Selasa, 17 November 2009

To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1100
Ternyata ilmu silat yang dimiliki Sam soe hanya berdasarkan Kian koen Tay lo ie tingkat
pertama. Tapi pada Seng hwee leng terdapat pelajaran yang luar biasa mengenai cara
menggunakannya. Sekarang ia sudah bisa memecahkan teka teki empat baris kauw koat itu
dan hanya sebaris langit persegi bumi bulat yang belum dapat ditembusnya. Ia sekarang yakin
bahwa untuk bisa menyelami seluruh ilmu silat Cong kauw ia harus mempelajari seantero
Kouw koat yang ada di Seng hwee leng.
Tanpa membuang2 waktu lagi, sambil membentak keras ia menyerang, kedua tangannya
menyambar bagaikan kilat. Dengan sekali jurus dengan menggunakan kouwkoat “tiga kosong
tujuh berisi” ia berhasil merampas dua ‘leng’ dari tangan Hwie goat soe. Di lain saat dengan
“ada di dalam tidak ada” ia merebut dua ‘leng’ lagi dari tangan Lioe in soe.
Kedua utusan itu terbang semangatnya. Mereka berdiri terpaku. Sesudah memasukkan
keempat ‘leng’ di dalam saku Boe Kie menyerang pula. Dengan kedua tangan ia
mencengkeram belakang leher kedua pecundang itu yang lalu dilempar balik ke kapal mereka.
Orang2 Persia kaget tak kepalang. Mereka jadi takut dan berteriak teriak.
Biauw hong soe ketakutan. Buru buru ia memutar dan coba melarikan diri. Tapi gerakan Boe
Kie cepat luar biasa. Dengan sekali sambar, ia menangkap kaki kiri Biauw hong soe yang lalu
ditarik ke belakang. Sesudah merampas kedua ‘leng’ ia mengangkat tubuh utusan itu dan
menghantamnya ke kepala Jin jiok ong. Ketiga “raja” terkesiap, mereka buru buru lari balik
ke kapal sendiri. Boe Kie lalu menotok jalan darah Biauw hong soe dan melemparkannya di
geladak kapal.
Kemenangan itu bukan saja menggirangkan Boe Kie, tapi juga kawan kawannya. Mereka
menanya cara bagaimana pemuda itu bisa merampas enam Seng hwee leng dengan begitu
mudahnya.
Boe Kie tertawa, “Kalau bukan secara kebetulan pipi orang itu terpukul Seng hwee leng tak
nanti aku bisa menangkap rahasia ilmu silat mereka,” katanya. Ia mengeluarkan enam biji
‘leng’ dan menyerahkannya kepada Siauw Ciauw. “Siauw Ciauw,” katanya, “lekas
terjemahkan huruf-huruf di enam Seng hwee leng ini!”
Semua orang mengawasi keenam ‘leng’ itu yang terbuat dari semacam bahan yang sangat
aneh – bukan emas dan bukan giok – tapi keras luar biasa. ‘Leng’ itu panjangnya berbeda satu
sama lain, kelihatannya terang, di dalamnya terdapat sinar api yang bergerak gerak dan
warnanya berubah-ubah, sedang setiap ‘leng’ terdapat ukiran huruf huruf Persia.
Boe Kie mengerti bahwa jika ia ingin meloloskan diri dari bahaya, ia harus memahami ilmu
silat Cong kauw. Maka itu, ia lantas saja berkata, “Cioe kauwnio, tandalkan Ie thian kiam di
leher Peng teng ong. Giehoe, tandalkan To liong to di leher Biauw hong soe. Kita harus
memperpanjang waktu sedapat mungkin.” Cia soen dan Cie jiak lantas saja mengangguk.
Siauw Ciauw segera memilih ‘leng’ terpendek yang hurufnya paling sedikit lalu
menterjemahkannya. Sesudah mendengar beberapa kali Boe Kie belum juga menangkap
artinya, sehingga ia mulai merasa bingung.
“Siauw Ciauw, coba kau terjemahkan huruf2 dari Seng hwee leng yang telah memukul Peng
teng ong,” kata Tio Beng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1101
Siauw Ciauw manggutkan kepalanya. Buru2 ia mencari ‘leng’ yang dimaksudkan. Ia
mendapat kenyataan bahwa yang memukul Peng teng ong adalah Seng hwee leng yang
panjangnya tujuh nomor dua. Ia lalu membaca dan Boe Kie dapat menangkap tujuh delapan
bagian dari artinya. Sesudah itu ia membaca huruf huruf dari Seng hwee leng nomor satu
yang paling panjang. Baru saja mendengar perkataan Boe Kie sudah berteriak dengan suara
girang. “Bagus! Siauw Ciauw antara enam Seng hwee leng itu makin panjang makin mudah
dimengerti. Yang dibaca olehmu ialah kouwkoat dari pelajaran pertama.”
Dahulu Seng hwee leng dibuat atas permintaan si orang tua dari pegunungan dan berisi
intisari dari ilmu silat Hasan Ben Sabbah. Keenam ‘leng’ itu mengikuti agama Beng kauw
memasuki Tiongkok dan bermaksud untuk menjadi tanda kekuasaan dari Kauwcoe daerah
Tionggoan. Lama lama di antara penganut Beng kauw wilayah Tionggoan tidak terdapat lagi
orang yang paham bahasa Persia. Pada beberapa puluh tahun kemudian, keenam Seng hwee
leng dicuri orang Kay pang dan belakangan jatuh ke tangan saudagar Persia, sehingga
akhirnya diambil pulang oleh Cong kauw di Persia. Selama puluhan tahun ilmu silat para
pemimpin Cong kauw mendapat kemajuan pesat. Akan tetapi karena ilmu yang tertera pada
Seng hwee leng terlampau sukar dipelajari, maka, bahkan Tay Seng Po soe ong yang
berkepandaian paling tinggi hanya bisa menangkap tiga atau empat dari seluruh isinya.
Pada hakekatnya, pelajaran Kian koen Tay lo ie adalah ilmu silat pelindung agama dari Beng
kauw di Persia. Tapi ilmu silat itu tidak bisa dimengerti oleh sembarang orang. Selain begitu,
menurut ketetapan, jabatan Kauwcoe dari Beng kauw pusat (Cong kauw) harus dipegang oleh
seorang gadis dan selama ratusan tahun, kursi Kauwcoe diduduki oleh beberapa wanita yang
berkepandaian cetek. Itulah sebabnya mengapa di Persia sendiri, makin lama Kian koen tay lo
ie makin jarang dikenal orang. Di lain pihak, Beng kauw di daerah Tionggoan masih
menyimpan pelajaran Kian koen Tay lo ie yang lengkap.
Ilmu silat Cong kauw yang sangat aneh itu merupakan campuran dari sebagian Kian koen tay
lo ie dan sebagian pelajaran Seng hwee leng. Para pemimpin Cong kauw insaf, bahwa jika
kitab Kian koen tay lo ie bisa diambil pulang dan ditambah dengan kouwkoat Seng hwee
leng, maka ilmu silat Beng kauw akan bisa menggetarkan dunia. Inilah maksud terutama
pengiriman Tay Kie ke Kong beng teng.
Di luar semua dugaan, apa yang diidam-idamkan dan diusahakan oleh Cong kauw telah
didapat dengan mudah oleh Boe Kie. Boe Kie telah mendapatkan ilmu itu secara kebetulan
saja. Tapi andaikata Cong kauw berhasil mendapatkan kembali kitab Kian koen Tay lo ie,
tanpa mempunyai Kioe yang sin kang sebagai dasar, belum tentu ada orang yang bisa menarik
kefaedahannya. Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa di dalam dunia ini, segala apa
tergantung pada nasib dan manusia tidak akan bisa mencapai tujuan secara paksa.
Tanpa memperdulikan suatu apa lagi, Boe Kie bersila di kepala kapal dan Siauw Ciauw
membisiki huruf2 yang terukir di Seng hwee leng. Ilmu silat yang tertera di enam ‘leng’ itu
sebenarnya sangat sulit. Tapi kata orang mengerti satu ilmu, mengerti berlaksa ilmu.
Manakala seseorang sudah mempelajari ilmu sampai di puncaknya kesempurnaan, maka
dengan mudah ia bisa belajar lain2 ilmu, sebab, pada hakekatnya, semua ilmu menuju ke satu
jurusan yang sama. Boe Kie telah menyelami Kioe yang sin kang, Kian koen tay lo ie dan
Thay kek koen. Ketiga ilmu itu adalah ilmu ilmu silat yang paling tinggi, yang masing masing
berasal dari India, Persia dan Tiongkok. Biarpun sulit, ilmu di Seng hwee leng belum bisa
menyamai tingginya ketiga ilmu tersebut. Maka itulah, sesudah Siauw Ciauw selesai
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1102
menterjemahkannya, Boe Kie lantas menghafal tujuh delapan bagian dan mengerti lima enam
bagian. Dalam sekejap ia telah berhasil memahami pukulan pukulan aneh yang dikeluarkan
oleh beberapa Po soe ong dan ketiga utusan Cong kauw.
Boe Kie terus mengasah otak tanpa memperdulikan segala perkembangan. Tapi Tio Beng dan
Cioe Cie Jiak yang terus memperhatikan persiapan pihak lawan, makin lama jadi makin
bingung. Mereka melihat Tay Kie diborgol kaki tangannya, melihat kesebelas Po soe ong,
berdamai dengan bisik bisik dan menukar jubah mereka dengan pakaian perang yang lemas
dan melihat sebelas orang menyerahkan sebelas senjata aneh kepada “raja raja” itu. Mereka
melihat gendewa gendewa dan anak panahnya ditunjukkan kepada Boe Kie dan melihat pula
puluhan orang Persia yang bersenjata kapak dan pahat menerjun ke air, siap sedia untuk
melubangi kapal yang ditumpangi mereka.
Ketika itu fajar sudah menyingsing. Matahari sudah mengintip di sebelah timur dan
memancarkan sinar yang gilang gemilang.
Mendadak Tay seng Po soe ong membentak dan bentakan itu diiringi dengan suara tambur
dan terompet riuh rendah.
Boe Kie kaget. Ia mendongak dan melihat sebelas Po soe ong yang mengenakan pakaian
berwarna keemas emasan dan memegan senjata, sudah melompat ke kapalnya. Tapi, setelah
berada di kepala kapal, “raja” itu tidak berani lantas menyerang sebab Cia Soen dan Cie Jiak
mengandalkan senjatanya di leher Peng teng ong dan Biauw hong goe. Mereka hanya
mengawasi dengan mata melotot dan paras muka gusar.
Selang beberapa saat, barulah Tie hwie ong berkata dengan bahasa Tionghoa, “Lekas
pulangkan orang orang kami! Kami akan mengampuni jiwa kamu. Di mata kami, beberapa
orang itu bagaikan babi dan anjing. Mereka tidak berharga sedikitpun jua. Perlu apa kamu
mengandalkan senjata di leher mereka? Jika kamu mempunyai nyali, bunuhlah mereka! Di
dalam Cong kauw terdapat berlaksa orang yang sederajat dengan mereka. Kebinasaan mereka
tiada artinya.”
“Jangan kau coba-coba menipu kami,” kata Tio Beng dengan suara menyindir. “Kami tahu
bahwa mereka adalah Peng teng Po soe ong dan Biauw hong soe yang mempunyai kedudukan
tinggi dalam kalanganmu. Kau mengatakan mereka sederajat dengan babi dan anjing?
Bagus!”
Alis Tie hwie ong berkerut. “Di dalam Seng kauw (agama kami yang suci) terdapat tiga ratus
enampuluh Po soe ong,” katanya. “Peng teng ong menduduki kursi yang ketiga ratus lima
puluh sembilan. Kami mempunyai seribu dua ratus Soe cia (utusan). Biauw Hong soe bukan
orang penting. Bunuhlah mereka, kalau kamu mau!”
“Baiklah,” kata Tio Beng. “Kawan kawan, bunuhlah kedua manusia yang tak berguna itu!”
“Baik!” jawab Cia Soen seraya mengangkat To Liong to. Dengan kecepatan kilat ia
menyamber kepada Peng teng ong. Orang-orang Cong kauw mengeluarkan teriakan tertahan.
Tapi… To liong to, lewat dalam jarak setengah dim dari batok kepala dan hanya memapas
rambut yang lantas saja terbang ditiup angin. Kim mo Say ong kembali mengangkat golok
dan menyabet dua kali beruntun ke lengan kanan dan lengan kiri Peng teng ong. Kedua
sabetan itu kelihatannya hebat, tapi dalam detik mata golok hampir menyentuh kulit, Cia Soen
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1103
memutar sedikit pergelangan tangannya sehingga senjata itu hanya merobek lengan baju.
Jangankan seorang buta, sekalipun orang yang tidak buta sukar meneladan Kim mo Say ong.
Peng teng ong pingsan sebab ketakutan dan sebelas Po soe ong yang mau menyerang berdiri
terpaku.
“Apa kamu sudah lihat ilmu silat Beng kauw dari wilayah Tiong goan?” tanya Tio Beng.
“Dalam kalangan agama kami Kim mo Say ong menduduki kursi yang ketiga ribu lima ratus
sembilan. Apabila dengan mengandalkan jumlah besar, kamu sekarang menyerang kami,
Beng kauw di Tionggoan pasti akan membalas sakit hati dan menyapu Cong kauw sampai
bersih. Kamu pasti tak akan bisa melawan kami. Jalan satu-satunya bagi kamu sekalian adalah
berdamai dengan kami.”
Tie hwie ong yakin, bahwa nona Tio hanya menakut-nakuti, tapi ia sendiri tak tahu apakah
yang harus diperbuatnya. Mendadak Tay seng Po soe ong berkata kata dalam bahasa Persia.
“Thio Kongcoe, awas!” teriak Siauw Ciauw. “Mereka mau melubangkan dasar kapal!”
Boe Kie terkejut. Kalau kapal mereka ditenggelamkan, mereka semua yang tidak bisa
berenang akan segera menjadi tawanan. Dengan melompat ia sudah berhadapan dengan Tay
seng ong.
“Mau apa kau!” bentak Tie Hwie. Hampir berbareng, Kong tek dan Hoa hie ong yang masing
masing bersenjata cambuk dan martil menyerang dari kiri kanan.
Boe Kie yang sudah memahami ilmu silat Cong kauw tidak memperdulikan serangan itu.
Bagaikan kilat kedua tangannya menyambar dan mencengkeram jalan darah di tenggorokan
kedua “raja” itu, sehingga senjata mereka menyimpang dan beradu satu sama lain. Sesudah
melempar tubuh mereka ke gubuk kapal, Boe Kie segera mengamuk. Dengan dua tendangan
ia melontarkan golok Cie sim dan Jin Jiok ong dan lalu dua tendangan lagi melemparkan Kin
sioe dan Kie beng ong ke dalam air.
Mendadak seorang Po soe ong yang bersenjata sepasang pedang pendek menikam. Boe Kie
mengegos dan menendang pergelangan tangannya. Secepat kilat, orang itu menyilangkan
kedua tangannya dan menikam kempungan Boe Kie. Tikaman itu cepat dan di luar dugaan,
sehingga untuk menyelamatkan jiwa, Boe Kie terpaksa melompat tinggi.
Orang itu adalah Siang seng, jago nomor dua di antara dua belas Po soe ong. Sesudah
menikamnya gagal, ia terus merangsek dan mengirim serangan berantai. Boe Kie melayani
dengan tenang. Sesudah bertempur sembilan jurus, diam diam ia memuji kepandaian “raja”
itu.
Biarpun sudah memahami ilmu Seng hwee leng, tapi sebab belum berlatih, Boe Kie belum
bisa mempergunakannya secara lancar. Dalam belasan jurus yang pertama, ia
mempertahankan diri dengan kepandaiannya sendiri. Setelah lewat dua puluh jurus barulah ia
bisa menggunakan ilmu Seng hwee leng dengan agak licin.
(Budi: Some part missing here..) (PP: not sure)
(Selamanya menang) sebab di negerinya sendiri ia jarang mendapat tandingan. Dalam
menghadapi Boe Kie ia kaget bercampur heran dan pengalaman itu adalah pengalaman yang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1104
pertama didapat olehnya. Sesudah bertanding tiga puluh jurus lebih, tiba tiba Boe Kie
berduduk di atas geladak dan kedua tangannya memeluk betis Siang seng. Itulah salah satu
pukulan terhebat dalam Ilmu Seng hwee leng yang dikenal, tapi belum pernah digunakan oleh
Siang seng ong sendiri. Begitu lekas kedua tangannya memeluk, dengan sepuluh jari
tangannya Boe Kie mencengkeram Tiong tauw dan Coe peng hiat di betis lawan. Siang seng
Po soe eng lantas saja lemas badannya. Ia menghela nafas dan menyerah kalah.
Tapi mendadak saja di dalam hati pemuda itu muncul rasa sayang terhadap kepandaian Siang
seng. Sambil melepaskan cengkeraman dan pelukannya ia berkata, “Kepandaianmu sangat
tinggi dan biarlah kau mempertahankan nama besarmu. Pergilah!”
Siang seng Po soe ong merasa berterima kasih bercampur malu. Buru2 ia melompat balik ke
kapalnya sendiri.
Ketika itu Cia Soen dan Cie Jiak sudah menyeret keluar Kong tek dan Hoa hie ong dari dalam
gubuk kapal dan menjaga kedua tawanan penting itu dengan To liong to dan Ie thian kiam
terhunus.
Melihat kekalahan Siang seng ong dan tertawannya Kong tek dan Hoa hie ong, Tay seng po
soe ong ciut nyalinya. Ia tahu bahwa jika kapal yang ditumpangi rombongan Boe Kie
ditenggelamkan juga, pihaknyapun akan menderita kerugian besar, yaitu binasanya empat
pemimpin penting dari Cong kauw. Maka itu sesudah memikir beberapa saat, ia segera
memberi tanda dan menarik pulang semua kawan kawannya, terhitung yang sudah selulup di
air ke kapal sendiri.
“Lekas antarkan Tay Kie kemari dan luluskan tiga syarat Kim mo Say ong!” teriak Tio Beng.
Sesudah selesai berunding, Tie hwie ong berseru, “Kami bersedia untuk meluluskan
permintaanmu, tapi kamu harus menjawab pertanyaan. Ilmu silat pemuda itu terus terang ilmu
silat kami. Darimana ia mendapatkannya? Kamu harus memberi keterangan yang sejelas
jelasnya.”
Sambil menahan tertawa, nona Tio menjawab. “Kamu semua manusia manusia tolol.
Dengarlah! Pemuda itu adalah murid kedelapan dari Kong beng soe cia kami. Tujuh kakak
dan tujuh adik seperguruannya tak lama lagi akan tiba disini. Kalau mereka datang, kamu
semua akan dibasmi bersih.”
Tie hwee ong sangat pintar, tapi ia tak begitu paham bahasa Tionghoa dan hanya bisa
menangkap enam tujuh bagian dari perkataan Tio Beng. Ia tahu bahwa nona itu sedang
omong kosong. Sesudah memikir sejenak, ia berkata, “Baiklah! Saudara saudara pulangkan
Tay Kie.”
Dua orang anggota Cong kauw lantas saja mengantarkan Tay Kie ke kapal Boe Kie. Dengan
dua kali menyabet dengan Ie thian kiam Cie Jiak memutuskan rantai yang mengikat kaki
tangan Cie san Liong ong. Melihat ketajaman pedang itu, kedua pengantar ketakutan setengah
mati dan buru buru kembali ke kapal mereka.
“Kamu boleh segera berangkat pulang,” kata Tie hwie ong. “Kami akan mengirim sebuah
perahu kecil untuk mengikuti dari belakang.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1105
Sambil merangkap kedua tangannya, Boe Kie berkata, ”Beng kauw di Tiong goan bersumber
dari Persia, kalian dan kami sebenarnya adalah saudara2. Kami mengharap bahwa kalian tidak
menjadi kecil hati karena adanya salah mengerti di hari ini. Kami mengundang kalian datang
di Kong beng teng, supaya kita bisa minum arak bersama sama. Untuk segala kesalahan kami
dengan jalan ini aku menghaturkan maaf.”
Tie hwie ong tertawa terbahak bahak. “Kami semua merasa kagum akan ilmu silatmu yang
sangat tinggi,” katanya. “Apa tidak girang kalau kita belajar dan terus mempelajari pelajaran
itu? Apa tidak girang, kalau mendapat kunjungan sahabat dari jauh?”
Mendengar kutipan dari kata Khong coe, Boe Kie membungkuk dan berkata, “Tepat sekali
perkataanmu.” Ia tidak berayal lagi. Seorang diri ia mengangkat jangkar, memutar kemudi
dan memasang layar, sehingga dalam beberapa saat, kapal itu mulai bergerak.
Melihat tenaga Boe Kie yang dapat mengangkat jangkar seorang diri, sedangkan pekerjaan itu
sebenarnya harus dilakukan oleh belasan orang, anak buah kapal kapak Cong kauw bersorak
sorak.
Sebuah perahu kecil lantas saja mendekati kapal Boe Kie dan melemparkan seutas tambang.
Boe Kie lalu mengikat tambang itu di buritan kapal. Di dalam perahu itu terdapat dua orang
penumpang, Lioe in soe dan Hwie go soe.
Kapal mulai berlayar ke jurusan barat.
Sambil memegang kemudi, Boe Kie mengawasi kapal-kapal Cong kauw. Sesudah melewati
Leng coa to dan kapal2 itu tetap tidak bergerak, berubah hatinya lega. Ia segera menyerahkan
kemudi kepada Siauw Ciauw, pergi ke gubuk kapal untuk menengok In Lee. Nona itu berada
dalam keadaan setengah tertidur, setengah sadar. Lukanya belum mendingan, tapi juga tidak
jadi lebih hebat.
Tay Kie termenung seorang diri waktu mendengar tindakan Boe Kie. Dengan rasa kagum Boe
Kie mengawasi potongan tubuh nyonya itu yang langsing gemulai. Sebagian rambutnya yang
hitam bergoyang goyang tertiup angin, sedang kulitnya yang putih seakan akan batu pualam.
Ayah angkatnya mengatakan, bahwa dahulu Tay Kie terkenal sebagai wanita tercantik dalam
Rimba Persilatan. Pujian itu bukan pujian kosong.
Di waktu maghrib, kapal Boe Kie sudah terpisah kira kira seratus li dari Leng coa to. Lautan
tenang dan di atas permukaan air tidak terlihat apapun jua. Cong kauw ternyata menepati
janji.
“Giehoe, apa tawanan sudah boleh dilepaskan?” tanya Boe Kie.
“Boleh!” jawabnya. “Sekarang mereka tak bisa mengejar kita lagi.”
Sambil menghaturkan maaf berulang-ulang, Boe Kie segera membuka ‘hiat’ ketiga raja dan
Biauw hong soe.
“Enam Seng hwee leng ditaruh di bawah penjagaan kami bertiga,” kata Biauw hong soe.
“Kalau hilang, kami berdosa besar. Maka itu, aku memohon kau suka membayar pulang.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1106
“Seng hwee leng adalah tanda kekuasaan Kauw coe dari Beng kauw di wilayah Tiong goan,”
kata Cia Soen. “Hari ini, barang itu kembali kepada majikannya. Bagaimana kita bisa
menyerahkannya kepadamu?”
Tapi Biauw hong soe tidak mau mengerti. Ia terus memohon mohon. Boe Kie merasa, bahwa
kalau ia tidak menakluki hati orang itu, di hari kemudian soal ini bisa menjadi bibit penyakit.
Maka itu ia lantas berkata, “Kami sebenarnya bersedia untuk mengembalikan kepadamu. Tapi
kami kuatir kepandaianmu masih terlalu rendah dan tidak bisa menjaga mustika itu. Daripada
dirampas oleh orang luar lebih baik dipegang oleh kami.”
“Bagaimana orang luar bisa merampasnya?” tanya Biauw hong coe.
“Jika kau tidak percaya mari kita mencoba coba,” kata Boe Kie yang segera menyerahkan
keenam Seng hwee leng kepadanya.
Biauw hong coe girang, tapi baru saja mengatakan ‘terima kasih’, kedua tangan Boe Kie
sudah menyambar dan merebut kembali Seng hwee leng itu.
“Curang!” teriak Biauw hong coe dengan gusar. “Kau mendahului sebelum aku
memegangnya erat erat.”
Boe Kie tertawa, “Tak apa, boleh coba lagi,” katanya seraya menyerahkan pula enam ‘leng’
ke dalam sakunya sambil mencekal yang dua Biauw hong coe memasang kuda kuda.
Serangan Boe Kie dipapaki olehnya dengan pukulan pada pergelangan tangan. Dengan sekali
membalik tangan Boe Kie sudah menangkap lengan tangan kanannya, yang lalu ditarik
sehingga kedua ‘leng’ terpukul satu sama lain dan mengeluarkan suara “cring!” yang
menggetarkan hati. Diam diam Boe Kie mengirim tenaga dalam yang sangat kuat lengan
lawan, Biauw hong soe lantas saja merasa lengannya kesemutan dan semua tenaganya
musnah. Ia tidak bisa bergerak lagi dan dua ‘leng’ yang dicekalnya jatuh. Dengan tenang Boe
Kie lalu merogo saku lawan dan mengambil empat leng yang menggeletak di geladak kapal.
“Bagaimana? Apa kau mau mencoba lagi?” tanya Boe Kie.
Paras muka Biauw hong soe berubah pucat. “Kau bukan manusia! Kau setan!” katanya
dengan suara parau. Ia bertindak untuk melompat ke perahu. Mendadak badannya terhuyung
dan ia roboh. Lioe in soe melompat naik, mendukungnya dan cepat cepat kembali ke perahu.
Sementara itu perahu sudah memasang layar dan Kong tek ong lalu memutuskan tambang
sehingga kedua kendaraan air itu lantas berpisah.
“Kami yang telah membuat banyak kesalahan dan harap kalian suka memaafkan,” teriak Boe
Kie seraya merangkap kedua tangannya.
Kong tek ong dan kawan kawannya tidak menjawab. Mereka mengawasi dengan sorot mata
gusar.
Kapal terus berlayar ke arah barat.
Sekonyong konyong Tay Kie membentak, “Bangsat! Jangan main gila!” ia menggenjot tubuh
dan menerjun ke air!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1107
Boe Kie terkesiap, buru buru ia memutar kemudi. Mendadak ia melihat timbulnya darah yang
tercampur di pinggir kapal. Dengan saling susul timbul pula darah di lima tempat. Tak lama
kemudian Tay Kie muncul di permukaan air dengan gigi menggigit pisau dan tangan
mencekal rambut seorang Persia.
Dengan memutar kemudi, Boe Kie berusaha untuk menyambut nyonya itu. Tapi sebab ia
tidak segera menurunkan layar, maka sebaliknya daripada maju kapal itu terputar dengan
perlahan.
Ilmu berenang Cie san Liong ong benar benar lihay ia sudah menghampiri secepat ikan.
Dalam sekejap ia sudah sampai di pinggir kapal. Dengan tangan kiri ia menekan jangkar
untuk meminjam tenaga dan sekali menggenjot tubuh ia “terbang” ke atas dan kemudian
hinggap di atas geladak bersama sama tawanannya.
Ternyata sesudah Kong tek ong dan kawan kawannya turun ke perahu dengan menggunakan
layar sebagai aling aling tujuh penyelam meloncat ke air untuk membocorkan kapal Boe Kie.
Untung besar Tay Kie yang berpengalaman luas dan bermata jeli dapat melihat gelembung
gelembung air yang muncul di permukaan laut karena pernafasan orang orang itu. Dengan
demikian ia berhasil membinasakan enam orang dan membekuk seorang.
Baru saja Boe Kie mau memeriksa tangkapan itu, tiba tiba di buritan kapal terdengar
peledakan dahsyat diikuti dengan mengepulnya asap hitam… kapal bergoncang keras,
potongan potongan kayu berterbangan ke angkasa. Dengan hati mencelos Boe Kie dan kawan
kawannya merebahkan diri di geladak kapal.
“Jahat sungguh manusia manusia itu!” kata Tay Kie sambil berlari lari ke buritan kapal.
Ternyata peledakan itu telah membocorkan buritan dan air sudah mulai mengalir masuk,
sedang kemudi kapalpun sudah terbang tanpa berbekas.
Dengan sorot mata berduka Tio Beng mengawasi Boe Kie. “Kapal musuh akan segera
mengejar dan kita semua bakal mati tanpa kuburan,” katanya di dalam hati.
Sementara itu, dengan menggunakan bahasa Persia, Tay Kie mengajukan beberapa
pertanyaan kepada tawanannya yang menjawab dengan bahasa itu juga. Mendadak Cie san
Liong ong mengangkat tangannya dan menghantam batok kepala orang itu yang lantas saja
roboh binasa. Sambil menendang mayat itu ke air, ia berkata dengan suara menyesal, “Aku
hanya mengetahui, bahwa mereka berusaha untuk membocorkan kapal, tapi tidak pernah
menduga bahwa mereka bakal mengikat obat pasang di buritan.”
Ketika itu perahu yang ditumpangi Kong tek ong dan kawan kawannya sudah pergi jauh,
sehingga biarpun pandai berenang, Tay Kie tak akan bisa mengejarnya.
Semua orang saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka tidak berdaya.
Karena sangat besar, kapal itu tidak lantas tenggelam.
Sekonyong konyong Tay Kie dan Siauw Ciauw berbicara dalam bahasa Persia. Selagi
berbicara, paras muka mereka berubah ubah. Mereka kelihatannya sedang bertengkar. Dengan
kedua pipi bersemu dadu, Siauw Ciauw mengawasi Boe Kie, sedang Tay Kie mendesaknya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1108
dengan perkataan perkataan keras. Nyonya itu rupa rupanya tengah membujuk Siauw Ciauw
untuk meluluskan suatu permintaan, tapi si nona menolak keras. Belakangan sesudah melirik
Boe Kie dan menghela napas, Siauw Ciauw mengatakan sesuatu. Tiba tiba Tay Kie memeluk
dan menciumnya dan mereka berdua serentak mengucurkan air mata. Siauw Ciauw menangis
sedu sedan dan Tay Kie membujuknya dengan perkataan perkataan lemah lembut.
Dengan rasa heran, Boe Kie, Tio Beng dan Cie Jiak saling memandang. Mereka tidak
mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua wanitu itu.
“Lihatlah paras muka mereka sangat mirip satu sama lain,” bisik Tio Beng di kuping Boe Kie.
Boe Kie terkejut. Ia mengawasi. “Benar! Kedua duanya cantik, muka mereka potongan kwaci,
hidung mancung kulit putih dan paras mereka memang hampir bersamaan.” Dengan jantung
memukul keras ia ingat perkataan Kouw Tauw too Hoan Yauw di rumah makan. Kata kata
“sungguh sama” berarti sungguh sama dengan Cie san Liong ong?
Memikir begitu. Boe Kie lantas saja ingat sikap Yo Siauw dan puterinya yang sangat
berwaspada terhadap Siauw Ciauw. Setiap kali ia menanya mengapa mereka begitu berhati
hati terhadap seorang gadis cilik, jawabnya selalu tidak memuaskan. Sekarang baru ia
mengerti, bahwa Yo Siauw bercuriga karena paras muka nona itu sangat mirip dengan Cie san
Liong ong. Iapun baru mengerti mengapa Siauw Ciauw telah berusaha untuk mengubah
mukanya supaya kelihatan jelek.
Mendadak ia ingat sesuatu. “Perlu apa Siauw Ciauw datang di Kong beng teng?” tanyanya di
dalam hati. “Bagaimana ia bisa tahu pintu masuk dari jalanan rahasia? Ah… ia tentu disuruh
Cie san Liong ong untuk mencuri pelajaran Kian koen tay lo ie. Hampir dua tahun ia menjadi
pelayanku dan aku belum pernah berjaga jaga. Kalau ia mau menyalin pelajaran itu,
gampangnya seperti orang merogoh saku. Celaka sungguh! Aku… belum pernah bermimpi
mimpi, bahwa ia mengandung maksud tertentu. Boe Kie, Boe Kie!... Kau tolol! Kau terlalu
percaya kepada manusia…”
Sambil mengutuk diri sendiri, ia melirik Siauw Ciauw. Apa mau, si nona pun sedang
mengawasi dengan sorot mata penuh kecintaan murni. Sorot mata itu bukan sorot mata
berpura pura. Sekali lagi jantungnya memukul keras. Ia lantas saja ingat, bahwa pada waktu ia
menghadapi enam partai besar di Kong beng teng, Siauw Ciauw pernah melindungi dirinya
tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Selama hampir dua tahun, nona itu telah
merawat dan melayani dia dengan penuh pengabdian. Apa dia salah menerka?
Sekonyong konyong kapal bergoncang dan sudah tenggelam separuh.
“Thio Kauwcoe dan kawan2 tak usah kuatir!” kata Tay Kie. “Kalau sebentar kapal Cong
kauw datang disini, aku dan Siauw Ciauw sudah mempunyai daya upaya untuk
menghadapinya. Biarpun hanya seorang wanita, Cie san Liong ong bertanggung jawab atas
segala perbuatannya. Aku pasti tidak akan merembet rembet kalian, Thio Kauwcoe dan Say
ong Cia heng telah membuang budi yang seberat gunung kepadaku. Untuk itu semua, dengan
jalan ini Tay Kie menghaturkan banyak terima kasih.” Sehabis berkata begitu, ia menekuk
lututnya.
Cia Soen dan Boe Kie buru2 membalas hormat. Mereka tahu bahwa nyonya itu bersungguh,
tapi mereka sangsi apakah Cong kauw bersedia untuk melepaskan mereka.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1109
Perlahan tetapi pasti, kapal terus tenggelam. Tak lama kemudian, air sudah masuk di gubuk.
Semua orang lalu memanjat tiang layar dengan Boe Kie mendukung In Lee dan Cie Jiak
mendukung Tio Beng.
Sekonyong konyong, sambil menangis Siauw Ciauw menuding ke jurusan timur. Semua
orang menengok ke arah itu. Di tempat jauh, mereka melihat beberapa titik yang makin lama
makin jadi besar, yang kemudian ternyata adalah belasan kapal Persia yang menghampiri
dengan kecepatan luar biasa….
“Kalau aku jadi Tay Kie, aku lebih suka mati di air daripada dibakar hidup hidup,” kata Boe
Kie dalam hati. Tapi Tay Kie kelihatannya tenang tenang saja, sedikitpun tak mengunjuk rasa
jeri sehingga Boe Kie merasa kagum sekali. “Sebagai kepala dari empat Hoat ong dia
sungguh bukan sembarang orang” pikirnya. “Pada waktu Eng ong Say ong dan Hok ong
sudah dikenal sebagai orang gagah yang usianya tak muda lagi, dia masih jadi gadis remaja.
Tapi belakangan kedudukannya bisa berada di sebelah atas ketiga Hoat ong itu. Dilihat
sikapnya yang sekarang ia memang pantas mendapat kedudukan itu.” Sambil berpikir begitu
ia mengawasi kapal kapal Cong kauw yang makin dekat. “Aku telah merobohkan beberapa Po
soe ong dan kalau aku jatuh ke dalam tangan mereka, aku tak usah mengharap hidup,”
katanya pula dalam hati. “Biar bagaimanapun juga aku harus berusaha supaya Gie Hoe, Tio
Kauwnio, Cioe Kauwnio dan piauw moay bisa selamat. Dan juga… Siauw Ciauw. Hei!... Dia
boleh berkhianat terhadapku tapi aku tak bisa berkhianat terhadapnya.”
Tiba tiba In Lee bergerak dan membuka kedua matanya. Ia kaget ketika tahu, bahwa ia sedang
didukung Boe Kie. “A Goe Koko… dimana kita berada?” tanyanya. “Mengapa kau
mendukung aku?”
“Jangan takut,” kata Boe Kie. “Bagaimana keadaanmu?”
In Lee menggeleng gelengkan kepalanya. “Aku tak punya tenaga, rasanya lemas,” jawabnya
dengan suara parau.
Begitu datang dekat, semua mulut meriam dari belasan kapal Cong kauw ditujukan ke tiang
layar yang dipeluk oleh rombongan Boe Kie. Andaikata pemuda itu memiliki kepandaian
yang seratus kali lipat lebih tinggi, iapun tak usah harap bisa melawan peluru meriam meriam
itu.
Kapal kapal Cong kauw membuang sauh dan menurunkan layar dalam jarak kira kira seratus
tombak. Mereka rupa rupanya kuatir, bahwa kalau datang terlalu dekat, Boe Kie akan
melompat dan menawan pula beberapa Po soe ong.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara tertawanya Tie hwie ong. “Heei!” teriaknya.
“Apa kamu mau menakluk atau tidak?”
“Orang orang gagah dari Tionggoan boleh mati, tapi tidak boleh menekuk lutut,” jawab Boe
Kie dengan suara lantang. “Kalau kamu bukan kawanan pengecut, marilah kita mengadu ilmu
silat!”
Tie hwie ong tertawa nyaring. “Orang gagah sejati mengadu kepintaran, bukan mengadu
kekuatan,” teriaknya. “Sudahlah! Kamu tidak bisa berbuat lain daripada menyerah!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1110
Tiba tiba Tay Kie berbicara dalam bahasa Persia. Ia bicara dengan sikap angker. Tie hwie ong
kelihatan kaget dan lalu menjawab. Tayseng Po soe ong turut bicara. Sehabis mereka bicara,
dari atas kapal diturunkan sebuah perahu dengan delapan pendayung dan perahu itu segera
menuju ke kapal Boe Kie yang sudah hampir karam.
“Thio Kauwcoe, aku dan Siauw Ciauw mau menuju ke sana,” kata Tay Kie. “Kalian tunggu
saja disini sebentar.”
“Han hoejin!” bentak Cia Soen. “Beng kauw di Tionggoan telah memperlakukan kau secara
baik. Bangun atau robohnya agama kita tergantung atas Boe Kie seorang. Jika kau menjual
kami, kebinasaan Cia Soen tidak menjadi soal. Tapi kalau selembar rambut Boe Kie sampai
terganggu, biarpun sudah menjadi setan, Cia Soen pasti tak akan mengampuni kau.”
Jilid 61____________________
Tay Kis tertawa dingin, “Kalau anak angkatmu seperti mustika, apakah anakku tak lebih
daripada lumpur yg kotor?” tanyanya dengan suara getir. Sehabis berkata begitu seraya
menuntun tangan Siauw Ciauw, ia melompat ke perahu yang segera didayung kearah kapal
besar.
Mendengar perkataan nyonya itu, Cia Soen dan yang lain2 terkejut. “Kalau begitu benar
Siauw Ciauw puterinya,” kata Tio Beng.
Tak lama kemudian Tay Kis dan Siauw Ciauw sudah berada dikapal besar dan mereka terus
bicara dengan para Po Soe Ong.
Sementara itu kapal Boe Kie terus menenggelam dengan perlahan. Sedim demi sedim tiang
layar masuk kedalam air.
Cia Soen menghela napas. “Boe Kie,” katanya. “Aku salah menilai Han Hoejin, kau salah
menilai Siauw Ciauw. Boe Kie seorang lelaki sejati harus mundur dan bisa maju. Biarlah
untuk sementara waktu kita menelan hinaan untung mencari kesempatan guna meloloskan
diri. Diatas pundakmu terdapat beban yg berat. Berlaksa laksa rakyat di Tiong Goan
menunggu nunggu tindakan Beng Kauw untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Boe Kie
begitu ada kesempatan kau mesti menggunakannya untuk melarikan diri. Jangan perdulikan
yg lain. Kau adalah pemimpin suatu agama. Kau harus mengerti apa artinya itu.”
Sebelum pemuda itu menyahut Tio Beng sudah mendahului. “Fuh! sedang jiwa sendiri tak
bisa ditolong lagi, kau masih bicarakan soal Tat coe”
Cie Jiak yg sedari tadi terus membungkam, tiba2 berkata. “Rasa cinta Siauw Ciauw terhadap
Thio Kong coe sangat besar. Menurut pendapatku ia takkan berkhianat.”
“Apa kau tak lihat cara bagaimana Cie gan liong ong mendesak dia?” tanya Thio Beng.
“Semula Siauw Ciauw menolak, kemudian lantaran terlalu didesak, ia kelihatannya
meluluskan permintaan ibunya. Hm.. dan dia berlagak sedih.” Sesaat itu tiang layar hanya
menonjol setombak lebih dari permukaan air. Gelombang yang turun naik membawa semua
orang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1111
“Thio kong coe,” kata Tio Beng sambil tertawa, “kami akan mati bersama sama kau dan
segala apa tamat ceritanya. Tapi Siauw Ciauw yg licik dan licin malah tak bisa mati bersama
sama kau.” Biarpun kata2 itu semacam guyon, artinya sangat mendalam. Dengan berkata
begitu terang2 nona Tio menyatakan rasa cintanya yg sangat besar terhadap pemuda itu.
Boe Kie sendiri merasa sangat terharu. “Benar,” pikirnya. “Aku tak bisa menikah dengan
mereka sekaligus. Tapi bahwa aku bisa mati bersama2 mereka, tidaklah Cuma2 kuhidup
didunia ini.” Sambil memikir begitu ia melirik Tio Beng melirik Cie Jiak dan melirik pula In
Lee yang berada dalam dukungannya.
Ia menghela napas. In Lee masih berada dalam keadaan setengah sadar dan setengah lupa
sedang Tio Beng dan Cie Jiak seperti berlomba lomba dalam kecantikan. Pada muka mereka
yg bersermu dadu terdapat titik2 air, sehingga kalau Tio Beng seperti sekuntun bunga mawar,
Cie Jia bagaikan bunga anggrek. Ia menghela napas pula dan berkata dalam hati, “Hai!
Bagaimana aku bisa membalas budi merek?”
Sekonyong2 dari kapal2 Cong kauw terdapat sorak sorai bergemuruh. Boe Kie kaget. Ia
mendapat kenyataan, bahwa semua orang disetiap kapal berlutut diatas geladak dengan
menghadap kearah kapal besar itu sendiri, semua Po Soe ong berlutut dihadapan seorang yg
duduk disebuah kursi. Orang itu kelihatan seperti Siauw Ciauw. Sebab jarak terlampau jauh ia
tak bisa lihat tegas. Ia merasa sangat heran, apa yg dilakukan oleh orang Persia itu?
Beberapa saat kemudian, orang2 it bangung berdiri tapi sorak sorai yg sangat gembira, masih
terus terdengar.
Sekonyong2 sebuah perahu mendatangi. Waktu perahu itu sudah datang dekat,
penumpangnya ternyata bukan lain daripada Siauw Ciauw sendiri. Si nona menyapa dan
berteriak, “Tio Kongcoe! Mari kita naik kekapal besar. Mereka takkan menunggu kalian.”
“Mengapa begitu?” tanya Tio Beng.
“Kalian akan segera tahu,” jawabnya. “Aku pasti takkan mencelakai Tio Kong coe.”
Mendadak Cia Soen bertanya “Siauw Ciauw, apakah kau sudah menjadi Kauwcoe dari Beng
Kau di Persia?”
Siauw Ciauw tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepala. Selang beberapa saat air mata
mengalir, turun di kedua pipinya.
Mata Boe Kie berkunang kunang. Ia sekarang bisa menebak segala kejadian yg sebenarnya. Ia
berduka dan berterima kasih. “Kau telah berkorban untukku!” katanya dengan suara parau. Si
nona memalingkan kepalanya. Ia tidak berani berbentrok mata dengan pemuda itu.
Cia Soen menarik napas, “Tay kie mempunyai putra yg seperti kau tidaklah memlaukan nama
besarnya Cie Sang Liong Ong,” katanya. “Boe Kie, mari kita ikut Siauw Ciauw Kauwcoe.”
Sehabis berkata begitu, ia melompat ke perahu disusul oleh yg lain2. Delapan pedayung lantas
saja memutar perahu itu dan mendayung kan ke arah kapal yg besar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1112
Dalam jarak dua puluh tombak lebih para Po Soe Ong, membungkus untuk menyambut
Kauwcoe mereka. Biarpun Tay Kie ibunya si nona iapun menjalani peradatan seperti yg lain.
Begitu lekas rombongan Boe Kie naik dengan sikap sangan hormat beberapa pelayan lantas
mengantar mereka ke gubuk kapal untuk menukar pakaian yg basah.
Boe Kie sendiri diantar kesebuah kamar yang diperaboti mewah dan indah. Selagi ia
mengerinkan air dibadannya, tiba2 pintu diketuk dan ditolak soerang wanita yg kedua
tangannya menyangga seperangkat pakaian bertindak masuk dan wanita itu adalah Siauw
Ciauw.
“Kongcoe, biarlah aku melayani kau,” kata si nona.
Boe Kie merasa sangat terharu, “Siauw Ciauw,” katanya, “Sekarang kau sudah menjadi
Kauwcoe dari Cong Kauw dan pada hakekatnya aku sendiri adalah seorang sahabatmu. Mana
boleh kau melakukan lagi pekerjaan pelayanan?”
“Kongcoe inilah untuk penghabisan kali,” kata si noan. “Kita akan segera berpisahan jauh2
sekali, dan kita tak kan bertemu pula. Sesudah aku berada di negeri orang, biarpun mau tak
bisa aku melayani kau lagi.”
Boe Kie merasa hatinya hancur. Sambil menahan turunnya air mata, ia membiarkan si nona
membayangnya – membantunya memakai baju, mengancing baju, mengangkat tali pinggang
dan menyisir rambutnya. Sambil melakukan itu semua air mata Siauw Ciauw terus mengalir
di kedua pipinya.
Boe Kie tak dapat mempertahankan dirinya lagi, tiba2 ia memeluk erat2. Bagaikan bendungan
pecah si nona menangis tersedu sedan. Dengan tubuh bergemetara ia balas memeluk, “Siauw
Ciauw,” bisik Boe Kie, “Semula aku bahkan menduga kau berkhianat terhadapku. Tak
dinyana rasa cintamu begitu besar.”
Sambil menyandarkan kepalanya pada dada yg lebar, si nona berkata dengan suara perlahan,
“Kongcoe memang aku pernah menipu kau. Ibuku adalah seorang dari ketiga Seng lie cong
kauw. Ia mendapat perintah untukd atang di Tiong goan guna melakukan suatu pekerjaan
penting dengan pengertian bahwa kalau nanti kembali di Persia ia akan menduduki kursi
Kauwcoe. Tak disangka begitu bertemu dengan ayah, ibu jatuh cinta dan tidak dapat menahan
dirinya lagi. Ketika ayah meninggal dunia, aku masih berada di dalam kandungan dna aku
belum pernah melihat wajahnya. Ibu tahu bahwa ia berdosa besar. Ia menyerahkan cincin besi
Senglie kepadaku dan memerintahkan aku pergi ke Kong beng teng untun mencuri sim hoat
(pelajaran) Kian Koen Tay lo ie. Kongcoe didalam hal ini, aku sudah menipu kau. Aku tidak
memberitahukan hal yg sebenarnya kepadamu. Akan tetapi, hatiku bersih. Sedikitpun aku tak
punya niatan untuk menjadi Kauwcoe dari Beng Kauw ki Persia. Aku mengharap untuk
menjadi pelayanmu, untuk melayani kau seumur hidup, untuk tidak berpisahan denganmu
selama lamanya. Aku pernah memberitahukan harapanku ini kepadamu bukan? Dan kau
sendiri sudah meluluskan. Bukankah benar begitu?”
Boe Kie manggut2kan kepalanya.
Sesudah berdia sejenak, si nona berkata pula, “Aku sudah menghapal sim hoat kian koen tay
lo ie, tapi menghapalnya bukan lantaran didorong oleh niatan untuk berkhianat terhadapmu.
Kalau bukan karena terlalu kepaksa aku pasti tidak akan memberitahukan mereka.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1113
“Sudahlah kau tak usah bersedih lagi,” bisik Boe Kie. “Sekarang aku sudah mengerti
semuanya.”
“Sedari kecil, aku sudah melihat kekuatiran ibu,” kata pula Siauw Ciauw. “Siang malam ia tak
tentram. Belakangan ia menyamar sebagai nenek yg bermuka jelek ia mengirim aku kepada
lain keluarga dan hanya menengok aku setahun sekali atau dua tahun sekali. Kongcoe kalau
kau dan yang lain2 tidak menghadapi kebinasaan, jangankan menjadi Kauwcoe sekalipun
menjadi ratu Persiaa aku pasti akan menolak.”
Sehabis berkata begitu, ia menangis pula dengan badan bergemetara.
“Siauw Ciauw!” mendadak terdengar bentakan Tay Kie diluar kamar. “Jika kau
mengantarkan jiwanya Kongcoe.”
Bagaikan dipagut ular, si nona memberontak dari pelukan Boe Kie dan melompat mundur.
“Kongcoe, jangan ingat2 aku lagi,” katanya dengan suara parau. “In Kouwhie telah mengikuti
ibu dalam banyak tahun dan ia sangat mencintai kau. Ia akan menjadi seorang istri yg
budiman.”
“Siauw Ciauw,” bisik Boe Kie. “Mari kita menerjang keluar dan membekuk satu dua Po soe
ong. Kita bisa paksa mereka untuk mengantarkan kita ke Leng coa to.”
Si nona menggelengkan kepala, “Sekarang mereka sudah berjaga2,” katanya. “Tubuh Cia
Tayhiap dan Tio Kouwnio ditandalkan senjata. Kalau kita bergerak, mereka binasa.” Seraya
berkata begitu, ia membuka pintu berdiri Tay Kis yg punggungnya dituding dengan dua
pedang oelh dua orang Persia. Kedua orang itu membungkuk, tapi pedang mereka tidak
berkisar dari punggung Cie San Liong Ong.
Denga diikuti Boe Kie, si nona berjalan keluar. Benar saja mereka melihat, bahwa Cia Soen
dan lain2 berada dibanwah ancaman senjata.
“Kongcoe,” kata Siauw Ciauw, aku akan memberikan kau obat untuk mengobati luka In
Kouwnio.” Ia lalu berbicara dalam bahasa Persia dan Kong tek ong segera mengeluarkan
sebotol obat luar yg lalu diserahkan kepada Boe Kie.
“Aku akan memerintahkan orang untuk mengantar kalian pulang ke Tiong Goan,” kata pula si
nona. “Sekarang saja kata berpisahan. Kongcoe, badan Siauw Ciauw berada di Persia, hatinya
tetap bersama2 kau. Siang dan malam aku berdoa supaya kau selalu sehat segala pekerjaan
bisa berjalan lancar…” Ia tak dapat meneruskan perkataannya.
“Kau berada disarang harimau, jagalah dirimu baik2,” kata Boe Kie.
Si nona mengangguk dan lalu memerintahkan orang untuk menyediakan perahu.
Sesudah Cia Soen, In Lee, Tio Beng dan Cie Jiak turun ke perahu, Siauw Ciauw segera
memulangkan To Liong to Ie Thian Kiam dan enam Seng hwee leng kepada Boe Kie. Sambil
tertawa sedih, ia mengangkat tangan sebagai tanda perpisahan. Boe Kie berdiri terpaku, ia
tdiak bisa mengeluarkan sepatah kata. Selang beberapa saat dengan hati seperti tersayat pisau
ia melompat turun keperahu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1114
Kapal besar segera membunyikan terompet. Kedua kendaraan air bergeral memasang layar
dan mulai berpisahan dengan perlahan. Dengan berdiri di kepala kapal, Siauw Ciauw
mengawasi perahu Boe Kie. Makin lama mereka jadi makin jauh, sampai akhirnya masing2
lenyap dari pemandangan.
Obat luat yg diberikan kepada In Lee tidak menolong banyak. Lukanya banyak mendingan
tapi panasnya tak mau turun dan mulutnya terus mengaco karena di samping luka si nona jg
menderita demam keras sebagai akibat serangan hujan dan angin. Boe Kie mulai bingung.
Pada hari ketiga ia melihat pulau kecil disebelah timur. Buru2 ia minta pengemudi memutas
haluan kearah pulau itu. Tapi si pengemudi menolak dengan menggeleng2kan kepala dan
berbicara dalam bahasa Persia yg tidak dimengerti Boe Kie. Ia rupa2nya menolak sebab di
perintah mengantar rombongan itu ke Tiong Goan. Dengan geraka2n tangan Boe Kie coba
menerangkan, bahwa maksudnya adalah untuk mencari daun2 obat guna molong In Lee. Tapi
pengemudi itu tak mau mengerti. Akhirnya karena jengkel, Boe Kie lalu merampas kemudi
dan haluan perahu segera diputar ke jurusan timur.
Mereka tiba diwaktu magrib. Sesudah terombang ambing dilautan beberapa hari, semangat
mereka terbangun waktu menginjak lagi bumi. Luas pulau hanya beberapa li persegi tapi
karena hawanya hangat, pohon dan rumpu tumbuh dengan subur. Sesudah meminta Cie Jiak
menjaga In Lee dan Tio Beng, Boe Kie segera mencari daun2 obat.
Tapi mudah mencari daun obat dipulau itu. Sampai malam baru Boe Kie menemukan salah
satu macam. Ketika ia kembali, Cie Jiak sudah menyalakan api unggun.
In Lee kelihatan lebih segar. “A Goe koko,” katanya. “Sebaiknya malam ini kita menginap
disini saja.”
Semua orang segera menyetujui. Dipulau itu tidak terdapat binatang buas dan diantara
hangatnya bawa api, mereka tidur dengan hati lega.
Waktu fajar menyingsing, Boe Kie tersadar. Tiba2 ia terkejut, sebab perahu tidak ada
ditempatnya. Ia berlari2 diseputar pulau, tapi perahu itu tetap tidak kelihatan bayang2nya.
Dengan rasa bingung, ia mendaki bukit kecil. Baru beberapa tindak ia terhuyung hampir
jatuh. Ia merasa kedua lututnya tidak bertenaga.
Hatinya mencelos. “Gie Hoe!” teriaknya. “Apa kau baik?”
Cia Soen tidak menjawab. Ia makin bingung. Bagaikan terbang ia menghampiri. Hatinya agak
lega, karena Kim mo say ong sedang tidur dengan tenang. Karena ada batas2 antara lelaki dan
perempuan, Tio Beng, In Lee dan Cie Jiak tidur terpisah dibelakang sebuah batu besar.
Waktu Boe Kie pergi kesitu, ia melihat In Lee dan Cie Jiak tidur berhadapan, tapi Tio Beng
tidak kelihatan mata hidungnya. Begitu ia mendekati matanya berkunang2! Muka In Lee
belepotan darah dengan belasan tapak senjata tajam! Dengan tangan bergemetaran, ia
memegang nadi si nonan yg masih mengetuk dengan perlahan. Cie Jiak pun tidak terbebas
dari serangan. Sebagian rambutnya terpapas, sebagian kuping kirinya teriris putus. Tapi nona
Cioa sendiri masih teruk terpulas dengan bibir tersungging senyuman.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1115
Ketika itu perasaan Boe Kie sukar dilukiskan.
“Cie Kouwnio! Cie Kouwnio!” ia memanggil2. Tapi si noan Cioe tetap menggeros. Karena
terpaksa, Boe Kie lalu menggoyang2 pundaknya. Cie Jiak berbangkit beberapa kali kemudian
pulas lagi. Boe Kie tahu, bahwa nona itu kena racun, begitupun ia sendiri, sebab ia merasa
seluruh badannya tidak bertenaga lagi.
Cepat2 ia kembali ke ayah angkatnya, “Gie hoe! Gie hoe!” teriaknya.
Kim mo Say ong tersadar. Perlahan2 ia berduduk, “Ada apa” tanyanya.
“Celaka besar, Gie hoe!” jawabnya. “Kita ditipu manusia rendah.” Ia segera memberitahukan
hilangnya perahu dan terlukanya In Lee serta Cie Jiak.
Cia Soen terkejut. “Tio Kouwnio?” tanyanya.
“Entahlah, dia megnhilang,” sahutnya. Dia menarik napas dalam2 dan coba mengerahkan
tenaga. Ia merasa kaki tangannya mengambang dan lweekangnya tak bisa keluar. “Gie Hoe,”
katanya, “Kita kena racun Sip hiang Joan Kin san.”
Dari anak angkatnya, Cia Soen sudah mendengar tentang dirobohkannya orang2 enam partai
besar dengan racun itu. Ia segera berbangkit dan mendapat kenyataan, bahwa ia pun tidak
dapat mengeluarkan tenaga dalamnya. Sesudah menetapkan hati, ia bertanya, “Apakah dia
pergi dengan membawa To Liong To dan Ie Han kiam?”
Benar saja kedua senjata mustika itu tidak bisa ditemukan.
Rasa gusar, jengkel dan menyesal memenuhi dada Boe Kie. Ia bukan menyesal karena
tercurinya golok dan pedang mustika itu. Ia menyesal karena tak pernah menduga, bahwa,
pada waktu ia berada dalam kesukaran besar Tio Beng bisa mengkhianatinya.
Untuk beberapa saat, ia berdiri bagaikan patung. Ia sangat bekuatir akan lukanya In Lee dan
lalu pergi ke belakang batu. In Lee masih pingsan, sedang Cie Jiak masih tidur. “Lwee
kangku paling kuat, sehingga aku tesadar paling dulu,” pikirnya. “Sesudah aku, barulah
Giehge. Tenaga dalam Cioe Kouwnio masih terlalu cetek. Rasanya ia tak gampang2 tersadar.”
Ia segera merobek tangan bajunya dan menggunakannya untuk membersihkan darah dari
muka nona In, yang penuh dengan goresan2 garis malang melintang. Boe Kie tahu, bahwa
goresan2 itu dibuat denga Ie Thian Kiam. Semenjak terluka karena timpukan Cie san Ling
ong, In Lee telah mengeluarkan banyak darah. Sebagian besar racun laba2 yg mengeram
dalam tubuh si nan, jg turut keluar. Oleh karena itu sebagian besar bengkak2 pada mukanya
sudah menghilang, sebagian kecantikannya yg dahulu sudah pulih kembali. Tapi sekarang
muka cantik itu jadi lebih menakuti lagi sebab adanya goresan pedang.
Boe Kie merasa hatinya seperti disayat pisau. Darahnya bergolak dan ia berkata sambil
menggertak gigi: “Tio Beng! … Tio Beng!.... Kalau.... kau jatuh kedalam tanganku, Thio Boe
Kie bukan manusia, kalau dia tidak menggores seluruh mukamu!”
Sesudah hatinya agak tentram, ia berlari2 mencari daun2 obat, yg sesudah dikunyak didalam
mulutnya, lalu ditempelkan pada muka In Lee, pada kulit dan kuping Cie Jiak.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1116
Cie Jiak tiba2 tersadar. Ketika ia membuka mata dan mengetahui bahwa Boe Kie sedang
meraba2 kepalanya, mukanya lantas saja berubah merah. Ia mendorong dengan tangannya dan
bertanya, “Kau… mengapa kau…” sebelum selesai bicara, mendadak ia merasa kupingnya
sakit lalu merabanya. “Ah! …” teriaknya sambil melompat bangun. “Mengapa begini?”
Sekonyong2 kedua lututnya lemas dan ‘bruk!’ ia jatuh dalam pelukan Boe Kie.
“Cioe Kouwnio, jangan takut,” bujuk Boe Kie.
Dengan mata membelak, Cie Jiak mengawasi muka In Lee. Ia mengusap mukanya sendiri dan
bertanya, “Apa kau juga?”
“Tidak,” jawab Boe Kie. “Nona hanya mendapat luka enteng.”
“Perbuatan orang Persia?” tanya pula si nona. “Mengapa aku sama sekali tidak merasa?”
Boe Kie menghela napas, “Mungkin sekali ini semua dilakukan oleh Tio Kouwnio,” katanya.
“Rupa2nya semalam ia menaruh racun didalam makanan kita.”
Sesudah berdiri bengong beberapa saat, Cie Jiak meraba2 kupingnya yg hilang sebagian dan
tiba2 ia menangis.
“Cioe Kouwnio, untung juga kau hanya terluka enteng,” bujuk Boe Kie. “Kerusakan pada
kuping itu dapat ditutup dengan rambut dan tak akan bisa dilihat orang.”
“Rambut? Rambutku pun sudah hilang,” kata Cie Jiak dengan suara mendongkol.
“Yang terpapas hanya kulit ubun2 (meercu kepala) dan bagian itu bisa ditutup dengan rambut
dari kedua pinggiran kepala,” kata pula Boe Kie. “Kalau mau, nona bisa juga menggunakan
rambut palsu….”
“Hm!... “ si nona mengeluara suara dihidung. “Perlu apa aku menggunakan rambut palsu?
Ah… sampai pada detik ini, kau masih juga coba melindungi Tio Kouwniomu.”
Disemprot begitu Boe Kie tertegun.
“Aku melindungi dia?.... “ katanya seperti orang linglung. “Dia sungguh jahat…. Aku tak
akan mengampuni dia…” Ia melihat In Lee yg tak karuan macam dan air matanya mengucur.
Cia Soen dan Boe Kie benar2 bingung. Biarpun mereka orang2 gagah, jarang tandingan skrg
mereka tak tahu lagi apa yg hrs diperbuat.
Sesudah mengasah otak beberapa lama, Boe Kie bersila dan mencoba menjalankan
pernapasannya. Ia merasa, bahwa ia sudah keracunan berat. Ia tahu, bahwa Sip huang Joan
kin san hanya dapat dipunahkan dengan obat pemunah Tio Beng. Tapi demikian pikirnya,
daripada menunggu kebinasaan tanpa berusaha, ingin mencoba2 untuk melawan racun itu
dengan Lwee kang nya yg sangat tinggi. Ia segera menjalankan pernapasan guna membawa
dan mengumpulkan semua racun di kaki tangannya ke bagian tantian (bawah pusar). Inilah
ilmu tertinggi dari Kioe yang Sin kang yg dinamakan Poe tok Siauw kouw hoat (Ilmu
pemunah segala racun).
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1117
Sesudah mengerahkan tenaga dalam kira2 satu jam, ia merasa bahwa sebagian Lweekang
telah pulih kembali pada kaki tangannya. Hatinya jadi lebih lega, ia percaya bahwa ia akan
dapat mengusir racun itu dari tubuhnya.
Tapi karena harus menjalankan dengan Kioe yang Sin Kang, ia tidak bisa mengajar ilmu itu
kepada Cia Soen dan Cie Jiak. Jalan satu2nya ialah sesudah ia mengusir semua racun dari
tubuhnya, ia harus membantu Cia Soen dan Cie Jiak dengan Kioe yagn Sin Kang.
Ilmu itu sederhana, tapi sukar dijalankan. Sesudah berusaha tujuh hari, barulah Boe Kie bisa
mengusir tiga bagian racun. Harus diingat bahwa Sip hiang Soen Kin san ada salah satu
semacam racun yg terlihati didalam dunia. Tokoh2 seperti Kong boen Kong tie, Wan Cioe
Biat soet Soethay yg memiliki lweekang sangat tinggi masih tak berdaya. Bahwa didalam
tujuh hari Boe Kie berhasil mengusir tiga bagian racun dan mengambil pulang satu dua
bagian tenaga dalamnya. Didalam dunia, tak ada orang lain yg dapat melakukannya.
Untung juga racun itu hanya meniadakan Lwee kang dan tak membahayakan jiwa. Semula
Cie Jiak merasa sangat jengkel, tapi sesudah lewat beberapa hari, ia sudah jadi biasa. Ia selalu
mengawani Cia Soen menangkap ikan, memanah burung dan menyediakan makanan.
Diwaktu malam ia tidur disebuah guha disebelah timur pulau itu, terpisah jauh dari Boe Kie.
Biarpun buta, Cia Soen tahu, bahwa Cie Jiak mencintai anak angkatnya. Tapi nona itu sangat
menjaga tata kesopanan. Ia tak pernah mengeluarkan sepath kata yg bersifat guyon. Hal ini
sudah mendatangkan rasa hormat didalam hati orang tua itu.
Boe Kie sendiri terus dirundung dengan rasa kemalu2an. Ia merasa bahwa kemalangan ini
adalah gara2nya sendiri. Tio Beng seorang putri Mongol dan musuh Beng Kauw. Banyak
tokoh rimba persilatan roboh dalam tangan nona ini. Tapi ia sendiri secara sangat tolol sama
sekali tidak berjaga2. sepatahpun Cia Soen dan Cie Jiak tidak pernah menyalahkannya. Tapi,
maka mereka bungkam makin ia merasa jengah. Kadang2 matanya kebentrik dengan mata
nona Cioe. Sorot mata si nona seolah2 mengatakan begini, “Kejadian ini terjadi sebab kau
dibutakan dengan kecantikan Tio Beng.”
Racun dalam tubuh Boe Kie makin hari makin enteng, tapi luka In Lee kian hari kian berat.
Dipulau itu ternyata tidak terdapat daun obat. Walaupun Boe Kie memliki banyak ilmu
pengobatan yg tinggi ia tak berdaya. Ia tahu pasti bahwa pasti luka nona In dapat
disembuhkan. Tapi tanpa obat ia tak bisa berbuat banyak. Kalau dipulau itu terdapat pohon2
besar, ia tentu sudah membuat getek untuk berlayar guna mencari pulau lain. Tapi dipulau itu
hanya tumbuh pohon2 kecil. Kalau ia tak mengerti ilmu pengobatan masih tak apa. Tapi
sebagai ahli, siang malam hatinya seperti diiris2. Ia tahu bagaimana harus menolong, tapi ia
tak dapat menolong.
Pada suatu malam ia mengunyah seperti daun obat yg bisa menolak panas dan kemudian
memasukkannya kedalam mulut In Lee. Si nona tidak bisa menelan lagi. Bukan main rasa
dukanya dan air matanya jatuh berketel2 dimuka In Lee.
Tiba2 si nona membuka mata, ia tersenyum dan berkata, “A Goe koko, jangan kau susah hati.
Aku ingin pergi di dunia baga untuk menemui setan kecil Thio Boe Kie yg kejam dan pendek
umur. Aku ingin memberitahukan dia bahwa didalam dunia terdapat seorang A Goe koko yg
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1118
memperlakukan aku secara luar biasa baik seribuk kali, selaksa kali lebih baik daripada
perlakuan Thio Boe Kie.
Boe Kie menggigit bibir untuk menahan mengucurnya air mata.
Sementara itu, sambil memegang tangan pemuda itu erat2, In Lee berkata pula, “A Goe koko,
aku selalu menolak permintaanmu untuk menikah. Apa kau marah? Kurasa permintaanmu itu
bukan keluar dari hati yg sejujurnya. Kurasa kau menipu aku… kau hanya ingin
menyenangkan hatiku. Mukaku jelek, adatku aneh bagaimana kau bisa mencintai aku?”
“Tidak! Aku tak menipu kau!” kata Boe Kie dengan suara sungguh2. “Kau seorang gadis yg
sangat baik, yg berhati mulia dan penuh kasih. Aku akan merasa sangat beruntung apa bila
bisa menikah dengan kau. Sesduah kau sembuh semua urusan2 kita menjadi beres, kita akan
segara menikah. Apa kau setuju?”
Dengan sorot mata berterima kasih, In Lee mengusap2 muka Boe Kie. Ia menggeleng2 kan
kepala dan berkata dengan suara menyesal. “A Goe koko, aku tak bisa nikah dengan kau.
Aku… sudah diberikan kepada Thio Boe Kie yg kejam dan jahat… A Goe koko, aku merasa
takut… Apa yg bakal kau temukan didunia baka? Apakah ia masih akan mengunjuk
kegalakannya terhadapku?”
Mendengar perkataan si nona yg tak melantur lagi melihat kedua pipinya yg bersemu dadu,
hari Boe Kie mencelos. “Inilah tanda2 sinar terakhir dari api pelita yg hampir padam,”
katanya dalam hati. “Apakah piauwmoay bakal meninggal dunia hari ini juga?” Bagaikan
orang linglung ia mengawasi muka saudari sepupunya.
In Lee mengulan pertanyaannya.
“Dia selama2nya akan memperlakukan kau dengan penuh kecintaan,” jawab Boe Kie dengan
suara lemah lembut. “Dia akan menganggap kau sebagai jantung hatinya.”
“Apakah dia akan memperlakukan aku sama baiknya seperti kau?” tanya pula si nona In.
“Langi menjadi Saksti,” kata Boe Kie dengan suara tetap. “Thio Boe Kie mencintai kau
dengan setulus hati. Dia merasa menyesal bahwa diwaktu kecil dia pernah melakukan kau
secara tidak pantas. Dia… dia tiada bedanya… tidak beda dari aku sendiri.”
Si nona menghela napas dan pada bibirnya tersungging senyuman. “Kalau begitu… kalau
begitu… “ katanya dengan suara berbisik, “Aku.. aku tidak berkuatir lagi….” Perlahan2
kedua matanya tertutup dan rohnya kembali ke alam baka.
Sambil menggerung2 Boe Kie memeluk jenazah In Lee. Ia mengutuk dirinya. Ia merasa
menyesal tak habisnya, bahwa sampai menutup mata In Lee masih tak tahu, bahwa dia adalah
Thio Boe Kie. Selama beberapa hari sinona berada dalam keadaan lupa ingat dan pada detik
terakhir sudah tidak keburu diterangi padanya lagi. Kesedihan Boe Kie waktu itu tidak dapat
dilukiskan lagi dengan kalam. Ia mengutuk Tio Beng berulang2. Kalau mukanya tidak digores
pedang, belum tentu In Lee dapat ketolongan. Kalau tidak ditinggalkan dipulau mencil, begitu
tiba di Tiong Goan, ia akan bisa menolong saudari sepupunya itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1119
“Tio Beng!.. Tio Beng!” ia mengeluh dengan darah bergolak golak. “Begitu jahat kau!... kalau
kau jatuh didalam tanganku, aku pasti tidak akan mengampuni kau.”
“Hm!....” mendadak terdenagr suara dingin dibelakangnya. “Kalau sudah bertemu dengan si
cantik, belum tentu kau turun tangan.”
Boe Kie berpaling dan melihat Cie Jiak di belakangnya. Ia berduka tercampur malu.
“Aku sudah bersumpah dihadapan jenazah piauwmoay, bahwa jika aku tidak membunuh
perempuan siluman itu, Thio Boe Kie tak ada muka untuk hidup diantara langit dan bumi,”
katanya dengan suara parau.
“Kalau benar begitu, barulah kau seorang lelaki yg mempunyai ambekan,” kata Cie Jiak
seraya mendekati dan lalu menangis sambil memegang jenazah nona In.
Mendengar suara tangisan, Cia Soen datang dan iapun sangat berduka ketika tahu hal
meninggalnya In Lee.
Sesudah kenyang memeras air mata, Boe Kie lalu menggali lubang dan menguburkan In Lee.
Ia mengambil sebatang pohon mengulitinya dan dengan pisau si noan In, mengukir perkataan
seperti berikut, “Kuburan istriku yg tercinta, In Lee.” Dibawahnya ia mengukir namanya
sendiri. Sesudah itu, ia berlutut ditanah dan menangis tersedu2.
Melihat kesedihan pemuda itu, Cie Jiak merasa kasihan. “Sudahlah,” ia membujuk. “Dia
mencintai kau dan kaupun telah memperlakukannya dengan penuh kasih. Asal saja kau tidak
melanggar janjimu dan kau benar2 dapat membinasakan Tio Beng untuk membalas sakit
hatinya dialam baka roh, adik In akan merasa terhibur.”
(red: tidak ada halaman ato paragraph yg ilang disini, ketikan as is)
Karena keduanya, racun yg sudah berkumpul di tantian Boe Kie membayar pula. Dengan
bekerja keras tujuh delapan hari barulah ia bisa mengumpulkan pula racun yg buyar itu.
Akhirnya kira2 sebulan, semua racun baru dapat diusir pergi.
Pulau dimana mereka terkandas berbeda dari Peng Hwee to, ato Leng coa to. Disitu bukan
saja tak ada pohon pohon buah, tapi juga tidak terdapat binatang yg bisa dijadikan barang
santapan. Maka itu hidup mereka sangat menderita. Untung juga, sebab merasa kasihan akah
kemalangan Boe Kie, Cie Jiak sudah memperlakukannya dengan penuh kasihan dan
memberikan bujukan2 yg dapat diberikan sehingga dengan begitu, penderitaan pemuda itu,
banyak entengan.
Sesudah ia berhasil Boe Kie lalu membantu ayah angkatnya dalam usahanya mengusir racun
Sip Hiang Joan kin san. Setelah beres dengan Cia Soen, ia sebenarnya harus menolong Cie
Jiak, tapi pertolongan ia tidak dapat dilakukan sebab terbentur dengan tata kesopanan pada
jaman itu. Dalam memberi bantuan sebelah tangan Boe Kie harus menempel pada pinggang
dan sebelah tangan lagi hrs menempel pada kempungan yang mau ditolong. Mana boleh ia
membantu seorang gadis remaja cara begitu? Tapi itu merupakan jalan satu2nya untuk
memasukkan Kioe yg sin kang kedalam tubuh si nona selama beberapa hari, ia tidak dapat
mengambil keputusan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1120
Pada suatu malam tiba2 Cia Soen bertanya, “Boe Kie berapa lamakah kita harus berdiam
dipulau ini?”
Boe Kie terkejut, “Suka dikatakan,” jawabnya. “Kita hanya mengharap bahwa sebuah perahu
akan lewat dipulau ini.”
“Dalam waktu satu bulan, apakah kau pernah melihat bayang2an perahu?” tanya pula sang
Gie hoe.
“Tak pernah”
“Ya! Mungkin besok sebuah perahu akan lewat disini. Mungkin juga seratus tahun lagi tak
muncul bayang2annya.”
“Pulau ini memang pulau terpencil dan tidak berada dalam garis perhubungan air. Harapan
kita memang tidak besar.”
“Hm… obat pemunah tak akan bisa didapatkan, Boe Kie. Disamping rasa lemas pada kaki
tangan, bahaya apa lagi yg dapat ditimbulkan oleh racun itu?”
“Kalau mengeramnya didalam tubuh hanya sementara waktu, boleh dikata tiada lain bahaya.
Tapi kalau lama, racun itu menyerap diotot dan tulang dan sangat membahayakan anggota
didalam badan.”
“Nah kalau begitu mengapa kau tidak buru2 berusaha untuk menolong Cioe Kouwnio? Kalau
orang tua Cioe Kouwnio adalah anggota agama kita sedang ia sendiri seorang Ciangboen jin
dari Go bie pay. Dimana lagi kau mau cari gadis yg begitu lemah lembut dan mulia hatinya?
Apa kau anggap ia kurang cantik?”
Boe Kie tertegun. “Kalau Cioe Kouwnio tidak cantik, didalam dunia tak ada wanita cantik,”
jawabnya.
Cia Soen tersenyum, “Kalau begitu aku memerintahkan supaya kau berdua segera menikah,”
katanya. “Sesudah menikah, kamu tidak terikat lagi dengan segala peraturan bulukan.”
Cie Jiak yang juga berada disitu buru2 berlalu dengan paras muka kemerah2an. Cia Soen
melompat dan menghalangi didepannya. Ia tertawa dan berkata, “Jangan kau pergi! Hari ini
aku bertekad untuk menjalankan peranan comblang.”
“Cia Looya coe, mengapa kau mengacau belo?” kata si nona dengan sikap kemalu2an.
Kim mo Say ong tertawa terbahak. “Perangkap jodoh antara lelaki dan perempuan adalah
urusan penting dalam penghidupan manusia,” katanya. “Mengapa kau mengatakan aku
mengacau belo? Boe Kie, kedua orang tuamu jg menikah dipulau kecil. Kalau dahulu mereka
tidak menyampingkan segala tata adat istiadat bulukan, didalam dunia mana bisa menjelma
seorang bocah yg seperti kau? Berbeda dari kedua orang tuamu, hari ini, aku yg menjadi ayah
angkatmu, menjalankan peranan sebagai Coaboen (orang yang menikahkan). Apa kau tidak
suka Cioe Kouwnio? Apa kau tak sudi menolong dia?”
Cie Jiak jadi makin jengah. Ia coba lari.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1121
Sambil menarik tangan si nona, Cia Soen berkata, “Kemana kau mau lari? Apa besok kamu
tidak bakal bertemu pula. Aha! Kutahu, katu tidak sudi memanggil “Kong kong” kepadaku, si
buta. Bukankan begitu?”
“Bukan! Bukan begitu!”
“Dengan lain perkataan, kau menyetujui usulku?”
“Tidak!... tidak!....”
“Mengapa tidak? Apa kau anggap anak angkatku tak pantas menjadi pasangan?”
Cie Jiak tidak lantas menjawab. Sejenak kemudian, sambil menatap muka Kim mo Say ong ia
berkata dengan suara perlahan. “Thio Kong coe, memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan
namanya terkenal diseluruh kalangan Kangouw. Kalau seorang wanita bisa mendapatkan ia
sebagai suami, apalagi yg masih kurang? Tapi… tapi…”
“Tapi apa?”
“Tapi…. Didalam hati, dia mencintai Tio Kouwnio. Kutahu adanya kenyataan ini.”
Cia Soen menggertak gigi. “Tidak bisa jadi!” katanya. “Tak mungkin Boe Kie kelelap
terhadap perempuan yg begitu jahat, yg sudah mencelakai kita secara begini hebat. Boe Kie
aku ingin dengar pernyataan dari mulutmu sendiri.”
Didepan mata Boe Kie terbayang senyuman dan cara2 Tio Beng yg membetot hati. Ia merasa
sangat beruntung kalau bisa menikah dengan gadis yg sangat menarik hati itu. Tiba2 ia
seolah2 melihat pula jenazah In Lee yg mukanya penuh dengan goresan pedang. Darahnya
meluap dan ia segera berkata, “Tio Kouwnio adalah musuh besarku. Aku akan membunuh dia
guna membalas sakit hatinya piauwmoay.”
“Cioe Kouwnio, kau dengarlah!” kata Coa Soen. “Apa kau masih tak percaya?”
“Aku masih bersangsi…” jawabnya dengan suara perlahan. “Aku masih bersangsi, kecuali…
kecuali dia bersumpah. Kalau tidak, aku lebih suka mati daripada ditolong olehnya.”
“Boe Kie, lekas sumpah!” kata sang Giehoe.
Boe Kie segera berlutut dan berkata. “Apabila aku, Thio Boe Kie, melupakan sakit hatinya
piauwmoay, biarlah langit dan bumi mengutuk aku.”
“Kau harus bicara secara tegas,” kata Cie Jiak. “Apa yg ingin diperbuat olehmu terhadap Tio
Kouwnio?”
Didalam hati Cia Soen merasa geli. Galak benar nona Cioe! Belum jadi istri, tuntutannya
sudah begitu hebat. Tapi sebagai seorang tua, ia lantas saja berkata. “Boe Kie, hayolah bicara
biar tegas!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1122
Boe Kie mengangguk dan berkata dengan suara nyaring. “Perempuan siluman Tio Beng
bekerja untuk kaisar Tat coe. Dia mencelakai rakyat, membunuh pendekar2 Rimba Persilatan
mencari golok mustika Gie Hoe dan membinasakan In Lee piauwmoay. Begitu lama ia masih
bernapas, Thio Boe Kie tidak akan melupakan sakit hati itu. Jika aku melanggar sumpah ini,
biarlah langit mengutuk aku, bumi mengutuk aku.”
Cie Jiak tertawa. “Aku hanya kuatir, jika tiba waktunya kau akan menaruh balas kasihan
terhadapnya,” katanya.
“Sekarang sudah berse,” kata Cia Soen. “Kita, orang2 dalam kalangan kangouw, selamanya
tidak banyak rewel. Menurut pikiranku, sebaiknya kamu berdua hari ini segera menikah,
supaya racun Sip haing joan kin san bisa terusir secepat mungkin.”
“Tidak!” bantah Boe Kie. “Giehoe, Cie Jiak dengarlah dulu perkataanku. In kouwnio sangat
mencintai aku. Sedari kecil ia menganggap aku sebagai suami nya dan akupun menganggap
dia sebagai istri. Sekarang, sedang jenazah nya masih belum dingin, mana aku tega untuk
segerah menikah?”
Sesudah memikir sejenak, Cia Soen berkata, “Benar juga. Tapi bagaimana keinginanmy?”
“Menurut pikiran anak, hari ini anak mengikati tali pertunangan dengan Cioe Kouw nio dan
segera membantunya dalam mengusir racun Sap hiang joan kin san,” jawabnya. “Kalau
dengan berkah langit, kita bisa pulang ke Tiong goan sesudah membunuh Tio Beng dan
memulangkan To liong to kepada Gie hoe, barulah anak melangsungkan upacara pernikahan.
Dengan begini, segala apa akan dapat diselesaikan secara baik.”
“Baik memang baik sekali,” kata Cia Soen. “Tapi bagaimana kalau sampai sepuluh duapuluh
tahun kita masih belum bisa pulang ke Tiong goan?”
“Didalam batas waktu tiga tahun, tak peduli kita bisa pulang ke Tiong goan atau tidak Gieh pe
boleh menikahkan kami,” jawabnya.
Kim mo sau ong mengangguk, “Cio Kouw nio, bagaimana pendapatmu?” tanyanya.
Cie Jiak menundukkan kepalanya, selang beberapa saat, barulah ia menyahut. “Aku seorang
perempuan sebatang kara. Aku tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan menyerahkan
segala apa kepada Loo ye coe.”
Cia Soen tertawa terbahak2, “Bagus! Bagus!” katanya. “Kita bertiga menetapkan janji itu.
Sekarang kamu sudah menjadi tunangan dan tak usah malu2 lagi. Boe Kie, lekas bantu,
tunanganmu!” Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan tindakan lebar.
Sesudah ayah angkatnya pergi, Boe Kie berkata dengan suara perlahan. “Cie Jiak, apakah kau
bisa mengerti perasaan hatiku yg penuh kesengsaraan?”
Si nona tersenyum, “Karena mukaku tak cantik, kau sudah mengajukan rupa2 alasan,”
katanya. “Andai kata aku Tio Kouwnio, mungkin sekarang juga….” Ia tidak meneruskan
perkataannya dan berpaling kejurusan lain.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1123
Dengan jantung memukul keras, Boe Kie berkata didalam hati, “Waktu terombang ambing
ditengah lautan aku pernah melamun untuk mengambil empat istri sekaligus. Tapi didalam
hati kecilku, orang yg benar2 kucintai adalah si perempuan siluman yg jahat itu. Hai! ….
Cuma2 saja aku dinamakan seorang gagah…. Aku masih belum bisa membedakan mana yg
baik mana yg jahat.”
Ketika Cie Jiak menengok lagi, ia lihat tunangannya sedang termenung. Tanpa mengatakan
suat apa, ia segera berjalan pergi Boe Kie buru2 menarik tangannya. Diluar dugaan sebab
lweekangnya musnah, ditarik begitu, nona Cioe terhuyung dan jatuh didalam pelukan Boe
Kie. “Apakah seumur hidup aku harus selalu di hina kau?” tanyanya dengan suara
mendongkol.
Cie jiak benar2 cantik. Ia cantik selagi tertawa dan cantik pula selagi bergusar. Sambil terus
memeluk, Boe Kie berkata daengan suara lemah lembut. “Cie Jiak, kata pertama bertemu
disungai Han soe. Waktu itu aku sudah mencintai kau. Sungguh diluar dugaan, bahwa hari ini
apa yg telah dibayang2kan olehku dapat terwujud. Waktu aku sedang bertempur melawan
empat tetua Koen loen dan hwa san pay di kong beng teng, kau telah memberi petunjuk
kepadaku dan menolong jiwaku, untuk pertolongan itu, aku sekarang menghaturkan banyak
terima kasih.”
Si nona membiarkan dirinya dipeluk.
“Hari itu aku menikam kau, apa kau tidak membenci aku?” bisiknya.
“Tidak,” jawabnya “Kau tak menikam terus. Detik itu juga kutahu, bahwa kau sebenarnya
mencintai aku.”
Muka Cie Jiak lantas saja berubah merah. “Fui! Kalau kutahu bakal terjadi kejadian2 yg
sudah terjadi, hari itu aku sudah menikam jantungmu, supaya aku tak dihina kau terus
menerus,” katanya.
Boe Kie tertawa, “Aku sangat mencintaimu, mana boleh aku menghina kau?” katanya.
Untuk beberapa saat, kedua orang muda yg sedang menikmati kebahagian tidka berkata2.
Akhirnya, sambil bersandar didada yg lebar, nona Cioe memecahkan kesunyian.
“Boe Kie koko,” katanya. “Kalau aku membawa kesalahan kepadamu, kalau aku berdosa
apakah kau akan mencaci aku, memukulku, membunuh aku?”
Boe Kie mencium leher si nona. “Wanita yg semulia kau tak mungkin berdosa,” jawabnya.
“Biarpun nabi bisa membuat kesalahan sebagai manusia biasa, aku pasti tak terbebas dari
segala kekhilafan.”
“Kalau benar begitu, aku takkan marah. Aku hanya akan membujuk kau supaya insaf akan
kekeliruan.”
“Apa kau takkan berubah pikiran terhadapku? Apa kta takkan membunuh aku?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1124
“Cie Jiak, sudahlah! Jangan memikir yang tidak2. Mana bisa terjadi kejadian itu?”
“Baiklah!” kata Boe Kie sambil tertawa.
“Aku berjanji takkan berubah pikiran, tak akan membunuh kau.”
Cie Jiak menatap wajah Boe Kie, “Aku tak mau kau memberi janji sambil tertawa-tawa,”
katanya. “Aku menuntut kau bersungguh.”
“E-eh!... Ada apa yg masuk kedalam otakmu?” tanya Boe Kie sambil tertawa geli. Tapi
didalam hati dia berkata.
“Dasar aku yg salah. Ia rupa2nya masih berkuatir, karena sikapku yg penuh kecintaan
terhadap Tio Beng. Siauw Ciauw dan piauw moay.” Memikir begitu, dia lantas saja berkata
dengan sungguh2. “Cie Jiak, kau istriku. Kalau dahulu hatiku banyak bercabang, sekarang
lain keadaannya. Aku berjanji, bahwa mulai detik ini, aku takkan berubah pikiran
terhadapmu. Andai kata kau bersalah, andai kata kau berdosa, aku bahkan takkan mencaci
kau.”
Si nona menghela napas. “Boe Kie koko,” katanya. “Kau seorang laki2 yang sejati. Kuharap
dihari kemudian, kau tidak akan melupakan perkataanmu yg dikeluarkan pada malam ini.” Ia
menuding bulan sisir yg baru muncul “Boe Kie koko, sang rembulan menjadi saksi kita
berdua.”
“Benar,” kat Boe Kie, “Kau benar. Sang rembulan menjadi saksi.” Sambil mengawasi dewi
malam itu ia berkata pula.
“Cie Jiak, selama hidup, sering sekali aku dihina orang. Sebab terlalu percaya manusia, sering
sekali aku menderita. Entah berapa kali, aku tak ingat lagi. Hanyalah pada waktu berada di
Peng hwee to bersama ayah, ibu dan Giehce, aku terbebas dari segala kelicikan manusia
rendah. Waktu aku baru tiba di Tiong goa, seorang pengemis sedang bermain main dengan
seekor ular, telah menipu aku. Dia membujuk supaya aku melongok kedalam karungnya
untuk melihat ularnya dan tiba2 ia menangkrup dengan karungnya itu. Lihatlah sekarang. Kita
datang dipulau ini dnegna sama sama menderita. Siapa nyana pada malam pertama, Tio
Kouwnio telah menaruh racun dimakanan kita dan kabur dengan perahu yg satu2nya?”
Si nona tersenyum. “Sudahlah,” katanya, “Menyesalpun tiada gunanya.”
Tiba2 gelombang rasa bahagia bergolak golak dalam dada Boe Kie. “Cie Jiak,” bisiknya.
“Kau adalah manusia yg berada paling dekat denganku. Kau selalu memperlakukan aku
dengan penuh kecintaan. Dihari kemudian, sesudah kita pulang dari Tiong goan, kau dapat
membantu aku untuk berjaga jaga terhadap manusia2 rendah. Dengan bantuanmu, aku boleh
tak usah mengalami lebih banyak penderitaan lagi.”
Si nona menggelengkan kepalanya, “Aku seorang yg tak punya guna,” katanya.
“Aku kalah jauh daripada Tio Kouwnio, bahkan masih kalah dari Siauw Ciauw kouwnio. Apa
kau tahu, bahwa istrimu seorang bodoh?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1125
Demikianlah, sambil berduduk dipinggir pantai kedua tunangan ini beromong kosong sampai
larut malam.
Pada keesokan harinya Boe Kie mulai membantu Cie Jiak dengan Kioe yang Sin kang. Ia
merasa girang bahwa tunangannya segera mendapat kemajuan. Mungkin sekali, sebab tidak
banyak makan, Cie Jiak hanya menelan sedikit racun.
Tapi diluar dugaan, pada hari ketujuh didalam tubuh si nona muncul semacam hawa yang
amat dingin, yg melawan hawa Kioe yang sin kang. Dengan seantero tenaganya, Cie Jiak
coba menekan hawa dingin itu, tapi ia tetap tak dapat memasukkan Kioe yang Sin Kang
kedalam badannya. Boe Kie kaget dan segera menanyakan pendapat ayah angkatnya.
Sesudah memikir beberapa saat, Cia Soen berkata, “Akupun tidak mengerti. Mngkin sekali
karena pemimpin Go Bie pay seorang wanita, maka tenaga dalam mereka bersifat Im Jioe
(dingin lembek).”
Boe Kie manggut2kan kepalanya.
Untung jg lweekang Cie Jiak berada disebelah bawah lweekang Boe Kie. Maka itu dalam
memasukkan sin kang kedalam tubuh si nona, pemuda itu dapat menindih hawa yg sangat
dingin itu. Tapi dengan demikian ia harus mengeluarkan lebih banyak tenaga daripada waktu
membantu ayah angkatnya. Ia merasa bahwa Im Kim (tenaga dingin) dari tunangannya
memang belum kuat. Tapi sebagai ahli, ia tahu, bahwa dihari kemudian, kalau Cie Jiak sudah
mencapai tingkat yg tinggi, ia kaan memperoleh lwee kang yg dahsyat luar biasa. Tanpa
terasa ia memuji, “Cie Jiak, gurumu, Biat Coat Soethay, memang seorang tokoh jarang
tandingan. Ia telah mewariskan lweekang yg sangat tinggi kepadamu. Apabila kau terus
berlatih menurut ajaran itu, dikemudian hari tenaga dalammu akan bisa berendeng dengan
Kioe yang sin kaing yg dimiliki olehku.”
“Justru!” kata si nona sambil tertawa.
“Mana bisa ilmu GO bie pay merendengi Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen Tay Lo Ie dari
Toa Kauw Coe (Kauwcoe besar)?”
“Cie Jiak, aku tidak bicara main2,” kata pula Boe Kie dengan paras sungguh2.
“Bakatmu sangat baik, mungkin sekali, didalam jurus2 ilmu silat, kau tidak dapat memahami
telalu banyak. Tapi dalam lweekang kau sudah mempunya dasar yg sangat baik. Tay suhu
sering mengatakan, bahwa pada tingkat tertinggi ilmu silat yg berhubungan erat dengan sifat
seorang manusia yg mempelajarinya. Seorang yg berotak cerdas belum tentu bisa naik sampai
dipuncak tertinggi. Sepanjang ceritga ayah, Kwee liehiap pendiri Go Bie pay, yaitu Kwee
tayhiap adalah seorang yg berotak tumpul. Akan tetapi semenjak dahulu sampai sekarang,
ilmu silat yg dimiliki Kwee tayhiap mungkin belum ada tandingannya. Tay soehoe
mengatakan bahwa ia sendiri belum bisa merendengi lwee kang Kwee tayhiap. Cie Jiak, aku
bersungguh2. pelajaran lwee kang Go bie pay agaknya masih lebih tinggi dari Boe tong pay.
Menurut penglihatanku dihari nanti, kalau kau sudah berhasil, kau bisa berada disebelah atas
gurumu sendiri.”
Si nona mengawasi tunangannya. “Ah! Kau hanya ingin mengambil hatiku,” katanya seraya
tersenyum. “Aku sudah merasa sangat puas, apabila aku bisa memperoleh sepersepuluh dari
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1126
kepandaian Sian soe. Aku akan segera berterima kasih, jika kau sudah mengajarku dalam ilmu
Kioe yang Sin Kang Kian Koen tay lo Ie.”
Boe Kie tidak menjawab ia megerutkan alisnya.
Si nona tertawa, “Apa aku belum cukup berderajat untuk menjadi murid Tao Kauwcoe?”
tanyanya.
“Bukan begitu! Aku merasa bahwa lweekang mu berbeda dari lweekang ku. Bukan saja
berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Kalau aku mengajar kau akan menghadapi suatu
yg amat sukar dan sangat berbahaya. Bukan aku tak sudi.”
“Kalau kau tak sudi mengajar, sudahlah! Perlu apa rewel2? Dalam belajar ilmu silat, paling
banyak tidak berhasil. Mana bisa jadi berbahaya?”
“Kau salah! Kau salah menerka. Kioe yang Sin kang adalah lweekang yg bersifat Yang Kong
(panas keras) sedang lweekang Go bie pay bersifat Im jioe (dingin lembek). Apabila kau
melatih diri dalam ilmu Kioe yang Sin kang, maka Im dan Yang akan bercampur menjadi
satu. Hanyalah orang2 yg memiliki kepandaian sangat tinggi, misalnya Tay suhu, yg bisa
mempersatukan “air” dan “api” bercampur “keras” dengan “lembek”. Salah sedikit saja ilmu
itu akan membakar, orang yg berlatih seperti golok makan tuan. Hm…. Cie Jiak, nanti
manakala lweekangmu sudah mencapai tingkat yg tinggi, kau boleh mempelajari Sim hoat
dari Kian koen Tay lo ie.”
Si nona tertawa geli, “Aku hanya berguyon,” katanya. “Mulai dari sekarang aku tak akan
berpisah lagi dengan kau, sehingga tak ada perbedaan apa itu ilmu silatku atau ilmu silatmu.
Aku manusia yg malas. Kioe yang Sin kang bukan ilmu yg gampang. Maka ia biarpun
dipaksa, belum tentu aku mau mempelajarinya.” Mendengar kata2 yg manis itu, Boe Kie
merasa girang sekali.
Dalam suasana bahagia, tanpa merasa mereka sudah berdiam dipulau itu selama beberapa
bulan. Cie Jiak merasa seantero tenaganya sudah pulih kembali. Mungkin sekali semua racun
sudah terusir.
Sesudah musim dingin lewat, tibalah musim semi yg indah. Pada suatu hari, Boe Kie
memeting beberapa ranting tho yg penuh bunga disebelah timur pulau. Dengan rasa terharu, ia
menancapkan ranting2 di depan kuburan In Lee. Ia ingat bahwa saudari sepupu itu bernasib
malang. Mungkin sekali, sehari pun nona itu belum pernah mencicipi rasa beruntung. Ia
berdiri terpaku dan didepan matanya terbayang pula kejadian2 pada masa yg lampau.
Mendadak, ia disadarkan oleh suara burung2 laut. Ia menengadah dan tiba2 saja ia melihat
layar ditempat jauh dan kendaraan air itu sedang mendatangi kearah pulau. Itulah kejadian yg
tak diduga2. Hatinya meluap dengan kegirangan. Ia melompat dan berteriak sambil berlari2.
“Gie hoe! Cie Jiak! Kapal! Ada kapal!”
Cia Soen dan Cie Jiak lantas saja menghampiri. “Boe Kie koko,” kata si nona dengan suara
gemetar, “Bagaimana bisa ada kapal datang kesini?”
“Akupun tak mengerti” jawabnya. “Apa kabal bajak?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1127
Setengah jam kemudia, kapal layar itu sudah membuang sauh di luar pulau. Sebuah perahu
kecil menghampiri pulau. Cia Soen bertiga berdiri di pesisir untuk menyambut. Segera juga
mereka mendapat kenyataan, bahwa orang2 di perahu itu semua mengenakan seragam
angkatan laut Mongol.
Jantung Boe Kie memukul keras. “Apa Tio Kouwnio berubah pikiran dan datang lagi kesini?”
tanyanya didalam hati. Ia melirih Cie Jiak yang ternyata sedang mengerutkan alis. Rupa2 nya
tunangan itupun mempunyai dugaan yg sama.
Tak lama kemudia perahu itu menepi. Lima orang anak buah mendarat. Pemimpinnya seorang
perwira, menghampiri Boe Kie dan bertanya sambil membungkuk, “Apa tuan Thio Boe Kie,
Thio Kongcoe?”
“Benar,” jawabnya. “Siapa tuan?”
Mendengar jawaban itu, ia kelihatan girang sekali, “Namun Siauw jin yg rendah, Pas Tai,”
sahutnya. “Siauwjin merasa sangat beruntun, bahwa hari ini kami bisa menemukan Kongcoe.
Siauwjin menerima perintah untuk menyambut Thio Kongcoe dan Cia Tayhiap pulang ke
Tionggoan,” ia tidak menyebut nama Cie Jiak.
Boe Kie menyoja, “Dari tempat jauh tuan datang kesini dan kami merasa sangat berterima
kasih,” katanya. “Tapi apa kau boleh mendapat tahu, siapa yg memerintahkan tuan?”
“Siauw jin adalah orang sebawahan Teetok angkatan laut, Taiwa Che lu, yang menjaga
propinsi Hiok kian,” jawabnya. “Atas perintah Pol tua, Ciang Koen (jendral), siauwjin datang
kesini untuk menyambut Kongcoe dan Cia Tayhiap Pol tua Ciang koen telah mengirimkan
delapan buah kapal yg coba mencari kalian diperairan sepanjang propinsi Hok Kian, Ciat
kang dan kwitang. Atas berkat Thian, siauw jin lah yg memperoleh pahala ini.” Dari keterang
itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang yg berhasil mencari Boe Kie akan mendapat hadiah
besar.
Boe Kie belum pernah mendengar nama pembesar2 Mongol itu dan ia tahu bahwa semua
perintah dikeluarkan atas titah Beng Beng koengcoe. “Apa kau tahu, mengapa kau diperintah
untuk menyambut kami?” tanyanya.
“Pol tua Ciang koen mengatakan, bahwa Thio Kongcoe adalah seorang bangsawan
berkedudukan tinggi dan juga seorang gagah kenamaan pada jaman ini,” jawabnya. “Beliau
memesan, bahwa andaikata siauwjin berhasil menemukan Kongcoe, siauw jin harus melayani
sebaik mungkin. Tentang mengapa siauwjin diperintah menyambut kongcoe, siauwjin sendiri
sebagai seorang berpangkat rendah, tidak mengetahui.”
“Apa ini maunya Beng beng kongcoe?” sela Cie Jiak.
Pas tai kelihatan terkejut, “Beng beng kongcoe?” ia menegas. “Siauwjin tak punya rejeki
begitu besar untuk menemui beliau.”
“Apa artinya perkataan ‘rejeki’ itu?” tanya pula si nona.
“Beng beng koengcoe adalah wanita Mongol yg tercantik,” sahutnya. “Tidak!... bukan begitu
saja. Beliau adalah wanita tercantik diseluruh dunia, seorang yg boen boe coan cay (paham
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1128
ilmu surat dan ilmu perang). Beliau adalah putra yg tercinta dari Jie Lam ong Ong ya.
Siauwjin belum punya rejeki untuk melihat muka emasnya.”
Cie Jiak mengeluarkan suara dihidung, tapi dia tidak menanya lagi.
“Gie hoe, apa kita boleh turut merek?” tanya Boe Kie.
“Sesudah mengambil barang2 kita disana, kita boleh lantas naik kapal,” jawabnya. “Tuan
tunggu saja disini.”
“Biar Siauwjin dan anak buah kami yang mengangkut perbekalan kalian,” kata Pas Tai.
Cia Soen tertawa, “Perbekalan apa? Beberapa potong barang kita tidak dapat dinamakan
perbekalan. Kami tidak berani menerima tawaran tuan,” katanya.
Seraya berkata begitu, ia berlalu sambil menuntun tangan Boe Kie dan Cie Jiak. Setibanya
dibelakang gunung, ia berhenti dan berkata, “Secara mendadak Tio Beng mengirim kapal. Di
balik tindakan ini pasti bersembunyi tipu keji. Bagaimana kita harus menghadapinya?”
“Gie hoe, apa kau rasa… Tio Beng… berada di kapal itu?” tanya Boe Kie.
“Entahlah,” jawabnya. “Bagus sungguh kalau benar perempuan siluman itu berada dikapal.
Kita hanya harus berhati2 dalam makanan.”
Cia Soen manggut2kan kepalanya.
“Menurut taksiranku, Tio Beng tidak ikut serta,” katanya pula. “Menurut ia ingin menulad
tindakan orang Persia. Ia memancing kita kekapal dan setelah kapal berada ditengah lautan,
pasukan laut Mongol akan mengurung dan menenggelamkan kapal yg ditumpangi kita.”
Boe Kie mengeluarkan keringat dingin.
“Tapi.. apa benar dia begitu busuk?” tanyanya dengan suara gemetar. “Dia sudah tinggalkan
kita dipulau ini yang akan menjadi kuburan kita. Apa itu masih belum cukup? Pada
hakekatnya kita bertiga belum pernah berdosa besar terhadapnya.”
Cia Soen tertawa dingin, “Kau sudah melepaskan anggota2 enam partai dari Ban hoat sie,”
katanya. “Apa kau kira dia tidak sakit hati? Bagi peremouan siluman itu, perempuan siluman
meninggalkan kita di pulau ini memang tak cukup sebab kita masih bisa pulang ke Tiong
goan. Menghilangnya kau sudah pasti akan menggemparkan semua anggota Beng kauw.
Mereka pasti akan berusaha untuk mencari kau. Dalam usaha ini, mungkin sekali mereka akan
mencari sampai disini. Maka itu, jalan yg paling baik bagi si perempuan siluman adalah
membinasakan kita dengan mengirim kita kedasar laut.”
“Tapi Gie hoe,” kata si anak dengan suara sangsi, “Kalau mereka menenggelamkan kapal
yang ditumpangi kita dengan tembakan meriam, bukankah Pas Tai dan lain2 anak buah kapal
bakal turut binasa?”
Cia Soen tertawa terbahak2. Sesudah itu ia pun menghela napas berulang2. “Anak Boe Kie!
Pikiranmu terlalu sederhana,” katanya. “Apa kau rasa orang2 yg seperti dia menghiraukan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1129
matinya beberapa manusia? Kalau kaisar Mongol lembek seperti kau, mana bisa dia menyapu
musuh2nya?”
Boe Kie tertegun. Selang beberapa saat baru lah ia berkata dengan suara perlahan. “Gie hoe,
kau benar.”
“Gie hoe, apakah yang harus kita perbuat?” tanya Cie Jiak.
“Bagaimana pikiranmu. Apa kau mempunya daya yg baik?” Cia Soen balas menanya.
“Kalau begitu, kita jangan mengikuti mereka. Katakan saja bahwa kita berubah pikiran dan
sekarang tak mau pulang ke Tiong goan.”
“Ha, ha,ha! Pikiran itu adalah pikiran tolol dari seorang gadis yg tolol pula. Kalau kita
menolak, apa mereka mau mengerti? Andaikata kita membinasakan semua anak buah kapal
itu, si perempuan siluman masih bisa mengirim lain2 kapal. Disamping itu, di Tionggoan
masih banyak urusan yg harus diurus oleh Boe Kie. Ia tidak boleh mati konyol disini.”
Paras si noan lantas saja berubah merah. “Benar,” katanya dengan perlahan. “Sebaiknya kita
menyerahkan saja segala apa kepada Gie Hoe.”
Cia Soen manggut2kan kepalanya. Setelah mengasah otak beberapa laam ia lalu bicara bisik2
dikuping kedua orang muda itu yg lantas saja mengangguk dengan paras muka girang.
Mereka lalu mengangkut semua bahan makanan keperahu kecil dan sesudah itu, Boe Kie
menengok kekuburan In Lee untuk penghabisan kali dan berpamitan dengan mengucurkan air
mata.
Jilid 62________________
Setibanya di kapal, Boe Kie lalu memeriksa seluruh kapal. Benar saja Tio Beng tidak berada
di situ. Iapun mendapati kenyataan, bahwa di antara anak buah tidak terdapat orang yang
berkepandaian tinggi. Mereka semua adalah pelaut-pelaut biasa dari angkatan perang Mongol.
Sesudah mengangkat sauh dan menaikkan layer, kapal itu mulai berlayar. Baru berlayar
beberapa puluh tomabk, Boe Kie segera bertindak dengan cepat sesuai dengan tipu yang
ditetapkan Cia Soen. Tiba-tiba dengan kecepatan kilat, tangan kirinya mencekal tangan
kanannya mencabut golok perwira itu, yang lalu ditandal di lehernya.
“Dengarlah perintah aku!” bentaknya.
“Suruh juru mudi jalankan kapal ke arah timur!”
Pas-tai kaget bercampur takut. “Thio…Thio Kong-coe…” katanya dengan suara gemetar,
“Siauwjin…Siauwjin.”
“Turut perintahku!” bentak pula Boe Kie. “Kalau kau tidak menurut, kubacok batok
kepalamu!”
“Baik…baik…” jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1130
Haluan kapal segera diputar ke timur.
Setelah itu, Boe Kie berkata dengan suara nyaring. “Kamu semua dengarlah! Aku sudah tahu
bahwa kamu ingin mencelakai kami. Lebih baik kamu mengaku. Kalau kamu berdusta,
kucabut nyawamu semua!” Seraya berkata begitu, ia menepuk pinggiran kapal dengan telapak
tangan. Potongan-potongan kayu beterbangan dna bagian-bagian yang ditepuk somplak.
Melihat begitu, semua anak buah ketakutan setengah mati.
“Thio Kongcoe, kau bersabarlah dulu.” Kata Pas-tai dengan meringis. “Dengan sebenarbenarnya,
siauwjin hanya menerima perintah dari atasan untuk mencari Kongcoe dan Cia
Tayhiap dan mengajak kalian pulang ke Tionggoan. Siauwjin hanya berharap bahwa sesudah
menunaikan tugas itu, siauwjin akan mendapat sedikit hadiah. Inilah pengakuan yang setulustulusnya.
Kami semua tidak mempunyai niat jahat.”
Mendengar nada suara yang bersungguh-sungguh, Boe Kie yakin bahwa dia tidak berdusta. Ia
segera melepaskan cekalannya dan berjalan ke kepala kapal. Kedua tangannya menjumput
dua buah sauh yang terbuat dari besi. “Hei! Lihatlah!” serunya. Dengan sekali menggerakkan
tangan, kedua sauh yang beratnya beberapa ratus kati lantas saja terbang ke atas.
“Aduh…!” semua anak buah kapal mengeluarkan suara tertahan.
Waktu kedua sauh itu jatuh, Boe Kie mendorongnya dengan menggunakan Kian-koen Tay lo
ie, sehingga mereka terbang lagi ke atas. Setelah mengulangi pertunjukkan itu tiga kali
beruntun, barulah ia menyambutnya dan kemudian menaruhnya di kepala kapal.
Sebagai bangsa yang sudah menaklukkan negeri-negeri dengan kegagahan, bangsa Mongol
sangat mengagumi kegagahan. Melihat kepandaian Boe Kie, tanpa terasa mereka kagum.
“Kegagahan Thio Kongcoe bagaikan malaikat,” kata Pas-tai. “Hari ini mata Siauwjin
mendapat kehormatan untuk sesuatu yang luar biasa.”
Demikianlah, dnegan memperlihatkan kepandaian itu, Boe Kie berhasil menaklukkan anak
buah kapal.
Kapal terus menuju ke arah timur dan masuk ke samudra. Selama tiga hari ia tak melihat lain
kecuali air yang menyambung dengan langit. Menurut perhitungan Cia Soen kapal-kapal
meriam yang dikirim Tio Beng hanya berkeliaran di sepanjang pantai Hok-kian dan Kwi-tang.
Sekarang kapal yang ditumpanginya sudah berada di samudra dan takkan bertemu dengan
kapal-kapal itu. Maka itu, pada hari kelima ia lalu memerintahkan supaya kapal memutar
haluan lagi dan berlayar menuju ke arah utara. Berselang dua puluh hari lebih mereka masuk
di wilayah pak hay (Lautan Utara). Cia Soen tersenyum sendirian. Biarpun pintar, Tio Beng
takkan bisa menebak di mana adanya kapal itu. Dari pak hay, juru mudi diperintah lagi untuk
memutar haluan ke arah barat, dengan tujuan Tiong-goan. Selama kurang lebih sebulan, Cia
Soen bertiga hanya makan makanan yang dibawa mereka atau ikan yang ditangkap dari
lautan. Mereka tak berani makan makanan kapal.
Pada suatu lohor, sayup-sayup mereka lihat bayangan daratan. Sesudah berada di lautan
dalam waktu lama, tentara Mongol girang dan ia bersorak sorai. Di waktu magrib, kapal
sudah berlabuh di pinggir pantai. Daerah pantai memang satu-satunya daerah yang merupakan
gunung dan airnya dalam, sehingga kapal bisa menepi sampai menempel dengan daratan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1131
“Boe Kie,” kata Cia Soen, “Coba kau selidiki di mana kita sekarang berada.” Boe Kie
mengiyakan dan lantas melompat ke daratan.
Apa yang ditemui Boe Kie hanyalah hutan. Salju baru saja melumer dan jalanan sangat licin.
Makin jauh ia maju, makin besar pohon-pohon yang ditemuinya. Ia memanjat sebuah pohon
yang tinggi dan memandang ke sekitarnya. Ia ternyata berada di tengah-tengah sebuah hutan
yang sangat besar. Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda bahwa di hutan itu ada musuhnya.
Ia segera turun dari pohon dan mengambil keputusan untuk kembali ke kapal guna berdamai
dengan ayah angkatnya. Sebelum tiba, tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yang menyayat
hati. Ia terkesiap dan berlari-lari dengan menggunakan ilmu meringankan badan. Setibanya di
kapal, ia melihat mayat-mayat yang menggeletak di kapal, antaranya mayat pas-tai sendiri. Ia
girang karena ayah angkatnya dan tunangannya tak kurang suatu apa. Mereka berdiri dengan
tenang di kepala kapal dan di situ tidak terdapat manusia lain.
“Giehoe! Cie Jiak!” serunya. “Ke mana perginya musuh?”
“Musuh apa?” Cia Soen balas bertanya.
“Apa kau bertemu dengan musuh?”
“Tidak. Tapi tentara Mongol ini…”
“Dibunuh olehku dan Cie Jiak!”
Boe Kie terkesiap, “Tak disangka, begitu tiba di Tiong-goan, mereka mencoba mencelakai
kita,” katanya.
“Tidak, mereka tak mencoba mencelakai kita. Aku membunuh mereka untuk menutup
mulutnya. Sesudah mereka mati, Tio Beng tak akan tahu bahwa kita sudah kembali ke Tionggoan.
Mulai dari sekarang, dia berada di tempat terang dan kita di tempat gelap, sehingga
usaha untuk membalaskan sakit hati akan lebih gampang tercapai.”
Boe Kie tertegun. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata dan hanya menatap wajah ayah
angkatnya dengan mata membelalak.
“Apa? Kau anggap aku terlalu kejam?” tanya Cia Soen. “Tentara Tat coe adalah musuhmusuh
kita. Apa kau mau memperlakukan mereka dengan menggunakan hati Po sat (balas
kasih)?”
Boe Kie membungkam terus. Di dalam hati, ia berduka. Orang-orang itu tidak berdosa dan
sikap mereka sangat baik. Biarpun musuh, ia merasa tak tega untuk membunuh mereka.
Melihat paras muka anak angkat Cia Soe berkata, “Boe Kie, kau harus bisa mengeraskan hati.
Terhadap musuh, kalau kita tidak turun tangan lebih dulu, kitalah yang menjadi korban. Tio
Beng sangat jahat. Terhadap manusia begitu, kita harus menghadapinya dengan tindakan yang
tegas, tanpa sungkan-sungkan lagi.”
Boe Kie tidak berani membantah perkataan ayah angkatnya. Ia mengangguk dan berkata
dengan suara parau, “Giehoe benar.”
“Boe Kie, bakarlah kapal ini,” perintah Cia Soen. “Cie Jiak, geledah saku-saku semua mayat.
Ambil semua barang yang berharga. Ambil tiga senjata yang paling baik untuk kita.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1132
Perintah itu segera dijalankan. Semua mayat terbakar bersama kapal yang kemudian
tenggelam di laut. Dengan demikian, kembalinya Cia Soen bertiga tidak meninggalkan tanda
apapun juga. Diam-diam Boe Kie merasa kagum terhadap ayah angkatnya. Walaupun kejam,
ayah angkat itu adalah seorang Kang ouw yang berpengalaman.
Malam itu mereka tidur di pinggir laut dan pada keesokan paginya meneruskan perjalanan ke
selatan. Pada hari kedua sesudah melintasi hutan, mereka bertemu dengan tujuh orang yang
mencari obat-obatan sejenis “som”. Ternyata mereka sekarang berada di daerah yang
berdekatan dengan gunung Tiang pek san.
Sesudah berpisah dengan ketujuh orang itu, Cie Jiak bertanya, “Giehoe, apa kita tak perlu
bunuh orang-orang itu?”
“Cie Jiak, tutup mulutmu!” bentak Boe Kie, “Mereka tak tahu siapa kita. Apa kau mau bunuh
semua manusia yang kita temui?”
Paras muka si nona berubah merah. Semenjak bertemu, Boe Kie belum pernah mengeluarkan
kata-kata begitu keras terhadapnya.
“Kalau ikut kata hatiku, aku memang ingin bunuh mereka,” kata Cia Soen, “Tapi Kauwcoe
kita tidak mau membunuh lebih banyak manusia. Sekarang kita harus menukar pakaian dan
menyamar supaya tidak dikenali orang.”
Sesudah berjalan dua hari, mereka bertemu dengna sebuah rumah petani. Boe Kie
mengeluarkan perak dan minta beli pakaian. Tapi petani itu sangat miskin dan hanya
mempunyai selembar baju kulit kambing yang bisa dijual. Sesudah mereka mengunjungi kirakira
tujuh delapan rumah, barulah Boe Kie berhasil membeli tiga perangkat pakaian tua yang
kusam. Cie Jiak yang biasa dengan kebersihan hampir-hampir muntah waktu mengendus bau
tak enak dari pakaian itu. Tapi Cia Soen merasa girang. Sesudah mengenakan pakaianpakaian
itu dan memoles muka mereka dengan Lumpur, mereka kelihatannya seperti
pengemis Lieon tong. Boe Kie yakin bahwa biarpun berhadapan, Tio Beng tak akan bisa
mengenalinya.
Mereka terus berjalan ke arah selatan. Pada suatu hari, mereka tiba di sebuah kota yang harus
dilewati jika orang mau masuk ke Kwan-lwee. Cia Soen bertiga pergi ke sebuah rumah makan
yang paling besar. Boe Kie mengeluarkan sepotong perak yang beratnya sepuluh tail dan
berkata kepada pengurus restoran, “Kau pegang ini. Sesudah kami selesai makan, hitunglah.”
Ia memberi uang lebih dulu sebab kuatir ditolak karena pakaian mereka compang-camping.
Tapi sambutannya sangat luar biasa. Pengurus itu bangun berdiri dan dengan sikap hormat
memulangkan uang. “Kami sudah merasa beruntung bahwa kalian sudi mampir di rumah
makan kami yang kecil ini. Apa artinya semangkok dua mangkok sayur? Kali ini biarlah kami
yang menjamu kalian.”
Boe Kie merasa sangat heran. Sesudah mengambil tempat duduk ia berbisik kepada Cie Jiak,
“Aku heran. Mengapa dia tak mau menerima uang? Apa penyamaran kita tidak sempurna dan
dikenali orang?”
Cie Jiak mengawasi Cia Soen dan Boe Kie, tidak, penyamaran mereka dapat dikatakan tidak
ada cacatnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1133
“Nada suara pengurus itu nada ketakutan,” kata Cia Soen, “Kita harus berhati-hati.”
Tiba-tiba di bawah tangga loteng terdengar suara langkah kaki ramai-ramai dan tujuh orang
naik ke atas, mereka semua pengemis! Lagak pengemis-pengemis itu sangat keren da mereka
duduk seperti tuan-tuan besar. Pelayan menyambut dengan sikap sangat hormat dan
memanggil mereka dengan istilah “ya” (padaku tuan), seolah-olah mereka orang-orang
berpangkat tinggi.
Boe Kie segera saja mengetahui bahwa mereka itu murid-murid Kay pang yang berkedudukan
agak tinggi, sebab mereka membawa lima atau enam lembar karung. Beberapa saat kemudian
datang lagi lima enam pengemis, disusul dengan rombongan-rombongan lain sehingga jumlah
mereka melebihi tiga puluh orang. Diantara mereka terdapat tiga orang yang membawa tujuh
lembar karung.
Boe Kie mendusin. Kay pang mau mengadakan perhimpunan dan si pengurus rumah makan
menganggap mereka sebagai anggota-anggota partai tersebut. “Giehoe,” bisik Boe Kie,
“Sebaiknya kita berlalu saja supaya tidak terjadi kejadian yang tak enak. Dilihat seluruhnya,
orang-orang Kay pang yang datang ke sini jumlahnya sangat besar.”
Selagi Boe Kie bicara, seorang pelayan datang dengan membawa sepiring daging sapi, ayam
rebus dan lima kali arak putih.
Sudah lebih dua bulan Cia Soen belum pernah makan kenyang dan sekarang ia sedang lapar.
Begitu hidungnya mengendus wanginya daging, tangannya bergerak. “Makan dulu,” katanya.
“Halangan apa kalau kita makan tanpa memperdulikan urusan orang?” Seraya berkata begitu,
ia menuang arak di mangkok dan lalu meneguknya dengan bernapsu. Dua puluh tahun lebih ia
tak pernah mencicipi arak, baginya arak putih yang keras dan pedas itu seolah-olah arak yang
paling baik. Dengan dua kali teguk, semangkok besar sudah menjadi kering.
Tiba-tiba ia menaruh mangkok di meja dan berbisik, “Hati-hati! Dua orang yang kepandaian
tinggi naik ke sini.”
Boe Kie pun sudah mendengar langkah di tangga loteng. Langkah kaki kiri orang yang
berjalan di depan sangat berat, langkah kaki kanannya sangat ringan, sedang yang berjalan di
belakang pun begitu juga, langkah sebelah ringan, sebelah yang lain berat. Tak bisa salah lagi,
mereka mempunyai kepandaian luar biasa. Begitu mereka muncul, semua pengemis serentak
bangun berdiri. Cia Soen bertiga juga turut bangkit. Untung juga mereka duduk di sudut yang
jauh sehingga tidak menyolok mata.
Orang yang pertama bertubuh sedang, tampan dan berjenggot. Kecuali pakaiannya, pada
keseluruhannya ia seperti seorang siaucay yang tak lulus ujian. Yang jalan belakangan keren
sekali. Di mukanya menonjol otot-otot, brewoknya seperti kawat, parasnya galak dan kulitnya
hitam sehingga melihat dia, orang segera ingat Cioe Cong (panglima di jaman Sam kok yang
selalu berdiri di samping Kwan kong). Keduanya berusia lima puluh tahun lebih dan masingmasing
menggendong selembar karung kecil yang tidak bisa dimuatkan suatu apa dan hanya
digunakan untuk menunjuk kedudukan mereka di dalam partai pengemis.
Boe Kie menghela napas. Ia ingat bahwa seratus tahun yang lalu, Kay pang mempunyai nama
yang sangat harum. Dari Tay soehoenya ia tahu bahwa dulu sebagai seorang pangcu, Ang Cit
Kong yang berkepandaian sangat tinggi telah mengabdi kepada rakyat dan selalu bersedia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1134
untuk menolong sesame manusia sehingga dia dihormati oleh semua kalangan dalam Rimba
Persilatan. Belakangan Oey Pangcoe (Oey Yong) dan Yehlu Pangcoe juga merupakan
pemimpin-pemimpin yang sangat baik. Di luar dugaan selama beberapa puluh tahun, Kay
pang banyak berubah. Soe Hwee Liong, Pangcoe yang sekarang belum pernah muncul dalam
kalangan Kang ouw. Dengan membawa sembilan karung, kedua orang itu berkedudukan
sangat tinggi hanya di bawah Pangcoe sendiri. “Apakah mereka yang menyuruh orang datang
di Leng coa to untuk merampas To liong to?” tanya Boe Kie di dalam hati.
Sejak beberapa puluh tahun yang lampau yaitu dari Seng hwee leng dirampas oleh Kay pang,
hubungan Beng-kauw dan Partai Pengemis bagaikan air dan api. Dalam usaha untuk merebut
kembali tanda kekuasaan agama itu, beberapa kali orang Beng-kauw bertempur hebat dengan
orang-orang Kay pang. Sebab Beng-kauw dipandang sebagai agama sesat, maka dalam setiap
pertempuran banyak orang Rimba Persilatan membantu Kay pang dan Beng-kauw selalu
menderita kekalahan.
Sekarang biarpun Tio liong to dan Ie thian kiam dicuri Tio Beng, untung juga keenam Seng
hwee leng tidak turut dicuri. Mungkin sekali karena takut terhadap kepandaian Boe Kie yang
sangat tinggi maka Tio Beng tidak berani merogoh saku pemuda itu. Melihat jumlah orang
Kay pang yang sangat besar, Boe Kie tidak berani memandang rendah. Ia segera merogoh
saku untuk memastikan bahwa Seng hwee leng masih berada di dalamnya.
Kedua Tiang-loo sembilan karung itu segera duduk pada sebuah meja besar yang terletak di
tengah-tengah. Tiang-loo yang bermuka seperti Cioe Cong lalu mengeluarkan sebatang
tongkat bambu yang panjangnya kira-kira empat kaki dalam karung dan menaruhnya di atas
meja. Sebagian murid-murid Kay pang segera berlutut. “Murid-murid Ouw-ie-pay menghadap
Ciang-pang Liong-tauw!” seru dia (Ciang-pang Liong-tauw – Pemimpin yang memegang
tongkat kekuasaan).
Sebab Kay pang musuh Beng-kauw maka sesudah menjadi Kauwcoe, Boe Kie lalu mencari
tahu seluk-beluk partai pengemis. Ia tahu bahwa sejak dulu Kay pang terbagi dalam dua
golongan, yaitu golongan Ouw-ie-pay (Golongan baju kotor) dan Ceng-ie-pay (Golongan baju
bersih). Melihat semua pengemis yang berlutut berpakaian kusam, ia mengerti bahwa Ciangpang
Liong-tauw adalah pemimpin Ouw-ie-pay.
Sesaat kemudian, Tiong-loo yang seperti sioecay mengeluarkan sebuah mangkok yang
mulutnya somplak dari dalam karung dan menaruhnya di atas meja. Sisa pengemis yang
mengenakan pakaian bersih segera saja menekuk lutut. “Murid-murid Ceng-ie-pay
menghadap Ciang-poen!” teriak mereka (Ciang-poen Liong-tauw – Pemimpin yang
memegang mangkok kekuasaan).
Kedua pemimpin itu mengangkat tangan mereka dan berkata, “Duduklah!” Semua pengemis
bangkit dan duduk di kursi masing-masing.
Boe Kie baru menarik napas lega. Menyambut kedua Tiang-loo itu dengan berdiri masih tidak
apa-apa. Tapi sebagai Kauwcoe dari Beng-kauw, biar bagaimanapun juga ia tidak boleh
berlutut di hadapan pemimpin Kay pang. Untung juga karena mereka duduk di sudut yang
paling jauh dan mata kedua Tiang-loo it uterus mengawasi langit-langit tanpa memperhatikan
orang-orang yang berlutut, maka tak ada orang yang lihat bahwa Cia Soen bertiga tidak ikut
berlutut.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1135
Pengemis-pengemis itu segera makan minum seperti orang kelaparan. Mereka main rebut,
berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Cia Soen berwaspada, memasang kuping dan mata. Di luar
dugaan dalam perjamuan itu tak terjadi kejadian luar biasa dan tak terdengar sesuatu yang
penting. Sesudah kedua Liong-tauw selesai bersantap dan turun ke bawah, pengemispengemis
yang lain pun ikut bubar.
Sesudah semua pengemis meninggalkan loteng, Cia Soen berbisik, “Boe Kie, bagaimana
pendapatmu?”
“Tak mungkin mereka berkumpul di sini hanya untuk makan minum,” jawabnya. “Anak rasa,
mereka akan berkumpul lagi di tempat lain, di tempat yang sepi untuk membicarakan soal
penting yang menjadi tujuan mereka.”
Cia Soen mengangguk. “Akupun berpendapat begitu,” katanya. “Kay pang adalah musuh kita,
sesudah bertemu kita harus menyelidiki dengna jelas maksud pertemuan mereka. Aku kuatir
kalu mereka mau mengatur siasat untuk mencelakai Beng-kauw.”
Mereka turun dan mencoba membayar uang makanan tapi ditolak keras oleh pengurus rumah
makan. “Giehoe, kau lihatlah,” kata Boe Kie. “Rumah makan takut menerima uang, dari sini
dapatlah diketahui bahwa Kay pang sering melakukan perbuatan sewenang-wenang.”
Mereka segera mencari sebuah rumah penginapan kecil di tempat yang agak sepi. Menurut
kebiasaan, murid-murid partai pengemis tak pernah menginap di hotel sehingga Cia Soen tak
usah kuatir akan bertemu dengan rombongan musuh.
“Boe Kie, mataku buta dan tak bisa ikut menyelidiki,” kata Cia Soen. “Kepandaian Cie Jiak
belum cukup, biarpun ikut ia takkan bisa membantu kau. Sebaiknya kau pergi sendiri saja.”
Boe Kie mengangguk. Sesudah mengaso sebentar, ia lalu keluar seorang diri. Dari selatan ia
berjalan ke utara, tapi sesudah berjalan beberapa lama, seorang pengemis pun tak ditemui
olehnya.
“Ke mana mereka pergi?” tanya Boe Kie di dalam hati. Sebab baru berpisah kira-kira
setengah jam, ia percaya rombongan pengemis itu belum pergi jauh dan ia akan bisa
mencarinya.
Ia lalu pergi ke sebuah warung kelontong. Sambil menepuk meja dengan mata melotot ia
membentak, “Hei! Ke mana perginya saudara-saudaraku?”
Melihat sikap yang galak, orang-orang di warung itu jadi ketakutan. Salah seorang yang
bernyali lebih besar menghampiri dan sambil menuding ke utara ia berkata, “Kawan-kawan
Toaya (tuan) menuju ke sana. Apa Toaya mau minum teh?”
“Tidak. Aku tak sudi minum segala teh bau,” bentak Boe Kie yang lalu berjalan keluar
dengan langkah lebar. Dalam hati ia tertawa geli.
Baru saja ia melewati perbatasan kota, dari gombolan rumput tinggi mendadak melompat
keluar seorang pengemis yang dilihatnya dari gerakannya mau mencegahnya. Dengan cepat ia
melompat sambil mengempos semangat. Bagaikan anak panah, badannya berkelabat melewati
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1136
si pencegat. Pengemis itu mengucek matanya. Ia merasa heran. Apa ia salah lihat? Ke mana
perginya manusia yang tadi kelihatan mendatangi?
Mulai dari situ, sepanjang jalan di jaga keras. Boe Kie segera mengeluarkan ilmu
meringankan badan. Dengan matanya yang sangat jeli, ia bisa lihat penjaga-penjaga yang di
tempatkan di antara rumput-rumput tinggi, di belakang pohon atau di belakang batu besar.
Sebaliknya daripada jadi halangan, orang-orang itu merupakan penunjuk jalan. Sesudah
berlari-lari empat lima li penjagaan makin rapat. Kepandaian orang-orang itu kalah jauh dari
Boe Kie tapi meloloskan diri dari mata mereka di tengah hari benar-benar bukan pekerjaan
kecil, arah satu kelenteng di lereng gunung ia menduga bahwa perhimpunan Kay pang akan
dilansungkan di rumah berhala itu.
Setibanya di situ, ia lihat papan nama yang tertulis “Bie lek Sin bio Kelenteng bie lek hoat”.
Kelenteng itu besar, indah dan angker, “Dengan memilih tempat di sini, pertemuan mungkin
akan dihadiri oleh banyak tokoh-tokoh penting,” pikirnya. “Kalau aku membaurkan diri di
antara mereka, mereka mungkin sadar.” Ia lalu mengamat-amati keadaan di sekitarnya. Di
dalam pekarangan sebelah kiri di depan toa tian (ruangan besar) terdapat sebuah pohon siong
tua, sedang di sebelah kanannya berdiri pohon pak. Kedua pohon itu rindang daunnya, besar
dan tinggi, lebih tinggi banyak dari atap toa tian. Ia segera pergi ke belakang kelenteng dan
melompat ke atas genteng. Dengan merunduk, ia mengayun dan sekali melompat ia sudah
berada di pohon siong. Sambil memeluk sebatang cabang besar ia melongok ke bawah dan ia
bersorak di dalam hati, sebab dari situ ia bisa memandang ke seluruh toa tian.
Lantai Tay hiong Po tian ternyata sudah penuh dengan pengemis yang berjumlah kira-kira
tiga ratus orang. Mereka semua menghadap ke dalam sehingga melompatnya Boe Kie ke
pohon tak dilihat mereka. Dalam ruangan itu terdapat lima lembar tikar yang masih kosong.
Rupa-rupanya kelima pemimpin masih ditunggu kedatangannya. Apa yang sangat menyolok
adalah kesunyian di ruangan itu. Ratusan pengemis duduk dengan tegak tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Dalam hati Boe Kie memuji. Walaupun derajat Kay pang sudah banyak merosot
dan meskipun di waktu biasa kawanan pengemis itu sering menunjukkan sikap tak pantas
pada tata tertib partai.
Di tengah-tengah Tay hiong Po tian duduk patung Bie lek hoed dengan perut yang gendut,
mulut tertawa lebar dan paras muka yang sangat ramah.
Selagi Boe Kie memperhatikan semua itu tiba-tiba terdengar teriakan seseorang. “Ciang-poen
Liong-tauw tiba!”
Semua pengemis serentak berdiri tegak dan menundukkan kepala. Dengan tangan memegang
sebuah mangkok somplak, Ciang-poen Liong-tauw melangkah keluar dan lalu berdiri di
sebelah kanan.
“Ciang-pang Liong-tauw!” orang itu berteriak pula.
Tiang-loo yang mukanya seperti Cioe Cong muncul dengan kedua tangan menyangga tongkat
bambunya yang berkilauan. Ia berjalan dengan langkah lebar dan lalu berdiri di sebelah kiri.
Sesudah itu terdengar teriakan ketiga, “Cie-hoat Tiang-loo!” (Tetua yang memegang undangundang)
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1137
Seorang pengemis tua yang bertubuh kurus dan memegang sebatang belahan bambu pecah,
masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang sangat enteng. “Ilmu ringan badan orang itu
cukup hebat,” piker Boe Kie. “Kira-kira standing dengan po-tay Hweeshio dan hanya beda
setingkat dari Wie Hok-ong.”
Teriakan keempat segera menyusul, “Coan-kang Tiang-loo!” (Tetua yang menurunkan ilmu)
Yang keluar kini seorang kakek yang berambut dan berjenggot putih. Paras mukanya aneh
seperti tertawa tapi bukan tertawa. Seperti menangis bukan menangis. Ia bertangan kosong
dan langkahnya tidak memperlihatkan tinggi rendah kepandaiannya.
Keempat orang itu lalu memindahkan empat lembar tikar ke sebelah bawah dari tikar yang di
tengah dan kemudian sambil membungkuk mereka berseru, “Kami mengundang Pangcoe!”
Boe Kie terkejut, Pangcoe dari Partai Pengemis yang bernama Soe Hwee Liong dan bergelar
Kim gin ciang (Tangan emas dan perak) jarang sekali muncul dalam Rimba Persilatan.
Hadirnya pemimpin itu membuktikan betapa pentingnya pertemuan yang sedang berlangsung.
Semua pengemis turut membungkuk dengan sikap hormat. Tak lama kemudian di belakang
terdengar suara langkah dan keluarlah seorang pria bertubuh tinggi besar. Gerak gerik orang
itu yang mukanya bersinar merah seolah-olah orang itu berpangkat atau hartawan besar dan
pakaiannya biarpun tidak mewah sedikitnya bukan pakaian pengemis. Dengan tangan kanan
memegang tiat-tan (peluru besi yang digunakan sebagai senjata), ia melangkah masuk dengan
langkah lebar.
“Murid-murid Kay pang memberi hormat kepada Pangcoe!” teriak para pengemis.
Soe Hwee Liong mengibaskan tangannya, “Cukuplah!” katanya. Sehabis berkata begitu, dia
segera duduk di tikar yang terletak di tengah-tengah dan semua pengemis pun segera ikut
duduk.
“Lim Heng-too,” kata Soe Hwee Liong kepada Ciang-poen Liong-tauw, “Cobalah ceritakan
soal Kim mo Say ong dan To liong to.”
Jantung Boe Kie memukul keras dan ia segera memasang kuping dengan penuh perhatian.
Ciang-poen Liong-tauw bangun berdiri dan sesudah membungkuk ke arah Pangcoe, ia berkata
dengan suara nyaring. “Saudara-saudara, sebagaimana kalian tahu partai kita dan Mo kauw
sudah bermusuhan selama kurang lebih enam puluh tahun. Semenjak Seng hwee leng jatuh ke
dalam tangan kita, mereka terus berada di bawah angin. Belum lama berselang, Mo kauw
telah mengangkat seorang Kauwcoe baru yang bernama Thio Boe Kie. Anggota-anggota kita
yang turut serta dalam pengepungan Kong ben teng pernah bertemu dengan si Kauwcoe itu.
Dia seorang bocah yang masih bau susu dan mana bisa dia melawan Soe Pangcoe kita yang
berkepandaian sangat tinggi?” Kata-kata itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai,
sedang Soe Hwee Liong sendiri tersenyum-senyum dengan muka bersinar terang.
Sesudah sorak-sorai mereda, Ciang-poen Liong-tauw berkata pula, “Tapi ada sesuatu yang
harus diketahui kalian. Selama puluhan tahun Mo kauw terpecah belah. Sesudah
pengangkatan Kauwcoe baru itu, keadaan tersebut segera berubah dan perubahan ini
merupakan penyakit di dalam perut bagi golongan kita.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1138
“Selama setahun ini, kawanan siluman telah memberontak di berbagai tempat. Han San Tong
dan Coe Goan Ciang bergerak di daerah Hway-see sedang di wilayah Ouw lam dan Ouw pak,
Cie Sioe Hwee telah mendapat kemenangan dalam beberapa pertempuran dan telah
menduduki banyak tempat penting. Kalau mereka berhasil mengusir Tat coe dan mereka
pulang ke negara, maka beberapa puluh laksa saudara-saudara kita akan mati tanpa kuburan.”
Kawanan pengemis itu segera berteriak-teriak, “Mereka tidak boleh berhasil! Mereka harus
ditumpas!”
“Kita bersumpah untuk hajar Mo kauw habis-habisan!”
“Kalau Mo kauw berhasil, kita musnahkan!”
Dilain pihak Boe Kie yang bersembunyi di pohon berkata di dalam hati, “Tidak disangka
selama aku berada di luar lautan beberapa bulan saudara-saudara sudah mendapat hasil begitu
besar. Kekuatiran Kay pang memang dapat dimengerti, jumlah mereka sangat besar dan
apabila mereka dapat diajak kerjasama, usaha mengusit Tat coe akan berjalan lebih lancer.
Tapi bagaimana? Bagaimana aku harus berbuat untuk mengubah permusuhan menjadi
persahabatan?”
Sementara itu Ciang-poen Liong-tauw melanjutkan pembicaraannya. “Kalian tahu bahwa Soe
Pangcoe biasanya hidup menyendiri di Cwee siauw San chung (Perkampungan meniup
seruling) dan sudah lama tidak pernah menginjakdunia Kang ouw. Tapi dalam menghadapi
urusan besar ini, ia tidak bisa tidak turun tangan sendiri. Syukur seribu syukur, Thian
memayungi kita, Pat-tay Tiang-loo (Tetua delapan karung) Tan Yoe Liang telah bersahabat
dengan seorang murid Boe tong dan telah mendapatkan sebuah berita yang sangat penting.” Ia
menengadah dan berteriak, “Tan Tiang-loo! Ajaklah Song Siauw hiap masuk ke dalam sini
untuk berkenalan dengan saudara-saudara kita!”
“Baiklah!” kata seorang di belakang tembok. Sesaat kemudian dua orang masuk dengan
berpegangan tangan. Yang satu ialah Tan Yoe Liang, yang lain seorang pemuda tampan yang
baru berusia dua puluh tahun lebih dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
Boe Kie terkesiap, sebab pemuda itu adalah Song Ceng Soe, putra Song Wan Kiauw.
Setibanya di tengah ruangan mereka lalu menjalankan adat kepada Soe Hwee Liong, lalu
menyoja keempat ketua dan akhirnya memberi hormat kepada pengemis yang lain dan
merangkap kedua tangan.
“Tan Tiang-loo,” kata Ciang-poen Liong-tauw, “Cobalah tuturkan apa yang diketahui
olehmu.”
“Saudara-saudara,” kata Tan Yoe Liang seraya memegang tangan Song Ceng Soe, “Kita
sangat mujur bahwa kita telah mendapat bantuan Song Siauw hiap. Song Wan Kiauw, Song
Tay hiap dari Boe tong pay. Dikemudian hari, Ciangboen Boe tong pay sudah pasti akan jatuh
ke dalam tangannya.”
“Thio Boe Kie, Kauwcoe dari Mo kauw pada hakikatnya adalah adik seperguruan Song siauw
hiap, tahu jelas seluk beluk keadaan dalam kalangan Mo kauw. Beberapa bulan yang lalu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1139
Song siauw hiap telah memberitahukan aku bahwa siluman besa Kim mo Say ong sudah
datang di Leng coa to di wilayah Teng hay (Lautan Timur).”
“Tapi bagaimana Song Siauw hiap bisa tahu hal itu?” Tanya Cie hoat Tiang-loo. “Selama
beberapa puluhn tahun orang-orang rimba persilatan berusaha untuk mencari Kim mo Say
ong, tapi usaha ini sia-sia.”
Sejak pertemuan di Leng coa to di dalam hati Boe Kie juga muncul satu pertanyaan yang
belum terjawab. Kedatangan Cia Soen di Leng coa to ditutup rapat-rapat. Bagaimana Kay
pang mengetahuinya? Maka itu pertanyaan tiba-tiba Cie hoat Tiang-loo lebih menarik
perhatian Boe Kie.
“Berkat rejeki Pangcoe, hal itu terjadi secara sangat kebetulan,” jawab Tan Yoe Liang. “Di
Tang-hay hidup seorang nenek yang dikenal sebagai Kim ho Po po dan entah bagaimana ia
tahu tempat sembunyinya Cia Soen. Nenek itu yang hidup di pantai laut memiliki
pengetahuan mendalam ilmu pelayaran dan akhirnya berhasil mencari Cia Soen di sebuah
pulau di Kutub Utara. Ia pun berhasil membawa Kim mo Say ong ke pulau Leng coa to,
memenjarakan sepasang suami-istri yaitu Wie Pek dan Boe Ceng Eng, ahli waris partai
persilatan di negeri Toa lie. Waktu Kim hoa Po po pergi ke Tiong-goan, mereka mendapat
kesempatan untuk membunuh penjaga-penjaga dan melarikan diri. Di Shoa tang mereka
menemui bahaya dan pada saat yang tepat secara kebetulan ia ditolong oleh Song Siauw hiap.
Dalam pembicaraan mereka membuka rahasia dan inilah sebabnya mengapa Song Siauw hiap
tahu kedatangan Cia Soen di Leng coa to.”
Cie hoat Tiang-loo manggut-manggutkan kepalanya.
Boe Kie menghela napas, “Manusia tak bisa melawan maunya Thian,” pikirnya.
“Wie Pek dan Boe Ceng Eng bukan manusia baik-baik. Dengan tipu busuk mereka mengorek
rahasia dari mulutku. Lantaran itu, barulah Cie san Liong ong tahu tempat kediaman Giehoe.
Pada jaman ini kepandaian Kim hoa Po po dalam ilmu pelayaran jarang ada tandingannya.
Kalau bukan dia yang turun tangan, siapa lagi yang bisa mencari Giehoe di Peng hwee to,
andaikata kedua orang tuaku masih hidup, belum tentu mereka bisa mengarungi samudra dan
tiba di Peng hwee to dengan selamat. Dari sini dapat dilihat bahwa manusia tidak bisa
menentang kemauan Thian.”
Sesudah berdiam sejenak, Tan Yoe Liang berkata lagi, “Aku dan Song Siauw hiap
mempunyai ikatan mati hidup bersama-sama (persaudaraan). Sesudah mendapat berita itu,
Kie Tiang-loo, The Tiang-loo dan lima murid tujuh karung, aku pergi ke Leng coa to dengan
tujuan membekuk Cia Soen dan merampas To liong to untuk dipersembahkan kepada
Pangcoe. Apa mau kata, rombongan Mo kauw yang berjumlah besar mendadak tiba di situ.
Kami semua bertempur mati-matian tapi jumlah kami yang kecil tak bisa melawan jumlah
mereka yang besar. Akhirnya Kie Tiang-loo dan empat murid tujuh karung gugur dalam
pertempuran. Tentang jalannya pertempuran, aku minta The Tiang-loo yang melaporkan
kepada Pangcoe.”
The Tiang-loo yang lengan kanannya buntung segera bangun berdiri dan menceritakan
pertempuran di Leng coa to itu. Tapi cerita-ceritanya dusta. Ia mengatakan bahwa rombongan
Beng kauw yang berjumlah besar mengepung Kay pang yang berjumlah kecil tapi terus
melawan dengan nekad sehingga lima diantaranya mengorbankan jiwa. Akhirnya dengan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1140
bernapsu ia menceritakan tentang kesaktian Tan Yoe Liang dalam usaha menolong jiwanya
sehingga Cia Soen dipengaruhi oleh kegagalan itu dan tidak berani turun tangan lagi.
Para pengemis bersorak-sorai memuji manusia-manusia licik itu.
“Tan Heng tee bukan saja pintar dan gagah tapi juga mempunyai gie-knie (rasa persahabatan)
yang sangat tebal,” kata Coan kang Tiang-loo.
Tan Yoe Liang membungkuk. “Berkat ajaran Pangcoe dan Tiang-loo Koko, aku dapat
memahami kewajiban-kewajiban partai,” katanya. “Demi kepentingan kita, biarpun mati
masuk ke dalam lautan api, aku takkan menolak. Apa yang aku perbuat tidak berarti dan tidak
cukup berharga untuk mendapat pujian yang begitu tinggi dari The Tiang-loo. Pujian itu
sungguh membuat aku merasa sangat malu.”
Mendengar kata-kata merendah itu, rasa kagum para pengemis jadi lebih besar.
Makin lama Boe Kie jadi makin dongkol. Manusia tak mengenal malu itu yang terangterangan
mau menjual sahabat guna menolong jiwanya sekarang dianggap sebagai ksatria
yang tebal rasa persahabatannya. Tapi dia memang telah menjalankan siasat secara pandai.
Bahkan The Tiang-loo sendiri sudah dikelabui olehnya. Mengingat begitu Boe Kie berkata di
dalam hati, “Tan Yoe Liang benar-benar seorang kan hiong (orang gagah yang jahat). Bukan
saja Giehoe, malah akupun sudah kena tipu. Hanya Tio Kauwnio yang tidak dapat diakali.
Hai!...Tio Kauwnio sungguh pintar…sayang hatinya kejam…”
Sementara itu Cie hoat Tiang-loo bangun berdiri, “Banyak sekalio saudara kita telah
dibinasakan oleh kawanan iblis,” katanya dengan suara dingin. “Apa kita boleh menyudahi
saja sakit hati itu?”
Para pengemis segera berteriak-teriak.
“Sakit hatinya Kie Tiang-loo harus dibalas.”
“Ratakan Kong beng teng!”
“Bunuh Thio Boe Kie! Mampuskan Cia Soen!” dan sebagainya.
Sesudah teriakan-teriakan mereda, Cie hoat Tiang-loo berpaling kepada Soe Hwee Liong dan
berkata, “Lapor kepada Pangcoe bahwa murid-murid partai kita merasa sangat penasaran dan
kami mohon petunjuk Pangcoe dalam usaha membalas sakit hati.”
Alis Soe Hwee Liong berkerut. “Hm…memang soal ini soal besar dari partai kita,” katanya.
“Hm…kita harus berdamai dengan otak dingin. Coba kau perintahkan supaya semua murid
tujuh karung ke bawah meninggalkan ruangan ini untuk sementara waktu agar kita bisa
berunding dengan tenang.”
Cie hoat Tiang-loo mengangguk dan sambil berpaling kepada para pengemis, ia membentak.
“Dengarlah! Semua orang dari murid tujuh karung ke bawah diminta meninggalkan ruangan
ini untuk sementara waktu dan menunggu diluar kelenteng.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1141
Para pengemis segera mengiyakan dan sesudah membungkuk ke arah Soe Hwee Liong,
mereka segera berjalan keluar sehingga dalam sekejap ruangan toa tian hanya tertinggal
pemimpin-pemimpin Kay pang yang penting.
Tan Yoe Liang maju selangkah dan berkata seraya membungkuk, “Lapor kepada Pangcoe
bahwa saudara ini Song Ceng Soe, Seng Heng tee berjasa besar terhadap partai kita. Maka itu
aku mohon restu Pangcoe supaya ia diperbolehkan masuk ke dalam partai kita. Seorang yang
mempunyai kepribadian dan kedudukan sebagai Song Heng tee dibelakang hari pasti akan
dapat melakukan sesuatu yang sangat berharga bagi partai kita.”
“Tapi…tadi…,” kata Song Ceng Soe dengan suara terganggu. “Hal ini tidak…” Baru saja ia
mengucapkan perkataan “tidak”, Tan Yoe Liang sudah mengawasinya dengan sorot mata
tajam. Melihat sinar mata yang berabu dan kejam itu, ia menundukkan kepalanya dan tidak
membuka suara lagi.
“Bagus,” kata Soe Hwee Liong, “Kami menyambut dengan girang masuknya Song Ceng Soe
ke dalam partai kita. Untuk sementara waktu, ia diberi kedudukan murid enam karung dan
berada dibawah pimpinan Tiang-loo delapan karung Tan Yoe Liang. Kuharap Song Heng tee
suka menaati segala peraturan kita dan bekerja keras demi kepentingan partai. Peraturan kita
selalu dijalankan dengan keras, siapa yang berjasa akan dihargai, siapa yang berdosa akan
dihukum.”
Kedua mata Song Ceng Soe mengeluarkan sinar sengsara dan dongkol, tapi sebisanya ia
menekan perasaannya itu. Ia maju beberapa langkah dan berlutut dihadapan Soe Hwee Liong.
“Tee coe (murid) Song Ceng Soe memberi hormat kepada Pangcoe,” katanya. “Terima kasih
atas kemurahan Pangcoe yang sudah memberi kedudukan murid enam karung kepada tee
coe.” Sesudah itu iapun memberi hormat dengan berlutut kepada semua tiang-loo dan liongtauw.
“Song Heng tee!” kata Cia hoat Tiang-loo dengna suara angker. “Sesudah menjadi anggota
partai, kau terikat dengan semua peraturan. Di hari nanti, andaikata kau menjadi ciang boen
dari Boe tong pay, kau tetap harus menaati segala perintah dari pimpinan Kay pang. Apakah
kau sudah tahu adanya peraturan ini?”
“Ya,” jawabnya.
“Song Heng tee!” kata Cia hoat pula. “Walaupun tujuannya sama, yaitu sama-sama bertujuan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan ksatria tapi jalan yang diambil oleh Kay pang dan Boe
tong pay berbeda. Mengapa kau rela masuk ke dalam partai kita? Jawablah! Kau harus
menjawab dengan sejujur-jujurnya dan sejelas-jelasnya.”
Sebelum menjawab, pemuda itu melirik Tan Yoe Liang, “Tan Tiang-loo melepas budi yang
sangat besar terhadap tee coe,” sahutnya. “Tee coe sangat mengakuinya dan rela untuk
mengabdi dibawah perintahnya.”
Tan Yoe Liang tertawa. “Disini tak ada orang luar,” katanya. “Song Heng tee, kau boleh
bicara secara bebas. Kalau kau merasa tak enak biarlah aku yang menjelaskan. Sesudah Biat
coat Soethay meninggal dunia, Ciang boen jin yang baru dari Go bie pay adalah seorang gadis
yang sangat cantik. Cioe Cie Jiak namanya. Nona itu dan Song Heng tee adalah kawan dari
kecil dan mereka sudah berjanji untuk menjadi suami isteri. Diluar dugaan, Cioe Kauwnio
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1142
dirampas oleh kepala siluman Thio Boe Kie yang membawanya kabur ke seberang lautan.
Dalam gusarnya Song Heng tee meminta bantuanku. Aku segera menyanggupi dan aku
bersumpah untuk merebut kembali nona itu.”
Boe Kie merasa dadanya seperti mau meledak, tapi sebisanya ia menahan napas amarahnya.
Soe Hwee Liang tertawa terbahak-bahak. “Kita tidak bisa menyalahkan Song Heng tee, sejak
dulu orang gagah memang sukar menolak wanita cantik,” katanya. “Yang satu Ciang boen
dari Boe tong pay yang lain Ciang boen Go bie pay. Sungguh kedudukan yang sederajat,
muda sama muda!”
“Tapi Song Heng tee dalam menghadapi kejadian itu mengapa kau tidak meminta bantuan
Thio Sam Hong Cinjin atau Song Tayhiap?” Tanya Cia hoat Tiang-loo lagi.
“Menurut keterangan Song Heng tee, sekarang Boe tong pay bergandengan tangan dengan
Mo kauw,” kata Tan Yoe Liang. “Thio Sam Hong dan ayah Song Heng tee sungkan bentrok
dengan agama iblis itu. Pada waktu ini dalam seluruh rimba persilatan hanya partai kita yang
bermusuhan dengan Mo kauw dan mempunyai cukup tenaga untuk menghadapi agama
siluman itu.”
Cia hoat Tiang-loo manggut-manggut. “Dia itu benar,” katanya. “Sesudah kita memusnahkan
Mo kauw dan membinasakan si bocah Boe Kie, keinginan Song Heng tee pasti akan
terkabul.”
Mendengar tanya jawab itu Boe Kie segera ingat kejadian di Kong beng teng. Ia ingat sikap
Song Ceng Soe yang luar biasa terhadap Cie Jiak dan sekarang ia tahu bahwa putra pamannya
telah jatuh cinta kepada tunangannya.
“Tapi dia betul-betul gila!” katanya didalam hati. “Karena seorang wanita dia rela
mengkhianati rumah perguruan sendiri bahkan ayah kandungnya sendiri. Cinta Cie Jiak
terhadapku adalah cinta yang suci. Biarpun dibantu Kay pang, dia pasti tak akan bisa
memaksa Cie Jiak untuk menuruti kemauannya. Hai!...Song Toako sudah mendapat nama dan
dipandang sebagai tunas harapan dari Boe tong pay. Bagaimana dia bisa tersesat sampai
begitu jauh?” Ia merasa sangat menyesal dan menghela napas berulang-ulang.
Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah berkata lagi. “Lapor kepada Pangcoe bahwa didekat kota
raja, teecoe telah membekuk salah seorang penting dalam kalangan Mo kauw. Orang ini
mempunyai sangkut paut dengan usaha partai kita. Tee coe minta keputusan Pangcoe
mengenai orang itu.”
Tan Yoe Liang segera menepuk tangan tiga kali, “Bawa masuk kepala iblis yang ditawan itu,”
teriaknya.
Jantung Boe Kie memukul keras. Siapa yang tertangkap?
Hampir bersamaan dari belakang toa tian keluar empat pengemis bersenjata dengan seorang
tangkapan yang kedua tangannya terbelenggu. Boe Kie merasa bahwa ia pernah bertemu
dengan orang itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun di Ouw taip kok, tapi ia lupa
namanya. Pemuda itu berjalan masuk dengan paras muka gusar dan waktu melewati Tan Yoe
Liang tiba-tiba ia membuka mulut dan menyembur dengan ludahnya. Tan Yoe Liang berkelit
dan menggampar pipi kiri orang itu yang segera menjadi bengkak. Salah seorang pengemis
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1143
yang mengawalnya mendorong dan membentak, “Jangan kurang ajar! Ayo berlutut dihadapan
Pangcoe!”
Tapi sebaliknya, pemuda itu kembali menyemburkan riak ke muka Soe Hwee Liong.
Karena jarak mereka sangat dekat dan semburan itu dilakukan dengan tenaga dalam yang
cukup hebat, maka walaupun Soe Hwee Liong coba mengelak, riak itu mampir tepat di
dahinya. Tan Yoe Liang melompat dan menyapu dengan kakinya sehingga pemuda itu roboh
di lantai. “Bangsat! Apa kau sudah bosan hidup?” bentaknya sambil berdiri menghadang di
depan Soe Hwee Liong.
“Sesudah jatuh ke dalam tanganmu, tuanmu memang sudah tidak berpikir soal hidup lagi,”
jawabnya.
Sesudah Soe Hwee Liong menyusut riak dari dahinya, Tan Yoe Liang segera mundur
beberapa langkah dan berkata, “Lapor kepada Pangcoe bahwa bocah itu adalah salah seorang
jago yang terhebat dalam kalangan Mo kauw. Ilmu silatnya berada ditempat keempat Hoat
ong. Kita tak boleh memandang rendah kepadanya.”
Semula Boe Kie merasa heran tapi ia segera mengerti bahwa Tan Yoe Liang sengaja
menunjukkan kepandaian pemuda itu untuk menolong muka sang Pangcoe. Biar
bagaimanapun Soe Hwee Liong seorang pemimpin paling tinggi dari Kay pang tidak dapat
mengelak dari semburan seorang tangkapan merupakan kejadian yang benar-benar aneh,
benar-benar tidak masuk akal. Apalagi sesudah mendapat hinaan yang hebat itu, dia sama
sekali tidak menunjukkan kegusaran. Pada paras mukanya bahkan terlihat sinar kebingungan
seolah-olah ia merasa takut akan terbukanya suatu rahasia besar.
Boe Kie jadi makin heran. Ia merasa bahwa dalam peristiwa ini pasti terselip suatu latar
belakang yang belum diketahuinya.
“Tan Heng tee, siapa tangkapan itu?” tanya Cia hoat Tiang-loo.
“Han Lim Jie, anak Han San Tong,” jawabnya.
Sekarang Boe Kie ingat, ia ingat bahwa dalam pertempuran di Ouw tiap kok, pemuda itu
selalu mengikuti dibelakang ayahnya dan jarang berbicara dengan orang lain. Tak heran ia tak
ingat lagi namanya.
“Aha! Anak Han San Tong?” tegas Cia hoat dengan suara girang. “Tan Heng tee jasamu
sangat besar. Lapor kepada Pangcoe bahwa belakangan ini, Han San Tong berturut-turut telah
mengalahkan tentara Goan sehingga namanya disegani orang. Panglima-panglimanya seperti
Coe Goan Ciang, Cie Tat dan Siang Gie Coen adalah jago-jago Mo kauw yang paling hebat.
Sekarang kita berhasil membekuk bocah itu yang bisa dijadikan semacam sandera. Han San
Tong pasti akan jinak dan menuruti segala perintah kita.”
“Binatang! Jangan mimpi kau!” caci Han Lim Jie. “Ayahku seorang gagah sejati. Tak akan
Thia thia mau ditekan oleh manusia-manusia tak mengenal malu sepertimu. Thia thiaku
mendengar perintahnya satu orang yaitu Thio Kauwcoe kami. Kay pang ingin bertanding
melawan Beng kauw kami? Huh! Kamu jangan mimpi di siang bolong. Kamu semua sangat
tak tahu diri. Pangcoemu yang semacam itu belum cukup sederajat untuk berendeng dengan
sepatu Thio Kauwcoe kami.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1144
Tan Yoe Liang tak jadi gusar. “Han Heng tee,” katanya. “Kau memuji Thio Kauwcoemu
tinggi sekali. Kami semua merasa sangat kagum dan ingin sekali bertemu dengan beliau.
Bolehkah kau mengajak kami untuk menemui beliau?”
Han Lim Jie adalah seorang yang jujur dan polos. Ia tak tahu kelicikan Tan Yoe Liang. “Thio
Kauwcoe memikul beban yang sangat berat,” jawabnya. “Sekalipun saudara-saudara didalam
Beng kauw, tidak sembarangan bertemu muka dengan beliau karena tak punya waktu untuk
meladeni manusia-manusia seperti kalian.”
Tan Yoe Liang tertawa dingin. “Omong kosong!” bentaknya mengejek. “Semua orang Kang
ouw mengatakan bahwa Thio Boe Kie sudah dibinasakan oleh tentara Goan di kota raja.
Hanya kau seorang yang masih bicara besar.”
“Bangsat! Tutup bacotmu!” caci Han Lim Jie. “Tat coe menangkap Kauwcoe kami? Huh
huh!...Andaikata dikurung beribu laksa tentara, Thio Kauwcoe kami masih bisa datang dan
pergi sesuka hati. Memang benar Thio Kauwcoe pergi ke kota raja. Maksud tujuannya ialah
menolong tokoh-tokoh enam partai yang tertangkap musuh. Dibinasakan Tat coe? Huh
huh…tutuplah bacotmu!”
Tan Yoe Liang tetap tidak gusar. Ia terus ha ha he he. “Mungkin kau benar,” katanya. “Tapi
semua orang Kang ouw mengatakan begitu, aku tidak bisa tidak percaya. Selama setengah
tahun terakhir, kita hanya mendengar nama Han San Tong, Cie Ceng Hwe, Goe Goan Ciang,
Lauw Hok Thong, Pheng Eng Giok dan sebagainya, tapi nama Thio Boe Kie belum pernah
disebut-sebut. Bukankah itu merupakan bukti bahwa bocah she Thio itu benar-benar sudah
mampus?”
Paras muka Han Lim Jie berubah merah padam, urat-uratnya menonjol keluar. “Binatang…”
teriaknya dengan suara gemetar. “Jangan kau menghina Kauwcoe kami! Suatu hari Kauwcoe
akan kembali dari luar lautan dan kamu semua kan mengenal kehebatannya.”
“Oh oh!...Oh begitu?” kata Tan Yoe Liang sambil menyeringai. “Kalau begitu Thio
Kauwcoemu menjelajahi lautan. Sekarang kutahu, ia tentu bermaksud untuk menjemput ayah
angkatnya, Kim mo Say ong Cia Soen. Bukankah begitu?”
Han Lim Jie terkesiap. Ia tahu bahwa ia sudah dijebak oleh musuh pintar itu.
Sesudah diam sejenak, Tan Yoe Liang berkata pula dengan suara tawar. “Ilmu silat Thio Boe
Kie memang boleh juga, Cuma mukanya muka pendek umur. Ada orang menghitung
peruntungannya dan dia mengatakan bahwa bocah she Thio ini tidak akan hidup lebih lama
dari tahun ini, permulaan…”
Tiba-tiba sebatang cabang pohon pek dipekarangan itu bergoyang, Boe Kie yang kupingnya
sangat tajam segera mendengar suara napas manusia di cabang itu. Sesaat kemudian, suara
napas itu hilang. Boe Kie tahu bahwa orang itu sudah mengatur jalan pernapasannya. “Dia
sudah sembunyi lebih lama dari aku,” pikirnya. “Sudah lama dia berada di situ tapi aku tidak
mengetahuinya. Dia pasti memiliki kepandaian yang sangat tinggi.” Sambil berpikir begitu ia
mengawasi pohon pek itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1145
Diantara cabang dan daun yang rindang ia melihat ujung baju yang berwarna hijau. Orang itu
bersembunyi di tempat yang sangat bagus dan warna pakaiannya sama dengna warna daun
sehingga kalau Boe Kie tidak mempunyai mata yang luar biasa, ia tak akan bisa melihatnya.
Sementara itu Han Lim Jie sudah membentak dengan penuh kegusaran. “Dusta! Thio
Kauwcoe seorang yang berhati murah dan orang baik pasti akan dilindungi langit. Ia masih
berusia muda ia pasti bisa hidup seratus tahun.”
Tan Yoe Liang menghela napas. “Tapi kau tahu bahwa didalam dunia sering terjadi kejadian
luar biasa dan hati manusia sukar dijajaki,” katanya. “Kudengar diseberang lautan ia kena tipu
oleh orang jahat sehingga akhirnya ia dibinasakan oleh kerajaan Goan. Tapi kau tak usah
merasa heran. Orang-orang yang pernah melihat wajah Thio Boe Kie sependapat bahwa
bocah itu takkan hidup lebih lama dari tiga kali delapan puluh empat tahun…”
Mendadak perkataan Tan Yoe Liang terputus, sebab hampir bersamaan dengan bergoyangnya
cabang pohon pek sosok tubuh manusia melayang turun ke bawah. “Thio Boe Kie disini!”
bentak orang itu. “Siapa kata aku sudah mati?” Seraya membentak begitu ia melompat masuk
dan berdiri di tengah-tengah toa tian.
Ciang pang Tiang-loo memapakinya dengan jambretan ke arah leher. Dengan gerakan yang
sangat indah, orang itu berkelit. Ia ternyata seorang pemuda yang sangat tampan dengan
mengenakan ikatan kepala empat segi dan baju warna hijau.
Boe Kie terkesiap karena ia segera mengenal orang itu tak lain adalah Tio Beng yang
menyamar sebagai pria. Bermacam perasaan memenuhi dadanya, kaget, gusar, cinta dan
girang bercampur aduk menjadi satu. Tanpa terasa ia mengeluarkan seruan tertahan yang
untung juga tak didengar oleh para pengemis yang sedang menumpahkan perhatian mereka
kepada Tio Beng.
Dulu diluar kuil Siauw lim sie, Tan Yoe Liang pernah bertemu muka dengan Boe Kie. Hal ini
terjadi waktu Boe Kie masih kecil. Dalam jangka waktu belasan tahun Boe Kie sudah berubah
banyak, baik muka maupun badannya sehingga ia tidak bisa mengenali lagi. Belakangan di
pulau Leng coa to, ia bertemu lagi tapi waktu itu Boe Kie dan Tio Beng memakai kumis palsu
dan menyamar sebagai orang-orang Kie keng pang. Maka itu pada hakikatnya Tan Yoe Liang
tak tahu bagaimana rupa Thio Boe Kie sekarang. Soe Hwee Liong dan yang lain-lain lebih tak
mengenalnya. Mereka hanya pernah mengetahui bahwa Kauwcoe baru dari Beng kauw
seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tahun dan yang berkepandaian sangat
tinggi. Melihat cara berkelitnya Tio Beng lincah dan indah mereka tak ragu lagi. Tapi Tan
Yoe Liang merasa sangsi sebab Tio Beng terlampau cantik untuk jadi seorang pria, usianya
terlalu muda dan suaranya bukan suara lelaki. Maka itu ia segera membentak, “Thio Boe Kie
sudah mampus! Siapa kau? Sungguh berani kau main gila terhadap kami!”
“Binatang!” bentak Tio Beng dengan gusar. “Perlu apa kau mencaci Thio Boe Kie? Thio Boe
Kie mempunyai rejeki yang sebesar langit dan akan berusia seratus tahun. Sesudah manusiamanusia
seperti kamu dikubur, ia masih bisa hidup delapan puluh tahun.”
Mendengar suara si nona yang bernada duka, jantung Boe Kie memukul keras. Apakah nada
duka itu menunjuk rasa menyesal? Tapi ia segera menekan segala pikiran lain. “Perempuan
kejam itu mana punya rasa menyesal?” katanya dalam hati. “Boe Kie! Oh, Boe Kie! Mengapa
kau begitu lemah? Mengapa hatimu masih harus diikat oleh manusia kejam itu?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1146
Sementara itu Tan Yoe Liang bertanya pula dengan suara lebih sabar. “Siapa sebenarnya kau?
Kau takkan bisa mendustai aku. Kau pasti bukan Thio Boe Kie.”
“Aku Thio Boe Kie dari Beng kauw,” jawabnya. “Mengapa kau tangkap saudaraku? Lekas
lepaskan. Dalam segala hal, aku yang bertanggung jawab.”
Mendadak terdengar suara tawa dingin. “Tio Beng Kauwnio,” kata seseorang. “Orang lain
bisa tak mengenal kau tapi aku mengenal kau. Orang lain bisa tak mengenal Thio Boe Kie
tapi aku mengenalnya dengan baik. Lapor kepada Pangcoe bahwa perempuan itu dalah
putrinya Jie Lam Ong. Dia bergelar Beng beng Koencoe dan mempunyai banyak orang
pandai. Kita harus bersiap siaga.” Orang yang melucuti topeng Tio Beng adalah Song Ceng
Soe.
Cia hoat Tiang-loo segera bersiul nyaring.
“Ciang pang Tiang-loo!” teriaknya. “Bawalah sejumlah saudara kita untuk menjaga diluar
kelenteng. Hajar setiap musuh yang mau coba menerobos masuk.”
Ciang pang Tiang-loo segera mengiyakan.
Dalam sekejap diempat penjuru terdengar teriakan-teriakan para pengemis yang bersiap untuk
menyambut musuh.
Paras muka Tio Beng agak berubah. Ia menepuk tangan dan dari atas tembok melayang turun
dua orang. Mereka adalah Hian beng Jie loe Lok thung kek dan Ho pit ong.
“Bekuk mereka!” bentak Cia hoat Tiang-loo.
Empat murid tujuh karung segera menerjang. Tapi mereka bukan tandingan Hian beng Jie lok.
Dalam tiga jurus mereka sudah luka semua. Melihat itu Coan kang Tiang-loo segera turun ke
arena dan menghantam Ho pit ong dengan pukulan yang mengeluarkan deru angin dahsyat.
Boe Kie tahu bahwa pukulan itu adalah Kian liong Cay tian (melihat naga di sawah) dari Han
liong Sip pat ciang (Delapan belas pukulan menakluki naga). Dulu di Peng hwee to, ia pernah
mendengar keterangan dan melihat contoh dari pukulan itu yang diberikan oleh ayah
angkatnya. Tapi ketika itu, ia masih belum bisa menangkap intisari pukulan tersebut.
Sekarang ia merasa sangat kagum, ia tak sangka bahwa Hang liong Sip pat ciang sedemikian
hebat dan si pengemis tua ternyata sudah mengalami dasar ilmu silat Kioe cie Sin kay Ang Cit
Kong yang sangat tinggi itu.
Ho pit ong tidak berani bermain lagi. Cepat-cepat ia menggunakan Hian beng Sin ciang dan
memapaki telapak tangan si pengemis. Plaak! Kedua tangan beradu. Hian liong Sip pat ciang
mengandung tenaga soen-kang (keras yang murni) sedang tenaga Hian beng Sin ciang bersifat
Im jioe (dingin dan lemas). Kedua lawan itu sama-sama sudah berlatih puluhan tahun dan
tenaga dalam mereka sama-sama sudah mencapai tingkat yang tinggi. Dalam bentrokan
tangan yang pertama, kedua pihak kira-kira standing. Coan kang Tiang-loo merasa semacam
hawa yang sangat dingin menerobos masuk ke lengan dari telapak tangan dan terus naik ke
atas. Dilain pihak Ho pit ong merasa hawa dan darah bergolak-golak di dadanya. Ia terkejut
dan mengawasi lawannya dengan mata mendelik.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1147
Ia mendapati kenyataan bahwa dengan paras muka pucat dan biji mata merah, pengemis itu
dengan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan hawa dingin yang dikirimnya.
Ia merasa sangat girang. “Kukira hari ni aku bertemu lawan yang berat,” katanya dalam hati.
“Untung juga dia masih kalah setingkat.” Ia segera mengambil keputusan untuk menyerang
pula. Ia maju selangkah dan menghantam lagi dengan Hian beng Sin ciang yang tenaganya
menyambar dari empat penjuru sehingga tidak dapat ditambah lagi. Coan kang Tiang-loo
tidak bisa berbuat lain daripada menyambut lagi dengan pukulan Hang liong Sip pat ciang.
Biarpun tenaga kedua lawan kira-kira setara, sifat tenaga mereka agak berbeda. Ciang hoat
Coan kang Tiang-loo adalah warisan Ang Cit Kong dan merupakan ilmu yang murni bersih
sedang Hian beng Sin ciang Ho pit ong mengandung hawa dingin yang beracun. Dalam
Lweekang, kedua belah pihak sama-sama kuat. Tapi setiap kali tangan mereka beradu, Coan
kang Tiang-loo harus menggunakan sebagian tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang
beracun itu sehingga dengan demikian ia harus menggunakan lebih banyak tenaga daripada
lawannya. Oleh karena itu, sesudah beradu tangan tiga kali si pengemis tua segera jatuh
dibawah angin.
Disudut lain toa tian, dengan menggunakan tongkat tanduk menjangan, Lok thung kek
melawan Cia hoat Tiang-loo dan Ciang poen Liong-tauw. Meskipun dikerubuti, jagonya Tio
Beng tidak jadi keteter dan terus berkelahi dengan hati mantap.
Jilid 63________________
Dengan rasa kuatir Ciang pang liong tauw memperhatikan keadaan Coan kan Tiang loo.
Kawan itu sudah menyelami duabelas antara delapanbelas pukulan Hang liong Sip pat ciang
dan dalam kalangan Kay-pang, ia memiliki lweekang yang paling kuat. Mengapa ia keteter?
Sesudah tujuh kali beradu tangan, napasnya tersengal-sengal dan ia kelihatannya sudah payah
sekali. Ciang pang liong tauw tahu, bahwa biasanya Coan kang Tianglo tak suka dibantu
orang. Tapi kini ia menghadapi kekalahan. Dari pada kalah atau binasa, lebih baik disela
orang sebagai tukang keroyok, pikir Ciang pang Liong tauw.
Memikir begitu, ia lantas saja menyabet Ho Pit Ong dengan tongkat bambunya. Walaupun
pukulan itu belum bisa direndengi dengan Tah kauw Pang hoat (Ilmu Tongkat memukul
anjing yang hanya boleh dimililiki Pangcoe dari Kay pang), tapi di dalam kalangan Partai
Pengemis terdapat serupa kebiasaan, bahwa orang yang bersenjata tongkat selalu
berkepandaian tinggi. Di dalam Kay pang, Ciang pang Liong tauw memang salah seorang
jago utama. Begitu ia turun tangan, Coan kang Tiangloo bisa bernafas lega dan mereka lalu
mendesak Ho Pit Ong sehebat2nya.
Sesudah Hian beng Jie loo turun, Tio Beng sendiri sebenarnya ingin melarikan diri. Tapi ia
keburu dicegat Tan Yoe Liang yang menyerang dengan pedangnya. Di waktu singkat si nona
segera mengeluarkan pukulan2 terhebat dari beberapa partai yang didapatinya di Ban hoat sie.
Bagaikan kilat ia mengirim serangan berantai – yang pertama pukulan dari Hwa san Kiam
hoat, yang kedua dari Koen loen Kiam hoat, yang ketiga dari Kong tong Kiam Hoat. Tikaman
keempat yang menyusul adalah Hang mo Toa koe sit dari Go bie pay. Tan Yoe Liang kaget
tak kepalang dan dalam kagetnya, ia tak keburu menyambut sambaran pedang. Seperti anak
panah, pedang Tio Beng meluncur ke hulu hati… Tapi, pada detik ujung pedang menyentuh
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1148
dada, terdengar suara “trang!” dan pedang nona Tio terpukul ke samping. Orang yang
menolong adalah Song Ceng Soe. Di lain saat, Tio Beng sudah dikerubuti.
Semua kejadian itu tidak terlepas dari mata Boe Kie. Ia memperhatikan serangan2 Song Ceng
Soe yang menggunakan Boe tong Kiam hoat dan ternyata pemuda itu telah dapat menyelami
pelajaran yang diturunkan oleh ayahnya. Sementara itu, saban ada lowongan, Tan Yoe Liang
menyerang dari samping dengan pukulan pukulan Siauw lim. Dengan demikian, meskipun
mengenal macam2 ilmu silat, dalam pertempuran jangka panjang, perlahan tapi tentu, Tio
Beng keteter.
Boe Kie jadi bingung tercampur heran.
“Mengapa ia menggunakan pedang biasa?” tanyanya di dalam hati. “Kalau menggunakan Ie
thian kiam, ia segera bisa meloloskan diri.” Waktu itu nona Tio mengenakan pakaian yang
tipis dan pas betul pada tubuhnya, sehingga dapat dilihat bahwa ia menyoren pedang mustika
itu di pinggangnya.
Sesudah kebingungan beberapa saat, Boe Kie menegur dirinya sendiri: “Boe Kie! Ah, Boe
Kie! Kau benar gila! Perempuan siluman itu telah membinasakan Piaw moay. Aku seharusnya
merasa girang kalau Song Ceng Soe berhasil membunuh dia. Mengapa aku jadi bingung? Ini
membuktikan, bahwa aku masih belum bisa melepaskan dia. Ah… aku bukan saja harus
merasa bersalah terhadap Piauw moay, tapi juga terhadap Giehoe dan Cie Jiak.”
Tak lama kemudian, beberapa jago Kay pang lain turun ke gelanggang, sedang pihak Tio
Beng tidak mendapat bantuan. Melihat keadaan tidak baik, Lok Thung Kek berseru,
“Koencoe Nio nio! Ho Heng tee! Mundur ke pekarangan luar dan menyingkir!”
“Baiklah,” kata Tio Beng. “Manusia she Tan itu telah mencuci Thio Kongcoe. Aku merasa
sangat tidak senang. Sebelum mundur kamu harus hajar padanya.”
“Nio nio mundur saja lebih dahulu,” kata Lok Thung Kek. “Serahkan bocah itu kepada kami.”
“Han Lim Jie setia terhadap Thio Kongcoe,” kata pula nona Tio. “Kamu harus menolong dia.”
“Baik! Sesudah Nio nio mundur, kami akan menolongnya,” jawab si kakek.
Pertempuran terus berlangsung dengan hebatnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Soe
Hwee Liong berdiri menonton di satu pojok. Mendengar pembicaraan antara Tio Beng dan
Hian beng Jie loo, Coan kang dan Cie hoat segera berteriak teriak, memberi perintah kepada
kawanan pengemis untuk mencegat di empat penjuru.
Mendadak Hian beng Jie loo meninggalkan lawannya dan dengan kecepatan kilat, dia
menyerang Soe Hwee Liong. Perubahan itu tak diduga2 dan meskipun berkepandaian tinggi,
Soe Hwee Liong takkan bisa menyambut serangan kedua kakek itu yang dikirim dengan
sepenuh tenaga.
Tapi, sebab belum takdirnya mati, seorang penolong sudah bersiap sedia. Mendengar
pembicaraan Tio Beng dan kedua jagonya, Tan Yoe Liang yang sangat pintar sudah menduga
bakal adanya serangan itu. Ia segera mendekati Soe Hwee Liong. Pada detik yang sangat
berbahaya, ia mendorong pundak Soe Hwee Liong ke belakang patung Bie lek Hoed,
sehingga pukulan Jie loo jatuh di patung itu lantas pecah, pecahnya muncrat berhamburan dan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1149
patung itu sendiri bergoyang-goyang. Ho Pit Ong maju setindak, menghantam dan mendorong
patung yang sangat besar itu lantas saja roboh terguling.
Keadaan jadi kalut semua orang melompat minggir supaya tak tertimpa. Dengan
menggunakan kesempatan itu, Tio Beng segera kabur ke pekarangan depan dengan dikejar
oleh Song Ceng Soe dan Ciang pang Liong tauw.
Selagi nona mau melompati pintu tiga batang tongkat menyambar kakinya. Tio Beng
mencelos batinnya ia digencet dari belakang dan dari depan. Dengan mati matian ia berhasil
mengalihkan dua tongkat yang menyambar lebih dulu, tapi tongkat ketiga mampir tepat pada
kakinya sehingga tanpa ampun lagi ia ambruk di lantai. Song Ceng Soe merangsek membalik
pedangnya dan memukul kepala si nona dengan gagang pedang untuk menangkapnya hiduphidup.
Pada saat saat yang berbahaya, mendadak tongkat bambu Ciang pang Liong tauw berkelebat
dan menangkis pedang Song Ceng Soe dan dengan berbareng satu bayangan manusia
melompat keluar dari atas tembok, dengan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Song Ceng Soe menengok kepada Ceng pang Liong Tauw dan bertanya dengan suara
mendongkol. “Mengapa kau lepaskan dia?”
“Perlu apa kau pukul tongkatku?” si pengemis balas tanya dengan mata melotot.
“Eeh! Bukankah kau yang pukul gagang pedangku? Mengapa…”
“Jangan rewel! Lekas kejar!”
Mereka segera melompati tembok. Di luar, di kaki tembok, mereka bertemu dengan seorang
murid tujuh karung yang patah kakinya dan tidak bisa bediri lagi. Mereka segera
menghampiri tujuh delapan pengemis yang menjaga diluar kelenteng. “Kemana larinya
perempuan siluman itu?” tanya Cia pang Liong tauw.
“Perempuan yang mana? Kami tak melihat manusia lain,” jawab seorang.
Ciang pang Liong tauw gusar tak kepalang. “Apa kamu buta?” bentaknya. “Terang terangan
perempuan itu melompat keluar dari tembok sana.”
Sambil membangunkan pengemis yang patah kakinya, seorang murid enam karung berkata.
“Barusan toako inilah yang melompat keluar. Kami tak lihat orang lain.”
Ciang pang Liong tauw menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. “Mengapa kau
melompati tembok?” tanyanya.
“Aku… aku… ditangkap dan dilemparkan,” jawab si murid tujuh karung sambil menahan
sakit. “Perempuan siluman itu mempunyai ilmu yang sangat aneh.”
Dengan paras muka gusar Ciang pang Liong tauw mengawasi Song Ceng Soe. “Mengapa kau
pukul tongkatku? Apa maksudmu? Baru saja masuk ke dalam Kay pang, kau sudah coba-coba
main gila.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1150
Soe Ceng Soe meluap darahnya, tapi sebisa bisa ia menahan hawa marahnya. “Selagi teecoe
memukul kepala perempuan siluman itu, Liong tauw toako menangkis senjataku, sehingga
siluman itu bisa melarikan diri,” jawabnya.
“Omong kosong!” bentak si pengemis tua. “Perlu apa aku menangkis gagang pedangmu?
Sudah beberapa puluh tahun aku mengabdi di dalam partai dan karena jasa jasaku aku
sekarang menduduki kursi Ciang pang Liong tauw. Apa kau mau mengatakan bahwa aku
sengaja membantu orang luar? Sekarang aku tanya. Sebab apa kau tidak menggunakan ujung
pedang untuk menikam dia dan berlagak memukul dengan gagang pedang? Huh.. huh!..
mataku belum lamur, tak dapat kau memperdayai aku.”
Dalam Boe tong pay, biarpun kedudukan Soe Ceng Song hanyalah murid turunan ketiga tapi
sebab orang orang Boe tong tahu, bahwa dia adalah calon Ciang boen jin maka mereka sangat
mengindahkannya. Bahwa kau Jie lian Cioe, Thio Song Kee dan yang lain lain yang masih
pernah paman berlaku sungkan kepadanya. Atas tekanan Tan Yoe Liang ia terpaksa masuk ke
dalam Kay pang. Di luar dugaan pada hari pertama, ia sudah dicaci orang. Ia adalah seorang
yang beradat tinggi dan meskipun ia tahu, bahwa Ciang pang Liong tauw mempunyai
kedudukan tinggi, ia tidak bisa menahan sabar lagi. “Perkataan main gila adalah tuduhan
membuta tuli,” katanya dengan bernafsu. “Liong tauw toako mesti bisa membuktikan tuduhan
itu. Terang-terang kau yang menangkis gagang pedangku. Di siang hari bolong belum tentu
tak ada yang lihat.”
Dengan berkata begitu, Song Ceng Soe balas menuduh, bahwa si pengemislah yang sudah
main gila dan sengaja melepaskan Tio Beng. Ciang pang Liong tauw adalah seorang
berangasan. Mana bisa ia menelan hinaan itu? “Binatang!” bentaknya. “Kau tidak
mengindahkan orang yang lebih tua. Apakah di tempat ini kau masih mau mengandalkan
pengaruh Boe tong pay?” Seraya berkata begitu, ia menghantam kepala Song Ceng Soe
dengan tongkatnya. Dalam kegusarannya, ia menggunakan tenaga dalam yang dahsyat.
Song Ceng Soe segera menangkis tanpa sungkan sungkan lagi. Tongkat itu meskipun terbuat
daripada bambu sangat ulet dan keras dan babatan pedang tidak dapat memutuskannya.
Begitu kedua senjata beradu, Song Ceng Soe merasa telapak tangannya terbeset. Ia kaget, si
pengemis ternyata mempunyai Lweekang yang sangat kuat dan lebih unggul daripada tenaga
dalamnya. Di lain pihak, si pengemis merasa lengannya kesemutan. Ia juga terkejut, sebab ia
tak duga pemuda itu memiliki Lweekang yang sedemikian kuat. “Bocah she Song!”
bentaknya. “Berani sungguh kau melawan aku. Apakah kau suruhan musuh untuk menjadi
mata mata di sini?” Sambil mencaci ia menghantam lagi.
Tiba tiba seseorang melompat keluar dan menangkis pukulan itu. “Liong tauw toako sabar
dulu,” katanya. Orang itu adalah Tan Yoe Liang.
“Tan Heng tee, aku minta kau menimbang urusan ini,” kata Ciang pang Liong tauw.
“Mana si perempuan siluman?” tanya Tan Yoe Liang.
“Dilepaskan oleh dia,” kata Ciang pang Liong tauw sambil menuding Song Ceng Soe.
“Bukan aku, dia yang melepaskannya,” balas Song Ceng Soe.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1151
Selagi mereka bertengkar, Hian beng Jielo sudah menerobos keluar. Melihat Tio Beng tidak
berada di luar kelenteng, mereka tahu bahwa sang majikan sudah meloloskan diri dan hati
mereka jadi lega dan lebih mantep. Sambil tertawa nyaring, mereka menyerang pula dengan
sekuat tenaga. Dengan sekali jurus empat murid Kay pang roboh di tanah. Waktu Coan kang
Cie hoat dan Ciang boen memburu keluar mereka sudah kabur jauh dan hanya terdengar suara
tertawa mereka yang membangunkan bulu roma.
Ciang pang Liong tauw berjingkrak bahna gusarnya. “Uber!” teriaknya.
“Jangan!” cegah Tan Yoe Liang. “Liong tauw Toako, musuh mungkin menyembunyikan
pasukan yang kuat di sepanjang jalan.”
Si pengemis mendusin. “Benar,” katanya. “Mengapa aku begitu tolol? Musuh pasti datang
kemari dalam jumlah yang besar. Dua orang saja sudah sukar dilawan.” Ia merasa berterima
kasih terhadap Tan Yoe Liang dan kegusarannya terhadap Song Ceng Soe pun agak mereda.
Sementara itu Cie hoat Tiangloo menghitung kerusakan pada pihaknya. Sebelas orang mati
dalam tangan Hian beng Jieloo, tujuh orang terluka berat dan delapan sembilan orang luka
karena tertimpa patung Bie lek hoed. Ia segera memerintahkan orang untuk menolong yang
luka dan memerintahkan Ciang poen Liong tauw memeriksa di seputar kelenteng dengan
membawa sejumlah murid.
Sekarang marilah kita menengok Tio Beng. Sebagaimana diketahui, dengan rasa kuatir Boe
Kie memperhatikan segala gerak geriknya. Waktu Seng Ceng Soe membalik pedangnya dan
memukul kepala si nona dengan gagang senjata itu, hati Boe Kie mencelos. Pukulan itu bisa
enteng, bisa berat. Kalau enteng, nona Tio akan pingsan. Jika berat, jiwanya melayang. Pada
detik yang sangat berbahaya, tanpa memikir panjang panjang lagi ia melompat turun dan
mendorong tongkat Ciang pang Liong tauw supaya menangkis gagang pedang yang
menyambar. Dalam dorongan itu, ia menggunakan Kian koen Tay lo ie. Selama berdiam
beberapa bulan di pulau kecil, ia mempelajari dan melatih diri dalam ilmu yang tertera pada
Seng hwee leng yang diterjemahkan Siauw Ciauw. Ia mendapat kemajuan pesat dan sekarang
kepandaiannya sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh Samsoe dari Persia.
Maka itu dorongannya tadi bahkan tak diketahui oleh tokoh tokoh yang berilmu tinggi seperti
Ciang peng Liong tauw dan Tan Yoe Liang. Ciang pang Liong tauw menduga bahwa Song
Ceng Soe sengaja memukul tongkatnya, sedang Song Ceng Soe menduga, bahwa si pengemis
yang sengaja menangkis senjatanya.
Pada saat kagetnya kedua musuh, Boe Kie menjambret seorang pengemis tujuh karung dan
melemparkan keluar tembok sehingga dengan demikian, karena melihat berkelebatnya
bayangan manusia, Ciang pang Liong tauw dan Tan Yoe Liang menduga bahwa Tio Beng
sudah melarikan diri dengan melompati tembok. Sementara itu, sambil mendukung si nona
bagaikan kilat Boe Kie melompat ke atas dan hinggap di atap toa tian.
Pada waktu itu ilmu mengentengkan badan Boe Kie sudah mencapai puncak tertinggi. Ia
melompat seperti terbangnya seekor burung. Ada beberapa hal yang menguntungkan Boe Kie
sehingga lompatannya tak dilihat orang. Pertama waktu itu sudah lewat lohor dan segala apa
yang berada di bawah matahari tak terlihat bayangannya lagi. Kedua para pengemis sedang
memburu keluar, sehingga biarpun ada beberapa orang yang merasa ada sesuatu yang lewat di
dalam, mereka tidak menghiraukan. Ketiga, di sekitar toa tian masih penuh debu yang
melayang di udara sebagai akibat dari robohnya patung Bie lek hoed. Keempat keadaan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1152
sedang kalut dan kelima tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi sudah memburu keluar
untung mengepung Hian beng Jie loo dan membekuk Tio Beng. Inilah beberapa yang
membikin Boe Kie bisa menolong Tio Beng tanpa diketahui oleh siapapun juga.
Selagi badannya melayang di tengah udara dengan didukung lengan yang kuat, Tio Beng
membuka matanya. Ia terkesiap karena penolong tadi yang alisnya tebal dan mukanya
tampan, bukan lain daripada Boe Kie. Ia hampir tak percaya matanya sendiri. “Kau!” serunya
dengan suara parau.
Buru buru Boe Kie mendekap muka si nona. Ia mengawasi ke bawah. Di kiri kanan di depan
di belakang kelenteng penuh dengan murid2 Kay pang. Walaupun begitu, kalau mau, ia masih
bisa meloloskan diri. Tapi, sesudah mengetahui adanya perundingan Kay pang untuk
menjatuhkan Beng kauw dan masuknya Song Ceng Soe ke dalam partai pengemis, ia bertekad
untuk menyelidiki hal itu sampai seterang terangnya! Ia tak boleh pergi dengan begitu saja. Di
samping itu dalam pertengkaran antara Ciong pang Liong tauw dan Song Ceng Soe, kedua
mata si pengemis mengeluarkan sinar yang ganas dan terdapat kemungkinan bahwa pengemis
itu tak merasa segan untuk turunkan tangan jahat. Lain pertimbangan yang menahan perginya
Boe Kie adalah Han Lim Jie yang masih tertawan. Pembantu yang setia itu harus ditolong.
Memikir begitu ia mengambil keputusan untuk masuk pula dan bersembunyi di ruangan toa
tian.
Ia merangkak ke pinggir genteng menggaet payon dengan kedua kakinya dan kemudian
dengan sekali melompat ia sudah berada di belakang sebuah patung Buddha
some parts missing here
Loe Hwee Liong, Coan kang, Cie hoat Thiang Boo dan yang lain lain sudah memburu keluar
sedang ruangan toa tian hanya terdapat beberapa pengemis yang terluka karena tertimpa
patung Bie lek boat. Han Lim Jie sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.
Ia mengawasi ke seputarnya, tapi untuk beberapa saat, ia masih belum mendapatkan tempat
yang cocok untuk menyembunyikan diri. Tiba tiba Tio Beng menyentuh tangannya dan
menuding sebuah tambur besar. Tambur itu ditaruh di atas tempat menaruh tambur yang
tingginya setombak lebih dan berhadap hadapan dengan sebuah lonceng besar.
Boe Kie lantas saja mendusin. Dengan mepet mepet di pinggir tembok, ia pergi ke belakang
tambur. Sambil meloncat ke atas, jari tangannya menggores kulit. “Pret!” kulit kerbau yang
tebal robek seperti gores pisau. Dengan berdiri di lapangan kayu, ia menggores lagi dengan
jerijinya dan membuat robekan garis silang. Sesudah itu, sambil menduking Tio Beng ia
masuk ke dalamnya.
Tambur itu tambur tua. Di antara debu dan bau apak, Boe Kie mengendus wewangian yang
keluar dari badan si nona. Tambur itu cukup besar, tapi kedua orang yang bersembunyi di
dalamnya bergerakpun tak bisa lagi. Dengan hati berdebar debar, si nona bersandar di dada
Boe Kie. Perasaan pemuda itu sendiri sukar dilukiskan. Rasa benci sakit hati, gusar duka dan
rasa cinta tercampur menjadi satu. Ia mau mencaci, tapi dengan di kelilingi musuh ia tidak
bisa membuka suara. Tiba tiba ia mendusin, bahwa kepala si nona bersandar pada dadanya. Ia
kaget dan mendorong keras keras. Tio Beng gusar dan menyikut dadanya. Dengan ilmu
memindahkan tenaga memukul tenaga, Boe Kie menghantam balik, sehingga si nona
kesakitan, hampir hampir ia berteriak kalau mulutnya tidak keburu didekap Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1153
Beberapa saat kemudian, terdengar suara Cie hoat Tiangloo, “Melaporkan kepada Pangcoe ia
mengatakan bahwa musuh telah meloloskan diri. Karena ketololanku, aku tak bisa
menyerahkan musuh kepada Pangcoe, untuk kedosaaan itu, aku mohon Pangcoe suka
memaafkan.”
“Sudahlah!” kata Soe Hwee Liong. Musuh berkepandaian sangat tinggi. Hal itu disaksikan
oleh semua orang. Cie hoat Tiangloo tak usah berlaku terlalu sungkan.”
“Terima kasih Pangcoe,” kata Cie hoat.
Sesudah itu Ciang pang Liong tauw segera mengadu bahwa Song Ceng Soe sudah sengaja
melepaskan Tio Beng dan pemuda itu lalu membela diri serta balas menuduh. Mereka lantas
saja bertengkar dan suasana menjadi tegang.
“Sin Heng tee, bagaimana pendapatmu?” tanya Soe Hwee Liong.
“Melaporkan kepada Pangcoe, bahwa Ciang pang Liong tauw adalah tetua partai kita dan ia
tentu tidak berdusta,” jawabnya. “Tapi Song heng tee pun masuk ke dalam partai kita dengan
setulus hati, lebih lagi wanita siluman itu musuhnya. Menurutku perempuan she Tio itu
memiliki kepandaian luar biasa dan dengan ilmu meminjam tenaga memukul tenaga, ia
mendorong tongkat Liong tauw untuk menangkis gagang pedang Song heng tee. Dalam
kekalutan, kedua belah pihak jadi salah mengerti.”
Di dalam hati Boe Kie memuji Tan Yoe Liang. Dia sungguh pintar. Tanpa menyaksikan
kejadiannya, dia sudah bisa menebak tanpa meleset jauh.
“Benar,” kata Soe Hwee Liong. “Saudara saudara, kalian berdua bertujuan sama yaitu
mengabdi kepada partai kita. Maka itu, kalian hendaknya jangan jadi bermusuhan karena hal
yang remeh ini.”
Ciang pang Liong tauw manggut manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara
mendongkol, “Biarpun dia…”
“Song heng tee,” memutus Tan Yoe Liang. “Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan
tinggi. Biarpun ia menyalahkan kau, kau harus menerimanya dengan segala senang hati.
Hayo, lekas minta maaf.”
Dengan apa boleh buat Song Ceng Soe maju setindak dan menjura. ‘Liong tauw Toako,”
katanya, “Siauwtee bersalah dan mohon Toako suka memaafkan.”
Meskipun masih bergusar, si pengemis tak bisa lagi mengumbar napasnya. Ia mengeluarkan
suara di hidung dan berkata, “Ya, sudahlah!”
Biarpun menggunakan kata kata yang kedengarannya seperti menegur Song Ceng Soe, pada
hakekatnya Tan Yoe Liang mempersalahkan si pengemis tua. Ia mengatakan bahwa Tio Beng
mendorong tongkat Liong tauw Toako untuk menangkis gagang pedang Song hengtee dan
bahwa Liong tauw Toako seorang yang berkedudukan tinggi. ‘Biarpun ia menyalahkan kau,
kau harus menerimanya dengan segala senang hati’. Perkataan2 itu sebenarnya menyindir
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1154
Ciang pang Liong tauw dan sindiran itu dimengerti oleh para Tiangloo. Tapi sebab Tan Yoe
Liang sangat disayangi oleh Pangcoe, maka tak seorangpun berani membuka suara.
“Tan Hengtee,” kata Soe Hwee Liong. “Puterinya Jie lam ong, Mo kauw adalah musuh
kerajaan Goan. Tapi mengapa Koen coe Nio nio itu berbalik membela si iblis kecil Thio Boe
Kie?”
Tan Yoe Liang berpikir, tapi sebelum ia menjawab, Ciang pang Liong tauw sudah
mendahului. “Kulihat Koen coe Nio nio itu sangat bergusar mendengar Tan Hengtee mencaci
Kiauwcoe dari Mo kauw, dia seperti juga mendengar cacian terhadap ayah atau saudara
kandungnya sendiri. Hal ini sungguh sungguh membikin orang tidak mengerti.”
“Ku tahu sebabnya,” kata Song Ceng Soe. “Biarpun Mo kauw musuh kerajaan, Beng koencoe
mencintai Thio Boe Kie. Bahwa dia selalu melindungi bocah itu bukanlah hal yang heran.”
Para pengemis terkejut banyak. Boe Kie sendiri merasa sangat jengah dan jantungnya
memukul lebih keras. Tio Beng memutar kepalanya dan mengawasi pemuda itu. Di dalam
tambur sangat gelap, tapi dengan kedua matanya yang luar biasa, Boe Kie bisa melihat sinar
mata si nona yang mengeluarkan sorot mencintai. Tanpa merasa ia memeluk lebih keras.
Mendadak, di depan matanya terbayang In Lee yang binasa secara mengenaskan. Mendadak
pula, rasa cintanya yang baru muncul berubah menjadi rasa benci dan ia memijit lengan Tio
Beng dengan penuh kegusaran. Meskipun pijitan itu tidak disertai tenaga dalam yang kuat, si
nona merasakan kesakitan luar biasa. Dengan menggigit gigi ia menahan sakit dan air
matanya mengalir turun di kedua pipinya. Boe Kie mengeraskan hati dan tidak
memperdulikannya.
Sementara itu, Tan Yoe Liang sudah bertanya, “Bagaimana kau tahu? Apa benar ada hal yang
sedemikian aneh?”
“Memang benar,” jawab Song Ceng Soe dengan nada membenci. “Bocah Thio Boe Kie bukan
pemuda tampan, mukanya biasa saja, tapi ia mempunyai ilmu siluman sehingga banyak sekali
wanita lupa daratan.”
Cie hoat Tiangloo manggut manggutkan kepalanya. “Tak salah. Di dalam Mo kauw memang
terdapat serupa ilmu untuk memelet wanita. Bukankah Kie Siauw Hoe dari Go bie pay sudah
celaka karena dipelet siluman Yo Siauw? Thio Coei San, ayah Thio Boe Kie, menurut
pendapatku, dengan ilmu iblis, siluman kecil itu sudah merusak kehormatan Beng2 Koencoe,
sehingga ibarat beras sudah menjadi nasi dan Beng beng Koencoe tidak bisa menolong
dirinya lagi.”
Semua pengemis lantas saja berteriak teriak mencari Boe Kie yang dinamakan sebagai
manusia keji dan kotor.
“Semua orang gagah harus berusaha untuk menyingkirkan manusia itu dari dunia,” kata Coan
kang Tiangloo dengan suara menyeramkan. “Kalau dia dibiarkan hidup terus, entah berapa
banyak wanita suci akan celaka dalam tangan penjahat cabul itu.”
Boe Kie merasa dadanya menyesak. Untuk menahan amarahnya, badannya bergemetar.
Sampai pada detik itu ia masih jadi jejaka yang suci tapi sering sungguh ia dimaki sebagai
penjahat cabul. Ia benar benar penasaran, tapi tak dapat ia mencaci segala tuduhan itu. Ia
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1155
terutama bergusar sebab dikatakan sudah mencemarkan kesuciannya Tio Beng. Tiba tiba ia
terkesiap, “Celaka!” ia mengeluh di dalam hati. “Kalau orang tahu aku bersembunyi disini
berdua dua, biarpun bersumpah berat, orang takkan percaya kebersihanku.”
“Sesudah jatuh ke dalam tangan penjahat cabul itu, Cioe Cie Jiak Kouwnio mungkin tak dapat
mempertahankan lagi kesuciannya,” kata pula Cong kang Tiangloo.
“Song heng tee, kau tak usah jengkel. Kami pasti akan merebut pulang isterimu yang tercinta.
Peristiwa Kie Siauw Hoe pasti tidak akan terulang.”
“Benar,” menyambut Cie hoat Tiangloo, “Perkataan Toako benar sekali. Dahulu Boe tong pay
tidak bisa membantu In Lie Heng dan sekarang partai itu juga tidak bisa membantu Song
Ceng Soe. Sekarang Song heng tee sudah masuk ke dalam Kay pang. Apabila kita tidak bisa
membela sakit hatinya dan tidak bisa mewujudkan angan angannya, perlu apa dia menjadi
murid enam karung dari partai kita, sedang di dalam Boe tong pay ia seorang calon Ciang
boen jin?”
Sekali lagi para pengemis berteriak teriak, mencaci Boe Kie habis habisan.
Tio Beng menempelkan bibirnya di kuping Boe Kie dan berbisik. “Ah!… kau penjahat
cabul!” bisiknya bernada gusar, duka dan cinta, sehingga jantung Boe Kie kembali berdebar2.
“Kalau dia tidak begitu kejam, aku sungguh beruntung jika bisa menikah dengannya,”
katanya di dalam hati.
Sementara itu dengan suara perlahan Song Ceng Soe menghaturkan terima kasih kepada
pengemis yang mau membela dirinya.
Cie hoat Tiangloo adalah seorang yang sangat berhati hati dan ia bertanya pula, “Song heng
tee, apakah kau tahu cara bagaimana Beng beng Koencoe dipincuk si penjahat cabul?”
“Latar belakangnya kutak tahu,” jawabnya. “Aku hanya tahu, Beng beng koencoe pernah
menyateroni Boe tong san dengan pemimpin sejumlah jago jago untuk menangkap Thay
soehoe. Tapi begitu bertemu dengan si penjahat, ia segera mengundurkan diri, sehingga
bencana itu dapat dielakkan. Selama dua puluh tahun lebih Sam soesiok Jie Thay Giam
bercacat. Beng beng koencoe lalu menghadiahkan serupa obat kepada si penjahat sehingga
Sam soesiok menjadi sembuh.”
Itulah kata Cie hoat Boe tong pay adalah paku di mata kerajaan Goan. Kalau Beng beng
koencoe tidak terpincuk ia tentu tak akan menyerahkan obat kepada si penjahat. Dilihat begini
biarpun wataknya jahat, penjahat itu telah membuang budi kepada Thay soehoemu dan para
pamanmu.”
“Ah!” tiba tiba Tan Yoe Liang berseru. “Melaporkan kepada Pangcoe, bahwa sesudah
mendengar pembicaraan tadi, aku sekarang mempunyai serupa tipu yang bisa menaklukan
penjahat cabul itu. Dengan tipu ini, seluruh Mo kauw dari atas sampai bawah akan menuruti
perintah partai kita!”
Soe hwee Liong kegirangan. “Tan Heng tee, lekas beritahukan tipumu itu!” katanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1156
“Disini terlalu banyak orang,” kata Tan Yoe Liang. “Biarpun kita berada di antara saudara
saudara sendiri, aku masih berkuatir, kalau kalau rahasia besar ini menjadi bocor.”
Keadaan di toa tian berubah sunyi. Beberapa saat kemudian terdengar tindakan kaki belasan
orang yang keluar dari ruangan itu sehingga yang ketinggalan hanyalah beberapa tokoh
terpenting dari Kay pang.
“Rahasia ini harus dijaga baik baik jangan sampai bocor,” kata Tan Yoe Liang. Song Heng tee
kedua Liong tauw Toako, mari kita periksa di atas, di depan dan di belakang kelenteng untuk
memastikan bahwa tak ada orang luar yang mencuri dengar pembicaraan kita.”
Ciang pang dan Ciang poen Liong tauw segera melompat ke atas genteng, sedang Tan Yoe
Liang dan Song Ceng Soe memeriksa seluruh toa tian, di depan dan di belakang kelenteng.
Diam diam Boe Kie memuji Tio Beng, sebab kecuali tambur itu, segala pelosok diperiksa
dengan teliti.
Beberapa lama kemudian mereka berempat kembali ke toa tian. “Dalam tipu ini, kita harus
mengandalkan bantuan Song Heng tee,” bisik Tan Yoe Liang.
“Aku?” menegas Song Ceng Soe dengan suara heran.
“Benar,” jawabnya. “Ciang poen Liong tauw Toako, kuharap kau suka membagi racun Ngo
tok Swee sim san (bubuk racun yang dapat menghilangkan kesadaran manusia) kepada Song
Heng tee, Song Heng tee, dengan membawa racun itu kau harus pulang ke Boe tong san dan
diam2 menaruhnya di makanan Thio Cinjin dan para pendekar Boe tong. Kami akan
menunggu di kaki gunung. Sesudah berhasil, kita menangkap Thio Cinjin dan semua
pendekar Boe tong. Kemudian kita menggunakan penangkapan tersebut untuk menekan Thio
Boe Kie, memaksa ia untuk menurut segala kemauan kita.”
“Bagus! Tipu itu benar benar bagus!” puji Soe Hwee Liong.
“Tipu ini memang sangat bagus,” menyambut Cie hoat. “Kita sukar untuk bisa meracuni Thio
Boe Kie. Tapi Song Heng tee pasti berhasil. Sebagai anggota penting dari Boe tong pay, kau
bisa turun tangan dengan mudah sekali.”
Song Ceng Soe jadi bingung. Dengan paras muka pucat ia berkata, “Tapi.. tapi… aku pasti tak
akan bisa meracuni ayah sendiri…”
“Song heng tee tidak usah kuatir,” bujuk Tan Yoe Liang. “Ngo tok Swee sim san adalah racun
luar biasa dari partai kita. Racun itu hanya dapat menghilangkan kesadaran manusia untuk
sementara waktu dan sama sekali tidak membahayakan jiwa. Kami semua sangat
mengindahkan Song Tay hiap. Kami pasti tidak akan mengganggu selembar rambut ayahmu.”
Tapi Song Ceng Soe tetap menolak. “Jika diketahui, masuknya aku ke dalam partai kita ini
pasti akan ditegur oleh Thaysoehoe dan ayah,” katanya. “Meracuni ayah sendiri adalah
perbuatan yang aku tak akan berani lakukan.”
“Saudara,” kata Tan Yoe Liang. “Jalan pikiranmu tak benar. Dalam sejarah terdapat contoh
contoh, bahwa ada orang orang yang rela menghukum keluarga sendiri demi kepentingan
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1157
orang banyak atau negara. Apapula tujuan kita yang sekarang adalah menumpas Mo kauw.
Kita menawan para pendekar Boe tong hanya untuk menaklukkan si penjahat cabul.”
“Kalau aku melakukan perbuatan itu, aku pasti akan dicaci oleh berlaksa orang dalam dunia
Kang ouw dan aku tak ada muka lagi untuk hidup di antara langit dan bumi,” kata Song Ceng
Soe.
“Song Heng tee, kau tak usah begitu berkuatir,” kata Tan Yoe Liang. “Mengapa tadi aku
minta supaya semua tiangloo delapan karung meninggalkan ruangan ini? Mengapa kita
memeriksa di seluruh kelenteng? Aku begitu berhati hati sebab takut rahasia bocor. Song
heng tee, sesudah menaruh racun, kau sendiri harus berlagak pingsan dan kaupun akan
ditangkap. Kau akan dikumpulkan bersama sama Thay soehoemu, ayahmu dan paman
pamanmu. Kecuali kita bertujuh orang, di dalam dunia tak ada orang lain yang
mengetahuinya. Kami semua kagum dan berterima kasih terhadap kau yang sudah
menunaikan tugas yang sangat berat. Siapa lagi yang akan mentertawakan kau?”
Ceng Soe mengerutkan alisnya. Sesudah berpikir beberapa lama, ia berkata dengan suara
perlahan. “Perintah Pangcoe dan Tan Toako sebenar benarnya tidak boleh ditolak olehku. Apa
pula sebagai anggota baru dari partai kita, siauwtee seharusnya menggunakan kesempatan ini
untuk membuat pahala. Maupun harus masuk kedalam lautan api, siauw tee mesti
melakukannya. Akan tetapi… akan tetapi… seorang manusia yang hidup di dunia ini
berpokok kepada ‘hauw gie’ (berbakti dan mempunyai rasa persahabatan). Maka itu, biar
bagaimanapun jua siauw tee tidak bisa turun tangan terhadap ayah kandung sendiri.”
Semenjak dahulu Kay pang sangat mengutamakan ‘kebaktian’. Mendengar perkataan Song
Ceng Soe, para tetua tidak berani mendesak lagi. Mendadak Tan Yoe Liang tertawa dingin.
“Yang muda tidak boleh menyerang yang tua adalah salah satu larangan dalam Rimba
Persilatan,” katanya. “Hal itu sudah diketahui olehku dan Song Heng tee tak usah mengajari
aku. Aku hanya ingin mengajukan pertanyaan. Pernah apakah Song Heng tee dengan Boh
sengkok Cit hiap? Siapakah yang lebih tinggi tingkatannya? Boh Cit hiap atau kau sendiri?”
Song Ceng Soe tidak menjawab. Ia menundukkan kepala dan sesudah berselang beberapa
lama, barulah ia berkata, “Baiklah! Siauw tee akan menurut perintah! Tapi kalian harus
berjanji untuk tidak mengganggu selembar rambut ayahku, untuk tidak menghina ayah
dengan cara apapun jua. Apabila kalian berjanji begitu, Siauwtee lebih suka celaka daripada
melakukan perbuatan yang tidak mengenal kebaktian ini.”
Soe Hwee Liong dan yang lain lain jadi sangat girang. Mereka segera mengiakan tuntutan
Song Ceng Soe.
Boe Kie merasa sangat heran. “Song Toa ko tadinya menolak keras, tapi mengapa begitu
lekas Tan Yoe Liang menyebutkan Boh Cit siok ia lantas menyerah?” tanyanya di dalam hati.
“Di dalam hal ini tentu menyelip latar belakang yang luar biasa. Aku harus menanyakan Boh
Cit siok sendiri.”
Sementara itu Cie hoat Tiang loo dan Tan Yoe Liang lalu berunding dengan bisik bisik.
Mereka membicarakan tindakan tindakan menangkap tokoh tokoh Boe tong pay, sesudah
mereka kena racun. Saban saban Tan Yoe Liang menyatakan pikiran Soe Hwee Liong selalu
berkata, “Bagus! Bagus!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1158
“Sekarang musim dingin dan Ngo tok masih bersembunyi di bawah tanah,” kata Ciang poen
Liong tauw. “Siauwtee harus pergi ke kaki gunung Tian pek san untuk menggalinya. Di
dalam dua puluh hari atau paling lama sebulan, siauwtee akan bisa membuat Ngo tok Swee
sim san” (Ngo tok lima macam binatang beracun).
“Kalau begitu Tan heng tee dan Song heng tee sebaiknya mengawani Ciang poen Liong tauw
ke Tiang Pek san sedang kami sendiri turun ke selatan lebih dahulu,” kata Cie hoat Tiang loo.
“Sebulan kemudian kita berkumpul di Lao ho. Hari ini Cap Jie Gwee cee peh (bulan 12
tanggal 8). Lain tahun Cia gwee Cee peh (bulan 1 tanggal 8) kita bertemu pula.” Sesudah
berdiam sejenak ia berkata pula, “Han Lim Jie yang sudah menjadi tawanan kita banyak
gunanya. Kuminta Ciang pang Liong tauw menjaga baik baik, supaya jangan sampai direbut
oleh orang2 Mo kauw. Dalam perjalanan ini kita harus sangat berhati hati supaya tindakan
kita tidak diendus musuh.”
Sesudah itu semua orang lantas saja meminta diri dari Pang coe. Ciang poen Liong tauw, Tan
Yoe Liang dan Song Ceng Soe berangkat paling dahulu dan kemudian dengan beruntun
semua pengemis meninggalkan kelenteng Bie lek hoed.
Setelah semua orang berlalu, barulah Boe Kie dan Tio Beng melompat keluar dari dalam
tambur. Sambil membereskan pakaiannya, dengan sorot mata girang tercampur gusar, nona
Tio mengawasi Boe Kie.
“Hm.. “ Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. “Kau masih ada muka untuk bertemu dengan
aku!…”
Paras muka si nona lantas saja berubah. “Mengapa?” ia menegas. “Kedosaan apa yang
kuperbuat terhadap Toakoauw coe?”
“Manusia kejam!” bentak Boe Kie dengan muka pucat. “Aku tak mempersalahkan kau, bila
kau hanya mencuri Ie thian kiam dan To Liong to. Aku tak mempersalahkan kau jika kau
hanya meninggalkan aku di pulau terpencil itu! Tapi, kau tahu, bahwa In kouwnio sudah
terluka berat. Mengapa kau begitu kejam, begitu tega turunkan tangan jahat kepadanya?
Perempuan kejam! Dalam dunia yang lebar ini, kekejamanmu sukar dicari keduanya!” Selagi
mencaci, darahnya meluap. Ia maju setindak dan kedua tangannya menggaplok. Tio Beng
coba berkelit, tapi mana bisa ia menyingkir dari serangan Boe Kie yang telah kalap? Plak!…
plak….plak… plak!” kedua pipinya merah bengkak kena empat gamparan.
Rasa sakit malu dan gusar bercampur aduk dalam dada si nona. Akhirnya ia menangis. “Kau
kata, aku curi Ie thian Kiam dan To liong to… siapa yang lihat?” tanyanya. “Kau kata.. aku
kejam terhadap In Kouwnio… panggil dia kemari untuk diadu denganku…”
Boe Kie jadi makin gusar. “Baiklah!” teriaknya. “Aku akan kirim kau ke akherat untuk diadu
dengannya!” Tangannya menyambar dan mencekik leher si nona. Tio Beng memberontak dan
memukul dada Boe Kie, tapi pemuda itu yang tubuhnya dilindungi Kioe yang Sin kang tidak
menghiraukan semua pukulan. Selang beberapa saat kemudian, dengan muka merah si nona
pingsan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1159
Dalam sakit hatinya, Boe Kie sebenarnya sudah ingin meembinasakan nona Tio. Tapi melihat
si nona dalam keadaan pingsan, tiba tiba hatinya lemas dan ia melepaskan cekikannya,
sehingga si nona lantas saja roboh dengan kepala terpukul batu lantai.
Sesudah bersilang beberapa lama, perlahan lahan Tio Beng tersadar. Ia membuka kedua
matanya dan melihat paras muka Boe Kie yang mengunjuk rasa kuatir. Sesudah si nona
tersadar, Boe Kie menahan nafas lega.
“Apa benar In Kouwnio sudah meninggal dunia?” tanya Tio Beng.
Darah pemuda itu bergolak lagi. “Digores pedang tujuh belas delapan belas goresan
bagaimana dia bisa hidup?” jawabnya dengan suara gemetar.
“Siapa… siapa yang kata aku berbuat begitu?” tanya Tio Beng. “Apa Cioe Kouwnio?”
“Cioe kouwnio tidak pernah memfitnah orang. Dia sama sekali tidak menuduh kau.”
“Apa In Kouwnio sendiri yang kata begitu?”
“In Kouwnio tidak bisa bicara. Binatang di pulau itu hanya terdapat lima orang. Apa ini
perbuatan Giehoe? Apa aku? Apa In Kouwnio yang membacok dirinya sendiri? Hmm..!
Kutahu jalan pikiranmu. Kau turunkan tangan jahat sebab kau takut aku menikah dengan
piauw moay. Sekarang aku bicara terus terang. Tak peduli dia mati atau hidup, aku tetap
menganggapnya sebagai isteriku.”
Tio Beng menundukkan kepalanya. Lama ia berdiri terpaku. Akhirnya ia bertanya.
“Bagaimana kau bisa kembali ke Tionggoan?”
Boe Kie tertawa dingin. “Kami bisa kembali berkat kemuliaan hatimu,” katanya dengan nada
mengejek. “Kau mengirim angkatan laut untuk mencari kami. Untung juga Gie hoe tidak
setolol aku. Karena kecerdasan Gie hoe, kami tak masuk ke dalam perangkapmu. Kami tahu,
bahwa kau telah mempersiapkan kapal2 meriam untuk menenggelamkan kapal yang
ditumpangi kami. Tapi lihatlah! Tipu busukmu tak berhasil.”
Sambil mengusap usap pipinya yang bengkak, si nona menatap wajah Boe Kie. Mendadak
kedua matanya mengeluarkan sinar kasihan dan mencinta. Ia menghela nafas panjang.
Buru2 Boe Kie memalingkan kepala ke lain jurusan, sebab ia kuatir terjatuh di bawah
pengaruh kecantikan. Ia menjejak bumi dan berkata, “Aku pernah bersumpah untuk membalas
sakit hati piauwmoay. Aku mengakui kelemahanku dan hari inin aku tidak bisa turun tangan.
Kau terlalu jahat! Di lain hari kau pasti akan jatuh ke dalam tanganku!” Sehabis berkata
begitu, ia berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Tapi baru saja ia berjalan belasan tombak, Tio Beng sudah memburu. “Thio Boe Kie! Mau
kemana kau?” teriak si nona.
“Kau tak perlu tahu!”
“Aku mau bicara dengan Cia tayhiap dan Cioe Kouwnio. Antarkan aku kepada mereka!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1160
“Giehoe tak akan berlaku sungkan terhadapmu,” kata Boe Kie. “Menemui Giehoe berarti
mengantarkan jiwa.”
“Giehoemu kejam, tapi ia tidak setolol kau. Di samping itu, apabila Giehoemu membunuh
aku, bukankah dengan demikian sakit hati piauw moaymu jadi terbalas impas?”
“Tolol apa aku? Aku hanya tak ingin kau menemui Giehoe.”
“Thio Boe Kie, kau memang tolol. Kau tak rela mengorbankan aku. Kau tak ingin ayah
angkatmu membunuh aku. Bukankah begitu?”
Muka Boe Kie berubah merah. “Jangan rewel!” bentaknya. “Sebaiknya kau menyingkir jauh
jauh dari kami. Jika tidak, aku mungkin tak dapat menguasai diriku lagi dan akan mengambil
jiwamu.”
Setindak demi setindak Tio Beng mendekati. “Aku mesti ajukan beberapa pertanyaan kepada
Cia Tayhiap dan Cioe Kouwnio,” katanya dengan suara sungguh sungguh. “Aku tak berani
bicara jelek di belakang orang. Aku akan menanyakan seterang terangnya secara berhadap
hadapan.”
“Pertanyaan apa yang kau akan ajukan?”
“Kau akan segera tahu. Aku sendiri berani menempuh bahaya, mengapa kau berbalik
ketakutan?”
Boe Kie kelihatannya sangat bersangsi. Lewat beberapa saat, barulah dia berkata, “Kau harus
ingat, bahwa kaulah yang memaksa. Jika Gie hoe turunkan tangan jahat, tak dapat aku
menolong kau.”
“Kau tak usah terlalu kuatir,” kata si nona.
Tiba tiba Boe Kie naik darahnya. “Berkuatir?” ia mengulang. “Huh.. huh!.. Menurut pantas
aku harus segera mengambil jiwamu.”
“Hayolah!” si nona menantang sambil tertawa.
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. Tanpa meladeni lagi, ia segera menuju ke kota
dengan tindakan lebar, diikuti oleh Tio Beng dari belakang. Waktu hampir tiba di kota, Boe
Kie menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang. “Tio Kouwnio,” katanya, “aku
pernah berjanji untuk melakukan tiga pekerjaan untukmu. Yang pertama mencari To liong to.
Janji ini sudah dipenuhkan olehku. Masih ada dua. Jika kau menemui Giehoe, jiwamu pasti
melayang. Kau pergilah! Aku ingin memenuhi janjiku itu dan sesudah terpenuhi, barulah kau
pergi menemui Gie hoe.”
Si nona tertawa geli. “Thio Boe Kie,” katanya dengan suara bahagia. “Kau hanya mencari cari
alasan supaya Giehoemu jangan sampai membinasakan aku. Kutahu, kau tak tega
mengorbankan aku.”
“Kalau aku tak tega, mau apa kau?” kata Boe Kie dengan suara aseran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1161
“Aku merasa sangat girang,” jawabnya.
Boe Kie menghela napas. “Tio Kouwnio,” katanya. “Aku memohon… aku memohon.. kau
jangan pergi…”
Si nona menggelengkan kepalanya. “Tidak, biar bagaimanapun jua, aku mesti menemui Cia
Tayhiap,” katanya dengan suara tetap.
Boe Kie mengerti, bahwa tak guna ia membujuk lagi. Dengan tindakan berat, ia segera
menuju rumah penginapan. Setiba di depan kamar Cia Soen, ia mengetuk pintu. “Giehoe!”
panggilnya. Sesudah memanggil beberapa kali, ia belum juga mendapat jawaban. Ia menolak
pintu kamar, tapi pintu itu dikunci dari dalam.
Ia merasa sangat heran karena ia tahu sang ayah angkat sangat sigap dan andaikata tertidur,
tindakan kakinya di luar kamar pasti sudah menyadarkannya. Ia pun bercuriga dan berkuatir.
Kalau orang tua itu keluar, mengapa pintu terkunci dari dalam? Ia segera mengerahkan tenaga
dan mendorong pintu. “Brak!” palang pintu patah dan pintu terbuka dan… Cia Soen tak
berada dalam kamarnya!
Boe Kie menyapu seluruh kamar dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa jendela
terbuka separuh. “Gie hoe tentu keluar dari jendela,” pikirnya.
Ia pergi ke depan kamar nona Cioe. “Cie Jiak! Cie Jiak!” panggilnya. Si nona tak memberi
jawaban. Ia segera membuka pintu dengan paksa dan sekali lagi ia mendapat kenyataan,
bahwa Cie Jiak juga tak berada dalam kamar tapi buntelan pakaiannya masih terletak di atas
pembaringan. “Apa mereka disatroni musuh?” tanyanya dalam hati. Ia segera menanya
seorang pelayan tapi pelayan itu tak lihat Cia Soen dan Cie Jiak dan juga tak mendengar suara
keributan. Boe Kie jadi agak lega. “Mungkin sekali mereka mendengar suara mencurigai dan
mereka lalu mengejar. Ayah angkat berkepandaian sangat tinggi dan dengan dikawani oleh
Cie Jiak yang sangat berhati hati mungkin takkan terjadi sesuatu yang tak enak.” Waktu
memeriksa jendela dan keadaan di bawah jendela ia tak lihat petunjuk yang mencurigakan.
Dengan hati yang lebih tenang ia lalu kembali ke kamarnya.
“Melihat Cia tayhiap tak berada di dalam kamar, mengapa kau berbalik merasa senang?”
tanya Tio Beng sambil tersenyum.
“Omong kosong! Lagi kapan aku merasa senang?”
“Kau rasa aku tak bisa membaca paras mukamu? Waktu menolak pintu, kau memang kaget.
Tapi sesudah itu, ketegangan otot2 mukamu lantas menghilang.”
Boe Kie tak meladeni dan lalu duduk di pembaringan batu. Seraya bersenyum simpul, Tio
Beng duduk di kursi. Ia melirik Boe Kie dan berkata dengan suara perlahan. “Kutahu…
kutahu, bahwa di dalam hati, kau kuatir Cia tayhiap membunuh aku sehingga menghilangnya
orang tua itu berbalik menyenangkan hatimu. Kutahu… kau tak tega mengorbankan aku.”
“Kalau aku tak tega, mau apa kau?” bentak Boe Kie dengan mendongkol.
Si nona tertawa, “Aku merasa sangat girang,” jawabnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1162
“Tapi mengapa berulang kali kau coba mencelakai aku?” tanya Boe Kie. “Apa di dalam hati
kau membenci aku, kau rela mengorbankan aku?”
Paras Tio Beng lantas saja bersemu dadu. “Benar,” katanya, “memang benar dulu aku
berusaha untuk mengambil jiwamu. Tapi sesudah pertemuan di Lek Lioe chung, apabila
dalam hati aku mempunyai niatan sedikit saja untuk mencelakai kau, biarlah aku dikutuk
Tuhan Yang Maha Esa, biarlah aku binasa secara mengenaskan, biarlah aku tak bisa menitis
lagi dalam dunia yang fana ini.”
Mendengar sumpah yang sangat berat itu, Boe Kie terkejut. “Tapi mengapa hanya karena
sebatang golok dan sebatang pedang, kau sudah begitu tega terhadapku dan meninggalkan aku
di pulau kecil itu?” tanyanya pula.
“Kalau kau tetap berpendapat begitu, aku pun tak akan bisa membantah,” kata si nona.
“Tunggu saja sampai Cia tayhiap dan Cioe kouwnio datang.”
“Dengan lidahmu, kau hanya bisa menipu aku seorang. Kau pasti tak akan dapat mengelabui
Giehoe dan Cioe kouwnio.”
“Mengapa kau rela ditipu aku? Karena kau mencintai aku, bukan?”
“Kalau ya, mau apa kau?” bentak Boe Kie.
“Aku sangat girang,” jawabnya sambil tertawa manis.
Melihat tertawa yang menggoncangkan hati, buru buru Boe Kie memalingkan kepala ke lain
jurusan.
“Hampir setengah hari aku bersembunyi di pohon itu,” kata Tio Beng. “Sekarang kulapar.”
Tanpa menunggu jawaban, ia memanggil pelayan, menyerahkan sepotong emas dan
memerintahkan supaya disediakan semeja makanan kelas satu.
Melihat uang yang berjumlah besar itu, si pelayan berlaku hormat luar biasa dan tak lama
kemudian makanan dan minuman mulai diantar masuk.
“Sebaiknya tunggu sampai Giehoe datang dan kita boleh makan bersama sama,” kata Boe
Kie.
“Begitu Cia tayhiap datang, jiwaku akan melayang,” kata si nona. “Paling benar makan dulu.
Lebih baik jadi setan perut kenyang daripada setan kelaparan.” Biarpun ia berkata begitu,
sikapnya dan suaranya sangat tenang, sedikitpun tidak mengunjuk rasa kuatir. Sesudah
berdiam sejenak, ia berkata pula, “Aku masih mempunyai emas. Sebentar kita boleh pesan
makanan lagi.”
“Tapi aku tak berani makan bersama sama kau,” kata Boe Kie dengan suara dingin.
“Kutakkan menaruh tahu Sip hiang joan kin san.”
Paras muka Tio Beng lantas saja berubah. Ia sangat mendongkol. “Terserah,” katanya.
Sehabis ia berkata begitu, ia segera makan seorang diri. Sebab ia sendiri memang sudah lapar,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1163
Boe Kie lalu meminta beberapa potong kue phia dan memakannya dengan duduk di
pembaringan batu.
Sesudah makan beberapa suap, si nona mendadak merasa sedih dan air matanya turun di
kedua pipinya. Tiba tiba ia melemparkan sumpit dan lalu mendekam di meja sambil menangis
segak seguk.
Lama juga ia menangis. Sesudah kedukaannya disalurkan, ia mengawasi keluar jendela. “Satu
jam lagi siang akan berganti dengan malam,” katanya seorang diri. “Kemana Han Lim Jie
akan dibawa? Kalau jejaknya tak dapat dicari, dia sukar ditolong lagi.”
Boe Kie terkejut. Ia melompat bangun dan berkata, “Benar. Aku harus menolong Han heng
tee terlebih dahulu.”
“Cis! Tak tahu malu!” bentak Tio Beng. “Aku bukan bicara dengan kau.”
Melihat lagak si nona Boe Kie merasa geli tercampur dongkol. Cepat cepat ia menghabiskan
kuenya dan lalu berjalan keluar dengan tindakan lebar.
“Aku ikut!” teriak Tio Beng.
“Tak boleh!”
“Mengapa?”
“Kau membunuh piauw moayku. Mana bisa aku berjalan sama sama musuh?”
“Baik. Nah, kau pergilah!”
Boe Kie segera bertindak keluar, tapi baru beberapa langkah, ia merandek. “Perlu apa kau
berdiam di sini?” tanyanya.
“Tunggu Giehoemu. Aku akan memberitahu bahwa kau pergi untuk menolong Han Lim Jie.”
“Gie hoe sangat membenci kejahatan. Ia tak akan mengampuni kau.”
Tio Beng menghela napas. “Jika aku mesti mati, aku takkan mempersalahkan siapapun jua,”
katanya. “Aku mati sebab nasibku buruk.”
Boe Kie mengawasi si nona. “Sebaiknya kau menyingkir untuk sementara waktu,” katanya
dengan suara membujuk. “Sesudah aku kembali, kita bisa berdamai lagi.”
“Tak ada tempat untuk aku menyingkirkan diri.”
“Sudahlah! Kau ikut aku menolong Han Lim Jie.”
Tio Beng tertawa. “Ingatlah, kaulah yang mengajak aku,” katanya. “Bukan aku yang
memohon mohon.”
“Hm… kau merupakan binatang iblis bagi diriku. Rupa rupanya memang sudah nasibku
semenjak bertemu dengan kau, aku selalu menderita.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1164
Tio Beng tertawa geli. “Tunggu sebentar,” katanya sambil menepal pintu.
Beberapa lama kemudian, setelah pintu terbuka lagi, si nona ternyata sudah menukar pakaian,
pakaian wanita yang sangat indah. Boe Kie tak pernah menduga, bahwa di dalam buntelan
yang selalu dibawa bawa terisi seperangkat pakaian yang mahal harganya. “Perempuan ini
banyak akalnya dan sepak terjangnya selain diluar dugaan orang,” katanya di dalam hati.
“Mengapa kau terus mengawasi aku?” tanya Tio Beng. “Apa pakaianku bagus?”
“Muka seperti bunga tho dan lie, hati bagaikan ular dan kalajengking,” jawabnya.
Tio Beng tertawa terbahak bahak. “Terima kasih banyak kepada Thio Toakauwcoe yang
sudah menghadiahkan kata kata seindah itu,” katanya. “Thio kauwcoe, kaupun harus menukar
pakaian.”
“Sedari kecil aku sudah biasa memakai pakaian compang camping,” kata Boe Kie dengan hati
mendulu. “Apabila kau merasa malu melihat pakaianku, kau boleh tak usah mengikutku.”
“Kau jangan menduga yang tidak tidak,” kata Tio Beng sambil tersenyum. “Aku hanya ingin
melihat romanmu sesudah kau mengenakan pakaian yang baik. Boe Kie koko, kau tunggulah
di sini sebentar. Kawanan pengemis itu pasti mengambil jalanan ke Kwan Lwee. Kita tentu
dapat mengejar mereka.” Sehabis berkata begitu tanpa menunggu jawaban, ia segera berlalu.
Boe Kie duduk bengong di pembaringan batu. Dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, ia
heran mengapa ia seperti tauwhoe yang bisa dipermainkan oleh perempuan itu. “Terang
terang dialah yang membinasakan piauw moay tapi aku masih bisa beromong omong dan
tertawa tawa dengan dia,” pikirnya. “Boe Kie… ah Boe Kie… Lelaki apa kau? Apa kau ada
muka untuk menjadi kauwcoe dari Beng kauw, untuk memimpin segenap orang gagah di
kolong langit?”
Lama juga ia menunggu, tapi Tio Beng belum juga balik. Cuaca sudah mulai gelap.
“Perlu apa kutunggu dia?” pikirnya. Ia mau lantas berangkat, tapi ia segera membayangkan
kemungkinan bertemunya Tio Beng dengan ayah angkatnya. Kalau mereka bertemu muka,
nona Tio pasti akan binasa. Mengingat begitu dia mengurungkan niatnya dan menunggu terus.
Ia mendongkol bukan main, duduk salah berdiripun salah. Akhirnya terdengar tindakan kaki
dan si nona masuk dengan tangan menyangga dua bungkusan.
“Mengapa begitu lama?” tanya Boe Kie. “Sudahlah! Aku tak usah menukar pakaian. Mari kita
berangkat.”
Si nona tertawa. “Sesudah kau menunggu begitu lama, beberapa detik lagi untuk menyalin
pakaian tak jadi soal,” katanya. “Aku sudah membeli dua ekor kuda dan kita bisa mengubar di
waktu malam.” Ia mengeluarkan kedua bungkusan itu dan mengeluarkan seperangkat
pakaian, sepatu dan kaos kaki. “Di tempat kecil tak ada barang baik,” katanya pula.
“Setibanya di kota raja, aku akan beli baju kulit rase.”
Boe Kie kaget dan lalu berkata dengan suara sungguh sungguh, “Tio Kouwnio, apabila kau
menganggap bahwa aku kemaruk akan segala kemewahan dan bersedia untuk menekuk lutut
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1165
kepada kerajaan, hilangkanlah anggapan itu. Thio Boe Kie adalah anak cucu bangsa Han.
Andaikata diangkat menjadi raja muda, iapun tak akan menakluk kepada bangsa Mongol.”
Tio Beng menghela napas. “Thio Kauwcoe, kau lihatlah!” katanya. “Lihatlah, apa ini pakaian
seorang Mongol atau pakaian orang Han?” Seraya berkata begitu, ia lalu membuka baju dan
celana yang baru dibelinya. Boe Kie manggut2kan kepalanya, sebab pakaian itu adalah
pakaian Han. Sesudah itu, sambil memutar tubuh, si nona berkata pula, “Nah kau lihatlah
lagi! Apa pakaian ini pakaian puteri Mongol atau pakaian seorang puteri Han?”
Hati Boe Kie berdebar2. Tadi ia tak berkata. Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa nona
Tio memang mengenakan pakaian wanita Han. Ia menatap wajah si nona yang balas
mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan. Mendadak ia tersadar, ia sadar akan
maksud puteri Mongol itu. “Kau… kau…” katanya dengan suara parau.
“Sebab kutahu kau mencintai aku, aku sekarang tidak memperdulikan apapun jua. Aku
bersedia untuk membuat pengorbanan yang paling besar,” katanya dengan suara perlahan.
“Bagiku, orang Mongol atau orang Han tak jadi soal lagi. Kalau kau orang Han, aku orang
Han. Kalau kau orang Mongol, akupun orang Mongol. Apa yang dipikiri olehmu adalah soal
negara, soal ketentraman, soal kekuasaan, pengaruh dan nama. Tapi Boe Kie koko, bagiku
yang paling penting adalah kau seorang – pribadimu sendiri. Entah kau manusia baik, entah
kau pengemis… bagiku… sama saja!”
Mendengar kata2 itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie. Untuk beberapa saat ia berdiri
terpaku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Akhirnya ia berkata, “Apakah kau mencelakai
piauwmoay lantaran jelus? Lantaran kuatir aku akan menikah dengan dia?”
“Thio Toakauwcoe!” bentak Tio Beng dengan suara keras. “Bukan aku yang mencelakai In
Kouwnio. Kau percaya, baik – tidak ya sudah! Hanya ini keteranganku!”
Boe Kie menghela napas. “Tio Kouwnio,” katanya, “manusia bukan kayu atau batu. Kutahu
kecintaanmu terhadapku. Tapi apakah sampai hari ini dan di tempat ini, kau masih juga ingin
mendustai aku?”
“Dahulu, kuanggap diriku pintar. Tapi sekarang kutahu, bahwa di dalam dunia ada hal hal
yang berada di luar taksiran manusia,” kata si nona secara menyimpang. “Boe Kie koko,
biarlah kita jangan berangkat hari ini. Kau tunggu Cia tayhiap di kamar ini dan aku sendiri
akan menunggu Cioe Kouwnio di kamarnya.”
“Mengapa begitu?” tanya Boe Kie heran.
“Kau tak usah tanya,” jawabnya. “Kau tidak usah kuatir akan keselamatan Han Lim Jie. Aku
tanggung dia akan dapat ditolong.” Seraya berkata begitu, ia berjalan keluar dan pergi ke
kamar Cie Jiak.
Boe Kie bingung. Ia tak dapat meraba maksud nona itu. Sambil bersandar di pembaringan
batu, ia mengasah otak. Mendadak di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. “Apa tak bisa
jadi, ia telah mengatur siasat untuk mencelakai Cie Jiak karena ia tahu aku sudah bertunangan
dengan nona Cioe?” pikirnya di dalam hati. “Apa tak bisa jadi, ia menyuruh Hian beng Jie loo
datang disini untuk membokong Gie hoe dan Cie Jiak?” Mengingat Hian beng Jie loo, rasa
kuatirnya menghebat. Kedua kakek itu berkepandaian sangat tinggi. Biarpun matanya bisa
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1166
melihat, ayah angkatnya belum tentu dapat menandingi salah seorang dari mereka. Ia
melompat bangun dan berlari lari ke kamar Tio Beng. “Tio Kouwnio, kemana perginya Hian
beng Jie loo?” tanyanya.
“Mungkin mereka menyusul ke selatan, sebab rupa rupanya mereka anggap aku masuk ke
daerah Kwan lwee sesudah aku meloloskan diri,” jawabnya.
“Apa benar?”
“Kalau tak percaya, perlu apa kau tanya?”
Boe Kie tertegun. Ia berdiri di depan kamar tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun jua.
“Kalau aku mengatakan, bahwa aku sudah menyuruh Hian beng Jie loo datang kesini untuk
membinasakan Cia tayhiap dan Cioe Kouwniomu yang tercinta, apa kau percaya?” tanya si
nona.
Perkataan itu kena jitu di hati Boe Kie. Sekali menendang, pintu terpental. Dengan paras
muka merah padam, ia berkata. “Kau…. Kau…..”
Jilid 64___________________
Melihat paras yang menakuti, si nona baru ketakutan. Ia merasa menyesal, bahwa ia sudah
mengeluarkan kata-kata itu. “Jangan marah!” katanya terburu-buru. “Aku hanya guyonguyon.”
Dengan sorot mata bagaikan pisau, Boe Kie menatap wajah si nona. “Tio Kouw Nio,
bicaralah terang-terangan….. “ katanya dengan suara menyeramkan. “Kau tidak takut datang
di sini… kau tidak takut bertemu dan dipadu dengan Gie Hoe. Apakah itu berarti, bahwa kau
sudah tahu mereka berdua sudah mati, sudah tak ada lagi didalam dunia ini?” seraya berkata
begitu, ia maju beberapa tindak, sehingga dengan sekali menghantam, ia akan bisa mengambil
jiwa nona Tio.
Tio Beng balas mengawasi mata pemuda itu. “Thio Boe Kie,” katanya dengan suara sungguhsungguh.
“Aku bicara terus terang kepadamu. Dalam hal-hal di dunia ini, kecuali kau lihat
dengan mata sendiri, kau tidak boleh lantas percaya. Lebih-lebih kau tidak boleh memikirkan
yang bukan-bukan dan menarik kesimpulan sendiri. Jika kau mau membunuh aku,
sekarangpun kau boleh turun tangan. Tapi kalau sebentar Gie Hoe-mu datang, bagaimana
perasaanmu?”
Kegusaran Boe Kie lantas saja mereda, bahkan ia merasa malu sendiri. “Apabila Gie Hoe
tidak kurang suatu apa, aku tentu saja merasa sangat girang.” Katanya dengan suara perlahan.
“Kau tidak boleh guyon-guyon dalam soal keselamatan ayah angkatku.”
Tio Beng mengangguk. “memang, memang tak pantas aku mengeluarkan kata-kata itu.”
Katanya. “Kuharap kau suka memaafkan.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1167
Mendengar permintaan maaf itu, hati Boe Kie lantas saja lemas. Ia tersenyum dan berkata,
“Untuk kekasaranku, akupun memohon maaf.” Sehabis berkata begitu, ia segera balik ke
kamar Cia Soen.
Semalam suntuk mereka menunggu, tapi kedua orang yang ditunggu tak juga kembali.
Sesudah sarapan pagi ia segera berdamai dengan Tio Beng. “Heran sekali,” kata si nona
sambil mengerutkan alis. “Kecuali Kay Pang, di tempat ini tak terdapat lain orang Kang Ouw.
Sebaiknya kita mengejar rombongan Soe Hwee Liong dan coba menyelidiki.”
Boe Kie menyetujui usul itu. Sesudah membayar uang sewa kamar, ia memesan pengurus
rumah penginapan supaya Cia Soen dan Cie Jiak jika mereka kembali menunggu saja di
penginapan itu. Tak lama kemudian, seorang pelayan menuntun dua ekor kuda yang garang
dan tinggi besar badannya. Boe Kie merasa kagum dan memberi pujian kepada kuda Kwan
Gwa yang tersohor itu. Mereka lantas saja melompat ke punggung tunggangan itu yang segera
dikabur ke jurusan selatan. Mereka merupakan pasangan setimpal yang lelaki tampan yang
perempuan cantik, dan kedua-duanya mengenakan pakaian indah. Yang tak tahu pasti akan
menduga bahwa mereka adalah suami isteri bangsawan yang sedang pesiar di daerah itu.
Hari itu mereka melalui dua ratus li lebih, malamnya mereka menginap di sebuah penginapan
pada keesokan pagi. Mereka meneruskan perjalanan kira-kira tengah hari, angin dingin mulai
meniup dengan santernya sehingga awan hitam beterbangan di angkasa. Sesudah mulai lagi,
dua puluh li lebih salju mulai turun. Selama dalam perjalanan Boe Kie jarang berbicara
dengan Tio Beng. Kini, meskipun turunnya salju jadi makin besar, ia terus membedal kuda
tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Di waktu magrib, tebalnya salju sudah hampir sekali. Biarpun gagah, kedua tunggangan itu
lelah, apapula mereka harus berjalan di jalanan gunung yang licin dan tebal saljunya. Boe Kie
menahan les dan mengawasi seputarnya. Mereka berada di gunung yang tak ada manusianya.
“Tio Kouw Nio, bagaimana baiknya?” Boe Kie bertanya, “kalau kita meneruskan perjalanan,
kedua binatang ini mungkin roboh.”
Si nona tertawa dingin. “Kau hanya memikiri kuda, tidak memperdulikan manusia.”
Jawabnya.
Ditegur begitu, Boe Kie merasa menyesal tercampur malu. “Aku sendiri mempunyai Kioe
Yang Sin Kang, sehingga tidak mengenal letih,” pikirnya. “Benar-benar aku tak ingat dia.”
Sesudah berjalan lagi beberapa jauh, dari pinggir jalan tiba-tiba melompat keluar seekor
kijang yang terus kabur ke atas. “Tio Kouw Nio, kau tunggu di sini.” Kata Boe Kie.
“Aku mau tangkap kijang itu untuk menangsal perut.” Ia melompat turun dan terus mengejar
dengan mengikuti tapak-tapak di salju. Sesudah membelok di sebuah tanjakan lapat-lapat ia
lihat binatang itu lari ke arah sebuah gua. Dengan sekali mengempos semangat, tubuh Boe
Kie melesat bagaikan anak panah dan sebelum kijang itu masuk ke gua, ia sudah berhasil
mencekal lehernya. Binatang itu coba memberontak, tapi tulang lehernya lantas patah dipijut
Boe Kie.
Dengan menenteng bangkai kijang, Boe Kie kembali kepada Tio Beng. “Di sana ada sebuah
gua yang cukup besar untuk dua orang.” Katanya. “Apa kau setuju jika kita menginap di
situ?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1168
Nona Tio mengangguk. Tiba-tiba mukanya bersemu dadu dan ia memalingkan kepala ke lain
jurusan.
Sesudah menambat kedua kuda di bawah pohon siong, Boe Kie lalu mencari cabang-cabang
kayu kering dan membuat perapian di depan gua. Gua itu yang di dalamnya gelap, ternyata
sangat bersih, bebas dari kotoran binatang. Boe Kie menguliti bangkai kijang, mencuci
dagingnya dengan salju dan kemudian membakarnya di atas perapian. Tio Beng membuka
baju luarnya yang terbuat daripada kulit binatang, menggelarnya di lantai gua dan kemudian
mendudukinya sambil menikmati hawa hangat dari perapian. Tiba-tiba Boe Kie menengok
dan mereka berdua saling tersenyum. Senyuman yang menghilangkan semua rasa letih dan
lelah.
“Sesudah daging masak, mereka lalu makan dengan bernapsu. Selang beberapa lama, sambil
bersender di dinding gua. Boe Kie berkata, “Kau tidurlah!” si nona tertawa manis, ia
bersandar di dinding seberang dan lalu memejamkan kedua matanya. Dengan hidung yang
saban-saban mengendus wewangian yang keluar dari badan puteri Mongol itu, Boe Kie
melirik dengan rasa kagum, karena di bawah sinar api, Tio Beng lebih cantik lagi, seolah-olah
sekuntum bunga Hay Thong yang baru mekar. Seraya menghela napas, iapun memejamkan
mata.
Kira-kira tengah malam sayup-sayup tersadar dan segera memasang kuping. Ia tahu, bahwa
yang sedang mendatangi berjumlah empat ekor kuda. “Di tengah malam buta dan di waktu
turun salju mereka berjalan juga,” katanya di dalam hati. Mereka pasti sedang menghadapi
urusan pentin.
“Makin lama suara itu makin dekat. Untuk sejenak mereka berhenti dan kemudian berjalan
lagi. Tak bisa salah lagi kuda-kuda itu menghampiri gua, Boe Kie kaget. “Gua ini terletak di
tempat yang sembunyi,” pikirnya. “Kalau bukan dituntun kijang, aku tak akan bisa
mencarinya. Mengapa dan cara bagaimana orang-orang itu bisa datang kemari?” tiba-tiba ia
mendusin dan berkata pula di dalam hati. “Benar! Mereka tentu lihat tapak kaki kami.”
Ketika itu Tio Beng pun sudah tersadar. “Mereka mungkin musuh,” katanya. “Biarpun kita
tak takut, sebaiknya kita menyingkir.”
“Mereka datang dari selatan,” kata Boe Kie.
“Heran sekali,” kata si nona sambil meraup salju yang lalu digunakan untuk menutup api.
Sementara itu suara kaki kuda sudah berhenti dan sebagai gantinya terdengar tindakan empat
orang. Dalam sekejab mereka mendekati gua. “gerakan mereka sangat cepat,” bisik Boe Kie.
“Mereka berkepandaian sangat tinggi,” ia bingung sebab orang-orang itu sudah hampir tiba di
depan gua. Tiba-tiba Tio Beng mencekal tangannya dan menariknya masuk ke dalam. Makin
ke dalam gua itu jadi makin sempit dan baru saja masuk setombak lebih, mereka bertemu
dengan sebuah tikungan.
Sekonyong-konyong terdengar suara seorang.
“Ah! Di sini ada gua.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1169
Boe Kie kaget tercampur girang sebab ia segera mengenali, bahwa orang yang berbicara
adalah paman gurunya yang keempat. Thio Siong Kee.
“Tanda-tanda yang tinggalkan Cit Tee menuju ke tempat ini,” kata seorang lain. “Mungkin
sekali Cit Tee pernah masuk ke gua ini,” itulah suara Boe Tong Liok Hiap, In Lie Heng.
Baru saja Boe Kie mau memanggil, mulutnya sudah ditekap Tio Beng. “Kita berada berduaan
dan kalau dilihat mereka, kita akan merasa tidak enak,” bisik si nona.
Boe Kie menyetujui peringatan itu. Meskipun ia putih bersih, tapi jika ia dan Tio Beng
ditemukan berduaan dalam sebuah gua, para paman itu tentu sukar percaya kebersihannya.
Apapula, sebagai koencoe dari kerajaan goan, nona Tio pernah memperanjakan para pendekar
Boe Tong di Ban Hoat Sie, sehingga kalau mereka bertemu muka, pertemuan itu merupakan
pertemuan antara musuh dan musuh. Ia segera mengambil keputusan, bahwa begitu lekas para
pamannya berlalu, akan segera ia berpisahan dengan Tio Beng, supaya ia tak usah mengalami
hal-hal yang tidak enak.
“Ih!” Demikian terdengar seruan Jie Lian Cioe. “Di sini ada cabang-cabang siong yang
terbakar…. Hmmm.. kulit… darah dan sisa daging kijang.”
“Hatiku sangat tak enak.” Kata orang keempat. “Kuharap saja Cit Tee tak kurang suatu apa.”
Orang itu bukan lain daripada Song Wan Kiauw.
Jantung Boe Kie memukul keras. Empat paman gurunya turun gunung bersama-sama untuk
mencari Boh Seng Kok. Dari pembicaraan mereka, dapat ditarik kesimpulan, bahwa paman
guru yang paling kecil itu telah bertemu dengan musuh yang kuat. Ia turut merasa kuatir.
“Toa Soeko tak usah begitu kuatir,” kata Thio Siong Kee sambil tertawa. “Karena sangat
mencintai Cit Tee, Toa Soeko masih menganggap dia sebagai anak kecil Boh Seng Kok
dahulu. Andaikata ia bertemu dengan musuh tangguh, kurasa Cit Tee masih bisa
menghadapinya.”
Aku bukan kuatir Cit Tee,” kata In Lie Heng. “Yang kupikiri si bocah Boe Kie yang sekarang
tak ketahuan ke mana perginya. Dia sekarang menjadi kc dari Beng Kauw. Pohon yang tinggi
mengandung angin. Dalam kedudukannya itu tentu ada banyak musuh yang ingin
mencelakainya. Walaupun ilmu silatnya tinggi, pikirnya terlalu sederhana dan ia tak tahu
hebatnya gelombang Kang Ouw. Kuatir ia kena ditipu orang jahat.”
Boe Kie merasa sangat terharu. Budi kebaikan para pamannya besar bagaikan gunung dan ia
tak tahu bagaimana harus membalasnya. Mendadak Tio Beng berbisik, “aku orang jahat dan
sekarang kau sudah ditipu orang jahat. Apa kau tahu?”
“Dalam usaha mencari Boe Kie dengan mengambil jalan utara, Cit Tee nampaknya telah
mendapat endusan,” kata Song Wan Kiauw. “tapi apa artinya itu delapan perkataan yang
ditinggalkannya di rumah penginapan Wie Kek di Tian Cin?”
“Ya….. “ kata Thio Siong Kee. “Cit Tee mengatakan, dalam rumah tangga ada perubahan,
kita harus membersihkannya. Siapa yang dimaksudkan dengan kata-kata itu? Apakah dalam
Boe Tong Pay terdapat manusia keji? Apa Boe Kie…. “ ia tak meneruskan perkataannya.
Tapi nada suaranya mengunjuk rasa kuatir.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1170
“Kurasa anak Boe Kie tak nanti melakukan sesuatu yang merusak nama rumah perguruan
kita.” Kata In Lie Heng.
“Tapi si perempuan siluman Tio Beng terlampau lihai,” kata pula Thio Siong Kee. “Kau
jangan lupa, anak Boe Kie masih muda, seorang muda gampang sekali dipengaruhi dengan
kecantikan. Apakah… apakah… ia bertindak seperti ayahnya yang akhirnya binasa secara
mengenaskan?.... “ Keadaan berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah hela napas.
Beberapa saat kemudian terdengar suara beradunya batu api yang membakar cabang-cabang
pohon. Salah seorang pendekar Boe Tong membuat obor yang sinarnya lantas saja menerangi
bagian dalam gua. Biarpun berada di tikungan, sayup-sayup Boe Kie bisa melihat paras muka
Tio Beng yang mengunjuk rasa duka tercampur gusar. Ia tahu, bahwa perkataan Thio Siong
Kee telah membangkitkan rasa jengkelnya si nona. Ia sendri merasa bingung dan berkata di
dalam hati. “Perkataan Thio Sie Siok memang beralasan. Ibu belum pernah melakukan
sesuatu yang tidak pantas. Tapi toh, dia menyeret ayah sampai binasa, Tio Kouw Nio telah
membunuh pmy, menghina Thay Soehoe dan para paman, ia tak bisa dibandingkan dengan
ibu.” Memikir begitu, ia makin bingung. Kalau mereka menemukan aku bersama Tio Kouw
Nio di gua ini, biarpun aku mencuci dengan semua air sungai Hoang Ho, tak dapat aku
membersihkan diri.”
Tiba-tiba terdengar suara Song Wan Kiauw yang bergemetar. “Sie-tee, di dalam hatiku
terdapat sebuah pertanyaan yang tak bisa keluar dari mulutku. Kalau aku mengatakan terangterangan
aku merasa tak adil terhadap ngo-tee yang sudah meninggal dunia.”
“apakah Toako kuatir Boe Kie turunkan tangan jahat terhadap Cit Tee?” tanya Thio Siong
Kee dengan suara perlaha.
Song Wan Kiauw tak menyahut. Meskipun tak melihat, Boe Kie merasa bahwa paman itu
telah manggutkan kepala.
“Anak Boe Kie berwatak mulia dan jujur.” Kata Thio Siong Kee. “Menurut pantas, ia takkan
melakukan perbuatan keji itu, tapi Cit Tee sangat berangasan dan ceroboh. Kalau ia mendesak
Boe Kie sampai di jalan buntu ditambah dengan siasat si perempuan siluman Tio Beng
memang…. Memang… Hai!... Hati manusia tak dapat dijajaki. Semenjak dulu orang gagah
sukar melawan paras cantik. Aku hanya berdoa agar dalam menghadapi detik-detik penting,
Boe Kie bisa mempertahankan diri.”
“Toako, Sieko! Kalian jangan omong yang tidak-tidak!” kata In Lie Heng. “Belum tentu Cit
Tee mengalami kebencanaan.”
“Tapi sendiri melihat pedang Cit Tee, aku tak enak tidur,” kata Song Wan Kiauw.
“Memang benar,” menyambung Jie Lian Cioe. “Orang-orang rimba persilatan sekali-sekali
tak boleh lalai terhadap senjatanya. Kita tak boleh menaruh senjata secara sembarangan saja.
Apapula pedang itu hadiah Soehoe. Kata orang pedang ada, orangnya hidup, pedang hilang,
orangnya…. “ mendadak ia berhenti bicara dan perkataan “mati” yang sudah hampir keluar,
ditelan lagi olehnya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1171
Mendadak kecurigaan keempat paman guru itu terhadap dirinya, Boe Kie jadi makin bingung
dan berduka. Sekonyong-konyong dari dalam gua keluar semacam bau wangi yang tercampur
dengan bau anaknya binatang, seperti jua gua itu pernah atau memang sedang dialami
binatang. Karena kuatir wewangian itu diendusi para pamannya, sembil menahan napas dan
mencekal sebelah tangan Tio Beng, Boe Kie masuk lebih jauh ke dalam gua. Supaya tak
tersandung batu-batu yang menonjol, sambil berjalan Boe Kie meraba-raba lantai gua dengan
tangan kirinya. Sesudah beberapa tindak dan baru saja membelok di sebuah tikungan lain,
tangannya mendadak menyentuh sebuah benda lembek seperti tubuh manusia.
Boe Kie terkesiap, “tak perduli orang ini sahabat atau musuh sedikitpun dia tak bersuara para
paman tentu akan mendengarnya,” katanya dalam hati. Bagaikan kilat ia menotok lima “hiat”
di dada orang itu dan kemudian mencekal tangannya dan hatinya mencelos, sebab tangan itu
seperti es tangan orang mati! Dengan bantuan sinar remang-remang yang menembus dari luar
ia mengawasi muka orang itu. Tiba-tiba ia menggigil. Lapat-lapat ia seperti melihat muka Boh
Seng Kok! Tanpa menghiraukan bahaya lagi, ia mendukung jenazah itu dan maju beberapa
tindak ke tempat yang lebih terang. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa jenazah itu adalah
jenazah Boh Seng Kok, yang mukanya pucaat dan matanya belum tertutup. Gusar dan duka
bergolak-golak di dada pemuda itu, untuk sejenak ia berdiri terpaku.
Beberapa tindakan Boe Kie itu sudah didengar oleh keempat pendekar Boe Tong. “Siapa?”
bentak Jie Lian Cioe. Dengan serentak mereka menghunus pedang.
Boe Kie mengeluh, “Jika ditemukan, aku pasti tidak bisa mengelakkan tuduhan membunuh
paman,” pikirnya.
Pada detik itu di dalam otaknya berkelebat-kelebat berbagai ingatan. Dadanya menyesak
dengan kedukaan yang sangat hebat karena ia ingat budi kecintaan Boh Seng Kok terhadap
dirinya.
Dalam menghadapi bahaya, Tio Beng bisa berpikir cepat. Mendadak ia melompat dan
menerjang sambil memutar pedang, bagaikan kilat ia mengirim empat serangan dengan
pukulan-pukulan Go Bie Kiam Hoat yang terhebat. Baru saja keempat pendekar Boe Tong
menangkis, ia sudah menerobos keluar dan sembil mengelakkan tikaman Thio Siong Kee, ia
melompat ke punggung kuda dan menendang perut tunggangan itu dengan kakinya sehingga
lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya sakit dan matanya
berkunang-kungan. Sambil mendekam dan memeluk leher kuda ia mempertahankan diri dan
kabur terus. Ternyata ia sudah kena pukulan Jie Lian Cioe dan meskipun kenanya tidak telak,
ia terluka berat.
Sementara itu sambil berteriak-teriak, keempat pendekar Boe Tong sudah mengejar dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. “Makin jauh aku lari, makin gampang dia
meloloskan diri,” kata Tio Beng di dalam hati. “Untung juga semua orang mengejar aku.”
Ketika si nona menerjang ke luar, Boe Kie mencelos hatinya. Dilain saat barulah ia mengerti,
bahwa Tio Beng telah menggunakan tipuan muslihat untuk memancing harimau
meninggalkan gunung untuk menolong dirinya. Buru-buru dengan mendukung jenazah Boh
Seng Kok, ia lari keluar dan terus kabur ke jurusan barat sebab para pamannya mengejar ke
arah timur. Sesudah melalui kurang lebih dua li, ia berhenti dan menaruh jenazah itu di
belakang sebuah batu besar. Sesudah itu, ia kembali ke jalanan tadi dan memanjat sebuah
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1172
pohon. Lama ia bersembunyi di situ sambil mengucurkan air mata. “Ah! Sungguh malang
nasib Boe Tong Pay!” pikirnya. “siapakah yang telah membinasakan Cit Soesiok?”
Berselang kira-kira setengah jam, ia mendengar suara kaki kuda yang mendatangi utara dari
tenggara. Tak lama kemudian, ia melihat dua ekor kuda dengan empat penunggangnya: Song
Wan Kiauw dan Jie Lian Cioe menunggang yang satu, In Lie Heng dan Thio Siong Kee
menunggang yang lain.
“Sesudah kena pukulanku, perempuan siluman itu jatuh ke jurang,” demikian terdengar suara
Jie Lian Cioe. “Kurasa dia tak akan bisa hidup lagi.”
“Hari ini barulah kita bisa mencaci hinaan di Ban Hoat Sie,” kata Thio Siong Kee. “Tapi perlu
apa di bersembunyi di gua itu? Aku benar-benar merasa heran.”
“Tapi Sieko, apakah kau tidak bisa menebak-nebak?” tanya In Lie Heng.
“Tak bisa,” jawabnya. “Bagi kita, binasanya perempuan siluman itu tidak begitu penting. Kita
baru bisa bergirang kalau kita bisa menemukan Cit Tee.” Makin lama mereka makin jauh dan
akhirnya Boe Kie tidak bisa mendengar lagi pembicaraan mereka.
Sesudah menunggu beberapa lama lagi, Boe Kie turun dari pohon. Dengan mengikuti tapaktapak
kaki di atas salju, ia lantas berlari-lari ke arah timur. Ia sangat berkuatir akan
keselamatan Tio Beng dan berkata dalam hatinya. “Biarpun jahat, kali ini dia menolong
jiwaku. Kalau karena aku dia mengantarkan jiwa, aku sungguh…. “ memikir begitu, ia lari
makin keras dan sesudah melalui kira-kira lima li, ia bertemu dengan sebuah tebing. Tapaktapak
di sekitarnya kelihatan kalang kabut, sedangkan di sisi tebing terdapat tanda-tanda dari
gugurnya tanah dan batu. Boe Kie mengerti, bahwa karena terdesak, Tio Beng sudah terjun ke
bawah bersama-sama kudanya.
“Tio Kouw Nio! Tio Kouw Nio!” teriaknya. Ia tak dapat jawaban. Ia melongok ke jurang.
Ditengah malam ia tak bisa lihat dasar jurang itu yang dindingnya sangat terjal dan tidak
punya tempat untuk menaruh kaki.
Tapi Boe Kie sudah nekat. Seraya menarik napas dalam-dalam ia turunkan kedua kakinya dan
lalu merosot ke bawah sambil bersandar di dinding jurang. Perbuatan itu tentu sangat
berbahaya, tapi ia tak memikir panjang-panjang lagi. Seraya merosot, ia mengerahkan
lweekang dan berusaha keras untuk menancapkan sepuluh tangannya di es yang keras. Ia
berhasil dan sesudah berhenti sejenak ia merosot lagi. Kejadian ini terulang lima enam kali.
Akhirnya ia tiba di dasar jurang. Mendadak ia melompat karena kakinya menyentuh sesuatu
yang lembek. Dengan meraba-raba ia mendapat tahu bahwa kakinya telah menginjak paha
kuda dan Tio Beng sendiri masih mendekam di punggung kuda dan memeluk leher binatang
itu. Cepat-cepat ia menyelidiki pernapasan si nona. Ia merasa agak lega sebab walaupun
pingsan, gadis itu masih bernapas. Untung sungguh si nona terus memeluk leher kuda,
sehingga di waktu jatuh, yang terpukul hebat adalah binatang yang mati seketika itu juga. Boe
Kie lalu memegang nadi Tio Beng. Ia girang sebab ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun
terluka berat jiwa si nona tidak akan terancam. Ia segera mendukungnya, menempelkan kedua
telapak tangannya dengan telapak tangan Tio Beng dan kemudian mengerahkan tenaga dalam
untuk mengobati luka itu.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1173
Boe Kie bukan saja memilik lweekang yang sangat kuat. Tapi juga mahir dalam ilmu
ketabiban. Maka itu sesudah dibantu kira-kira setengah jam dengan lweekang Boe Tong Pay
yang murni, perlahan-lahan Tio Beng tersadar. Sesudah itu, Boe Kie lalu memasukkan Kioe
Yang Cin Khie ke dalam tubuh si nona. Setengah jam kemudian fajar menyingsing. Tiba-tiba,
“Uah!” Tio Beng muntah dara, ia tersadar seluruhnya. “Apa mereka sudah pergi? Apa mereka
bertemu dengan kau?” bisiknya.
Mendengar pertanyaan yang penuh kasih sayang itu, bukan main rasa terharunya Boe Kie.
“Mereka tidak menemukan aku,” jawabnya. “ah! …. Karena kau, kau sangat menderita…. “
Selagi bicara ia tetap mengirim Cin Khi ke dalam tubuh si nona. Dengan bibir tersungging
senyuman Tio Beng memejamkan matanya. Kaki tangannya lemas, tapi dada dan perutnya
hangat dan ia merasa nyaman sekali. Sesudah “hawa tulen” itu berputar beberapa kali di
dalam tubuhnya, ia memutar kepalanya dan berkata sambil tersenyum. “Kau mengasolah.
Aku sudah banyak mendingan.”
Mendadak rasa terima kasih yang sangat besar bergelombang dalam hati Boe Kie. Ia
memeluk erat-erat dan menempelkan pipinya pada pipi si nona. “Kau sudah menolong nama
baik-ku dan pertolongan itu sepuluh kali lipat lebih berharga daripada pertolongan jiwa,”
bisiknya.
Tio Beng tertawa geli. “Aku perempuan jahat, bagiku nama baik tak menjadi soal. Yang
penting adalah jiwa.”
Pada saat itulah, di atas jurang tiba-tiba terdengar bentakan. “Perempuan siluman! Benar saja
kau belum mampus! Cara bagaimana kau mencelakai Boh Cit Hiap! Lekas mengaku!”
“Jangan perlihatkan mukamu!’ bisik nona Tio.
“Perempuan bangsat! Teriak Thio Siong Kee. “Jika kau tidak menjawab, kami akan
menghantam dengan batu besar!”
Tio Beng mengawasi ke atas. Benar saja, Song Wan Kiauw berempat kelihatan berdiri di
pinggir tebing dengan masing-masing memegang sebuah batu besar. Jika mereka menimpuk,
jiwanya dan jiwa Boe Kie akan segera melayang. “Robek baju kulit ini untuk menutupi
mukamu,” bisiknya. “Sesudah itu barulah kita kabur.”
Boe Kie segera melakukan nasehat si nona. Sesudah memakai topeng, ia menekan topi
kulitnya ke bawah sampai lewat dahi.
Mengapa empat pendekar Boe Tong itu balik kembali! Karena mereka mempunyai
pengalaman luas. Sesudah Tio Beng jatuh ke jurang, mereka sengaja menyingkir jauh-jauh.
Tapi mereka tahu, bahwa sebagai seorang puteri dari kerajaan Goan, si nona pasti tidak
berjalan sendirian. Ia pasti mempunyai orang-orang yang melindunginya secara diam-diam.
Demikianlah, sesudah berjalan beberapa li, mereka kembali dan sesudah menambat
tunggangan mereka di dahan pohon, mereka membuat obor dan memeriksa gua bekas tempat
bersembunyinya Tio Beng. Di dalam gua mereka menemukan bangkai dua ekor rase yang
badannya rusak karena gigitan binatang, entah binatang apa. Bau wangi dari rase itu masih
belum menghilang. Sesudah menyelidiki, mereka keluar dan terus mengikuti tapak kaki Boe
Kie. Akhrinya menemukan jenazah Boh Seng Kok yang kaki tangannya tergigit binatang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1174
Kegusaran dan kedukaan mereka sukar dilukiskan. In Lie Heng menangis tersedu-sedu dan
akhirnya roboh pingsan.
“Meskipun berkepandaian tinggi, dengan seorang diri perempuan siluman itu pasti tak akan
bisa membinasakan Cit Tee,” kata Jie Lian Cioe sambil menyusut air mata. “Lak tee, jangan
terlalu berduka. Kita sekarang harus mencari semua musuh dan membinasakan mereka untuk
membalas sakit hatinya Cit Tee.”
“Sebaiknya kita bersembunyi di sekitar gua ini dan menunggu sampai fajar,” kata Thio Siong
Kee. “Menurut dugaanku, kaki tangan si perempuan siluman pasti akan datang ke sini untuk
mencarinya. Diantara tujuh pendekar Boe Tong, Siong Kee-lah yang paling berakal budi.
Mendengar usul itu, Song Wan Kiauw bertiga lantas berhenti menangis dan dengan
berpencaran lalu menyembunyikan diri di belakang batu-batu dekat mulut gua. Tapi sampai
fajar menyingsing, tiada manusia yang datang ke situ.
Dengan mendongkol keempat jago Boe Tong itu lalu pergi ke tebing untuk mengamat-amati.
Tiba-tiba mereka terkejut sebab sayup-sayup mereka mendengar suara manusia di bawah
jurang. Waktu melongok ke bawah, mereka melihat seorang pria yang mengenakan pakaian
indah sedang memangku Tio Beng. Buru-buru mereka mengambil batu besar dan
mengancam. Mereka tidak lantas menimpuk sebab ingin menyelidiki sebab musabab
kebinasaan Boh Seng Kok.
Jurang itu menyerupai sebuah sumur yang berdinding batu. Hanya sudut barat terdapat sebuah
jalanan keluar yang sangat sempit. “Anjing Goan!” bentak Thio Siong Kee. “Naik dari jalan
itu! Kalau berayal, kami akan menghabiskan jiwa kamu dengan batu-batu ini.” Karena
pakaiannya indah, Thio Siong Kee menganggap Boe Kie sebagai seorang Mongol.
Boe Kie sendiri bingung bukan main. Di dasar tidak terdapat tempat bersembunyi yang
bagaimanapun jua. Kalau para pamannya menimpuk, meskipun ia sendiri bisa
menyelamatkan diri, Tio Beng pasti akan binasa. Lantaran tidak melihat lain jalan lagi, maka
dengan apa boleh buat, sambil mendukung Tio Beng, perlahan-lahan ia memanjat ke atas. Ia
sengaja tidak memperlihatkan keindahannya. Saban-saban ia berlagak terpeleset dan napasnya
tersengal-sengal seperti orang kecapaian. Sesudah jatuh bangun beberapa kali barulah kakinya
menginjak tanah datar.
Menurut perhitungannya, begitu lekas keluar dari mulut jurang, ia ingin segera melarikan diri
dengan menggendong Tio Beng. Dengan menggunakan ilmu ringan badannya yang tinggi, ia
masih ungkulan meloloskan diri dari kejaran.
Tapi Thio Siong Kee pintar luar biasa. Siang-siang ia sudah melihat bahwa orang Mongol itu
berpura-pura dan ia sudah memberi isyarat supaya ketiga saudara seperguruannya
berwaspada.
Maka itu, begitu lekas Boe Kie menginjak bumi ia sudah dikurung dengan empat pedang yang
ujungnya terpisah kira-kira sekaki dari tubuhnya.
“Bangsat Tat Coe!” caci Song Wan Kiauw dengan suara gemetar. “Apa dengan memakai
topeng, kau rasa akan bisa melarikan diri? Siapa yang membunuh Boh Cit Hiap? Lekas
mengaku! Kalau kau berdusta, aku akan cincang badanmu!” Song Wan Kiauw sebenarnya
berwatak sabar dan welas asih. Hanya karena melihat kebinasaan Boh Seng Kok yang begitu
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1175
mengenaskan, maka itu, ia mengeluarkan cacian yang menyeramkan. Selama puluhan tahun,
baru sekarang ia memperlihatkan kegusaran yang sedemikian hebat.
Tio Beng menghela napas. “Kalupawa Ciangkoen,” katanya. “Tak ada jalan lain lagi untuk
meloloskan diri, sekarang kau boleh mengaku terus terang!” sesudah ia berbisik di kuping
Boe Kie, “gunakan ilmu silat Seng Hwee Leng.”
Tak usah dikatakan lagi, kalau bisa Boe Kie tentu tak ingin bertempur melawan pamanpamannya.
Tapi sekarang sudah terdesak di jalan buntu. Sambil menggigit gigi, ia
melemparkan tubuh Tio Beng ke arah In Lie Heng dan seraya berjungkir balik tangannya
menyambar lengan Thio Siong Kee. Dengan kaget, In Lie Heng menyambut tubuh nona Tio.
Sesudah tertegun sejenak, ia menotok jalan darah si nona dan kemudian melontarkannya di
tanah.
Sementara itu, Boe Kie sudah mengeluarkan ilmu silat Seng Hwee Leng yang sangat aneh. Ia
meninju Song Wan Kiauw, menendang Jie Lian Cioe, menyeruduk Thio Siong Kee dengan
kepalanya, dan merampas pedang In Lie Heng. Keempat pendekar Boe Tong itu adalah ahliahli
silat kelas satu yang berpengalaman luas. Tapi menghadapi ilmu silat Seng Hwee Leng,
mereka repot dan hampir-hampir tak bisa membela diri.
Dalam pertempuran di Leng Coa To. Boe Kie memiliki Kioe Yang Sin Kang dan Kian Koen
Tay Lo Ie masih tidak bisa melawan Sam Soe dari Persia yang baru mempelajari sebagian
ilmu Seng Hwee Leng. Sekarang Boe Kie sudah menyelami seluruh ilmu yang tertera di enam
Seng Hwee Leng dan kepandaiannya sudah banyak lebih tinggi daripada kepandaian Sam
Soe. Ilmu Seng Hwee Leng pada hakekatnya bukan ilmu terjurus yang sangat aneh dan sukar
diraba.
Manakala ilmu tersebut digunakan oleh orang biasa, orang itu bukan tandingan perndekar Boe
Tong yang terkenal sebagai ahli lweekang kelas utama. Tapi Boe Kie bukan orang biasa. Ia
memiliki Kioe Yang Sin Kang, mahir dalam Kian Koen Tay Lo Ie dan paham dalam segala
ilmu dari Boe Tong Pay. Maka itulah setiap serangannya serangan bahaya dan ditujukan
kepada bagian-bagian yang kosong dari garis pembelaan keempat pendekar. Sesudah
bertanding kurang lebih dua puluh jurus, serangan Boe Kie makin hebat dan makin aneh.
Tiba-tiba Tio Beng yang menggeletak di tanah berteriak, “Kalupuwa CiangKoen, sekarang
baru mereka tahu kelihaian ilmu silat Mongol! Hajar mereka! Jangan sungkan-sungkan!”
Keempat pendekar Boe Tong mendongkol bukan main. Tapi mereka tak bisa berbuat banyak.
Kian lama mereka makin terdesak.
“Bela diri dengan Thay Kek Koen!” seru Thio Siong Kee.
Keempat pendekar Boe Tong lantas saja menambah cara bersilat mereka. Sekarang mereka
membela diri secara rapat sekali dengan menggunakan ilmu gubahan Thio Sam Hong yang
sangat lihai itu.
Sekonyong-konyong Boe Kie berduduk di tanah, kedua tinjunya meninju-ninju dadanya
sendiri!
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1176
Selama menjagoi dalam rimba persilatan, para pendekar Boe Tong pernah mengukur tenaga
dengan banyak sekali ahli-ahli silat yang tangguh dan pernah melayani entah berapa banyak
pukulan yang aneh-aneh. Tapi baru sekarang mereka menyaksikan cara berkelahi yang aneh
dari “tat coe”. Berduduk di tanah dan memukul dadanya sendiri. Jangankan melihat,
mendengar pun mereka belum pernah mendengar pukulan yang luar biasa. Sebelum Boe Kie
mengeluarkan silatnya yang luar biasa itu, keempat pendekar Boe Tong sudah memasukkan
pedang mereka ke dalam sarung dan membela diri dengan tangan kosong. Boe Kie berduduk
di tanah dan memukul-mukul dada, dalam kage dan heran mereka dengan serentak
menghunus pedang dan menikam. Hampir berbareng pedang Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe,
dan Thio Siong Kee menyambar ke tubuh Boe Kie. Pedang In Lie Heng telah dirampas dan
dilemparkan oleh Boe Kie. Tapi di pinggangnya masih tergantung pedang Boh Seng Kok. Ia
segera menghunusnya dan turut menikam
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Boe Kie menyapu salju dengan kakinya dan
salju itu muncrat berhamburan keempat penjuru.
Itulah salah sebuah pukulan Seng Hwee Leng yang dinamakan Hoei See Coan Siang Toei
(pasir terbang menggulung rombongan pedagang) Ilmu ini dulu sering digunakan oleh si
orang tua dari pegunungan untuk merobohkan rombongan pedagang yang lewat di padang
pasir dengan menggunakan unta. “Si orang tua dari pegunungan” adalah perampok besar.
Kalau lihat iring-iringan pedagang, ia segera duduk di pasir dan menangis tersedu sambil
memukul-mukul dadanya sendiri. Rombongan pedagang itu tentu saja lantas berhenti dan
menanyakan sebab musababnya dari tangisannya itu. Selagi orang tak waspada, si Orang Tua
dari Pegunungan tiba-tiba menyapu pasir dengan kakinya, sehingga pasir muncrat
berhamburan dan masuk di mata pedagang-pedagang itu. Selagi korban-korbannya tidak bisa
membuka mata, dia menyerang sehebat-hebatnya. Dengan sekali pukul, dia bisa
membinasakan puluhan orang. Itulah asal-usul Hoei See Coan Siang Toei dan sebagai
gantinya pasir, Boe Kie menggunakan salju.
Berbareng muncratnya salju, keempat pendekar Boe Tong kelilipan dan tidak bisa membuka
mata. Tapi sebagai jago-jago ulung gerakan mereka cepat luar biasa dan serentak mereka
melompat ke belakang. Tapi kalau mereka cepat, Boe Kie lebih cepat lagi. Bagaikan kilat,
memeluk kedua lutut Jie Lian Cioe dan selagi menggulingkan diri, ia sudah menotok tiga hiat
besar di tubuh jjh. Hampir berbareng ia berjungkjir dan selagi badannya melayang turun di
udara, lutut kanannya menggentus Ngo Coe Hiat dan Sin Kong Hiat di tubuh In Lie Heng
yang matanya lantas saja berkunang-kunang dan roboh di tanah. Song Wan Kiauw tidak dapat
menggunakan pedangnya lagi tapi tangan kirinya lantas saja menghantam kepala si tat Coe.
Tapi sebelum pukulan itu mampir pada sasarannya, mendadak dadanya kesemutan dan jalan
darahnya sudah kena disikut Boe Kie.
Tak kepalang kagetnya Thio Siong Kee. Dalam sekejab tiga saudara seperguruannya dibikin
tidak berdaya. Ia mengerti, bahwa biar bagaimanapun jua, dengan seorang diri ia bukan
tandingan musuh yang tangguh itu. Tapi ia tentu tidak bisa kabur sendirian dengan
meninggalkan saudara-saudaranya. Dengan nekat, ia segera mengirim tiga tikaman berantai.
Ketika itu Thio Siong Kee sudah dijalanan buntu dan menghadapi bahaya besar. Tidakannya
tetap, sikapnya tenang dan serangannya hebat, sesuai dengan kemestian. Melihat begitu,
didalam hati Boe Kie bersorak, “ilmu silat Boe Tong benar-benar luar biasa. Apabila tidak
memiliki silat yang aneh ini, mungkin sekali aku tak bisa melawan para pamanku,” tiba-tiba
ia memutar kepalanya, membuat lingkaran-lingkaran. Thio Siong Kee tidak memperdulikan,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1177
ia sengaja tak mau melihat lingkaran-lingkaran itu. Mendadak, dengan kecepatan luar biasa, ia
menikam dada Boe Kie. Boe Kie menundukkan kepala, seolah-olah mereka mau memapaki
tikaman itu dengan batok kepalanya. Sekonyong-konyong, pada waktu ujung pedang hampir
menyentuh kulit kepala, ia membuang diri ke tanah dan menubruk ke depan. Hampir
berbareng, empat hiat di kempungan dan betis kiri Thio Siong Kee tertotok dan tanpa ampun
lagi, ia jatuh terjengkang.
Boe Kie tahu, bahwa empat totokan itu hanya dapat melumpuhkan bagian bawah tubuh
pamannya. Selagi ia mau menotok Tiong Kie Hiat dan Tho To Hiat di bagian punggung, tibatiba
Thio Siong Kee mengeluarkan teriakan menyayat hati, kedua matanya terbalik, tubuhnya
bergemetaran dan sesaat kemudian, napasnya habis.
Hati Boe Kie mencelos, keempat totokannya takkan melukai sang paman. Apa paman itu
memang sudah sakit dan penyakitnya kambuh karena ditotok? Keringat dingin membasahi
bajunya dan dengan tangan gemetar ia meraba kepala pamannya. Siong Kee menyambar dan
topeng Boe Kie terlocot! Mereka saling mengawasi dengan mata membelalak.
Beberapa saat kemudian, Thio Siong Kee berkata dengan suara parau. “Thio Boe Kie…
kau!... kasih sayang kami terhadap kau tersia-sia…. “ Nada suara itu mengunjuk rasa duka
dan gusar yang tiada taranya. Sambil menatap wajah Boe Kie, air mata pendekar Boe Tong itu
mengalir turun di kedua pipinya. Tadi, sesudah dirobohkan, ia mengambil keputusan untuk
melocotkan topeng musuh, supaya kalau mesti mati, ia mau mati setelah melihat wajah
lawannya. Maka itu ia berlagak mati dan akhirnya berhasil menjambret topeng Boe Kie.
Didalam pihak, Boe Kie yang berwatak polos tidak pernah menduga, bahwa ia akan diakali
secara begitu.
Pada waktu itu, penderitaan Boe Kie banyak lebih hebat daripada penderitaan jasmaniah yang
paling hebat. Bagaikan hilang ingatan, ia hanya berkata dengna suara perlahan: “bukan aku….
Sie Soepeh.. bukan aku yang membunuh Cit Soe Siok… “
Thio Siong Kee tertawa terbahak-bahak.
“Bagus!... bagus…. “ serunya. “Lekas kau bunuh kami semua! Toako! Lak Tee! Kau sudah
lihat, bahwa manusia yang kita namakan Tat Coe bukan lain daripada anak Boe Kie yang kita
cintai.”
Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe dan In Lie Heng yang badannya tidak bisa bergerak, hanya
mengawasi dengan mata melotot dan muka merah padam.
Hebat sungguh kedudukan Boe Kie. Tiba-tiba serupa ingatan pendek berkelebat di otaknya.
Lebih baik mati! Tapi, sebelum menjemput pedang dan mengorok leher, tiba-tiba Tio Beng
berkata, “Thio Boe Kie! Dalam menghadapi penasaran, seorang laki-laki harus bisa
mempertahankan diri. Di dalam dunia ini, air surut, batu kelihatan. Kau harus berusahan
untuk membinasakan penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap untuk membalas sakit hatinya.
Hanyalah dengan berbuat begitu, baru kau tak percuma menerima kasih sayang para pendekar
Boe Tong.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1178
Boe Kie terkejut. Ia menyetujui pendapat Tio Beng. “Tapi apakah yang harus kita perbuat?”
tanyanya. Sambil menanya begitu, ia menghampiri dan mengurut punggung serta pinggang si
nona untuk membuka jalan darahnya yang tertotok.
“Kau tak usah terlalu bingung,” bujuk Tio Beng dengan suara lemah lembut. “Dalam Beng
Kauw terdapat banyak orang pandai, sedang akupun mempunyai banyak pembantu yang
berkepandaian tinggi. Penjahat itu pasti akan bisa dibekuk.”
“Thio Boe Kie! Teriak Siong Kee. “kalau di dalam hatimu masih terdapat rasa kasihan,
bunuhlah kami dengan segera! Aku tak kuat menyaksikan kau bercinta-cintaan dengan
perempuan siluman itu.”
Paras muka pemuda itu pucat bagaikan mayat. Ia benar-benar bingung dan tak tahu apa yang
harus diperbuatnya.
“Tindakan kita yang pertama adalah coba menolong Han Lim Jie,” kata Tio Beng. “Sesudah
itu, kita berusaha untuk mencari ayah angkatmu. Di sepanjang jalan kita boleh menyelidiki
penjahat yang membunuh Boh Cit Hiap dan yang membunuh Piauw Moaymu.”
“Apa?.... Apa?….” tanya Boe Kie dengan suara terputus-putus.
“Apakah Boh Cit Hiap dibunuh olehmu?” Tio Beng balas menanya dengan suara dingin.
“Mengapa keempat pamanmu menuduh kau? Apa In Lee dibunuh olehku? Mengapa kamu
menuduh aku? Apakah hanya kau seorang yang boleh penasaran terhadap orang lain dan
orang lain tak boleh merasa penasaran terhadapmu?” kata-kata itu bagaikan halilintar di
tengah hari bolong. Sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia mengakui, bahwa di
dunia yang lebar ini sering terjadi kejadian-kejadian yang kebetulan, yang tidak bisa dikira
oleh manusia. Sekarang dia sendiri menerima tuduhann berat. Ia tidak berdosa, tapi ia tidak
berdaya untuk membersihkan diri. “apakah … Apakah Tio Kouw Nio seperti aku?....”
tanyanya di dalam hati.
“Apakah keempat pamanmu bisa membuka sendiri totokanmu?” tanya pula Nona Tio.
Boe Kie menggelengkan kepala. “Tidak,” jawabnya. “Totokanku dari ilmu Seng Hwee Leng.
Soepeh dan Soesiok takkan bisa membukanya. Sesudah lewat dua belas jam, totokan itu akan
terbuka sendiri.”
“Jalan satu-satunya bagi kita adalah menaruh keempat pamanmu di dalam gua dan kita lantas
menyingkirkan diri,” kata Tio Beng. “Sebelum berhasil mencari penjahat yang berdosa, kau
tak boleh bertemu muka lagi dengan dia.”
“tapi di dalam gua itu sering keluar masuk binatang,” kata Boe Kie. “Pada jenazah bcs
terdapat tanda-tanda gigitan.”
“ah! Otakmu sudah tidak bisa bekerja lagi!” kata si nona. “Kalau salah seorang dari keempat
pamanmu bisa menggerakkan tangannya dan dalam tangannya terdapat sebatang pedang,
apakah binatang buas akan bisa melukakan mereka?”
Muka Boe Kie berubah merah. Ia mengangguk dan menjawab. “Benar, kau benar.” Sesudah
berkata begitu, ia mendukung tubuh keempat pamannya dan menaruh mereka di belakang
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1179
sebuah batu besar, supaya terbebas dari serangan salju. Boe Kie tak menjawab dan hanya
mengucurkan air mata.
Tio Beng tak bisa menahan sabarnya lagi. “Kalian adalah orang-orang yang berkedudukan
tinggi dalam rimba persilatan dan aku sungguh tak mengerti mengapa kalian begitu tolol,”
katanya. “Kalau benar Boe Kie membunuh Boh Cit Hiap, bukankah dengna mudah saja dia
bisa membinasakan kalian semua untuk menutup mulut kalian? Kalau dia tega membunuh
Boh Cit Hiap, apakah dia tak tega membunuh kalian? Jika kalian mencaci terus, aku akan
gaplok muka kalian satu persatu. Aku perempuan siluman, aku bisa lakukan apa yang
kukatakan. Dulu waktu kalian berada di Ban Hoat Sie, dengan memandang muka Thio Kong
Coe, aku sudah memberi perlakuan istimewa pada orang-orang Boe Tong Pay. Lihatlah! Jari
tangan jago-jago Siauw Lim, Koen Loen, Go Bie, Hwa San dan Khong Tong diputuskan
olehku. Terhadap pendekar-pendekar Boe Tong, aku membuat kecualian. Dibagian mana
perlakuanku terhadap kalian kurang sempurna? Bilang!”
Song Wan Kiauw berempat saling mengawasi. Di dalam hati mereka masih berpendapat,
bahwa Boh Seng Kok dibunuh Boe Kie, tapi mereka kuatir, Tio Beng akan benar-benar
menggaplok mereka. Seorang gagah boleh dibinasakan, tapi tak boleh dihina. Kalau sampai
mereka digaplok si perempuan siluman, mereka benar-benar merasa terhina. Maka itu mereka
lantas berhenti mencaci.
Tio Beng tersenyum dan berkata, “Ambillah tunggangan kita untuk membawa pamanpamanmu
ke gua.”
Boe Kie kelihatan bersangsi. “Lebih baik kudukung mereka,” katanya.
Si nona mengerti maksud perkataan itu. Ia tertawa dingin dan berkata, “Apa kau rasa, karena
berkepandaian tinggi, kau seorang diri bisa membawa empat orang dengan sekaligus? Kutahu,
kau kuatir begitu lekas kau pergi, aku akan membunuh paman-pamanmu. Kau belum pernah
menaruh kepercayaan atas diriku. Baiklah, aku pergi mengambil kuda dan kau tunggu di
sini.”
Mendengar perkataan yang jitu, sekali lagi muka Boe Kie berubah merah. Tapi memang benar
ia tidak berani menyerahkan keempat pamannya ke dalam tangan si nona yang angin-anginan.
Maka itu, ia lantas saja berkata, “Terima kasih banyak jika kau sudi mengambil kuda-kuda
itu, kutunggu di sini.”
“Hm!.... “ Si nona mengeluarkan suara di hidung. “Kau begitu mulia, tapi orang tetap tak
percaya kepadamu, kau begitu baik hati, tapi orang tetap menganggap kau seperti anjing.”
Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
Boe Kie tidak meladeni. Dengan hati masgul, ia megawasi bayangan si nona.
Sekonyong-konyong terdengar suara larinya kuda dari selatan, dan didengar dari suaranya
jumlah kuda sedikitnya ada tiga ekor. Tio Beng pun sudah mendengarnya, karenanya ia buruburu
kembali dan berkata, “Ada orang!” seraya berkata begitu, ia lari ke belakang batu dan
berjongkok di samping Boe Kie. Melihat separu badan Jie Lian Cioe berada di luar batu, ia
segera menariknya.
“Jangan sentuh badanku!” bentak Jie Hiap dengan mata melotot.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1180
Si nona tertawa, “aku justru ingin pegang badanmu,” katanya. “Aku mau lihat apa yang bisa
diperbuat olehmu.”
“Tio Kouw Nio! Jangan kurang ajar terhadap soepehku!” bentak Boe Kie.
Tio Beng tertawa dan mengeluarkan lidahnya.
Sesaat itu, seorang penunggang kuda kelihatan mendatangi, dengan dikejar oleh dua orang
lain. Dalam jarak kira-kira tiga puluh tombak, Boe Kie yang bermata jeli sudah mengenali,
“Song Ceng Soe Toako!” bisiknya.
“Tahan kudanya!” kata Tio Beng.
“Perlu apa?” tanya Boe Kie.
“Jangan banyak tanya. Apa kau lupa, pembicaraan di ruangan kelenteng Bie Lek Hoed?” kata
si nona.
Boe Kie mendusin, menjemput sepotong es dan menimpuk. Timpukan itu kena tepat di kaki
depan kuda Song Ceng Soe yang langsung saja berlutut. Song Ceng Soe melompat turun dan
coba membangunkan tunggangannya, tapi kuda itu tidak bisa berdiri lagi sebab tulangnya
patah. Melihat pengejarnya sudah datang, cepat Song Ceng Soe segera melarikan diri. Tapi ia
tidak bisa lari jauh, karena Boe Kie sudah menimpuk lagi dan potongan es mampir tepat pada
jalan darah di betis kanannya.
Hampir berbareng robohnya Song Ceng Soe, kedua pengejar itu sudah menyandak. Mereka
adalah Tan Yoe Liang dan Ciang Poen Liong Tauw.
“Heran sungguh!” kata Boe Kie dalam hati. “mereka bertiga bersama-sama pergi ke Tiang
Pek San untuk mencari racun. Mengapa yang seorang lari dengan dikejar oleh yang dua?”
sejenak kemudian ia mendapat lain ingatan. Ya, mungkin sekali Song Toako tersadar dan
insaf bahwa ia tak boleh melakukan perbuatan terkutuk. Untung juga ia lari ke sini. Aku harus
menolong.
Begitu menyandak, Tan Yoe Liang dan Ciang Liong Tauw meloncat turun dari tunggangan
mereka. Mereka menduga kuda Song Ceng Soe roboh sebab terlalu letih dan pemuda itu
sendiri terluka berat. Karena dugaan itu, mereka segera menghunus senjata yang lalu dituding
ke tubuh Ceng Soe.
Tangan Boe Kie sudah mencekal kepingan es siap sedia untuk menimpuk. Tapi tangannya
sudha disentuh Tio Beng, si nona menggeleng-gelengkan kepala, menuding kupingnya sendiri
dan kemudian menuding Song Ceng Soe. Boe Kie mengerti bahwa ia dinasehati untuk
bersabar dan menunggu pembicaraan ketiga orang itu.
“Orang she Song!” bentak Ciang Poen Liong Tauw. “Mengapa kau kabur ditengah malam
buta? Apa kau mau membuka rahasia kepada ayahmu?” Sambil mencaci, ia membalingbalingkan
golok Cie Kim Pat Kwa Lo di atas kepala Ceng Soe. Song Wan Kiauw sangat
berkuatir akan keselematan puteranya. Secara kebetulan Boe Kie menengok dan ia melihat
sorot mata sang paman yang penuh kekuatiran itu. Ketika benterok dengan mata Boe Kie,
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1181
sinar matanya berubah dan memperlihatkan sinar memohon. Boe Kie manggut-manggutkan
kepalanya sebagai janji, bahwa ia akan menolong. “Kecintaaan ayah ibu benar-benar setinggi
langit dan setebal bumi,” katanya di dalam hati. “Toasoepeh begitu gusar terhadapku. Tapi
begitu melihat jiwa Song Toako terancam bahaya, ia rela untuk meminta pertolongan
kepadaku. Andaikata Toasoepeh sendiri yang terancam bahaya, ia pasti tak akan meminta
pertolongan.” Pada detik itu, tiba-tiba hatinya seperti tersayat pisau. Ia ingat, bahwa Song
Ceng Soe mempunyai seorang ayah yang sangat mencintai, sedang ia sendiri seorang anak
yatim piatu.
Sementara itu terdengar jawaban Song Ceng Soe, “Aku bukan mau memberitahukan ayah.”
“Pangcoe telah memberitahukan kau untuk mengikut kami ke Tiang Pek San guna mencari
obat,” kata Ciang Poen Liong Tauw. “Mengapa kau pergi tanpa permisi?”
“Ciang Poen Liong Tauw! Aku anak manusia mempunyai ayah dan ibu. Kalian memaksa aku
untuk mencelakai ayah kandung sendiri. Mana tega aku berbuat begitu? Aku bukan mau
berseteru dengan kalian. Aku hanya tak sanggup melakukan perbuatan binatang itu.”
“apakah kau mau melanggar perintah Pangcoe? Apa kau tahu, hukuman apa yang akan
dijatuhkan terhadap seorang anggota yang menghianati partai?”
“aku seorang berdosa besar. Aku memang sudah tak ingin hidup. Selama beberapa hari, setiap
kali memejamkan mata, aku selalu melihat bayangan bcs selalu mengganggu aku. Ciang Poen
Liong Tauw, bunuhlah aku! Aku akan merasa sangat berterima kasih.”
“Baiklah!” bentak si pengemis sambil mengangkat goloknya.
“Tahan!” cegah Tan Yoe Liang. “Liong Tauw Toako, apabila Song Heng Tee tetap menolak,
lepaskan saja dia. Tak baik kalau kita bunuh.”
“Lepaskan dia?” menegas Ciang Boen Liong dengan suara heran.
“Benar, dia membinasakan paman gurunya sendiri, Boh Seng Kok. Dia berdosa besar dan
pasti akan dibunuh oleh orang partainya sendiri. Perlu apa kita mengotorkan senjata?”
Itulah perkataan yang mengejutkan. Bagi keempat pendekar Boe Tong, kata-kata itu bagaikan
halilintar yang menyambar dengan tiba-tiba.
Waktu mengintip pertemuan Kay Pang di kelenteng Bie Lek Hoed, ketika Tan Yoe Liang
menyebut-nyebut nama Boh Seng Kok. Boe Kie sudah menduga bahwa Song Ceng Soe telah
melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap pamannya itu. Tapi mimpipun tak pernah
mimpi, bahwa Boh Seng Kok binasa dalam tangan pemuda itu. Antara mereka semua,
hanyalah Tio Beng yang tidak terlalu kaget, sebab ia sudah menduga terjadinya kejadian itu.
“Tan Toako,” kata Song Ceng Soe dengan suara gemetar, “kau sudah bersumpah untuk tidak
membocorkan rahasia ini. Asal kau tidak membuka mulut, ayah tentu tak akan tahu.”
Tan Yoe Liang tertawa tawar. “kau Cuma mengingat sumpahku, tapi lupa sumpah sendiri,”
katanya. “kau sudah bersumpah, bahwa mulai waktu itu kau akan menurut segala perintahku.
Apa kau atau aku yang lebih dahulu melanggar sumpah?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1182
“biarpun mesti mati, aku tak dapat menuruti perintahmu untuk menaruh racun di makanan
Thay Soehoe dan ayah. Lebih baik kau bunuh saja aku.”
“Song Heng Tee, seorang gagah harus bisa bertindak dengan mengimbangi keadaan. Kami
bukan menyuruh kau membinasakan ayah sendiri. Kami hanya ingin kau menaruh sedikit
racun Bong Han Yo (obat yang melupakan), supaya mereka tertidur untuk sementara waktu.
Bukankah kau sudah mengiakan waktu kita berada di kelenteng Bie Lek Hoed?”
“Aku hanya mengiakan untuk menaruh Bong Han Yo. Tapi yang ditangkap Ciang Poen Liong
Tauw adalah binatang-binatang yang sangat beracun – ular, kelabang, dan sebagainya. Itu
semua racun untuk membinasakan manusia. Itu semua bukan Bong Han Yo.”
Tan Yoe Liang mengawasi korbannya dan perlahan-lahan memasukkan pedangnya ke dalam
sarung. “Cioe Kouw Nio dari Go Bie Pay sangat cantik bagaikan bidadari,” katanya. “didalam
dunia sangat sukar dicari tandingannya. Aku merasa heran mengapa kau rela menyerahkan
gadis itu ke dalam tangannya si bocah Boe Kie. Song Heng Tee, hari itu kau mengintip kamar
tidur para wanita murid-murid Go Bie Pay dan perbuatanmu diketahui oeh Cit Soesiokmu lalu
mengejar sehingga terjadi pertempuran di bukit batu. Pertempuran itu berakhir dengan
peristiwa pembunuhan oleh seorang keponakan terhadap pamannya sendiri. Mengapa kau
sudah melakukan pembunuhan itu? Bukankah karena ingin mendapatkan Cioe Kouw Nio
yang cantik manis? Apa sekarang kau bisa mundur lagi? Tidak! Pasti tidak!”
Dengan menggunakan seantero tenaganya, Song Ceng Soe bangun berdiri, “Tan Yoe Liang,
lidahmu sungguh jahat!” teriaknya.
“Kau menekan aku secara keterlaluan. Malam itu, di dalam pertempuran melawan bcs, aku
sudah kalah. Aku berdosa besar. Kalau aku binasa, segala apa akan menjadi besar. Siapa
suruh kau membantu aku? Aku kena ditipu olehmu, sehingga sekarang namaku hancur dan
tidak akan bisa ditolong lagi.”
“Bagus, bagus!” kata Tan Yoe Liang dengan suara mengejek. “Apa boleh aku bertanya? Boh
Seng Kok mati sebab punggungnya terpukul dengan pukulan Cia Thian Tiat Ciang (Pukulan
tangan besai yang menggetarkan langit) Siapa yang memukulnya? Apa Kau? Malam itu, aku
bukan saja menolong jiwamu, tapi juga menolong namamu. Apa itu salah? Song Heng Tee,
didalam persahabatan, yang lain tak usah disebut-sebut lagi, tapi hal kau membunuh paman
sendiri pasti tak akan diuar-uar olehku. Sekarang kita boleh berpisahan dan dilain hari kita
masih mempunyai kesempatan untuk bertemu muka pula.”
Mendengar perkataan manusia itu yang seolah-olah bersedia untuk menyudahi segala
persoalan sampai di situ, Song Ceng Soe sangat bersangsi. “Tan…. Tan Toako, apa yang mau
diperbuat olehmu terhadapku?” tanyanya.
Tan Yoe Liang tertawa, “Aku selalu berbuat baik terhapamu, tapi kau tetap tak percaya aku,”
katanya. “Apa yang aku mau berbuat terhadapmu? Tidak! Aku tak ingin berbuat apapun jua
terhadapmu. Aku hanya ingin memperlihatkan serupa barang kepadamu. Kau lihatlah! Apa
ini?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1183
Boe Kie dan Tio Beng sangat ingin melihat barang itu. Tapi mereka tidak berani
mengeluarkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara kaget dari Song Ceng Soe. “Ah!.... cincin besi
Go Bie Pay!... milik Cioe Kouw Nio. Darimana kau dapatkan itu?”
Boe Kie terkejut, tapi dilain saat ia menduga, bahwa cincin itu bukan cincin tulen.
Tan Yoe Liang tertawa. “Lihatlah dahulu,” katanya. “Lihat dulu, apa tulen apa palsu.”
Beberapa saat kemudian Song Ceng Soe berkata, “Waktu berada di See Hek, aku pernah
meminta pelajaran silat dari Biat Coat Soethay. Aku lihat cincin ini di jarinya. Rasanya,
barang ini bukan barang palsu.”
Tiba-tiba terdengar suara “trang!”
“Inilah buktinya,” kata Tan Yoe Liang. “Kalau palsu, bacokanku pasti akan memutuskannya.
Lihatlah! Di dalam cincin terdapat empat huruf Lioe Ie Siang Lie (dihadiahkan kepada anak
Siang) Cincin ini dahulu milik Kwee Siang Lie Hiap, pendiri Go Bie Pay, dan terbuat
daripada besia Hiantiat.
“Tan Toako…. “ Kata Song Ceng Soe dengan suara parau. “darimana…. Darimana kau
mendapatkannya!... Dimana Cioe Kouw Nio sekarang?”
Tan Yoe Liang tersenyum, “Ciang Poen Liong Tauw, mari kita berangkat,” katanya tanpa
memperdulikan pertanyaan Song Ceng Soe. “Mulai dari dulu, tapi sekarang Kay Pang tidak
memerlukan manusia seperti dia lagi.” Suara tindakan kaki lantas terdengar kedua orang itu
berjalan ke jurusan utara.
Sekonyong-konyong Song Ceng Soe memanggil, “Tan Toako! Apa dia mati atau masih
hidup?”
Tan Yoe Liang kembali. “Benar,” katanya, “Cioe Kouw Nio berada dalam tangan kami. Dia
sungguh cantik, aku sendiri belum beristeri. Aku ingin memohon kepada Pangcoe untuk
menikah dengannya. Kurasa Pangcoe akan meluluskan.”
Song Ceng Soe mengeluarkan seruan tertahan.
“Benar, pada hakekatnya seorang koencoe tak akan merampas milik orang lain,” kata pula
Tan Yoe Liang. “Tan Yoe Liang pasti tidak akan merusak persahabatan karena paras cantik.
Tapi sekarang kau sudah menjadi penghianat partai. Diantara kita sudah tidak ada ikatan
apapun jua dan aku bisa berbuat sesuka hati, bukankah begitu?”
Song Ceng Soe tidak menyahut. Dua macam pikiran rupa-rupanya sedang berkelahi di dalam
hatinya.
Boe Kie melirik Song Wan Kiauw. Dengan rasa kasian, ia lihat pamannya mengucurkan air
mata. Sebagai seorang gagah kalau bukan berlalu duka, paman itu tentu tidak akan menangis.
Beberapa saat kemudian barulah Song Ceng Soe berkata, “Tan Toako, Liong tauw Toako,
tadi pikiranku kusut. Aku bersalah dan kuharap kalian suka memaafkan.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1184
Tan Yoe Liang tertawa terbahak-bahak. “Nah begini baru benar,” katanya. “Dengan menepuk
dada aku memberi jaminan, bahwa soal kau menaruh Bong Han Yo di minuman para
pendekar Boe Tong, bukan saja jiwa ayahmu tak akan kurang suatu apa, tapi Cioe Cie Jiak
pun akan segera menjadi isterimu. Sesudah Thio Sam Hong dan para pendekar Boe Tong
berada di dalam tangan kita. Thio Boe Kie pasti akan menurut segala perintah kita. Sesudah
Kay Pang menguasai Beng Kauw, mengusir Tat coe dan merebut pulang tahta kerajaan, kau
dan aku akan menjadi menteri-menteri sendiri negara. Bukan saja isteri kita dan anak-anak
kita, tapi ayahnyapun akan menikmati segala kebesaran.”
Song Ceng Soe tertawa getir. “Thia-thia bukan manusia yang kemaruk harta,” katanya. “Aku
hanya mengharap ayah jangan membunuh aku. Kalau harapan itu bisa terkabul, aku sudah
merasa puas.”
Tan Yoe Liang tertawa, “Kecuali ayahmu dewa, ia pasti tak akan tahu latar belakang kejadian
itu,” katanya. “Song Heng Tee, apa kakimu terluka? Kita berdua bisa menunggang kudaku.
Setibanya di kota kita bisa membeli lain kuda.”
“Sebab terburu-buru, betisku terpukul kepingan es,” jawabnya. “Sungguh sial kepingan es itu
kena tepat pada Coe Peng Hiat. Didalam dunia memang sering terjadi kejadian yang
kebetulan.”
Dari pengakuan Song Ceng Soe dapatlah dilihat kelihaian Boe Kie dalam ilmu melepaskan
senjata rahasia. Pemuda itu sama sekali tak pernah menduga, bahwa dirinya dibokong orang.
Ia hanya merasa terpukul kepingan es yang secara kebetulan kena pada jalan darahnya. Hal ini
pada hakekatnya tidak luar biasa. Lengan kita secara tidak sengaja juga sering membentur
meja kursi dan kadang-kadang begitu terbentur, kita merasa kesemutan, karena benturan itu
kebetulan kena pada “Hiat”.
Jilid 65________________
“Bukan sial, tapi mujur,” kata Tan Yoe Liang sambil tertawa. “Song Heng tee bernasib baik
dan sudah ditakdirkan bakal mempunyai isteri yang sangat cantik. Kalau betismu tidak
terpukul es dan kami tidak bisa menyusul, maka kau tak akan tersadar dari kekeliruan.
Dengan demikian, bukan saja namamu hancur, tapi usaha kitapun akan menjadi gagal. Selain
begitu, Cioe Cie Jiak yang ayu akan menjadi isteri Tan Yoe Liang. Bukankah kejadian itu
seperti burung hong berjodoh dengan burung gagak seolah-olah sekuntum bunga tertancap di
atas tai kerbau?” Ia berbicara secara guyon-guyon, tapi setiap perkataannya hebat bukan main
dan menekan Song Ceng Soe, sehingga pemuda itu tidak bisa berkutik lagi.
Song Ceng Soe menghela napas dan berkata dengan suara perlahan. “Tan Toako, bukan aku
tidak percaya….”
“Kau mau bertemu dengan Cioe Kouwnio?” memutus Tan Yoe Liang. “Boleh! Mudah sekali.
Sekarang Pangcoe dan para tiangloo berada di Louw liong dan Cioe Kouwnio pun berada di
situ. Mari kita pergi ke Louw liong. Sesudah urusan Boe tong beres, kakakmu akan segera
mengadakan pesta pernikahan untuk mewujudkan idam-idamanmu. Dan… seumur hidup, kita
akan berterima kasih kepada Tan Yoe Liang Toako… ha..ha..ha….”
“Baiklah, mari kita pergi ke Louw liong,” kata pula Song Ceng Soe. “Tap Toako,
bagaimana… bagaimana Cioe Kouwnio bisa berada dalam tangan kita?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1185
“Itulah berkat jasa Liong tauw Toako,” jawabnya sambil tertawa. “Hari itu, ketika Ciang pang
dan Ciang poen Lio tauw makan minum di sebuah Cioe-lauw, mereka lihat tiga orang yang
tidak dikenal. Sesudah diselidiki, salah seorang adalah Cioe Kouwnio. Ciang poen Liong tauw
Toako segera mengirim orang untuk mengundangnya. Legakan hatimu. Cioe Kouwnio sehat
walfiat, tak kurang satu apa.”
Boe Kie mengeluh. Sekarang baru ia tahu bahwa hari itu mereka sebenarnya dikenali. “Jika
Giehoe tidak buta, ia bisa lihat bahwa rahasia sudah terbuka,” pikirnya. “Hai… aku dan Cie
Jiak masih terus mimpi…” Tapi bagaimana dengan keselamatan Giehoe?” Dia bingung sebab
Tan Yoe Liang tak pernah menyebut-nyebut ayah angkatnya.
Sementara itu si orang she Tan sudah berkata pula. “Song Heng tee, sesudah kau menikah
dengan Cioe Kouwnio, Go Bie dan Boe tong pay harus menurut perintah Kay pang. Siauw
lim pay sudah berada dalam tanganku. Ditambah dengan Kay Pang dan Beng Kauw, tenaga
kita bukan main besarnya. Kita pasti bisa mengalahkan orang Mongol dan merebut negeri.
Huh…huh… negara akan segera menukar majikan.”
Tan Yoe Liang berbicara dengan hati berbunga bunga. Ia memperlihatkan lagak seolah olah
Kay pang sudah merebut seluruh negeri dan ia sendiri akan segera naik ke tahta kerajaan.
Ciang poen Liaong tauw dan Song Ceng Soe juga turut ketawa, tapi tertawa mereka tertawa
getir.
“Mari kita berangkat,” ajak Tan Yoe Liang. “Song Heng tee Bok Cit hiap binasa di dekat ini.
Kau telah memasukkan jenazahnya ke dalam gua yang rasanya tak jauh dari sini. Bukankah
begitu? Tadi, kudamu tiba tiba roboh. Apakah roh Bok Cit hiap menunjukkan
keangkerannya? Ha.. ha.. ha!.... ha.. ha.. ha!...”
Kata kata itu membangunkan bulu roma Song Ceng Soe yang lantas saja berjalan dengan
terpincang pincang.
Sesudah ketiga orang itu berlalu, Boe Kie lalu membuka jalan darah keempat pamannya
sambil berlutut ia manggut manggutkan kepalanya dan berkata, “Soepeh, Soesiok, tadi titjie
berada dalam keadaan terjepit dan tidak bisa membersihkan diri, sehingga karena terpaksa,
titjie telah melakukan perbuatan berdosa terhadap Soepeh dan Soesiok. Titjie bersedia untuk
menerima segala hukuman.”
Song Wan Kiauw menghela napas panjang, air matanya mengucur dan ia menengadah tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
Jie Lian Cioe segera membangunkan keponakannya dan berkata dengan suara menyesal.
“Perhubungan kita bagaikan perhubungan tulang dan daging. Hal itu tak usah disebut sebut
lagi. Aku sungguh tidak duga, bahwa Ceng Soe… Ceng Soe… Hai!... kalau bukan mendengar
dengan kuping sendiri, siapa yang bisa percaya?”
Tiba tiba “srt…!” Song Wan Kiauw menghunus pedang. “Binatang…!” katanya dengan suara
gemetar. “Sam wie Soe tee, anak Boe Kie, mari kita kejar. Biar kubunuh binatang itu dengan
tangan sendiri.” Seraya berkata begitu, badannya berkelebat dan ia mengubar puteranya
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
“Toako, balik!” teriak Thio Siong Kee. “Kita harus berdama dulu.” Tapi Song Tayhiap tidak
meladeni.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1186
Boe Kie segera mengudak. Dengan cepat ia melewati sang paman dan lalu menghalang di
depannya. “Tio Soe peh,” katanya sambil membungkuk. “Siesoepeh ingin bicara. Sebab
ditipu, Song Toako telah membuat kekeliruan. Di hari kemudian, ia pasti akan mendusin. Jika
Toasoepeh mau menghukum, tak perlu tergesa2.”
“Cit tee!... Cit-tee…!” kata Song Wan Kiauw dengan suara di tenggorokan. “Kakakmu benar2
berdosa besar…” Sekonyong-konyong ia mengangkat pedangnya dan coba menggorok leher.
Boe Kie terkesiap dan secepat kilat tangannya menyambar. Sungguh mujur dia keburu
merampas senjata itu dengan menggunakan ilmu Kian koen Tay lo ie. Tapi biarpun tak
sampai membinasakan, ujung pedang menggores juga leher Song Tay hiap.
Ketika itu Jie Lian bertiga sudah menyusul. “Toako,” kata Thio Siong Kee dengan suara
membujuk. “Ceng Soe telah melakukan perbuatan sangat terkutuk itu dan semua orang Boe
tong pasti takkan dapat mengampuninya. Tapi, membersihkan rumah tangga sendiri urusan
kecil, sedang urusan yang besar adalah keselamatan rakyat. Tak boleh, karena memperhatikan
yang kecil, kita menyia nyiakan yang besar.”
“Membersihkan rumah tangga sendiri urusan kecil?” Menegas Song Wan Kiauw dengan mata
melotot. “Huh!... sungguh sial aku mempunyai anak penghianat itu!....”
Didengar dari omongan Tan Yoe Liang, Kay pang ingin meminjam tangan Ceng Soe untuk
mencelakai guru kita,” kata pula Thio Siong Kee dengan sabar. “Di samping itu, Kay pang
berusaha untuk menekan atau mempengaruhi berbagai partai Rimba Persilatan guna
merampas negeri. Bagi kita, Soecoen (guru yang mulia) merupakan urusan besar.
Keselamatan Rima Persilatan dan rakyat di kolong langit juga merupakan urusan besar. Ceng
Soe yang durhaka pasti akan mendapat pembalasan. Kewajiban kita yang sekarang ini adalah
berdamai untuk menolong urusan besar.”
Song Wan Kiauw membungkam. Ia tak dapat membantah perkataan adiknya. Akhirnya ia
memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan berkata dengan suara perlahan. “Pikiranku
kusut, otakku tak bisa memikir lagi. Biarlah Sietee yang memikirkan tindakan kita.”
Sesudah kegusaran kakaknya agak mereda, In Lee Heng lalu mengeluarkan obat dan
membalut luka Song Wan Kiauw.
“Menurut pendapatku,” kata pula Thio Siong Kee,” karena Kay pang ingin mencelakai
Soecoen dan guru kita tidak tahu menahu, maka tindakan yang harus segera diambil adalah
pulang ke Boe Tong secepat mungkin. Meskipun Tan Yoe Liang mengatakan bahwa ia ingin
meminjam tangan Ceng Soe, manusia jahat itu mungkin akan turun tangan terlebih siang.
Yang terpenting bagi kita ialah melindungi soecoan. Soecoan sudah berusia tinggi, kalau
kejadian dahulu sampai terulang, kalau sampai ada musuh lagi yang sampai membokong
dengan menyamar sebagai pendeta Siauw lim, kita tak akan bisa menebus kedosaan kita.”
Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Tio Beng dengan mata mendelik. Ia rupa rupanya masih
mendongkol karena si nona pernah berusaha untuk membinasakan Thio Sam Hong.
Song Wan Kiauw mengeluarkan keringat dingin. “Benar…! Benar…!” katanya dengan
gemetar. “Sebab ingin membunuh anak jahanam itu, aku sampai melupakan keselamatan
Soecoan. Hai!... otakku sudah miring!”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1187
Ia seorang yang tak sabaran. “Hayo! Lekas! Kita harus berangkat sekarang juga,” desaknya
berulang-ulang.
“Boe Kie,” kata Thio Siong Kee sambil berpaling kepada keponakannya, “tugas menolong
Cie Kauwnio harus ditunaikan olehmu sendiri. Sesudah berhasil, datanglah di Boe tong san.”
Boe Kie membungkuk dan berkata. “Baiklah Soepeh.”
“Tio Kauwnio berwatak kejam,” bisik Thio Siong Kee. “Kau harus berhati hati. Ceng Soe
merupakan sebuah contoh seorang laki laki tak boleh dibikin lupa oleh paras cantik.”
Dengan muka merah Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah selesai berdamai, keempat pendekar Boe tong Boe Kie lalu menguburkan jenazah
Boh Seng Kok di belakang sebuah batu besar. Mereka menangis sedih sekali dan sehabis
memeras air mata, Seng Wan Kiauw berempat segera berangkat.
Sesudah mereka berlalu, Tio Beng mendekati Boe Kie dan berkata. “Sie soepehmu menasihati
supaya kau berhati hati terhadapku dan jangan sampai kena dibikin lupa oleh paras cantik. Dia
mengatakan bahwa Song Ceng Soe adalah sebuah contoh. Benarkah begitu?”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Boe Kie dengan suara jengah. “Apakah kau mempunyai kuping
Soen hong nie?”
Tio Beng mengeluarkan suara di hidung. “Sekarang aku bicara terus terang,” katanya dengan
bangga. “Aku berani memastikan bahwa sesudah memikir dan memikir lagi, Song Tay hiap
dan yang lain lain akan berbalik mempersalahkan Cioe Cie Jiak yang dianggap sebagai gara
gara yang mengakibatkan runtuhnya seorang jago muda dari Boe tong pay. Huh huh!... jalan
pikiran orang lelaki tak pernah terlolos dari terkaanku.”
“Song Toasoepeh dan lain lain paman adalah koencoe (manusia utama), kata Boe Kie.
“Mereka semuanya sudah mengetahui aturan dan tidak mungkin mempersalahkan orang
secara serampangan.”
Si nona tertawa dingin, “Huh!... makin koencoe mungkin makin gila!” katanya. Sesudah
berdiam sejenak, ia berkata lagi sambil tertawa, “Lekas tolong Cioe kauw untukmu! Kau
celaka besar kalau dia sampai jatuh ke dalam tangan Song Ceng Soe.”
Muka Boe Kie berubah merah. “Mengapa celaka besar?” tanyanya sambil tertawa kecil.
Dengan mengikuti tapak kaki kuda Boe Kie dan Tio Beng berhasil menemukan tunggangan
mereka yang lantas saja dikaburkan ke Kwan Lee. Boe Kie membedal kuda dan dengan
pikiran kusut. Ia memikiri ayah angkatnya dan memikiri juga Cioe Cie Jiak. Mengingat
bahwa Kay pang ingin menggunakan ayah angkatnya untuk menekan Beng Kauw, maka
andaikata orang tua itu benar benar jatuh ke dalam tangan Partai Pengemis, jiwanya belum
tentu terancam. Tapi biarpun begitu, sang Giehoe tentu tidak bisa terlolos dari segala hinaan.
Ia lebih berkuatir akan keselamatan Cie Jiak. Si nona putih bersih. Dalam menghadapi Tan
Yoe Liang yang jahat dan Song Ceng Soe yang tidak mengenal malu, jika didesak sampai di
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1188
pojok, si nona pasti akan binasa. Mengingat begitu, ia ingin sekali mempunyai sayap supaya
tiba di Lauw liong terlebih cepat.
Malam itu ia menginap di sebuah penginapan kecil. Walaupun tunggangan mereka kuda-kuda
jempolan, tapi sebab dibedal terus menerus, kedua binatang itu sudah lelah sekali. Setiba di
rumah penginapan mereka tak mau makan rumput lagi.
Sambil merebahkan diri di pembaringan batu makin lama Boe Kie makin bingung. Indap
indap ia pergi ke depan jendela kamar Tio Beng. Nona itu sedang pulas nyenyak. Sesudah
berpikir beberapa saat Boe Kie pergi ke meja pengurus penginapan, mengambil perabot tulis
menyobek selembar kertas dan lalu menulis sepucuk surat. Ia mengatakan bahwa karena
keadaan mendesak, ia mengambil keputusan untuk melangsungkan perjalanan di tengah
malam. Sesudah menaruh surat itu di atas meja, ia membuka jendela, melompat keluar dan
lari kabur ke jurusan selatan dengan menggunakan ilmu ringan badan yang paling tinggi.
Demikian, setiap malam ia meneruskan perjalanan dengan menggunakan ilmu ringan badan,
sedang di waktu siang ia menggunakan keledai atau kuda. Dalam beberapa hari saja ia sudah
tiba di Lauw liong. Meskipun terus menggunakan tenaga dan beberapa hari tak pernah tidur
sebab memiliki lweekang yang sangat kuat ia tidak terlalu payah. Menurut perhitungan,
dengan mengubar tanpa mengaso, siang siang ia sudah bisa melampaui rombongan Tan Yoe
Liang. Tapi ia tak pernah bertemu dengan mereka. Mungkin sekali selagi ia berjalan di waktu
malam, mereka sedang mengaso di penginapan.
Lauw liong adalah sebuah kota penting di propinsi Ho pak. Pada jaman kerajaan Tong, kota
itu dijaga oleh seorang pembesar Cit tauwsoe selama kerajaan Cong dan Goan lauw liong
mengalamai beberapa kali peperangan, sehingga kotanya hancur dan sampai sekarang belum
pulih seperti sedia kala. Tapi biarpun begitu kota tersebut banyak penduduknya dan berbeda
dengan kota kota di Kwan gwa yang sangat sepi.
Setibanya di kota itu, Boe Kie berkeliling di jalan jalan raya, di jalanan kecil, di lorong
lorong, di rumah rumah penginapan dan rumah rumah makan. Heran sungguh ia tak pernah
bertemu dengan seorang pengemis. Tan Yoe Liang tentu tidak berdusta waktu ia mengatakan
bahwa para pemimpin pengemis berkumpul di Louw liong. Mungkin sekali pengemis
pengemis itu sedang pergi menemui pangcu mereka.
“Kalau aku bisa mencari tempat pertemuan mereka, aku akan bisa menyelidiki benar tidaknya
Giehoe dan Cie Jiak ditawan Kay Pang,” kata Boe Kie di dalam hati. Tapi sesudah menjelajah
di seluruh dan di sekitar kota, ia masih belum mendapatkan sesuatu yang memberi petunjuk
baik.
Waktu magrib Boe Kie mulai bingung. Tanpa merasa ia ingat kefaedahan Tio Beng.
“Kalau dia berada bersama aku, aku tentu tidak akan menghadapi jalanan buntu ini,” pikirnya.
Dengan masgul ia lalu mencari sebuah rumah penginapan yang layak. Sesudah makan minum
ia tidur sebentaran. Kira-kira tengah malam, ia melompat ke genteng untuk menyelidiki lagi.
Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengawasi ke seputarnya, keadaan sunyi senyap dan
angin dingin meniup dengan perlahan. Sedikitpun tak terlihat tanda, bahwa di kota itu tengah
berlangsung pertempuran antara orang2 Kangouw. Ia jadi uring-uringan. Sekonyong-konyong
dari loteng tinggi dari sebuah gedung besar terlihat sinar api.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1189
“Kalau bukan milik pembesar tinggi, gedung itu tentu milik seorang hartawan,” pikirnya.
“Tak mungkin pemilik gedung mempunyai sangkut paut dengan Partai pengemis…”. Belum
habis jalan pikirannya, mendadak sesosok bayangan manusia melompat keluar dari sebuah
jendela loteng. Gerakan orang itu cepat luar biasa dan dalam sekejap, ia tak kelihatan bayang
bayangannya lagi. Kalau bukan Boe Kie yang mempunyai mata istimewa, melihatpun orang
tak akan bisa melihatnya.
“Apa orang jahat bekerja di gedung itu?” tanyanya di dalam hati. “Orang itu ahli silat kelas
utama.” Karena tak mempunyai tujuan tertentu, ia lantas mengambil keputusan untuk coba
melihat lihat.
Setibanya di samping gedung, dengan sekali menjejakan tanah, tubuh Boe Kie melesat ke atas
dan melompati tembok yang mengurung gedung. Sekonyong konyong jantungnya memukul
lebih.
“Tan tiang loo sangat rewel,” demikian terdengar suara seorang. “Terang terang ia sudah
mengatakan, bahwa kita akan berkumpul pula, di Lao ho kouw pada Chia hwee Cepeh.
Sekarang ia mendadak menyuruh kita menunggu di sini. Dia bukan Pangcu, tapi lagaknya
seperti Pangcu saja.”
Bukan main girangnya Boe Kie. Ia mengenali bahwa suara itu suara seorang anggota Kay
Pang. Suara itu datang dari taman bunga. Begitu mendekat, ia dengar suara Soe hwee ling
yang berkata, “Tan tiang loo sangat berakal budi. Ia berhasil membekuk Kim mo Say ong Cia
Soen, yang dicari oleh segenap rimba persilatan selama dua puluh tahun lebih tanpa berhasil.
Hasil yang gemilang itu jangankan di dalam partai kita sekalipun seluruh Rimba Persilatan,
tak ada orang yang bisa meneladaninya…”
Boe Kie kaget bercampur girang. Sekarang ia tahu, ayah angkatnya berada dalam tangan
orang-orang Kay Pang. Sesudah mengetahui itu, menolong sang Giehoe tak begitu sukar lagi
pikirnya. Di dalam partai pengemis tidak terdapat tokoh tokoh yang benar benar berilmu
tinggi.
Ia segera mendekati jendela dan mengintip dari celah-celah. Ternyata pertempuran itu
berlangsung di sebuah pendopo di taman bunga.
Ia lihat Soe hwee liong duduk di tengah tengah. Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang
pang, Liong tauw dan tiga tiangloo delapan karung duduk di sebelah bawah.
Selain mereka terlihat pula seorang setengah tua yang berbadan gemuk dan mengenakan
pakaian indah. Dilihat dari pakaiannya, dia seorang hartawan, tapi pada punggungnya terdapat
enam lembar karung. Boe Kie manggut manggutkan kepalanya. “Benar,” katanya di dalam
hati, “hartawan itu seorang murid Kay Pang. Para pengemis berkumpul di rumah orang kaya
raya tak akan dapat diduga oleh siapapun jua, sungguh pintar!”
Sementara itu Soe hwee liong berkata pula, “Permintaan Tan tiangloo supaya kita menunggu
di Louw liong tentu mempunyai sebab musabab yang beralasan. Kita mempunyai tujuan besar
dan kita harus berhati hati.”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1190
“Pangcu,” kata Ciang pang Liong tauw. “Tujuan orang gagah dalam mencari Cia Soen adalah
untuk memperoleh To ling to yang dikenal sebagai Boe lim Cie coen (yang termulia dalam
Rimba Persilatan). Tapi To liong to tidak terdapat di badan Cia Soen. Biar dibujuk dan
diancam, dia tetap tidak mau beritahukan dimana adanya golok mustika itu. Dengan
demikian, kita hanya mendapat seorang buta yang harus diberi makan dan minum. Apa
gunanya? Menurut pendapat teecu, sebaiknya kita siksa padanya. Teecu melihat, apa dia tetap
menutup mulut.”
Soe Hwee Liong meng-goyang2-kan tangan. “Tidak benar,” katanya. “Tindakan keras bisa
merusak urusan besar. Kita harus tunggu Tan Tiangloo. Sesudah dia tiba, kita boleh berdamai
lagi.”
Paras muka Ciang pang Liong tauw mengunjuk rasa mendongkol. Ia rupa rupanya merasa
jengkel karena sang pemimpin terlalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Soe Hwee Liong merogo saku dan mengeluarkan sepucuk surat yang lalu diangsurkan kepada
Ciang pang Liong tauw. “Pang Heng tee,” katanya, “kuminta kau segera berangkat ke Ho cioe
dan menyerahkan surat ini kepada Han San Tong. Beritahukan dia, bahwa puteranya berada
dalam tangan kita dengan tak kurang suatu apa. Asal dia suka menakluk kepada partai kita,
aku akan memperlakukannya secara layak.”
“Apakah pekerjaan menyampaikan surat harus dilakukan oleh teecu?” katanya Ciang pang
Liong tauw.
Paras muka Soe Hwee Liong lantas saja berubah. “Pang Heng tee,” katanya, “selama setengah
tahun ini Han San Tong dan kawan kawannya telah mencapai hasil hasil besar di daerah Ho
cioe. Kudengar, di bawah perintah terdapat orang orang gagah kelas, seperti Coe Goan Ciang,
Cie Tat, Siang Gie Coen dan lain lain. Maksud suratku ini ialah supaya Han San Tong
menakluk kepada kita. Kalau dia bersedia untuk menakluk, Pang Heng tee harus menyelidiki
apa menakluknya itu sungguh sungguh atau berpura pura. Di samping itu, Pang Heng tee pun
harus mencari tahu kekuatan dari barisan Beng kauw. Tugas Pang Heng tee bukan semata
mata menyampaikan surat. Tugasmu adalah berat.”
Ciang pang Liong tiauw tidak berani membantah lagi. “Baiklah,” katanya. Sesudah memberi
hormat kepada pemimpinnya, ia segera meninggalkan ruangan pertemuan.
Sesudah itu dengan gembira mereka saling mengutarakan pikiran mengenai kemakmuran dan
kejayaan Kay Pang yang sesudah menaklukan Beng kauw, Siauw lim, Boe tong dan Go bie
pay. Angan angan Soe Hwee Liong ternyata tidak semuluk Tan Yoe Liang. Dia sudah merasa
puas jika Kay Pang bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan. Dia tidak bercita cita untuk
merebut negara dan menjadi kaisar.
Boe Kie merasa sebal untuk mendengari lebih jauh dan berkata dalam hatinya. “Didengar dari
pembicaraan mereka, Gie hoe dan Cie Jiak terkurung di gedung ini. Sebaiknya aku berusaha
untuk melepaskan mereka dan kemudian barulah menghajar pengemis pengemis yang tak
mengenal malu itu.” Sekali menjejak bumi, tubuhnya melesat ke atas dan hinggap di dalam
pohon. Ia mengawasi ke sekitarnya, mencari cari tempat yang dijaga keras. Segera juga ia
lihat, bahwa di bawah loteng terdapat belasan pengemis yang meronda dengan senjata
terhunus.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1191
Ia melompat turun, mendekati loteng itu, menyembunyikan diri di belakang sebuah batu
besar. Selagi dua peronda memutar badan, secepat kilat ia lari ke kaki tembok di bawah loteng
dan lalu memanjat ke atas dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang kong (cecak
merambat di tembok). Ia segera memasang kuping dan mata ke loteng yang terang benderang
itu.
Namun akhirnya dengan rasa penasaran ia lalu mengintip dari celah celah jendela. Sepanjang
lilin besar yang ditaruh di meja sudah terbakar habis, separuh, tapi di dalam kamar itu tidak
terdapat bayang bayangan manusia.
Loteng itu mempunyai tiga kamar. Sesudah menyelidiki kamar sebelah timur, ia mengintip di
jendela kamar sebelah barat. Lilin yang berada di kamar itu juga kelihatan nyala sangat terang
dan di atas meja terlihat banyak makanan dengan tujuh delapan mangkok nasi dan sumpitnya.
Tapi cawan cawan arak belum diminum dan makanan itu baru saja dimakan. Herannya, di
kamar itupun tidak terdapat manusia. Kamar yang di tengah gelap gulita. Boe Kie mendorong
pintu, tapi terkunci dari dalam. “Giehoe!” panggilnya dengan suara perlahan. Ia tidak
mendapat jawaban. “Kalau Giehoe tidak dikurung di sini, mengapa loteng ini dijaga begitu
keras?” pikirnya. “Apakah ia menggunakan tipu berisi berisi kosong, kosong kosong berisi?”
(berisi is kosong, kosong berisi – apa yang dilihat berisi, sebenarnya kosong, dilihat kosong
sebenarnya berisi).
Tiba tiba hidungnya mengendus bau darah yang keluar dari kamar itu. Ia terkejut. Dengan
mengeluarkan sedikit tenaga tapal pintu patah. Sambil mendorong pintu, ia melompat ke
dalam dan menyambut kedua potongan tapal pintu itu supaya tidak jatuh dan mengeluarkan
suara.
Baru ia menindakkan kakinya menginjak sesuatu yang lembek seperti tubuh manusia. Ia
membungkuk dan meraba raba. Aha! Mayat manusia yang mati belum berapa lama. Ia merasa
agak lega karena mayat itu berkepala kecil. Dengan jari tangannya ia menotok papan kamar
barat yang lantas berlubang dan dari lubang itu masuk sinar terang.
Sekarang ia bisa lihat, bahwa kamar itu penuh mayat pengemis yang kelihatannya binasa
karena mendapat luka hebat di badan. Ia membuka baju satu di antaranya dan melihat tapak
tinju di dada, tapak dari pukulan Cit siang koen. “Ah! Inilah pukulan Giehoe,” pikirnya
dengan rasa girang. Di sudut tembok terdapat sebuah gambar obor – tanda Beng kauw – yang
diukir dengan serupa benda tajam. Tapi bagaimana Giehoe bisa dibekuk mereka?” tanya Boe
Kie di dalam hati. “Mungkin mereka menggunakan bong han yo, tambang atau jala. Tapi
pintu di tapal dari dalam. “Bagaimana Giehoe bisa keluar? Heran!” Sambil memikir begitu, ia
tiba tiba melihat darah di lain pintu dan di daun pintu bagian luar terdapat telapak telapak
tangan. Sekarang ia mengerti. Ayah angkatnya tidak sengaja membunuh seorang dan sesudah
keluar dari kamar, ia menyuruh orang itu menapal pintu, akan kemudian mengirim pukulan
Cit siang koen pada daun pintu. Biarpun teraling selembar papan, pukulan tersebut masih kuat
untuk membinasakan pengemis itu yang memuntahkan darah dan darahnya menyembur ke
pintu. “Ya, tadi kulihat melompatnya bayangan manusia dari atas loteng,” pikirnya.
“Bayangan itu tentulah Giehoe… tapi… tidak mungkin. Orang itu bertubuh kurus kecil,
sedangkan Giehoe tinggi besar. Siapa dia?”
Ia keluar dari kamar dan melongok ke bawah. Para pengemis masih meronda. Mereka tak
tahu apa yang terjadi di atas. “Pengemis2 baru saja mati dan Giehoe tentu belum pergi jauh,”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1192
pikirnya. “Perlu apa kau menebak nebak?” Sebaiknya aku menyusul dan menanyakannya.
Aku dan Giehoe bisa kembali ke sini untuk menghajar pengemis2 bau itu.”
Bayangan yang tadi melompat turun dari tembok sebelah barat daya. Setelah mengambil
keputusan, Boe Kie segera melompat ke satu pohon dan dari pohon itu, dia melompat pula ke
atas tembok barat daya. Ia membungkuk untuk menyelidiki. Dengan rasa heran dia mendapat
kenyataan, bahwa di situ terpeta tapak tapak kaki kecil, yaitu tapak wanita. “Siapa wanita
itu?” tanyanya di dalam hati. “Biat coat Soethay telah meninggal dunia. Cie san Liong ong
pergi ke lain negeri, Pan Siok Ham dari Koen loen pay belum tentu mempunyai ilmu ringan
badan yang sedemikian tinggi. Cie Jiak dan Tio Beng tak mungkin. Yang lain lebih tak
mungkin.” Tapi ia tak memikir panjang2 lagi dan segera menguber ke jurusan barat daya.
Sesudah berlari lari beberapa lie dengan mengikuti jalan raya, ia tiba di persimpangan jalan.
Sesuai dengan kebiasaan Kang ouw, mereka lantas mencari tanda tanda di gombolan rumput
tinggi. Benar saja, di sebuah batu besar ia menemukan gambar obor yang mengunjuk ke
sebuah jalan kecil, jurusan barat daya. Ia girang karena jejak ayah angkatnya sudah dapat
diikuti. Gambar itu yang sangat indah tidak mungkin dilukis oleh sembarang orang. Hanyalah
orang orang seperti Cia Soen yang boen boe coan bay yang dapat melukisnya.
Tanpa ragu ragu lagi, ia lalu mengejar dengan mengambil jalanan kecil itu. Ketika tiba di See
boek, fajar sudah menyingsing. Sesudah menangsal perut dengan bak pauw dan kue phia, ia
meneruskan perjalanan ke arah barat. Di Pangcoe tin di kaki tembok ia menemukan sebuah
gambar obor yang mengunjuk ke sebuah si thung (tempat pemujaan abu leluhur). Ia girang
dan merasa pasti bahwa ayah angkatnya bersembunyi di tempat itu. Ia menghampiri dan
memilih empat huruf “Goei sie Su thung” (tempat pemujaan abu leluhur orang she Goei) di
papan merek. Begitu masuk ia mendengar suara ramai ramai dari sejumlah orang yang sedang
berjudi.
Melihat Boe Kie yang berpakaian indah, kepala judi segera menghampiri dan berkata sambil
tertawa, “Kong coe ya, hayolah!” Ia berpaling pada para penjudi dan berkata pula, “Berikan
tempat kepada Kong coe ya!”
Alis Boe Kie berkerut dan matanya menyapu ke seluruh ruangan. Para penjudi itu bukan
orang orang Kang ouw. Maka itu tanpa meladeni ajakan orang, ia segera berteriak. “Giehoe!
Giehoe!” tapi ia tak mendapat jawaban.
Salah seorang penjudi yang iseng mulut tertawa dan berkata. “Mau apa kau nak. Giehoe mu
berada di sini.” Para penjudi lantas saja tertawa terbahak bahak.
Sambil menahan sabar Boe Kie menanya si kepala judi. “Apa kau lihat seorang toa ya yang
berambut kuning bertubuh tinggi besar dan buta matanya?”
“Omong kosong,” jawabnya dengan suara tawar. “Di kolong langit mana ada si buta yang
bisa berjudi?” Kecuali kalau dia sudah bosan hidup.”
Darah Boe Kie meluap. Ia melompat dan mencekal si kepala judi dan penjudi yang tadi
mengejeknya dan melontarkannya ke genteng. Walaupun tidak terluka mereka ketakutan
setengah mati dan berteriak teriak minta tolong. Boe Kie menjemput dua potong perak dari
meja judi dan sesudah memasukkannya ke dalam saku ia segera berjalan keluar. Para penjudi
hanya mengawasi dengan mata membelalak dan tidak seorangpun berani mengubar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1193
Boe Kie meneruskan perjalanan ke arah barat. Tak lama kemudian, ia menemukan lagi tanda
gambar obor. Di waktu magrib, ia tiba di Hong jiong, sebuah kota besar di Ho pak utara.
Dengan mengikuti tanda obor, ia pergi ke sebuah gedung yang pintu depannya berwarna
hitam. Dengan cincin pintu yang berkilat dan bunga bunga di dalam tembok yang sedang
mekar, gedung itu memperlihatkan suasana tenang dan damai. Ia mengetuk ngetuk pintu dan
tak lama kemudian terdengar tindakan kaki yang enteng. Hampir berbareng dengan
terendusnya bau harum, pinta dibuka oleh seorang pelayan wanita yang mengenakan baju
kulit warna merah. “Sudah lama Kong coe ya tak datang dan Ciecie sangat memikiri kau,”
katanya sambil tersenyum. “Masuklah.”
Boe Kie bingung. “Bagaimana kau kenal aku? Siapa Cieciemu?” tanyanya.
Pelayan itu tertawa. “Ah, jangan berlagak pilon!” jawabnya. “Hayo masuk! Ciecie sudah
menunggu nunggu.” Ia mencekal tangan kanan Boe Kie dan lalu menariknya.
Tak kepalang herannya Boe Kie. Sesudah memikir sejenak ia berkata di dalam hatinya. “Ah
bisa jadi! Bisa jadi Cie Jiak berada di sini. Apa ia sudah menduga bahwa aku akan menyusul
dengan mengikuti tanda tanda obor, ia memerintahkan pelayan ini untuk menyambut. Hai! Ia
tentu sangat menderita.” Memikir begitu, ia lantas saja mengikuti. Sesudah melalui sebuah
jalanan kecil yang tertutup batu dan melewati sebuah pekarangan, mereka tiba di depan
sebuah kamar. Seekor burung kakaktua tiba-tiba berteriak. “Kakak yang tercinta datang!
Ciecie kakak yang tercinta datang!”
Muka Boe Kie lantas saja berubah merah.
Kamar itu sangat indah. Semua kursi teralas bantal sulam dan dengan perapian yang apinya
berkobar kobar, hawa di dalam kamar hangat bagaikan hawa di musim semi. Di atas sebuah
meja kecil menyala hio wangi, di samping tempat hio terletak sebuah khim. Pelayan itu lantas
masuk ke dalam dan keluar lagi dengan tangan menyangga nampan yang berisi enam piring
kecil bebuahan dan sepoci teh. Ia menuang teh dan mengangsurkan cangkir kepada Boe Kie.
Waktu pemuda itu menyambutnya, si pelayan tiba tiba menekan pergelangan tangannya
dengan perlahan. Alis Boe Kie berkerut. “Bagaimana pelayan ini bisa berlaku kurang ajar?
Bukankah tak baik jika dilihat Cie Jiak?” katanya di dalam hati. “Mana Cia looya? Cie
Kouwnio berada di mana?” ia bertanya.
Si pelayan tertawa. “Perlu apa kau tanyakan Cia looya?” jawabnya. “Ciecie akan segera
datang. Kau sungguh tak punya perasaan hati. Sesudah berada di sini, kau masih ingat Cioe
Kouwnio, Ong Kouwnio…”
Boe Kie kaget. “Jangan ngaco kau! Apa kau kata?” ia menegas.
Pelayan itu tertawa pula dan segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali dengan
menuntun seorang wanita muda yang berusia kira kira duapuluh tiga atau duapuluh empat
tahun, kulitnya putih alisnya kecil bengkok dan di sudut mulutnya terdapat sebuah tahi lalat.
Ia cukup cantik, hanya sinar matanya genit sekali dan ia menghampiri dengan tindakan
gemulai. Alis Boe Kie berkerut karena ia mengendus wewangian yang sangat santer.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1194
Wanita itu tertawa manis. “Siangkong she apa?” tanyanya. “Duduklah. Kedatangan
Siangkong memberi muka kepadaku.” Seraya berkata begitu, sebelah tangannya memegang
pundak Boe Kie.
Dengan muka kemerah merahan Boe Kie mundur setindak. “Aku she Thio,” jawabnya.
“Apakah seorang tua she Cia dan seorang gadis she Cioe berada di sini?”
“Di sini Lee hiang ih,” sahut wanita itu. “Kalau Siangkong mau cari Cioe Sian sian, pergilah
ke Pek tho kie. Siangkoan agaknya sudah linglung dan mencari Cioe Sian sian di Lee hiang
ih. Hi..hi..hi…” Ia tertawa geli.
Boe Kie mendusin. Ia berada di rumah pelacur. Tanpa mengatakan suatu apa lagi, buru buru
ia mengangkat kaki. Si pelayan memburu dan berteriak teriak. “Siangkong!... Siangkong!...
apa nonaku kalah cantik dari Cioe Sian sian? Duduklah sebentaran…”
Boe Kie menggoyang goyangkan tangannya. Ia mengambil sepotong perak dari sakunya,
melontarkannya di tanah dan terus kabur dengan berlari lari.
Ia terus lari. Ketika itu matahari sudah menyelam ke barat. Sebab sukar mengikuti tanda tanda
obor di waktu malam, ia mengambil keputusan untuk m beramalam di rumah penginapan.
Sesudah makan, ia mengasah otak, memikir segala pengalamannya. “Mengapa Giehoe pergi
ke rumah judi, ke rumah pelacur?” tanyanya di dalam hati. “Di dalam hal ini tentu
bersembunyi latar belakang yang luar biasa.” Karena letih ia tertidur. Di tengah malam ia
tersadar dan tiba tiba saja di dalam otaknya berkelebat serupa ingatan. “Giehoe seorang buta,
bagaimana ia bisa meninggalkan tanda tanda di sepanjang jalan?” tanyanya di dalam hati.
“Apakah ia dikawani dan dibantu Cie Jiak? Apakah musuh yang membantunya untuk
mempermainkan aku? Tapi… sudahlah! Biarpun mesti masuk ke sarang harimau, aku harus
menyelidiki teka teki ini sampai seterang terangnya.”
Pada keesokan paginya, diluar kota Hong ji ong, ia kembali menemukan tanda obor, yang
mengunjuk ke arah barat. Lohor itu ia tiba di Giok ian dan tanda obor menuntunnya ke sebuah
gedung yang besar. Pemilik gedung sedang merayakan pesta pernikahan puterinya. Sebab
sudah mendapat pelajaran getir, Boe Kie tak berani lantas menanyakan hal Cia Soen. Ia
masuk ke tempat pesta dan memasang mata tapi tak bisa mendapatkan sesuatu yang luar
biasa. Dengan rasa masgul ia meninggalkan gedung itu dan benar saja, di pinggir jalan di
sebuah pohon ia menemukan sebuah tanda obor.
Demikianlah tanpa memperdulikan apa pun jua, ia terus mengikuti tanda tanda obor. Dari
Giok tian ia pergi ke Sam ho membiluk ke selatan, terus ke Hiang ho. Sampai di situ ia mulai
menduga duga bahwa Kay Pang menggunakan tipu “memancing harimau meninggalkan
gunung” untuk menyingkirkannya ke tempat jauh, supaya mereka bisa leluasa melakukan
sesuatu kejahatan. Tapi biarpun menduga begitu, ia tak berani mengikuti terus tanda obor itu.
Bagaimana kalau tanda tanda tersebut benar benar dibuat oleh ayah angkatnya dan Cie Jiak
yang sedang diubar ubar musuh? Sesudah menimbang nimbang, ia mengambil keputusan
untuk mengikuti terus.
Dari Hian ho, ia menguber ke Po shia, Toa pek chung, Poa chung. Menikung ke jurusan
tenggara, tiba di Leng hoa, membiluk ke utara melewati Hong lam Kay peng Loei chung dan
sesudah bercapai lelah berhari2 ia tiba pula di Louwliong. Ia ternyata sudah membuat sebuah
lingkaran besar dari Louwliong kembali di Louwliong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1195
Setibanya di Louwliong, mendadak hatinya tenang. “Bagaimana jadinya jika musuh
menyesatkan aku ke tempat jauh misalnya ke Kwitang Kwisay In Lam atau Kwi coe? Baik
juga mereka menuntun aku balik ke Louwliong. Memikir begitu, sesudah makan kenyang2 ia
membeli jubah panjang warna putih dan membuat gambar obor merah memakai itu. Ia mau
menyatroni pusat Kay Pang secara resmi sebagai seorang Kauwcoe dari Beng Kauw.
Sesudah berdandan, ia segera pergi ke gedung si hartawan yang menjadi tempat
berkumpulnya tokoh tokoh Kay Pang. Pintu depan terkunci. Dengan sekali pukul daun pintu
terbang menimpa dua jambangan ikan emas yang lantas saja menjadi hancur.
Sesudah dipermainkan beberapa hari dia datang dengan darah mendidih. Ia bertekad untuk
mengadu kepandaian dan melampiaskan hawa amarahnya. Begitu pintu terpukul pecah, ia
masuk dengan tindakan lebar. “Orang orang Kay Pang dengarlah!” teriaknya. “Lekas suruh
Soe Hwee Liong keluar untuk menemui aku!”
Di pekarangan terdapat belasan murid Kay Pang dari tingkatan empat dan lima karung.
Hancurnya pintu tentu saja mengejutkan mereka.
Boe Kie tak mau membuang buang waktu. Ia mendorong keras dan bagaikan rumput kering
tubuh murid murid Kay Pang itu terpental roboh sesudah membentur tembok atau jendela.
Boe Kie maju terus. Sesudah menghancurkan pintu tengah ia mendapat kenyataan bahwa
tokoh tokoh Kay Pang sedang makan minum di toa thie, dengan Soe Hwee Liong duduk
menghadap keluar.
Para pemimpin Kay Pang sudah mendengar ribut ribut dan baru saja memerintahkan salah
seorang untuk menyelidiki. Tapi Boe Kie sudah keburu datang. Dengan sekali menjepret ia
cengkeram dada murid Kay Pang tujuh karung yang mau keluar menyelidiki itu dan terus
melemparkannya ke arah Soe Hwee Liong.
Si hartawan pemilik gedung yang duduk di sebelah bawah buru buru mementang kedua
tangannya untuk menangkap tubuh si pengemis yang “terbang” mendatangi. Tangkapannya
tepat, tapi ia terhuyung tujuh delapan tindak karena tenaga melempar itu hebat luar biasa.
Para pengemis terkesiap, murid tujuh karung yang dilemparkan itu memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi sedang si hartawan berkepandaian lebih tinggi lagi.
Kalau tokoh tokoh partai pengemis kaget, Boe Kie lebih kaget lagi. Tapi dalam kagetnya Boe
Kie tercampur rasa girang, sebab ia lihat bahwa Cioe Cie Jiak dan Song Ceng Soe sedang
duduk berendeng di meja bundar sebelah kiri. Untuk sejenak ia terpaku dan mengawasi nona
Cioe dengan mata membelalak.
“Boe Kie Koko!” teriak Cie Jiak. Ia berdiri, tapi tubuhnya bergoyang goyang dan lantas
roboh.
Boe Kie melompat, membungkuk dan memeluk si nona.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1196
Tiba tiba punggungnya dipukul dua kali beruntun oleh Song Ceng Soe dan oleh seorang
pengemis lain. Tapi tidak bergeming sebab sekujur badannya dilindungi Kioe yang sinkang.
Sambil mendukung si nona, ia melompat keluar dari ruangan perjamuan.
“Mana Giehoe?” tanyanya.
“Aku… aku…” kata nona Cioe terputus putus.
“Apa Giehoe selamat?”
“Jalan darahku ketotok… aku tidak bertenaga…”
Tapi Boe Kie yang sangat memikiri Cia Soen tidak menghiraukan keterangan si nona.
“Bagaimana Giehoe?” tanyanya pula.
“Entahlah, aku tak tahu. Aku ditangkap mereka dan dibawa kemari. Aku tak tahu di mana
adanya Giehoe.”
Boe Kie segera melepaskan Cie Jiak di tanah dan mengurut betisnya. Tapi totokan atas diri
Cie Jiak adalah totokan istimewa dari Kay Pang dan Boe Kie tidak berhasil dalam usaha
membukanya. Cie Jiak masih tetap tidak bisa berdiri.
Sementara itu semua tokoh Kay Pang sudah meninggalkan meja perjamuan dan berdiri di atas
undakan batu dari ruangan itu. Sambil merangkap kedua tangannya Soe Hwee Liang
bertanya, “Apakah tuan Kauwcoe dari Beng kauw?”
Dalam menghadapi seorang pemimpin dari sebuah partai persilatan yang besar, Boe Kie tidak
berani melanggar kesopanan. Ia pun lantas segera merangkap kedua tangannya dan
menjawab. “Benar. Tanpa diundang aku sudah datang di Cong to (pusat kalian). Untuk itu,
aku menghaturkan maaf.”
“Nama Thio Kauwcoe menggetarkan seluruh Kangouw dan sudah lama aku ingin bertemu
dengan tuan,” kata Soe Hwee Liong. “Kini aku mendapat bukti, bahwa nama itu bukan nama
kosong.”
“Aku datang untuk menemukan ayah angkatku, Kim mo Say ong,” kata Boe Kie. “Kuharap
Pangcoe suka mengeluarkan Giehoe itu.”
Paras muka Soe Hwee Liong mendadak berubah merah padam. Sesudah tertawa terbahakbahak,
ia berkata. “Thio Kauwcoe berusia sangat muda, tapi perkataanmu sangat tak pantas.
Dengan maksud baik aku mengundang Cia Say ong datang kemari untuk menjadi tamu kami
selama beberapa hari. Di luar dugaan Cia Say ong telah berlalu tanpa pamitan. Bukan saja
begitu, dia bahkan membinasakan delapan murid kami. Thio Kauwcoe, bagaimana
perhitungan ini bisa dibereskannya?”
Boe Kie terkejut. “Kalau begitu delapan pengemis itu benar benar dibinasakan Giehoe,”
pikirnya. “Tapi kemana perginya Giehoe?” Sesudah memikir sejenak, ia berkata. “Tapi
bagaimana dengan Cioe Kouwnio ini? Apa kedosaannya sehingga kalian menahannya
disini?”
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1197
Soe Hwee Liong tertawa dan menjawab dengan suara mengejek. “Benar juga kata orang,
bahwa biarpun berkepandaian tinggi, Thio Boe Kie adalah iblis yang tak mengenal aturan.
Ha..ha..ha!..”
“Sebab apa?”
“Sepak terjang Thio Kauwcoe sudah merupakan bukti yang nyata.”
“Aku tanya, sebab apa kau mengatakan aku tak tahu aturan?”
“Cioe Kauwnio adalah seorang Ciangboen dari Go bie pay. Ia adalah pemimpin dari sebuah
partai yang lurus bersih. Ada hubungan apakah ia dengan agama mu yang sesat? Song Ceng
Soe, Song Heng tee, adalah seorang tokoh terkemuka Boe tong pay. Dengan Cioe kauwnio ia
merupakan pasangan yang setimpal. Mereka kebetulan lewat disini dan kami menjamu
mereka. Hal ini sedikitpun tidak ada sangkut pautnya dengan Thio Kauwcoe. Sungguh lucu!...
sungguh menggelikan.” Sehabis berkata begitu ia tertawa berkakakan diturut oleh kawankawannya.
“Kalau benar Cioe Kouwnio tamu mu mengapa kau totok jalan darahnya sehingga ia tidak
bisa berdiri?” tanya Boe Kie.
Soe hwee Liong tergugu. Ia tidak dapat menjawab.
Tan Yoe Liang maju setindak dan berkata, “Siapa bilang Cioe Kouwnio tertotok jalan
darahnya?” Kami baru saja makan minum dengan riang gembira. Semenjak dahulu Kay Pang
dan Go bie pay mempunyai hubungan yang sangat erat. Pendiri Go bie pay adalah Kwee Lie
hiap, puteri Oey Pangcu Oey Yong. Yeh lu Pangcu dari partai kami adalah cie hoe (suami dari
kakak perempuan) Kwee lie hiap. Kenyataan ini diketahui oleh seluruh anggota Rimba
Persilatan. Coba kau pikir. Dengan adanya hubungan yang erat itu, cara bagaimana cara
melakukan sesuatu yang tidak pantas terhadap seorang ciang boenjin dari Go bie pay?
Omongan Thio Kauwcoe seperti omongan anak anak yang bisa ditertawakan oleh segenap
orang gagah di kolong langit.”
Boe Kie tertawa dingin. “Kalau menurut perkataanmu, apakah Cioe Kouwnio telah menotok
jalan darahnya sendiri?” tanyanya.
Tan Yoe Liang mengeluarkan suara di hidung. “Belum tentu begitu,” jawabnya.
“Semua orang menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa Thio Kauwcoe lah yang telah
merampasnya secara paksa. Cioe Kouwnio coba memberontak dan Thio Kauwcoe segera
menotoknya. Thio Kauwcoe meskipun benar seorang agah sering sukar mengatasi diri dalam
menghadapi seorang wanita cantik, tapi janganlah kau melakukan perbuatan kurang ajar itu di
hadapan orang banyak. Thio Kauwcoe, kau sungguh tak ingat kedudukanmu yang sangat
tinggi.”
Dalam mengadu lidah, Boe Kie memang bukan tandingan Tan Yoe Liang. Tak dapat ia
menangkis serangan si orang she Tan. Paras mukanya merah padam dan ia hanya mengawasi
lawannya. Beberapa saat kemudian barulah ia bisa membuka mulut. “Apa benar benar kau
tidak mau memberitahukan dimana adanya ayah angkatku?” tanyanya dengan suara gemetar.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1198
“Thio Kauwcoe,” kata Tan Yoe Liang dengan suara tawar, “Kong beng Soecie Yo Siauw dari
agama mu dahulu pernah merusak kehormatan Kie Siauw Hoe dari Go bie pay. Sebab
perbuatan itu, dia dikutuk oleh semua orang di kolong langit. Maka itu aku sekarang ingin
menasihati kau, supaya janganlah kau meneladan contoh Yo Siauw itu. Dengan setulus hati
aku memberi nasehat. Terserah kepada kau, apa kau sudi dengar atau tidak.”
Boe Kie tidak meladeni. Ia menengok kepada Cie Jiak, “Beritahukan aku cara bagaimana
mereka bawa kau sampai di sini?”
Nona Cioe menjawab dengan terputus-putus. “Aku… aku… aku…,” mendadak tubuhnya
bergemetaran dan roboh pingsan.
Orang orang Kay Pang lantas saja mencaci maki.
“Iblis Beng Kauw bunuh orang!”
“Thio Boe Kie bunuh Ciang boen jin Go bie pay!”
“Binasakan penjahat cabul Thio Boe Kie!”
dan sebagainya.
Tak kepalang gusarnya Boe Kie. “Tangkap penjahat harus ditangkap rajanya, pikirnya.
Dengan membekuk Soe hwee liong, aku bisa mengorek rahasia dimana adanya Giehoe.”
Memikir begitu, ia segera menerjang pangcu Kay Pang itu.
Tapi baru mau bergerak, Ciang pang Liong tauw dan Cie hoat Tiang loo sudah menghadang
di depannya. Ciang pang Liong tauw menyapu dengan tongkatnya, sedang Cie hoat Tiangloo
yang tangan kanannya bersenjata gaetan baja dan tangan kirinya memegang tongkat besi turut
menyerang dengan pukulan yang membinasakan.
Sambil membentak, Boe Kie menyambut dengan Kian koen Tay lo ie. “Trang!” gaetan Cie
hoat Tiangloo menangkis tongkat Ciang pang Liong tauw.
“Semua orang awas!” teriak Coan kang Tiang loo. “Bocah itu memiliki ilmu silat aneh.”
Seraya berkata begitu, ia mengirim tiga serangan dengan pedangnya. Setiap serangan diajukan
ke arah “hiat” besar, di bagian dada dan kempungan.
“Bagus!” seru Boe Kie sambil melompat. Hampir berbareng jari tangannya menotok Hoan
tiauw hiat di paha lawan. Bagaikan kilat pedang Coan kang membuat lingkaran dan ujung
pedang menyambar ujung jari tangan Boe Kie. Sambutan itu yang dikirim secara indah dan
tepat membuktikan kelihaian Coan kang Tiangloo sehingga Boe Kie sendiri merasa kagum
sekali. Buru2 ia menarik pulang tangannya untuk mengelakkan tusukan pedang itu.
Hari itu di kelenteng Bie lek hoed, Boe Kie pernah menyaksikan pertempuran antara Hiang
beng Jieloo dan jago jago Kay Pang. Tapi sebab bersembunyi di pohon dan tidak berani
menonjolkan kepala, maka itu ia tidak melihat tegas jalannya pertempuran. Sekarang ia harus
mengakui, bahwa Coan kang dan Cie hoat Tiangloo adalah tokoh tokoh persilatan kelas
utama, sedang kepandaian Ciang pang Liong tauw hanya kalah setingkat.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1199
Dalam sekejap, ketiga ketua Kay Pang sudah bertanding kurang lebih dua puluh jurus
melawan Boe Kie.
Tiba-tiba Tan Yoe Liang berteriak, “Kepung dengan Sat-kauw-tin!” (Sat kauw tin – barisan
membunuh anjing).
Sambil berteriak teriak, dua puluh satu jago Kay Pang yang masing masing bersenjatakan
golok bengkok, lantas saja mengurung Boe Kie. Teriakan dan kelakuan mereka sangat aneh.
Ada yang berteriak, “Looya, minta nasi!” Ada pula, “Tai-tai, mohon belas kasihan!” Ada
yang menjerit jerit kesakitan, ada yang memukul dada dan sebagainya. Semula Boe Kie
merasa terkejut, tapi ia lantas saja mengerti bahwa teriakan dan kelakuan itu bertujuan untuk
membingungkan pikirannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa walaupun kelihatannya kalut,
tindakan kaki para pengepung itu sesuai dengan peraturan tertentu.
Baru saja Boe Kie terkepung, sekonyong-konyong Coan kang Tiangloo membentak. “Tahan!”
Sambil melintangkan pedangnya di dada, ia melompat mundur, diikuti oleh Cie hoat Tiangloo
dan Ciang pang Liong tauw. Tapi dua puluh satu pengemis yang merupakan anggota Sat
kauw tin masih terus mempertahankan tin tersebut dengan berlari lari terputar putar.
“Thio Kauwcoe,” kata Coan kang. “Dalam sejumlah besar kami mengepung kau seorang.
Pada hakekatnya andaikata kami menang, kemenangan itu bukan kemenangan yang boleh
dibanggakan. Tapi di dalam partai kami tidak seorangpun bisa menandingi Thio Kauwcoe.
Maka itu, dalam usaha menumpas kejahatan, kami tidak bisa lagi mempertahankan kebiasaan
Rimba Persilatan yang penuh kehormatan, yaitu satu melawan satu.”
Boe Kie tersenyum. “Bagus, bagus!” katanya.
“Kami semua bersenjata, sedang Thio Kauwcoe bertangan kosong,” kata pula Coan kang
Tiangloo. “Dalam menarik keuntungan, Kay Pang tidak pantas menarik keuntungan
terlampau besar. Thio Kauwcoe, kau beritahukanlah, senjata apa ayng diinginkan olehmu.
Kami akan segera menyerahkannya.”
Mendengar itu, diam diam Boe Kie memuji tetua itu yang berbeda wataknya dari manusia
semacam Tan Yoe Liang. Ia tersenyum dan menjawab, “Di dalam Kay Pang, tidak ada senjata
yang cocok bagiku. Untuk main main dengan kalian sebenarnya aku tidak memerlukan
senjata. Dan andaikata perlu, aku sendiri bisa mengambilnya.”
Hampir berbareng, tubuhnya berkelebat dan ia sudah melompat keluar dari Sat kauw tin.
Bagaikan kilat ia menekan pundak Tan Yoe Liang dan Song Ceng Soe, merampas pedang
kedua orang itu dan kemudian melompat masuk pula ke dalam Sat kauw tin. Kesemuanya itu
dilakukan dengan gerakan yang sangat indah dan kecepatan yang sukar dilukiskan.
Sebelum para pengemis hilang kagetnya, Boe Kie sudah berkata dengan suara nyaring.
“Orang Kay Pang memang biasa mencuri ayam dan menangkap anjing. Nama Sat kauw tin
memang tepat sekali. Membunuh anjing memang tak sukar. Tapi kalau ingin menakluki naga
atau harimau, barisan ini tak dapat digunakan.” Sehabis berkata begitu ia mengibaskan kedua
pedang yang dicekalnya sambil mengirim tenaga dalam ke badan pedang. “Tak!” kedua
senjata itu patah dengan berbareng.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1200
“Majulah!” bentak Ciang pang Liong tauw sambil menotok dada Boe Kie dengan tongkatnya.
Cie hoat juga lantas menyerang. Boe Kie bersiul nyaring. Ia mengegos, melompat dan
menerjang kian kemari dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie. Di lain saat sinar putih
menyambar nyambar ke arah tiang di tengah tengah ruangan itu. Sinar putih itu adalah golok
bengkok yang dirampas Boe Kie dan dilemparkan ke tiang. Dalam sekejap, dua puluh satu
batang golok sudah menancap di tiang tersebut.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan Tan Yoe Liang. “Thio Boe Kie! Apa kau belum mau
berhenti?”
Boe Kie menengok dan melihat si orang she Tan tengah menuding punggung Cie Jiak dengan
ujung pedang. Sebab kuatir tunangannya celaka, ia segera menghentikan serangannya.
“Selama kurang lebih seratus tahun dunia Kang ouw menyebut nyebut nama Beng kauw, Kay
Pang dan Siauw lim pay,” katanya dengan suara dingin. “Dalam kalangan pang, Kay Pang
dipandang paling tinggi. Dengan melakukan perbuatan yang seperti ini, apakah kalian tidak
menodai nama besarnya Ang Cit Kong loohiap?”
Paras muka Coan kang Tiangloo berubah merah. “Tan Tiangloo!” teriaknya dengan gusar.
“Lepaskan Cioe Kauwnio! Hari ini kita harus melakukan jalan suatu pertempuran mati hidup
dengan Thio Kauwcoe. Dimana kita mau menaruh muka jika seluruh tenaga Kay Pang tak
dapat menjatuhkan tokoh Beng Kauw yang seorang diri.”
Tan Yoe Liang tertawa, “Seorang gagah tak mengadu tenaga, tapi mengadu kepintaran,”
katanya. “Thio Boe Kie, apa kau belum mau menyerah?”
“Baiklah,” jawabnya. “Hari ini aku belajar kenal dengan keangkeran Kay Pang.” Ia mundur
dua tindak dan mendadak saja ia berjungkir balik ke belakang. Selagi tubuhnya melayang
turun ke bawah secara tepat sekali ia jatuh duduk di pundak Soe hwee liong, dengan tangan
kanan menekan batok kepala dan tangan kiri mencengkeram leher pemimpin partai pengemis
itu.
Itulah salah satu jurus dari ilmu Seng hwee leng. Bahwa ia sudah berhasil begitu mudah
bahkan di luar dugaan Boe Kie sendiri. Sebelum berjungkir balik, ia telah menghitung hitung
untuk coba membekuk Soe hwee liong dengan menggunakan tiga pukulan berantai. Di luar
dugaan, dengan sekali jurus ia berhasil. Ia sekarang menunggang Soe hwee liong seperti
kanak kanak main kuda kudaan.
Melihat pangcu mereka tertawan, para pengemis mengeluarkan seruan tertahan. Boe Kie
tersenyum, jari tangannya menempel pada Pek hwee hiat di batok kepala Soe hwee liong. Pek
hwee hiat adalah hiat yang sangat penting. Asal Boe Kie mengeluarkan sedikit tenaga, pangcu
itu akan binasa tanpa bisa ditolong lagi. Di lain saat ruangan itu berubah sunyi senyap.
Bagaikan patung para pengemis mengawasi Boe Kie dan pemimpin mereka.
Pada saat itulah tiba tiba terdengar suara khim dan seruling. Suara itu sayup sayup dan datang
dari atas atap gedung. Didengar dari suaranya, jumlah khim dan seruling lebih dari satu. Suara
itu sebentar hilang, tapi semua orang dapat mendengarnya dengan jelas sekali.
Boe Kie kaget dan heran.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1201
“Tokoh darimana yang datang mengunjungi Kay Pang?” teriak Tan Yoe Liang. “Kalau kau
iblis Beng kauw, perlihatkan dirimu!”
Teriakan si orang she Tan disambut dengan tiga kali suara “Cring” dari tali khim dan hampir
berbarengan empat orang wanita muda yang mengenakan baju putih melompat turun dari
payon timur dan barat. Kedua tangan setiap wanita itu memeluk sebuah yauw khim yang
ukurannya lebih pendek dan lebih kecil separuh dari cit hiam khim (khim tujuh tali). Tapi
biarpun lebih kecil khim itu mempunyai tujuh tali. Begitu hinggap di bumi mereka lantas saja
berdiri di empat penjuru di ruangan toa thiam itu. Sesaat kemudian dari luar pintu masuk
empat orang wanita muda yang mengenakan baju hitam dan masing masih memegang
sebatang seruling yang berwarna hitam pula. Seruling itu lebih panjang daripada seruling
biasa. Mereka pun lantas berdiri di empat sudut ruangan.
Boe Kie tak punya pengertian cukup dalam ilmu susiang Pat kwa kedudukan delapan wanita
itu mengherankan hatinya. Mereka seolah olah menduduki kedudukan Pat kwa, tapi bukan Pat
kwa yang tulen. Tapi biar bagaimanapun jua, Boe Kie merasa bahwa kedudukan mereka
sesuai dengan peraturan tertentu.
Sementara itu, kedelapan wanita itu sudah mulai memperdengarkan sebuah lagu yang luar
biasa. Meskipun Boe Kie tidak mengerti musik, ia bisa merasai bahwa lagu itu bersifat merdu,
tenang dan damai.
Beberapa saat kemudian dengan iringan lagu itu, masuklah seorang wanita yang mengenakan
baju kuning dengan tangan kiri menuntun seorang gadis cilik yang berusia kurang lebih dua
belas tahun. Wanita yang berusia kira kira dua puluh tujuh tahun itu sangat cantik, hanya kulit
mukanya terlampau putih seolah olah tak punya darah. Si gadis cilik beroman jelek,
hidungnya dongak ke atas, mulutnya lebar memperlihatkan deretan dua gigi yang besar. Ia
mengikuti si cantik dengan sebelah tangan memegang tongkat bambu hijau.
Begitu mereka masuk, mata semua pengemis serentak ditujukan kepada tongkat bambu itu.
Boe Kie sebenarnya merasa tak enak untuk terus menunggang Soe hwee liong di hadapan
begitu banyak wanita. Tapi ia tidak berani lantas turun sebab pedang Tan Yoe Liang masih
terus ditudingkan ke punggung Cie Jiak. Ia heran tak kepalang karena mendapat kenyataan
bahwa semua pengemis menumplek seluruh perhatian mereka kepada tongkat bambu itu yang
seolah olah dipandang sebagai barang terpenting dalam dunia ini. Tongkat ini berwarna hijau
biru dan mengkilap luar biasa. Di samping itu Boe Kie tak melihat keistimewaan apapun jua.
Dengan sinar mata yang seperti kilat si baju kuning menyapu seluruh ruangan. Akhirnya ia
mengawasi Boe Kie. “Thio Kauwcoe,” katanya, “kau bukan kanak kanak lagi. Mengapa kau
masih memperlihatkan lagak bocah nakal?” Suaranya menegur tapi nadanya hangat, seperti
nada seorang kakak yang bicara dengan adiknya.
Muka Boe Kie lantas saja berubah menjadi merah. “Tan Tiangloo sangat licik dan
mengancam… kawanku,” jawabnya. “Maka itu aku tidak bisa berbuat lain daripada
menangkap pangcu mereka.”
Si nona tersenyum. “Menunggang seorang pangcu agak keterlaluan,” katanya. “Dalam
perjalanan dari Tiang an aku sudah mendengar bahwa kauwcoe dari Beng kauw adalah satu
iblis kecil. Hari ini…ha!...ha!..,” ia menggeleng gelengkan kepalanya.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1202
Sekonyong konyong Soe hwee liong berteriak, “Thio Boe Kie penjahat cabul! Lepaskan aku!”
Ia mau memberontak tapi tak bertenaga.
Dimaki sebagai penjahat cabul di hadapan begitu banyak wanita, Boe Kie malu bercampur
gusar. Tanpa merasa tenaga dalamnya keluar dan Soe hwee liong berteriak teriak kesakitan.
Semua pengemis meluap darahnya. Mereka gusar bercampur malu. Mereka malu karena
pangcu mereka memperlihatkan kelemahan di hadapan orang luar. Jangankan seorang
pangcu, sedang seorang anggota Kay Pang yang biasapun tak akan berteriak teriak kesakitan
di hadapan lawan.
“Thio Boe Kie,” kata Tan Yoe Liang, “Lepaskan Soe pangcu.” Sehabis berkata begitu tanpa
menunggu jawaban ia memasukkan pedangnya ke dalam sarung. Ia manusia licik, tapi ia tahu
Boe Kie tak akan menarik keuntungan secara licik. Benar saja Boe Kie segera melompat turun
dari punggung Soe hwee liong dan dengan sekali lompat ia sudah berada di samping Cie Jiak.
Nona Cioe baru saja tersadar, kedua matanya tertutup. Dengan rasa kasihan Boe Kie lalu
mendukungnya dan mendudukkannya di sebuah kursi batu di ruangan itu.
Sementara itu sambil merangkap kedua tangannya Tan Yoe Liang berkata kepada si nona baju
kuning, “Pelajaran apakah yang nona mau berikan kepada kami? Bolehkan kami mendapat
tahu she dan nama nona yang mulia?” Sambil mengajukan pertanyaan yang sopan santun itu,
dia mengasah otaknya. Si baju kuning sudah cukup dewasa, tapi ia masih mengenakan
pakaian seorang gadis. Para pengiringnya dan cara kedatangannya mengunjuk bahwa ia bukan
sembarangan orang. Tapi siapakah dia? Si gadis cilik yang bermuka jelek juga merupakan
sebuah teka teki. Dia memegang tongkat Tah kauw pang (tongkat pemukul anjing) dan Tah
kauw pang adalah tanda kepercayaan atau tanda kekuasaan seorang pangcu partai Kay Pang.
Cara bagaimana tongkat itu bisa berada dalam tangan si muka jelek? Inilah pertanyaan2 yang
berkelebat di otak Tan Yoe Liang.
“Dimana adanya Hoen goan Pek lek chio Seng koen?” tanya si baju kuning dengan suara
dingin. “Suruh dia keluar untuk menemui aku.”
Boe Kie terkesiap.
Tan Yoe Liang berubah paras mukanya. Tapi perubahan itu hanya untuk sejenak. Di lain detik
ia menjawab dengan tenang. “Hoen goan Pek lek chioe Seng koen?” Dia adalah guru Kim mo
Say ong Cia Soen. Pertanyaan nona seharusnya diajukan kepada Kauwcoe dari Beng kauw”.
“Siapa tuan?” tanya si nona
jilid 66_________________
“Aku she Tan, namaku Yoe Liang, tiangloo delapan karung dari Kay pang.”
Sambil menuding Soe Hwee Liong, si baju kuning bertanya pula. “Siapa manusia itu?
Macamnya begitu keren, kenapa dia begitu tolol? Dipijit sedikit saja sudah berteriak teriak!”
Tak kepalang rasa malunya para tokoh pengemis. Sebagian di antara mereka memang
memandang rendah kepada Soe Hwee Liong.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1203
“Ia adalah Soe Pangcoe dari partai kami,” jawab Tan Yoe Liang. “Beliau habis sembuh dari
penyakit dan badannya masih sangat lemah. Nona, sebagai tamu dari tempat jauh, sedapat
mungkin aku akan memperlakukan kau secara sopan. Tapi jika kau masih mengeluarkan
omongan yang tidak-tidak, kami takkan merasa segan segan untuk bertindak terhadapmu.”
Si nona tidak menghiraukan ancaman itu. Ia berpaling kepada seorang berbaju hitam dan
berkata, “Siauw Coei, pulangkan suratnya!”
Si baju hitam mengangguk, merogoh saku dan mengeluarkan sepucuk surat.
Boe Kie yang bermata jeli lantas saja lihat huruf huruf yang bertuliskan di atas amplop yang
berbunyi sebagai berikut. “Dipersembahkan kepada Han Toa ya San Tong pribadi dari Beng
Kauw.” Di sebelah bawahnya terdapat huruf huruf yang lebih kecil. “Dari Soe dari Kay
pang.”
Begitu melihat surat itu, darah Ciang pang Liong tauw mendidih. “Perempuan hina dina!”
cacinya. “Kalau begitu kaulah pencuri surat!” Ia mengangkat tongkatnya dan bersiap untuk
menerjang.
Siauw Coei tertawa geli. “Kau tua bangka tolol!” ia balas mencaci. “Surat saja kau tak mampu
jaga. Apa kau tak malu?” Seraya ia berkata lantas saja terbang ke arah Ciang pang Liong
tauw. Jarak antara mereka kurang lebih tiga tombak. Bahwa si baju hitam bisa melemparkan
sepucuk surat yang begitu enteng pada jarak tiga tombak merupakan bukti, bahwa dia
memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Ciang pang Liong tauw mengangkat tangannya
untuk menyambuti. Di luar dugaan, pada jarak tiga kaki, surat ini mendadak membelok ke kiri
dan jatuh di lantai. Ciang pang Liong tauw kaget dan lalu membungkuk untuk menjemputnya.
Sekonyong konyong Boe Kie mengibaskan tangannya dan mengirim tenaga angin, sehingga
surat itu terbang ke atas.
Hampir berbareng, ia mengerahkan Kian koen Tay lo ie Sin kang, sehingga di lain detik surat
itu sudah berada di dalam tangannya. Semua pengemis pucat mukanya. Mereka yang tak tahu
sebab musababnya menduga bahwa Boe Kie memiliki ilmu gaib.
Sebagai hasil mengintainya, Boe Kie sudah mengetahui bahwa Ciang pang Liong tauw telah
diperintahkan oleh Soe Hwee Han San Tong yang mau dipaksa supaya menakluk kepada Kay
pang, dengan menggunakan Han Lim Jie sebagai tunggangan. Kini, dengan mendengar
pembicaraan antara Ciang pang Liong tauw dan Siauw Coei, ia tahu bahwa di tengah jalan,
nona nona baju putih hitam itu telah mempermainkan dan mencuri surat si pengemis tua yang
terpaksa pulang ke Louw liong sebelum dapat menunaikan tugasnya. Waktu suratnya tercuri,
si pengemis ternyata tak tahu siapa yang mencurinya, sehingga dengan demikian dapatlah
dibayangkan kelihayannya nona2 itu, yang dipimpin si baju kuning. Mengingat itu, diam diam
Boe Kie merasa berterima kasih terhadap si baju kuning.
Sementara itu, sambil tersenyum si baju kuning berkata. “Han San Tong mengangkat senjata
di daerah Hway see untuk mengusir Tat coe dari negara kita. Di sepanjang jalan kudengar dia
seorang gagah budiman yang sangat memperhatikan kepentingan rakyat jelata. Maka itu,
sangatlah tak bisa jadi, bahwa dia akan mau mengkhianati Beng kauw dan menekuk lutut
kepada Kay pang, sebab puteranya ditahan oleh Kay pang. Thio Kauwcoe, pulangkanlah surat
itu. Andaikata surat itu benar-benar jatuh ke tangan Han toaya, akibatnya yang buruk hanya
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1204
dirasakan oleh Kay pang sendiri. Aku sudah mencuri surat itu karena melihat ketololan Liong
tauw Toako dan juga karena di dalam Kay pang terdapat suatu soal besar yang memerlukan
kedatangan di tempat ini.”
“Terima kasih atas bantuan Toacie,” kata Boe Kie sambil merangkap kedua tangannya.
“Terimalah hormatnya Boe Kie.”
Si nona membalas hormat. “Thio Kauwcoe, tak usah kau memakai banyak peradatan,”
katanya sambil tersenyum.
Boe Kie mengibaskan tangan kanannya dan surat itu lantas saja terbang ke arah Ciang pang
Liong tauw. Sesudah itu, diam diam ia mengirim “am kin” (tenaga gelap atau tenaga yang
dikirim dari jarak jauh), yang biarpun dikirim belakangan, tiba terlebih dulu, kira-kira dua
kaki di sebelah depan surat tersebut.
Demikianlah, pada saat Ciang pang Liong tauw mengangsurkan tangannya untuk menyambut
surat itu, tiba-tiba ia didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga mau tak
mau, ia terhuyung tiga langkah ke belakang hampir hampir ia jatuh terguling di lantai. Sedetik
kemudian surat itu jatuh di lantai.
Si tua kaget tercampur gusar. Sambil membungkuk dan menjemput surat itu, ia berteriak.
“Perempuan binatang mana yang menyerang dengan anak panah gelap?” Ia mencaci begitu
sebab menduga dirinya diserang dengan senjata rahasia luar biasa oleh salah seorang wanita
tersebut.
Si baju kuning menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sungguh cuma-cuma kau menjadi salah
seorang tokoh Kay pang,” katanya dengan suara menyesal. “Kau bahkan tak tahu pukulan
Khek-shoa Peh goe dari Thio Kauwcoe.” (Khek shoa Peh goe – memukul kerbau dari tempat
yang teraling gunung).
Para pengemis terkejut. Mereka sudah dengar bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat
semacam ilmu yang bisa merobohkan musuh dari jarak jauh, tapi belum pernah menyaksikan
dengan mata sendiri. Di luar dugaan, hari ini mereka membuktikan kebenaran cerita itu.
“Orang pintar sering melakukan perbuatan tolol karena kepintarannya itu,” kata pula si baju
kuning. “Dunia memang begitu. Kamu merasa bahwa dengan menawan Han Lam Jie, kamu
akan bisa memaksakan takluknya Han San Tong? Hari itu, sebab beberapa kali menemui
rintangan kau sudah mengambil jalanan kecil untuk menyingkir dari segala ganggugan. Tapi
kau tidak tahu, bahwa andaikata surat itu bisa didengar oleh Han San Tong, bagi Kay-pang
sedikitpun tidak ada faedahnya.”
Mendengar perkataan si nona, mendadak Tan Yoe Liang ingat sesuatu. Buru buru ia
mengambil surat itu dari tangan Ciang pang Liong tauw. Amplop surat kelihatannya masih
utuh. Ia lalu merobek amplop, mengeluarkan suratnya dan lalu membacanya. Begitu
membaca, paras mukanya berubah pucat. Mengapa? Sebab surat itu yang semula isinya untuk
memaksakan menakluknya Han San Tong kepada Kay pang, sekarang berubah menjadi surat
minta menakluknya Kay pang kepada Beng kauw! Surat itu penuh dengan perkataan
perkataan merendahkan diri, memohon-mohon supaya Beng kauw sudi menerima
menakluknya Kay pang.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1205
Si baju kuning tertawa dingin. “Benar!” katanya. “Surat itu telah aku baca, tetapi bukan aku
yang mengubahnya. Sesudah membaca kutahu, bahwa Ciang pang Liong tauw telah dikerjai
oleh seorang yang berkepandaian tinggi. Dengan mengingat, bahwa leluhurku mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan Kay pang, aku sudah curi surat itu, supaya ‘pang’ yang
terbesar dalam dunia tak usah mendapat malu yang sedemikian hebat. Coba kau pikir. Kalau
surat itu diserahkan oleh Ciang pang Liong tauw kepada Han San Tong, apakah Kay pang
masih ada muka untuk berdiri lebih lama lagi dalam dunia Kang ouw?”
Dengan bergantian Coan kang dan Cie hoat Tiang loo, Ciang poen dan Ciang pang Liong
tauw membaca surat itu. Seperti Tan Yoe Liang paras muka mereka segera berubah pucat.
Mereka malu bercampur gusar. Memang benar, andaikata surat takluk itu dicoba Han San
Tong habislah nama Kay pang. Segenap murid Kay pang tak akan bisa berdiri lagi di muka
bumi. Ditinjau dari sudut ini, dengan mencuri surat itu, si baju kuning sudah berbuat kebaikan
terhadap partai pengemis. Tapi siapakah yang sudah main gila, yang sudah mengubah surat
itu?
Seluruh ruangan berubah sunyi.
Tiba-tiba Siauw Coei tertawa. “Kalian ingin tahu siapa yang menukar surat itu bukan?”
tanyanya.
Semua pengemis lantas saja memperlihatkan paras muka yang tidak sabaran.
“Ciang pang Liong tauw, bukalah jubah luarmu,” kata pula Siauw Coei.
Ciang pang Liong tauw seorang yang beradat polos dan berangasan. Tanpa membuka kancing
ia menarik jubahnya. “Bret!” semua kancing putus. Nah sekarang bagaimana?” bentaknya
sambil melontarkan jubahnya di lantai.
Tiba-tiba para pengemis di belakangnya mengeluarkan teriakan ‘ih’, seperti juga mereka
melihat sesuatu yang mengejutkan.
“Ada apa?” tanya Ciang pang Liong tauw sambil memutar tubuh. Enam tujuh orang
menuding ke arah punggungnya. Dengan tidak sabar ia merobek baju dalamnya, sehingga
terlihatlah daging dan otot otot badannya yang menonjol keluar. Ia mengawasi baju dalamnya.
Ternyata di bagian punggung baju itu terlukis sebuah gambar kelelawar hijau dengan warna
menakutkan, mulut berlepotan warna merah darah dan sepasang sayap yang sangat besar,
itulah gambar kelelawar pengisap darah.
“Ceng ek Hok ong Wie It Siauw!” seru Coan kang dan Cie hoat Tiangloo dengan berbareng.
Dahulu Wie It Siauw jarang datang di Tianggoan dan namanya tidak begitu dikenal. Selama
waktu-waktu belakangan ia berkelana di dunia Kang ouw dengan saban-saban
memperlihatkan kepandaiannya, sehingga namanya termashyur, bahkan lebih cemerlang
daripada Peh bie Eng Ong In Thian Ceng.
Melihat gambar itu bukan main girangnya Boe Kie.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1206
Di lain pihak dengan kegusaran yang meluap-luap, Ciang pang Liong tauw menimpuk Boe
Kie dengan baju dalamnya itu sambil mencaci. “Bagus! Kalau begitu loohoe telah
dipermainkan oleh kawanan siluman dari agamamu!”
Boe Kie mengibaskan tangan bajunya dan baju dalam itu lantas saja terapung ke atas dan
akhirnya menyangkut cabang tertinggi dari sebuah pohon beng.
Tan Yoe Liang mulai bingung. Ia merasa bahwa jalan paling baik ialah coba menyampingkan
urusan surat itu. Maka itu, ia lantas menanya si baju kuning. “Apakah kami boleh mendapat
tahu she dan nama nona yang mulia? Hubungan apakah yang dipunyai nona dengan kami
semua?”
“Dengan kamu?” menegas si nona dengan suara dingin. “Aku hanya mempunyai sedikit
hubungan dengan tongkat Tah kauw pang ini.”
Semua pengemis tahu, bahwa Tah kauw pang adalah tongkat tanda kekuasaan dari seorang
pangcoe dan mereka adalah sungguh tak mengerti mengapa tongkat itu bisa berada di tangan
orang lain. Semua mata ditujukan kepada Soe Hwee Liong yang mukanya pucat pasi dan
kelihatannya bingung sekali.
“Pangcoe, apakah Tah Kauw pang yang dipegang oleh wanita itu tulen atau palsu?” tanya
Coan kang Tiangloo.
“Aku… aku… kukira palsu,” jawabnya.
“Baiklah,” kata si baju kuning. Sekarang keluarkan yang tulen, supaya bisa dibandingkan.”
“Tah kauw pang adalah mustika dari partai kami,” kata Soe Hwee Liong. “Tak dapat aku
memperlihatkannya kepada sembarang orang. Lagipula aku sekarang tidak membawa tongkat
itu, sebab kuatir hilang.”
Para pengemis merasa bahwa alasan itu tak masuk akal. Cara bagaimana seorang Pangcoe
bisa tak membawa Tah kauw pang sebab takut tongkat itu hilang?
Sekonyong konyong si gadis cilik mengangkat tongkat itu tinggi dan berkata dengan suara
nyaring. “Para Tiangloo! Para murid Kaypang lihatlah Tah kauw pang adalah mustika partai
kita yang sudah turun temurun. Mana bisa tongkat ini palsu?”
Mendengar si cilik menggunakan istilah “partai kita”, semua orang merasa heran. Mereka
meneliti tongkat itu yang mengkilap bagaikan giok dan keras melebihi besi. Tak usah
disangsikan lagi, tongkat itu adalah Tah kauw pang yang tulen. Semua pengemis saling
mengawasi. Mereka tak dapat menangkap apa itu artinya semua.
Si baju kuning tersenyum tawar dan berkata dengan suara tawar pula. “Kudengar pangcoe
dari Kaypang memiliki dua rupa ilmu yang sangat istimewa, yaitu Han Liong Sip pat Ciang
dan Tah kauw pang hoat. Siauw Hong, cobalah kau meminta pelajaran Han Liong Sip pat
Ciang dari Coan kang Tiangloo. Siauw leng, sesudah Siauw Hong Cie cie memperoleh
kemenangan, kau boleh minta pelajaran Tah kauw pang hoat dari Soe pangcoe.” Dua wanita
yang memegang seruling lantas saja melompat keluar dan berdiri di kiri kanan.
To Liong To > karya Jin Yong > disadur oleh Boe Beng Tjoe > published by BuyanKaba 1207
“Nona!” bentak Tan Yoe Liang dengan suara gusar. “Bahwa kau tak sudi memberitahukan
she dan namamu saja, kau sudah tidak memandang sebelah mata kepada kami semua.
Sekarang bahkan kau menyuruh kedua pelayanmu untuk menantang Pemimpin kami. Di
dalam dunia Kang ouw, mana ada kekurang ajaran yang seperti itu? Soe Pangcoe biarlah
teecoe yang bereskan kedua pelayan itu dan kemudian teecoe akan menjajal kepandaiannya
perempuan yang sudah menghina partai kita.”
“Baiklah,” kata Soe hwee liong.
Tan Yoe Liang segera menghunus pedang dan maju ke tengah ruangan.
“Nonaku menyuruh aku meminta pelajaran dalam ilmu Hang liong Sip pat ciang,” kata Siauw
Hong. “Apa kau mahir dalam ilmu itu?” Apa Hang liong Sip pat ciang menggunakan
pedang?”
“Soe Pangcu seorang yang berkedudukan sangat tinggi dan bukan lawan sebangsa pelayan,”
kata Tan Yoe Liang dengan suara menghina. Juga tak mungkin seorang pelayan memiliki
Hang liong Sip pat ciang. Sudahlah. Terimalah kebinasaanmu di bawah pedangku!”
“Thio Kauwcoe, kata si baju kuning kepada Boe Kie, “bolehkah kuminta bantuanmu?”
“Tentu saja,” jawabnya.
“Kuminta kau lemparkan manusia she Tan itu dan bekuk penipu itu yang menyamar sebagai
Soe Pangcu,” kata pula si nona.
Tadi, waktu menawan Soe hwee liong, Boe Kie sudah bercuriga, sebab orang itu ternyata tak
punya kepandaian tinggi yang sesuai kedudukannya. Kecurigaannya jadi makin lebih besar
karena melihat orang itu tak punya pendirian dan selalu menurut perkataan Tan Yoe Liang.
Maka itu, begitu mendengar perkataan si baju kuning yang menamakan orang itu sebagai
‘penipu yang menyamar sebagai Soe pangcoe’, ia tidak bersangsi lagi. Ia mengangguk dan
lalu melompat ke arah Soe hwee liong. Soe hwee liong meninju dengan pukulan Tiong tian
pauw. Boe Kie tertawa terbahak bahak.
“Apa ini Hang liong Sip pat ciang?” teriaknya seraya mencengkeram baju di dada Soe Hwee
liong yang lalu diangkat tinggi tinggi. Tan Yoe Liang tahu, bahwa ia bukan tandingan Boe
Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mundur dan menghilang di antara para pengemis.
Sekonyong konyong si nona cilik menangis keras. Ia menubruk dan mencengkeram baju Soe
hwee liong, dan bagaikan kalap memukulnya berulang ulang. “Binatang!” teriaknya. Kau
sudah membinasakan ayahku! Kau membunuh ayahku! Aku akan cincang badanmu!” Ia
menjambret rambut Soe hwee liong dan… rambut itu terlepas dan terlihatlah kepala yang
gundul.
Rambut palsu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar