya. Pepatah membilang, kalau ada urusan, sang murid mengurusnya. Maka
itu sekarang baiklah diatur begini, kami tujuh murid dari Boe tong pay, kami akan melawan
dua belas pendeta lihay dari Siauw lim pay!"
Orang gempar sendirinya mendengar jawaban berani dari Wan kiauw ini. Itulah bukan
menyambut tantangan belaka bahkan berbalik menantang.
Kong boen, Kong tie,dan Kong Seng datang ke Boe tong san dengan mengajak masing
masing tiga murid. Dari itu jumlah mereka menjadi dua belas, dan ialah jumlah yang
ditantang murid Boe tong pay itu. Oleh karena Wan Kiauw menyebut jumlah tujuh, orang
menjadi heran. Bukankah Jie Thay Giam telah bercacad dan jumlah mereka menjadi tinggal
enam orang. Enam lawan dua belas, itu sama artinya satu melawan dua. Bukankah dengan
begitu dengan sendirinya Song Wan Kiauw menjadi telah mengangkat harga diri Boe tong
pay?
Kelihatannya Song Wan Kiauw menyerbu bahaya dengan kata katanya itu. Memang juga,
terpaksa ia bersikap demikian. Tapi sikapnya ini telah diperhitungkan. Ia tahu baik Kong boen
bertiga liehay melebihkan semua saudaranya. Kalau satu lawan satu, hanya ia seorang yang
dapat menandinginya secara berimbang. Jie Thay Giam bercacad, sedang Jie Lian Cioe baru
sembuh. Tapi kalau mereka melawan dua belas orang, ia tahu sembilan murid tiga pendeta itu
tidak harus dijerikan. Maka namanya saja enam lawan dua belas, kenyataannya enam lawan
tiga.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 351
Kong tie Taysoe ketahui maksud hatinya Wan Kiauw. Ia mengeluarkan suara dihidung. Ia
kata: "Jikalau Thio Cinjin sendiri tidak sudi memberi pelajaran, baiklah, biar kami bertiga saja
yang melawan tiga diantara keenam tuan dari Boe-tong pay. Dalam tiga pertandingan, siapa
yang. menang dua kali dialah yang menang."
Thio Siong Kee dapat membade hati orang. Ia menggantikan kakaknya berbicara. Ia kata:
"Jikalau Kong-tie Taysoe menghendaki juga satu lawan satu, baiklah, dari kita tujuh saudara,
Shako Jie Thay Giam tidak dapat turun dari pembaringan sebab ia telah dianiaya oleh pendeta
Siauw lim sie. Meskipun begitu, tidak ada satu diantara kita berenam yang sudi ketinggalan.
Maka baiklah kita bertempur dalam enam rombongan saja. Yalah enam murid Boe-tong-pay
melawan enam pendeta gagah dari Siauw lim-pay, dan siapa yang menang dalam empat
pertandingan, dialah yang menang."
"Benar begitu!" Boh Seng Kok turut bicara, "Jikalau pihak Boe-tong-pay yang kalah, Thio
Ngoko akan memberitahukan tentang Kim mo Say ong Cia Soen. Dia akan memberitahukan
kepada Hongthio dari Siauw-lim-sie. Umpama kata pihak Siauw-lim-pay yang mengalah,
maka kami minta Taysoe bertiga lantas mengajak semua sababat ini, yang namanya saja
datang untuk memberikan selamat ulang tahun kepada guruku, tetapi sebenarnya hendak
mencari gara-gara, untuk turun dari gunung ini!"
Seng Kok mengatakan demikian sebab ia bisa mengerti maksud Siong Kee. Dengan enam
lawan enam, sudah terang Boe tong pay bakal tidak kalah. Ia ketahui baik sekali kakaknya
yang nomor satu dan nomor dua dapat menandingi ketiga musuh yang libay itu, tetapi ketiga
murid mereka itu pasti bakal kena dikalahkan.
Kong-tie Taysoe cerdik, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak sempurna, itulah tidak sempurna!" katanya. Ia berkata begitu, lantas ia berhenti, tidak
mau menjelaskan 'tidak sempurna' nya itu.
Thio Siong Kee berkata pula: "Taysoe bertiga menantang guru kami, katanya kamu mau
bertanding tiga lawan satu. Setelah kami enam orang Boe tong pay bersedia melawan
duabelas pendeta Siauw lim-pay, Kong-tie Taysoe menghendaki satu lawan satu. Kami
menerima baik, tetapi Tay soe bilang tidak sempurna. Sekarang begini saja, biar boanpwee
seorang diri melawan tiga pendeta yang lihay. Bukankah ini sempurna? Jikalau Taysoe
bertiga dapat menghajar aku sampai mati, itu arti nya Siauw lim-pay yang menang! Tidaklah
itu bagus?"
Mukanya Kong-tie menjadi berubah. Hebat ejekan itu.
Tapi Kong Seng tertawa terbabak-babak, berulang kali dia memuji: "Siancay ! Siancay!"
Semenjak datangnya, pendeta ini belum pernah membuka mulutnya. Inilah yang pertama kali.
Lalu ia menambahkan: "Soeheng berdua, Thio Sie hiap ini mau bersendirian melawan kami
bertiga, mari kami maju bersama!"
Pendeta ini lihay ilmu silatnya, tetapi ia tidak menginsafi ejekannya Siong Kee itu.
"Jangan banyak omong, Soetee!" Kong boen mencegah. Kemudian ia berpaling kepada Song
Wan Kiauw dan berkata: "Begini saja ! Kami enam pendeta Siauw lim melawan enam jago
Boe tong, menang atau kalah diputuskan dengan ini satu kali pukul. "
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 352
"Bukannya enam orang dari Boe tong melainkan tujuh!" berkata Wan Kiauw.
Kong tie Taysoe terkejut.
"Jadi kalau begitu Thio Cinjin bakat turun tangan juga ?" tanyanya.
"Taysoe keliru," sahut Wan Kiauw. "Orang orang dengan siapa guru kami pernah bertempur
semua sudah tidak ada lagi dalam dunia karena itu mana bisa lagi guru kami melakukan
pertempuran? Sedang tentang Jie Shatee kami, dia bercacad, dia tidak dapat bengerak, dia
juga tidak punya murid. Tetapi meski demikian, persaudaraan kami bertujuh sangat erat.
Kami mau hidup dan mati bersama. Dari itu disaat mati hidup seperti ini, mana dapat kami
berpeluk tangan menonton saja dipinggiran? Maka itu, untuk gantinya, aku hendak minta dia
mencari wakil. Untuk ini biarlah dia diberi ketika untuk memberi petunjuk kepada wakilnya
itu. Dengan begitu, tujuh murid Boe tong pay menempur pendeta-pendeta dari Siauw lim pay!
Untuk pihak taysoe, maju tujuh baik, maju duabelas baik juga, untuk kami tidak ada
halangannya!"
Kong boan heran. Ia berpikir: "Sebegitu jauh yang aku tahu dipihak Boe tong pay kecuali
Thio Cinjin dan tujuh muridnya, tidak ada lagi yang lihay. Maka sekarang dia mau mencari
wakil mana dapat? Kalau mereka minta bantuan dari lain partai, itu bukan lagi namanya partai
Boe tong pay Mengucapkan begini sebagai pelabi saja untuk memegang nama baiknya Boe
tong Cit hiap ..."
Maka ia lantas mengangguk dan menyambut: "Baiklah, tujuh pendeta Siauw lim akan
melawan tujuh jago Boe tong!"
Dipihak Boe tong pay, Jie Lian Cioe, Thio Siong Kee dapat membade maksudnya Toako
mereka. Thio Sam Hong mempunyai semacam ilmu silat istimewa yang diberi nama "Cit boe
Cit cay tin" yalah semacam warisan, untuk mana tujuh orang meski bertempur bersatu padu
melayani musuh. Ilmu itu didapatkan Thio Sam Hong karena ilham yang muncul setelah ia
melihat sesuatu.
Pujaan Boe tong pay yalah Cin Boe Tay tee, Pacungnya Tay tee didampingi oleh dua
panglimanya, yalah Koe Ciang koen, dan Coa Ciang koen, malaikat kura-kura dan ular.
Kedua Ciang koen ini berkedudukan demikian rupa hingga mirip dengan letaknya Coa san
dan Koe san. Gunung Ular dan Gunung Kura-kura di sungai Tiangkang dan sungai Hansoei.
Sifatnya ular yalah lincah, dan sifatnya kura-kura pendiam. Ular dan kura kuranya Cin Boe
Tay tee justeru mencakup ke dua sifat itu. Maka setelah mendapat ilham itu segera Thio Sam
Hong pergi ke Han yang untuk memandang kedua Gunung Ular dan kura-kura itu, mengawasi
terus-terusan. Ia membayangi bagaimana Gunung Ular bagaikan berlegot-legot, dan Gunung
Kura-kura numprak tegak dan agung.
Lantas setelah itu, ia melamuni ilmu silat yang hendak diciptakan itu. Hebat usahanya Sam
Hong ini. Ia berdiri ditepi sungai selama tiga hari dan tiga malam tanpa minum dan dahar.
Dipagi hari keempat, ia menyaksikan munculnya Sang Surya yang merah marong. Mendadak
ia sadar. Lantas ia tertawa lebar dan terus berangkat pulang ke Boe tong san untuk selanjutnya
mengumpulkan tujuh muridnya untuk mengajar mereka ilmu silat istimewa itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 353
Ilmu sitat itu mempunyali keistimewaan sendiri-sendiri bila digunakan oleh satu orang. Kalau
dengan dua orang, maka mereka berdua dapat saling membantu, baik maju baik mundur
Kalau bertiga, maka itu menjadi terlebih hebat pula, hebatnya seperti tiga melawan empat
orang liehay.
Dengan rajin ketujuh murid itu belajar. Merekat menyakirkannya dengan sungguh-sungguh.
Mereka telah memperoleh hasil berlipat ganda. Umpama empat dapat melawan delapan, lima
dapat melawan enambelas, enam dapat melawan tiga puluh dua, dan tujuh dapat melawan
enampuluh empat.
Dijaman itu, orang lihay cuma berjumlah kira kira tigapuluh orang. Mereka pun terpecah
diantara pelbagai partai dan golongan sejati dan sesat. Maka kalau terjadi bertempuran,
mereka tidak dapat besatu. Maka itu Cinboe Cit cay tin jadi merupakan semacam barisan.
Sekarang, Song Wan Kiauw menghadapi lawan tangguh. Ia ingat ilmu silat itu.
"Sekarang aku minta Taysoe suka menanti sebentar," kemudian ia kata pada Kong boen
beramai. "Kami hendak menemui Jie Samtee untuk minta ia memilih wakilnya untuk
menambah jumlah kami yang kurang satu."
Habis berkata, kakak sepenguruan itu mengedipkan mata pada lima saudaranya, lalu mereka
memberi hormat pada guru mereka, terus mereka mengundurkan diri keperdalaman.
"Toako," kata Seng Kok yang lantas mendahului membuka mulut: "mari kita lawan pendeta
pendeta Siauw lim itu dengan Cin cay tin supaya mereka menginsafi lihaynya ilmu silat Boe
tong pay. Hanya siapakah yang bakal menggantikan
Shako?"
"Hal itu kita putuskan dengan suara kita yang terbanyak," kata Wan Kiauw mengangguk.
"Sekarang kita semua jangan bicara. Kita menulis satu nama ditelapak tangan kita. Nanti kita
lihat siapa pilihan kita beramai"
"Bagus!" seru Seng Kok yang sangat setuju. Ia lantas mengambil pit dan menyerahkannya
kepada kakak yang tertua itu.
Wan Kiauw menulis satu nama lalu dia membekap tangannya itu. Pitnya ia serahkan pada
Lian Cioe. Si adik lantas menulis ditelapakan tangannya. Demikian seterusnya mereka
berenam.
"Sekarang mari buka sama-sama!" kata Wan Kiauw kemudian.
Segera ternyata Wan Kiauw bersama Lian Cioe dan Siong Kee menulis "Ngo Teehoe,"
artinya ipar mereka, isteri Coei San. Coei San sendiri menulis nama So so, isterinya. Seng
Kok pun menulis "Ngo so," artinya isteri Coei San juga.
In Lie Hong yang paling belakang. Dia tidak membuka telapak tangannya, cuma mukanya
yang merah.
"Heran!" kata Seng Kok. "Apanya yang aneh?" Lantas ia memaksa membuka kepalan
kakaknya itu.
Ternyata saudara she In ini menulis "Nona Kie" yalah tunangannya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 354
Coei San terharu. Ia menggenggam tangan adik seperguraan itu, sedang mulutnya mengucap:
"Oh, Lioktee"
Semua orang mengetahui mengapa Lie Hang sampai menulis nama tunangannya itu. Ini
adalah disebabkan karena ia mengasihani In So So yang belum lagi pulih benar kesehatannya,
yang pada pikirnya tak seharusnya berkelahi mati-matian. Seng Kok hendak menggoda, tapi
Coei San lekas mencegah dengan kedipan mata.
"Karena semua sudah setuju Tee hoe, Ngotee, pergilah kau undang isterimu datang kemari,"
kata Wan Kiauw.
Coei San menurut. Ia segera pergi kekamarnya dan mengundang isterinya itu dengan sekalian
menjelaskan duduk persoalan.
"Semua orang orang Liong boen Piauwkiok dan Hoei hong beramai, akulah yang
membinasakannya", kata So So. "Ketika aku melakukan hal itu, aku belum berkenalan sama
Ngo-ko. Maka itu urusan itu tidak selayaknya menyeret-nyeret Boe tong-pay. Baiklah aku
menyuruh saja semua pendeta itu mencari Peh bie-kauw yalah ayahku untuk mereka membuat
perhitungan disana."
"Teehoe, perkara telah terjadi. Kita tidak mestinya berhitungan," kata Siong Kee. "Laginya
aku telah melihat jelas: katanya mereka itu datang untuk urusan Liong boen Piauw-kiok. Itu
melainkan alasan yang benar yalah untuk urusannya Cia Soen. Mereka berpegangan kepada
permusuhan, tapi sebenarnya mereka mencari golok mustika To-liong-to!"
"Sieko betul!" kata Seng Kok. "Memang benar mereka mencari golok mustika itu. Maka biar
bagaimana, mereka pasti tanya dimana tempat berdiamnya Cia Soen sekarang ini."
"Memang demikian adanya." kata Coei San. "Kong-kian sendiri yang memberitahukan Cia
Soen saudara-angkatku itu, bahwa didalam golok To liong-to itu ada tersimpan semacam ilmu
silat yang dapat membikin orang menjagoi dikolong langit ini. Kong-kian ketahui itu, mesti
Kong boen, Kong-tie dan Kong-seng mengetahuinya juga."
"Jikalau begitu, terserah kepada kalian," kata So So akhirnya. "Hanya ilmu silatku masih
rendah sekali, didalam tempo pendek ini, mana dapat aku memahami Cin boe Cit tay tin?"
"Itulah gampang," berkata Wan Kiauw. "Sebenarnya dengan kita berlima melawan tujuh
pendeta, kita merasa pasti bakal menang. Jikalau toh meminta bantuan kau, Teehoe, itulah
sebab kita mendengar lihaynya senjata rahasiamu yang berupa jarum. Kita mengharap kapan
perlu, agar kau membantu kita. Dengan begitupun pastilah Shatee bakal jadi terhibur hatinya"
Wan Kiauw benar. Ia memang memberati Jie Thay Giam yang tidak bisa turut bertempur
hingga saudara itu pasti akan menyesal sekali. sedang penggunaan "tin" itu, inilah yang
pertama kalinya. Bagaimana terhiburnya Thay Giam umpama kata dia bisa turut mengambil
bagian dan mereka menang.
In So So cerdas, ia lantas mengerti.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 355
"Baik!" katanya. "Sekarang juga aku pergi kepada Shako untuk minta petunjuknya. Aku
hanya kuatir nanti tidak dapat memahaminya dengan baik."
"Jangan kuatir, enso" kata In Lie Hang: "Itu lah gampang asal kau mengingat baik baik letak
kedudukanmu dan gerakan kaki. Umpama kata kau mendadak lupa, kamipun dapat
menyadarkan kau."
Karena ini, bertujuh mereka pergi kekamar Jie Thay Giam.
Semenjak pulang ke gunung, beberapa kali sudah Thio Coei San menemui kakak
sepenguruannya itu, tapi untuk In So So, inilah yang pertama kali, sebab gangguan
kesehatannya mencegah dia lantas menemui iparnya itu.
Melihat si nona muda cantik, gerak geriknya halus, Thay Giam merasa senang. Tetapi ketika
ia mendengar keterangannya Wan Kiauw hal datangnya musuh pendeta Siauw lim pay yang
mau di lawan dengan Cin boe Cit cay tin, untuk mana ia harus diwakili oleh So So, ia terharu
dan berduka sekali. Pedih hatinya. Tentu sekali ia menyesatkan sangat cacadnya hingga ia
tidak dapat membantu semua saudaranya itu. Tapi ia kuat hatinya. Ia tertawa. Sembari
bersenyum, ia kata pada So So: "Teehoe, Shapeh tidak dapat memberikan apa apa padamu
untuk pertemuan pertama kali ini sebab kesusu. Maka baiklah, nanti aku mengajar kau tentang
'tin' kita itu. Nanti sesudah musuh mundur, akan kulatih kau terlebih jauh agar kau paham
semuanya."
So So girang sekali.
"Terima kasih, Shapeh." ucapnya.
Inilah pertama kali Thay Giam mendengar suara iparnya itu. Ia agaknya terkejut sekali, segera
ia menatap muka orang. Otaknyapun bekerja, memikirkan sesuatu yang telah dilupakan.
Wajahnya menunjuk rasa heran yang luar biasa.
Coei Sanpun heran.
"Shako, apakah kau merasa tubuhmu tidak enak?" tanyanya.
Thay Giam tidak menyahut, dari menatap ia bengong. Matanya mendelong kedepan. Mata itu
bersinar sangat tajam. Sekarang terlihat juga perubahan air mukanya yang menandakan ia
menderita dan penasaran.
Habis memandang saudaranya itu, Coei San berpaling pada isterinya. Juga isteri itu berubah
air mukanya. So So nampaknya sangat berkuatir dan Song Wan Kiauw dan yang lainnya juga
turut merasa heran. Bergantian mereka mengawasi saudara mereka itu serta sang ipar. Hati
mereka tidak tenang lagi.
Kamar menjadi sangat sunyi. Semua hati orang berdebaran.
Selagi berdiam itu, Thay Giam nampak napasnya memburu, mukanya yang pucat bersemu
merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar